iii

36
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis atau subtropis dan negara berkembang maupun yang sudah maju. Malaria merupakan penyakit infeksi dengan angka mortalitas terbesar kedua di dunia setelah tuberkulosis. Berdasarkan epidemiologi, malaria masih menjadi penyakit infeksi utama di Indonesia kawasan timur, bahkan juga menjadi masalah bagi daerah di Jawa dan Sumatra yang dahulunya sudah dapat dikendalikan. Dengan perkembangan transportasi, mobilisasi penduduk dunia khususnya dengan berkembangnya dunia wisata, infeksi malaria juga merupakan masalah bagi negara-negara maju karena munculnya penyakit malaria di daerah tersebut. Masalah mortalitas dan morbiditas mempunyai kaitan erat dengan timbulnya resistensi pengobatan dan kewaspadaan terhadap diagnosa dini dan penanganannya (Harijanto, 2010). Secara keseluruhan terdapat 3,2 milyar penderita malaria di dunia. Di Indonesia, pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria 1

Upload: maisyah-nelzima

Post on 11-Jan-2016

214 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

curcuma dan malaria

TRANSCRIPT

Page 1: III

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara

tropis atau subtropis dan negara berkembang maupun yang sudah maju.

Malaria merupakan penyakit infeksi dengan angka mortalitas terbesar

kedua di dunia setelah tuberkulosis.

Berdasarkan epidemiologi, malaria masih menjadi penyakit infeksi

utama di Indonesia kawasan timur, bahkan juga menjadi masalah bagi

daerah di Jawa dan Sumatra yang dahulunya sudah dapat dikendalikan.

Dengan perkembangan transportasi, mobilisasi penduduk dunia khususnya

dengan berkembangnya dunia wisata, infeksi malaria juga merupakan

masalah bagi negara-negara maju karena munculnya penyakit malaria di

daerah tersebut. Masalah mortalitas dan morbiditas mempunyai kaitan erat

dengan timbulnya resistensi pengobatan dan kewaspadaan terhadap

diagnosa dini dan penanganannya (Harijanto, 2010).

Secara keseluruhan terdapat 3,2 milyar penderita malaria di dunia.

Di Indonesia, pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis

dan 350 ribu kasus di antaranya dikonfirmasi positif. Sedangkan tahun

2007 menjadi 1,75 juta kasus dan 311 ribu di antaranya dikonfirmasi

positif. Sampai tahun 2007 masih terjadi KLB dan peningkatan kasus

malaria di 8 propinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, 30 desa dengan jumlah

penderita malaria positif sebesar 1256 penderita, 74 kematian. Jumlah ini

mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006, di mana terjadi KLB di

7 propinsi, 7 kabupaten, 7 kecamatan dan 10 desa dengan jumlah penderita

1107 dengan 23 kematian (Renny, 2009).

Parasit malaria termasuk genus Plasmodium. Plasmodium

falciparum merupakan jenis yang paling berbahaya dibandingkan dengan

jenis Plasmodium lain yang menginfeksi manusia, yaitu P. vivax, P.

malariae, dan P. ovale. Hal tersebut karena spesies ini banyak

1

Page 2: III

menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada manusia (Harijanto,

2010).

Pemberantasan malaria sudah dimulai sejak tahun 1959. Kendala

pemberantasan adalah munculnya resistensi parasit terhadap obat.

Resistensi Plasmodium falciparum pertama kali ditemukan di daerah

Kalimantan Timur pada tahun 1974, kemudian resistensi ini meluas dan

pada tahun 1996 sudah ditemukan di seluruh Indonesia (Acang, 2002).

Penyebab utama resistensi adalah penggunaan obat malaria yang

tidak adekuat dan tidak sesuai dengan aturan pemakaian (Suwandi, 2007).

Di daerah terpencil dan minim sarana transportasi, masyarakat sering

mengkonsumsi obat secara bebas, seperti klorokuin dan sulfadoksin yang

mudah ditemukan di pasaran. Lebih membahayakan lagi, obat yang dijual

bebas tersebut adalah obat palsu yang didapat dari black market (illegal)

(Harijanto, 2010).

Masalah inilah yang mendorong penulis untuk mempelajari adakah

alternatif anti malaria lain yang berasal dari alam dan mudah ditemukan

dalam lingkungan tropis Indonesia, sehingga menjadi alternatif yang

solutif terhadap pengobatan malaria dan pencegahan resistensinya.

Sebagai negara tropis, Indonesia banyak memiliki potensi alam

berupa tanaman berkhasiat obat. Hingga saat ini, secara turun temurun,

masyarakat masih sering menggunakan kunyit (Curcuma domestica) untuk

menyembuhkan berbagai macam penyakit, salah satunya adalah malaria

(Winarto, 2003). Berdasarkan banyak penelitian, kunyit mengandung

senyawa kurkumin yang bersifat anti parasit dan tinggi antioksidan.

Berbagai penelitian menunjukkan efek biologis kurkumin di antaranya

adalah menghambat multi drug resistance (MDR), anti kanker, mencegah

aterosklerosis dan infark miokardium, mensupresi diabetes, stimulasi

regenerasi otot, mempercepat penyembuhan luka, dll (Aggarwal et al.,

2005).

Berdasarkan fakta tersebut, muncul gagasan pemanfaatan ekstrak

kurkumin sebagai anti malaria terhadap parasit yang resisten. Hal ini

2

Page 3: III

merupakan salah satu optimalisasi pemanfaatan kekayaan sumber daya

hayati Indonesia dalam mengatasi permasalahan kesehatan di tanah air

kita.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah,

yaitu:

Apakah kurkumin pada kunyit (Curcuma domestica) dapat menjadi

alternatif pengobatan dalam menangani Plasmodium falciparum?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah kurkumin

pada kunyit (Curcuma domestica) dapat menjadi alternatif pengobatan

dalam menangani Plasmodium falciparum.

1.4. Manfaat Penulisan

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

menambah wawasan dan menyumbangkan solusi mengenai

penanggulangan masalah malaria falciparum di Indonesia. Di samping

itu juga diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian-

penelitian selanjutnya.

3

Page 4: III

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Malaria

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium

yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk

aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa

demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Malaria dapat berlangsung

akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi

ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria

berat (Sudoyo, 2009).

Selain menginfeksi manusia, Plasmodium juga menginfeksi

binatang lain seperti golongan burung, reptil, dan mamalia. Secara

keseluruhan ada lebih dari 100 Plasmodium yang menginfeksi binatang

(82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang primata (Sudoyo,

2009).

Parasit malaria termasuk dalam genus Plasmodium. Pada manusia

terdapat 4 spesies, yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,

Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale (Mandal, 2002).

Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah Plasmodium vivax yang

menyebabkan malaria tertiana (benign malaria) dan Plasmodium

falciparum yang menyebabkan malaria tropika (malignan malaria)

(Sudoyo, 2009).

4

Page 5: III

Taksonomi Plasmodium

Kingdom Protista

Phylum Apicomplexa

Class Aconoidasida

Ordo Haemosporida

Family Plasmodiidae

Genus Plasmodium

Species Plasmodium falciparum

Plasmodium vivax

Plasmodium malariae

Plasmodium ovale

Tabel 1. (sumber: anonim, 2000).

2.2 Malaria falciparum

2.2.1. Siklus hidup Plasmodium falciparum

Dalam siklus hidupnya Plasmodium falciparum mempunyai dua

hospes yaitu vertebra dan nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes

disebut skizogoni dan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam

nyamuk disebut sporogoni (Tarigan, 2003).

2.2.1.1. Siklus aseksual

Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina

masuk ke dalam hospes vertebra (manusia) melalui tusukan nyamuk

tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit sporozoit tersebut mengikuti

peredaran darah dan memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai stadium

eksoeritrositik dari pada siklus hidupnya. Di dalam sel-sel hati parasit

tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang

mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian

difagosit. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka

disebut stadium preeritrosit atau eksoeritrositik.

Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki eritrosit.

Plasmodium tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sitoplasma

5

Page 6: III

yang membesar, dengan bentuk tidak teratur dan mulai membentuk

tropozoit. Tropozoit berkembang menjadi skizon muda kemudian menjadi

skizon matang dan membelah banyak menjadi merozoit.

Dalam eritrosit, Plasmodium mengubah hemoglobin menjadi

globin dan hematin. Hematin dimodifikasi menjadi pigmen malaria yang

khas. Globin dipecah oleh enzim proteolitik dan dicerna. (Jawetz, 2008).

Dengan selesainya pembelahan skizon matang menjadi banyak

merozoit, sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen, sisa sel keluar dan

memasuki plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk

mengulangi siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit baru

dan membentuk skizon sedangkan merozoit lain membentuk gametosit

yaitu bentuk seksual dari Plasmodium (Tarigan, 2003).

2.2.1.2. Siklus seksual

Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Pada makrogamet

(jantan) kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang bergerak ke pinggir

Plasmodium. Di pinggir Plasmodium ini dibentuk beberapa filamen seperti

cambuk dan bergerak aktif yang disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi

karena mikrogamet masuk ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot.

Zigot akan berubah bentuk menjadi seperti cacing pendek dan

disebut ookinet. Ookinet dapat menembus lapisan epitel dan membran

basal dinding lambung. Pada dinding lambung ini ookinet membesar dan

disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit yang

menembus kelenjar dan masuk ke kelenjar ludah nyamuk dan bila nyamuk

menggigit/menusuk manusia maka sporozoit masuk ke dalam darah dan

dimulailah siklus preeritrositik (Tarigan, 2003).

6

Page 7: III

Gambar 1. Siklus Hidup P. falciparum (sumber: Felix, 2007)

2.2.2. Patofisiologi Malaria falciparum

Menurut Gandahusada (2006), patofisiologi malaria adalah

multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:

2.2.2.1. Penghancuran Eritrosit

Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang

mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang

mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga

menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis

intravaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever)

dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.

2.2.2.2.Mediator Endotoksin-Makrofag

Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung P. falciparum

memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai

mediator berupa sitokin yang berperan dalam perubahan patofisiologi

7

Page 8: III

malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal

dari rongga saluran cerna.

Sitokin merupakan respon imun nonspesifik yang ditujukan untuk

menghambat pertumbuhan Plasmodium secara tidak langsung dengan

mengaktifkan leukosit untuk menghasilkan radikal bebas yang akan

mematikan Plasmodium tersebut. Selain itu, sitokin berfungsi

mengaktifkan sel-sel imun lain seperti makrofag, limfosit T dan B, sel NK

untuk berproliferasi dan menghasilkan lebih banyak mediator guna bekerja

sama mengatasi infeksi.

Di sisi lain, sitokin mempunyai efek biologis metabolik seperti

hipoglikemia, menimbulkan pireksia, memicu reaksi radang, dan dalam

kadar tinggi/berlebihan dapat merusak sel terutama endotel, bahkan dapat

menguntungkan pertumbuhan Plasmodium karena meningkatkan

perlekatan Plasmodium darah stadium matur pada permukaan endotel

vaskuler (sitoadherens). Perlekatan terjadi melalui peningkatan ekspresi

molekul adhesi pada endotel. Di sini terlihat peran ganda sitokin, pada

kadar yang tepat bersifat protektif, namun pada kadar yang berlebihan

justru berefek patologis (Harijanto, 2010).

Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi

malaria adalah TNF (Tumor Necrosis Factor). TNF dapat ditemukan

dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria.

2.2.2.3.Sekuestrasi Eritrosit

Sitoadherens menyebabkan parasit dalam eritrosit matur tidak

beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang

tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut parasit matur yang

mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi

karena pada Plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh

darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua

jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti

dengan hepar dan ginjal, paru, jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi inilah

yang diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat

8

Page 9: III

(Harijanto, 2009).

2.2.3. Manifestasi Klinis Malaria falciparum

Malaria falciparum merupakan bentuk yang paling berat ditandai

dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia sering

dijumpai, dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasinya adalah 9-14

hari. Malaria falciparum mempunyai angka parasitemia yang tinggi dan

menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang sering dijumpai

yaitu sakit kepala, nyeri belakang atau tungkai, lesu, perasaan dingin,

mual, muntah, dan diare. Parasit sulit ditemui pada penderita dengan

pengobatan supresif. Panas biasanya ireguler dan tidak periodik, sering

terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atas 40°C. Gejala lain berupa

konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun temperatur

normal.

Apabila infeksi memberat, nadi menjadi cepat, nausea, muntah,

diare menjadi berat dan diikuti kelainan paru (batuk). Splenomegali

dijumpai lebih sering dari hepatomegali dan nyeri pada perabaan. Hati

membesar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin dapat berupa

albuminuria hialin dan kristal yang granuler. Anemia lebih menonjol

dengan leukopenia dan monositosis (Sudoyo, 2009).

2.2.4. Diagnosis Malaria falciparum

Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan

parasit dalam darah yang diperiksa dengan mikroskop. Peranan diagnosis

laboratorium terutama untuk menunjang penanganan klinis (Syam, 2008).

9

Page 10: III

Beberapa gambaran khas parasit malaria falciparum (preparat dengan

pewarnaan romanowsky):

Sel darah merah yang

mengandung parasit

Tidak membesar. Bintik kasar (celah

Maurer). Menginvasi semua sel darah

merah tanpa memandang usia.

Derajat parasitemia

maksimum umumnya

Dapat melebihi 200.000/µl; sering

50.000/µl.

Trofozoit stadium cincin Cincin kecil (1/5 diameter sel darah

merah). Sering dua granula; infeksi

multiple sering; cincin halus, dapat

menempel pada sel darah merah.

Pigmen pada trofozoit yang

sedang berkembang

Kasar; hitam; sedikit kelompok.

Trofozoit yang lebih tua Padat dan bulat.

Skizon matang (segmenter) Biasanya lebih dari 12 merozot (8-32).

Sangat jarang di daerah perifer.

Gametosit Bulan sabit.

Distribusi di darah perifer Hanya cincin dan bentuk bulan sabit

(gametosit).

Tabel 2. (Sumber: Brooks, 2008)

Menurut Syam (2008) terdapat beberapa teknik diagnoisis malaria,

di antaranya:

2.2.4.1.Mikroskop cahaya

Sediaan darah dengan pulasan Giemsa merupakan dasar dari

pemeriksaan dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan sediaan darah tebal

dilakukan dengan memeriksa 100 lapangan mikroskopis dengan

pembesaran 500-600 kali yang setara dengan 0,20 µL darah. Jumlah

parasit dapat dihitung per lapangan mikroskopis.

10

Page 11: III

2.2.4.2.Teknik QBC (Quantitavie Buffy Coat)

Pulasan jingga akridin (acridine orange) yang berfluoresensi

dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan salah satu hasil

usaha ini, tetapi masih belum dapat digunakan secara luas seperti

pemeriksaan sediaan darah tebal dengan pulasan Giemsa menggunakan

mikroskop cahaya biasa.

2.2.4.3.Teknik Kawamoto

Merupakan modifikasi teknik pulasan jingga akridin yang memulas

sediaan darah bukan dengan giemsa tetapi dengan akridin dan diperiksa

dengan mikroskop cahaya yang diberi lampu halogen.

2.2.4.4.Teknik dip-stick

Dapat mendeteksi secara imuno-enzimatik suatu protein kaya

histidin II yang spesifik parasit (immuno enzymatic detection of the

parasite spesific histidine rich protein II). Tes spesifik untuk Plasmodium

falciparum telah dicoba pada beberapa negara, antara lain di Indonesia.

Tes ini sederhana dan cepat karena dapat dilakukan d alam waktu 10 menit

dan dapat dilakukan secara massal. Selain itu, tes ini dapat dilakukan oleh

petugas yang tidak terampil dan memerlukan sedikti latihan.

2.2.5. Terapi

Di sebagian besar daerah di dunia, Plasmodium falciparum telah

resisten terhadap pengobatan konvensional. Hal ini adalah akibat dari

pengobatan monoterapi dari klorokuin, sulfadoxin-pyrimetamin, atau obat

anti malaria lain yang melawan malaria. WHO merekomendasikan

menggunakan kombinasi obat anti malaria untuk mengurangi risiko

resisten terhadap obat, yaitu kombinasi yang mengandung derivat

artemisinin-suatu ekstrak tanaman Artemisia annua- bersama obat anti

malaria lain yang efektif. Kombinasi ini disebut terapi kombinasi berbasis

artemisinin/Artemisinin-based Combination Therapies (ACTs). Saat ini

ACTs adalah pengobatan paling efektif untuk malaria, dengan 95% angka

kesembuhan mengatasi malaria falciparum (WHO, 2009).

11

Page 12: III

2.2.5.1. Klorokuin

Klorokuin dan obat antimalaria kuinolin lainnya efektif melawan

Plasmodium stadium intra eritrositik yang sedang aktif menghasilkan

pigmen. Stadium parasit yang tidak memiliki pigmen atau tidak aktif

menghasilkan pigmen seperti pada stadium eksoeritrositik di hati,

gametosit di tubuh nyamuk tidak akan terbunuh oleh obat ini. Oleh karena

itu aksi obat berhubungan dengan produksi pigmen.

Target utama antimalaria kuinolin adalah polimerisasi hem. Proses

ini merupakan proses detoksifikasi hem di vakuola makanan oleh parasit

malaria stadium intraeritrositik. Hem adalah produk penghancuran

hemoglobin dan digunakan oleh parasit sebagai sumber utama pemasok

asam amino penting. Hem bersifat sangat toksik untuk parasit oleh karena

itu hem akan diubah menjadi bentuk kristal polimer yang tidak dapat

dipecah, yang disebut haemozoin (pigmen malaria) yang tidak toksik

terhadap parasit (Fatriyadi, 2010 ).

Resistensi P. falciparum terhadap klorokuin ditemukan di hampir

seluruh daerah endemi malaria. Di Indonesia dilaporkan kasus resistensi

P. falciparum terhadap klorokuin di 27 propinsi walaupun kasusnya tidak

banyak dan tidak merata. Hasil uji efikasi in vivo di NTT, Lampung,

Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Sumatra Utara memperlihatkan

tingginya angka kegagalan klorokuin untuk pengobatan P. falciparum.

Berdasarkan hal tersebut, sejak akhir tahun 2004 Depkes tidak lagi

menganjurkan penggunaan klorokuin untuk pengobatan malaria

falciparum kecuali pada hal khusus seperti ibu hamil (Sutanto, 2005).

2.2.5.2 Kina

Kina merupakan obat anti malaria kelompok alkaloida kinkona

yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis plasmodium manusia

dan gametosida P. Vivax, P. ovale dan P. malariae. Mekanisme kerja kina

sebagai obat antimalaria belum sepenuhnya dipahami, diduga menghambat

detoksifikasi heme parasit dalam vakuola makanan (Harijanto, 2010).

12

Page 13: III

Efek samping yang ditimbulkan berupa sinkonisme (ringan sampai

sedang) dengan gejala telinga berdenging, sakit kepala, gangguan

keseimbangan, penglihatan kabur, pusing dan depresi. Efek samping ini

sangat mengganggu terutama pada wanita sehingga obat kadang-kadang

harus dihentikan walaupun sebenarnya hanya bersifat sementara dan

menghilang bila obat dihentikan.

2.2.5.2 Artemisinin

Artemisinin dan derivatnya merupakan skizonosida darah yang

sangat poten terhadap semua spesies Plasmodium. Derivat artemisinin

bekerja dengan menghambat enzim yang berperan dalam masuknya

kalsium ke dalam membran parasit, yaitu enzim adenosin trifosfatase

(PfATPase6). Selain itu, derivat artemisinin juga bekerja denga

menghambat hemoglobinase, menghambat detoksifikasi oleh feroheme,

alkilasi DNA, pembentukan radikal bebas, oksidasi dan alkilasi protein,

menghambat peroksidasi lipid (Harijanto, 2010).

Kelemahan dari kelompok artemisinin ini adalah memerlukan

waktu pengobatan lama apabila hanya menggunakan obat artemisinin saja.

Namun, bila dikombinasikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

dalam kombinasi obat ini, yaitu efek samping neurotoksik yang ditemukan

pada binatang percobaan dengan dosis tinggi (tikus dan anjing), keamanan

pada kehamilan, banyaknya beredar obat palsu, dan harganya yang relatif

masih mahal. (Tjitra, 2004)

2.3 Kurkumin

2.3.1. Aspek Kimia Kurkumin

Kurkumin, atau 1,7-bis-(4 hidroksi-3-metoksi fenil) hepta-1,6-

diena-3,5-dion merupakan senyawa α,β diketon asiklik diaril yang

berwujud kristal kuning jingga. Di alam, kurkumin selalu terdapat bersama

dengan senyawa turunan lainnya yaitu demetoksikurkumin dan bis-

demetoksikurkumin, yang dikenal dengan nama kurkuminoid (Tonnesen

dan Karlsen, 1985 lih, Hadiprabowo, 2009).

13

Page 14: III

Gambar 2. Struktur kimia kurkmin (Sumber: Sapko, 2009)

Sifat-sifat kurkumin adalah sebagai berikut:

- Berat molekul : 368,37 (C = 68,47 %; H = 5,47 %; O = 26,06 %)

- Warna: kuning terang

- Larut dalam alkohol dan asam asetat glasial

- Tidak larut dalam air

(Hardjono, Yamrewav, 2004)

2.3.2. Manfaat Kurkumin

Kurkumin memperlihatkan aktivitas farmakologis yang cukup luas,

termasuk aktivitas anti inflamasi, anti karsinogenik, dan anti infeksi. Efek

anti inflamasi dan anti karsinogenik pada kurkumin sebagian besar

bergantung pada aktivitas antioksidannya. Sebagai tambahan, kurkumin

juga memiliki aktivitas melawan bakteri, jamur dan protozoa. Efek

sitotoksik dan parasitidal pada kurkumin terhadap parasit protozoa telah

diujikan pada kultur terhadap Leishmania, Trypanosoma Giardia, dan

Plasmodium falciparum (Cui, 2006).

Kurkumin juga terlihat memiliki aksi anti inflamasi in vitro dan in

vivo (Sapko, 2009). Molekulnya mengatur cyclooxygenase-2 (COX-2) dan

nitric oxide synthase (iNOS) dan menghambat produksi tumor necrosis

factor (TNF). Semua efek molekuler ini bekerja mengurangi inflamasi.

(Sapko, 2009)

14

Page 15: III

Ilmu biomedik dan kedokteran barat baru-baru ini mulai

mempelajari kemungkinan aktivitas biologis dan terapeutik dari kurkumin.

Pengujian in vitro menunjukkan bahwa kurkumin adalah antioksidan kuat.

Hal ini berarti bahwa kurkumin mampu menetralkan jenis oksigen reaktif/

reactive oxygen species (ROS) berbahaya yang berupa radikal bebas.

(Bengmark, 2009 lih, Sapko, 2009).

Kurkumin berpengaruh terhadap level intraseluler ROS. Kurkumin

mengandung senyawa yang bersifat antioksidan tergantung pada

konsentrasinya (Cui, 2006).

2.3.3. Bioavailabilitas Kurkumin

Kemampuan obat yang diminum mencapai darah disebut

bioavailabilitas. Sayangnya, bioavailabilitas kurkumin rendah. Kesulitan

penggunaan kurkumin adalah ketika dikonsumsi secara oral, jumlah yang

diserap oleh usus cukup rendah. Pertama, molekul harus diserap oleh usus

agar dapat memasuki aliran darah. Jika tidak, molekul hanya akan lewat.

Sebagian besar kurkumin yang dikonsumsi secara oral hanya lewat dan

sampai di feses. Kurkumin yang dapat diserap usus langsung

dimetabolisme oleh hati, yang mengubahnya menjadi molekul terkait

lainnya seperti glukuronat kurkumin dan sulfat kurkumin (Sapko, 2009).

Namun, masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan analog dari

kurkumin, seperti EF24, yang memiliki aktivitas biologis dan

bioavailabilitas lebih tinggi dibanding kurkumin (Thomas et al, 2008).

2.3.4. Pemanfaatan Kurkumin

Kurkumin adalah nama dari senyawa kimia yang ditemukan dalam

rempah kunyit (Curcuma domestica). Selain kunyit, ada juga beberapa

tanaman yang mengandung kurkumin, misalnya temulawak dan temu

hitam. (Hardjono, Yamrewav, 2004) Kunyit dan perluasan dari kurkumin

adalah anggota dari keluarga jahe yang berasal dari Asia bagian Tenggara.

Nama kimianya adalah dipheruloylquinon (juga dikenal sebagai

diferuloylmethan) dan merupakan polifenol utama dalam rempah-rempah

ini (Sapko, 2009).

15

Page 16: III

Kunyit dikenal sebagai bumbu umum untuk masakan India dan

sebagai komponen utama kari. Selain perannya dalam aroma dan pewarna

makanan, kurkumin telah digunakan dalam pengobatan tradisional India

selama ribuan tahun untuk mengobati penyakit yang berbeda dan

bervariasi banyak seperti sakit perut, infeksi saluran kencing, dan penyakit

hati. Ini juga telah digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit kulit

dalam bahwa sistem kuno perawatan kesehatan (Sapko, 2009).

16

Page 17: III

BAB III

METODE PENULISAN

3.1. Pengambilan Data

Data yang diperoleh dalam karya tulis ini bersumber dari jurnal,

review artikel, buku-buku teks, buku pendamping lainnya, maupun artikel

yang bersumber dari internet.

3.2. Pengolahan Data

Data dalam karya tulis ini diolah dengan analisis deskriptif

kualitatif kemudian direduksi untuk memperoleh data yang akurat.

3.3. Analisis data

Data dalam karya tulis ini dianalisis dari berbagai sumber berupa

jurnal, review artikel, buku-buku teks, buku pendamping lainnya, maupun

artikel yang bersumber dari internet, dan kemudian ditarik suatu

kesimpulan berdasarkan analisis yang telah dibuat.

17

Page 18: III

BAB IV

ANALISIS DAN SINTESIS

4.1. Peran Ganda Sitokin TNF dalam Infeksi Malaria

Eritrosit terinfeksi parasit yang pecah sewaktu proses skizogoni

mengeluarkan berbagai toksin seperti glycosylphosphatidylinositols (GPI),

hemozosin, atau mungkin antigen parasit lain seperti MSP-1, MSP-2,

RAP-1. Toksin tersebut akan merangsang makrofag dan limfosit T helper

menghasilkan berbagai sitokin pro inflamasi, seperti TNF-α, IL-1, IL-6,

IL-8, IL-12, dan IFN-γ.

Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi

malaria adalah TNF (Tumor Necrosis Factor). Pada kadar rendah, TNF

bekerja pada leukosit dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada kadar

sedang, TNF berperan dalam inflamasi sistemik. Pada kadar tinggi, TNF

menimbulkan kelainan patologik syok septik (Karnen, 2006).

TNF menginduksi terjadinya perubahan pada neutrofil, yaitu

pelepasan enzim lisosomal, ekspresi reseptor permukaan, seperti reseptor

Fc dan integrin, adhesi, dan migrasi kemotaktik, sehingga neutrofil dapat

mengoptimalkan fungsi fagositosisnya terhadap Plasmodium. Secara

normal, pelepasan TNF ditujukan untuk mengaktifkan leukosit yang akan

menghasilkan radikal bebas untuk mematikan Plasmodium.

Di sisi lain, TNF yang berlebihan meningkatkan risiko sekuestrasi

sel neutrofil dalam pembuluh darah paru, sehingga mengganggu peran

neutrofil untuk membunuh P. falciparum. TNF juga meningkatkan

ekspresi molekul adhesi seperti ICAM1, VCAM-1, Elam-1, dan CD36

pada sel-sel endotel kapiler sehingga meningkatkan sitoadherens eritrosit

yang terinfeksi P. falciparum. Peningkatan sitoadherens tersebut

meningkatkan kemungkinan terjadinya malaria serebral (Harijanto, 2010).

Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria

falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia,

hiperparasitemia dan beratnya penyakit. Sitokin tersebut juga akan

18

Page 19: III

memicu enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada sel endotel

vaskular untuk menghasilkan nitrit oksid (NO). Diduga sitokin dan NO

dalam jumlah banyak dapat mengganggu fungsi sel serta fungsi organ

tertentu (Harijanto, 2010).

Ringkasnya, peningkatan produksi TNF merupakan respon positif

terhadap infeksi P. falciparum, tetapi tingkat produksi yang berlebihan

dapat menyebabkan gangguan fatal yang dapat menyebabkan kematian

(The Lancet, 2004).

4.2. Kurkumin sebagai Anti Inflamasi Menginhibisi TNF Berlebih

Dalam penelitian mengenai efek kurkumin sebagai anti inflamasi,

pemberian stimulus berupa infeksi pada sel endotel menyebabkan TNF

meningkatkan ekspresi molekul adhesi intraseluler-1 (ICAM-1), molekul

adhesi sel vaskuler-1 (VCAM- 1), dan molekul adhesi endotel leukosit-1

(Elam-1). Pemberian kurkumin terhadap peningkatan TNF ini berhasil

menurunkan ekspresi ICAM-1, VCAM-1, dan Elam-1 di sel endotel

(Kumar, et al, 1998).

Kurkumin, sebagai agen anti inflamasi, mampu menginhibisi

molekul yang mengaktivasi TNF berlebih sehingga TNF tidak mampu

meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM1, VCAM-1, Elam-1,

dan CD36 pada sel-sel endotel kapiler sehingga tidak terjadi sitoadherens

eritrosit yang terinfeksi P. falciparum.

4.3. Neutrofil Menghasilkan ROS untuk Membunuh Senyawa Asing

Neutrofil merupakan 70% dari jumlah leukosit dalam sirkulasi.

Biasanya hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum

bermigrasi. Butir-butir azurofilik primer (lisosom) mengandung hidrolase

asam, mieloperoksidase, dan neutromidase (lisozim), sedang butir-butir

sekunder atau spesifik mengandung laktoferin dan lisozim. Neutrofil

mempunyai reseptor untuk IgG (Fcγ-R) dan komplemen (Widjaja, 2006).

19

Page 20: III

Neutrofil memproduksi radikal bebas yang dikenal sebagai

reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas yang sering ditemui adalah

superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal peroksil, dan radikal

hidroksil (OH.). Karena berupa atom atau kelompok atom dengan elektron

tak berpasangan, radikal bebas sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan

protein, asam nukleat, lipid, dan molekul lain untuk mengubah struktur

molekul-molekul tersebut dan menyebabkan kerusakan jaringan.

ROS menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap protein, DNA,

lemak membran yang mengandung lebih dari satu ikatan rangkap pada

rantai hidrokarbon (polyunsaturated), dan komponen sel lain, sehingga

dapat mematikan sel patogen (Marks, 2001). Mekanisme inilah yang

digunakan neutrofil untuk membunuh senyawa asing yang masuk ke

dalam tubuh (Peake, Suzuki, 2004).

4.4. Kurkumin sebagai Antioksidan Menetralkan Radikal Bebas

Dalam sebuah studi untuk melihat efek antioksidan dari kurkumin,

sebuah penelitian menggunakan radikal bebas sebagai indikator.

Kurkumin direaksikan dengan ROS yang dihasilkan dari pirolisis 2,2 '-

azobis (isobutyronitrile) di bawah atmosfer oksigen, dan produk reaksi

dari kurkumin diamati menggunakan HPLC (high-performanced liquid

chromatography). Reaksi pada 70°C memberikan beberapa produk, tiga di

antaranya diidentifikasi secara struktural berupa vanilin, asam ferulic, dan

senyawa dimer kurkumin. Dimer adalah senyawa yang diidentifikasi

berhubungan dengan aktivitas antioksidan kurkumin. (Toshiya et al,

2004).

20

Page 21: III

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Secara laboratorium, kurkumin yang terkandung dalam kunyit

(Curcuma domestica) mampu bertindak sebagai anti inflamasi pada

malaria dengan menginhibisi TNF berlebih. Kurkumin mampu bertindak

sebagai antioksidan pada malaria dengan memakan sisa radikal bebas dari

penghancuran terhadap Plasmodium dengan menetralkan radikal bebas.

Dengan demikian, kurkumin dapat menjadi alternatif pengobatan dalam

menangani Plasmodium falciparum.

5.2. Saran

5.2.1. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme kerja

kurkumin terhadap penurunan P. falciparum pada penderita malaria

falciparum.

5.2.2. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi masalah

bioavailabilitas kurkumin, sehingga kurkumin dapat bekerja maksimal

dalam tubuh.

21

Page 22: III

DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. EGC. Jakarta

Newman, Dorland A. 2002. Kamus Kedoktran Dorland. EGC. JakartaGlobal Initiative for Asthma (GINA). 2006. Global Strategy for Asthma

Management and Prevention. www.ginasthma.com (18 maret 2011)Anonim. 2009. Meningkatnya Kasus Asma di Sumbar . www.antara-sumbar.com

(18 Maret 2010)Glikis. 2006. Penderita Asma Terus Meningkat. www.gizi.net (18 Maret 2011)Supriyatno, Bambang. 2010. Asma dapat Turunkan Prestasi Belajar.

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/06/04/06252017/Asma.Dapat.T

urunkan.Prestasi.Belajar (18 Maret 2010)

Anonim. 2000. Scientific classification. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=685970. (24 Juni 2010)

Cui, Long, Jun Miao, Liwang Cui. 2006. Cytotoxic Effect of Curcumin on Malaria Parasite Plasmodium falciparum:Inhibition of Histone Acetylation and Generation of Reactive Oxygen Species. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, February 2007, p. 488-494, Vol. 51, No. 2

Fatriyadi, Jhons. 2010. Mekanisme Kerja Obat Antimalaria Bertarget Degradasi Hemoglobin . http://blog.unila.ac.id/yadisuwandi04/2010/05/06/morfologi-plasmodium/ (21 Juni 2010)

Felix. 2006. Penyakit Rawa-Rawa Yang Mendunia. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=77 (23 Juni 2010)

Gandahusada, Srisasi, et al. 2006. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Hadiprabowo, Timur. 2009. Optimasi Sintesis Analog Kurkumin 1,3-bis- (4-hidroksi-3-metoksi benzilidin) Urea pada Rentang ph 3-4. http://etd.eprints.ums.ac.id/5260/1/K100050298.pdf (21 Juni 2010)

Hardjono, A dan Paskalina Hariyantiwasi Yamrewav. 2004. Ekstraksi Kurkumin Dari Kunyit. http://125.163.204.22/download/ebooks_kimia/makalah/Ekstraksi%20Kurkumin%20dari%20Kunyit.pdf (21 Juni 2010)

22

Page 23: III

Harijanto, Paul N. Malaria dalam:Aru W. Sudoyo, dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing: Jakarta

Harijanto, P. N, Agung Nugroho dan Carta A. Gunawan. 2010. Malaria dari Molekuler ke Klinis Edisi 2. EGC: Jakarta.

Karnen, Barata Widjaja. 2006. Imunologi Dasar. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.Marks, Dawn B, et al. 2001. Biokimia Kedokteran Dasar Sebuah Pendekatan

Klinis. EGC: Jakarta.Masuda, Toshiya, Kayo Hidaka, Ayumi Shinohara, et al. 2004. Chemical Studies

on Antioxidant Mechanism of Curcuminoid:  Analysis of Radical Reaction Products from Curcumin. http://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/jf9805348). (24 Juni 2010)

Murray, Robert K, et al. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. EGC: Jakarta.Peake, Jonathan dan Katsuhiko Suzuki. 2004. Neutrophil Activation, Antioxidant

Supplements and Exercise-Induced Oxidative Stress. http://www.hms.uq.edu.au/docs/jpeakePDF/Peake-and-Suzuki-EIR-2004.pdf. (24 Juni 2010)

Sapko, Michael Todd. 2009. Curcumin's Treatment and Curative Role in Those with Down Syndrome. http://www.cdadc.com/ds/curcumin-and-its-treatment-cure-role-in-down-syndrome.html (21 Juni 2010)

Saroso, Sulianti. 2007.Malaria. http://infeksi.com/malaria/articlesSimamora, Dorta dan Loeki Enggar Fitri. 2007. Resistensi Obat Malaria :

Mekanisme dan Peran Kombinasi Obat Antimalaria untuk Mencegah. http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=126658&src=a (21 Juni 2010)

Sudoyo, Aru W, et al.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing: Jakarta.

Suwandi, Jons Fatriyadi. 2010. Mekanisme Kerja Obat Antimalaria Bertarget Degradasi Hemoglobin.

Syam, Halfian. 2008. Malaria : Diagnosis. http://malariana.blogspot.com/2008/11/malaria-diagnosis.html

(22 Juni 2010)Sutanto I. Berbagai Tantangan dalam Diagnosis dan Pengobatan Malaria pada

Permulaan Abad ke-21. Majalah Kedokteran Indonesia 2005; 55: 559-564.

Tjitra, Emiliana. 2004. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi Artemisinin. http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/data/Emil.pdf (23 Juni 2010)

Tarigan, Jerahim. 2003. Kombinasi Kina Tetrasiklin Pada Pengobatan Malaria Falciparum tanpa Komplikasi di Daerah Resisten Multidrug Malaria.

23

Page 24: III

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. http://library.usu.pdf (20 Juni 2010)

World Health Organization. 2009. What is the best treatment against malaria? Why combine drugs? http://www.who.int/features/qa/26/en/index.html (20 Juni 2010)

Tjitra, Emiliana. 2004. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi Artemisinin. http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/data/Emil.pdf (23 Juni 2010)

24