ii. tinjauan pustaka - ipb...

14
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Mangrove 2.1.1. Karakteristik Hutan Mangrove Kawasan hutan mangrove selain berfungsi secara fisik sebagai penahan abrasi pantai, sebagai fungsi biologinya mangrove menjadi penyedia bahan makanan bagi kehidupan manusia terutama ikan, udang, kerang dan kepiting, serta sumber energi bagi kehidupan di pantai seperti plankton, nekton dan algae. Menurut Supriharyono (2000), 38 jenis mangrove yang tumbuh di Indonesia, di antaranya meupakan marga Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Barringtonia, Luminitzera dan Ceriops. Secara ekologis, pemanfaatan hutan mangrove di daerah pantai yang tidak dikelola dengan baik akan menurunkan fungsi hutan mangrove itu sendiri dan akan berdampak negatif pada potensi biota dan fungsi ekosistem hutan lainnya sebagai habitat. Sekitar 89 spesies mangrove yang diperkirakan tumbuh di dunia terdiri atas 31 genera dan 22 famili. Tumbuhan mangrove tersebut umumnya hidup di hutan pantai Asia Tenggara, yaitu sekitar 74 spesies dan hanya sekitar 11 spesies yang hidup di daerah Caribbean. Dari jumlah ini, sekitar 51% atau 38 spesies hidup di Indonesia. Jumlah ini belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove (Saparinto 2007). Snedaker (1978) mengemukakan hutan mangrove sekelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika yang terlindung dan merupakan lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove adalah hutan dengan vegetasi yang hidup di muara sungai, daerah pasang surut dan tepi laut (Baehaqie dan Indrawan 1993). Hutan mangrove disebut juga coastal woodland atau “tidal vegetationatau “hutan bakau” atau “rawa garam” atau “intertidal zone” (Allen 1973). Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur dan daratan secara terus-menerus oleh tumbuhan sehingga secara perlahan-lahan berubah menjadi semi daratan. Kostermans (1982) menyebut mangrove sebagai vegetasi berjalan yang cenderung mendorong terbentuknya

Upload: phungcong

Post on 21-Jun-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Mangrove

2.1.1. Karakteristik Hutan Mangrove

Kawasan hutan mangrove selain berfungsi secara fisik sebagai penahan

abrasi pantai, sebagai fungsi biologinya mangrove menjadi penyedia bahan

makanan bagi kehidupan manusia terutama ikan, udang, kerang dan kepiting,

serta sumber energi bagi kehidupan di pantai seperti plankton, nekton dan algae.

Menurut Supriharyono (2000), 38 jenis mangrove yang tumbuh di Indonesia,

di antaranya meupakan marga Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Sonneratia,

Xylocarpus, Barringtonia, Luminitzera dan Ceriops. Secara ekologis,

pemanfaatan hutan mangrove di daerah pantai yang tidak dikelola dengan baik

akan menurunkan fungsi hutan mangrove itu sendiri dan akan berdampak negatif

pada potensi biota dan fungsi ekosistem hutan lainnya sebagai habitat.

Sekitar 89 spesies mangrove yang diperkirakan tumbuh di dunia terdiri

atas 31 genera dan 22 famili. Tumbuhan mangrove tersebut umumnya hidup di

hutan pantai Asia Tenggara, yaitu sekitar 74 spesies dan hanya sekitar 11 spesies

yang hidup di daerah Caribbean. Dari jumlah ini, sekitar 51% atau 38 spesies

hidup di Indonesia. Jumlah ini belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama

di daerah mangrove (Saparinto 2007).

Snedaker (1978) mengemukakan hutan mangrove sekelompok jenis

tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika

yang terlindung dan merupakan lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan

mangrove adalah hutan dengan vegetasi yang hidup di muara sungai, daerah

pasang surut dan tepi laut (Baehaqie dan Indrawan 1993).

Hutan mangrove disebut juga coastal woodland atau “tidal vegetation”

atau “hutan bakau” atau “rawa garam” atau “intertidal zone” (Allen 1973).

Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan

tanah lumpur dan daratan secara terus-menerus oleh tumbuhan sehingga secara

perlahan-lahan berubah menjadi semi daratan. Kostermans (1982) menyebut

mangrove sebagai vegetasi berjalan yang cenderung mendorong terbentuknya

Page 2: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

8

tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi baru

pada tanah timbul tersebut.

Agustina et al. (2007) juga mengemukakan berbagai bentuk adaptasi

vegetasi mangrove sebagai berikut :

1. Adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, vegetasi mangrove memiliki

bentuk perakaran yang khas, yaitu :

a. bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk

mengambil oksigen dari udara, seperti pada Avicennia spp.,

Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp.

b. bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel, seperti pada

Rhizophora spp.

2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :

a. memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungi menyimpan

garam;

b. berdaun tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk

mengatur keseimbangan garam;

c. daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi

penguapan.

Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut dengan mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Selain untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsure hara dan menahan sedimen. 2.1.2. Zonasi Hutan Mangrove

Pada umumnya lebar zona mangrove jarang melebihi 4 km, kecuali pada beberapa estuarine

serta teluk yang dangkal dan tertutup, pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18 km seperti di Sungai Sembilang Sumatera Selatan atau lebih 30 km seperti di Teluk Bintuni Papua. Hutan mangrove juga menembus hulu sepanjang tebing sungai sejauh 300 km sepanjang Sungai Fly di Nugini. Mangrove biasanya tidak terdapat pada atol-atol dan pulau-pulau yang terisolasi seperti di Hawaii (Saparinto 2007).

Page 3: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

9

Habitat tumbuhan mangrove sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

lingkungan, diantaranya adalah :

a. Pasang surut

Pasang surut adalah proses naik turunnya muka air laut secara

periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan

matahari. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasang surut

tunggal) atau dua kali sehari (pasang surut ganda). Sedangkan pasang

surut yang bererilaku di antara keduanya disebut pasang surut

campuran(Saparinto 2007).

Pasang surut menentukan zonasi komunitas mangrove. Durasi

pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada saat

pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies

mangrove terutama distribusi horizontal. Pada areal yang selalu tergenang

hanya Rhizophora yang tumbuh baik, sedang Bruguiera dan Xylocarpus

jarang mendominasi daerah yang sering tergenang (Saparinto 2007).

b. Salinitas

Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan

salinitas 10 - 30‰. Beberapa spesies dapat tumbuh dengan salinitas tinggi

yaitu Avicennia sp dan Excoecaria sp yang tumbuh dengan salinitas

maksimum 63‰, Ceriops sp 72‰, Sonneratia sp 44‰, Rhizophora

apiculata 65‰ dan R. stylosa 74‰. Curah hujan juga dapat

mempengaruhi kadar garam suatu perairan dan permukaan tanah

mangrove, selain berpengaruh kepada suhu air dan udara. dalam hal ini

mangrove tumbuh subur di daerah dengan curah hujan rata-rata

1500-3000 mm/tahun (Saparinto 2007).

Banyak pohon mangrove tumbuh di lingkungan air asin dan air

tawar. Mangrove tumbuh baik di daerah pasang surut dengan salinitas

yang bervariasi dan kurangnya kompetisi dengan tumbuhan jenis lain yang

tidak beradaptasi dengan air bergaram menyebabkan mangrove

mendominasi vegetasi kawasan pantai (Saparinto 2007).

Page 4: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

10

c. Suhu

Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh radiasi matahari, posisi

matahari, letak geografis, musim, kondisi awan, serta proses interaksi air

dan udara, seperti alih panas, penguapan dan hembusan angin. Suhu air di

perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28 – 380C. suhu dekat pantai

umumnya lebih tinggi di bandingkan dengan suhu di areal lepas pantai

(Saparinto 2007).

Suhu yang baik untuk vegetasi mangrove tidak kurang dari 200C

dan perbedaan suhu musiman tidak melebihi 50C, sedangkan suhu di atas

400C cenderung tidak berpengaruh nyata pada tingkat kehidupan

mangrove. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan yang baik pada

mangrove jenis Avicennia sp pada suhu 18 – 20 0C, Rhizophora sp,

Ceriops sp, Excoecaria sp dan Lumnitzera sp adalah ada suhu 26 – 28 0C.

sedang Bruguiera sp pada 27 0C, dan Xylocarpus sp berkisar 21 – 28 0C.

Saparinto 2007).

d. Cahaya

Radiasi matahasri juga penting dalam melengkapi cahaya yag

dibutuhkan oleh tanaman hijau untuk digunakan pada proses fotosintesis.

Vegetasi mangrove tidak dapat hidup tanpa adanya cahaya matahari yang

cukup. Akibatnya penyebaran komunitas mangrove dibatasi dengan

adanya intensitas cahaya matahari pada suatu daerah. Keberadaan cahaya

matahari juga berpengaruh terhadap suhu di suatu daerah perairan.

Umumnya vegetasi mangrove membutuhkan intensitas cahaya

matahari tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat

ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk

pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat masiih

kecil (semai) vegetasi mangrove membutuhkan naungan. Beberapa hasil

penelitian menunjukkan :

- intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit

Rhizophora.

Page 5: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

11

- intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit

Bruguiera.

- intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit

Rhizophora dan Bruguiera.

e. Tanah

Tanah-tanah di hutan mangrove di Indonesia terdiri dari tanah-

tanah bertekstur halus, tingkat kematangan yang rendah, kadar garam dan

alkalinitas tinggi, mengandung sulfat masam atau bahan sulfidik,

kandungan liat dan debu yang umumnya tinggi (Snedaker dan Snedaker

1984).

Agustina et al. (2007) mengemukakan penyebaran zonasi hutan mangrove

yang dipengaruhi faktor salinitas sebagai salah satu faktor lingkungan adalah

sebagai berikut :

1. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air

pasang berkisar antara 10 – 30%.

a. Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam

sebulan, hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh;

b. Area yang terendam 10 – 19 kali per bulan; ditemukan Avicennia

alba, Avicennia marina, Sonneratia sp dan dominan Rhizophora sp.

c. Area yang terendam kurang dari Sembilan kali setiap bulan;

ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp.

d. Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun; Bruguiera

gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup.

2. Zona air tawar hingga air payau dengan salinitas berkisar antara 0 – 10%.

a. Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut;

terdapat asosiasi Nypah.

b. Area yang terendam secara musiman; didominasi Hibiscus.

Nybakken (1988) mengemukakan bahwa bakau dapat berkembang sendiri

pada tempat yang terdapat gelombang. Kondisi fisik pertama yang harus terdapat

pada daerah bakau ini adalah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air

ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat menyebabkan

Page 6: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

12

partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar.

Hasilnya berupa kumpulan lumpur, sehingga subsrat pata rawa bakau umumnya

adalah lumpur. Pada keadaan ini, daerah tersebut seperti pantai berlumpur dimana

terdapat sirkulasi interstitial yang minimal dan jumlah bakteri yang banyak,

menimbulkan kondisi anoksik. Mungkin hal ini juga yang menerangkan mengapa

bajau mempunyai akar yang dangkal dan atau pneumatofor.

2.1.3. Potensi dan Sebaran Hutan Mangrove Potensi ekosistem mangrove Indonesia dengan luasan mencapai 75% dari

total mangrove di Asia Tenggara merupakan ekosistem mangrove dengan tingkat keragaman jenis tertinggi di dunia. Pada tahun 1982, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, terutama terdapat di sepanjang pesisir pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua (FAO, 1982). Data luasan ini pada tahun 1990 kemudian berubah menjadi 3.707.100 hektar (FAO, 1990 dalam Arief, 2005). Sumber lain menyebutkan bahwa dari sekitar 15,9 juta ha mangrove di seluruh dunia, 27 % di antaranya berada di Indonesia. Data yang terungkap menyatakan bahwa selama periode 1982 – 1993, terjadi penurunan luas hutan mangrove dari ± 4 juta ha menjadi 2,5 juta ha. Penyebabnya karena peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove dalam peruntukan lain seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman kawasan pesisir (Siahaan 2004).

Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

(RLPS) tahun 1999, luas potensial hutan mangrove di Indonesia adalah 8,6 juta

ha, terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat

di luar kawasan hutan. Berdasarkan kondisi yang ada diperkirakan bahwa 1,7 juta

(44,73%) hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha hutan (87,50

%) mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak. Penyusutan luasan

mangrove tercepat terjadi di Pulau Bali yang tinggal 25,64% dan Jawa yang

tinggal 34,65% (Saparinto 2007).

2.2. Biomassa dan Karbon

Biomassa hutan dinyatakan dalam satuan berat kering oven per satuan

luas, yang terdiri dari berat daun, bunga, buah, cabang, ranting, batang, akar serta

pohon mati. Besarnya biomassa hutan ditentukan oleh diameter, tinggi, kerapatan

Page 7: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

13

tegakan, dan kesuburan tanah. Penghitungan biomassa hutan tropis sangat

diperlukan, untuk mengetahui potensi dan pengaruhnya pada siklus karbon

(Morikawa 2002). Dari biomassa hutan, kurang lebih sebanyak antara 45 dan 50

persen mengandung karbon (Brown 1997; International Panel on Climate Change

2003). Selanjutnya dinyatakan oleh Nelson et al. (1999), bahwa data biomassa

suatu ekosistem sangat berguna untuk mengevaluasi pola produktivitas berbagai

macam ekosistem yang ada. Tegakan hutan mempunyai potensi besar dalam

menyerap dan mengurangi kadar karbondioksida di udara melalui kegiatan

konservasi dan perbaikan manajemen tegakan hutan.

Hutan alam memiliki fungsi ekologis yang sangat vital dalam menjaga

keseimbangan ekosistem. Salah satu diantaranya adalah fungsi hutan alam dalam

menjaga iklim di dalam kawasan hutan maupun di luar hutan. Hal ini terkait

dengan kemampuan tegakan hutan untuk menyerap karbondioksida dan

melepaskan oksigen dalam proses fotosintesis. Dengan semakin banyaknya

karbondioksida yang diserap oleh tanaman dalam bentuk biomassa akan dapat

membantu mengurangi efek gas rumah kaca di atmosfer. Efek gas rumah kaca

yang semakin meningkat di atmosfer akan menyebabkan peningkatan pemanasan

global dan pada akhirnya akan merubah fungsi ekologis hutan (Houghton et. al.

1996).

Secara ekologis, hutan merupakan ekosistem masyarakat tumbuhan yang

didalamnya terjadi interaksi dengan lingkungan, memiliki fungsi sebagai

penghasil oksigen dan penghasil biomassa dari hasil pemanfaatan karbon

dioksida, energi matahari dan air. Terkait dengan isu perubahan iklim dan

pemanasan global, maka salah satu cara untuk menjaga fungsi ekologis hutan

adalah dengan melaksanakan mekanisme REDD (Reducing Emissions from

Deforestation and Degradation) dalam perdagangan karbon internasional. Isu

REDD ini semakin menguat sebagaimana amanat hasil dari COP-13 (Conference

on Parties-13) di Bali. Hutan alam memiliki potensi yang besar untuk

diikutsertakan dalam mekanisme REDD. Hal ini disebabkan oleh hutan tropis

Indonesia merupakan urutan kedua terbesar di dunia setelah Brazil (Masripatin

2007).

Page 8: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

14

Ekosistem mangrove sebagaimana ekosistem hutan lainnya memiliki

peran sebagai penyerap (rosot) karbondioksida (CO2) dari udara. Menurut

International Panel on Climate Change/IPCC (2003) sampai akhir tahun 1980

emisi karbon di dunia adalah sebesar 117±35 G ton C akibat pembakaran fosil

berupa bahan bakar minyak dan batubara, alih fungsi hutan dan pembakaran

hutan. Sedangkan secara global, deforestasi memberikan sekitar 20 % dari total

emisi (Houghton 2005). Untuk mengatasi masalah tersebut, peran hutan sebagai

penyerap CO2 harus ditingkatkan melalui sistem pengelolaan hutan alam dan

hutan tanaman (Brown et al. 1996) yang sinergis dengan fungsi sosial dan nilai

ekonomi hutan. Rosot karbondioksida berhubungan erat dengan biomassa

tegakan. Jumlah biomassa suatu kawasan diperoleh dari produksi dan kerapatan

biomassa yang diduga dari pengukuran diameter, tinggi, berat jenis dan kepadatan

setiap jenis pohon. Biomassa dan rosot karbon pada hutan tropis merupakan jasa

hutan di luar potensi biofisik lainnya, dimana potensi biomassa hutan yang besar

adalah menyerap dan menyimpan karbon guna pengurangan kadar CO2 di udara.

Manfaat langsung dari pengelolaan hutan berupa hasil kayu secara optimal hanya

4,1% sedangkan fungsi optimal dalam penyerapan karbon mencapai 77,9%

(Darusman 2006).

Hutan tropika banyak mengandung biomassa dan menyimpan karbon pada

tanaman baik yang hidup maupun yang sudah mati baik demikian pula yang sukar

lapuk dalam tanah, maupun yang mudah lapuk (Whitmore 1985). Namun,

penelitian pendugaan biomassa dan kandungan karbon di hutan tropis masih

sangat sedikit dilakukan. Padahal pendugaan biomassa pada hutan di negara tropis

pada dasarnya sangat dibutuhkan karena potensi biomassa hutan yang besar dalam

menyerap karbon. Lebih lanjut hutan tersebut mempunyai potensi yang besar

dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen kehutanan

(Brown et al. 1996).

Penelitian tentang karbon tanah dan pendugaan karbon tegakan Avicennia

marina (Forsk.) Vierh. di Ciasem, Purwakarta, menunjukkan bahwa hasil rata-rata

kandungan karbon organik tanah dari lima plot pengambilan contoh tanah adalah

sebesar 2,9%. Kandungan karbon organik tanah ini tergolong sedang. Penelitian

ini telah menghasilkan pendugaan biomassa dan karbon dengan menggunakan

Page 9: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

15

persamaan allometrik untuk tanaman mangrove Avicennia marina (Forsk.) Vierh.

pada kelas diameter 6,4 cm – 35,2 cm sebagai berikut : untuk biomassa atas Y =

0,1848(DBH)2,3524 R2 = 0,9839, untuk biomassa bawah Y = 0,1682(DBH)1,7939

R2 = 0,8581, dan untuk biomassa total Y = 0,2905(DBH)2,2598 R2 = 0,9815.

Tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. di BKPH Ciasem memiliki potensi

kandungan biomassa total sebesar 364,9 ton/ha dan kandungan karbon sebesar

182,5 ton/ha. Nilai serapan CO2 total tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh.

di BKPH Ciasem adalah 669,0 ton/ha dengan nilai serapan CO2 rata-rata 14,2 ton/

pohon (Dharmawan dan Siregar 2008).

Selanjutnya hasil penelitian tentang kandungan karbon hutan mangrove di

Sungai Subelen Siberut menunjukkan bahwa biomassa dan kandungan karbon

pada hutan mangrove ini relatif rendah, masing-masing dari jenis Rhizophora

apiculata Blume, R. mucronata Blume dan jenis Bruguiera gymnorrhiza (L).

Savigny adalah 49,13 ton/ha atau 24,56 ton C/ha setara dengan rosot

karbondioksida (CO2) 90,16 ton CO2/ha (Bismark et al. 2008).

Kandungan karbon dapat diduga melalui persamaan regresi allometrik dari

biomassa pohon yang didasarkan pada fungsi diameter pohon. Beberapa

penelitian yang menduga potensi karbon melalui persamaan regresi allometrik

telah dilakukan diantaranya adalah Hilmi (2003) yang telah membangun model

penduga biomassa untuk kelompok jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp.,

dimana kandungan biomassa pohon merupakan fungsi dari diameter pohon.

Demikian juga seperti yang dilakukan oleh Onrizal (2004), menduga kandungan

karbon dan fungsi biomassa pohon pada hutan kerangas dengan menggunakan

peubah diameter dan atau tinggi pohon.

Pendugaan biomassa dapat dijadikan sebagai penduga kasar dari laju

produktivitas suatu individu jenis atau komunitas (Hutching and Saenger 1987).

Pada setiap kelas diameter pohon, bahan organik batang merupakan bahan

organik terbesar, sedangkan yang terendah adalah pada bunga dan buah. Bahan

organik pohon tersebut akan terakumulasi pada batang, terutama pada segmen

batang yang pertama. Hal ini disebabkan karena bahan organik pohon terdiri dari

60-65% bahan organik batang (White and Plaskett 1981).

Page 10: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

16

Cara menghitung biomassa dapat dilakukan dengan metode sampling

dengan pemanenan (destructive sampling) secara in situ; sampling tanpa

pemanenan (non-destructive sampling) dengan data pendataan hutan secara in

situ; pendugaan melalui penginderaan jauh dan pembuatan model. Masing-masing

metode di atas menggunakan persamaan allometrik untuk mengekstrapolasi

cuplikan data ke area yang lebih luas. Penggunaan persamaan allometrik standard

yang telah dipublikasikan sering dilakukan, tetapi karena koefisien persamaan

allometrik ini bervariasi untuk setiap lokasi dan spesies, penggunaan persamaan

standard ini dapat mengakibatkan galat (error) yang signifikan dalam

mengestimasikan biomassa suatu vegetasi (Australian Greenhouse Office 1999).

Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan

termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya.

Pengukuran dengan metode ini untuk mengukur biomassa hutan dapat dilakukan

dengan mengulang beberapa area cuplikan atau melakukan ekstrapolasi untuk

area yang lebih luas dengan menggunakan persamaan allometrik. Meskipun

metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomass pada cakupan area kecil,

metode ini terhitung mahal dan sangat memakan waktu. Prosedur umum untuk

membuat estimasi berat dari individu masing-masing pohon yang menjadi bagian

dalam pemanenan biomassa (destructive sampling) adalah sebagai berikut

(Hitchcock and McDonnell 1979 dalam Sutaryo 2009):

• Menebang pohon dan memisahkan material yang ada sesuai dengan

komponen dari pohon tersebut.

• Membagi dan menimbang setiap komponen bagian-demi bagian.

• Mengambil subsample dari masing-masing komponen.

• Menentukan volume dari sub sample dengan metode penenggelaman dalm

air atau metode lainnya (optional).

• Mengeringkan dengan oven dan menimbang masing-masing sub sampel.

• Menetapkan total berat kering dari masing-masing bagian.

• Menerapkan faktor kepadatan berat basah dan berat kering untuk setiap

komponen.

• Menjumlahkan berat masing-masing komponen menjadi berat keseluruhan

pohon. Berat basah keseluruhan pohon dan komponen-komponennya dapat

Page 11: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

17

dibagi atau dibedakan dengan cara ini atau melalui cara sampling. Membagi

berdasarkan kadar air dan berat kering umumya memerlukan proses

laboratorium.

Metode untuk mengestimasikan berat dan volume semak dan vegetasi lain

mengandung prinsip yang sama dengan pengukuran untuk pohon. Variabel bebas

untuk fungsi (persamaan) berat kering dalam beberapa kasus dapat pula

disamakan seperti tinggi dan densitas vegetasi. Adapun metode pengambilan

sampel dengan non-destruktive merupakan cara sampling dengan melakukan

pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan

dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan

allometrik untuk mengekstrapolasi biomassa.

Beberapa bentuk persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa atas

permukaan pada berbagai jenis pohon.

Tabel 1 Beberapa persamaan allometrik Jenis Pohon Estimasi Biomassa Pohon

(kg/pohon) Referensi

Pohon bercabang Y = 0,11ρD2,62 Ketterings et al. (2001) Semua jenis mangrove Y =116,6[(DBH)2H]0,8877 Komiyama et al.(1988) Avicennia marina Y = 0,1848D2,3524 Dharmawan dan

Siregar (2008) Rhizophora mucronata Y = -0,1811D0,6590 Kairo (2001) R. mucronata Y = 0,4049D2,20 Slim et al. (1996) R. apiculata log Y=2,420 log GBH-1,832 Ong et al. (2004) Ceriops tagal var australis log Y = -0,9789+2,6848logDBH Clough and Scott,

(1989) Keterangan : Y = biomassa; D = diameter; DBH = diameter setinggi dada; GBH = keliling setinggi dada (cm)

Kusmana (1993) dalam penelitiannya melakukan kajian terhadap tiga jenis

mangrove di Talidendang Besar, Sumatera. Salah satu di antaranya adalah R.

apiculata. Berikut disajikan bentuk persamaan allometrik yang diperoleh

berdasarkan berat kering masing-masing bagian morfologi pohon, leaf area dan

volume batang untuk jenis R. apiculata.

Page 12: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

18

Tabel 2 Persamaan allometrik jenis R. apiculata (Kusmana 1993) No Bagian Pohon B. parviflora R

1 Batang W = 0,08070(D2H)0,90232 0,99 2 Cabang W = 0,02940(D2H)0,90380 0,97 3 Bunga dan buah W = 0,00208(D2H)0,74774 0,96 4 Daun W = 0,33853(D2H)0,40441 0,92 5 Prop-root W = 0,03594(D2H)0,81637 0,95 6 Leaf area W = 0,82118(D2H)0,47367 0,89 7 Volume batang W = 0,00009(D2H)0,92397 0,98

2. 3. Penambangan Batubara

Sukandarrumidi (2009) mengemukakan bahwa saat batubara akan

ditambang, terlebih dahulu dilakukan pengupasan tumbuhan dan tanah penutup.

Pengupasan tanah penutup dalam jumlah banyak dilakukan dengan alat-alat berat,

antara lain dengan wheel tractor. Hasil kupasan ini disingkirkan dan diangkut

dengan tract loader dan truck dikumpulkan di suatu tempat. Tanah hasil

pengupasan ini dimanfaatkan untuk reklamasi. Apabila proses pengupasan tanah

penutup yang dilakukan secara besar-besaran sudah mencapai pada lapisan

batubara, maka sebagian dari lapisan tanah tersebut akan bercampur dengan

lapisan batubara. Kejadian ini merupakan awal terbentuknya pengotoran pada

batubara oleh bahan anorganik (dalam bentuk tanah) maupun bahan organik

(dalam bentuk sisa tumbuhan). Bau belerang mulai muncul dan temperatur udara

di lapangan mulai meningkat. Pengotoran dalam bentuk tanah dan sisa tumbuhan

ini tidak akan terjadi pada saat penambangan lapisan batubara berikutnya

dilakukan. Pada batubara yang berhasil ditambang akan terikut bahan pengotor

yang relatif lebih bervariasi (pengotor bahan anorganik dan anorganik). Kondisi

ini wajar untuk penambangan di daerah atau lapangan penambangan batubara

yang baru dibuka.

Fragmen batubara dengan berbagai ukuran diangkut dengan truk dari

tempat penambangan melalui jalan khusus berupa jalan tambang ke tempat

penimbunan (stock pile). Di stock pile batubara digiling dengan mesin penggiling

batubara (crusher), dipilah dengan ayakan (sieve) ukuran tertentu (sesuai dengan

kebutuhan buyer). Penggilingan dilakukan di tempat terbuka. Bila batubara hasil

penggilingan beum diangkut, disarankan agar timbunan batubara diaduk-aduk

Page 13: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

19

dengan wheel loader. Maksudnya agar temperature udara dalam tumpukan

batubara dapat dikendalikan sehingga tidak timbula panas. Bila hal ini tidak

dilakukan sangat dimungkinkan terjadi kebakaran karena batubara bersifat

terbakar dengan sendirinya (self ignition). Batubara di wilayah Kalimantan

umumnya dipindahkan dari tempat penimbunan sementara ke ponton (kapal

angkut) menggunakan ban berjalan atau belt conveyor. Ponton yang sudah berisi

batubara ditarik oleh kapal tunda (tugboat) melalui alur sungai ke tempat

penampungan di pelabuhan. Batubara dari tempat ini kemudian dimuat pada kapal

pengangkut yang selanjutnya siap dikirim ke buyer (Sukandarrumidi 2009).

2.4. Emisi Karbondioksida

Gas karbondioksida dapat menyerap radiasi infra merah yang dipancarkan

oleh bumi sehingga radiasi inframerah ini tidak dapat lepas ke angkasa luar (efek

rumah kaca), sehingga karbondioksida yang banyak di atmosfer dapat

menyebabkan perubahan ikim global.

Menurut Prawirowardoyo (1996), karbondioksida yang masuk ke dalam

atmosfer dapat berasal dari dua sumber yaitu sumber alami dan buatan. Sumber

alami yang tergolong penting meliputi proses pernafasan makhluk hidup di

seluruh permukaan bumi serta perubahan bahan organik. Sedangkan sumber

buatan meliputi pembakaran bahan bakar fosil, industry semen, pembakaran hutan

dan perubahan tata guna lahan. Konsentrasi karbondioksida di udara akan terus

meningkat dari tahun ke tahun sebesar 1,8 ppm atau 0,5% tiap tahunnya.

Emisi karbondioksida, metana dan nitro-oksida mengalami peningkatan

sejak tahun 1970 hingga 2004. Pada tahun 2004, sumber emisi karbondioksida

didominasi oleh bahan bakar fosil, sebesar 57% dari total emisi CO2 ekuivalen.

Selebihnya antara lain berasal dari deforestasi dan perubahan tata guna lahan

(IPCC, 2001 dalam Ravindranat dan Ostwald 2008).

Deforestasi merupakan sumber potensial penghasil emisi karbondiokasida.

Hutan sebagai salah satu pengurani CO2 dalam keseimbangan CO2 sehingga bila

terjadi penggundulan hutan maka akan terjadi pelepasan sejumlah CO2 ke

atmosfer. Emisi CO2 yang dihasilkan oleh proses respirasi berdasarkan proses

reaksi :

Page 14: II. TINJAUAN PUSTAKA - IPB Repositoryrepository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57174/2010rbu_BAB... · 8 tanah timbul melalui suksesi alami atau buatan dengan terbentuknya vegetasi

20

6CO2 + C6H12O6 6CO2 + 6 H2O

Sedangkan penguraian CO2 oleh tumbuhan dengan bantuan sinar matahari

berdasarkan persamaan reaksi fotosintesis :

6CO2 + 6H2O 6O2 + C6H12O6

Deforestasi yang terjadi antara lain disebabkan oleh kebakaran hutan,

illegal logging, proyek pembangunan dan perluasan wilayah perkotaan,

pertambangan dan perladangan berpindah. Konversi hutan menjadi tanah ladang

atau perkebunan juga akan mengurangi kemampuan daratan dalam mengurangi

CO2 sehingga CO2 akan terlepas ke atmosfer.

Slamet dan Haryanto (2006) mengemukakan jumlah emisi dari tiga jenis

kebakaran yang dihasilkan dan disimulasikan berdasarkan pendekatan dan

estimasi sumber-sumber penghasil CO2 serta menghitung emisi CO2 berdasarkan

sumber dan sinker (perosot) dengan menggunakan model dinamis dan software

Powersim 2.5, yaitu kebakaran tajuk, kebakaran permukaan, dan kebakaran

bawah. Riau menghasilkan emisi sebesar 2.246,96 gCO2/m2 untuk kebakaran

permukaan, kebakaran tajuk 631,08 g CO2/m2 dan kebakaran bawah 529,59 g

CO2/m2. Simulasi jenis kebakaran hutan untuk Sumatera Selatan menghasilkan

emisi CO2 1895,53 g/m2 untuk kebakaran permukaan, kebakaran tajuk 539,19 g

CO2/m2, dan kebakaran bawah 599,64 g CO2/m2 (Slamet and Haryanto 2006).