ii. tinjauan pustaka a. tindak pidana korupsi 1. pengertian …digilib.unila.ac.id/2266/8/bab...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata
corruption/corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan corruptie1.
Pengertian korupsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia2 ialah penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain, sedangkan pengertian korup ialah busuk;
buruk; suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok
(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
Menurut A.S. Hornby et. al. Dalam The Advanced Leaner's Dictionary of Current
English3 korupsi adalah "the offering and accepting of bribes"
(penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap) dan diartikan
pula sebagai “decay” yaitu kebusukan/kerusakan.
Pengertian korupsi banyak didefinisikan oleh para pakar, dimana masing-masing
merumuskannya sesuai dengan sisi pandang bidang ilmunya. Korupsi dari sisi
1 Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Tersangka Untuk
Memperoleh Informasi Dalam Perkara Korupsi Oleh Kejaksaan, 2001: hlm.7 2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 1989
3 dikutip dari Baharuddin Lopa, 1989: hlm.1
32
pandang ekonomi menurut Jacob van Klaveren4 bahwa seorang pengabdi negara
(pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor/instansinya sebagai
perusahaan dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal
mungkin.
Korupsi dari sisi pandang pemerintahan menurut J. S. Nye5 sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah,
karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman) demi mengejar
status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari
pengaruh bagi kepentingan pribadi. Hal itu cakup tindakan seperti penyuapan
(memberi hadiah dengan maksud hal-hal menyelewengkan seseorang dalam
kedudukan pada jawatan dinasnya); nepotisme (kedudukan sanak saudaranya
sendiri didahulukan, khususnya dalam pemberian jabatan atau memberikan
perlindungan dengan alasan hubungan asal-usul dan bukannya berdasarkan
pertimbangan prestasi; penyalahgunaan atau secara tidak sah menggunakan
sumber penghasilan negara untuk kepentingan pribadi).
Carl J. Friesrich6
“Merumuskan korupsi dari sisi pandang kepentingan umum dengan
mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang
memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu
seperti seorang pejabat yang bertanggungjawab melalui uang atau semacam
hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undang-undang; membujuk atau
mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah
dan dengan demikian benar-benar membahayakan Kepentingan umum”.
4 dikutip dari John A. Gardiner, 1974: hlm.18
5 J.S. Nye, “Corruption and Political Development: A Cost-Benefit Analysis,” American
Political Science Review, Vol. 61, No. 2, pp. 417-427. 1967 6 Carl J. Friesrich, Political Pathology. 1966: hlm. 85
33
Selanjutnya Mubyarto7 yang mengutip pendapat Theodore M. Smith
“Merumuskan korupsi dari sisi pandang politik dengan mengatakan secara
keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah
politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi)
pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada
umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok
elite di tingkat propinsi dan kabupaten”.
Menurut sisi pandang sosiologi, Syed Hussein Alatas8 menyatakan terjadi korupsi
adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh
seorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa
pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Kadang-kadang juga berupa perbuatan
menawarkan pemberian uang dan hadiah lain yang dapat menggoda pejabat.
Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan pemberian atau
hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik. Istilah itu juga dikenakan
pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus bagi
keuntungan mereka sendiri. Selanjutnya ditambahkan Syed Hussein Alatas, yang
termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman
atau kelompok-kelompok politik pada jabatan-jabatan dalam kedinasan aparatur
pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka maupun konsekuensinya pada
kesejahteraan masyarakat (nepotisme). Dengan demikian yang termasuk dalam
korupsi adalah empat tipe yang mencakup perbuatan penyuapan, pemerasan,
nepotisme dan penggelapan.
Menurut Syed Hussein Alatas9 empat tipe korupsi di atas dalam prakteknya
meliputi ciri-ciri sebagai berikut:
7 Mubyarto, 1980: hlm. 60
8 Syed Hussein Alatas,1980: hlm. 11
9 Syed Hussein Alatas,1980: hlm. 13
34
1. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.
2. Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan.
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
4. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung dibalik pembenaran
hukum.
5. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang
tegas dan mereka mampu mempengaruhi keputusan.
6. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau
masyarakat umum.
7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
8. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan itu.
9. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung
jawaban dalam tatanan masyarakat.
2. Tindak Pidana Korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi sejak berlakunya Peraturan Penguasa Militer No.
Prt/PM-06/1957 Tanggal 9 April 1957 sampai dengan diundangkannya UUTPK
Tahun 1999 semakin lama semakin disempurnakan, sehingga hampir
merumuskan berbagai bentuk pengertian korupsi yang telah diuraikan di atas.
Dalam UUTPK pengertian tindak pidana korupsi tercantum dalam Bab II tentang
Tindak Pidana Korupsi Pasal 2-Pasal 20 dan Bab III tentang tindak pidana lain
yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21-Pasal 24. Berdasarkan
ketentuan pasal-pasal tersebut dapat dikategorikan lima pengertian dan tipe tindak
pidana korupsi berikut di bawah ini dengan penjelasan masing-masing unsurnya.
Unsur-unsur yang sama yang telah dijelaskan sebelumnya tidak akan dijelaskan
lagi pada penjelasan unsur Pasal berikutnya.
a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama
Pengertian tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UUTPK:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
35
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Berpijak dari ketentuan pasal di atas unsur-unsur dari tindak pidana korupsi
adalah sebagai berikut:
(1) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
Pada dasarnya maksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan
dengan mana si pelaku bertambah kekayaannya oleh karena perbuatan tersebut.
Modus operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan dengan berbagai cara,
misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening,
menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku bertambah
kekayaannya.
(2) Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum
Unsur melawan hukum dalam UUTPK mencakup perbuatan melawan hukum baik
dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana.
36
(3) Merugikan keuangan atau perekonomian negara
Penjelasan UUTP menentukan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di
dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena:
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan
b) Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau pun usaha masyarakat secara
mandiri yang berdasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan
kepada seluruh kehidupan masyarakat.
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua
Pasal 3 UUTPK merumuskan pengertian tindak pidana korupsi tipe kedua sebagai
berikut:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
37
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta
rapiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana korupsi dari Pasal di atas adalah sebagai berikut:
(1) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukannya
Tindak pidana korupsi pada tipe kedua ini terutama ditujukan kepada seorang
pegawai negeri, oleh karena hanya pegawai negeri saja yang dapat
menyalahgunakan jabatan, kedudukan dari kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya. Menurut ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUTPK, pengertian
pegawai negeri meliputi:
(a) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
Kepegawaian (i.c. Undang-Undang No. 43 Tahun 1999);
(b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHPidana (i.c. Pasal 92
KUHPidana);
(c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
(d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah; dan
(e) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
(2) Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi
Perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi berarti
membuat orang tersebut, orang lain/kroninya atau suatu korporasi memperoleh
aspek material maupun inmaterial dari perbuatan itu. Pembuktian unsur
“menguntungkan” dapat lebih mudah dibuktian oleh penuntut umum karena unsur
menguntungkan tidak memerlukan dimensi apakah orang tersebut menjadi kaya
atau bertambah kaya sebagaimana unsur “memperkaya” dalam pasal 2 UUTPK.
38
c. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga
Tindak pidana korupsi pada tipe ketiga terdapat dalam Pasal 5 sampai dengan
pasal 13 UUTPK yang merupakan pasal-pasal dari KUHPidana yang kemudian
ditarik menjadi tindak pidana korupsi. Apabila dikelompokkan, terdapat empat
kelompok tindak pidana korupsi tipe ketiga berikut ini.
(1) Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yaitu Pasal 209, 210, 418,
419 dan 420 KUHPidana.
(2) Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan yaitu Pasal 415, 416 dan
417 KUHPidana.
(3) Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan yaitu Pasal 423 dan 425
KUHPidana.
(4) Penarikan perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leveransir dan
rekanan, yaitu Pasal 387, 388 dan 435 KUHPidana.
d. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat
Pasal 15 dan 16 UUTPK mengkualifikasikan perbuatan percobaan (poging),
pembantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau
keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang di luar
wilayah Indonesia sebagai tindak pidana korupsi.
e. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima
Tindak pidana korupsi pada tipe kelima ini sebenarnya “tidak murni” sebagai
tindak pidana korupsi melainkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan 24
UUTPK. Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau
terdakwa, ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
39
rupiah).
(2) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 35 atau Pasal
36 UUTPK yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan yang tidak benar dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(3) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, 231, 241, 422, 429 atau 430 KUHPidana
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000.00 (tiga ratus juta
rupiah).
(4) Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 UUTPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).
B. Karakteristik Tindak Pidana Korupsi
Dyatmiko Soemodihardjo, di dalam bukunya berjudul mencegah dan
memberantas korupsi, mencermati dinamikanya di Indonesia dan masih terlalu
banyak kelompok atau karakteristik Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sehingga
masih kesulitan bagi masyarakat umum untuk memahami masuk kelompok atau
karakteristik yang mana suatu tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh
seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan inilah beberapa
karakteristik Tindak pidana Korupsi :
a. Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum
untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara;
menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan
dapat merugikan keuangan negara terdapat pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7
Ayat (1) huruf A, Pasal 7 Ayat (1) huruf C, Pasal 7 Ayat (2), Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10 huruf (A), Pasal 12 huruf (I), Pasal 12A dan Pasal 17, UUDRI
Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001.
b. Korupsi yang terkait dengan suap – menyuap, yaitu menyuap pegawai
negeri; memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
pegawai negeri menerima suap;pegawai negeri menerima hadiah yang
berhubungan dengan jabatannya ; menyuap hakim; menyuap advokad;
hakim dan advokad yang menerima suap; hakim yang menerima suap;
advokad yang menerima suap, terdapat pada Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11,
Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d, Pasal
12 A, Pasal 17, dan UURI Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20
Tahun 2001.
40
c. Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan, yaitu pegawai negeri
yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan; pegawai negeri
memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; pegawai negeri
merusakkan bukti; pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti;
pegawai negeri membantu orang lain merusakkan buku terdapat pada
Pasal 8, Pasal 9 huruf i, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf
c.
d. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu pegawai negeri
memeras; pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lainnya,
terdapadat pada Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal
12 A, Pasal 17, dan UURI Nomor 31 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20
Tahun 2001.
e. Korupsin yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pembohong berbuat
curang, pengawas proyek membiarkan perbuatan curang, rekanan TNI /
POLRI berbuat curang, pengawas rekanan TNI / POLRI membiarkan
perbuatan curang, penerima barang TNI / POLRI membiarkan perbuatan
curang, pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan
orang lain yang terdapat pada Pasal 12 huruf i, Pasal 17 dan UURI Nomor
20 Tahun 2001.
f. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan yaitu
pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya yang terdapat
pada pasal 12 huruf i.
g. Korupsi yang terkait dengan grafitasi, yaitu pegawai negeri menerima
grafitasi dan tidak lapor Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdapat
pada, pasal 12 B juncto 12 C, Pasal 13, Pasal 17, dan UURI Nomor 20
Tahun 2001.
Perbuatan korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas dan
ciri khas tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota
birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta;
c. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam
tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau
benda atau pun wanita;
d. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya;
e. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak
selalu berupa uang;
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, bisaanya pada badan
publik atau masyarakat umum;
41
g. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat;
h. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang
dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang
bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Menurut M. Dawan Rahardjo dalam artikelnya Korupsi Kolusi dan Nepotisme
(KKN) menggambarkan bahwa timbulnya perbuatan korupsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Pertama, apakah kelembagaan pemerintah itu memberikan
kesempatan kepada perbuatan korupsi. Kedua, lingkungan budaya yang
memepengaruhi psikologi orang-seorang. Ketiga, pengaturan ekonomi yang
mungkin memberikan tekanan-tekanan tertentu. Tindak pidana korupsi bukanlah
peristiwa yang berdiri sendiri. Pelaku korupsi menyangkut berbagai hal yang
sifatnya kompleks. Faktor faktor penyebabnya tidak saja dapat berasal dari
internal pelaku korupsi, Tetapi dapat juga berasal dari situasi lingkungan yang
kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Berikut adalah aspek-aspek penyebab seseorang melakukan korupsi, menurut
Sarlito W Sarwono , kendatipun tidak ada jawaban yang persis, tetapi dua hal
yang jelas yakni :
a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, Hasrat, kehendak dan
sebagainya);
b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan,
kurangnya kontrol dan sebagainya).
42
Beberapa Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi
menurut Andi hamzah sebagai berikut:
a. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber
atau sebab meluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang
efisien sering di pandang sebagai penyebab korupsi, dalam arti bahwa
yang demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan korupsi.
Semakin besar anggaran pembangunan, semakin besar pula kemungkinan
kebocoran-kebocoran;
d. Modernisasi mengembangbiakkan korupsi karena membawa perubahan
nilai dasar atas masyarakat membuka sumber-sumber kekayaan dan
kekuasaan baru, membawa perubahan yang diakibatkannya dalam bidang
kegiatan sistem politik, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipat
gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan pemerintah;
e. Faktor mental yang tidak sehat lebih dominan untuk mendorong terjadinya
perbuatan korupsi. Sebab sekalipun faktor-fakor lainnya itu ada / terdapat
pada diri seseorang, akan tetapi apabila ia bermental sehat tidak akan
melakukan perbuatan korupsi (semacam ada rem).
Analisa yang lebih detail lagi tentang beberapa penyebab korupsi kemudian
dipaparkan oleh badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP) dalam
bukunya berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi” dimana beberapa yang
menjadi penyebab korupsi antara lain;
1) Aspek individu pelaku
a. Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan disebabkan karena orangnya
miskin atau penghasilannya tidak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah
cukup kaya tetapi masih mempunyai hasrat yang begitu besar untuk
memperkaya diri, penyebab korupsi pada pelaku semacam ini datang dari
dalam diri sendiri yakni sifat tamak dan rakus;
43
b. Moral yang kurang kuat
Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk
melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat
bawahannya atau fihak yang lainnya memberikan kesempatan untuk itu;
c. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya dapat
memenuhi atau sejalan dengan kebutuhan hidup yang wajar, bila hal itu tidak
terjadi maka sesorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara.
tetapi apabila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan
semacam ini akan memberikan sebuah peluang besar untuk melakukan tindak
korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, maupun fikiran dalam artian semua
curahan peluang itu untuk keperluan diluar pekerjaan yang seharusnya;
d. Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi
terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu kemudian membuka ruang
bagi seseorang untuk melakukan jalan pintas diantaranya dengan melakukan
korupsi;
e. Gaya hidup yang konsumptif
Kehidupan di kota kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseorang
berperilaku konsumtif. Perilaku semacam ini apabila tidak diimbangi dengan
pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk
melakukan berbagai tindakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan
kemungkinan itu adalah dengan melakukan tindak korupsi;
44
f. Sifat malas atau tidak mau bekerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari suatu pekerjaan tanpa keluar
keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial dalam
melakukan tindakan apapun dengan cara cara mudah dan cepat, yang
diantaranya melakukan korupsi;
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, yang tentunya akan melarang
setiap warga negaranya melakukan tindakan korupsi dalam bentuk apapun.
Akan tetapi kenyataan dilapangan menunjukan bahwa praktek korupsi
semakin berkembang subur di tengah masyarakat. situasi paradoks semacam
ini mencerminkan bahwa ajaran agama tidak sepenuhnya diterapkan dalam
kehidupan.
2) Aspek Organisasi
a. Kurangnya Sikap Keteladanan Pimpinan
Posisi pimpinan dalam suatu lembaga formal maupun informal sesungguhnya
mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi bawahannya. Apabila seorang
pemimpin tidak bisa memberikan keteladanan yang baik dihadapan
bawahannya misalnya berbuat korupsi maka kemungkinan besar bawahannya
akan mengambil kesempatan yang sama sebagaimana atasannya;
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisai bisaanya mempunyai pengaruh kuat terhadap anggotanya.
apabila kulur organisasi tidak dapat dikelola dengan baik, maka akan
menimbulkan berbagai situasi yang tidak kondusif mewarnai kehidupan
45
organisasi. Dalam posisi yang demikian perbuatan negatif seperti antara lain
korupsi memiliki peluang yang besar untuk terjadi;
c. Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintah pada umumnya belum merumuskan dan
melaksanakan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum
merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode
tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya terhadap instansi pemerintah
sulit untuk dilakukan penilaian apakah instansi tersebut telah berhasil
mencapai sasaranya atau tidak? Dan akibat lebih lanjut terhadap kurangnya
perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki semacam ini
memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktek korupsi;
d. Kelemahan sistem pengendalian manajemaen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. semakin longgar atau lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka peluang
perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya;
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam orgainisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindakan korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup
tersebut, pelanggaran korupsi justru cenderung terus berjalan dengan berbagai
bentuk.
46
3) Aspek tempat individu dan organisasi berada
a. Nilai nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Sebagaimana
diketahui, korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat misalnya,
masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap
sikap seperti ini sering membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi
misalnya dari mana kekayaan tersebut didapatkan;
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat
masih kurang menyadari bila yang dirugikan dalam korupsi itu adalah justru
masyarakat sendiri. Anggapan pada masyarakat umum bahwa yang
mengalami kerugian akibat korupsi adalah Negara, Padahal bila negara rugi,
yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa
berkurang akibat di korupsi;
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi
Dan umumnya setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini
kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah
terbisaa terlibat pada kegiatan korupsi sehari hari dengan cara cara terbuka
namun tidak mereka sadari;
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut berpartisi aktif
Dimana pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi itu
tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu
bisa diberantas hanya bila masyarakat itu aktif berperan serta melakukannya;
47
e. Aspek peraturan perundang undangan korupsi yang mudah timbul karena
adanya kelemahan di dalam peraturan perundang undangan yang dapat
mencakup adanya peraturan yang hanya menguntungkan kroni penguasa,
kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang
disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak
konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi
peraturan perundang undangan.
C. Sistem Peradilan Pidana dan Sub – Sub Sistem Peradilan Pidana
Istilah sistem peradilan pidana (SPP) sebenarnya dapat disepadankan dengan
istilah dalam bahasa Inggris criminal justice sistem (CJS) atau ada juga yang
menyepadankan dengan istilah lain dalam bahasa Inggris juga yaitu criminal
justice administration (CJA), namun demikian istilah yang terakhir jarang
digunakan disini.
Cakupan SPP tidak hanya terbatas pada masalah pengadilan, namun lebih luas
daripada itu, dalam kamus hukum CJS diberi pengertian sebagai: “The network ef
courts and tribunals which deal with criminal law and its enforcement”10
.
Dilihat dari segi tujuan sistem, SPP dapat diartikan sebagai suatu jaringan kerja
yang ada dalam masyarakat atau negara yang dibentuk secara sadar dalam rangka
usaha mengendalikan kejahatan, agar kejahatan yang ada dalam masyarakat masih
berada dalam tingkatan yang dapat diterima. Dengan demikian, dalam pengertian
10
Black, 1986: hlm. 75
48
ini terdapat suatu kesadaran bahwa kejahatan yang terdapat di dalam masyarakat
tidak mungkin dapat dihilangkan sama sekali, karena itu yang dapat dilakukan
oleh SPP adalah sebatas pada usaha untuk mengendalikan atau mengurangi
kejahatan (controll/reduction of crime).
Memahami pengertian peradilan dalam kerangka sistem, analisis mengenai
bagaimana seseorang menjadi pelanggar hukum, dalam konteks sistem
dikemukakan oleh La Patra11
sebagai berikut: “When someone becomes a law
violator, he may be considered to be crossing the boundary between society and
the criminal justice sistem. After leaving the CJS, the individual returns to society;
if he returns to the CJS at the later time, he is called a recidivist”.
Menurut La Patra seseorang dikatakan sebagai pelanggar hukum, mungkin karena
ia telah melanggar batas-batas antara masyarakat dengan SPP. Seseorang yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berarti ia telah melanggar batas toleransi
masyarakat, untuk itu bagi mereka akan menerima konsekuensi dengan
dimasukkan ke dalam SPP. Sesudah ia keluar dari SPP ia akan kembali lagi ke
dalam masyarakatnya, namun apabila di kemudian hari ia melakukan pelanggaran
hukum ia akan masuk kembali ke dalam SPP, orang tersebut secara terminologi
hukum dinamakan sebagai residivis.
Pandangan La Patra tersebut terdapat gambaran adanya siklus yang dimulai dari
terjadinya pelanggaran hukum oleh seseorang dalam masyarakat, kemudian
masuknya si pelanggar hukum ke dalam SPP, sampai dengan munculnya seorang
11
La Patra, Healing: The Coming Revolution in Holistic Medicine. 1978: hlm. 83
49
residivis. Dalam. pandangan La Patra tersebut seorang pelanggar hukum itu ada
dalam batas antara masyarakat dengan SPP. Apabila seseorang tidak melakukan
pelanggaran hukum pidana, maka ia tidak akan masuk ke dalam SPP, sedangkan
apabila seseorang telah selesai menjalani hukuman, maka ia akan kembali lagi ke
dalam masyarakat, dan ia akan masuk lagi ke dalam SPP manakala ia melakukan
pelanggaran hukum lagi (residivis).
Lebih jauh lagi La Patra berpandangan bahwa beberapa perbedaan sistem sosial
mempunyai pengaruh terhadap seseorang sebelum ia kontak dengan SPP.
Menurutnya sesorang lahir dengan beberapa kemampuan mental dan fisik dan
khususnya yang cenderung telah diwarisi. Dalam kehidupannya orang
berhubungan dengan bermacam-macam kelompok, misalnya keluarga, yang
memainkan peranan penting dalam hidupnya. Sistem sosial penting yang lain
yang dapat mempengaruhi adalah ekonomi, pendidikan, teknologi, dan politik.
Sistem ekonomi misalnya dapat mempengaruhi tingkat penghasilan, perawatan
kesehatan, transportasi, pekerjaan, rekreasi, dan atribut lain dalam hidupannya,
sedangkan sistem pendidikan akan membentuk kecerdasan (kemampuan berpikir)
dan jiwa (mental endowments) serta meningkatkan keahlian dan potensi yang
dimiliki seseorang. Sistem teknologi dapat mempengaruhi seni, metode, dan
perlengkapan yang dipergunakan dalam proses perubahan dan pengaruh utama
dalam hidupnya pada waktu bekerja. Karena sistem potitik menghasilkan
pengalokasian sumber daya dan menetapkan formasi kebijakan (policy) dan
50
hukum (laws) maka secara tidak langsung sistem politik akan mempengaruhi
proses evolusi dari norma-norma sosial serta nilai-nilai.
Segi idealita suatu pendekatan sistem dapat digunakan untuk menyelidiki
hubunaan-hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana
seseorang dapat menjadi pelanggar hukum. Dalam hal ini La Patra telah
membantu membuat langkah sebagai petunjuk mengenai pendefinisian tingkatan-
tingkatan sistem untuk memahami masalah peradilan pidana. Tidak dapat
disangkal bahwa batas-batas dan tingkatan-tingkatan sistem yang meliputi
identifikasi sistem, sub sistem, dan sistem yang lebih tinggi berhubungan dengan
masalah pemahaman peradilan pidana dalam kerangka sistem.
SPP dalam pengertian tingkatan-tingkatan tersebut di atas digambarkan oleh La
Patra sebagai berikut:
Ragaan 1. Hubungan SPP dengan politik, ekonomi dan budaya
Society
Politic, economic, sosial, culture
CRIMINAL JUSTICE SISTEM
Level I
Level II
Level III
Keterangan:
Level I (society) yaitu suatu level yang lebih besar merupakan sistem masyarakat,
dalam level mana terdapat level-level yang lebih kecil antara lain; Level II
(poleksosbud) yaitu level dimana terdapat faktor-faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, teknologi, sedangkan level yang lebih kecil yaitu; Level EQ subsistem of
51
criminal justice, level dimana terjadinya proses penegakan hukum pidana yang
pada hakikatnya terdapat interaksi, interkoneksi dengan level-level yang lebih
besar sehingga kedudukan dari level 3 menjadi interdepensi terhadap level-level
lainnya12
.
Gambaran tersebut di atas terlihat jelas bahwa letak SPP ada dalam tatanan
masyarakat, dalam kedudukan seperti itu SPP dipengaruhi oleh sub-sub sistem
penting dalam masyarakat, yaitu ekonomi, pendidikan, teknologi, dan politik.
Berdasarkan pada pandangan La Patra tersebut SPP harus berpijak pada
masyarakat, SPP tidak bisa lepas dari masyarakat dan bekerja sendiri didalamnya.
Sub-sub sistem dalam SPP haras bekerja dengan suatu tatanan yang sudah jelas
tujuan atau targetnya.
SPP tidak boleh bekerja sendiri terpisah dari tujuan masyarakat dimana SPP
berada didalamnya. Allan Coffey13
secara lebih detail dengan pendekatan yang
berbeda dengan La Patra mengemukakan pengertian sistem sebagai: “The sistems
approach has to do with causes and effects, which in turn have to do with
interaction. All human interactions are effects of some kind, and every interaction
whether large or small, has some effect. Even the supposed absence of interaction
has effect on thse who notice the absence. It is through this fundamental
observation about sistems that the vital role of people emerges”.
Menurat Coffey pendekatan sistem dapat dilakukan dengan melihat rangkaian
sebab akibat dari suatu proses interaksi. Bahwa setiap macam interaksi manusia
adalah akibat dari berbagai hal, dan setiap interaksi apakah ia besar atau kecil
12
J.W. La Patra, Healing: The Coming Revolution in Holistic Medicine. 1978: hlm. 86 13
Allan Coffey, 1984: hlm. 8
52
pastilah akan menimbulkan suatu akibat. Menurat Coffey, terhadap pengamatan
mendasar tentang sistem ini menimbulkan adanya peranan penting mengenai
orang (people).
Lebih lanjut lagi untuk memberikan gambaran pendekatan SPP sebagai suatu
proses rangkaian interaksi sebab akibat diberikan contoh oleh Coffey sebagai
berikut: “The interaction of an armed robber with the victim is the effect of the
robbery, but it is also the cause of another interaction with police (hopefully), and
with prosecution, corrections and so on. The interaction of police with
prosecution similarly a variety of both causes and effects, as are the interactions
of corrections with courts and police”.
Karena suatu sistem dipahami sebagai suatu rangkaian sebab interaksi sebab
akibat sehingga menurut Coffey suatu sistem itu digambarkan seperti untaian
rantai (chain) yang berisi rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat, sebagaimana
dikatakan oleh Coffey sendiri bahwa: “A sistem is simply a chain of these causes
and effects”.
Sejalan dengan pandangannya tersebut diberikan suatu gambaran mengenai
sistematik rantai interaksi yang dapat didisain untuk menghasilkan altibat-akibat
yang diinginkan, secara konsisten Coffey menganalogikan dengan sistem
pemanas ruangan yang dilengkapi dengan alat pemanas (thermostat) yang dapat
mengatur seberapa besar panas yang diperlukan untuk ruangan sehingga tercapai
tingkat suhu ruangan yang ideal, yang sesuai dengan kebutuhan pemakainya.
53
Kerangka pandangan Coffey tersebut, dalam hal SPP, maka fungsi-fungsi
individual dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan
idealnya dapat berfungsi sama dengan cara kerja sistem pemanas. Meskipun tidak
dapat disangkal bahwa sistematik cara kerja SPP yang terjadi dapat disebabkan
oleh beberapa kemungkinan, sedang sistem pemanas hanya disebabkan oleh satu
macam kemungkinan yaitu tingkat suhu ruangan. Dengan kata lain bahwa SPP
harus bisa memberikan respon terhadap bermacam-macam variabel, seperti
variabel perubahan sosial, perubahan peraturan perundang-undangan, dan
perubahan ekonomi yang secara langsung dapat mempengaruhi polisi, pengadilan,
penuntut umum, pembela, dan lembaga pemasyarakatan, yang kesemuanya itu
sebenarnya adalah sejumlah “thermostat”.
Salah satu tujuan peradilan pidana adalah pengendalian kejahatan dalam rangka
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, oleh karena itu salah satu
tolak ukur keberhasilan peradilan pidana adalah dengan melihat tingkat
kemampuan peradilan pidana untuk mampu menyeleksi secara efisien kesalahan
tersangka dan memberikan hukuman yang harus diterapkan kepada pelaku secara
pantas (adil), sehingga dengan demikian secara kuantitatif tercapai tingkat
penegakan hukum yang tinggi.
Sisi lain masyarakat menginginkan perlindungan agar tidak menjadi korban
kejahatan, atau kalau pun sudah terlanjur menjadi korban kejahatan, maka
pelakunya dapat diproses melalui peradilan pidana, namun demikian pada sisi
yang lain masyarakat tidak menginginkan terjadinya gangguan terhadap hak-hak
54
mereka sebagai warga negara yang mempunyai hak asasi manusia (HAM) akibat
bekerjanya alat-alat penegak hukum, kecuali yang memang benar-benar telah
diatur kewenangannya oleh peraturan hukum yang berlaku.
Hal tersebut ibarat dua sisi dari mata uang. Oleh karena itu peradilan pidana harus
mampu mengakomodasi secara proporsional setidak-tidaknya dua macam
kepentingan tersebut yaitu kepentingan umum, yaitu kepentingan warga
masyarakat yang menjadi korban kejahatan baik secara langsung maupun tidak
langsung yang dalam hal ini diwakili oleh alat negara penegak hukum, dengan
kepentingan pelaku kejahatan. Kedua kepentingan yang harus diperhatikan secara
proporsional ini harus menjadi salah satu dasar falsafah utama dalam peradilan
pidana.
Apabila peradilan pidana terlalu mementingkan pemberian kewenangan alat
negara penegak hukum tanpa memperhatikan pemberian hak-hak warga negara
khususnya kepada tersangka/terdakwa, maka hal itu merupakan potensi terjadinya
pelanggaran hak-hak warga negara. Namun sebaliknya jika terlalu mementingkan
aspek perlindungan hak-hak warga negara dikhawatirkan akan mempersulit
pelaksanaan tugas aparat penegak hukum.
Penyelesaian perkara kejahatan melalui proses peradilan pidana, berarti alat-alat
negara penegak hukum bekerja dengan menjalankan kewenangan yang
dimilikinya. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Lord Acton bahwa “power
tends to corrupt”, bahwa kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, maka di
55
sinilah letak pentingnya perhatian terhadap perlunya perlindungan warga negara
terhadap kemungkinan pelanggaran kewenangan oleh alat negara penegak hukum.
Seseorang yang diduga telah melakukan suatu perbuatan jahat oleh alat negara
penegak hukum, maka status hukumnya berubah menjadi tersangka. Sebagai
seorang tersangka dia dapat dikenakan berbagai pembatasan terhadap
kemerdekaan pribadinya seperti kebebasan bergerak, menguasai/memiliki harta
benda dan lain sebagainya.
Kondisi seperti ini seorang tersangka berhadapan dengan petugas penegak hukum
yang dibekali sejumlah kewenangan tertentu, maka seorang tersangka akan
nampak sebagai pihak yang sangat lemah. Sebagai pihak yang lemah tentunya
harus ada suatu jaminan yuridis yang memberi perlindungan agar seorang
tersangka tidak menjadi korban penyalahgunaan kewenangan. Meskipun seorang
tersangka dapat dikenakan berbagai pembatasan HAM yang dimilikinya, tidak
berarti dia dapat diperlakukan sewenang-wenang sehingga berkesan seluruh
haknya sebagai warga negara telah hilang sama sekali.
Pembatasan-pembatasan hak-hak warga negara dalam suatu negara yang berdasar
atas hukum seperti di Indonesia, hanya diperbolehkan apabila hal itu dibenarkan
oleh hukum itu sendiri melalui suatu proses peradilan pidana yang adil (due
process of law) sebagai lawan dari arbitrary process atau proses peradilan yang
sewenang-wenang.
Due process of law merupakan kerangka dasar pendirian sistem peradilan yang
tertib. yang meliputi administrasi, dan kebebasan seseorang, bahkan kita tidak
56
dapat membicarakan masalah keadilan dalam proses peradilan tanpa
mengkaitkannya dengan due process of law, yang menurut Tobisa dan Petersen14
berasal dari Magna Charta tahun 1215 di Inggris yang mulai membatasi
kekuasaan raja yang absolut sehingga warga negara tidak terlindungi dengan baik.
Tidak ada satu definisi yang tepat untuk segala situasi mengenai due process of
law karena adanya perbedaan-perbedaan tempat yang mempengaruhi. Definisinya
tergantung pada hubungan hukum atau peraturan perundang-tmdangan yang
mengatur perilaku warga dan hukum yang membatasi kekuasaan. Due process of
law bukan rule of law tetapi merupakan elemen dasar dari keadilan. Menurut
definisi dari Daniel Webster yang diambil berdasarkan kasus Dartmouth College v
Woodward due process of law diartikan sebagai: a law which hears before it
condems; which proceeds upon Due process of law merupakan jaminan
konstitusional untuk melindungi individu dari kekuasaan yang sewenang-wenang,
karena adanya jaminan bahwa tidak seorang pun boleh dirampas hidup,
kebebasan, dan kekayaannya selain berdasarkan putusan pengadilan yang sah.
Sebagai contoh dikutipkan Amandemen ke-5 dan ke-14 dalam konstitusi Amerika
Serikat sebagai berikut:
No perso… be deprived of life, liberty, or property without due process of
law (fifth amandment);
… nor shall any state deprive any person of life, liberty, or property,
without due process of law (14th amandment)
14
Dikutip dari Mardjono Reksodiputro, 1983: hlm. 211
57
Ada tiga hal yang menjadi asumsi atau dasar dari due process of law yaitu: (1)
rule of law dalam arti negara berdasar hukum; (2) Equality before the law atau
asas persamaan di depan hukum dalam arti tidak ada diskriminasi yang bersifat
negatif di muka hukum; dan (3) presumption of innocence dalam arti asas praduga
tidak bersalah.
Menurut Mardjono Reksodiputro15
, due process of law sering ditafsirkan secara
keliru karena hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara
pidana dalam suatu proses peradilan terhadap terdakwa. Dengan mengutip kalimat
salah satu alinea Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan
adalah hak segala bangsa” Oleh karena itu sebenarnya pengertian dari proses
peradilan pidana yang adil harus lebih luas dari pada sekedar menerapkan aturan
hukum acara pidana, namun selain itu harus terdapat suatu sikap penghargaan kita
terhadap hak-hak warga negara termasuk di dalamnya adalah tersangka/terdakwa.
Inti dari pengertian due process of law yang benar adalah perlindungan terhadap
kebebasan warga negara. dan hal ini menjadi tonggak utama peradilan pidana
dalam negara hukum.
Adanya dua macam tuntutan terhadap jaminan perlindungan kepentingan dua
pihak dalam proses peradilan pidana, yaitu kepentingan umum yang diwakili oleh
petugas penegak hukum yang menginginkan adanya jaminan kelancaran proses
peradilan pidana, dengan kepentingan pihak tersangka dan terdakwa yang
menginginkan jaminan perlindungan hak asasi mereka, sebenarnya membawa
15
Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana dan Batas-batas Toleransi Penegakan
Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994
58
kesukaran di dalam praktek, karena pada dasarnya sangat sukar untuk memenuhi
tuntutan tersebut secara benar-benar seimbang.
Pengamatan terhadap dua macam sistem peradilan yang sangat berpengaruh di
dunia, yaitu sistem Anglo Saxon dan Eropa Kontinental, ternyata menunjukkan
adanya perbedaan cara pandang dalam memenuhi dua macam kepentingan yang
dalam banyak hal sering bertentangan itu.
Sistem Anglo Saxon meletakkan kerangka hukum acara pidana yang lebih
menonjolkan aspek perlindungan hak-hak asasi manusia dibandingkan dengan
penonjolan aspek kepentingan petugas penegak hukum. Tradisi sistem Anglo
Saxon yang berasal dari Inggris dan kemudian juga sampai ke Amerika Serikat
itu. dipengaruhi oleh munculnya Magna Charta tahun 1215 yang memperkenalkan
prinsip due process of law, hukum acara pidananya mencerminkan sendi-sendi
hukum berdasarkan Habeas Corpus dan Rule of Law. sedang pendekatan
pemeriksaan perkara. lebih bersifat accusatoria.
Sistem Eropa Kontinental terlihat lebih menonjolkan kepentingan tugas negara
dalam proses peradilan pidana yang diberikan melalui perangkat peraturan yang
memberikan kewenangan alat penegak hukum, namun demikian bukan berarti hak
asasi khususnya bagi tersangka dan terdakwa tidak diperhatikan karena peraturan
hukum yang memberi berbagai kewenangan petugas penegak hukum tersebut
diimbangi dengan ketentuan mengenai akibat hukum apabila terjadi pelanggaran
dan penyalahgunaan kewenangan.
59
Rumusan peraturan hukum acara pidananya mencerminkan sendi-sendi hukum
berdasarkan rule of law dan diperkuat oleh Droit Administratis. Kedua macam
sistem peradilan pidana tersebut kalau pada awalnya memang dapat dibedakan
secara jelas dengan melihat kepada sejarah dan tradisi sistem hukumnya, namun
demikian sekarang ini nampaknya semakin sulit mengingat dalam
perkembangannya terjadi beberapa percampuran sistem hukum di banyak negara
penganut ke dua macam sistem hukum tersebut. Indonesia misalnya sebagai salah
satu contoh. Kalau dilihat dari sejarah sistem hukumnya sebenarnya lebih
condong kepada sistem Eropa Continental, namun dalam perkembangannya
ternyata ditemukan juga pengaruh sistem Anglo Saxon, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh arus globalisasi informasi dan semakin banyaknya ahli hukum
Indonesia yang melakukan studi hukum ke Amerika Serikat dibandingkan dengan
yang ke Belanda atau Perancis.
Mengingat perkembangan kedua macam sistem hukum dan sistem peradilan
pidana yang berpengaruh di dunia tersebut, sebenamya kita tidak dihadapkan
kepada suatu sikap mutlak untuk menjadikan pilihan yang harus diterima, namun
nampaknya akan lebih baik apabila dilakukan pengidentifikasian sistem nilai yang
melatar belakangi bagaimana dinamika berjalannya sistem peradilan pidana yang
dapat dipilih sesuai dengan perkembangan kebutuhan peradilan pidana, sehingga
kita terhindar dari perangkap sistem yang semula kita pilih.
60
Penelitian Herbert L. Packer16
mencoba untuk mengambil atostraksi dari
kenyataan berjalannya peradilan pidana di Amerika Serikat yang menganut model
adversary, dan kemudian menciptakan dua model (kerangka pikiran) yang
kemudian dikembangkan menjadi teori. Kedua model yang dimaksudkan tersebut
adalah crime control model (CCM) dan due process wtodel (DPM) . Menurut
Packer kedua model tersebut saling berkompetisi (berlomba) untuk mendapatkan
prioritas dalam pelaksanaan proses pidana.
Kedua model yang dikemukakan Packer tersebut sebenamya hanyalah suatu
abstraksi dari kenyataan proses kriminal yang diamati. Sebenamya secara faktual
model tersebut tidak ada sungguh-sungguh di dunia ini (dalam arti menjadi
semacam peraturan hukum tertentu yang mengatur proses peradilan pidana
menjadi dua macam model tersebut), karena model ini hanyalah suatu cara Packer
untuk menilai pelaksanaan peradilan pidana.
Sebenarnya selain kedua model yang dikemukakan Packer tersebut masih ada satu
model lagi yang dikemukakan oleh John Griffithst17
sebagai suatu pandangan
yang mengkritik CCM dan DPM yang ada dalam sistem adversary. Model ketiga
yang dimaksud dinamakan sebagai The Family Model. Selain itu sebenamya
Roeslan Saleh18
juga mengemukakan mengenai dua macam model peradilan
pidana yang dinamakannya sebagai Mode 1 Yuridis dan Model Kemudi atau
stuurmode.
16
Herbert L. Packer, Two Models of the Criminal Process ,1968: hlm. 72 17
John Griffithst, the crime control model” dan “the due process model. 1970: hlm. 48 18
Roeslan Saleh, Stelsel pidana Indonesia Roeslan Sale, Jakarta, Aksara Baru 1983
61
Peradilan pidana diselenggarakan oleh lembaga-lembaga peradilan pidana, yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Kedudukan
Kepolisian dalam proses peradilan pidana berperan sebagai penjaga pintu gerbang
(as a gate keepers) yaitu melalui kekuasaan yang ada, ia merupakan awal mula
dari proses pidana. Polisi dalam hal ini Penyidik Polri berwenang menentukan
siapa yang patut disidik, ditangkap, dan ditahan. Penuntut umum baru
melaksanakan fungsinya setelah ada penyerahan hasil pemeriksaan dari penyidik.
Pembuatan surat dakwaan oleh penuntut umum berdasarkan berita acara
pemeriksaan penyidikan. Jadi antara tugas Kepolisian dan tugas Kejaksaan, satu
sama lain ada kaitannya. Kaitan tersebut dimana hasil penyidikan oleh polisi akan
mempengaruhi dakwaan yang dibuat oleh jaksa.
Praktik peradilan pidana tidak dapat dihindari tugas Kepolisian dan Kejaksaan
tersebut saling berhubungan, maka mutlak perlu adanya kerja sama seharmonis
mungkin, haras ada koordinasi yang dilandasi tanggung jawab moral bersama
untuk satu tujuan yaitu penegakan hukum.
Kekuasaan polisi, seberapa dapat harus menunjang tugas penuntut umum, artinya
tidak sekehendak hati menggunakan kekuasaan tersebut. Sebaliknya antara kedua
lembaga itu selalu diadakan koordinasi dan konsultasi timbal balik. Masing-
masing mengambil inisiatif positif saling bertemu untuk memecahkan persoalan-
persoalan yang rumit dalam menangani satu perkara.
Kegiatan Prapenuntutan, tidak berarti menempatkan Kejaksaan berada di atas
Kepolisian, dan sebaliknya pula wewenang Kepolisian tidak berarti di atas
62
Kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan adalah sama-sama merupakan rantai-rantai
yang terkait dalam satu roda bergigi. Prapenuntutan, pada hakekatnya suatu
tuntutan moral, atau suatu jalur komunikasi, agar Kepolisian dan Kejaksaan saling
“tepo sliro” saling menghargai, bertenggang rasa akan tugas dan tanggung jawab
masing-masing.
Mengenai hubungan Kepolisian dengan Pengadilan. Hubungan tersebut yaitu
dalam hal penyidik mengajukan permintaan untuk perpanjangan penahanan,
meminta izin penggeledahan, penyitaan dan pemeriksan surat. Jika ketua
Pengadilan tidak memberi izin atau menolak permintaan penyidik, maka penyidik
harus berusaha memahami kebijaksanaan yang ditempuh oleh Pengadilan
tersebut.
Hubungan antara penuntut umum dengan hakim tampak pada pemeriksan di muka
persidangan. Jika hakim berdasarkan periksaannya beranggapan surat dakwaan
tersebut tidak atau kurang benar, maka hakim dapat memberikan kesempatan
kepada penuntut umum untuk memperbaikinya.
Hubungan dengan Lembaga Pemasyarakatan, penuntut umum adalah orang yang
ditugaskan melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
tetap dengan memasukkan orang yang telah dipidana ke Lembaga
Pemasyarakatan (eksekusi). Dalam hal putusan Pengadilan berupa perampasan
kemerdekaan, maka peranan hakim sebagai pejabat diharapkan juga bertanggung
jawab atas putusan tersebut. Artinya ia harus mengetahui apakah putusan yang
63
telah dijatuhkan olehnya dilaksanakan dengan baik oleh petugas-petugas yang
berwenang yaitu, baik penuntut umum maupun Lembaga Permasyarakatan.
Adanya pengawasan atas putusan yang dijatuhkan, maka tujuan pemidanaan
antara lain usaha pengembalian eks terpidana ke masyarakat dapat dilaksanakan.
Dengan demikian hubungan Pengadilan dengan penuntut umum dan Lembaga
Pemasyarakatan tampak lebih nyata melalui lembaga pengawasan sebagai hal
yang baru dalam KUHAP. Hal ini ini sekaligus diartikan pula tugas hakim dalam
sistem peradilan pidana tidaklah berakhir pada saat keputusan Pengadilan
dijatuhkan, tapi juga terus berlanjut sampai tujuan pemidanaan atau tujuan sistem
peradilan pidana tercapai, atau setidak-tidaknya sampai eks terpidana kembali
kepada masyarakat sebagai anggota yang baik.
Tugas hakim yang demikian ini, memberi manfaat agar ia dalam menjatuhkan
pidana dapat mengetahui perilaku narapidana dalam lembaga dan pengaruhnya
terhadap putusan yang telah ia berikan maupun ketika eks terpidana kembali pada
masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan sistem peradilan pidana terpadu
menuntut suatu konsekuensi perluasan kekuasaan hakim tidak hanya sebagai
pemidana saja atau melaksanakan fungsi justisi, tetapi juga sebagai pelaksana
dalam mencapai tujuan peradilan pidana, yaitu fungsi pembinaan terhadap pidana
atau fungsi kesejahteraan19
.
19
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana. 1981: hlm. 38
64
Kedudukannya sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat pula dikatakan
hakim telah melakukan fungsi politik kriminal, sebagai suatu cara untuk mencapai
atau mewujudkan kesejahteraan di dalam kehidupan masyarakat. Fungsi ini dalam
praktik peradilan pidana di negara-negara yang maju banyak dilakukan terutama
dalam konteks pembangunan terhadap manusia bagi mereka yang telah
melakukan pelanggaran terhadap hukum. Dengan kata lain pembangunan tidak
hanya ditujukan terhadap manusia yang tidak melakukan pelanggaran terhadap
hukum saja, tetapi juga terhadap pelanggar hukum. Pembangunan tersebut
dilakukan melalui kebijakan pidana yang dimulai dari sejak awal proses peradilan
pidana dan dilanjutkan sampai saat terpidana menjalani masa pidananya di
Lembaga Pemasyarakatan dengan tujuan menjadi warga negara yang baik.
Sistem peradilan pidana yang terdiri dari subsistem-subsistem Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan satu kesaruan
yang melaksanakan fungsi dan tugas penegakan hukum pidana secara terpadu
(integrated criminal justice sistem). Untuk memahami fungsi dan tugas masing-
masing subsistem dan hubungannya subsistem lainnya dalam peradilan pidana, di
bawah ini diuraikan fungsi dan tugas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan.
65
D. Fungsi dan Tugas Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan
1. Kepolisian
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(selanjutnya disebut UU Kepolisian) merupakan pembaruan dari Undang-undang
No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian R.I. Dalam UU Kepolisian mencantumkan
tugas kepolisian yang meliputi tugas penegakan hukum serta pemeliharaan
ketertiban dan keamanan umum.
Proses penegakan hukum, Kepolisian lembaga yang pertama kali harus dilalui
dalam proses peradilan pidana. Oleh karenanya mempunyai wewenang untuk
melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan mulai dari penyelidikan, penyidikan,
penahanan, penyitaan sampai ditemukan suatu kejahatan yang telah dilakukan
sebagaimana diatur dalam Undang – Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang
KUHAP. Dalam melaksanakan tugas ini terkandung pengertian mencegah dan
menindak atau memberantas kejahatan menurut ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan tugas polisi yang luas tersebut, maka menuntut suatu tingkat
kepribadian yang tinggi dalam arti anggota polisi memiliki pengetahuan, tanggap
serta terampil dalam menangani kasus-kasus menyangkut penegakan bukun serta
ketertiban dan keamanan masyarakat. Anggota polisi, dituntut pula mempunyai
rasa tanggung jawab hukum memadai, mengingat tugasnya harus dapat
memberikan penilaian terhadap perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai
tindak pidana. Lagi pula ia harus segera mengambil sikap ucapan harus bertindak
apabila terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Polisi menganggap sebagai wasit
66
terhadap nilai-nilai sosial yang dilanggar, karena ia yang berhadapan langsung
dengan situasi sehari-hari, sehingga dalam praktek kadang-kadang sewajarnya jika
terjadi tindak pidana, tindakan polisi dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat
praktis dan pragmatis, seperti sering tcrlihat penanganan oleh polisi terhadap
pelanggaran lalu lintas.
Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kepolisian diletakkan di garis depan
dalam menghadapi situasi perubahan sosial yang cepat. Perubahan cepat sebagai
akibat timbulnya modernisasi di bidang teknologi, khususnya dalam pencegahan
kejahatan modern dan kejahatan luar bisaa seperti Korupsi, terorisme,
penyanderaan, pembajakan udara, di samping menghadapi bentuk-bentuk
kejahatan umumnya. seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, penipuan.
Tugas multi kompleks ini disebabkan polisi tidak dapat menghindarkan diri, ia
harus berkontak langsung dengan masyarakat, dan juga selalu berkonfrontasi
dengan masyarakat tersebut.
Tugas melakukan bimbingan masyarakat adalah tugas untuk menciptakan
ketaatan warga kepada hukum serta peraturan-peraturan negara secara persuasip
dan edukatif yang dalam pelaksanaannya menghendaki kerja sama dengan
berbagai instansi baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan lainnya.
Tugas yang bersifat preventif atau pencegahan meliputi tugas polisi sebagai
pemelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; memelihara keselamatan
jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan
ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan
67
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; menyelenggarakan segala kegiatan
dalam rangka membina keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas jalan;
melindungi dan melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara,
sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; membina
ketaatan diri warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-
undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional dan pembinaan kesadaran
hukum masyarakat; melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis
terhadap alat-alat Kepolisian Khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-
bentuk pengamanan swakarsa yang memiliki kewenangan Kepolisian terbatas;
melakukan pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia
dengan koordinasi instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dan mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional.
Apabila dikaji lebih lanjut tugas memelihara keamanan adalah tugas yang luas
dibandingkan dengan tugas penyidik. Tugas memelihara keamanan dan
pertahanan bukan sekedar tugas ketertiban yang berarti penegakan hukum,
melainkan tugas-tugas keamanan dapat saja berupa tugas yang menyampingkan
penegakan hukum demi tercapainya keamanan. Contoh, untuk melaksanakan
keamanan dapat saja prosedur hukum dikesampingkan, yaitu dalam hal dilakukan
penangkapan, penggeledahan dan penyitaan tanpa melakukan prosedur hukum
seperti yang disyaratkan KUHAP. Dalam melaksanakan tugas di atas tentunya
polisi diberi wewenang untuk melakukan sesuatu yang erat hubungan dengan
pelaksanaan tugas.
68
Polisi sebagai lembaga pertama yang berhadapan langsung dengan masyarakat,
diharapkan dapat menggunakan wewenang dalam penyidikan tidak hanya sekedar
supaya tersangka didakwa, tetapi dalam kaitannya dengan tujuan peradilan pidana
mampu menilai dan menggunakan wewenang tersebut sesuai dengan tujuan
peradilan pidana.
Penyidikan suatu perkara yang telah cukup bukti untuk diteruskan sebagai suatu
perkara, polisi dapat saja melanjutkan perkara itu untuk didakwa. Kemudian
ternyata polisi menghentikan penyidikan, karena polisi berpendapat bahwa
manfaat “penghentian” akan lebih baik dibandingkan dengan perkara diteruskan.
Misalnya polisi menangani perkara pelanggaran lalu lintas, dimana antara pelaku
dengan korban telah terjadi perdamaian. Kemudian polisi menghentikan
penyidikan, setelah melihat bahwa proses penyidikan yang telah ia lakukan
ternyata memberi pengaruh positif kepada pelaku, antara lain ia menginsyafi
perbuatannya yang salah dan untuk itu berjanji tidak mengulangi lagi
perbuatannya, dan akan berbuat baik sebagaimana layaknya. Hal ini dapat
dibenarkan karena tujuan peradilan pidana setidak-tidaknya telah tercapai pada
tahap yang dilakukan oleh polisi tersebut. Dengan kata lain “tujuan” peradilan
pidana memberikan pembenaran (justification) atas perbuatan-perbuatan polisi
dalam penghentian penyidikan tersebut.
Menjadi permasalahan sekarang, bagaimana seandainya dengan penghentian
penyidikan tersebut ternyata penuntut umum atau pihak ketiga melakukan
praperadilan. Dalam hal ini hakim seyogyanya pertama-tama tidak hanya
69
mengartikan praperadiian sebagai suatu cara untuk menguji sah atau tidaknya
penghentian penyidikan secara kebenaran formil, artinya menekankan pada apa
yang diatur oleh undang-undang saja. Tetapi melihat sah atau tidak sahnya itu
secara lebih luas lagi, yaitu jika tujuan peradilan pidana tercapai dengan dilakukan
penghentian penyidikan tersebut, yaitu si pelaku dapat menjadi warga masyarakat
yang baik dan insyaf dan akan mematuhi hukum, maka penghentian penyidikan
oleh polisi tersebut hams dianggap sah. Suatu hal yang pertu dicatat, hal tersebut
di atas hanya dapat dimungkinkan pada sistem peradilan pidana yang terpadu
yang menghendaki keharmonisan, koordinasi kerja sama yang baik antara
lembaga peradilan.
Pihak ketiga yang mengajukan praperadilan, baik yang berkepentingan sendiri
atau pembelanya, hendaknya lebih luas pandangannya terhadap makna peradilan
(dalam hal ini penyidikan), bukan hanya sebagai upaya untuk menghukum, tapi
juga untuk mengembalikan si pelanggar hukum kepada jalan yang benar. Kembali
ke jalan yang benar itu tidak “harus” melalui peradilan pidana yang dimulai sejak
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan sampai dengan pelaksanaan
hukum, tetapi dapat saja dilaksanakan oleh salah satu sub sistem peradilan pidana.
Polisi dalam bidang penyidikan menurut KUHAP adalah sebagai penyidik Karna,
dengan demikian polisi memiliki peran sebagai koordinator penyidik. Adapun
wewenang polisi sebagai penyelidik dari penyidik menurut KUHAP dapat dilihat
dalam Pasal 5, 6, dan 7 sebagai berikut:
70
Sebagai penyelidik:
Pasal 4:
Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 5:
(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan alat bukti;
3. Menyuruh berheriti seorang yang dicurigai dari menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, Larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan;
3. Mengambil sidik jari dam memotret seorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
71
Sebagai penyidik :
Pasal 6:
(1) Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 7 :
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
Pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a.
72
Peradilan pidana Kepolisian mempunyai tugas yang bersifat penindakan atau
represif, seperti melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan, penangkapan,
penahan dan penyitaan. Tindakan ini dalam sistem peradilan pidana bermaksud
menyelesaikan dengan efektif tiap-tiap perkara yang masuk di Kepolisian. Dengan
adanya angka penyelesaian perkara yang tinggi terhadap kasus-kasus yang masuk
di Kepolisian sebagai the gate keepers, maka hal ini menunjukan bahwa
Kepolisian sebagai subsistem dalam peradilan pidana telah bertindak secara
efisien.
Bertindak “efisien” yang dilaksanakan oleh Kepolisian tidak mempunyai arti
apabila tidak diikuti oleh mekanisme sub sistem lainnya. Misalnya Kejaksaan atau
penuntut umum dalam proses lebih lanjut terhadap perkara yang dilimpahkan oleh
polisi haruslah dengan cepat menyelesaikan hal tersebut.
Apabila hal di atas dihubungkan dengan lembaga prapenuntutan sebagai hak
penuntut umum untuk mengembalikan berkas perkara kepada polisi dengan alasan
belum cukup bukti, maka jangan sampai proses melengkapi menjadi berlarut-
larut. Perlu kerja sama kedua lembaga berupa koordinasi; bagi penuntut umum
prapenuntutan adalah suatu jalur resmi dalam memberi petunjuk-petunjuk yang
harus dilakukan oleh pihak Kepolisian dalam rangka penyelesaian perkara.
Sebaliknya oleh polisi, prapenuntutan dianggap pula sebagai jalur resmi untuk
berkonsultasi kepada penuntut umum.
73
2. Kejaksaan
Salah satu fungsi hukum adalah mewujudkan keamanan dan ketertiban
masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui aparat-aparatnya, yaitu
yang dikenal sebagai aparatur penegak hukum. Oleh karena itu, tugas dan
wewenang masing-masing aparatur penegak hukum tersebut tidak hanya berkaitan
dengan menerapkan hukum pidana (material dan formal) saja, melainkan pula
melaksanakan tugas perlindungan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera
material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Jaksa sebagai aparatur penegak hukum yang mempunyai salah satu tugas di
bidang penuntutan merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah guna
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Kewenangan jaksa dalam
menuntut didasarkan pada asas legalitas, yaitu adanya peraturan perundang-
undangan yang memberi kewenangan kepada jaksa sebagai satu-satunya lembaga
penuntut umum yang mewakili pemerintah dalam penegakan hukum pidana.
Dengan demikian Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan, sehigga tidak mungkin ada kewenangan
penuntutan yang dilakukan selain oleh Kejaksaan, karena Kejaksaan adalah satu-
satunya alat pemerintah yang mengemban tugas tersebut (dominus litis). Adapun
aturan yang mengatur tentang Kejaksaan Republik Indonesia tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(UU Kejaksaan). undang-undang Kejaksaan adalah undang-undang yang baru dan
74
mengaritikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka tugas yang diemban oleh Kejaksaan
itu makin mantap yang disesuaikan dengan negara yang sedang melaksanakan
pembangunan di segala bidang, dimana Kejaksaan pun haras tampil dalam
peranannya sebagai aparatur penegak hukum, keamanan dan ketertiban
masyarakat, mengawasi peredaran barang-barang cetakan dan aliran-aliran
kepercayaan yang kesemuanya itu merupakan pengamanan dan usaha-usaha
mempertahankan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia terhadap
kegiatan-kegiatan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya tersebut, Kejaksaan harus lebih mampu dan berwibawa dalam
mewujudkan kepastian hukum, ketertiban, dan keadilan berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih jelas lagi dalam UU Kejaksaan tugas dan wewenang jaksa dirumuskan
sebagai berikut:
Pasal 2:
(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini
disebut kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
75
Pasal 30:
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
UU Kejaksaan mengadakan perbedaan pengertian jaksa dan penuntut umum
sebagai berikut:
Pasal 1 butir 1:
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang.
76
Pasal 1 butir 2
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Rumusan di atas jelas terdapat perbedaan pengertian jaksa dan penuntut umum,
yang dapat dilihat dari kewenangannya, yang mana kewenangan jaksa adalah: (1)
sebagai penuntut umum; dan (2) sebagai eksekutor, sedangkan penuntut umum
wewenangnya adalah: (1) melakukan penuntutan; dan (2) melaksanakan
penetapan hakim.
Seorang jaksa yang sedang menangani perkara dan dalam tahap penuntutan
disebut sebagai penuntut umum, sedangkan yang tidak sedang bertugas dalam
penuntutan disebut sebagai jaksa saja. Dengan demikian seorang jaksa belum
tentu sebagai seorang penuntut umum karena ia tidak melakukan tugas sebagai
seorang penuntut umum di muka persidangan. Jaksa setiap saat dapat
menggantikan kedudukan sebagai seorang penuntut umum dan apabila terjadi hal
demikian persidangan pengadilan berjalan terus tidak terpengaruhi dengan adanya
penggantian seorang penuntut umum oleh jaksa lain.
Hal yang demikian berbeda dengan seorang hakim, dimana apabila dalam
persidangan tiba-tiba hakim bersangkutan berhalangan, tidak dapat digantikan
dengan hakim yang lain. Apabila terpaksa diadakan penggantian hakim karena
hakim bersangkutan berhalangan tetap, maka persidangan tersebut akan dimulai
kembali sejak dari permulaan. Ketentuan demikian karena jabatan hakim adalah
jabatan tetap yang tidak bisa diperintah oleh atasan, sehingga bebas dalam
77
memutus perkara yang ditanganinya, sedangkan seorang jaksa wajib
memperhatikan perintah atasannya mengenai setiap pekerjaan atau tugas yang
diembannya. Hal itu secara tegas tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU
Kejaksaan: “Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak
terpisahkan.”
Perumusan tentang tugas dan wewenang Kejaksaan dalam UU Kejaksaan ini
sinkron dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP. Dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa penuntut umum
mempunyai wewenang:
a. Menerima dan memeriksa perkara, penyidikan perkara dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4) dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari
penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
menahan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
a. Membuat surat dakwaan;
b. Melimpahkan perkara ke Pengadilan;
c. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
d. Melakukan penuntutan;
e. Menutup perkara demi kepentingan umum;
f. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
g. Melaksanakan penetapan hakim.
78
Kemudian pada Pasal 270 KUHAP disebutkan pula bahwa pelaksanaan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,
yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.
3. Pengadilan
Pengadilan adalah lembaga yang menjalankan salah satu kekuasaan kehakiman
yang merdeka, menyelenggarakan peradilan yang dilaksanakan oleh hakim guna
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya. Inti tugas tersebut adalah memberi kekuasaan pada hakim di
pengadilan untuk mengadili dan memberi keputusan setiap perkara baik perdata
maupun pidana.
Tugas ini dilaksanakan oleh hakim, termasuk hakim di Pengadilan Negeri, hakim
tinggi di Pengadilan Tinggi dan hakim agung di Mahkamah Agung. Dalam
menjalankan tugasnya hakim harus merdeka, harus bebas, tidak boleh ada
pengaruh kekuasaan pemerintah, tidak boleh ada campur tangan oleh pihak
manapun, hakim harus mandiri.
Tujuan penegakan hukum dan keadilan menuntut kepada hakim agar supaya wajib
mengadili dan memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya; tidak boleh
menolak memeriksa perkara. Hakim adalah tempat pencari keadilan meminta
keadilan. Hakim dianggap mulut undang-undang (hukum) yang dapat
memberikan tafsiran atas peraturan hukum yang berlaku untuk itu hakim wajib
pula mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Putusan-
79
putusan hakim, yang telah mempunyai kekuatan pasti, harus dilaksanakan dengan
baik, bahkan ia wajib mengawasinya.
Peranan yang dimainkan oleh hakim sebagai subsistem dalam peradilan pidana
dalam usahanya untuk menanggulangi kejahatan dan penjahat adalah pemberian
hukuman pidana bagi si pelanggar hukum. Tingginya angka penghukuman oleh
hakim pada pengadilan terhadap perkara yang masuk, bukan hanya sebagai
petunjuk adanya kemampuan hakim dalam melaksanakan aturan yang berlaku
tetapi juga menunjukan adanya kerja sama dan koordinasi antar lembaga-lembaga
sistem peradilan pidana secara baik.
Dampak dari adanya kegiatan hakim yang cepat dan tinggi dalam penyelesaian
perkara pidana (crime clearance) bukan tidak mungkin mampu mencegah jumlah
kejahatan karena hal ini lebih efektif dalam penanggulangan kejahatan
penyelesaian perkara yang cepat berarti juga kemungkinan risiko penangkapan
yang besar dan cepat terhadap calon penjahat dibandingkan dengan ancaman
hukuman yang berat. Hal ini menyebabkan pengaruh prevensi atas kejahatan juga
sangat ditentukan oleh efisiensi kerja hakim sebagai sub sistem peradilan pidana.
Perlu dikemukakan dalam hal ini mengenai peran hakim selain sebagai pemberi
pidana (straftoemeter) yaitu peran hakim dalam memberi putusan yang “sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan” yang hidup dalam masyarakat, juga melakukan
penemuan hukum. Dalam penjelasan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kehakiman hal ini dinyatakan dengan tegas, bahwa hakim merupakan perumus
dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
80
Makna dari ketentuan ini memberi peran yang luas pada hakim, bahwa untuk
mendapat keadilan bagi si pencari keadilan andaikata hakim tidak menemukan
hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis, atau hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas berarti hakim harus
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan padanya, dan kemungkinan dalam
menyelesaikan perkara “menemukan hukum” (rechtsvinding) lebih dahulu baru
kemudian menetapkan keputusan (vonis). Dalam hal ini berarti dalam sistem
peradilan pidana di samping melakukan peran yudikatif (fungsi yudisiil) hakim
juga “dapat” melakukan peran legislatif (the judge law).
Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta
memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istimewa, karena hakim
selain sebagai pegawai negeri, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hakim
sebagai pegawai negeri digaji oleh pemerintah, akan tetapi ia tidak menjalankan
perintah dari pemerintah, bahkan hakim dapat menghukum pemerintah apabila
pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Oleh karena itu untuk
mewujudkan negara hukum yang mempunyai sistem peradilan yang baik, harus
dipenuhi syarat tidak ada campur tangan atau pengaruh oleh pihak manapun dan
dalam bentuk apapun dalam sistem peradilan.
Pedoman-pedoman bagi hakim yang tertuang dalam pasal-pasal tersebut
dimaksud agar hakim dalam melaksanakan tugas selalu menggunakan pedoman
tersebut sebagai alat kontrol terhadap dirinya. Kemudian yang lebih penting lagi
81
adalah hakim memeriksa perkara pidana tidak memihak, sebingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan.
4. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan adalah wadah yang berfungsi sebagai tempat
penggodokan para terpidana, guna menjalani apa yang telah diputuskan oleh
pengadilan baginya. Lembaga pemasyarakatan adalah wadah yang berfungsi
sebagai akhir dari proses penyelesaian peradilan pidana. Berhasil atau tidaknya
tujuan peradilan pidana terlihat dari hasil yang telah ditempuh dan dikeluarkan
oleh lembaga pemasyarakatan dalam pidananya.
Masuknya terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan merupakan titik awal
usaha pembinaan terpidana baik fisik maupun mental, dengan cara memberikan
kepada mereka pendidikan sekolah, moral, agama serta keterampilan khusus agar
terpidana nantinya mempunyai bekal dalam menghadapi lingkungan hidup baru di
sekitarnya dalam masyarakat. Dalam kenyataan sekarang karena terbatasnya
sarana untuk tempat penahanan bagai tersangka/terdakwa, yang seharusnya
ditahan di rumah tahanan negara (Rutan), maka dalam praktik lembaga
Pemasyarakatan berfungsi juga sebagai rumah tahanan negara.
Tugas-tugas sosial yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan memberikan
wewenang padanya untuk menilai sikap perilaku terpidana dan menentukan
langkah apa yang akan dijalankan dalam proses pembinaan tersebut. Hasil
penilaian ini mendorong untuk diberikan upaya-upaya yang meringankan
terpidana selama menjalani pemidanaan dalam lembaga pemasyarakatan. upaya-
82
upaya tersebut berupa pemberian remisi atau pelepasan bersyarat, yang semua itu
mengarah agar terpidana tidak berbuat jahat lagi nantinya. Fungsi sosial dari
lembaga pemasyarakatan diwujudkan dengan memberikan pendidikan dan
ketrampilan bagi terpidana, serta pembinaan moral dan tingkah laku yang baik
serta bermanfaat.
Apa yang disebutkan sebagai tugas sosial sebenamya adalah usaha lembaga
pemasyarakatan dalam upayanya “meresosialisasikan” para terpidana.
Resosialisasi ini adalah dalam mencapai tujuan akhir dari peradilan pidana izin
supaya eks terpidana kembali ke dalam masyarakat sebagai warga yang berguna.
Usaha resosialisasi yang dimulai dengan menciptakan “kultur resosialisasi” tidak
akan berhasil apabila masyarakat sendiri sebagai “tempatnya” tidak menciptakan
kultur yang sama terhadap eks terpidana.
Perlu dipikirkan bahwa sebagai suatu “sistem”, peradilan pidana tidak hanya
terdiri dari sub-sub sistem seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan saja, tetapi juga subsistem masyarakat adalah juga ikut serta di
dalamnya. Sudah selayaknya pengertian keterpaduan dari sistem peradilan pidana
adalah dicerminkan dengan keterpaduan dari sub-subsistem peradilan pidana di
atas.
83
E. Efektivitas Penyidik Polri dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Lambatnya penyelesaian kasus korupsi yang ditangani oleh Polri membuat
Masyarakat kurang mempercayai Polri dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi
termasuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga mengkritisi Polri terkait
lambatnya penanganan kasus Korupsi yang ditangani. Sebagai salah satu bentuk
kepedulian Kompolnas terhadap Polri agar semakin kuat dan baik dalam
menangani kasus korupsi.
Bahkan masyarakat juga, tidak pernah mengetahui, kasus korupsi apa saja yang
sedang ditangani oleh Polri dan kasus apa saja yang sudah selesai ditangani. Polri
dipandang terbisaa diintervensi oleh kekuatan politik serta memiliki komitmen
dan profesionalisme yang lemah dalam pemberantasan korupsi.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) masih tidak bisa independen dalam
penanganan kasus korupsi di lembaganya, karena instansi Polri masih berada di
lingkungan pemerintahan dan belum independen seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Alhasil, ada rasa segan untuk mengungkap kasus korupsi yang
melibatkan pejabat pemerintahan, mengalami kesulitan. Kalau KPK itu lebih
independen jika menindak pejabat di pemerintahan. Selain itu instruksi Presiden
RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang penanganan kasus tindak pidana
korupsi (Tipikor)."Tentang implementasi Inpres 9 dan 17 Tahun 2011 dan Inpres
13/2013 tentang Efektivitas penanggulangan korupsi, Untuk diketahui,
Kompolnas telah menilai dari tiga instansi penegak hukum di Indonesia, seperti
Kejaksaan Agung (Kejagung), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.
84
Hanya Polri yang dinilai lambat dalam penanganan kasus korupsi. Oleh sebab itu
dibentuklah Lembaga KPK berdasarkan UU Nomo 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap akan lebih evektif dalam
penanganan Tindak Pidana Korupsi.
Berpijak dari hal tersebut di atas ada indikator yang berpengaruh besar terhadap
efektivitas peranan penyidik Polri dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi,
yang paling mendasar dan harus sangat diperhatikan yaitu dari segi perundang-
undangan itu sendiri yang merupakan landasan hukum paling mendasar bagi Polri
dan menyangkut kewenanganya dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Berikut
digambarkan bagan indikator efektivitas Polri dari segi perundang-undangan :
UU No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian
Negara Republik
Indonesia
UU No. 31 Tahun
1999/UU No. 20 Tahun
2001
Tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
UU No. 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP
Mengatur tugas
kepolisian yang
meliputi : penegakan
hukum dan
pemeliharaan
Kamdagri
Belum ada satu
pasalpun yang mengatur
kewenangan kepada
Polri untuk melakukan
penyadapan dan
penyitaan asset pelaku
tindak pidana korupsi
Pasal 7 Ayat 1 tentang
kewenangan penyidik
Polri pada aplikasinya
dalam penanganan
tindak pidana korupsi
masih belum efektif.
85
Indikator tersebut menggambarkan bahwa masih lemahnya kewenangan Polri
dalam penyidikan tindak pidana korupsi dibandingkan dengan lembaga KPK
(Komisi Peberantasan Korupsi), jika dilihat sebenarnya Polri berperan sangat
besar dalam penegakan hukum pemberantasan kasus tindak pidana korupsi.
Namun lemahnya undang-undang yang mengatur tentang kewenangan Polri
dalam penyidikan tindak pidana korupsi menjadi salah satu indikator penyebab
Polri belum efektif dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.