ii. tinjauan pustaka 2.1. teori intervensi pemerintah · teori ini memandang pemerintah sebagai...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Intervensi Pemerintah
Penjelasan mengenai peranan pemerintah dalam perekonomian dan
penentuan kebijakan yang diambil telah menjadi perdebatan yang lama di
kalangan pemerhati ekonomi. Intervensi pemerintah pada produksi dan pemasaran
produk pertanian merupakan fenomena universal. Beberapa pola intervensi
bersifat umum untuk setiap negara terlepas dari latar belakang budaya, sejarah,
sosiologis, dan lokasi geografi. Namun demikian terdapat tendensi kebijakan yang
mendiskriminasi pertanian di negara berkembang dengan beban perpajakan
sementara subsidi yang besar diberikan ke pertanian di negara maju (Swinnen and
Zee, 1993). Selain itu lingkungan politik yang melingkupi kebijakan pertanian
pada satu negara pun selalu berbeda dari waktu kewaktu seperti halnya perbedaan
lingkungan politik antar negara pada waktu tertentu. Oleh karena itu eksaminasi
landasan berfikir ekonomi makro dan mikro dari politik kebijakan pertanian
tersebut dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan mencolok dalam
kebijakan yang diambil.
Kajian ekonomi tentang intervensi pemerintah pada produksi, pemasaran
dan harga komoditi pertanian dapat diklasifikasikan ke dalam dua tradisi
pemikiran berbeda (Swinnen and Zee, 1993), sementara Barret (1999)
mengelompokkan menjadi tiga dengan menyertakan model mikroekonomi
perilaku individual untuk menyelidiki ekonomi kebijakan pertanian. Namun
karena model mikroekonomi merupakan model representasi agen (representative
agent model), maka model tersebut umumnya mengabaikan preferensi yang saling
bertentangan diantara anggota masyarakat yang heterogen dan hasil kompetisi
untuk mengejar kepentingan yang saling berseberangan.
2.1.1. Teori Kepentingan Publik
Tradisi pemikiran pertama berdasarkan ekonomi kesejahteraan Pigovian
yang melakukan rekonsiliasi preferensi individu kedalam Teori Kepentingan
Publik (Public Interest Theory) dan intervensi pemerintah diperlukan terutama
untuk mengatasi persoalan kegagalan pasar yang ditimbulkan karena kompetisi
yang tidak sempurna, adanya eksternalitas dan barang publik, serta industri yang
memiliki fungsi biaya menurun (decreasing cost industries). Teori ini memandang
pemerintah sebagai agen pelayan publik memiliki tujuan mulia untuk
memperbaiki kegagalan pasar karena pada kondisi tersebut harga yang terjadi
gagal menjelaskan kelangkaan sumberdaya yang digunakan. Namun demikian
keterlibatan pemerintah adalah netral dari berbagai kepentingan karena didukung
oleh para perencana profesional handal dimana kepentingan politik tidak nampak
(Barrett, 1999).
Pendekatan ini menekankan mengapa ekonomi pasar gagal berfungsi secara
efisien dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumberdaya dan untuk
mengatasi kegagalan pasar negara menghasilkan barang publik dengan
menginternalisasikan manfaat dan biaya sosial kedalam proses produksi, dan
secara efektif mengatur industri yang memiliki struktur biaya menurun serta
mendistribusikan manfaat secara optimal. Teori kebijakan ekonomi ortodok yang
berlandaskan premis normatif untuk menemukan kebijakan ekonomi optimum
sangat relevan dengan kerangka kerja maksimisasi kemakmuran sosial ini. Namun
jika terdapat kebijakan yang non optimal, hal tersebut dikarenakan kurangnya
pengetahuan dan buruknya manajemen pemerintah (Swinnen and Zee, 1993).
2.1.2. Teori Kelompok Kepentingan
Tradisi yang kedua berasal dari teori kelompok kepentingan (Interest Group
Theory) yang memusatkan perhatian pada peranan berbagai kelompok
kepentingan (interest group) dan perilaku birokrasi (bureaucratic behavior).
Pendekatan ini memberikan penekanan pada ketidaknetralan pemerintah dalam
melakukan intervensi, karena seperti pelaku ekonomi lain, pemerintah memiliki
interest tertentu sehingga boleh jadi akan melahirkan kebijakan yang gagal.
Kehadiran kelompok kepentingan dalam studi merupakan konsekuensi logis dari
adanya kepentingan tersendiri dari birokrat, politisi, dan kelompok-kelompok
penekan (pressure group). Pendekatan ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap
pendekatan pigovian yang menolak anggapan bahwa pemerintah didalam
mengatasai ketidaksempurnaan pasar melakukan koreksi dengan cara yang
sempurna dan tanpa biaya. Intervensi pemerinah pada pasar mungkin saja gagal
memperbaiki ketidaksempurnaan pasar dan bahkan dapat membuatnya menjadi
lebih buruk (government failure).
Teori ini memusatkan perhatian pada alokasi sumberdaya publik di dalam
pasar politik dengan mengkaji perilaku berbagai kelompok kepentingan, termasuk
politisi dan birokrat. Menurut pendekatan ini pemerintah tidak lebih dari
sekumpulan lembaga eksekutif dan legislatif yang memilki kekuasaan dan
keinginannya sendiri. Pendekatan ini menganalisis bagaimana agen-agen
pemerintah berfungsi pada berbagai aransemen kelembagaan untuk menemukan
penjelasan antara apa yang direkomendasikan dengan apa yang dilakukan
pemerintah dan menganalisis hasil yang dicapai (Barrett, 1999; Swinnen and Zee,
1993).
Aliran pemikiran teori pilihan publik merupakan salah satu sudut pandang
didalam memahami pembuatan keputusan politik. Teori ini menggunakan
argumentasi ekonomi (economic reasoning) di dalam persoalan-persoalan politik.
Inti persoalan terletak pada perilaku rasional pemerintah dan berbagai kelompok
kepentingan yang melakukan ‘investasi’ untuk meningkatkan kemakmuran.
Penyedia manfaat politik (politisi dan birokrat) menawarkan subsidi, manfaat
pajak, dan sejumlah regulasi kepada peminat atau demanders (kelompok-
kelompok kepentingan) dengan imbalan pemberian suara, kontribusi pada
kampanye pemilihan umum, atau imbalan lain (Gardner, 1987). Di banyak negara
berkembang dimana birokrat dan politisi tidak dimonitor secara ketat, diskresi
kebijakan yang mereka miliki sering memunculkan penyuapan melalui
kewenangan alokatif dan ketepatan waktu pelayanan. Peminat yang memberikan
penawaran tertinggi akan mendapatkan alokasi dan dilayani tepat waktu. Untuk
mendapatkan pelayanan tepat waktu maka besarnya nilai penyuapan tergantung
pada marjinal benefit of time dari peminat sementara untuk mendapatkan alokasi
tertentu ditentukan oleh perbandingan manfaat marjinal dengan pengeluaran
marjinal lobi. Untuk kasus Indonesia, hasil penelitian Kuncoro (2004)
menunjukkan bahwa besarnya nilai penyuapan ini terhadap keseluruhan biaya
produksi untuk industri agribisnis mencapai 11.3 % sementara untuk industri
manufaktur adalah 9.3 %.
Kedua tradisi ini meskipun berbeda secara ideologi dan metodologi, namun
keduanya mengkaji persoalan bagaimana kepentingan ekonomi eksogen
mempengaruhi keseimbangan politik yang melibatkan berbagai kepentingan. Para
kelompok kepentingan bersifat rasional yang dinyatakan sebagai
memaksimumkan fungsi tujuan dengan manfaat (lobbies), kemakmuran individu
(voters), dan dukungan politik (politiciants) sebagai argumennya. Dengan cara ini
maka terdapat kesamaan antara analisis pasar politik dengan pasar ekonomi
dimana keseimbangan terjadi ketika manfaat politik marjinal sama dengan biaya
politik marjinal. Selain itu terdapat interaksi yang kuat antara kedua pasar
tersebut dimana pasar ekonomi dapat menciptakan kemakmuran (wealth) yang
dapat memperluas kekuasaan politik, sementara itu pasar politik dapat
mendistribusikan kemakmuran yang pada gilirannya dapat memperkuat
kekuasaan ekonomi (Swinnen and Zee, 1993).
2.2. Makroekonomi Politik Kebijakan Pertanian
2.2.1. Fakta Khas Kebijakan Pertanian
Studi ekonomi politik kebijakan pertanian sangat aktif dilakukan pada
periode 1980an hingga pertengahan tahun 1990an. Hal ini didukung oleh
kombinasi beberapa faktor. Pertama dan yang terutama yaitu fenomena subsidi
besar ke sektor pertanian yang diberikan negara-negara maju sementara negara-
negara berkembang memberlakukan pajak terhadap sektor pertanian. Kedua
adalah munculnya teori baru mengenai ekonomi politik (new political economy)
dari Universitas Chicago dengan kontributor utamanya Stigler (1971), Peltzman
(1976) dan Becker (1983), pemikiran teori pilihan publik Downs (1957), dan
Olson (1965). Faktor ketiga adalah ketersediaan data baru dari negara berkembang
dalam kerangka penelitian oleh Bank Dunia. Kombinasi pertanyaan yang
menggoda, teori yang semakin kaya, dan ketersediaan data baru menghasilkan
banyak kajian ekonomi politik kebijakan pertanian antara tahun 1980an hingga
pertengahan 1990an. Setelah itu penelitian ekonomi politik kebijakan pertanian
secara keseluruhan semakin berkurang terutama pada dekade terakhir (Swinnen,
2009).
Lebih jauh Swinnen menyatakan studi-studi empiris kebijakan pertanian
yang telah dilakukan selama periode 1980an hingga pertengahan 1990an tersebut
dapat dikelompokkan kedalam tiga pola yaitu pola pembangunan (development
pattern), pola anti perdagangan (anti-trade pattern), dan pola anti keunggulan
komparatif (anti-comparative advantage pattern). Pola tersebut menurut Master
and Garcia (2009) merupakan fakta khas (stylized facts) yang melanda sektor
pertanian.
Pola pembangunan mengacu pada hubungan positif antara tingkat proteksi
pertanian dengan rata-rata pendapatan nasional negara, dan pergeseran historis
dari pengenaan pajak ke proteksi terhadap produsen pertanian seiring dengan
pertumbuhan ekonomi. Pola anti perdagangan mengacu pada observasi terhadap
sektor atau komoditi yang bersaing dengan impor (import-competing product)
cenderung dibantu (atau dikenai pajak kecil) dibanding dengan sektor yang
menghasilkan komoditi ekspor, sementara pola anti keunggulan komparatif
mengacu pada observasi proteksi yang relatif kecil (atau pajak tinggi) untuk
produk yang memiliki keunggulan komparatif dan proteksi meningkat ketika
pendapatan usahatani (pendapatan pada industri pertanian tertentu) menurun
relatif terhadap pendapatan sektor lain. Yang terakhir ini dapat terjadi karena
beberapa alasan antara lain menurunnya nilai tukar komoditi tersebut di pasar
dunia, fluktuasi nilai tukar, atau karena inovasi teknologi yang menurunkan
pendapatan komoditi tertentu (Swinnen, 2009; Rozelle and Swinnen, 2009).
Pola global tersebut tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi ekonomi,
namun ia konsisten dengan prediksi teori ekonomi politik. Ketika argumentasi
ekonomi menyertakan banyak variabel dalam model namun dengan resiko
menyederhanakan insight dari persoalan, penjelasan ekonomi politik memusatkan
perhatian pada faktor-faktor ekonomi struktural penting. Beberapa studi
menjelaskan dampak perubahan kondisi struktur ekonomi terhadap biaya
distribusi dan distorsi yang berhubungan dengan tingkat proteksi, intensitas
aktivitas politik, serta kemampuan mengorganisir dan mempengaruhi pemerintah.
Sejalan dengan meningkatnya pendapatan, perubahan struktur ekonomi akan
mempengaruhi biaya distribusi dan biaya politik serta manfaat proteksi pertanian,
yang berarti meningkatkan insentif politik bagi pemerintah dalam pembuatan
keputusan. Misalnya ketika kontribusi pangan dalam total pengeluaran konsumen
semakin berkurang, hal tersebut menurunkan penolakan terhadap proteksi
pertanian bukan saja oleh konsumen tapi juga oleh pemilik modal di sektor lain
yang tidak menginginkan tekanan inflasi dari tingkat upah yang berasal dari
mahalnya pangan akibat proteksi (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009).
Faktor lain yang bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi adalah
berkurangnya share pertanian dalam menyediakan kesempatan kerja. Dengan
menurunnya jumlah petani secara relatif maka biaya per unit peningkatan
pendapatan pertanian akibat proteksi semakin kecil bagi anggota masyarakat lain.
Selanjutnya pendapatan non pertanian tumbuh lebih cepat dibanding pendapatan
sektor pertanian. Hal ini memberikan insentif politik baik dari sisi permintaan
(petani) maupun penawaran (politisi) untuk melakukan pertukaran antara transfer
pemerintah dengan dukungan politik. Ketika pendapatan pertanian menurun
relatif terhadap sektor lain, petani mencari sumber pendapatan lain tanpa melalui
mekanisme pasar ekonomi (non market source) misalkan dukungan pemerintah
(government support) baik karena penerimaan lebih besar dari investasi yang
dikeluarkan untuk aktivitas lobi atau aktivitas pasar lainnya maupun karena
kesediaan yang tinggi untuk memberikan dukungan suara. Dengan alasan yang
sama pemerintah cenderung mendukung sektor yang tidak memiliki keungulan
komparatif dibanding dengan yang memiliki keunggulan komparatif (Swinnen,
2009; Master and Garcia, 2009).
Teori ekonomi politik memprediksi bahwa ekspor menerima subsidi kecil
(atau pajak tinggi) dibanding dengan impor karena perbedaan elastisitas
permintaan dan penawaran. Distorsi dan biaya transfer intervensi kebijakan
meningkat sejalan dengan neraca perdagangan komoditas yaitu ketika net ekspor
naik. Oleh karena itu proteksi pada suatu sektor dibanyak negara meningkat
ketika surplus neraca perdagangan menurun. Dengan menurunnya share pertanian
dalam menyediakan kesempatan kerja, maka studi mengenai argumen aksi
kolektif menyatakan bahwa organisasi politik petani menjadi relatif murah yang
membuat lobi petani menjadi semakin efektif (Swinnen, 2009).
Sebagian besar studi empiris mengenai proteksi pertanian menggunakan
data cross section atau menggunakan panel data dengan periode singkat.
Meskipun menghasilkan insight penting, hubungan yang diperoleh
mengindikasikan adanya fluktuasi pada tingkat proteksi, umumnya berimpitan
dengan periode depresi ekonomi makro dan kelangkaan pangan. Fluktuasi
demikian menunjukkan bagaimana sensitif dan responsifnya proteksi pertanian
(transfer pendapatan) terhadap perubahan eksternal. Fluktuasi dukungan pertanian
terlihat jelas dari studi historis mengunakan data rentang waktu dan analisis
ekonometrika. Namun demikian studi historis tersebut fokus pada satu negara
sehingga sulit membuat generalisasi (Swinnen, 2009; Master and Garcia, 2009).
2.2.2. Studi Empiris
Berbagai fakta khas (stylized facts) pertanian tersebut dapat dijelaskan
dengan teori ekonomi politik dan Master and Garcia (2009) telah menguji
konsistensi teori ekonomi politik terhadap fakta dengan menggunakan data panel
untuk negara berkembang dan negara maju.
Rational Ignorance
Konsep rational ignorance pertama kali dikemukakan oleh Anthony Downs
(1957) untuk menjelaskan minimnya informasi yang dimiliki individu yang
berkaitan dengan isu-isu kebijakan dan argumentasi ekonomi yang berkaitan
dengan perilaku ini diberikan Stigler (1961) yang mengatakan individu akan
mencari informasi sampai suatu tingkat tertentu dimana manfaat marjinal harapan
(expected marginal benefit) sama dengan biaya marjinal harapan (expected
marjinal cost). Diluar tingkatan tersebut pencarian tambahan informasi menjadi
tidak produktif. Oleh karena itu adalah rasional (rational) bagi seseorang untuk
bersikap tidak acuh (ignorance) terhadap suatu kebijakan jika biaya yang
dikeluarkan untuk mempelajari atau melakukan aksi terhadap kebijakan tersebut
lebih besar dari manfaat yang diberikan secara individual atau secara keseluruhan
lebih besar dari biaya organisasi politik.
Dengan menggunakan ukuran tingkat bantuan nominal (nominal rate of
assistence, NRA) sebagai variabel terikat (dependent variable) dan total biaya per
kapita sebagai variabel bebas (independent variable), Master and Garcia
menemukan hubungan bahwa naiknya biaya per kapita diikuti dengan penurunan
persentase NRA. Hubungan ini menjelaskan mengapa manfaat kebijakan
cenderung terkonsentrasi pada sedikit orang sehingga memotivasi mereka untuk
melakukan aksi politik dan memanfaatkan kebijakan yang dihasilkan (Master and
Garcia, 2009). Dampak tersebut semakin besar untuk masyarakat di perkotaan
yang mengindikasikan mereka lebih mudah dimobilisir dari pada masyarakat
perdesaan. Bahkan pada kebanyakan kasus manfaat tersebut diperoleh dengan
pengorbanan pihak lain dan jika pengorbanan tersebut relatif kecil secara
individual maka kebijakan tersebut dipertahankan untuk waktu yang cukup lama.
Hal ini dikarenakan ketika seseorang ingin mengevaluasi suatu kebijakan,
individu tersebut tidak akan mengumpulkan informasi yang memadai karena
mengetahui kemungkinan untuk mempengaruhi aksi bersama (collective actions)
sangat kecil.
Absolute Group Size
Menurut Olson (1965) kelompok dengan anggota yang relatif banyak
cenderung menghadapi persoalan free rider sehingga peranannya dalam
mempengaruhi kebijakan tidak akan efektif. Free ride terjadi karena manfaat tidak
dapat dipisahkan untuk dinikmati antara mereka yang memberi kontribusi dengan
yang tidak. Namun demikian jika kelompok tersebut lebih berpengaruh karena
dapat memobolisasi suara, kontribusi politik, atau tekanan politik lainnya maka
akan berdampak sebaliknya.
Hasil penelitian Master and Garcia (2009) menunjukkan bahwa kelompok
yang lebih besar dapat memperoleh manfaat dari kebijakan yang dibuat.
Kemungkinan yang terjadi adalah kelompok tersebut memiliki tingkat free-
ridership yang sama sehingga kelompok yang besar lebih berpengaruh dari pada
kelompok yang relatif kecil. Lebih dari itu pengaruh tersebut lebih besar dimiliki
oleh kelompok di perkotaan daripada kelompok di perdesaan yang berarti setiap
tambahan penduduk perkotaan memiliki pengaruh politik yang lebih besar
daripada setiap tambahan penduduk perdesaan.
Mempertimbangkan dua pendekatan ekonomi politik ini maka diperoleh
parameter unconditional regression NRA dengan pendapatan nasional relatif kecil
jika dibandingkan dengan regresi yang juga menyertakan rational ignorance
namun lebih besar pada hasil regresi dengan kontrol group size. Hal ini
mengindikasikan rational ignorance merupakan penjelasan penting terhadap
fenomena paradoks pembangunan (development paradox) yaitu pertanian di
negara maju menerima subsidi besar sementara di negara berkembang dikenai
pajak, sedangkan group size memberikan pengaruh tambahan. Namun demikian
ketiga regresi tersebut kurang tepat untk diperbandingkan karena memiliki ukuran
sampel yang berbeda (Master and Garcia, 2009).
Rent Seeking Behavior
Teori pilihan publik (public choice theory) diawali dengan premis bahwa
pemerintah memiliki keinginannya sendiri (self interest) yang ingin
dimaksimumkan dan salah satunya adalah mempertahankan kekuasaan. Dalam
demokrasi hal ini berarti mengamankan suara untuk dapat terpilih kembali,
sehingga pada lingkungan politik yang demikian pemerintah akan menghasilkan
regulasi, perpajakan, atau subsidi yang menguntungkan kelompok tertentu dan
sebagai imbalannya kelompok tersebut memberikan dukungan politik untuk
mempertahankan pemerinah yang berkuasa. Dengan kata lain dalam konteks
kebijakan pertanian, terdapat pasar politik dimana pemerintah menyediakan
subsidi untuk para petani dengan imbalan dukungan politik.
Teori pilihan publik juga terkait dengan aktivitas mencari rente (rent seeking
activities) yang dilakukan individu atau kelompok (misalnya kelompok petani)
untuk mendapatkan transfer pemerintah baik melalui subsidi langsung ataupun
pembuatan regulasi yang menguntungkan. Aktivitas memburu rente juga
dilakukan birokrasi untuk memperbesar organisasinya dan manfaat lain dari
organisasi birokrasi yang semakin besar tersebut. Akibatnya adalah para pembuat
keputusan akan menghasilkan kebijakan yang tidak memenuhi pareto efisiensi
terutama jika mereka dapat menghindar dari proses akuntabilitas. Pendekatan
memburu rente menjelaskan pola intervensi kebijakan melalui check and
balances yang membatasi pembuat keputusan pada berbagai tingkatan dan
berbagai sektor (Schmitz, et al., 2002).
Hasil penelitian Master and Garcia menunjukkan bahwa pemerintah yang
menghadapi kontrol ketat melalui mekanisme check and balances menghasilkan
NRA yang relatif kecil atau menghasilkan kebijakan yang mendekati pareto
optimal dibandingkan dengan pemerintah yang melakukan kooptasi. Informasi
check and balances mengukur efektifitas pengawasan parlemen terhadap
pemerintah yang membuat keputusan atau menurut undang-undang bagaimana
parlemen mempengaruhi pengawasan oleh anggotannya. Informasi ini berasal dari
database of political institutions yang disusun oleh Beck, Keefer and Clarke (2008).
2.3. Mikroekonomi Politik Kebijakan Pertanian
2.3.1. Fungsi Preferensi Politik
Dalam mengelaborasi teori pilihan publik, beberapa penulis
mengkuantifikasi bias kebijakan terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat
dengan menggunakan Fungsi Preferensi Politik (FPP). Pendekatan ini
mengasumsikan bahwa kebijakan pertanian yang berlaku merupakan
keseimbangan ekonomi politik yang melibatkan semua kekuatan yang relevan
(Johnson, 1995). Pengaruh berbagai kelompok dalam proses penyusunan
kebijakan tercermin dalam fungsi preferensi politik yang dimaksimumkan
pemerintah dengan mempertimbangkan semua pembatas ekonomi yang ada, dan
bobot politik (political weight) untuk masing-masing kelompok kepentingan
merupakan hasil dari proses pembuatan keputusan politik tersebut (Bullock, 1994;
Swinnen et al., 2000; Lee and Kennedy, 2007).
Secara hipotetis para pembuat kebijakan pertanian memiliki fungsi
kemakmuran (welfare function) yang menyertakan bobot politik dari masing-
masing kelompok kepentingan (misalkan 3 kelompok) yang dinyatakan dalam
model FPP sederhana berikut (Johnson, 1995).
W = wp.Gp + wc.Gc – wt.Lt (2.1)
dimana wp, wc, dan wt adalah bobot politik untuk kelompok produsen, konsumen,
dan pembayar pajak (tax payer), serta Gp, Gc, dan Lt merepresentasikan dampak
kemakmuran yang dihasilkan dari kebijakan tersebut yang secara berurutan
mewakili surplus produsen, surplus konsumen dan kerugian pembayar pajak.
Keterangan: P0EAPS = Gp = perubahan surplus produsen P0EBPd = Gc = perubahan surplus konsumen PSABPd= Lt = kerugian pembayar pajak EAB = DLt= dead weight loss. Misalkan pemerintah menggunakan kebijakan dukungan harga (price
suport) untuk meningkatkan produksi maka produsen dan konsumen diuntungkan,
tapi pembayar pajak dirugikan. Gambar berikut menunjukkan bahwa kerugian
pembayar pajak adalah jumlah dari Gp, Gc, dan ABE (dead weight loss, DLt),
sehingga fungsi kemakmuran dapat dinyatakan sebagai,
W= (wp - wt) Gp + (wc - wt) Gc – wt DLt (2.2)
Pengukuran preferensi dapat dilakukan karena ia teramati (observable) yaitu
ditunjukkan oleh aktivitas kebijakan, dan argumen yang terdapat pada FPP
Supply
Demand
QS 0 Quantity
P
B
A
P0
Pd
PS
Q0
E
Sumber: Johnson, 1995
Gambar 3. Model Ekonomi Tertutup Dampak Kebijakan Dukungan Harga
mewakili ukuran-ukuran kinerja seperti surplus kemakmuran. Oleh karena itu
bobot politik yang dihasilkan dari proses pembuatan keputusan politik pun dapat
diketahui dan diukur. Swinnen and Zee (1993) menyebutkan ada tiga pendekatan
untuk mendapatkan bobot politik yang terkandung dalam FPP yaitu pendekatan
langsung dengan mewawancarai pembuat kebijakan, pendekatan tidak langsung
menggunakan revealed preference, dan pendekatan arbitrary dimana peneliti
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki menentukan sendiri bobot politik dari
masing-masing kelompok kepentingan. Namun demikian dalam penelitian
ekonomi politik kebijakan pertanian pendekatan yang paling banyak digunakan
adalah pendekatan tidak langsung, revealed preference, dengan
mendiferensiasikan fungsi preferensi politik terhadap harga sebagai kondisi
pertama (first order condition) dalam memaksimumkan nilai FPP untuk kemudian
mendapatkan bobot politik dari masing-masing kelompok kepentingan.
Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa proses pembuatan kebijakan
dapat dijelaskan melalui persoalan matematik dimana pemerintah
memaksimumkan sebuah fungsi kemakmuran yang terdiri dari kemakmuran
berbagai kelompok kepentingan. Fungsi yang akan dimaksimumkan nilainya
tersebut dikenal dengan Fungsi Preferensi Politik (FPP). Menurut Bullock (1994)
meskipun kajian FPP dalam literatur sering dibahas namun penjelasan mengenai
metodologi dan asumsi yang diperlukan relatif sedikit. Metodologi FPP
menempatkan frontier Pareto sebagai bagian penting penggunaan model dan
kajian FPP mengukur tingkat transformasi marjinal (Marginal Rate of
Transformation, MRT) di sepanjang frontier Pareto tersebut. Oleh karena
penelitian ini berlandaskan pada kerangka kerja FPP dan Bullock (1994) dalam
artikelnya telah melakukan evaluasi kritis tentang FPP maka bagian berikut
(2.3.1.1. hingga 2.3.1.4.) merupakan saduran dari artikel tersebut untuk
memberikan pemahaman komprehensif tentang kerangka kerja FPP.
2.3.1.1. Rasionalitas Pemerintah dan Efisiensi Pareto
Dalam evaluasi kritisnya terhadap FPP, Bullock (1994) menyajikan
rasionalitas dan asumsi Fungsi Preferensi Politik (Political Preference Function).
Kajian diawali dengan memberikan beberapa definisi formal, yaitu pemerintah
memiliki p ≥ 1 instrumen kebijakan untuk memperbaiki kemakmuran dari q ≥ 2
kelompok kepentingan. Misalkan x* = (x1, …, xp) adalah vektor yang menjelaskan
level instrumen kebijakan pertanian yaitu 1, …, p, dan sebuah nilai tertentu dari
vektor variabel x* disebut sebuah “kebijakan.” Misalkan u*=(u1, …, uq) adalah
sebuah vektor yang menerangkan tingkat kemakmuran kelompok 1, …, q, dan b*
= (b1, …, by) adalah vektor yang menjelaskan struktur pasar dan bersifat eksogen
terhadap kebijakan pemerintah, misalnya elastisitas permintaan dan penawaran.
Misalkan juga * Rp adalah set dari semua kebijakan yang dapat
diimplemetasikan jika sumberdaya tidak terbatas, dan X* * adalah set dari
kebijakan yang secara teknis layak diimplementasikan dengan keterbatasan
sumberdaya yang dimiliki pemerintah. Misalkan juga B* Ry adalah set vektor b*
untuk semua parameter. Tingkat kemakmuran adalah fungsi dari kebijakan dan
kondisi pasar: u*= (u1, …, uq) = [h1(x*,b*), …, hq(x*,b*)] = h*(x*,b*) dimana fungsi
vektor h* dapat didiferensiasikan secara kontinyu (continuously differentiable)
terhadap X* × B*. Untuk struktur pasar yang dijelaskan oleh b*0 B*, set luaran
kebijakan yang secara teknis dapat diimajinasikan adalah I*(b*0) = {u*|u*=
h*(x*,b*0), x* *} dan set hasil kebijakan yang secara teknis layak adalah
F*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x* *}. Dengan demikian sebuah fungsi preferensi
politik adalah strictly increasing function g*: I*(b*0) → R.
2.3.1.2. Asumsi Dasar
Asumsi dasar FPP adalah pemerintah bersikap rasional dalam arti
memaksimumkan fungsi preferensi dengan kehadiran pembatas (maximizes a
preference subject to a constraint) dan menyelesaikan persoalan yang dapat
direpresentasikan sebagai (FPP-MAX)*, dimana FPP g* menjelaskan preferensi
atau kemakmuran sosial,
(2.3)
= h*(x*, b*0) F*(b*0).
Selanjutnya menurut kaidah Kuhn and Tucker, x*0 adalah kebijakan yang
efisien jika dan hanya jika x*0 menyelesaikan persoalan maksimisasi vektor
(Vector Maximization Problem, VMP)* yaitu,
(VMP)* V-MAX h*(x*,b*0) s.t. x* X*, (2.4)
dimana x*0 adalah efisien jika dan hanya jika tidak ada x* X* yang memenuhi
h*(x*,b*0) ≥ h*(x*0,b*0). Untuk b*0 B*, frontier Pareto P*(b*0) menyatakan
kumpulan semua hasil kebijakan yang efisien (Bullock, 1994), yaitu:
P*(b*0) = {u*|u*= h*(x*,b*0), x* solves (VMP)*}. (2.5)
Frontier Pareto adalah kurva instrumen kebijakan majemuk (multiple-policy-
instrument), kelompok kepentingan majemuk (multiple-interest-group),
generalisasi dari instrumen kebijakan tunggal (single-policy-instrument), dan
transformasi surplus dua kelompok kepentingan (two-interest-group surplus
transformation curve). Karena frontier Pareto menyatakan batas terluar kumpulan
dari semua hasil kebijakan yang layak secara teknis (boundary of the set of
technically feasible policy oucomes) F*(b*0) maka ia membatasi (FPP-MAX)*.
Proposisi berikut menunjukkan bahwa dengan rasionalitas, kemakmuran yang
dihasilkan (observed welfare oucome) berada pada frontier Pareto.
Proposisi. Untuk b*0 B*, jika sebuah kebijakan x*0 menyelesaikan (FPP-MAX)*,
maka h*(x*0,b*0) P*(b*0).
Bukti. Misalkan itu tidak benar. Maka untuk b*0 B*, x*0 menyelesaikan (FPP-
MAX)*, tetapi h*(x*0,b*0) P*(b*0). Karena h*(x*0,b*0) P*(b*0) maka terdapat
sebuah x* X*, katakan x*’, sedemikian hingga h*(x*’,b*0) ≥ h*(x*0,b*0). Karena
g*(u*) adalah strictly increasing, maka g*[h*(x*’,b*0)] > g*[h*(x*0,b*0)], yang
mengimplikasikan bahwa x*0 tidak menyelesaikan (FPP-MAX)* sehingga
kontradiktif dengan asumsi awal pembuktian (Bullock, 1994).
Proposisi tersebut menunjukkan bahwa implikasi langsung dari asumsi dasar
studi FPP adalah hasil kebijakan yang diamati memenuhi Pareto efisien.
Pemerintah yang rasional tidak akan memilih sebuah hasil kemakmuran
h*(x*0,b*0) yang terletak pada interior pembatas F*(b*0).
2.3.1.3. Dimensi Fungsi
Pada realitas sehari-hari banyak kelompok kepentingan mempengaruhi
kebijakan (yang sangat ekstrim adalah setiap individu adalah satu kelompok),
banyak instrumen kebijakan yang tersedia bagi pemerintah, dan banyak
parameter yang diperlukan untuk menjelaskan keadaan pasar. Akibatnya peneliti
FPP harus mengagregasikan atau menghilangkan beberapa kelompok
kepentingan, mengabaikan beberapa instrumen kebijakan, dan menggunakan
model ekonometrik sederhana untuk menjelaskan kondisi pasar. Dengan kata lain
peneliti mengurangi dimensi ekonomi politik FPP, mempertimbangkan m < p
instrumen kebijakan, n < q kelompok kepentingan, dan z < y parameter pasar.
Oleh karena itu vektor model instrumen kebijakan yang tersedia adalah x = (x1, ..,
xm), model vektor kemakmuran kelompok kepentingan u = (u1, .., un), dan vektor
model paramter pasar adalah b = (b1, .., bz). Demikian juga dengan definisi
, X , B , u = h(x,b), I(b0), dan F(b0) untuk model yang serupa
dengan yang bertanda asterik sebelumnya. FPP dengan demikian adalah fungsi
yang strictly increasing g: I(b0)→ R, dan peneliti FPP mengasumsikan bahwa
terdapat m instrumen, n kelompok kepentingan, dan z paramater yang dipilih
sedemikian hingga (FPP-MAX) merupakan representasi dari (FPP-MAX)*
(2.6)
= h(x, b0) F(b0).
Frontier Pareto yang diimplikasikan model dengan demikian adalah P(b0) = {u|u=
h(x,b0), x solves (VMP)}
(VMP) V-MAX h(x,b0) s.t. x X. (2.7)
Studi FPP kemudian menyimpulkan preferensi pemerintah dari laju transformasi
marjinal (Marginal Rate of Trasnformation, MRT) (Bullock, 1994).
Untuk menjaga konsistensi terhadap asumsi awal, peneliti FPP harus
memilih kebijakan yang diamati (observe policy), katakan x0, dan menemukan
fungsi g dan h untuk merasionalkan kebijakan x0, sedemikian hingga x0
menyelesaikan (FPP-MAX). Jika x0 adalah solusi interior dari (FPP-MAX), maka
kondisi ordo pertama (FPP-MAX) terpenuhi. Implikasinya adalah bobot politik
yang diukur dari FPP sama dengan laju transformasi marjinal di sepanjang
frontier Pareto (Bullock, 1994).
Metodologi FPP disajikan pada gambar 4 untuk n = 3 kelompok
kepentingan, dan m ≥ 3 instrumen kebijakan. Parameter kondisi pasar
diasumsikan tetap pada b0 B. Tujuan pemerintah adalah menyelesaikan
persoalan serupa (FPP-MAX), yaitu memaksimumkan g(u1,u2,u3). Salah satu
bagian kontur g pada ruang (u1,u2,u3) disajikan pada gambar 4. Pemerintah
memilih kebijakan x0 untuk mendapatkan hasil kemakmuran h(x0,b0) =
(u10,u2
0,u30) pada titik A, yaitu terletak pada frontier Pareto P(b0) dan pada
persinggungan dengan kontur FPP tertingi yang dapat dijangkau.
Ukuran kekuatan politik pada FPP ditunjukkan oleh laju substitusi marjinal
(Marginal Rate of Substitution, MRS) pemerintah diantara kelompok kepentingan
yaaitu sudut MRS21 dan MRS31 pada gambar 4. Karena FPP tidak dapat diamati
secara langsung maka MRS juga tidak dapat diukur secara langsung. Tetapi
sejauh derivatif h(x,b) dapat diukur (diketahui) maka MRT di sepanjang frontier
Pareto dapat diamati secara langsung (Bullock, 1994). Syarat perlu (necessary
Sumber: Bullock, 1994.
Gambar 4. Karakteristik Fungsi Preferensi Politik yang Memenuhi Pareto Frontier
condition) dari (PPF-MAX) dan (V-MAX) memungkinkan untuk membuat
simpulan MRS dari MRT. Jika x0 adalah solusi interior dari (FPP-MAX) maka,
. (2.8)
Elemen z(x0,b0) adalah laju substitusi marjinal pemerintah (government’s
marginal rate of substitution): MRSi1= -{ g[h(x0,b0)]/ ui}/{ g[h(x0,b0)]/ u1}.
Vektor dan kolom adalah kemiringan fungsi kemakmuran
kelompok (gradient of group welfare function) h1, .., hn, yang dianalisis pada
(x0,b0). Kondisi (2) berikut diperlukan agar x0 menyelesaikan (VMP) sehingga
h(x0,b0) P(b0),
(2.9)
Meskipun fungsi tujuan pada (FPP-MAX) dan (V-MAX) berbeda, solusi unik
z(x0,b0) pada (2.8) diperoleh jika dan hanya jika terdapat solusi unik t pada (2.9),
serta jika dan hanya jika z(x0,b0) = t. Elemen dari z(x0,b0) adalah koefisien dari
hyperplane yang bersinggungan (tangent) dengan kontur FPP pada h(x0,b0) dan
koefisien ini juga menyatakan laju transformasi marjinal, MRT. Studi FPP
mengukur vektor MRS z(x0,b0) secara tidak langsung dengan langsung mengukur
MRT vektor t, sehingga studi FPP secara langsung mengukur karakteristik
frontier Pareto. Elemen t ditunjukkan pada gambar 4 sebagai sudut MRT21 dan
MRT31. Kondisi ordo pertama (FPP-MAX) mengimplikasikan MRS21 = MRT21
dan MRS31=MRT31 dan persamaan (2.8) dan (2.9) menyatakan kajian FPP
memerlukan dua asumsi, yaitu: (1) pemerintah memiliki fungsi tujuan yang dapat
direpresentasikan dengan (FPP-MAX), dan (2) pemerintah dapat mengukur
derivatif pertama fungsi kemakmuran kelompok kepentingan h(x,b) untuk
menyelesaikan persoalan (FPP-MAX) (Bullock, 1994).
2.3.1.4. Frontier Pareto dan Kurva Trasformasi Surplus
Bullock (1994) menunjukkan bahwa untuk dua kelompok kepentingan,
sebuah kurva transformasi surplus (Surplus Transformation Curve, STC) dapat
digambarkan pada ruang (u1, u2) dengan merubah satu instumen xi, secara
kontinyu dengan instrumen lain tetap, dan menggambarkan resultan ordo dua (u1,
u2) pada R2. Dengan cara yang sama kurva transformasi surplus STCi dapat
digambarkan pada ruang (u1, ..,un) dengan merubah instumen xi, secara kontinyu
dengan instrumen lain tetap, dan menggambarkan resultan ordo n (u1,..,un) pada
Rn. Jadi paling tidak terdapat n kurva transformasi surplus STC1, .., STCn yang
melalui titik h(x0,b0) yang masing-masing diperoleh dengan merubah satu
instrumen x1, .., xn, dengan n-1 instrumen lain dipertahankan tetap (constant).
Persamaan (2.9) mengimplikasikan bahwa jika h(x0,b0) terletak pada frontier
Pareto, STC1, .., STCn adalah bersinggungan dengan hyperplane pada titik
tersebut. Hubungan antara STCs dengan frontier Pareto disajikan pada gambar 5
berikut untuk m = 2 instrumen dan n = 2 kelompok kepentingan.
Misalkan dalam konteks swasembada gula instrumen kebijakan yang
digunakan adalah subsidi input (s) dan dukungan riset (r) sehingga kebijakan
tersebut menurunkan biaya marjinal dan harga gula domestik, dua kelompok
kepentingan adalah konsumen-pembayar pajak dan produsen gula yang
kemakmurannya CS dan PS merupakan fungsi dari pilihan kebijakan pemerintah
(s,r). Hasil kemakmuran dari kebijakan (s0,r0) adalah [CS(s0,r0), PS(s0,r0)] pada
titik a. Paling tidak terdapat dua STCs, dinotasikan dengan STCr/s0 dan STCs/r0,
yang melalui titik a. Pemerintah dapat merubah perekonomian di sepanjang
STCr/s0 dengan merubah level penelitian (r) namun subsidi dipertahankan tetap
pada s0 (Bullock, 1994).
Pemerintah juga dapat merubah perekonomian di sepanjang STCs/r0 dengan
cara merubah subsidi (s) namun dukungan penelitian dipertahankan tetap pada r0.
Sumber: Bullock, 1994
Gambar 5. Hubungan Kurva Transformasi Surplus dengan Pareto Frontier
Perhatikan bahwa pada titik a sudut STCr/s0 dan STCs/r0 tidak sama karena pada
titik tersebut STCr/s0 dan STCs/r0 tidak menyinggung hyperplane (pada ruang R2
hanya berupa garis). Karena kondisi perlu (necessary condition) dari (VMP) pada
persamaan (2.9) tidak terpenuhi, maka kebijakan (s0,r0) tidak efisien, sehingga
[CS(s0,r0), PS(s0,r0)] pada titik a tidak terletak pada frontier Pareto. Pilihan
lainnya adalah menerapkan kebijakan yang lain misalkan (s1,r1) sehingga
perekonomian berada pada titik d yang Pareto-superior dari pada titik a. Oleh
karena itu secara umum terdapat banyak pilihan kebijakan yang efisien seperti
(r1,s0) dan (r0,s1) karena slope dari STCr/s0 dan STCs/r1 sama di titik b, dan slope
dari STCr/s1 dan STCs/r0 sama di titik c (Bullock, 1994).
2.3.2. Studi Empiris
Kontribusi FPP didalam analisis ekonomi politik kebijakan pertanian
terletak pada, (i) penentuan bobot politik dari berbagai kelompok kepentingan;
dan (ii) penentuan level instrumen kebijakan untuk level bobot politik tertentu
(Swinnen and Zee, 1993). Kontribusi terhadap penentuan bobot politik dapat
ditemukan pada penelitian Lopez (1994) yang menganalisis kebijakan harga gula
di Philippine dimana bobot politik produsen gula berubah diantara rezim
pemerintah Marcos ke Aquino dan bobot politik tersebut dipengaruhi oleh
kebijakan impor kuota gula yang diterapkan Amerika Serikat. Penelitian FPP lain
oleh Sarker et al. (1993) menemukan bahwa aktivitas lobi dari kelompok-
kelompok kepentingan berpengaruh positif terhadap peningkatan bobot politik
kelompok dengan mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah, dan reformasi
pertanian mengimplikasikan terjadinya perubahan bobot politik relatif pada FPP
tersebut. Dalam hal efisiensi lobi ditemukan bahwa kelompok produsen lebih
efisien dalam melakukan lobi dari pada kelompok konsumen yang tidak
terorganisir dengan baik sehingga kebijakan pertanian terutama di negara maju
dan di beberapa negara berkembang lebih ramah terhadap produsen daripada
terhadap konsumen. Hasil studi empiris mendukung proposisi bahwa terdapat
hubungan terbalik antara keunggulan kompatarif pertanian dengan manfaat
kebijakan untuk kelompok produsen, baik di negara maju maupun di negara
berkembang, namun kurang mendudukung untuk proposisi mengenai adanya
hubungan terbalik antara share pertanian di dalam total economy dengan manfaat
lobi yang diterima kelompok produsen. Hasil kajian juga mendukung proposisi
mengenai adanya hubungan negatif antara nilai tukar pertanian (agriculture’s
international term of trade) dan manfaat kebijakan yang dinikmati petani gandum
di negara maju namun tidak untuk petani di negara berkembang.
Pada penelitian lain yang juga menggunakan pendekatan tidak langsung
revealed preference, Lee and Kennedy (2007) menemukan bahwa kebijakan
produksi dan perdagangan beras di tiga negara maju Korea, Jepang, dan Amerika
Serikat antara tahun 1960-1999 adalah bias ke produsen namun dengan
kecenderungan yang semakin kecil yang ditunjukkan dengan tren menurun dari
bobot politik produsen walaupun masih tetap lebih besar dari 100%. Selain itu
peneliti menemukan bahwa bobot politik untuk masing-masing kelompok
kepentingan merupakan fungsi dari harga, parameter proporsionalitas, dan
elastisitas permintaan dan penawaran. Hasil simulasi menggunakan game theory
menemukan bahwa kebijakan perdagangan terbaik bagi Amerika Serikat terhadap
negara mitra dagang Korea dan Jepang adalah dengan mengkombinasikan
kebijakan akses pasar (market access) dengan program pengembangan pasar luar
negeri (foreign market development programs) di tengah tantangan kehadiran
perusahaan perdagangan negara mitra dagang (state trading enterprise, STE) yang
distortif.
Tabel 1. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian
Penelitian (tahun)
Model/Metode Kelompok kepentingan
Bias kebijakan thdp kelompok
Keterangan
Lopez (1994)
Fungsi preferensi politik (FPP)
• Produsen • Konsumen
Produsen Gula (Philippine)
Sarker, et al. (1993)
FPP • Produsen • Konsumen
Negara maju bias ke produsen, Negara berkembang bias ke konsumen
Gandum (12 negara maju dan 13 negara berkembang)
Lee and Kennedy (2007)
FPP • Produsen • Konsumen • Pemerintah
Produsen Beras (USA, Korea, Jepang)
Swinnen, et al. (1999)
Public Choice Theory
• Produsen • Konsumen
Negara maju bias ke produsen, Negara berkembang bias ke konsumen
Pengeluaran untuk penelitian dan proteksi pertanian (37 negara)
Vukina and Leegomonchai (2006)
Collective Action Teory
• Perusahaan (integrator)
• Peternak
Perusahaan Regulasi kontrak ayam broiler (USA)
2.4. Teori Ekonomi dan Studi Empiris Swasembada
2.4.1. Kebijakan Produksi dan Perdagangan
2.4.1.1. Kebijakan Tarif Impor
Sebagai negara kecil dan pengimpor gula maka harga domestik sangat
dipengaruhi oleh harga gula dunia. Oleh karena itu maka pemerintah
menggunakan kebijakan perdagangan untuk mengendalikan volume perdagangan
dan harga gula di dalam negeri. Mekanisme bekerjanya kebijakan tarif dalam
mempengaruhi volume impor, produksi dan harga gula domestik disajikan pada
gambar berikut untuk kasus negara kecil, pasar komoditi yang kompetitif,
substitusi sempurna antara produk domestik dengan produk impor dan biaya
transportasi sama dengan nol.
Jika pemerintah tidak memberlakukan tarif impor (free trade) maka harga
gula domestik sama dengan harga gula dunia PW, produksi dalam negeri ab,
konsumsi ac dan volume impor adalah df (pada panel b) atau bc (pada panel a). Untuk
menarik minat petani tebu dan pabrik gula meningkatkan produksi maka pemerintah
mengenakan tarif impor sebesar t sehingga kurva ED yang mencerminkan permintaan
dalam negeri atas gula impor bergeser ke kiri menjadi ED* dan memotong ES di titik e
pada panel (b). Volume impor berkurang menjadi de dan harga gula domestik Pd,
meningkat dan lebih tingi dari harga gula dunia. Dengan naiknya harga domestik maka
produksi dalam negeri naik dari semula ab menjadi gh, konsumsi berkurang menjadi gj
dan impor menurun manjadi hj. Adanya tarif telah meningkatkan harga gula domestik,
meningkatkan produksi, namun mengurangi konsumsi. Pihak yang diuntungkan dengan
kenaikan harga karena adanya tarif impor adalah produsen (pabrik gula, petani tebu,
suplier sarana produksi, termasuk tenaga kerja yang bekerja di pabrik gula ataupun di
ladang tebu) dan pemerintah karena mendapatkan penerimaan sebesar dekl (volume
impor dikali tarif) pada panel (b) atau daerah yang diarsir.
f
D
0
d ec
S
bES (R )
ED
Pw
0 q
P
a
Pd
qm
P
Sumber: Houck, 1986
Gambar 6. Dampak Tarif Impor Terhadap Produksi
h g j k l
ED* t
(b) (a)
2.4.1.2. Kebijakan Kuota Impor
Kuota impor merupakan hambatan perdagangan non tarif yang memiliki
dampak tidak langsung terhadap harga namun besarnya setara dengan akibat yang
ditimbulkan oleh tarif impor (kesetaraan harga dengan volume) jika kuota yang
ditetapkan lebih kecil dari volume impor pada free trade (binding quota). Dengan
penggunaan kuota maka volume impor telah ditetapkan terlebih dahulu dan ED*
patah dan tegak pada besarnya kuota impor tersebut (qq).
Pada kasus kuota impor adalah binding maka ED* menunjukkan volume
kuota impor dan harga domestik yang terjadi adalah Pd lebih tingi dari harga free
trade Pw. Dengan naiknya harga maka produsen meningkatkan produksi domestik
dan konsumen mengurangi konsumsi. Jika alokasi kuota kepada importir
dilakukan dengan lelang (auction) pada kondisi kompetitif maka pemerintah
mendapatkan penerimaan yang nilainya setara dengan penerimaan melalui tarif
impor sepanjang kondisi lainnya sama.
f
D
0
d e
S
ES (R )
ED
Pw
0 q
P
Pd
qm
P
Sumber: Houck, 1986
Gambar 7. Dampak Kuota Impor Terhadap Produksi
k l
ED*
(b) (a)
2.4.1.3.Kebijakan Subsidi Produksi Langsung
Subsidi produksi langsung merupakan alternatif peningkatan produksi selain
tarif atau kuota. Subsidi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian
langsung kepada produsen sejumlah nilai tertentu untuk setiap unit produk yang
diproduksi, dan yang kedua dengan mensubsidi input yang paling penting
(critical) untuk produksi seperti pupuk, irigasi, dan sebagainya. Dengan subsidi
jenis kedua ini maka harga input akan berada di bawah harga pasar bebas (free
market) dan dapat dilakukan dengan pemberian melalui produsen input atau ke
petani langsung. Analisis keseimbangan parsial dari subsidi produksi langsung
disajikan pada gambar berikut.
Subsidi langsung jenis manapun yang digunakan akan menyebabkan biaya
produksi menjadi lebih murah yang ditunjukkan dengan pergeseran kurva suplai
(S) menjadi S*. Jarak horizontal antara kurva D dengan S* (panel a) merupakan
fungsi ED* (panel b), dan merupakan fungsi permintaan impor yang dihadapi
eksportir luar negeri dengan adanya subsidi poduksi di negara importir. Jarak
horizontal ED dan ED* (panel b) sama dengan jarak horizontal S* dan S (panel
a
q 0
f
h
e
g
S
c ES (R )
ED ED*
S*
PW
0
P
D
b
Pd
qm
P
Sumber: Houck, 1986
Gambar 8. Dampak Subsidi Langsung terhadap Produksi
(b) (a)
a). Dengan menurunnya kurva permintaan impor maka volume impor berkurang
sebesar bc yang ekuivalen dengan peningkatan produksi domestik gh.
Peningkatan produksi ini sebagai akibat dari menurunnya biaya produksi (cost
lowering subsidy) yang besarnya setara dengan fh untuk setiap unit produksi.
Total nilai subsidi adalah daerah yang diarsir pada panel (a).
2.4.1.4. Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum
Kebijakan harga maksimum dan harga minimum dilakukan untuk
mengarahkan kegiatan produksi dan konsumsi. Gambar 9 berikut memberikan
ilustrasi bagaimana kebijakan tersebut berkerja, dimana pada kondisi
keseimbangan harga yang terjadi adalah Pe dan jumlah yang dikonsumsi sama
dengan jumlah yang diproduksi (Qe).
Jika pemerintah menginginkan produksi untuk meningkat maka itu
dilakukan dengan menetapkan harga minimum (floor price), dan pemerintah
menjamin untuk membeli hasil panen pada harga tersebut. Harga yang terjadi
Supply
Demand
Qe 0 Q
P
C D
BA
Pe
P Max
P Min
Sumber: Amid, 2007.
Gambar 9. Dampak Kebijakan Harga Maksimum dan Harga Minimum
adalah PMin berada di atas harga keseimbangan, dan produksi meningkat tapi
konsumsi menurun. Pada harga tersebut terdapat surplus produksi sebesar
equivalen AB, dan pemerintah harus membeli surplus ini yang dapat digunakan
sebagai cadangan atau mengekspornya.
Sebaliknya, untuk melindungi konsumen pemerintah menetapkan harga
maksimum (ceiling price) yang berada di bawah harga keseimbangan. Pada harga
PMax produksi menurun namun konsumsi meningkat dan terjadi kelangkaan
sebesar equivalen CD. Pada kondisi ini pemerintah dapat menggunakan cadangan
yang ada di gudang dan melakukan rationing terhadap mereka yang berhak atau
mengimpor untuk memenuhi kekurangan tersebut.
2.4.1.5. Kebijakan Stabilisasi Harga
Model stabilisasi Massell mengindikasikan bahwa masyarakat menyukai
harga yang stabil dibanding harga yang tidak stabil. Gambar berikut menunjukkan
bagaimana model stabilisasi Massell bekerja. Permintaan konsumen dinyatakan
oleh D dan penawaran stokastik (stochastic supply) adalah S1 dan S2 dengan
probabilitas kejadian masing-masing sebesar setengah dan harga keseimbangan
masing-masing kejadian adalah P1 dan P2. Misalkan harga distabilkan pada Pμ
dengan membeli kelebihan produksi Qs1-Qμ (buffer stock) jika produksi yang
terjadi S1 dan menjual stok Qμ-Qs2 jika yang terjadi adalah S2. Dengan kebijakan
stabilisasi maka jika yang terjadi adalah S1 konsumen rugi daerah arsir c+d dan
produsen untung daerah arsir c+d+e, sehingga manfaat neto adalah daerah e. Jika
yang terjadi S2 maka produsen rugi daerah a dan konsumen untung daerah a+b
sehingga manfaat neto adalah daerah b. Manfaat dari kebijakan stabilisasi harga
secara keseluruhan adalah daerah b+e.
Kebijakan stabilisasi harga bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan
sepanjang biaya penyimpanan untuk buffer stock tidak lebih besar dari pada
daerah b+e dan akan selalu ada pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan
pada masing-masing kejadian. Stabilisasi harga dapat juga dilakukan dengan buka
tutup keran impor jika pemerintah tidak melakukan pembelian untuk mengisi
stok.
2.4.1.6. Biaya Efisiensi Swasembada
Pada tingkat teknologi dan kelembagaan tertentu kurva production
possibility frontier ADCB mencerminkan kombinasi produksi maksimum suatu
negara yang menghasilkan dua jenis komoditi yaitu pangan dan non pangan.
Harga relatif kedua komoditi tersebut di pasar dunia diwakili oleh garis WZ yang
Sumber: Schmitz, et al. 2002
Gambar 10. Stabilisasi Harga Model Massell
Qs2
c
D
b d e
q Qμ 0 Q2 Qs1 Q1
P
P2
P1 Pμ
S2
S1
a
menyinggung kurva pada titik C, sehingga garis WCZ mencerminkan kurva
consumption possibility frontier karena masyarakat dapat mengkonsumsi pangan
dan non pangan di sepanjang kurva ini melalui perdagangan pada tingkat harga
relatif dipasar dunia tersebut.
Jika pemerintah menganggap produksi pangan Q1F relatif rendah untuk
dapat memenuhi kebutuhan domestik maka pemerintah melakukan berbagai
kebijakan sehingga lebih banyak sumberdaya domestik yang digunakan untuk
menghasilkan pangan dan produksi pangan naik menjadi Q2F namun produksi non
pangan menurun dari Q1N menjadi Q2
N. Oleh karena negara tersebut tidak dapat
mempengaruhi harga pangan dan non pangan dunia maka consumption possibility
frontier bergeser kebagian dalam frontir produksi dan memotong kurva di titik D.
0Z
FQ1
FQ2
AD
Y
C
W
Biaya efisiensi
Pangan
Non Pangan NQ2 NQ1 B
Sumber: Monke and Pearson, 1989
Gambar 11. Kurva Kemungkinan Produksi dan Biaya Swasembada
Apabila pendapatan nasional diartikan sebagai produksi dikalikan dengan
harga di pasar dunia, maka dinyatakan dalam pangan, kebijakan tersebut telah
menurunkan pendapatan nasional dari OW menjadi OY dan selisih pendapatan ini
merupakan biaya dari kebijakan ini (efficiency cost).
2.4.2.Studi Empiris Swasembada Pangan
Kajian mengenai kebijakan swasembada pertanian di Indonesia telah banyak
dilakukan, namun demikian sebagian besar penelitian tersebut mengunakan
pendekatan ekonomi yang mengabaikan kompetisi diantara berbagai kelompok
kepentingan dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi kebijakan
tersebut. Akibatnya adalah pembahasan mengenai kebijakan swasembada tidak
komprehensif dan menyisakan banyak pertanyaan yang mememerlukan
penjelasan. Barrett (1999) menegaskan bahwa adanya gap yang besar pada
penggunaan pendekatan analisis kebijakan pertanian menyebabkan tidak
terungkapnya upaya politik (political strugle) dari berbagai kelompok
kepentingan dalam memperebutkan manfaat kebijakan bagi masing-masing
kelompok, dan penekanan dari aspek politik murni gagal menjelaskan proses
ekonomi (economic genesis) dari konvergensi politik yang terjadi.
Penelitian Hasan et al., (2000) dengan menggunakan Benefit Cost Analysis
menemukan bahwa kebijakan swasembada gandum di Sudan dengan memberikan
subsidi input (air) dan perbaikan infrastruktur pertanian (jaringan irigasi) telah
meningkatkan luas areal tanam dan produksi pangan (gandum) namun dengan
mengorbankan luas tanam dan produksi komoditi non pangan (kapas) yang
memiliki efisiensi ekonomi relatif lebih tinggi. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa kebijakan swasembada gandum dengan mengorbankan kapas dari sisi
ekonomi tidaklah menguntungkan bagi Sudan. Selain itu budidaya kapas lebih
banyak menyerap tenaga kerja dari pada budidaya gandum sehingga investasi
pada infrastruktur irigasi untuk meningkatkan produksi pangan telah mengurangi
kesempatan kerja di sektor pertanian. Sementara itu kebijakan swasembada
pangan (beras) di Jepang diatur dalam undang-undang pangan utama (food basic
law) dan hasilnya adalah rata-rata pendapatan rumahtangga petani pangan (food
farmer household income) lebih tinggi dari pada rata-rata pendapatan
tumahtangga masyarakat kota (Taniguchi, 2001). Hasil simulasi menggunakan
model keseimbangan umum (CGE) menunjukkan bahwa dampak liberalisasi
perdagangan terhadap kemakmuran petani relatif kecil. Pendapatan rumahtangga
petani penuh (full time farmer) hanya berkurang sekitar 6% jika tarif impor nol
persen, jauh lebih kecil dari dari manfaat yang didapat konsumen dengan
penurunan harga pangan yang terjadi. Dari sisi swasembada ditemukan bahwa
liberalisasi perdagangan akan meningkatkan impor yang berarti mengurangi
tingkat swasembada (self sufficiensy ratio). Penelitian lain di Republik Dominika
oleh Kraybill (2002) yang juga menggunakan model keseimbangan umum (CGE)
menunjukkan bahwa perdagangan bebas untuk beras menguntungkan masyarakat
terutama penduduk miskin yang membelanjakan sebagian besar penghasilannya
untuk pangan. Penghapusan 40% tarif beras menurunkan harga beras impor
sebesar 28% (dipengaruhi juga oleh Armington elasticity of substitution). Namun
demikian bersama dengan penghapusan subsidi air guna menjaga keberlanjutan
pemeliharaan, kebijakan penghapusan tarif impor menurunkan kemakmuran
petani karena subsidi tersebut langsung mempengaruhi penerimaan lahan irigasi
(return to irigated land) yang merupakan aset berharga yang dimiliki petani.
Dampak dari penghapusan subsidi air dan tarif impor beras terhadap produksi dan
impor sangat tergantung pada elastisitas perdagangan. Pada elatisitas perdagangan
rendah kebijakan simultan tersebut akan mengurangi produksi beras 11.01% dan
meningkatkan impor sebesar 20.06%. Sementara itu pada elastisitas moderat dan
tinggi dampaknya secara berurutan adalah mengurangi produksi masing-masing
20.34% dan 39.23% serta meningkatkan impor masing-masing 43.76 % dan
91.93% (Tabel 2).
Tabel 2. Penelitian dan Kajian Swasembada Pangan yang Telah Dilaksanakan Sebelumnya
Penelitian (tahun)
Metoda/taknik analisis
Komoditi pert. yang dikaji
Instrument kebijakan
Negara
Hassan, et al. (2000)
B-C Analysis Gandum • Subsidi input
• Perbaikan infrastruktur pertanian
Sudan
Taniguchi (2001)
CGE Beras • Tarif impor • Subsidi
domestik
Jepang
Kraybill, et al. (2002)
CGE Beras • Tarif impor • Subsidi
domestik
Republik Dominika
Beghin, et al. (2003)
CGE Beras, gandum, barley, jagung, kedele, susu, dan daging
• Tarif impor • Subsidi
domestik
Korea
Duncan, et al. (2003)
CGE Padi, pangan olahan, hasil ternak, hasil perikanan
• Tarif impor China
Amid, (2007)
Descriptive Gandum dan tepung terigu
• Subsidi domestik
• Stabilisasi harga
Iran
Sementara itu penelitian Beghin et al., (2003) di Korea menunjukkan bahwa
pengurangan tarif impor dapat mendistorsi konsumsi dan mengurangi tingkat
swasembada. Penetapan target produksi dengan mempertimbangkan
ketidakpastian pasar dunia dan membolehkan impor untuk memenuhi kekurangan
suplai memberikan hasil yang lebih efisien dari pada pendekatan target
swasembada dengan menghambat impor. Jika pada kondisi aktual dead weight
loss yang terjadi adalah 6152 (106 Won), maka dengan pendekatan target
swasembada dead weight loss adalah 2540 (106 Won) dan dengan pendekatan
target produksi besarnya kehilangan adalah 2371 (106 Won).
2.4.3. Studi Empiris Ekonomi Gula
Seperti halnya komoditi pangan lainnya, industri gula Indonesia secara
historis dilingkupi oleh banyak regulasi yang protektif, namun demikian pada
tahun 1998, menjelang kejatuhan rezim Orde Baru, industri dan perdagangan gula
mengalami deregulasi dan liberalisasi demi memenuhi persyaratan untuk
mendapatkan pinjaman Dana Moneter International (IMF). Namun seiring
dengan berkembangnya demokratisasi, industri dan perdagangan gula kembali
mengalami regulasi (re-regulated). Pemberlakuan kuota impor musiman
(seasonal import quota), pengaturan linsensi impor, pembatasan perdagangan
antar pulau, pemberlakuan tarif spesifik, dan kenaikan harga minimum pembelian
tebu telah mengakibatkan harga gula yang dibayar konsumen dan berbagai
industri hilir yang menggunakan gula tebu semakin mahal. Harga gula di dalam
negeri mencapai dua kali lipat harga gula dunia atau sama dengan harga pada
rezim Soeharto dimana Bulog memiliki hak monopoli terhadap impor, pengadaan
domestik dan tata niaga gula dalam negeri (Stapleton, 2006).
Ketika peran IMF pada perekonomian Indonesia semakin berkurang dan
kemudian dihapuskan setelah periode krisis maka terdapat banyak kebijakan
perdagangan gula dihasilkan untuk memproteksi pabrik gula dalam negeri yang
sebagian besar milik negara dari kompetisi dengan gula impor. Lebih jauh lagi
regulasi yang cukup banyak tersebut kemudian diketahui tumpang tindih,
kontradiktif, dan sangat protektif (Stapleton, 2006). Menurut Fane and Warr
(2007) tingginya tingkat proteksi gula seperti halnya beras adalah untuk
menstabilkan harga domestik pada tingkat yang “dapat diterima” dan melindungi
pabrik gula milik negara tersebut. Sejak tahun 1970an proteksi yang diberikan
mencapai 100 persen yang membuat harga gula domestik adalah dua kali lipat
dari harga gula dunia. Namun demikian ditengah banyaknya regulasi yang sangat
protektif tersebut produksi gula dalam negeri hanya meningkat relatif kecil
dibanding dengan tingginya harga yang dibayar konsumen.
Besarnya proteksi yang diberikan pemerintah terhadap industri gula
mengindikasikan besarnya potensi memburu rente (rent seeking), karena petani
tebu tidak sepenuhnya merasakan kenaikan pendapatan dari proteksi yang
diberikan oleh pemerintah. Produktivitas dan rendemen tebu yang diterima petani
dari PG umumnya rendah, dan masih menjadi faktor utama belum bersinerginya
hubungan antara petani tebu dan pabrik gula. Selama periode 1987-2006, pabrik
gula di Jawa memperoleh rendemen yang berkisar antara 5.88-8.66% (dengan
rata-rata 7.10%), sementara di luar Jawa antara 5.97-9.77% (dengan rata-rata
8.66%). Dalam waktu yang bersamaan, pabrik di Jawa memberikan produktivitas
gula hablur yang berkisar antara 3.48-7.35 ton/ha (dengan rata-rata 5.66 ton/ha),
sedangkan di Luar Jawa antara 2.56-8.18 ton/ha (dengan rata-rata 6.39 ton/ha)
(P3GI, 2007 dan 2008). Rendahnya rendemen dan produktivitas gula hablur ini
mempengaruhi penerimaan petani yang melakukan kerja sama bagi hasil dengan
pabrik gula dengan perbandingan 66 : 34 (lihat tabel 3).
Tabel 3. Jumlah Pabrik, Luas Areal dan Produksi Gula Indonesia Tahun 2006 Uraian Jawa Luar Jawa IndonesiaJumlah PG 47 12 59 Luas Areal (ha) 248 398 148 884 397 282 Total Tebu (ton) 19 918 300 10 325 660 30 242 960 Rendemen (%) 7.31 8.25 7.78 Produksi Gula (ton) 1 455 800 852 169 2 307 969 Sumber: P3GI (2007) Faktor kedua adalah ketersediaan bahan baku yang terbatas sehingga pabrik
beroperasi di bawah kapasitas maksimum. Penurunan areal tebu menyebabkan
ketersediaan bahan baku berkurang sehingga PG sering mengalami kesulitan
untuk mencapai kapasitas minimal. Dalam 10 tahun terakhir, dari 59 PG di Jawa,
17 PG memiliki total hari giling di bawah standar nasional yaitu 150 hari
giling/tahun. Dengan kriteria minimum kapasitas giling 2.000 ton tebu/hari, 28
pabrik tidak memenuhi standar tersebut (Susila dan Sinaga, 2005a).
Menurut Arifin (2008) pencapaian swasembada gula dapat ditempuh dengan
langkah besar peningkatan rendemen, yang selama ini hanya sekitar 7 persen atau
kurang. Kenaikan rendemen 1 persen saja akan memberikan potensi tambahan
produksi gula lebih dari 300 ribu ton, yang tentu saja dapat berkontribusi pada
pencapaian swasembada gula Indonesia. Kapasitas sumberdaya pabrik dan
sumberdaya manusia masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan
produktivitas hablur menjadi 8 ton per hektar. Strategi tersebut dapat ditempuh
dengan “metode konvensional” dalam bidang budidaya berupa perbaikan varietas,
penyediaan bibit sehat dan murni, optimalisasi waktu tanam, pengaturan
kebutuhan air, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu, dan
sebagainya. Dalam aspek panen dan pasca panen, untuk meningkatkan
produktivitas beberapa hal bisa dilakukan, misalnya penentuan awal giling yang
tepat dan penentuan kebun tebu yang ditebang yang lebih dapat diandalkan,
sampai pada aspek konsolidasi lahan pabrik gula, seperti pembentukan sistem
blok. Apabila kedua metode peningkatan rendemen tersebut dapat
dikombinasikan secara baik, maka pencapaian rendemen gula sampai 11 persen
bukanlah sesuatu yang sulit. Bahkan, apabila metode tersebut secara konsisten
dilaksanakan, maka tidak mustahil rendemen gula pada perkebunan tebu di
Indonesia dapat mencapai 13 persen atau lebih.
2.4.4. Studi Empiris Ekonomi Politik Kebijakan Pertanian
Pendekatan ekonomi politik memberikan penjelasan teoritis mengenai
kebijakan pertanian yang terjadi. Generasi pertama pendekatan ekonomi politik
berhasil menjelaskan mengapa kebijakan pertanian seperti yang terjadi selama ini
yang tidak dapat dijelaskan dengan pendekatan teori ekonomi mainstream
konvensional, namun ia mengabaikan isu tentang pengujian empiris (empirical
testing). Analisis ekonomi politik generasi pertama berlandaskan pada terobosan
yang dibuat oleh pencetus teori pilihan publik seperti Olson, Down, Buchanan,
dan Niskanen yang menjelaskan kebijakan pertanian dengan landasan argumen
kualitatif yang diturunkan dari pilihan publik teoritis (theoretical public choice)
ataupun berdasarkan hasil regresi statistik. Pada kasus yang terakhir ini hubungan
antara teori ekonomi-politik dengan model empirisnnya sangat longgar yang
menunjukkan model yang digunakan bersifat ad-hock tanpa didasari fondasi
mikro-ekonomi politik yang kuat (Zee, 1997).
Generasi kedua pendekatan ekonomi politik jauh lebih maju dari generasi
pendahulunya yang dicirikan oleh kemampuan melakukan deduksi teoritis dengan
landasan matematika yang sangat kuat. Lebih dari itu generasi kedua ini mampu
menyajikan hubungan antara aktivitas ekonomi politik individu atau kelompok
dengan hasil (outcome) dari sebuah kebijakan pertanian. Ciri yang menonjol dari
generasi ini adalah kemampuan melakukan aplikasi dan pengujian empiris
terhadap hubungan ekonomi-politik dengan ‘kebijakan’ sebagai variabel
endogennya. Namun demikian penelitian ekonomi politik pada generasi ini hingga
sekarang pun belum memberikan perhatian yang memadai terhadap ketidak-
stasioneran data terutama pada data rentang waktu (time series), sementara
perkembangan metode statistika membuktikan hubungan regresi antar variabel
yang tidak stasioner memberikan hasil yang semu (spurious) (Verbeek, 2000;
Hallam and Zanoli, 1993; Meyer, 2004; Tambi, 1999; Susanti, 2001).
Penelitian ekonomi politik yang dilakukan Lopez (1994) tentang kebijakan
penetapan harga gula di Filipina dengan menggunakan data rentang waktu 1952-
1990, yang dikontrol berdasarkan rezim pemerintah yang berkuasa, dilakukan
dengan meregresikan variabel harga dengan sejumlah variabel ekonomi makro
lainnya menggunakan metode ordinary least square (OLS) tanpa terlebih dahulu
menguji stasioneritas data. Sarker (1993) menggunakan data gabungan (pool data)
antar negara dan antar waktu 1958-1987 meregresikan variabel bobot politik
kelompok produsen dengan sejumlah variabel ekonomi makro menggunakan
metode maximum likelihood estimation (MLE) tanpa memperhatikan ketidak-
stasioneran data. Hal senada dilakukan oleh Lee and Kennedy (2007) dalam
penelitian ekonomi politik mengenai ekspor beras Amerika ke Jepang dan Korea
yang mengabaikan ketidak-stasioneran data meskipun menggunakan data rentang
waktu 1960-1999. Kajian ekonomi politik lainnya dalam konteks kebijakan
pertanian yang distortif oleh para peneliti Bank Dunia pun tidak memberikan
perhatian yang memadai terhadap ketidak-stasioneran data meskipun mereka
menggunakan data rentang waktu atau data gabungan dalam melakukan pengujian
statistik mengenai hubungan antar variabel ekonomi-politik (lihat Swinnen, 2009;
Rausser and Roland, 2009; Masters and Garcia, 2009). Dalam konteks inilah
penelitian ini memiliki siginfikansinya karena ia memiliki kekuatan dalam metode
statistika sehingga model yang digunakan dapat memprediksi hubungan antar
variabel ekonomi-politik dengan lebih akurat (robust).
2.5. Model Oligopoli untuk Mengukur Kekuatan Pasar
Menurut pandangan new-Keynessian pasar tidaklah sempurna (imperfect
market) sehingga harga barang lebih tinggi dari biaya marjinalnya. Mekanisme
bekerja model adalah permintaan perusahaan terhadap faktor produksi ditentukan
dengan menyamakan harga input (input price) dengan penerimaan marjinal faktor
produksi (marginal revenue product of input). Jika pada pasar persaingan
sempurna nilai produk marjinal sama dengan harga output maka pada pasar yang
tidak sempurna harga output ditentukan oleh biaya marjinal ditambah mark-up,
dan ukuran kekuatan pasar (market power) diindikasikan dengan besarnya mark-
up.
2.5.1. Model Teoritis
2.5.1.1. Hall’s Model
Hall mendifinisikan biaya marjinal suatu perusahaan sebagai derivatif dari
biaya total terhadap output. Misalkan tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor
produksi maka biaya marjinal dinyatakan sebagai:
(2.10)
dimana w menyatakan upah per jam dan N menyatakan jumlah tenaga kerja, dan
Y menyatakan output. Untuk mengestimasi mark-up Hall mengurangkan
penambahan Y akibat perkembangan teknologi yang bersifat eksogen, sehingga
persamaan menjadi,
(2.11)
dengan Ѳ merupakan proksi laju perkembangan teknologi. Hall mengasumsikan
juga bahwa perkembangan teknologi merupakan deviasi random terhadap laju
perubahan yang konstan yaitu,
Ѳt = Ѳ + εt, (2.12)
dimana εt tidak berkorelasi dengan siklus bisnis. Dengan menyertakan teknology
dan menyatakan p/MC sebagai μ maka diperoleh,
Δy = Ѳ + μ.σ.Δn + εt (2.13)
dengan share penerimaan tenaga kerja sebagai σ=(wN)/pY. Persamaan tersebut
menyataka bahwa laju perubahan output sama dengan laju perubahan input tenaga
kerja yang dibobot dengan share penerimaan tenaga, σ dan mark-up ditambah
dengan elemen konstan dan laju pertumbuhan teknologi yang random. Setelah
menyertakan peran kapital dan mengasumsikan constant return to scale
persamaan dapat dimodifikasi menjadi,
Δ(y - k) = Ѳ + μ.σ.Δ(n – k) + εt (2.14)
dengan Δ(y - k) sebagai proporsi perubahan output-kapital ratio dan Δ(n - k)
sebagai proporsi perubahan labor-kapital ratio. Persamaan tersebut merupakan
titik awal estimasi karena tujuan model adalah untuk mengestimasi μ, dan μ-1 ≥ 0
adalah ukuran dari kekuatan pasar (Beccarello, 1996).
2.5.1.2. Bresnahan-Lau Model
Fenomena harga yang lebih tinggi dari biaya marjinal (mark up over
marginal cost) merupakan isu penting pada pasar yang tidak sempurna dan ia juga
digunakan sebagai ukuran kekuatan pasar pada suatu industri. Namun demikian
pengukurannya pada tingkat perusahaan relatif sulit. Penyebab utamanya adalah
mark-up merupakan perbandingan (ratio) harga dengan biaya marjinal yang tak
teramati (unobserved marginal cost) sebagai akibat peningkatan output. Informasi
ini biasanya tidak tersedia karena data perusahaan dan industri merupakan data
rata-rata untuk periode tertentu (biasanya satu tahun). Selain itu pada tingkat
perusahaan pencatatan input dan output menjadi problematik karena data
umumnya berupa penerimaan dan biaya, bukan data fisik input dan output.
Permasalahan lain adalah informasi tentang harga output perusahaan, tingkat upah
dan harga input lainnya sangat sulit diperoleh, yang juga merupakan persoalan
pembukuan perusahaan. Hal ini menyebabkan penelitian kekuatan pasar pada
tingkat perusahaan sangat sulit kalau tidak ingin dikatakan mustahil (Nishimura,
et al., 1999). Oleh karena itu studi tentang estimasi kekuatan pasar pada tingkat
perusahaan dilakukan dengan mengobservasi besarnya keuntungan sebagai proksi
kekuatan pasar. Alternatif lain adalah dengan menggunakan data harga dan
kuantitas pada tingkat industri terutama pada industri tertentu dimana data yang
tersedia relatif banyak seperti yang dilakukan oleh Bresnahan dan Lau (Steen and
Salvanes, 1999).
Permintaan yang dihadapi industri dinyatakan oleh persamaan berikut,
,);,( εα += ZPDQ (2.15)
Keterangan Q = kuantitas, P = harga, Z = vektor variabel eksogen, seperti harga barang substitusi, dan pendapatan. α = vektor parameter yang diestimasi, dan ε = error term.
Pada sisi penawaran persamaannya relatif kompleks. Jika penjual adalah penerima
harga (price taker) maka harga sama dengan biaya marjinal (price equals
marginal cost), dan dinyatakan sebagai,
,);,( ηβ += WQcP (2.16)
Keterangan, W = variabel eksogen pada sisi penawaran seperti harga faktor produksi, β = parameter fungsi penawaran, dan η = supply error term.
Biaya marjinal dinyatakan oleh c(.), namun jika perusahaan bukan penerima
harga maka penerimaan marjinal (perceived marginal revenue), bukan harga,
yang sama dengan biaya marjinal. Jadi pada struktur demikian persamaan
penawaran yang relevan adalah sebuah relasi penawaran (supply relation), yaitu:
,);,(.);,( ηαλβ +−= ZQhWQcP (2.17)
dimana P + h(.) adalah penerimaan marjinal (marginal revenue), dan P + λ . h(.)
adalah perceived marginal revenue. Pada persamaan tersebut λ adalah satu
parameter yang menyatakan derajat kekuatan pasar (degree of market power)
yang pada pasar persaingan sempurna λ=0 sehingga harga sama dengan biaya
marjinal, namun jika λ=1 maka terjadi kartel sempurna (perfect cartel). Dengan
demikian jika 0< λ<1 maka terdapat variasi rezim oligopoli, dan secara umum λ
menyatakan persentase penerimaan marjinal monopoli (monopoly marginal
revenue perceived) (Steen and Salvanes, 1999).
2.5.1.3. Nishimura-Ohkusa-Ariga Model
Pendekatan ini tidak mengestimasi biaya marjinal secara langsung dan tidak
juga menggunakan informasi harga output perusahaan sehingga terhindar dari
persoalan data yang tidak teramati dan kesulitan mendapatkan data harga input
dan output perusahaan. Metode in berdasarkan hubungan identitas elastisitas input
dan output jangka pendek, tingkat mark-up, dan share faktor produksi. Untuk
mendapatkan hubungan ini yang diperlukan hanya sebuah asumsi standar yaitu
nilai produksi marjinal suatu input sama denga harga input tersebut. Prosedurnya
adalah mengidentifikasi biaya produksi tetap jangka pendek (short run fixed cost
of production) dan kendala kemampuan manajerial jangka pendek (short-run
managerial-ability constraint) dalam menentukan elatisitas jangka pendek output
terhadap input (short run elasticity of output to input). Mark-up terhadap biaya
marjinal kemudian diestimasi melalui elastisitas jangka pendek output terhadap
input tersebut dengan menggunakan data share faktor pada tingkat perusahaan
(Nishimura et al., 1999).
Fungsi produksi dan biaya tetap jangka pendek
(2.18)
dimana secara berurutan menyatakan output, input kapital, dan
tenaga kerja dari perusahaan i pada periode t, dan peran input kapital proporsional
dengan stok kapital. Sementara itu menyatakan tingkat produktivitas yang
dipengaruhi oleh teknologi. Dalam jangka pendek kapasitas produksi maksimum
adalah yang dibatasi oleh organisasi produksi yang memiliki respon lambat
(sticky production organisation) sehingga persamaan menjadi,
(2.19)
dimana sedemikian hingga ≥ ≥ 0 dan adalah parameter yang
menentukan teknologi. Agar formulasi ini memenuhi persyaratan menghasilkan
output non negatif diperlukan paling tidak yang memenuhi,
(2.20)
dengan demikian diperoleh biaya tetap jangka pendek dan
diinterpretasikan sebagai biaya tetap yang dinyatakan dalam output.
Elastisitas jangka pendek dari output terhadap input kapital dan tenaga
kerja berdasarkan fungsi produksi jangka pendek dinyatakan sebagai,
(2.21)
dimana menyatakan derivatif Fi terhdap K pada periode t dan demikian juga
merupakan derifatif terhadap L. Dengan demikian diperoleh,
(2.22)
Dengan menyertakan efisiensi manajerial dalam fungsi produksi
diperoleh,
(2.23)
dimana adalah fungsi produksi yang diperluas dengan menyertakan variasi
efisiensi manajerial. Terlepas dari bentuk persaingan tidak sempurna, perusahaan i
akan meminimumkan fungsi biaya berikut,
≡ (2.24)
dimana adalah biaya sewa modal dan adalah tingkat upah yang bisa
berbeda antar perusahaan dan antar waktu. Kondisi ordo pertama untuk
minimisasi dengan demikian menjadi,
(2.25)
dimana adalah biaya marjinal. Interaksi strategis antara perusahaan dan
berbagai kondisi permintaan menentukan mark-up terhadap biaya marjinal (mark-
up over marjinal cost) sehingga,
(2.26)
sehingga mark-up, diperoleh sebagai parameter hasil estimasi.
2.5.2. Studi Empiris
Studi empiris mengenai kekuatan pasar pada industri dengan struktur
oligopolistik berkembang pesat semenjak Bresnahan melakukan survai tahun
1989. Kebanyakan studi memiliki kesamaan pada penggunaan pendekatan
ekonometrika struktural dan pencarian metode untuk menguji hipotesis mengenai
perilaku perusahaan pada masing-masing industri dan penentuan pengukuran
kekuatan pasar.
Beccarello (1996) meneliti kekuatan pasar dengan menggunakan panel data
terhadap tujuh negara maju anggota OECD utama yaitu Amerika, Kanada,
Jepang, Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia. Pada masing-masing negara, studi
dipusatkan pada sektor industri pengolahan penting yaitu makanan, minuman,
tembakau; tekstil; kertas, percetakan dan penerbitan; kimia; produk mineral non
metal; produk mineral metal dasar; mesin dan peralatan; produk manufaktur
lainnya; kayu dan produk kayu. Model yang digunakan berasal dari model Hall
dengan modifikasi menjadi,
[Δ(y - k)gi,t] = [Ѳg] + [μgi] . [I σ gi,t . Δ(ngi,t + hg,t – kgi,t)] (2.27)
dimana g = 1, ….., 7; i=1,….,9, dan ngi,t + hg,t, memisahkan input tenaga kerja
dengan jumlah jam kerja.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar industri pengolahan
(93%) memiliki kekuatan pasar, µgi 1 dengan Jepang, Perancis, dan Kanada
menunjukan adanya kekuatan pasar pada semua sektor yang dianalisis dengan
rata-rata mark-up secara berurutan 1.89, 1.34, dan 1.47, sedangkan Amerika dan
Inggris menunjukkan adanya kekuatan pasar pada delapan dari sembilan sektor
dengan rata-rata mark-up masing-masing 1.50 dan 1.47. Sementara itu Italia
menunjukkan enam dari delapan sektor dengan rata-rata mark-up adalah 1.72,
sedangkan German lima dari delapan sektor dengan rata-rata mark-up adalah 1.07.
Besarnya mark-up rata-rata lebih besar dari satu (100%) untuk semua negara yang
dianalisis yang berarti industri di negara maju pun memiliki kekuatan pasar yang
relatif besar. Sementara itu khusus untuk Jepang hasil penelitian Nishimura et al.
(1999) menunjukkan rata-rata mark-up yang relatif kecil yaitu industri trasportasi
darat (tidak termasuk kereta api) memiliki mark-up 1.05 sedangkan yang tertinggi
adalah mark-up pada indutri perminyakan yaitu 1.57, dan pengujian menunjukkan
hasil yang signifikan. Hal ini berarti industri Jepang memiliki kekuatan pasar
untuk mengendalikan harga.
Pengujian kekuatan pasar dengan menggunakan Brasnahan-Lau model
dilakukan oleh Steen and Salvanes (1999) yang mengukur kekuatan pasar industri
budidaya ikan Salmon Norwegia pada pasar ikan salmon Uni Eropa (EU).
Norwegia dikenal sebagai negara utama penghasil salmon budidaya dengan
produksi mencapai 56 persen dari produksi salmon dunia antara tahun 1986-
1991. Pasar utama salmon Norwegia adalah EU yang mencapai 70% dari seluruh
salmon segar yang dipedagangkan di EU. Di Norwegia penjualan salmon pada
tingkat petani (farm-gate sale) mengalami regulasi sampai dengan tahun 1991.
Organisasi petani ikan diberi wewenang menentukan harga minimum dan
menentukan eksportir sehingga Norwegia memiliki kemampuan untuk
menetapkan harga ikan salmon di Eropa. Pada tahun 1992 Uni Eropa melakukan
investigasi dan memutuskan bahwa produsen ikan salmon Norwegia bersalah
karena melakukan kolusi untuk menentukan harga minimum salmon di Eropa.
Berdasarkan alasan tersebut Steen and Salvanes melakukan penelitian kekuatan
pasar menggunakan model oligopoli dinamik. Untuk menghindari tingkat agregasi
yang sangat tinggi maka penelitian hanya dipusatkan di Perancis yang merupakan
pasar salmon utama EU.
Hasil penelitian Steen and Salvanes (1999) menunjukkan permintaan salmon
adalah elastik dengan long-run own-price elasticity sebesar -1.24, angka ini sesuai
dengan yang diprediksikan dan literatur yang ada. Sementara itu elastisitas
pendapatan jangka panjang adalah 5.69 yang berarti bagi konsumen Perancis
salmon merupakan barang mewah (luxury product) dan elastisitas silang jangka
panjang adalah 0.20 yang mengindikasikan bahwa salmon beku Amerika Utara
merupakan substitusi dari salmon segar Norwegia. Hal yang sangat mengejutkan
adalah hasil estimasi parameter penyesuaian (adjustment parameter, γ*) yang
lebih besar dari 1 dalam nilai absolut yaitu -2.07, sementara perkiraan nilai
parameter ini antara -1 dan 0. Jika γ* = 0 berarti tidak terjadi perbaikan error
sementara jika γ* = -1, deviasi terhadap jalur keseimbangan jangka panjang
disesuaikan secara seketika. Estimasi γ* = -2.07 berarti telah terjadi overshooting
yaitu deviasi bukan saja dikoreksi seketika tetapi terjadi kelebihan penyesuaian.
Sebagai perbandingan peneliti juga mengestimasi menggunakan model
statik dan hasilnya adalah elastisitas permintaan jangka panjang (long-run own-
price elasticity) adalah -0.17 dan terdapat hubungan komplementer antara salmon
segar dengan salmon beku yang ditunjukkan dengan elastisitas silang sebesar -
.24, sementara elastisitas pendapatan jauh lebih tinggi yaitu 7.42. Selain itu hasil
estimasi kekuatan pasar menunjukkan λ = -0.025 yang berarti Norwegia memiliki
kekuatan pasar yang sedang (intermediate) dalam jangka pendek, sementara
dalam jangka panjang nilai mark-up relatif lebih tinggi yaitu -0.050.
2.6. Ikhtisar
Bagian ini merupakan sintesis dari keseluruhan Bab II yang dimaksudkan
untuk mendapatkan benang merah dari masing-masing bagian dan menemukan
keterkaitan antar satu bagian dengan bagian yang lainnya. Pada bagian awal
diuraikan dua pemikiran ekonomi yang berbeda dalam melihat peran regulatif
pemerintah. Pertama adalah Teori Kepentingan Publik, yang melihat peran
pemerintah sebagai agen pelayan masyarakat yang budiman karena pemerintah
melakukan intervensi pasar untuk menciptakan Pareto Improvement. Pada sisi
lain diuraikan Teori Kelompok Kepentingan yang melihat regulasi yang
dikeluarkan pemerintah merupakan hasil kompetisi antara berbagai kelompok
kepentingan yang saling bersaing untuk memperoleh manfaat dari setiap regulasi
yang dikeluarkan pemerintah. Menurut teori ini pemerintah, seperti halnya
kelompok kepentingan ekonomi lain, tidak lebih dari sekumpulan individu yang
dikendalikan oleh kepentingan pribadi. Mereka dapat berada di eksekutif
(birokrat) ataupun legislatif (politisi) yang berperan sebagai produsen kebijakan
(supplier of policies). Pandangan yang terakhir inilah yang mendasari munculnya
pendekatan ekonomi politik untuk menemukan jawaban terhadap kebijakan
pertanian yang protektif diberbagai negara yang tidak dapat dijelaskan dengan
pendekatan ekonomi konvensional.
Perkembangan pendekatan ekonomi politik kebijakan pertanian kemudian
diulas lebih jauh dalam kerangka Makroekonomi maupun Mikroekonomi. Pada
konteks Makroekonomi politik, kebijakan pertanian yang protektif mengikuti tiga
pola yaitu pola pembangunan, pola anti perdagangan dan pola anti keunggulan
komparatif. Ketiga pola tersebut merupakan fakta khas (stylized facts) yang
ditemukan di sektor pertanian. Sementara itu dari sisi Mikroekonomi politik,
upaya untuk memberikan fondasi terhadap penjelasan rasional bagi kebijakan
pertanian dilakukan dengan memperkenalkan metode mengkuantifikasi
diantaranya dengan pendekatan Fungsi Preferensi Politik (FPP) mengingat
minimnya ketersediaan data. Dengan pendekatan ini maka pengukuran aktivitas
lobi dan tekanan politik dilakukan dengan cara tidak langsung menggunakan
revealed preference. Oleh karena analisis ekonomi politik yang digunakan pada
penelitian ini berlandaskan pada pendekatan FPP maka pada bagian tersebut
disajikan secara lengkap tentang rasionalitas, asumsi dan dimensi fungsi yang
disadur dari Bullock (1994) serta ditampilkan juga beberapa studi empiris analisis
kebijakan pertanian yang berlandaskan FPP.
Pada bagian berikutnya disajikan berbagai kebijakan ekonomi pertanian
konvensional untuk meningkatkan produksi pertanian dalam kerangka mencapai
swasembada yang meliputi kebijakan tarif dan kuota impor, subsidi, harga
maksimum dan minimum, stabilisasi harga serta konsekuensi dari swasembada
yang umum digunakan untuk menjelaskan dampak dari suatu kebijakan pertanian.
Tujuan dari penyajian teori ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih
komprehensif tentang kebijakan pergulaan nasional yang menyangkut kebijakan
perdagangan dan produksi pada struktur pasar kompetitif yang umumnya
digunakan sebagai referensi bagi kebijakan pertanian yang efisien.
Bagian akhir dari bab ini menyajikan berbagai teori produksi pada struktur
pasar oligopolistik yang kerap terjadi di sektor pertanian termasuk pada komoditi
gula. Fenomena harga yang lebih tinggi dari biaya marjinal merupakan isu penting
pada pasar yang tidak sempurna dan ia digunakan sebagai ukuran kekuatan pasar
pada suatu industri. Namun demikian pengukurannya pada tingkat perusahaan
relatif sulit. Penyebab utamanya adalah mark-up merupakan perbandingan harga
dengan biaya marjinal yang tak teramati. Selain itu pada tingkat perusahaan
pencatatan input dan output menjadi problematik karena data umumnya berupa
penerimaan dan biaya, bukan data fisik input dan output. Permasalahan lain
adalah informasi tentang harga output perusahaan, tingkat upah dan harga input
lainnya sangat sulit diperoleh, yang juga merupakan persoalan pembukuan
perusahaan. Hal ini menyebabkan penelitian kekuatan pasar pada tingkat
perusahaan sangat sulit kalau tidak ingin dikatakan mustahil. Alternatifnya adalah
menggunakan data harga dan kuantitas pada tingkat industri seperti yang
dilakukan oleh Bresnahan dan Lau yang menjadi salah satu landasan teori pada
penelitian ini. Parameter elastisitas yang dihasilkan terutama digunakan untuk
menghitung bobot politik dari berbagai kelompok kepentingan sebagai proksi
terhadap aktivitas lobi dan tekanan politik yang mereka dilakukan, bukan untuk
melakukan peramalan atau simulasi.