ibadah sholat dan implikasinya bagi an tingkah laku positif

Upload: ajeungcute27410

Post on 07-Jul-2015

553 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IBADAH SHALAT DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN TINGKAH LAKU POSITIF : PENDEKATAN SUFISTIK I. PENDAHULUAN Dunia modern dengan mobilitas yang cukup tinggi telah mengukir kisah sukses secara materi. Namun, agaknya kamakmuran secara materi itu tidak cukup membuat makmur kehidupan spiritualnya, ini akibat dari keterlepasan dunia modern terhadap nilai-nilai etika, moral, tradisi, dan agama yang telah dianggap usang. Manusia modern telah kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung sangkar materi. Modernisme gagal karena ia telah mengabaikan nilai-nilai spiritual

transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya manusia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Mereka goyah dan pada akhirnya akan runtuh. Manusia dengan seluk beluk dan kompleksnya kebutuhan hidup ini sering menemui berbagai kendala dan persoalan. Karena memang hidup ini penuh dengan kegembiraan, kesenangan, gemerlapan yang fatamorgana yang semuanya akan menipu manusia itu sendiri, bahkan akan menjadikan traubeling dalam kehidupannya tatkala manusia tidak mampu menerima atau mengaturnya dengan baik. Persoalan yang manusia hadapi dari waktu ke waktu tampaknya makin lama makin kompleks, baik persoalan yang berhubungan dengan pribadinya, keluarganya, pekerjaan, dan masalah kehidupan secara umum. Kompleksitas masalah itu telah mengarahkan sebagian dari manusia mengalami konflik dan hambatan dalam memenuhi apa yang manusia harapkan, bahkan sampai dapat menimbulkan tekanan yang sangat mengganggu. Kompleksitas masalah demikian inilah yang diantaranya menuntut adanya media yang dapat membantu mengatasi segenap permasalahan kehidupan manusia sehari-hari.11

Latipun, Psikologi Konseling (Malang: UMM Press, 2001), hlm. 3 1

Shalat merupakan tiang agama, demikian Islam menempatkannnya sebagai keyakinan. Sebagai Rukun Islam yang kedua, ia wajib hukumnya untuk dilaksanakan, tidak boleh tidak, dengan segala ketentuan yang mengaturnya, juga sebagai instrumen komunikasi dan pendekatan diri kita dengan Sang Khalik, demikian ditegaskan dalam doktrin Islam. Dalam wacana keislaman, sejarah perintah Shalat (Isro miroj) diawali dengan peristiwa yang menyedihkan saat beliau Nabi Muhammad kehilangan para pendukung setia yakni paman dan istrinya, maka nabi mendapat bonus perjalanan untuk menghibur hamban pilihn-Nya yang sedang bersedih, peristiwa itu nyata menunjukkan kebesaran dan kesucian Allah SWT atas segala mahkluk-Nya. Perintah Shalat jelas tertulis dalam Al-Quran dengan perkataan akimus Shalat wa atus zakata2 memberi gambaran bahwa hubungan manusia dengan pencipta dengan ritual ibadah Shalat dan hubungan antarsesama manusia diimplementasikan dalam wujud memberikan zakat mal kepada sesama manusia. Allah SWT hendak menjadikan manusia yang kamil dengan kesempurnaanya melalu konsep khablum minallah wa khablum minannaasi . Perintah Shalat adalah sutua perintah yang luar biasa dikarenakan beberapa perintah dan larangan kebanyakkan melalui peratara, namun perintah Shalat langsung diterima oleh Beliau Nabi Agung Muhammad SAW dari Allah SWT di tempat yang belum pernah makhluk yang lain menjumpainya. Perintah Shalat mampu juga memberi hikmah yang besar yaitu dalam surat alAnkabut : 45 disebutkan bahwa Shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, ini memberi isyarat bahwa bila Shalat dikerjakan dengan segala usaha dan niat yang kuat serta khusyu dan ikhlas, tentu akan melahirkan pengaruh yang luar biasa pada diri pribadi peShalat. Titik temu hubungan sang kholik dengan makhluknya (hubungan vertical/ hablumminallah) dan antara makhluk dengan sesama makhluk (hubangan horizontal/ hablumminnanaasi) menyerasikan prilaku dan melahirkan manusia kamil (manusia sempurna). Allah SWT tidak hanya memberi konsep namun juga memberi contoh suri tauladan yang luar biasa, yakni Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk yang luarR.H.A. Soenarjo, SH, 1984, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran. 16.2

2

biasa prilaku maupun pribadinya, serta mampu memberi gebrakan culture (budaya) dari jahiliyah menuju madaniyah dengan waktu dakwah yang amat singkat (bila dibanding dengan nabi-nabilainnya) yakni 23 tahun saja. Maka penulis tertarik akan surat al-Ankabut ayat 45 yang menjelaskan bahwa ibadah Shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, lalu apakah demikian adanya ? apa arti Shalat ? orang banyak melakukan Shalat namun masih saja berbuat kemungkaran dan perbuatan tercela (keji) lainnya? Apakah ada yang salah dengan Shalatnya ? Apakah Shalatnya kurang khusyu, kurang ikhlas ? Mampukah shalat membina pribadi dan sosial masyarakat? dan bagaimana Shalat mampu menyehatkan jiwa dan berimpelmentasi pada prilaku seseorang ? dan bagaimanapula seorang sufi memandang penyempurnaan shalat dengan pengelolaan hati ? Inilah permasalahan yang hendak kita bahas dalam makalah ini.

II. PEMBAHASAN A. Pengertian Shalat 1. Definisi yang menggambarkan pengertian Shalat secara bahasa dan syara Perkataan Shalat dalam pengertian bahasa Arab ialah Doa memohon kebajikan dan pujian. Maka Shalat Allah SWT kepada Nabi-Nya, ialah pujian Allah SWT kepada Nabi-Nya. Sebelum Islam, orang Arab memakai kata shalat degan arti demikian dan arti itu terdapat juga pada beberapa tempat di dalam Al-Quran. Firman Allah SWT.

Dan bershalatlah atas mereka (berdoalah untuk mereka) karena sesungguhnya Shalatmu (doamu) itu, menenangkan dan menentramkan mereka. (Q.S.At-Taubah, 103)3

3

Ibid, 298.

3

Artinya : bahwasnya Allah dan para Malaikat bersholawt atas nabi (memuji akan Nabi). (Q.S. Al-Ahzab : 56).4

Demikianlah Allah dan Para malaikatnya bersholawat atas Nabi (memuji akan Nabi) (Q.S. Al-Ahzab 56). Demikianlah makna Shalat dalam pengertian bahasa Arab. Adapun definisi Shalat yang dikehendaki syara sebagai nama bagi ibadah yang menjadi tiang agama Islam, maka para fuqohaa (ahli fiqih) telah beristhilah menetapkan pengertian ini, yaitu :

Beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah, menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.5 Definisi para fuqoha ini sesunguhnya hanya mengenai rupa Shalat / bentuk Shalat saja, belum mengenai hakikat dan ruhnya. Jelasnya definisi yang diberikan fuqohaa adalah definisi yang menggambarkan Shalat yang dapat didengar dan dilihat. Bukan pada hakikat dan ruh/ jiwa Shalat itu sendiri. Maka untuk mengetahui definisi yang menerangkan hakikat Shalat dan jiwanya, berikut uraiannya : 2. Definisi yang menggambarkan hakikat Shalat Ahlul Haqieqah mendefiniskan Shalat dengan definisi yang melukiskan hakikat Shalat, yaitu :

. Berhadap hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepadanya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.64 5

Ibid, 678 Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1951, Pedoman Sholat, Jakarta : Bulan Bintang, 62. 6 Ibid, 63.

4

Dengan kata lain, boleh didefinisikan sebagai berikut :

: Hakikat Shalat, ialah : mendhohirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah, dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua-duanya.7 Karena itulah Shalat dikatakan doa, serta harus dimaklumi bahwa diantara persoalan yang jelas adalah mendhohirkan hajat kita kepada seseorang baik kita lahirkan itu dengan perbuatan, maupun kita lahirkan itu dengan keadaan- berarti kita mengharapkan mendapat sesuatu yang kita hajati, berarti kita memohon sesuatu nikmat, atau kita mengharapkan supaya terhindar dari sesuatu kesusahan dan kekurangan. 3. Definisi yang menggambarkan rusush Shalat (jiwa Shalat) Ahlu marifah telah menjelaskan ruhusShalat (jiwa Shalat) dengan definisi yang mengambarkan ruh Shalat yaitu :

. . Ruh Shalat adalah : Berharap kepada Alah SWT dengen sepenuhnya jiwa dengan segala Khusyu di hadapan-Nya dan berikhlas bagi-Nya serta hadir hati dalam berdzikir, berdoa dan memuji. Ringkasnya ruhus Shalat adalah : Menghadap keada Allah SWTT. Dengan khusyu, ikhlas, hadir hati. Baik dalam berdzikir, berdoa, maupun memuji. Inilah ruh / jiwa Shalat yang benar. Untuk mewujudkan hal itu disyariatkanlah Shalat. Bukannya disyariatkanlah Shalat karena bentuknya. Disyariatkan Shalat karena mengingat jiwa Shalat (ruhnya). Karena itulah maka rupa Shalat berubah-ubah, lain Nabi, lain pula bentuknya dalam Shalatnya, sedangkan ruh (jiwanya) tetap, tidak berubah-ubah. 4. Definisi yang melengkapi bentuk, hakikat dan jiwa Shalat dalam

7

Ibid.

5

Definisi / tarif yang meliputi bentuk dan hakikat Shalat adalah : berhadap hati (jiwa) kepada Allah SWT. Hadap yang mendatangkan takut, menumbuhkan rasa kebesaran-Nya dan kekuasannya dengan sepenuhnya khusyu dan ikhlas dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, dan disudai dengan salam. B. Dalil Wajib Mendirikan Shalat Firman Allah SWT

Dan dirikan olehmu akan Shalat berikan olehmu akan zakat dan rukulah kamu beserta orang-orang yang ruku (QS. Al-Baqorah : 43).

Dan dirikan olehmu akan Shalat, karena sesungguhnya Shalat itu menghalangi kita dari gashyaa (kejahatan) dan kemungkaran (pekerjaan yang buruk keji). (Q.S. Al-Ankabut : 45).8 Peliharalah baik-baik olehmu akan segala Shalat dan Shalat wustha (Shalat yang paling baik) dan berdiri tegaklah kamu untuk Allah SWT (hal keadaan kamu) kekal dalam khusyu (Q.S. Al-Baqorah : 238)

Maka apabila kamu telah jauh dari kesulitan, atau telah tenang tenteram dirikanlah Shalat, karena sesungguhnya Shalat itu fardhu yang telah diwaktuwaktukan atas segala orang yang beriman (Q.S An-Nisa: 103).9 Ayat-ayat Allah SWT ini memerintahkan kita para ummat mendirikan Shalat, menyuruh kita mengerjakan Shalat bersama-sama, berkaum-kaum, menyatakan bahwa Shalat itu menghalagi kita dari fashya dan mungkar, memerintahkan kita memelihara Shalat dengan cara yang aling sempurna, paling baik, menyuruh kita menegakkan Shalat di waktu-waktu yang telah ditentukan. C. Kedudukan khusuk Ikhlas, takut dan hadir hati di dalam Shalat8 9

R.H.A. Soenarjo, SH, Op. Cit. 635 Ibid., 138.

6

Sesudah kita mengetahui, bahwa jika Shalat itu, ialah Ikhlas dan khusuk : bahwa bahwa mendirikan Shalat ialah mewujudkan jiwa Shalat dan hakikatnya dalam rupa tubuh yang lahir, mka wajiblah kita mewujudkan Khusyuyang menjadi jiwa Shalat itu, sebagaimana wajiblah kita melaksanakan rupa Shalat yang lahir dengan sebaik-baiknya. Kedudukan Khusyu dan ikhlas dalm Shalat adalah setamsil kedudukan ruh (jiwa) dalam satu tubuh. Kita perlu menjelaksan pengertian Khusyu, ikhlas, takut dan hadir hati yang menjadi ruh Shalat dan menjadi sebab yang terpokok bagi diterima Shalat seseorang itu, 1) Apakah Khusyu itu ? a) Kata setengah ulama Khusyu ialah : memejamkan mata (penglihatan) dan merendahkan suara b) Kata Ali bin Abi Tholib RA. Khusyu ialah tiada berpaling ke kanan dan tiada berpaling ke kiri di dalam Shalat c) Kata Amru Ibn Dinar : Khusyu ialah : tenang dan bagus kelakuan d) Kata ibnu Sirin : Khusyu, ialah tiada mengangkat pandangan dari tempat sujud e) Kata Ibnu Jubair : Khusyu ialah tetap mengarahkan pikiran kepada Shalat hingga tiada mengetahui onag sebelah kanan dan sebelah kiri. f) Kata Atha : Khusyu ialah tiada permainan-permainan tangan, tiada memegang-megang badan dalam Shalat.10 Dengan mengumpulkan makna-makna tersebut ini, maka pengertian Khusyu ialah : Amalan badan, seperti tentang, amalan hati, sama dengan takut. Maka Khusyu ialah amalan hati , sutau keadaan (kelakuan) yang mempengaruhi jiwa, lahir bekasnya pada anggota, seperti tenang dan menundukkan diri. Bersabda Nabi Muhammad SAW

Sekiranya Khusyu hati seseorang, tentulah Khusyu segala anggotanya (H.R. Al-Hakim, At Turmudzy dari Abu Hurairah Al-Jamius Shogir, Jilid 2 hal. 108)10

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit, 74.

7

Jelasnya Khusyu ialah tunduk dan tawaduk serta ketenangan hati dan segala anggota kepala Allah SWT. Demikianlah pengertian Khusyu yang lengkap yang mengenai luar dan dalam. 2) Pengertian Ikhlas Kata Abdul Khosim Abdul Karim Al Qusyairy dalam risalahnya :

Ikhlas itu, ialah menentukan taat (ibadah) untuk Tuhan yang haq saja, membulatkan tujuan dalam beribadah kepada-Nya saja.11 Maksud Ikhlas adalah mengerjakan ibadah, semata-mata karena hendak mendekatkan diri kepada Allah semesta alam, bukan karena melahirkan thaat di hadapan umum; bukan karena mengharap puja dan sanjungan dan perhatian orang banyak. Ikhlas adalah membersihkan amal dalam beribadah dari perhatian umum. Kata Abu Ali Ad-Daqqaq :

, Ikhlas itu, ialah memelihara ibadah dari perhatian manusia. Dan benar itu adalah bersih hati dari mengikuti hawa nafsu Tegasnya orang yang mukhlis, tidak ada ria dalam mengerjakan ibadah. Dengan kata lain :

Ikhlas ialah : bersamaan perbuatan kita dalam dhahir dan dalam batin (Mengerjakan sesuatu di hadapan orang lain, sama dengan mengerjakannya kita tidak dihadapannya).12 3) Berlaku benar dalam beribadah Berlaku benar dalam beribadah, menurut kata Qusyairy, shalat merupakan tiang amal, bahkan sendi beribadah. Yang dimaksud benar11 12

Ibid. 75. Ibid, 76.

8

karena Allah dalam beribadah ialah : kebersamaan lahir dan batin. Dhahir karena Allah SWT, bathin juga karena Allah SWT. Orang yang benar beribadah karena Allah SWT ialah : orang yang tidak memperdulikan hilang pandangan manusia kepadanya. Untuk membersihkan jiwanya, dan tidak suka memperlihatkan usahanya kepada manusia dan tidak benci kepada orang lain yang mencacatnya; karena kalau ia benci kepada orang yang mengecam kesalahannya, berarti ia ingin senantiasa dipuji-puji. Maka orang yang benar beribadah karena Allah SWT mengutamakan ibadah. Inilah hakikat niat yang dimaksud hadits : segala amalan itu menurut niat ; yakni segala amalan itu menurut ikhlas dan benar maksud orang yang mengerjakaknnya. Tegasnya, menurut motivasi yang menggerakkan seseorang untuk mengerjakan amalan-amalan itu, apakah semata-mata karena Allah SWT, dan benar-benar karena-Nya. 4) Tarif takut akan Allah Takut akan Allah SWT dalam sholat ialah merasa benar-benar akan kekuasaan Allah dan akan kekuatannya dan ketembusan iradah-Nya 5) Tarif hadir hati ialah memusatkan segala pikiran kepada yang Hadir hati dalam sholat terus menerus

dikerjakan (sholat, tiada berpaling kepada yang selain-Nya). D. Implikasi Shalat pada pembinaan prilaku dan sosial Berpijak dari ayat-ayat A-Quran dan Hadits Nabi Muhammad, bahwa Shalat tidak ada prioritas untuk ditinggalkan oleh seorang mukallaf, dalam suasana dan keadaan bagaimanapun. Artinya selama akal masih normal. Memahami terhadap hikmah Shalat akan menjadi pendorong lahirnya kecintaan terhadap Shalat. Serta merasa berat dan gelisah bila Shalat tidak dapat dikerjakan secar baik, sekalipun dalam keadaan terpaksa. Adapun pengaruh Shalat akan diuraikan dari 2 aspek, yaitu : 1. Shalat dan pembinaan prilaku 9

a.

Shalat sebagai wujud tawadhu Orang yang mampu menegakkan Shalat, adalah orang yang punya

kesadaran tertinggi dalam hidup ini, baik ditunjau dari segala segi kehidupan. Dalam segi kehidupan bermula penciptaan manusia, Allah SWT menjelakan dalam al-quran bahwa manusia diciptakan dari saripati (berasal) dari tanah (Al-Mukminun, 12-16), bila direnungkan, manusia yang diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk ternyata hakikatnya bermula dari basis yang sama. Sehingga akan tetap punya sikap hormat dan tawadhu pada sesama dan kholiknya (penciptanya). b. Shalat sebagai wujud komunikasi antara makhluk dan kholik Orang mukmin yang menjalankan Shalat lima waktu sama halnya berdialog dengan tuhannya 5 kali sehari. Ini artinya komunikasi antara makhluk dan kholik sangat intim. Sebagaimana dijelaskan dalam AlQuran surat An-Biyaa ayat 25. Bahwa Allah SWT mengutus para rosul untuk menetapkan tiada tuhan selain Allah SWT dan diperintahkan untuk menyembah-Nya. c. Shalat merupakan arena zikir pada Allah SWT Seberapa kuat dzikir seseorang kepada Allah SWT, sebanding itu pula Allah SWT memperhatikan kepada hambanya, yang bahkan bisa lebih, dari itu kompensasinya manusia merasa tenang karenanya dengan berdzikir tenanglah hati. (Q.S. Ar-Radu : 28). d. Shalat merupakan pembinan disiplin waktu Waktu lebih mahal dari pada yang lainnya, karenanya ada dua hal kenikmatan tuhan yang banyak manusia melupakannya yakni umur panjang dan kesehatan. Orang yang lengah akan waktu akan mengalami kerugian yang tiada dapat ditebusnya. e. Shalat merupakan ketahanan mental Mental seseorang dapat diuji dengan perintah yang menjadi kewajiban dan larangan untuk meninggalkannya, maka manakala seseorang muslim diuji coba dengan berbagai cobaan dan masih tetap bisa menjalankan

10

perintah-Nya, dan tidak mudah putus asa dan berkeluh kesah. Maka ia memiliki ketahanan mental seorang yang beriman. f. Shalat merupakan arena bersyukur Bersyukur adalah pantulan kata hati yang penuh rasa terima kasih kepada Allah SWT Syukur yang terucap dari lisan dan ucapan beupa doadoa adalah sekumpulan ucapan suci dan berharga. Sebagaimana dalam Quran Surat Ibrahim ayat 24 tentang Alalh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, sebagaimana pohon yang baik menjulang tinggi, dan memberi buah pada setiap musim. g. Shalat mendidik berpikir panjang Bila dilihat secara lahiriyah orang Shalat layaknya gerakan dalam senam. Namun bila dikaji lebih jauh muslim yang berShalat tentulah berorientasi pada kehidupan masa yang akan datang, setelah ada kematian di dunia yang sesaat bila dibanding kehidupan di akhirat kelak, yang jauh lebih lama. Orientasi Shalat untuk kehidupan yang akan datang merujuk pada keterangan Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan bahwa amal baik manusia yang pertama kali diperhitungkan oleh Allah SWT adalah ibadah Shalat sebagai barometer (tolak ukur) bagi amal baik yang lainnya. Bila untuk Tuhannya ia baik, tentu baik pulalah bagi hamba-Nya, karena Allah selalu mengawasi setiap gerak langkah seorang muslim. h. Shalat menuntun persiapan hidup di akhirat Adalah satu kebodohan bila mementingkan kehidupan yang singkat (karena ada kematian) dan melalaikan kehidupan yang kekal, yang tiada akhir. Sedangkan kehidupan di akhirat sangatlah ditentukan oleh kepatuhan kepada Allah SWT saat manusia hidup di dunia. Sebagaiman dijelaskan kenikmatan di surga dan dekat dengan Allah SWT dalam surat Al-Waqiah ayat 11- 23. 13 2. Shalat dalam Pembinaan Sosial

13

Rifan, dalam makalah Sholat dan Rahasianya. Paskasarjana UNU Surakarta. 2010/2011.

11

Implikasi dari pelaksanaan ibadah Shalat adalah punya daya bimbingan positif dalam kehidupan sosial, hal ini terlihat dalam kepribadian orang yang selalu menjalankan ibadah Shalat secara khusyu dan ikhlas. Bukankah perintah Allah SWT untuk selalu mendirikan arti berdiri ada bentuk usaha yang sadar dan penuh kesadaran bukan menggunakan kata kerjakan, dan bila diteruskan ayat yang menjelaskan mendirikan Shalat selalu terkait dengan kata berilah zakat, hal ini menjelaskan bahwa ada nilai pembinaan sosial di antara sesama makhluk. Disamping hal tersebut dalam ibadah Shalat ada nilai-nilai lain yang perlu dicermati, seperti : a. Shalat mendidik persatuan umat Persatuan umat terlahir dari penghargaan satu sama lain, dengan dilandasi persamaan iman, sebagaimana dalam Quran yang menjelaskan tentang orang-orang berjalan dimuka bumi dengan rendah hati dan apabila ada orang jahat menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.(Qs. Al-Furqon : 3). b. Shalat sebagai wujud kesamaan martabat manusia Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa manusia harus memperhatikan dari asal mula manusia diciptakan dari keturunan yang tunggal. (QS. AlHujurat : 13). c. Shalat mendidik perdamaian Perdamian bersifat vertikal, dan horisontal. Perdamaian vertikal berarti sikap tawadhu dan rutin mengerjakan melahirkan kedamaian rohani. Ketegangan mental dapat ditiadakan. Sedangkan horisontal berarti perdamaian secara sosial bermasyarakat dengan lapang dada dan tenggang rasa, dan pemaaf. d. Shalat melahirkan masyarakat terhormat Masyarakat yang tersusun dari individu yang menegakkan Shalat melahirkan tata sosial yang ideal, sehingga melahirkan cita moral yang luhur. e. Shalat melahirkan masyarakat yang bertanggungjawab 12

Orang yang mendirikan Shalat memiliki wujud batin yang merasa diawasi oleh Allah SWT. Sehingga kumpulan individu membentuk masyarakat yang tinggi semangat bertanggungjawab, maka mudahlah membentuk suatu masyarakat yang bertanggungjawab.14 E. Shalat bagi kesehatan jiwa manusia dan hubungannya dengan Jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat, al-akhlul salim fi jismi salim prilaku yang baik tentu lahir dari jiwa-jiwa yang sehat bukan dari jiwa yang sakit, seperti kegelisahan, stress, pemarah, putus asa, dan sifat-sifat negatif yang mampu merusak jiwa dan jasmani manusia. Ilmu psikologi adalah ilmu yang membahas dan mengupas seluk beluk jiwa dan aktivitas rohaniyah manusia, maka bila ritual Shalat ditinjau dari ilmu psikologi maka yang tepat untuk ini adalah psikologi transpersonal. Shalat merupakan suatu aktivitas jiwa (soul) yang termasuk dalam kajian ilmu psikologi transpersonal, karena shalat adalah proses perjalanan spiritual penuh makna yang dilakukan seorang manusia untuk menemui Tuhan Semesta Alam. Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat peShalat (orang yang mendirikan Shalat) untuk mencapai taraf kesadaran yang (altered states of consciousness) dan pengalaman puncak (peak experience). Shalat memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan karena mengandung lima unsur di dalamnya, yaitu: 1. Meditasi atau doa yang teratur, minimal lima kali sehari 2. Relaksasi melalui gerakan-gerakan shalat 3. Hetero atau auto sugesti dalam bacaan shalat 4. Group-therapy dalam shalat jama'ah atau bahkan dalam shalat sendirian pun minimal ada aku dan Allah 5. Hydro-therapy dalam mandi junub atau wudhu' sebelum shalat 15 Shalat adalah salah satu cara ibadah yang berkaitan dengan meditasi transendental, yaitu mengarahkan jiwa kepada satu objek dalam waktu beberapa saat, seperti halnya14

prilaku manusia.

hubungan langsung antar hamba dengan Tuhannya. KetikaSholat dan Mutiara-mutiara yang dikandungnya,

Najahy Majid, Drs. 1979. Bimbingan Semarang : Aneka Ilmu. 113 124.15

Imam Santoso, Psikoproblem (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995) 13

shalat, ruhani bergerak menuju Zat Yang Maha Mutlak. Pikiran terlepas dari keadaan riil dan panca indra melepaskan diri dari segala macam keruwetan peristiwa di sekitarnya, termasuk keterikatannya terhadap sensasi tubuhnya seperti rasa sedih, gelisah, rasa cemas dan lelah. Bentuk perjalanan kejiwaan dalam shalat ini oleh para ahli psikologi disebut sebagai proses untuk memasuki kesadaran psikologi transpersonal. Di dunia ini, semua orang ingin menikmati ketenangan hidup dan akan berusaha mencarinya. Namun pada kenyataannya tidak semua orang dapat mencapai apa yang diinginkan. Bermacam sebab dan rintangan sering muncul sehingga banyak orang mengalami kegelisahan, kecemasan, ketidak puasan, bahkan tidak sedikit yang mengalami stress dan depresi. Keadaan yang tidak menyenangkan itu tidak menimpa golongan tertentu saja, tetapi bisa menimpa siapa saja. Orang kaya atau miskin, pejabatatau rakyat jelata, berpangkat atau tidak, bahkan seorang pesuruh pun pasti akan menemui kesukaran dalam hidupnya sehingga ketenangan hidup yang diharapkan tidak bisa dicapai. Namun sesungguhnya ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin itu tidak tergantung kepada faktor-faktor luar seperti status sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya. Akan tetapi lebih tergantung pada cara dan sikap kita dalam menghadapi faktor-faktor tersebut. Cara dan sikap dalam menghadapi segala permasalahan itu sangat ditentukan oleh kesehatan mental. Jadi yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental. Kesehatan mentallah yang menentukan apakah orang akan mempunyai kegairahan untuk hidup atau tidak. Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis atau apatis, karena ia dapat mengahadapi semua rintangan atau kegagalan hidupnya dengan tenang. Apabila kegagalan itu dihadapi dengan tenang, maka akan dapat dianalisa, dicari sebab-sebab yang menimbulkannya, atau ditemukan faktor-faktor yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian akan dapat dijadikan pelajaran sehingga jika muncul hal-hal yang membawa kegagalan pada waktu yang lain, akan bisa diatasi. Untuk mengetahui apakah seseorang sehat atau terganggu mentalnya, tidaklah mudah. Biasanya yang dijadikan bahan penyelidikan atau tanda-tanda dari kesehatan mental adalah 14

tindakan, tingkah laku atau perasaan. Karenanya seseorang dikatakan terganggu kesehatan mentalnya bila terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pasien-pasien yang bermasalah kesehatan mentalnya, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental yang terganggu dapat mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang. Pengaruh itu dibagi dalam empat kelompok yaitu; perasaan, pikiran/kecerdasan, kelakuan, dan kesehatan badan. Hal ini semua merupakan bagian dari gangguan jiwa. Di antara gangguan jiwa yang disebabkan oleh kesehatan mental ialah rasa cemas, iri hati, sedih, merasa rendah diri, inferior, pemarah, ragu dsb. Lantas, bagaimana cara menjaga kesehatan mental kita? Kajian-kajian ilmiah mengenai kesehatan mental dewasa ini telah berkembang begitu pesat, terutama aliran psikologi transpersonal yang membahas secara transparan tentang rahasia kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dalam perkembangan selanjutnya, kecerdasan emosional dan spiritual inilah yang memiliki andil besar dalam menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang. Di dalam kajian psikologi modern, psikologi transpersonal merupakan kekuatan keempat dalam aliran psikologi setelah psikoanalisa, behaviorisme dan psikologi humanistik. Psikologi transpersonal merupakan bentuk perkembangan ilmu psikologi yang tidak tersentuh oleh analisa para psikolog terdahulu, padahal kajian ini secara langsung banyak membicarakan wilayah pusat (eksistensi dan aktivitas jiwa), bukan hanya gejala empirisnya saja. Sekarang kita menyoroti kasus Shalat. Shalat merupakan suatu aktivitas jiwa yang termasuk dalam kajian ilmu psikologi transpersonal, karena Shalat adalah proses perjalanan spiritual yang penuh makna yang dilakukan seorang manusia untuk menemui Tuhan Semesta Alam. Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat orang yang menunaikannya untuk mencapai taraf kesadaran yang lebih tinggi dan pengalaman puncak spiritualitas. Shalat memiliki kemampuan untuk mengurangi kecemasan karena ia merupakan meditasi tertinggi dalam Islam. Gerakan shalat merupakan sebuah proses relaksasi yang akan menjadikan kita sehat. Bacaan-bacaan dalam shalat bisa memunculkan auto sugesti yang membuat kita selalu berpandangan positif terhadap permasalahan yang dihadapi. Ketika shalat, ruhani bergerak menuju Zat Yang Maha. 15

Jelasnya. Pikiran terlepas dari keadaan riil dan panca indra melepaskan diri dari segala macam keruwetan peristiwa di sekitarnya. Sedikit keterangan tentang shalat di atas menunjukkan kepada kita bahwa shalat bukan sekedar ritual yang menjadi kewajiban rutin umat Islam. Lebih dari itu, jika ia dilaksanakan dengan penuh ketekunan, kesadaran, dan penghayatan, ia akan menjadi semacam terapi yang bisa membuat peshalat mencapai tingkat kecerdasan emosional dan spiritual yang mapan. Dan pada gilirannya ia akan memiliki mental yang sehat, yang tidak pernah merasa tertekan dengan segala permasalah hidup yang menghimpit. Shalat merupakan perjalanan rohani menuju Allah. Hal ini sesuai dalam AlQuran surat Thaha : ayat 14 dijelaskan Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat Aku Kajian-kajian ilmiah mengenai spiritual dewasa ini telah berkembang sangat luar biasa, terutama aliran psikologi transpersonal yang membahas secara transparan tentang rahasia kecerdasan emosional dan spiritual. Di dalam kajian psikologi modern, psikologi transpersonal merupakan kekuatan ke empat dalam aliran psikologi setelah psikoanalisa, behaviorisme dan psikologi humanistik. Psikologi transpersonal merupakan bentuk perkembangan ilmu psikologi yang tidak tersentuh oleh analisa para ahli jiwa terdahulu, padahal kajian ini secara langsung banyak membicarakan wilayah pusat (eksistensi dan aktivitas jiwa), bukan hanya gejala empirisnya saja. Padangan sufi : Penyempurnaan shalat melalui pengelolaan hati (qolbu) Sorang sufi lebih mengutamakan kehidupan akhirat meskipun tidak lalu meninggalkan sama sekali kehidupan di dunia, namun prioritas utama dari harapan terkakhirnya adalah kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Shalat bagi seorang sufi adalah hadirnya hati dihadapan Allah SWT, yang mana shalat sebagai amal perbuatan hati. Yang nantinya menghasilkan buah kebaikan min atsarissujud sebagai bentuk implikasi dari sholat terhadap pengembangan tingkah laku peshalat.

16

Kesempurnaan shalat menurut Imam Ghozali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa kekhusyuan dapat diperoleh dengan enam patah kata, yakni :16 1. Kehadiran hati Kehadiran hati bermakna kekosongan hati dari yang lain dari apa yang dilaksanakan dan yang dibicarakannya. Intinya hati tidak ke hal lain selain apa yang diucapkan dan dilakukannya. Dan hati tidak lupa dengan apa yang diucapkan maupun yang diperbuat. Kehadiran hati bisa muncul dengan adanya cita-cita. Hati kita mengikuti cita-cita kita. Dia tidak hadir, kecuali mengikuti apa yang kita cita-citakan. Manakala ada sesuatu hal yang menjadi cita-cita kita, maka hadirlah hati padanya, dengan kehendak ataupun tanpa kehendak. Hati itu terpaksa dan tunduk patuh kepadanya. Bila hati kita tidak hadir dalam shalat kita, bukanlah dia itu menganggur, tetapi menerawang pada cita-cita yang datang kepadanya dari hal ikhwal duniawi, gampangnya masih berpikir akan hal dunia dan tidak berpikir pada shalat sebagai menghadap pada hadirnya hati pada Allah SWT. Apabila hati itu tidak hadir ketika bermunajat dengan raja segala raja, dimana di dalam kekuasaan-Nya alam penciptaan dan alam malaikat, kemanfaatan dan kemelaratan (kesusahan), makan janganlah kiranya kita menyangka ada suatu sebab yang lain baginya, selain dari kelemahan iman. Maka bersungguh-sungguhlah menguatkan iman itu. 2. Pemahaman Arti pemahaman adalah bagian dari salah satu dari kehadiran hati, maksudnya Kadang-kadang hati itu hadir bersama kata-kata dan tidak hadir bersama arti dari kata-kata tersebut. Maka kelengkapan hati atas pengetahuan dengan arti dan kata-kata yang dibacakan adalah suatu pemahaman. Dan cara menolak segala yang terlintas yang membawa kepada kebimbangan bathin ialah memutuskan segala materinya, yaitu mencabut diri dari segala sebab yang menarik segala yang terlintas itu kepadanya. Selama

16

Prof. Tk. H. Ismail Yakub, MA. SH. Terjemaham Ikhyaul Ulumuddin Semarang : CV. Faizan,

553

17

materi-materi itu tidak diputuskan maka selamanya itu pulalah, segala yang terlintas itu, tidak berpaling daripadanya. Intinya harus bisa berlaku zuhud. Lebih jelasnya barangsiapa menyukai sesuatu, niscaya banyaklah menyebut-nyebutnya. Maka menyebut-nyebutkan yang disukai itu, lalu dengan sendirinya menyerbu ke dalam hati. Dari itu, kita melihat bahwa orang yang mencintai selain Allah SWT, maka tidaklah bersih shalatnya dari lintasanlintasan ke dalam bathin. 3. Pengagungan Pengagungan adalah suatu hal dibalik kehadiran hati dan pemahaman. Karena orang yang berbicara dengan budaknya sesuatu pembicaraan, adalah hatinya hadir pada pembicaraan itu dan memahami artinya, sedangkan ia tidaklah mengagungkan budak itu. Maka pengagungan itu menambahkan kehadiran hati dan pemahaman arti. Pengagungan dapat muncul pada hati, bilamana terdapat dua marifah (pengenalan) : Pertama, mengenal kebesaran dan keagungan Allah SWT dan itu adalah sebagian dari pokok-pokok iman. Siapa yang tidak mengimani keagungan-Nya, niscaya jiwanya tidak menyakini akan keagungan-Nya. Kedua, mengenal kehinaan diri, kerendahan dan keadaannya sebagai hamba yang mematuhi dan tunduk kepad-Nya. Sehingga dari marifah yang kedua ini lahirlah ketenangan, kesepian hati dari dunia dan ke-khusyu-an jiwa kepada Allah SWT, Maka hal itu dapat dikatakan pengagungan. Selama tidak terjalin marifah kehinaan diri dengan marifah keagungan Ilahi, maka selama itu pulalah tiada teratur pengagungan dan ke-Khusyu-an hati. 4. Kehabatan Kehebatan maksudnya menambahkan atas pengagungan. Bahkan

kehebatan itu ibarat dari ketakutan, yang timbulnya rasa pengagungan. Kehebatan ialah takut yang bersumber dari penagungan. Kehebatan dan ketakutan adalah keadaan bagi diri, yang terjadi dari mengenal kekuasaan Allah SWT, keperkasaan dan terwujudnya segala kehendak-Nya, serta kepengawasan atas hambanya yang tiada berkurang walau

18

sedetikpun. Kesimpulannya semakin bertambah ilmu tentang Allah SWT, maka semakin bertambahlah ketakutan dan kehebatan kepada-Nya. 5. Harapan Harapan adalah kondisi tidak ragu lagi, Berapa banyak orang yang membesarkan seorang raja, ia takut kepadanya atau takut akan kekuasaannya. Tetapi ia tiada mengharap akan pembalasannya. Seorang hamba sewajarnyalah mengharap dengan shalatnya itu akan pahala dari Allah SWT, sebagaimana ia takut dengan keteledorannya akan siksaan Allah SWT. Harapan dapat muncul di hati peshalat apabila ia mengenal kelemah lembutan Allah SWT, kemurahan-Nya, keadilan/keme-rata-an sorga dengan ibadah sholat. 6. sangkaan berdosa. Perasaan malu itu kuat dengan pengetahuan kekurangan diri, bahaya hawa nafsu, kurang keikhlasan, kotor kebathinan dan condong kepada kebahagian yang segera (dunia) di dalam segala amal perbuatannya. Serta mengetahui dengan keagungan, yang dikehendakinya oleh kebesaran Allah SWT dan mengetahui bahwa ia melihat kepada rahasia dan segala getaran hati, meskipun halus dan tersembunyi. Segala pengetahuan ini, apabila mendatangkan keyakinan, niscaya membangkitkan dengan sendirinya hati itu suatu keadaan yang dinamakan malu.17 III. KESIMPULAN Berdasar pada pokok masalah dan dari uraian pembahas di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Arti Shalat adalah berhadap hati (jiwa) kepada Allah SWT. Hadap yang mendatangkan takut, menumbuhkan rasa17

nikmatnya,

kehalusan perbuatan-Nya dan mengenal kebenaran-Nya pada janjinya akan Malu Malu bisa muncul bila bersandar pada perasaan keteledhoran dan

Prof. Tk. H. Ismail Yakub, MA. SH. Op. Cit, 555.

19

kebesaran-Nya dan kekuasannya dengan sepenuhnya khusyu dan ikhlas dalam beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam. 2. Shalat merupakan tiang amal, bahkan sendi beribadah. Yang dimaksud benar karena Allah dalam beribadah ialah : kebersamaan lahir dan batin. Dhahir karena Allah SWT, bathin juga karena Allah SWT. Orang yang benar beribadah karena Allah SWT ialah : orang yang tidak memperdulikan hilang pandangan manusia kepadanya. Untuk membersihkan jiwanya, dan tidak suka memperlihatkan usahanya kepada manusia dan tidak benci kepada orang lain yang mencacatnya. Maka orang yang benar beribadah karena Allah SWT terus menerus mengutamakan ibadah, serta mampu menahan perbuatan yang mungkar dan keji dikarenakan adanya endapan spiritual dalam pikiran orang tersebut. Hal itu diistilahkan dengan atsaris sujud. 3. Pengaruh shalat bagi pembinaan pribadi adalah munculnya prilaku : wujud tawadhu, komunikasi antara makhluk dan kholik, arena zikir pada Allah SWT, pembinan disiplin waktu, ketahanan mental, berpikir panjang, (berorientasi masa mendatang) persiapan hidup di akhirat. Sedangkan shalat bagi pembinaan sosial kemasyarakatan memunculkan sifat prilaku : persatuan umat, kesamaan martabat manusia, perdamaian, melahirkan masyarakat terhormat dan bertanggungjawab. 4. Shalat adalah proses perjalanan spiritual penuh makna yang dilakukan seorang manusia untuk menemui Tuhan Semesta Alam. Shalat dapat menjernihkan jiwa dan mengangkat peShalat (orang yang mendirikan Shalat) untuk mencapai taraf kesadaran yang kemampuan untuk mengurangi kecemasan. Shalat bukan sekedar ritual yang menjadi kewajiban rutin umat Islam. Lebih dari itu, jika ia dilaksanakan dengan penuh ketekunan, kesadaran, dan penghayatan, ia akan menjadi semacam terapi yang bisa membuat peshalat mencapai tingkat kecerdasan emosional dan spiritual yang mapan. Dan pada 20 (altered states of consciousness) dan pengalaman puncak (peak experience). Dan shalat memiliki

gilirannya ia akan memiliki mental yang sehat, yang tidak pernah merasa tertekan dengan segala permasalah hidup yang menghimpit. 5. Kesempurnaan shalat menurut Imam Ghozali, dapat diperoleh dengan enam usaha hati, yakni : Kehadiran hati, Pemahaman, Pengagungan, Kehebatan, Harapan, Malu.

IV. DAFTAR PUSTAKA Imam Santoso, 1995, Psikoproblem, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Latipun, 2001. Psikologi Konseling, Malang : UMM Press Prof. Tk. H. Ismail Yakub, MA. SH. 1979. Terjemaham Ikhyaul Ulumuddin, Semarang : CV. Faizan Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1951, Pedoman Shalat, Jakarta : Bulan Bintang. R.H.A. Soenarjo, SH, 1984, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran. Rifan, dalam makalah Sholat dan Rahasianya. Paskasarjana UNU Surakarta. 2010/2011

21