identifikasi awal zona persebaran mineral emas pada...

87
IDENTIFIKASI AWAL ZONA PERSEBARAN MINERAL EMAS PADA ENDAPAN ALUVIAL MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS STUDI KASUS: LAPANGAN “MANDEH” PT. ANTAM Tbk SKRIPSI Oleh : ANTARES WIRA ANDHIKA 125090700111007 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 18-Jan-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IDENTIFIKASI AWAL ZONA PERSEBARAN MINERAL

EMAS PADA ENDAPAN ALUVIAL MENGGUNAKAN

METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS

STUDI KASUS: LAPANGAN “MANDEH” PT. ANTAM Tbk

SKRIPSI

Oleh :

ANTARES WIRA ANDHIKA

125090700111007

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

IDENTIFIKASI AWAL ZONA PERSEBARAN MINERAL

EMAS PADA ENDAPAN ALUVIAL MENGGUNAKAN

METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS

STUDI KASUS: LAPANGAN “MANDEH” PT. ANTAM Tbk

Oleh:

ANTARES WIRA ANDHIKA

125090700111007

Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji

pada tanggal………….

dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains dalam bidang Fisika

Pembimbing I

Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph. D.

NIP. 19710621 1998 02 1001

Pembimbing II

Satriya Alrizki, S.T.

NPP. 1010867362

Megetahui,

Ketua Jurusan Fisika

Fakultas MIPA Universitas Brawijaya

Prof. Dr. rer. nat. Muhammad Nurhuda

NIP. 19640910 1990 02 1001

IDENTITAS TIM PENGUJI

Ketua Penguji

Nama : Dr. Eng. Didik R. Santoso, M.Si.

NIP : 19690610 199402 1 001

Penguji I

Nama : Sukir Maryanto, S.Si., M.Si., Ph.D.

NIP : 19710621 1998 02 1001

Penguji II

Nama : Cholisina A. Perwita, S.Si., M.Si.

NIP : 19880202 2015 04 2001

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Antares Wira Andhika

NIM : 125090700111007

Jurusan : Fisika

Penulis Skripsi berjudul :

IDENTIFIKASI AWAL ZONA PERSEBARAN MINERAL

EMAS PADA ENDAPAN ALUVIAL MENGGUNAKAN

METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS

STUDI KASUS: LAPANGAN “MANDEH” PT. ANTAM Tbk

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Isi dari Skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya

sendiri dan tidak menjiplak karya orang lain, selain

nama-nama yang termaktub di isi dan tertulis di daftar

pustaka dalam Skripsi ini.

2. Apabila di kemudian hari ternyata Skripsi yang saya

tulis terbukti hasil jiplakan, maka saya akan bersedia

menanggung segala resiko yang akan saya terima

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

Malang, 1 Juli 2017

Yang menyatakan,

(Antares Wira Andhika)

NIM. 125090700111007

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

UCAPAN TERIMA KASIH

Sehubungan dengan selesainya penyusunan laporan tugas

akhir ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu penulis serta turut berperan dalam

menyelesaikan penulisan laporan tugas akhir ini. Rasa terima kasih

penulis ucapkan kepada:

1. Mamah dan papah yang selalu memberi doa dan dukungan serta

semangat dalam menyelesaikan laporan tugas akhir.

2. Bapak Sukir Maryanto, Ph. D. selaku dosen pembimbing I serta

Wakil Dekan II Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya tugas

akhir yang telah memberikan ilmu, nasihat dan arahan bagi

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir

dengan baik.

3. Bapak Satriya Alrizki, S.T. selaku pembimbing II dan asisten

manajer G & G PT. Antam Tbk Unit Geomin selama tugas akhir

yang berlangsung untuk segala ilmu, bimbingan dan kesabaran

yang diberikan kepada penulis.

4. Bapak Elwin Elbur selaku ketua tim eksplorasi lapangan

“Mandeh” yang telah memberikan penulis kesempatan untuk

dapat melaksanakan penelitian di lapangan.

5. Bapak Ganjar. S, selaku asisten manajer drilling PT. Antam Tbk

Unit Geomin, yang telah memberikan ilmu mengenai geofisika

maupun berbagi pengalaman di luar geofisika.

6. Bapak Agus Pajrin yang telah membantu penulis saat

mengalami kesulitan dalam menganalisis data dan menjawab

pertanyaan-pertanyaan penulis.

7. Mas Nanto selaku operator alat Syscal Junior yang telah

mendampingi penulis melakukan penelitian ini.

8. Pak Bambang, Mas Andika, Mas Bayu, Mas Deden, Pak Uhi,

Bu Eli, Bapak Akbar, dan semua pihak yang berada di

lingkungan PT. Antam Tbk. Unit Geomin.

9. Seluruh dosen dan staf jurusan Fisika serta fakultas MIPA atas

kesabaran pelayanan akademis yang diberikan selama ini

kepada penulis.

10. Leni Luvita Yanuarti sebagai tempat keluh kesah dan berbagi

kebahagiaan kepada penulis selama melaksanakan tugas akhir.

11. Rekan-rekan Agree Farm PIMNAS, yaitu: Afi, Wawan,

Cholida, dan Hazqi yang telah saling memotivasi untuk

menggebrak masa depan.

12. Semua rekan-rekan yang juga membantu dan mendukung

penulis, Nirwansyah, Lucky, Dessy, Mas Farizky, dan semua

teman-teman dari UB maupun universitas lain yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

13. Keluarga besar angkatan KANSAS 2013 serta seluruh keluarga

Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang yang telah memberi

restu dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas

akhir ini.

14. Keluarga Geofisika Universitas Brawijaya 2012 yang telah

membantu serta mendukung penulis selama menyelesaikan

tugas akhir.

15. Dan seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya tugas

akhir ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini masih jauh

dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang

membangun sangat diharapkan penulis. Akhir kata penulis berharap

laporan tugas akhir ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi

semua pihak yang memerlukan.

Malang, 1 Juli 2017

Penulis

IDENTIFIKASI AWAL ZONA PERSEBARAN MINERAL

EMAS PADA ENDAPAN ALUVIAL MENGGUNAKAN

METODE GEOLISTRIK RESISTIVITAS

STUDI KASUS: LAPANGAN “MANDEH” PT. ANTAM Tbk

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam

yang sangat melimpah, salah satunya mineral emas. Mineral emas

terbentuk karena adanya proses mineralisasi. Emas tersebut

merupakan emas primer yang mana seiring berjalannya waktu akan

mengalami erosi, transportasi, serta pengendapan kembali yang

disebut emas sekunder. Penelitian ini dilakukan untuk

mengidentifikasi awal emas sekunder pada endapan aluvial

menggunakan metode geolistrik resistivitas. Pada pengukuran ini

dilakukan pada dua blok, yaitu blok utara (lintasan OPQRS) dan

selatan (lintasan FGHIJ). Adapun panjang tiap lintasan antara 600–

800 meter dan jarak antar lintasan sebesar 200 meter.

Nilai resistivitas yang didapatkan bervariasi, antara 0–3000

ohm.m. Adapun pembagiannya yaitu nilai resistivitas rendah antara

0–1000 ohm.m, sedangkan nilai resistivitas menengah antara 1001–

2000 ohm.m, serta nilai resistivitas 2001–3000 ohm.m termasuk nilai

resistivitas tinggi. Data nilai resistivitas yang didapatkan

dikorelasikan dengan data bor. Adapun pada perlapisan soil termasuk

rentang resistivitas rendah dan menengah. Adapun pada perlapisan

gravel dan sand termasuk rentang nilai resistivitas rendah dan

menengah. Gravel clay atau sand clay termasuk dalam nilai

resistivitas menengah. Adapun clay temasuk nilai resistivitas tinggi.

Pada blok utara terdapat kemenerusan sand dan gravel sebagai

aliran utama sungai purba dengan lebar sungai 600 meter, sedangkan

pada blok selatan terdapat kemenerusan gravel yang lebih kecil

dibandingkan blok utara. Potensi pada penelitian ini sebesar 101

hektar dengan kedalaman 12 meter. Terdapat dua rekomendasi

eksplorasi lanjutan, yaitu rekomendasi 1 terletak di sebelah timur

blok utara dan rekomendasi 2 terletak di sebelah selatan blok utara.

Kata kunci : Geolistrik, Resistivitas, Emas, Sand, dan Gravel.

PRELIMINARY IDENTIFICATION OF GOLD

DISTRIBUTION ZONE IN ALLUVIAL SEDIMENT USING

GEOELECTRICAL RESISTIVITY METHOD

STUDY CASE: “MANDEH” FIELD PT ANTAM Tbk

ABSTRACT

Indonesia is a country that has great natural resources, one of

them is gold mineral. Gold formed by the mineralization process.

The gold is primary gold which over time will be eroded,

transported, and re-sedimentation that called secondary gold. In this

research carried out to preliminary identification of secondary gold

in alluvial sediment using geoelectrical resistivity method. This

research measured in two blocks, were northern block (line OPQRS)

and southern block (line FGHIJ). In each line had 600-800 meter

length and 200 meter of interval.

The resistivity of this research obtained between 0-3000

ohm.m. At this thing, the value of 0-1000 ohm.m was low resistivity,

1001-2000 ohm.m value was medium resistivity, and the high

resistivity was 2001-3000 ohm.m. The resistivity value correlated

with well data. In this research, soil were low and medium resistivity.

Gravel and sand were low and medium resistivity, gravel clay and

sand clay were medium resistivity. And this thing, clay was high

resistivity.

In the northern block, there was sand and gravel continuation

as main stream of the ancient river with 600 meter wide, while in the

southern block there was a smaller gravel continuation than northern

block. Based on this research, the potency was 101 hektare with 12

meter depth. There were two recommendations for advanced

exploration, recommendation 1 was in eastern of northern block and

recommendation 2 was in southern of northern block.

Keywords: geoelectricity, resistivity, gold, sand, gravel.

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang dilaksanakan pada

bulan November 2016–April 2017 dan juga menyelesaikan laporan

tugas akhir dengan judul “Identifikasi Awal Zona Persebaran

Mineral Emas Pada Endapan Aluvial Menggunakan Metode

Geolistrik Resistivitas Studi Kasus: Lapangan “Mandeh” PT.

Antam Tbk”. Laporan tugas akhir ini disusun sebagai salah satu

syarat akademis untuk mendapatkan gelar Sarjana Fisika.

Sehubungan dengan selesainya penyusunan laporan tugas

akhir ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu penulis serta turut berperan dalam

menyelesaikan penulisan laporan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini masih jauh

dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang

membangun sangat diharapkan penulis. Akhir kata penulis berharap

laporan tugas akhir ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi

semua pihak yang memerlukan.

Malang, 1 Juli 2017

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................... ii

IDENTITAS TIM PENGUJI ....................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................ iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................... vi

ABSTRAK .................................................................................. viii

ABSTRACT ................................................................................ ix

KATA PENGANTAR................................................................. x

DAFTAR ISI ............................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR .................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................ 2

1.3 Batasan Masalah............................................................... 3

1.4 Tujuan Penelitian ............................................................. 3

1.5 Manfaat Penelitian............................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................. 5

2.1 Prinsip Dasar Kelistrikan Bumi ....................................... 5

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Resistivitas ....... 7

2.3 Metode Geolistrik Resistivitas ......................................... 9

2.3.1 Hukum Ohm .......................................................... 10

2.3.2 Resistivitas Semu ................................................... 11

2.3.3 Konfigurasi ............................................................ 11

2.4 Mineralisasi ...................................................................... 14

2.4.1 Epitermal ............................................................... 15

2.4.2 Mesotermal ............................................................ 16

2.4.3 Hipotermal ............................................................. 16

2.5 Potensi Emas pada Endapan Aluvial ................................ 16

2.5.1 Terbentuknya Endapan Aluvial ............................. 17

2.5.2 Emas pada Endapan Aluvial .................................. 18

2.6 Geologi Daerah Penelitian ................................................ 21

BAB III METODE PENELITIAN .............................................. 23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................... 23

3.2 Rancangan Penelitian ....................................................... 23

3.3 Materi Penelitian .............................................................. 24

3.4 Langkah Penelitian ........................................................... 25

3.4.1 Akuisisi Data ......................................................... 25

3.4.2 Pengolahan Data .................................................... 27

3.4.2 Interpretasi Data .................................................... 28

3.5 Diagram Alir Penelitian .................................................... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................... 33

4.1 Penampang Hasil .............................................................. 35

4.2 Korelasi data Bor .............................................................. 47

4.3 Interpretasi Hasil .............................................................. 55

4.4 Rekomendasi Eksplorasi Lanjut ....................................... 66

BAB V PENUTUP ...................................................................... 69

5.1 Kesimpulan ...................................................................... 69

5.2 Saran ................................................................................ 70

DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 71

LAMPIRAN ................................................................................ 73

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Model daerah terionisasi di bumi oleh sinar

matahari ....................................................................................... 6

Gambar 2.2. Kisaran nilai resistivitas batuan .............................. 6

Gambar 2.3. Hubungan antara temperatur dan resistivitas .......... 9

Gambar 2.4. Arus listrik dalam sebuah silinder ........................... 10

Gambar 2.5. Susunan elektroda pada konfigurasi schlumberger . 12

Gambar 2.6. Susunan elektroda pada konfigurasi wenner ........... 13

Gambar 2.7. Susunan elektroda pada konfigurasi dipole-dipole .. 13

Gambar 2.8. Pola ekipotensial antara dua elektroda arus dengan

polaritas berlawanan .................................................................... 14

Gambar 2.9. Proses mineralisasi.................................................. 15

Gambar 2.10. Geomorfologi zona aluvial dan fluvial.................. 17

Gambar 2.11. Kipas aluvial ......................................................... 18

Gambar 2.12. Cebakan emas berupa konglomerat alas ditambang

dengan cara diterowong di Topo, Nabire, Papua ......................... 20

Gambar 2.13. Peta geologi penelitian lapangan “Mandeh”. ........ 21

Gambar 3.1 Peta pengukuran metode geolistrik resistivitas dan bor

lapangan “Mandeh” ..................................................................... 23

Gambar 3.2 Akuisisi data geofisika ............................................. 26

Gambar 3.3. Hasil inversi penampang pengolahan di Res2DInv . 27

Gambar 3.4. Hasil penghalusan penampang di Surfer ................. 28

Gambar 3.5. Korelasi data bor terhadap penampang geofisika .... 29

Gambar 3.6. Penampang hasil korelasi dengan data bor.............. 30

Gambar 3.7. Hasil grid 3D nilai resistivitas daerah penelitian .... 31

Gambar 3.8. Hasil ekstraksi peta nilai resistivitas secara horizontal

.................................................................................................... 31

Gambar 3.9. Diagram alir penelitian ........................................... 32

Gambar 4.1 Pembentukan emas primer menjadi emas sekunder . 33

Gambar 4.2. Sekuen Bouma ........................................................ 34

Gambar 4.3 Rentang nilai dan warna resistivitas ......................... 35

Gambar 4.4 Persebaran lintasan pengukuran ............................... 36

Gambar 4.5 Penampang resistivitas Lintasan F ........................... 37

Gambar 4.6 Penampang resistivitas Lintasan G .......................... 38

Gambar 4.7 Penampang resistivitas Lintasan H .......................... 39

Gambar 4.8 Penampang resistivitas Lintasan I ............................ 40

Gambar 4.9 Penampang resistivitas Lintasan J ............................ 41

Gambar 4.10 Penampang resistivitas Lintasan O ........................ 42

Gambar 4.11 Penampang resistivitas Lintasan P ......................... 43

Gambar 4.12 Penampang resistivitas Lintasan Q ........................ 44

Gambar 4.13 Penampang resistivitas Lintasan R ......................... 45

Gambar 4.14 Penampang resistivitas Lintasan S ......................... 46

Gambar 4.15 Peta pengukuran geofisika dan bor ........................ 47

Gambar 4.16 Rentang warna nilai resistivitas korelasi bor .......... 48

Gambar 4.17 Korelasi geofisika dan bor lintasan F ..................... 49

Gambar 4.18 Korelasi geofisika dan bor lintasan G .................... 51

Gambar 4.19 Korelasi geofisika dan bor lintasan H .................... 53

Gambar 4.20 Endapan aluvial ..................................................... 55

Gambar 4.21 Kenampakan batuan di daerah bekas tambang ....... 56

Gambar 4.22 Pembagian nilai resistivitas berdasarkan perlapisan

batuan .......................................................................................... 58

Gambar 4.23 Penampang kemenerusan blok geofisika selatan.... 59

Gambar 4.24 Peta persebaran batuan blok selatan elevasi 140–195

meter ........................................................................................... 61

Gambar 4.25 Peta persebaran batuan blok selatan elevasi 165 meter

.................................................................................................... 62

Gambar 4.26 Penampang kemenerusan blok geofisika utara ....... 63

Gambar 4.27 Peta persebaran batuan blok utara elevasi 95–145

meter ........................................................................................... 64

Gambar 4.28 Peta persebaran batuan blok utara elevasi 130 meter

.................................................................................................... 65

Gambar 4.29 Peta persebaran batuan ........................................... 66

Gambar 4.30 Peta rekomendasi eksplorasi lanjutan .................... 67

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 .................................................................................. 74

Lampiran 2 .................................................................................. 74

Lampiran 3 .................................................................................. 75

Lampiran 4 .................................................................................. 75

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya

alam yang sangat melimpah. Salah satu sumber daya alam yang

memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu pertambangan mineral.

Mineral selain memiliki nilai yang tinggi dari segi ekonomis, juga

sebagai penghasil devisa negara yang cukup besar. Salah satu

mineral yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi adalah mineral

emas.

Mineral emas terbentuk karena adanya proses

mineralisasi. Adapun mineralisasi merupakan suatu proses

pembentukan mineral-mineral di dalam bumi. Mineral dalam

keadaan panas terdorong oleh tekanan dari hidrotermal sehingga

menuju ke zona-zona lemah. Kemudian, mineral emas tersebut

akan mengendap pada kedalaman dan temperatur tertentu. Dalam

hal ini disebut emas primer.

Emas primer hasil dari mineralisasi seiring berjalannya

waktu akan mengalami erosi, transportasi, serta pengendapan

kembali akibat gaya eksogen yang dapat melalui media air, angin,

ataupun yang lainnya. Pada pengendapan kembali emas melalui

media air, endapan emas dari mineralisasi yang tererosi akan

tertransportasi melalui sungai-sungai menuju dataran yang lebih

rendah. Hal ini disebut emas sekunder.

Mineral emas sekunder yang tertransportasi seiring

berjalannya waktu akan tertinggal dan terendapkan dengan

bantuan media air sehingga membentuk endapan koluvial, kipas

aluvial, dan fluviatil. Dalam hal ini, bentuk-bentuk endapan

tersebut termasuk dalam endapan aluvial. Namun, untuk pencarian

potensi mineral emas pada endapan aluvial tidaklah mudah.

Dalam hal ini diperlukan suatu disiplin ilmu untuk mendalami

pencarian atau eksplorasi mineral tersebut, seperti ilmu geofisika.

Salah satu metode geofisika yang dapat digunakan dalam

proses pencarian mineral yaitu metode geolistrik resistivitas.

Metode geolistrik resistivitas merupakan salah satu metode

geofisika aktif yang memanfaatkan sifat aliran listrik bumi dengan

menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi dan diterima kembali

2

oleh elektroda potensial.

Metode geolistrik resistivitas dapat menentukan distribusi

atau penyebaran nilai resistivitas di bawah permukaan bumi dari

hasil pengukuran yang dilakukan pada permukaan bumi. Dari

hasil tersebut, maka dapat diperkirakan nilai resistivitas yang

sebenarnya. Dengan demikian, dapat ditentukan jenis batuannya

apabila nilai resistivitas yang sebenarnya diketahui (Chandra,

2011).

Lapangan “Mandeh” merupakan salah satu area dengan

nama yang disamarkan memiliki potensi emas sekunder.

Kenampakan pada saat di lapangan, area tersebut banyak terdapat

pertambangan warga lokal. Adapun untuk mendapatkan emas

tersebut cenderung mudah. Pada sungai di area tersebut terdapat

endapan pasir yang kaya akan emas, sehingga dilakukan

pendulangan untuk memisahkan antara pasir dan kalam. Kalam

merupakan kumpulan dari beberapa mineral besi, kuarsa, dan

emas.

Pada area lapangan “Mandeh” belum pernah dilakukan

survei geofisika maupun geologi. Sedangkan, pada area tersebut

memiliki potensi emas yang kaya. Sehingga penelitian ini perlu

dilakukan untuk mengetahui persebaran zona yang kaya emas.

Terlebih lagi, pada area tersebut dimungkinkan merupakan jalur

utama sungai purba. Sehingga studi kasus lapangan ini layak

diteliti.

Pada penelitian ini, nilai resistivitas yang didapatkan dari

metode geofisika dikorelasikan dengan data bor sebagai acuan

batuan di bawah permukaan bumi. Oleh karena itu, penulis

melakukan penelitian ini dengan judul “Identifikasi Awal Zona

Persebaran Mineral Emas pada Endapan Aluvial Menggunakan

Metode Geolistrik Resistivitas Studi Kasus: Lapangan “Mandeh”

PT. Antam Tbk.”. Dalam hal ini, dapat digunakan sebagai

gambaran awal potensi mineral emas pada endapan aluvial

menggunakan metode geolistrik resistivitas.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini ialah:

a. Bagaimanakah persebaran nilai resistivitas di daerah

penelitan?

b. Bagaimanakah korelasi nilai resistivitas dengan data bor di

daerah penelitian?

3

c. Bagaimanakah persebaran mineral emas pada endapan aluvial

berdasarkan korelasi data geofisika dan bor di daerah

penelitan?

d. Bagaimanakah potensi dan rekomendasi penentuan zona

eksplorasi lanjutan di daerah penelitian?

1.3 Batasan Masalah

Setelah terkumpulnya data-data informasi geologi dan

geografis yang menunjukan bahwa pada daerah tersebut prospek

mineral emas secara geologi, maka dilakukan tahap lanjutan yaitu

eksplorasi menggunakan metode geofisika dan bor dengan batasan

sebagai berikut:

a. Data geofisika berupa data primer yang diambil di lapangan

oleh PT. Antam Tbk Unit Geomin.

b. Metode geofisika yang digunakan dalam penelitian ini ialah

geolistrik resistivitas yang mana dikorelasikandengan data bor.

c. Metode geolistrik resistivitas terdiri dari 10 lintasan yang

terbagi menjadi 2 blok yang mana tiap blok saling sejajar.

d. Data bor terdiri dari 9 titik bor sebagai acuan korelasi nilai

resistivitas.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Menganalisis respon nilai resistivitas dari susunan batuan di

daerah penelitian.

b. Menentukan perlapisan batuan dari korelasi data bor terhadap

nilai respon resistivitas di daerah penelitian.

c. Menentukan persebaran mineral emas pada endapan aluvial

berdasarkan korelasi data geofisika dan bor di daerah penelitan.

d. Memprediksi potensi dan membuat rekomendasi area eksplorasi

lanjutan di daerah penelitian.

1.5 Manfaat Penelitian

Setelah dilakukannya penelitian ini, maka didapatkan

informasi awal mengenai persebaran mineral emas (Au) pada

endapan aluvial di daerah penelitian. Diharapkan penelitian ini dapat

memberi pengetahuan serta informasi tambahan mengenai potensi

emas dari hasil survei geofisika.

4

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Metode geofisika merupakan metode untuk mengetahui bawah

permukaan bumi melalui parameter fisika. Adapun metode geofisika

ini terdapat beberapa macam, antara lain: geolistrik, magnetik,

gravity, GPR, seismik, MT. Metode-metode tersebut terbagi menjadi

metode geofisika aktif dan pasif. Adapun metode geofisika aktif

merupakan metode geofisika dengan perlakuan menginjeksikan suatu

energi artifisial ke dalam bumi. Sedangkan metode geofisika pasif

merupakan metode geofisika yang dilakukan dengan merekam

parameter yang berasal dari bumi (Jaman, 2016).

Metode geofisika dapat dianalogikan sebagai senjata untuk

perburuan binatang. Sedangkan binatang tersebut, dapat dianalogikan

sebagai target-target dari eksplorasi metode geofisika ini. Masing-

masing target eksplorasi memiliki karakter yang berbeda-beda.

Dalam hal ini, pengetahuan terhadap target tersebut harus diketahui

agar dapat menentukan senjata atau metode yang cocok agar efektif

dan efisien (Jaman, 2016).

2.1 Prinsip Dasar Kelistrikan Bumi

Pembahasan tentang kelistrikan bumi sesuai dengan sifatnya,

cenderung membahas sifat-sifat kelistrikan kerak bumi. Di dalam

tubuh bumi bentuk arus listrik adalah elektron, tetapi dalam batuan

sedimen yang tersaturasi air, di laut, dan di atmosfer kebanyakan

berupa ion. Derajat ionisasi di udara bervariasi bergantung pada

elevasi, waktu, dan latitude. Model daerah ionisasi yang ideal

adalah sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Santoso,

2002).

6

Gambar 2.1. Model daerah terionisasi di bumi oleh sinar matahari

(Santoso, 2002).

Konduktivitas batuan di dekat permukaan bumi kebanyakan

ditentukan oleh jumlah distribusi air garam pada batuan berpori. Di

bawah lapisan sedimen dan bagian bawahya, tekanan begitu besar

sehingga pori-pori tertutup dan hanya konduktivitas batuan keras

yang membawa arus listrik. Konduktivitas batuan beku dan

metamorf lebih rendah dari rata-rata formasi sedimen. Beberapa

nilai resistivitas batuan yang umum adalah seperti yang

dicantumkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Kisaran resistivitas batuan (Loke, 2004).

7

Awan ion (elektron) di udara dapat menimbulkan arus listrik

jika bergerak relatif terhadap bumi. Arus sperti ini akan

menghasilkan medan magnet. Hal ini juga diduga sebagai penyebab

variasi harian pada medan magnet bumi. Sistem sirkulasi arus ini

mengikuti matahari pada sirkulasi hariannya. Secara kasar dua

pertiga variasi diurnal berasal dari luar, sedangkan sepertiga lainnya

berasal dari pergerakan arus di bumi. Arus di bumi ini tidak diukur

secara langsung, melainkan ditentukan dari potensial gradien dan

resistivitas dengan menggunakan hukum Ohm (Santoso, 2002).

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Resistivitas

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran

resistivitas. Faktor-faktor tersebut adalah jenis batuan, matriks

batuan, mineral lempung, porositas dan permeabilitas, salinitas, dan

temperatur. Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut

(Chandra, 2011),

a. Jenis batuan

Tiap batuan memiliki interval besaran resistivitas.

Namun, suatu interval resistivitas batuan tertentu terkadang

sebagian sama dengan interval batuan yang lainnya. Oleh karena

itu, nilai resistivitas batuan harus dikorelasikan dengan data

pendukung lainnya. Hal ini dapat berupa data geologi maupun

data bor untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat (Chandra,

2011).

b. Matriks batuan

Matriks merupakan butiran yang berukuran lebih kecil

dari fragmen dan terletak diantara batuan-batuan asli yang dapat

terendapkan bersamaan bersama fragmen. Matriks dapat berupa

pecahan batuan, mineral atau fosil (Engler, 2012).

c. Mineral lempung

Iklim tropis seperti di Indonesia merupakan faktor

alamiah yang sangat memperngaruhi kondisi batuan, terutama

terjadinya proses pelapukan. Dalam suatu proses pelapukan,

semua material (batuan, logam, dan sebagainya) akan diubah

menjadi lempung (Chandra, 2011).

d. Porositas dan permeabilitas

Porositas merupakan presentase dari volume fluida dalam

pori dengan volume total batuan. Hubungan anatara resistivitas

dengan porositas batuan yang tidak mengandung lempung dapat

dilihat pada Persamaan (1) (Telford, Geldart, dan Sheriff; 1990).

8

(1)

dimana, : faktor formasi

: resistivitas batuan (ohm.m)

: resistivitas fluida di dalam pori batuan

(ohm.m) : porositas dan : konstanta khusus

Permeabilitas merupakan kemampuan batuan untuk

meneruskan fluida dan ion-ion. Bila porositas dan permeabilitas

fluida dapat dikaitkan untuk memberikan jenis batuan atau

tanah, maka hal tersebut beralasan pula untuk mengharapkan

bahwa adanya hubungan antara permeabilitas batuan dan

resistivitas (Telford, Geldart, dan Sheriff; 1990).

e. Salinitas air pada batuan

Salinitas air dipengaruhi oleh ion-ion yang terkandung

dalam air asin pada batuan. Air asin ini memiliki sifat mudah

menghantarkan elektron-elektron bebas melalui media tersebut

sehingga air asin memberikan respon yang lebih rendah terhadap

nilai resistivitas. Tingginya sailititas pada daerah eksplorasi

dapat disebabkan oleh adanya instrusi air laut (Hersir dan

Árnason, 2010).

f. Temperatur

Pengaruh temperatur pada suatu batuan yang meningkat

akan menurunkan nilai resistivitas batuan tersebut. Hal ini

disebabkan oleh pergerakan ion-ion yang akan semakin

menurun jika viskositas menurun. Namun, hal tersebut berlaku

untuk temperatur 0-200˚C. Sedangkan pada temperatur diatas

300˚C akan meningkatkan nilai resistivitas seperti yang terlihat

pada Gambar 2.3 (Hersir dan Árnason, 2010).

9

Gambar 2.3. Hubungan antara temperatur dan resistivitas (Hersir dan

Bjӧrnsson, 1991).

2.3 Metode Geolistrik Resistivitas

Metode geolistrik resistivitas merupakan metode geofisika

yanng bersifat aktif, artinya metode ini menentukan suatu kondisi

bawah permukaan dengan menginjeksikan arus listrik ke dalam

tanah yang nantinya tahanan tanah tersebut diukur melalui variasi

beda potensialnya. Kesederhanaan dari metode ini membuat

geolistrik resistivitas sering digunakan untuk mengidentifikasi

sebaran air bawah tanah, mineral logam, bidang gelincir dll.

Metode geolistrik resistivitas memiliki berbagai macam model atau

konfigurasi pengambilan data.

Secara umum dikelompokkan dua tipe yaitu tipe sounding dan

tipe mapping. Tipe sounding memberikan informasi variasi

resistivitas secara vertikal 1 dimensi (1D). Sedangkan tipe mapping

mampu memberikan informasi secara 2 dimensi (2D). Keunggulan

mapping 2D, hasil akhir yang diperoleh dapat diterjemahkan secara

lateral dan detail (HMGI, 2016).

2.3.1 Hukum Ohm

Hukum Ohm didefinisikan sebagai resistansi (kemampuan)

pada sebuah benda atau material yang dapat dialiri oleh arus listrik

10

jika memiliki perbedaan potensial. Sehingga hubungannya dapat

dilihat pada Persamaan (2) (Layugan, 1981).

(2)

dimana, : resistansi (ohm)

: beda potensial (volt)

: arus listrik (ampere)

Untuk arus listrik sederhana (sejajar) yang melalui suatu bahan

berbentuk silinder seperti Gambar 2.4 akan berbanding lurus

dengan luas penampang, berbanding langsung dengan beda

potensial antara ujung-ujungnya dan berbanding terbalik dengan

panjangnya (Syamsuddin, 2007).

Gambar 2.4. Arus listrik dalam sebuah silinder (HMGI, 2016).

Dengan demikian dapat ditulis rumus seperti Persamaan (3).

(3)

dimana, : daya hantar jenis bahan yang bersangkutan (ohm.m-1

)

: luas penampang (m2)

: beda potensial antara ujung-ujungnya (volt)

: panjang silinder (m)

Kalau yang digunakan bukan daya hantar jenis, tetapi tahanan jenis

bahan , maka Persamaan (3) menjadi Persamaan (4)

(4)

dengan

(5)

dimana, : tahanan jenis/ resistivitas (ohm.m)

2.3.2 Resistivitas Semu

11

Pada pengukuran resistivitas biasanya dilakukan dengan

menginjeksi arus ke dalam tanah melalui dua elektroda arus (C1

dan C2), dan pengukuran menghasilkan beda potensial pada dua

elektroda potensial (P1 dan P2). Dari nilai arus ( ) dan beda

potensial ( ), maka nilai resistivitas semu ( ) dapat dihitung

(Loke, 2000)

(

) (6)

dimana, : resistivitas semu (ohm.m)

: faktor geometri konfigurasi

Resistivitymeter biasanya memberikan nilai resistansi, . Sehingga Persamaan (2) dapat disederhanakan menjadi

(7)

Perhitungan nilai resistivitas ini bukan nilai resistivitas yang

sesungguhnya (true resistivity) tetapi nilai resistivitas semu

(apparent resistivity) yang mana nilai resistivitas pada medium

yang homogen. Untuk mendapatkan nilai resistivitas yang

sesungguhnya dari batuan bawah permukaan bumi harus dilalukan

proses inversi terlebih dahulu menggunakan perhitungan komputer

(Loke, 2000).

2.3.3 Konfigurasi

Metode geolistrik resistivitas didasarkan pada kenyataan

bahwa sebagian dari arus listrik yang diberikan pada lapisan tanah,

menjalar ke dalam tanah pada kedalaman tertentu dan bertambah

besar dengan bertambahnya jarak antar elektroda. Dalam

pengukuran geolistrik resistivitas jika sepasang elektroda

diperbesar, distribusi potensial pada permukaan bumi akan semakin

membesar dengan nilai resistivitas yang bervariasi (Loke, 2000).

Metode ini lebih efektif jika digunakan untuk eksplorasi

yang sifatnya dangkal, jarang memberikan informasi lapisan di

kedalaman lebih dari 300 meter. Oleh karena itu, metode ini jarang

digunakan untuk eksplorasi minyak tetapi lebih banyak digunakan

dalam bidang teknik geologi seperti penentuan kedalaman batuan

dasar, pencarian air tanah, juga digunakan dalam eksplorasi

geothermal. Berdasarkan letak (konfigurasi) elektroda-elektroda

12

potensial dan elektroda-elektroda arus, dikenal beberapa jenis

konfigurasi resistivitas tahanan jenis, antara lain (Stummer, 2003):

a. Konfigurasi Schlumberger

Konfigurasi schlumberger merupakan salah satu

konfigurasi atau tatanan dari elektroda metode geolistrik, yang

mana susunannya C-P-P-C di mana jarak elektroda P dengan P

cenderung tetap. Sedangkan jarak antara elektroda P dan C

diubah sesuai spasi yang telah ditentukan seperti yang terlihat

pada Gambar 2.5 (Stummer, 2003).

Gambar 2.5. Susunan elektroda pada konfigurasi schlumberger

(Loke, 2000).

Adapun faktor geometri konfigurasi schlumberger dapat dilihat

pada Persamaan (8).

( ) (8)

dimana, : nilai phi (3.14)

: faktor pengali

: jarak antar elektroda (meter)

b. Konfigurasi Wenner

Konfigurasi wenner memiliki susunan elektroda C-P-P-C

yang sama dengan konfigurasi schlumberger. Namun, pada

konfigurasi ini jarak antar elektroda (C-C, C-P, P-C) cenderung

tetap dan digeser keempat-empatnya sesuai target yang

diinginkan seperti yang terlihat pada Gambar 2.6 (Stummer,

2003).

Gambar 2.6. Susunan elektroda pada konfigurasi wenner (Loke,

2000).

Adapun faktor geometri konfigurasi wenner dapat dilihat

pada Persamaan (9).

13

(9)

c. Konfigurasi Dipole-dipole

Konfigurasi dipole-dipole merupakan salah satu susunan

elektroda dari metode geolistrik dengan C-C-P-P. Adapun jarak

antar elektroda C maupun P cenderung tetap, hanya saja antara

C dan P berubah sesuai dengan spasi survei yang telah

ditentukan seperti terlihat pada Gambar 2.7 (Stummer, 2003).

Gambar 2.7. Susunan elektroda pada konfigurasi dipole-dipole

(Loke, 2000).

Adapun faktor geometri konfigurasi dipole-dipole dapat

dilihat pada Persamaan (10).

( )( ) (10)

Berdasarkan pada nilai resistivitas listriknya, suatu

struktur bawah permukaan bumi dapat diketahui material

penyusunnya, sehingga kita juga dapat memahami tentang

struktur lapisan tanah di bawah permukaan bumi yang tercemar

oleh limbah cair yang mengandung senyawa organik dari

berbagai jenis logam, seperti Mg, Zn, Al, Mn, senyawa nitrogen

dan sianida (Loke, 2000).

Resistivitas bumi berhubungan dengan jenis mineral,

kandungan fluida dan derajat saturasi air dalam batuan. Metode

yang biasa digunakan pada pengukuran resistivitas secara

umum, yaitu dengan menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi

dengan menggunakan dua elektroda arus (A dan B), dan

pengukuran beda potensial dengan menggunakan dua elektroda

potensial (M dan N) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.8

(Loke, 2000).

14

Gambar 2.8. Pola ekipotensial antara dua elektroda arus dengan

polaritas berlawanan (Loke, 2000).

Lebar jarak AB menentukan jangkauan geolistrik ke

dalam tanah. Ketika perbandingan jarak antar elektroda arus

dengan elektroda potensial terlalu besar, elektroda potensial

harus digeser, kalau tidak maka beda potensial yang terukur

akan sangat kecil. Dari semua sifat fisika batuan dan mineral,

resistivitas memperlihatkan variasi harga yang sangat banyak.

Pada mineral-mineral logam nilai resistivitas berkisar antara 10-8

ohmmeter hingga 107 ohmmeter (Keller dan Frischnecht, 1966).

2.4 Mineralisasi

Mineralisasi merupakan suatu proses pembentukan mineral-

mineral di dalam bumi. Mineral yang dalam keadaan panas

terdorong oleh tekanan dari hidrotermal sehingga menuju ke zona-

zona lemah (White dan Hedenquist, 1996).

15

Gambar 2.9. Proses mineralisasi (White dan Hedenquist, 1996).

Menurut Lindgren (1993), secara umum mineralisasi dapat

dikontrol oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Larutan hidrotermal yang berfungsi sebagai larutan pembawa

mineral.

b. Zona lemah yang berfungsi sebagai saluran untuk lewat

larutan hidrotermal.

c. Tersedianya ruang untuk pengendapan larutan hidrotermal.

d. Terjadinya reaksi kimia dari batuan induk (host rock) dengan

larutan hidrotermal yang memungkinkan terjadinya

pengendapan mineral bijih.

e. Adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk

mengendapkan mineral bijih.

2.4.1 Epitermal

Endapan mineral epitermal terendapkan dekat permukaan

pada temperatur 50–200˚C dengan tekstur berlapis, stockwork,

volcanic hosted dan pada celah-celah urat (vein). Adapun asosiasi

mineral pada endapan epitermal adalah mineral emas (Au) dan

perak (Ag) (Lindgren, 1993).

2.4.2 Mesotermal

Endapan mineral pada mesotermal terendapkan pada

16

kedalaman 2–3 km dengan temperatur 200–300˚C. Adapun dengan

dengan tekstur yang terlihat yaitu perulangan perlapisan dan

berlapis dengan asosiasi mineral klorit, emas, serisit, pirit, dan

kuarsa (Faeyumi, 2012).

2.4.3 Hipotermal

Endapan mineral hipotermal terendapkan pada kedalaman

yang dalam dengan temperatur 300–500˚C. Tekstur pada endapan

ini terlihat replacement yang kuat dengan asosiasi mineral pirit,

kalkopirit, biotit, kalsit, kuarsa, emas, hornblende, dan plagioklas

(Lindgren, 1993).

2.5 Potensi Emas pada Endapan Aluvial

Pada umunya endapan emas didapatkan bersama dengan

perak dan tembaga, merupakan hasil mineralisasi. Mineralisasi

merupakan suatu proses masuknya mineral kedalam batuan

sehingga membentuk deposit bijih yang potensial. Ada beberapa

model endapan emas yang dapat didekati dan dapat dijadikan acuan

untuk eksplorasi atau eksploitasi selanjutnya, yaitu endapan emas

epitermal atau porfiri dan endapan emas mesotermal

(Sukandarrumidi, 2007).

Prospek mineral emas tidak hanya berpotensi pada zona

alterasi saja. Namun, zona prospek tersebut dapat berpindah tempat

sesuai dengan berjalannya waktu. Hal tersebut terjadi akibat adanya

proses erosi, transportasi, dan pengendapan. Proses erosi

merupakan suatu proses terkikisnya batuan akibat gaya eksogen

yang mengakibatkan perubahan sifat kimia dan fisika batuan.

Akibat proses erosi ini batuan mengalami perubahan bentuk

menjadi transportasi, yaitu suatu proses berpindahnya material erosi

menuju daerah dengan gaya yang lebih rendah oleh adanya agen

transportasi. Adapun pada proses aluvial media transportasi

didominasi oleh air seperti yang terlihat pada Gambar 2.10

(Nichols, 2009).

17

Gambar 2.10. Geomorfologi zona aluvial dan fluvial (Nichols,

2009).

Pada Gambar 2.10 terlihat sedimentasi dapat terjadi didekat

sumber batuan dan membentuk koluvial atau eluvial maupun

endapan kipas aluvial. Sungai akan mengendapkan sedimen baik

berupa endapan point bar atau endapan gosong pasir sungai.

Sedimen dapat dibawa sungai ke laut, sebagian dapat diendapkan di

muara sungai sebagai endapan delta, maupun endapan paparan

pantai atau endapan laut dalam (Luthfi, 2010).

2.5.1 Terbentuknya endapan aluvial

Sungai yang mengalir di lembah pada dataran yang tinggi

serta curam dan tiba-tiba sampai pada dasar lembah yang lebih

rendah atau dataran aluvial, kecepatan alirannya berkurang dan

daya angkut sedimenpun berkurang. Hal tersebut akan

mengendapkan sebagian bebannya yang tidak dapat

ditransportasikan pada lereng yang landai. Oleh karena terjadi

pengendapan di dalam dan di samping-samping sungai, alirannya

dibelokkan pada salah satu sisi oleh akumulasi sedimen (Sappie

dkk, 2014).

Selanjutnya, beban yang ditinggalkan ini menyebabkan

sungai membuat pola teranyam (braided stream) terjadi pergeseran

aliran ke arah yang baru pada dataran yang agak rendah. Dan

pengendapan tetap berlangsung. Hal ini akan mengakibatkan aliran

sungai berpindah-pindah secara lateral dan bolak-balik akibat

18

pengendapan yang terus menerus. Dalam hal ini akan menghasilkan

endapan yang berbentuk suatu kipas aluvial (alluvial fan) yang

merupakan tubuh aluvium yang berbentuk kipas yang merupakan

ciri khas untuk aliran sungai dari lembah pegunungan seperti yang

terlihat pada Gambar 2.11 (Sappie dkk, 2014).

Gambar 2.11. Kipas aluvial (Noor, 2009).

Pada Gambar 2.11 material erosi akan mengumpul pada

suatu lokasi rendahan dan mengalami pengendapan. Endapan inilah

yang disebut sebagai endapan aluvial. Endapan aluvial dapat terjadi

pada daerah kipas aluvial (alluvial fan), dataran banjir (flood plain),

sungai teranyam (braided stream), sungai berkelok (meandering

river) (Nichols, 2009).

2.5.2 Emas pada endapan aluvial

Emas di alam terdapat dua tipe, yaitu emas primer dan emas

sekunder. Emas primer umumnya terbentuk oleh aktivitas

hidrotermal, yang membentuk tubuh bijih dengan kandungan utama

silika. Pada umumnya emas primer memiliki bentuk sebaran berupa

urat atau dalam bentuk tersebar pada batuan. Sedangkan emas

sekunder berasal dari mineral pembawa emas primer yang telah

19

mengalami pelapukan maupun transportasi dan terendapkan pada

suatu tempat (Suprapto, 2008).

Adapun menurut Aziz (2009), emas sekunder merupakan

hasil erosi dari cebakan emas primer yang kemudian terendapkan di

lembah, sungai, atau pantai di dalam sedimen kuarter. Proses erosi,

transportasi, dan sedimentasi yang terjadi terhadap hasil disintegrasi

cebakan emas primer akan menghasilkan emas sekunder. Emas

sekunder dapat berada pada tanah residu dari cebakan emas primer,

sebagai endapan koluvial, kipas aluvial, dan umumnya terdapat

pada endapan fluviatil.

Emas sekunder pada aluvial dapat membentuk sumber daya

yang besar, apabila permukaan tubuh bijih yang tererosi merupakan

sumber dispersi luas. Tubuh bijih yang berpotensi menghasilkan

emas pada endapan aluvial ekonomis harus memiliki dimensi

sebaran besar dan luas. Emas sekunder dapat berupa hasil dispersi

dari cebakan bijih emas primer atau hasil pengendapan ulang dari

emas sekunder pada aluvial yang lebih tua (Suprapto, 2008).

Sebaran emas sekunder pada endapan aluvial umumnya

menempati cekungan Kuarter, berupa lembah sungai yang

membentuk morfologi dataran atau undak. Emas sekunder terdiri

dari bahan bersifat lepas, atau belum terkonsolidasi secara

sempurna, berukuran pasir hingga kerakal, dapat berselingan

dengan lapisan lempung dan atau lanau. Lapisan pembawa emas,

berbentuk lapisan tunggal atau perulangan, kemiringan relatif datar,

ketebalan hingga beberapa meter dengan kedalaman relatif dangkal.

Kelimpahan kandungan emas ke arah vertikal dan lateral sangat

heterogen (Suprapto, 2008).

Adapun bahan galian lain yang umum terdapat pada

pertambangan emas sekunder dapat berupa lapisan penutup dan

atau sisipan yang antara lain terdiri dari lempung kaolin, pasir

kuarsa, dan gambut. Sedangkan endapan pembawa emas sekunder

disusun oleh fragmen dan matriks. Fragmen berukuran kerikil

sampai kerakal, terkadang disertai berangkal dampai bongkah yang

umumnya berbentuk membulat.

Matriks berukuran pasir terdiri dari mineral berat dan

mineral ringan. Jenis mineral berat tergantung pada jenis batuan

induk serta tipe mineralisasi dari endapan emas primernya,

umumnya berupa magnetit dan ilmenit, dan dapat disertai monasit,

pirit, arsenopirit, kasiterit, wolframit, shilit, sinabar, bismuth,

galena, platinoid, turmalin, garnet, kromit, rutil, barit, korundum,

20

zirkon, dan limonit. Sedangkan mineral ringan umumnya feldspar

dan kuarsa.

Pada alur sungai stadia muda, emas sekunder dapat dijumpai

berupa sebaran sempit pada sepanjang badan sungai, dengan

fragmen penyusun umumnya berukuran kasar, sebagian besar

mengandung bongkah. Sedangkan pada endapan aluvial stadia

dewasa sampai tua dapat dijumpai emas sekunder dengan sebaran

luas. Ketebalan aluvial mengandung emas dapat mencapai beberapa

meter, lebar beberapa ratus meter dan panjang beberapa kilometer

(Suprapto, 2008).

Selain umumnya terdapat pada endapan berumur Resen-

Kuarter, emas sekunder pada aluvial dapat dijumpai juga pada

batuan lebih tua berupa konglomerat, seperti contoh konglomerat

alas mengandung emas yang dijumpai di daerah Topo, Nabire,

Papua seperti yang terlihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12. Cebakan emas berupa konglomerat alas ditambang

dengan cara diterowong di Topo, Nabire, Papua (google.image).

Emas sekunder pada aluvial yang umum ditemukan di

Indonesia adalah dalam bentuk endapan kipas aluvial, endapan

gravel bars, endapan channel, endapan dataran banjir, dan endapan

pantai. Adapun di Indonesia, endapan emas sekunder banyak

dijumpai di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Papua. Pada pulau

Jawa juga terdapat emas aluvial, yaitu Banyumas akan tetapi

potensinya kecil (Suprapto, 2008).

21

2.6 Geologi Daerah Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan di lapangan “Mandeh” yang

memiliki luasan area sekitar 18 km2 seperti yang terlihat pada

Gambar 2.13.

Gambar 2.13. Peta geologi penelitian lapangan “Mandeh”.

Pada Gambar 2.13 terlihat peta geologi lapangan “Mandeh”

yang mana terdiri dari endapan aluvial, formasi Krajan, formasi

Kraguman, dan formasi Jengglong. Adapun penamaan lapangan

dan formasi-formasi tersebut merupakan nama yang disamarkan.

Pada endapan aluvial di daerah penelitian terdiri dari batuan

lempung, pasir, kerikil, gravel, bongkah batuan beku, serta kuarsit.

Endapan ini cenderung belum mengalami kompaksi, sehingga

butir-butir perlapisan mudah terlepas.

Pada formasi Krajan terdiri dari sedimen klastik berupa batu

lempung pasiran, sisipan lignit, dan tuf serta mudstone berbutir

baik (halus). Adapun pada formasi Kraguman terdiri dari sedimen

klastik berupa tuf asam berbatu apung, batu pasir tufan, dan

bentonit sisipan lignit serta claystone berbutir baik (halus). Pada

formasi Jengglong terdiri dari sedimen klastik berupa batuan serpih

dengan butir baik (halus), batu gamping napalan dengan sisipan

tipis tuf andesit.

22

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama bulan November 2016–

Februari 2017 di kantor Unit Geomin, PT. Antam Tbk dan

pengambilan data di lapangan “Mandeh” pada bulan Maret–April

2017. Adapun penamaan lapangan “Mandeh” merupakan nama yang

disamarkan, yang dapat terlihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Peta pengukuran metode geolistrik resistivitas dan bor

lapangan “Mandeh”.

3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini digunakan dengan menganalisis hasil

pengolahan data primer yang didapatkan dari pengukuran lapangan

Unit Geomin PT. Antam Tbk. Jakarta yang berlokasi di lapangan

“Mandeh” menggunakan alat Syscal Junior sebagai alat resistivity

meter. Proses akuisisi data dilakukan dengan konfigurasi wenner

untuk mendapatkan titik pengukuran sounding yang mana masing-

masing titik dilakukan pengambilan data sebanyak 14 atau 17 secara

vertikal dengan nilai a (jarak antar elektroda berkelipatan 1 hingga 3

meter). Adapun elektroda yang dipakai sebanyak 4 buah, 2 untuk

24

elektroda arus (C) dan 2 untuk elektroda potensial (P). Sedangkan

jarak antar titik yaitu 50 meter.

Pada pengukuran ini dilakukan pada 2 blok, yaitu blok utara

dan selatan. Blok utara meliputi lintasan OPQRS, sedangkan blok

selatan meliputi lintasan FGHIJ. Adapun tiap lintasan memiliki jarak

antar lintasan sebesar 200 meter dengan panjang lintasan antara 600–

800 meter. Susunan lintasan pada masing-masing blok saling sejajar.

Pada saat akuisisi data dilakukan pengecekkan elektroda arus

dan elektroda potensial yang terdapat pada alat. Setelah dilakukan

pegukuran data di lapangan, data diunduh untuk dilakukan

pengolahan data. Dalam pengolahan data, data yang semula berupa

resistivitas semu diproses menjadi penampang resistivitas yang

sebenarnya melalui inversi.

Pada penampang resistivitas yang sebenarnya yang dihasilkan

dilakukan pemodelan 2 dan 3 dimensi untuk memudahkan

menganalisis hasil yang telah didapatkan. Hasil yang diperoleh

dikorelasikan dengan data bor sehingga dapat membantu dalam

interpretasi. Dalam hal ini, dilakukan untuk menentukan

rekomendasi lokasi ekpslorasi lanjutan daerah penelitian.

3.3 Materi Penelitian

Dalam penelitian ini dibutuhkan materi penelitian yang berupa

data dan perangkat lunak pengolahan data yang menunjang proses

penelitian, antara lain:

a. Data mentah yang terdiri dari data resistivitas semu hasil

pengukuran lapangan serta topografi daerah penelitian.

b. Perangkat lunak (software) yang digunakan antara lain,

Prosys II yang digunakan untuk mengunduh data dari

alat Syscal Junior sehingga dapat diolah di laptop atau

di komputer.

Notepad yang digunakan untuk membuka dan

menyusun data yang telah diunduh dari alat.

Micrososft Excel digunakan dalam memindahkan data

serta mensortir data agar sesuai dengan format

penulisan dalam mengolah data geolistrik resistivitas.

Res2dinv digunakan untuk inversi data yang didapat

dari lapangan sehingga akan diperoleh nilai resistivitas

yang sebenarnya yang dikorelasikan dengan topografi

pengukuran.

25

Surfer digunakan untuk menampilkan penampang 2

dimensi yang disesuaikan skala warnanya serta

korelasi hasil bor. Selain itu, software ini digunakan

untuk membuat layout hasil penelitian.

Geosoft Oasis Montaj digunakan untuk gridding 3D

untuk mengetahui pola persebaran nilai resistivitas

yang dapat diindikasikan sebagai persebaran zona

emas pada endapan aluvial.

3.4 Langkah Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan dengan tahapan studi literatur,

akuisisi data, pengolahan data dan interpretasi hasil. Studi literatur

ini dilakukan untuk mengetahui tentang lokasi penelitian baik secara

geologi maupun geografisnya, selain itu mempelajari metode

geolistrik resistivitas. Pada tahapan akuisisi diperlukan berbagai

peralatan untuk memperoleh data pengukuran di lapangan. Akuisisi

data dilakukan untuk mendapatkan data sesuai dengan kondisi target

yang telah dipelajari.

Proses pengolahan data merupakan proses peningkatan data

dari data mentah yang diperoleh pada saat akuisisi di lapangan

menjadi data yang layak untuk diinterpretasi. Proses interpretasi

merupakan tahap akhir dari penelitian bawah permukaan

menggunakan metode geofisika, dimana pada tahap ini data yang

telah diolah akan dikorelasikan dengan data bor untuk

mengidentifikasi mengenai target dari penelitian yang dilakukan.

3.4.1 Akusisi Data

Pengukuran metode geolistrik resistivitas menggunakan

seperangkat peralatan resistivity meter yaitu Syscal Junior yang

dilengkapi dengan kabel penghubung serta elektroda. Pada

penggunaan alat ini, elektroda yang terdiri dari elektroda arus dan

potensial ditancapkan pada posisi sesuai dengan jarak yang telah

ditentukan sesuai dengan konfigurasi wenner seperti yang terlihat

pada Gambar 3.2.

26

Gambar 3.2 Akuisisi data geofisika

Setelah semua elektroda tertancap dan dihubungkan kabel

pada alat, alat dinyalakan serta dilakukan pengaturan. Pengaturan

pada alat dilakukan dengan mengubah nilai spasi (spacing) sesuai

dengan nilai a. Kemudian dilakukan dengan penamaan titik dan

lintasan pengukuran. Selanjutnya dilakukan kalibrasi atau pengetesan

elektroda arus dan elektroda potensial. Setelah semua selesai sesuai

kaidah, maka dilakukan penginjeksian arus.

Arus akan dialirkankan dari elektroda arus, kemudian

melalui medium bawah permukaan bumi dan akan diterima kembali

oleh elektroda potensial. Kemudian, didapatkan nilai perbedaan pada

elektroda potensial. Pada alat Syscal dari nilai beda potensial

didapatkan nilai resistivitas semu ( ). Setelah didapatkan nilai

selanjutnya data disimpan pada alat dan dapat dicatat manual pada

logbook sebagai backup data.

Kemudian pengukuran dilakukan pada nilai a yang berbeda

serta titik yang telah direncanakan. Setelah semua pengukuran

selesai data yang telah disimpan di alat harus diunduh (download)

menggunakan laptop dengan software Prosys II. Data-data tersebut

dapat dibuka pada software Notepad yang selanjutnya dilakukan

pengolahan data menggunakan software yang lainnya.

27

3.4.2 Pengolahan Data

Pengolahan data bertujuan untuk mendapatkan parameter

resistivitas batuan yang sesungguhnya melalui resistivitas semu dari

data lapangan yang telah diunduh. Pengolahan data ini disebut

proses inversi. Pada penelitian ini penulis menggunakan software

Res2DInv sebagai alat bantu untuk mengolah data. Res2DInv adalah

program komputer yang dapat menentukan model resistivitas dua

dimensi dari bawah permukaan dari data lapangan yang telah diolah

(Dahlin, 1996).

Pada penelitian ini data resistivitas semu yang terukur di

lapangan dilakukan pemodelan geofisika menggunakan komputer

dengan bantuan software Res2DInv. Hasil pemodelan geofisika

dengan perangkat lunak Res2DInv adalah model penampang inversi

2D untuk resistivitas seperti yang terlihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Hasil inversi penampang pengolahan di Res2DInv.

Penampang inversi yang terlihat pada Gambar 3.3 ini

menggambarkan keadaan bawah permukaan dalam bentuk

penampang 2D, penampang inversi resistivitas. Metode inversi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuadrat terkecil (least

square). Metode kuadrat terkecil merupakan salah satu metode

inversi dengan penerapan meminimumkan selisih data pengamatan

dengan data perhitungan (Sulaeman, 2010).

Adapun pengaturan khusus pada pengolahan data ini yaitu

pada menu Vertical/ Horizontal Flatness Filter Ratio diberikan nilai

0.2 dengan rentang nilai 0.1–1. Semakin kecil nilai maka akan

28

cenderung horizontal, sedangkan semakin besar maka akan

cenderung vertikal. Kemudian, pengaturan khusus lainnya yaitu pada

Number of Iteration menggunakan iterasi sebanyak 3 kali. Hal ini

bertujuan untuk mendapatkan hasil yang cenderung halus dan nilai

eror di bawah 10%.

Untuk proses penyempurnaan (editting) penampang inversi

2D resistivitas menggunakan software Surfer. Pada software Surfer

dilakukan proses penghalusan serta penyesuasian skala warna

penampang yang telah didapatkan dari software Res2Dinv seperti

yang terlihat pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Hasil penghalusan penampang di Surfer.

Pada Gambar 3.4 penghalusan penampang tersebut dilakukan

gridding menggunakan metode kriging. Gridding merupakan proses

pada data yang berkomponen XYZ dan menghasilkan nilai Z lainnya

pada tiap interpolasi atau ekstrapolasi diantara data-data tersebut.

Sedangkan kriging merupakan salah satu metode gridding dengan

variogram linear yang efektif dan lebih fleksibel.

3.4.3 Interpretasi Data

Pada tahap interpretasi data yang telah diolah, didapatkan

penampang 2D nilai resistivitas secara vertikal. Kemudian

penampang tersebut dikorelasikan dengan data bor untuk menjadi

acuan penampang nilai resistivitas yang lainnya. Selain itu,

interpretasi juga didasarkan pada data geologi yang terlihat pada saat

29

di lapangan. Adapun korelasi data bor terhadap penampang geofisika

dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Korelasi data bor terhadap penampang geofisika.

Pada penampang nilai resistivitas batuan dilakukan analisis untuk

mengetahui anomali yang terlihat. Anomali tersebut merupakan

perlapisan batuan yang telah dikorelasikan dengan data bor. Adapun

salah satu penampang yang telah dikorelasikan dengan data bor dapat

terlihat pada Gambar 3.6.

30

Gambar 3.6. Penampang hasil korelasi dengan data bor.

Pada Gambar 3.6 terlihat penampang hasil korelasi dengan data

bor. Dalam hal ini, analisis didasarkan pada pola atau konsep dasar

dari keterdapatan mineral emas pada endapan aluvial. Selain itu,

interpretasi digunakan untuk mengidentifikasi awal potensi serta zona

prospek terdapat mineral emas. Keseluruhan analisis ini, dilakukan

untuk mengetahui potensi dan merekomendasikan zona eksplorasi

lanjut.

Untuk pemodelan selanjutnya dengan pemodelan 3D digunakan

software Oasis Montaj (Geosoft). Dalam software ini membuat

model 3D dan peta persebaran secara horizontal (plan map) seperti

yang terlihat pada Gambar 3.8 untuk mengetahui pola persebaran

nilai resistivitas yang dapat diindikasikan sebagai persebaran zona

potensi emas di endapan aluvial. Dengan pengolahan data

menggunakan software Oasis Montaj (Geosoft) akan terlihat

kemenerusan zona yang menarik untuk dilakukan eksplorasi

lanjutan. Dari hasil 3D ini selanjutnya akan digunakan untuk

interpretasi sehingga didapatkan target dari penelitian ini seperti

yang terlihat pada Gambar 3.7.

31

Gambar 3.7. Hasil grid 3D nilai resistivitas daerah penelitian.

Pada Gambar 3.7 merupakan hasil grid 3D dilakukan ekstraksi

penyebaran nilai resistivitas secara horizontal berdasarkan tingkat

elevasi data. Dalam hal ini dilakukan agar dapat mengetahui pola

persebaran nilai resistivitas secara horizontal seperti yang terlihat

pada Gambar 3.8.

Gambar 3.8. Hasil ekstraksi peta nilai resistivitas secara horizontal.

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemetaan geologi yang dilakukan oleh Puslitbang

(Pusat Penelitian dan Pengembangan) geologi, menunjukkan bahwa

Indonesia yang terletak di jalur vulkanik banyak mengandung

mineral bernilai ekonomis terutama emas (Aziz, 2009).

Terbentuknya mineral emas yang merupakan hasil dari proses

mineralisasi seakan berjalannya waktu akan mengalami pelapukan,

transportasi, dan sedimentasi seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Pembentukan emas primer menjadi emas sekunder.

Pada Gambar 4.1 terlihat terbentuknya emas primer menjadi

emas sekunder. Adapun emas primer yaitu mineral emas yang

terbentuk melalui proses mineralisasi. Dalam hal ini emas belum

mengalami perpindahan tempat. Sedangkan, emas yang telah

mengalami perpindahan tempat dan terendapkan pada suatu tempat

sering disebut emas sekunder.

Pada penelitian ini, dikhususkan pada area emas sekunder

yang mana emas tersebar bukan pada zona mineralisasi. Namun,

emas terdapat pada channel-channel sungai sebagai media

transportasi dan terendapkan bersama gravel serta material pasiran.

Endapan antara pasir dan lempung erat kaitannya dengan

arus turbidit yang dikenal sebagai arus yang mengakibatkan

terbentuknya endapan selang-seling antara batu pasir dan lempung

yang sangat tebal. Pada bagian bawah batu pasir terdapat kontak

erosi yang tajam dengan batuan yang dibawahnya. Pada batu pasir

juga terdapat struktur sedimen perlapisan bersusun, laminasi, sejajar,

dan gelembur gelombang seperti yang terlihat pada Gambar 4.2.

34

Gambar 4.2. Sekuen Bouma (Luthfi, 2010).

Pada endapan batu pasir dan lempung terkait dengan sekuen

Bouma, dimana secara ideal terdapat 5 fasies. Namun, kenyataan di

lapangan mungkin hanya dapat ditemui satu atau lebih secara

berulang. Kelima fasies tersebut yaitu (Luthfi, 2010):

a. Fasies A tersusun oleh batu pasir wacke dengan struktur

perlapisan bersusun. Alas batu pasir ini memperlihatkan

batas atau kontak erosi yang tajam, yang menggambarkan

kondisi pengendapan cepat yang diikuti dengan erosi pada

alas pengendapan.

b. Fasies B merupakan fasies dengan sedimen batu pasir

laminasi paralel. Laminasi ini mencerminkan pengendapan

pada kondisi rezim atas bagian plane beds.

c. Fasies C dicirikan oleh batu pasir dengan struktur sedimen

ripple atau gelembur gelombang, yang mencirikan rezim

bawah. Hal ini menunjukkan penurunan kecepatan

sedimentasi.

d. Fasies D merupakan endapan batu pasir dengan struktur

laminasi paralel. Fasies D dibedakan dengan fasies B dari

35

ukuran butiran bataun yang lebih halus, sekaligus ketebalan

laminasi yang lebih tipis.

e. Fasies E merupakan sedimen pelitik atau sedimen yang

halus. Ini menunjukkan sedimentasi pada kondisi normal

tanpa masukan sedimen hasil longsoran atau aliran gravitasi

sedimen.

4.1 Penampang Hasil

Hasil penampang lintasan pengukuran didapatkan dari

penghalusan hasil inversi yang dilakukan pada software Surfer.

Nilai resistivitas yang didapatkan sangat bervariasi, antara 0–3000

ohm.m. Adapun pada penelitian ini, rentang nilai resistivitas dibagi

menjadi 3 yaitu resistivitas rendah, resistivitas menengah, dan

resistivitas tinggi.

Adapun nilai resistivitas rendah yaitu antara 0–1000 ohm.m,

sedangkan nilai resistivitas menengah yaitu antara 1001–2000

ohm.m. Pada nilai resistivitas 2001–3000 ohm.m termasuk nilai

resistivitas tinggi. Ketiga pembagian nilai resistivitas ini didasarkan

pada interval yang sama dari rentang nilai resistivitas yang

didapatkan.

Pada pembagian rentang nilai resistivitas, rentang nilai rendah

ditunjukkan pada degradasi warna biru tua dan biru muda. Adapun

rentang nilai resistivitas menengah ditunjukkan dengan warna

kuning muda dan kuning. Sedangkan rentang nilai yang tinggi

ditunjukkan dengan degradasi warna oranye dan merah seperti yang

terlihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Rentang nilai dan warna resistivitas.

Adapun persebaran lintasan geofisika pada blok utara dan

selatan yang terlihat pada Gambar 4.4.

36

Gambar 4.4 Persebaran lintasan pengukuran.

Lintasan F

Lintasan F berada pada blok selatan yang mana urutan pertama

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik F9 hingga

F12 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada perkebunan sawit yang cenderung kenampakan

permukaannya berupa soil dan sedikit pasir dengan topografi

bervariasi lembah hingga bukit. Adapun penampang resistivitas

dapat terlihat pada Gambar 4.5.

37

Gambar 4.5 Penampang resistivitas Lintasan F.

Pada Gambar 4.5 terlihat penampang resistivitas Lintasan F

dengan elevasi antara 165–205 meter dengan ketebalan penampang

±10 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak 0–200 meter

dengan ketebalan perlapisan antara 4–10 meter dan pada jarak 250–

300 meter dengan ketebalan antara 1–4 meter

Adapun nilai resistivitas menengah terlihat pada jarak 25–125

meter, dan 150–600 meter dengan ketebalan antara 1–10 meter.

Sedangkan nilai resistivitas tinggi terlihat pada jarak 25–125 meter,

270–320 meter, dan dan 375–500 meter dengan ketebalan

bervariasi antara 2–10 meter.

Lintasan G

Lintasan G berada pada blok selatan yang mana urutan kedua

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik G9 hingga

G12 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada perkebunan sawit yang cenderung kenampakan

permukaannya berupa soil dan sedikit pasir dengan topografi

bervariasi lembah hingga bukit. Adapun penampang resistivitas

38

dapat terlihat pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Penampang resistivitas Lintasan G.

Pada Gambar 4.6 terlihat penampang resistivitas Lintasan G

dengan elevasi antara 150–220 meter dengan ketebalan penampang

±10 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak 50 meter, 175–

225 meter, 275–325 meter, dan 400 meter dengan ketebalan antara

1–10 meter.

Adapun nilai resistivitas menengah terlihat pada jarak 0–25

meter, 50 meter, 125–225 meter, 275 meter, dan 325–600 meter

dengan ketebalan antara 1–10 meter. Sedangkan pada nilai

resistivitas tinggi terlihat pada jarak 0–125 meter, 225–275 meter,

dan 350 meter dengan ketebalan bervariasi antara 2–10 meter.

Lintasan H

39

Lintasan H berada pada blok selatan yang mana urutan ketiga

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik H9 hingga

H12 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada perkebunan sawit yang cenderung kenampakan

permukaannya berupa soil dan sedikit pasir dengan topografi

bervariasi lembah hingga bukit. Adapun penampang resistivitas

dapat terlihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Penampang resistivitas Lintasan H.

Pada Gambar 4.7 terlihat penampang resistivitas Lintasan H

dengan elevasi antara 160–205 meter dengan ketebalan penampang

±10 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat di sepanjang penampang,

yaitu pada jarak 150 meter, 200–350 meter, 400 meter, dan 550

meter dengan ketebalan antara 2–10 meter.

Adapun nilai resistivitas menengah pada jarak 0–600 meter

dengan ketebalan antara 2–10 meter. Sedangkan nilai resistivitas

tinggi terlihat pada jarak 0–25 meter, 450 meter, 500 meter dan 550

meter dengan ketebalan bervariasi antara 1–10 meter.

40

Lintasan I

Lintasan I berada pada blok selatan yang mana urutan keempat

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 17 titik, mulai titik I9 hingga

I13 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada perkebunan sawit yang cenderung kenampakan

permukaannya berupa soil dan sedikit pasir dengan topografi

bervariasi lembah hingga bukit. Adapun penampang resistivitas

dapat terlihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Penampang resistivitas Lintasan I.

Pada Gambar 4.8 terlihat penampang resistivitas Lintasan I

dengan elevasi antara 150–210 meter dengan ketebalan penampang

±10 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak -200 – -150

meter, -100 meter, 0–100 meter, 125–200 meter, 225–325 meter,

350 meter, 425–475 meter dan 600 meter dengan ketebalan antara

2–10 meter.

Adapun nilai resistivitas menengah hampir terlihat di

sepanjang penampang, yaitu pada jarak -200 –600 meter dengan

ketebalan antara 1–10 meter. Sedangkan nilai resistivitas tinggi

41

terlihat pada jarak -200 – -75 meter dan 525–600 meter dengan

ketebalan bervariasi antara 2–8 meter.

Lintasan J

Lintasan J berada pada blok selatan yang mana urutan kelima

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 17 titik, mulai titik J9 hingga

J13 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada perkebunan sawit yang cenderung kenampakan

permukaannya berupa soil dan sedikit pasir dengan topografi

bervariasi lembah hingga bukit. Adapun penampang resistivitas

dapat terlihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9 Penampang resistivitas Lintasan J.

Pada Gambar 4.9 terlihat penampang resistivitas Lintasan J

dengan elevasi antara 130–200 meter dengan ketebalan penampang

±10 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak -200 – -25

meter, 155–275 meter, dan 550 meter dengan ketebalan antara 1–10

meter.

42

Adapun nilai resistivitas menengah terlihat pada jarak -25 –

-75 meter, -25–150 meter, 175–275 meter, dan 350–550 meter

dengan ketebalan antara 1–10 meter. Sedangkan nilai resistivitas

tinggi terlihat pada jarak -25 – -100 meter, 275–375 meter, 450

meter dan 525–600 meter dengan ketebalan bervariasi antara 2–10

meter.

Lintasan O

Lintasan O berada pada blok utara yang mana urutan pertama

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik O7 hingga

O10 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada bekas tambang dan perkebunan sawit yang cenderung

kenampakan permukaannya berupa soil dan banyak gravel dengan

topografi cenderung datar. Adapun penampang resistivitas dapat

terlihat pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Penampang resistivitas Lintasan O.

Pada Gambar 4.10 terlihat penampang resistivitas Lintasan O

dengan elevasi antara 130–165 meter dengan ketebalan penampang

±12 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak -1000 – -700 m

dengan ketebalan bervariasi antara 8–12 meter.

43

Adapun nilai resistivitas menengah terlihat pada jarak -1000 –

-825 meter dan -750 – -400 meter dengan ketebalan antara 1–12

meter. Sedangkan nilai resistivitas tinggi terlihat pada jarak -800

meter, -700 – -675 meter, -670 – -600 meter, dan -585 – -565 meter,

-550 – -450 meter dengan ketebalan bervariasi antara 2–12 meter.

Lintasan P

Lintasan P berada pada blok utara yang mana urutan kedua

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik P7 hingga

P10 dengan jarak titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini terletak

pada bekas tambang dan perkebunan sawit dengan kenampakan

permukaannya berupa soil dan banyak gravel dengan topografi

cenderung datar. Adapun penampang resistivitas dapat terlihat pada

Gambar 4.11.

Gambar 4.11 Penampang resistivitas Lintasan P.

Pada Gambar 4.11 terlihat penampang resistivitas Lintasan P

dengan elevasi antara 130–150 meter dengan ketebalan penampang

±12 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak -1000 – -500

meter dengan ketebalan antara 1–12 meter.

Adapun nilai resistivitas menengah terlihat pada jarak -1000 –

44

-675 meter dan -575 – -400 meter dengan ketebalan antara 2–12

meter. Sedangkan nilai resistivitas tinggi terlihat pada jarak -950

meter, -825 – -700 meter, dan -460 – -440 meter dengan ketebalan

bervariasi antara 2–5 meter.

Lintasan Q

Lintasan Q berada pada blok utara yang mana nomor ketiga

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik Q7 hingga

Q10 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada bekas tambang dan perkebunan sawit dengan

kenampakan permukaannya berupa soil dan banyak gravel dengan

topografi cenderung datar. Adapun penampang dapat terlihat pada

Gambar 4.12.

Gambar 4.12 Penampang resistivitas Lintasan Q.

Pada Gambar 4.12 terlihat penampang resistivitas Lintasan Q

dengan elevasi antara 120–145 meter dengan ketebalan penampang

±12 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat di sepanjang lintasan, yaitu

pada jarak -1000 – -400 m dengan ketebalan antara 3–15 meter.

Adapun nilai resistivitas menengah terlihat pada jarak -975 – -

925 meter, -825 – -800 meter, -700 meter, -450 meter dan -400

45

meter dengan ketebalan antara 1–6 meter. Sedangkan nilai

resistivitas tinggi terlihat pada jarak -1000 meter, -800 meter, -750

meter, -700 meter, dan -400 meter dengan ketebalan ±2 meter.

Lintasan R

Lintasan R berada pada blok utara yang mana urutan keempat

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik R7 hingga

R10 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada bekas tambang dan perkebunan sawit yang cenderung

kenampakan permukaannya berupa soil dan banyak gravel dengan

topografi cenderung datar. Adapun penampang resistivitas dapat

terlihat pada Gambar 4.13.

Gambar 4.13 Penampang resistivitas Lintasan R.

Pada Gambar 4.13 terlihat penampang resistivitas Lintasan R

dengan elevasi antara 120–145 meter dengan ketebalan penampang

±12 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak -900 – -400 m

dengan ketebalan antara 3–12 meter.

Adapun nilai resistivitas menengah terlihat pada jarak -1000 –

-825 meter, -750 – -650 meter, -620 – -550 meter, dan -400 meter

dengan ketebalan antara 1–6 meter. Sedangkan nilai resistivitas

46

tinggi terlihat pada jarak -1000 – -940 meter, -925 – -875 meter,

dan -610 – -540 meter dengan ketebalan antara 2–10 meter.

Lintasan S

Lintasan S berada pada blok utara yang mana urutan kelima

dari selatan. Lintasan ini terdiri dari 13 titik, mulai titik S8 hingga

S11 dengan jarak antar titik 50 meter. Pengukuran lintasan ini

terletak pada bekas tambang dan perkebunan sawit yang cenderung

kenampakan permukaannya berupa soil dan banyak gravel dengan

topografi cenderung lembah hingga bukit. Adapun penampang

resistivitas dapat terlihat pada Gambar 4.14.

Gambar 4.14 Penampang resistivitas Lintasan S.

Pada Gambar 4.14 terlihat penampang resistivitas Lintasan S

dengan elevasi antara 105–150 meter dengan ketebalan penampang

±12 meter. Lintasan ini memiliki nilai resistivitas yang bervariasi.

Adapun nilai resistivitas rendah terlihat pada jarak -1000 – -400 m

dengan ketebalan antara 2–12 meter.

Adapun resistivitas menengah terlihat pada jarak -950 meter, -

900 – -800 meter, -725 – -700 meter, dan -600 – -490 meter,

dengan ketebalan antara 2–5 meter. Sedangkan nilai resistivitas

tinggi terlihat pada jarak -900 meter, -850 – -790 meter, -700 meter

47

dan -550 – -500 meter dengan ketebalan antara 2–6 meter.

4.2 Korelasi Data Bor

Ilmu geologi dan geofisika pada pertambangan digunakan

untuk tahap awal dalam eksplorasi. Dalam hal ini digunakan untuk

memperkirakan atau menduga potensi kandungan mineral pada

suatu daerah. Sehingga perlu dilakukan pemboran untuk

pembuktian perkiraan tersebut.

Pemboran merupakan pembuktian secara nyata dengan

melakukan pengambilan sampel (sampling) di bawah permukaan

bumi. Pemboran dilakukan dengan alat bor dalam rangka

pembuktian bawah permukaan. Dalam hal ini, pemboran dilakukan

dalam rangka menjawab dari dugaan sudut pandang geologi dan

geofisika.

Adapun perekomendasian titik bor ini dilakukan oleh sudut

pandang geologist dan geophysicist. Geologist menganalisis dari

sudut pandang citra satelit untuk mengetahui pola paleochannel

atau sungai purba, serta mengetahui pola perlapisan dan singkapan

yang muncul di daerah penelitian.

Geophysicist menganalisis daerah penelitian dengan metode

geolistrik resistivitas. Metode geolistrik resistivitas merupakan

metode geofisika yang dilakukan dengan menginjeksi arus lalu

diterima kembali sehingga mengetahui perbedaan nilai

potensialnya. Dalam hal ini metode geolistrik resistivitas dapat

digunakan untuk mengetahui bawah permukaan bumi dengan

parameter resistivitas. Nilai resistivitas akan terlihat pada hasil

penampang sebagai gambaran bawah permukaan daerah penelitian.

Kombinasi data geologi dan data geofisika hanya perlapisan di

permukaan bumi serta penampang bawah permukaan yang

didasarkan dengan parameter geofisika. Sehingga diperlukan data

bor untuk mengetahui perlapisan bawah permukaan sebagai

korelasi data geofisika serta penunjang data geologi.

Pada penelitian ini dilakukan pemboran sebanyak 9 titik untuk

korelasi data resistivitas dengan perlapisan batuan di bawah

permukaan. 9 titik bor hanya tersebar di blok selatan, yaitu pada

lintasan F, G, dan H. Sedangkan pada blok utara tidak terdapat titik

bor seperti yang terlihat pada Gambar 4.15.

48

Gambar 4.15 Peta pengukuran geofisika dan bor.

Pada lintasan F terdapat 4 bor, yaitu bor F10, bor F11, bor

F12A, dan bor F12. Adapun pada lintasan G terdapat 3 bor, yaitu

bor G10, bor G11, dan bor G12. Sedangkan pada lintasan H

terdapat 2 bor, yaitu bor H11 dan bor H12. Bor-bor tersebut

diproyeksikan ke dalam lintasan geofisika sehingga dapat

dikorelasikan antara data geofisika dan data bor.

Adapun korelasi penampang geofisika terhadap data bor

digunakan rentang warna yang lebih variatif dan lebih kompleks.

Dalam hal ini dikarenakan untuk korelasi perlapisan data bor yang

variatif. Adapun rentang warna pada penampang nilai resistivitas

dapat dilihat pada Gambar 4.16.

Gambar 4.16 Rentang warna nilai resistivitas korelasi bor.

Pada Gambar 4.16 terlihat rentang warna nilai resistivitas

digunakan untuk korelasi data bor. Adapun pada nilai 0–400 ohm.m

ditunjukkan dengan warna biru tua, nilai 401–800 ohm.m berwarna

biru, nilai 801–1150 ohm.m ditunjukkan dengan warna biru muda,

49

nilai 1151–1250 ohm.m berwarna biru muda, nilai 1251–1750

ohm.m ditunjukkan dengan warna cyan, nilai 1751–2100 ohm.m

ditunjukkan warna kuning, nilai 2101–2600 ohm.m berwarna

oranye, dan nilai 2601–3000 ohm.m ditunjukkan warna merah.

Lintasan F

Pada lintasan F terdapat 4 titik bor yang dapat dilihat pada

Gambar 4.17.

Gambar 4.17 Korelasi geofisika dan bor lintasan F.

50

Pada Gambar 4.17 terlihat korelasi penampang geofisika dan

bor lintasan F. Adapun pada bor F10 terlihat pada kedalaman 0–1

meter merupakan perlapisan soil yang mana ditunjukkan dengan

warna kuning, kedalaman 1–4 meter merupakan gravel yang mana

ditunjukkan dengan warna kuning, kedalaman 4–6 meter

merupakan sand (pasir) yang mana ditunjukkan dengan warna cyan,

kedalaman 6–10 meter merupakan gravel yang mana ditunjukkan

dengan warna biru muda, dan kedalaman 10–10.5 meter merupakan

sand yang mana ditunjukkan dengan warna biru tua.

Adapun pada bor F11 terlihat pada kedalaman 0–2 meter

merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna cyan,

kedalaman 2–5 meter merupakan gravel yang mana ditunjukkan

dengan warna cyan, dan kedalaman 5–7 meter merupakan gravel

clay kuning.

Adapun pada bor F12A terlihat pada kedalaman 0–1 meter

merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna biru muda,

kedalaman 1–4.56 meter merupakan gravel yang mana ditunjukkan

dengan warna biru muda, kedalaman 4.56–6.35 meter merupakan

gravel clay yang mana ditunjukkan dengan warna biru muda, dan

kedalaman 6.35–7.45 meter merupakan gravel yang mana

ditunjukkan dengan warna cyan.

Adapun pada bor F12 terlihat pada kedalaman 0–1 meter

merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna oranye, dan

kedalaman 1–4.75 meter merupakan gravel clay yang mana

ditunjukkan dengan warna kuning. Pada data bor lintasan F terlihat

perlapisan yang variatif perselingan antara sand, gravel, dan gravel

clay. Dalam hal ini, perlapisan sand dan gravel ditunjukkan dengan

warna biru yang cenderung memiliki nilai resistivitas rendah.

Sedangkan pada perlapisan gravel yang terdapat kandungan clay

ditunjukkan oleh warna kuning yang mana cenderung memiliki

nilai resistivitas menengah.

Lintasan G

Pada lintasan G terdapat 3 titik bor yang dapat dilihat pada

Gambar 4.18.

51

Gambar 4.18 Korelasi geofisika dan bor lintasan G.

Pada Gambar 4.18 terlihat korelasi penampang geofisika dan

bor pada lintasan G. Adapun pada bor G10 terlihat pada kedalaman

0–2 meter merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna

kuning, kedalaman 2–7 meter merupakan gravel yang mana

ditunjukkan dengan warna biru muda, dan kedalaman 7–10.65

meter merupakan sand gravel yang mana ditunjukkan dengan warna

biru tua.

52

Adapun pada bor G11 terlihat pada kedalaman 0–3.75 meter

merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna biru muda,

kedalaman 3.75–8.75 meter merupakan gravel yang mana

ditunjukkan dengan warna biru tua, dan kedalaman 8.75–10.85

meter merupakan gravel clay yang mana ditunjukkan dengan warna

biru tua.

Adapun pada bor G12 terlihat pada kedalaman 0–3 meter

merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna biru muda,

kedalaman 3–5.75 meter merupakan gravel yang mana ditunjukkan

dengan warna biru muda, dan kedalaman 5.75–6.75 meter

merupakan silt karbonan yang mana ditunjukkan dengan warna biru

muda.

Silt karbonan merupakan lapisan ukuran butir lempung

berwanra abu-abu gelap kaya akan mineral karbon. Keterdapatan

silt karbonan pada data bor linntasan G dan cenderung hanya

kemunculan tunggal diakibatkan oleh titik bor G12 cenderung pada

lembah dan menembus batas pada formasi Krajan. Keberadaan silt

karbonan tidak menjadi acuan untuk penampang geofisika yang

lainnya. Dalam hal ini dikarenakan penampang geofisika lainnya

cenderung dilakukan pada elevasi yang tinggi.

Pada bor lintasan G terdapat perlapisan sand gravel, gravel,

dan gravel clay. Dalam hal ini sand gravel dan gravel ditunjukkan

oleh warna biru yang cenderung memiliki nilai resistivitas rendah.

Adapun perlapisan gravel clay pada bor G11 ditunjukkan oleh

warna biru muda yang cenderung memiliki nilai resistivitas rendah.

Rendahnya nilai resistivitas tersebut dapat dipengaruhi kandungan

gravel yang cenderung lebih banyak daripada kandungan clay.

Lintasan H

Pada lintasan H terdapat 2 titik bor yang dapat dilihat pada

Gambar 4.19.

53

Gambar 4.19 Korelasi geofisika dan bor lintasan H.

Pada Gambar 4.19 terlihat korelasi penampang geofisika dan

bor lintasan H. Adapun pada bor H11 terlihat pada kedalaman 0–5.5

meter merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna biru

tua, dan kedalaman 5.5–7 meter merupakan sand yang mana

ditunjukkan dengan warna biru tua.

Adapun pada bor H12 terlihat pada kedalaman 0–1 meter

merupakan soil yang mana ditunjukkan dengan warna kuning,

kedalaman 1–3 meter merupakan sand gravel yang mana

54

ditunjukkan dengan warna kuning, kedalaman 3–4 meter

merupakan sand yang mana ditunjukkan dengan warna cyan,

kedalaman 4.79–6.81 meter merupakan clay yang mana

ditunjukkan dengan warna biru muda, dan kedalaman 6.81–12

meter merupakan gravel yang mana ditunjukkan dengan warna biru

tua.

Dari hasil data bor yang dikorelasikan dengan data geofisika,

pada perlapisan soil ditunjukkan dengan warna sangat bervariasi.

Dalam hal ini, perlapisan soil menunjukkan tidak konsisten yaitu

antara warna biru tua hingga oranye. Namun didominasi pada

warna biru muda dan kuning. Variasi warna yang ditunjukkan soil

dipengaruhi oleh kondisi permukaan dan kandungan air yang

tersimpan pada soil tersebut.

Soil merupakan lapisan lapuk yang kaya akan pori-pori

sehingga mudah untuk menyimpan air. Warna yang cenderung biru

(nilai resistivitas rendah) menunjukkan soil yang kaya akan air.

Sedangkan soil yang ditunjukkan oleh warna kuning (nilai

resistivitas menengah) cenderung memiliki kandungan air yang

sedikit. Dalam hal ini terbukti pada bor G12 permukaan pada saat

pengukuran geofisika cenderung basah, sehingga nilai resistivitas

yang didapatkan cenderung rendah.

Adapun pada perlapisan gravel ditunjukkan dengan warna biru

tua, biru muda, dan cyan. Namun gravel cenderung didominasi

dengan warna biru muda dan cyan. Dalam hal ini gravel cenderung

bernilai resistivitas rendah yang mana banyak terdapat kandungan

pori-pori sebagai tempat penyimpanan air.

Pada perlapisan sand (pasir) ditunjukkan dengan warna biru

tua dan cyan. Namun, sand tersebut didominasi dengan warna biru

tua. Dalam hal ini sesuai dengan kondisi pasir yang memiliki

porositas dan permeabilitas sehingga mudah untuk menyimpan air.

Adapun sand yang ditunjukkan dengan warna cyan dimungkinkan

dengan air yang terkandung cenderung sedikit.

Adapun pada gravel clay atau sand clay ditunjukkan dengan

warna kuning dan oranye dengan nilai resistivitas yang cenderung

menengah. Dalam hal ini, kandungan clay yang terdapat pada

gravel atau sand mempengaruhi pada porositas perlapisan tersebut

sehingga memperkecil kandungan air.

Pada perlapisan clay hanya ditunjukkan pada bor H12 dengan

warna biru muda. Hal ini dimungkinkan dikaernakan oleh

perlapisan yang berada di atas dan dibawahnya, yaitu berwarna

55

cyan dan biru tua. Sehingga dipengaruhi oleh degradasi interpolasi

warna. Clay yang cenderung memiliki permeabilitas yang rendah

akan menyebabkan nilai resistivitas yang lebih tinggi dibandingkan

dengan yang lainnya. Sehingga warna yang ditunjukkan oleh clay

yitu merah (nilai resistivitas tinggi).

4.3 Interpretasi Hasil

Pembentukan emas sekunder pada endapan aluvial dimulai

dari proses pelapukan batuan yang mengandung emas primer,

kemudian tererosi dan tertransportasi oleh air serta terakumulasi

pada tempat-tempat yang lebih rendah dari batuan induknya.

Adapun indikasi adanya potensi emas pada endapan aluvial ini

terdapat pendulangan emas oleh penduduk lokal yang biasanya

dilakukan di sungai seperti yang terlihat pada Gambar 4.20.

Gambar 4.20 Endapan aluvial (dimodifikasi dari Noor, 2009).

Indikasi geologi kuarter berdasarkan emas sekunder di wilayah

tersebut dan dapat dilihat adanya paleochannel atau sungai purba

sebagai tempat terakumulasinya emas sekunder. Keterdapatan emas

sekunder pada endapan aluvial sangat erat kaitannya dengan

material pembawa emas tersebut. Hal ini dicirikan dengan adanya

56

emas yang terdapat pada gravel dan pasir kasar.

Secara garis besar, endapan aluvial yang mana media

transportasinya berupa air akan menyusun endapan dari berat jenis

yang lebih besar dengan diikuti berat jenis yang kecil. Dalam hal

ini, yang terendapkan terlebih dahulu gravel, pasir kasar dan halus,

serta diikuti dengan adanya endapan lempung (clay) seperti yang

terlihat pada Gambar 4.21.

Gambar 4.21 Kenampakan batuan di daerah bekas tambang.

Pada Gambar 4.21 terlihat kenampakan batuan di daerah

tambang yang terdiri dari gravel, sand, sand clay, dan clay. Garis

putus-putus berwana hitam merupakan batas perlapisan antara

gravel-sand clay dan sand clay-gravel clay. Pada area tersebut

bekas digali menggunakan alat berat sehingga terlihat pada tebing-

tebing di sekitar bekas tambang.

Sungai akan mengendapkan sedimen baik berupa endapan

point bar atau endapan gosong pasir sungai. Sedimen dapat dibawa

sungai ke laut. Sebagian dapat diendapkan di muara sungai sebagai

endapan delta, maupun endapan paparan pantai atau endapan laut

dalam. Endapan aluvial merupakan endapan dengan media

transportasinya berupa air yang biasanya terjadi di sungai.

Dalam mengidentifikasi keterdapatan potensi emas sekunder

57

yang mana cenderung mencari pasir kasar dan gravel, diperlukan

data geofisika. Dalam hal ini, terlebih lagi metode geofisika

geolistrik resistivitas yang memiliki parameter nilai resistivitas

batuan. Nilai resistivitas batuan ini yang akan merepresentasikan

target dari keterdapatan emas sekunder.

Material hasil pelapukan baik secara kimia mapun fisika,

dibawa oleh media pembawa sedimen, yaitu air, angin maupun

karena gravitasi. Dimensi butiran material berkisar dari ukuran

lempung melayang maupun mengapung pada media pembawa.

Tempat pengendapan material tersebut bisa dekat dengan

sumbernya, misalnya didasar tekuk lereng, di sepanjang sungai, di

muara sungai maupun di dasar laut.

Lempung atau clay merupakan butiran yang berukuran kurang

dari 1/256 mm. Lempung adalah mineral sekunder yang banyak

terdapat dalam tanah. Lempung terbentuk dari pelapukan berbagai

material. Proses yang bekerja adalah perubahan-perubahan fisika

dan kimia atau dekomposisi rekristalisasi.

Pasir atau sand merupakan batuan dengan ukuran butir 1/16–2

mm. Sedangkan menurut mineral penyusunnya, terdapat beberapa

jenis batu pasir antara lain: batu pasir kuarsa, batu pasir arkose, dan

batu pasir lithik (wacke). Batu pasir kuarsa merupakan batu pasir

dengan komponen utama kuarsa, sedangkan batu pasir arkose

adalah batu pasir dengan komponen utama feldspar, dan batu pasir

lithik merupakan batu pasir dengan komponen utama fragmen

batuan.

Gravel merupakan batuan sedimen dengan ukuran butir lebih

dari 2 mm dengan komposisi batuan yang berupa fragmen

membundar dan juga menyudut. Dalam hal ini, gravel juga

termasuk dalam batuan konglomerat dan breksi. Namun, di daerah

penelitian ini gravel belum terkompaksi dikarenakan umur

perlapisan yang cenderung muda.

Adapun berdasarkan korelasi nilai resistivitas dengan data bor

didapatkan pembagian nilai resistivitas 0–800 ohm.m merupakan

perlapisan sand, nilai 801–1600 ohm.m merupakan gravel, nilai

1601–2600 ohm.m merupakan perlapisan sand-gravel clay, dan

nilai 2601–3000 ohm.m merupakan clay seperti yang terlihat pada

Gambar 4.22.

Resistivitas (ohm.m)

58

Gambar 4.22 Pembagian nilai resistivitas berdasarkan perlapisan

batuan.

Pada kenampakan di lapangan dan informasi dari warga lokal

bahwa keterdapatan emas berada pada perlapisan pasir dan gravel.

Adapun pada pasir-gravel clay cenderung sangat sedikit terdapat

emas, bahkan menunjukkan ketiadaan kandungan emas. Sedangkan

pada lapisan clay tidak terdapat kandungan emas.

Keterdapatan emas pada lapangan “Mandeh” ini menunjukkan

keterdapatan emas cenderung pada perlapisan pasir dan gravel.

Dalam hal ini diakibatkan emas primer yang telah tererosi

mengalami transportasi melalui sungai yang cenderung memiliki

arus deras. Sehingga, pada arus yang tenang tidak dapat

memindahkan mineral emas.

Menurut Roseblum dan Leo (2000), mineral emas termasuk

mineral berat. Sehingga, diperlukan arus air yang deras untuk dapat

memindahkan mineral emas tersebut. Transportasi mineral emas

bersamaan dengan material-material lainnya dan sering bersamaan

dengan pasir dan gravel. Seiring berjalannya waktu waterial pasir,

gravel, dan emas akan terendapkan kembali.

Adapun pada arus tenang cenderung mengendapkan material

ringan. Dalam hal ini, contoh dari material ringan tersebut yaitu

clay. Ketiadaan emas pada lapisan clay dipengaruhi oleh perbedaan

arus pada proses pengendapan. Pengendapan pada sungai cederung

terjadi secara fluktuatif (arus deras berseling arus tenang). Sehingga

sering terjadi perselingan lapisan antara pasir, gravel, dan clay.

Pada lapangan “Mandeh” yang terlihat pada Gambar 4.21

terjadi perselingan antara gravel, sand clay, dan gravel clay. Dalam

hal ini menunjukkan arus yang mempengaruhi proses pengendapan

cenderung fluktuatif. Arus yang fluktuatif dapat disebabkan oleh

perselingan volume air sungai yang sedikit dan banyak.

Adapun pada penampang blok selatan terlihat pada Gambar

4.23.

59

Gambar 4.23 Penampang kemenerusan blok geofisika selatan.

60

Pada Gambar 4.23 yang mana terlihat kemenerusan lapisan

pada penampang blok selatan. Penampang blok tersebut merupakan

penampang batuan bawah permukaan. Dalam hal ini, terlihat

perlapisan sand, gravel, gravel clay, sand clay, dan clay. Adapun

lapisan sand, gravel, dan gravel clay terlihat pada semua lintasan.

Lapisan-lapisan tersebut banyak muncul pada lintasan H dan I,

tetapi cenderung sedikit pada lintasan F, G, dan J. Adapun sand

clay dan clay muncul sedikit pada semua lintasan.

Kemenerusan lapisan yang cenderung terkandung emas, yaitu

sand, gravel, dan gravel clay ditunjukan dengan garis biru.

Sedangkan perlapisan sebagai batas ketiadaan emas, yaitu sand clay

dan clay ditunjukkan dengan garis merah. Pada blok selatan

didominasi oleh gravel. Dalam hal ini dimungkinkan terdapat aliran

sungai purba. Namun, keterdapatan sand clay dan clay yang muncul

di beberapa titik yang tidak merata menunjukan bagian dari

bantaran sungai purba.

Keterdapatan lapisan sand, gravel, dan clay pada blok selatan

memiliki elevasi yang bervariatif mulai dari 120 meter hingga 220

meter. Dalam hal ini, variasi elevasi disebabkan oleh permukaan

yang masih dominan oleh perkebunan sawit. Adapun variasi elevasi

ini dibutuhkan untuk identifikasi awal dalam mengetahui perlapisan

bawah permukaan bumi.

Penarikan garis dan area kemenerusan perlapisan penampang

didasarkan pada kemungkinan keterdapatan perlapisan yang

mengandung dan tidak mengandung emas. Adapun pada area yang

diberi tanda warna biru, tetapi terdapat perlapisan sand clay atau

clay. Hal ini disebabkan penarikan area kemenerusan dilakukan

secara regional atau umum. Selain itu, penarikan garis kemenerusan

juga didasarkan pada pola persebaran perlapisan secara horizontal

hasil dari ekstraksi proses gridding 3 dimensi. Adapun secara

horizontal dapat dilihat pada Gambar 4.24.

61

Gambar 4.24 Peta persebaran batuan blok selatan elevasi 140–195

meter.

Pada Gambar 4.24 terlihat penyebaran lapisan batuan pada

blok selatan pada elevasi 140–195 meter dengan jarak antar elevasi

sebesar 5 meter. Kemenerusan lapisan pada blok selatan cenderung

konstan. Dalam hal ini terlihat kemenerusan lapisan gravel yang

konstan secara vertikal. Untuk mempermudah dalam analisa dapat

dilihat pada Gambar 4.25.

62

Gambar 4.25 Peta persebaran batuan blok selatan elevasi 165

meter.

Pada Gambar 4.25 terlihat penyebaran blok selatan secara

horizontal pada elevasi 165 meter. Pada Gambar tersebut terlihat

kemenerusan gravel dari arah barat laut menuju ke arah selatan dan

barat. Dalam hal ini dimungkinkan kemenerusan gravel tersebut

merupakan aliran utama sungai purba. Perlapisan gravel tersebut

diendapkan dengan arus yang cenderung besar.

Sedangkan pada sand clay dan clay terlihat pada sisi timur dan

timur laut. Dalam hal ini tersebut merupakan bantaran sungai yang

mana pengendapannya cenderung pada lingkungan arus air yang

tenang. Pengendapan tersebut dimungkinkan terjadi pada area flood

plain yang mana terjadi pengendapan pada saat volume air meluap.

Adapun pada blok utara terlihat pada Gambar 4.26.

63

Gambar 4.26 Penampang kemenerusan blok geofisika utara.

Pada Gambar 4.26 terlihat blok geofisika utara yang mana

terlihat perlapisan sand, gravel, gravel clay, dan clay. Adapun

lapisan sand, gravel, dan gravel clay terlihat dominan di semua

lintasan. Sedangkan beberapa sand clay dan clay juga terlihat pada

beberapa titik di lintasan tersebut.

64

Kemenerusan lapisan yang cenderung terkandung emas, yaitu

sand, gravel, dan gravel clay yang ditunjukan dengan garis biru.

Sedangkan pada kemenerusan lapisan sand clay dan clay ditunjukan

dengan garis merah.pada perlapisan yang ditunjukan oleh garis

warna biru terlihat perlapisan sand yang tebal. Adapun secara

horizontal dapat Gambar 4.27.

Gambar 4.27 Peta persebaran batuan blok utara elevasi 95–

145 meter.

Pada Gambar 4.27 terlihat penyebaran perlapisan secara

horizontal. Dalam hal ini dilakukan untuk mengetahui pola

penyebaran lapisan yang didasarkan pada elevasi. Adapun pada

blok utara terlihat penyebaran dari elevasi 90 meter hingga 145

meter dengan jarak antar elevasi 5 meter. Untuk mempermudah

65

analisis dapat dilihat pada Gambar 4.28.

Gambar 4.28 Peta persebaran batuan blok utara elevasi 130

meter.

Pada Gambar 4.28 terlihat pola penyebaran pada elevasi 130

meter. Pada Gambar tersebut terlihat penyebaran sand dan gravel

dari arah barat daya hingga ke timur laut. Dalam hal ini pada daerah

tersebut merupakan aliran sungai purba. Sedangkan daerah sand

clay dan clay merupakan bantaran sungai. Sand dan gravel

diendapkan sebagai aliran yang cendrung besar. Dalam hal ini juga

terlihat lebar sungai purba yang lebar, yaitu 600 meter.

Pada area regional daerah penelitian, terdapat sungai dengan

lebar antara 500–1000 meter. Lebar sungai tersebut terjadi pada saat

ini. Adapun pada penelitian ini ditemukan sungai purba dengan

66

lebar sekitar 600 meter, yang mana dimungkinkan sungai aktif yang

terjadi pada masa silam. Terlebih lagi, pada blok utara terdapat

sungai kecil yang mana diasumsikan sebagai bekas sungai yang

telah mengering.

4.4 Rekomendasi Eksplorasi Lanjut

Emas pada endapan aluvial (emas sekunder) merupakan hasil

erosi dari emas primer yang kemudian diendapkan di lembah atau

sungai di dalam sedimen Resen-Kuarter. Dalam hal ini, emas

sekunder cenderung berada di sedimen lepas seperti sand dan

gravel. Adapun persebaran batuan di daerah penelitian dapat dilihat

pada Gambar 4.29.

Gambar 4.29 Peta persebaran batuan.

Pada Gambar 4.29 terlihat peta persebaran batuan secara

horizontal pada blok selatan dan blok utara daerah penelitian.

Adapun pada blok selatan digunakan persebaran lapisan batuan

pada elevasi 165 meter, sedangkan pada blok utara pada elevasi 130

meter. Elevasi tersebut digunakan karena merupakan elevasi yang

paling lengkap serta mewakili pada hasil resistivitas.

Pada blok utara terlihat kemenerusan pasir dan gravel sebagai

aliran utama sungai purba. Dalam hal ini didukung dengan adanya

67

sungai yang mengalir di atas endapan aluvial. Adapun potensi pada

blok utara sebesar 555000 m2 dengan kedalaman berkisar 12 meter.

Pada blok selatan terlihat kemenerusan gravel sebagai aliran

sungai purba. Namun aliran tersebut tidak sebesar pada blok utara.

Hal ini dikarenakan terdapat gravel clay sebagai pola aliran yang

cepat berubah dari arus deras dan arus tenang. Adapun potensi pada

blok utara sebesar 455000 m2 dengan kedalaman berkisar 12 meter.

Rekomendasi eksplorasi lanjutan dapat dilihat pada Gambar 4.30.

Gambar 4.30 Peta rekomendasi eksplorasi lanjutan.

Pada Gambar 4.30 terlihat peta rekomendasi eksplorasi

lanjutan yang mana ditunjukkan dengan garis hijau putus-putus.

Adapun pada penelitian ini direkomendasikan 2 area, yaitu

rekomendasi 1 dan rekomendasi 2.

Pada rekomendasi 1 terletak sebelah timur blok utara. Hal ini

dimungkinkan terdapat kemenerusan dari aliran utama hilir sungai

purba. Sehingga pada area rekomendasi 1 diperlukan untuk

eksplorasi lanjutan dikarenakan zona kemenerusan perlapisan sand

dan gravel yang mana kaya akan kandungan emas.

Adapun pada rekomendasi 2 terletak sebelah selatan blok

utara. Hal ini juga dimungkinkan terdapat kemenerusan dari aliran

utama hulu sungai purba. Terlebih lagi ditunjukan dengan

68

terdapatnya hulu sungai pada saat ini. Sehingga pada area

rekomendasi 2 diperlukan untuk eksplorasi lanjutan dikarenakan

zona kemenerusan dari sand dan gravel.

69

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan di lapangan

“Mandeh”, sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Nilai resistivitas yang didapatkan bervariasi, antara 0–3000

ohm.m. Adapun pembagiannya yaitu: nilai resistivitas rendah

antara 0–1000 ohm.m, sedangkan nilai resistivitas menengah

antara 1001–2000 ohm.m, serta nilai resistivitas 2001–3000

ohm.m termasuk nilai resistivitas tinggi. Hal ini didasarkan

dengan kenampakan daerah penelitian yang cenderung memiliki

nilai resistivitas yang rendah, sehingga rentang nilai resistivitas

yang rendah cenderung lebih besar dibandingkan yang lainnya.

2. Dari hasil data bor yang dikorelasikan dengan data geofisika,

pada perlapisan soil ditunjukkan dengan warna sangat

bervariasi. Namun didominasi pada warna biru muda dan

kuning yang termasuk rentang resistivitas rendah dan

menengah. Adapun pada sand ditunjukan dengan warna biru tua

sebagai rentang nilai resistivitas rendah. Perlapisan gravel

cenderung didominasi dengan warna biru muda dan cyan

sebagai nilai resistivitas rendah dan menengah. Gravel clay atau

sand clay ditunjukkan dengan warna kuning dan oranye dengan

nilai resistivitas yang cenderung menengah. Adapun clay

ditunjukkan oleh warna merah yang mana temasuk nilai

resistivitas tinggi.

3. Pada blok utara terdapat kemenerusan sand dan gravel dari arah

barat daya hingga ke timur laut sebagai aliran utama sungai

purba dengan lebar sungai 600 meter. Adapun pada blok selatan

terdapat kemenerusan gravel yang lebih kecil dari arah barat

laut menuju ke arah selatan dan barat dibandingkan blok utara

dan cenderung banyak terdapat kandungan sisipan clay pada

sand dan gravel.

4. Potensi pada penelitian ini sebesar 101 hektar dengan

kedalaman 12 meter. Adapun rekomendasi untuk eksplorasi

lanjutan, yaitu rekomendsi 1 dan rekomendasi 2. Rekomendasi

1 terletak di sebelah timur blok utara, sedangkan rekomendasi 2

terletak di sebelah seletan blok utara. Hal ini dikarenakan

terdapat kemenerusan dari aliran sungai utama purba.

70

5.2. Saran

Saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya

yaitu:

1. Diperlukan perbandingan dengan pengolahan data menggunakan

software lainnya.

2. Diperlukan target pengukuran metode geofisika geolistrtik

resistivitas yang lebih dalam serta jarak antar titik yang lebih

rapat.

71

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Said. 2009. Potensi dan Prospek Pengembangan

Pertambangan Rakyat di NAD. Bandung: PSDG

Chandra, Routa. 2011. Skripsi: Menentukan Daerah Prospek Biji

Besi Menggunakan Metode Geolistrik di daerah "C" dengan

Data Pendukung Geomagnet. Depok: Universitas Indonesia.

Dahlin, T. 1996. 2D Resistivity Surveying for Environmental and

Engineering Application. First Break, 14. 275-284.

Engler, Thomas W. 2012. Lecture Notes: Electrical Properties of

Rocks. PET 370, Spring 2012.

Faeyumi, Muhammad. 2012. Skripsi: Sebaran Potensi Epitermal di

Areal Eksploitasi PT Antam Tbk, Unit Geomin Kecamatan

nanggung, Kabupaten Bogor. Depok: Universitas Indonesia.

Hersir, Gylfi P. dan A. Bjӧrnsson. 1991. Geophysical Exploration for

Geothermal Resources. Principles and Applications. UNU-

GTP, Iceland, report 15. 94 pp.

Hersir, Gylfi P. dan K. Árnason. 2010. Resisitivity of Rocks.

Presented at Short Course V on Exploration for Geothermal

Resources.

HMGI. 2016. Buku Panduan Fieldtrip Geofisika: Identifikasi Bawah

Permukaan Manifestasi Panas Bumi Candi Umbul, Grabag,

Magelang, Jawa Tengah. Yogyakartya: HMGI Wilayah

Yogyakarta - Jawa Tengah.

Jaman, Agus P. 2016. Modul Pembelajaran Kelas Beta Metode

Geofisika untuk Pertambangan, PT Antam, Tbk. Jakarta.

Keller, G. V. dan F. C. Frischknecht. 1966. Electrical Methods in

Geophysical Prospecting. Amsterdam: Science Publishing

Company.

Layugan, Domingo B. 1981. Geoelectrical Sounding and its

Application in the Theistareykir High-Temperature Area,

NE-Iceland. Iceland.

Lindgren, W. 1993. Mineral Deposits. New York, McGraw-Hill, 930

pp.

Loke, M. H. 2000. Electrical Imaging Surveys for Environmental

and Engineering Studies. Malaysia: Course Note.

Loke, M. H. 2004. Tutorial: 2-D and 3-D electrical Imaging

Surveys. Malaysia: Course Note.

72

Nichols, Gary. 2009. Sedimentology and Stratigraphy. UK: Willey-

Blackwell.

Noor, Djauhari. 2009. Pengantar Geologi. Bogor: Universitas

Pakuan.

Roseblum, Sam dan G. W. Leo. 2000. Methods and Preliminary

Results of Heavy-Mineral Studies in Liberia. USGS: USA.

Santoso, Djoko. 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung:

Penerbit ITB.

Sappie, Benyamin. dkk. 2014. Catatan Kuliah: Geologi Fisik.

Bandung: Laboratorium Geologi Dinamis ITB.

Stummer, Peter. 2003. New delopments in Electrical Resistivity

Imaging. Austria: Swiss Federal Institute of Technology

Zurich.

Sukandarrumidi. 2007. Geologi Mineral Logam. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Sulaeman, Cecep. 2010. Buletin Vulkanologi dan Bencana Geologi:

Aplikasi Inversi Non Linier dengan Pendekatan Linier untuk

Menentukan Hiposenter (Contoh Kasus: di G. Kelud).

PVMBG: Bandung.

Suprapto, Sabtanto J. 2008. Tinjauan tentang Cebakan Emas Aluvial

di Indonesia dan Potensi Pengembangan. Bandung: PSDG.

Syamsuddin. 2007. Tesis: Penentuan Struktur Bawah Permukaan

Bumi Dangkal dengan Menggunakan Metode Geolistrik

Tahanan Jenis 2D. Bandung: ITB.

Telford, W. M., L. P. Geldart, dan R. E. Sheriff. 1990. Applied

Geophysics: Second Edition. United Kingdom: Cambridge

University Press.

White, N. C. dan J. W. Hedenquist. 1996. Epithermal Gold Deposits:

Styles, Characteristics, and Exploration. Society of

Resource Geology, Tokyo, Japan, 16 pp.

Google.image. m.energytoday.com. Diakses pada tanggal 18

november 2016.