identifikasi vancomycin-resistant staphylococcus aureus ...digilib.unila.ac.id/61245/20/3. skripsi...
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI VANCOMYCIN-RESISTANT Staphylococcus aureus
(VRSA) PADA PASIEN ULKUS DIABETES MELITUS DI INSTANSI
KESEHATAN KOTA BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
ANTHIA VRADINATIKA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRACT
IDENTIFICATION OF VANCOMYCIN-RESISTANT Staphylococcus
aureus (VRSA) ON PATIENTS WITH DIABETES MELLITUS ULCERS
IN HEALTH AGENCY OF BANDAR LAMPUNG CITY
By
ANTHIA VRADINATIKA
Background: Diabetes mellitus is the most chronic disease and often causes
complications where diabetes mellitus ulcer is an infectious one. The most
common bacteria invading ulcer wounds is Istaphylococcus aureus which
damages tissue with local markings. Therapy that must be done to deal with the
disease is with antidiabetic and antibiotics. Irrational use of antibiotics mostly
ends with antibiotic resistance. Increasing resistance in the world shows that the
resistance rate has become a problem that must be resolved immediately. One
risk factor for resistance is the lack of knowledge about antibiotics. This study
aims to identify the presence of Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus
(VRSA) in isolates from diabetic ulcer wound patients.
Research Methods: This research was conducted by a descriptive laboratory
method with a cross sectional study design. Sampling uses non-probability
sampling method with a type of consecutive sampling and measuring devices in
the form of calipers. Data analysis was performed by laboratory testing and
descriptive analysis or interpretation of results
Results: The study was conducted on 19 respondents with 12 patients identified
as Staphylococcus aureus and 7 patients not identified as Staphylococcus aureus.
The pattern of sensitivity of Staphylococcus aureus to test antibiotics in 12/19
respondents were 12 Amoxicillin resistant samples; 7 resistant samples, 4
intermediate samples and 1 sensitive cefotaxime sample; 7 resistant samples and 5
sensitive samples of cefoxitin; 6 resistant samples, 1 intermediate sample and 4
vancomycin sensitive samples..
Conclusion: The results of the analysis showed that there were Vancomycin-
resistant Staphylococcus aureus (VRSA) isolates in 6 of 19 respondents.
Key Words: Antibiotics, Diabetes Mellitus Ulcer, Diabetes Mellitus, VRSA
ABSTRAK
IDENTIFIKASI VANCOMYCIN-RESISTANT Staphylococcus aureus
(VRSA) PADA PASIEN ULKUS DIABETES MELITUS DI INSTANSI
KESEHATAN KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
ANTHIA VRADINATIKA
Latar belakang: Diabetes melitus merupakan penyakit kronis terbanyak dan
sering menimbulkan komplikasi di mana ulkus diabetes melitus merupakan salah
satu yang sifatnya infeksius. Bakteri tersering penginvasi luka ulkus adalah
Staphylococcus aureus yang merusak jaringan dengan tanda penanahan lokal.
Terapi untuk menangani penyakit tersebut adalah dengan antidiabetes dan
antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional sering menyebabkan
resistensi antibiotik. Resistensi yang semakin meningkat di dunia menunjukan
bahwa angka resistensi telah menjadi masalah yang harus segera diselesaikan.
Salah satu faktor resiko terjadinya resistensi adalah kurangnya pengetahuan
tentang antibiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan
Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA) pada isolat dari luka ulkus
diabetes melitus pasien.
Metode Penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif laboratorik
dengan desain penelitian cross sectional study. Pengambilan sampel
menggunakan metode non-probability sampling dengan jenis consecutive
sampling dan alat ukur berupa jangka sorong. Analisis data dilakukan dengan uji
laboratorium dan analisis deskriptif atau interpretasi hasil.
Hasil Penelitian: Penelitian dilakukan terhadap 19 responden dengan 12 pasien
teridentifikasi Staphylococcus aureus dan 7 pasien tidak teridentifikasi
Staphylococcus aureus. Pola kepekaan Staphylococcus aureus terhadap antibiotik
uji pada 12/19 responden adalah 12 sampel resisten Amoksisilin; 7 sampel
resisten, 4 sampel Intermediet dan 1 sampel sensitif Sefotaksim; 7 sampel resisten
dan 5 sampel sensitif Sefoksitin; 6 sampel resisten, 1 sampel intermediet dan 4
sampel sensitif Vankomisin.Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat isolat
Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA) pada 6 dari 19 responden
Kesimpulan: Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat isolat Vancomycin-
resistant Staphylococcus aureus (VRSA) pada 6 dari 19 responden.
Kata Kunci: Antibiotik, Ulkus Diabetes Melitus, Diabetes Mellitus, VRSA
IDENTIFIKASI VANCOMYCIN-RESISTANT Staphylococcus aureus
(VRSA) PADA PASIEN ULKUS DIABETES MELITUS DI INSTANSI
KESEHATAN KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
Anthia Vradinatika
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Ciamis pada 21 November 1997 sebagai anak pertama dari empat
bersaudara pasangan Ade Suhendar dan Maya Rismaya. Penulis memiliki tiga
adik laki-laki, bernama M. Shadam Raihan Nabil (18 tahun), M. Daffa Shidqi
Amrullah (14 tahun) dan M. Raziq Ghassan Hibatullah (4 tahun).
Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) 0 Kecil diselesaikan di TK Pertiwi
Bandung pada 2003 dan TK 0 Besar PKK Poncowati pada tahun 2004, Sekolah
Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Poncowati pada tahun 2010, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 1 Terbanggi besar Lampung
Tengah pada tahun 2013 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di
SMAN 1 Terbanggi Besar Lampung Tengah pada tahun 2016.
Selama aktif menjadi mahasiswa, penulis berpartisipasi dalam beberapa organisasi
baik di dalam maupun di luar kampus. Di organisasi kampus, penulis tercatat
sebagai staff Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila divisi
Teater dan Sastra (KURUSETRA) tahun 2016-2019, Anggota Muda Forum Studi
Islam (FSI) Ibnu Sina FK Unila pada tahun 2016 dan staff bidang Kemuslimahan
periode 2018/2019, Anggota Muda Birohmah Unila tahun 2016 dan staff bidang
Kemuslimahan pada tahun 2018-2019, Tim Musik Paduan Suara FK Unila pada
tahun 2016-2018 dan staff Forum Komunikasi Mahasiswa Bidikmisi
(FORKOMDIKSI) divisi Minat dan Bakat Unila tahun 2016-2019. Selain itu,
penulis pernah menjadi salah 1 dari 5 mahasiswa yang mewakili FK Unila dalam
acara 20th Asia Pacific Regional Conference-Alzheimer‟s Disease International
„Dementia, A life-cycle approach’ di Jakarta pada tahun 2017, menjadi penampil
Tari Adat Lampung pada beberapa acara FK Unila, Diklat Bidikmisi dan Seminar
Permadani Diksi Nasional tahun 2017-2018, menjadi penampil teatrikal puisi
“Aku-dari Masa Lalu” pada Diklat Bidikmisi tahun 2018 dan menjadi Mentor-
Motivator pada salah satu agenda Indonesia Memanggil Project batch Lampung
di Desa 1000 Gebang pada tahun 2018. Prestasi lain yang sempat diperoleh
penulis adalah Juara 1 Pekan Seni Mahasiswa Daerah (PEKSIMIDA) Tingkat
Provinsi Lampung pada tahun 2018 dan peserta Pekan Seni Mahasiswa Nasional
(PEKSIMINAS) 2018 di Jogjakarta, The Winner Puteri Hijab Lampung Tengah
pada tahun 2017, Runner up 2 Puteri Hijab Provinsi Lampung tahun 2018,
dinobatkan sebagai Puteri Hijab Silver Talent 2018, Puteri Hijab Silver Sport
2018, Puteri Hijab The Best Speech 2018 dan peserta Puteri Hijab Sunsilk Jakarta
tahun 2018. Saat berkuliah, penulis sempat bekerja sebagai penyiar radio di 97,6
La Nugraha Lampung Hits Pop Music Station tahun 2017-2019, menjadi salah 1
dari 100 penulis puisi terbaik Indonesia dalam buku “KATA KASIH UNTUK
IBU”, salah 1 dari 15 penulis cerpen terbaik Indonesia dalam Sayembara Kisah
Inspiratif dan Hijrah Writing Forum Indonesia berjudul “LENTERA” tahun 2018
dan sudah menerbitkan buku puisi solo perdana berjudul “TITIK” tahun 2019. Di
luar kampus, penulis tercatat sebagai staff SABDA (Saung Peradaban) bersama
Gen Milenial Produktif Lampung Tengah dan IDI Lampung Tengah tahun 2019-
saat ini, dan staff Puteri Hijab Management tahun 2017-hingga saat ini.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada
tahun 2016, penerima Beasiswa Perintis Nusantara Lampung Lazis Al-Wasii
Unila 2016, dan penerima Bantuan Biaya Pendidikan Mahasiswa Miskin
Berprestasi (BIDIKMISI) 2016-saat ini.
Dengan segala kerendahan hati Aku persembahkan karya sederhana ini kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala Ayah dan Ibu Tercinta
Adik Shadam, Daffa dan Raziq Sahabat-sahabatku tersayang
Terima kasih Untuk Cinta, Kasih, Motivasi Serta
Dukungan yang diberikan tanpa Berkesudahan
Man Jadda Wajada
(Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil)
Man Shabara Zhafira
(Siapa yang bersabar pasti beruntung)
Man Sara Ala Darbi Washala
(Siapa yang menapaki jalan-Nya akan sampai tujuan)
LIFE IS Duit
(Doa Usaha/Ikhtiar dan Tawakal)
Tetap Semangat dan Jangan Kasih Kendor
Lampaui batas diri dan orang-orang hebat yang kita pikirkan
I’m Possible
“Barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju syurga”
(HR.Muslim)
SANWACANA
Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT dihaturkan atas rahmat dan karunia-Nya,
sehingga skripsi dengan judul “Identifikasi (VRSA) Vancomycin-Resistant
Staphylococcus aureus Pada Pasien Ulkus Diabetes Melitus Di Instansi
Kesehatan Kota Bandar Lampung” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam lembar ini, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tertuju kepada:
1. Kepada Allah SWT, sebagai sutradara terbaik dalam setiap skenario yang
dihadirkan untuk saya lalui selama ini. Terima kasih telah menjadikan saya
bagian dari para hamba;
2. Prof. Dr.Karomani,M.Si.,selaku Rektor Universitas Lampung;
3. Dr. Dyah Wulan SRW, S.K.M., M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
4. dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked, M.Kes, selaku Pembimbing Utama dalam
skripsi ini. Terima Kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk
membimbing penulis dengan sangat sabar sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik;
5. Dr. Waluyo Rudiyanto M.Kes., selaku Pembimbing Kedua dalam skripsi
ini. Terima kasih atas keluangan waktu yang diberikan untuk membimbing
dengan sangat terbuka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik;
6. dr. Ety Apriliana, S.Ked, M.Biomed, selaku Pembahas dalam skripsi ini.
Terima kasih telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukan, mengajarkan
dan memberi arahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
7. Pak Sutarto SKM., M. Epid.,selaku Pembimbing Akademik atas nasihat,
bimbingan, saran, kritik dan bahan muhasabah selama penulis menjadi
mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
8. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
atas pelajaran dan pengalaman yang diberikan selama perkuliahan, dan
sangat membantu dalam pelaksanaan penelitian;
9. Kedua orang tua penulis (Ade Suhendar dan Maya Rismaya) untuk kasih
sayang yang tulus, cinta yang sempurna, doa yang tidak pernah putus serta
dukungan luar biasa yang menyertai setiap langkah sampai saat ini, terima
kasih sudah menjadi tempat bernaung bagi penulis dalam keadaan sempit
dan lapang;
10. Adik-adik tercinta, M. Shadam Raihan Nabil, M. Daffa Shidqi Amrullah,
dan M. Razziq Ghassan Hibatullah. Semoga kelak menjadi anak-anak yang
berbakti bagi kedua orang tua, nusa dan bangsa;
11. Dokter Betta, Dokter Imilia, Dokter Luxman, Pak Sugeng, Bu Endang, Bu
Joko, Bu Maryani, Pak Surya, Bu Salimah dan Bu Novi selaku orang tua
angkat dan inang tinggal yang senantiasa mendukung dengan segala daya
upaya baik materi maupun doa-doa disegala proses yang penulis jalani;
12. Teman-teman DOA IBU (Wilda Ainia Silmi Kaffah, Alvira Balqis Soraya,
Dea Selvia, Dinda Annisa Fitria, Fatimah Azzahra, Sonia Mahatva,
Maharani Amanullah, Nadya Marshalita, Rima Novisca Jasmadi, Desti
Dwirahmah). Terima kasih telah selalu ada dalam setiap langkah dan
membantu segala urusan termasuk pengerjaan skripsi ini. Semoga tidak
ada halangan bagi kita untuk mencapai cita dan cinta serta pertemuan ini
menjadi nasib baik yang abadi hingga ke Jannahnya;
13. Mahmud Harry Pranggono, selaku kakak, sahabat, dan partner terbaik
dalam menyusun rencana, berbagi kisah sehari-hari dan memotivasi
disetiap proses yang penulis jalani;
14. Teman-teman AR Unila (Mas Ade, Mas Ferdi) yang super sekali, terima
kasih sudah sangat banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
sangat sabar dan ramah dan fast-respon meski diganggu pada jam-jam
larut;
15. Teman-teman BIDIKMISI FK Unila 2016 (Dea Selvia, Dea OE, Rizki
Arisandi, Hanifah CH, Kuntum Sureda, Mashitoh NI). Terima kasih atas
semangat bangkit dan anti putus harapan dalam mencapai cita-cita;
16. Teman-teman seperbimbingan (Nadya M., Emir Yusuf, Kurnia Hadi S.,
Dhea Oksalia E., Farhana F., Lazulfa Inda L., Imraatul Husniah dan
Revina R.), terima kasih sudah bersedia memberikan masukan serta
motivasi dalam proses penelitian;
17. Teman-teman cakeut (Jyoti Krisna, Kurnia Hadi S, Gede Agus
A.,Yuliyana, A. Zidan Sagareno, Dwi Sarwindah, Ni‟ma Nabila P, Rangga
Sakti, Mutiara Khalis, Anggela, Aziz Kurniawan, Nada Naqiya, Astari
Laras, Lian, Agustina Rajendra, Ahmad Albin, Fika, Linda). Terima Kasih
sudah berbagi warna dan meyakinkan bahwa semua hal akan baik-baik
saja;
18. Teman-teman seperbimbingan akademik (Wilda, Redina, Anisa, Anniza,
Arsyka, Dhea, Dian, Fakhira, Farid, Hanifah, Ihsan, Jihan, Karina, L.
Ristia, Maula Al, Nadhila, Sania, Retno, Rizca, Zidan);
19. Abang-abangku tersayang (Ahmad Jefri dan Reynaldi Muhammad Syafri)
yang selalu ada dan setia menemani selama 6 tahun terakhir ini;
20. Seluruh staff Puteri Hijab Management, khususnya pengurus inti (Ka
Lidya, Taufiq, Aby, Ryan, Dwi, Ayu, Sintia, Anistya, Adib, Ajib, Way,
Reni dan Mely). Terima kasih sudah memberi kesempatan untuk berbagi
pengalaman yang luar biasa selama ini;
21. Kakak dan teman-teman Seniman Kampus Unila (Ka Ian, Aji Hen, Bang
Warih, Bang Farid, Mba Dina, Bang Sejuk, Amel, Mba Qoi, Mak Iyo,
Mba Mut, Robi, Dewa, Selpi, Adel, Arty). Terima kasih atas proses terbaik
dan energi positif yang selalu diberikan kepada penulis;
22. Teman-teman menulis (Mba Widya, Mba Ajeng, Bang Bebes, Bang
Ikhtiar) dan mentor tercinta (Pakcik Ahmad Yulden Erwin, Pakcik Saleh,
Bang Ari Pahala Hutabarat, Bang Devin dan Bang Lizay). Terima kasih
sudah memberi penulis wawasan tentang kedalaman rasa dan wawasan
baru tentang kesederhanaan yang sempurna;
23. Sahabat SABDA dan GMP Lampung Tegah sebagai komunitas pemuda/i
yang menjadi garda terdepan sebagai wadah minat bakat dan kemanusiaan
di Kabupaten Lampung Tengah tercinta;
24. Seluruh responden di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek tepatnya ruang
Mawar, Murai dan Kenanga; Poli RUMAT Spesialis Luka Diabetes dan
LDC (Luka Diabetes Centre) Kota Bandar Lampung yang telah
memberikan kesempatan pada penulis untuk mengambil data sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
25. Seluruh dokter dan perawat di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek tepatnya
ruang Mawar, Murai dan Kenanga; Poli RUMAT Spesialis Luka Diabetes
dan LDC (Luka Diabetes Centre) Kota Bandar Lampung yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam
mengumpulkan sampel serta memberikan pelajaran yang sangat berharga
kepada penulis;
26. Teman-teman sejawat angkatan 2016, TRIGEMINUS. Terima kasih atas
suka dan duka selama 3,5 tahun perkuliahan. Semoga kelak kita bisa
menjadi dokter yang profesional, amanah, dan sukses dunia akhirat;
27. Staf Laboraturium Mikrobiologi FK Unila, Mba Romi dan Mba Eka yang
telah dengan sabar meluangkan waktu dan memberikan dukungan kepada
penulis;
28. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah
memberikan bantuan dan dukungan penuh dalam penulisan skripsi ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
namun semoga tetap berguna dan bermanfaat bagi siapapun- yang membacanya.
Anthia Vradinatika
Bandar Lampung, 27 Desember 2019
Penulis,
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 5
I.3 Tujuan Penulisan............................................................................... 5
I.4 Manfaat Penulisan............................................................................. 6
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti .............................................................. 6
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat ........................................................ 6
1.4.3 Manfaat Bagi Institusi .............................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes ............................................................................................ 7
2.1.1 Definisi ................................................................................... 7
2.1.2 Epidemiologi .......................................................................... 7
2.1.3 Etiologi ................................................................................... 8
2.1.4 Patogenesis ............................................................................. 8
2.1.5 Komplikasi ............................................................................. 9
2.1.5.1 Komplikasi Akut ........................................................ 9
2.1.5.2 Komplikasi Kronis ...................................................... 9
2.2 Ulkus Diabetes Melitus ..................................................................... 10
2.2.1 Definisi .................................................................................... 10
2.2.2 Faktor Risiko ........................................................................... 10
2.2.2.1 Janis Kelamin .............................................................. 10
2.2.2.2 Lama Penyakit Diabetes Melitus ................................ 10
2.2.2.3 Neuropati ..................................................................... 10
2.2.2.4 Peripheral Artery Disease........................................... 11
2.2.2.5 Perawatan Kaki ........................................................... 12
2.2.3 Patofisiologi ............................................................................ 12
2.2.3.1 Neuropat Perifer .......................................................... 12
2.2.3.2 Penyakit Arterial ......................................................... 13
2.2.3.3 Deformitas Kaki .......................................................... 14
2.2.3.4 Tekanan ....................................................................... 15
2.2.4 Gejala Klinis ............................................................................ 15
ii
2.2.5 Tatalaksana ............................................................................... 16
2.2.5.1 Tatalaksana Diabetes Melitus .................................... 16
2.2.5.2 Tatalaksana Ulkus Diabetes Melitus .......................... 16
2.2.5.3 Tatalaksana Infeksi .................................................... 16
2.2.6 Klasifikasi ............................................................................... 17
2.3 Staphylococcus aureus...................................................................... 18
2.3.1 Pengertian ................................................................................. 18
2.3.2 Pertumbuhan dan Perbenihan ................................................... 18
2.3.3 Patogenesis dan Gambaran Klinis Staphylococcus aureus ...... 19
2.3.4 Pengobatan ............................................................................... 26
2.4 Antibiotik ......................................................................................... 26
2.4.1 Definisi .................................................................................... 26
2.4.2 Mekanisme Kerja Antibiotik ................................................... 27
2.4.3 Jenis Antibiotik ....................................................................... 28
2.4.4 Prinsip Penggunaan Antibiotik ............................................... 32
2.4.5 Syarat Antibiotik yang Baik .................................................... 33
2.5 Resistensi Antibiotik ........................................................................ 34
2.5.1 Mekanisme Resistensi Antibiotik ........................................... 34
2.5.2 Metichilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) .......... 37
2.5.3 Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus ........................ 43
2.6 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba ............................................. 49
2.7 Kerangka Teori ............................................................................... 52
2.8 Kerangka Konsep............................................................................ 53
2.9 Hipotesis Masalah ........................................................................... 53
BAB III Metode Penelitian
3.1 Desain Penelitian .............................................................................. 54
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 54
3.3 Populasi dan Sampel ......................................................................... 54
3.3.1 Populasi Penelitian ................................................................. 54
3.3.2 Kriteria Inklusi ........................................................................ 55
3.3.3 Kriteria Eksklusi ..................................................................... 55
3.4 Besar Sampel Penelitian ................................................................... 55
3.5 Teknik Sampling ............................................................................... 56
3.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ......................................... 57
3.6.1 Analisis Data Univariat .......................................................... 57
3.7 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ 57
3.8 Instrumen Penelitian ......................................................................... 57
3.9 Alur Penelitian .................................................................................. 59
3.10 Prosedur Penelitian ......................................................................... 60
3.10.1 Sterilisasi Alat ...................................................................... 60
3.10.2 Prosedur Pembiakan ............................................................. 60
iii
3.10.3 Pembuatan Media ................................................................. 60
3.10.4 Pengambilang Swab Pada Ulkus .......................................... 62
3.10.5 Isolasi Bakteri ....................................................................... 63
3.10.6 Identifikasi Bakteri ............................................................... 63
3.10.7 Uji Kepekaan Antibiotik ....................................................... 65
3.10.8 Parameter Penilitian .............................................................. 66
3.11 Etika Penelitian ............................................................................... 66
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................. 67
4.1.1 Gambaran Umum Penelitian .................................................. 67
4.1.2 Pola Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotik .......................... 70
4.2 Pembahasan ...................................................................................... 74
4.2.1 Uji Antibiotik Amoksisilin ..................................................... 77
4.2.2 Uji Antibiotik Sefotaksim ....................................................... 78
4.2.3 Uji Antibiotik Sefoksitin ........................................................ 79
4.2.4 Uji Antibiotik Vankomisin ..................................................... 80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 85
5.2 Saran ................................................................................................. 85
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
1. Klasifikasi Wagner Ulkus Diabetes Melitus ............................................. 18
2. Klasifikasi Texas Ulkus Diabetes Melitus ................................................ 18
3. Kronologi Infeksi Stahylococcus aureus dan Resistensinya ..................... 44
4. Diameter Zona Hambat dari Antibiotik .................................................... 51
5. Definisi Operasional Variabel Penelitian .................................................. 58
6. Karakteristik responden ............................................................................ 70
7. Hasil Identifikasi Bakteri Staphylococcus aureus..................................... 69
8. Pengelompokan Bakteri ............................................................................ 70
9. Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik terhadap Staphylococcus aureus ........... 71
10. Jumlah Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik ................................................... 71
DAFTAR GAMBAR
1. Staphylococcus Aureus Pewarnaan Gram ............................................... 20
2. Staphylococcus Aureus Mikroskop Elektron ........................................... 20
3. Mekanisme Resisten Antibiotik Floroquinolon ....................................... 30
4. Mekanisme Resisten Antibiotik Betalaktam ........................................... 31
5. Mekanisme Resisten Antibiotik Glikosida .............................................. 32
6. Mekanisme Resisten Antibiotik Glikopeptida ......................................... 33
7. Kerangka Teori ........................................................................................ 53
8. Kerangka Konsep .................................................................................... 54
9. Alur Penelitian ......................................................................................... 60
10. Antibiotik Sensitif terhadap Staphylococcus aureus ............................... 72
11. Antibiotik Resisten terhadap Staphylococcus aureus .............................. 72
12. Antibiotik Intermediet terhadap Staphylococcus aureus ......................... 73
13. Diagram Batang Hasil Uji Vankomisin ................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) menjadi ikon penyakit menahun atau kronis yang
ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi batas normal,
yaitu kadar gula darah sewaktu sama atau lebih dari 200 mg/dl, dan gula
darah puasa di atas atau sama dengan 126 mg/dl (Misnadiarly, 2006), DM
juga biasa dikenal sebagai silent killer karena sering menimbulkan komplikasi
yang berujung pada kematian tanpa menunjukkan gejala yang berarti.
(Kemenkes RI, 2014). International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan
bahwa diabetes melitus merupakan penyebab kematian ketujuh di dunia
dengan prevalensi sebesar 1,9% (Bustan, 2015).
Dikutip dari data WHO 2016, 70% total kematian di dunia adalah beban
penyakit DM dan 90-95% dari kasus diabetes adalah DM tipe 2. IDF Atlas
2017 melaporkan bahwa epidemi DM di Indonesia cenderung meningkat.
Indonesia merupakan negara keenam setelah; Tiongkok, India, AS, Brazil,
Meksiko dengan jumlah penyandang diabetes usia 20-79 tahun sekitar 10,3
juta orang. Progresifitas buruk penderita DM dikhawatirkan akan berdampak
pada komplikasi baik berupa mikrovaskuler (retinopati, neuropati yang biasa
diikuti dengan kejadian ulkus dan nekrosis serta nefropati) juga
makrovaskuler (penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit pembuluh
2
darah perifer). Salah satu komplikasi DM yaitu ulkus kaki diabetik,
merupakan suatu ulserasi kronis yang biasa terjadi pada kaki pasien diabetes
melitus. Ulkus diabetik banyak disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus dan Pseudomonas sp. dengan angka kejadian 29 kali lebih besar pada
penderita DM dibanding penderita non-DM. Kadar glukosa yang tinggi dalam
darah merupakan tempat perkembangan strategis untuk bakteri aerob dan
anaerob sehingga dapat memperparah kejadian ulkus tersebut (Nur dan
Marissa, 2016).
Bakteri yang paling umum diisolasi dari infeksi kaki penderita diabetes
adalah gram positif cocci dan anggota gram negatif enterobacteriaceae. Hasil
penelitian yang dilakukan di Government Hospital Coimbatore, India pada
100 penderita ulkus diabetik adalah diperolehnya bakteri Staphylococcus
aureus (43,2%) sebagai isolat dominan, Pseudomonas aeruginosa (24,3%),
Escherichia coli (15,3%), Citrobacter koseri (2,7%), Proteus vulgaris (6,3%)
dan Klebsiella pneumonia (9%). Resistensi bakteri yang diperoleh dari 53
isolat spesimen pus di RSUD Dr.Moewardi periode Agustus-Oktober 2012
adalah, Staphylococcus aureus (30,19%) resisten terhadap beberapa
antibiotika, khususnya amoksisilin (93,75%) dan tetrasiklin (87,5%) juga
terhadap oksasilin dan eritromisin (Chudlori dkk, 2012).
Staphylococcus aureus, flora normal di kulit dan selaput lendir, dapat
menginfeksi manusia dengan menimbulkan gejala khas berupa peradangan,
nekrosis dan pembentukan abses (Brooks dkk, 2014). Pengobatan yang biasa
digunakan DM komplikasi adalah antidiabetes dan antibiotik. Dewasa kini
3
Staphylococcus aureus bertransformasi menjadi strain bakteri yang resisten
terhadap multiantibiotik, Methicillin-Resistant Staphylococcus areus (MRSA)
kecuali terhadap vankomisin yang memang masih jarang dilaporkan, akibat
perubahan genetik pasca terpapar penggunaan antibiotik yang tidak rasional.
Galur MRSA merupakan penyebab utama infeksi nosokomial yang juga
resisten terhadap antiseptik golongan ammonium kuarterner sehingga dapat
bertahan di lingkungan rumah sakit (Radji, 2011). Penyebaran MRSA telah
menjadi subjek dari beberapa penelitian dan ditemukan bahwa glikopeptida
antibiotik Vankomisin efektif mengatasi MRSA (Tokajian, 2014). Tahun
2010 proporsi MRSA diperkirakan 28% (Hongkong dan Indonesia) dan 70%
(Korea) di antara semua isolat klinik Staphylococcus aureus (Chen dkk,
2014). Keberadaan MRSA di lingkungan rumah sakit telah banyak
ditemukan. Hasil uji kepekaan antibiotik sesuai standar CLSI 2014, secara
keseluruhan, didapatkan 772 isolat Staphylococcus aureus, 38,2% di
antaranya merupakan isolat MRSA. Prevalensi MRSA tertinggi didapatkan
pada tahun 2012 (45,3%), sedangkan prevalensi rendah pada tahun 2013
(33,5%). Kasus MRSA paling sering ditemukan pada pus (49%). Penelitian
selanjutnya dilakukan pada pasien RS Dr. Soetomo Surabaya dan diperoleh
prevalensi MRSA sebanyak 8,2% (Kuntaman dkk, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di ruang Intensive Care Unit (ICU)
dan ruang perawatan bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek
(RSUDAM) Lampung pada tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) positif sebanyak 26
sampel (38,24%) (Mahmudah dkk, 2013) serta ditemukan pada 10 dari 64
4
isolat (15,6%) dari membran steteskop di Rumah Sakit Margono Soekarjo,
Purwokerto (Anjarwati dan Dharmawan, 2010). Meskipun hasil penelitian
menunjukkan masih rendahnya angka prevalensi MRSA di Indonesia, namun
tetap harus ada strategi penanggulangan agar tidak terjadi infeksi yang lebih
lanjut (Kuntaman dkk, 2016).
Salah satu upaya pengendalian infeksi yang disebabkan oleh MRSA pada
fasilitas perawatan jangka panjang adalah dengan melakukan deteksi dini di
rumah sakit saat pasien masih berada di IGD atau sebelum pasien tersebut
mendapatkan perawatan lebih lanjut di ruang perawatan. Jika ditemukan
positif Staphylococcus aureus maka akan dilanjutkan dengan uji sensitivitas
antibiotik. Untuk mengetahui sensitivitas bakteri terhadap antibiotik maka
dilanjutkan dengan uji kepekaan (Broekema dkk, 2009). Pendeteksian
tersebut dapat dilakukan dengan metode difusi (cakram). Penggunaan cakram
tunggal pada setiap antibiotika dengan standardisasi yang baik, mampu
membantu menentukan apakah bakteri peka atau resisten dengan cara
membandingkan zona hambat standar pada tiap-tiap antibiotik yang diujikan.
Obat yang umumnya biasa digunakan pada uji sensitivitas antibakteri untuk
identifikasi MRSA adalah Oxacillin, tetapi saat ini dikatakan bahwa
penggunaan Sefoksitin lebih akurat (Broekema dkk, 2009) dan sudah banyak
digunakan. Penelitian Vysech dan Jeya (2013), menemukan bahwa semua
strain MRSA resisten terhadap Penisilin (100%), Sefoksitin (100%) dan
Oksasilin (100%), sehingga sampai saat ini ditetapkanlah Vankomisin sebagai
antibiotik kuat yang spesifik menangani masalah MRSA.
5
Mengingat betapa berbahayanya keadaan resistensi bakteri terhadap antibiotik
yang dikhawatirkan akan menyebabkan komplikasi lantas marak terjadi, sulit
disembuhkan namun teramat mudah disebarluaskan, peneliti bermaksud akan
melakukan identifikasi keberadaan Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap Vankomisin selaku antibiotik pilihan pengendali MRSA pada pasien
Ulkus Diabetes Melitus di Instalasi Bedah dan Penyakit Dalam RSAM, LDC
(Luka Diabetes Center) dan poli RUMAT Spesialis Luka Diabetes Bandar
Lampung sebagai parameter para tim kesehatan untuk mempersiapkan segala
hal yang penting dalam rangka mencegah sekaligus mewujudkan upaya
penanggulangan angka morbiditas dan mortalitas yang mungkin saja
meningkat akibat kejadian rersistensi antibiotik suatu hari nanti.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
1.2.1 Apakah terdapat Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA)
pada pasien ulkus kaki diabetes melitus di Instansi Kesehatan Bandar
Lampung?
1.2.2 Berapakah jumlah VRSA yang ditemukan pada pasien ulkus kaki
diabetes melitus di Instansi Kesehatan Bandar Lampung?
1.3 Tujuan
Mengidentifikasi adanya Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus
(VRSA) pada pasien ulkus kaki diabetes melitus di Instansi Kesehatan
Bandar Lampung
6
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
Mendapatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang baru
khususnya dalam bidang ilmu mikrobiologi sekaligus memenuhi
syarat lulus sebagai sarjana kedokteran Universitas Lampung.
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan informasi atau edukasi baik kepada pasien ataupun
masyarakat umum tentang kejadian ulkus kaki diabetes melitus dan
resistensi antibiotik sekaligus bahayanya sehingga dapat diupayakan
self-prevent demi tercapainya penurunan angka morbiditas dan
mortalitas dengan lebih optimal.
1.4.3 Manfaat Bagi Instistusi
Sebagai bahan evaluasi dan referensi untuk rencana intervensi atau
penelitian selanjutnya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus adalah penyakit menahun yang ditandai dengan
terjadinya hiperglikemia, gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein yang berkaitan dengan kekurangan secara absolut atau
relatif dari kerja atau sekresi insulin. Trias gejala yang timbul pada
penderita diabetes melitus meliputi polidipsia, poliuria, polifagia,
diikuti penurunan berat badan, dan kesemutan (Fatimah, 2015).
2.1.2 Epidemiologi
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyebab dari 4,6 juta
kematian dan dikenal sebagai silent killer yang artinya dapat
membunuh penyandangnya tanpa disadari. Data studi global
menunjukkan bahwa jumlah penderita DM pada tahun 2011 telah
mencapai 366 juta orang dan diperkirakan meningkat menjadi 552
juta pada tahun 2030 jika lalai dari tindakan pencegahan. Selain itu,
pengeluaran biaya kesehatan untuk kesembuhan pasien diabetes
melitus telah mencapai 465 miliar USD. Sebesar 80% penderita DM
tinggal di negara berpenghasilan menengah ke bawah. Pada tahun
2006, terdapat lebih dari 50 juta orang penderita DM di Asia
8
Tenggara. Jumlah penderita DM terbesar berusia antara 40-59 tahun
(IDF, 2011).
2.1.3 Etiologi
Etiologi dari diabetes melitus sebagai berikut Diabetes Melitus Tipe 1
(destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
bisa disebabkan karena proses imunologik dan idiopatik. Kemudian
etiologi Diabetes Melitus Tipe 2 bervariasi mulai dari resisten insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai predominan gangguan sekresi
insulin bersamaan dengan resisten insulin. Selain itu, ada juga
Diabetes Melitus Tipe Lain yang disebabkan oleh defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, karena obat/zat kimia, infeksi; rubella congenital, CMV,
lainnya, imunologi, dan sindroma genetik. Kasus lain yang menjadi
penyebab diabetes ada juga yang bersifat sementara dan kembali
normal pada waktu tertentu misalnya Diabetes Gestasional/Kehamilan
(Gustaviani, 2006).
2.1.4 Patogenesis
Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat terjadi apabila ada
kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin
dapat terjadi melalui 3 cara, yaitu:
a. Terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas karena disebabkan
pengaruh eksternal (virus,zat kimia,dll).
9
b. Desensitisasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar
pankreas.
c. Desensitisasi atau kerusakan reseptor insulin pada jaringan perifer
(Fatimah, 2015).
2.1.5 Komplikasi
2.1.5.1 Komplikasi akut
a. Hipoglikemia; kadar gula darah < 50 mg/dl. Kadar gula
yang rendah dapat menyebabkan kerusakan pada sel–sel
otak karena tidak mendapat pasokan energi.
b. Hiperglikemia; kadar gula darah tiba–tiba tinggi, GDP
>130mg/dl, GDS >199mg/dl. Keadaan ini memicu
terjadinya ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non-
ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
2.1.5.2 Komplikasi kronis
a. Komplikasi makrovaskular yang biasanya terjadi adalah
trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak),
dan mengalami penyakit jantung koroner (PJK).
b. Komplikasi mikrovaskular seperti nefropati diabetik,
retinopati diabetik, neuropati diabetik, penyakit arteri
perifer, kaki diabetik dan ulkus diabetik (Fatimah, 2015).
10
2.2 Ulkus Diabetik
2.2.1 Definisi
Ulkus merupakan salah satu komplikasi kronis diabetes melitus berupa
luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir disertai kematian
jaringan yang luas dan invasi kuman saprofit (Waspadji, 2014).
2.2.2 Faktor Resiko
2.2.2.1 Jenis kelamin
Laki-laki menjadi salah satu faktor yang predominan
berhubungan dengan terjadinya ulkus pada penderita diabetes
melitus (Loviana dkk, 2015).
2.2.2.2 Lama Penyakit Diabetes Melitus (DM)
Keadaan hiperglikemia yang lama akan menginisiasi
hiperglisolia atau keadaan sel dengan glukosa berlebih.
Hiperglikemia kronik akan merubah homeostasis biokimiawi
sel tersebut dan memicu komplikasi kronik. Sebanyak 58 dari
100 pasien DM dengan ulkus diabetikum adalah penderita DM
lebih dari 10 tahun (Loviana dkk, 2015).
2.2.2.3 Neuropati
Neuropati merupkan salah satu penyebab gangguan saraf
motorik, sensorik dan otonom. Gangguan motorik akan
menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan
biomekanika kaki dan gangguan distribusi tekanan kaki
sehingga menyebabkan kejadian ulkus meningkat. Gangguan
11
sensorik biasanya dimulai dengan kebas atau kehilangan
sensasi di kaki sehingga trauma yang terjadi pada pasien DM
sering kali tidak diketahui. Gangguan otonom dapat membuat
bagian kaki mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga
kulit kaki menjadi kering dan fissura mudah terbentuk. Bila
terjadi mikrotrauma pada kaki, akan menyebabkan kaki
tersebut mudah retak dan meningkatkan risiko terjadinya ulkus
diabetikum (Loviana dkk, 2015).
2.2.2.4 Peripheral Artery Disease
Penyakit arteri perifer merupakan penyumbatan pada arteri di
ektremitas bawah akibat terjadinya atherosklerosis. Gejala
klinis yang sering ditimbulkan adalah klaudikasio intermitten
yang terjadi akibat iskemia otot dan menimbulkan nyeri pada
saat istirahat. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan
untuk deteksi PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial
Indeks (ABI) yaitu dilakukannya pemeriksaan sistolik brachial
tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi
dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di
tungkai. Nilai normalnya dalah 0,9 - 1,3. Nilai dibawah 0,9 itu
diindikasikan bawah pasien penderita DM memiliki penyakit
arteri perifer (Loviana dkk, 2015).
12
2.2.2.5 Perawatan kaki
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara terperinci
kepada semua pasien dengan ulkus maupun neuropati perifer
atau Peripheral Artery Disease (PAD). Perawatan kaki terdiri
dari perawatan kaki setiap hari, perawatan kaki reguler,
mencegah injuri pada kaki dan meningkatkan sirkulasi
(Loviana dkk, 2015).
2.2.3 Patofisiologi
2.2.3.1 Neuropati Perifer
Neuropati perifer merupakan dampak dari kadar glukosa
tubuh yang lama terjadi sehingga menyebabkan kelainan
vaskuler yang menutupi vasa vernorum, gangguan metabolik,
disfungsi endotel, defisiensi mioinositol perubahan sintesis
mielin dan penurunan aktifitas Na-K ATPase dan
hiperosmolar kronis. Keadaan ini akan menyebabkan
terjadinya edema pada saraf tubuh, peningkatan sorbitol dan
fruktosa.
Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar
peptide neurotropic, perubahan metabolisme lemak, stress
oksidatif, perubahan bahan vasoaktif seperti nitrit oxide yang
dapat memengaruhi fungsi serta perbaikan saraf. Kadar gula
darah yang tidak teregulasi meningkatkan kadar produksi
advanced glycosylated end (AGE’s) yang terlihat pada
13
kemampuan molekul kolagen mengeraskan ruang-ruang
sempit pada extremitas superior dan inferior (karpal, kubital
dan tarsal tunnel). Kombinasi antara pembengkakan saraf
yang disebabkan berbagai mekanisme dan penyempitan
kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan
double crush syndrome di mana dapat menyebabkan kelainan
fungsi saraf motorik, sensorik dan autonomic bersamaan.
Neuropati autonomik mengakibatkan 2 hal yaitu anhidrosis
dan pembukaan arteriovenous shunt. Neuropati motorik
paling sering memengaruhi otot intrinsik kaki sebagai akibat
dari tekanan saraf plantaris medialis dan lateralis pada
masing-masing tunnelnya (Fauci dkk, 2012).
2.2.3.2 Penyakit Arterial
Penderita diabetes memiliki kecenderungan lebih besar
menderita penyakit atherosclerosis pada arteri besar dan
sedang, misalnya pada aortoiliaca dan femoropoplitea. Hal ini
dihubungkan dengan beberapa macam kelainan metabolik,
meliputi kadar low density lipoprotein (LDL), very low
density lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar faktor von
Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin, penebalan
membran basalis kapiler, hialinosis arteriol dan proliferasi
endotel, peningkatan kadar fibrinogen plasma serta
peningkatan adhesifitas platelet.
14
Perubahan pada calcaneal pitch menyebabkan terjadinya
regangan ligamen di metatarsal, cuneiform, navikular dan
tulang kecil lainya. Akibatnya, lengkung pada kaki akan
bertambah. Perubahan degeneratif ini nantinya akan
merubah cara berjalan (gait), mengakibatkan kelainan
tekanan tumpuan beban atau menyebabkan kolaps pada
kaki. Ulserasi, infeksi, gangren dan kehilangan tungkai
merupakan akibat yang sering didapatkan jika proses tersebut
tidak dihentikan pada stadium awal (Fauci dkk, 2012; Runge
dkk, 2009).
2.2.3.3 Deformitas Kaki
Perubahan destruksi yang terjadi pada kaki Charcot
menyebabkan kerusakan arkus longitudinal medius, di mana
akan menimbulkan gait biomekanik. Perubahan pada
calcaneal pitch menyebabkan regangan ligamen pada
metatarsal, cuneiform, navikular dan tulang kecil lainya di
mana akan menambah panjang lengkung pada kaki.
Perubahan degeneratif ini nantinya akan merubah cara
berjalan (gait), mengakibatkan kelainan tekanan tumpuan
beban, dan berakhir kolaps pada kaki. Ulserasi, infeksi,
gangren dan kehilangan tungkai merupakan hasil yang sering
didapatkan jika proses tersebut tidak dihentikan pada stadium
awal (Runge dkk, 2009).
15
2.2.3.4 Tekanan
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa
sistim organ termasuk sendi dan tendon yaitu semakin
meningkatnya produksi Advanced Glycosylated end Product
(AGE’s) yang berhubungan dengan molekul kolagen pada
tendon termasuk tendon Achilles dan menyebabkan
hilangnya elastisitas atau terjadinya pemendekan tendon , hal
ini akan menyebabkan ketidakmampuan gerakan dorsofleksi
telapak kaki, dengan kata lain arkus dan kaput metatarsal
mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya
gangguan berjalan (gait).
Hilangnya sensasi pada kaki dapat menyebabkan tekanan
yang berulang dan terus menerus dan pada akhirnya akan
menyebabkan kerusakan jaringan lunak. Tidak terasanya
panas dan dingin, tekanan sepatu yang salah, kerusakan
akibat benda tumpul atau tajam dapat menyebabkan
pelepuhan dan ulserasi. Faktor ini diperberat dengan aliran
darah yang buruk pada penderita diabetes (Runge dkk, 2009).
2.2.4 Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada penderita ulkus diabetes
melitus berupa sering kesemutan, nyeri kaki saat istirahat, sensasi rasa
berkurang. kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri
dorsalis pedis/tibialis/poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku
menebal serta kulit kering (Hastuti, 2008).
16
2.2.5 Tatalaksana
Penatalaksanaan dalam ulkus diabetik sangatlah kompleks. Pengelolaan
yang diberikan meliputi tatalaksana terhadap diabetes mellitus, ulkus
diabetik dan infeksi mikroorganisme yang dijelaskan sebagai berikut.
2.2.5.1 Tatalaksana diabetes mellitus
Tatalaksana ini sesuai dengan yang direkomendasikan melalui
pengelolaan farmakologi dengan obat antidiabetik oral dan
insulin atau non farmakologik (PERKENI, 2011).
2.2.5.2 Tatalaksana ulkus diabetik
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan ulkus
diabetikum dilakukan sesuai dengan derajat keparahan. Mulai
dari non-bedah hingga bedah, salah satunya debridemen,
nekrotomi hingga amputasi (Subekti, 2014; Chadwick dkk,
2013).
2.2.5.3 Tatalaksana infeksi
Penatalaksanaan infeksi dilakukan hanya kepada pasien dengan
ulkus diabetik yang benar-benar terbukti secara klinis
mengalami infeksi. Akan tetapi dalam praktis klinis, ulkus
diabetik selalu diikuti dengan infeksi sekunder
mikroorganisme. Anjuran terapi antibiotik mulai diberikan
dengan antibiotik empiris hingga setelah menyesuaikan dengan
hasil biakan bakteri yang didapat (Benjamin dkk, 2012).
17
2.2.6 Klasifikasi
Tabel 1. Ulkus Kaki Diabetes Melitus Menurut Wagner
Ulkus Kaki Diabetik
Wagner-Meggitt Grade
Deskripsi
0 Tidak terdapat luka, gejala hanya seperti nyeri
1 Ulkus dangkal atau superficial
2 Ulkus dalam mencapai tendon
3 Ulkus dengan kedalaman mencapai tulang
4 Terdapat gangrene pada kaki bagian depan
5 Terdapat gangren pada seluruh kaki
Klasifikasi ini dikembangkan pada tahun 1970-an, dan telah menjadi
sistem penilaian yang paling banyak diterima secara universal dan
digunakan untuk ulkus kaki diabetik (James, 2008; Mark dan Warren,
2007).
Tabel 2. Klasifikasi Ulkus Kaki Menurut University Of Texas
Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3
Stage A Pre/post
ulserasi,
dengan
jaringan epitel
yang lengkap
Luka superfisial,
tidak melibatkan
tendon atau
tulang
Luka
menembus ke
tendon atau
kapsul tulang
Luka
menembus
ke tulang
atau sendi
Stage B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi
Stage C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
Stage D Infeksi Dan
Iskemia
Infeksi Dan
Iskemia
Infeksi Dan
Iskemia
Infeksi Dan
Iskemia
Klasifikasi University of Texas merupakan kemajuan dalam pengkajian
kaki diabetes. Sistem ini menggunakan empat nilai, masing-masing yang
dimodifikasi oleh adanya infeksi (Stage B), iskemia (Stage C), atau
keduanya (Stage D). Sistem ini telah divalidasi dan digunakan pada
umumnya untuk mengetahui tahapan luka dan memprediksi hasil dari
luka yang bisa cepat sembuh atau luka yang berkembang kearah amputasi
(James, 2008).
18
2.3 Staphylococcus aureus
2.3.1 Pengertian
Bakteri ini berbentuk sferis. Diameter kuman antara 0,8-1,0 mikron,
berkoloni, tidak berspora dan Gram positif. Gram negatif kadang
ditemukan pada bagian tengah gerombolan, disebabkan karena
kuman telah difagositosis dan pada biakan tua yang hampir mati
(Brooks dkk, 2014).
Klasifikasi Staphylococcus aureus Dari Rosenbach (1884) :
Domain : Bacteria
Kerajaan : Eubacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : S. aureus
Nama binomial : Staphylococcus aureus
2.3.2 Pertumbuhan dan Perbenihan
Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan baik pada suhu 15oC -
40oC, dan optimum pada 35
oC, bersifat anaerob fakultatif dan dapat
tumbuh dalam udara yang hanya mengandung hydrogen pH optimum
untuk pertumbuhan adalah 7,4. Warna khas kuning keemasan, hanya
intensitas warnanya dapat bervariasi. Pada lempeng agar darah
19
umumnya koloni lebih besar dan pada varietas tertentu koloninya
dikelilingi oleh zona hemolisis. Untuk memisahkan kuman dari tinja,
dipergunakan lempeng agar mengandung NaCl sampai 10% sebagai
penghambat terhadap kuman jenis lain dan manitol untuk mengetahui
patogenesisnya (Brooks dkk, 2014).
Gambar 1. Staphylococcus aureus pewarnaan gram (Brooks dkk, 2014).
Gambar 2. Dilihat dari Mikroskop Elektron (Todar dan Kenneth, 2008)
2.3.3 Patogenesis dan Gambaran Klinis Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah patogen utama pada manusia. Sebagian
bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran
pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri
ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. Staphylococcus
aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis,
20
membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol. Sifat patogen
yang paling khas adalah penanahan loka (Brooks dkk, 2014).
Staphylococcus aureus merupakan flora normal yang ada di kulit
namun virulensinya dapat berubah menjadi patogen bila ada luka yang
menjadi port d’entry. Kasus diabetes melitus dengan komplikasi
kebas/mati rasa sangat berpotensi menghadirkan luka-luka akibat
tekanan atau trauma kecil yang tidak disadari pada bagian kaki pasien,
sehingga terjadilah infeksi dan penanahan (ulkus diabetikum).
Polineuropati diabetes memegang peranan penting terhadap terjadinya
gangguan saraf perifer yang menyebabkan pasien kaki diabetes tidak
merasakan nyeri dari trauma (Sotto dkk, 2012).
Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang
lebih berat di antaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis,
infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. Staphylococcus
aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial,
keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Kusuma, 2009).
Beberapa strain Staphylococcus aureus memiliki kapsul, yang
menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali
terdapat antibodi spesifik. Sebagian besar strain Staphylococcus
aureus mempunyai koagulase atau faktor penggumpal, pada
permukaan dinding sel terjadi koagulase dengan fibrinogen secara
21
nonenzimatik, sehingga menyebabkan agregasi bakteri (Jawetz dkk,
2008).
Selanjutnya adalah tentang virulensi Staphylococcus aureus.
Staphylococcus aureus membuat tiga macam metabolit yang bersifat
nontoksin, eksotoksin, dan enterotoksin. Berbagai zat yang berperan
sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan
toksin, contohnya (Jawetz dkk, 2008).
Staphylococcus aureus menghasilkan bahan metabolit yang dapat
diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu (Jawetz dkk, 2008);
1. Metabolit non-toksin
a. Antigen permukaan (materi kapsul)
Fungsi antigen kapsul adalah mencegah fagositosis, reaksi
koagulase, dan melekatnya bekteriofag.
b. Koagulase
Koagulase adalah suatu antigen protein yang dihasilkan oleh
Staphylococcus aureus. Bersifat sebagai clotting agent,
proteolitik, dan esterolitik. Terdapat dua bentuk koagulase,
yaitu sebagai berikut:
1. Free coagulase
Dibebaskan ke dalam medium. Perlu aktivasi faktor
plasma atau CRF (Coagulase Reacting Factor) untuk
mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Dipakai plasma
darah kelinci. Tes dilakukan di dalam tabung.
22
2. Bound coagulase (clumping factor)
Tidak didapatkan di dalam filtrate kultur. Tidak
memerlukan CRF. Dipakai plasma darah manusia. Tes
dilakukan pada obyek glass.
c. Hialuronidase
Hialuronidase membuat bakteri bersifat invasif, tapi sifat ini
terjadi pada fase awal dari infeksi dan cepat dinetralkan pada
reaksi peradangan.
d. Stafilokinase (fibrinolisin)
Enzim ini bekerja sebagai aktivator enzim protease dalam
plasma untuk menghasilkan litik agen. Enzim ini bersifat
antigenik dan tidak tahan panas (heat labile).
e. Protease
Enzim ini bersifat proteolitik dan dapat menyebabkan nekrosis
pada jaringan yang diinvasi, termasuk jaringan tulang.
f. Lipase
Enzim ini bersifat antigenik. Pada inokulasi Staphylococcus
aureus, terlihat pada permukaan terdapat bercak-bercak lemak
yang tersusun dari asam oktadekanoat. Ini terjadi karena lipase
memutuskan ikatan asam ini dengan lipid.
g. DNase
DNase memecah DNA menjadi fosfo mononukleotida. Enzim
ini merupakan suatu protein yang kompak dan terdiri atas
rantai polipeptida tunggal dan terdapat pada permukaan sel.
23
Aktivitas DNase ini diketahui dengan menambahkan bakteri
pada deoxyribonuklease test medium. Setelah dieramkan 370C
selama 24-36 jam, koloni yang tumbuh dituang dengan 1 N
HCL atau 0,1% toluidine biru. Bila tampak daerah terang
(halo) pada penuangan HCL atau merah rose dengan toluidine
biru disekitar koloni, ini menunjukkan bakteri menghasilkan
enzim deoxyribonuclease (DNase)
2. Eksotoksin
a. Alfa Hemolisin
Toksin ini dibuat oleh Staphylococcus virulen dan bersifat :
1) Melisiskan eritrosit kelinci, kambing, domba dan sapi.
2) Tidak melisiskan eritrosit manusia.
3) Meyebabkan nekrosis pada kulit manusia dan hewan.
4) Dalam dosis yang cukup besar dapat membunuh manusia
dan hewan.
5) Menghancurkan sel darah putih kelinci
6) Tidak menghancurkan sel darah putih manusia
7) Menghancurkan trombosit kelinci
8) Bersifat sitotoksik terhadap biakan jaringan manusia
Semua sifat tersebut di atas dapat dinetralkan oleh IgG, tetapi
bukan IgA dan IgM. Semua efek diatas terjadi akibat pelepasan
anion dengan fosfolipid yang terdapat dalam membran sel
bakteri. Setelah diolah dengan formalin, toksin ini dapat
24
dipakai sebagai toksoid. Kemampuan untuk membuat toksin
ini dapat dipindahkan dengan bakteriafaga L2043, namun jenis
yang menerimanya tidak selalu menghasilkan toksin yang
sama kuatnya seperti yang dihasilkan oleh jenis asalnya.
b. Beta Hemolisin
Toksin ini terutama dihasilkan oleh jenis yang berasal dari
hewan. Dapat menyebabkan terjadinya hot-cold lysis pada sel
darah merah domba dan sapi. Dalam hal ini lisis baru terjadi
setelah pengeraman 1 jam dengan suhu 37⁰C dan 18 jam pada
suhu 10⁰C . toksin ini dapat dibuat toksoid.
c. Delta Hemolosin
Toksin ini dapat melisiskan sel darah merah manusia dan
kelinci, tetapi efeknya terhadap sel darah merah domba kurang.
Jika toksin pekat disuntikkan pada kelinci secara intravena,
maka akan terjadi kerusakan ginjal akut yang berakibat fatal.
d. Leukosidin
Toksin ini dapat merusak sel darah putih beberapa macam
binatang yang identik dengan Delta hemolisin, bersifat
termostabil dan menyebabkan perubahan morfologik sel darah
putih dari semua tipe kecuali yang berasal dari domba. Ada
juga yang terdapat pada 40-50% jenis Staphylococcus dan
hanya merusak sel darah putih manusia dan kelinci tanpa
aktifitas hemolitik.
25
e. Sitotoksin
Toksin ini mempengaruhi arah gerak sel darah putih dan bersifat
termostabil. Toksin ini dibuat dalam suasana di mana:
Kompleks antigen zat anti menghasilkan suatu kompleks
trimolekuler dari komplemen yang terdiri dari C5, C6, dan
C7.
Streptokinase merubah plasminogen menjadi plasmin yang
kemudian bereaksi dengan C3 sehingga menjadi C3 yang
aktif.
f. Toksin Eksfoliatif
Toksin merupakan suatu protein ekstraselular yang tahan panas
tetapi tidak tahan asam. Toksin ini dianggap sebagai penyebab
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSS). Yang antara
lain meliputi dermatitis eksfoliatif pada neonatus (Ritter’s
disease), impetigo bulosa, Staphylococcal Scarlatiniform Rash
(SSR) dan toksin epidermal nekrolisis pada orang dewasa.
3. Enterotoksin
Toksin ini dibuat jika bakteri ditanam dalam pembenihan semisolid
dengan konsentrasi CO2 30%.
Toksin ini terdiri dari protein yang bersifat :
Nonhemolitik
Nondermonekrotik
Nonparalitik
26
Termostabil, dalam air mendidih tahan selama 30 menit
Tahan terhadap pepsin dan tripsin
Toksin ini penyebab keracunan makanan, terutama yang terdiri dari
hidrat arang dan protein. Masa tunas antara 2-6 jam dengan gejala
yang timbul secara mendadak, yaitu mual, muntah-muntah, dan
diare. Kadang-kadang dapat terjadi kollaps sehingga dikira kolera.
Penyembuhan biasanya terjadi setelah 2 jam dan jarang berakibat
fatal. Efek muntah terus karena toksin merangsang pusat muntah di
susunan syaraf pusat. Salmonella dan Clostridium dapat
menimbulkan gejala yang serupa.
2.3.4 Pengobatan
Pengobatan untuk infeksi Staphylococcus aureus biasanya
menggunakan antibiotik. Selama pengobatan sering kali terjadi
resistant, sehingga terkadang sulit untuk menanganinya. Antibiotik
yang sering digunakan adalah sefalosporin, tetrasiklin, methicillin dan
vankomisin (Usman, 1996).
2.4 Antibiotik
2.4.1 Definisi
Antibiotik adalah senyawa yang dapat mematikan atau menghambat
pertumbuhan aktivitas metabolik dari bakteri atau mikroorganisme
lainnya. Spektrum kerja antibiotik ada dua, yaitu Spektrum luas (broad
spektrum) yang artinya memiliki efek luas, bisa digunakan untuk
berbagai jenis bakteri dan protozoa. Contohnya: (SeCKAT)
27
Sefalosporin, Ceftriaxone, Kloramfenikol, Ampisilin dan Tetrasiklin,
sedangkan antibiotika berspektrum sempit (narrow spectrum) di mana
obat hanya bekerja secara spesifik yaitu melawan bakteri gram positif
saja atau gram negatif saja. Contoh: (BaNPES) Basitrasin, Neomisin,
Penisilin, Eritromisin dan Streptomisin (Maartens dkk, 2011).
2.4.2 Mekanisme Kerja Antibiotik
Mekanisme kerja antibiotik terbagi menjadi beberapa cara sebagai
berikut;
1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri
Antibiotik menghambat sintesis peptidoglikan pada sebagai bahan
utama pembentuk dinding sel bakteri. Tekanan osmotik di dalam
sel bakteri akan menjadi lebih tinggi daripada di luar sehingga
bakteri akan lisis (bakterisid). Contoh: BaVaS PeSeC (Basitrasin,
Vancomycin, Sikloserin, Penisilin, Sefalosporin (Sefoksitin) dan
Cefixime).
2. Mengganggu permeabilitas membran sel bakteri
Reaksi ini melalui tahap reaksi fosfat dan fosfolipid (polimiksin),
bereaksi dengan sterol pada membran sel fungus (polien),
mengubah tegangan permukaan (surface active agents), rusaknya
permeabilitas membran menyebabkan komponen penting dalam sel
mikroba keluar (protein, asam nukleat dan nukleotida).
Contoh: Polimiksin dan golongan polien
3. Menghambat sintesis protein sel mikroba
28
Menghambat proses transkripsi (rifampisin dan aktinomisin) dan
translasi pada ribosom 30S :Streptomisin, tetrasiklin dan kanamisin
serta translasi pada rbosom 50S :kloramfenikol, klindamisin dan
linkomisin.
Contoh: KELinkAn Tetra (Kloramfenikol, Eritromisin, Linkomisin,
Aminoglikosida dan derivatnya serta Tetrasiklim).
4. Menghambat sintesis asam nukleat
Antimikroba (ex: rifampisin) berikatan dengan enzim polimerase
RNA sehingga menghambat sintesis DNA dan RNA oleh enzim
tersebut.
Contoh: Ana RiSulT (Asam nalidiksat, Rifampisin, Sulfonamid dan
Trimetropim).
5. Menghambat metabolisme sel bakteri
Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya
dan asam sulfat ini berasal dari sintesis bahan PABA (asam para
amino benzoat). Antimikroba akan ikut serta dalam proses sintesis
dan bersaing dengan PABA sehingga akan menghasilkan asam
folat nonfungsional.
Contoh : SulTri PAS Sulfo (Sulfonamid, Trimetropim, Asam P-
asetilsalisilat dan Sulfon)
2.4.3 Jenis Antibiotik
Beberapa jenis antibiotik yang biasa digunakan untuk pengobatan
infeksi diantaranya :
29
2.4.3.1 Golongan Flouroquinolon
Merupakan golongan antibiotik spektrum luas untuk terapi
infrksi saluran napas, saluran kemih, infeksi intraabdominal,
tulang dan sendi, kulit dan jaringan lunak serta infeksi
lainnya. Bekerja dengan menghambat topoisomerase II
(DNA gyrase) dan topoisomerase IV yang diperlukan bakteri
untuk replikasi DNA. Hambatan ini menghasilkan efek
sitotoksik dalam sel (Hooper DC, 2014).
Gambar 3. Mekanisme resisten antibiotik floroquinolon (Hui, 2012).
2.4.3.2 Golongan Betalaktam
Semua jenis penisilin memiliki susunan dasar yang sama,
memiliki cincin tiazolidin yang melekat pada cincin
betalaktam, membawa gugus amino sekunder. Interaksi
struktur inti asam-6-aminopenisilat penting sebagai aktivitas
biologik. Cara kerja antibiotik betalaktam dengan menghambat
sintesis dari dinding bakteri karna terjadi reaksi transpeptidase
dan sintesis peptidoglikan (Katzung, 2010).
30
Generasi ke III dari sefalosporin adalah Ceftazidine,
Sefotaksim, Cepodoxime, dan Ceftriaxone bekerja dengan cara
aktif membunuh bakteri gram negatif seperti Escherichia coli,
Proteus mirabilis, dan Klebsiella pneumonia (Katzung, 2010).
Gambar 4. Mekanisme resisten antibiotik beta-laktam
(Franklin,2003).
2.4.3.3 Golongan Aminoglikosida
Antibiotik golongan aminoglikosida seperti gentamisin dan
amikasin sangat baik digunakan terhadap bakteri Gram negatif
seperti Pseudomonas aeruginosa, Proteus, Enterobacter, dan
Klebsiella. Antibiotik ini bekerja dengan cara memasuki sel
akan mengikat protein ribosom subunit 30s yang spesifik.
Kombinasi penggunaan antibiotik golongan gentamisin dengan
karbenisilin atau tikarsilin (golongan β-laktam) dapat
menyebabkan peningkatan sinergisme dan aktivitas bakterisid
(Katzung, 2010).
31
Gambar 5. Mekanisme resisten antibiotik aminoglikosida (Franklin,
2003).
2.4.3.4 Golongan Glikopeptida
Antibiotik golongan glikopeptida seperti vankomisin.
Vankomisin adalah suatu glikopeptida trisiklik yang penting
karena efektivitasnya terhadap organisme resisten multi-obat
seperti stafilokokus resisten metilisin. Vankomisin membunuh
bakteri dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri.
Penghambatan sintesis dinding sel bakteri ini dilakukan
melalui proses inhibisi penggabungan subunit Nacetylmuramic
acid (NAM) dengan N-acetylglucosamine (NAG) dalam
pembentukan matrik peptidoglycan. Peptidoglycan ini adalah
komponen utama pembentuk struktur dinding sel bakteri gram
positif. Hal ini juga mengakibatkan kerusakan membran sel
bakteri dan mengganggu sintesis RNA bakteri (Anaizi, 2002).
Pemberian vankomisin diindikasikan untuk penderita yang
terinfeksi Staphylococcus aureus resisten methicillin atau
stafilokokus resisten beta-laktam koagulase negatif; infeksi
serius atau mengancam jiwa (endokarditis, meningitis,
32
osteomielitis) yang disebabkan stafilokokus atau streptokokus
pada pasien dengan alergi terhadap penisilin dan/atau
sefalosporin terapi empirik pada infeksi yang berkaitan dengan
akses sentral, VP shunt, hemodialysis shunt, vascular grafts,
katup jantung prostetik (persetujuan FDA untuk anak dan
dewasa) (Setiabudy, 2013).
Gambar 6. Mekanisme resisten vankomisin terhadap bakteri
(McGuinness dkk, 2017)
2.4.4 Prinsip Penggunaan Antibiotik
1. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan
spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang
adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai
dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan
penggunaan antibiotik lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan
menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan
33
penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan
kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved
antibiotics).
4. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan
penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh
sendiri (self-limited).
5. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola
kepekaan kuman terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab
infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan deeskalasi pasca menimbang hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling murah dan
aman.
2.4.5 Syarat Antibiotik yang Baik
Antibiotik yang baik, yaitu antibiotik yang dapat diabsorpsi dan
ditoleransi dengan baik oleh tubuh pasien dam mempunyai spektrum
terbatas terhadap mikroba yang menginfeksi (Utami, 2011).
34
2.5 Resistensi Antibiotik
Resistant antibiotik adalah kemampuan mikroorganisme untuk bertahan dari
pengaruh suatu antibiotik. Ketika sebuah gen berubah, maka bakteri dapat
mengirimkan informasi genetik secara horisontal ke bakteri lainnya melalui
pertukaran plasmid. Bakteri yang membawa beberapa gen resistant disebut
multiresistant atau superbug (Biantoro, 2008).
Pemberian antibiotik diberikan sesuai dengan indikasi, spektrum, dan jenis
mikroorganismenya. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas masih menjadi gold
standar. Pola bakteri di bagian-bagian tubuh manusia juga diperlukan untuk
dasar pertimbangan pemberian antibiotik (Biantoro, 2008).
2.5.1 Mekanisme Resistant Antibiotik
Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan suatu populasi
mikroorganisme mejadi resisten terhadap antibiotika menurut Neu dan
Gootz tahun 2001 antara lain;
1) Mikroorganisme memproduksi enzim yang merusak daya kerja
obat, seperti pada stafilokokus yang resisten terhadap penisilin
akibat produksi enzim beta laktamase berpengaruh pada
pemecahan cincin beta laktam penisilin sehingga penisilin tidak
aktif lagi bekerja.
2) Terjadinya perubahan permeabilitas mikroorganisme terhadap obat
tertentu, seperti pada streptokokus yang mempunyai barier alami
terhadap obat golongan aminoglikosida.
35
3) Terjadinya perubahan pada sisi mikroorganisme yang menjadi
target obat, misalnya obat golongan aminoglikosida yang memecah
atau membunuh kuman karena obat ini merusak sistem ribosom
sub unit 30S. Bila oleh suatu hal,tempat/lokus kerja obat pada
ribosom sub unit 30S berubah, maka mikroorganisme tidak lagi
sensitif terhadap golongan obat ini.
4) Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target
obat, misalnya kuman yang resisten terhadap obat golongan
sulfonamida, tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat
menggunakan asam folat, sehingga sulfonamida yang berkompetisi
dengan PABA tidak berpengaruh pada metabolisme sel.
5) Terjadi perubahan enzimatik sehingga kurang sensitif terhadap
antibiotik.
Staphylococcus aureus telah resisten terhadap beberapa antibiotik, yaitu
(Sulistyaningsih, 2010):
a. Penisilin
Saat ini diketahui lebih dari 90 isolat Staphylococcus aureus
memproduksi penisilinase, dan yang resisten terhadap penisilin
dimediasi oleh blaZ yang mengkode enzim yang disintesis ketika
Staphylococcus aureus diberikan antibiotik B-laktam. Enzim ini
mampu menghidrolisis cincin B-laktam, yang menyebabkan
terjadinya inaktivasi B-laktam.
36
b. Metisilin
Resistant metisilin terjadi karena perubahan protein pengikat
protein (PBP), di mana gen mecA mengkode 78-kDa penisilin
pengikat protein 2a (PBP2a) yang memiliki afinitas sangat kecil
terhadap semua antibiotik B-laktam, sehingga Staphylococcus
aureus dapat bertahan pada konsentrasi yang tinggi dari zat
tersebut, resistant terhadap metisilin menyebabkan resistant
terhadap semua agen B-laktam, termasuk sefalosporin.
c. Kuinolon
Florokuinolon pertama kali dikenalkan untuk pengobatan infeksi
bakteri gram positif pada 1980. Resistant terhadap fluorokuinolon
sangat cepat dibandingkan dengan resisten terhadap metisilin. Hal
ini memyebabkan kemampuan fluorokuinolon sebagai antibakteri
menurun. Resistant terhadap florokuinolon berkembang sebagai
hasil mutasi kromosomal spontan dalam target terhadap antibiotik
atau dengan induksi pompa effluk berbagai obat.
d. Vankomisin
Penggunaan vankomisin meningkat akibat MRSA marak terjadi.
Pada 1997, laporan pertama VISA dilaporkan di Jepang dan
berkembang di negara lain. Penurunan sensitivitas terhadap
Staphylococcus aureus terjadi karena adanya perubahan dalam
biosintesis peptidoglikan bakteri tersebut.
37
e. Kloramfenikol
Resistant terhadap kloramfenikol disebabkan karena adanya enzim
yang menginaktivasi kloramfenikol dengan mengatalisis proses
terhadap gugus hidroksi dalam kloramfenikol menggunakan donor
gugus eil berupa asetil koenzim A. Akibatnya dihasilkan derivat
kloramfenikol yang tidak mampu berikatan dengan ribosom
bakteri.
2.5.2 Metichilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan salah
satu agen utama penyebab infeksi. Lebih dari 80% strain
Staphylococcus aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-
stable betalactam seperti Methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang
digunakan sebagai terapi utama dari infeksi Staphylococus aureus
selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok
penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan
agen ini untuk pengobatan (Biantoro, 2008).
Antibiotik Methicilin merupakan antibiotik golongan betalaktam
dengan daya kerja spektrum sempit. MRSA terbentuk karena adanya
subtitusi pada gen yang mengkode PBP2 berubah menjadi PBP2a
sehingga reseptor sisi aktif bagi antibiotik betalaktam tersebut tidak
dikenali lagi (Devinov, Endarin dan Sembiring, 2014).
Faktor-faktor terjadinya Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) antara lain lingkungan, populasi, kontak, kebersihan individu,
38
riwayat perawatan, riwayat operasi, riwayat infeksi, adanya sebuah luka
terbuka dan pengobatan, serta kondisi medis (Arias, 2010 dan
Mahmudah dkk, 2013). Petugas pelayanan kesehatan/petugas rumah
sakit dapat membawa Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) dalam hidungnya hingga 3 bulan atau lebih (Arias, 2010).
Beberapa dekade terakhir, insiden infeksi Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) terus meningkat di berbagai belahan
dunia. Prevalensi infeksi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) kini mencapai 70% di Asia, sementara di Indonesia pada tahun
2006 prevalensinya berada pada angka 23,5%. (Mahmudah dkk, 2013).
Prevalensi Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di
Rumah Sakit Atmajaya Jakarta pada tahun 2003 mencapai 47 %.
Insiden Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di RSUP
Dr. Moh. Hoesin Palembang mencapai 46%. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan di ruang Intensive Care Unit (ICU) dan ruang
perawatan bedah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek
(RSUDAM) Lampung pada tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) positif sebanyak
26 sampel (38,24%) (Mahmudah dkk, 2013). Penelitian Srivani R dkk
pada tahun 2011, dari 123 swab yang diambil dari ulkus diabetikum
derajat I, II dan III, didapatkan 163 bakteri aerob, 66 isolat bakteri
Gram positif. 44 dari 66 isolat bakteri Gram positif di antaranya
merupakan Staphylococcus aureus, 31 di antaranya merupakan bakteri
MRSA dan 13 di antaranya merupakan bakteri Methicillin sensitive
39
Staphylococcus aureus (MSSA), sedangkan pada penelitian Carvalho et
al, dari 141 orang sampel sebagian besar ulkus diabetikum derajat I dan
II. Hasil kultur didapatkan bakteri aerob 83%, di antaranya bakteri
Gram negatif Enterobacteriaceae 83.7%, Gram positif Staphylococcus
aureus 43.3%, sedangkan bakteri anaerob 17%., dan bakteri Methicillin
resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yaitu 11,6%. MRSA pada
ulkus diabetikum derajat I dan II di bagian penyakit dalam RSUD
Arifin Achmad teridentifikasi sebanyak 5 dari 6 sampel pus ulkus
(83,3%) (Devinov dkk, 2014). Vankomisin-resistant Staphylococcus
aureus (VRSA) ditemukan pada 10 dari 64 isolat (15,6%) dari
membran steteskop di Rumah Sakit Margono Soekarjo, Purwokerto
(Anjarwati dan Dharmawan, 2010). VISA, MIC = 4-8 μg / mL dan
VRSA, MIC ≥ 16 ug / mL (Will A. McGuinness, Natalia Malachowa,
dan Frank R. DeLeo, 2017).
a. Epidemiologi
Bakteri MRSA merupakan galur Staphylococcus aureus yang
resisten terhadap antibiotika metisilin sebagai akibat dari
penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Keberadaannya tersebar
hampir di seluruh dunia, dengan insiden tertinggi terdapat di area
yang densitasnya padat serta kebersihan individu yang rendah.
Sampai dengan tahun 2004 prevalensi MRSA menjadi masalah yang
predominan pada usia lanjut, >60 tahun, 82%, strain MRSA yang
ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten
40
terhadap makrolid, sebagian besar isolat masih sensitif terhadap
tetrasiklin, asam fusidat, rifampicin, dan gentamisin, dan strain
MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Biantoro,
2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmed di beberapa
bagian rumah sakit yang berbeda di Libya didapatkan 128 (22%)
positif MRSA berdasarkan hasil laboratorium dan 109 (19%)
dikonfirmasi sebagai MRSA dengan PCR dari 569 subjek penelitian.
Hidung dan bagian nares anterior adalah bagian yang paling penting
dari koloni stafilokokus dan berpotensi sebagai sumber MRSA.
Penelitian ini cenderung dianggap remeh karena hanya
menggunakan nasal swab dan tidak menguji tempat lain, seperti
swab pada tenggorokan (Ahmed dkk, 2012).
b. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko terjadinya MRSA antara lain:
1. Faktor-faktor community-acquired:
Tempat tinggal yang berdesakan dan kumuh (penjara, barak
militer, penampungan gelandangan).
Populasi (penduduk kepulauan pasifik, asli Alaska, asli
Amerika).
Kontak olahraga (sepakbola, rugby, gulat).
Homoseksual.
Berbagi handuk, alat-alat olahraga, barang-barang pribadi.
41
Personal hygiene yang buruk.
2. Faktor-faktor healthcare-acquired:
Perawatan di rumah sakit sebelumnya (dalam 1 tahun
terakhir).
Dilakukan operasi sebelumnya (rawat inap atau rawat jalan
dalam 1 tahun terakhir).
Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau
infeksi kulit lainnya.
Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau yang
tinggal bersama.
Terbukti secara laboratorium adanya kasus MRSA dalam
keluarga atau yang tinggal bersama.
Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama atau kontak
dengan penghuninya berkali-kali.
Pengguna obat intavena.
Terpasang kateter.
Kondisi medis (misalnya diabetes, HIV, gagal ginjal)
c. Cara penyebaran
Stafilokokus umum terdapat pada lipatan kulit, seperti perineum
dan aksila serta berada di nares anterior. Stafilokokus juga dapat
membentuk koloni pada luka yang kronis, seperti eksim, varises,
dan ulkus decubitus. MRSA memiliki cara penyebaran yang sama
dengan strain Stafilokokus lain yang sensitif, yaitu (Royal
College of Nursing, 2005):
42
1. Penyebaran Endogen
Hal ini terjadi ketika bakteri dari satu bagian tubuh seseorang
menyebar ke tempat yang lain. Mengajarkan pasien untuk
mencuci tangan mereka dan mencegah mereka dari
menyentuh luka, kulit yang rusak atau menyentuh perangkat
invasif, akan meminimalkan risiko penyebaran organisme
secara endogen.
2. Penyebaran Eksogen
Hal ini terjadi ketika organisme ditransmisikan dari orang ke
orang yang terjadi melalui kontak langsung dengan kulit,
melalui lingkungan atau peralatan yang terkontaminasi.
Pencegahan penyebaran secara eksogen dapat dilakukan
melalui:
Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap
pasien atau peralatan yang berpotensi terkontaminasi.
Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
Menjaga lingkungan selalu bersih dan kering.
Melakukan pembersihan secara menyeluruh dan
mengeringkan semua peralatan yang telah digunakan.
Menerapkan pengobatan topikal untuk mengurangi penyakit
kulit jika secara klinis diperlukan.
43
Tabel 3. Kronologi Infeksi Staphylococcus aureus dan Resistantnya
2.5.4 Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA)
Vankomisin merupakan antibiotik yang aktif terhadap bakteri Gram
positif. Antibiotik ini hanya diindikasikan untuk mengobati penderita
yang terinfeksi Staphylococcus aureus resisten terhadap Methicillin
(MRSA). Vankomisin lebih sering diberikan secara intravena dengan
waktu paruh sekitar 6 jam. Efek samping obat yang biasanya terjadi
adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing, hipotensi (pada
infuse cepat), gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis
tinggi.
Staphylococcus aureus adalah penyebab umum infeksi di rumah sakit
dan yang didapat masyarakat. Maka dengan keberadaan MRSA yang
Tahun Kejadian
1940 Penicillin diperkenalkan
1942 Muncul S. aureus resisten penicillin
1959
Metisilin diperkenalkan, sebagian besar strain S. aureus di rumah sakit dan
masyarakat resisten penicillin
1961 Muncul MRSA
1963 Muncul wabah MRSA di rumah sakit yang pertama
1968 Ditemukan strain MRSA yang pertama di rumah sakit Amerika
1970-an
Penyebaran klonal MRSA secara global, kejadian MRSA yang sangat
tinggi di Eropa Utara
1980-an
Penurunan kejadian MRSA yang dramatis dengan adanya program “search
and destroy” di Eropa Utara
1996 VRSA dilaporkan di Jepang
1997 Muncul VISA, dilaporkan adanya infeksi CA-MRSA yang serius
2002 Terjadi infeksi VRSA yang pertama di Amerika
Peningkatan kejadian MRSA hampir 60% di ICU, wabah CA-
2003
MRSA dilaporkan terjadi di banyak tempat dan berimplikasi pada wabah
di rumah sakit
>50% infeksi kulit stafilokokus muncul di bagian gawat darurat
2006
yang disebabkan CA-MRSA, peningkatan HA-MRSA, perbedaan
keduanya secara epidemiologi semakin sulit
2007
“The Year of MRSA” terbentukzona hemolysis pada sekeliling koloni
bakteri.
(Biantoro, 2008)
44
semakin tidak terkendali, vankomisin dan teicoplanin merupakan obat
pilihan untuk mengatasi infeksi stafilokokus yang parah. Resistensi
Vankomisin Staphylococcus aureus (MIC ≥ 32 ug / mL) pertama kali
dilaporkan dari Michigan, AS pada tahun 2002. Tampaknya
pengembangan Enterococci-resistant vankomisin (VRE) pada tahun
1988 menyebabkan munculnya VRSA melalui akuisisi klaster gen
VanA dari Entercoccus spp. Deteksi pertama VRSA di Iran adalah
pada tahun 2007 dan laporan ini menggambarkan isolat
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap vankomisin ditemukan
pada pasien diabetes akibat transmisi dari komunitas di Iran. Di
Amerika Serikat, Staphylococcus aureus dianggap sensitif terhadap
vankomisin jika konsentrasi penghambat minimumnya (minimum
inhibitory concentration; MIC) kurang atau sama dengan 4 µg/mL;
kerentanan intermediet jika MIC 8-16 µg/mL dan resisten jika MIC >
16 µg/mL
Akan tetapi, akibat penggunaan vankomisin yang terus menerus
Staphylococcus aureus menjadi resisten terhadap vankomisin, hal ini
telah dinyatakan Hong Bin Kin dkk (2003) bahwa Staphylococcus
aureus merupakan salah satu patogen yang paling penting
menyebabkan morbiditas berat dan infeksi fatal.
Jika merujuk masa lalu, riwayat kejadian infeksi bakteri telah
berkurang semenjak ditemukannya penisilin pada tahun 1940 sampai
Staphylococcus aureus mulai memproduksi β-laktamase, yang
45
menghancurkan cincin inti penisilin β-laktam. Peningkatan resistant
terhadap penisilin mendorong pengembangan obat-obatan methicillin,
yang sebenarnya resisten terhadap banyak variasi genetik dari enzim
β-laktamase. Infeksi oleh Staphylococcus aureus dikendalikan dengan
baik menggunakan metisilin sampai isolasi strain pertama
Staphylococcus aureus resisten metisilin (MRSA) pada tahun 1961.
Sejak itu, MRSA telah menjadi endemik di rumah sakit dan panti
jompo di seluruh dunia.
Tahun 1997, strain pertama dari Staphylococcus aureus dengan
kerentanan yang menurun terhadap vankomisin dan teicoplanin
dilaporkan dari Jepang. Setelah itu, dua kasus tambahan dilaporkan
dari Amerika Serikat. Isolat klinis pertama Vancomycin-resistant
Staphylococcus aureus (VRSA) dilaporkan dari Amerika Serikat pada
tahun 2002 (Tiwari dan Sen, 2006). Penelitian Vancomycin-resistant
Staphylococcus aureus (VRSA) di Indonesia ditemukan pada 10 dari
64 isolat (15,6%) dari membran steteskop di Rumah Sakit Margono
Soekarjo, Purwokerto (Anjarwati dan Dharmawan, 2010).
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa saat ini tidak hanya
MRSA saja yang dikhawatirkan tetapi juga VRSA.
Resistant terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh suatu gen pada
bakteri yang mengalami mutasi kromosomal sehingga bakteri kebal
terhadap antibiotik tertentu, bakteri mendapatkan gen resisitensi
ekstrakromosomal melalui proses transformasi, transduksi, transposon
46
ataupun melalui pemindahan fragmen DNA lainnya (Radji, 2011).
Namun hingga saat ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya mengenai
mekanisme bagaimana terjadinya perubahan genetik dan biokimiawi
pada Staphylococcus aureus hingga menjadi resisten terhadap
vankomisin (Vanko,2013).
Adanya petugas kesehatan yang terinfeksi atau terkolonisasi MRSA
maupun VRSA dapat berperan sebagai reservoir. Petugas kesehatan
yang terkolonisasi MRSA maupun VRSA dalam jangka panjang dapat
menjadi sumber penular atau carrier (pembawa) yang membawa
organisme dihidung. Sebagian besar orang menjadi carrier MRSA
bersifat asimptomatik dan tidak pernah memperlihatkan gejala klinis,
terutama apabila mereka sehat (Gould dan Christine, 2003).
Sejauh ini, belum banyak penelitian yang menjabarkan secara tegas
mengenai mekanisme Vancomycin-resistant Staphylococcus aureus,
yang pasti penggunaan antibiotik methicillin maupun vancomycin
harus lebih rasional agar tidak meningkatkan persentase MRSA
maupun VRSA di masa mendatang.
Peningkatan persentase MRSA maupun VRSA di lingkup rumah sakit
dapat berakibat negatif pada host disekitar akibat pajanan infeksi
nosokomial sehingga dapat menyulitkan proses pengobatan, untuk
mencegah terjadinya penularan perlu dilakukan kesadaran terhadap
kebersihan individu dan penggunaan alat pelindung diri karena kedua
hal ini termasuk dalam tindakan pengendalian MRSA maupun VRSA
47
di rumah sakit meliputi mencuci tangan, surveilans laboratorium,
surveilans untuk mendeteksi pasien yang terinfeksi dan terkolonisasi,
pencegahan kontak dan penggunaan alat pelindung diri (seperti sarung
tangan, masker dan apron), pendidikan bagi petugas pelayanan
kesehatan berkaitan dengan pencegahan penyebaran mikroorganisme,
pengobatan bagi pasien dan petugas yang terinfeksi, dekolonisasi
petugas dan pasien di dalam situasi tertentu (Arias, 2010).
Vankomisin diberikan pertahanan oleh vanA-operon yang dikodekan
pada transposon Tn1546 terhadap S. Aureus, pada mulanya
merupakan bagian dari plasmid konjugatif yang resisten vankomisin
(VRE). Vankomisin resistant S. aureus (VRSA) dipertahankan dengan
plasmid enterococcal orisinal atau dengan transposisi Tn1546 dari
plasmid VRE menjadi plasmid staphylococus. Untuk lebih memahami
mekanisme molekuler dimana operon vanA memberikan resistansi,
penting untuk memahami komponen utama dinding sel S. aureus dan
mekanisme kerja vankomisin. Dinding sel S. aureus terletak tepat di
bawah lapisan kapsul polisakarida terluar. Komponen utama dari
dinding sel adalah cross-linked peptidoglycan, yang dengan terbuat
dari rantai glycan NAG (N-acetylglucosamine) dan NAM (N
acetylmuramic acid) saling terhubung satu sama lain oleh jembatan
glisin dan pentapeptida batang (UDPMur-NAc-L-Ala-D-iso-Gln-L-
Lys-D-Ala-D-Ala). Pada bakteri Gram-positif, vankomisin
mengganggu sintesis peptidoglycan tahap akhir dengan membentuk
ikatan hidrogen non-kovalen dengan residu D-Ala-D-Ala dari UDP-
48
MurNAc-pentapeptida yang baru disintesis, sehingga mengganggu
perakitan peptidoglycan. Akhirnya, sintesis dinding sel dihambat dan
terbentuk kompleks vankomisin-pentapeptida yang terakumulasi
dalam sel. Dua peristiwa penting diperlukan untuk VRSA yaitu 1)
hidrolisis dipeptida prekursor D-Ala-D-Ala peptidoglikan, yang
mengikat vankomisin, dan 2) sintesis prekursor peptidoglikan D-Ala-
Dlactate, yang tidak dapat mengikat vankomisin (McGuinness dkk,
2017).
VanA-operon terdiri dari vanA, vanH, Uji resistant antibiotik yang
terakhir dengan vankomisin untuk pasien ulkus diabetes yang
menunjukkan bahwa vankomisin memiliki tingkat resistant sebesar
57,1%. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan
Wiliarni (2015) diRumah Sakit Siloam Karawaci dengan tingkat
resistant vankomisin sebesar 40%. Vankomisin merupakan antibiotik
golongan glikopeptida yang menunjukkan hasil sensitif terhadap
bakteri Staphylococcus aureus. Mekanisme kerja vankomisin adalah
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara berikatan dengan
ujung Dalanyl-D-alanine dari unit prekursor pembentuk dinding sel
sehingga mengaganggu sintesis peptidoglikan (Kohanski et al, 2010).
Resistant terhadap vankomisin dimediatori oleh gen van A yang
spesifik untuk glikopeptida. Adanya Van A mengakibatkan perubahan
target terminal Dalanil-D-alanin menjadi D-alanil- D-laktat atau D-
alanil-D-serin, yang menyebabkan ikatannya dengan vankomisin
menjadi buruk karena titik kritis untuk ikatan hidrogen yang hilang.
49
Hal tersebut menyebabkan vankomisin tidak bisa terikat, sehingga
terjadi penurunan sensitivitas (Katzung, 2010)
Kasus resisten vankomisin pertama kali ditemukan di Jepang pada
penderita infeksi MRSA pasca bedah karena penggunaan vankomisin
jangka panjang (Hiramatsu, 2001).
2.6 Uji Kepekaan Terhadap Antimikroba
Tes kepekaan anti mikroba dilakukan untuk menentukan bakteri dari
penyebab penyakit yang menunjukkan adanya resistant terhadap suatu anti
mikroba. Uji kepekaan antibiotik terdapat dua jenis, bisa dilakukan dengan
metode difusi cakram atau metode dilusi. Metode ini digunakan untuk melihat
hasil kepekaan terhadap anti mikroba dan dapat dinilai dari KHM (kadar
hambat minimal) atau KBM (Kadar Bunuh Minimum) (Soleha, 2015).
Penelitian ini menggunakan uji kepekaan antibiotik dengan metode difusi
cakram atau yang biasa disebut uji Kirby Bauer (Hoelzer, 2011). Bakteri yang
akan diuji akan ditanamkan pada agar plate Muller Hinton. Setelah
diinkubasi selama satu hari dan besoknya terlihat adanya zona jernih di
permukaan agar, maka luas zona jernih dapat diukur berapa besar diameter
zona hambat dari setiap antibiotik yang diujikan (Hudzicki, 2009).
Tabel 4. Dameter zona hambat dari antibiotik
Antibiotik Kategori (dalam mm)
Resistant Intermediet Sensitif
Amoksisilin <21 22-27 ≥28
Cefotaksim ≤14 15-22 ≥23
Cefoksitin ≤21 21-22 ≥22
Vankomisin ≤9 10-11 ≥12
(Cinical and Laboratory Standards Institude: 2014)
50
Secara garis besar, pengidentifikasian ini dimulai dengan pengabilan sampel
abses pada pasien ulkus diabetes melitus secara asepsis dengan
menggunakan kapas swab dan tabung kontainer yang berbeda pada masing-
masing isolat untuk diisolasi dan selanjutnya diinkubasi pada media Manitol
Salt Agar dengan suhu 37oC 24 jam dengan tujuan hanya untuk
menumbuhkan bakteri.
Berikutnya, koloni yang tumbuh pada MSA akan dilakukan tindakan
pewarnaan gram untuk mengidentifikasi bakteri gram. Pelaksanaan dimulai
dengan membuat sediaan bakteri yang tumbuh pada inkubasi MSA di kaca
objek dengan menggunakan ose steril. Lalu sediaan diwarnai dengan
menggunakan kristal violet 1% diamkan selama 2 menit, dialiri aquades 5
detik, kemudian digenangi dengan larutan lugol dan cuci lagi aquades 5
detik, dilanjutkan alkohol 96% selama 20 detik aliri akuades dengan waktu
yang sama dan terakhir genangi safranin dan bilas kembali. Dilakukan
pemeriksaan di bawah mikroskop 1000x dengan bantuan minyak emersi
untuk menidentifikasi bakteri. Bakteri gram positif akan tampak ungu dan
gelap bulat-bulat, sedangkan bakteri gram negatif akan tampak berwarna
merah karena menyerap pigmen warna safranin. Staphylococcus aureus
sendiri akan berwarna ungu karena merupakan bakteri gram positif.
Langkah selanjutnya akan dilakukan uji biokimia untuk mengidentifikasi
bakteri Staphylococcus aureus dengan menanam koloni yang tumbuh pada
MSA ke dalam media gula-gula (laktosa, maltosa, manitol, glukosa dan
sakarosa). Hasil positif Staphylococcus aureus adalah akan + pada manitol
51
dan glukosa. Uji koagulase akan dilakukan dengan meneteskan plasma
darah (citrat) orang normal pada kaca objek dan dilakukan pencampuran
hingga merata dan amati terjadinya koagulase atau terbentuknya gumpalan.
Hasil Staphylococcus aureus akan menunjukkan koagulase positif pada
pengetesan.
Terakhir memasuki uji sensitivitas dengan menggunakan metode Kirby-
Bauer di mana koloni yang tumbuh pada MSA dimasukkan ke dalam NaCL
0,9% steril. Kemudian kekeruhan disamakan dengan standar Mac Farland
o,5. Suspensi koloni diambil dengan lidi kapas steril, oles merata pada
media Mulle-Hinton diamkan selama 10 menit. Lalu tempelkan antobiotik
yang akan diujikan pada 1 plat agar Muller-Hinton. Inkubasi 24 jam pada
suhu 37oC. Hasil penelitian akan disajikan dalam tabel dan dianalisis secara
deskriptif sesuai standar sensitif-intermediet-resistant antibiotik menurut
ICMR (2009).
52
2.7 Kerangka Teori
Gambar 7. Kerangka Teori
Tidak diteliti Diteliti
Ulkus Diabetik
Neuropati perifer
Penyakit Arterial
Deformitas Kaki
Tekanan
Infeksi Bakteri
Staphylococcus aureus 43,2%
Pseudomonas aeuroginosa 24,3%
Escherichia coli 15,3%
Citrobacter koseri 2,7%
Proteus vulgaris 6,3%
Klebsiella pneumonia 9%
Antidiabetes
Atasi Ulkus
Antibiotik
Tatalaksana Resistant Antibiotik
Community acquired
Healthcare acquired
Transformasi gen
Ab tak rasional
VRSA
MRSA
JUMLAH VRSA
PADA ULKUS
DIABETIK DI
KOTA BANDAR
LAMPUNG
Makrongiopati Mikrongiopati
Gangguan aliran darah ke kaki Neuropati perifer
Luka sulit sembuh
Trauma
Penurunan nutrisi dan O2 Gangguan sensoris
motoris
Trauma
DM
Penurunan Jumlah Insulin dan/Resistant Insuilin
Hiperglikemik Angiopati Diabetik
53
2.8 Kerangka Konsep
Gambar 8. Gambar Alur Kerangka Konsep
2.9 Hipotesis Masalah
H1 :Terdapat strain Vancomycin-Resistant Staphylococcus aureus pada
pasien Ulkus Diabetikum di Kota Bandar Lampung.
(Dapat dihitung prevalensi)
H0 :Tidak terdapat strain Vancomycin-Resistant Staphylococcus aureus
pada pasien Ulkus Diabetikum di Kota Bandar Lampung.
(Tidak dapat dihitung prevalensi/ O)
Variabel Independen:
Ulkus Kaki Diabetes
Melitus
Variabel Dependen:
Jumlah Vancomycin-
resistant Staphylococcus
aureus VRSA
54
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif laboratorik dengan pendekatan
cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
Staphylococcus aureus pada penderita ulkus diabetes melitus yang resisten
terhadap antibiotik Vankomisin di Instalasi Bedah dan Penyakit Dalam
RSUD Abdul Moeloek ruang Kenanga, Mawar dan Murai, Poli Spesialis
Luka Diabetes Rumat Apotek Prima Bandar Lampung dan Luka Diabetes
Center (LDC) Apotek Kita Bandar Lampung yang akan diidentifikasi di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan November sampai Desember di
Instalasi Bedah dan Penyakit Dalam RSUD Abdul Moeloek ruang Kenanga,
Mawar dan Murai, Poli Spesialis Luka Diabetes Rumat Apotek Prima Bandar
Lampung, Luka Diabetes Center (LDC) Apotek Kita Bandar Lampung dan
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus yang
telah mengalami komplikasi ulkus diabetes melitus.
55
3.3.2 Kriteria inklusi
1. Pasien ulkus diabetes melitus derajat 1-5 berdasarkan klasifikasi
Wagner, baik rawat inap maupun rawat jalan yang namun masih
melakukan pengobatan rutin di Instalasi Terkait Kota Bandar
Lampung.
2. Pasien ulkus diabetes melitus yang akan atau sedang mengonsumsi
antibiotik.
3.3.3 Kriteria ekslusi
1. Pasien DM yang mempunyai komplikasi tetapi bukan ulkus diabetes
melitus.
2. Pasien ulkus tanpa riwayat diabetes melitus.
3. Pasien ulkus diabetes melitus tetapi dalam keadaan koma diabetikum
3.4 Besar Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmojo, 2005). Besar sampel
untuk penelitian ini menggunakan perhitungan deskriptif kategorik dan
didapatkan jumlah sampel dengan rumus Lameshow (Dahlan, 2013):
N = Za2 x P x Q
d2
Di mana:
n=jumlah sampel ; Za= tingkat kemaknaan (1,64); P=dari penelitian
sebelumnya dengan proporsi (16%) (Meta dkk,2009); d= derajat kesalahan
yang masih dapat diterima (0,1); Q= 1-P
56
n = Za2 x P x Q
d2
n = 1,642 x 0,16 x 0,84
0,152
n = 2,6896 x 0,16 x 0,84
0,0225
n = 16,06
Besar sampel minimal yang digunakan adalah 16 orang
3.5 Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Consecutive
sampling, yaitu semua jenis pasien yang memiliki kriteria inklusi akan dipilih
menjadi sampel sampai jumlah sampel minimum yang diperlukan terpenuhi
(Dahlan, 2013).
57
3.6 Definisi Oprasional Variabel Penelitian
Tabel 5. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel Definisi Cara ukur Hasil ukur Skala ukur
Ulkus
diabetikum.
Merupakan
suatu infeksi,
ulserasi, dan atau
destruksi pada
jaringan ikat dalam
yang berhubungan
dengan neuropati
dan penyakit
vaskular perifer
pada tungkai bawah
yang disebabkan
oleh penyakit DM
tidak terkendali.
Menghitung
jumlah
penderita
ulkus yang
terdata
berdasarkan
Rekam
medik pasien
Pencatatan
jumlah sampel
sesuai kriteria
inklusi
Kategorik
VRSA Strain
Staphylococcus
aureus yang resisten
terhadap antibiotik
vancomycin.
Pengetesan dalam
penelitian ini
digunakan disk
antibiotik
Vancomycin
Dengan
mengukur
diameter
zona hambat
disekitar
cakram
antibiotik
dengan
Penggaris
1. Sensitif
(≥12)
2. Intermediet
(10-11)
3. Resisten
(≤9)
Kategorik
3.6.1 Analisi Data Univariat
Data yang diperoleh pada penelitiain ini akan diolah dengan
menghitung jumlah persentase dari kolonisasi VRSA seluruh sampel
dan disajikan dalam bentuk tabel dan pie chart.
3.7 Alat dan Bahan Penelitian
Bahan Penelitian:
a. Pus ulkus kaki pasien diabetes melitus
b. Media Broth Agar Nutrient Agar sebagai media isolasi
c. Kristal violet 1%, Akuades, Iodin, Safranin, Alkohol 96% sebagai bahan
pewarnaan gram
58
d. H2O2 3% untuk uji Katalase
e. Media agar; Nutrient agar (NA), Agar darah domba, Manitol Salt Agar
(MSA), Muller Hinton Agar (MHA)
f. Bakteri Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
g. Cakram Sefoksitin 30 µg
h. Cakram Vancomycin 30 µg
Alat Penelitian:
i. Mikroskop, autoclave, inkubator
j. Lidi kapas steril, tabung kontainer
k. Api bunsen, korek, ose bulat, pipet tetes
l. Set pewarnaan gram, disk kosong
m. APD; masker, jas lab dan handscoon
n. objek glass dan cover glass
3.8 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi
dan observasi. Dokumentasi yang akan digunakan adalah Rekam Medis
sebagai alat bantu pengumpulan sampel, setelah itu dilanjutkan dengan
observasi atau pengamatan secara langsung di laboratorium mulai dari tahap
persiapan hingga didapatkan hasil akhir.
59
3.9 Alur Penelitian
Gambar 9. Alur Penelitian
Pengukuran diameter zona
hambat antibakteri pada kultur
MHA
Membandingkan hasil ukur
dengan skala diameter zona
hambat antibakteri menurut
CLSI 2014
Terdapat perubahan warna (merah-
kuning) yang artinya terjadi
fermentasi manitol (spesifik
Staphylococcus aureus)
Spesimen digoreskan kembali pada
media Muller Hinton Agar (MHA)
setelah kekeruhan sama dengan Mc
Farland 0,5
Meletakkan cakram Vancomycin, Sefoksitin, Amoxicilin, dan Sefotaksim pada
media MHA yang sudah digores dengan bakteri dari koloni MSA
Pembuatan proposal penelitian
yang telah disahkan
Telah lulus Ethical clearance dan
terbit izin melakukan penelitian
Pengambilan sampel dengan lidi kapas steril yang telah dicelupkan ke dalam cairan
nutrient broth dengan teknik memutar dan diamankan dengan cool box
Sampel di bawa menuju
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung
dengan menggunakann cool box
bersuhu 4-8oC
Sampel digores pada media agar
darah, inkubasi 24 jam pada suhu
37oC
Pewarnaan gram (bakteri coccus gram positif) dan uji katalase (positif)
Sampel digoreskan pada Manitol Salt
Agar (MSA), lalu inkubasi 24 jam
pada suhu 37oC
Tidak terdapat perubahan warna
(tidak terjadi fermentasi manitol)
Koloni tumbuh
Inkubasi 24 jam 37oC
60
3.10 Prosedur penelitian
3.10.1 Sterilisasi alat
Sterilisasi ini dilakukan untuk membersihkan alat atau media dari
jasad renik. Alat yang digunakan dalam penelitian dibersihkan dan
diekeringkan terlebih dahulu kemudian dibungkus dengan kertas
perkamen, sedangkan alat-alat seperti gelas (tabung reaksi) ditutup
dengan kapas lalu dibalut dengan kassa dankemudian ditutup dengan
kertas perkamen, setelah itu disterilisasi di oven pada suhu 160o
selama kurang lebih 1 jam (Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung, 2016).
3.10.2 Prosedur Pembiakan
Spesimen akan diambil dari swab ulkus kaki diabetes melitus di
instalasi penyakit dalam RSUD Abdul Moeloek. Kemudian
spesimen akan dibiakkan pada media Agar Darah Domba. Setelah
bakteri tumbuh, maka akan dilanjutkan pewarnaan gram untuk
menentukan jenis bakteri (Permatasari dkk, 2013).
3.10.3 Pembuatan Media
3.10.3.1 Pembuatan Manitol Salt Agar (MSA)
Bahan yang digunakan pada pembuatan MSA antara lain 10
gr pepton, 10 gr manitol, 15 gr agar, 75 gr sodium klorida,
0,25 Phenol red. Prosedur untuk membuat agar ini antara
lain:
61
a. Bahan dilarutkan dalam 500 ml aquades, lalu
dipanaskan sampai bahan-bahan terlarut sempurna
b. Media disterilisasi dalam autoclave bertekanan 1 atm
dalam suhu 121o C selama kurang lebih 15 menit
c. Media didinginkan sampai teraba hangat, kemudian
dituangkan dalam cawan petri steril
d. Media dibiarkan menjadi padat (membeku)
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2016)
3.10.3.2 Muller Hinton Agar (MHA)
MHA ditimbang seberat 19 gram, kemudian dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan aquades
500 ml dan dipanaskan hingga mendidih. Setelah mendidih,
ditutup dengan kapas lalu dilapisi dengan aluminium foil
dan disterilkan dalam autoklaf dengan tekanan 2 atm pada
suhu 121oC selama 15 menit (Zahro dan Agustini, 2013)
3.10.3.3 Agar Darah Domba
Bubuk media Blood Agar Base ditimbang sebanyak
40 gram kemudian dimasukkan ke dalam botol kaca,
larutkan dengan 1000 ml aquades pH ± 7 (netral) kemudian
dihomogenkan menggunakan stirrer magnetic. Botol kaca
yang berisi media ditutup dengan tutup botol yang dilapisi
aluminum foil dan diikat dengan benang. Media disterilisasi
dengan autoclave pada suhu 1210C selama 15 menit. Media
yang telah steril didinginkan hingga mencapai suhu 45-
62
500C. Ditambahkan 5-7% darah kambing. Media dituang
ke dalam plate dan ditunggu hingga padat. Setelah beku
media siap digunakan
3.10.4 Pengambilan Spesiemen Swab Pada Ulkus
Pengambilan sampel akan dilakukan dengan cara membuat apusan.
Pasien diberi penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan,
kemudian dilakukan pengambilan swab ulkus pasien dengan
menggunakan swab steril :
1. Lakukan informed consent pada pasien .
2. Jika pasien bersedia; lakukan anamnesis singkat berupa identitas
pasien dan riwayat perjalanan penyakit.
3. Pasien dalam posisi duduk atau berbaring.
4. Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan yaitu, sarung
tangan steril swab steril dan cawan pertri berisi agar.
5. Cuci tangan WHO.
6. Lakukan swab pada ulkus diabetes melitus dengan cara memutar
seluruh bagian swab steril yang sudah dicelupkan nutrient broth.
7. Lalu swab steril akan dimasukan ke dalam tabung steril.
8. Tabung yang berisi swab dari ulkus diabetes melitus pasien akan
diberi label dan akan dimasukkan ke dalam kotak dan segera
dibawa ke laboratorium mikrobiologi (T devinov,2014).
63
3.10.5 Isolasi bakteri
Hasil swab yang telah diambil akan diinkubasi pada nutrient agar
sehingga bakteri akan bertumbuh. Setelah itu, akan dilakukan
penanaman koloni denga mengunakan ose bulat pada media agar
darah untuk pembiakan Gram positif (Rochmanah, 2015).
3.10.6 Identifikasi Bakteri
Bakteri akan diidentifikasi dengan cara pewarnaan Gram dan tes
biokimiawi. Bakteri Gram positif akan dilakuan dengan
menggunakan, uji katalase.
- Pewarnaan gram adalah pewarnaan yang digunakan untuk
melakuka identifikasi kultur bakteri yang belum diketahui, dari
pewarnaan gram bisa kita dapatkan reaksi gram yang terjadi,
ukuran sel, bentuk sel, dan susunan bakteri. Langkah dari
pewarnaan gram :
1. Kenakan sarung tangan.
2. Beri label pada gelas objek.
3. Bersihkan kaca objek dengan alkohol 70%.
4. Panaskan ose pada bunsen, lalu tunggu dingin.
5. Isolat bakteri yang diambil dengan ose secara aseptis dioles
tipis pada gelas objek.
6. Fiksasi spesimen dengan cara lewatkan gelas objek pada
bunsen sebanyak tiga kali.
64
7. Teteskan kristal violet pada gelas objek sampai menutupi
seluruh permukaan dan diamkan satu menit. Kemudaian cudi
dengan aquadest selama lima detik.
8. Setalah itu teteskan larutan iodin selama satu menit lalu dicuci
dengan air mengalir selama lima detik.
9. Lalu akan dilakukan dekolorisasi dengan meneteskan alkohol
95% samapai objek gelas tidak terlihat warnanya
lagi.
10. Bilas preparat dengan air untuk menghentikan dekolorisasi.
11. Teteskan objek gelas dengan safranin, diamkan selama satu
menit, lalu bilas dengan air selama lima detik.
12. Setelah itu lakukan pengamatan pada mikroskop dengan
perbesaran 100x untuk melihat bakteri.
13. Apabila bakteri yang terlihat berwarna ungu maka hasilnya
Gram positif dan jika bakteri yang terlihat berwana merah
maka hasilnya Gram negatif (Buku Panduan Clinical Skill
Laboratory 2, 2015).
- Uji biokomia :
1. Uji katalase
Sebagian bakteri dapat memproduksi enzim katalase yang
berguna untuk pertahanan dari zat hidrogen peroksida.
Enzim katalase berfungsi sebagai penetralisir efek
bakterisidal dari hidrogen peroksida sehingga enzim ini
berperan dalam patogenisitas. Uji katalase ini dilakukan
65
untuk melihat perbedaan bakteri Gram negatif dan Gram
positif. Tes katalase dilakukan dengan meneteskan cairan
hidrogen peroksida (H2O2) pada kaca objek yang bersih.
Kemudian koloni diambil sebanyak satu ose dan dioleskan
pada kaca objek yang sudah terdapat H2O2. Hasil positif
apabila terdapat gelembung udara yang menandakan
Staphylococcus sp. dan hasil negatif apabila tidak terlihat
gelembung udarapada objek gelas (Reiner, 2016).
2. Uji Mannitol Salt Agar (MSA)
Uji MSA dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri
Staphylococcus sp yang patogen. Kultur bakteri dari media
agar darah ditanam pada media MSA kemudian diinkubasi
pada inkubator dengan suhu 35˚C selama 18-72 jam.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang
memfermentasi mannitol dan akan membentuk koloni
berwarna kuning dengan zona kuning pada media.
Sedangkan bakteri yang tidak memfermentasi manitol
seperti S. epidermidis membentuk koloni berwarna merah
muda hingga merah tanpa adanya perubahan warna kuning
pada medium (Shittu dkk, 2006).
3.10.7 Uji Kepekaan Antibiotik
Uji kepekaan antibiotik dilakukan dengan cara uji difusi Kirby-Bauer
dengan menggunakan media Muller Hinton. Beberapa langkah uji
Kirby-Bauer :
66
1. Siapkan agar Muller Hinton kondisikan pada suhu ruangan dengan
permukaan agar kering.
2. Siapkan inoculum 0,5 Mc Farland (dibuat baru dari 4-6 koloni
dengan 2mL NaCL fisiologis, yang digunakan tidak lebih dari 15
menit dan homogenkan).
3. Penanaman pada agar Muller Hinton dengan mencelupkan swab
steril ke dalam inokulum bakteri, lalu angkat swab kemudian
goreskan swab pada agar.
4. Taruhlah cakram antibiotik pada permukaan agar.
5. Agar yang sudah ditempelkan dengan cakram antibiotik akan
diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 37oC selama 24 jam
6. Setelah bakteri uji sudah tumbuh merata, dan terlihat adanya zona
jernih di permukaan agar, lalu zona jernih dapat dihitung
diameternya (Juwita dkk, 2015).
3.10.7 Parameter Penelitian
Pada penelitian ini parameter utama yang diamati meliputi jumlah
bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik
vancomycin.
3.11 Etika penelitian
Penelitian ini sudah disetujui oleh komisi etik penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor seri ethical clearancee
3137/UN26.18/PP.05.02.00/201.
85
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Didapatkan 6 dari 19 responden sudah menderita VRSA (Vankomycin-
resistant Staphylococcus aureus).
2. Pola kepekaan Staphylococcus aureus terhadap antibiotik uji pada 12
pasien adalah 12 sampel resisten Amoksisilin; 7 sampel resisten, 4
sampel Intermediet dan 1 sampel sensitif Sefotaksim; 7 sampel resisten
dan 5 sampel sensitif Sefoksitin; 6 sampel resisten, 1 sampel
intermediet dan 4 sampel sensitif Vankomisin.
5.2 Saran
Bagi peneliti lain, perlu dilakukan eksperimen lebih lanjut untuk
mengembangkan antibiotik alternatif yang lebih sensitif untuk
mengendalikan MRSA dan bahkan VRSA .
86
DAFTAR PUSTAKA
Afifurrahman, Samadin KH, Aziz S. 2014. Pola Kepekaan Bakteri
Staphylococcus aureus Terhadap Antibiotik Vancomycin di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin [Skripsi]. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Ahmed J. 2012. Impact Of A Structured Template And Staff Training On
Compliance And Quality Of Clinical Handover. International Journal of
Surgery (London, England). 10(9)pp.571–4. Tersedia dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22983018 [Diunduh 1 September,
2019].
Anaizi, Nasr. 2002. Vancomycin. University of Rochester Medical Center: New
York.
Anjarwati DU, Dharmawan AB. 2010. Identifikasi Vancomisin-resistant
Staphylococcus aureus pada Membran Stetoskop di Rumah Sakit Margono
Soekarjo Purwokerto, Mandala of Health.Vol 4.No.2
Aprilyasari RW. 2015. Hubungan Lama Menderita DM Dengan Perawatan
Mandiri Untuk Mencegah Ulkus Diabetikum. Jurnal Keperawatan dan
Kesehatan Masyarakat STIKES Cendikia Utama Kudus. 2(3):29-35.
Arias KM. 2010. Investigasi dan Pengendalian di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Jakarta: EGC.
Aulia NF. 2008. Pola Kuman Aerob Dan Sensitivitas Pada Gangren Diabetik
[Tesis]. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Benjamin AL, Anthony B. 2012. Infectious Disease Society of America Clinical
Practice Guideline for the Diagnosis and Treatment of Diabetic Foot
Infections. IDSA Guideline: Clinical Infectious Disease.
Biantoro, I. 2008. Metichillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). [Tesis].
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 7-26 pp.
Broekema NM, Van TT, Monson TA, Marshall SA, Warshauer DM. 2009
Comparison of Sefoksitin And Oxacillin Disk Diffusion Methods For
Detection Of Meca-Mediated Resistance In Staphylococcus aureus In A
Large-Scale Study. J Clin. Microbioal. 47(1):217-9.
87
Brooks GF, Carrol KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. 2014. Mikrobiologi
Kedokteran Jawetz, Melnick dan Adelberg. Edisi 25. Jakarta: EGC.
Bunga, M. 2008. Prevalensi dan Intensitas Serangan Parasit Diplectanum sp.
Pada Insang Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus, Forsskal) di
Keramba Jaring Apung. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin 18 (3) : 204-10
Bustan. 2015. Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta :
Rineka Cipta.
Chadwick P, Edmond M. 2013. Best Practice Guideline: Wound Managemen in
Diabetic Ulcer. Wound International.
Tersedia dari www.woundinternational.com [Diunduh 20 September 2019].
Chen HY, Huang BS, Lin YH, Su IH, Yang SH, Chen JL, Huang JW,Chen YC.
2014.Identifying Chinese herbal Medicine For Premenstrual Syndrome:
Implications From a Nationwide Database.Taiwanese Journal of Obstetrics
and Gynecology.
Tersedia dari http://www.biomedcentral.com/1472-6882/14/206.
[Diunduh: 25 September 2019]
Chudlori B, Kuswandi M, Indrayudha P. 2012. Pola Kuman dan Resistantnya
Terhadap Antibiotika dari Spesimen Pus di RSUD Dr. Moewardi Tahun
2012. Pharmacon.131(2): 70-6.
Clinical and Laboratory Standards Institute. 2014. Performance Standards For
Antimicrobial Susceptibility Testing; Twenty-Fourth Informational
Supplement. Wayne: Clinical and Laboratory Standards Institute.
Dahlan MS. 2013. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba Medika
Devinov TA, Endarin R, Sembiring LP. 2014. Identifikasi dan Uji Resistant
Bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dari Ulkus
Diabetikum Derajat 1 dan II Wagner Di Bagian Penyakit Dalam Rsud Arifin
Achmad. [Skripsi]. Riau: Universitas Riau.
Eclesia Y, Erly, Elmatris. 2017. Pola Resistant Bakteri Aerob pada Ulkus
Diabetik Terhadap Beberapa Antibiotika di Laboratorium Mikrobiologi
RSUP Dr. M. Djamil Tahun 2011-2013. Jurnal Kesehatan Andalas 6(1):1-7.
Fatimah RN. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority. 4(1): 93-101.
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, Hauser SL, dkk. 2012. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18th
Edition. New York: McGraw Hill.
Frieri M, Kumar K, Boutin A. 2017. Antibiotic Resistance. Jurnal of Infection
and Public Health, 10(4), 369–78.
88
Franklin D, Lowy. 2013. Antimicrobial Resistance: The Example of
Staphylococcus aureus. J Clin Invest 111(9):1265-73.
Gould, Christine. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. Jakarta: EGC, pp.
89-90.
Graves. 2011. Distribution of Ten Antibiotic Resistance Genes in Eschericia coli
Isolates from Swine Manure, Lagoon Effluent and Solicollected from a
Lagoon Waste Application field, Folia Microbiol 56:131-7.
Gunawan SG. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-IV. Jakarta: Interna Publishing FKUI; 2006. hal. 1879-81
Hanif, Shiddiq M. 2009. Pola Resistant Bakteri dari Kultur Darah Terhadap
Golongan Penisilin di Laboratorium Mikrobiologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Tahun 2001-2006 [Skripsi]. Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Hastuti RT. 2008. Faktor-Faktor Risiko Ulkus Diabetika pada Penderita Diabetes
Mellitus (Studi Kasus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta). [Tesis].
Semarang: Universitas Diponegoro.
Hiramatsu, Keichi, 2001. Vancomycin-Resistant Staphylococcus aureus: A New
Model of Antibiotic Resistance. The Lancert Disease, 1(10) 147-55.
Hoelzer K, Cummings KJ, Warnick LD, Schukken YH, Siler JD, Gröhn Y, dkk.
2011. Agar Disk Diffusion and Automated Microbroth Dilution Produce
Similar Antimicrobial Susceptibility Testing Results for Salmonella typhii
Serotypes Newport, Typhimurium, and 4,5,12:i, but differ in economic cost.
Foodborne Pathogens and Disease. 8(12):1281–8.
Hong Bin Kin, dkk. 2003. Nationwide Surveillance for Staphylococcus aureus
with Reduced Susceptibility to Vancomycin in Korea, J. Clin. Microbiol.
June 2003 vol. 41 no. 6 2279-81.
Hudzicki J. 2009. Kirby-Bauer Disk Diffusion Susceptibility Test Protocol.
American Society for Microbiology. New York: American Society for
Microbiology. Tersedia dari
http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:KirbyBau
er+Disk+Diffusion+Susceptibility+Test+Protocol#0 [Diunduh 4 September
2019]
International Diabetes Federation (IDF). 2011. IDF Diabetes Atlas. 5th
Edition.
International Diabetes Federation.
89
Indian Council of Medical Research. 2009. Detection of Antimicrobial
Resistance in Common Gram Negative and Gram Positive Bacteria
Encountered in Infections Diseases-An Update. ICMR Bulletin Vol. 39, No.
1-3, January-March, 2009, ISSN 0377-4910. Indian Council of Medicine
Research, Ansari Nagar, New Delhi-110 029. Hal: 6-7
Iraj B, Korvask F, Ebneshaidi A, Askari G. 2013. Prevention of Diabetic Foot
Ulcer. International Journal of Preventive Medicine. 3(4):373-6.
Jawetz. 2008. Medical Microbiology. 24th ed. North America: Lange Medical
book.
Juwita S, Haryoto E, Budiarti LY. 2012. Pola Sensitivitas Invitro Salmonella
typhi Terhadap Antibiotik Kloramfenikol, Amoksisilin dan Kotrimoxazol.
Berkala Kedokteran. 9(1): 25–34.
Kahuripan, Andrajati, Syafridani. 2009. Analisis Pemberian Antibiotik
Berdasarkan Hasil Uji Sensitivitas Terhadap Pencapaian Clinical Outcome
Pasien Infeksi Ulkus Diabetik Di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Lampung.
Pharmaceutical Sciences and Research 6(2):75-87.
Kateete, Kimani, Katabazi, Okeng, Okee, Nanteza. 2010. Identification of
Staphylococcus aureus: Dnase And Mannitol Salt Agar Improve The
Efficiency Of The Tube Coagulase Test. Annals of Clinical Microbiology
and Antimicrobials.9:23.
Katzung BG. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10. Jakarta: Salemba
Medika.
Kambuaya. 2013. Gambaran Penderita Ulkus Kaki Diabetik di Ruang Rawat
Inap Penyakit Dalam RSUD Dok II Jayapura Periode 1 Januari – 31
Desember 2012 [Skripsi]. Papua: Fakultas Kedokteran Universitas
Cendrawasih.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2012. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI
Kenneth, Todar., 2008. Staphylococcus aureus and Staphylococcal disease.
Tersedia dari http://textbookofbacteriology.net/staph.html [diunduh pada 4
September 2019]
Kohanski MA, Dwyer DJ, Collins JJ. 2010. How Antibiotics Kill Bacteria:From
Targets to Networks. Boston: Boston University.
90
Kuntaman K, Hadi U, Setiawan F, Koendori EB, Rusli M, Santosoningsih D,
dkk. 2016. Prevalence of Methicillin Resistant Staphylococcus aureus from
Nose and Throat of Patients on Admission to medical Wards of Dr.
Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public
Health, 47 (1), 66-70.
Kurniawan LB, Esa T, Sennang N. 2011. Pola Kuman Aerob dan Kepekaan
Antimikroba pada Ulkus Kaki Diabetik. Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory. 18 (1), 1–3.
Larasati TA. 2013. Aktivitas Fisik, Diet Serat, dan Kadar HbA1c Pasien Diabetes
Mellitus Tipe 2 di RSUD Abdul Moeloek Propinsi Lampung. Juke Unila.
3(1): 1-5
Loviana RR, Rudy A, Zulkarnain E. 2015. Artikel Penelitian Faktor Risiko
Terjadinya Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat
Jalan dan Inap di RSUP Dr . M Jamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas,
4(1), 243–8.
Maartens MMJ, Swart CW, Pohl CH, Kock LJF. 2011. Antimicrobials,
Chemotherapeutics Or Antibiotics. Scientific Research and Essays.6(19):
3927–29.
Mahmudah, Soleha, Ekowati. 2013. Identifikasi Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) Pada Tenaga Medis Dan Paramedis di
Ruang Intensivecare Unit (ICU) dan Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Moeloek. J Majority. 2(4):70-8.
McGuinness, Malachowa, Deleo. 2017. Vancomycin-Resistance In
Staphylococcus aureus. Yale Journal Of Biology And Medicine 90: 269-81.
Meta T, Endriani R, Pribadi L. 2017. Identifikasi Dan Resistant Bakteri
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Dari Ulkus
Diabetikum derajat I Dan II Wagner Di Bagian Penyakit Dalam Rsud Arifin
Achmad. Journal Unri 1(2):1-10.
Misnadiarly. 2006. Diabetes Melitus Gangren, Ulcer, Infeksi, Mengenali gejala,
Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Muttaqein Ez, Soleha Tu. 2013. Pattern Sensitivity Of Staphylococcus aureus To
Antibiotic Penicilin Period Of Year 2008-2013 In Bandar Lampung. Juke
Unila. 2(1):47-55.
Nickerson. 2009. Staphylococcus aureus Disease and Drug Resistance in
Resource-Limited Countries in South and East Asia. Lancet infect Dis
9(130):5-10.
91
Neu HC, Gootz TD. 2001. Antimicrobial Chemotherapy. Galvestone: The
University of Texax Medical Branch.
Nur A, Marissa N. 2016. Gambaran Bakteri Ulkus Diabetikum di Rumah Sakit
Zainal Abidin dan Meuraxa Tahun 2015. Buletin Penelitian Kesehatan.
44(3): 187–96.
Okti SP. 2013. Analisis Faktor-faktor Risiko Terjadi Ulkus Kaki pada Pasien
Ulkus Diabetes Melitus D i RSUD Dr. Moerwadi [Tesis]. Depok: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Paju N, Yamlean PVY, Kojong N. 2013. Uji Efektivitas Salep Ekstrak Daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis pada Kelinci (Oryctolagus
cuniculus) yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. PHARMACON
Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT, 2(1), 2302–493.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus
Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Jakarta: PERKENI.
Permatasari GAA, Besung IN, Mahatmi H. 2013. Daya Hambat Perasan Daun
Sirsak Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. Indonesia Medicus
Veterinus Universitas Udayana 2(2):162–9.
Radji M. 2011. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Raihana N. 2011. Profil Kultur dan Uji Sensitivitaas Bakteri Aerob dari Infeksi
Luka Operasi Laparatomi di Program Bangsal Bedah RSUP dr. M. Djamil
Padang [Tesis]. Padang: Universitas Andalas.
Refdanita, Maksum R, Nurgani A, Endang P. 2004. Faktor yang Memengaruhi
Ketidaksesuaian Penggunaan Antibiotika dengan Uji Kepekaan di Ruang
Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001 – 2002. Makara
Kesehatan 8(1):21-6.
Reiner K. 2016. Catalase Test Protocol. Sudbury: Bartlett Publishers.
Richard JL, Sotto A, Lavigne JP. 2011. New Insights In Diabetic Foot Infection.
World Journal of Diabetes 2(1):24-32.
Rifda K. 2018. Identifikasi dan Uji Resistensi Staphylococcus aureus Pada
Pasien Ulkus Diabetes Melitus di Rumah Sakit Abdul Moeloek [Skripsi].
Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Rizky LR, Rudy A, Zulkarnain E. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Ulkus
Diabetikum pada Pasien yang Dirawat Jalan danInap di RSUD M. Djamil
92
dan RS Ibnu Sina Padang. Jurnal Kesehatan Andalas; 4(1) Diakses dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id pada 17 Desember 2019.
Rochmanah S, Dewi PV. 2018. Daya Hambat Ekstrak Etanol 70 % Daun
Ashitaba (Angelica keiske) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus yang
Diisolasi Dari Luka Diabetes. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada, 14
(01).
Ronald I. 2013. Pola Kepekaan dan Resistant Mikroorganisme Aerob
Penggunaan Antibiotika dan Manfaat Kultur Pada Infeksi Kulit dan Jaringan
Lunak Komplikata di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo. [Tesis]. Jakarta: FK UI
Royal College of Nursing. 2005. Productivity and The Nursing Workforce. RCN
Institusi and Policy Unit. London. Tersedia dari
https://www.rcn.org.uk/data/assets/pdf [diunduh 25 September 2019]
Runge MS, Greganti MA. 2009. Netter’s Internal Medicine. 2nd
Edition.
Philadelphia USA: Saunders Elsevier.
Salmenlina. 2002. Molecular Epidemiology of Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus in Finland. [Disertasi]. Universitas Helsinki.
Helsinki. 21-30.
Saputra O, Iyos RN. 2016. Buku panduan Clinical Skill Laboratory 2 Semester 2
T A 2015/2016 edisi ke 5. Bandar Lampung: Lab CSL/Medical Education
Unit Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Setiabudy. 2013. Antimikroba Lain. Dalam: Sulistia Gan Gunawan (eds).
Farmakologi Dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.
Shittu A, Lin J, Morrison D, Kolawole D. 2006. Identification and Molecular
Characterization Of Mannitol Salt Positive, Coagulase-Negative
Staphylococci From Nasal Samples Of Medical Personnel And Students.J
Med Microbiol, 55(3), 317–24.
Soleha TU. 2015. Uji Kepekaan terhadap Antibiotik: Juke Unila. 5(9): 119-23.
Sotto A, Lina G, Richard JL, Combescure C, Bourg G. 2008. Virulence Potential
of Stahylococcus aureus Strains Isolated From Diabetic Foot Ulcers.
Diabetic Care. 31(2): 2318-24.
Sotto A, Richard JL, Messad N, Molinari N, Jourdan N. 2012. Distinguishing
Colonozation From Infection With Staphylococcus aureus in Diabetic Foot
Ulcers With Miniaturized Oligonucleotid Arrays. Diabetic Care. 35: 617-23.
93
Subekti I. 2014. Neuropati Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi VI. Jakarta: Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Sulistyaningsih. 2012. Metodologi Penelitian Kebidanan Kuantitatif-Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Sultana Y. 2007. Pharmaceutical Microbiology and Biotechnology :Sterilization
Methods and Principles. New Delhi: Faculty of Pharmacy Jamia Hamdard.
Suyono S. 2014. Diabetes Melitus di Indonesia Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi VI. Jakarta: EGC.
Syukur M, Yunianti R. 2009. Teknik Pemuliaan Tanaman, Bagian Genetika dan
Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura. Bogor: IPB.
Tiwari, Sen. 2006. Emergence Of Vancomycin Resistant Staphylococcus aureus
(VRSA) From A Tertiary Care Hospital From Northern Part Of India, BMC
Infectious Diseases 2006, 6:156 doi:10.1186/1471-2334-6-156
Tokajian S. 2014. New Epidemiology of Staphylococcus aureus Infections In
The Middle East. Clinical Microbiology And Infection (CMI). 20(7): 624-8.
Utami ER. 2011. Antibiotika, Resistant dan Rasionalitas Terapi. Malang:
Fakultas Saintek Universitas Islam Negri Maulana Malik.1(4):191-8
Vysakh P, Jeya M. 2013. A Comparative Analysis Of Community Acquired And
Hospital Acquired Metchicillin-Resistant Staphylococcus aureus.
Microbiologi Section, 7(7): 1339-42.
Waspadji S. 2014. Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi VI. Jakarta: EGC.
WHO. 2016. Global Report On Diabetes. France: World Health Organization
Wiliarni, Wahyudi, Priyanto. 2015. Uji Resistant Staphylococcus aureus dari
Pasien Infeksi Kulit Di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten
Terhadap Oksasilin, Vankomisin, Klindamisin, Dan Levofloksasin. Farmasi
dan Sains uhamka 2(1):1-8.
Yuwono. 2012. Staphylococcus aureus dan Methicilin-Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA). Palembang: Departemen Mikrobiologi FK Unsri. Tersedia
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5482303/ [diunduh
pada 1 oktober 2019]