ii. tinjauan pustaka a. tanah gleisol - repository.ipb.ac.id · dikeluarkan dengan salah satu cara...
TRANSCRIPT
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanah Gleisol
Dalam pengertian teknik secara umum, tanah didefenisikan sebagai
material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak
tersedimentasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan
organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair
dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat
tersebut. Kalsim dan Sapei (2003), tanah dapat diartikan sebagai medium
berpori yang terdiri dari padatan (solid), cairan (liquid), dan gas udara (air).
Tanah merupakan tubuh alam (natural body) yang terbentuk dan berkembang
sebagai akibat bekerjanya gaya – gaya alam (natural force) terhadap bahan –
bahan alam (natural material) di permukaan bumi (Hakim et al., 1986).
Gleisol adalah jenis tanah yang perkembangannya lebih dipengaruhi
oleh faktor lokal, yaitu topografi yang merupakan dataran rendah atau
cekungan dan hampir selalu tergenang air. Ciri-ciri tanah gleisol adalah solum
tanah sedang, warna kelabu hingga kekuningan, tekstur geluh hingga
lempung, struktur berlumpur hingga masif, konsistensi lekat dan bersifat asam
(pH 4.5 – 6.0) (http://www.cerianet-agricultur.blogspot.com, 2009). Karena
air tanah yang tinggi, gleisol berada dalam keadaan tereduksi pada bagian
tanah yang yang selalu jenuh air. Tidak ada oksigen bebas atau terlarut karena
itu tanah berwarna biru kelabu. Dalam mintakat ayunan ait tanah ditemukan
bercak kecil kehitaman (segresi mangan), sedang di bagian atas beberapa
gleisol yang tidak terjangkau oleh air tanah berada dalam keadaan teroksidasi
tetap karena itu tidak ada bercak reduksi dan oksidasi (Buringh, 1979).
Tanah gleisol memiliki ciri khas yaitu adanya lapisan glei kontinyu yang
berwarna kelabu pucat pada kedalaman kurang dari 0.5 meter akibat dari
profil tanah yang selalu jenuh air. Penyebaran di daerah beriklim humid
hingga sub humid dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun. Gleisol
cokelat kelabu merupakan suatu istilah yang digunakan di Kanada untuk
menjelaskan suatu kelompok intrazonal dari tanah – tanah hutan yang
4
berdrainase jelek yang mempunyai horison A kelabu gelap. Tanah ini
biasanya mengandung bahan organik tinggi dan mempunyai horison mineral
yang berbercak kelabu atau berbercak kelabu kecoklatan (http://www.cerianet-
agricultur.blogspot.com, 2009).
Kesuburan tanah gleisol tergantung pada macam bahan induk dan jeluk
air tanah yang membatasi sistem perakaran. Gleisol di daerah tropika mungkin
mengandung plintit di dalam jeluk 0-125 cm dan disebut Plinthic Gleysol
yang mempunyai horizon A molik atau A umbrik yang dinamakan Mollic
Gleysol dan Humic Gleysol. Jika bahan tanah bersifat gampingan, tanah
disebut Calkaric Gleysol, dan yang mempunyai kejenuhan basa kurang dari
50% atau yang lebih dari itu, masing-masing dinamakan Dystric Gleysol dan
Eutric Gleysol (Buringh, 1979).
B. Sifat Fisik Tanah
Secara fisik tanah terdiri dari partikel mineral dan organik dengan
berbagai ukuran. Partikel – partikel tersebut tersusun dalam bentuk matriks
yang pori – porinya kurang lebih 50%, sebagian terisi oleh air dan sebagian
lagi terisi oleh udara (Suripin, 2002).
Secara umum, tanah memiliki sifat – sifat fisik dan mekanik yang
meliputi:
1. Tekstur tanah
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dari berbagai kelompok
ukuran partikel individual atau butir – butir primer seperti pasir, debu, dan liat
(Foth, 1991). Tekstur tanah yang menunjukkan kasar atau halusnya tanah
berdasarkan perbandingan banyaknya butir-butir pasir (sand), debu (silt), dan
liat (clay). Menurut Kalsim dan Sapei (2003), tekstur tanah adalah sebaran
relatif ukuran partikel tanah. Klasifikasi ukuran partikel tanah menurut
Departemen Pertanian Amerika (USDA) dan International Soil Science
Society (ISSS) secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1 (Kalsim dan
Sapei, 2003), sedangkan diagram segitiga tekstur menurut USDA dapat dilihat
pada Gambar 2 (Hillel, 1998).
5
Gambar 1. Klasifikasi tekstur tanah menurut USDA ( ) dan ISSS ( )
Gambar 2. Diagram segitiga tekstur menurut USDA
Sistem Unified (Unified Soil Classification (USC)) mengklasifikasikan
tanah berdasarkan nilai-nilai konsistensi tanah yaitu batas cair dan indeks
plastisitas tanah. Gambar 3 memperlihatkan grafik penentuan klasifikasi tanah
berdasarkan sistem Unified (Terzaghi dan Peck, 1987).
.
6
Gambar 3. Klasifikasi tanah berdasarkan sistem Unified
2. Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan penggabungan dari sekelompok partikel-
partikel primer tanah. Secara garis besar, struktur tanah dapat dibedakan
menjadi struktur lepas (single grained), masif dan agregat. Pada struktur lepas,
partikel-partikel primer tanah tidak saling melekat dan tetap dalam butiran-
butiran lepas, sedangkan bila partikel-partikel tanah saling melekat dengan
sangat kuat membentuk blok yang cukup besar maka disebut struktur masif.
Struktur tanah di antara kedua keadaan ekstrim tersebut disebut agregat
(Kalsim dan Sapei, 2003).
Struktur tanah berkaitan dengan stabilitas, ukuran dan bentuk ped dalam
tanah. Ped yang stabil tidak akan hancur apabila direndam dalam air. Bentuk,
ukuran dan densitas ped pada umumnya berubah menurut kedalaman. Pada
Gambar 4 (Kalsim dan Sapei, 2003) terlihat bahwa bentuk ped dapat berupa
bola (spherical) dalam lapisan atas (struktur remah), tetapi dalam subsoil
dimana kandungan bahan organiknya lebih rendah bentuk ped akan bersudut
(angular) atau struktur blocky atau dapat memanjang prismatik. Struktur tanah
menentukan sifat aerasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air serta sifat-
sifat mekanik dari tanah tersebut (Kalsim dan Sapei, 2003) .
7
Gambar 4. Bentuk – bentuk agregat atau ped
3. Permeabilitas Tanah
Hardiyatmo (1992) mendefinisikan permeabilitas sebagai sifat dari
bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan dari cairan yang berupa
air atau minyak mengalir lewat rongga porinya. Pori-pori tanah saling
berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga air dapat mengalir dari
titik yang berenergi lebih tinggi ke titik yang berenergi lebih rendah. Tahanan
terhadap aliran bergantung pada jenis tanah, ukuran butiran, bentuk butiran,
rapat massa, serta bentuk geometri rongga pori.
Menurut Bowles (1989), permeabilitas suatu bahan penting untuk:
a. Mengevaluasi jumlah rembesan (seepage) yang melalui bendungan
dan tanggul sampai ke sumur air.
b. Mengevaluasi daya angkut atau gaya rembesan di bawah struktur
hidrolik untuk analisis stabilitas.
c. Menyediakan kontrol terhadap kecepatan rembesan sehingga partikel
tanah berbutir halus tidak tererosi melalui massa tanah.
d. Studi mengenai laju penurunan (konsolidasi) dimana perubahan
volume tanah terjadi pada saat air tersingkir dari rongga tanah saat
proses terjadi pada suatu gradien tertentu.
Sumarno (2003) mengatakan bahwa hubungan antara pemadatan dan
permeabilitas adalah pada kadar air optimum. Koefisien permeabilitas akan
8
turun dengan naiknya tingkat pemadatan dan akan mencapai koefisien terkecil
pada kadar air optimum. Pada kondisi kadar air setelah optimum, koefisien
permeabilitas cenderung mengalami sedikit kenaikan dengan menurunnya
tingkat pemadatan.
Koefisien permeabilitas untuk tanah berbutir kasar dapat ditentukan dari
uji constant head permeameter dan untuk tanah berbutir halus digunakan uji
falling head permeameter. Uji tersebut telah distandarisasikan pada suhu air
20°C, karena viskositas air bervariasi dari suhu 4°C sampai 30°C (Craig,
1991). Nilai permeabilitas tanah pada temperatur 20°C dapat dilihat pada
Tabel 1 dan klasifikasi permeabilitas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Nilai permeabilitas tanah pada temperatur 20°C
Jenis Tanah Permeabilitas
(cm/detik)
Kerikil butiran kasar
Kerikil butiran halus, kerikil butiran kasar
bercampur butiran sedang
Pasir butiran halus, debu longgar
Debu padat, debu berliat
Liat berdebu, liat
10 - 103
10-2
- 10
10-4
– 10-2
10-5
– 10-4
10-8
– 10-5
Sumber: Hardiyatmo, 1992
Tabel 2. Klasifikasi permeabilitas
Permeabilitas
(cm/jam)
Kelas
< 0.125 Sangat rendah
0.125 – 0.5 Rendah
0.5 – 2.0 Agak rendah
2.0 – 6.35 Sedang
6.35 – 12.7 Agak cepat
12.7 – 25.4 Cepat
>25.4 Sangat cepat
Sumber: Sitorus et al. (1980) dalam Ishak (1991)
4. Berat Jenis Partikel Tanah
Hardiyatmo (1992) mendefinisikan berat jenis partikel (spesific gravity
(Gs)) sebagai perbandingan antara berat volume butiran padat (γs) dengan
berat volume air (γw) pada temperatur 4°C. Berat jenis dari berbagai jenis
9
tanah berkisar antara 2.65 – 2.75. Tanah tak berkohesi biasanya nilai berat
jenisnya adalah 2.67, sedangkan untuk tanah kohesif tak organik berkisar
antara 2.68 – 2.72. Nilai berat jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Berat jenis partikel tanah
Jenis tanah Berat jenis partikel
(g/cm3)
Kerikil
Pasir
Lanau tak organik
Lanau organik
Lempung tak organik
Humus
Gambut
2.65 – 2.68
2.65 – 2.68
2.62 – 2.68
2.58 – 2.65
2.68 – 2.75
1.37
1.25 – 1.80
Sumber: Hardiyatmo, 1992
5. Berat Isi Tanah (Bulk Density)
Menurut Hakim et al (1986), Berat isi tanah merupakan salah satu
indikator kepadatan tanah. Semakin padat suatu tanah, maka nilai berat isi
tanah semakin besar dan mengakibatkan tanah semakin sulit untuk
melewatkan air atau ditembus akar tanaman. Hal ini disebabkan oleh ruang
pori yang terdapat di dalam tanah sedikit dan berupa pori mikro.
Berat isi tanah basah (wet bulk density= ρt) merupakan total massa
dibagi dengan total volume tanah. Akan tetapi, total massa akan bervariasi
dengan jumlah air yang ada di dalam tanah, sehingga berat isi tanah kering
(dry bulk density = ρd) umumnya digunakan dan didefinisikan sebagai massa
tanah kering oven (105°C, selama 24 jam) dibagi dengan total volume tanah.
Nilai berat isi kering selalu lebih kecil daripada nilai berat isi basah. Nilai
berat isi kering bervariasi dari 1000 sampai 1800 kg/m3. Semakin halus
partikel tanah atau semakin tinggi kandungan bahan organik maka bulk
density akan semakin rendah. Akan tetapi, jika kepadatan tanah sangat padat
maka tanah bertekstur halus menunjukkan berat isi kering yang lebih besar
daripada tanah bertekstur kasar (Kalsim dan Sapei, 2003).
6. Porositas (n) dan Angka Pori (e)
Porositas merupakan perbandingan antara volume pori dan volume total
yang dinyatakan dalam suatu desimal atau persentase (Dunn et al., 1980).
10
Umumnya porositas tanah berkisar antara 0.3 – 0.75, tetapi untuk tanah
gambut nilai porositasnya dapat lebih besar dari 0.8 (Terzaghi, 1947 dalam
Hardiyatmo, 1992). Hal yang lebih penting dari porositas adalah sebaran
ukuran pori. Tanah berpasir dan tanah berliat mungkin mempunyai porositas
yang hampir sama, tetapi sifat-sifat yang berhubungan dengan simpanan air,
ketersediaan air, dan aliran air tanah berbeda. Hal ini disebabkan karena tanah
pasir diameter porinya relatif besar daripada tanah liat. Diameter pori menurut
Kalsim dan Sapei (2003) dapat diklasifikasikan sebagai:
a. Pori makro (> 100 µm), dapat dilihat dengan mata telanjang sangat
penting untuk aerasi dan drainase (aliran gravitasi) tanah.
b. Pori meso (30-100 µm), efektif dalam gerakan air baik vertikal ke
atas maupun ke bawah (aliran kapiler).
c. Pori mikro (< 30 µm), dapat menahan air pada periode kering dan
melepaskannya dengan sangat lambat.
Angka pori (void ratio) didefinisikan sebagai rasio perbandingan antara
volume pori dengan volume padatan. Angka pori biasanya dinyatakan dalam
bentuk desimal (Kalsim dan Sapei, 2003).
7. Potensial Air Tanah
Muka air tanah (water table) atau phreatic surface adalah suatu batas
dalam tanah dimana tekanannya sama dengan tekanan atmosfer. Daerah di
atas tanah disebut zona tak jenuh, meskipun terdapat sedikit batas tanah dalam
keadaan jenuh karena adanya proses kenaikan kapiler. Air dalam zona tak
jenuh disebut lengas tanah (soil moisture), sedangkan istilah air tanah (ground
water) umumnya berkaitan dengan air dalam daerah jenuh di bawah muka air
tanah (Kalsim dan Sapei, 2003).
Tingkat energi air tanah bervariasi sangat besar. Perbedaan tingkat
energi air tanah memungkinkan air bergerak dari satu zona ke zona lainnya
dalam tanah. Air tanah bergerak dari tempat dengan tingkat energi yang tinggi
(misalnya muka air tanah) ke tempat energi yang rendah (misalnya tanah
kering). Dengan mengetahui tingkat energi dari beberapa tempat di dalam
profil tanah, maka dapat diprediksi pergerakan air tanah (Hakim et al., 1986).
11
Potensial air tanah menurun dengan meningkatnya kandungan air (makin
banyak air tanah, makin berkurang energi yang diperlukan untuk menahan air
di dalam tanah). Liat yang memiliki nilai pF = 2.0, menggambarkan kenyataan
bahwa tanah liat kehilangan air secara lebih berangsur-angsur dibandingkan
pasir yang berarti bahwa tanah liat mengikat air lebih banyak (Sutisna, 2006).
Daya ikat tanah (pF) terhadap air setelah pemadatan lebih kecil
dibandingkan dengan daya ikat tanah (pF) terhadap air pada kapasitas lapang.
Hal ini ditunjukkan dengan kadar air untuk pF yang sama pada kedalaman
yang sama antara kapasitas lapang dengan tanah yang sudah mengalami
pemadatan, maka akan terlihat bahwa kadar air tanah yang telah dipadatkan
jauh lebih kecil dibandingkan dengan tanah pada kapasitas lapang (Herlina,
2003).
C. Sifat Mekanik Tanah
1. Pemadatan Tanah
Pemadatan tanah adalah suatu proses di mana udara dari pori-pori
dikeluarkan dengan salah satu cara mekanis. Cara mekanis yang dipakai untuk
memadatkan tanah dapat bermacam-macam, yaitu di lapangan biasanya
dipakai cara menggilas, sedangkan di laboratorium dipakai cara memukul.
Untuk setiap daya pemadatan tertentu kepadatan yang tercapai tergantung
pada kadar airnya. Bila kadar air rendah, maka tanah akan keras atau kaku
sehingga sulit dipadatkan. Bila kadar air ditambah maka air itu akan berfungsi
sebagai pelumas sehingga tanah akan semakin mudah dipadatkan (Wesley,
1973).
Pada kadar air tinggi kepadatannya akan menurun karena pori-pori tanah
menjadi penuh terisi oleh air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara
memadatkan. Kepadatan tanah biasanya diukur dengan menentukan berat isi
keringnya, bukan dengan menentukan angka porinya. Lebih tinggi berat isi
kering berarti lebih kecil angka pori dan lebih tinggi derajat kepadatannya.
Jadi, untuk menentukan kadar air optimum biasanya dibuat grafik hubungan
berat kering terhadap kadar air (Wesley, 1973).
Terzaghi dan Peck (1987) menyatakan bahwa tingkat pemadatan
tertinggi diperoleh apabila kadar air mempunyai suatu nilai tertentu yang
12
disebut kadar kelembaban optimum (optimum moisture content) dan prosedur
untuk mempertahankan agar kadar air mendekati nilai optimumnya selama
pemadatan timbunan dikenal sebagai kontrol kadar kelembaban (moisture
content control).
Pemadatan tanah terjadi apabila proses mekanis yang menyebabkan
partikel tanah semakin mendekat. Hal-hal yang mempengaruhi pemadatan
tanah adalah kadar air (water content), keragaman ukuran butiran tanah
(distribution of soil particles) dan macam usaha pemadatan (compactive
effort) (Lambe, 1951 dalam Koga, 1991).
Pengujian pemadatan di laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa
metode yang didasarkan pada perbedaan cara pelaksanaan pemadatannya,
seperti (Sosrodarsono dan Takeda, 1976):
a. Pemadatan tumbuk yaitu pemadatan yang dilakukan dengan
menjatuhkan sebuah penumbuk di atas contoh bahan.
b. Pemadatan tekan, yaitu pemadatan yang didasarkan pada prinsip
menekan contoh bahan dengan dongkrak hidrolis.
c. Pemadatan getar, yaitu pemadatan yang menggunakan daya getaran
mesin vibrasi pada contoh tanah.
Dari ketiga metode pengujian tersebut, yang paling luas penggunaannya
adalah metode penumbukan dan dianggap sebagai penumbukan standar. Hal
tersebut disebabkan karena peralatannya yang cukup sederhana demikian juga
pelaksanaan pengujiannya (Sosrodarsono dan Takeda, 1976).
2. Konsistensi Tanah
Istilah konsistensi berhubungan dengan derajat adhesi antara partikel
tanah dan tahanan yang muncul guna melawan gaya yang cenderung berubah
atau meruntuhkan agregat tanah. Konsistensi tanah biasa dinyatakan dengan
batas cair dan batas plastis (disebut juga batas Atterberg).
Konsistensi tanah menunjukkan kekuatan daya kohesi butir-butir tanah
dan daya adhesi butir-butir tanah dengan benda lain (Hardjowigeno, 1987).
Atterberg (1991) dalam Sunggono (1984) memberikan cara untuk
menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan
mempertimbangkan kandungan kadar airnya, yaitu:
13
a. Batas cair (liquit limit = LL), menyatakan kadar air minimum di mana
tanah masih dapat mengalir di bawah beratnya atau kadar air tanah
pada batas antara keadaan cair ke keadaan plastis. Pengukuran batas
cair dilakukan dengan menggunakan metode standar.
b. Batas plastis (plastic limit = PL), menyatakan kadar air minimum di
mana tanah masih dalam keadaan plastis atau kadar air minimum di
mana tanah dapat digulung-gulung sampai diameter 3.1 mm (1/8
inchi).
c. Indeks plastis (plasticity index = PI), menunjukkan kadar air tanah
pada saat tanah dalam kondisi plastis.
Konsistensi tanah tergantung pada tekstur, jumlah koloid anorganik dan
organik, struktur serta kandungan air tanah. Dengan berkurangnya kandungan
air, umumnya tanah akan kehilangan sifat melekat (stickness) dan
plastisitasnya sehingga dapat menjadi gembur (friable) dan lunak (soft)
(Hakim et al., 1986). Nilai indeks plastisitas dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai indeks plastisitas (PI) dan jenis tanah
PI Sifat Jenis tanah Kohesi
0 Nonplastis Pasir Non kohesif
< 7 Plastisitas rendah Lanau Kohesif sebagian
7 – 17 Plastisitas sedang Lempung berlanau Kohesif
> 17 Plastisitas tinggi Lempung Kohesif
Sumber: Hakim et al., 1986
3. Kuat Geser Tanah
Kekuatan geser tanah adalah salah satu kekuatan tanah yang diperlukan
untuk berbagai hal dalam perencanaan bangunan. Ada empat tipe keruntuhan
geser tanah yang dapat didefinisikan dalam pengertian tingkah laku tegangan-
regangan yaitu geser, tekanan, tegangan, dan aliran plastis. Bila tegangan
geser suatu tubuh tanah melebihi suatu titik kritis tertentu, maka tanah akan
runtuh (Gill dan Vandenberg, 1968 dalam Sutisna, 2006).
Parameter kuat geser tanah diperlukan untuk menganalisis daya dukung
tanah, stabilitas lereng, dan tegangan dorong untuk dinding penahan air.
Menurut Coulomb (1776) dalam Hardiyatmo (1992), ada dua proses mekanis
yang bereaksi menentukan puncak kekuatan geser yaitu tekanan dan
14
kohesinya. Total kekuatan geser adalah penjumlahan dari kedua komponen
tersebut yang dinyatakan pada persamaan berikut:
τ = c + σ tan θ.......................................................................................(1)
di mana:
τ = Kekuatan geser (kN/m2)
c = Kohesi (kN/m2)
σ = Tekanan normal pada permukaan geser (kN/m2)
θ = Sudut geser (º)
Metode yang sering digunakan untuk menentukan kekuatan geser tanah
antara lain uji geser langsung (direct sshear test), uji triaksial (triaksial test),
uji tekan bebas (unconfined compression test), dan uji geser baling (vane
shear test) (Sunggono, 1984).
Bowles (1989) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi nilai
kuat geser tanah antara lain:
a. Tekanan efektif atau tekanan antar butir.
b. Saling keterkuncian antar partikel jadi, partikel – partikel yang
bersudut akan lebih saling terkunci dan memiliki kuat geser yang
lebih tinggi (θ yang lebih besar ) daripada partikel – partikel yang
bundar yang dijumpai pada tebing – tebing atau deposit – deposit
glasial.
c. Kemampuan partikel atau kerapatan.
d. Sementasi partikel yang terjadi secara alamiah atau buatan.
e. Daya tarik antar partikel atau kohesi.
f. Kadar air tanah untuk tanah kohesif.
g. Kualitas contoh (berhubungan dengan gangguan, retakan, celah, dan
hal-hal yang serupa).
h. Metode pengujian yang dilakukan.
i. Pengaruh – pengaruh lainnya seperti kelembaban, temperatur,
keterampilan operator, motivasi pekerja laboratorium, dan kondisi
peralatan laboratorium.
15
D. Tanggul
Tanggul merupakan salah satu bentuk dari bendungan urugan homogen.
Dikatakan demikian karena tanggul mempunyai bahan pembuat dan bentuk
yang hampir sama dengan bendungan. Pembuatan tanggul merupakan salah
satu usaha dalam konservasi tanah dan air. Tanggul berfungsi untuk
melindungi daerah irigasi dari banjir yang disebabkan oleh sungai,
pembuangan yang besar atau laut (DPU, 1986).
DPU (1986) menyatakan bahwa rembesan terjadi apabila tubuh tanggul
harus mengatasi beda tinggi muka air dan jika aliran yang diakibatkannya
meresap ke dalam tanah di sekitar tanggul. Aliran ini mempunyai pengaruh
yang merusakkan stabilitas tanggul karena terangkutnya bahan – bahan halus
dapat menyebabkan erosi bawah tanah. Jika erosi bawah tanah sudah terjadi,
maka terbentuk jalur rembesan antara bagian hulu dan bagian hilir tanggul.
Keadaan ini akan mengakibatkan kerusakan sebagai akibat terkikisnya tanah
pondasi. Apabila garis rembesan memotong lereng hilir suatu tanggul, maka
akan terjadi aliran-aliran filtrasi keluar menuju permukaan lereng tersebut dan
terlihat gejala keruntuhan atau longsoran kecil pada permukaan lereng hilir
(Sosrodarsono dan Takeda, 1977).
Dimensi tanggul menurut DPU (1986) adalah sebagai berikut:
a. Tinggi Tanggul (Hd)
Tinggi tanggul merupakan beda tinggi tegak antara puncak dan bagian
bawah dari pondasi tanggul. Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap
air atau dasar zona kedap air. Apabila pada tanggul tidak terdapat dinding
atau zona kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis
perpotongan antara bidang vertikal yang melalui tepi hulu mercu tanggul
dengan permukaan pondasi alas tanggul tersebut. Mercu adalah bidang teratas
dari suatu tanggul yang tidak dilalui oleh luapan air dari saluran.
b. Tinggi Jagaan (Hf)
Tinggi jagaan merupakan perbedaan antara elevasi permukaan
maksimum rencana air dalam saluran dengan elevasi mercu tanggul. Elevasi
permukaan maksimum rencana merupakan elevasi banjir rencana dalam
16
saluran. Elevasi permukaan air maksimum rencana adalah elevasi yang paling
tinggi yang diperkirakan akan dicapai oleh permukaan air saluran tersebut.
c. Kemiringan Lereng (Talud)
Kemiringan rata-rata lereng tanggul (hulu dan hilir) adalah
perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui puncak dan panjang
garis horizontal yang melalui tumit masing-masing lereng tersebut. Crag
(1991) menyatakan bahwa kemiringan saluran biasanya ditentukan oleh
keadaan topografi. Dalam berbagai hal, kemiringan ini dapat pula tergantung
kegunaan saluran, misalnya saluran irigasi, persediaan air minum, dan proyek
pembangkit. Pada Tabel 5 memuat kemiringan talud yang dapat dipakai pada
berbagai jenis bahan urugan.
Tabel 5. Kemiringan talud untuk tinggi maksimum 10 m
Bahan Urugan
Kemiringan lereng
Vertikal : Horizontal
Hulu Hilir Urugan homogen 1 : 3.00 1 : 2.25 Urugan batu dengan inti liat atau dinding diafragma 1 : 1.50 1 : 1.25 Kerikil-kerikil dengan inti liat atau dinding diafragma 1 : 2.50 1 : 1.75
Sumber: DPU (1994)
Sekelompok garis aliran dan garis ekuipotensial disebut dengan jaring
arus. Suatu garis ekupotensial adalah garis – garis yang mempunyai tinggi
tekanan yang sama (h konstan). Kemiringan garis equipotensial adalah tegak
lurus terhadap garis aliran. Pada tanah yang seragam hal ini selalu benar,
sehingga rembesan air di dalam tanah dapat digambarkan sebagai deretan
garis equipotensial dan deretan garis aliran yang saling berpotongan secara
tegak lurus. Gambar 5 merupakan contoh jaringan aliran dalam tubuh tanggul
(Wesley, 1973).
17
Gambar 5. Jaringan aliran dalam tubuh tanggul
E. Stabilitas Lereng
Stabilitas atau kemantapan lereng dipengaruhi oleh gaya penggerak dan
gaya penahan yang ada pada lereng tersebut. Gaya penggerak adalah gaya
yang mempercepat terjadinya longsor pada lereng, sedangkan gaya penahan
adalah gaya yang mempertahankan kemantapan dari suatu lereng. Jika gaya
penahan lebih besar daripada gaya penggerak, maka lereng tersebut tidak akan
mengalami gangguan atau dapat dikatakan bahwa lereng tersebut mantap
(Das, 1998).
Secara alamiah, tanah atau lereng umumnya berada pada keseimbangan
terhadap gaya-gaya yang bekerja. Apabila ada sesuatu hal yang
mengakibatkan perubahan keseimbangan, maka tanah atau lereng akan
berusaha untuk mencapai keseimbangan baru dengan cara degradasi atau
pengurangan beban, terutama dalam bentuk longsoran atau gerakan lain
sampai tercapai keseimbangan baru. Gaya-gaya gravitasi dan rembesan
(seepage) cenderung menyebabkan ketidakstabilan (instability) pada lereng
alami, pada lereng yang dibentuk dengan cara penggalian, dan pada lereng
tanggul serta bendungan tanah (Craig, 1991).
Cara yang digunakan untuk menghitung kemantapan lereng adalah
suatu “limit equilibrium method” (cara keseimbangan batas), yaitu kita hitung
besarnya kekuatan geser yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan
18
dan kita bandingkan dengan kekuatan geser yang ada. Dari perbandingan ini
kita mendapatkan fator keamanan.
Pada permulaan kita anggap bahwa akan terjadi kelongsoran pada suatu
bidang gelincir tertentu, dan kita hitung gaya atau momen yang mencoba
menyebabkan kelongsoran pada bidang tersebut akibat berat tanah. Ini disebut
gaya penggerak (sliding force) atau momen penggerak (turning moment).
Selanjutnya dihitung gaya atau momen yang melawan kelongsoran akibat
kekuatan geser tanah yang biasa di sebut momen melawan (resisting moment).
Dengan menggabungkan kedua kedua momen ini kita dapat menentukan
faktor keamanan terhadap kelongsoran pada bidang geser yang bersangkutan
(Wesley, 1973).
Gambar 6. Metode irisan
Pada Gambar 6 ditinjau lereng dan bidang gelincirnya. Untuk melakukan
perhitungan biasanya lereng perlu di bagi dalam beberapa segmen agar
ketidakseragaman tanah dapat diperhitungkan dan gaya normal pada bidang
geser dapat ditentukan.
19
Momen penggerak segmen (Wesley, 1973) = Wx...........................................(2)
Momen penggerak seluruhnya diperoleh dengan menjumlahkan momen dari
setiap segmen.
Momen penggerak seluruhnya = Σ Wx...........................................................(3)
= Σ W R sin α.................................................(4)
Faktor keamanan (Fs) adalah perbandingan antara kekuatan geser yang
ada dengan kekuatan geser yang diperlukan untuk mempertahankan
kemantapan. Jika kekuatan geser = τ, maka kekuatan geser untuk
mempertahankan kemantapan = S/Fs (Wesley, 1973). Jika S adalah gaya pada
dasar segmen, maka:
S = (τ l)/Fs.........................................................................................(5)
Sehingga momen melawan segmen = ((τ l)/ Fs)/ R.................................(6)
Momen melawan seluruhnya = Σ (τ l/ Fs) R.................................(7)
= (R/ Fs) Σ τ l.................................(8)
Dengan persamaan momen (4) dan (8), maka
R Σ W sin α = (R/ Fs) Σ τ l ..............................................................................(9)
sehingga Fs = (Σ τ l)/ (Σ W sin α)...............................................................(10)
dengan:
Fs = Faktor keamanan
τ = Kekuatan geser (kgf/cm2)
l = Lebar irisan (cm)
W = Berat normal (kgf/cm)
Α = Sudut yang terbentuk antara titik tengah dasar irisan dengan garis
vertikal dari titik pengamatan (º)
R = Jari – jari busur lingkaran (cm)
x = Jarak horisontal segmen terhadap titik acuan
Pada cara Fellenius, besarnya P (gaya normal) ditentukan dengan
menguraikan gaya – gaya lain dalam arah garis bekerja P, yaitu:
P = (W + xn – xn+1) cos α – ( En – En+1) sin α.....................................(11)
= W cos α + (xn – xn+1) cos α – (En – En+1) sin α.............................(12)
Nilai (xn – xn+1) cos α – (En – En+1) sin α dianggap sama dengan nol, sehingga
P = W cos α.
20
maka, Fs= Σ (c'l + (W cos α – ul) tan θ))...................................(13)
Tekanan air pori (u) akan dihitung jika terjadi pembasahan (air merembes).
Pada cara Fellenius dianggap bahwa resultan gaya pada batas vertikal segmen
bekerja dalam arah sejajar dengan dasar segmen.
Pada cara Bishop besarnya P diperoleh dengan menguraikan gaya – gaya
lain pada arah vertikal, yaitu:
- – – )sinα– ulcos α....(14)
Maka,
(P – ul) = – …....….………..(15)
Pada cara Bishop, nilai – dianggap sama dengan nol, sehingga:
P – ul = W – l )…………………………………..(16)
maka dengan mensubtitusikan l = b sec α
Fs = – )……….(17)
Dengan kata lain, pada cara Bishop dianggap bahwa resultan gaya –
gaya pada batas vertikal segmen bekerja pada arah horisontal. Dengan
anggapan ini, karena faktor keamanan pada setiap segmen dijadikan sama,
maka besarnya (En – En+1) menjadi tentu, sehingga P dapat diketahui.
Nilai Fs pada persamaan (17) terdapat di kedua sisinya yaitu di kanan
dan di kiri. Oleh karena itu, untuk menghitung besarnya Fs harus dipakai cara
iterasi (ulangan), yaitu di ambil nilai Fs sebagai percobaan. Nilai Fs yang
diperoleh kemudian dimasukkan di bagian sebelah kanan pada persamaan (17)
dan dilakukan perhitungsn dengan nilai Fs yang didapatkan dari perhitungan
sebelumnya. Biasanya perhitungan ini hanya diulang sebanyak dua kali.
Nilai Fs yang diperoleh dengan cara Fellenius selalu lebih kecil daripada
nilai yang diperoleh dengan cara Bishop. Selisih antara keduanya banyak
dipengaruhi oleh faktor besarnya tegangan air pori dan besarnya θ. Makin
besar tegangan air pori dan θ, maka makin besar selisih antara faktor
keamanan menurut cara Fellenius dan cara Bishop (Wesley, 1973).
21
F. Program GEO-SLOPE
Geo-slope adalah suatu program dalam bidang geoteknik dan modeling
geo-environment yang dibuat oleh Geo-slope Internasional, Kanada pada
tahun 2002. Program Geo-slope ini sendiri terdiri dari Slope/W, Seep/W,
Sigma/W, Quake/W, Temp/W dan Ctran/W yang mana satu sama lainnya
saling berhubungan sehingga dapat dianalisa dalam berbagai jenis
permasalahan dengan memilih jenis program yang sesuai untuk tiap – tiap
masalah yang berbeda (http://www.geoslope.com). Pengertian untuk tiap
program tersebut:
1. Slope/W adalah suatu software untuk menghitung faktor keamanan dan
stabilitas lereng.
2. Seep/W adalah suatu software untuk meneliti rembesan bawah tanah.
3. Sigma/W adalah suatu software untuk menganalisa tekanan geoteknik dan
masalah deformasi.
4. Quake/W adalah suatu software untuk menganalisa gempa bumi yang
berpengaruh terhadap perilaku tanggul, lahan, kemiringan lereng.
5. Temp/W adalah suatu software untuk menganalisa masalah geotermal.
6. Ctran/W adalah suatu software yang dapat digunakan bersama dengan
Seep/W untuk model pengangkutan zat – zat pencemar.
Slope/W adalah program yang memiliki kualitas ketajaman gambar 32-
bit, software gratis yang beroperasi di bawah Microsoft Windows. Dengan
lingkungan aplikasi windows yang sangat dikenal banyak orang dengan
konsep yang simple dan dinamis, maka dimungkinkan setiap orang dengan
mudah belajar dan menggunakan Slope/W baik secara tutorial maupun
aplikatif (http://www.geo-slope.com, 2004).
Slope/W merupakan suatu software yang menggunakan teori
keseimbangan batas (limit equilibrium theory) yang digunakan dalam
menganalisa stabilitaas lereng dan menghitung nilai faktor keamanan tanggul.
Perumusan Slope/W yang menyeluruh membuat program ini memungkinkan
dengan mudah meneliti permasalahan stabilitas lereng, baik yang sederhana
maupun yang kompleks dengan menggunakan berbagai metode untuk
mengkalkulasi faktor keamanan tersebut. Slope/W dapat diaplikasikan dalam
22
menganalisis dan mendesain pada bidang geoteknik, sipil, hidrogeologika, dan
proyek pembangunan bendung.
Secara umum, metode analisis stabilitas lereng yang digunakan dalam
Slope/W mengikuti beberapa metode yang ada, diantaranya metode Ordinary
(Fellenius), metode Bishop, metode Janbu, metode Spencer, metode
Morgenstern-Price, metode Crops of Engineering, metode Lowe-Karafiath,
metode keseimbangan batas, dan metode tekanan terbatas. Slope/W
merupakan perumusan yang menggabungkan dua persamaan faktor keamanan
yaitu gaya keseimbangan dan momen irisan. Berdasarkan pemakaian
persamaan gaya antar irisan, faktor keamanan untuk semua metode dapat
ditentukan dengan menggunakan dua persamaan tersebut. Slope/W terintegrasi
dengan Seep/W, Vadose/W, Sigma/W, dan Quake/W. Sebagai contoh, untuk
menentukan faktor keamanan suatu lereng yang dipengaruhi oleh adanya
tekanan air pori, analisis stabilitas dapat menggunakan data hasil perhitungan
Seep/W.
Dari hasil akhir program Slope/W dapat diketahui besar nilai faktor
keamanan suatu lereng dan mengetahui kondisi stabilitas lereng yang ada,
sehingga diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah geoteknik yang
berhubungan dengan kestabilan tanah atau lereng, terutama pada bidang
pertanian.