identifikasi dan interaksi pusat pertumbuhan dengan …digilib.unila.ac.id/55416/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI DAN INTERAKSI PUSAT PERTUMBUHAN DENGAN
DAERAH HINTERLAND DI PROVINSI BANTEN
(Skripsi)
Oleh
Ahmad Dawami
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2018
IDENTIFICATION AND INTERACTION OF GROWTH CENTER WITH
HINTERLAND AREA IN BANTEN PROVINCE
BY
AHMAD DAWAMI
ABSTRACT
This study aims to determine the centers of growth in Banten Province, the
interaction and its relationship with the hinterland area. Using analysis methods
schallogram, a centrality index, gravity analysis and moran’s I index. The results of
the scalogram analysis and the centrality index shows that South Tangerang City,
Serang City and Lebak Regency became the centers of growth in Banten Province.
The result of gravity analysis shows that the City of Tangerang has the strongest
interaction with the growth center area of South Tangerang City. The results of the
moran’s I index analysis globally and locally shows that there are spatial linkages
between regions in Banten Province based on GRDP tertiary sector.
Keywords: Growth Center, Indeks Moran’s I, Spatial Interaction, Spatial Linkage.
IDENTIFIKASI DAN INTERAKSI PUSAT PERTUMBUHAN DENGAN
DAERAH HINTERLAND DI PROVINSI BANTEN
Oleh
AHMAD DAWAMI
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pusat pertumbuhan di Provinsi
Banten dan interaksi serta keterkaitannya dengan daerah hinterland. Dengan
menggunakan analisis skalogram, indeks sentralitas, analisis gravitasi dan indeks
moran’s I. Hasil analisis skalogram dan indeks sentralitas diperoleh bahwa Kota
Tangerang Selatan, Kota Serang dan Kabupaten Lebak menjadi wilayah pusat
pertumbuhan di Provinsi Banten. Hasil analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota
Tangerang memiliki interaksi paling kuat dengan wilayah pusat pertumbuhan Kota
Tangerang Selatan. Hasil analisis indeks moran’s I secara global maupun secara
lokal, menunjukan hasil bahwa terdapat keterkaitan spasial antar wilayah di
Provinsi Banten berdasarkan PDRB sektor tersier-nya.
Kata Kunci: Indeks moran’s I, Interaksi spasial, Keterkaitan spasial, Pusat
pertumbuhan.
IDENTIFIKASI DAN INTERAKSI PUSAT PERTUMBUHAN DENGAN
DAERAH HINTERLAND DI PROVINSI BANTEN
Oleh
Ahmad Dawami
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA EKONOMI
Pada
Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ahmad Dawami lahir di Kartaharja Tulang Bawang Barat,
Provinsi Lampung pada tanggal 28 Februari 1996, sebagai anak pertama dari bapak
Dalail dan Ibu Risminiyati.
Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Raudattul Aliyah Kartaraharja diselesaikan
tahun 2002, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 02 Kartaraharja
tahun 2008. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 01 Marga Kencana
Tulang Bawang Barat pada tahun 2011, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di
SMA N 1 Tumijajar pada tahun 2014.
Tahun 2014, penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Lampung. Pada tahun 2017 penulis
mengikuti program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Sungai Langka, Gedong
Tataan, Pesawaran.
MOTO
“Barang siapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhan itu adalah untuk
dirinya sendiri”
(QS. Al-Ankabut 29:6)
“Masa depan milik mereka yang terbuka dan bekerja keras”
(Ahmad Dawami)
“Setiap orang dapat mencapai kejayaan dalam hal apa saja, asalkan ia sangat
menyukai pekerjaan yang dilakukan”
(Ariel Noah)
PERSEMBAHAN
Dengan segenap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
nikmat yang diberikan, ku persembahkan skripsi ini dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati kepada:
Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi, Bapak Dalail dan Ibu
Risminiyati, yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa dan cinta.
Sehingga anak mu ini yakin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik
untuk hamba-Nya.
Semua Sahabat-sahabat ku (Bima, Budi, Al, Rama, Om Arya dan Yusuf)
yang begitu tulus menyayangiku dengan segala kekuranganku, dari kalian
aku banyak belajar tentang kehidupan.
Para dosen yang telah begitu berjasa memberikan bimbingan dan ilmu yang
sangat berharga bagi penulis.
Semua Sahabat yang begitu tulus menyayangiku dengan segala
kekuranganku, dari kalian aku belajar memahami arti ukhuwah.
Almamater Universitas Lampung tercinta.
SANWACANA
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat
diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Identifikasi Dan Interaksi Pusat Pertumbuhan
Dengan Daerah Hinterland Di Provinsi Banten” disusun untuk memperoleh gelar
sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.
Dalam proses penyelesaian skripsi, penulis mendapat bimbingan dan arahan dari
berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E, M.Si. selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Nairobi, S.E., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.
3. Ibu Emi Maimunah, S.E., M.Si. selaku sekretaris Jurusan Ekonomi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.
4. Bapak Dr. I Wayan Suparta. S.E.,M.Si selaku dosen pembimbing akademik.
5. Ibu Zulfa Emalia, S.E., M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk membimbing dengan penuh kesabaran, memberikan
sumbangan pemikiran, perhatian, kritik, saran, dan motivasi selama
penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
6. Ibu Dr. Ida Budiarty. S.E.M.Si dan Dr. Lies Maria Hamzah, S.E, M.E selaku
Dosen Pembahas yang telah memberikan bimbingan, pelajaran, perhatian,
motivasi dan masukan yang sangat berharga bagi penulis.
7. Seluruh Bapak Ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah
membimbing dan memberikan bekal ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
penulis selama proses perkuliahan hingga selesai
8. Orang tua ku tercinta, Bapak Dalail dan Ibu Risminiyati yang memberikan
banyak cinta dan kasih sayang dengan tulus dan penuh kesabaran, bimbingan
dan nasihat, semangat, doa, serta kerja keras yang tak kenal lelah.
9. Teman-teman seperjuangan KKN di Desa Sungai Langka baik kelompok 1
sampai kelompok 4 dan terutama untuk teman-teman kelompok 1 : Aul, Ismi,
Ifah dan Digo. Induk Semang : Mbah Saeno dan Mbah Marsinah. Pak Lurah dan
Pak Sekdes, serta seluruh Masyarakat Desa Sungai Langka,
terimakasih atas kesempatan, pengalaman, dan kebersamaannya selama
menjalani KKN.
10. Almamater Universitas Lampung tercinta yang telah mendewasakanku.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
12. Teman-teman Sariah Adventure Aji, Sule, Rendra, Regis, Hendy, Benny, Hadi,
Ferry dan Ikhsan terimakasih atas kebersamaannya selama ini. Kalian semua
membuatku bisa melupakan sejenak tentang tugas-tugas kuliah.
13. Para sahabat konco Bima, Budi, Al, Ari, Om Arya dan Yusuf yang telah tinggal
bersama selama masa perkuliahan. Dari kalianlah saya merasakan arti dari
ketulusan sebuah persahabatan dan tak pernah kenal pamrih.
14. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2014, EP Brother Selon yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kebersamaannya. Kalian sudah
menjadi bagian dari cerita hidupku.
Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah
diberikan, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bandar Lampung, 20 Desember 2018
Penulis,
Ahmad Dawami
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................. . i
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ . v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. .. vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 11
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ............................................................................ 13
1. Teori Pusat Pertumbuhan ........................................................ 13
2. Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Perroux ........................... 14
3. Teori Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut Richardson......... 15
4. Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Myrdal............................... 16
5. Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Boudville........................... 16
6. Teori Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut
Rondinelli dan Unwin.............................................................. .. 17
7. Tipologi Klasen ...................................................................... 17
8. Interaksi Spasial ...................................................................... 18
9. Analisis Skalogram ................................................................. 19
10. Indeks Sentralitas .................................................................. 20
11. Skala Ordinal ........................................................................ 21
12. Keterkaitan Spasial ............................................................... 22
13. Indeks Moran ........................................................................ 24
14. Matriks Pembobot Spasial....................................................... 24
B. Tinjauan Empiris .......................................................................... 26
C. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 29
D. Hipotesis ...................................................................................... 31
III. METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 32
B. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 32
C. Metode Analisis Data ................................................................... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
ii
A. Analisis Tipologi Klassen ................................................................ 51
B. Hasil Analisis Tipologi Klassen.................................................... ... 54
C. Analisis Indeks Skalogram Dan Indeks Sentralitas................ ......... 56
D. Hasil Analisis Skalogram................................................................ . 62
E. Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas............................................... 64
F. Hasil Analisis Skala Ordinal............................................................ 69
G. Hasil Indeks Gravitasi...................................................................... 71
H. Hasil Indeks Morans’s I................................................................... 77
I. Implikasi Hasil Penelitian ............................................................... 85
V. KESIMPULAN DAN SARA
A. Kesimpulan................................................................. ..................... 90
B. Saran................................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Di Pulau Jawa ........................... 3
1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2011-2016........................................................ 5
1.3 Jarak Antar Kabupaten/Kota ke Pusat Kota .......................................... 8
1.4 Data Luas, Kepadatan Penduduk dan Jumlah Fasilitas
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2016 ................................. 9
2.1 Matrik Tipologi Daerah ........................................................................ 18
3.1 Penentuan Skoring Setiap Aspek .......................................................... 41
3.2 Contoh Merangking dalam Rangka Pengambilan Keputusan .............. 41
4.1 Rata-rata PDRB Perkapita Kab/Kota Di Provinsi Banten
Tahun 2011-2016 .................................................................................. 51
4.2 Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2011-2016 ........................................................ 53
4.3 Hasil Analisis Tipologi Klassen ............................................................ 54
4.4 Jumlah Fasilitas Pendidikan (Unit) 2017 ............................................... 58
4.5 Jumlah Fasilitas Kesehatan (Unit) 2017 ................................................ 59
4.6 Jumlah Fasilitas Peribadatan (Unit) 2017 .............................................. 60
4.7 Jumlah Fasilitas Ekonomi Tahun 2017 .................................................. 61
4.8 Jumlah Potensi Ekonomi (Unit) 2017 .................................................... 62
4.9 Hasil Analisis Skalogram ....................................................................... 63
4.10 Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas ................................................... 65
4.11 Penentuan Skoring Dari Hasil Analisis Skalogram............................. 66
4.12 Penentuan Skoring dari Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas ............. 67
4.13 Skoring Variabel Kepadatan Penduduk ............................................... 68
4.14 Penentuan Rangking (Analisis Skalogram,
Indeks Sentralitas dan Kepadatan Penduduk) ..................................... 69
4.15 Data Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2) 2016 ....................................... 72
4.16 Jumlah Penduduk Dan Jarak Antar Wilayah Di Provinsi
Banten Tahun 2016 .............................................................................. 73
4.17 Hasil Indeks Gravitasi (Interaksi spasial) dan Rangking
dengan Skala Ordinal Kota Tangerang Selatan sebagai
Pusat Pertumbuhan ............................................................................... 74
4.18 Hasil Indeks Gravitasi (Interaksi spasial) dan Rangking
dengan Skala Ordinal Kota Serang sebagai
Pusat Pertumbuhan ............................................................................... 75
iv
4.19 Hasil Indeks Gravitasi (Interaksi spasial) dan Rangking dengan
Skala Ordinal Kabupaten Lebak sebagai Pusat Pertumbuhan ............. 76
4.20 Kriteria Tetangga Queen Contiguity Menurut Kabupaten/kota
Di Provinsi Banten ............................................................................... 87
4.21 Nilai Moran’s I Keterkaitan Perekonomian Rata-rata
(PDRB) Periode 20011-2016 ............................................................... 78
4.22 Nilai Moran’s I Keterkaitan Perekonomian Periode 20011-2016
Berdasarkan Sektor .............................................................................. 78
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Persinggungan Perbatasan ..................................................................... 25
2.2 Bagan Kerangka Pemikiran ................................................................. 30
3.1 Kuadran Moran’s Scatterplot ................................................................ 49
3.2 Representasi Grafis Dari Lokasi Kabupaten/kota
Di Provinsi Banten .............................................................................. 49
4.1 Diagram kartesius rata-rata PDRB/kapita dan rata-rata
pertumbuhan ekonomi menurut hasil analisis tipologi klassen ............. 55
4.2 Peta Pusat Pertumbuhan Provinsi Banten .............................................. 70
4.3 Moran’s Scaterrplot (A) Rata-rata PDRB, (B) Sektor Primer,
(C) Sektor Sekunder, (D) Sektor Tersier ................................................ 79
4.4 Peta Signifikansi dan cluster map LISA Rata-rata PDRB
(A), Sektor Primer (B), Sekunder (C) dan Tersier
(D)Periode 2011-2016 ............................................................................ 80
4.5 Gambar 4.5 Peta Signifikansi dan cluster map LISA
Rata-rata PDRB (A), Sektor Primer (B), Sekunder
(C) dan Tersier (D)Periode 2011-2016 ................................................. 82
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Perhitungan Analisis Skalogram ........................................................... L-1
2. Perhitungan Jumlah Kelas, Interval Kelas dan Kelompok Hierarki ..... L-2
3. Hasil Hierarki Analisis Skalogram........................................................... L-3
4. Rumus Bobot Fungsi ................................................................................ L-4
5. Hasil Indeks Sentralitas ............................................................................ L-5
6. Penentuan Skoring Hasil Analisis Skalogram ......................................... L-6
7. Perhitungan Gravitasi (Interaksi Spasial)................................................. L-7
8. Perhitungan untuk wilayah pusat pertumbuhan Kota Tangsel................. L-8
9. Perhitungan untuk wilayah pusat pertumbuhan Kota Serang ................ L-9
10.Perhitungan untuk wilayah pusat pertumbuhan Kab. Lebak .................. L-10
11. Penentuan Jumlah Skor Hasil Perhitungan Indeks
Gravitasi Dengan Skala Ordinal ............................................................. L-11
12. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota
Di Provinsi Banten tahun 2011-2016 ..................................................... L-12
13. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota
Di Provinsi Banten tahun 2011-2016 ..................................................... L-13
14. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota
Di Provinsi Banten tahun 2011-2016 ..................................................... L-14
15. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011-2016 ........................................................................ L-15
16. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011-2016 ........................................................................ L-16
17. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011-2016 ........................................................................ L-17
18. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011-2016 ........................................................................ L-18
19. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011-2016 ........................................................................ L-19
20. Nilai Moran’s I Keterkaitan Perekonomian
Rata-rata (PDRB) Periode 20011-2016 ................................................. L-20
21. Nilai Moran’s I Keterkaitan Perekonomian Periode
20011-2016 Berdasarkan Sektor ............................................................ L-21
22. Nilai Moran’s Scatterplot Keterkaitan Perekonomian
Di Provinsi Banten Periode 2011-2016 Berdasarkan
Rata-rata PDRB ...................................................................................... L22
vii
23. Nilai Moran’s Scatterplot Keterkaitan Perekonomian
Di Provinsi Banten Periode 2011-2016 Berdasarkan Sektor PDRB ...... L-23
24. Kriteria Penentuan Ketetanggaan dan Moran’s Scatterplot................... L-24
25. Kriteria Penentuan Ketetanggaan dan Moran’s Scatterplot................... L-25
26. Moran’s Scatterplot PDRB Sektor Primer, Sekunder dan Tersier ........ L-26
27. Peta Signifikansi LISA dan Cluster Map Rata-rata
PDRB dan PDRB Sektor Primer, Sekunder dan Tersier ........................ L-27
28. Penentuan nilai Z-value dari Rata-rata PDRB dan
Rata-rata PDRB Berdasarkan Sektor PDRB .......................................... L-28
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep pusat pertumbuhan pada dasarnya dilandasi oleh konsep ruang ekonomi
(economic space) yang dikemukakan oleh Francois Perroux. Menurut Perroux
dalam Komarovskiy dan Bondaruk (2013) menyatakan bahwa fakta dasar dari
perkembangan spasial adalah sebagaimana halnya dengan perkembangan industri.
Pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara
serentak, pertumbuhan terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan
intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-
saluran yang beraneka ragam.
Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara
fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu
lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat
hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi
kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar. Menstimulasi secara kedalam
mempunyai artian bahwa daerah pusat pertumbuhan menstimulasi daerah
belakangnya dengan cara menggunakan bahan baku dari daerah belakangnya.
Sedangkan menstimulasi keluar mempunyai artian bahwa daerah pusat
pertumbuhan mampu menyediakan kebutuhan bagi daerah belakangnya.
2
Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki
fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction),
yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan
masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada didaerah tersebut,
walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Tidak
semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Kota
generatif adalah kota-kota yang menjalankan bermacam-macam fungsi, baik untuk
dirinya sendiri atau untuk daerah belakangnya, sehingga bersifat saling
menguntungkan atau mengembangkan. Pusat pertumbuhan memiliki empat ciri-
ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki
nilai ekonomi, adanya multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi
geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan,
2005:161-163).
Penentuan pusat pertumbuhan disuatu wilayah memiliki peranan yang sangat
penting dalam menentukan arah kebijakan dan regulasi bagi pemerintah pusat
maupun daerah dalam melakukan pembangunan wilayah. Penentuan pusat
pertumbuhan mempunyai fungsi untuk pemerataan pembangunan di semua
wilayah, memudahkan kordinasi antar wilayah dan memaksimalkan pengelolaan
potensi dan sumber daya alam yang ada. Pertumbuhan ekonomi pada pusat
pertumbuhan akan berpengaruh pada daerah belakangnya melalui efek polarisasi
(polarization effect), efek penetesan kebawah (trickling down effect) dan
mendorong suatu wilayah berkembang menjadi pusat pertumbuhan. Sehingga
penentuan pusat pertumbuhan disuatu wilayah sangat penting untuk dilakukan.
Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan
3
tolak ukur secara makro ialah pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dari
perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam suatu wilayah.
Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah menandakan semakin baik
kegiatan ekonominya (Todaro dan Smith, 2008:56).
Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa dalam lima tahun terakhir masih sangat besar
kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional dibandingkan dengan wilayah
lainnya di Indonesia. Pulau Jawa berkontribusi sebesar 58,49 persen terhadap
produk domestik bruto (PDB) nasional. Pulau Jawa terdiri dari enam Provinsi, yaitu
Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi
Jawa Timur dan Provinsi Banten. Dari keenam Provinsi tersebut, Provinsi DKI
Jakarta mempunyai rata-rata pertumbuhan PDRB yang paling besar, diikuti oleh
Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat diurutan kedua dan ketiga. Sedangkan
Provinsi Banten, Jawa Tengah dan DI.Yogyakarta berada dalam urutan tiga
terendah. Berikut data laju pertumbuhan ekonomi enam Provinsi di Pulau Jawa.
Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Di Pulau Jawa (persen)
Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia 2016, diolah.
Tabel 1.1 memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi di enam Provinsi di Pulau
Jawa. Provinsi dengan laju pertumbuhan tertinggi yaitu Provinsi DKI Jakarta
NO Provinsi 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rata-
rata
1 DKI
Jakarta 6,73 6,53 6,07 5,91 5,88 6,5 6,27
2 Jawa Barat 6,5 6,5 6,33 5,09 5,03 6,6 6,00
3 Jawa
Tengah 5,3 5,34 5,11 5,28 5,44 6,7 5,52
4 DI.
Yogyakarta 5,21 5,37 5,47 5,16 4,94 5,9 5,34
5 Jawa
Timur 6,44 6,64 6,08 5,86 5,44 6,6 6,17
6 Banten 6,02 6,68 6,23 5,18 5,2 5,6 5,81
7 Indonesia 6,44 6,19 5,56 5,02 4,88 5,02 5,63
4
dengan presentase sebesar 6,27 persen, dimana angka ini berada diatas rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,63 persen. Sedangkan Provinsi
dengan laju pertumbuhan ekonomi terendah yaitu Provinsi DI.Yogyakarta dengan
presentase sebesar 5,34 persen, dimana angka ini berada dibawah rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi nasional pada Tahun 2011-1016 yang sebesar 5,63 persen.
Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten dilihat dari nilai rata-ratanya masih
berada diposisi tiga terbawah jika dibandingkan dengan enam Provinsi yang
terdapat di pulau Jawa. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan nilai rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,63 persen, pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Banten masih berada diatasnya. Hal ini menunjukan bahwa Provinsi
Banten mempunyai potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya.
Potensi yang dimiliki Provinsi Banten dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan
laju pertumbuhan ekonominya, seperti potensi geografis, potensi ekonomi dan
potensi-potensi lainnya. Letak Provinsi Banten yang sangat strategis, yaitu
berdekatan dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, yang
mana kedua provinsi tersebut menjadi pusat perekonomian di Indonesia. Untuk
mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibutuhkan suatu kebijakan
pemerintah. Salah satu solusi yang dapat diambil untuk mempercepat pembangunan
suatu daerah adalah pengembangan wilayah dengan menetapkan pusat
pertumbuhan.
Arah kebijakan pengembangan kawasan strategis adalah percepatan pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, terutama di luar Jawa (Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua) dengan memaksimalkan keuntungan aglomerasi,
yaitu keuntungan skala besar, keuntungan lokalisasi dan keuntungan urbanisasi.
5
Serta menggali potensi dan keunggulan daerah dan peningkatan efisiensi dalam
penyediaan infrastruktur. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari
pendekatan sektoral dan regional. Setiap wilayah akan mengembangkan potensi
dan keunggulannya melalui pengembangan industri manufaktur, industri pangan,
industri maritim, dan pariwisata (Renstra Bappenas, 2015-2019).
Perekonomian Provinsi Banten secara keseluruhan Tahun 2017 diperkirakan
tumbuh pada kisaran 5,5 sampai 5,9 persen lebih tinggi dibandingkan Tahun 2016
(Banten Dalam Angka, 2017). Beberapa faktor yang mendorong akselerasi
pertumbuhan ekonomi tersebut di antaranya adalah optimisme perbaikan ekonomi
global dan nasional. Seluruh komponen PDRB di sisi pengeluaran diperkirakan
tumbuh lebih tinggi, begitu pula dengan kinerja lapangan usaha utama seperti
industri pengolahan yang berpotensi tumbuh lebih kuat seiring dengan membaiknya
kinerja korporasi (Banten Dalam Angka, 2017). Berikut data yang menunjukan laju
pertumbuhan ekonomi (PDRB ADHK 2010) kabupaten/kota di Provinsi Banten:
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun
2011-2016 (persen)
No Kabupaten/kota 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Rata-
Rata
1 Kab Pandeglang 5,74 5,81 4,72 4,93 5,96 5,49 5,3
2 Kab Lebak 5,99 5,11 6,3 5,83 5,8 5,7 5,8
3 Kab Tangerang 6,75 6,17 6,41 5,37 5,36 5,32 6,1
4 Kab Serang 6,1 5,42 6,04 5,39 5,02 5 5,7
5 Kota Tangerang 7,39 7,07 6,52 5,15 5,37 5,3 6,5
6 Kota Cilegon 6,62 7,7 6,69 4,62 4,78 5,05 6,4
7 Kota Serang 8,34 7,42 7,3 6,86 6,29 6,22 7,4
8 Kota Tangsel 8,81 8,66 8,75 8,05 7,2 6,98 8,5
Provinsi Banten 6,02 6,68 6,23 5,18 5,2 5,6 5,81
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2017.
Tabel 1.2 memperlihatkan data rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota
di Provinsi Banten dari Tahun 2011-2016. Daerah yang memiliki nilai rata-rata
6
pertumbuhan tertinggi yaitu Kota Tangerang Selatan mencapai 8,5 persen.
Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi
terendah yaitu Kabupaten Pandeglang dengan pertumbuhan sebesar 5,3 persen, dan
bahkan lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten itu sendiri
yang sebesar 5,81 persen.
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang mempunyai rata-rata pertumbuhan
ekonomi yang paling tinggi, hal ini dikarenakan sektor industri dan perdagangan di
Kota Tangerang Selatan berkembang sangat pesat. Seperti real estate, perdagangan
serta informasi dan komunikasi. Sedangkan Kabupaten Pandeglang merupakan
daerah yang mempunyai rata-rata pertumbuhan yang paling rendah, hal ini
dikarenakan perekonomian di Kabupaten Pandeglang masih bergantung pada
sektor pertanian (Banten Dalam Angka, 2017). Perbedaan nilai rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Banten
menunjukan adanya permasalahan dalam pembangunan wilayah yang dilakukan.
Data laju pertumbuhan ekonomi menggambarkan potensi sekaligus kemampuan
suatu daerah untuk mengelola sumber daya alam dan potensi ekonomi yang dimiliki
(BPS Provinsi Banten, 2017). Untuk itu diperlukan adanya strategi pembangunan
yang tepat sasaran sehingga dapat menggurangi ketimpangan pembangunan
wilayah yang ada. Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan cara menetapkan wilayah pusat pertumbuhan
di wilayah-wilayah yang ada.
Penetapan pusat pertumbuhan oleh pemerintah Provinsi Banten berdasarkan
RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang tertuang dalam
7
PERDA Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2012-2017, menetapkan bahwa terdapat
empat kawasan pusat pertumbuhan di Provinsi Banten yaitu Kota Tangerang
Selatan, Kota Serang, Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak. Setiap kawasan pusat
pertumbuhan yang ditetapkan mempunyai wilayah intinya masing-masing. Untuk
Kota Tangerang Selatan, yang menjadi kawasan inti pusat pertumbuhan yaitu
kawasan Setu, untuk Kota Serang wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan adalah
kawasan Kaseman, untuk Kota Cilegon yang menjadi kawasan pusat pertumbuhan
adalah Kecamatan Cilegon, dan untuk wilayah Kabupaten Lebak yang menjadi inti
pusat pertumbuhan adalah kawasan Malingping dan Rangkasbitung (RPJMD
Provinsi Banten, 2012-2017).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kabupaten/kota mana saja yang
menjadi pusat pertumbuhan di Provinsi Banten dan apakah daerah yang
diidentifikasi sesuai dengan yang ditetapkan dalam RPJMD Pemerintah Provinsi
Banten. Selain mengidentifikasi daerah pusat pertumbuhan, penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui hubungan interaksi serta keterkaitan spasial daerah
pusat pertumbuhan dengan daerah hinterland-nya. Penelitian ini mengunakan alat
analisis tipologi klassen, analisis skalogram, indeks sentralitas, skala ordinal, indeks
gravitasi dan indeks moran.
Kota Serang adalah ibukota dari Provinsi Banten, dan merupakan pusat kota di
Provinsi Banten. Pada umumnya pusat kota terletak di lokasi yang sangat strategis
dan mempunyai akses yang lebih baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Perbedaan ini menyebabkan interaksi yang berbeda-beda disetiap daerah. Bentuk
interaksi yang beragam ini seperti kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi,
kegiatan pendidikan dan lain-lain. Pada umumnya kekuatan interaksi antara daerah
8
pusat pertumbuhan dengan daerah hinterland-nya ditentukan oleh jarak antar
wilayah. Berikut data jarak antar wilayah di Provinsi Banten dengan pusat kota.
Tabel 1.3 Jarak Antar Kabupaten/Kota ke Pusat Kota (Kota Serang)
No Kabupaten/Kota Jarak ke Pusat Kota (Km)
1 Kab Pandeglang 21
2 Kab Lebak 41
3 Kab Tangerang 33
4 Kab Serang 9
5 Kota Cilegon 20
6 Kota Tangerang 65
7 Kota Serang -
8 Kota Tangsel 75
Sumber : Badan Pusat Statistik 2017, diolah.
Tabel 1.3 memperlihatkan jarak antar kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten
ke pusat kota. Kabupaten/kota yang memiliki jarak terjauh ke pusat kota yaitu Kota
Tangerang Selatan dengan jarak sejauh 75 km. Sedangkan kabupaten/kota yang
memiliki jarak terdekat dengan pusat kota yaitu Kabupaten Serang dengan jarak 9
km. Jarak antar wilayah yang berbeda-beda akan mempengaruhi kuat atau
lemahnya interaksi spasial maupun keterkaitan spasial yang akan terjadi di wilayah-
wilayah tersebut. Misalnya kota A dan Kota B mempunyai jarak yang berjauhan,
maka jarak akan mempengaruhi keinginan orang untuk bepergian dan mobilitas
barang dan jasa dari kota A ke kota B begitu juga sebaliknya. Karena untuk
menempuh jarak tersebut diperlukan waktu, tenaga, dan biaya.
Semakin jauh jarak yang memisahkan lokasi keduanya, akan mengurangi interaksi
spasial dan keterkaitan spasial yang terjadi. Keterkaitan spasial terbentuk karena
adanya mobilitas faktor produksi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
Ada daerah yang berperan sebagai pemasok faktor-faktor produksi dan ada juga
daerah yang berperan sebagai penerima fakor produksi. Hal ini memungkinkan
backwash effect akan menjadi lebih kuat dari spread effect yang ditandai dengan
9
adanya penyerapan ekonomi wilayah sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan
wilayah tersebut.
Secara geografis pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak
fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang
menyebabkan berbagai usaha tertarik untuk berlokasi di tempat tersebut dan
masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada. Kemudahan akses
yang ada dapat menjadi daya tarik (attrativiness) bagi wilayah tersebut, sehingga
akan menciptakan economic of scale. Dengan segala fasilitas yang dimiliki dan
kemudahan yang ada, daerah tersebut lebih berpeluang untuk menjadi wilayah
pusat pertumbuhan, hal ini karena wilayah pusat pertumbuhan akan lebih
berkembang jika mempunyai konsentrasi geografis yang tinggi (Tarigan,
2005:162). Berikut data luas, kepadatan dan fasilitas yang terdapat di Provinsi
Banten.
Tabel 1.4 Data Luas, Kepadatan Penduduk dan Jumlah Fasilitas Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2016
No Kabupaten Luas Kepadatan Jumlah Fasilitas (Unit)
/Kota (km2) Penduduk Fasilitas Fasilitas Fasilitas
(per km2) Pendidikan Kesehatan Peribadatan
1 Kab
Pandeglang 2746.89 435 1970 1857 4278
2 Kab Lebak 3426.56 371 1890 2038 2799
3 Kab
Tangerang 1011.86 3331 2929 2622 5142
4 Kab Serang 1734.28 850 1705 1654 3740
5 Kot
Tangerang 153.93 13299 1708 1195 2287
6 Kota Cilegon 175.5 2348 495 446 455
7 Kota Serang 266.71 2412 672 713 1814
8 Kota Tangsel 147.19 108484 1182 1091 1672
Prov Banten 9662.92 1237 12552 11616 22187
Sumber : BPS Provinsi Banten, 2017 & Banten Dalam Angka, 2017
10
Tabel 1.4 menunjukan jumlah data luas, kepadatan penduduk dan jumlah fasilitas
kabupaten/kota di Provinsi Banten. Untuk mewakili komponen fasilitas yang
dimasukan dalam tabel tersebut menggunakan jumlah data fasilitas pendidikan,
fasilitas kesehatan dan fasilitas peribadatan. Berdasarkan data tersebut dapat
diketahui bahwa Kota Tangerang memiliki nilai kepadatan penduduk tertinggi
yaitu dengan jumlah kepdatan sebesar 13.229 km2. Sedangkan kabupaten yang
memiliki nilai kepadatan penduduk terendah yaitu Kabupaten Lebak dengan jumlah
kepadatan penduduk sebesar 3.71 km2. Untuk daerah yang memiliki fasilitas
tertinggi adalah Kabupaten Tangerang dengan jumlah 9.713 yang terdiri dari 2.929
fasilitas pendidikan, 2.622 fasilitas kesehatan dan 5.142 fasilitas peribadatan.
Sedangkan daerah yang memiliki jumlah fasilitas terendah adalah Kota Cilegon
dengan jumlah fasilitas sebanyak 1.396 unit yang terdiri dari 495 fasilitas
pendidikan, 446 fasilitas kesehatan dan 455 fasilitas peribadatan.
Perbedaan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh suatu daerah akan mempengaruhi
kepadatan penduduknya, hal ini terjadi karena setiap orang ingin mencari
kehidupan yang lebih baik dengan tinggal di daerah yang memiliki kemudahan
dalam akses pelayanan seperti daerah yang memiliki kelengkapan fasilitas. Sesuai
dengan analisis skalogram dan indeks sentralitas dalam menentukan pusat
pertumbuhan, wilayah yang memiiki kelengkapan fasilitas akan menjadi wilayah
pusat pelayanan sedangkan wilayah dengan fasilitas yang relatif kurang akan
menjadi daerah belakang (hinterland). Menurut Respati dalam Farida (2017) dalam
analisis skalogram yang dilakukan, tidak hanya digunakan untuk mengetahui
jumlah fasilitas-fasilitas yang ada dan kemampuan daerah dalam memberikan
pelayanan.
11
Interaksi spasial terjadi karena suatu daerah tidak dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri, sehingga daerah perlu melakukan interaksi dengan daerah-daerah
disekitarnya. Penelitian tentang penentuan pusat pertumbuhan sudah banyak
dilakukan sebelumnya, salah satu contohnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Liang Hua, Zhao Yong dan Yuan Wei dengan menggunakan metode penelitian
Analisis LQ, Indeks Gravitasi, Shift Share, Analisis Overlay. Dengan hasil
penelitian, bahwa untuk menumbuhkan kutub-kutub pertumbuhan baru di China
dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti mempercepat pembangunan pusat
kota dan pertumbuhan skala, mengelola industri khusus untuk mendorong
pertumbuhan industri lainnya, mengoptimalkan interaksi daerah kutub
pertumbuhan yang ada dengan daerah belakangnya dan menggunakan teknologi
informasi terbaru untuk mendukung pembentukan kutub pertumbuhan baru.
Perbedaannya dengan penelitian ini terdapat pada lokasi penelitian dan untuk
mencari interaksi spasial dan keterkaitan spasial mengunakan indeks gravitasi dan
indeks moran juga dilakukan skoring dengan skala ordinal untuk memperoleh
urutan rangking (penentuan prioritas) kekuatan interaksi .
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Kabupaten atau kota mana saja yang berperan sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Banten, dan apakah sesuai dengan yang telah ditetapkan
dalam RPJMD?
2. Kabupaten atau kota mana yang mempunyai nilai interaksi spasial tertinggi
dengan wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten?
12
3. Apakah ada keterkaitan spasial antar kabupaten/kota di Provinsi Banten?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kabupaten atau kota mana yang menjadi pusat
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten, dan apakah sudah sesuai dengan
yang ditetapkan dalam RPJMD.
2. Untuk mengetahui kabupaten atau kota mana yang memiliki nilai interaksi
spasial tertinggi dengan wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten.
3. Untuk mengetahui keterkaitan spasial antar kabupaten atau kota di Provinsi
Banten .
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis sebagai salah satu syarat kelulusan Strata 1 (S1) di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
2. Bagi Fakultas dan pembaca sebagai referensi untuk mengetahui teoritis
ekonomi regional.
3. Dapat menjadi masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan
penelitian sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole)
a) Konsep Pusat Pertumbuhan Menurut Tarigan
Menurut Tarigan (2005:162) pusat pertumbuhan (Growth Pole) dapat diartikan
dengan 2 cara yaitu:
1. Secara Fungsional, adalah suatu konsentrasi kelompok usaha atau cabang
industri yang sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga
mampu menstimulasi kehidupaan ekonomi baik kedalam maupun keluar (daerah
hinterland-nya).
2. Secara Geografis, adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan
kemudahan sehingga menjadi daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan
berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi disuatu tempat tanpa adanya
hubungan antara usaha-usaha tersebut.
Ciri-ciri pertumbuhan ekonomi menurut Tarigan (2005:162-163):
1. Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan. Keterkaitan antara satu
sektor dengan sektor lain akan saling mendorong pertumbuhan, karena
keterkaitan yang dimiliki.
2. Ada efek penggandaan (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling
terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek penggandaan. Permintaan
14
akan menciptakan produksi baik sektor tersebut maupun sektor yang terkait
akhirnya akan menjadi akumulasi modal. Unsur efek penggadaan sangat
berperan dalam membuat kota mampu memacu pertumbuhan belakangnya.
3. Adanya konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa
menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga
meningkatkan daya tarik dari kota tersebut.
4. Bersifat mendorong dari belakang. Terdapat hubungan yang harmonis antara
Kota dan wilayah yang ada berada dibelakangnya. kota membutuhkan bahan
baku dari wilayah belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah
belakangnya untuk dapat mengembangkan dirinya.
b) Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Francois Perroux (1950)
Menurut Perroux, kutub pertumbuhan adalah pusat-pusat dalam arti keruangan
yang abstrak, sebagai tempat memancarnya kekuatan-kekuatan sentrifugal dan
tertariknya kekuatan-kekuatan sentripetal. Perroux berpendapat bahwa fakta dasar
dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri
bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara
serentak, pertumbuhan terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan
intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-
saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap
keseluruhan perekonomian. Dalam proses pembangunan akan timbul industri
unggulan yang merupakan industri penggerak utama dalam pembangunan suatu
daerah. Keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan industri
unggulan akan mempengruhi perkembangan industri lain yang berhubungan
dengan industri unggulan.
15
Inti dari teori Perroux adalah:
1. Dalam proses pembangunan akan timbul industri unggulan yang merupakan
industri penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah. Keterkaitan
industri sangat erat, maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi
perkembangan industri lain yang berhubungan dengan industri unggulan.
2. Pemusatan industri pada satu daerah akan mempercepat pertumbuhan
perekonomian karena akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar
daerah.
3. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif
(unggulan) dengan industri yang relatif pasif atau industri yang tergantung
industri unggulan.
c) Teori Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut Richardson
Menurut Richardson dalam Poetra (2010), memberikan definisi pusat pertumbuhan
sebagai berikut: “A growth pole was defined as a set of industries capable of
generating dynamic growth in the industry (propulsive industry)”.
Dari definisi tersebut Richardson menjabarkan empat karakteristik utama sebuah
pusat pertumbuhan, yaitu:
1. Adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu
2. Konsentrasi ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang
dinamis dalam perekonomian.
3. Terdapat keterkaitan input dan output yang kuat antara sesama kegiatan ekonomi
pada pusat tersebut.
4. Dalam kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk yang
mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pusat tersebut.
16
Kesimpulan dari Richardson adalah jika kegiatan ekonomi yang saling berkaitan
dikonsentrasikan pada suatu tempat tertentu, pertumbuhan ekonomi daerah yang
bersangkutan akan meningkat lebih cepat dibanding jika kegiatan ekonomi
tersebut tersebar dan terpencar ke seluruh pelosok daerah.
d) Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Myrdal
Menurut Myrdal dalam Muta’ali (2003:36), pertumbuhan ekonomi dalam suatu
wilayah tertentu bergantung pada lokasi dari sumberdaya alam dan
keuntungankeuntungan lokasi lainnya. Pertumbuhan ini akan terjadi pada daerah
belakangnya melalui melalui efek kumulatif yaitu efek sebar (spread effect) dan
efek serap (backwash effect). Prinsip pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
ditentukan oleh adanya industri propulsive tertentu, cenderung hanya akan menarik
modal dari daerah sekitarnya, karena keuntungan lokasi pada wilayah tersebut. Hal
ini memungkinkan backwash effect akan menjadi lebih kuat dari spread effect yang
ditandai dengan adanya penyerapan ekonomi wilayah sekitarnya ke pusat-pusat
pertumbuhan wilayah tersebut. Apabila tidak ada kebijaksanaan intervensi dari
suatu mekanisme pasar maka pertumbuhan ekonomi ini akan menimbulkan
pertumbuhan wilayah yang timpang dan cenderung akan terkonsentrasi dibeberapa
wilayah tertentu (Muta’ali, 2003:36).
e) Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Boudville
Boudville dalam Muta’ali (1999:37), menyatakan bahwa setiap wilayah
mempunyai perbedaan struktur ekonomi. Perbedaan ini dipengaruhi antara lain oleh
adanya perbedaan latar belakang historis dan potensi sumber daya manusia pada
wilayah-wilayah tersebut. Untuk dapat menyebarkan pertumbuhan ekonomi dari
pusat ke daerah belakangnya, maka Boudville mengusulkan perlu dilakukan
17
pemilihan lokasi pusat atau kutub pertumbuhan yang dapat mendorong efek
kumulatif kegiatan ekonomi dan menyebarkannya ke wilayah belakangnya.
f) Teori Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut Rondinelli dan Unwin
Teori pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara
berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan
melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota.
Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar
bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke
bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan
ekonomi dari perkotaan ke pedesaan.
2. Tipologi Klassen
Analisis tipologi wilayah digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan
struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi daerah yang pada
dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan
ekonomi daerah dan pendapatan perkapita daerah (Sjafrizal, 2014). Variabel
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masing-masing daerah yang
diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi atau kuadran sebagai berikut:
Tabel 2.1 Matrik Tipologi Daerah
Kuadran IV Kuadran I
Daerah relatif tertinggal
xi< x dan ∆xi< ∆x
Daerah cepat maju dan cepat tumbuh
xi> x dan ∆xi>∆xi>x
Kuadran III
Kuadran II
Daerah berkembang cepat
xi< x dan ∆xi> ∆x
Daerah maju tapi tertekan xi> x dan
∆xi< ∆x
Sumber: Sjafrizal, 2014
18
Keterangan:
xi = PDRB Perkapita di salah satu daerah/wilayah analisis
x = PDRB Perkapita di daerah/wilayah referensi
∆ = Laju Pertumbuhan ∆xi = xit- xit-1/ xit-1×100%
∆xi = Pertumbuhan PDRB di salah satu daerah/wilayah analisis
∆x = Pertumbuhan PDRB di daerah/wilayah referensi
3. Interaksi Spasial
Interaksi keruangan merupakan suatu hubungan timbal balik (resiprocal
relationship) yang saling berpengaruh antara dua wilayah atau lebih yang dapat
menimbulkan gejala, kenampakan, atau permasalahan baru. Kuat lemahnya
interaksi sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu adanya wilayah-wilayah
yang saling melengkapi (regional complementary), adanya kesempatan untuk
berintervensi (intervening opportunity), serta adanya kemudahan transfer atau
pemindahan dalam ruang (spatial transfer ability) (Ermawati, 2010).
Para ahli banyak yang mengembangkan teori interaksi spasial, seperti K.J. Kansky
dan W.J. Reilly. Aplikasi teori-teori interaksi dapat diterapkan dalam perencanaan
pembangunan. Misalnya, penempatan lokasi pusat pelayanan masyarakat
pembangunan prasarana transportasi yang dapat membuka keterasingan suatu
wilayah dari wilayah lain, dan kemajuan informasi serta teknologi. Contoh teori
interaksi keruangan antara lain model gravitasi (Sjafrizal, 2014:205).
Teori gravitasi pertama kali diperkenalkan dalam disiplin ilmu fisika oleh (Sir Issac
Newton 1687). Inti dari teori ini adalah bahwa dua buah benda yang memiliki masa
tertentu akan memiliki gaya tarik menarik antara keduanya yang dikenal sebagai
gaya gravitasi. Kekuatan gaya tarik menarik ini akan berbanding lurus dengan hasil
19
kali kedua massa benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak
antara kedua benda tersebut (Ermawati, 2010).
Menurut Schoenmaker (1984), model interaksi dalam peranannya (Daljoeni, 1997:
204)
1. Semakin besar atau semakin kecil jarak antaranya, daya tarik semakin kecil dan
semakin besar ini berarti apabila jarak antaranya mengecil (lebih cepat dan
murah untuk mencapainya), maka daya tariknya akan semakin besar dan
sebaliknya apabila jarak antaranya semakin besar (makin lama dan mahal
menempuhnya), daya tariknya akan semakin berkurang.
2. Semakin bobot dari tempat-tempat tersebut membesar atau mengecil semakin
bertambah atau berkurang daya tariknya.
4. Analisis Skalogram
Analisis skalogram pertama kali diperkenalkan oleh Guttman (1950) sehingga
analisis ini sering disebut sebagai analisis skala Guttman. Analisis skalogram
didefinisikan oleh Guttman sebagai salah satu skala satu dimensi yang
menggambarkan respon subyek terhadap obyek tertentu menurut tingkatan yang
sempurna, orang yang mampu menjawab semua pertanyaan dengan baik akan lebih
baik dibandingkan dengan yang mampu menjawab sebagian saja.
Analisis skalogram mengelompokkan klasifikasi kota berdasarkan pada tiga
komponen fasilitas dasar yang dimilikinya yaitu:
1. Differentiation adalah fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi.
Fasilitas ini menunjukkan bahwa adanya struktur kegiatan ekonomi lingkungan
yang kompleks, jumlah dan tipe fasilitas komersial akan menunjukkan derajat
20
ekonomi kawasan/kota dan kemungkinan akan menarik sebagai tempat tinggal
dan bekerja
2. Solidarity adalah fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas sosial. Fasilitas ini
menunjukkan tingkat kegiatan sosial dari kawasan/kota. Fasilitas tersebut
dimungkinkan tidak seratus persen merupakan kegiatan sosial namun
pengelompokan tersebut masih dimungkinkan jika fungsi sosialnya relatif lebih
besar dibandingkan sebagai kegiatan usaha yang berorientasi pada keuntungan
(benefit oriented)
3. Centrality adalah fasilitas yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, politik dan
pemerintahan. Fasilitas ini menunjukkan bagaimana hubungan dari masyarakat
dalam sistem kota atau komunitas. Sentralitas ini diukur melalui perkembangan
hierarki dari institusi sipil, misalnya kantor pos, sekolahan, kantor pemerintahan
dan sejenisnya.
Salah satu tujuan menetapkan orde perkotaan adalah agar dapat diperkirakan luas
wilayah pengaruh dari kota tersebut dan dengan demikian dapat diperkirakan jenis
dan tingkat atau mutu fasilitas kepentingan umum apa saja yang perlu dibangun di
kota tersebut, baik untuk melayani penduduk kota itu sendiri maupun penduduk
wilayah belakangnya yang sering datang ke kota tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat
dipergunakan untuk memperkirakan apakah fasilitas yang telah ada di kota tersebut
akan dimanfaatkan secara penuh oleh penduduk kota itu atau penduduk wilayah
belakangnya (Tarigan 2005:170).
5. Indeks Sentralitas
Indeks sentralitas merupakan bagian dari matriks fungsi wilayah atau yang sering
disebut dengan analisis fungsi yang merupakan analisis terhadap fungsi-fungsi
21
pelayanan yang tersebar di wilayah studi, dalam kaitannya dengan berbagai
aktivitas penduduk/masyarakat, untuk memperoleh atau memanfaatkan fasilitas-
fasilitas tersebut (Riyadi, 2003:49 ).
Indeks sentralitas dimaksudkan untuk mengetahui struktur/hierarki pusat-pusat
pelayanan yang ada dalam suatu wilayah perencanaan pembangunan, seberapa
banyak fungsi yang ada, berapa jenis fungsi dan berapa jumlah penduduk yang
dilayani serta seberapa besar frekuensi keberadaan suatu fungsi dalam satu satuan
wilayah permukiman. Frekuensi keberadaan fungsi menunjukkan jumlah fungsi
sejenis yang ada dan tersebar di wilayah tertentu, sedangkan frekuensi kegiatan
menunjukkan tingkat pelayanan yang mungkin dapat dilakukan oleh suatu fungsi
tertentu di wilayah tertentu (Riyadi, 2003:56).
Berikut adalah rumus untuk mencari nilai sentralitas terbobot:
C = (t/T)
Keterangan:
C = bobot atribut fungsi x
T = jumlah total fungsi dalam sistem
t = Nilai sentralitas gabungan = 100
6. Skala Ordinal
Skala ordinal adalah angka yang diberikan di mana angka-angka tersebut
mengandung pengertian tingkatan. Ukuran skala ordinal hanya untuk mengurutkan
objek atau data dari yang terendah sampai tertinggi atau sebaliknya. Skala ordinal
hanyalah memberikan nilai urutan atau rangking dan tidak mengambarkan nilai
absolut (Suharyadi, 2008). Skala ordinal dalam penelitian ini digunakan untuk
merangking atau mengurutkan masing-masing kabupaten/kota yang akan menjadi
22
prioritas wilayah pusat pertumbuhan dari hasil analisis skalogram, indeks
sentralitas dalam rangka penentuan wilayah pusat pertumbuhan dan analisis
gravitasi untuk menentukan kekuatan interaksi antara daerah pusat pertumbuhan
dengan daerah disekitarnya. Riyadi dalam Ermawati (2010) menyatakan bahwa
hendaknya matriks fungsi dengan metode skalogram ini dilengkapi dengan data-
data yang disusun melalui matriks fungsi lainya, dimana data-data yang dihitung
secara lebih detail, dengan mengunakan teknik pembobotan (indeks sentralitas),
pemberian rangking dan sebagainaya. Sehingga dalam penelitian ini analisis
skalogram dan Indeks Sentralitas yang mengunakan variabel jenis fungsi (fasilitas
dan potensi ekonomi) dan kepadatan penduduk juga dirangking dengan skala
ordinal.
7. Keterkaiatan Spasial (Autocorrelation Spatial)
Menurut Anselin dalam Yuriantari (2017), autokorelasi spasial atau keterkaitan
spasial adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang
atau bisa dikatakan kemiripan objek dalam suatu ruang, baik jarak, waktu ataupun
wilayah. Besaran autokorelasi spasial dapat digunakan untuk mengidentifikasi
hubungan spasial. Unit analisis yang digunakan adalah wilayah baik itu berupa
desa, kota, kabupaten, provinsi atau bahkan suatu negara. supaya kajian
kewilayahan ini memiliki arti empiris secara ekonomi maka dibutuhkan data spasial
sebagai penunjang utama.
Interaksi yang terjadi antar wilayah dapat berupa di bidang ekonomi contohnya
adalah aliran barang dan jasa, migrasi tenaga kerja, aliran pendapatan masuk
transfer dan pengiriman uang. Interaksi juga dapat terjadi di bidang teknologi yaitu,
terjadinya difusi teknologi dari wilayah yang memiliki teknologi lebih tinggi ke
23
wilayah yang memiliki teknologi lebih rendah. Selain itu, situasi politik di suatu
wilayah akan mempengaruhi kebijakan di wilayah tersebut yang akan berdampak
ke wilayah tetangganya (Romzi, 2011).
Besarnya keterkaitan antar wilayah dapat berbeda-beda tergantung dari intensitas
dan kualitas interaksinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah letak suatu
wilayah dengan wilayah lain (tetangga). Semakin dekat letak suatu wilayah
terhadap wilayah lain memungkinkan tingkat interaksi yang lebih besar
dibandingkan dengan wilayah yang letaknya lebih jauh. Hal ini sesuai dengan
hokum Tobler I bahwa segala sesuatu berkaitan satu sama lain, namun sesuatu yang
dekat memiliki keterkaitan yang lebih erat dibandingkan yang jauh.
Pola distribusi spasial secara umum terbagi menjadi tiga (Briggs, 2007):
a) Mengelompok (Clustered) yaitu beberapa titik terkonsentrasi berdekatan satu
sama lain dan ada area besar yang berisi sedikit titik yang sepertinya ada jarak
yang tidak bermakna.
b) Menyebar (Dispersed) yaitu setiap titik berjauhan satu sama lain atau secara
jarak tidak dekat secara bermakna.
c) Acak (random) yaitu titik-titik muncul pada lokasi yang acak dan posisi satu
titik dengan titik lainnya tidak saling terkait.
Menurut Kosfield dalam Wuyandari (2014), pengukuran autokorelasi spasial
untuk data spasial dapat dihitung menggunakan metode Moran’s Index (Indeks
Moran), Geary’s C, dan Tango’s excess. Pada penelitian ini metode analisis hanya
dibatasi pada metode Moran’s Index (Indeks Moran). Indeks Moran (Moran’s I)
merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menghitung
autokorelasi spasial secara global. Metode ini dapat digunakan untuk
24
mendeteksi permulaan dari keacakan spasial. Keacakan spasial ini dapat
mengindikasikan adanya pola-pola yang mengelompok atau membentuk tren
terhadap ruang.
8. Indeks Moran’s I
Uji indeks moran’s I dalam penelitian ini menggunakan data rata-rata PDRB dan
data rata-rata PDRB berdasarkan sektor. Indeks Moran’s I adalah sebuah tes
statistik lokal untuk melihat nilai autokorelasi spasial, yang mana digunakan untuk
mengidentifikasi suatu lokasi dari pengelompokan spasial atau autokorelasi spasial.
Indeks Moran’s I juga dapat digunakan untuk menganalisis keterkaitan spasial
bukan hanya di bidang ekonomi saja tetapi juga di segala macam bidang kajian
seperti, pertanian, kesehatan, lingkungan, ketenaga kerjaan (Emalia dan Ratih,
2015:50).
9. Matriks Pembobot Spasial
Hubungan kedekatan (neighbouring) antar lokasi dinyatakan dalam matrik
pembobot spasial W, dengan elemen‐elemennya Wij. Matrik pembobot dapat
dibedakan menurut tipe data spasial, yaitu tipe titik dan tipe area. Matrik pembobot
spasial dapat ditentukan dengan beragam metode. Dalam penelitian ini
mengggunakan matriks pembobot spasial queen contiguity (persinggungan sudut).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam metode-metode yang dikemukakan oleh
LeSage (1999), metode itu antara lain adalah sebagai berikut:
a) Linear Contiguity (Persinggungan tepi), matriks pembobot spasial ini
mendefinisikan Wij = 1 untuk wilayah yang bersinggungan di tepi kiri dan
kanan wilayah yang menjadi titik perhatian dan Wij= 0 untuk wilayah
lainnya yang tidak bersinggungan tepi kiri dan kanan.
25
b) Rook Contiguity (Persinggungan sisi), matrik pembobot spasial ini
mendefinisikan bobot antar wilayah (Wij) = 1 untuk wilayah yang bersisian
(common side) dengan wilayah yang menjadi titik perhatian dan untuk
wilayah lain yang tidak bersisian.
c) Bhisop Contiguity (Persinggungan sudut), matriks pembobot spasial ini
mendefinisikan Wij= 1 untuk wilayah yang titik sudutnya bertemu dengan
wilayah yang menjadi titik perhatian dan Wij = 0 untuk wilayah lain yang
bertemu titik sudutnya.
d) Queen Contiguity (Persinggungan sisi sudut), matriks pembobot spasial ini
mendefinisikan Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian atau titik sudutnya
bertemu dengan wilayah yang menjadi titik perhatian dan Wij = 0 untuk
wilayah lain yang tidak bersisian dan bertemu titik sudutnya.
1.Liner Contiquity 2. Rook Contiquity 3.Bishop Contiquity
Gambar 2.1 Persinggungan Perbatasan
4.Queen Contiquit
26
B.Tinjauan Empiris
1.Tinjauan Riset Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini, telah dipelajari beberapa hasil-hasil penelitian
sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Berikut hasil beberapa penelitian
tersebut:
Judul Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial di
Kalimantan: Studi Empiris di 55 Kabupaten/Kota, 2000–2012
Penulis Maria Christina Yuli Pratiwi
Jenis Data Data Sekunder
Model dan
Alat Analisis
Variabel yang digunakan yaitu PDRB non-minyak dan gas
(non-migas), pertumbuhan ekonomi, dan jumlah penduduk.
Alat analisis yang digunakan yaitui analisis kuantitatif
deskriptif dengan beberapa alat analisis, yaitu Tipologi
Kabupaten/Kota, Analisis Overlay, Transformasi Struktural
kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil
analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,
berdasarkan hasil analisis tipologi kabupaten/kota dan
autokorelasi spasial Moran’s I diperoleh bahwa sebagian besar
kabupaten/kota di bagian timur Pulau Kalimantan termasuk
dalam daerah cepat maju tumbuh. Konsentrasi pertumbuhan
ekonomi di Pulau Kalimantan tersebar di bagian timur dan
barat. Klaster di bagian timur Pulau Kalimantan, meliputi
Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota
Bontang, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Berau
memiliki konsentrasi pertumbuhan hot spot (klasterisasi
tinggi).
27
Judul Analisis Penentuan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi Di
Kabupaten Simalungun
Penulis Pandapotan T.P Nainggolan
Jenis Data Time Series
Model Dan
Alat Analisis
Variabel yang digunakan penduduk, kesempatan kerja,
pendapatan, pengeluaran, jarak. Alat analisis yang digunakan
adalah Analisis Gravitasi, Skalogram dan Indeks Sentralitas
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis skalogram dan indeks sentralitas
terdapat 5 kecamatan yang ditetapkan sebagai kecamatan pusat
pertumbuhan. Berdasarkan hasil analisis gravitasi
menunjukkan bahwa kecamatan pusat pertumbuhan Siantar
memiliki hubungan interaksi yang paling kuat dengan
Kecamatan Gunung Malela sebagai wilayah hinterlandnya.
Judul Interaksi Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Jember
dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Tahun 2004-2008
Penulis Haris Susanto (2014)
Jenis Data Data Sekunder
Model Dan
Alat Analisis
Variabel yang digunakan variabel jumlah penduduk dan jarak
antar wilayah. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis
Gravitasi, Skalogram dan Indeks Sentralitas
Kesimpulan Hasil analisis gravitasi menunjukkan kecamatan yang ada di
Kabupaten Jember pada umumnya memiliki interaksi yang
cukup tinggi terhadap wilayah pusat pertumbuhan ditingkat
kecamatan. Sedangkan tingkat kontribusi Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) terhadap total penerimaan Pendapatan Asli
Daerah rata-rata mengalami kenaikan di tiap tahunya walaupun
memiliki proporsi kontribusi yang cukup kecil terhadap total
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
28
Judul Peran Dan Fungsi Ibu Kota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat
Pertumbuhan Di Kabupaten Rembang
Penulis Dita Hestuadiputri (2007)
Jenis Data Data Primer dan Data Sekunder
Model Dan
Alat Analisis
Variabel yang digunakan dalam peneltian ini yaitu Aktivitas
penduduk, jarak fasilitas, fasilitas pelayanan. Alat analisis yang
digunakan Indeks sentralis berbobot, identifikasi, mean centre,
standart distance
Kesimpulan Analisis wilayah pengaruh dan analisis interaksi pusat
pertumbuhan dengan wilayah belakangnya menunjukkan
bahwa peran IKK Lasem sebagai pusat pertumbuhan telah
mampu menjadi penarik tandingan bagi pusat pertumbuhan di
Kecamatan Rembang.
Judul Analisis Penentuan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi dan
Interaksi antar Kecamatan di Kabupaten Pringsewu
Penulis Ade Pratama Poetra (2016)
Jenis Data Data Sekunder
Model dan
Alat Analisis
Variabel yang digunakan Jumlah penduduk, Jarak antar
wilayah, jumlah fasilitas. Alat analisis yang digunakan adalah
analisis Tipologi Klassen, skalogram, indeks sentralis, skala
ordinal
kesimpulan Berdasarkan hasil analisis skalogram, indeks sentralitas dan
skala ordinal yang dilakukan dengan menggunakan 40 jenis
fasilitas yang dijadikan sebagai indikator terdapat 1 kecamatan
yang ditetapkan sebagai kecamatan pusat pertumbuhan yaitu
Kecamatan Pringsewu, karna memiliki hierarki dan skor
tertinggi.
29
C. Kerangka Pemikiran
Setiap wilayah mempunyai daerah yang menjadi pusat pertumbuhan bagi daerah-
daerah tertinggal di sekitarnya. Untuk mengindentifikasi kabupaten/kota di
Provinsi Banten yang menjadi pusat pertumbuhan dalam penelitian ini yaitu
langkah pertama melakukan analisis tipologi klassen, tipologi klasen digunakan
untuk mengetahui gambaran tentang kondisi dan struktur pertumbuhan ekonomi di
suatu wilayah yang dikaitkan dengan perekonominan diatasnya.
Tahapan selanjutnya yaitu menggunakan alat analisis skalogram dan indeks
sentralitas dengan mengunakan variabel fasilitas dan potensi ekonomi yang terdapat
pada masing-masing kabupaten/kota. Fasilitasnya berupa fasilitas pendidikan,
kesehatan, dan variabel potensi ekonomi yang digunakan yaitu (pariwisata,
perikanan dan industri) serta variabel kepadatan penduduk. Setelah hasil analisis
skalogram dan indeks sentralitas ditemukan, selanjutnya dari hasil tersebut akan
ditentukan prioritas atau rangking dari masing-masing kabupaten/kota dengan skala
ordinal.
Setelah wilayah pusat pertumbuhan di temukan tahapan selanjutnya yaitu mencari
interaksi dan keterkaitan spasial wilayah pusat pertumbuhan terhadap daerah
hinterland-nya . Untuk mencari interaksi spasial antara wilayah pusat pertumbuhan
dengan daerah disekitarnya mengunakan indeks gravitasi. Indeks gravitasi
digunakan untuk mengetahui seberapa besar nilai interaksi pusat pertumbuhan
dengan wilayah sekitarnya. Nilai interaksi yang paling tinggi menunjukan antar
daerah tersebut memiliki interaksi spasial yang kuat, variabel yang digunakan
dalam analisis indeks gravitasi ini mengunakan variabel jumlah penduduk dengan
jarak antar wilayah. Hasil dari indeks gravitasi ini juga akan dilakukan skoring
30
untuk memperoleh urutan rangking (penentuan prioritas) kekuatan interaksi dengan
skala ordinal. Tidak hanya interaksi spasial saja yang dicari, namun dalam
penelitian ini juga dicari keterkaiatan spasial antara daerah pusat pertumbuhan
dengan daerah belakangnya menggunkan Indeks Moran.
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pemikiran
Pusat Pertumbuhan di Provinsi Banten
Skalogram
Indeks Sentralitas
Interaksi dan Keterkaitan Spasial
dengan daerah hinterland
Interaksi Dengan Daerah Belakangnya
(Hinterland)
Indeks Gravitasi
Kesimpulan dan
Rekomendasi
Keterkaitan Spasial
(autocorrelation spatial)
Indeks Moran
Struktur Pertumbuhan Ekonomi Di
Provinsi Banten
Tipologi Klassen
31
F . Hipotesis
1. Diduga Kota Tangerang Selatan yang memiliki jumlah fasilitas dan jumlah
kepadatan penduduk yang relatif tinggi akan menjadi wilayah pusat
pertumbuhan dan sesuai dengan penetapan pusat pertumbuhan di RPJMD.
2. Diduga Kota Tangerang memiliki nilai interaksi spasial tertinggi dengan
wilayah pusat pertumbuhan Kota Tangerang Selatan.
3. Diduga terdapat keterkaitan spasial antar kabupaten atau kota di Provinsi
Banten.
III. METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Wilayah yang menjadi daerah penelitian adalah wilayah Provinsi Banten, yang
secara administratif terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota, untuk wilayah kabupaten
diantaranya kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Pandeglang dan untuk wilayah kota diantaranya Kota Tangerang
Selatan, Kota Serang, Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Data yang digunakan
dalam penelitian ini berupa data runtun waktu (time series) tahun 2011-2016.
B. Jenis dan Sumber Penelitian
Jenis penelitian ini berupa penelitian deskriptif kuantitatif, karena penelitian ini
disajikan dengan angka-angka. Penelitian kuantitatif merupakan tipe penelitian
yang mempergunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisis
menggunakan statistik. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti akan
menyajikan hasil perhitungan dan menjelaskan secara deskriptif terhadap data yang
ada (Sugiyono, 2011:14).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data
sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan
dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data (Kuncoro, 2009). Data sekunder
yang digunakan diperoleh dari statistik ekonomi seperti BPS Provinsi Banten dan
instansi terkait.
33
C. Metode AnalisisData
1. Alat Analisis Untuk Mengetahui Gambaran dan Kondisi Struktur Pertumbuhan
Ekonomi Di Provinsi Banten
1.1 Analisis Tipologi Klassen
Analisis tipologi klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang kondisi
dan struktur pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah yang dikaitkan dengan
perekonominan diatasnya, dalam penelitian ini yang menjadi wilayah referensi
adalah Provinsi Banten dan wilayah analisisnya adalah masing-masing
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten dan dibagi menjadi 4 kuadran
(Sjafrizal, 2014:198-199), sebagai berikut:
a) Kuadran pertama adalah daerah cepat maju dan cepat tumbuh yaitu daerah
yang memiliki tingkat PDRB perkapita dan laju pertumbuhan yang lebih
unggul dibandingkan dengan wilayah referensi. Kuadran pertama memberikan
gambaran wilayah dengan kondisi perekonomian yang baik.
b) Kuadran kedua adalah daerah maju tapi tertekan yaitu daerah yang memiliki
tingkat PDRB perkapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah
referensinya, tetapi laju pertumbuhan ekonominya lebih kecil dari pada
wilayah referensinya.
c) Kuadran ketiga adalah daerah berkembang cepat, daerah ini memiliki tingkat
PDRB Perkapita lebih kecil dibandingkan dengan wilayah referensinya, tetapi
laju pertumbuhan ekonominya lebih besar dari pada wilayah referensinya.
d) Kuadran keempat adalah daerah relatif tertinggal yaitu daerah yang memiliki
tingkat PDRB perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil
dibandingkan wilayah referensinya.
34
Data yang digunakan dalam analisis tipologi klassen, yaitu data rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi (PDRB) kabupaten/kota Provinsi Banten atas dasar harga
berlaku tahun 2010.
Laju pertumbuhan ekonomi merupakan data yang menunjukan perkembangan
agregat pendapatan dari satu waktu tertentu terhadap waktu sebelumnya, diperoleh
dengan cara mengurangi nilai PDRB (ADHK 2010) pada tahun ke-n (tahun dasar)
terhadap nilai pada tahun ke n-1(tahun sebelumnya) dibagi dengan niali PDRB
tahun ke n-1, dikali 100. Dengan menjumlahkan hasil perhitungan pada setiap tahun
dan di bagi banyaknya tahun maka diperoleh nilai rata-ratanya.
2. Alat Analisis Untuk Mengidentifikasi Pusat Pertumbuhan
2.1 Analisis Skalogram
Analisis sklagoram ini sering juga disebut sebagai metode analisis skala Guttman .
Dalam jurnal Gaffara (2015) menerangkan bahwa metode analisis skala Guttman
merupakan suatu teknik skala, yang memiliki sedikit perbedaan dengan teknik-
teknik skala lainnya, yaitu metode yang menuliskan ada atau tidaknya suatu fungsi
(fasilitas dan potensi ekonomi) di suatu wilayah, dengan mengisikan angka 1 bila
suatu fungsi tersebut terdapat pada suatu wilayah dan mengisikan anggka 0 jika
tidak ada.
Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran hierarki atau urutan peringkat
wilayah berdasarkan jenis dan jumlah unit prasarana pembangunan dari yang paling
banyak sampai paling sedikit. Sehingga analisis skalogram dalam penelitian ini juga
menggunakan metode menuliskan ada atau tidaknya fasilitas dan potensi ekonomi
di suatu wilayah, yaitu dengan mengisikan angka 1 bila fasilitas dan potensi
ekonomi tersebut terdapat pada suatu wilayah dan mengisikan anggka 0 bila jika
35
tidak ada. Semua jumlah fasilitas dan potensi ekonomi yang dimiliki setiap unit
wilayah disusun dalam suatu tabel dan kemudian dicari hierarki atau kelompok
wilayahnya (Rodinelli, 1985:115).
Kelemahan dari analisis skalogram adalah tidak mempertimbangkan frekuensi
setiap jenis fasilitasnya. Sedangkan untuk menentukan kabupaten/kota sebagai
pusat pertumbuhan tidak hanya berdasarkan keberadaan setiap jenis fasilitasnya
tetapi juga dengan mempertimbangan frekuensinya. Dalam prakteknya di lapangan
hendaknya matriks fungsi dengan metode skalogram ini dilengkapi dengan data-
data yang disusun melalui matriks fungsi lainnya dimana data-data yang
disampaikan dihitung secara lebih detail dengan menggunakan teknik pembobotan
(indeks sentralitas), pemberian ranking dan sebagainya (Riyadi dalam Poetra,
2016).
Tahapan penyusunan analisis skalogram menurut Rondinelli dan Budi harsono
dalam Mulyadi (2007:11) sebagai berikut:
a) Membuat urutan kabupaten atau kota berdasarkan jumlah dari semua fasilitas
(pendidikan, kesehatan, peribadatan) dan potensi ekonomi yang digunakan pada
pada bagian atas tabel
b) Membuat urutan fasilitas yang ditentukan berdasarkan frekuensi pada bagian kiri
tabel.
c) Menggambar garis kolom dan baris sehingga lembar kerja tersebut membentuk
matriks yang menampilkan fasilitas yang ada pada masing-masing wilayah
kabupaten atau kota.
d) Mengunakan tanda (1) pada sel yang menyatakan keberadaan suatu fasilitas pada
suatu wilayah dan tanda (0) pada sel yang tidak memiliki fasilitas. Wilayah
36
dengan jumlah tanda (1) terbanyak akan menjadi wilayah yang memiliki
kelengkapan fasilitas.
e) Mengalikan kolom-kolom yang telah disusun dengan nilai indeks sentralitas
masing-masing.
f) Langkah terakhir yaitu mengidentifikasi peringkat/hierarki kota yang dapat
diinterpretasikan berdasarkan nilai keberadaan fasilitas pada suatu wilayah.
Semakin tinggi nilainya, maka hierarki kota tersebut akan semakin tinggi.
g) Menyusun ulang baris dan kolom berdasarkan frekuensi keberadaan fasilitas,
semakin banyak fasilitas yang ada pada suatu wilayah kota, maka wilayah
tersebut berada di kolom sebelah kiri, semakin banyak wilayah yang memiliki
fasilitas tersebut, maka jenis fasilitas tersebut berada pada kolom paling bawah.
Untuk menentukan orde-orde pusat pertumbuhan maka digunakan metode Struges.
Rumus untuk mencari banyaknya kelas dari tiap-tiap kabupaten atau kota sebagai
pusat pertumbuhan adalah sebagai berikut:
k = 1 + 3,3 log n
Keterangan:
k = banyaknya kelas
n = banyaknya kecamatan
Selanjutnya untuk menentukan besarnya interval kelas, dengan cara:
𝐼 =𝐴− 𝐵
𝑘
Keterangan:
A = jumlah fasilitas tertinggi
B = jumlah fasilitas terendah
k = banyaknya kelas
37
Setelah orde didapatkan maka selanjutnya menentukan hierarki dengan
menggunakan orde terkecil sebagai hierarki tertinggi. Jika orde yang lebih tinggi
didapat tapi tidak ada daerah yang memenuhi keriteria tersebut maka daerah dengan
orde yang lebih rendah akan mendapatkan hierarki yang lebih tinggi.
2.2 Indeks Sentralitas
Indeks sentralitas (Centrality Indeks Analysis) merupakan langkah lanjutan dari
analisis skalogram yang dalam analisisnya tidak hanya berdasarkan jumlah fungsi
atau fasilitas pelayanan yang ada pada suatu wilayah, tetapi juga berdasarkan
frekuensi keberadaan fungsi atau fasilitas tersebut pada wilayah yang ditinjau.
Frekuensi keberadaan fungsi menunjukan jumlah fungsi sejenis yang ada dan
tersebar di wilayah tertentu (Muta’ali, 2003).
Menurut Riyadi dalam Ermawati (2010) perbedaan indeks sentralitas dan
skalogram adalah pada indeks sentralitas dilakukan penilaian berdasarkan bobot
dari setiap jenis fungsi yang ada, sehingga disebut juga dengan indeks sentralitas
berbobot. Pengukuran tingkat sentralitas didasarkan pada jumlah fungsi atau
fasilitas pelayanan pada suatu wilayah berdasarkan frekuensi keberadaan fungsi
atau fasilitas tersebut pada suatu wilayah terkait. Fungsi alat analisis indeks
sentralitas ini sama dengan analisis skalogram, yaitu digunakan untuk mengetahui
struktur atau hierarki pusat pertumbuhan ekonomi yang ada dalam suatu wilayah
dengan menghitung berapa jumlah fungsi yang ada, berapa jenis fungsi serta
seberapa besar frekuensi keberadaan suatu fungsi dalam satu satuan wilayah.
Oleh karena itu, untuk mengetahui pusat pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah
dalam penelitian ini menggunakan analisis skalogram dengan menggabungkan
38
analisis indeks sentralitas dengan teknik pembobotan dan pemberian rangking
dengan skala ordinal.
Tahapan dalam metode ini antara lain:
1. Kabupaten/kota di Provinsi Banten disusun urutannya berdasarkan jumlah dan
jenis fasilitas yang ada pada wilayah tersebut.
2. Fasilitas disusun urutannya berdasarkan kabupaten/kota yang memiliki jenis
fasilitas tersebut.
3. Peringkat fasilitas disusun urutannya berdasarkan total nilai fasilitas.
4. Peringkat kabupaten/kota disusun urutannya berdasarkan jumlah total fasilitas
yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota.
5. Setelah didapatkan nilai indeks fungsi (indeks sentralitas) masing-masing
kabupaten/kota, selanjutnya disusun ulang urutannya berdasarkan fungsi dari
kabupaten/kota dengan nilai indeks terbesar sampai yang terkecil (Budiharsono,
2005:26).
Rumus nilai sentralitas adalah:
𝑐 =𝑡
𝑇
Keterangan:
C = bobot dari atribut fungsional suatu fasilitas
t = nilai sentralitas total yaitu 100
T = jumlah total dari atribut dalam sistem
3. Skala Ordinal
Skala ordinal dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan prioritas atau
rangking dalam rangka untuk mengurutkan wilayah yang mempunyai hasil tertinggi
39
sampai yang terendah dari analisis skalogram dan indeks sentralitas. Dilakukan
dengan cara memberikan skor pada masing-masing analisis kemudian skor tersebut
ditotal dan dilakukan perangkingan, yang memeperoleh skor terbanyak akan
memperoleh rangking yang pertama dan sebaliknya. Besarnya kelas interval
diperoleh dari selisih aspek tertinggi-terendah dibagi jumlah kelas berikut ini
contohnya.
Tabel 3.1 Penentuan Skoring Setiap Aspek
No
Kelas Interval Skor
1 Kelas interval rendah 1
2 Kelas interval sedang 2
3 Kelas interval cukup 3
4 Kelas interval tinggi 4
5 Kelas Interval sangat tinggi 5
Sumber: Farida, 2017.
Tabel 3.2 Contoh Merangking dalam Rangka Pengambilan Keputusan
No Kab/kota Analisis Analisis Kepadatan Total Rangking
skalogram sentralis penduduk skor
1 Kab
Pandeglang - - - - -
2 Kab Lebak - - - - -
3 Kab Tangerang - - - - -
4 Kab Serang - - - - -
5 Kota Tangerang - - - - -
6 Kota Cilegon - - - - -
7 Kota Serang - - - - -
8 Kota Tangsel - - - - -
Sumber: Farida, 2017
Berikut ini langkah-langkah dalam analisis skalogram dan indeks sentralitas dengan
skala ordinal:
1. Kolom pertama diisi dengan jenis fungsi (jenis fasilitas dan potensi ekonomi)
yang terdiri dari 33 jenis fungsi, pengisian kolom jenis fungsi diisi dengan nilai
40
1 jika ada fasilitas dan potensi ekonomi tersebut di suatu wilayah atau 0 jika
tidak ada.
2. Kolom selanjutnya adalah kolom yang diisi nama-nama 8 kabupaten/kota yang
ada di Provinsi Banten.
3. Pada baris total fungsi (jenis fasilitas dan potensi ekonomi) diisi dengan
menjumlahkan masing-masing fungsi yang ada pada setiap kabupaten/kota
(setiap baris).
4. Pada kolom jumlah jenis fungsi diisi dengan menjumlahkan jenis fungsi yang
ada dari seluruh kabupaten/kota (setiap kolom).
5. Setelah total fungsi ditemukan, selanjutnya akan dicari tingkat/kelompok
hierarki wilayah, dalam menentukan kelompok hierarki terlebih dahulu harus
dicari jumlah kelas dan interval kelasnya dengan rumus.
Rumus mencari banyaknya kelas dengan menggunakan metode Strugess (Gulo,
2015).
k = 1 + 3,3 Log n
Keterangan:
k = banyaknya kelas (tingkat hirarki)
n = banyaknya kabupaten/kota.
Selanjutnya rumus untuk menentukan besarnya interval kelas:
𝐼 =𝐴−𝐵
𝑘
Keterangan:
A = jumlah fasilitas tertinggi
B = jumlah fasilitas terendah
k = banyaknya kelas (tingkat hierarki)
41
6. Setelah banyaknya kelas dan besarnya interval kelas ditemukan, hierarki
wilayah dapat ditentukan wilayah yang memiliki hierarki kecil misalnya
hierarki I merupakan wilayah yang menjadi tingkat hierarki tertinggi berarti
memiliki kelas interval yang tertinggi juga dan dan sebaliknya.
7. Selanjutnya hasil tersebut diurutkan berdasarkan besarnya tingkatan
hierarkinya, supaya lebih mudah dalam membaca hasil analis skalogramnya.
8. Setelah analisis skalogram selesai selanjutnya dari hasil analisis tersebut akan
dilakukan skoring mengunakan skala ordinal, jumlah skor yang diberikan
berdasarkan besarnya kelas interval dan jumlah kelas yang harus dicari terlebih
dahulu seperti dalam menentukan tingkatan hierarki yang sudah dibahas
sebelumnya.
9. Selanjutnya akan mencari nilai indeks sentralitas. Dengan cara membuat tabel
baru yang sama seperti cara analisis skalogram dan mengalikan setiap kolom
dan baris yang berisikan dengan angka 1 dan 0 dengan jumlah frekunsi masing-
masing fungsi.
10. Setelah itu jumlah frekuensi masing-masing fungsi dicari nilai bobot
sentralitasnya dengan rumus bobot fungsi.
11. Setelah itu pada baris total fungsi dan jumlahkan nilai bobot sentraliats tersebut
pada setiap masing-masing jenis fungsi yang ada pada setiap wilayah (setiap
baris). Pada kolom jumlah jenis fungsi diisi dengan menjumlahkan jenis fungsi
yang ada dari seluruh kabupaten/kota (setiap kolom), penjumlahan tersebut
akan menghasilkan nilai indeks sentralitas.
12. Dari nilai indeks tersebut kemudian akan ditentukan hierarki pusat pertumbuhan
ekonomi tingkat kabupaten atau kota.
42
13. Setelah nilai indeks sentralitas diperoleh, selanjutnya hasil analisis tersebut
akan dilakukan skoring mengunakan skala ordinal dan variabel kepadatan
penduduk juga akan dilakukan skoring, jumlah skor yang diberikan berdasarkan
besarnya kelas interval dan jumlah kelas yang harus dicari terlebih dahulu
seperti dalam menentukan tingkatan hierarki yang sudah dibahas sebelumnya.
14. Semua hasil skoring kemudian direkap dalam satu tabel dan akan dilakukan
perangkingan untuk menentukan prioritas wilayah pusat pertumbuhan, yang
mendapatkan rangking tertinggi merupakan wilayah yang mendapatkan skor
paling banyak.
Data-data yang digunakan dalam analisis indeks skalogram dan indeks sentralitas
meliputi data fasilitas-fasilitas, data kepadatan penduduk, data jumlah penduduk
yang ada di kabupaten/kota di Provinsi Banten. Fasilitas-fasilitas yang digunakan,
seperti fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, fasilitas
ekonomi dan potensi ekonomi.
4. Alat Analisis Untuk Mencari Nilai Kekuatan Interaksi Spasial Antar Wilayah
4.1 Analisis Gravitasi
Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat
besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini
sering digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah
pengaruh dari potensi tersebut. Dalam perencanaan wilayah, model ini sering
dijadikan alat untuk melihat apakah lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum
telah berada pada tempat yang benar. Selain itu juga model ini dapat digunakan
untuk menentukan lokasi yang optimal dalam pembangunan fasilitas baru. Itulah
43
sebabnya model gravitasi berfungsi ganda, yaitu sebagai teori lokasi dan sebagai
alat dalam perencanaan (Tarigan, 2005:148).
Dari beberapa alat ukur tersebut yang sering digunakan adalah jumlah penduduk,
hal ini dikarenakan data jumlah penduduk mudah didapatkan, selain itu juga jumlah
penduduk sangat terkait langsung dengan berbagai ukuran lain yang dikemumukan
diatas. Faktor kedua yang mempengaruhi interaksi itu adalah jarak antara kota A
dan B. Jarak mempengaruhi keinginan orang untuk bepergian karena untuk
menempuh jarak tersebut diperlukan waktu, tenaga, dan biaya. Semakin jauh jarak
yang memisahkan kedua lokasi, semakin rendah keinginan orang untuk berpergian.
Rumus Gravitasi secara umum adalah sebagai berikut (Tarigan, 2004:149) :
Iij= kpipj
dij b
Selanjutnya penggunaan rumus gravitasi tersebut dapat disederhanakan menjadi
(Daldjoeni dalam Ermawati, 2010):
I= p1p2
d2
Keterangan :
I= Besarnya interaksi antara kota/wilayah A dan B
p1= Jumlah penduduk kota/wilayah i (ribuan jiwa)
p2= Jumlah penduduk kota/wilayah j (ribuan jiwa)
dij(d)= Jarak antara kota i dan kota j (km)
k = Bilangan konstanta berdasarkan pengalaman
b = Pangkat dari dij yang sering digunakan b =2
Konsep dasar dari alat analisis gravitasi dalam penelitian ini adalah membahas
mengenai ukuran jarak wilayah antara pusat pertumbuhan dengan daerah
44
sekitarnya, sampai seberapa jauh sebuah daerah yang menjadi pusat pertumbuhan
mempengaruhi dan berinteraksi dengan daerah sekelilingnya. Semakin besar nilai
interaksinya menunjukkan semakin eratnya hubungan interaksi antara pusat
pertumbuhan dengan daerah belakangnya (hinterland). Hubungan interaksi tersebut
berupa hubungan ekonomi antar wilayah dan sosial masyarakatnya. Untuk
memudahkan dalam penentuan prioritas wilayah yang mempunyai hubungan
interaksi spasial yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya,
maka hasil perhitungan gravitasi akan dirangking mengunakan skala ordinal.
5. Alat Analisis Untuk Mengetahui Keterkaitan Spasial (Spatial Autocorrelation)
Keterkaitan spasial adalah taksiran dari korelasi antar nilai amatan yang berkaitan
dengan lokasi spasial pada variabel yang sama. Karekteristik dari autokorelasi
spasial (Kosfeld dalam Suchaini, 2013), yaitu:
a. Jika terdapat pola sistematis pada distribusi spasial dari variabel yang diamati,
maka terdapat autokorelasi spasial.
b. Jika kedekatan atau ketetanggaan antar daerah lebih dekat, maka dapat dikatakan
ada autokorelasi spasial positif.
c. Autokorelasi spasial negatif menggambarkan pola ketetanggaan yang tidak
sistematis.
d. Pola acak dari data spasial menunjukkan tidak ada autokorelasi spasial.
Keterkaitan antar daerah mengindikasikan hubungan perekonomian antardaerah di
suatu wilayah tertentu yang menunjukkan adanya aliran atau distribusi barang,
bahan baku dan tenaga kerja. Keterkaitan perekonomian antar wilayah dapat terjadi
secara langsung dan tidak langsung. Keterkaitan langsung berupa aliran faktor-
faktor produksi yang meliputi bahan baku, tenaga kerja, modal dan jasa produksi.
45
Keterkaitan tidak langsung berupa transaksi pengeluaran para pekerja sektor basis
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Data yang digunakan untuk melihat keterkaitan antar wilayah di Provunsi Banten
adalah data rata-rata PDRB dan data PDRB berdasarkan sektor (sektor primer,
sekunder dan tersier). Alasan penggunaan data PDRB berdasarkan sektor yaitu
karena setiap kabupaten atau kota di Provinsi Banten mempunyai kontribusi sektor
yang berbeda satu sama lain. Keterkaitan antar sektor ekonomi dapat berupa
keterkaitan kedepan atau daya mendorong (forward linkage) dan keterkaitan
kebelakang atau daya menarik (backward linkage). Keterkaitan ke depan
merupakan hubungan penjualan barang jadi, sedangkan keterkaitan ke belakang
merupakan hubungan dengan bahan mentah atau bahan baku (Tarigan, 2005:104).
Untuk melihat keterkaitan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Banten,
digunakan Indeks Moran global (Asosiasi Spasial Global) dan Local Indicator of
Spasial association (LISA). Teknik-teknik ini dibuat untuk mendeskripsikan dan
memvisualisasikan sebaran spasial, mengidentifikasi lokasi pemusatan (cluster/hot
spot) dan juga lokasi pencilan (outlier) (Suchaini, 2013).
1) Indeks moran global (Asosiasi spasial global) merupakan statistik yang
digunakan untuk mengetahui keterkaitan wilayah secara umum. Perhitungan indeks
moran global dengan matriks penimbang spasial W terstandarisasi diformulasikan
dengan rumus sebagai berikut:
a) Indeks Moran dengan matriks pembobot spasial tidak terstandarisasi W*
I = n∑ ∑ 𝑤𝑖𝑗∗𝑛
𝑗=1 (𝑥𝑗−𝑥− 𝑛𝑖=1 )(𝑥𝑗−𝑥−)
46
Dengan SO =∑ ∑ = 𝑊𝑖𝑗
𝑛
𝑗=1
𝑛
𝑖=1
W*ij : Elemen pada pembobot spasial terstandarisasi antara daerah i dan j.
b) Indeks Moran dengan matriks pembobot spasial terstandarisasi W
I =𝑛 ∑ ∑ 𝑤𝑖𝑗
𝑛𝑗=1 (𝑥𝑗−𝑥− 𝑛
𝑖=1 )(𝑥𝑗−𝑥−)
∑ (𝑥𝑗−𝑥− 𝑛𝑖=1 )2
dengan:
I : Indeks Moran
n : banyaknya lokasi kejadian
xi: nilai pada lokasi i
xj: nilai pada lokasi j
�̅�: rata-ratadari jumlah variabel atau nilai
W*ij : elemen pada pembobot tak terstandarisasi antara daerah i dan j
Wij : elemen pada pembobot terstandarisasi antara daerah i dan j
Rentang nilai dari Indeks Moran dalam kasus matriks pembobot spasial
terstandarisasi adalah -1 ≤ I ≤ 1. Nilai -1 ≤ I < 0 menunjukkan adanya autokorelasi
spasial negatif, sedangkan nilai 0 < I ≤ 1 menunjukkan adanya autokorelasi spasial
positif, nilaiIndeks Moran bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok. Nilai
indeks moran tidak menjamin ketepatan pengukuran jika matriks pembobot yang
digunakan adalah pembobot tak terstandarisasi. Rumus tersebut akan menghasilkan
satu nilai indeks, signifikansi dari nilai Indeks Moran dapat diketahui menggunakan
pendekatan uji normalitas dengan Z (Lee dan Wong, 2001).
Hipotesis yang diajukan adalah:
H0 : Tidak terdapat keterkaitan spasial
Ha : Terdapat keterkaitan spasial
47
Rumusan untuk pengujian signifikansi adalah sebagai berikut :
Z I = 𝐼−𝐸(𝐼)
𝑉𝑎𝑟 (𝐼)~𝑁(0,1)
Dimana:
E I =- 1
𝑛−1
Var I =
S0 =∑ ∑ 𝑊𝑖𝑗𝑛𝑗=1
𝑛𝑖=1
S1 = 1
2∑ ∑ (𝑊𝑖𝑗 + 𝑊𝑖𝑗)2𝑛
𝑗=1𝑛𝑖=1
S2 = ∑ (𝑛𝑖=1 ∑ 𝑊𝑖𝑗𝑛
𝑗=1 + ∑ 𝑊𝑗𝑖)2𝑛𝑗=1
Jika Z(I) > Z1-α maka H0 ditolak (terdapat autokorelasi spasial positif).
2) Local Indicator of Spasial association (LISA)
Local Indicator of Spasial association (LISA) merupakan statistik yang digunakan
untuk mengetahui keterkaitan wilayah secara khusus. Anselin (1995) menyarankan
LISA sebaiknya memenuhi dua persyaratan yaitu:
a) LISA untuk setiap pengamatan mengindikasikan adanya pengelompokan spasial
yang signifikan di sekitar pengamatan.
b) Penjumlahan LISA disetiap ukuran lokal untuk semua pengamatan proporsional
terhadap ukuran global.
Tujuan dari LISA adalah mengidentifikasi pengelompokan lokal yangoutlier
spasial. Rumusan dari Indeks Moran Lokal sebagai berikut :
Ii =( 𝑌𝑖−𝑌) ̅̅ ̅̅ ∑ =1 𝑊𝑖𝑗 (𝑌𝑗− 𝑦)̅̅ ̅𝑁
𝑗
∑ =1𝑁𝑗 (𝑌𝑗−𝑌)2/𝑁̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅̅ ̅
48
Jika nilai Ii positif dan signifikan maka pengelompokan wilayah yang terjadi di
sekitar wilayah I merupakan pengelompokan wilayah yang memiliki karakteristik
sama dengan wilayah i. Sebaliknya, nilai Ii negatif dan signifikan maka
pengelompokan wilayah yang terjadi di sekitar wilayah I merupakan
pengelompokan wilayah yang memiliki karakteristik berbeda dengan wilayah i.
3) Moran’s Scaterplot
Pola pengelompokan dan penyebaran antar lokasi dapat disajikan dengan Moran’s
Scatterplotyang menunjukkan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi
(distandarisasi dengan rata-rata nilai amatan dari lokasi-lokasi yang bertetanggaan
dengan lokasi yang bersangkutan (Lee dan Wong, 2001).
Scatterplot tersebut terdiri atas empat kuadran (Perobelli dan Haddad, 2003), yaitu:
Kuadran I (High-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.
Kuadran II (Low-High), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.
Kuadran III (Low-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dan termasuk kedalam
wilayah cold-spot.
Kuadran IV (High-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi
dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.
Gambar 3.1 Moran’s Scatterplot
Kuadaran 2 (LH) Kuadran 1 (HH)
Kuadrab 3 (LL) Kuadran 4 (LL)
49
4) Penentuan Penimbang Spasial W (Lokasi)
Penimbang spasial dilambangkan dengan W ditentukan berdasarkan pada dua
pendekatan yaitu persinggungan batas wilayah dan jarak. Penulis akan
menggunakan penimbang spasial yang didasari pendekatan wilayah tetangga
karena berbatasan wilayah dengan kriteria tetangga Queen contiquity.
Gambar 3.2. Representasi Grafis Dari Lokasi Kabupaten/kota Di Provinsi Banten.
Keterangan angka :
A : Kota Cilegon E : Kota Tangerang
B : Kota Serang F : Kota Tangerang Selatan
C : Kab. Serang G : Kab. Lebak
D : Kab. Tangerang H : Kab. Pandeglang
Wilayah Wilayah yang
Bersinggungan
Batas
A C
B C
C A,B,D
D E,F
E D
F D
G H,C
H G,H
50
Gambar 3.2 disajikan untuk menghitung koefisien Moran yang berasaldari wilayah
Provinsi Banten. Penataan ruang pada Gambar 3.2 ditarik kesimpulan bahwa
wilayah B dan C bersinggungan batas satu sama lain, itulah sebabnya mengapa
dalam matriks bobot W* menambahkan 1 untuk elemen (B,C) dan (C,B)
melanjutkan sesuai yang dihadapi dengan wilayah lain.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan dalam penelitian dan
pembahasan pada bab sebelumnya, maka pada bab ini akan disajikan kesimpulan
dan saran sebagai berikut ini :
A. Kesimpulan
1. Kota Tangerang Selatan, Kota Serang dan Kabupaten Lebak menjadi wilayah
pusat pertumbuhan di Provinsi Banten dan sesuai dengan apa yang telah
ditetapkan dalam RPJMD Provinsi Banten. Namun ada satu wilayah yang
berdasarkan RPJMD yang tidak sesuai dengan hasil penelitian yaitu Kota
Cilegon. Akan tetapi, pemerintah Provinsi Banten mempunyai pertimbangan
dan beberapa alasan terhadap penetapan Kota Cilegon sebagai wilayah pusat
pertumbuhan diantaranya Kota Cilegon mempunyai letak wilayah yang sangat
strategis yaitu sebagai pintu gerbang antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa,
Kota Cilegon mempunyai akses jalan yang baik dan di Kota Cilegon juga
terdapat pelabuhan Merak.
2. Hasil analisis Interaksi/Gravitasi, Kota Tangerang Selatan memiliki nilai
interaksi spasial tertinggi dengan Kota Tangerang. Kota Serang memiliki nilai
interaksi tertinggi dengan Kabupaten Serang. Sedangkan Kabupaten Lebak
memiliki nilai interaksi spasial tertinggi dengan Kabupaten Pandeglang.
3. Secara global maupun secara lokal, hasil perhitungan indeks moran’s
memberikan hasil tidak terjadi keterkaitan spasial berdasarkan rata-rata PDRB
91
4. antar kabupaten atau kota di Provinsi Banten. Namun berdasarkan sektoral
(sektor tersier), menunjukan hasil bahwa di kabupaten atau kota di Provinsi
Banten terdapat wilayah yang signifikan yaitu wilayah Kabupaten Tangerang
dan Kota Tangerang yang signifikan pada α = 5%. Hal ini membuktikan bahwa
wilayah tersebut mempunyai kesamaan karakteristik satu sama lain dan saling
terkait secara sektoral.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dihasilkan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten berdasarkan RPJMD terdapat di
empat wilayah dan dari hasil analis penelitian ini ada satu wilayah yang tidak
termasuk yaitu wilayah Kota Cilegon. Untuk itu pemerintah Provinsi Banten
perlu meningkatkan kembali perekonomian di Kota Cilegon melalui
peningkatan PAD, penanaman modal atau investasi, perbaikan infrastruktur dan
pembentukan industri baru. Sehingga pemerintah Provinsi Banten tidak salah
menjadikan Kota Cilegon sebagai pusat pertumbuhan dalam RPJMD.
2. Kabupaten atau kota yang menjadi daerah hinterland dari pusat pertumbuhan
perlu diprioritaskan peningkatan sarana dan prasarana serta infrastrukturnya
melalui penambahan jalur rel Kereta Api (KA) dan penambahan ruas jalan yang
memadai terutama di wilayah Kabupaten Serang, Raskabitung dan Kabupaten
Pandeglang untuk menunjang interaksi dan memperlancar kerjasama antara
wilayah pusat pertumbuhan dengan daerah hinterland masing-masing.
3. Pemerintah Provinsi Banten perlu memperhatikan keterkaitan antarwilayah
secara serius, terutama dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. Aspek
92
kewilayahan (spasial) perlu menjadi pertimbangan dan perlu dikoordinasikan
secara bersama terutama wilayah-wilayah yang secara statistik mempunyai
keterkaitan spasial untuk menghindari ketimpangan dan tidak meratanya
pembangunan yang dilakukan. Untuk menunjang pemerataan tersebut,
pemerintah Provinsi Banten perlu melakukan kerjasama yang dapat mendorong
masuknya kegiatan investasi, melakukan sinergi program pembangunan secara
bersama dan melakukan peningkatan dan perbaikan fasilitas infrastrukur yang
diperlukan untuk menarik para investor.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu. Jakarta.
Adisasmita, Rahardjo. 2013. Teori-Teori Pembangunan Ekonomi. Graha
Ilmu.Yogyakarta.
Anselin, L. 1996. “The Moran Scatterplot as an ESDA Tool to Assess Local
Instability in Spatial Association”. Spatial Analytical Perspectives on
GIS.London. pp.111–125.
BPS. 2017. PDRB Tanggerang Selatan. Berita Resmi Statistik. Banten. Indonesia.
BPS. 2017. PDRB Kabupaten Lebak. Berita Resmi Statistik. Banten. Indonesia.
BPS. 2017. PDRB Serang. Berita Resmi Statistik. Banten. Indonesia.
BPS. 2017. PDRB Kabupaten Serang. Berita Resmi Statistik. Banten. Indonesia.
BPS. 2017. PDRB Kabupaten Tanggerang. Berita Resmi Statistik. Banten.
Indonesia.
BPS. 2017. PDRB Kabupaten Pandeglang. Berita Resmi Statistik. Banten.
Indonesia.
BPS. 2017. PDRB Cilegon. Berita Resmi Statistik. Banten. Indonesia.
BPS. 2017. PDRB Tanggerang . Berita Resmi Statistik. Banten. Indonesia.
BPS. 2016. Publikasi. Provinsi Banten. Banten Dalam Angka. 2016. Banten.
Indonesia.
BPS. 2017. Publikasi. Provinsi Banten. Banten Dalam Angka. 2017. Banten.
Imdonesia.
Christina, Maria. 2016. Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial di
Kalimantan: Studi Empiris di 55 Kabupaten/Kota, 2000-2012. Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas, Gadjah Mada.
Daldjoeni, N. 1992. Geografi Baru: Organisasi Keruangan dalam Teori dan
Praktek. Penerbit Alumni: Bandung.
Emalia, Zulfa dan Ratih, Arivina. 2015.Teori Lokasi: Konsep dan Aplikasi. Bandar
Lampung: AURA.
Ermawati, 2010. Analisis Pusat Pertumbuhan Ekonomi Pada Tingkat Kecamatan
Di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Skripsi, Fakultas
Ekonomi. Universitas Sebelas Maret Surakarta : Surakarta.
Farida, Isti . 2017. Identifikasi Dan Interaksi Pusat Pertumbuhan Dengan Daerah
Hinterland Di Provinsi Banten. Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas
Lampung.
Perroux, F. (1950). Note Sur La Motion de Pole la Groisance. Economic Applioq -
uce.Vol. 8 pp 307-320.
Gulo, Yarman. 2015. Identifikasi Pusat-pusat Pertumbuhan dan Wilayah
Pendukungnya Dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Nias. Dinas Tata
Ruang, Perumahan, dan Kebersihan Kabupaten Nias.
Hua, Liang. Yong, Zhao dan Wei, Yuan. 2016. The Problems and Measures of
New Growth Pole in The Northwest Region of China. Institute of Urban and
Environmental Studies, CASS, Beijing, China.
Hestuadiputri, Dita. 2007. Peran Dan Fungsi Ibu Kota Kecamatan Lasem Sebagai
Pusat Pertumbuhan Di Kabupaten Rembang. Tesis, Program Pascasarjana
Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota. Universitas Diponegoro
Semarang.
Lee, J. dan Wong, D. W. S. (2001). Statistical Analysis with Arcview GIS. New
York: John Wiley and Sons.
Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Muta’ali, Lutfi. 1999. Penerapan Konsep Pusat Pertumbuhan Dalam
Kebijaksanaan Pengembangan Wilayah. Fakultas Geografi Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta.
Nainggolan, Pandapotan T.P. 2011. “Analisis Penentuan Pusat-Pusat
Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Simalungun”. Fakultas Ekonomi.
Universitas Semarang.
Perobelli, F. S., dan Haddad, E. (2003). Brazilian Interregional Trade (1985-1996):
An Exploratory Spatial Data Analysis.
Pratama, Ade. 2016. Analisis Penentuan Pusat-pusat Pertumbuhan Ekonomi dan
Interaksi antar Kecamatan di Kabupaten Pringsewu. Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Lampung, Lampung.
Richardson, Harry W. 2001. Dasar-dasar Ilmu Regional. Diterjemahkan oleh Paul
Sitohang. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Riyadi dan Bratakusumah, Deddy Supriyady. 2003. Perencanaan Pembangunan
Daerah Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rodinelli, A Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis: The Spatial
Dimensions of Development Policy. Bolder and London: Westview Press.
Romzi, Kurniasari, Yuniarti. 2011. Analisis Dampak Spasial pada Peramalan
Perekonomian dan Ketengakerjaan. Badan Pusat Statistika. Jakarta.
Rustiadi Ernan, Sunsun Saefulhakim, Dyah R. Panuju. 2011. Perencanaan dan
pengembangan wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Sjafrizal. 2014. Perencanaan Pembangunan Dearah Dalam Era Otonomi.
Rajawali Pers, Jakarta.
Suchaini, Udin. 2013. Industrial District Fenomena Aglomerasi dan Karakteristik
Lokasi Industri. Dapur Buku. Jakarta.
Sugiyanto dan Sukesi. 2010. Penelitian Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan
Ekonomi di Kabupaten Lamandau. Fakultas Ekonomi Universitas Dr.
Soetomo, Surabaya.
Suharyadi & Purwanto. 2008. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan Modern.
Jakarta: Salemba Empat.
Todaro, Michael.P. dan Stephen C. Smith. 2008. Pembangunan Ekonomi Edisi Ke
Sembilan. Jakarta : Erlangga
Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta : PT.
Bumi Aksara.
Yudistri Pebrina, Intan. 2005. Analisis Pusat Pertumbuhan Ekonomi Pada Tingkat
Kecamatan Di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Kajian Ekonomi Vol.4, No.1, 2005, 81-1.
Yuriantari, Nurmalia. 2017. Analisis Autokorelasi Spasialtitik Panas Di
Kalimantan Timur Menggunakan Indeks Moran dan Local Indicator Of
Spatial Autocorrelation (LISA). FMIPA, Universitas Mulawarman.
http://silviatofanie.blogspot.co.id/2015/01/potensiekonomi-kotacilegon.html
https://banten.bps.go.id/publication/2017/08/11/provinsi-banten-dalam-angka-
2017.html
http://rtrw.bappeda.bantenprov.go.id/
www.bantenprov.go.id/upload/PPID_RPJMD_2012_2017.pdf
www.bantenprov.go.id/upload/buku_analisa_SHLD_2014.pdf