identifikasi fungi pada jamu bubuk yang dijual di …repository.poltekkes-kdi.ac.id/947/1/karya...

107
i IDENTIFIKASI FUNGI PADA JAMU BUBUK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL KOTA KENDARI KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Politeknik Kesehatan Kemenkes Kendari Jurusan Analis Kesehatan OLEH : NILU KUMALA DEWI NIM. P00320013123 KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI JURUSAN ANALIS KESEHATAN 2016

Upload: others

Post on 29-Oct-2019

34 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

i

IDENTIFIKASI FUNGI PADA JAMU BUBUK YANG DIJUAL

DI PASAR TRADISIONAL KOTA KENDARI

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan

Diploma III Politeknik Kesehatan Kemenkes Kendari

Jurusan Analis Kesehatan

OLEH :

NILU KUMALA DEWI

NIM. P00320013123

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

2016

ii

iii

iv

v

RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama : Nilu Kumala Dewi

NIM : P00320013123

TTL : Kendari, 18 Mei 1995

Suku/Bangsa : Bali/Indonesia

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Hindu

B. Pendidikan

1. SD Negeri 2 Rate-Rate, tamat tahun 2007

2. SMP Negeri 1 Tirawuta, tamat tahun 2010

3. SMA Negeri 1 Tirawuta, tamat tahun 2013

4. Tahun 2013 melanjutkan pendidikkan di Politeknik Kesehatan Kemenkes

Kendari Jurusan Analis Kesehatan sampai sekarang.

vi

MOTTO

Hidup optimis karena kehidupan terus berjalan ,

Keputusasaan hanya membuat perjalanan hidup terhenti,

Cita-cita akan menjadi kesuksesan jika diawali dengan usaha dan doa,

Disiplin hidup akan mengarahkanmu ke masa depan yang nyata bukan hanya

sekedar impian.

Kupersembahkan untuk almamaterku

Ayah dan ibunda tercinta

Dan keluargaku tercinta

vii

ABSTRAK

Nilu Kumala Dewi (P00320013123). Identifikasi Fungi Pada Jamu

Bubuk yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari, dibimbing oleh Ruth

Mongan dan Muhaimin Saranani. (xiv + 59 halaman + 8 gambar + 6 tabel +

8 lampiran). Penelitian ini dilakukan karena setelah disurvei banyak kemasan

jamu bubuk yang tidak bagus, kondisi tempat penjualan yang tidak baik, tempat

penyimpanan yang kotor sehingga dapat menimbulkan kontaminasi fungi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya fungi pada jamu bubuk.

Variabel penelitian ini adalah jamu bubuk dengan kemasan bagus dan tidak bagus

yang dijual di Pasar Kota dengan kode A, di Pasar Korem dengan kode B, dan di

Pasar Basah dengan kode C. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

deskriptif, yang dilakukan pada tanggal 6-28 juni 2016. Jumlah sampel yang

diteliti adalah 6 sampel jamu bubuk dengan merek yang sama, dengan teknik

pengambilan porposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat

koloni fungi pada semua sampel jamu bubuk. Jumlah koloni yang ditemukan pada

sampel A2, B1, B2, dan C2 dianggap melewati batas cemaran. Sedangkan sampel

A1 dan C1 dianggap tidak melewati batas cemaran. Batas cemaran fungi pada jamu

bubuk menurut BPOM ≤ 1×104 CFU/mL. Jenis fungi yang ditemukan adalah

fungi Aspergillus sp. Secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat fungi pada

semua jamu bubuk yang diteliti. Oleh karena itu, penjual dan konsumen jamu

bubuk hendaknya memperhatikan lokasi penjualan, tempat penyimpanan serta

kemasan jamu bubuk yang diperjualbelikan. BPOM setempat hendaknya

mengawasi penjualan jamu bubuk di pasar agar dijual pada kondisi tempat

penjualan yang bersih serta tempat penyimpanan yang bersih. Peneliti selanjutnya

dapat melakukan penelitian tentang fungi pada sampel jamu jenis lain, ataupun

tentang kadar toksin fungi yang mengkontaminasi jamu bubuk.

Kata Kunci : Fungi dan jamu bubuk

Daftar Pustaka: 35 buah (1999-2016)

viii

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang

telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dengan judul “ Indentifikasi Fungi Pada Jamu Bubuk

yang Dijual Di Pasar Tradisional Kota Kendari “. Penelitian ini disusun dalam

rangka melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan program

Diplomat III ( D III ) di Politeknik Kesehatan Kemenkes Kendari Jurusan Analis

Kesehatan.

Rasa hormat, terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

kepada Ayahanda Wayan Cakra dan Ibunda Wayan Budiasih tercinta atas semua

bantuan moril maupun materi, motivasi, dukungan dan cinta kasih yang tulus serta

doa yang mereka berikan demi kesuksesan studi yang penulis jalani selama

menuntut ilmu sampai slesainya karya tulis ini. Terimaksih utnuk saudara-

saudaraku tercinta I Kadek Aditya Wijaya, Angga Pramana, Ketut Pramana Yoga

dan Desya yang telah mendukung peneliti hingga sampai saat ini.

Penulis menyadari bahwa proses penelitian karya tulis ini telah melewati

perjalanan panjang, dan peneliti banyak mendapat petunjuk dan bimbingan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti juga menghaturkan

rasa hormat dan terimakasi kepada Ibu Ruth Mongan, B.Sc,S.Pd.,M.Pd selaku

pembimbing I dan Bapak Muhaimin Saranani, S.Kp.,Ns.,M.Sc selaku

pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, kesabaran dalam membimbing

dan atas segala pengorbanan waktu dan pikiran sehingga karya tulis ini dapat

terselesaikan. Ucapan terimakasih peneliti juga tujukan kepada :

1. Bapak Petrus, SKM.,M.Kes. Selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kendari

2. Kepala kantor Badan Penelitian dan Pengembangan yang telah memberikan

izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini.

3. Ibu Ruth Mongan, B.Sc,S.Pd.,M.Pd selaku ketua Jurusan Analis Kesehatan

ix

4. Kepada Ibu penguji, Ibu Askrening,SKM.,M.Kes, Ibu Anita Rosanty,

SST.,M.Kes, Ibu Reni Yunus,S.Si.,M.Sc yang telah memberi arahan

perbaikan demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Kepada instruktur penelitian Ibu Tuty Yuniarty,S.Si.,M.Kes yang telah

dengan sabar mendampingi dan mengarahkan peneliti demi terselesaikannya

penelitian ini.

6. Bapak dan Ibu Poltekkes Kemenkes Kendari Jurusan Analis Kesehatan serta

seluruh staf dan karyawan atas segala faslitas dan pelayanan akademik yang

diberikan selama dosen penulis menuntut ilmu.

7. Kepada sahabat, Epa, Agus, Oteng, Asrul, Asdin, Ofar, Erwan, Malzin,

Dian, Linda, Kiky, Isti, Arni, Winda M, Rani, Serly, Lovi, Ari, Risa, Ati,

Ace, dan Har yang telah memberi dukungan kepada peneliti sehingga Karya

Tulis Ilmiah mampu dipertahankan dihadapan penguji.

8. Terimakasih pula kepada seluruh teman kelas dan adik kelas yang telah

memberikan bantuan kepada peneliti.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh

dari kata sempurna. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis sangat

mengharapkan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak demi

kesempurnaan karya tulis ini.

Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat untuk kita semua,

semoga dengan terselesaikannya tugas akhir ini dapat menjadi awal yang baik

bagi penulis untuk meraih kesuksesan yang lain, Svaha.

Om Santih Santih Santih Om

Kendari, Juli 2016

Peneliti

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................iii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ v

MOTTO ................................................................................................................ vi

ABSTRAK ........................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................x

DAFTAR TABEL ................................................................................................xii

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xiii

DAFTRA LAMPIRAN.......................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...............................................................................4

C. Tujuan Penelitian ................................................................................5

D. Manfaat Penelitian...............................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Jamu Bubuk ...............................................7

B. Tinjauan Umum Tentang Fungi .......................................................13

C. Tinjauan Tentang Fungi yang Terdapat Pada Jamu Bubuk ............. 27

D. Tinjauan Tentang Pemeriksaan Fungi ..............................................31

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran ................................................................................34

B. Kerangka Pikir ..................................................................................35

C. Variabel Penelitian ............................................................................36

D. Defenisi Oprasional dan Kriteria Objektif ........................................36

xi

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian .................................................................................37

B. Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................37

C. Populasi dan Sampel ........................................................................37

D. Prosedur Pengumpulan Data .............................................................38

E. Instrumen Penelitian .........................................................................38

F. Bahan Penelitian ......... ......................................................................41

G. Prosedur Pemeriksaan Laboratorium ................................................42

H. Jenis Data ........... ...........................................................................46

I. Pengelolahan Data ...........................................................................46

J. Analisis Data ....................................................................................47

K. Penyajian Data ..................................................................................47

L. Etika Penelitian .................................................................................47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 49

B. Hasil Penelitian .................................................................................50

C. Pembahasan ...................................................................................... 53

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ....................................................................................... 58

B. Saran ................................................................................................. 59

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Instrumen Penelitian di Laboratorium ..................................................... 39

Tabel 2. Bahan Penelitian ..................................................................................... .41

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pengambilan Sampel Jamu Bubuk Berdasakan Pasar

di Kota Kendari ........................................................................................ 51

Tabel 4. Pertumbuhan Koloni Fungi Pada Media Potato Dextrose Agar

(PDA).......................................................................................................51

Tabel 5. Jumlah Koloni Fungi yang Tumbuh Berdasarkan Pengenceran Pada

Media Potato Dextrose Agar (PDA).......................................................52

Tabel 6. Jenis Fungi yang Tumbuh Pada Media Potato Dextrose Agar

(PDA).......................................................................................................53

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Fungi Rhizopus oryzae ........................................................................ 17

Gambar 2. Fungi Claviceps .................................................................................... 20

Gambar 3. Fungi Tricholoma sejunctum ................................................................ 23

Gambar 4. Fungi Aspergillus sp............................................................................. 25

Gambar 5. Aspergillus niger .................................................................................. 29

Gambar 6. Aspergillus flavus ................................................................................. 30

Gambar 7. Aspergillus fumingatus ......................................................................... 30

Gambar 8. Aspergillus parasiticus ......................................................................... 31

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian Dari Jurusan Analis Kesehatan

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Dari Politeknik Kesehatan Kementrian

Kesehatan Kendari

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian Dari Badan Penelitian dan Pengembangan

Lampiran 4. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian

Lampiran 5. Proses Penelitian Identifikasi Fungi Pada Jamu Bubuk yang Dijual

di Pasar Tradisional Kota Kendari

a. Pra Analitik

1) Persiapan alat dan bahan

2) Sterilisasi alat dan bahan

3) Pembuatan media Potato Dextrose Agar (PDA)

b. Analitik

1) Inokulasi Fungi

2) Pengamatan pertumbuhan fungi dan sekaligus

penghitungan jumlah koloni fungi

3) Mengidentifikasi jenis fungi

c. Pasca Analitik

Lampiran 6. Lembar Hasil Penelitian

Lampiran 7. Tabulasi Data

Lampiran 8. Master Tabel

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jamu merupakan bagian dari obat tradisional yang digunakan secara

turun temurun dan baru memiliki klaim penggunaan sesuai dengan jenis

pembuktian tradisional. Menurut penelitian masa kini, penggunaan obat

tradisional semakin marak digunakan di masyarakat. Obat tradisional menjadi

pilihan alternatif solusi kesehatan masyarakat, oleh karena harga obat

tradisional mempunyai harga yang relatif lebih murah, maka obat jenis ini

sering menjadi pilihan pertama solusi kesehatan masyarakat kelas menengah

dan bawah. Obat tradisional telah diterima secara luas di negara-negara yang

tergolong berpenghasilan rendah sampai sedang. (Supardi, 2010 : 81-82).

Popularitas dan perkembangan semakin meningkat seiring dengan

adanya selogan gaya hidup yang kembali ke alam (back to nature) yang

semakin luas. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya industri obat

tradisional dan industri farmasi yang memproduksi obat-obatan tradisional.

(Suharmiati, 2006: 2).

Hasil Riskesdas tahun 2010 menyatakan bahwa 55,3% penduduk

indonesia menggunakan obat tradisional (jamu) untuk memelihara

kesehatannya dan 95,6% pengonsumsi obat tradisional mengakui obat

tradisional sangat bermanfaat bagi kesehatan. Saat ini kurang lebih 20.000

produk jamu yang telah beredar di Indonesia. Penjualan obat tradisional

mencapai 13 triliun pada tahun 2012 dan diperkirakan meningkat menjadi 20

triliun pada tahun 2015. (Riskesdas, 2010: xi)

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dengan

tingkat kelembapan yang tinggi menjadi faktor penyebab berkembangnya

fungi, t erutama fungi yang menghasilkan mikotoksin. Fungi dapat tumbuh

pada berbagai jenis pangan, dan pertumbuhannya akan menyebabkan

terjadinya kerusakan pangan yang bersangkutan, diantaranya kerusakan

warna, dan terbentuknya senyawa yang bersifat toksik. (Elisa, 2016 : 1).

2

Obat tradisional atau jamu merupakan bahan pangan yang mudah

dicemari oleh mikroorganisme maupun berbagai jenis fungi. Dalam

pembuatan jamu, higienis dan sanitasi hendaknya harus diterapkan, karena

jika tidak, maka akan dihasilkan ramuan yang tidak bermutu dan terjadi

kontaminasi mikroorganisme maupun berbagai jenis fungi penghasil

mikotoksin. (Elisa, 2016 : 1).

Higienis dan sanitasi bagian dari Cara Pembuatan Obat Tradisional

Baik (CPOTB) merupakan hal penting dalam upaya untuk pencegahan yang

menitikberatkan kegiatan dan tindakkan yang perlu untuk membebaskan

makanan dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu atau

merusak kesehatan, mulai dari sebelum makanan diproduksi, selama dalam

proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada saat dimana

makanan dan minuman tersebut siap untuk dikonsumsi oleh masyarakat atau

konsumen, mengingat adanya kemungkinan penyakit-penyakit akibat

tercemarnmya bahan pangan oleh mikroorganisme.(PerMenKes RI, 2011 : 3).

Pengujian rutin yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM) Banjar masin dalam rangka pengawasan terhadap produk

obat tradisional dari berbagai bentuk sediaan yang beredar di Kalimantan

Selatan pada tahun 2000, ditemukan sebanyak 152 sampel jamu (63%) dari

240 sampel jamu yang telah mengandung fungi yang melewati batas

maksimum cemaran fungi pada jamu atau obat tradisional, dimana 74%

diantaranya adalah jamu bubuk. (Sariansyah, 2002: 2).

Berdasarkan aturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

Republik Indonesia Nomor H.K.00.06.1.52.4011, tanggal 28 Oktober 2009

tentang batas maksimum cemaran fungi pada obat tradisional (jamu bubuk)

tidak lebih dari 1×104 CFU/mL. Diatas dari batas maksimum telah dianggap

dapat menyebabkan gangguan kesehatan.

Berdasarkan pemeriksaan kepatuhan implementasi Cara Pembuatan

Obat Tradisional Baik (CPOTB) yang dilakukan oleh Badan Pengawasan

Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia terhadap 84 Industri Obat

Tradisional (IOT), Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) dan Usaha

3

Menengah Obat Tradisional (UMOT) di Indonesia, menunjukkan 15

(17,86%) IOT, UKOT dan UMOT tidak memenuhi ketentuan (TMK).

Penyebab TMK yaitu 1 (1,19%) sarana memproduksi OT mengandung BKO,

10 (11,90%) sarana memproduksi produk Tanpa Izin Edar (TIE), 1 (1,19%)

sarana belum menerapkan CPOTB. (BPOM, 2015: 13).

Pada penelitian sebelumnya dengan judul “Keanekaragaman

Aspergillus Pada Berbagai Simplisia Jamu Tradisional” yang dilakukan oleh

Isworo Rukmi pada tahun 2009 di Universitas Diponegoro Semarang.

Dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 5 jenis simplisia yang

diperiksa, ditemukan adanya kapang Aspergillus dari berbagai species pada

semua jamu tersebut. Jumlah species Aspergillus yang ditemukan bervariasi

pada berbagai simplisia. Aspergillus flavus yangt ditemukan pada jamu yaitu

sebesar 90%, Aspergillus parasiticus sebesar 90%, Aspergillus niger sebesar

50%, Aspergillus fumingatus sebesar 20 %. (Rukmi, 2009: 83).

Fungi dapat menghasilkan toksin yang dapat mengganggu kesehatan.

Toksin yang dihasilkan dapat menyebabkan gangguan pernafasan, kerusakan

sistem saraf, gangguan pada ginjal, kangker hati dan bahkan dapat

menyebabkan kematian. (Ahmad, 2009: 17).

Kanker hati yang sebabkan toksin fungi secara umum diderita 500.000

orang tiap tahunnya di dunia. Di Indonesia Diperkirakan jumlah kematian

karena kanker hati yang disebabkan toksin fungi di Indonesia lebih dari

20.000 orang pertahun. Pada tahun 2004 di Kenya terdapat 400 kasus

kematian akibat keracunan toksin yang dihasilkan fungi pada makanan. Di

India bagian barat pada tahun 1974, wabah ini menyerang 397 orang dan

menyebabkan 106 kematian. (Yenny, 2006: 43 dan 47). Waktu yang

dibutuhkan toksin fungi untuk menyebabkan gangguan kesehatan pada

manusia tergantung dari sering terpaparnya serta besarnya toksin yang

dikonsumsi dari makanan yang terkontaminasi fungi, semakin besar toksin

yang dikonsumsi maka semakin cepat pula terjadinya gangguan tersebut dan

semakin besar pula dampaknya. Batas maksimum toksin yang diperbolehkan

masuk ke dalam tubuh manusia yaitu ≤ 20 ppb, semakin banyak fungi yang

4

mengkontaminasi makanan maka semakin besar pula toksin yang dihasilkan.

(Nurgaman, 2016 : 1).

Fungi dapat ditemukan pada tempat-tempat yang lembab.(Gandjar, dkk,

2014 : 3). Kemungkinan besar fungi dapat tumbuh pada jamu bubuk yang

memiliki kandungan kadar air yang tinggi, serta dijual dengan lingkungan

yang kelembapannya tinggi dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar

air sehingga kontaminan dapat semakin banyak, (Rukmi, 2009 : 86),

sehingga pada penelitian ini jamu yang akan diteliti berupa jamu bubuk.

Dilihat dari kondisi lingkungan tempat penjualan, serta pengemasan

pada produk yang kurang memenuhi syarat yaitu Cara Pembuatan Obat

Tradisional Baik (CPOTB) maka tidak menutup kemungkinan produk jamu

yang diperjualbelikan tersebut sudah terkontaminasi oleh fungi walaupun

jamu tersebut memiliki masa kadaluarsa yang panjang. Berdasarkan survei

awal yang dilakukan dibeberapa pasar tradisional Kota Kendari, dari

beberapa penjual jamu ditemukan kurang lebih 4 merek jamu bubuk yang

kemasannya sudah tidak bagus, dari 4 merek jamu tersebut hanya 1 merek

jamu bubuk yang sama-sama dijual di pasar-pasar yang telah disurvei. Selain

itu ditemukan tempat penyimpanan yang tidak bersih, serta lingkungan

penjualan yang tidak baik. Dari beberapa penjual jamu bubuk yang ditemui,

diperoleh informasi bahwa keseluruhan konsumen jamu sekitar 24 orang

perhari yang membeli jamu di tempat-tempat tersebut. Oleh karena itu,

penulis tertarik melakukan penelitian produk jamu bubuk yang

diperjualbelikan di Pasar Tradisional Kota Kendari dengan judul

“ Identifikasi Fungi Pada Jamu Bubuk yang Dijual di Pasar Tradisional

Kota Kendari ”.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat fungi pada jamu bubuk yang dijual di Pasar

Tradisional Kota Kendari ?

5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya fungi pada jamu bubuk yang dijual di

Pasar Tradisional Kota Kendari.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengidentifikasi koloni fungi pada jamu bubuk yang dijual

dibeberapa Pasar Tradisional Kota Kendari.

b. Untuk menhitung jumlah koloni fungi yang mengkontaminasi jamu

bubuk yang dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari.

c. Untuk mengidentifikasi jenis fungi yang terdapat pada jamu bubuk

yang dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan ilmiah terhadap almamater Program Studi D3

Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kendari tentang identifikasi fungi

pada jamu bubuk yang dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari, dan

sumber pustaka sekaligus menambah koleksi perpustakaan Jurusan Analis

Kesehatan untuk menjadi bahan bacaan.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan masukan kepada penjual jamu agar lebih memperhatikan

higienis dan sanitasi dalam penjualan jamu.

b. Memberikan informasi kepada konsumen jamu bubuk tentang

kandungan fungi yang terdapat pada jamu bubuk yang dijual di Pasar

Tradisional Kota Kendari.

c. Memberikan informasi kepada departemen kesehatan khususnya

BPOM tentang kandungan fungi yang terdapat pada jamu bubuk yang

dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari, sehingga BPOM dapat

mengawasi penjualan jamu bubuk dipasar agar dijual ditempat serta

tempat penyimpanan yang bersih.

6

d. Untuk peneliti, dapat menambah pengetahuan, wawasan dan

pengalaman tentang identifkasi fungi pada jamu bubuk yang dijual di

Pasar Tradisional Kota Kendari.

e. Untuk Peneliti Selanjutnya, Penelitian ini dapat menambah dan

memperluas keilmuan khususnya dalam bidang Mikologi tentang

identifikasi fungi pada jamu bubuk serta dapat digunakan sebagai

referensi bagi peneliti selanjutnya.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Jamu Bubuk

1. Pengertian Jamu

Jamu merupakan minuman tradisional yang diramu khusus dari

tumbuh-tumbuhan tertentu untuk kesehatan manusia. Jamu dibuat dari

bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-

akaran), daun-daunan dan kulit batang, maupun buah, dari hewan,

maupun campuran keduanya. Umumnya, obat tradisional ini dibuat

dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur. Satu jenis jamu disusun

dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-10 macam, bahkan

bisa lebih. (Suharmiati, 2006: 3).

Jamu adalah sebutan orang jawa terhadap obat hasil ramuan

tumbuhan asli dari alam yang tidak menggunakan bahan kimia sebagai

adiktif, tidak ada yang memastikan sejak kapan tradisi meracik dan

meminum jamu muncul. Tetapi diyakini tradisi ini telah berjalan ratusan

bahkan ribuan tahun. Jamu dipercayai secara turun temurun dipergunakan

dalam upaya pengobatan berdasarkan pengalaman. Bentuk sediaan

berbentuk sebagai serbuk atau bubuk dan bentuk rajangan.

(Soeparto, 1999 : 45).

2. Jenis – jenis Jamu

Ada dua jenis jamu yang dikenal yaitu jamu rajangan dan jamu

bubuk.

a. Jamu rajangan

Jamu rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa potongan

simplisia dengan sedian geleniknya. Simplisia yang sudah diracik

direbus sampai mendidih hingga air rebusan tersisa setengahnya.

Setelah dingin rebusan bisa langsung diminum. (Soeparto, 1999: 46).

b. Jamu Bubuk

Jamu bubuk adalah sediaan obat tradisional berupa butiran

homogen dengan derajat halus yang cocok dengan sediaan galenik atau

8

campurannya. Serbuk dapat ditunjukan untuk pemakaian oral atau luar.

Cara pembuatan serbuk secara sederhana adalah dengan menumbuk

simplisia menggunakan alu kayu atau besi, tumbukkan simplisia

kemudian diayak dengan kehalusan tertentu sehingga menghasilkan

serbuk sesuai keinginan. (Soeparto, 1999 : 46).

3. Pemanfaatan Jamu Bubuk

Pemanfaatan jamu bubuk umumnya tercermin dari nama umum

jamu. Jamu yang diproduksi dan distribusikan di indonesia dikenai aturan

yang ditetapkan oleh badan POM. Salah satunya, dalam pengemasannya

diberi label yang menjelaskan tentang obat tersebut termasuk manfaat

untuk khasiatnya. Manfaat jamu hanya boleh disampaikan dalam bentuk

mengurangi atau menghilangkan keluhan yang dialami seseorang, bukan

menyembuhkan suatu diagnosa penyakit. (Suharniati, 2006 : 12).

Secara umum manfaat jamu dapat dibedakan menjadi dua yaitu

yang bertujuan untuk menjaga kesehatan dan yang dimanfaatkan untuk

mengobati keluhan penyakit. Penggunaan obat tradisional secara umum

dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan

karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit

dari pada obat modern. (Suharniati, 2006 : 12).

4. Pembuatan Jamu Bubuk

Pembuatan jamu bubuk dilakukan dengan cara meracik atau

menyusun beberapa bahan baku sesuai dengan resep untuk menjadi jamu.

Peracikan yang dilakukan dengan cara tradisional biasanya tidak

menggunakan takaran yang tepat, tetapi hanya perkiraan berdasarkan

pengalaman yang merupakan warisan dan kebiasaan. Peracikkan obat

tradisional melibatkan empat aspek penting yang saling terkait untuk

menghasilkan obat tradisional yang berkualitas. Keempat aspek tersebut

adalah tujuan khasiat yang akan diambil, komposisi bahan yang

dibutuhkan, bahan dan alat yang dibutuhkan, serta cara pembuatan

sediaan obat tradisional. (Suharniati, 2006 : 4).

9

Dalam pembuatan jamu bubuk, langkah utama dan merupakan

persyaratan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan

untuk jamu adalah dengan diterapkannya. Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik (CPOTB) pada seluruh aspek kegiatan dan

produksi obat tradisional. Proses produksi merupakan salah satu tahapan

kunci dimana kontrol kualitas disyaratkan untuk menjamin kualitas obat

bahan alam yang diproduksi. (BPOM, 2005 : 1).

Aspek yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan CPOTB

yaitu sanitasi dan higiene (personalia, bangunan, peralatan), penyiapan

bahan baku, pengolahan dan pengemasan, dan penyimpanan. Untuk

pengawasan mutu, inspeksi diri, dokumentasi serta penanganan terhadap

hasil pengamatan produk jadi di peredaran lebih ke rancangan kerja sesuai

ketentuan yang ditetapkan oleh BPOM. (BPOM, 2005 : 1).

a. Higienis dan sanitasi

Higienis dan sanitasi merupakan hal penting dalam upaya

untuk pencegahan yang menitikberatkan kegiatan dan tindakan yang

perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya

yang dapat mengganggu atau merusak kesehatan, mulai dari sebelum

makanan diproduksi, selama dalam proses pengolahan, penyimpanan,

pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan dan minuman

tersebut siap untuk dikonsumsikan kepada masyarakat atau konsumen.

(PerMenKes RI, 2011 : 3).

Higinenis lebih mengarah pada aktivitas manusia, sedangkan

sanitasi lebih menitik beratkan pada faktor-faktor lingkungan. Jika

dalam pembuatan jamu higienis dan sanitasi tidak diterapkan dengan

baik, akan dihasilkan ramuan yang tidak bermutu. Selain itu bisa

mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan untuk kesehatan.

(Suharniati, 2006: 5).

Dalam pembuatan produk harus diterapkan tindakan sanitasi

dan higiene yang meliputi bangunan, peralatan dan perlengkapan,

10

personalia, bahan dan wadah serta faktor lain sebagai sumber

pencemaran produk. (BPOM, 2005 : 12).

Peralatan yang digunakan dalam membuat ramuan juga harus

dalam keadaan bersih. Peralatan yang tidak bersih dapat menyebabkan

timbulnya kontaminasi fungi atau mikroba lain. Sebelum digunakan,

peralatan harus sudah dalam keadaann bersih dan dikhususkan untuk

pembuatan ramuan. Setelah digunakan sebaiknya peralatan segera

dicuci kembali. Selanjutnya simpan peralatan tersebut dalam keadaan

kering di tempat yang tidak lembab agar tidak ditumbuhi fungi.

(Suharmiati dan Lestari, 2006 : 18).

b. Penyiapan bahan baku

Bahan baku seperti tumbuh-tumbuhan dicuci terlebih dahulu,

ini bertujuan untuk memperoleh simplisia yang bersih serta

menurunkan jumlah mikroba patogen yang dapat menyebabkan

pembusukkan. Simplisia yang telah dicuci hendaklah dikeringkan

terlebih dahulu. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air

pada bahan baku, sehingga mencegah pencemaran serta kontaminasi

fungi yang dapat menurunkan kualitas atau mengakibatkan keracunan

pada saat jamu dikonsumsi. Syarat kadar air pada jamu bubuk yaitu 5-

10%. (Rukmi, 2009: 87). Semua bahan baku yang tidak memenuhi

syarat harus ditandai dengan jelas, disimpan secara terpisah agar tidak

terjadi kontaminasi fungi ataupun mikroba lainnya.

(BPOM, 2005: 14).

c. Pengolahan dan pengemasan

Dalam pengolahan simplisia untuk pembuatan jamu bubuk,

bahan baku yang telah dikeringkan kemudia digiling, setelah itu

diayak yang bertujuan untuk memperoleh bahan yang benar-benar

halus, karena ada simplisia yang dapat langsung dicampur, tetapi ada

pula yang perlu diperkecil ukurannya sebelum dicampur. Perbedaan

ukuran simplisia dapat menyebabkan tidak tercampurnya semua

11

komponen, sehingga dapat menghasilkan produk yang tidak bagus.

(Budi Utama, 2010: 27).

Bahan pengemasan berfungsi memperpanjang daya simpan

produk, karena dapat mencegah kontaminasi fungi atau

mikroorganisme lainnya. Bahan pengemasan yang digunakan harus

mempunyai sifat penghantar serta penyerapan panas yang rendah,

mampu menangkal keluar masuknya uap air maupun udara (harus

rapat dan tidak bocor) sehingga tidak menyebabkan kadar air jamu

bubuk bertambah yang dapat menyebabkan pertumbuhan fungi. Bahan

yang dapat digunakan untuk pengemasan jamu bubuk yaitu kertas,

polyetylene, dan alumminium foil. (Budi Utama, 2010: 27).

Wadah yang akan digunakan diserahkan ke bagian

pengemasan harus dalam keadaan bersih. Untuk memperkecil

terjadinya kesalahan dalam pengemasan, label dan barang cetak lain

hendaklah dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki perbedaan

yang jelas antara satu produk dengan produk yang lainnya. Produk

yang bentuk atau rupanya sama atau hampir sama, tidak boleh

dikemas pada jalur berdampingan, kecuali ada pemisahan fisik.

Wadah dan pembungkus produk ruahan harus diberi label atau

penandaan yang menunjukkan identitas, jumlah, nomor kode produksi

dan status produk tersebut. (BPOM, 2005 : 18).

Pencemaran fisik, kimiawi atau jasad renik terhadap produk

yang dapat merugikan kesehatan atau mempengaruhi mutu suatu

produk tidak boleh terjadi. Pencemaran khamir, kapang dan atau

kuman non patogen terhadap produk meskipun sifat dan tingkatannya

tidak berpengaruh langsung pada kesehatan harus dicegah sekecil

mungkin sampai dengan persyaratan batas yang berlaku.

(BPOM, 2005 : 14).

d. Penyimpanan

Bahan pengemas, produk, antara produk ruahan dan produk

jadi, harus disimpan secara teratur dan rapi, dan ditempat yang kering

12

atau tidak lembab, untuk mencegah risiko tercampur, terjadinya saling

mencemari satu sama lain, dan mencegah kontaminasi fungi, serta

untuk memudahkan pemeriksaan, pengambilan dan pemeliharaannya.

Bahan yang disimpan hendaklah diberi label atau penandaan yang

menunjukan identitas, kondisi, jumlah, mutu dan cara

penyimpanannya. Pengeluaran bahan yang disimpan harus

dilaksanakan dengan cara mendahulukan bahan yang disimpan lebih

awal (first in, first out) atau yang mempunyai batas kadaluarsa lebih

awal (first expired, first out). (BPOM, 2005 : 18).

5. Penjualan Jamu Bubuk di Pasar Tradisional

Pasar merupakan sarana jual beli berbagai komoditas. Pasar

tradisional biasanya menampung banyak penjual, dilaksanakan dengan

manajemen tanpa perangkat teknologi modern dan mereka lebih mewakili

golongan pedagang menegah kebawah dan tersebar di kampung-

kampung, kota-kota kecil maupun kota-kota besar. Bangunan pasar

tradisional biasanya terdiri dari kios-kios, los dan dasaran terbuka.

(Novitasari, 2012: 15).

Penjualan jamu bubuk dipasar tradisional ada yang dijual di kios-

kios adapula yang dijual dengan lokasi penjualan yang bercampur dengan

penjual sayur, telur, dan juga ikan yang dikeringkan dengan kondisi

penjualan yang lembab, hal ini dapat menyebabkan tejadinya kontaminasi

mikroorganisme bakteri ataupun fungi. (Novitasari, 2012: 16).

Ciri-ciri jamu bubuk yang telah terkontaminasi oleh fungi sama

dengan ciri-ciri jamu bubuk yang telah kadaluarsa, dimana jamu bubuk

yang telah kadaluarsa dapat menimbulkan kontaminasi fungi. Adapun

ciri-ciri fungi yang telah terkontaminasi fungi yaitu kemasan jamu

tersebut tampak lusuh, ada lubang pada kemasan, serbuk jamu yang telah

menggumpal, bau dan warna jamu bubuk yang telah berubah misalnya

jamu bubuk yang berwarna kuning berubah menjadi kuning kecoklatan

karena lama penyimpanan ditempat yang lembab sehingga kadar air jamu

tersebut meningkat dan menyebabkan kontaminasi fungi semakin banyak,

13

terdapat bintik-bintik putih atau kehijauan pada serbuk jamu bubuk, dan

apabila diseduh bintik-bintik tersebut mengapung. Sedangkan ciri-ciri

fisik jamu bubuk yang tidak terkontaminasi fungi yaitu kemasan luarnya

bagus, tidak berlubang, pada saat kemasan jamu bubuk diraba atau

dikocok masih dalam bentuk serbuk atau tidak memadat.

(DinKes, 2016: 1).

B. Tinjauan Umum Tentang Fungi

1. Pengertian Fungi

Nama fungi berasal dari kata bahasa Yunani dan Latin, yakni

mykes (Yunani) dan fungus (Latin). (gandjar dkk, 2009 : 1).

Fungi atau jamur (cendawan) adalah organisme heterotrofik yang

memerlukan senyawa organik untuk nutrisinya. Bila fungi hidup dari

benda organik mati terlarut, maka disebut saprofit. Saprofit

menghancurkan sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang kompleks,

menguraikannya menjadi zat-zat kimia yang lebih sederhana yang

kemudian dikembalikan dalam tanah dan selanjutnya meningkatkan

kesuburannya. Jadi fungi dapat sangat menguntungkan bagi manusia.

Sebaliknya fungi juga dapat merugikan bila mereka membusukan kayu,

tekstil, makanan, dan bahan-bahan lain pada manusia dan hewan sebagi

“primary pathogen” maupun “opportunistic pathogen” juga dapat

menyebabkan alergi dan keracunan. (Irianto, 2013 : 14).

Fungi adalah tumbuh-tumbuhan yang berbentuk dan terdiri dari

satu sel atau bentuk benang bercabang – cabang, mempunyai dinding dari

selulose atau khitin ataupun kedua-duanya, mempunyai protoplasma yang

mengandung satu atau lebih inti, berkembang baik secara aseksual dan

seksual. (Hasyimi, 2010 : 109).

2. Sifat Umum Fungi

Fungi hidup secara heterotrof dengan menguraikan bahan-bahan

organik yang ada dilingkungannya. Misalnya, fungi hidup secara saprofit,

artinya hidup dari penguraian sampah-sampah organik seperti bangkai,

sisa-sita tumbuhan, makanan, dan kayu lapuk. Fungi adapula yang hidup

14

sebagai parasit dengan mendapatkan bahan organik dari inangnya seperti

kulit manusia, hewan, dan tumbuhan. Selain itu, adapula fungi yang hidup

simbiotik, yakni hidup bersama-sama dengan organisme lain agar saling

mendapatkan untung (simbiosis mutualisme), seperti fungi yang hidup

bersama ganggang membentuk lumut kerak. (Syamsusri, 2000: 111).

3. Morfologi Fungi

Fungi tidak berklorofil, dinding sel fungi mengandung kitin. Kitin

adalah polisakarida. Fungi terbentuk dari rangkaian benang seperti kapas,

yang disebut hifa. Dilihat dengan mikroskop hifa ada yang bersekat- sekat

melintang, tiap-tiap sekat merupakan satu sel, dengan satu atau beberapa

inti sel. Adapula hifa yang tidak bersekat.(Syamsuri, 2000: 111-112). Hifa

dapat bersifat sebagai hifa vegetatif yaitu hifa yang berfungsi untuk

mengambil makanan untuk pertumbuhan fungi, hifa reproduksi yaitu hifa

yang berfungsi membentuk spora untuk perkembangbiakkannya, dan hifa

udara yaitu hifa yang berfungsi untuk mengambil oksigen untuk

kehidupannya. Kumpulan hifa membentuk jaringan yang disebut

miselium. Miselium berfungsi sebagai penyerap makanan dari

lingkungannya. (Hasyimi, 2010 : 111).

Fungi mencangkup kapang dan khamir. Bagian Kapang yang

menyolok adalah miselium yang berbentuk dari kumpulan hifa yang

bercabang-cabang membentuk suatu jala yang umumnya berwarna putih.

Hifa berisi protoplasma yang dikelilingi oleh suatu dinding yang kuat.

Pertumbuhan hifa berlangsung terus-menerus dibagian apikal, sehingga

panjangnya tidak dapat ditentukan secara pasti. Diameter hifa umumnya

tetap, yaitu berkisar 3-30 mm. (Gandjar, dkk, 2014 : 10).

Khamir merupakan fungi uniseluler dan dapat bersifat dimorfistik,

sel-sel berbentuk bulat, lonjong atau memanjang, berkembang biak

dengan membentuk tunas. Membentuk koloni yang basah dan berlendir

serta tidak bergerak. Ukuran khamir antara 5-10 µ. (Hasyimi, 2010 : 110).

Khamir yaitu memiliki dua fase dalam siklus hidupnya, bergantung

kepada keadaan lingkungan, yaitu fase hifa (membentuk miselium) dan

15

fase khamir (membentuk sel tunggal). Khamir dapat membentuk hifa

palsu (pseudohypha) yang tumbuh menjadi miselium palsu

(pseudomycelium) dan adapula sejumlah khamir yang dapat membentuk

miselium sejati. (Gandjar dkk, 2014 : 13-14).

4. Reproduksi Fungi

Fungi terbagi atas dua yaitu ada yang berkembangbiak secara

aksesual dan ada yang berkembangbiak secara seksual. Berkembangbiak

secara aseksual dengan membentuk tunas, dan yang secara seksual dengan

membentuk dari rangkaian sel membentuk benang seperti kapas, yang

disebut benang hifa. Dalam perkembang biakannya secara aseksual fungi

memutuskan benang hifa (fragmentasi), membentuk spora aseksual yaitu

Konidia contohnya. Secara seksual melalui peleburan antara inti jantan

dan inti betina sehingga terbentuk spora sidium. Spora yang termasuk

golongan aseksual yaitu :

a. Arthrospora adalah sel reproduksi aseksual yang terbentuk dari hifa

bersepta yang terputus-putus, sehingga dapat tumbuh menjadi hifa

baru.

b. Blastospora adalah konidia berbentuk bulat atau semi bulat yang

terbentuk langsung pada hifa atau dari sel pembentuk konidia.

c. Khlamidospora adalah sel hifa yang membesar karena mendapat

nutrisi ekstra, berdinding tebal, letaknya interkalar atau terminal. Sel

ini terbentuk apabila lingkungan di sekitar jamur kurang

menguntungkan.

d. Konidiospora adalah suatu propagul yang non motil tidak terbentuk

melaui proses pembelahan seperti pada pembentukan sporangiospora.

Konidia berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga

mudah tersebar oleh angin atau air.

e. Sporangiospora adalah spora aseksual yang dibentuk di dalam suatu

kantung tertutup pada ujung hifa fertil atau cabang hifa tersebut.

Kantung tersebut dinamakan sporangium, dan dapat berbentuk bulat,

semibulat, atau panjang. (Irianto, 2013 : 17).

16

Adapun spora yang termaksuk golongan spora seksual yaitu :

a. Askospora adalah spora seksual bersel satu yang terbentuk dalam

pundi atau kantung yang dinamakan askus, dan terdapat pada

Ascomycetes.

b. Basidiospora adalah spora seksual yang terbentuk dalam basidium, dan

terdapat pada Basidiomycetes.

c. Zigospora Spora seksual pada Zygomycetes, merupakan hasil fusi dari

sepasang gametangia, serta berdinding tebal, dan berpigmen gelap.

d. Oospora adalah spora yang terbentuk di dalam struktur betina khusus

yang disebut ooginium. (Irianto, 2013 : 18-20).

5. Klasifikasi Fungi

Fungi diklasifikasikan ke dalam empat divisi yaitu Zygomycota,

Ascomycota, Basidiomycota, dan Deuteromycota (Irianto, 2013 : 27).

Divisi yang tersebar adalah Ascomycota yang mencakup lebih dari dari 60

% fungi yang telah diketahui dan 40 % yang belum diketahui. Fungi

patogenik sisanya antara lain Zygomycota, Basidiomycota dan

Deuomycota. Sebuah spesies fungi dimasukkan ke dalam satu divisi,

begitu pula Kelas, Ordo, dan Famili yang tepat, berdasarkan cara

reproduksi seksualnya, sifat fenotipnya, serta hubungan filogenetiknya.

Ada banyak spesies yang diberi nama berbeda yang mencerminkan bentuk

reproduksi seksual dan seksualnya.(Widhi, dkk, 2013 : 654).

a. Divisi Zygomycota

Taksonomi dari divisi zygomycota adalah sebagai berikut

(Citrosupomo, 2005 : 31-34 ) :

Kingdom : Fungi

Divisi : Zygomycota

Kelas : Zygomycites

Ordo : Mucoromycotina

Chytridiales

Family : Murcoraceae

Chytridiaceae

17

Genus : 1) a) Mucor

b) Rhizopus

2) Chytridium

Spesies : 1) a) Mucor dubius

Mucor javanicus

b) Rhizopus oryzae

2) Chytridium confervae

Fungi dari divisi zygomycota ada yang hidup saprofit misalnya

fungi pada nasi, roti, kedelai (tempe), dan bahan makanan yang lain.

Adapula yang hidup sebagai parasit misalnya penyebab penyakit busuk

pada ubi jalar. (Syamsuri, dkk, 2000: 114). Rhizopus oryzae

dimanfaatkan dalam bidang industri, dimana fungi ini dapat

menghasilkan enzim amiloglukosidase untuk menghidrolisis pati

menjadi glukosa. (Achmad, dkk, 2011: 9).

Tubuh zygomycota terdiri dari benang hifa yang bersekat

melintang, misalnya penyebab, ada pula yang bersekak melintang.

Hifa bercabang-cabang banyak dan dinding selnya mengandung kitin.

(Gandjar, dkk, 2014 : 78).

Fungi zygomycota berkembang biak secara aseksul. Beberapa

hifa akan tumbuh ke atas dan ujungnya mengembung membentuk

sporangium. Sporangium kemudian pecah dan spora tersebar, spora

jatuh ditempat yang sesuai akan tumbuh dan membentuk benang baru.

(Gandjar dkk, 2014 : 78).

Gambar 1. Fungi Rhizopus oryzae (Tjatur, 2012).

18

b. Divisi Ascomycota

Taksonomi dari divisi ascomycota adalah sebagai berikut

(Citrosupomo, 2005 : 34-45) :

Kingdom : Fungi

Divisi : Ascomycota

Class : Archiascomycetes

Hemiascomycetes

Euascomycetes

Sodariomycetes

Ordo : 1) a) Pneumocystidales

b) Schizosaccharomycetales

c) Neolectales

d) Protomycetales

e) Taphrinales

2) Saccharomycetales

3) Incertae sedis

4) Hypocreales

Family : 1) Pneumocystidaceae

2) Saccharomycetaceae

3) Monascaceae

4) Nectriaceae

Genus : 1) Pneumocystis

2) a) Saccharomyces

b) Candida

3) Monascus

4) Fusarium

Spesies : 1) Pneumocystis jirovecii

2) a) Saccharomyces javensis

Saccharomyces secundus

Saccharomyces tuac

19

Saccaromyces cerevisiae

b) Candida albicans

3) Monascus purpureus

4) a) Fusarium proliferatum

b) Fusarium verticillioides

c) Fusarium subglutinans

d) Fusarium sporotrichioides

e) Fusarium graminearu.

Fungi dari divisi ascomycota ada yang hidup saprofit, parasit

dan adapula bersimbiosis. Ascomycota saprofit banya dimanfaatkan

untuk pembuatan tape, kecap, oncom, roti. Sacharomyces cervisae

bermanfaat untuk pembuatan roti, memfermentasi alkohol pada gula.

(Syamsuri, dkk, 2000 : 122).

Untuk yang hidup sebagi parasit dapat menimbulkan penyakit

pada manusia contohnya Saccharomyces menyebabkan epitel mulut

putih pada anak-anak yang disebut saccharomykosis. Claviceps

merupakan fungi pada tanaman perkebunan seperti coklat , tembakau,

tebu, kopi, karet, jeruk, teh, serta tanaman palawija seperti padi pada

jagung. Sedangkan fungi yang bersimbiosis dengan ganggang biru

dapat membentuk lumut. Fungi ini dapat ditemui pada oncom.

(Syamsuri, dkk, 2000 : 115).

Fungi genus Fusarium sp juga dapat mengganggu kesehatan

misalnya Fusarium proliferatum, F.verticillioides dan F.subglutinans

adalah fungi penghasil toksin fumonisi yang dapat menyebabkan

neutotoksik, hepatotoksik, dan imunosupresif. F.sporotrichioides, dan

F.graminearu adalah fungi penghasil toksin trikotesena yang dapat

menyebabkan imunosupresif dan neurotoksik. (Ahmad, 2009 :17).

Selain itu fungi dari genus candida sp dapat menyebakan infeksi kulit

dan saluran pernafasan. (Syamsuri, dkk, 2000: 122).

Ciri khusus dari fungi ascomycota adalah dapat menghasilkan

spora askus (askospora), yaitu spora hasil reproduksi seksual, yang

20

berjumlah 8 spora yang tersimpan didalam kotak spora. Kotak spora

ini mempunyai kantung sehingga disebut askus. Untuk mengetahui

bentuk dan struktur askus dibutuhkan pengamatan yang teliti.

(Irianto, 2013 : 30).

Gambar 2. Fungi Claviceps (Schumann, 2000).

c. Divisi Basidiomycota

Taksonomi dari divisi basidiomycota adalah sebagai berikut

(Citrosupomo, 2005 : 46-80 ) :

Kingdom : Fungi

Divisi : Basidiomycota

Class : Urediniomycetes

Hymenomycetes

Ustilaginomycetes

Exobasidiomycetes

Tremellomycetes

Agaricomycetes

Homobasidiomycetes

Ordo : 1) Uredinales

2) a) Agaricales

b) Gasteromycetes

c) Aphyllophorales

3) Ustilaginomycetes

21

4) Malasseziales

5) Tremellales

6) a) Cantharellales

b) Agaricales

7) Lycoperdales

Family : 1) Pucciniaceae

2) a) Agaricaceae

b) Tricholomataceae

3) Thelephoraceae

4) Malasseziaceae

5) Trichosporonaceae

6) a) Cantharellaceae

b) Psathyrellaceae

7) Lycoperdaceae

Genus : 1) Puccinia

2) a) Agaricus

b) Tricholoma

3) Polyporus

4) Malassezia

5) Trichosporon

6) a) Cantharellus

7) b) Coprinus

8) Vascellum

Spesies : 1) Puccinia polysora

2) a) Agaricus bisporus

Agaricus brunnrscens

b) Tricholoma sejunctum

3) a) Polyporus arcularis

b) Polyporus cocos

4) Malassezia furfur

5) Trichosporon beigelii

22

6) a) Cantharellus cibarius

Cantharellus lutescens

b) Coprinus atramentarius

Coprinus macrorhizus

7) Vascellum pratense.

Fungi basidiomycota umumnya merupakan fungi

makroskopik, dapat dilihat dengan mata karena ukurannya yang besar.

Pada musim pengujan dapat kita temukan pada pohon atau fungi

kuping, fungi pohon, atau ditanah yang banyak mengandung bahan

organik. (Gandjar, dkk, 2014: 87).

Bentuk tubuh buahnya kebanyakan mirip payung. Fungi ini

adapula yang dibudidayakan, misalnya fungi merang. Fungi merang

merupakan makanan yang bergizi tinggi. (Syamsuri, dkk, 2000 : 115).

Selain itu fungi lain yang dapat dikonsumsi yaitu Tricholoma

sejunctum, Cantharellus cibarius, Cantharellus lutescens, Volvariella

bombycina, Boletus parasiticus, Vascellum pratense, Stropharia

rugoso-annulata, dan Pleurotus pulmonarius. (Achmad, dkk, 2011:

10-14). Selain itu adapula fungi yang merugikan misalnya

Trichosporon beigelii penyebab penyakit piedra hitam.

(Hasyimi, 2010 : 117-118).

Hifa basidiomycota memiliki sekat melintang, berinti satu

(monokaiotik) atau dua (dikariotik). Miseliumnya berada pada

substrat. Dari hifa dikariotik dapat muncul tubuh buah berbentuk

payung atau bentuk lain yang menjulang diatas substrat. Bagian tubuh

buah inilah yang enak dimakan. Tubuh buah atau basidiokarp

merupakan tempat tumbuh basidium. Setip basiduim menghasilkan 4

spora basidium. (Gandjar, dkk, 2014 :87).

23

Gambar 3. Fungi Tricholoma sejunctum (Achmad, dkk, 2011: 10).

d. Divisi Deuteromycota

Taksonomi dari divisi deuteromycota adalah sebagai berikut

(Citrosupomo, 2005 : 81-90 ) :

Kingdom : Fungi

Divisi : Deuteromycota

Kelas : Eurotiomycetes

Sordariomycetes

Para coelomycetes

Ordo : 1) a) Eurotiales

b) Onygenales

2) Hypocreales

Family : 1) a) Trichocomaceae

b) Arthrodermataceae

2) Ophiocordycipitaceae

Genus : 1) a) Aspergillus

Penicillium

b) Trichophyton

Epidermophyton

2) Tolypocladium

Spesies : 1) a) Aspergillus fumingitus

Aspergillus niger

24

Aspergillus flavus

Aspergillus parasiticus

Penicillium verruconsum

Penicillium expansum

Penicillium citrinum

Penicillium requefortii

Penicillium chysogenum

b) Trichophyton rubrum

Trichophyton mentagrophites

Epidermophyton floocosum

2) Tolypocladium inflatum

Beberapa fungi penghasil enzim ekstraseluler dari divisi

deuteromycota yang dimanfaatkan dalam industri, contohnya enzim

amilase untuk merombak pati dan dekstrin menjadi maltosa serta

maltoriosa digunakan dalam industri roti (Aspergillus oryzae), serta

enzim lipase untuk memecah lemak menjadi gliserol dan asam lemak

diperlukan dalam industri deterjen (Penicillium requefortii).

(Achmad, dkk, 2011: 9). Selain itu ada Penicillium chysogenum

dimanfaatkan sebagai antibiotik penisilin dan digunakan pula dalam

pembuatan keju. (Syamsuri, dkk, 2000: 123).

Berbagai penyakit yang disebabkan oleh fungi pada manusia

banyak disebabkan oleh golongan fungi dari divisi deuteromycota,

misalnya dari genus Trichophyton sp dapat menyebakan penyakit kulit

ring worm dan kaki atlit. (Syamsuri, dkk, 2000: 123). Epidermohyton

floocosum penyebab penyakit kaki atlit . Selain fungi yang telah

disebutkan, terdapat fungi lain yang dapat mengganggu kesehatan

miasalnya dari genus Aspergillus sp, Aspergillus flavus dapat

mehasilkan toksin alfatoksin B1 dan B2 yang dapat menyebakan

hepatotoksik, karsinogenik, mutagenik. A.parasiticus penghasil toksin

alfatoksin B1, B2, G1, dan G2 yang dapat menyebabkan hepatotoksik,

karsinogenik, mutagenik, dan imunosupresif. A.Fumigatus , A.Niger

25

penghasil toksin okratoksin yang dapat menyebabkan karsinogenik,

dan imunosupresif. (Ahmad, 2009 :17)

Selain genus Aspergillus sp, Penisilium sp juga dapa

mengganggu kesehatan manusia misalnya Penicillium verrucosum

pengahasil toksin okratoksin yang dapat menyebabkan karsinogenik,

imunosupresif dan neurotoksik. P.expansum penghasil toksin patulin

yang dapat menimbulkan mutagenik dan neurotoksik. Dan P.citrinum

penghasil toksin citrinin yang dapat menyebabkan neprotoksi.

(Ahmad, 2009 :17).

Divisi deuteromycota meliputi fungi yang tingkat reproduksi

seksualnya belum ditemukan. Namun demikian untuk memudahkan

dan karena tingkat konidiumnya begitu jelas (Irianto, 2013 : 34).

Gambar 4. Fungi Aspergillus sp (Tentorku, 2015).

6. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Fungi

Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fungi adalah

sebagai berikut :

a. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi fungi. Nutrien-

nutrien baru dapat dimanfaatkan sesudah fungi mengekskresi enzim-

enzim ekstraselular yang dapat mengurai senyawa-senyawa kompleks

dari substrat tersebut menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.

Misalnya, apabila substratnya nasi, atau singkong, atau kentang, maka

26

fungi tersebut harus mampu mengekskresikan enzim α-amilase untuk

mengubah amilum menjadi glukosa. Senyawa glukosa tersebut yang

kemudian diserap oleh fungi. (Gandjar dkk, 2014 : 44).

Apabila substratnya daging, maka fungi tersebut harus

mengeluarkan enzim yang proteolitik untuk dapat menyerap senyawa

asam-asam amino hasil uraian protein. Contoh yang lain, misalnya

substratnya berkadar lemak tinggi, maka fungi tersebut harus mampu

menghasilkan lipase agar senyawa asam lemak hasil uraian dapat

diserap ke dalam tubuhnya. Fungi yang tidak dapat menghasilkan

enzim sesuai komposisi substrat dengan sendirinya tidak dapat

memanfaatkan nutrien-nutrien dalam substrat tersebut.

(Gandjar, dkk, 2014 : 44).

b. Kelembaban

Faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Pada

umumnya fungi tingkat rendah seperti Rhizopus atau Mucor

memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90%, sedangkan

kapang Aspergillus, Penicillium, Fusarium, dan banyak hyphomycetes

lainnya dapat hidup pada kelembapan nisbi yang lebih rendah, yaitu

80%. Fungi yang tergolong xerofilik tahan hidup pada kelembapan

70%, misalnya Wallemia sebi, Aspergillus glaucus, banyak strain

Aspergillus tamarii dan A. flavus. Dengan mengetahui sifat-sifat fungi

ini penyimpanan bahan pangan dan materi lainnya dapat dicegah

kerusakannya. (Gandjar, dkk, 2014 : 44).

c. Suhu

Berdasarkan kisaran suhu lingkungan yang baik untuk

pertumbuhan, fungi dapat dikelompokkan sebagai fungi mesofil dan

termofil. Fungi mesofil adalah fungi yang tumbuh pada suhu 10-35oC,

suhu maksimum 20-35oC, contohnya semua spesies dari fungi

Aspergillus dapat tumbuh pada suhu tersbut, tapi ada pula yang dapat

tumbuh diatas suhu 35oC. Fungi termofil adalah fungi yang hidup

pada suhu minimum 20oC- 40oC dan suhu maksimum 50-60oC,

27

contohnya Aspergillus fumigatus yang dapat hidup pada suhu 55oC.

(Gandjar, dkk, 2014 : 45).

d. Derajat keasaman lingkungan (pH)

Derajat keasaman lingkungan (pH) substrat sangat penting

untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan

mengurai suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya dapat tumbuh pada

pH 4,5-7,0. (Gandjar, dkk, 2014 : 45).

C. Tinjauan Tentang Fungi yang Terdapat Pada Jamu Bubuk

Fungi yang sering ditemukan pada simplisia jamu bubuk adalah

Spesies dari Aspergillus sp (Rukmi, 2009 : 82), diketahui terdapat dimana-

mana dan hampir dapat tumbuh pada semua substrat. Fungi ini akan tumbuh

pada buah busuk, sayuran, biji-bijian, roti dan rempah-rempah.

Pertumbuhannya akan terhambat bila bahan dalam keadaan kering.

(Irianto, 2013 : 34).

Aspergillus sp. merupakan organisme saprofit yang hidup bebas dan

terdapat dimana-mana. Fungi ini memiliki hifa bersepta, miselium bercabang,

koloninya berkelompok dan berkembang dengan konidispora,

konidiosporanya terbentuk secara bebas dan ujungya mengembung, konidia

berangkai-rangkai dan bentuknya bulat, serta termasuk dalam divisi

deuteromycota. Aspergillus sp dapat menghasilkan mikotoksin yang dapat

menyerang sistem saraf pusat mempengaruhi hati dan ginjal bahkan dapat

menyebabkan kematian. Penyakit yang ditimbulkan disebut aspergillosis,

dengan menyebabkan radang granulomatosis pada selaput lendir, mata,

bronchus, telinga, dan paru-paru. (Irianto, 2013 : 78).

Manusia dapat terpapar oleh mikotoksin dengan mengkonsumsi

makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan fungi

ataupun dari udara. Saluran gastrointestinal manusia dapat dengan cepat

mengabsorbsi toksin, setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi

dan sistem peredaran darah membawa toksin misalnya alfatoksin ke dalam

hati. Selanjutnya, 1-3% aflatoksin yang dikonsimsi itu akan terikat secara

iriversibel pada protein dan basa-DNA untuk membentuk ikatan seperti

28

misalnya aflatoksin B1-lysine di albumin. Disrupsi protein dan basa-DNA di

dalam sel hepatosit menyebabkan toksisitas hepar. Manifestasi dini dari

hepatotoksisitas berupa anoreksia, malaise, dan demam (lowgrade).

Aflatoksikosis dapat berlanjut menjadi hepatitis akut yang bersifat letal

dengan gejala-gejala seperti muntah, nyeri perut, dan kematian.

(Yenny, 2006: 46).

Waktu yang dibutuhkan toksin fungi untuk menyebabkan gangguan

kesehatan pada manusia tergantung dari sering terpaparnya serta besarnya

toksin yang dikonsumsi dari makanan yang terkontaminasi fungi, semakin

besar toksin yang dikonsumsi maka semakin cepat pula terjadinya gangguan

tersebut dan semakin besar pula dampaknya. (Nurgaman, 2016: 1). Dampak

yang terjadi yaitu dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan

muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema

otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung, hingga pada kanker hati

imunotoksisitas dari toksin fungi menyebabkan terhambatnya kemampuan

tubuh untuk mengendalikan perkembangan sel kanker sehingga dapat

menimbulkan Batas maksimum toksin yang diperbolehkan masuk ke dalam

tubuh manusia yaitu ≤ 20 ppb, semakin banyak fungi yang mengkontaminasi

makanan maka semakin besar pula toksin yang dihasilkan.

(Yenny, 2006: 44).

Fungi Aspergillus sp tersebar di seluruh dunia. Konidianya dapat hidup

di tanah dan di udara. Sehingga spora fungi ini selalu dapat terhirup oleh

manusia. Terjadinya infeksi Aspergillus pada manusia lebih berperan pada

faktor daya imunitas penderita dibandingkan virulensi jamurnya sendiri.

Saluran napas atas merupakan organ yang paling sering terkena infeksi fungi

Aspergillus sp.( Kumala W, 2006: 22).

Berdasarkan aturan BPOM Republik Indonesia Nomor

H.K.00.06.1.52.4011, tanggal 28 Oktober 2009 tentang batas maksimum

cemaran fungi pada obat tradisional (jamu bubuk) tidak lebih dari 1×104

CFU/mL. Diatas dari batas maksimum telah dianggap dapat menyebabkan

gangguan kesehatan.

29

Empat jenis organisme yang sering berhubungan dengan infeksi pada

manusia Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Aspergillus flavus dan

Aspergillus parasiticus. Aspergillus sp memiliki koloni berfilamen (mold),

datar, permukaan velvety atau powdery, warna koloni putih, hijau, hijau tua,

coklat kekuning, dan hitam (tergantung spesiesnnya) dengan aerial hifa

mengandung konidiofor yang ujungnya vesikel dan menghasilkan konidia

dari phialid/sterigma biseriate atau uniseriate. (Irianto, 2013 : 78).

Koloni Aspergillus niger pada saat muda berwarna putih, dan akan

berubah menjadi berwarna hitam setelah terbentuk koniospora. Kepala

konidia (Conidialhead) berwarna hitam, berbentuk bulat (radiate). Kodiofor

berdinding halus, hialin sampai kecoklatan. Vesikula berbentuk bulat sampai

semi bulat. Fialid duduk pada metule, konidia berbentuk bulat sampai semi

bulat, berwarna coklattua – hitam, dan berornamen.(Noverita, 2009 : 17).

Gambar 1. Aspergillus niger (Irianto, 2013: 84).

Koloni Aspergillus flavus pada saat muda berwarna putih, dan akan

berubah menjadi berwarna hijau kekuningan setelah membentuk konidia.

Kepala konidia berwarna hijau kekuningan hingga hijau tua kekuninggan,

berbentuk bulat, konidiofor berdinding kasar, hialin. Vesikula berbentuk bulat

hingga semi bulat. Fialid langsung duduk pada vesikula. Fungi ini dapat

menyebabkan kanker pada manusia. (Noverita, 2009 : 17).

30

Gambar 2. Aspergillus flavus (Irianto, 2013: 85).

Aspergillus fumigatus memiliki koloni saat muda berwarna putih dan

dengan cepat berubah menjadi hijau seiring dengan terbentuknya konidia.

Kepala konidia berbentuk kolumnar, koniofor pendek, berdinding halus,

berwarna hijau. Vesikula berbentuk ganda, berwarna hijau. Konidia bulat

sampai semi bulat, berwarna hijau, berdinding kasar. Pada metule, konidia

berbentuk bulat hingga semi bulat, berwarna hijau pucat. (Noverita, 2009 :

18). Fungi ini dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan. (Syamsuri,

2000 :122).

Gambar 3. Aspergillus fumingatus (Irianto, 2013: 85).

Aspergillus parasiticus memiliki koloni mencapai diameter 4 cm dalam

waktu 3 hari, terdiri dari lapisan basal berwarna putih dan suatu lapisan

konidiofor yang berwarna kuning. Konidiofor berwarna jernih dan kasar.

Vesikel berbentuk bulat hingga semibulat, dan berdiameter 25 sampai 45 µm.

31

Konidia berwarna kuning, berbentuk bulat hingga semibulat, berdiameter 3,6

µm. (Noverita, 2009 : 19).

Gambar 4. Aspergillus parasiticus (Irianto, 2013: 85).

Faktor yang menyebabkan timbulnya kontaminasi fungi pada jamu

bubuk yaitu lingkungan penjualan yang kotor,lembab serta bercampur

dengan penjual lain, tempat penyimpanan jamu bubuk yang tidak bersih,

serta kemasan yang kurang memenuhi persyaratan, sehingga dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan kadar air dan kelembaban udara.

(Rukmi, 2009: 86)

D. Tinjauan Tentang Pemeriksaan Fungi

Pemeriksaan fungi terdiri dari pemeriksaan makroskopik dan

mikroskopik. Dalam pemeriksaan makroskopik fungi bertujuan untuk

mengetahui ada tidaknya pertumbuhan fungi pada media yang dilakukan

dengan inokulasi fungi pada media, dan pemeriksaan mikroskopik fungi

bertujuan untuk mengetahui jenis fungi yang mengkontaminasi suatu sampel

yang dilakukan dengan melihat ciri-ciri fungi dibawah mikroskop.

1. Inokulasi Fungi

Media yang umum digunakan untuk inokulasi fungi pada jamu

bubuk adalah media Potato Dextrose Agar (PDA). Potato dextrose agar

(PDA) termasuk medium semi alamiah karena tersusun atas bahan alami

(kentang) dan bahan sintesis (dextrose dan agar). PDA digunakan untuk

menumbuhkan jamur.(Yulliawati, 2016 : 26).

32

Pembuatan medium Potato Dextrose Agar (PDA) menggunakan

bahan yang mudah didapat dan dengan cara sederhana yaitu ditimbang

kentang sebanyak 200 g, agar 20 g, 250 g dextrose, dan ditambahkan

1000 mL aquadest, kemudian direbus. Sebelum dilakukan sterilisasi,

medium berawarna kuning, setelah disterilisasi dalam autoklaf medium

berwarna kecoklatan dan didapat endapan berwarna putih, setelah

didinginkan beberapa saat. Fungsi bahan yang digunakan pada medium

PDA yaitu kentang berfungsi sebagai sumber karbon (karbohidrat),

vitamin dan energi, dextrose berfungsi sebagai sumber gula dan energi,

agar berfungsi untuk memadatkan medium PDA, dan aquadest berfungsi

untuk melarutkan kentang, agar dan dextrose.

(Widya Gunawan, 2008 : 47 - 48). Media PDA memiliki pH 5,6, media

yang sudah jadi bisa disimpan paling lama dua minggu sebelum

digunakan untuk mengembangbiakkan spora jamur.

(Yulliawati, 2016 : 26).

Metode yang dapat d igunakan untuk inokulasi fungi adalah

metode agar sebar. Prinsip dari metode agar sebar yaitu 1 mL inokolum

dituang dalam sebuah media dalam cawan petri dan disebarkan secara

merata. Pada beberapa media akan muncul koloni yang terpisah–pisah.

Jumlah kolonipun dapat dihitung setelah terlihat adanya koloni fungi

yang tumbuh pada media PDA. (Thomas. 2011: 20).

2. Pemeriksaan Jenis Fungi Dibawah Mikroskop

Pemeriksaan jenis fungi dibawah mikroskop bertujuan untuk

melihat bentuk spora, hifa dan misellium fungi yang tumbuh sehingga

fungi dapat diidentikasi jenisnya. Pemeriksaan ini dilakukan

menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x, ini lakukan

untuk preparat basah.(Amelia, 2013: 57).

Pemeriksaan jenis fungi dilakukan dengan mengambil koloni

fungi yang telah ditumbuhkan pada media Potato dextrose agar (PDA),

diletakkan diatas objek glass dan ditetesi dengan larutan KOH 10%.

Pemberian KOH 10% bertujuan untuk menghilangkan berkas lemak yang

33

terkandung sehingga memperjelas bentuk spora, hifa dan misellium fungi

dibawah mikroskop. (Amelia, 2013: 5-7).

34

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran

Jamu adalah sebutan obat hasil ramuan tumbuhan asli dari alam

yang tidak menggunakan bahan kimia sebagai adiktif. Jamu bubuk adalah

sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus yang

cocok dengan sediaan galenik atau campurannya.

Dalam proses pengolahan jamu bubuk, termaksuk proses

pembuatan jamu, persyaratan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu

dan keamanan untuk jamu adalah dengan diterapkannya Cara Pembuatan

Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), aspek yang perlu diperhatikan dalam

penatalaksanaan CPTOB yaitu personalia, bangunan, peralatan, sanitasi dan

higiene, penyiapan bahan baku, pengolahan dan pengemasan, pengawasan

mutu, inspeksi diri, dokumentasi serta penanganan terhadap hasil pengamatan

produk jadi di peredaran. Jika dalam pembuatan jamu aspek tersebut tidak

diterapkan dengan baik, akan dihasilkan ramuan yang tidak bermutu dalam

hal ini jamu bisa dikontaminasi oleh fungi. Kondisi tempat penjualan yang

tidak baik atau memiliki kelembaban yang tinggi sangat memungkinkan jamu

bubuk terkontaminasi oleh fungi.

Identikasi fungi dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada

tidaknya fungi pada sampel jamu bubuk. Dimana identifikasi ini

menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA) dan inkubasi dilakukan

pada suhu 28o-37o C selama 72 jam, adanya pertumbuhan fungi yang terlihat

maka dilanjutkan untuk menghitung jumlah koloni fungi, serta

mengidentifikasi jenis fungi yang mengkontaminasi sampel jamu bubuk

tersebut dengan pemeriksaan dibawah mikroskop pembesaran 100x dan 400x

menggunakan KOH 10%.

35

B. Kerangka Pikir

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Jamu bubuk Proses

pengolahan

Kondisi tempat

penjualan

Diduga terkontaminasi

oleh fungi

Fungi

Inokulasi pada media

PDA pada suhu 28o-

37oc selama 72 jam

Tidak ada Ada

Mengidentifikasi Jenis fungi

dengan KOH 10% dibawah

mikroskop pembesaran

100x dan 400x

Mengidentifikasi

jumlah koloni fungi

yang tumbuh pada

media PDA

36

C. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini yaitu jamu bubuk dengan kemasan

bagus dan tidak bagus yang dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari.

D. Definisi Operasional dan Kriteria Objek

1. Defenisi Operasional

a. Jamu bubuk yang diteliti adalah jamu bubuk yang dijual di Pasar

Kota, Pasar Korem dan Pasar Basah Kota Kendari.

b. Fungi yang dimaksud adalah fungi yang tumbuh pada jamu bubuk,

yang diketahui jenisnya melalui pemeriksaan mikroskopik.

2. Kriteria Objektif

a. Ada tidaknya koloni fungi pada media potato dextrose agar (PDA)

1) Ada : ditandai dengan terlihatnya koloni berbentuk

seperti beludru, berbentu bulat, semi bulat,

berwarna putih, hijau tua, kuning, hijau

kekuningan, hitam, dan abu-abu.

2) Tidak ada : ditandai dengan tidak terlihat ada

koloni fungi pada media.

b. Jumlah koloni fungi

1) Tidak melewati batas cemaran fungi : jika koloni ≤ 1×104

CFU/mL.

2) Melewati batas cemaran fungi : jika koloni > 1×104

CFU/mL.

c. Jenis fungi

1) Fungi Aspergillus sp : Jika ditemukan hifa bersepta,

miselium bercabang, ada konidispora.

konidiosporanya terbentuk secara

bebas dan ujungya menggembung,

konidia berangkai-rangkai dan

berbentuk bulat dibawah mikroskop.

2) Bukan fungi Aspergillus sp : Jika tidak ditemukan ciri-ciri fungi

Aspergillus sp dibawah mikroskop.

37

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif untuk

mengidentifikasi adanya fungi pada jamu bubuk yang dijual di Pasar

Tradisional Kota Kendari.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Analis

Kesehatan Politeknik Kesehatan Kendari.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 6 – 28 Juni 2016.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti.(Nasir, 2011 : 188).

Populasi dalam penelitian ini adalah jamu bubuk yang dijual di Pasar

Trasdisional Kota Kendari (Pasar Kota, Pasar Korem, dan Pasar). Total

populasi dalam penelitian ini adalah 3 penjual jamu bubuk.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti, dimana

sampel yang diteliti adalah jamu bubuk yang dijual di Pasar Kota (1

penjual jamu bubuk), Pasar Korem (1 penjual jamu bubuk), dan Pasar

Basah (1 penjual jamu bubuk). Teknik penarikkan sampel yang digunakan

yaitu teknik porposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan

dengan sengaja. (Nasir, 2011 : 211).

a. Kriteria sampel

Agar kriteria sampel tidak menyimpang dari populasinya, maka

sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria

inklusi maupun eksklusi. (Nasir, 2011 : 199).

38

1) Kriteria inklusi

a) Jamu bubuk yang dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari

(Pasar Kota, Pasar Korem, dan Pasar Basah).

b) Jamu bubuk yang memiliki kemasan bagus dan tidak bagus,

serta belum kadaluarsa.

c) Jamu bubuk dengan merek yang sama.

2) Kriteria eksklusi

a) Jamu bubuk dengan merek yang sama tetapi sudah

kadaluarsa.

b) Jamu bubuk dengan merek yang berbeda walaupun belum

kadaluarsa.

b. Besar sampel

Jumlah sampel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah

sebanyak 6 sampel jamu bubuk dengan merek yang sama (2 sampel

dari Pasar Kota, 2 sampel dari Pasar Korem, dan 2 sampel dari Pasar

Basah).

D. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai dari mensurvei lokasi pengambilan sampel,

kemudian diambil masing-maing 2 sampel jamu bubuk yang dijual di Pasar

Kota, Pasar Korem, dan Pasar Basah. Sampel jamu bubuk yang telah terpilih

sebagai bahan penelitian dibawa ke Laboratorium Jurusan Analis Kesehatan,

kemudian dilakukan pemeriksaan dengan diawali pengenceran sampel dan

diinokulasi ke permukaan media PDA setelah itu diamati koloni fungi yang

tumbuh. Dihitung jumlah koloni fungi yang tumbuh, dan diperiksa jenis fungi

yang tumbuh dibawah mikroskop menggunakan KOH 10%, hasil yang

diperoleh ditulis pada lembar observasi.

E. Instrumen Penelitian

1. Instrumen penelitian yang dibawa ke lokasi pengambilan sampel

Instrumen penelitian yang digunakan pada saat pengambilan

sampel di Pasar Kota, Pasar Korem, dan Pasar Basah yaitu berupa

kantong plastik sebagai wadah sampel, kertas label dan pulpen untuk

39

menandai identitas sampel yang terdiri dari nama pasar dan lokasi sampel

menggunkan kode.

2. Instrumen penelitian di Laboratorium

Instrumen penelitian yang digunakan di laboratorium terdiri atas

alat dan bahan, yang dapat dilihan pada tabel berikut :

Tabel 1. Instrumen Penelitian di Laboratorium

No Nama alat Kegunaannya

1 Autoclave

Sebagai alat untuk sterilisasi alat dan

media

2 Spoit 3 mL

Untuk pemipetan sampel yang telah

dilarutkan pada proses pengenceran dan

inokulasi

3 Cawan petri

Sebagai wadah media untuk pertumbuhan

fungi

4 Mikroskop

Sabagai alat untuk mengamati koloni fungi

untuk mengetahui jenis fungi.

5 Tabung reaksi

Sebagai wadah untuk pengenceran sampel.

6 Rak tabung

Sebagai tempat tabung reaksi.

7 Gelas ukur Untuk mengukur aquadest yang digunakan

untuk melarurkan media PDA

8 Pipet ukur dan

karet

penghisap

Untuk memipet NaCl 0,9 % sebanyak 9

mL ke dalam tabung reaksi untuk

disterilkan.

9 Ose

Untuk mengambil koloni fungi yang akan

diamati dibawah mikroskop.

10 Labu

erlenmyer

Sebagai wadah media yang telah

dilarutkan dengan aquades untuk

40

dipanaskan.

11 Timbangan

analitik

Untuk menimbang serbuk media PDA, dan

menimbang sampel jamu bubuk.

12 Batang

pengaduk

Untuk mengaduk media saat dilarutkan.

13 Objek glass Sebagai wadah untuk koloni fungi yang

akan diamati dibawah mikroskop.

14 Lampu spiritus untuk pemanasan media PDA yang telah

dilarutkan, mensterilkan ose dan menjaga

kontaminasi fungi saat diambil dari media.

15 Pipet tetes Untuk memipet KOH 10 %

16 Sendok tanduk Untuk mengambil serbuk media dan juga

sampel jamu bubuk.

17 Kaki tiga Untuk penyangga asbes pada saat

pembuatan media

18 Asbes Untuk penyangga erlenmeyer pada saat

pembuatan media.

19 Cover glass Untuk mentupi koloni yang ditetesi KOH

agar lenso objektif tidak kotor pada saat

pemeriksan di bawah mikroskop

20 Beacker glass Untuk wadah aquadest 500 mL

21 Cawan

porselin

Untuk wadah sampel dan media pada saat

penimbangan

22 Pulpen Sebagai alat untuk menulis kode sampel

dan hasil pemeriksaa.

23 Lembar

Observasi

Digunakan sebagai lembar pengisian hasil

pemeriksaan yang merupakan alat ukur

41

hasil penelitian.

F. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 2. Bahan Penelitian

No Nama Bahan Kegunaannya

1 Sampel jamu bubuk

Sebagai sampel penelitian

2 Media Potato Dextrose

Agar (PDA)

Median umum untuk pertumbuhan

fungi

3 KOH 10% Untuk pemeriksaan jenis fungi di

bawah mikroskop (Untuk

memperlihatkan hifa dan spora

fungi)

4 NaCl 0,9 % Untuk pengenceran sampel jamu

bubuk.

4 Aquadest

Digunakan dalam pembuatan

media, serta bahan untuk

melarutkan sampel jamu bubuk

dan pengencerannya.

5 Kertas Ph Untuk memeriksa pH aquadest

pada saat pembuatan media

6 Kapas Untuk menutup tabung pada saat

akan mensterilkan NaCl 0,9 %, dan

erlenmeyer pada saat pembuatan

media

42

G. Prosedur Pemeriksaan Laboratorium

1. Pra analitik

a. Persiapan sampel : sampel jamu bubuk diambil dari Pasar

Tradisional Kota Kendari (Pasar Kota, Pasar

Korem, dan Pasar Basah), sampel yang diambil

adalah 6 sampel jamu bubuk yang dijual di pasar

tersebut.

b. Metode : agar sebar

c. Prinsip : inokolom dituangkan ke dalam media

padat pada cawan petri lalu disebarkan.

d. Persiapkan bahan dan alat

1) Bahan

a) Sampel jamu bubuk

b) Media Potato Dextrose Agar (PDA)

c) KOH 10 %

d) NaCl 0,9 %

e) Aquadest

f) Kertas pH

g) Kapas

2) Alat

a) Autoclave

b) Spoit 3 mL

c) Cawan petri

d) Mikroskop

e) Tabung reaksi

f) Rak tabung

g) Pipet ukur

h) Gelas ukur

i) Ose

j) Labu erlenmyer

k) Timbangan analitik

43

l) Batang pengaduk

m) Objek glass

n) Lampu spiritus

o) Pipet tetes

p) Kaki tiga

q) Asbes

r) Sendok tanduk

s) Karet penghisap

t) Cover glass

u) Beacker glass

v) Cawan porselin

w) Pulpen

x) Lembar Observasi

e. Sterilisasi alat dan bahan

Alat-alat yang digunakan terlebih dahulu disterilisasi ke

dalam autoclave untuk membebaskan tiap benda atau subtansi dari

semua kehidupan dalam bentuk apapun. Alat dan bahan yang

digunakan seperti cawan petri, pipet, tabung reaksi, erlenmeyer dan

NaCl 0,9 % dimasukan ke dalam Autoclave dengan suhu 121° c

selama 15 menit.

f. Pembuatan media inokulasi fungi

Media yang digunakan untuk inokulasi fungi yaitu Potato

Dextrose Agar (PDA). Pembuatannya dilakukan dengan menimbang

media potato dextrose agar sebanyak 20 gram kemudian dilarutkan

dalam 500 mL aquadest, periksa pH aquadest terlebih dahulu (pH 5,6)

kemudian larutan tersebut dipanaskan sampai mendidih kemudian

dibuat perbanyakan sebagai tempat penanaman inokolom.

Perbanyakan massal dilakukan pada cawan petri. Setelah media

dituangkan pada cawan petri selanjutnya disetrilkan dalam autoclave

selama 15 menit pada temperatur 121°c. Setelah media dalam cawan

44

petri dingin, dilakukan inokulasi fungi dari sumber isolat pada

permukaan agar.

2. Analitik

a. Inokulasi jamu bubuk yang diduga kerkontaminasi fungi pada media

PDA

Inokulasi fungi dilakukan dengan metode agar sebar. Cara

kerja yang dilakukan ialah sebagai berikut :

1) Peralatan yang dipakai disiapkan dalam keadaan steril dan semua

pekerjaan dilakukan secara aseptis.

2) Spesimen atau sampel yang diterima dimasukan 1 gram bahan

tersebut ke dalam 9 mL NaCl 0,9 % yang telah disterilkan.

3) Kocok kurang lebih 25 kali hingga homogen. Hasil dari

homogenisasi sampel merupakan pengeceran 10-1.

4) Dari larutan 10-1 dipipet 1 mL dan dimasukan dalam tabung NaCl

0,9 % kedua, kocok sampai homogen hingga diperoleh

pengeceran 10-2 dibuat pengeceran salanjutnya sampai

pengenceran 10-5.

5) Dari masing-masing pengeceran 10-2 - 10-5 dipipet 1 mL secara

aseptis, diteteskan pada permukaan PDA. Dilakukan penyebaran

sampai merata.

6) Seluruh cawan petri diinkubasi pada suhu 37°C (suhu ruang)

selama 72 jam.

b. Mengamati adanya koloni fungi yang tumbuh pada media Potato

Dextrose Agar (PDA). Jika terlihat adanya koloni fungi pada

permukaan media PDA maka dilanjutkan ke penghitungan jumlah

koloni.

c. Hitung jumlah koloni pada media PDA

Penghitungan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1) Dipilih cawan petri dari satu pengeceran yang menunjukan jumlah

koloni antara 10-150.

45

2) Jumlah koloni di cawan petri dari tingkat pengeceran yang

berurutan menunjukan jumlah antara 10-150, maka di hitung

jumlah koloni dan dikalikan dengan faktor penegeceran.

3) Hasil dinyatakan sebagai angka fungi dalam mL sampel.

d. Pemeriksaan jenis fungi dibawah mikroskop

Koloni yang tumbuh pada media PDA, kemudian dengan

menggunakan ose diambil koloni yang tumbuh dari PDA, kemudian

koloni diteteskan larutan KOH 10 % sebanyak 1-2 tetes kemudian

ditutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah mikroskop dengan

pembesaran 100x dan 400x.

3. Pasca analitik

a. Pembacaan hasil

1) Hasil isolasi fungi pada media Potato Dextrose Agar (PDA)

Terdapat adanya pertumbuhan koloni fungi pada semua

cawan petri yang berisi media Potato Dextrose Agar (PDA) untuk

semua sampel jamu bubuk yang diteliti.

2) Jumlah koloni fungi

a) Sampel A1 : jumlah koloninya yaitu 8 × 103 CFU/mL yang

menunjukan bahwa jumlah koloninya tidak

melewati batas cemaran fungi, dimana batas

cemaran fungi pada jamu bubuk yaitu ≤ 1×104

CFU/mL.

b) Sampel A2 : jumlah koloninya yaitu 5 × 105 CFU/mL yang

menunjukan bahwa jumlah koloninya melewati

batas cemaran fungi.

c) Sampel B1 : jumlah koloninya yaitu 9 × 105 CFU/mL yang

menunjukan bahwa jumlah koloninya melewati

batas cemaran fungi.

d) Sampel B2 : jumlah koloninya yaitu 1 × 106 CFU/mL yang

menunjukan bahwa jumlah koloninya melewati

batas cemaran fungi.

46

e) Sampel C1 : jumlah koloninya yaitu 6 × 103 CFU/mL yang

menunjukan bahwa jumlah koloninya tidak

melewati batas cemaran fungi.

f) Sampel C2 : jumlah koloninya yaitu 3 × 105 CFU/mL yang

menunjukan bahwa jumlah koloninya melewati

batas cemaran fungi.

3) Jenis fungi

Jenis fungi yang terkandung pada semua sampel jamu

bubuk yang diteliti adalah fungi Aspergillus sp, yang ditandai

dengan terlihatnya hifa bersepta, miselium bercabang, ada

konidispora, konidiosporanya terbentuk secara bebas dan ujungya

mengembung, konidia berangkai-rangkai dan bentuknya bulat

pada saat diperiksa dibawah mikroskop. Dimana pada sampel A1

ditemukan fungi Aspergillus flavus, sedangkan pada sampel A2,

B1, B2, C1, dan C2 ditemukan fungi Aspergillus niger.

H. Jenis Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari pemeriksaan di

Laboratorium Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kendari.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil survei tentang

lokasi pengambilan sampel serta jumlah penjual jamu bubuk yang ada di

Pasar Tradisional Kota Kendari.

I. Pengolahan Data

Pengolaahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Coding, yaitu memberikan kode pada sampel jamu bubuk yang diteliti

untuk memudahkan dalam memasukkan ke program computer.

2. Editing, yaitu mengkaji dan meneliti data yang telah diperoleh.

3. Tabulating, yaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dan

disusun dalam bentuk tabel agar dapat dibaca dengan mudah.

47

J. Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa secara deskriptif. Analisis

data deskriptif merupakan analisis yang dipakai untuk menganalisis data

dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data-data yang sudah

dikumpulkan seadanya tanpa ada maksud membuat generalisasi dari hasil

penelitian. Dimana analisis deskriptif dilakukan dengan melihat ada tidaknya

koloni fungi, menulis jumlah koloni fungi yang dihitung pada media PDA,

serta jenis fungi yang diamati dibawah mikroskop.

Untuk jumlah koloni fungi dihitung dalam satuan CFU/mL, dengan

rumus :

Pb = 𝐽𝐾 ×1

𝐹𝑃

Keterangan :

Pb = jumlah koloni fungi (CFU/mL)

𝐽𝐾 = jumlah koloni fungi

𝐹𝑃 = faktor pengenceran (Asrul, 2009 : 261).

Untuk presentase hasil penelitian digunakan rumus berikut :

X = 𝐹

𝑛× 𝐾

Keterangan :

X = Presentase

𝐹 = Frekuensi katagori variabel yang diamati

𝑛 = Jumlah sampel penelitia

𝐾 = Konstanta (100 %) (Arikunto S, 2006: 34).

K. Penyajian Data

Data yang tersedia disajikan dalam bentuk tabel kemudian

dinarasikan.

L. Etika Penelitian

Etika penelitian bertujuan untuk melindungi hak-hak subyek. Dalam

penelitian ini menekankan masalah etika yang meliputi antara lain :

48

1. Anoniminity (tanpa nama)

Dilakukan dengan cara tidak memberikan nama responden pada

lembar alat ukur, hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.

2. Confidentiality (kerahasiaan)

Dilakukan dengan menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik

informasi maupun masalah–masalah lainnya. Informasi yang

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti.

49

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Pasar Kota ( Sentral Kota)

Pasar Kota merupakan pasar tradisional modern yang terletak di

Jalan Konggoasa, Kelurahan Dapu-Dapura, Kecamatan Kendari Barat,

Kabupaten Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Letak Pasar Kota

pada sebelah utara pasar terdapat Bank BRI, pada bagian timur pasar

terdapat jalan poros Tinombu, sebelah barat pasar merupakan jalan poros

Titang, sedangkan pada sebelah selatan terdapat dermaga.

Pasar Kota dilengkapi dengan 1.030 kios, 490 lodz. Pada lantai

1 gedung merupakan tempat penjualan sembako dan juga penjual

pakaian, lantai dua merupakan tempat penjualan asesoris dan juga

pakaian, sedangkan lantai 3 merupakan tempat permainan. Bagian

parkiran atau di luar gedung merupakan tempat dijualnya sayur-sayuran,

buah-buahan, ikan, rempah-rempah, bahkan ada penjual obat tradisional

(jamu bubuk), penjualan di luar gedung dilakukan dengan beralaskan

terpal ataupun karung, lokasi penjualan diluar gedung terdapat

pencahayaan sinar matahari langsung.

2. Pasar Korem

Pasar Korem adalah pasar tradisional yang terletak di Jalan Syeh

Yusuf, Kelurahan Korumba, Kecamatan Mandonga, Kabupaten Kota

Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Letak Pasar Korem pada sebelah

utara merupakan Pasar Basah, pada bagian timur pasar terdapat sungai

lahundape, di bagian barat pasar merupakanm mall mandonga,

sedangkan pada bagian selatan pasar merupakan korem 143/HO.

Pasar Korem merupakan pasar tradisional seperti pasar tradisional

pada umumnya, dimana pasar ini terdiri dari kios-kios sederhana, ada

yang beratapkan seng adapula yang beratapkan terpal, serta ada yang

menjual dengan dasaran terbuka. Di Pasar Korem kondisi tempat

penjualannya kotor serta tidak beraturan. Diamana penjual sayur, buah-

50

buahan, ikan, pakaian baru, penjual asesoris, penjual pakaian bekas,

penjual jamu, penjual sembako berdempet-dempet tidak beraturan.

3. Pasar Basah

Pasar Basah adalah pasar tradisional yang berada di jantung kota.

Pasar ini terletak di Jalan Lasandara, Kelurahan Korumba, Kecamatan

Mandonga, Kabupaten Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Letak

Pasar Basah pada sebelah utara pasar merupakan jalan poros Lasandara,

pada bagian timur pasar terdapat sungai lahundape, di bagian barat pasar

merupakanm mall mandonga, sedangkan pada bagian selatan pasar

merupakan Pasar Korem.

Bangunan Pasar Basahterdiri dari tigaa lantai , dimana terdapat

kios, serta lodz di dalamnya. Pada lantai 1 gedung digunakan sebagait

tempat penjualan sayur-sayuran, buah-buahan, dan juga ikan, untuk lantai

2 digunakan sebagai tempat penjualan sembako, obat-obatan asesoris

jajan-janan, dan juga ikan, sedangkan di lantai 3 digunakan sebagai

tempat penjualan pakaian, sepatu dan juga sendal.

B. Hasil Penelitian

Sampel pemeriksaan diperoleh dari 3 pasar yaitu di Pasar Kota, Pasar

Korem, dan Pasar basah. Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 20 juni

2016, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik porposive sampling,

dimana sampel jamu bubuk yang diambil adalah jamu bubuk dengan merek

yang sama, memiliki kemasan bagus dan tidak bagus, serta belum kadaluarsa.

Pemberian identitas pada sampel yang akan diteliti dilakukan dengan

pemberian kode, adapapun kode yang diberikan yaitu sebagai berikut :

A1 : Sampel jamu bubuk dengan kemasan bagus di Pasar Kota.

A2 : Sampel jamu bubuk dengan kemasan tidak bagus di Pasar Kota.

B1 : Sampel jamu bubuk dengan kemasan bagus di Pasar Korem

B2 : Sampel jamu bubuk dengan kemasan tidak bagus di Pasar Korem.

C1 : Sampel jamu bubuk dengan kemasan bagus di Pasar Basah.

C2 : Sampel jamu bubuk dengan kemasan tidak bagus di Pasar Basah

51

Distribusi frekuensi pengambilan sampel berdasarkan pasar dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pengambilan Sampel Jamu Bubuk

Berdasarkan Pasar di Kota Kendari

No Nama Pasar Kode

Sampel

Jumlah Sampel yang

Diambil (F)

Presentase

(%)

1 Pasar Kota A1

2 33,33333 A2

2 Pasar Korem B1

2 33,33333 B2

3 Pasar Basah C1

2 33,33333 C2

Total 6 100

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Jurusan Analis

Kesehatan Poltekes Kemenkes Kendari tentang identifikasi fungi pada jamu

bubuk yang dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari menggunakan metode

agar sebar, maka diperoleh hasil jumlah koloni fungi (CFU/mL), dan juga

jenis fungi yang tumbuh pada media PDA yang dapat dilihat pada tabel di

bawah ini.

Tabel 4. Pertumbuhan Koloni Fungi Pada Media Potato Dextrose Agar

(PDA)

No Kode

Sampel

Hasil Isolasi Fungi Pada Media

Potato Dextrose Agar (PDA)

1 A1 Ada Pertumbuhan

2 A2 Ada Pertumbuhan

3 B1 Ada Pertumbuhan

4 B2 Ada Pertumbuhan

5 C1 Ada Pertumbuhan

6 C2 Ada Pertumbuhan

52

Tabel di atas menunjukan bahwa, semua sampel jamu bubuk yang

diteliti telah ditumbuhi fungi.

Tabel 5. Jumlah Koloni Fungi yang Tumbuh Berdasarkan Pengenceran

Pada Media Potato Dextrose Agar (PDA)

No

Kode

Sampe

l

Pengenceran Jumlah

koloni

fungi

(CFU/mL)

Keterangan

(Batas cemaran ≤ 1×104

CFU/mL )

10-

2

10-

3

10-

4

10-

5

Tidak

melewati Melewati

1 A1 10 15 8 4 8 × 103 √

2 A2 8 20 19 15 5 × 105 √

3 B1 8 24 15 27 9 × 105 √

4 B2 3 35 25 21 1 × 106 √

5 C1 10 11 9 6 6 × 103

6 C2 5 15 11 10 3 × 105

Jumlah 2 4

Persentase (100%) 33,33 66,67

Tabel diatas menunjukan bahwa jumlah koloni berdasarkan

pengenceran pada media PDA didapatkan 2 sampel yaitu sampel A1 dan C1

yang jumlah koloni funginya tidak melewati batas cemaran fungi pada jamu

bubuk dengan presentase 33,33 %,, serta didapatkan 4 sampel yaitu sampel

53

A2, B1, B2, dan C2 yang jumlah koloninya melewati batas cemaran fungi pada

jamu bubuk dengan presentase 66,67 %.

Tabel 6. Jenis Fungi yang Tumbuh pada Media Potato Dextrose Agar

(PDA)

No Kode

Sampel Nama Fungi

1 A1 Aspergilus flavus

2 A2 Aspergilus niger

3 B1 Aspergilus niger

4 B2 Aspergilus niger

5 C1 Aspergilus niger

6 C2 Aspergilus niger

Tabel di atas menunjukkan bahwa sampel A1 telah ditumbuhi fungi

Aspergillus flavus, dan pada sampel A2, B1, B2, C1, dan C2 telah ditumbuhi

Aspergillus niger.

C. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 6-28 juni

2016 di Laboratorium Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Kendari

tentang identifikasi fungi pada jamu bubuk yang dijual di Pasar Tradisional

Kota Kendari yang bertujuan untuk mengetahui adanya koloni fungi, jumlah

koloni fungi yang mengkontaminasi jamu bubuk serta jenis fungi yang

tumbuh pada sampel jamu bubuk tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut :

1. Pengamatan koloni fungi

Berdasarkan hasil pengamatan koloni fungi pada media PDA

menunjukkan bahwa semua sampel jamu bubuk yang diteliti ternyata

telah ditumbuhi koloni fungi. Teori mengatakan bahwa faktor yang dapat

menyebabkan tumbuhnya fungi pada jamu bubuk adalah faktor sanitasi

dan higiene yang tidak baik terhadap personalia, bangunan, peralatan,

penyiapan bahan baku, pengolahan dan pengemasan, dan penyimpanan

produk sebelum jamu tersebut didistribusikan (BPOM, 2005 : 1). Selain

54

itu faktor lokasi penjualan dan tempat penyimpanan jamu yang tidak

bersih, serta lembab dapat menyebabkan timbulnya kontaminasi fungi

pada jamu bubuk. (Novitasari, 2012: 16). Berdasarkan pengamatan pada

saat pengambilan sampel di pasar, dapat dikatakan bahwa kontaminasi

fungi pada sampel jamu bubuk A2, B2, dan C2 terjadi disebabkan karena

kemasan sampel pada saat pembeliannya kurang baik, dimana

kemasannya terbuat dari kertas, kemasan luar dalamnya tampak

berlubang-lubang. Sedangkan pada sampel A1, B1, dan C1 merupakan

sampel yang memiliki kemasan luar yang bagus masih terkemas plastik,

dan baru didistribusikan, kontaminasi fungi pada ketiga sampel ini

mungkin terjadi pada saat penyimpanan dipabrik sebelum jamu tersebut

diberi kemasan luar, dan kemudian didistribusikan, karena pada saat jamu

bubuk tersebut dikeluarkan dari kemasan luarnya untuk penimbangan

sampel ditemukan kemasan dalamnya telah memiliki lubang-lubang kecil.

Selain itu, faktor lain yang dapat mendukung yaitu lingkungan tempat

penjualaan, serta kondisi tempat penyimpanan sampel jamu bubuk pada

saat dijual, dimana kondisi tempat penjualan jamu bubuk pada pasar A

dan B sangat kotor, lembab, bercampur dengan penjual sayur-sayuran,

ikan yang dikeringkan, rempah-rempah, serta penjual telur, sedangkan

pada pasar C kondisi tempat penjualannya tidak begitu kotor, lokasi

penjualanannya terletak tepat di bawah tangga. Untuk tempat

penyimpanan jamu bubuk yang akan dijual pada pasar A, dan B sangat

kotor dan berantakkan serta tidak terkena sinar matahari, sedangkan pada

pasar C tempat penyimpananya kotor tetapi penyimpanan jamu bubuknya

rapi.

Ciri-ciri fisik jamu bubuk yang tidak terkontaminasi fungi yaitu

kemasan luarnya bagus, tidak berlubang, pada saat kemasan jamu bubuk

diraba atau dikocok masih dalam bentuk serbuk atau tidak memadat.

(DinKes, 2016: 1).

55

2. Jumlah koloni fungi

Berdasarkan penghitungan jumlah koloni fungi yang tumbuh

berdasarkan pengenceran pada media Potato Dextroswe Agar (PDA),

dimana jumlah koloni dapat dihitung jika koloninya mencapai 10-150

dibawah dari jumlah ini maka koloni tidak dihitung. Jumlah koloni yang

dihitung kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran untuk

mendapatkan jumlah koloni dalam satuan CFU/mL. Dari penghitungan

yang telah dilakukan didapatkan jumlah koloni tertinggi yaitu pada

sampel B2 sebesar 1 × 106 CFU/mL, pada sampel B1 sebesar 9 × 105

CFU/mL, kemudian pada sampel A2 sebesar 5 × 105 CFU/mL, dan pada

sampel C2 sebesar 3 × 105 CFU/mL. Dalam aturan Badan Pengawasan

Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia tentang batas maksimum

cemaran fungi pada obat tradisional (jamu bubuk) tidak lebih dari 1×104

CFU/mL, melewati batas ini maka jamu tersebut tidak layak dikonsumsi

karena dapat mengganggu kesehatan. Berdasarkan aturan tersebut dapat

dikatakan bahwa ke empat jamu bubuk tersebut telah melewati batas

cemaran. Sedangkan jamu bubuk yang tidak melewati batas cemaran

yaitu sampel A1 sebesar 8 × 103 dan pada sampel C1 sebesar 6 × 103.

Dinas Kesehatan mengatakan bahwa lama penyimpanan ditempat yang

lembab sehingga kadar air jamu tersebut meningkat dan menyebabkan

kontaminasi fungi semakin banyak. (DinKes, 2016: 1), berdasarkan hal

tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan jumlah koloni dapat terjadi

karena kerusakan kemasan yang berbeda, lama penyimpanan di tempat

kotor, sehingga menimbulkan peningkatan kadar air yang berbeda yang

dapat menyebabkan bertambah banyaknya pertumbuhan fungi pada

sampel jamu bubuk tersebut.

3. Jenis fungi

Koloni yang tumbuh setelah dihitung maka diperiksa di bawah

mikroskop dengan pembesaran 100x dan 400x menggunakan KOH 10 %

yang bertujuan untuk menghilangkan berkas lemak yang terkandung,

memperjelas hifa, miselum serta spora dari fungi yang tumbuh, sehingga

56

dapat diketahui jenis fungi yang telah mengkontaminasi jamu bubuk

tersebut. (Amelia, 2013: 5-7). Berdasarkan pengamatan dibawah

mikroskop ditemukan jenis fungi Aspergillus sp pada semua sampel jamu

bubuk, dimana pada sampel A1 ditemukan adannya fungi Aspergillus

flavus, sedangkan pada sampel A2, B1, B2, C1, dan C2 ditemukan adanya

Aspergillus niger. Penelitian yang dilakukan oleh Isworo Rukmi pada

tahun 2009 menunjukkan bahwa fungi yang sering ditemukan pada

simplisia jamu bubuk adalah Spesies dari Aspergillus sp.

(Rukmi, 2009 : 82). Aspergillus sp merupakan organisme saprofit yang

hidup bebas, diketahui terdapat dimana-mana dan dapat tumbuh pada

semua substrat. Pertumbuhannya akan terhambat bila bahan dalam

keadaan kering. Fungi ini memiliki hifa bersepta, miselium bercabang,

koloninya berkelompok dan berkembang dengan konidispora,

konidiosporanya terbentuk secara bebas dan ujungya menggembung,

konidia berangkai-rangkai dan bentuknya bulat, serta termasuk dalam

divisi deuteromycota. (Irianto, 2013 : 34 dan 78). Dari hal ini dapat

ketahui bahwa yang tumbuh pada jamu tersebut memang benar-benar

fungi Aspergillus sp.

Aspergillus sp merupaka fungi yang bersifat berbahaya, dapat

menghasilkan mikotoksin yang dapat menyerang sistem saraf pusat

mempengaruhi hati, dan ginjal, dapat menyebakan gangguan pernafasan

bahkan dapat menyebabkan kematian. (Irianto, 2013 : 34 dan 78).

Aspergillus flavus merupakan fungi yang memiliki koloni pada saat muda

berwarna putih, dan akan berubah menjadi berwarna hijau kekuningan

setelah membentuk konidia. Kepala konidia berwarna hijau kekuningan

hingga hijau tua kekuninggan, berbentuk bulat, konidiofor berdinding

kasar, hialin. (Noverita, 2009 : 17). Fungi ini dapat menghasilkan toksin

alfatoksin B1 dan B2 yang dapat menyebakan hepatotoksik, karsinogenik,

mutagenik. (Ahmad, 2009 :17). Fungi penghasil alfatoksin ini dapat hidup

pada kelembapan 70% dan pada suhu 15oC-45oC.

(Gandjar, dkk, 2014 : 44-45).

57

Aspergillus niger merupakan fungi yang koloninya pada saat muda

berwarna putih, dan akan berubah menjadi berwarna hitam setelah

terbentuk koniospora. Kepala konidia berwarna hitam, berbentuk bulat.

Kodiofor berdinding halus. Konidia berbentuk bulat sampai semi bulat,

berwarna coklat tua – hitam. (Noverita, 2009 : 17). Fungi ini dapat

menghasilkan toksin okratoksin yang dapat menyebabkan karsinogenik,

dan imunosupresif. (Ahmad, 2009 :17).

Waktu yang dibutuhkan toksin fungi untuk menyebabkan gangguan

kesehatan pada manusia tergantung dari sering terpaparnya serta

besarnya toksin yang dikonsumsi dari jamu bubuk yang terkontaminasi

fungi, walapun jumlah funginya tidak melewati batas cemaran tetapi jika

jamu bubuk sering dikonsumsi maka akan semakin cepat pula terjadinya

gangguan kesehatan, dan semakin besar toksin yang dikonsumsi maka

semakin cepat pula terjadinya gangguan tersebut dan semakin besar pula

dampaknya. (Nurgaman, 2016: 1). Dampaknya yaitu dapat muncul

sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru,

kejang, koma, akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung,

hingga pada kanker hati imunotoksisitas dari toksin fungi menyebabkan

terhambatnya kemampuan tubuh untuk mengendalikan perkembangan sel

kanker sehingga dapat menimbulkan kematian. (Yenny, 2006: 44).

Batas maksimum toksin yang diperbolehkan masuk ke dalam

tubuh manusia yaitu ≤ 20 ppb, semakin banyak fungi yang

mengkontaminasi jamu bubuk maka semakin besar pula toksin yang

dihasilkan. (Nurgaman, 2016: 1). Berdasarkan hal tersebut walaupun

jumlah koloni fungi Asperggilus sp yang tumbuh pada jamu bubuk tidak

melewati batas cemaran seharusnya jamu tersebut tidak dikonsumsi

karena jenis fungi Asperggilus sp yang tumbuh merupakan fungi yang

bersifat patogen terhadap manusia.

58

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Identifikasi Fungi Pada Jamu

Bubuk yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari dapat diketahui bahwa

terdapat fungi pada 6 jamu bubuk yang diteliti. Yang dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Terdapat adanya koloni fungi pada semua jamu bubuk yang diperoleh dari

Pasar A, Pasar B, dan Pasar C.

2. Jumlah koloni fungi yang mengkontaminasi jamu bubuk dengan kode

sampel A2, B1, B2, C2 dapat dinyatakan telah melewati batas cemaran fungi

pada jamu bubuk, dan dianggap tidak layak dikonsumsi. Sedangkan

jumlah koloni fungi yang mengkontaminasi jamu bubuk dengan kode

sampel A1 dan C1 walaupun belum melewati batas cemaran fungi pada

jamu bubuk, tetapi jamu bubuk ini tidak layak dikonsumsi karena jenis

fungi yang tumbuh adalah fungi Aspergillus sp

3. Jenis fungi yang ditemukan pada semua jamu bubuk yang diteliti adalah

fungi Aspergillus sp. Dimana pada jamu bubuk A1 ditemukan fungi

Aspergillus flavus. Dan pada jamu bubuk A2, B1, B2, C1 dan C2 ditemukan

fungi Aspergillus niger.

B. Saran

1. Penjual jamu bubuk harus lebih memperhatikan higienis dan sanitasi pada

saat pengolahan jamu, memperhatikan lokasi penjualan dengan baik,

memilih lokasi yang bersih, yang tidak lembab, tidak tercampur dengan

penjual lain yang kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya

kontaminasi fungi pada jamu bubuk yang dijual, serta tempat

penyimpanan yang bersih dan rapi.

2. Konsumen harus lebih teliti dan hati-hati dalam pemilihan produk yang

dikonsumsi khususnya jamu bubuk agar terhindar dari berbagai macam

penyakit yang dapat ditimbulkan oleh fungi yang telah mengkontamisi

jamu bubuk. sebaikanya pada saat pembelian jamu bubuk pastikan

59

kemasan luarnya bagus, tidak berlubang, pada saat kemasan jamu bubuk

diraba atau dikocok masih dalam bentuk serbuk atau tidak memadat.

3. Kepada departemen kesehatan setempat khususnya BPOM hendaknya

mengawasi penjualan jamu bubuk dipasar agar dijual ditempat penjualan

serta tempat penyimpanan yang bersih.

4. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang fungi pada

sampel jamu jenis lain, ataupun bisa pula melakukan penelitian kadar

toksin fungi yang mengkontaminasi jamu bubuk.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Nur. 2013. “Identifikasi Jamur Aspergillus Flavus Pada Kacang

Tanah (Arachis hypogaea L ) Yang Dijual di Pasar Kodim”. Analis

Kesehatan klinikal Sains. Vol.1. NO.1. Hal. 1-10.

Achmad, dkk. 2011. “Panduan Lengkap Jamu”. Jakarta : Penebar swadaya.

Ahmad, Riza Zainuddin. 2009. “Cemaran Kapang Pada Pakan dan

Pengendaliannya”. Bogor : Litbang Pertanian. Vol. 28. No. 1.

Arikunto, s. 2006. “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek”. Jakarta:

Rineka Cipta.

Asrul. 2009. “Populasi Jamur Mikotoksigenik Dan Kandungan Aflatoksin

Pada Beberapa Contoh Biji Kakao (Theobroma Cacao L) Asal

Sulawesi Tengah”. Sulawesi Tengah. Vol. 16. Hal. 258-267.

BPOM RI. 2005. “Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik”

Jakarta. Link :

http://www2.pom.go.id/public/hukum_perundangan/pdf/LAMP_CP

OTB.pdf . Diakses 10 april 2016.

BPOM RI. 2015. “Report to the Nation: Laporan Kinerja Pengawasan Obat

dan Makanan sampai dengan Triwulan I Tahun 2015”. Jakarta. Link

: http://www.pom.go.id/ppid/2015/rtn2015tw1.pdf. Diakses 10 april

2016.

Budi Utama, Prastya. 2010. “Pengemasan Jamu di PT. Jamu Air Mancur

Unit Palur”. Karanganyar: Universitas Sebelas Maret.

RisKesDas. 2010. “Penggunaan Obat Tradisional”. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia.

Citrosupomo, Gembong. 2005. “Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan”.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

DinKes. 2016. “Memilih Jamu yang Baik dan Benar”. Lamongan. Link:

http://lamongankab.go.id/instansi/dinkes/memilih-jamu-yang-baik-

dan-benar/. Diakses 24 Mei 2016.

Elisa. 2016. “Jamur Dan Mikotoksin Dalam Pangan”. Link :

http://elisa.ugm.ac.id/user/archive/download/32586/6425b1b6dc656

8b21bcf1bd19bad60e5. Diakses 3 April 2016.

Gandjar Roosheroe, Indrawati, dkk. 2014. “Mikologi Dasar dan Terapan”.

Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Hasyimi M. 2010 “Mikrobiologi”. Jakarta : TIM.

Irianto, Koes. 2013. “Parasitologi Medis”. Bandung : Alfabeta.

Kumala W. 2006. “Mikologi dasar kedokteran”. Jakarta : Universitas

Trisakti. Link :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3432/1/08E00886.pdf.

Diakses 5 April 2016.

Nasir Abdul, dkk. 2011. “Metodologi Penelitian Kesehatan”. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Noverita. 2009. “Identifikasi Kapang dan khamir Penyebab Penyakit

Manusia Pada Sumber Air Minum Penduduk Pada Sungai Ciliwung

dan Sumber Air Sekitarnya”. Jakarta : Fakultas Biologi Universitas

Nasional. Vol. 02. No. 2.

Novitasari, Yuani. 2012. “Sikap Konsumen Jamu Tradisional Pada Pasar

Tradisional di Kabupaten Sukoharjo”. Surakarta: Universitas Sebelas

Maret.

Nurganam, Yonan. 2016. “Kontaminasi Alfatoksin”. Link :

http://old.analytical.chem.itb.ac.id/coursesdata/8/moddata/forum/122

/226/Kontaminasi_Aflatoxin.doc. Diakses 24 Mei 2016.

PerMenKes RI. 2011. “Higiene Sanitasi Jasaboga”. Jakarta. Link :

http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/permen-kesehatan-

nomor-1096-menkes-per-vi-2011-tentang-higiene-sanitasi-

jasaboga.pdf .Diakses 2 april 2016.

Rukmi, Isworo. 2009. “Keanekaragaman Aspergillus Pada Berbagai

Simplisia Jamu Tradisional” . Semarang. Vol. 7. Hal. 82-89.

Sariansyah. 2002. “Analisis Faktor Resiko Pencemaran Mikroba Pada

Produk Obat Tradisional”. Semarang : Universitas Ponegoro.

Soeparto, Soedarmilah. 1999. “Jamu Jawa Asli”. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya Offest.

Schumann, G.L. 2000. “The Plant Health Instructor”. Link:

http://www.apsnet.org/edcenter/intropp/lessons/fungi/ascomycetes/P

ages/Ergot.aspx. Diakses 28 Mei 2016.

Suharmiati dan Lestari Hardianti. 2006. “Cara Benar Meracik Obat

Tradisional”. Jakarta : Agro Pustaka.

Supardi, Sudibyo dan Andi Leny Susyanty. 2010. “Penggunaan Obat

Tradisional Dalam Upaya Pengobatan Sendiri diIndonesi”. Jakarta :

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan Kebijakan

Kesehatan. Vol. 8. Hal. 80-89.

Syamsuri, Istamai, dkk. 2000. “Biologi 2000”. Jakarta : Erlangga.

Tentorku. 2015. “Jamur Tidak Sempurna (Deuteromycota)”. Link:

https://www.tentorku.com/jamur-tidak-sempurna-deuteromycota/.

Diakses 28 Mei 2016.

Tjatur, Andreas. 2012. “Gambar-Gambar yang Berhubungan dengan

Kingdom Monera, Protista, dan Fungi”. Link:

https://quatrebonbon.wordpress.com/2012/11/11/baru-bio-kelas-7-

organisasi-kehidupan-12-23-nov-2012/. Diakses 28 Mei 2016.

Thomas M, dkk. 2011. “Teknik Isolasi dan Kultur” Sumatra Utara:

Laboratorium Terpadu Proggram Magister Biomedik.

Yenny. 2006. “Aflatoksin dan Aflatoksikosis Pada manusia”. Jakarta:

Universa Medicina. Vol. 25. No. 1.

Yulliawati, Tetty.2016. “Pasti Untung Dari Budi Daya Jamur”. Jakarta:

Agromedia.

Widya Gunawan, Agustina. 2008. “Usaha Pembibitan Jamur”. Jakarta:

Penebar Sawadaya.

Widhi Nugroho, Aryandhito, dkk. 2013. “Mikrobiologi Kedokteran”.

Jakarta : EGC.

Lampiran 5. Proses Penelitian Identifikasi Fungi Pada Jamu Bubuk yang

Dijual di Pasar Tradisional Kota Kendari

a. Pra Analitik

1) Persiapan sampel

Pengambilan Sampel Jamu Bubuk

Pasar Kota Pasar Korem Pasar Basah

2) Persiapkan bahan dan alat

a) Bahan

Sampel Jamu Bubuk NaCl 0,9 %

Media Potato Dextrose Agar KOH 10 %

Kertas pH Kapas

b)

Aquadest

b) Alat

Erlenmeyer Cawan Petri

Batang Pengaduk Cawan Porselin

Lampu Spritus Gelas Ukur

Beacker Glass Pipet Ukur

Tabung Reaksi dan Rak Tabung Objek Glass

Cover Glass Karet Penghisap

Sendok Tanduk Pipet Tetes

Kaki Tiga Asbes

Ose Spoit 3 cc

Timbangan Digital Autoclave

Mikroskop

3) Sterilisasi alat dan bahan

Mensterilkan Alat Ke Dalam Autoclave

Pemipetan NaCl 0,9 % Ke Dalam Tabung Reaksi

Sterilisasi NaCl 0,9 % Ke Dalam Autoclave

4) Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)

Menimbangan Media Potato Dextrose Agar (PDA)

Memeriksa pH Aquadest

Melarutkan Media PDA

Mendidihkan Media PDA

Mensterilisasi Media PDA Ke Dalam Autoclave

Penuangan Media PDA Ke Dalam Cawan Petri Steril

b. Analitik

1) Inokulasi fungi

Penimbangan 1 Gram Sampel Jamu bubuk

Pengenceran Sampel Jamu Bubuk

Inokulasi Sampel Ke Dalam Cawan Petri Berisi Media PDA Padat

Inkubasi media yang telah berisi inokolom

2) Pengamatan pertumbuhan fungi dan sekaligus menghitung jumlah koloni

fungi

Pertumbuhan Koloni Fungi Hari Ke-2

Pertumbuhan Koloni Fungi Pada Hari Ke-3

Perhitungan Jumlah Koloni Fungi Dalam Satuan CFU/mL

a) Sampel jamu bubuk dengan kode A1

Didketahuhi :

Pengenceran 10-2 : 10 koloni dengan faktor pengenceran 0,01

Pengenceran 10-3: 15 koloni dengan faktor pengenceran 0,001

Perhitungan :

Rumus : Pb = 𝐽𝐾 ×1

𝐹𝑃

Pengenceran 10-2

Pb = 10 ×1

0,01

= 10

0,01

= 1.000 CFU/mL

Pengenceran 10-3

Pb = 15 ×1

0,001

= 15

0,001

= 15.000 CFU/mL

Maka jumlah koloni fungi dalam satuan CFU/mL untuk sampel A1

yaitu :

Pb A1 = Pb 10−2 + Pb 10−3

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

= 1.000+ 15.000

2

= 16.000

2

= 8.000 atau 8 × 103 CFU/mL

b) Sampel jamu bubuk dengan kode A2

Didketahuhi :

Pengenceran 10-3: 20 koloni dengan faktor pengenceran 0,001

Pengenceran 10-4 : 19 koloni dengan faktor pengenceran

0,0001

Pengenceran 10-5 : 15 koloni dengan faktor pengenceran

0,00001

Perhitungan :

Rumus : Pb = 𝐽𝐾 ×1

𝐹𝑃

Pengenceran 10-3

Pb = 20 ×1

0,001

= 20

0,001

= 20.000 CFU/mL

Pengenceran 10-4

Pb = 19 ×1

0,0001

= 19

0,0001

= 190.000 CFU/mL

Pengenceran 10-5

Pb = 15 ×1

0,00001

= 15

0,00001

= 1.500.000 CFU/mL

Maka jumlah koloni fungi dalam satuan CFU/mL untuk sampel A2

yaitu :

Pb A2 = Pb 10−3 + Pb 10−4 + Pb 10−5

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

= 20.000 + 190.000 +1.500.000

3

= 1.710.000

3

= 570.000 atau 5 × 105 CFU/mL

c) Sampel jamu bubuk dengan kode B1

Didketahuhi :

Pengenceran 10-3: 24 koloni dengan faktor pengenceran 0,001

Pengenceran 10-4: 15 koloni dengan faktor pengenceran

0,0001

Pengenceran 10-5: 27 koloni dengan faktor pengenceran

0,00001

Perhitungan :

Rumus : Pb = 𝐽𝐾 ×1

𝐹𝑃

Pengenceran 10-3

Pb = 24 ×1

0,001

= 24

0,001

= 24.000 CFU/mL

Pengenceran 10-4

Pb = 15 ×1

0,0001

= 15

0,0001

= 150.000 CFU/Ml

Pengenceran 10-5

Pb = 27 ×1

0,00001

= 27

0,00001

= 2.700.000 CFU/mL

Maka jumlah koloni fungi dalam satuan CFU/mL untuk sampel B1

yaitu :

Pb B1 = Pb 10−3 + Pb 10−4 + Pb 10−5

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

= 24.000 + 150.000 +2.700.000

3

= 2.874.000

3

= 958.000 atau 9 × 105 CFU/mL

d) Sampel jamu bubuk dengan kode B2

Didketahuhi :

Pengenceran 10-3: 35 koloni dengan faktor pengenceran 0,001

Pengenceran 10-4: 25 koloni dengan faktor pengenceran

0,0001

Pengenceran 10-5: 29 koloni dengan faktor pengenceran

0,00001

Perhitungan :

Pengenceran 10-3

Pb = 35 ×1

0,001

= 35

0,001

= 35.000 CFU/mL

Pengenceran 10-4

Pb = 25 ×1

0,0001

= 25

0,0001

= 250.000 CFU/mL

Pengenceran 10-5

Pb = 29 ×1

0,00001

= 29

0,00001

= 2.900.000 CFU/mL

Maka jumlah koloni fungi dalam satuan CFU/mL untuk sampel B2

yaitu :

Pb B2 = Pb 10−3 + Pb 10−4 + Pb 10−5

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

= 35.000 + 250.000 + 2.900.000

3

= 3.185.000

3

= 1.061.667 atau 1 × 106 CFU/mL

e) Sampel jamu bubuk dengan kode C1

Didketahuhi :

Pengenceran 10-2: 10 koloni dengan faktor pengenceran 0,01

Pengenceran 10-3: 11 koloni dengan faktor pengenceran 0,001

Perhitungan :

Rumus : Pb = 𝐽𝐾 ×1

𝐹𝑃

Pengenceran 10-2

Pb = 10 ×1

0,01

= 10

0,01

= 1.000 CFU/mL

Pengenceran 10-3

Pb = 11 ×1

0,001

= 11

0,001

= 11.000 CFU/mL

Maka jumlah koloni fungi dalam satuan CFU/mL untuk sampel C1

yaitu :

Pb C1 = Pb 10−2 + Pb 10−3

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

= 1.000+ 11.000

2

= 12.000

2

= 6.000 atau 6 × 103 CFU/mL

f) Sampel jamu bubuk dengan kode C2

Didketahuhi :

Pengenceran 10-3: 15 koloni dengan faktor pengenceran 0,001

Pengenceran 10-4: 11 koloni dengan faktor pengenceran

0,0001

Pengenceran 10-5: 10 koloni dengan faktor pengenceran

0,00001

Perhitungan :

Pengenceran 10-3

Pb = 15 ×1

0,001

= 15

0,001

= 15.000 CFU/mL

Pengenceran 10-4

Pb = 11 ×1

0,0001

= 11

0,0001

= 110.000 CFU/Ml

Pengenceran 10-5

Pb = 10 ×1

0,00001

= 10

0,00001

= 1.000.000 CFU/mL

Maka jumlah koloni fungi dalam satuan CFU/mL untuk sampel C2

yaitu :

Pb B2 = Pb 10−3 + Pb 10−4 + Pb 10−5

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

= 15.000 + 110.000 + 1.000.000

3

= 1.125.000

3

= 375.000 atau 3 × 105 CFU/mL

3) Mengidentifikasi jenis fungi

Pengangmbilan Koloni Fungi dan Diteteskan KOH 10 %

Pemeriksaan Jenis Fungi Dibawah Mikroskop

c. Pasca Analitik

Jenis Fungi Aspergillus sp Di Bawah Mikroskop Dengan Pembesaran 100x

Aspergillus niger Aspergillus Flavus

Jenis Fungi Aspergillus sp Di Bawah Mikroskop Dengan Pembesaran 400x

Aspergillus niger Aspergillus Flavus

TABULASI DATA

IDENTIFIKASI FUNGI PADA SAMPEL JAMU BUBUK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL KOTA KENDARI

TAHUN 2016

No

Kode

Sampel Pasar

Kondisi

Tempat

Penjualan

Kondisi

Tempat

Penyimpanan

Kemasan

Hasilsolasi

Fungi pada

Media PDA

Hasil Pemeriksaan

Nama Fungi Luar Dalam

Pengenceran Jumlah

Koloni

(CFU/mL)

Batas

Cemaran

≤ 1 × 104

CFU/mL

10-2 10-3 10-4 10-5

1 A1

Kota Kotor Sanagat

Kotor

Bagus Tidak

bagus

Ada

Pertumbuhan 10 15 8 4 8 × 103

Tidak

melewati

Aspergilus

flavus

2 A2 Tidak

bagus

Tidak

bagus

Ada

Pertumbuhan 8 20 19 15 5 × 105 Melewati Aspergilus

niger

3 B1

Korem Sangat

Kotor Sangat Kotor

Bagus Tidak

bagus

Ada

Pertumbuhan 8 24 15 27 9 × 105 Melewati Aspergilus

niger

4 B2 Tidak

bagus

Tidak

bagus

Ada

Pertumbuhan 3 35 25 21 1 × 106 Melewati Aspergilus

niger

5 C1

Basah

Tidak

terlalu

kotor

Tidak terlalu

kotor

Bagus Tidak

bagus

Ada

Pertumbuhan 10 11 9 6 6 × 103 Melewati Aspergilus

niger

6 C2 Tidak

bagus

Tidak

bagus

Ada

Pertumbuhan 5 15 11 10 3 × 105

Tidak

melewati

Aspergilus

niger

MASTER TABEL

IDENTIFIKASI FUNGI PADA SAMPEL JAMU BUBUK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL KOTA KENDARI

TAHUN 2016

No Kode

Sampel

Kondisi Tempat

Penjualan

Kondisi Tempat

Penyimpanan Kemasan Luar Kemasan dalam Hasil Pemeriksaan

Tidak

terlalu

Kotor

Kotor Sangat

kotor

Tidak

terlalu

kotor

Sangat

kotor

Bagu

s

Tidak

bagus Bagus

Tidak

Bagus

Hasil solasi

Fungi pada

Media PDA

Jumlah

koloni

fungi

(CFU/mL)

Batas cemaran

cemaran ≤ 1×104

CFU/Ml Nama

Fungi

Ada Tidak

ada

Tidak

melewati Melewati

1 A1

- √ - √ -

√ - - √

√ - 8 × 103 √ - Aspergilus

flavus

2 A2 - √ - √

√ - 5 × 105 - √ Aspergilus

niger

3 B1

- - √

- √

√ - - √

√ - 9 × 105 - √ Aspergilus

niger

4 B2 - √ - √

√ - 1 × 106 - √ Aspergilus

niger

5 C1

√ - - √ -

√ - - √

√ - 6 × 103 √ - Aspergilus

niger

6 C2 - √ - √

√ - 3 × 105 - - Aspergilus

niger

Jumlah 2 4

Presentase (100%) 33,3 66,67