identifikasi kesulitan membangun conjecture dalam pemecahan masalah matematika
DESCRIPTION
Identifikasi Proses Membangun Conjecture dalam Pemecahan Masalah MatematikaTRANSCRIPT
-
IDENTIFIKASI KESULITAN SISWA DALAMMEMBANGUN CONJECTURE PADA PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA
Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Konvergensi Teknologi danBudaya, Ciptakan Pendidik Profesional dan Berahlak Mulia pada
tanggal 21 Juni 2014 di Universitas Teknologi Yogyakarta
Disusun oleh:
SUTARTOTOTO NUSANTARA
SUBANJISISWORO
PROGRAM STUDI S3 PENDIDIKAN MATEMATIKAPASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MALANG
TAHUN 2014
-
IDENTIFIKASI KESULITAN SISWA DALAMMEMBANGUN CONJECTURE PADA PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA
Sutarto1, Toto Nusantara2, Subanji3, Sisworo41Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UM, email:[email protected]
2, 3, 4Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang (UM)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dalam prosesmembangun conjecture pada pemecahan masalah matematika. Subjek penelitiannyaadalah 28 siswa kelas VIII-B MTs Surya Buana Malang, pengambilan data dilakukanmelalui lembar pemecahan masalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) siswamelakukan proses membangun conjecture melalui induksi empiris dari bilanganberhingga kasus diskrit, 2) siswa mengalami kesulitan dalam mengamati kasus (3,57%),mengorganisir kasus (17,86%), mencari dan memprediksi pola (53,57%), merumuskanconjecture (64,29 %), memvalidasi conjecture (71,43%), generalisasi conjecture(82,86%), dan membenarkan generalisasi (92,86%), 3) Kesulitan siswa yangmengerjakan tahapan proses membangun conjecture banyak terjadi pada tahap mencaridan memprediksi pola dan tahap generalisasi conjecture.
Kata Kunci: Conjecture, dan pemecahan masalah
PENDAHULUAN
Dalam NCTM (2000) dijelaskan bahwa standar proses pembelajaran
matematika meliputi 1) pemecahan masalah, 2) penalaran dan bukti, 3)
komunikasi, 4) koneksi, dan representasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pemecahan masalah merupakan pusat penyelidikan dan penerapan serta harus
terjalin dalam seluruh kurikulum matematika untuk memberikan konteks dalam
belajar dan menerapkan ide-ide matematika. Pemecahan masalah merupakan
bagian yang tak terpisahkan dalam pembelajaran matematika dan merupakan
komponen penting dalam pembelajaran matematika. Penekanan kurikulum saat ini
pada keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah. Pembelajaran matematika
perlu memberikan kesempatan pada siswa dalam kegiatan pemecahan masalah
yang melibatkan proses penalaran dan bukti, komunikasi, koneksi dan
representasi.
Pemecahan masalah berperan penting dalam pembelajaran matematika, hal
ini dijelaskan dalam NCTM (2000) bahwa pemecahan masalah memainkan peran
penting dalam kurikulum karena beberapa alasan: (1) dapat membangun
pengetahuan matematika baru, (2) dapat memecahkan masalah yang timbul dalam
matematika dan dalam konteks lain, (3) dapat menerapkan dan mengadaptasi
berbagai strategi pemecahan masalah, dan (4) memantau dan merefleksikan
-
proses pemecahan masalah matematika. Sedangkan menurut Sutarto (2011)
bahwa pemecahan masalah matematika penting untuk diperhatikan dan diajarkan
karena merupakan salah satu aspek penting dari matematika dan kemampuan
pemecahan masalah matematika bukan sekedar keterampilan untuk diajarkan dan
digunakan dalam matematika tetapi merupakan keterampilan dasar yang akan
digunakan dalam masalah kehidupan sehari-hari siswa.
Pemecahan masalah adalah termasuk situasi dimana seorang individu dalam
menghadapi masalah dia tidak dapat menyelesaikannya dengan prosedur rutin
(Carlson & Bloom, 2005). Selanjutnya menurut Schoenfeld (1983) masalah yang
terduga dan dapat diselesaikan dengan prosedur rutin atau akrab tidak bisa disebut
sebagai masalah melainkan hanya bisa disebut sebagai latihan. Menurut Sriraman
(2003) bahwa situasi masalah mencakup 1) tugas yang konseptual, 2) pada
hakikatnya subjek mampu memahami dengan pembelajaran sebelumnya oleh
organisasi tugas atau orisinalitas, 3) tidak dapat dikerjakan dengan prosedur yang
familiar atau akrab, 4) siswa mengalami kebingungan dalam situasi masalah, tapi
tidak mengalami kebingungan yang sangat atau artinya masih bisa dijangkau
untuk dikerjakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu soal dapat
dikatakan sebagai masalah matematika jika soal tersebut dapat dijangkau untuk
diselesaikan oleh siswa akan tetapi tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin.
Lester & Kehle (2003) menyatakan bahwa pemecahan masalah matematis
adalah sebagai kegiatan yang mencakup keterlibatan siswa dalam berbagai
tindakan kognitif, termasuk mengakses dan menggunakan pengetahuan dan
pengalaman sebelumnya. Pemecahan masalah merupakan cara ideal yang dapat
memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan tatanan proses
matematis yang lebih tinggi seperti representasi, abstraksi, dan generalisasi
(Sriraman, 2003). Pemecahan masalah merupakan proses yang melibatkan siswa
dalam berbagai tindakan kognitif seperti melakukan abstraksi, representasi,
mengintegrasi dan menggunakan pengetahuan sebelumnya. Selanjutnya yang
pemecahan masalah yang dimaksudkan adalah suatu kegiatan yang melibatkan
siswa dalam menyelesaikan masalah untuk memperoleh solusi dimana solusinya
ini tidak dapat dikerjakan dengan prosedur rutin.
-
Pimta, Tayruakham dan Nuangchalerm (2009) bahwa masalah matematika
adalah alat yang digunakan tidak hanya untuk membantu siswa mengembangkan
kemampuan berpikir mereka tetapi juga membantu mengembangkan keterampilan
dasar menyelesaikan masalah terutama masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Sutarto (2013) masalah bukanlah latihan soal-soal rutin yang
biasa diberikan melainkan soal-soal non rutin yang belum diketahui prosedur
pemecahannya. Dalam mencari pemecahannya diperlukan kemampuan yang
diperoleh siswa setelah memiliki pemahaman konsep dan keterampilan dasar
matematika.
Pemecahan masalah melibatkan proses penalaran, dijelaskan dalam
Dominowski (2002) bahwa penalaran adalah bagian tertentu dari kegiatan
memecahkan masalah. Salah satu standar penalaran dan bukti mulai dari TK
sampai sekolah menengah adalah membuat dan menyelidiki conjecture matematis
(NCTM 2000). Dalam membuat, memperbaiki, dan mengeksplorasi conjecture
menggunakan berbagai penalaran. Hal ini dijelaskan dalam NCTM (2000) bahwa
salah satu visi matematika sekolah adalah guru membantu siswa membuat,
memperbaiki, dan mengeksplorasi conjecture atas dasar bukti dan menggunakan
berbagai penalaran dan teknik bukti untuk memastikan atau menyangkal
conjecture tersebut. Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007)
mengatakan bahwa proses membangun conjecture menggunakan berbagai jenis
penalaran. Sedangkan Reid & Scotia (2002) bahwa conjecture merupakan salah
satu proses dalam penalaran.
Conjecture adalah suatu pernyataan yang dianggap benar tetapi belum
dapat dipastikan kebenaranya. Menurut Stacey, Burton, & Mason (2010)
conjecture adalah pernyataan yang masuk akal, tapi yang kebenarannya belum
dapat dipastikan. Dengan kata lain, belum diyakini kebenarannya namun tidak
memiliki contoh penyangkal. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar
conjecture adalah salah dan diperbaiki setelah mereka mengerjakannya.
Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) menguraikan
lima karakteristik proses conjecture dan identifikasi tahapannya yang terdiri dari
conjecture tipe induksi empiris dari bilangan berhingga kasus diskrit dan kasus
dinamis, analogi, abduction dan conjecture berdasarkan persepsi.
-
a. Tipe 1: Induksi empiris dari bilangan terbatas kasus diskrit.
Conjecture ini dapat dibuat berdasarkan pengamatan dari bilangan
terbatas kasus diskrit, di mana pola yang diamati konsisten. Jenis conjecture
sering ditemukan dalam masalah yang melibatkan angka. Tahapan
kategorisasi untuk menggambarkan conjecture tipe 1 adalah sebagai berikut:
mengamati kasus, mengorganisir kasus, mencari dan memprediksi pola,
merumuskan conjecture, memvalidasi conjecture tersebut, generalisasi
conjecture, membenarkan generalisasi.
b. Tipe 2: Induksi empiris dari kasus dinamis.
Conjecture dapat dibuat dari aturan umum yang menggambarkan sifat
dari rangkaian peristiwa yang terkait secara dinamis. Dasar conjecture ini
adalah bilangan yang takhingga terjadi secara kontinu, bagaimanapun, hanya
sebagian dari bilangan takhingga yang mungkin dicatat sebagai aturan umum
conjecture. Tahapan conjecture tipe 2 adalah sebagai berikut: memanipulasi
situasi dinamis melalui kasus kontinu, mengamati sifat invarian dalam situasi
tesebut, merumuskan conjecture bahwa sifat berlaku dalam kasus lain,
memvalidasi conjecture tersebut, generalisasi conjecture, membenarkan
generalisasi.
c. Tipe 3: Analogi.
Conjecture dapat dibuat dengan analogi sesuatu yang sudah diketahui
faktanya. Aturan umum conjecture atas dasar aturan umum lain yang sudah
diketahui, atau conjecture fakta tertentu atas dasar fakta lain yang diketahui.
Tahapan conjecture tipe 3 adalah sebagai berikut: mengamati dua kasus,
mencari kesamaan antara kasus-kasus, merumuskan conjecture berdasarkan
kesamaan, memvalidasi conjecture tersebut, generalisasi conjecture tersebut,
membenarkan generalisasi
d. Tipe 4: Abduction.
Conjecture dapat dibuat dari aturan umum yang akan menjelaskan suatu
kejadian yang tak bisa dijelaskan. Aturan umum dalam conjecture
berdasarkan atas satu kasus, contoh atau kejadian. Tahapan Conjecture tipe 4
adalah sebagai berikut: mengamati satu kasus, mengamati ciri yang
-
mengejutkan atau signifikan dari kasus, merumuskan conjecture bahwa ciri
yang berlaku untuk kasus lain, memvalidasi conjecture tersebut, generalisasi
conjecture, membenarkan generalisasi
e. Tipe 5: Conjecture berdasarkan persepsi
Conjecture dapat dibuat dari representasi visual masalah atau translasi
persepsi suatu pernyataan. Dasar dari tipe conjecture ini adalah representasi
terhadap masalah baik secara konkrit atau sebagai gambaran mental. Tahapan
conjecture tipe 5 adalah sebagai berikut: menerjemahkan masalah menjadi
representasi persepsi, membangun representasi mental pribadi dari unsur-
unsur matematika yang terlibat, mengamati persepsi representasi ciri khusus,
merumuskan conjecture berdasarkan pada representasi ciri khusus,
menerjemahkan justifying atau formalizing, generalisasi conjecture,
membenarkan generalisasi.
Karakteristik proses membangun conjecture dan identifikasi tahapan conjecture
yang diuraikan tersebut merupakan proses membangun conjecture yang dilakukan
dalam pemecahan masalah.
Conjecture dan pemecahan masalah merupakan dua hal yang saling
berhubungan karena dalam pemecahan masalah siswa terlibat dalam penemuan,
dan penemuan membutuhkan conjecture sebagai salah satu proses. Caadas,
Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007) menyatakan bahwa pemecahan
masalah dan conjecture sebagai kegiatan matematika yang terjalin dalam banyak
cara, lebih lanjut dijelaskan bahwa tidak semua masalah yang diberikan mengarah
pada conjecture, dan masalah yang berbeda menyebabkan berbagai jenis
conjecture. Sedangkan menurut Yeo & Yeap (2010) bahwa proses penemuan
terjadi dalam proses pemecahan masalah, dalam proses penemuan salah satu
tahapannya adalah perumusan dan pengujian conjecture. Dalam NCTM (2000)
dijelaskan bahwa melakukan matematika berarti melibatkan penemuan,
conjecture adalah jalan utama untuk penemuan.
Dalam membuat, dan memferifikasi conjecture dalam menyelesaikan
masalah dapat menggunakan berbagai representasi dan dilakukan dengan
kesadaran. Menurut Lee & Sriraman (2010) bahwa conjecture dapat dihubungkan
dengan konstruksi pengetahuan hanya ketika hal itu dilakukan dengan kesadaran
-
siswa dan keinginan untuk mencapai sesuatu inovasi adalah salah satu kekuatan
pendorong utama konstruksi pengetahuan melalui conjecture dalam pemecahan
masalah. Dalam membuat dan memferifikasi conjecture menggunakan beberapa
representasi (Martha & Alma, 2011).
Berdasarkan survei yang dilakukan PISA dari total 65 Negara dan wilayah
yang terlibat. Dalam bidang matematika Indonesia menduduki ranking ke 64 atau
hanya lebih tinggi satu peringkat dari Peru (PISA, 2012 ). Masalah yang disajikan
dalam PISA adalah masalah yang melibatkan kreativitas dalam melakukan
penalaran, dan menuntut siswa untuk menggunakan konsep-konsep, prosedur,
fakta, dan menginterpretasikan matematika dalam berbagai konteks. Posisi
Indonesia yang berada pada peringkat 64, menunjukkan fakta bahwa siswa
Indonesia kurang kreatif dalam penalaran. Salah satu standar dari penalaran
adalah membuat dan menyelidiki conjecture.
Berdasarkan uraian ini maka sangat penting untuk mengidentifikasi
kesulitan siswa dalam proses membangun conjecture pada pemecahan masalah
matematika, sehingga guru dalam proses pembelajaran dapat mengetahui
kesulitan tersebut dan berusaha untuk mencari solusinya.
Metode yang digunakan dalam mengidentifikasi kesulitan siswa dalam
proses membangun conjecture pada pemecahan masalah matematika, maka siswa
kelas VIII-B MTs Surya Buana Malang diberikan lembar masalah tentang
Tentukan banyaknya diagonal dari segitiga beraturan?. Soal ini termasuk
masalah matematika karena penyelesaian yang benar tidak diketahui oleh siswa
sehingga ini merupakan masalah bagi mereka. Untuk mengidentifikasi kesulitan
siswa dalam proses membangun conjecture pada pemecahan masalah matematika,
lembar jawaban siswa dikumpulkan dan dianalisis.
Lembar jawaban dianalisis dengan cara melihat proses membangun
conjecture tipe apa saja yang dilakukan oleh siswa berdasarkan tipe conjecture
menurut Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov (2007), dan setiap
jawaban siswa dianalisis berdasarkan tahapan dari tipe conjecture yang dilakukan
dalam menyelesaikan masalah. Hasil analisis akan diuraikan dalam pembahasan.
-
PEMBAHASAN
Lembar jawaban siswa dikumpulkan kemudian dianalisis, hasil analisis
jawaban siswa dalam menyelesaikan masalah tentang tentukan banyaknya
diagonal segi beraturan? dapat dilihat pada tabel rekapitulasi hasil
penyelesaian siswa berikut.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil penyelesaian siswa
SUBJEKTAHAPAN PROSES MEMBANGUN CONJECTURE
Tahap1
Tahap2
Tahap3
Tahap4
Tahap5
Tahap6
Tahap7
S 1 X1 X1 - - - - -S 2 X1 X1 - - - - -S 3 X1 X1 X1 X1 X1 - -S 4 X1 X1 - - - - -S 5 X1 X1 X1 X1 X1 X0 -S 6 X1 X1 X1 X1 X1 X1 X1S 7 X1 X1 - - - - -S 8 X1 X1 - - - - -S 9 X1 X1 X1 - - - -S 10 X1 X0 - - - - -S 11 X1 - - - - - -S 12 X1 X1 X1 X1 X1 X0 -S 13 X1 X1 X1 X1 X1 - -S 14 X1 X1 X1 X1 X1 - -S 15 X1 X1 - - - - -S 16 X1 X1 - - - - -S 17 X1 X1 X1 X1 X1 - -S 18 X1 X1 - - - - -S 19 X1 X1 X1 X0 X0 - -S 20 X1 X1 X1 X1 X1 X1 X1S 21 X1 X1 X1 X1 - - -S 22 X1 - - - - - -S 23 X1 X1 X1 - - - -S 24 - - - - - - -S 25 X1 X1 - - - - -S 26 X1 X1 - - - - -S 27 X1 X1 X1 X1 - - -S 28 X1 X0 - - - - -
Jumlah SiswaYang melakukan
dan Benar27 23 13 10 8 2 2
Persentase Siswayang mengalami
kesulitan3.57 % 17.86%
53.57%
64,29%
71.43%
92.86%
92.86%
Keterangan: X1 = Melakukan Ya dan Benar, X0 = Melakukan Ya dan Salah, dan - =tidak mengerjakan. Tahap 1: mengamati kasus, Tahap 2: mengorganisir kasus, Tahap 3:mencari dan memprediksi pola, Tahap 4: merumuskan conjecture, Tahap 5: memvalidasiconjecture, Tahap 6: generalisasi conjecture, dan Tahap 7: membenarkan generalisasi.
-
Berdasarkan tabel
mengamati kasus ada 1 siswa (3,57 %), siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengorganisir kasus
dalam mencari dan memprediksi pola ada 15 siswa (53,57 %),
mengalami kesulitan dalam merumuskan
siswa yang mengalami kesulitan dalam mem
(71,43 %), siswa yang mengalami kesulitan dalam mengeneralisasi
26 siswa (92,86 %), d
generalisasi ada 26 siswa (92,86 %). Dalam
dalam tahapan tertentu siswa sudah
Dalam menyelesaikan masalah tersebut semua siswa
membangun conjecture
kasus diskrit. Karena menurut
Yevdokimov (2007)
dihasilkan berdasarkan pengamatan d
pola yang diamati konsisten.
dengan pola yang konsisten
menentukan jenis proses membangun
dikatakan oleh Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov bahwa
masalah yang berbeda akan
berbagai jenis conjecture
Secara umum
membangun conjecture
empiris dari bilangan berhingga kasus
diskrit akan diuraikan
menentukan banyaknya diagonal dari segi
beraturan.
a. Mengamati kasus
Titik awal mereka dalam
mengamati kasus adalah pengetahuan
tabel 1 jumlah siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengamati kasus ada 1 siswa (3,57 %), siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengorganisir kasus ada 5 siswa (17,86 %), siswa yang mengalami kesulitan
dalam mencari dan memprediksi pola ada 15 siswa (53,57 %),
mengalami kesulitan dalam merumuskan conjecture ada 18 siswa (6
siswa yang mengalami kesulitan dalam memvalidasi conjecture
%), siswa yang mengalami kesulitan dalam mengeneralisasi
26 siswa (92,86 %), dan siswa yang mengalami kesulitan dalam membenarkan
generalisasi ada 26 siswa (92,86 %). Dalam tabel 1 dapat juga
dalam tahapan tertentu siswa sudah mengerjakan tapi salah.
Dalam menyelesaikan masalah tersebut semua siswa melakukan
conjecture melalui tipe induksi empiris dari bilangan
Karena menurut Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, &
Yevdokimov (2007) Induksi empiris dari bilangan berhingga
dihasilkan berdasarkan pengamatan dari bilangan terbatas kasus diskrit, di mana
pola yang diamati konsisten. Masalah yang diberikan tersebut merupakan masalah
dengan pola yang konsisten dan masalah yang diberikan ke siswa akan
proses membangun conjecture yang dilakukan. Lebih lanjut
Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov bahwa
masalah yang berbeda akan menyebabkan
conjecture.
Secara umum setiap tahapan proses
conjecture melalui tipe induksi
empiris dari bilangan berhingga kasus
akan diuraikan dalam konteks tugas
menentukan banyaknya diagonal dari segi
kasus
Titik awal mereka dalam
mengamati kasus adalah pengetahuan Gambar 1. Hasil Pekerjaan S5
1 jumlah siswa yang mengalami kesulitan dalam
mengamati kasus ada 1 siswa (3,57 %), siswa yang mengalami kesulitan dalam
siswa yang mengalami kesulitan
dalam mencari dan memprediksi pola ada 15 siswa (53,57 %), siswa yang
siswa (64,29 %),
conjecture ada 20 siswa
%), siswa yang mengalami kesulitan dalam mengeneralisasi conjecture ada
an siswa yang mengalami kesulitan dalam membenarkan
juga terlihat bahwa
melakukan proses
empiris dari bilangan berhingga
Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, &
berhingga kasus diskrit
ari bilangan terbatas kasus diskrit, di mana
Masalah yang diberikan tersebut merupakan masalah
masalah yang diberikan ke siswa akan
yang dilakukan. Lebih lanjut
Caadas, Deulofeu, Figueiras, Reid, & Yevdokimov bahwa
Gambar 1. Hasil Pekerjaan S5
-
mereka tentang diagonal
masalah tersebut.
adalah diagonal segi tiga
Seperti yang dapat kita lihat pada
mengerjakan tahap ini
1 terlihat bahwa S5 menggambar s
diagonal-diagonalnya, dari gambar 1 dapat dipahami bahwa siswa tersebut
telah melakukan tahapan mengamati
kasus.
b. Mengorganisir kasus
Mengorganisir
dapat membuat lebih mudah untuk
mengamati pola.
yang mengungkapkan kasus
tertentu dalam representasi
aritmatika. Seperti y
pada tabel 1 terdapat 23
melakukan tahap ini
tahap ini tapi salah karena siswa tersebut hanya menggambar segi tiga
diagonalnya 3 dan segi empat dengan diagonal 4.
Dalam mengorganisir kasus tersebut siswa
geometri yaitu menggambar segitiga, segiempat, segilima, segienam bahk
ada yang sampai sampai segi sembilan
pekerjaan S6 menunjukan bahwa siswa tersebu
representasi geometri.
c. Mencari dan memprediksi pola
Dalam mencari dan memprediksi pola siswa menggunakan representasi
gambar akan tetapi belum menemukan pola,
jumlah diagonal
menemukan pola dari kasus tersebut, misalnya
S6 gambar 2, dan S12
menemukan pola dari masalah yang diberikan.
mereka tentang diagonal segi banyak yang akan digunakan dalam memahami
masalah tersebut. Pengetahuan diagonal segi banyak yang dimaksudkan
adalah diagonal segi tiga tidak ada, dan diagonal segi empat ada
Seperti yang dapat kita lihat pada tabel 1 ada 27 siswa
tahap ini. Salah satu contohnya hasil pekerjaan S5 pada gambar
1 terlihat bahwa S5 menggambar segi tiga sampai dengan
diagonalnya, dari gambar 1 dapat dipahami bahwa siswa tersebut
melakukan tahapan mengamati
Mengorganisir kasus
Mengorganisir kasus-kasus tertentu
dapat membuat lebih mudah untuk
mengamati pola. Pada tahap ini siswa
mengungkapkan kasus-kasus
tertentu dalam representasi geometri dan
aritmatika. Seperti yang bisa kita lihat
pada tabel 1 terdapat 23 siswa yang
melakukan tahap ini, 2 siswa melakukan
tahap ini tapi salah karena siswa tersebut hanya menggambar segi tiga
diagonalnya 3 dan segi empat dengan diagonal 4.
lam mengorganisir kasus tersebut siswa menggunakan
geometri yaitu menggambar segitiga, segiempat, segilima, segienam bahk
ada yang sampai sampai segi sembilan dengan diagonal masing
pekerjaan S6 menunjukan bahwa siswa tersebut mengorganisir kasus dengan
representasi geometri.
dan memprediksi pola
Dalam mencari dan memprediksi pola siswa menggunakan representasi
kan tetapi belum menemukan pola, mereka hanya menghitung
dari gambar yang ada. Dari 28 siswa hanya 13 siswa yang
menemukan pola dari kasus tersebut, misalnya hasil pekerjaan
dan S12 gambar 3, menunjukan bahwa siswa tersebut s
pola dari masalah yang diberikan.
Gambar 2. Hasil Pekerjaan S
banyak yang akan digunakan dalam memahami
yang dimaksudkan
ada 2.
27 siswa yang telah
pekerjaan S5 pada gambar
dengan segi 9 dengan
diagonalnya, dari gambar 1 dapat dipahami bahwa siswa tersebut
tahap ini tapi salah karena siswa tersebut hanya menggambar segi tiga dengan
menggunakan representasi
geometri yaitu menggambar segitiga, segiempat, segilima, segienam bahkan
dengan diagonal masing-masing. Hasil
t mengorganisir kasus dengan
Dalam mencari dan memprediksi pola siswa menggunakan representasi
mereka hanya menghitung
dari gambar yang ada. Dari 28 siswa hanya 13 siswa yang
hasil pekerjaan S5 gambar 1,
, menunjukan bahwa siswa tersebut sudah
. Hasil Pekerjaan S6
-
d. Merumuskan conjecture
Sebuah conjecture
yang belum divalidasi. Ini "merumuskan
diungkapkan Reid "
pernyataan tentang semua kemungkinan kasus, berdasarkan kasus tertentu,
tetapi dengan unsur keraguan
Siswa mendasari alasan mereka
pada kasus-kasus tertentu mereka telah
mempertimbangkan dan karena sulit
bagi mereka untuk mendapatkan kasus
kasus tertentu yang baru, mereka
mengacu pada pengetahuan mereka
tentang pola yang terlihat.
Dengan melihat
siswa sudah bisa merumuskan
conjecture , akan tetapi banyak juga
siswa yang belum bisa merumuskan
S5 pada gambar 1 terliha
segi tujuh dan segi
merumuskan conjecture
digambarkan beserta diagonalnya.
yang melakukan tahap ini.
e. Memvalidasi conjec
Ketika siswa merumuskan
tentang kebenaran
untuk yang lain. Pada tahap ini, mereka mencoba untuk memvalidasi
conjecture untuk kasus
setelah merumuskan
memvalidasi conjecture
masih berlaku atau tidak.
melakukan tahap ini.
onjecture
conjecture adalah pernyataan berdasarkan fakta secara empiris,
yang belum divalidasi. Ini "merumuskan conjecture" seperti yang
diungkapkan Reid "conjecture (dengan keraguan)" yang berarti membuat
pernyataan tentang semua kemungkinan kasus, berdasarkan kasus tertentu,
tetapi dengan unsur keraguan
Siswa mendasari alasan mereka
kasus tertentu mereka telah
mempertimbangkan dan karena sulit
bagi mereka untuk mendapatkan kasus-
kasus tertentu yang baru, mereka
mengacu pada pengetahuan mereka
tentang pola yang terlihat.
melihat pola yang ada
siswa sudah bisa merumuskan
, akan tetapi banyak juga
yang belum bisa merumuskan conjecture. Berdasarkan hasil pekerjaan
S5 pada gambar 1 terlihat siswa tersebut menuliskan pasti bedanya 6
segi tujuh dan segi delapan ini menunjukan bahwa siswa tersebut sudah
conjecture dengan keraguan karena segi delapan juga
digambarkan beserta diagonalnya. Berdasarkan tabel 1 hanya ada 10 siswa
yang melakukan tahap ini.
conjecture
siswa merumuskan conjecture dengan keraguan, mereka yakin
tentang kebenaran conjecture mereka untuk kasus-kasus tertentu tetapi tidak
untuk yang lain. Pada tahap ini, mereka mencoba untuk memvalidasi
untuk kasus-kasus tertentu tapi tidak secara umum. Dalam contoh
etelah merumuskan conjecture, siswa menggambar segi banyak lagi untuk
conjecture tersebut dengan tujuan melihat apa conjecture
masih berlaku atau tidak. Berdasarkan tabel 1 hanya ada 8
melakukan tahap ini.
Gambar 3. Hasil Pekerjaan
adalah pernyataan berdasarkan fakta secara empiris,
" seperti yang
(dengan keraguan)" yang berarti membuat
pernyataan tentang semua kemungkinan kasus, berdasarkan kasus tertentu,
Berdasarkan hasil pekerjaan
siswa tersebut menuliskan pasti bedanya 6 antara
ini menunjukan bahwa siswa tersebut sudah
dengan keraguan karena segi delapan juga
Berdasarkan tabel 1 hanya ada 10 siswa
dengan keraguan, mereka yakin
kasus tertentu tetapi tidak
untuk yang lain. Pada tahap ini, mereka mencoba untuk memvalidasi
kasus tertentu tapi tidak secara umum. Dalam contoh
siswa menggambar segi banyak lagi untuk
conjecture mereka
1 hanya ada 8 siswa yang
. Hasil Pekerjaan S12
-
f. Generalisasi conjecture
Berdasarkan tabel 1 hanya empat siswa yang melakukan tahap ini, dua
diantaranya melakukan tahap ini tapi salah. Walaupun mereka sudah
memvalidasi conjecture tersebut dan mengamati secara berulang pola yang
ada mereka mengalami kesulitan membuat hubungan pola yang ada dalam hal
aljabar. Sebagai contoh, hasil pekerjaan S12 pada gambar 3 merasa benar-
benar bingung dalam membuat generalisasi conjecture dalam hasil pekerjaan
S12 tertulis bahwa segi = 2 6" dia berpikir bahwa banyaknya diagonaluntuk segi 3 = 0 benar, diagonal segi 4 = 2 benar, untuk kasus lainnya salah.
g. Membenarkan generalisasi.
Dalam membenarkan generalisasi ini untuk siswa SMP tidak diminta
bukti formal, tujuan kami adalah untuk menganalisis apakah siswa dapat
mengembangkan cara tertentu untuk membenarkan conjecture mereka sendiri.
Contoh hasil pekerjaan S6 pada gambar 2 setelah mendapatkan generalisasi
conjecture dari masalah menentukan banyaknya diagonal segi beraturan,
siswa tersebut mencoba mencari banyaknya diagonal untuk segi empat, segi
lima, segi enam, segi tujuh, segi delapan, dan mencocokkan dengan hasil
perhitungan diagonal dengan melihat gambar.
Kesulitan siswa dalam proses membangun conjecture pada penyelesaian
masalah menentukan banyaknya diagonal segi beraturan dimulai saat siswa
tidak bisa mengorganisir kasus, walaupun siswa sudah mengorganisir kasus tapi
banyak juga siswa yang tidak melanjutkan ke tahap mencari dan memprediksi
pola sampai ke tahap terakhir yaitu tahap membenarkan conjecture.
Berdasarkan tabel 1 terlihat dari jumlah siswa yang melanjutkan dari tahap 1
ke tahap 2 = 4 siswa, tahap 2 ke tahap 3 = 10, tahap 3 ke tahap 4 = 3, tahap 4 ke
tahap 5 = 2, tahap 5 ke tahap 6 = 6, dan tahap 6 ke tahap 7 = 0 . kesulitan siswa
tersebut banyak terjadi pada tahap 2 ke tahap 3 yaitu tahap mencari dan
memprediksi pola, dan tahap 5 ke tahap 6 yaitu tahap generalisasi conjecture.
-
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa dalam
menyelesaikan masalah menentukan banyaknya diagonal dari segi beraturan
siswa melakukan proses membangun conjecture melalui tipe induksi empiris dari
bilangan berhingga kasus diskrit. Siswa mengalami kesulitan dalam mengamati
kasus (3,57%), mengorganisir kasus (17,86%), mencari dan memprediksi pola
(53,57%), merumuskan conjecture (64,29 %), memvalidasi conjecture (71,43%),
generalisasi conjecture (82,86%), dan membenarkan generalisasi (92,86%).
Kesulitan siswa yang melakukan tahapan proses membangun conjecture banyak
terjadi pada tahap mencari dan memprediksi pola dan tahap generalisasi
conjecture.
DAFTAR RUJUKANCaadas, M.C., Deulofeu, J. Figueiras, L., Reid, D., & Yevdokimov, O. 2007: The
Conjecture Process: Perspectives in Theory and Implications in Practice:Journal Of Teaching And Learning, 2007, VOL. 5, NO.1
Carlson, M. & Bloom, I. 2005. The Cyclic Nature Of Problem Solving: AnEmergent Multidimensional Problem-Solving Framework. EducationalStudies In Mathematics, 58 (1): 45-75
Lee, K.H., & Sriraman, B. 2010. Conjecture via reconceived classical analogy:Educational Studies in Mathematic, DOI 10.1007/s10649-010-9274-1
Lester, F. K. & Kehle, P. 2003. From problem solving to modeling: The evolutionof thinking about research on complex mathematical activity. In R. Lesh &H. M. Doerr (Eds.), Beyond constructivism: Models and modelingperspectives on mathematics problem solving, learning, and teaching (501-517). Mahwah, NJ: Erlbaum.
NCTM . 2000. Principles and standards for school mathematics. Reston, VA:NCTM
Pimta, S., Tayruakham, S., & Nuangchalerm, P. (2009). Factors influencingmathematic problem-solving ability of sixth grade students. Journal ofsocial sciences.
Pisa. 2012. Pisa 2012 Results In Focus What 15 Year Olds Know And What TheyCan Do With What They Know. Italy: OECD
Reid, D.A., & Scotia, N. 2002. Conjecture and Refutations in Grade 5Matematics. Journal of Research Mathematics and Education, Vol. 33,No.1.5-29
Schoenfeld, A.H. 1983. The Wild, Wild, Wild, Wild, Wild World Of ProblemSolving: A Review Of Sorts, For The Learning Of Mathematics 3, 4047.
-
Sriraman, B. 2003. Mathematical Giftedness, Problem Solving, And The Abilityto Formulate Generalizations. The Problem Solving Experiences of FourGifted Students. The Journal of Secondary Gifted Education, 14 (3): 151-165.
Stacey, Burton, & Mason. 2010. Thingking Mathematically Second Edition.Pearson Education Limited.
Sutarto. 2013. Desain Pembelajaran Matematika. Penerbit: Samudra BiruYogyakarta
Sutarto. 2011. Keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams-Achievement Divisions (STAD) dan tipe Jigsaw ditinjau dari motivasibelajar, sikap, dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswakelas XI SMA. Jurnal Kependidikan LPPM IKIP Mataram Volume 10Nomor 2 ISSN 1412-6087 November 2011
Yeo, J.B.W., & Yeap, B.H. 2010. Characterising the Cognitive ProcessesMatthematical Investigation. International Journal for MathematicsTeaching and Learning. ISSN 1473 0111. Articles published to date 5Oct 2010.