ii. tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran 2.1. … · kemiskinan dalam dimensi ... nasional,...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Konsep Kemiskinan
Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli,
diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua
dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi
pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah,
sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan,
ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi
pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat
dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.
Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah
sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum
tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain
kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang
kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat
mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan
relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan,
biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan
nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif.
World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap
negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara
adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita
sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing
Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh
Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar PPP dari
International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan
internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai PPP tahun 2005,
12
untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang
lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$
1,25 per hari.
Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita
per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480
kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada
tahun 2008 sebesar Rp 204,896/kapita/bulan untuk daerah perkotaan dan Rp
161,831/kapita /bulan untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda
untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah.
Perkembangan garis kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga
menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan
kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-Greer-
Thorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:
∑=
−=
q
1i
i
zyz
N1P
α
α (2.1)
dimana:
z = besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan.
N = jumlah penduduk.
q = banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.
yi
α = 0,1 dan 2.
= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, .......q), yi < q.
Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1 adalah
rasio kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan
(P2). Rasio kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan
pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin
13
tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin
terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin
semakin terpuruk. Sedangkan P2
Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama
kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs). Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun
non makanan yang bersifat mendasar.
sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran
mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga
digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran
kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 maupun P2
saja, namun berdasarkan tipe
kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis
(chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong
miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat
kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient
poverty) dapat diartikan sebagai kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu
waktu hanya merupakan kondisi sementara yang tidak bersifat permanen, yang
dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang
berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka
panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia
merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kasus chronic poverty,
sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga
dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting
ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.
14
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi keduanya merupakan
fenomena ekonomi yang saling berhubungan. Sampai dengan Tahun 1960, teori
pembangunan ekonomi diperlakukan sebagai perluasan dari teori ekonomi
konvensional dan untuk itu pembangunan dapat dikatakan hampir sama dengan
pertumbuhan (Reungsri, 2010). Hall (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam produksi nasional maupun
pendapatan nasional, namun Seers (1969) berargumen bahwa pembangunan tidak
hanya berarti pertumbuhan, namun juga harus mengikutsertakan aspek sosial seperti
adanya penurunan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran.
Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-
menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat
pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen
pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah:
1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua
investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui
perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja
2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan
angkatan kerja
3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam
menyelesaikan pekerjaan.
Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan
nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase
kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan
pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung
berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh
perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang
dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
15
PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output
barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur
pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang
merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007).
Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB,
yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB
terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai
tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai
tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung
dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga
pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai
pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada
dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005).
Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi
kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator
pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk
Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB
maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja
perekonomian (Sen, 1988).
Teori Pertumbuhan Harrod Domar
Teori pertumbuhan pertama kali dikemukakan oleh Harod dan Domar, yang
menggunakan model Keynesian untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dalam
perekonomian tertutup. Teori ini kemudian dikenal lebih luas dengan model
pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan Harrod-Domar didasarkan pada
tiga asumsi.
16
Pertama, bahwa perekonomian menyebabkan terjadi peningkatan tabungan (S)
dalam proporsi yang konstan (s) terhadap pendapatan nasional (Y):
S=sY (2.3)
dimana s merupakan rasio tabungan baik marginal mapun rata-rata.
Kedua, bahwa perekonomian berada pada keseimbangan, dimana investasi yang
direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan:
I=S (2.4)
Ketiga, bahwa investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional
(ΔY) dan koefisien teknis tetap v yang dikenal sebagai Incremental Capital Output
Ratio (ICOR):
I=v ΔY (2.5)
Model pertumbuhan Harrod-Domar kemudian mendefinisikan pertumbuhan
ekonomi (gy
g
) sebagai perubahan pendapatan tiap satu satuan pendapatan:
y
Mensubstitusikan hubungan pada persamaan (2.4) dan (2.5) memberikan definisi
alternatif untuk pertumbuhan sebagai:
= (2.6)
gy
Persamaan (2.7) berimplikasi bahwa jika ketiga asumsi yang mendasari teori ini
terpenuhi, maka perekonomian akan tumbuh pada suatu level yang dipengaruhi oleh
parameter s dan v. Meskipun demikian, paling tidak dalam prakteknya ada dua
asumsi yang tidak mungkin dipegang, yakni bahwa nilai ICOR yang tetap
berimplikasi bahwa terdapat hubungan yang tetap antara jumlah stok kapital dan
output, kedua bahwa input tenaga kerja tidak dimasukkan dalam model, sehingga hal
ini menyebabkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar ini memiliki asumsi
yang lemah.
= (2.7)
Teori Pertumbuhan Solow
Mankiw (2007) menyatakan bahwa model pertumbuhan Solow dirancang
untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan
17
kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana
pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan.
Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi.
Dengan kata lain, output per pekerja (y) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan
investasi per pekerja (i):
y = c + I (2.8)
Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s
dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s), hubungan ini dapat
dinyatakan sebagai:
c = (1-s)y (2.9)
y = (1-s)y + I (2.10)
Meskipun model Solow telah mampu memasukkan tenaga kerja sebagai faktor yang
memengaruhi pertumbuhan, namun model ini gagal menjelaskan bagaimana dan
mengapa kemajuan teknologi terjadi. Romer (1986) kemudian menggagas model
alternatif dengan memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model, namun demikian
tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak akan mencapai tingkat pareto
optimal. Model Romer (1986) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pertumbuhan
endogen.
Teori Pertumbuhan Endogen
Kelemahan dari teori pertumbuhan neoklasik kemudian memicu
berkembangnya teori pertumbuhan endogen. Paul Romer merupakan salah satu
penggagas teori ini dengan model pertumbuhan endogen yang memasukkan
kemajuan teknologi ke dalam model. Romer dalam Capello (2009) juga menyatakan
bahwa selain kemajuan teknologi, salah satu sumber pertumbuhan adalah berasal dari
eksternalitas yang terjadi akibat adanya akumulasi stok pengetahuan teknis yang
kemudian berkolaborasi dengan modal tetap pada suatu waktu tertentu dalam
mencapai tingkat output tertentu.
18
Robert Lucas juga merupakan ahli ekonomi yang juga merupakan penggagas
teori pertumbuhan endogen. Lucas dalam Capello (2009) menyatakan hal yang sama
dengan apa yang dikemukakan Romer, bahwa modal yang menentukan tingkat output
yang dicapai dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu modal fisik dan modal
manusia. Kombinasi keduanya dalam fungsi produksi dapat meningkatkan tingkat
output tertentu.
Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa perbaikan dan kemajuan
teknologi dihasilkan dari investasi yang secara langsung menyebabkan pertumbuhan,
sehingga investasi dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang
(Economic Planning Advisory Commission, 1995). Reungsri (2010) juga menyatakan
bahwa investasi merupakan salah satu faktor penting pada model pertumbuhan
endogen, investasi dapat menyebabkan perbaikan pada kapasitas produksi dan
kenaikan laba yang berimplikasi pada adanya pertumbuhan ekonomi. Pada teori
pertumbuhan neoklasik, adanya asumsi “law of diminishing return” membawa pada
argumentasi bahwa investasi tidak mampu memengaruhi pertumbuhan. Namun pada
teori pertumbuhan endogen, meskipun dibawah asumsi “law of diminishing return”
investasi tetap mampu meningkatkan pertumbuhan. Sebagai contoh, adanya
kemajuan teknologi yang didanai dari investasi akan mampu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, selain itu, tenaga kerja ahli yang didapat dari hasil pendidikan
maupun pelatihan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan
pemikiran tersebut, dalam penelitian ini peranan investasi terutama investasi
infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi didekati dengan menggunakan model
pertumbuhan endogen.
2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan
Glaeser (2006) menyatakan ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi
dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan
ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga
berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property
rights.
19
Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya
disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat
setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga
membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan
pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growth-
inequality triangle untuk melihat hubungan antara ketiga variabel.
Sumber: Bourguignon (2004)
Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh
pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian
kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing
kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang
tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan
menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu:
1. Terjadinya inefisiensi ekonomi.
2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan
“Strategi Pembangunan”
Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan
Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan
20
Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu
wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain
itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia
dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling
sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah
dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan,
sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil.
Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur
ketimpangan pendapatan.
Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara
nol dan satu. Nilai indeks gini nol artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan
sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan
pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah,
sedang atau tinggi. Pengelompokkan yang dilakukan sesuai dengan ukuran
ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang
ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negara-
negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35
(Todaro dan Smith, 2006).
Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini
dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan
garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz
berada (luas bidang BCD). Rumusan di ilustrasikan pada gambar 2.2. sebagai berikut:
Indeks gini = Luas bidang A
Luas bidang BCD (2.11)
21
Sumber: Todaro dan Smith (2006)
Gambar 2.2. Kurva Lorenz
2.1.4. Konsep Infrastruktur
Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut
pandang kepentingannya, belum terdapat kesamaan pandangan antar lembaga, negara
dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi,
infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam
aktifitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong
timbulnya klasifikasi infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi dan infrastruktur
sosial (Torrisi dalam Riadi (2010)).
Kodoatie (2003) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan pendukung
utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat, maka infrastruktur secara lebih jelas merupakan fasilitas-fasilitas dan
struktur-struktur fisik yang dibangun guna berfungsinya sistem sosial dan sistem
ekonomi menunjuk pada suatu keberlangsungan dan keberlanjutan aktivitas
masyarakat dimana infrastruktur fisik mewadahi interaksi antara aktivitas manusia
dengan lingkungannya.
22
Hudson, et al. (1997) menyatakan bahwa keberhasilan dan kemajuan
kelompok masyarakat tergantung pada infrastruktur fisik untuk pendistribusian
sumber daya dan pelayanan publik. Kua1itas dan efisiensi infrastruktur
mempengaruhi kualitas hidup kesehatan sistem sosial dan keber1anjutan kegiatan
perekonomian dan bisnis. Grigg (1988) menyatakan bahwa infrastruktur adalah
semua fasilitas fisik yang sering disebut dengan pekerjaan umum.
World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama,
yaitu:
1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk
menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (tenaga listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi
dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan
sebagainya).
2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi.
3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan
koordinasi.
2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal
Pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius dalam mengembangkan
kabupaten tertinggal. Bukti keseriusan pemerintah dalam hal ini adalah, dengan
dibentuknya Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki tugas
pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi
di bidang pembangunan daerah tertinggal, sesuai Peraturan Presiden Nomor. 09 tahun
2005 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok dan fungsi ini kemudian
disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor. 90 tahun 2006, dimana
Kementrian PDT mempunyai penambahan fungsi operasional kebijakan di bidang:
1. Bantuan infrastruktur pedesaan
2. Pengembangan ekonomi Lokal
3. Pemberdayaan Masyarakat.
23
Perhatian pemerintah pada kabupaten tertinggal tidak hanya pada pengentasan
kabupaten-kabupaten tertinggal, namun juga berupaya untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin di kabupaten tertinggal. Hal ini sejalan dengan tema Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) 2009 yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan
kemiskinan. Tema RKP tersebut tertuang pada skenario pembangunan daerah
tertinggal yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT (Gambar 2.3).
Sumber: Kementrian PDT (2008)
Gambar 2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal
2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal
Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri
Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/I/2005. Dalam
Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang
relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan
berpenduduk yang relatif tertinggal. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah
tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:
Kondisi
• Tahun 2004 199 kabupaten tertinggal
• Awal Tahun 2008 28 kabupaten terentaskan (perlu dibina sampai tahun 2009)
Upaya-Upaya
• Kerangka Regulasi Rancangan Inpres
PPDT Rancangan UU PPDT Stranas PPDT RAN PPDT RAD PPDT
• Kerangka Anggaran Mainstreaming DAK per Bidang DAK SPP-DT
Kondisi yang Diharapkan Tahun 2009
• 40 kabupaten terentaskan • Meningkatnya pendapatan
masyarakat • Berkurangnya penduduk
miskin • Tercapainya rehabilitasi
daerah pasca konflik dan bencana
Kendala
Antara lain belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi dan sinergitas kegiatan
Tema RKP 2009
Peningkatan Kesejahteeraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan
24
a. Geografis
Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena
letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan
pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit
dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi.
b. Sumberdaya alam
Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang
memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan
daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi dan daerah tertinggal akibat
pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan.
c. Sumberdaya Manusia
Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan,
pengetahuan dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan atau
institusi yang belum berkembang.
d. Prasarana dan Sarana
Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi,
kesehatan, penddikan dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di
daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan utuk melakukan aktivitas ekonomi
dan sosial.
e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial
Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat
menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi
f. Kebijakan Pembangunan
Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang
tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal,
kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya
kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.
25
Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa
kelompok, antara lain:
a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang
pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih
maju
b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan
memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju
c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan
antarnegara baik batas darat maupun laut
d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor,
gunung api, maupun banjir.
e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar yaitu: perekonomian
masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan
lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan
tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan
183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Daftar kabupaten tertinggal
tersaji pada Lampiran 2.
2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan Kabupaten Tertinggal
Upaya pengentasan kabupaten tertinggal dilakukan dengan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan daerah tertinggal secara terpadu dan
tepat sasaran serta tepat kegiatan, maka KPDT melaksanakan program prioritas yang
diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh
semua daerah tertinggal ke dalam bidang-bidang kegiatan, antara lain:
a. Bidang Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dengan melaksanakan program
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT)
yang dilakukan dengan melakukan penyediaan sarana dan prasarana transportasi
26
dan komunikasi, pelayanan sosial dasar dan pemberdayaan masyarakat adat
terasing.
b. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan melaksanakan tiga program yaitu:
1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) yang
dilakukan dengan menyediakan “block grant” untuk mendukung
pengembangan ekonomi lokal, penyediaan sarana dan prasarana lokal dan
pemberdayaan masyarakat serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah,
dunia usaha dan masyarakat.
2. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) yang
dilakukan melalui manajemen marketing dan regional, pengembangan sistem
distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan
jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi)
3. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) yang dilakukan
melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi/komunikasi,
pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar dan pelayanan lintas
batas
c. Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dengan melaksanakan dua program
prioritas yaitu:
1. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT)
yang dilakukan melalui penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha
di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan,
pertambangan rakyat, pariwisata berikut industri pengolahan dan pendukung
yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat
2. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan (P4DT) yang dilakukan melalui
pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk
kawasan industri terpadu dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan
ekonomi khusus.
27
2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) Instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal
(P2IPDT) dilaksanakan di bawah tanggung jawab Deputi Bidang Peningkatan
Infrastruktur Kementrian PDT. Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur selain
sebagai penanggungjawab instrumen, juga melaksanakan fungsi operasionalisasi
kebijakan di bidang infrastruktur pedesaan. P2IPDT dicanangkan dan dilaksanakan di
kabupaten tertinggal sebagi solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur.
Instrumen ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah
kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi
stimulan kegiatan pendukung atau pendorong dan pemicu pembangunan infrastruktur
daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan
telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi, dalam membentuk bantuan sosial,
dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, bagi terciptanya pertumbuhan
ekonomi lokal. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor
terkait dan dengan program daerah yang bersangkutan.
Instrumen P2IPDT dilaksanakan pada kabupaten tertinggal, dengan tujuan
antara lain:
a. Sebagai bahan dari implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur pedesaan
dalam bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan
energi di daerah tertinggal yang dapat difasilitasi oleh Kementrian PDT.
b. Merupakan upaya Kementrian PDT dalam mengurangi keterisolasian daerah
tertinggal agar menjadi daerah maju yang setara dengan daerah lainnya.
c. Memberikan arah dan panduan teknis terhadap pelaksanaan program P2IPDT di
daerah tertinggal.
d. Menjamin terlaksananya koordinasi pusat dan kabupaten dalam pelaksanaan
bantuan stimulan infrastruktur pedesaan.
Ruang lingkup dari instrumen P2IPDT pada dasarnya adalah melaksanakan kegiatan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan koordinasi, pemantauan, pengawasan,
pelaksanaan koordinasi dan pelaporan yang meliputi:
28
a. Bantuan peningkatan infrastruktur transportasi
b. Bantuan peningkatan infrastruktur informasi dan telekomunikasi
c. Bantuan peningkatan infrastruktur ekonomi
d. Bantuan peningkatan infrastruktur energi.
2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan
Schiller (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat menjadi
penyebab kemiskinan, antara lain:
1. Kurangnya motivasi atau keterampilan individu
2. Adanya hambatan sosial terhadap akses pada kesempatan (society’s barrier to
opportunity)
3. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan
partisipasi kerja
Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya
mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk
miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak
besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan
pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup
signifikan mengurangi kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar
pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan.
Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan
pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin
dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan
ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan
pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian
(2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS)
dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa koefisien regresi dari pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan
29
dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika dibarengi
dengan penurunan ketimpangan sedangkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi
jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan
pendapatan.
Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat
meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut
tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut
menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara
pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga
menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi
kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan.
Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan
pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam
mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk
mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi
yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini,
tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu
mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina.
Seetanah, et al. (2009) membandingkan model panel data fixed effect dan
GMM dinamis dalam melihat pengaruh investasi publik khususnya investasi
infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Hasil penelitian
menggunakan kedua model tersebut mendukung pernyataan bahwa infrastruktur
transportasi dan komunikasi merupakan alat yang efisien dalam memerangi
kemiskinan di pedesaan. Sehingga, kebijakan pemerintah seharusnya memperhatikan
pentingnya perbaikan akses penduduk miskin pada infrastruktur transportasi dan
komunikasi.
30
2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Stern (1991) mengemukakan adanya postulat penting bahwa terdapat tiga
faktor standar yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor tersebut
adalah manajemen organisasi, alokasi sumberdaya dan infrastruktur.
Manajemen Organisasi
Organisasi yang diatur dengan baik, menurut Stern dapat meningkatkan
output melalui minimalisasi pemborosan sumberdaya dan perbaikan efisiensi,
sedangkan manajemen yang buruk dapat menyebabkan terjadinya penuruanan
produktifitas. Sebagai contoh selama tahun 1960 hingga 1970, India berhasil
meningkatkan tingkat tabungannya, namun karena adanya manajemen yang buruk,
kondisi ini gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya (Ahluwalia 1985).
Alokasi Sumberdaya
Faktor kedua yang dapat memengaruhi pertumbuhan menurut Stern adalah
alokasi sumberdaya. Stern menemukan bahwa pengaturan alokasi sumberdaya oleh
institusi di negara-negara berkembang sangat bervariasi. Hal ini menyebabkan
terjadinya distorsi ekonomi yang menyebabkan distribusi sumberdaya menjadi
optimal. Distribusi sumberdaya yang optimal ini mengakibatkan tumbuhnya
perekonomian dan berdampak pada pemerataan sosial.
Infrastruktur
Infrastruktur menjadi faktor ketiga yang menurut Stern dapat memengaruhi
pertumbuhan. Infrastruktur sangat penting untuk produktifitas dan pertumbuhan.
Kwik dalam Haris (2009) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan roda
penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta,
infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara
ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal
productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro,
31
ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya
produksi.
2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan
Distribusi pendapatan dan kaitannya terhadap pertumbuhan dan kemiskinan
telah menjadi perhatian utama bagi para ekonom. Banyak penelitian telah mengkaji
hubungan triangular antara ketiga variabel ini, termasuk Bourguignon (2004) yang
menggagas konsep The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Iradian (2004), pada
penelitiannya di Armenia menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
memiliki dampak pada ketimpangan, namun ketimpangan dapat memberikan efek
negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi
kemiskinan apabila pertumbuhan tersebut memiliki dampak yang kecil pada
ketimpangan pendapatan.
Gelaw (2010) menggunakan estimasi model fixed effect dalam meneliti
hubungan triangular antara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kemiskinan dapat terus menjadi tinggi jika suatu negara gagal
mencapai pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan, yang dalam hal ini haruslah
didukung dengan adanya penurunan pada ketimpangan pendapatan.
Lopez (2003), meskipun tidak menganalisis dampak pada kemiskinan,
mendukung pernyataan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan pendapatan. Penelitian ini mengkaji dampak kebijakan pro growth yaitu
perbaikan pada sektor pendidikan dan infrastruktur pada pertumbuhan dan
ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan di sektor
pendidikan dan infrastruktur serta tingkat inflasi yang rendah dapat mendorong
pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang progresif. Selain itu, pembangunan di
sektor keuangan, keterbukaan dalam perdagangan dan penurunan government size
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan peningkatan pada
ketimpangan pendapatan.
Laabas dan Limam (2004) menggunakan sistem persamaan simultan dalam
melihat hubungan antara investasi publik, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
32
ketimpangan pendapatan. Penelitian tersebut menggunakan tiga variabel endogen
yaitu pertumbuhan, ketimpangan dan pendapatan. Hasil estimasi menyimpulkan
bahwa investasi diketahui memiliki hubungan yang erat dengan tingginya
pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah. Faktor penting yang lain dalam
penelitian tersebut adalah faktor kelembagaan yang merupakan salah satu sumber
pertumbuhan yang penting karena dapat berdampak pada kontribusi pelaku ekonomi
dalam memberikan insentif pada pertumbuhan.
2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa infrastruktur merupakan
salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Stern, 1991). Infrastruktur
merupakan roda penggerak perekonomian, sedangkan dari sudut pandang alokasi
pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif
pembangunan nasional dan daerah. Reungsri (2010) menyatakan bahwa infrastruktur
sebagai representasi dari investasi publik memiliki pengaruh pada dua aspek, yaitu
aspek ekonomi dan sosial.
Aspek Ekonomi (Pertumbuhan)
Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada
pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat menggunakan investasi infrastruktur ini
sebagai alat untuk menaikkan investasi swasta atau untuk menurunkan permintaan.
Paradigma ekonomi Keynesian, investasi dapat menstimulus pengeluaran pemerintah
yang kemudian berdampak pada terjadinya crowding out dan crowding in investasi
swasta (Gambar 2.1). Infrastruktur bukanlah merupakan faktor yang dapat secara
langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur memengaruhi
pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan
prasarana yang memadai.
33
Investasi Publik
PDB
Investasi Swasta
PDB
Return to Capital
Investasi Swasta
Crowding In
Investasi Swasta
Suku Bunga Riil
PDB
Crowding Out
Aspek Sosial (Pemerataan)
Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki
dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan
kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan dan mitigasi dalam memerangi
degradasi lingkungan.
Sumber: Aromdee, et al. (2005)
Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik
Aschauer (1989) menyatakan bahwa investasi publik pada infrastruktur sangat
penting sebagai salah satu sumber pendukung pertumbuhan ekonomi. Aschauer
meneliti hubungan antara output agregat dengan stok dan aliran pengeluaran
pemerintah dan menyimpulkan bahwa infrastruktur inti seperti jalan, jalan tol,
bandara dan sistem transportasi massal merupakan peranan pemerintah yang penting
dalam meningkatkan pertumbuhan dan perbakan produktifitas.
Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi
infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi
34
publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhada pertumbuhan
ekonomi.
Canning dan Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa telefon dan jalan sebagai
pendukung infrastruktur mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang. Canning menggunakan metode error correction model dalam
menganalisis pengaruh jangka panjang antara infrastruktur dan pertumbuhan
ekonomi.
Perkins, et al. (2005) meneliti hubungan antara investasi infrastruktur
ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Penelitian ini menggunakan
metode F-tests yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin dan Smith. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan memiliki hubungan dua
arah. Investasi yang tidak memadai pada infrastruktur dapat menciptakan bottlenecks
dan hilangnya kesempatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.2. Kerangka Pemikiran
Dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan
yang diambil oleh KPDT dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan, maka
kiranya diperlukan suatu studi mengenai pengaruh program peningkatan infrastruktur
Kementrian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian
ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian, seperti tergambar di bawah
ini.
35
Aspek Pertumbuhan
Transmisi langsung (sisi mikro)
Transmisi tidak langsung (sisi makro)
Aspek Pemerataan
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kabupaten Tertiggal
Pendapatan Nasional dan Pertumbuhan
Ekonomi
Tenaga Kerja
Peningkatan Produktifitas
Peningkatan Pendapatan
Riil/Konsumsi Masyarakat
Ketimpangan Pendapatan
Penurunan Kemiskinan
Strategi Pembangunan Ekonomi untuk Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten
Tertinggal
Investasi Infrastruktur (P2IPDT)
Transportasi Informasi dan telekomunikasi
Ekonomi
Sosial Energi
36
2.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:
1. Terjadi perbaikan pada dinamika kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan kinerja
perekonomian di kabupaten tertinggal.
2. Investasi infrastruktur dalam hal ini adalah instrumen P2IPDT Kementrian
PDT, sebagai representasi dari investasi publik pemerintah memiliki pengaruh
positif dalam meningkatkan perekonomian.
3. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal mampu
menurunkan ketimpangan pendapatan.
4. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal dapat menurunkan
tingkat kemiskinan.