eprints.unm.ac.ideprints.unm.ac.id/5301/2/bab i,ii,iii.docx · web viewseminar internasional...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah yang
diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan dalam
melakukan penelitian sebagai suatu sistem berpikir ilmiah. Sehubungan dengan
itu, maka penulis membahas beberapa pendapat yang berkaitan dengan teori yang
dianggap relevan dengan pengkajian.
Pada bagian ini dikemukakn tinjauan pustaka yang dijadikan sebagai
landasan teori dalam penelitian ini antara lain :
1. Problematik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2005), problematik
adalah hal yang masih meimbulkan masalah yang belum dapat dipecahkan.
Masalah inilah yang menjadi penghambat dalam pencapaian suatu tujuan yang
telah direncanakan.
Belajar di kelas yang sukses atau berhasil, tidak efektif atau tidak mencapai
tujuan, gejala ini sering disebut kondisi yang menyebabkan tidak terlaksananya
dengan maksimal suatu kegiatan yang diinginkan.
Belajar dikatakan sebagai suatu proses interaksi antara diri-individu dengan
lingkungannya yang dapat berwujud pribadi, fakta, konsep, atau teori. Dengan
kata lain, belajar pada hakikatnya merupakan proses internalisasi dari seorang
pembelajaran yang dilakukan secara aktif dengan segenap potensi fisik (anggota
7
8
badan dan panca indra) maupun psikis (jiwa, emosi, dan sikap hati). Proses
internalisasi itu harus dilanjutkan pada proses sosialisai sebagai follow up-nya,
berupa aktiaktivitas mengomunikasikan kepada orang lain.
Masalah tujuan belajar memilki cukup banyak ragam dan variasi. Secara
umum, Jamaluddin (2003: 54) Tujuan belajar adalah untuk menuju kedewasaan
pribadi dalam rangka memasuki kehidupan sosial yang lebih luas. Jadi, konsep
kedewasaan dalam konteks ini mencakup berbagai bentuk kematangan, baik
secara emosional intelektual, sosial, moral, maupun spiritual, di samping
kematangan secara fisik. Jika dikategorikan secara garis besar, kegiatan belajar
terutama dilakukan untuk (1) mendapatkan pengetahuan, (2) memperoleh
keterampilan, dan (3) menuju kematangan sikap. Secara khusus, tujuan belajar
mengacu pada konsep instructional effect yang secara eksplisit dinyatakan dalam
bentuk “jangkauan kemampuan” (level of competense), sebagaimana terinci dalam
beberapa taksonomi tujuan pembelajaran.
Jadi, problematik pembelajaran sastra adalah suatu masalah yang menjadi
penghambat dalam pencapian tujuan pembelajaran sastra. Problematik
pembelajaran sastra dapat dilihat dalam komponen pembelajaran yang bersifat
fungsional dan saling berkaitan (integral). Enam komponen utama pembelajaran
yang terdiri dari (1) tujuan pembelajaran, (2) bahan atau materi pelajaran, (3)
kegiatan atau proses pembelajaran, (4) metode dan pendekatan, (5) media dan
sumber bahan, serta (6) evaluasi pembelajaran. Semua komponen tersebut sudah
tentu tidak bisa lepas dari kurikulum yang berlaku serta keterlibatan guru dan
9
siswa. Semua komponen tersebut harus dapat difungsikan secara maksimal dalam
upaya mencapai tujuan pembelajaran.
Problematik atau “rangkaian masalah” akan selalu ada dalam setiap kegiatan
pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Hal ini berkaitan
erat dengan masalah faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar-mengajar,
pembahasan tentang problematik pembelajaran bahasa dan sastra akan secara
langsung difokuskan pada aspek-aspek dominan yang sering mengemukakan
sebagai suatu rangkaian masalah. Aspek-aspek tersebut berhubungan dengan
faktor guru dan siswa, cara pandang masyarakat, sarna dan prasarana,
pembelajaran, metode dan pendekatan yang digunakan sistem evaluasi, serta
dialektika seputar muatan dan pesan kurikulum yang berlaku.
2. Pembelajaran sastra
Dosen Universitas Singapore, Dr. Azhar Ibrahim Alwee (dalam makalah
Deni Ardian, dkk. 2011) mengatakan, pembelajaran sastra sangat penting dalam
pembangunan karena akan mendorong masyarakat bisa bersikap lebih kritis.
Pembelajaran sastra akan mengacu kepada kesadaran sosial yang kritis, sehingga
pembangunan akan menjadi terarah, kata Azhar, saat menjadi pembicara dalam
seminar internasional, di Palembang.
Seminar internasional bahasa, sastra dan budaya digelar di Palembang, 1-2
Juni 2010 dilaksanakan Forkibastra Balai Bahasa Sumsel. Menurut Azhar, makna
dari sastra dapat mengarahkan kepada pemberdayaan yang bukan saja membuat
orang menjadi tegas, tetapi juga mampu menghadapi tantangan di masa
10
mendatang. Identitas manusia harus tegas dan bebas dari ketergantungan, dan itu
bisa dapat dalam pelajaran sastra, ujarnya.
Menurut Lazar (dalam artikel Ian_Mandiri, 2011), beberapa manfaat yang
dapat diperoleh dari pembelajaran sastra, antara lain yaitu:
1) Memberikan motivasi kepada siswa
Apabila materi pembelajaran sastra dipilih secara cermat dan hati-hati, siswa
akan merasakan bahwa apa yang mereka pelajari adalah sesuatu yang relevan dan
bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam konteks ini, sastra mampu menunjukkan
kepada siswa tema-tema yang kompleks tetapi segar dan menggambarkan
penggunaan bahasa yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
2) Memberi akses pada latar belakang budaya
Sastra dapat membantu siswa memahami budaya masyarakat yang menjadi
latar dalam teks sastra yang sedang dipelajari. Namun hal ini cukup rumit,
mengingat dalam memahami hubungan antar budaya, sastra tidak
menyampaikannya dengan sederhana, karena beberapa karya sastra seperti novel,
cerpen, atau puisi dapat diklaim sebagai dokumentasi yang murni dari budaya
masyarakat. Sementara, kebenaran dalam sastra itu sesungguhnya tidaklah mutlak.
3) Memberi akses pada pemerolehan bahasa
Sastra menyediakan sebuah cara yang tepat untuk pemerolehan bahasa,
seperti menyediakan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam proses
penginterpretasian bahasa baru. Melalui sastra, siswa dapat meningkatkan
kemampuan berbahasanya, melakukan proses pembelajaran sastra dan bahasa,
sehingga keduanya dapat saling memberikan manfaat.
11
4) Memperluas perhatian siswa terhadap bahasa
Dalam konteks ini sebuah novel atau cerpen dapat membantu siswa dalam
memahami dan menginterpretasikan berbagai tema dengan lebih mudah. Melalui
kegiatannya dalam memahami makna sebuah teks sastra, siswa dapat melatih
kepekaannya dalam menggunakan bahasa.
5) Mengembangkan kemampuan interpretatif siswa
Sastra adalah sumber yang bagus untuk mengembangkan kemampuan siswa
dalam memahami makna dan membuat interpretasi. Sastra, dapat membuat
pembacanya hanyut dalam asumsi teks ketika berusaha untuk memahami
maknanya. Sastra menyediakan kesempatan yang baik kepada siswa untuk
memahmi maknanya. Sastra menyediakan kesempatan yang baik kepada siswa
untuk mendiskusikan dan menginterpretasikan pendapat mereka sendiri.
Berdasarkan fakta yang terdapat dalam teks. Bila siswa berinteraksi dengan
berbagai macam ambiguitas dalam teks sastra, guru dapat membantu siswa
mengembangkan keseluruhan kapasitasnya dalam memahami makna.
Kemampuan tersebut sangat bermanfaat bagi siswa ketika siswa harus
membuat interpretasi berdasarkan fakta-fakta yang dinyatakan secara tidak
langsung dalam kehidupan nyata.
6) Mendidik siswa secara keseluruhan
Sastra memliki berbagai macam fungsi edukasi. Pembelajaran sastra di
dalam kelas, dapat membantu siswa menstimulasikan imajinasi, mengembangkan
kemampuan kritis dan meningkatkan perhatian emosionalnya. Apabila siswa
diminta untuk memberikan respon secara personal terhadap teks sastra yang
12
dibaca, siswa akan menjadi lebih percaya diri dalam mengekspresikan ide mereka,
dan mengekspresikan emosinya. Selain itu, siswa termotivasi untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menguasai teks sastra dan memahami bahasa, serta dalam
menghubungkan teks sastra yang dibaca tersebut dengan nilai-nilai dan tradisi dari
masyarakatnya.
Dalam proses pembelajaran hendaknya harus mencapai sebuah tujuan
pengajaran. Tujuan pengajaran ini bisa dilihat dari perubahan dari siswa setelah
proses pembelajaran. Perubahan seperti mencakup aspek tingkah laku, ilmunya
yang bertambah, kecakapannya berkembang, intinya perubahan yang ke arah
positif. Apabila hal ini sudah tampak pada siswa, maka tujuan pengajaran
tercapai. Untuk menilai tercapai atau tidaknya tujuan ini, guru bisa mengadakan
evaluasi.
Guru dalam proses pembelajaran mempunyai peran yang penting.
Bagaimanapun hebatnya proses pembelajaran. Teknologi yang hebat sekalipun
yang dihadirkan melalui media pembelajaran, tetap tidak akan mampu
menggantikan peran seorang guru. Untuk itu Fathurrohman dan Sutikno (2010:
21-32) membahas tentang cara mengoptimalkan peran guru dalam proses
pembelajaran. Ia menyatakan peran guru sebagai sumber belajar yang menguasai
materi pelajaran, sebagai fasilitator yang memudahkan siswa dalam kegiatan
proses pembelajaran, sebagai pengelola yang menciptakan iklim belajar yang
memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman, sebagai demonstrator yang
mampu menunjukkan sikap terpuji dan bagaimana caranya agar setiap materi
pelajaran bisa lebih dipahami dan dihayati oleh siswa, sebagai pembimbing yang
13
selalu membimbing siswanya menemukan berbagai potensi yang dimiliki sebagai
bekal hidup mereka untuk mencapai tujuan yang menjadi harapan bagi orang tua
dan masyarakat, sebagai motivator yang selalu memotivasi siswanya, dan juga
sebagai evaluator yang menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan juga
menentukan keberhasilan guru dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang telah
diprogramkan.
3. Pengertian Elong Ogiq
Elong Ogiq sebagai bagian dari kebudayaan, memanifestasikan hasrat, jiwa,
dan kehendak yang terkandung dalam diri orang Bugis, Namun, Elong Ogiq tidak
diketahui kapan diciptakan dan siapa yang menciptakannya. Dengan tidak
dicantumkan nama penciptanya serta kapan diciptakan elong tersebut, maka hal
ini menandakan bahwa masyarakat pada waktu itu tidak mengenal sifat
individual. Elong itu dianggap sebagai milik bersama, tiap-tiap anggota
masyarakat berhak mempergunakan elong tersebut sebagai tulisan perasaannya
yang sejalan dengan isi elong yang hendak diciptakannya. Ambo Enre (1985: 3)
mengatakan bahwa Elong Ogiq diciptakan oleh beberapa orang atau seorang saja,
tetapi dalam peredarannya ia diubah, disempurnakan oleh anggota masyarakat
yang juga merasa sebagai pemiliknya yang sesuai dengan selera, dan semangat
mereka. Materinya adalah apa-apa yang hidup di tengah masyarakat berupa
kesukaan, kebanggaan, kebencian, dan harapan mereka. Bunyinya merdu, nada
dan isinya sederhana dan alamiah, jenisnya juga bermacam-macam.
Elong Ogiq dapat menjadi sumber pendidikan bagi masyarakat, terutama
masyarakat tradisional, karena mengandung nasihat, hiburan, serta menjadi
14
sumber pengetahuan informasi bagi seorang anak secara khusus dan bagi
masyarakat Bugis secara umum. Elong Ogiq mempunyai sifat-sifat dilihat,
didengar, dan dirasakan secara imajinatif, serta mempunyai makna. Untuk
memahami maka Elong Ogiq diperlukan pengetahuan khusus, karena elong ogiq
mempunyai sifat-sifat tertentu sebagaimana halnya sifat-sifat puisi Indonesia.
Hooykaas (dalam Ambo Enre, 1985: 14) menyebutkan mantra, peribahasa
adat, dan pantun, yang imbalannya dalam bahasa Bugis dikenal dengan nama
pangissengeng, warekkada, dan elong.
Selanjutnya Ambo Enre (1985: 48) mengemukan bahwa puisi lisan Bugis
yang berkedudukan sebagai pengungkapan diri dan berfungsi menyatakan
keyakinan, sikap dan pandangan hidup, semangat juang, cita-cita dan harapan
serta cinta kasih dan kebencian.
Puisi atau dalam masyarakat Bugis disebut dengan elong dapat didefinisikan
dengan sejenis bahasa yang menyapaikan pesannya dengan lebih padat daripada
pemakaian bahasa biasa. Untuk memahami perlu dikenal apa yang dikatakan
sebuah puisi.
Penyajian Elong Ogiq diambil masalah pokok sebagai dasar dengan
memperhatikan penekanan isi dan situasi penyampaian setiap elong, karena batas
yang tegas antara satu jenis elong dengan elong yang lain biasa mengakhiri
kekaburan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa unsur nasihat/pendidikan mungkin
saja terdapat pada elong kepahlawanan atau kegembiraan.
Elong sesungguhnya merupakan sejenis bahasa yang multidimensi bahasa
sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyampaikan informasi, hanyalah
15
bahasa yang lazim dipakai untuk mengomunikasikan pengalaman, paling tidak
mempunyai dimensi, yaitu dimensi intelektual, dimensi merasa, dimensi
emosional, dan dimensi imajinatif.
Bahasa elong juga bersifat asosiatif, artinya setiap kata mampu
membangkitkan pikiran dan perasaan yang merembet, tetapi masih berkisar
makna konvensionalnya atau makna simbolik yang lazim.
Kegandaan tafsir pada elong terutama disebabkan oleh bahasa elong yang
penuh simbol dan perkembangan. Dalam puisi elong yang demikian, masalah
makna kata konvensional terdesak dan penyair memilih kata yang paling dekat
dengan rasa dan intuisi yang dialaminya. Hal ini terutama disebabkan oleh
peresapan nilai-nilai pribadi, perasaan pribadi, dan terutama pribadi ke dalam
bahasa puisi. Konotasi yang dibentuk dan diciptakan penyairnya berdasarkan
perenungan terhadap sesuatu perasaan pribadi tertentu atau pengalaman tertentu
dalam suatu momen tertentu pula. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila
sering terjadi salah tafsir yang dilakukan seseorang terhadap sebuah puisi.
Elong Ogiq merupakan karya sastra dalam bentuk puisi jika diperhatikan
strukturnya serta peranannya dalam masyarakat dapat dikatakan bahwa Elong
Ogiq dapat disejajarkan dengan puisi lama. Misalnya pantun, syair, pepatah, dan
bahasa berirama. Elong Ogiq adalah suatu karya sastra orang Bugis yang sudah
memasyarakatkan dan merupakan pancaran masyarakat Bugis pada zamannya.
4. Jenis Elong Ogiq
Ada beberapa jenis Elong Ogiq yang terdapat dalam masyarakat Bugis. Jenis
Elong tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
16
a. Elong Asimellereng
Elong Asimellereng berisikan ucapan-ucapan mappuji (memuji), elong
maccacca (tak suka). Beberapa contoh di bawah ini sebagai berikut:
1) Elong Mappuji (memuji)
Elong ini merupakan elong sibali (berbalasan) yang biasa dibawakan oleh
dua orang muda-mudi yang dalam bentuk dialog antara individu dengan individu,
untuk menyatakan pikiran dan perasaannya dengan menggunakan suara indah.
Misalnya, seorang pemuda tertarik pada seorang gadis biasanya ia memakai
berbagai cara untuk menyampaikan perasaan hatinya. Hal tersebut dapat dilihat
pada kutipan elong di bawah ini:
“Upappadako camminnge “Umpamakan engkau
kutimpa baja-baja tekku cermin kubuka setiap hari
bokoremmu”(M. Salim, 143) tak membelakangimu”
2) Elong Maccacca (tak suka)
Cinta tak selamanya bersatu. Kata-kata itu biasa didengar, terutama
dikalangan muda-mudi. Kenyataannya memang demikian mereka yang saling
cinta kadang-kadang patah di tengah jalan, bahkan ada diantaranya cinta berubah
menjadi kebencian. Elong ini biasanya dibawakan oleh dua orang (laki-laki dan
perempuan), diiringi alat pada pesta perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan elong di bawah ini:
“Rekko idikiro mutajeng “Kalau kami kau tunggu
Muparinawa-nawa malape kau simpan dam hati
dokomu” (M. Salim 141) lama penyakitmu”
17
b. Elong Assiwolompolonngeng
Elong assiwolompolonngeng ini merupakn elong hubungan antara keluarga
atapun suami istri yang berisikan nasihat tentang kehidupan berumah tangga. Hal
ini dapat dilihat pada contoh elong di bawah ini:
“Minnyak arega napake “Minyak apa dipakai
Pedek malaleng penni makin larut malam
Napade mabello. (M. Salim 157) semakin bersolek”
c. Elong Pangajaq
Pangajaq artinya nasihat adalah suatu petunjuk atau peringatan serta
pelajaran yang baik. Jadi elong pangajaq adalah elong yang berisikan nasihat
yang mengarah ke jalan yang benar. Elong pangajaq biasanya didengar dari orang
dahulu yang memberikan nasihat atau petunjuk yang benar, dan tujuannya tiada
lain hanya mengarahkan ke jalan yang benar, agar nantinya tidak terjerumus ke
dalam hal-hal yang tidak sesuai dengan agama dan adat yang berlaku. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan elong di bawah ini:
“Tudanngak ri pesonaku, “Kududuk bertawakkal,
senre kak ri totoku, bersandar pada nasib,
kutajeng pammase”, kunantikan berkah”
d. Elong Aruk
Elong Aruk adalah elong penghasut semangat yang bersifat perorangan,
biasanya ducapkan oleh seorang panglima perang di hadapan raja sebagai
pernyataan dukugan dan tanda kesetiaan kepada raja. Untuk kejelasannya dapat
dilhat contoh elong di bawah ini :
18
“Malik si parappe “Hanyut saling mendapatkan
rebba si patokkong jatuh saling menegakkan
malilu di pakaingek” lupa saling mengingatkan”
e. Elong Ogiq Maliung Bettuanna
Elong Ogiq Maliung Bettuanna adalah elong yang dalam artinya, sehingga
memerlukan analisis tentang kata-katanya secara tepat dan mendalam. Jadi, untuk
mengerti maksud dan tujuan elong itu, terlebih dahulu dianalisis, terhadap sebuah
frase atau kalimat itu dicari pada kata lain yang mirip ucapannya dengan kata
yang dijadikan sangkutan ide itu. Untuk jelasnya dapat dilihat contoh elong
dibawah ini.
“Lise ampello watakku “Isi kelopak diriku
paccora cappak jari penghias ujung tangan
atikku ri laleng”.(Mahmud 33) hatiku di dalam”
Dari beberapa jenis elong yang penulis kemukakan di atas, tidak semuanya
akan dianalisis problematik dalam pembelajaran elong, penulis hanya menganalisi
pembelajaran jenis Elong Ogiq Maliung Bettuanna.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang problematik pembelajaran bahasa dan sastra memang
sudah banyak. Namun demikian, penelitian tersebut mempunyai aspek dan
pendekatan yang berbeda, hasil penelitian problematik sastra dapat dilihat pada
skripsi Muhammad Nurdin (1999) tentang Problematia Membaca Aksara Murid
Kelas II SLTP 2 Liliriaja, menyatakan bahwa salah satu problematik membaca
aksara murid kurang menguasai baik abjak dan bahasanya.
19
Selanjutnya dalam penelitian Rosmawati (2004) yang berjudul Nilai
Pendidikan Elong Malliung dalam sastra Bugis, objek kajian yang diangkat sama
yaitu Elong Malliung, namun Rosmawati mengkaji tentang nilai-nlai yang
terkandung dalang Elong Malliung. Sedangkan penelitian yang pernah dilakukan
oleh Nurdahlia (2008) yang berjudul Problematik Pembelajaran Sastra Indonesia
di Kelas VIII SMP Negeri 3 Baranti Kabupaten Sidrap. Objek kajian yang
diangkat penelitian ini yaitu sastra Indonesia.
Pada skripsi Anna Satria Ridwan (2013) yang berjudul Etos Kerja dalam
Elong Ogiq di Kabupaten Barru: Tinjauan Sosiologi sastra, mengkaji tentang
ekspresi etos kerja dalam Elong Ogiq di Kabupaten Barru, dan skripsi Andi
Sandra Rahmi (2013) yang berjudul Problematik Pembelajaran Bahasa Bugis
sebagai Muatan Lokal di Sekolah Dasar Kecamatan Bua Kabupaten Luwu,
problematik yang dihadapi yaitu pembelajaran bahasa Bugis di sekolah dasar di
daerah Luwu yang mayoritas siswa berbahasa Tae’.
Dari hasil penelitian yang ada, dibandingkan dengan masalah yang dikaji
oleh setiap penulis tidaklah sama, karena masing-masing memecahkan masalah
dari sudut pandang yang berbeda pula. Namun dari sekian banyak penelitian yang
ada, penulis mendapatkan bahan perbandingan yang berkaitan dengan masalah
yang penulis kaji.
Elong Ogiq Maliung Bettuanna
Guru
Problematik
Pembelajaran Sastra
Siswa
PUISI
20
C. Kerangka Berpikir
Pembelajaran bahasa dan sastra daerah di sekolah belum tentu tercapai
dengan baik. Oleh karena itu, perlu diteliti tentang problematik dalam
pembelajaran sastra khususnya pembelajaran Elong Ogiq Maliung Bettuanna
yang dilokasikan di MTsN Mangempang Kabupaten Barru.
Untuk melihat atau mengetahui problematik dalam pembelajaran bahasa dan
sastra daerah, khususnya problematik yang dihadapi oleh guru dan problematik
yang dihadapi oleh siswa.
Bagan Kerangka Pikir