identifikasi kandungan tanin dalam ekstrak … fileidentifikasi kandungan tanin dalam ekstrak...
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI KANDUNGAN TANIN DALAM EKSTRAK ETANOLIK
DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia Lamk.) DARI KEBUN
TANAMAN OBAT UNIVERSITAS SANATA DHARMA DENGAN
METODE KLT-DENSITOMETRI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh:
Monica Dini Puspita
NIM : 068114003
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
i
IDENTIFIKASI KANDUNGAN TANIN DALAM EKSTRAK ETANOLIK
DAUN JATI BELANDA (Guazuma ulmifolia Lamk.) DARI KEBUN
TANAMAN OBAT UNIVERSITAS SANATA DHARMA DENGAN
METODE KLT-DENSITOMETRI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh:
Monica Dini Puspita
NIM : 068114003
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
” Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu
dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri”
(Amsal 3: 5)
Kupersembahkan untuk
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, Bapak, Ibu,
keluarga besarku yang kucintai, sahabat, teman-teman
dan almamaterku
v
vi
vii
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat,
penyertaan, cinta dan kasih-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi Kandungan Tanin Dalam
Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) dari Kebun
Tanaman Obat Universitas Sanata Dharma dengan Metode KLT-Densitometri”.
Penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar kesarjanaan Program Studi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini tentunya tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
2. Ibu Erna Tri Wulandari M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing, yang telah
memberikan waktu, bimbingan, saran dan kesabaran yang sangat berguna
demi terselesaikannya skripsi ini.
3. Bapak Yohanes Dwiatmaka M.Si., selaku dosen penguji atas waktu,
bimbingan dan pengarahan yang diberikan.
4. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas waktu,
bimbingan dan saran yang telah diberikan.
viii
5. Seluruh staff laboratorium Farmakognosi Fitokimia dan Laboratorium
Kimia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Mas Wagiran, Mas Sigit,
Mas Bimo, Mas Parlan, Mas Kunto, yang telah menemani, membantu dan
memberikan saran selama penelitian ini.
6. Bapak dan Ibu yang terkasih, atas doa, dukungan, semangat yang tiada
habisnya untuk penulis.
7. Pak Pudjono dan Pak Jeffri atas ilmu yang telah diberikan.
8. Rico Aditya, Iren Anindya, Mas Fian, Uti atas semangat, dukungan, saran
dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9. Adik-adikku, Dora dan Theo serta keluarga besarku yang kusayangi atas
doa, dukungan, semangat dan perhatian yang selalu diberikan kepada
penulis.
10. Teman-teman tim penelitian dan sahabatku yang kucintai, Inge Maria
Wibowo, Grace Litad, Ayu Widya Sari, Winny Listyarini Hardi atas
semangat, dukungan, kerjasama dan kebersamaannya selama ini.
11. Teman-teman seperjuangan FKK 06: Yuni, Tiara, Yenni, Priska, Siska,
Veni, Amel, Aroma, Gessy, Manik, Chibi, Meli, Della, Helen, Esti, dan
semuanya atas dukungan yang diberikan kepada penulis.
12. Keluargaku di kos Difa yang kusayangi Mba Tiwi, Mba Galih, Mba Livi,
Ina, Oki, Ayu Tegal, Rizza, Putri, Jojo, Melan, Evina, Eka, Sari, Sheila,
Jesty atas kebersamaan, keceriaan, dukungan dan semangat yang diberikan
kepada penulis.
ix
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari segenap
pembaca, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam hal penelitian di bidang Farmakognosi.
Penulis
x
INTISARI
Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) telah lama dikenal oleh
masyarakat sebagai tanaman obat. Berbagai khasiat daun jati belanda di antaranya yaitu sebagai obat pelangsing tubuh, penurun kolesterol, penyakit jantung dan diare. Tanin merupakan salah satu kandungan kimia utama dalam daun jati belanda. Pada daun jati belanda, senyawa tanin dapat mengurangi penyerapan makanan sehingga proses obesitas (kelebihan berat badan) dapat dihambat. Secara kimia, terdapat dua jenis tanin yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati belanda dan reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol melalui pengukuran AUC (Area Under Curve) tanin.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental. Tahap awal penelitian yaitu identifikasi tanin secara kualitatif dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27) v/v, selanjutnya diidentifikasi jenis tanin, apakah termasuk tanin terhidrolisis atau tanin terkondensasi. Tahap selanjutnya dilakukan pengukuran AUC tanin dengan metode KLT-densitometri.
Penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Hasil identifikasi tanin secara kualitatif dengan metode KLT diperoleh bahwa sampel ekstrak etanolik daun jati belanda diduga mengandung tanin terkondensasi. Nilai AUC rata-rata sebesar 10835,9667 ± 173,8401 dan nilai CV sebesar 1,6043% menunjukkan bahwa proses ekstraksi dengan cairan penyari etanol adalah reprodusibel.
Kata kunci: tanin, ekstrak etanolik daun jati belanda, KLT, KLT-densitometri
xi
ABSTRACT
Bastard cedar’s leaves already known as medicinal herbs. Various
benefits of bastard cedar’s leaves are slimming drugs, lowering cholesterol, heart disease and diarrhea. Tannin is the main chemical content in bastard cedar’s leaves. In bastard cedar’s leaves, tannin decreased the absorbtion of food in order to delayed obesity process. Chemically, there are two kinds of tannins, they are hydrolisable tannins and condensed tannins. This research aims to find out the kind of tannins in bastard cedar’s leaves ethanolic extract and extraction process reproducibility using etanol by the measurement of AUC (Area Under Curve) tannins.
This is a non experimental research. The first step of the research are qualitative identification by Thin Layer Chromatography (TLC) method using mobile phase ethyl acetate : formic acid : acetic acid : water ( 100 : 11 : 11 : 27) v/v and then continued identification the kind of tannins including are hydrolisable tannins or condensed tannins. The next step, is measurement of AUC tannins by TLC-densitometry method.
This research were analyzed descriptively. The results of qualitative identification tannin with TLC method in bastard cedar’s leaves ethanolic extract sample suspected contain condensed tannins. AUC rate score 10835,9667 ± 173,8401 and CV score 1.6043% shown the extraction process using ethanol is reproducible.
Key words: tannin, bastard cedar’s leaves ethanolic extract, TLC, TLC-
densitometry
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................ v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... vi
PRAKATA ............................................................................................................ vii
INTISARI .............................................................................................................. x
ABSTRACT ............................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xix
BAB I PENGANTAR .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
1. Perumusan masalah ................................................................................... 4
2. Keaslian penelitian .................................................................................... 4
3. Manfaat penelitian ..................................................................................... 5
B. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA................................................................... 7
A. Jati Belanda ..................................................................................................... 7
1. Keterangan botani ..................................................................................... 7
xiii
2. Nama daerah.............................................................................................. 7
3. Deskripsi ................................................................................................... 8
4. Kandungan Kimia ..................................................................................... 8
5. Tanin ......................................................................................................... 9
B. Pembuatan Simplisia ....................................................................................... 14
1. Pengumpulan bahan baku ......................................................................... 14
2. Sortasi basah ............................................................................................. 15
3. Pencucian .................................................................................................. 15
4. Pengeringan ............................................................................................... 16
5. Sortasi kering ............................................................................................ 17
C. Ekstrak ............................................................................................................ 17
1. Definisi ...................................................................................................... 17
2. Metode ekstraksi ....................................................................................... 18
3. Penguapan ................................................................................................. 20
D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .................................................................... 21
E. Densitometri .................................................................................................... 25
F. Keterangan Empiris ......................................................................................... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 28
A. Jenis Penelitian ................................................................................................ 28
B. Definisi Operasional ....................................................................................... 28
C. Alat dan Bahan ................................................................................................ 29
1. Alat penelitian ........................................................................................... 29
2. Bahan penelitian ........................................................................................ 29
xiv
D. Tata Cara Penelitian ........................................................................................ 30
1. Pengumpulan bahan .................................................................................. 30
2. Determinasi tanaman ................................................................................. 30
3. Pembuatan simplisia daun jati belanda ..................................................... 30
4. Pembuatan serbuk daun jati belanda ......................................................... 31
5. Pembuatan ekstrak etanolik daun jati belanda .......................................... 31
6. Identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT ........................................ 31
7. Pengukuran AUC tanin dengan KLT-densitometri ................................... 32
E. Analisis Hasil .................................................................................................. 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 34
A. Pengumpulan Bahan ....................................................................................... 34
B. Determinasi Tanaman ..................................................................................... 34
C. Pembuatan Simplisia Daun Jati Belanda ........................................................ 35
D. Pembuatan Serbuk Daun Jati Belanda ............................................................ 36
E. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda ............................................. 38
F. Identifikasi Tanin secara Kualitatif dengan KLT ............................................ 41
G. Pengukuran AUC Tanin dengan KLT-Densitometri ....................................... 56
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum..................................56
2. Pengukuran AUC bercak sampel...............................................................57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 58
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 58
B. Saran ................................................................................................................ 58
xv
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 59
LAMPIRAN .......................................................................................................... 63
BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 78
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I. Hasil ekstraksi daun jati belanda................................................... 40
Tabel II. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT sebelum
disemprot pereaksi besi (III) klorida ............................................. 48
Tabel III. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT setelah
disemprot pereaksi besi (III) klorida ............................................. 55
Tabel IV. Nilai AUC bercak sampel ............................................................. 57
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kimia tanin terkondensasi ................................................... 10
Gambar 2. Struktur kimia tanin terhidrolisis ..................................................... 10
Gambar 3. Struktur kimia asam galat (a) dan asam tanat (b) ............................. 12
Gambar 5. Struktur silika gel ............................................................................. 22
Gambar 5. Ekstrak cair (a) dan ekstrak kental daun jati belanda (b) ................. 40
Gambar 6. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati
belanda dengan deteksi UV 254 nm................................................. 44
Gambar 7. Gugus kromofor dan ausokrom pada struktur asam tanat (a)
dan tanin terkondensasi (b) .............................................................. 45
Gambar 8. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun
jati belanda dengan deteksi UV 365 nm .......................................... 47
Gambar 9. Interaksi antar komposisi fase gerak ................................................ 49
Gambar 10. Interaksi asam tanat dengan fase gerak ............................................ 50
Gambar 11. Interaksi tanin terkondensasi dengan fase gerak .............................. 50
Gambar 12. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati
belanda dengan deteksi menggunakan pereaksi semprot
besi (III) klorida ............................................................................... 53
xviii
Gambar 13. Reaksi tanin terkondensasi dengan pereaksi semprot besi (III)
klorida .............................................................................................. 54
Gambar 14. Hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum pada
bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner ......................... 56
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat keterangan determinasi ........................................................ 64
Lampiran 2. Foto bahan pada proses pengentalan ekstrak etanolik daun
jati belanda .................................................................................... 65
Lampiran 3. Data pengentalan ekstrak etanolik daun jati belanda .................... 66
Lampiran 4. Perhitungan perolehan ekstrak kental daun jati belanda ............... 67
Lampiran 5. Foto hasil identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT ........... 69
Lampiran 6. Hasil pengukuran AUC bercak sampel dengan
TLC Densitometry Scanner ........................................................... 72
Lampiran 7. Perhitungan hasil pengukuran AUC bercak sampel ...................... 76
7
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Tanaman obat merupakan jenis tanaman yang dipercaya oleh masyarakat
memiliki khasiat dan digunakan sebagai bahan obat tradisional. Jati belanda
merupakan sekian dari banyak tanaman obat di Indonesia yang mempunyai nilai
jual tinggi. Salah satu bagian tanaman pada jati belanda yang berkhasiat sebagai
obat adalah daunnya. Berbagai khasiat daun jati belanda di antaranya yaitu
sebagai obat pelangsing tubuh, penurun kolesterol, penyakit jantung dan diare
(Sulaksana dan Jayusman, 2005).
Beberapa penelitian telah membuktikan adanya khasiat dalam daun jati
belanda, di antaranya yaitu pemberian ekstrak daun jati belanda dengan
konsentrasi yang semakin meningkat dapat menurunkan kadar kolesterol total
serum kelinci (Monica, 2000); daun jati belanda bisa meningkatkan aktivitas in
vitro enzim lipase yang berfungsi menghidrolisis lemak setelah mengalami
emulsifikasi (Joshita, 2000); pemberian lendir daun jati belanda secara oral
dengan dosis 350 mg/kg berat badan menunjukkan adanya penghambatan
kenaikan bobot badan tikus dibandingkan dengan pemberian air suling sebagai
kontrol (Pramono, 2000) dan masih banyak lagi penelitian yang membuktikan
khasiat dari daun jati belanda.
Tanin merupakan salah satu kandungan kimia utama dalam daun jati
belanda. Tanin bersifat sebagai astringen. Saat kontak dengan membran mukosa
2
usus halus, senyawa tanin berikatan dengan protein dalam sel epitel mukosa
menghasilkan ikatan silang (Mills dan Bone, 2000). Ikatan silang protein-tanin ini
membentuk ikatan yang rapat dan kurang permeabel sehingga menyebabkan
makanan yang akan diabsorbsi oleh usus halus menjadi terhambat. Secara kimia,
terdapat dua jenis tanin yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin
terhidrolisis dan tanin terkondensasi memiliki khasiat sebagai astringen,
antiinflamatori, antimikrobial, antidiare dan antioksidan. Tanin terkondensasi
diketahui memiliki khasiat yang lain yaitu sebagai hipokolesterolemik (Mills dan
Bone, 2000).
Menurut Xuepin (2003), tanin terhidrolisis lebih bersifat toksik
dibandingkan dengan tanin terkondensasi karena pembentuk tanin terhidrolisis
mudah dihidrolisis menjadi asam galat. Asam galat tersebut dapat membentuk
kelat dengan ion logam. Pembentukan kelat ini menyebabkan hilangnya ion logam
dari dalam tubuh di mana ion logam tersebut dibutuhkan terutama untuk proses
pembentukan energi. Salah satu ion logam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
adalah zat besi (Fe). Sebagian besar Fe disimpan dalam hati, limpa, dan sumsum
tulang. Fe berperan dalam pembentukan sel darah merah. Bila cadangan besi tidak
mencukupi dan berlangsung terus menerus maka pembentukan sel darah merah
berkurang dan selanjutnya menurunkan aktivitas tubuh sehingga mudah lelah
(Arifin, 2008). Menurut Clinton (2009), tanin terhidrolisis dapat menghambat
penyerapan zat besi sehingga menyebabkan anemia. Penghambatan penyerapan
ini terjadi melalui pembentukan kelat dengan besi sehingga mengurangi
bioavailabilitasnya dalam gastrointestinal. Tanin terkondensasi diketahui tidak
3
menghambat penyerapan dari zat besi sehingga lebih aman digunakan.
Berdasarkan perbedaan kedua jenis tanin tersebut, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai identifikasi tanin dalam ekstrak etanolik daun jati
belanda yang berasal dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Pada penelitian ini ingin diketahui jenis tanin yang terkandung dalam
ekstrak etanolik daun jati belanda dan reprodusibilitas proses ekstraksi melalui
pengukuran AUC (Area Under Curve) tanin. Proses ekstraksi yang baik
diharapkan dapat digunakan untuk mendapatkan kualitas ekstrak yang baik pula.
Reprodusibilitas proses ekstraksi dapat teramati dengan nilai AUC tersebut. Cara
penyarian menggunakan metode maserasi dengan cairan penyari etanol karena
tanin dapat larut dalam pelarut organik polar seperti etanol. Daun jati belanda
yang digunakan berasal dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta karena belum pernah dilakukan identifikasi tanin menggunakan bahan
baku yang berasal dari kebun tanaman obat tersebut.
Identifikasi kandungan tanin dalam penelitian ini dilakukan secara
kualitatif dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) untuk mengetahui jenis
tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati belanda, apakah termasuk
tanin tehidrolisis atau tanin terkondensasi. Reprodusibilitas proses ektraksi
dilakukan dengan pengukuran AUC tanin dengan metode KLT-densitometri.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai
keberadaan dan jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun jati
belanda. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
4
masyarakat mengenai adanya kemungkinan efek daun jati belanda yang dapat
digunakan sebagai obat pelangsing tubuh, penurun kolesterol, penyakit jantung
dan diare.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas timbul permasalahan, yaitu:
a. Jenis tanin apakah yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda?
b. Bagaimana reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari
etanol melalui pengukuran AUC tanin?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan penulis penelitian mengenai identifikasi kandungan
tanin dalam ekstrak etanolik daun jati belanda dari kebun tanaman obat
Universitas Sanata Dharma dengan metode KLT-densitometri belum pernah
dilakukan. Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian yang
telah dilakukan terhadap jati belanda, antara lain:
a. Pengaruh Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan dan
Gambaran Hematologik Darah Tikus Betina serta Identifikasi Komponen
Lendirnya (Nurwati, 1984).
b. Penelitian Pendahuluan Pengaruh Pemberian Seduhan Daun Guazuma
ulmifolia Lamk terhadap Aktivitas Enzim SGOT, SGPT, SGGT Kelinci
(Semedi, 1994).
c. Ekstraksi dan Identifikasi secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan
Spektrofotometri UV Senyawa Alkaloid Tumbuhan Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.) (Wulandari, 1996).
5
d. Pengaruh Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap
Penurunan Kadar Kolesterol Darah Kelinci (Monica, 2000).
e. Pengaruh Daun Jati Belanda Terhadap Kerja Enzim Lipase secara In Vitro
(Joshita, 2000).
f. Pengaruh Lendir Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) terhadap
Bobot Badan Tikus Putih Betina (Pramono, 2000).
g. Aktivitas Lipase Pankreas Rattus norvegicus Akibat Pemberian Ekstrak Etanol
Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) (Rahardjo, 2005).
h. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
terhadap Kadar Trigliserida Dalam Plasma Tikus Putih Jantan Galur Wistar
(Wijayanti, 2007).
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keberadaan dan jenis tanin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun
jati belanda.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat
mengenai kandungan daun jati belanda yang dapat digunakan sebagai
obat.
6
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan dari
dilakukannya penelitian ini adalah:
1. mengetahui jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda.
2. mengetahui reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari
etanol melalui pengukuran AUC tanin.
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Jati Belanda
1. Keterangan botani
Pohon jati belanda berasal dari Amerika beriklim tropis dan di Pulau
Jawa biasanya ditanam pada ketinggian 1-800 m di atas permukaan laut (Anonim,
1986b). Tanaman ini ditanam sebagai tanaman pekarangan atau tanaman peneduh
di tepi jalan. Saat ini, tanaman jati belanda hampir dapat ditemui di semua daerah
di Pulau Jawa bahkan di pulau lain pun tanaman ini dijumpai tumbuh liar.
Tanaman jati belanda belum dibudidayakan secara komersial (Sulaksana dan
Jayusman, 2005).
Jati belanda termasuk dalam suku Sterculiaceae dan genus Guazuma.
Secara ilmiah, jati belanda memiliki spesies dengan nama Guazuma ulmifolia
Lamk. (Backer dan Backhuizen van den Brink, 1963).
2. Nama Daerah
Tanaman jati belanda mempunyai nama daerah yang berbeda-beda, di
antaranya adalah:
Sumatera : Jati Blanda
Jawa : Jati Landa, Jatus Landi
Nama asing jati belanda antara lain Bastard Cedar (Inggris), Cedre de la Jamique,
Orme d’Ameriqne (Perancis), Mutamba (Brazil) dan Guasima (Meksiko). Nama
di Indonesia lebih dikenal dengan Jati Belanda (Heyne, 1987).
8
Selain nama daerah, jati belanda juga mempunyai beberapa nama lain.
Nama tersebut di antaranya yaitu Bubroma guazuma, Diuroglossum rufescens,
Theobroma guazuma, Guazuma coriacea, G. inuira, G. polybotra, G. tomentosa
dan G. utilis (Anonim, 2004 a).
3. Deskripsi
Tanaman jati belanda berupa semak atau pohon, tinggi 10 m sampai 20
m, percabangan ramping. Bentuk daun bundar telur sampai lanset, panjang helai
daun 4 cm sampai 22,5 cm, lebar 2 cm sampai 10 cm, pangkal menyerong
berbentuk jantung, bagian ujung tajam, permukaan daun bagian atas berambut
jarang, permukaan bagian bawah berambut rapat; panjang tangkai daun 5 mm
sampai 25 mm, mempunyai daun penumpu berbentuk lanset atau berbentuk
panjang 3 mm sampai 6 mm (Anonim, 1978).
Tanaman jati belanda memiliki perbungaan berupa mayang, panjang 2
cm sampai 4 cm, berbunga banyak, bentuk bunga agak ramping dan berbau
wangi; panjang gagang bunga lebih kurang 5 mm; kelopak bunga lebih kurang 3
mm; mahkota bunga berwarna kuning, panjang 3 mm sampai 4 mm; tajuk terbagi
dalam 2 bagian, berwarna ungu tua kadang-kadang kuning tua, panjang 3 mm
sampai 4 mm, bagian bawah berbentuk garis, panjang 2 mm sampai 2,5; tabung
benang sari berbentuk mangkuk; bakal buah berambut, panjang buah 2 cm sampai
3,5 cm. Buah yang telah masak berwarna hitam (Anonim, 1978).
4. Kandungan kimia
Zat utama yang terkandung dalam seluruh bagian tanaman jati belanda
adalah tanin dan lendir atau muscilago. Kandungan zat aktif yang juga diketahui
9
terdapat hampir di semua bagian tanaman adalah β-sitosterol, kafein, friedelin-3α-
asetat, friedelin-3β-ol, terpen, triterpen (sterol), karotenoid, flavonoid, resin,
glukosa, asam lemak, asam fenolat, zat pahit, karbohidrat, serta minyak lemak
(Sulaksana dan Jayusman, 2005).
Ekstrak kental daun jati belanda adalah ekstrak yang dibuat dari daun
tanaman Guazuma ulmifolia Lamk., suku Sterculiaceae, mengandung flavonoid
tidak kurang dari 3,2 %. Kandungan kimia yang dimiliki adalah tanin, flavonoid,
friedelin-3α-asetat, friedelin-3β-ol dan lendir (Anonim, 2004 a). Bahan kering
daun jati belanda mengandung tanin sebesar 2,4% (Powell, 1997).
5. Tanin
Tanin adalah sejenis kandungan tanaman bersifat fenol yang memiliki
rasa sepat. Tanin ini larut, setidak-tidaknya sampai batas tertentu, dalam pelarut
organik yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut organik nonpolar seperti
benzena. Kadar tanin yang tinggi mungkin mempunyai arti pertahanan bagi
tanaman yaitu untuk membantu mengusir hewan pemangsa tanaman. Beberapa
tanin terbukti mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor,
dan menghambat enzim seperti reverse transkriptase dan DNA topoisomerase
(Robinson, 1995).
Secara kimia, terdapat dua jenis utama tanin yaitu tanin terkondensasi
dan tanin terhidrolisiskan (Harborne, 1987). Tanin terkondensasi terjadi karena
reaksi polimerisasi (kondensasi) antar flavonoid, sedangkan tanin terhidrolisis
terbentuk dari reaksi esterifikasi asam fenolat dan gula (glukosa) (Heinrich,
Barnes, Gibbons dan Williamson, 2004).
10
Gambar 1. Struktur kimia tanin terkondensasi (Heinrich, Barnes, Gibbons
dan Williamson, 2004)
Gambar 2. Struktur kimia tanin terhidrolisis (Heinrich, Barnes, Gibbons dan Williamson, 2004)
Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis terbentuk dengan
cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan oligomer
11
yang lebih tinggi. Nama lain tanin terkondensasi adalah proantosianidin karena
bila direaksikan dengan asam dan dipanaskan, beberapa ikatan karbon-karbon
penghubung satuan terputus dan menghasilkan monomer antosianidin.
Proantosianidin banyak dalam bentuk prosianidin dan bila direaksikan dengan
asam akan menghasilkan sianidin. Pada tanin terkondensasi, tanaman dapat
diekstraksi dengan metanol 50-80%. Tanin dapat dideteksi dengan sinar UV
pendek berupa bercak lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi
fenol baku (Harborne, 1987).
Tanin terhidrolisis merupakan ikatan ester antara suatu monosakarida,
terutama D-glukosa di mana gugus hidroksilnya (seluruh atau sebagian) terikat
dengan asam galat, digalat, trigalat dan asam heksahidroksidifenat. Tanin
terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis dan berwarna coklat
kuning yang larut dalam air. Tanin terhidrolisis dapat diekstraksi dengan air panas
atau campuran etanol-air (Robinson, 1995).
Asam tanat sebagai salah satu contoh tanin terhidrolisis (Harborne,
1987). Asam tanat merupakan polimer asam galat dan glukosa. Asam tanat berupa
serbuk amorf, berkilau, berwarna kuning putih sampai cokelat terang dan berbau
khas. Asam tanat berkhasiat untuk mengobati diare. Selain itu, asam tanat
memiliki efek antibakteri, antienzimatik, antioksidan dan antimutagen (Anonim,
2009).
12
CO2H
OH
HO OH
a. b.
Gambar 3. Struktur kimia asam galat (a) (Bruneton, 1999) dan asam tanat (b) (Anonim, 2007)
Tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi memiliki khasiat sebagai
astringen, antiinflamatori, antimikrobial, antidiare dan antioksidan. Selain itu,
terkondensasi juga memiliki khasiat yang lain yaitu hipokolesterolemik (Mills dan
Bone, 2000).
Menurut Xuepin (2003), tanin terhidrolisis lebih bersifat toksik
dibandingkan dengan tanin terkondensasi karena pembentuk tanin terhidrolisis
mudah dihidrolisis menjadi asam galat. Asam galat tersebut dapat membentuk
kelat dengan ion logam. Pembentukan kelat ini menyebabkan hilangnya ion logam
dari dalam tubuh di mana ion logam tersebut dibutuhkan terutama untuk proses
pembentukan energi. Salah satu ion logam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
adalah zat besi (Fe). Sebagian besar Fe disimpan dalam hati, limpa, dan sumsum
tulang. Fe berperan dalam pembentukan sel darah merah. Bila cadangan besi tidak
mencukupi dan berlangsung terus menerus maka pembentukan sel darah merah
berkurang dan selanjutnya menurunkan aktivitas tubuh sehingga mudah lelah
(Arifin, 2008). Menurut Clinton (2009), tanin terhidrolisis dapat menghambat
penyerapan zat besi sehingga menyebabkan anemia. Penghambatan ini terjadi
13
melalui pembentukan kelat dengan besi sehingga mengurangi bioavailabilitasnya
dalam gastrointestinal.
Tanin mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tanin
mengandung sejumlah kelompok fungsional ikatan yang kuat dengan molekul
protein dan menghasilkan ikatan silang yang besar dan kompleks yaitu protein-
tannin. Terdapat tiga mekanisme reaksi antara tanin dengan protein sehingga
terjadi ikatan yang cukup kuat antara keduanya yaitu ikatan hidrogen, ikatan ion
dan ikatan cabang kovalen antara protein dengan tanin (Widodo, 2005). Tanin
pada daun jati belanda bersifat sebagai astringen. Saat kontak dengan membran
mukosa usus halus, senyawa tanin berikatan dengan protein dalam sel epitel
mukosa menghasilkan ikatan silang (Mills dan Bone, 2000). Ikatan silang protein-
tanin ini membentuk ikatan yang rapat sehingga menyebabkan makanan yang
akan diabsorbsi oleh usus halus menjadi terhambat.
Uji untuk membedakan tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi dapat
menggunakan kromatografi lapis tipis. Bercak dapat ditunjukkan dengan memakai
uap amonia dan dilihat dengan sinar UV atau dengan penyemprotan memakai besi
(III) klorida (Robinson, 1995). Penyemprotan dengan besi (III) klorida pada tanin
terhidrolisis menampakkan bercak berwarna biru kehitaman dan pada tanin
terkodensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecokelatan (Bruneton, 1999).
14
B. Pembuatan Simplisia
1. Pengumpulan bahan baku
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia
merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisa dapat berupa simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia pelikan. Simplisia harus memenuhi persyaratan
minimal untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun
kegunaannya. Faktor yang berpengaruh adalah bahan baku simplisia, proses
pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia dan cara
pengepakan dan penyimpanan simplisia (Anonim, 1985).
Tumbuhan liar umumnya kurang baik untuk dijadikan sumber simplisia
jika dibandingkan tanaman budidaya karena simplisia yang dihasilkan mutunya
tidak tetap. Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda-beda antara lain
tergantung pada bagian tanaman yang digunakan, umur tanaman atau bagian
tanaman pada saat panen, waktu panen dan lingkungan tempat tumbuh (Anonim,
1985).
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa
aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu panen yang tepat pada
saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam jumlah yang
terbesar. Senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian tanaman atau
tanaman pada umur tertentu. Selain waktu panen yang dikaitkan dengan umur,
perlu diperhatikan pula pada saat panen dalam sehari. Simplisia yang mengandung
minyak atsiri lebih baik dipanen pada pagi hari. Waktu panen yang dilakukan
15
dalam sehari perlu dipertimbangkan stabilitas kimiawi dan fisik senyawa aktif
dalam simplisia terhadap panas sinar matahari. Pada daun, cara pengumpulannya
yaitu saat daun masih tua atau muda (daerah pucuk) dan dipetik dengan tangan
satu persatu (Anonim, 1985).
2. Sortasi basah
Dalam proses pembuatan simplisia, setalah bahan baku dikumpulkan,
kemudian dilakukan sortasi basah terhadap bahan baku tersebut. Sortasi basah
dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya
yang terdapat pada bahan baku simplisia misalnya tanah, kerikil, rumput, batang,
daun, akar yang telah rusak. Tanah mengandung bermacam-macam mikroba
dalam jumlah yang tinggi sehingga simplisia yang dibersihkan dari tanah yang
terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal (Anonim, 1985).
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotoran lainnya
yang melekat pada bahan baku simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
misalnya dari mata air, air sumur atau air PAM. Bahan simplisia yang
mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian agar
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Anonim, 1985).
Cara pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal
simplisia. Jika air yang digunakan untuk pencucian kotor, maka jumlah mikroba
pada permukaan bahan simplisia dapat bertambah dan kandungan air yang
terdapat pada permukaan bahan tersebut dapat mempercepat pertumbuhan
mikroba (Anonim, 1985).
16
4. Pengeringan
Pengeringan dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Pengeringan juga
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi enzimatik serta pertanaman
bakteri. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari
atau menggunakan suatu alat pengering. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama
proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara,
waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu pengeringan tergantung
kepada bahan simplisa dan cara pengeringannya. Bahan simplisia dapat
dikeringkan pada suhu 30° sampai 90°C, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak
melebihi 60°C. Pada dasarnya, dikenal dua cara pengeringan yaitu pengeringan
secara alamiah dan buatan.
a. Pengeringan alamiah. Pengeringan alamiah dilakukan dengan
pengeringan dengan panas sinar matahari langsung. Pengeringan dengan cara ini
memiliki kecepatan pengeringan yang sangat tergantung kepada keadaan iklim
sehingga cara ini hanya baik dilakukan di daerah yang udaranya panas atau
kelembabannya rendah, serta tidak turun hujan. Pengeringan ini dilakukan untuk
mengeringkan bagian tanaman yang relatif keras seperti kayu, kulit kayu, biji.
Pengeringan alamiah dapat juga dilakukan dengan diangin-angin dan tidak
dipanaskan dengan sinar matahari langsung. Pengeringan dengan cara ini terutama
digunakan untuk mengeringkan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun
yang mengandung senyawa aktif mudah menguap (Anonim, 1985).
17
b. Pengeringan buatan. Kerugian yang mungkin terjadi jika melakukan
pengeringan dengan sinar matahari dapat diatasi jika melakukan pengeringan
buatan yaitu dengan menggunakan suatu alat atau mesin pengering. Pada
pengeringan buatan dapat diperoleh simplisia dengan mutu yang lebih baik karena
pengeringan akan lebih merata dan waktu pengeringan akan lebih cepat, tanpa
dipengaruhi oleh keadaan cuaca (Anonim, 1985).
5. Sortasi kering
Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti
bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain
yang masih ada dan tertinggal pada simplisia kering. Demikian pula adanya
partikel-partikel pasir, besi dan benda-benda tanah lain yang tertinggal harus
dibuang sebelum simplisia dibungkus (Anonim, 1985).
Sortasi kering dapat dilakukan secara mekanik terutama pada simplisia
bentuk rimpang di mana jumlah akar yang melekat pada rimpang terlalu besar.
Proses sortasi kering ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus untuk kemudian
disimpan (Anonim, 1985).
C. Ekstrak
1. Definisi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi standar baku
18
yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan
baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi
dengan pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin yang terkena panas
(Anonim, 2000).
Menurut Voigt (1994), ekstrak dikelompokkan menurut sifat-sifatnya
menjadi:
a. Ekstrak encer (extractum tenue). Sediaan ekstrak encer ini memiliki
konsistensi madu dan mudah dituang.
b. Ekstrak kental (extractum spissum). Sediaan ekstrak kental ini
memiliki konsistensi liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang serta
kandungan airnya berjumlah sampai 30%.
c. Ekstrak kering (extractum siccum). Sediaan ekstrak kering ini
memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan dengan kandungan lembab
tidak lebih dari 5%.
d. Ekstrak cair (extractum fluidum). Pada ekstrak cair memiliki
konsistensi cair dan mudah dituang.
2. Metode ekstraksi
Penyarian (ekstraksi) merupakan kegiatan penarikan zat yang dapat larut
dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Adanya zat aktif yang
terkandung akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang
tepat (Anonim, 1986 a). Secara umum, penyarian dapat dibedakan menjadi
infundasi, maserasi, perkolasi, destilasi uap dan sering terdapat modifikasi, seperti
19
misalnya maserasi dapat disempurnakan dengan digesti. Masing-masing proses
penyarian tersebut dapat dijelaskan di bawah ini :
a. Infundasi. Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya
digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-
bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan
mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh karena itu, sari yang diperoleh
dengan cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Anonim, 1986 a). Infus
merupakan sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan air pada
suhu 90°C selama 15 menit. Pembuatan infusa adalah dengan cara bahan
dimasukkan dalam panci infus dan diberi air secukupnya, panaskan di tangas air
selama 15 menit terhitung mulai tercapai suhu 90°C sambil sekali-sekali diaduk.
Serkai selagi panas melalui kain flannel, tambahkan air secukupnya melalui
ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Anonim, 1995).
b. Maserasi. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana
(Voigt, 1994). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung
zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan
dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Maserasi dilakukan dengan
cara merendam serbuk simplisia atau bahan dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke
luar (Anonim, 1986 a).
20
c. Perkolasi. Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan
mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip
perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan pada bejana silinder, yang bagian
bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah
melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang
dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Perkolasi lebih baik dibandingkan dengan
cara maserasi karena aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian
larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah sehingga
meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi. Selain itu, pada perkolasi, ruangan
di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan
penyari. Kecilnya saluran kapiler tersebut menyebabkan kecepatan pelarut cukup
untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan
konsentrasi (Anonim, 1986 a).
d. Penyarian berkesinambungan. Proses ini dengan cara penggabungan
antara proses penyarian yang dilanjutkan dengan proses penguapan. Keuntungan
dari penyarian berkesinambungan ini antara lain cairan penyari yang diperlukan
lebih sedikit dan secara langsung diperoleh hasil yang lebih dekat. Selain itu,
serbuk simplisia disari oleh cairan penyari yang murni sehingga dapat menyari zat
aktif lebih banyak. Penyarian dapat diteruskan sesuai dengan keperluan, tanpa
menambah volume cairan penyari (Anonim, 1986 a).
3. Penguapan
Penguapan adalah proses terbentuknya uap dari permukaan cairan. Pada
penguapan, terbentuknya uap berjalan sangat lambat sehingga cairan tersebut
21
mendidih. Selama mendidih, uap tersebut terlepas melalui gelembung-gelembung
udara yang terlepas dari cairan. Kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan
pemindahan panas. Oleh karena itu, alat penguapan dirancang agar dapat
memberikan pemindahan panas yang maksimal kepada cairan. Permukaan harus
seluas mungkin dan lapisan batas dikurangi. Pada pemilihan alat yang tepat harus
diperhatikan sifat bahan yang akan diuapkan (Anonim, 1986 a).
Ekstrak cair yang memiliki konsistensi cair dan kandungan pelarutnya
yang masih tinggi dapat diubah menjadi bentuk ekstrak kental. Proses pengentalan
ini dapat dilakukan melalui penguapan dengan menggunakan alat Vacum Rotary
Evaporator (Voigt, 1994).
Proses pengentalan dengan menggunakan Vacum Rotary Evaporator
yaitu perputaran labu dalam sebuah pemanas yang berisi air pada temperatur dan
kecepatan putar tertentu, akan menguapkan cairan yang terkandung dalam ekstrak.
Pembesaran permukaan penguapan menyebabkan penguapan berlangsung dalam
waktu lebih singkat. Pengaturan dalamnya pencelupan ke dalam penangas air,
suhu penangas, hampa udara dan suhu pendingin membuat kondisi optimal dapat
terpenuhi sehingga proses pengentalan ekstrak dapat berlangsung cepat (Voigt,
1994).
D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi adalah prosedur pemisahan senyawa campuran
berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi, karena adanya perbedaan koefisien
distribusi masing-masing senyawa di antara dua fase yang saling bersinggungan
22
dan tidak saling campur, yang disebut sebagai fase gerak (mobile phase) yang
berupa zat cair atau zat gas dan fase diam (stationary phase) yang berupa zat cair
atau zat padat (Noegrohati, 1994). KLT digunakan untuk pemisahan senyawa
secara cepat dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang
dilapiskan serba rata pada lempeng kaca (Anonim, 1979).
Fase diam yang umum digunakan adalah silika gel, aluminium oksida,
selulosa dan turunannya, poliamida dan lain-lain. Silika gel paling banyak
digunakan (Stahl, 1983). Silika gel GF254 artinya silika tersebut mengandung
gypsum (CaSO4½H2O) yang merupakan pengikat, dengan cara meningkatkan
gaya adhesi antara partikel senyawa dengan silika dan juga meningkatkan gaya
adhesi antar partikel silika. F254 adalah indikator fosforesensi pada panjang
gelombang 254 nm yang berarti silika tersebut dapat berfosforesensi pada panjang
gelombang 254 nm (Jork, 1990).
Gambar 4. Struktur silika gel (Anonim, 2005)
Silika gel dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Silika
gel untuk fase non polar terbuat dari silika yang dilapisi dengan senyawa non
polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon raber gom, atau lilin. Fase gerak
air yang polar dapat digunakan sebagai eluen (Sjahid, 2008). Pada selulosa,
23
polaritasnya tinggi dan dapat digunakan sebagai pemisah secara partisi, baik
dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng. Kedua bentuk tersebut masih
sering digunakan untuk pemisahan flavonoid. Ukuran partikel yang digunakan
kira-kira 50 µm, maka elusinya lebih lambat. Fase diam ini sekarang sudah diganti
dengan bubuk selulosa yang dapat dilapiskan pada kaca seperti halnya fase diam
yang lain sehingga lebih efisien dan lebih banyak digunakan untuk memisahkan
senyawa-senyawa polar atau isomer (Sjahid, 2008).
Fase gerak terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Fase gerak tersebut
bergerak di dalam fase diam karena adanya gaya kapiler. Laju rambat tergantung
kepada viskositas pelarut dan tentu juga kepada stuktur lapisan (Stahl, 1983).
Bejana harus dapat menampung pelat 200x200 mm dan harus tertutup
rapat. Untuk kromatografi dalam bejana yang jenuh, secarik kertas saring bersih
yang lebarnya 18-20 cm dan panjangnya 45 cm ditaruh pada dinding sebelah
dalam bejana berbentuk U dan dibasahi dengan pelarut pengembang. Tingkat
kejenuhan bejana mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak
bercak pada bercak (Stahl, 1983).
Larutan pembanding mengandung campuran terdiri atas 1-5 senyawa
yang diketahui, dengan konsentrasi yang telah diketahui pula. Apabila mungkin,
senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat di dalam larutan
cuplikan tetapi boleh juga senyawa lain yang berbeda, yang mempunyai sifat
rambat serupa dengan senyawa cuplikan (Stahl, 1983).
Bercak atau pita ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi bawah lapisan.
Jarak suatu bercak awal, yang berukuran 3-5 mm, ke bercak awal lainnya dan
24
jarak antara bercak paling pinggir dengan tepi samping sekurang-kurangnya 10
mm, biasanya ditotolkan 1-10 µl larutan 0,1–1%. Pada penotolan, disarankan agar
menggunakan mikropipet berujung runcing, khusus berskala 1 µl dan bervolume
10 µl (1 ml = 1000 µl) (Stahl, 1983).
Proses kerja dengan KLT yaitu dengan menempatkan pada dua sisi
bejana kromatografi, 2 helai kertas saring, tinggi 18 cm, lebar sama dengan
panjang bejana. Larutan fase gerak dimasukkan lebih kurang 100 ml ke dalam
bejana kromatografi hingga tinggi pelarut 0,5 cm sampai 1 cm, kemudian ditutup
rapat dan kertas saring harus basah seluruhnya. Pada dasar bejana, kertas saring
harus tercelup ke dalam pelarut. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan penotolan
larutan sampel dan standar, menurut cara yang tertera pada masing-masing
monografi dengan jarak kira-kira 1,5 cm-2 cm dari tepi bawah lempeng, biarkan
kering. Bejana kemudian ditutup rapat dan dibiarkan hingga pelarut merambat 10-
15 cm di atas titik penotolan, keluarkan dan keringkan. Deteksi awal dengan
mengamati bercak di bawah sinar ultraviolet pada panjang gelombang pendek
(254 nm), kemudian dengan sinar ultraviolet panjang gelombang panjang (366
nm). Selanjutnya, dilakukan pengukuran dan pencatatan jarak bercak dari titik
penotolan dan catat panjang gelombang untuk tiap bercak yang tampak. Apabila
diperlukan, bercak disemprot dengan peraksi yang tertera pada monografi,
kemudian bandingkan bercak sampel dengan bercak standar (Anonim,1979).
Jarak pengembangan senyawa pada bercak biasanya dinyatakan dengan
angka Rf yaitu :
Rf = jarak titik pusat bercak awaljarak garis depan dari titik awal
25
Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan
dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai
berjangka 0 sampai 100. Apabila angka Rf lebih tinggi daripada Rf yang
dinyatakan, kepolaran pelarut harus dikurangi tetapi bila angka Rf lebih rendah,
komponen polar pelarut harus dinaikkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara,
misalnya, pada pengaturan sistem kloroform-metanol (Stahl, 1983).
Deteksi yang paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan
penyerapan di daerah UV gelombang pendek (254 nm) dan gelombang panjang
(365 nm). Apabila dengan kedua cara itu, senyawa tidak dapat dideteksi, harus
dicoba dengan reaksi kimia; pertama tanpa dipanaskan, kemudian bila perlu
dengan pemanasan (Stahl, 1983).
E. Densitometri
Densitometri merupakan salah satu dari metode analisis kuantitatif.
Penetapan kadar suatu senyawa dengan metode ini dilakukan dengan mengukur
kerapatan bercak senyawa yang dipisahkan dengan cara KLT (Hardjono, 1985).
Alat densitometri mempunyai sumber sinar yang bergerak di atas bercak
pemisahan pada lempeng kromatografi yang akan ditetapkan kadar komponennya.
Lazimnya lempeng itu digerakkan menyusuri berkas sinar tersebut. Bercak yang
kecil dan intensif akan menghasilkan suatu puncak kurva absorbsi yang sempit
dan tajam, sebaliknya bercak yang lebar akan menghasilkan puncak kurva
absorbsi yang melebar dan tumpul (Sudjadi, 1988).
26
Teknik pengukuran dapat didasarkan atas pengukuran intensitas sinar
yang diserap (absorbansi), intensitas sinar yang dipantulkan (reflaktansi) atau
intensitas sinar yang difluoresensikan (fluoresensi). Teknik pengukuran
berdasarkan reflaktansi di mana sinar datang sebagian diserap dan sebagian lagi
dipantulkan (Mintarsih, 1990).
Sifat pemantulan akan menjadi sensitif dan selektif bila sinar yang
datang adalah monokromatis. Di sini, biasanya dipilih sinar pada panjang
gelombang yang diserap paling banyak oleh noda yang diteliti. Banyaknya sinar
yang direfleksikan akan ditangkap oleh suatu alat yang disebut reflection
photomultiplier yang akan diteruskan ke pencatat atau rekorder untuk diubah
menjadi suatu puncak atau kromatogram. Luas puncak atau tinggi puncak sesuai
dengan konsentrasi senyawa pada noda yang diukur kerapatannya. Penelusuran
bercak akan mendapatkan hasil yang baik apabila dilakukan pada panjang
gelombang maksimum karena perubahan konsentrasi pada bercak sedikit saja
sudah dapat terdeteksi (Mintarsih, 1990).
Pada beberapa alat TLC scanner, sudah dilengkapi alat pemroses data
atau mikro komputer sehingga tinggi puncak dapat langsung dicatat sebagai data
sekaligus dengan bercaknya dan dapat pula dicatat langsung sebagai kadarnya,
melalui teknik pemrogaman tertentu (Mintarsih, 1990).
Penelusuran bercak dapat dilakukan secara horisontal maupun vertikal
(scanning horizontal atau scanning vertical). Penelusuran bercak secara horisontal
dapat dilakukan satu persatu atau apabila satu pelat bercak yang diperoleh segaris
semua maka dapat dilakukan penelusuran untuk semua bercak sekaligus
27
sedangkan cara penelusuran vertikal, hanya dapat dilakukan satu per satu
(Mintarsih, 1990).
Pelat yang digunakan untuk KLT-densitometri sebaiknya digunakan
pelat buatan pabrik karena pada pelat buatan sendiri fase diamnya kurang
kompak, sehingga akan mempengaruhi hasil penelusuran dengan densitometri
yaitu berupa puncak yang lebar dan kasar. Puncak yang lebar disebabkan kurang
kompaknya fase diam sedangkan puncak yang kasar disebabkan permukaan pelat
yang kurang rata (Mintarsih, 1990).
Terdapat dua cara penetapan dengan alat densitometer. Pertama, setiap
kali penelitian ditotolkan dengan sediaan baku dari senyawa yang bersangkutan
dan dielusi dalam satu lempeng, kemudian AUC (luas daerah di bawah kurva)
sampel dibandingkan dengan AUC zat baku. Kedua, dengan membuat kurva baku
hubungan antara jumlah zat baku dengan AUC (Supardjan, 1987).
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental yang dianalisis
secara deskriptif. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun jati belanda yang berasal
dari kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan
reprodusibilitas proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol melalui
pengukuran AUC tanin.
28
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena tidak
diberikan perlakuan terhadap subjek uji. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi Fitokimia dan Kimia Analisis Instrumen Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan melalui
beberapa tahap sebagai berikut:
a. Pengumpulan bahan
b. Determinasi tanaman
c. Pembuatan simplisia daun jati belanda
d. Pembuatan serbuk daun jati belanda
e. Pembuatan ekstrak etanolik daun jati belanda
f. Identifikasi kandungan tanin secara kualitatif dengan KLT
g. Pengukuran AUC tanin dengan KLT-densitometri
B. Definisi Operasional
1. Ekstrak etanolik daun jati belanda adalah ekstrak yang dibuat dari daun
tanaman Guazuma ulmifolia Lamk., suku Sterculiaceae menggunakan cairan
penyari etanol 95% dengan metode maserasi. Ekstrak cair yang diperoleh
diuapkan dengan Vacuum Rotary Evaporator dan dilanjutkan dengan
29
menguapkan sisa pelarut di dalam oven hingga diperoleh ekstrak kental
dengan konsistensi liat dan tidak dapat dituang.
2. Identifikasi kandungan tanin dilakukan secara kualitatif dengan KLT dan
reprodusibilitas proses ekstraksi melalui pengukuran AUC tanin dengan KLT-
densitometri.
C. Alat dan Bahan
1. Alat penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
blender (Retsch), timbangan analitik (Precision Balance Model AB-204, Mettler
Toledo),oven (Memmert), Vacuum Rotary Evaporator (Janke & Kunkel Ika
Labortechnik), TLC Densitometry Scanner (Camag TLC Scanner 3, seri no.
160602), alat-alat gelas (pyrex), shaker (Innova 2100), corong Buchner, penangas
air, cawan porselin, cawan kaca, flakon, lampu ultra violet (UV) dengan λ 254 nm
dan 365 nm (Cabinet).
2. Bahan penelitian
Bahan baku yang digunakan adalah daun jati belanda yang berasal dari
kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Bahan kimia yang
digunakan meliputi etanol 95% teknis, etanol 70% teknis, petroleum eter p.a
(Merck), kloroform teknis, metanol p.a (Merck), asam asetat p.a (Merck), etil
asetat p.a (Merck), asam formiat teknis, besi (III) klorida p.a (Merck), silika GF254
p.a. Bahan lainnya berupa kertas saring dan aquadest dari laboratorium
30
Farmakognosi Fitokimia dan Kimia Analisis Instrumen Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
D. Tata Cara Penelitian
1. Pengumpulan bahan
Daun jati belanda diambil dari satu pohon di kebun tanaman obat
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta pada bulan Juni 2009. Waktu
pengambilan daun pagi hari yaitu pukul 9 hingga 10. Daun yang diambil adalah
daun tua, yang telah membuka sempurna yaitu daun ke-4 sampai ke-8 dari pucuk.
2. Determinasi tanaman
Determinasi tanaman jati belanda dilakukan di Laboratorium
Farmakognosi-Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta secara makroskopik dengan membandingkan ciri-ciri morfologi
tanaman jati belanda yang digunakan dengan determinasi menurut Backer dan
Backhuizen van den Brink (1963).
3. Pembuatan simplisia daun jati belanda
Daun jati belanda dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir. Daun
yang telah dicuci kemudian diangin-anginkan untuk menghilangkan sisa-sisa air
dari proses pencucian dan dikeringkan di dalam oven dengan suhu 45ºC selama 2
hari.
31
4. Pembuatan serbuk daun jati belanda
Daun jati belanda yang telah kering diserbuk dengan blender sehingga
dihasilkan serbuk kering daun jati belanda. Serbuk daun jati belanda kemudian
diayak menggunakan pengayak dengan nomor mesh 12/50.
5. Pembuatan ekstrak etanolik daun jati belanda
Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 95%. Satu
bagian serbuk kering yaitu sebanyak 15 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer,
ditambah 10 bagian etanol 95% yaitu 150 ml, direndam selama 6 jam sambil
dilakukan penggojogan dengan menggunakan shaker, kemudian didiamkan
sampai 24 jam. Maserat dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan jenis dan
jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan
Vacuum Rotary Evaporator kemudian dilanjutkan dengan menguapkan sisa
pelarut menggunakan oven hingga diperoleh ekstrak kental.
6. Identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT
a. Pembuatan larutan standar. Sebanyak 0,01 gram asam tanat dilarutkan
dalam 5,0 ml etanol 70%.
b. Pembuatan larutan sampel. Sebanyak 1 gram ekstrak daun jati belanda
disari dengan petroleum eter 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi
petroleum eter disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak disari dengan kloroform
: asam asetat (99 : 1) 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit. Fraksi kloroform
asam asetat disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak disari dengan metanol :
kloroform : asam asetat (49,5 : 49,5 : 1) 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5 menit.
Fraksi metanol-kloroform-asam asetat kemudian dapat langsung ditotolkan.
32
c. Identifikasi tanin dengan KLT. Larutan standar dan sampel ditotolkan
sebanyak 5 µl pada pelat KLT dengan fase diam silika gel GF254. Larutan standar
dan sampel ditotolkan masing-masing 3 kali replikasi. Pelat KLT dimasukkan ke
dalam bejana yang sudah dijenuhkan dengan fase gerak etil asetat : asam formiat :
asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27) v/v. Pengembangan dilakukan sepanjang 10
cm kemudian pelat dikeringkan. Deteksi dilakukan dengan menggunakan lampu
UV dengan panjang gelombang 254 dan 365 nm, kemudian dilanjutkan dengan
penyemprotan dengan menggunakan pereaksi besi (III) klorida.
7. Pengukuran AUC tanin dengan KLT-densitometri
a. Pembuatan larutan sampel. Menimbang seksama kurang lebih 1 gram
ekstrak daun jati belanda disari dengan petroleum eter 5,0 ml pada suhu 50°C
selama 5 menit. Fraksi petroleum eter disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak
disari dengan kloroform : asam asetat (99 : 1) 5,0 ml pada suhu 50°C selama 5
menit. Fraksi kloroform asam asetat disaring dan dipisahkan, kemudian ekstrak
disari dengan metanol : kloroform : asam asetat (49,5 : 49,5 : 1) 5,0 ml pada suhu
50°C selama 5 menit. Fraksi metanol : kloroform : asam asetat kemudian dapat
langsung ditotolkan.
b. Identifikasi tanin dengan KLT. Larutan sampel ditotolkan sebanyak 5
µl pada pelat KLT dengan fase diam silika gel GF254. Larutan sampel ditotolkan
sebanyak 3 kali replikasi. Pelat KLT dimasukkan ke dalam bejana yang sudah
dijenuhkan dengan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11
: 11 : 27) v/v. Pengembangan dilakukan sepanjang 10 cm kemudian pelat
dikeringkan.
33
c. Pengukuran AUC bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner.
Pada pengukuran AUC bercak sampel, sebelumnya dilakukan penentuan panjang
gelombang serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum diperoleh
dengan cara menelusuri bercak pada panjang gelombang 200 nm sampai 380 nm.
Bercak sampel yang didapat kemudian diukur kerapatannya dengan TLC
Densitometry Scanner sehingga diperoleh luas area di bawah kurva. Pengukuran
AUC dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum yang diperoleh.
E. Analisis Hasil
Hasil yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Analisis hasil secara
kualitatif dilakukan dengan memaparkan hasil berupa harga Rf dan warna bercak
sebelum dan setelah penyemprotan dengan pereaksi besi (III) klorida pada standar
asam tanat dan sampel menggunakan metode KLT. Analisis hasil mengenai
reprodusibilitas proses ekstraksi melalui pengukuran AUC tanin dilakukan dengan
memaparkan nilai AUC dan CV yang diperoleh menggunakan metode KLT-
densitometri.
34
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengumpulan Bahan
Bahan baku berupa daun jati belanda yang diambil dari satu pohon di
kebun tanaman obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pengambilan daun
dilaksanakan pada bulan Juni 2009. Waktu pengambilan daun dilakukan pada pagi
hari yaitu pukul 9 hingga 10 pagi karena dengan adanya sinar matahari akan
membantu berlangsungnya proses fotosintesis sehingga diharapkan kandungan
kimianya dapat optimal. Daun yang diambil adalah daun tua, yang telah membuka
sempurna yaitu daun ke-4 sampai ke-8 dari pucuk. Daun yang telah membuka
sempurna berarti mendapatkan sinar matahari yang cukup sehingga kandungan
kimia yang dihasilkan diharapkan dapat optimal. Selain itu, dipilih daun ke-4
sampai ke-8 karena apabila daun yang diambil kurang dari daun ke-4, daun belum
cukup tua sehingga dikhawatirkan kandungan kimia yang dihasilkan belum
optimal. Apabila daun yang diambil setelah daun ke-8, daun sudah terlalu tua,
dikhawatirkan mutunya rendah karena kandungan kimianya sudah terdegradasi.
B. Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman bertujuan untuk memastikan apakah bahan baku
tanaman yang digunakan adalah daun jati belanda. Determinasi tanaman ini
dilakukan di laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta secara makroskopik dengan membandingkan ciri-ciri morfologi
35
tanaman jati belanda yang digunakan dengan buku acuan yang ada. Hasil
determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Guazuma ulmifolia Lamk.
C. Pembuatan Simplisia Daun Jati Belanda
Pada proses pembuatan simplisia daun jati belanda, tahap pertama yang
dilakukan adalah sortasi basah. Sortasi basah bertujuan untuk memisahkan
kotoran-kotoran dan bahan asing lain misalnya rumput, batang dan serangga
seperti semut yang melekat pada daun.
Tahap selanjutnya dilakukan pencucian daun. Pada proses pencucian,
daun dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir. Pencucian ini dilakukan untuk
menghilangkan tanah dan pengotor lain. Tanah mengandung bermacam-macam
mikroba dalam jumlah yang tinggi. Oleh karena itu, tanah yang dibersihkan dari
simplisia dapat mengurangi jumlah mikroba (Anonim, 1985). Daun yang telah
dicuci, kemudian ditiriskan dan disebarkan secara merata di atas meja dengan
tujuan untuk menghilangkan sisa-sisa air dari proses pencucian. Daun yang telah
berkurang kelembabannya kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 45ºC
selama 2 hari. Suhu yang digunakan yaitu 45°C karena bahan simplisia biasanya
dikeringkan pada suhu 30°C sampai 90°C, tetapi suhu pengeringan yang terbaik
adalah tidak melebihi 60°C (Anonim, 1985). Suhu yang terlalu tinggi dapat
merusak kandungan kimia yang terdapat dalam daun jati belanda. Pengeringan ini
bertujuan untuk mengurangi kadar air pada daun dan mendapatkan bahan yang
tidak mudah rusak oleh jamur, bakteri dan mikroorganisme lainnya sehingga
36
dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Pengeringan di dalam oven juga
bertujuan agar bahan simplisia tidak tercemar oleh pengotor dari luar, misalnya
debu. Pengeringan menggunakan oven yang tertutup rapat memungkinkan panas
menyebar secara merata di dalamnya sehingga hasil pengeringan pun akan lebih
merata. Selain itu, adanya suhu yang diatur di dalam oven menyebabkan
pengeringan akan lebih cepat. Pengeringan dilakukan selama 2 hari untuk
memperoleh daun yang benar-benar kering. Daun yang benar-benar kering dapat
diketahui dengan cara meremas daun sampai dapat hancur. Daun yang telah
kering tersebut akan memudahkan dalam proses penyerbukan. Tahap akhir dalam
proses pembuatan simplisia yaitu dilakukan sortasi kering yang bertujuan untuk
memisahkan pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia daun.
Simplisia daun jati belanda yang telah dipisahkan dari pengotor kemudian siap
untuk diserbuk.
D. Pembuatan Serbuk Daun Jati Belanda
Pembuatan serbuk simplisia dilakukan dengan menggunakan blender
sehingga dihasilkan serbuk kering daun jati belanda. Pembuatan serbuk ini
bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel. Serbuk kering daun kemudian
diayak menggunakan ayakan dengan nomor mesh 12/50. Tujuan dari pengayakan
ini adalah untuk memperoleh serbuk yang kecil dan seragam sehingga luas
permukaan kontak dengan pelarut semakin besar dan diharapkan kandungan zat
aktif pada daun yang tersari lebih banyak.
37
Berdasarkan Anonim 1977, kecuali dinyatakan lain, seluruh simplisia
harus dihaluskan menjadi serbuk dengan derajat halus (4/18). Pada proses
pengayakan terdapat pembatasan derajat halus untuk simplisia tertentu. Hal ini
dikarenakan serbuk yang terlalu halus akan mempersulit proses penyaringan
karena butir-butir halus serbuk akan membentuk suspensi yang sulit dipisahkan
dengan hasil penyarian. Hal demikian dapat menyebabkan hasil penyarian tidak
murni lagi tetapi tercampur dengan partikel-partikel halus tadi. Selain itu,
penyerbukan yang terlalu halus dapat menyebabkan banyak dinding sel yang
pecah sehingga zat yang tidak diinginkan pun ikut ke dalam hasil penyarian
(Anonim, 1986 a).
Derajat halus suatu serbuk yang dinyatakan dengan 2 nomor
dimaksudkan bahwa semua serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor
terendah dan tidak lebih dari 40% melalui pengayak dengan nomor tertinggi. Pada
proses pengayakan ini, berarti serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor 12
dan tidak lebih dari 40% melalui pengayak dengan nomor 50. Jenis pengayak
yang digunakan dinyatakan dengan nomor mesh, dilakukan melalui konversi
angka derajat halus, yaitu mengalikan 4/18 dengan 2,54 (1 inchi) (Anonim, 1977).
Hasil yang didapat dari konversi yaitu ayakan dengan nomor mesh 10/45 tetapi
karena terbatasnya ketersediaan alat di laboratorium maka digunakan ayakan
dengan nomor mesh 12/50. Pengayakan dengan nomor mesh 12/50 ini tidak
memberikan berpengaruh pada proses penyarian karena serbuk yang dihasilkan
tidak ikut masuk ke dalam ekstrak cair.
38
Daun yang telah diserbuk kemudian diayak dengan ayakan nomor mesh
12/50. Serbuk daun yang diambil adalah serbuk yang dapat melalui ayakan
dengan nomor mesh 12 dan serbuk yang tidak lebih dari 40% melalui ayakan
dengan nomor mesh 50. Serbuk daun jati belanda yang telah diayak kemudian
disimpan di dalam plastik dan dimasukkan ke dalam wadah berupa toples yang
ditutup rapat. Penyimpanan ini bertujuan untuk menjaga agar mutu serbuk daun
jati belanda tetap baik selama digunakan.
E. Pembuatan Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda
Menurut Anonim 2004 a, dalam pembuatan ekstrak kental daun jati
belanda, ekstrak dibuat dengan cara maserasi dengan menggunakan etanol 95%.
Cairan penyari yang digunakan yaitu etanol 95% karena tanin dapat larut dalam
pelarut organik polar. Etanol 95% merupakan pelarut organik polar sehingga
diharapkan dapat melarutkan kandungan tanin pada daun. Selain itu, penggunaan
etanol bertujuan untuk menghindari pertumbuhan mikroba pada ekstrak yang
diperoleh. Prinsip dari proses maserasi yaitu cairan penyari akan menembus
dinding sel daun dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif
sehingga zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka zat aktif yang terdapat pada
sel daun dapat tersari oleh cairan penyari.
Pada proses maserasi, serbuk kering daun jati belanda dilarutkan dalam
pelarut etanol 95%, kemudian direndam selama 6 jam sambil dilakukan
penggojogan menggunakan shaker dan didiamkan selama 24 jam. Penggojogan
39
dengan menggunakan shaker bertujuan untuk meratakan konsentrasi larutan di
luar butir serbuk daun. Selain itu, dengan penggojogan akan tetap terjaga derajat
perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel daun
sehingga kandungan kimia akan terlarut secara optimal dalam cairan penyari.
Pendiaman selama 24 jam ditujukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak
diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari (Anonim, 1998 a). Maserat
yang dihasilkan kemudian dipisahkan menggunakan corong Buchner. Maserat
yang diperoleh berupa ekstrak cair daun jati belanda. Proses maserasi diulangi 2
kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama agar kandungan kimia yang
terdapat pada daun jati belanda dapat tersari secara optimal.
Ekstrak cair daun jati belanda yang diperoleh, kemudian dikumpulkan
dan dikentalkan dengan menggunakan Vacuum Rotary Evaporator. Pengentalan
ekstrak cair menggunakan alat ini dapat menjaga stabilitas kandungan kimia yang
terdapat pada ekstrak karena adanya penguapan larutan pengekstraksi yang lebih
cepat dan karena adanya tekanan serta suhu yang diatur tidak terlalu tinggi.
Pengentalan ekstrak cair daun jati belanda dilakukan pada suhu 50°C. Suhu diatur
tidak terlalu tinggi karena bila dilakukan pada suhu tinggi, dikhawatirkan
kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak menjadi rusak. Hasil dari
pengentalan tersebut kemudian dikentalkan lagi di dalam oven dengan suhu 45°C
hingga diperoleh ekstrak kental daun jati belanda dengan konsistensi liat dan tidak
dapat dituang.
40
a b
Gambar 5. Ekstrak cair (a) dan ekstrak kental (b) daun jati belanda
Tabel I. Hasil ekstraksi daun jati belanda
Ekstraksi
Jumlah serbuk yang
diekstraksi (gram)
Hasil ekstrak kental (gram)
Rendemen ekstrak
kental (%)
Rendemen rata-rata (%) ± SE
CV
Replikasi I 105 25,60 24,38
24,32 ± 0,39 1,60% Replikasi
II 105 24,80 23,62
Replikasi III 105 26,20 24,95
Berdasarkan hasil ekstraksi dengan cara maserasi, diperoleh ekstrak
kental daun jati belanda dengan 3 kali replikasi masing-masing sebanyak gram;
gram dan gram dengan berat rata-rata ekstrak kental sebesar 25,53 gram.
Rendemen rata-rata ekstrak kental yang diperoleh sebesar 24,32% ± 0,39 dan nilai
CV sebesar 1,60%. Nilai CV yang diperoleh masuk dalam batas yaitu ≤ 2%. Hal
ini menandakan bahwa reprodusibilitas proses ekstraksi daun jati belanda
menggunakan cairan penyari etanol tinggi.
41
F. Identifikasi Tanin secara Kualitatif dengan KLT
Ekstrak kental daun jati belanda diketahui mengandung senyawa tanin.
Senyawa tanin itu sendiri dibedakan menjadi 2 jenis yaitu tanin terhidrolisis dan
tanin terkondensasi. Identifikasi tanin dalam ekstrak etanolik daun jati belanda
dilakukan secara kualitatif dengan metode KLT. Identifikasi secara kualitatif ini
bertujuan untuk mengetahui jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak etanolik daun
jati belanda. Identifikasi secara kualitatif menggunakan metode KLT karena
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode kromatografi yang
lain, di antaranya yaitu pengerjaannya sederhana, tidak memerlukan biaya yang
besar, waktu yang dibutuhkan relatif singkat dan jumlah sampel yang dibutuhkan
lebih sedikit. Data yang diperoleh berupa harga Rf dan warna bercak hasil
pengembangan pada pelat KLT.
Standar yang digunakan dalam identifikasi ini adalah asam tanat. Asam
tanat digunakan sebagai standar karena asam tanat merupakan tanin terhidrolisis.
Pada prosesnya, akan diidentifikasi jenis tanin yang terdapat dalam ekstrak
etanolik daun jati belanda. Perbandingan kedua jenis tanin tersebut dapat dilihat
dari warna bercak, harga Rf dan hasil deteksi kimia dengan penyemprotan
menggunakan besi (III) klorida. Apabila tidak menggunakan standar, akan sulit
membedakan jenis tanin yang terdapat dalam sampel ekstrak etanolik daun jati
belanda.
Larutan standar dan sampel terlebih dahulu dibuat sebelum dilakukan
penotolan. Pada pembuatan larutan standar, asam tanat dilarutkan dalam etanol
70%. Tanin terhidrolisis dapat larut dalam campuran etanol-air (Robinson, 1995).
42
Oleh karena itu, dipilih etanol 70% karena merupakan campuran etanol-air
sehingga diharapkan dapat melarutkan asam tanat. Pada pembuatan larutan
sampel, ekstrak etanolik daun jati belanda disari dengan petroleum eter pada suhu
50°C selama 5 menit. Tujuan penyarian dengan petroleum eter di sini adalah
untuk melarutkan kandungan pada sampel yang bersifat nonpolar yang tidak
diinginkan misalnya minyak lemak dan asam lemak. Penyarian ini dilakukan di
atas penangas air pada suhu 50°C dengan tujuan untuk mempercepat pelarutan.
Fraksi petroleum eter kemudian disaring dan dipisahkan. Ekstrak kemudian disari
lagi dengan kloroform-asam asetat (99 : 1) pada suhu 50°C. Penggunaan
kloroform-asam asetat juga digunakan untuk melarutkan senyawa nonpolar yang
masih tertinggal di dalam sampel misalnya terpenoid, karotenoid, resin, kafein,
friedelin-3αasetat, friedelin 3β-ol, β-sitosterol dan zat pahit. Fraksi kloroform-
asam asetat kemudian disaring dan dipisahkan. Ekstrak kemudian disari lagi
dengan metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1). Penggunaan metanol-
kloroform-asam asetat diharapkan dapat melarutkan kandungan tanin yang
terdapat dalam sampel.
Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254 sedangkan fase
geraknya adalah etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11 : 11 : 27)v/v.
Fase diam yang digunakan yaitu silika gel memiliki sifat polar karena terdapat
ikatan Si-O-H pada permukaannya. Sifat kepolaran silika gel lebih besar
dibandingkan dengan fase gerak. Fase gerak yang digunakan memiliki sifat
kepolaran yang lebih rendah sehingga pemisahan ini termasuk pemisahan dengan
43
fase normal. Pemisahan dengan fase normal berarti fase diam yang digunakan
lebih bersifat polar dibandingkan dengan fase gerak (Sethi, 1996).
Pelat KLT yang akan digunakan harus diaktifkan terlebih dahulu selama
30 menit pada suhu 110oC (Sethi, 1996). Proses ini ditujukan untuk mengurangi
kandungan air pada silika selama penyimpanan sehingga diharapkan tidak
mengganggu selama proses pemisahan bercak. Adanya kandungan air akan sulit
menyerap senyawa yang akan dipisahkan.
Larutan standar dan sampel ditotolkan sebanyak 5 µl pada fase diam
yang berupa pelat KLT. Replikasi pada sampel dilakukan sebanyak 3 kali.
Penotolan dilakukan 2 cm dari batas bawah pelat KLT untuk menghindari larutan
standar dan sampel yang telah ditotolkan terkena langsung fase gerak karena
apabila langsung terkena fase gerak dikhawatirkan pemisahan senyawa tidak akan
berlangsung dengan baik. Larutan standar dan sampel yang telah ditotolkan,
kemudian dielusi dengan fase gerak etil asetat : asam formiat : asam asetat : air
(100 : 11 : 11 : 27) v/v. Pelat KLT dielusi di dalam bejana yang sudah jenuh oleh
uap fase gerak, kemudian ditutup rapat menggunakan alumunium foil dan ditimpa
dengan lempeng kaca. Penjenuhan bejana dilakukan dengan melapisi dinding
bejana dengan kertas saring yaitu setengah dari keliling bejana dan hampir
mencapai bagian atas bejana. Bejana dikatakan sudah jenuh, jika kertas saring
sudah terbasahi semua oleh uap fase gerak. Penjenuhan ini bertujuan agar
pemisahan dapat berlangsung sempurna, perambatan bercak cepat dan optimal,
selain itu akan menghasilkan bercak lebih bundar dan lebih baik. Proses
pengembangan dilakukan sepanjang 10 cm.
44
Pelat KLT diangkat dari bejana bila pengembangan telah mencapai 10
cm, kemudian dikeringkan. Deteksi awal bercak standar dan sampel dilakukan
dengan menggunakan deteksi fisika yaitu dengan dilihat di bawah lampu UV pada
panjang gelombang 254 dan 365 nm.
Rf
1,00
0,50
0,00
Gambar 6. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 254 nm
Keterangan : Fase gerak : etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:27) v/v Fase diam : silika gel GF254 Bercak A : standar asam tanat Bercak B : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I Bercak C : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II Bercak D : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III
A B C D
45
Berdasarkan hasil deteksi di bawah lampu UV 254 nm, terlihat bercak
standar asam tanat berwarna ungu gelap. Pada bercak sampel, terlihat pemisahan
menjadi 5 bercak setiap replikasinya dan berpendar ungu (Gambar 6.)
a.
b.
Gambar 7. Gugus kromofor dan ausokrom pada struktur asam tanat (a) dan tanin terkondensasi (b)
Keterangan : kromofor ikatan hidrogen auksokrom rigid/kaku dan planar
46
Asam tanat dan tanin terkondensasi memiliki gugus kromofor serta
auksokrom pada strukturnya. Gugus kromofor memiliki kemampuan untuk
menyerap energi radiasi sinar UV sehingga molekul senyawa dapat tereksitasi ke
tingkat yang lebih tinggi dan akan kembali lagi ke tingkat dasar sedangkan gugus
auksokrom berguna untuk memperkuat intensitas penyerapan sinar UV. Struktur
yang rigid/kaku menyebabkan ketika senyawa kembali lagi ke tingkat dasar akan
menghasilkan energi emisi yaitu dengan memancarkan warna. Adanya ikatan
hidrogen pada asam tanat membentuk siklik sehingga strukturnya menjadi
rigid/kaku dan planar. Struktur yang rigid/kaku ini menyebabkan bercak standar
berpendar ungu gelap.
Pada struktur tanin terkondensasi, terdapat beberapa ikatan hidrogen
membentuk siklik sehingga membuat struktur tanin terkondensasi lebih rigid/kaku
dan planar dibandingkan asam tanat (Gambar 7.). Struktur yang lebih rigid/kaku
ini menyebabkan pendaran yang dihasilkan akan lebih terang.
Pada sampel, terlihat bercak pada ketiga replikasi berpendar ungu.
Pendaran ini disebabkan senyawa pada bercak sampel mengandung gugus
kromofor serta memiliki struktur yang rigid/kaku dan planar dibandingkan dengan
standar asam tanat sehingga pendaran yang dihasilkan lebih terang yaitu ungu.
Deteksi bercak standar dan sampel selanjutnya dilakukan dengan dilihat di bawah
lampu UV 365 nm.
47
Rf
1,00
0,50
0,00
Gambar 8. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati
belanda dengan deteksi UV 365 nm
Keterangan : Fase gerak : etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:27) v/v Fase diam : silika gel GF254 Bercak A : standar asam tanat Bercak B : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I Bercak C : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II Bercak D : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III
Berdasarkan hasil deteksi dengan lampu UV 365 nm, bercak standar
tidak berpendar (Gambar 8.). Hal ini berarti asam tanat tidak menyerap energi
radiasi sinar UV pada panjang gelombang 365 nm. Berbeda dengan standar,
bercak sampel terlihat berpendar kuning. Senyawa pada bercak sampel
mengandung gugus kromofor yang dapat menyerap energi radiasi sinar UV pada
A B C D
48
panjang gelombang 365 nm sehingga molekul senyawa dapat tereksitasi ke
tingkat yang lebih tinggi dan akan kembali lagi ke tingkat dasar. Struktur yang
rigid/kaku menyebabkan ketika molekul senyawa pada bercak kembali lagi ke
tingkat dasar akan menghasilkan energi emisi yaitu dengan memancarkan warna.
Hal inilah yang menyebabkan pendaran kuning pada bercak sampel. Pada
identifikasi tanin dengan KLT ini, selain warna bercak juga dilihat harga Rf yang
dihasilkan pada bercak standar dan sampel (Tabel II.)
Tabel II. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT sebelum disemprot pereaksi besi (III) klorida
Asal larutan Bercak Harga Rf
bercak VisualDeteksi
UV 254 nm
UV 365 nm
Standar asam tanat 0,66 - Ungu
gelap Hitam
Sampel ekstrak
replikasi 1
Bercak 1 0,28 - Ungu Kuning Bercak 2 0,40 - Ungu Kuning Bercak 3 0,46 - Ungu Kuning Bercak 4 0,51 - Ungu Kuning Bercak 5 0,56 - Ungu Kuning
Sampel ekstrak
replikasi II
Bercak 1 0,28 - Ungu Kuning Bercak 2 0,40 - Ungu Kuning Bercak 3 0,47 - Ungu Kuning Bercak 4 0,51 - Ungu Kuning Bercak 5 0,57 - Ungu Kuning
Sampel ekstrak
replikasi III
Bercak 1 0,29 - Ungu Kuning Bercak 2 0,41 - Ungu Kuning Bercak 3 0,47 - Ungu Kuning Bercak 4 0,52 - Ungu Kuning Bercak 5 0,56 - Ungu Kuning
Apabila diamati secara visual, tidak terlihat warna bercak standar
maupun sampel tetapi ketika dilihat di bawah lampu UV 254, warna bercak antara
standar dan sampel yang dihasilkan hampir mendekati/mirip, yaitu pada standar
berpendar ungu gelap sedangkan pada sampel berpendar ungu (Tabel II.).
49
Walaupun warna bercak antara standar dan sampel hampir mirip tetapi harga Rf
yang dihasilkan antara bercak standar dan sampel tidak sama. Harga Rf bercak
standar yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan kelima bercak pemisahan
sampel. Harga Rf bercak standar yaitu 0,66 sedangkan bercak sampel pada kisaran
0,28-0,57. Harga Rf yang lebih tinggi pada standar menandakan bahwa sifat
kepolarannya mirip dengan fase gerak sehingga interaksinya dengan fase gerak
pun lebih besar.
Gambar 9. Interaksi antar komposisi fase gerak
Keterangan : ikatan hidrogen
Fase gerak yang digunakan bersifat polar di mana sifat kepolarannya
lebih rendah dibandingkan dengan fase diam. Pada gambar 9 terlihat adanya
interaksi antar komposisi fase gerak dengan membentuk ikatan hidrogen.
50
Gambar 10. Interaksi asam tanat dengan fase gerak
Gambar 11. Interaksi tanin terkondensasi dengan fase gerak
Keterangan : ikatan hidrogen
51
Pada gambar 10 dan 11 terlihat bahwa terjadi interaksi antara asam tanat
dengan fase gerak dan interaksi antara tanin terkondensasi dengan fase gerak
membentuk ikatan hidrogen. Pada strukturnya, asam tanat memiliki gugus OH
yang lebih banyak daripada gugus OH pada struktur tanin terkondensasi sehingga
interaksi yang terjadi antara asam tanat dengan fase gerak pun lebih besar. Hal ini
menyebabkan harga Rf yang dihasilkan oleh bercak standar asam tanat lebih tinggi
daripada bercak sampel (Tabel II.). Selain itu, struktur pada asam tanat kurang
planar dibandingkan dengan struktur tanin terkondensasi. Struktur yang kurang
planar ini menyebabkan probabilitas asam tanat untuk terelusi oleh fase gerak
semakin besar sehingga bercak standar asam tanat harga Rf yang dihasilkan lebih
tinggi dibandingkan dengan bercak sampel.
Pada bercak sampel, terlihat bahwa harga Rf yang dihasilkan lebih
rendah daripada bercak standar (Tabel II.). Harga Rf bercak sampel yang
dihasilkan berbeda dengan bercak standar sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada bercak sampel diduga mengandung tanin yang berbeda dengan asam tanat.
Bercak sampel diduga mengandung tanin terkondensasi. Pada strukturnya tanin
terkondensasi memiliki gugus OH yang lebih sedikit sehingga interaksi yang
terjadi dengan fase gerak pun lebih rendah (Gambar 11.). Interaksi ini
menyebabkan bercak sampel lebih tertahan pada fase diam sehingga harga Rf
yang dihasilkan pun lebih rendah dibandingkan harga Rf bercak standar.
Interaksi antara asam tanat dengan fase diam dan interaksi antara tanin
terkondensasi dengan fase gerak yaitu dengan membentuk ikatan hidrogen.
Interaksi bercak standar dan sampel dengan fase diam ini sama halnya dengan
52
interaksi yang terjadi dengan fase gerak. Bila dilihat dari strukturnya, tanin
terkondensasi mempunyai struktur yang lebih planar dibandingkan dengan asam
tanat. Struktur yang planar ini menyebabkan probabilitas untuk berinteraksi
antara bercak sampel dengan fase diam pun lebih besar. Hal ini menyebabkan
bercak yang diduga mengandung tanin terkondensasi lebih tertahan pada fase
diam dan harga Rf yang dihasilkan pun lebih rendah dibandingkan harga Rf bercak
standar asam tanat.
Berdasarkan hasil deteksi fisika menggunakan lampu UV 254 dan 365
nm, diketahui bahwa bercak sampel diduga mengandung tanin terkondensasi.
Deteksi selanjutnya dilakukan dengan deteksi kimia yaitu dengan menggunakan
pereaksi semprot besi (III) klorida. Penyemprotan dengan besi (III) klorida dapat
untuk membedakan tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi (Robinson, 1995).
Deteksi ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan warna bercak yang dihasilkan
antara kedua jenis tanin yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Bercak
sampel kemudian dideteksi secara kimia menggunakan pereaksi semprot besi (III)
klorida.
53
Rf
1,00
0,50
0,00
Gambar 12. Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi menggunakan pereaksi semprot besi (III) klorida
Keterangan : Fase gerak : etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100:11:11:27) v/v Fase diam : silika gel GF254 Bercak A : standar asam tanat Bercak B : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I Bercak C : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II Bercak D : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III
Pada hasil deteksi dengan penyemprotan besi (III) klorida, didapat hasil
bercak standar asam tanat terlihat berwarna biru kehitaman sedangkan kelima
bercak pemisahan sampel pada setiap replikasi berwarna hijau kecokelatan
A B C D
54
(Gambar 12.). Terjadinya warna tersebut karena terbentuknya komplek logam Fe
dengan gugus fenol pada salah satu benzen dalam struktur asam tanat maupun
tanin terkondensasi. Berikut adalah reaksi antara tanin terkondensasi dengan
pereaksi besi (III) klorida menghasilkan senyawa kompleks.
O
OH
HO
OH
OH
O
OH
OH
OHHO
OH O
OH
OH
OHHO
OH
OH
FeCl3 3+
OHO
OHHO
OH
HO
OHO
OH
HO
OH
OHO
O
O
OHHO
O
HO
OH
HO
HO
O
HO
HO
HO
OH
O
HO
O
O
OH
OH
O
OH
HO
O
O
O
OH
OH
OHHO
OH O
OH
OH
OHHO
OH
H
Fe
H
H
OH
OH
OH
OH
3+
+ 3HCl-
Gambar 13. Reaksi tanin terkondensasi dengan pereaksi semprot besi (III) klorida
55
Tabel III. Harga Rf dan warna bercak sampel dengan KLT setelah disemprot pereaksi besi (III) klorida
Asal larutan Bercak Harga Rf bercak Visual
Standar asam tanat 0,66 Biru kehitaman
Sampel ekstrak replikasi 1
Bercak 1 0,28 Hijau kecokelatan Bercak 2 0,40 Hijau kecokelatan Bercak 3 0,46 Hijau kecokelatan Bercak 4 0,51 Hijau kecokelatan Bercak 5 0,56 Hijau kecokelatan
Sampel ekstrak replikasi II
Bercak 1 0,28 Hijau kecokelatan Bercak 2 0,40 Hijau kecokelatan Bercak 3 0,47 Hijau kecokelatan Bercak 4 0,51 Hijau kecokelatan Bercak 5 0,57 Hijau kecokelatan
Sampel ekstrak replikasi III
Bercak 1 0,29 Hijau kecokelatan Bercak 2 0,41 Hijau kecokelatan Bercak 3 0,47 Hijau kecokelatan Bercak 4 0,52 Hijau kecokelatan Bercak 5 0,56 Hijau kecokelatan
Berdasarkan deteksi kimia dengan penyemprotan menggunakan pereaksi
besi (III) klorida, harga Rf bercak standar dan sampel sama seperti sebelum
disemprot tetapi warna bercak standar dan sampel yang dihasilkan berbeda.
Menurut Bruneton (1999), penyemprotan dengan menggunakan besi (III) klorida
pada tanin terhidrolisis menampakkan bercak berwarna biru kehitaman dan pada
tanin terkondensasi menampakkan bercak berwarna hijau kecokelatan.
Berdasarkan hasil deteksi yang diperoleh, bercak asam tanat yang merupakan
tanin terhidrolisis memberikan warna biru-kehitaman setelah disemprot dengan
besi (III) klorida sedangkan pada bercak sampel berwarna hijau kecokelatan.
Warna hijau kecokelatan menunjukkan bahwa pada sampel ekstrak etanolik daun
jati belanda diduga mengandung tanin terkondensasi.
56
G. Pengukuran AUC Tanin dengan KLT-Densitometri
Bercak sampel yang diduga mengandung tanin terkondensasi diukur
nilai AUC-nya menggunakan TLC Densitometry Scanner. Tahap awal yang
dilakukan yaitu dengan penentuan panjang gelombang serapan maksimum
kemudian dilakukan pengukuran AUC bercak sampel pada panjang gelombang
serapan maksimum yang diperoleh.
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum
Penentuan panjang gelombang serapan maksimum diperoleh dengan
cara menelusuri bercak sampel pada panjang gelombang 200 nm sampai 380 nm.
Penelusuran ini dilakukan untuk memperoleh panjang gelombang yang dicapai
pada saat terjadi serapan maksimum yang ditunjukkan dengan terbentuknya
puncak kurva.
Gambar 14. Hasil scanning panjang gelombang serapan maksimum pada bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner
57
Berdasarkan hasil penelusuran, diperoleh panjang gelombang serapan
maksimum bercak sampel yaitu 332 nm. Panjang gelombang serapan maksimum
ini digunakan untuk mengukur AUC bercak sampel yang diduga mengandung
tanin terkondensasi.
2. Pengukuran AUC bercak sampel
AUC bercak sampel yang diduga mengandung tanin terkondensasi
diukur pada panjang gelombang 332 nm menggunakan TLC Densitometry
Scanner. Reprodusibilitas proses ekstraksi ditunjukkan dengan nilai AUC bercak
sampel yang diperoleh. Hasil pengukuran AUC bercak sampel dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel IV . Nilai AUC bercak sampel
Replikasi Rata-rata ± SE
CV
I II III 10835,9667 ± 173,8401 1,6043% 11108,1 10512,5 10887,3
Berdasarkan hasil pengukuran AUC bercak sampel diketahui bahwa
dalam 1g/5ml sampel ekstrak etanolik daun jati belanda pada totolan sebanyak 5
µl, diduga mengandung tanin terkondensasi dengan nilai AUC rata-rata sebesar
10835,9667 ± 173,8401 dan CV sebesar 1,6043%. Menurut Harmita (2004), nilai
CV yang diperbolehkan yaitu ≤ 2. Nilai AUC dan CV yang diperoleh
menunjukkan serangkaian proses ekstraksi dengan cairan penyari etanol adalah
reprodusibel.
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Pada identifikasi tanin secara kualitatif dengan metode KLT diketahui bahwa
sampel ekstrak etanolik daun jati belanda diduga mengandung tanin
terkondensasi.
2. Nilai AUC rata-rata sebesar 10835,9667±173,8401 dan nilai CV sebesar
1,6043% menunjukkan proses ekstraksi menggunakan cairan penyari etanol
adalah reprodusibel.
B. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi dan isolasi
tanin dalam ekstrak etanolik daun jati belanda yang berasal dari kebun tanaman
obat Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
59
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1977, Materia Medika, Jilid I, xx, 136-137, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1978, Materia Medika, Jilid II, 42, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, 782-784, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 1-15, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1986 a, Sediaan Galenik, 2-40, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta Anonim, 1986 b, Medicinal Herb Index In Indonesia, 101, P.T., Eisai Indonesia,
Jakarta Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 9, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, cetakan
pertama, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2003, Sinar Harapan, http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/
2003/1010/kes1. html, diakses tanggal 20 Januari 2008 Anonim, 2004 a, Monografi Ekstrak Tumbuhan Indonesia, Vol.I, 29-31, Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2004 b, Mutamba (Guazuma ulmifolia) Monograph, Raintree Nutrition,
Inc. Carson City, Nevada
Anonim, 2005, Classification and Separation Methods, http://www.emdchemicals.com/lifescience/literature/packing-silica-gel- for-use-in-flash-chromatography.pdf, diakses tanggal 28 Februari 2010
Anonim, 2007, Martindale: The Complete Drug Reference, The Parmaceutical Press
Anonim, 2009, Tannic Acid,http://www.phtocemicals.info/phytochemicals/tannic-
acid.php, diakses tanggal 8 Desember 2009
60
Arifin, Z., 2008, Beberapa Unsur Mineral Esensial Mikro Dalam Sistem Biologi dan Metode Analisisnya, 99-104, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor
Backer, C.A., dan Backhuizen van den Brink, R. C., 1963, Flora Of Java, Vol. I,
3-7, 402-404, 408, N.V.P Noordhoff-Groningen-The Netherlands Bruneton, J., 1999, Pharmacognosy Phytochemistry Medicinal Plants, 2nd edition,
371, Lavoisier Publishing, France Clinton, C., 2009, Plant tannins: A novel approach to the treatment of ulcerative
colitis, http://naturalmedicinejournal.com/pdf/nmj_nov09to_clinton.pdf, diakses tanggal 18 Maret 2010
Harborne, 1987, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, terbitan kedua, 5-77, 103-115, 147-157, 235-241, Penerbit ITB, Bandung
Hardjono, S., 1983, Kromatografi, 32-34, Laboratorium Analisis Kimia Fisika
Pusat, UGM, Yogyakarta Harmita, 2004, Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya,http://jurnal.farmasi,ui.ac.id/pdf/2004/volno3/Harmita010301.pdf, diakses tanggal 20 Januari 2010
Heinrich, M., Barnes, J., Gibbons, S., dan Williamson, E. M., 2004, Fundamental
of Pharmacognosy and Phytotherapy, 77-78, Churchill Livingstone,Toronto
Heyne, H., 1987, Tanaman Berguna Indonesia, Jilid III, 1348-1349, Yayasan
Sarana Wanajaya, Jakarta Jork, 1990, Thin-Layer Chromatography, Vol.Ia, 12, Federal Republic of
Germany Joshita, D., 2000, Pengaruh daun Jati Belanda Terhadap Kerja Enzim Lipase
secara In Vitro, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.6, No.2, 6-8 Mills, S. dan Bone, K., Principles, Principles and Practice of Phytotherapy, 69,
Churcill Livingstone, USA Mintarsih, 1990, E. R. R., 1990, Penetapan Kadar Alkaloid Kinina dalam Akar,
Batang, dan Daun Chinchona Succirubra Pavon et Klotzsch dari Daerah Kaliurang secara Spektrodensitometri (TLC-scanner), Skripsi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta
61
Monica, W.S., 2000, Pengaruh Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Kelinci, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.6, No.2,12-13
Noegrohati, S., 1994, Pengantar Kromatografi, dalam Noegrohati, S. dan Narsito,
(Eds.), Risalah Prinsip dan Aplikasi Beberapa Teknik Analisis Instrumental, Laboratorium Analisis Kimia dan Fisika Pusat UGM, Yogyakarta
Nurwati, S., 1984, Pengaruh Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap
Berat Badan dan Gambaran Hematologik Darah Tikus Betina serta Identifikasi Komponen lendirnya, Skripsi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta
Powell, M. H., 1997, Winrock Internasional, http://www.winrock.org/forestry/
factnet.htm, diakses tanggal 17 Maret 2009 Pramono, S., Nurwati, S., Sugiyanto, 2000, Pengaruh Lendir Daun Jati Belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk.), Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 14-15, Vol.6, No.2
Rahardjo, S.S., Ngatijan, Pramono, S., 2005, Aktivitas Lipase Pankreas Rattus
norvegicus Akibat Pemberian Ekstrak Etanol Daun Jati Belanda (Guazuma Ulmifolia Lamk), Inovasi Online, Vol.4
Robinson, T., 1995, The Organic Constituent of Higher Plants, diterjemahkan
oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Edisi VI, 71-72, Penerbit ITB, Bandung
Semedi, S.J., 1994, Penelitian Pendahuluan Pengaruh Pemberian Seduhan Daun
Guazuma ulmifolia Lamk. terhadap aktivitas enzim SGOT, SGPT, SGGT Kelinci, http://www.haldin-natural.com/techdata/guazuma b.html, dalam Dzulkarnain B., et al., Review of Researches on Medicinal Plant (Part VI), Center for Pharmaceutical Research and Health Development, Jakarta : Ministry of Health of Republic of Indonesia
Sethi, P.H.,1996, High Performance Thin Layer Chromatography Quantitative
Analysis of Pharmaceutical Formulations, 6, CBS Publishers, New Delhi
Sjahid, L.R., 2008, Isolasi dan Identifikasi Flavonoid dari Daun Dewandaru
(Eugenia uniflora L.), 10-11, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta
Stahl, E., 1983, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, 3-17, Penebit
ITB, Bandung
62
Sudjadi, 1988, Metode Pemisahan, 75, Penerbit Kanisius, Yogyakarta Sulaksana, J. dan Jayusman D.I., 2005, Kemuning Jati Belanda, 8, 21-24, 45-47,
Penebar Swadaya, Jakarta Supardjan, A. M., 1987, Pemisahan Tetrasiklin dan Hasil Pemisahannya dalam
Sediaan Tetrasiklin secara KLT-densitometri, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian, UGM, Yogyakarta
Voigt, 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Edisi V, 579-582, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta Widodo, W., 2005, Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual,
http://wahyuwidodo.staff.umm.ac.id/files/2010/01/NUTRISI-DAN-PAKAN-UNGGAS-KONTEKSTUAL.pdf, diakses tanggal 28 Februari 2010
Wijayanti, V.D., 2007, Pengaruh Infusa Pada Daun Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.) Terhadap Kadar Trigliserida Dalam Plasma Tikus Putih Jantan Galur Wistar, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Wulandari, R., 1996, Ekstraksi dan Identifikasi secara Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) dan Spektrofotometri UV Senyawa Alakloid Tumbuhan Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), Skripsi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta
Xuepin, Liao, 2003, Selective Adsorption of Tannins Onto Hide Collagen Fibres,
http://chem.scichina.com:8081/sciBe/fileup/PDF/03yb0495.pdf, diakses tanggal 28 Februari 2010
63
64
Lampiran 1. Surat keterangan determinasi
Hasil determinasi yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1b, 2b, 3b, 4b, 12b, 13b, 14b, 17b, 18b, 19b, 20b, 21b, 22b, 23b, 24b, 25b, 16b,
27a, 28b, 29b, 30b, 31a, 32a, 33a, 34a, 35a, 36d, 37b, 38b, 39b, 41b, 42b, 44b,
45b, 46e, 50a,…………………………………94 (Sterculiaceae)
1b, 6b, 10b, 12b, 15b, 17a, 18b…………10(Guazuma ulmifolia Lamk.)
(Backer dan Backhuizen van den Brink , 1963).
65
Lampiran 2. Foto bahan pada proses pengentalan ekstrak etanolik daun jati belanda
Daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.)
Ekstrak cair daun jati belanda
Ekstrak kental daun jati belanda
66
Lampiran 3. Data pengentalan ekstrak etanolik daun jati belanda
Vacum Rotary Evaporator Ekstrak Etanolik Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk. )
∆p (m bar) 10
Tekanan untuk etanol 95% (m bar) 175
Tekanan untuk air (m bar) 72
Suhu (° C) 50
∆p (%) 50
Oven
Suhu (° C) 45
Waktu 8 jam
Hasil Ekstrak Kental (g)
Replikasi I 25,60
Replikasi II 24,80
Replikasi III 26,20
Rendemen rata-rata (%) 24,32
SE 0,39
CV (%) 1,60
67
Lampiran 4. Perhitungan perolehan ekstrak kental daun jati belanda
Berat serbuk daun jati belanda setiap kali replikasi = 105 g
% Rendemen = berat rendemen 100%berat serbuk
x
1. Replikasi I
a. Berat cawan kosong (g) = 66,30
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 78,70
Berat ekstrak kental (g) = 12,40
b. Berat cawan kosong (g) = 57,60
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 70,80
Berat ekstrak kental (g) = 13,20
Total ekstrak kental (g) = 25,60
% Rendemen = 25,60 g 100% = 24,38105g
x %
2. Replikasi II
a. Berat cawan kosong (g) = 64,50
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 76,20
Berat ekstrak kental (g) = 11,70
b. Berat cawan kosong (g) = 58,90
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 72,00
Berat ekstrak kental (g) = 13,10
Total ekstrak kental (g) = 24,80
% Rendemen = 24,80 g 100% = 23,62105g
x %
68
3. Replikasi III
a. Berat cawan kosong (g) = 63,80
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 76,60
Berat ekstrak kental (g) = 12,80
b. Berat cawan kosong (g) = 58,40
Berat cawan + ekstrak kental (g) = 71,80
Berat ekstrak kental (g) = 13,40
Total ekstrak kental (g) = 26,20
% Rendemen = 26,20 g 100% = 24,95105g
x %
Berat ekstrak kental rata-rata = 25,60g + 24,80g + 26,20g3
= 25,53g
% Rendemen rata-rata = 24,38% + 23,62% + 24,95%3
= 24,32%
SD = 2 (rendemen tiap replikasi-rendemen rata)
jumlah replikasi - 1∑
= 0,67
SE = SDn
; di mana n = jumlah replikasi
= 0,673
= 0,39
CV = 100%SE xx
= 0,39 100%24,32
x = 1,60%
69
Lampiran 5. Foto hasil identifikasi tanin secara kualitatif dengan KLT
A B C D
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 254 nm
Keterangan : Fase gerak : etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v Fase diam : silika gel GF254 Bercak A : standar asam tanat Bercak B : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I Bercak C : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II Bercak D : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III Jarak pengembangan : 10 cm
70
A B C D
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi UV 365 nm
Keterangan : Fase gerak : etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v Fase diam : silika gel GF254 Bercak A : standar asam tanat Bercak B : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I Bercak C : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II Bercak D : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III Jarak pengembangan : 10 cm
71
A B C D
Bercak standar asam tanat dan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda dengan deteksi menggunakan pereaksi semprot besi (III) klorida
Keterangan : Fase gerak : etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v Fase diam : silika gel GF254 Bercak A : standar asam tanat Bercak B : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi I Bercak C : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi II Bercak D : sampel ekstrak etanolik daun jati belanda replikasi III Jarak pengembangan : 10 cm
72
Lampiran 6. Hasil pengukuran AUC bercak sampel dengan TLC Densitometry Scanner
73
74
75
76
Lampiran 7. Perhitungan hasil pengukuran AUC bercak sampel a. Penimbangan sampel ekstrak etanolik daun jati belanda
Replikasi I Replikasi II Replikasi III
Berat cawan kaca (g) 15,4507 15,3021 15,2702
Berat cawan kaca + sampel (g) 16,4521 16,3026 16,2709
Berat sampel (g) 1,0015 1,0011 1,0010
Berat cawan kaca + sisa (g) 15,4506 15,3015 15,2699
b. Perhitungan AUC bercak sampel
Jumlah yang sampel yang ditotolkan = 5 µl = 0,005 ml
Konsentrasi sampel awal = 1,00 g/5 ml = 0,20 g/ml
Berat sampel ekstrak dalam 5 µl = 0,20 g/ml x 0,005 ml = 0,001 g = 1,00 mg
Nilai AUC bercak sampel yang diperoleh yaitu :
Replikasi Rata-rata ± SE
CV
I II III 10835,9667 ± 173,8401 1,6043% 11108,1 10512,5 10887,3
Rata-rata replikasi AUC = 11108,1 + 10512,5 +10887,33
= 10835,9667
SD = 2 (AUC tiap replikasi-AUC rata)
jumlah replikasi - 1∑
= 301,0999
77
SE = SDn
; di mana n = jumlah replikasi
= 301,09993
= 173,8401
CV = 100%SE xx
= 173,8401 100%10835,9667
x
= 1,6043%
78
BIOGRAFI PENULIS
Penulis memiliki nama lengkap Monica Dini Puspita,
lahir pada tanggal 24 Maret 1988 di Kotabumi,
Lampung Utara. Penulis merupakan anak pertama dari
pasangan Aloysius Nasib Aji Wibowo dan Bernadetha
Jumilah dan memiliki adik perempuan bernama
Katharina Dora Mysticaweni serta seorang adik laki-
laki bernama Theofilus Deni Alfaro. Penulis menempuh
pendidikan awal di TK Xaverius Kotabumi Lampung
Utara (1993-1995). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SD Xaverius
Kotabumi Lampung Utara (1995-2001), SMP Xaverius Kotabumi Lampung Utara
(2001-2003), serta SMA Xaverius Pringsewu Tanggamus (2003-2006). Pada
tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma
Yogyakarta. Begitu banyak pengalaman yang didapat oleh penulis selama
menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis
mengikuti beberapa kegiatan selama perkuliahan baik di bidang akademik
maupun non akademik, antara lain sebagai Peserta Paduan Suara Fakultas Farmasi
“Veronika” (2006-2007), Asisten Praktikum Farmakognosi Fitokimia I (2008),
Panitia Sumpahan Apoteker Angkatan XVI (2008), Panitia Sumpahan Apoteker
Angkatan XVII (2009). Penulis juga berprestasi dalam kegiatan Program
Kreativitas Mahasiswa yang berjudul “Identifikasi Potensi Infeksi Nosokomial di
Rumah Sakit X Yogyakarta” (2009).