iliterasi kemanusiaan

4
ILITERASI KEMANUSIAAN Oleh: Ade Hidayat, M.Pd *) Literasi dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau keberaksaraan. Namun dewasa ini literasi memiliki arti luas, sehingga keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti. Beragam pemaknaan keberaksaraan atau literasi, tergantung objek tertentu yang tengah digarap sebagai bahan pemahaman dan eksplorasinya, misal dalam bidang media, komputer, teknologi, informasi, ekonomi, dsb. Pesatnya perkembangan zaman membuat definisi literasi berevolusi. Freebody dan Luke (2010) menawarkan model literasi ke dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks. Berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara untuk mencapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi seseorang merupakan definisi baru mengenai literasi. Seorang dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Misal lain dalam literasi teknologi, seorang literat teknologi berarti seseorang yang telah berhasil memiliki pemahaman yang benar tentang teknologi dan melakukan satu tindakan yang tepat dalam dimensi teknologi. Namun ada juga yang dimaksud dengan iliterasi. Tentunya kebalikan dari literasi. Logisnya, iliterasi berarti ketidakmampuan memiliki pemahaman yang benar dengan pengambilan tindakan yang kurang atau tidak tepat. Lalu, bagaimana bila padanan katanya adalah kemanusiaan, apa arti dari iliterasi kemanusiaan? Menyimak beberapa penjelasan di atas, memungkinkan kita untuk menarik makna, dan kurang lebih serupa dengan lanskap yang kita sergap dari sejarah pra- Islam dimana Allah mengutus Nabi Muhammad atau yang kita sebut dengan terma jahiliyah. Begitu spontannya kita dengan term masyarakat jahiliyah yang melekat pada bangsa arab pada zaman sebelum adanya Islam, atau yang kita sebut zaman pra-Islam, zaman kebodohan. Masyarakat jahiliyah sedemikian rupa terbayang

Upload: ade-hidayat

Post on 29-Sep-2015

213 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Buta Huruf Kemanusiaan

TRANSCRIPT

  • ILITERASI KEMANUSIAAN

    Oleh: Ade Hidayat, M.Pd *)

    Literasi dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai sebuah

    kemampuan membaca dan menulis. Kita mengenalnya dengan melek aksara atau

    keberaksaraan. Namun dewasa ini literasi memiliki arti luas, sehingga

    keberaksaraan bukan lagi bermakna tunggal melainkan mengandung beragam arti.

    Beragam pemaknaan keberaksaraan atau literasi, tergantung objek tertentu yang

    tengah digarap sebagai bahan pemahaman dan eksplorasinya, misal dalam bidang

    media, komputer, teknologi, informasi, ekonomi, dsb. Pesatnya perkembangan

    zaman membuat definisi literasi berevolusi. Freebody dan Luke (2010)

    menawarkan model literasi ke dalam lima verba: memahami, melibati,

    menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks.

    Berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara untuk

    mencapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi seseorang

    merupakan definisi baru mengenai literasi. Seorang dikatakan literat jika ia sudah

    bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan

    sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut. Misal lain dalam

    literasi teknologi, seorang literat teknologi berarti seseorang yang telah berhasil

    memiliki pemahaman yang benar tentang teknologi dan melakukan satu tindakan

    yang tepat dalam dimensi teknologi.

    Namun ada juga yang dimaksud dengan iliterasi. Tentunya kebalikan dari

    literasi. Logisnya, iliterasi berarti ketidakmampuan memiliki pemahaman yang

    benar dengan pengambilan tindakan yang kurang atau tidak tepat. Lalu, bagaimana

    bila padanan katanya adalah kemanusiaan, apa arti dari iliterasi kemanusiaan?

    Menyimak beberapa penjelasan di atas, memungkinkan kita untuk menarik

    makna, dan kurang lebih serupa dengan lanskap yang kita sergap dari sejarah pra-

    Islam dimana Allah mengutus Nabi Muhammad atau yang kita sebut dengan terma

    jahiliyah. Begitu spontannya kita dengan term masyarakat jahiliyah yang melekat

    pada bangsa arab pada zaman sebelum adanya Islam, atau yang kita sebut zaman

    pra-Islam, zaman kebodohan. Masyarakat jahiliyah sedemikian rupa terbayang

  • dalam benak kita sebagai serangkaian view peradaban dahulu bangsa arab yang

    kental dengan kemusyrikan, kekejaman, belum tersentuh kemajuan dan jauh dari

    peradaban tinggi. Padahal, pada waktu itu, masyarakat jahiliyah merupakan

    komunitas melek huruf dilingkupi para penyair mahir dengan penghormatan

    kesusastraan tinggi. Selain itu, masyarakat Arab bukanlah masyarakat primitif yang

    terisolasi sedemikian rupa. Mereka terkenal dengan kepaiwaiannya dalam ekspansi,

    bertualang serta perniagaan multi-nasional. Dan terpikir mungkin bagi kita begitu

    kontras dengan peradaban manusia sekarang yang serba modern dengan berbagai

    produk teknologi dan sainsnya. Apa memang benar demikian?

    Jahiliyah dari bahasa Arab yang berarti kebodohan, atau dalam padanan kata

    dalam bahasa Inggris adalah ignorance, kata benda dari kata ignore yang artinya

    mengabaikan, melengahkan, tidak peduli, tidak mengindahkan, memungkiri. Maka

    ignorance berarti kebodohan atau ketidaktahuan. Jahiliyah memang lahir dari

    ketidaktahuan atau kedunguan, namun seringkali juga terbentuk dari

    kesalahpahaman yang turun temurun, kekeliruan yang mentradisi atau ambisi hawa

    nafsu yang menampuk kuasa.

    Dalam Islam, jahiliyah adalah kata untuk seluruh perkara yang bertentangan

    dengan ajaran Islam, baik pelanggaran besar atau kecil yang berakibat atau tidak

    pada kekafiran. Semua dikatakan jahiliyah, karena seluruh pelanggaran atau

    perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak mungkin bersumber dari ilmu,

    melainkan dari kebodohan. Baik pelanggaran itu disebabkan karena ketidaktahuan

    atau karena dominasi hawa nafsu yang mengalahkan dorongan keimanan. Dalam

    Alquran, kata jahiliyah disebutkan oleh Allah sebanyak empat kali. Masing-masing

    disebutkan dalam konteks sebagai sebuah keyakinan, sistem hukum, perilaku dan

    watak. Ketika masyarakat rancu dalam mengimani Allah serta ada yang keliru

    dalam tata cara ritual ibadah, maka mereka telah memasuki zona darurat iliterasi

    peribadatan.

    Jahiliyah dalam perkara keyakinan merupakan akar semua penyimpangan dan

    yang menciptakan fondasi iliterasi kemanusiaan dalam hampir semua bentuk

    rupanya. Kita bisa menengok masyarakat Arab kala itu, setelah rancu dalam hal

    peribadatan dengan paganisme Latta, Uzza, Manat dan sederetan tokoh shalih yang

  • telah wafat dan dijadikan ikon perantara ibadah pada Allah, hampir dipastikan

    diikuti merebaknya anomali sosial, sistem tata negara dan hukum yang salah,

    penyimpangan perilaku, pelanggaran hak azasi manusia, ketidakadilan ekonomi

    dan sebagainya. Mengubur anak hidup-hidup, minuman khamr, perjudian,

    perbudakan, riba, kacaunya nasab disebabkan perkawinan tanpa aturan serta

    perendahan derajat wanita merupakan settingan buruk peradaban yang dimiliki

    bangsa Arab kala itu.

    Maka dalam hal ini Islam telah dahulu menggunakan terma jahiliyah atau

    iliterasi dengan pemaknaan yang tinggi. Kebodohan, iliterasi atau jahiliyah yang

    sebenarnya adalah kondisi dimana manusia telah mengabaikan kompetensi agung

    yang mestinya tercapai, baik itu sebagai makhluk dan abdi Tuhan maupun sebagai

    manusia dalam lingkup sosialnya. Iliterasi peribadatan yang diikuti sederet iliterasi

    kemanusiaan adalah kondisi yang telah jauh dari fungsi dan tujuan manusia

    diturunkan. Manusia kemudian laksana zombie, mayat hidup, jasadnya bergerak

    hidup namun kosong misi dan arah gerakannya. Atau bahkan manusia di zona

    iliterasi ini adalah predator dimana keberadaannya hanya memangsa semua

    makhluk di sekitarnya dan merusak ekosistem sosial serta aturan yang ada, hanya

    demi memenuhi kepentingan pribadinya.

    Dan ternyata waktu tidak menjadi ukuran jahiliyah tidaknya komunitas

    manusia. Logisnya makin bertambah usia zaman, makin ia menemukan jati dirinya.

    Namun, setelah jauh berlalu masa Islam berkecambah, kini peradaban kembali

    kering gersang. Jahiliyah bereinkarnasi dalam jelmaan yang lebih modern seiring

    perkembangan zaman, namun secara nurani sama kotor bahkan mungkin lebih

    menjijikan. Paganisme zaman sekarang menempati beragam bentuk dari mulai

    yang nyata hingga virtual. Paganisme fashion, batu akik yang dianggap magis,

    aturan bernegara dan bermasyarakat diatur berdasarkan perspektif dangkal

    egosentris, hingga massifnya aneka penyakit sosial yang menghimpit masyarakat.

    Kejahiliyah mengepung dari berbagai sisi, struktural maupun kultural.

    Bahkan di negara kita iliterasi begitu maruk terjadi secara rangkap. Di satu tempat,

    iliterasi kemanusiaan terjadi akibat ketidakadilan menjadi tata aturan legal, dimana

    memungut kayu bakar atau memetik tiga biji coklat dianggap merampok harta

  • negara, maling ayam atau motor dicincang ramai-ramai, sementara maling trilyunan

    hanya melenggang kangkung. Tindakan tidak proporsional dalam hukum tentu

    mengusik rasa keadilan dan nurani bangsa ini. Ironi lain, proyek triliyunan

    digelontorkan pada ibukota, sementara di tempat lain para ibu harus was-was

    melihat semangat buah hatinya menelaah aksara bertaruh jiwa dengan bergelayutan

    pada seutas tali di atas sungai curam.

    Kalau di zaman pra Islam, hanya bayi perempuan yang dibunuh hidup-hidup,

    kini bayi laki-laki pun turut dibungkus koran bekas, dilempar ke tong sampah

    layaknya nasi bekas. Terkadang, kejahiliyah begitu samar hingga tak nampak isi

    aslinya terbungkus rapi dalam balutan sains teknologi dan modernitas yang

    dipandang sebagai bentuk kedewasaan pemikiran manusia. Paradoksial ini berlipat

    menciptaan banalitas paradigma manusia sehingga begitu sulit untuk diajak

    kembali pada trek yang semestinya manusia berjalan.

    Iliterasi kemanusiaan tidak tersekat sempit pada perkara pengabaian HAM

    saja. Ketika manusia tidak mampu membaca dan memahami teks kehidupan baik

    bersifat vertikal maupun horizontal, kemudian ia tidak dapat mengambil perilaku

    dan tindakan yang tepat dalam menghadapi permasalahannya atau lebih buruk lagi

    dengan melakukan penyalahgunaan atau penyelewengan potensinya sebagai

    manusia untuk digunakan dalam upaya tujuan hawa nafsunya yang bersifat

    desktruktif, maka senyatanya manusia tersebut telah masuk ke dalam zona darurat

    iliterasi kemanusiaan. Zona dimana manusia ada namun tidak berharga, bahkan ada

    namun tiada.

    Dalam Alquran, ayat pertama diwahyukan menyebutkan iqra! (bacalah!),

    perintah membaca diturunkan pertama kali sebelum yang lain, merupakan pondasi

    awal demi terbangunnya literasi diri manusia yang utuh dan tercapainya menara

    literasi utamanya yaitu kompetensi pemahaman tentang diri di hadapan Allah,

    pemahaman diri beserta fungsinya di tengah alam semesta dan dalam panjangan

    dimensi waktu yang telah digariskan. Disanalah manusia telah mencapai perannya

    sebagai makhluk literat tingkat tinggi. Semoga! ***

    _______________________

    *) Dosen Universitas Mathlaul Anwar Banten