i. pendahuluan 1.1. latar belakang -...

18
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar satu juta kepala keluarga petani serta memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 546 juta. Nilai devisa ekspor kakao tersebut sedikit lebih rendah dari nilai ekspor kakao tahun 2002 dan 2003 yang masing-masing sebesar US $ 701 juta dan US $ 621 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Sulawesi Selatan sebagai sentra utama produksi kakao Indonesia telah menikmati peran kakao sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga petani, bahkan telah menghantarkan banyak petani kakao menjadi “orang kaya baru” karena harga kakao melambung tinggi dari Rp 3.325/kg pada tahun 1997 menjadi Rp 10.740/kg tahun 1998. Sejak saat itu, komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19 triliun atau 50,65% total nilai output perkebunan Sulawesi Selatan dan kakao tampil sebagai komoditas andalan ekspor Sulawesi Selatan dengan pangsa sebesar 38,28% dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 1999 dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1999ª). Di samping itu, perkebunan kakao telah memacu perkembangan wilayah dan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan perkebunan kakao seperti: pengadaan sarana produksi, perdagangan produksi biji kakao, dan industri pengolahan biji kakao. Perkebunan kakao masih prospektif untuk terus dikembangkan karena situasi kakao dunia mengalami defisit produksi sejak tahun 2001, sehingga harga kakao dunia cukup tinggi. Harga kakao dunia relatif stabil diatas US $ 1.300/ton sejak akhir tahun 2001, bahkan rata-rata di atas US $ 1.500/ton pada tahun 2005 (International

Upload: ngophuc

Post on 17-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup

penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,

sumber pendapatan dan devisa negara. Pada tahun 2004, perkebunan kakao telah

menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar satu juta kepala

keluarga petani serta memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 546 juta. Nilai

devisa ekspor kakao tersebut sedikit lebih rendah dari nilai ekspor kakao tahun 2002

dan 2003 yang masing-masing sebesar US $ 701 juta dan US $ 621 juta (Direktorat

Jenderal Perkebunan 2006).

Sulawesi Selatan sebagai sentra utama produksi kakao Indonesia telah

menikmati peran kakao sejak awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil

sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga petani, bahkan telah menghantarkan

banyak petani kakao menjadi “orang kaya baru” karena harga kakao melambung

tinggi dari Rp 3.325/kg pada tahun 1997 menjadi Rp 10.740/kg tahun 1998. Sejak

saat itu, komoditas kakao memberikan kontribusi yang cukup nyata bagi

perekonomian regional Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19

triliun atau 50,65% total nilai output perkebunan Sulawesi Selatan dan kakao tampil

sebagai komoditas andalan ekspor Sulawesi Selatan dengan pangsa sebesar 38,28%

dari total nilai ekspor Sulawesi Selatan (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi

Selatan 1999 dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1999ª). Di samping

itu, perkebunan kakao telah memacu perkembangan wilayah dan pertumbuhan sektor

ekonomi lainnya, terutama yang berkaitan langsung dengan perkebunan kakao

seperti: pengadaan sarana produksi, perdagangan produksi biji kakao, dan industri

pengolahan biji kakao.

Perkebunan kakao masih prospektif untuk terus dikembangkan karena situasi

kakao dunia mengalami defisit produksi sejak tahun 2001, sehingga harga kakao

dunia cukup tinggi. Harga kakao dunia relatif stabil diatas US $ 1.300/ton sejak akhir

tahun 2001, bahkan rata-rata di atas US $ 1.500/ton pada tahun 2005 (International

Page 2: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

2

Cocoa Organization 2006). Kondisi ini terus memicu perluasan areal perkebunan

kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao di daerah ini berkembang

hampir dua kali lipat dalam waktu 6 tahun terakhir yaitu dari 157.649 ha pada tahun

1997 menjadi 296.039 ha tahun 2003 atau rata-rata tumbuh 14,63% per tahun.

Perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya (99,26%) diusahakan oleh

petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas, Pinrang, Bone, dan

Luwu Utara (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan 1998, 2004, dan 2004a).

Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat tersebut cenderung tidak

terkendali karena pengembangannya dilakukan oleh petani dengan sasaran

pengembangan di lereng-lereng bukit dan pegunungan serta sebagian memasukan

kawasan hutan (non budidaya). Pengembangan areal perkebunan kakao tersebut

dilakukan petani tanpa dilandasi oleh studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

(AMDAL). Hal ini telah mengundang kritikan tajam karena beberapa fakta

menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kakao di daerah ini telah

menimbulkan kerusakan lingkungan berupa peningkatan erosi, kerusakan daerah

tangkapan air dan penyusutan keanekaragaman hayati dengan berbagai dampak

turunannya seperti peningkatan lahan kritis, banjir dan kekeringan. Menurut

Akiyama dan Nishio (1997), pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat di

Sulawesi Selatan di satu sisi memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah,

tetapi di sisi lain menimbulkan dampak negatif berupa peningkatan erosi dan

menurunkan areal tangkapan air serta penyusutan keanekaragaman hayati.

Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan tersebut merupakan suatu

biaya lingkungan yang biasanya tidak diperhitungkan dalam perhitungan

pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi dalam perekonomian

regional. Akibatnya pertumbuhan ekonomi maupun peran suatu sektor ekonomi

dalam perekonomian regional masih bersifat “semu” dan masyarakat masih harus

menanggung biaya eksternalitas dari suatu proses produksi atau kegiatan ekonomi.

Lebih lanjut, karena perencanaan pembangunan ekonomi umumnya disusun

berdasarkan hasil-hasil pembangunan sebelumnya sehingga ada kemungkinan

Page 3: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

3

pembangunan yang direncanakan akan lebih memperparah kerusakan lingkungan

dan memperbesar beban biaya ekternalitas yang harus ditanggung masyarakat.

Lebih lanjut, pengembangan perkebunan kakao yang begitu pesat telah

menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang sambung-menyambung, sehingga

setiap adanya serangan hama penyakit tanaman kakao akan cepat menyebar dan sulit

dikendalikan. Pada saat ini, petani kakao Sulawesi Selatan sedang menghadapi

persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek buah kakao

(PBK), Conopomorpha cramerella Snell. (Lepidoptera; Gracillariidae). Hama PBK

teridentifikasi mulai menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun

1995 dan menyebar dengan pesat ke berbagai penjuru. Menurut Dinas Perkebunan

Provinsi Sulawesi Selatan (2004 dalam Mustafa 2005), hama PBK sudah menyerang

hampir seluruh perkebunan kakao di Sulawesi Selatan dan diperkirakan

menimbulkan kerugian mencapai Rp 810 milyar per tahun.

Kerugian yang terus menerus menyebabkan kemampuan petani untuk

memelihara perkebunan kakaonya menurun, sehingga perkebunan kakao menjadi

terlantar, rusak dan lahannya akan terdegradasi. Di sisi lain, sebagian petani tetap

berupaya untuk memenuhi permintaan kakao dunia yang terus meningkat dengan

mengembangkan perkebunan kakao baru di daerah yang terpencil dan biasanya

memasuki kawasan hutan dengan harapan terhindar dari serangan hama PBK.

Pengembangan perkebunan kakao yang dilakukan petani tersebut dapat selamat dari

serangan hama PBK dalam beberapa musim panen, tetapi kemudian hama PBK juga

menyerang perkebunan kakao tersebut dan menimbulkan kerugian sama seperti

perkebunan kakao lainnya.

Sampai tahun 2005, kerugian dan kerusakan perkebunan kakao di Sulawesi

Selatan akibat serangan hama PBK belum separah kerusakan perkebunan kakao di

Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Serangan hama PBK sejak awal tahun 2003

menyebabkan sekitar 90% dari 20.000 ha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten

Sikka mengalami kerusakan dan puluhan ribu kepala keluarga petani pemiliknya

Page 4: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

4

terancam kelaparan1. Meskipun demikian, tidak mustahil serangan hama PBK akan

menimbulkan kerusakan perkebunan kakao dan dampak sosial ekonomi yang lebih

parah bagi petani kakao di Sulawesi Selatan karena serangan hama PBK sudah

beberapa kali menghancurkan perkebunan kakao di berbagai daerah di Indonesia.

Berdasarkan gambaran tersebut tampak bahwa serangan hama PBK tidak

hanya menimbulkan kerugian ekonomi, kemiskinan dan kelaparan, tetapi juga

berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, baik lingkungan perkebunan kakao

yang sudah ada maupun lingkungan hutan akibat percepatan proses alih fungsi hutan

menjadi perkebunan kakao. Oleh karena itu, upaya untuk mengendalikan serangan

hama PBK mempunyai arti yang sangat strategis untuk mengurangi kerugian

ekonomi dan dampak sosial ekonomi lainnya serta mempertahankan keberlanjutan

perkebunan kakao sekaligus mengurangi kerusakan lingkungan dan biaya

eksternalitas.

Sebenarnya teknologi pengendalian hama PBK telah tersedia dan sudah

disosialisasikan secara intensif melalui kegiatan sekolah lapang pengendalian hama

terpadu (SL-PHT) sejak tahun 2000. Namun proses adopsi teknologi tersebut sangat

lambat karena berbagai kendala yang dihadapi petani. Oleh karena itu mempelajari

permasalahan adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan biaya eksternalitas

merupakan hal yang sangat krusial dalam upaya mempertahankan peran strategis

perkebunan kakao bagi perekonomian regional dan menjaga keberlanjutan

perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pengembangan perkebunan kakao dan kelestarian fungsi lingkungan

merupakan dua agenda yang diharapkan dapat berjalan harmonis dalam

pembangunan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Pembangunan perkebunan di

satu sisi akan memberikan dampak positif bagi perekonomian regional khususnya

sebagai penyedia kesempatan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara, serta

1 Kompas, 14 Juni 2006. Penanganan Kakao di Sikka 3 Tahun.

Page 5: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

5

pendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Namun di sisi lain pengembangan

perkebunan kakao memaksa terjadinya alih fungsi lahan dan proses alih fungsi lahan

ini dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif tergantung pada kondisi

lahan yang dialih fungsikan dan teknologi budidaya kakao yang digunakan.

Teknologi budidaya kakao yang diterapkan petani sangat menentukan

dampak dari proses alih fungsi lahan dan tingkat produksi perkebunan kakao petani.

Alih fungsi lahan akan menimbulkan dampak positif apabila lahan yang dialih

fungsikan merupakan lahan kritis yang diubah menjadi perkebunan kakao dengan

menggunakan teknologi budidaya ramah lingkungan. Sebaliknya alih fungsi lahan

akan berdampak negatif apabila lahan yang dialih fungsikan merupakan hutan

lindung pendukung kehidupan menjadi perkebunan kakao yang kurang mampu

menggantikan fungsi ekologis hutan lindung.

Dampak negatif alih fungsi lahan cukup nyata terjadi pada saat awal proses

alih fungsi lahan dan akan berkurang pada saat perkebunan kakao berhasil dibangun

serta kembali meningkat ketika perkebunan kakao mengalami kerusakan. Pada awal

proses alih fungsi lahan muncul dampak negatif berupa: peningkatan erosi dan

sedimentasi, penyusutan keanekaragaman hayati, kerusakan tata air dan peningkatan

emisi gas rumah kaca CO2. Selanjutnya dampak negatif mulai berkurang pada saat

tanaman kakao mulai menutupi lahan yang terbuka karena erosi lahan mulai

berkurang. Namun erosi lahan dapat kembali meningkat jika perkebunan kakao tidak

terpelihara dan mengalami kerusakan. Berbagai dampak negatif tersebut merupakan

biaya lingkungan yang hingga saat ini masih diperlakukan sebagai biaya

eksternalitas, akibatnya hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi atau peran suatu

sektor ekonomi dalam perekonomian regional masih bersifat ”semu”.

Dalam perekonomian regional sektor ekonomi kakao mempunyai keterkaitan

dengan sektor ekonomi lainnya. Perkebunan kakao dalam proses produksinya

memerlukan sejumlah input dan bersamaan dengan itu dihasilkan sejumlah output

yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan permintaan akhir berupa

konsumsi rumah tangga, ekspor dan lain-lain maupun sebagai input produksi sektor

Page 6: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

6

ekonomi lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada sektor perekonomian lainnya

dan apabila arus input-output tersebut disederhanakan maka akan dapat dibentuk

tabel input-output. Selanjutnya melalui pendekatan matematika akan dapat diperoleh

berbagai informasi yang sangat berguna dalam perencanaan pembangunan

perekonomian regional.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao Sulawesi Selatan

saat ini sedang menghadapi serangan hama PBK dan petani belum mampu

mengendalikannya. Di sisi lain, teknologi pengendalian hama PBK yang cukup

efektif untuk mengendalikan serangan hama PBK telah tersedia, tetapi belum

diadopsi secara masal oleh petani. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor yang

mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK guna menunjang

keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian Regional Sulawesi

Selatan.

Berbagai permasalahan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan

pendekatan Input Output dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi

teknologi pengendalian hama PBK. Kemudian hasil analisis tersebut dilengkapi

dengan analisis prospektif guna merumuskan strategi pembangunan perkebunan

kakao berkelanjutan. Secara sederhana kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat

pada Gambar 1.

Page 7: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

7

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan.

Pengembangan Perkebunan Kakao

Alih Fungsi Lahan Serangan Hama PBK

Valuasi Ekonomi

Adopsi Teknologi:Faktor Berpengaruh

Pendapatan Petani

Output, PDRB,Lapangan Kerja

Kebun Terlantar

Strategi Pembangunan Perkebunan Kakao Berkelanjutan

Pengembangan Sektor Ekonomi Lainnya

Produksi Kakao

Kerusakan Lingkungan

Perbaikan Lingkungan

Teknologi Budidaya Kakao

IO-Lingkungan: Peran Riil kakao

IO-Konvensional: Peran “Semu” kakao

Analisis Prospektif

Limbah

Keterangan: Saling Berpengaruh Berpengaruh Di Analisis Rekomendasi

Page 8: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

8

Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan peran perkebunan kakao

secara berkelanjutan membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam situasi

ketersediaan dana pemerintah yang relatif terbatas, maka keputusan alokasi dana pada

suatu sektor perekonomian sangat tergantung pada perannya dalam menggerakkan

perekonomian daerah. Melalui pendekatan input output, akan diperoleh gambaran

yang lebih rinci bagaimana peran perkebunan kakao dalam menggerakkan

perekonomian regional melalui penelaahan pengganda output, pengganda pendapatan

dan pengganda tenaga kerja serta keterkaitan antar sektor perekonomian.

Melalui pendekatan input output juga dapat ditelaah dampak negatif dari

serangan hama PBK. Apabila serangan hama PBK tidak terkendali, maka peran

sektor perkebunan kakao akan mengalami kontraksi dan melalui pendekatan input

output akan diperoleh gambaran berapa besar dampak serangan hama PBK bagi

perekonomian regional Sulawesi Selatan. Dengan memahami dampak serangan hama

PBK tersebut akan diketahui bagaimana pentingnya upaya pengendalian hama PBK

di daerah ini.

Namun karena adanya externalitas dalam proses produksi, maka berbagai

informasi tersebut masih bersifat “semu”. Oleh karena itu perlu dilakukan koreksi

dengan melakukan internalisasi biaya eksternalitas ke dalam tabel input-output

konvensional, sehingga menjadi tabel input output berwawasan lingkungan. Koreksi

terhadap tabel input output konvensional tersebut idealnya dilakukan dengan cara

mengembangkan model tabel input output umum atau model ekonomi ekologi

maupun model komoditi industri. Namun karena keterbatasan ketersediaan data,

maka pengembangan model input output berwawasan lingkungan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara mengoreksi atau menginternalisasikan biaya eksternalitas ke

nilai output tabel input output konvensional, sehingga menjadi tabel input output

terkoreksi biaya eksternalitas.

Koreksi biaya eksternalitas tersebut dilakukan terhadap sektor-sektor ekonomi

yang menghasilkan biaya lingkungan yang masih diperlakukan sebagai biaya

eksternalitas karena secara teoritis sektor ekonomi tersebut bertanggungjawab atas

pencemaran atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Koreksi output

Page 9: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

9

dilakukan mengikuti asumsi dasar tabel input-output yaitu secara proposional

terhadap nilai outputnya. Secara matematis, koreksi output masing-masing sektor

ekonomi dengan biaya eksternalitas tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

Xi = Xi1 + Xi2 + ........ + Xij + ......... + Xin + Yi ....................................... (1)

Xi yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas (BE) adalah Xi-BE = X*i, maka

Xi* = ai1

* Xi1 + ai2*Xi2 + ........ + aij

*Xij + .......... + ain*Xin + ai

*Yi ............ (2)

dimana: Xi = Total output sektor ke-i, Xij = Jumlah output sektor ke-i yang dijual ke sektor j, Yi = Jumlah permintaan akhir untuk sektor ke-i, BE = Total biaya eksternalitas sektor ke-i. Xi

* = Total output sektor ke-i yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas,

aij = (Xij/Xi) = koefisien input output, aij

* = aij - (Xij/Xi)BE dan ai

* = (Yi/Xi) - (Yi/Xi)BE.

Selanjutnya sebagaimana telah dikemukakan bahwa hama PBK merupakan

ancaman yang serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan.

Serangan hama PBK dapat menurunkan produksi lebih dari 80%, sehingga sangat

merugikan petani. Kerugian yang terus menerus menyebabkan kebun ditelantarkan

dan menjadi rusak, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lingkungan.

Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih intensif untuk mengendalikan serangan

hama PBK secara menyeluruh guna menyelamatkan keberlanjutan perkebunan kakao

di Sulawesi Selatan.

Upaya pengendalian hama PBK sebenarnya sudah dilakukan sejak hama PBK

teridentifikasi menyerang perkebunan kakao di Sulawesi Selatan pada tahun 1995.

Upaya pengendalian hama PBK pada awalnya dilakukan dengan menggunakan

pestisida, tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Selanjutnya pengendalian

hama PBK dilakukan dengan menerapkan paket teknologi PsPSP yaitu: Panen sering,

Pemangkasan, Sanitasi, dan Pemupukan. Namun upaya tersebut juga belum

memberikan hasil yang optimal karena sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian

hama PBK tersebut sangat lambat. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk

mempercepat sosialisasi dan adopsi teknologi pengendalian hama PBK.

Page 10: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

10

Menurut Rogers (1995), adopsi teknologi merupakan suatu proses yang

dimulai dari pengetahuan tentang inovasi (teknologi baru), diikuti dengan

pembentukan sikap terhadap inovasi dan diakhiri dengan keputusan (tindakan) untuk

mengadopsi atau menolak inovasi. Pengetahuan tentang inovasi merupakan proses

pengenalan dimana seseorang menerima atau mengetahui informasi tentang teknologi

baru. Pembentukan sikap merupakan suatu proses mental seseorang untuk

mengevaluasi terhadap teknologi baru. Sementara itu, keputusan atau tindakan

merupakan suatu tahapan dimana seorang petani mulai mengambil keputusan untuk

menerapkan atau tidak menerapkan teknologi baru pada usahataninya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa adopsi teknologi dipengaruhi oleh karakteristik

teknologi, karakteristik pengambil keputusan, karakteristik lingkungan, saluran

komunikasi dan usaha promosi. Karakteristik teknologi meliputi keuntungan relatif,

kompatibilitas, kompleksitas, trialabilitas, dan observabilitas. Sementara karakteristik

petani sebagai pengambil keputusan dipengaruhi oleh individu petani, kelompok tani

dan penguasa. Sedangkan karakteristik lingkungan sosial, saluran komunikasi dan

usaha promosi dipengaruhi antara lain: toleransi terhadap perubahan, keberadaan

sumber informasi, keberadaan pembina dan intensitas kerjasama antar petani (Rogers,

1995). Secara sederhana proses adopsi teknologi dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 11: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

11

Gambar 2. Proses Adopsi Teknologi

SIKAP TINDAKAN

ADOPSI

PENGETAHUAN

Karakteristik Teknologi1. Keuntungan ekonomi2. Keuntungan sosial 3. Kompatibilitas 4. Kompleksitas 5. Observabilitas

Karakteristik Kebun 1. Luas kebun kakao 2. Umur tanaman 3. Kemiringan lahan.

Kemampuan Petani 1. Tenaga kerja terampil 2. Modal 3. Bahan dan alat

MENOLAK

Diskontinu 1. Ganti yang baru2. Kecewa

Terus mengadopsi

Pengadopsian terlambat

Tetap menolak

Sifat-sifat Individu Petani: 1. Karakteristik Petani 2. Kebutuhan Petani Terhadap

Perubahan/Inovasi

Lingkungan Sosial: 1. Keberadaan Sumber Informasi2. Keberadaan Pembinaan 3. Intensitas Kerjasama 4. Toleransi Terhadap Perbeda-

an/Perubahan 5. Pola Pengambilan Keputusan

PERJALANAN WAKTU

Page 12: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa adopsi teknologi merupakan

suatu variabel tidak bebas kualitatif dengan dua kategori yaitu 0 (nol) untuk menolak

inovasi teknologi dan 1 (satu) untuk menerima atau mengadopsi teknologi. Menurut

Pindyck dan Rubinfeld (1998), untuk menduga regresi peubah tidak bebas kualitatif

dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: Model Probabilistik Linier (Linear

Probability Model), Model Probit (Probit Model), dan Model Logit (Logit Model).

Model Probabilistik Linier mempunyai kelemahan karena ada kemungkinan peluang

bersyaratnya berada diluar kisaran 0-1, sehingga sulit dilakukan pendugaan dengan

menggunakan model OLS (Ordinary Least Square). Sementara itu, Model Probit dan

Model Logit selalu memenuhi peluang bersyarat pada kisaran 0-1. Namun Model

Probit lebih rumit perhitungannya dari pada Model Logit, maka dalam penelitian

terapan lebih sering digunakan Model Logit.

Pada penelitian ini pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi

teknologi pengendalian hama PBK dilakukan dengan menggunakan Model Logit

yang dirumuskan sebagai berikut (Pindyck dan Rubinfeld 1998):

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+

=⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+

=+==+− Xizii ee

XZFi βαβα

11

11)()(Pi ….………….................…(3)

Apabila ruas kiri dan kanan persamaan (1) di kalikan dengan (1+e-zi), maka akan

diperoleh:

1)P(1 i =+ − ize ........................................................................................... (4)

Kemudian jika kedua ruas kiri dan kanan persamaan (2) dibagi dengan Pi dan

dikurangi 1 maka diperoleh:

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −=⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛−=−

i

i

i

z

PP

Pe i

111 .......................................................................... (5)

Dengan mendefinisikan ii zz ee /1=− maka

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−

=−

i

iz

PPe i

1 .............................................................................................. (6)

Page 13: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

13

Jika kedua ruas kiri dan kanan di Ln-kan maka diperoleh :

iii

ii eX

PPLnZ ++=⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

⎛−

= βα1

................................................................ (7)

dimana:

Pi = Peluang petani mengadopsi teknologi pengendalian hama PBK (Pi =1 jika petani mengadopsi dan Pi=0 jika petani tidak mengadopsi),

Xi = Variabel bebas ( i = 1, 2, 3, ...... n) α = intersep, βi = Parameter peubah Xi ei = galat acak.

Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang telah

diuraikan diatas, maka kegiatan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan

sebagai berikut: Tahap pertama adalah perumusan masalah dan tujuan penelitian.

Tahap kedua adalah survei pendahuluan untuk mengumpulkan data dasar dan

penentuan lokasi sampel serta penentuan pendekatan pemecahan masalah.

Selanjutnya, tahap ketiga adalah survei utama untuk mengumpulkan data dan

informasi yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dilakukan analisis data

dan simulasi guna merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan perkebunan

kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan (Gambar 3).

Page 14: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

14

Gambar 3. Tahapan Kegiatan Penelitian.

Persiapan Penelitian

- Perumusan masalah, - Perumusan tujuan penelitian

- Biaya Lingkungan, - Tabel IO konvensional dan IO yang dikoreksi biaya eksternalitas, - Simulasi dampak serangan hama PBK, - Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi

pengendalian hama PBK-PsPSP.

Survei Utama

Survei Pendahuluan

- Identifikasi data, lokasi, dan pendekatan, - Pengumpulan data dasar, - Pengolahan dan analisis data dasar.

Analisis Prospektif untuk merumuskan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.

Pengolahan dan Analisis Data

- Identifikasi dan pengumpulan data sekunder, - Pengumpulan data dan informasi primer.

Page 15: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

15

1.3. Perumusan Masalah

Perkebunan kakao mempunyai arti yang cukup strategis bagi perekonomian

regional Sulawesi Selatan. Namun dalam pengembangannya terdapat beberapa

permasalahan khususnya permasalahan lingkungan dan serangan hama PBK yang

mengancam keberlanjutan perkebunan kakao di daerah ini. Permasalahan tersebut

perlu mendapat perhatian yang lebih serius karena Sulawesi Selatan merupakan

sentra utama produksi kakao nasional dan kakao merupakan salah satu andalan

ekspor komoditas perkebun Indonesia.

Kesadaran akan pentingnya peran perkebunan dalam perekonomian nasional

telah mendorong pemerintah pusat untuk mencanangkan program revitalisasi

terhadap tiga komoditas utama perkebunan yaitu kelapa sawit, karet dan kakao mulai

pertengahan tahun 2005. Pencanangan program revitalisasi tersebut disambut baik

oleh dunia usaha khususnya perusahaan perkebunan besar yang mengusahakan

komoditas kelapa sawit. Program revitalisasi perkebunan juga mendapat dukungan

dari perbankan nasional khususnya BRI dan Bank Mandiri. Namun kenyataannya

perhatian dan respon yang diterima oleh komoditas kakao sangat berbeda dengan

kelapa sawit, padahal kakao sedang menghadapi berbagai permasalahan yang cukup

berat dan memerlukan perhatian yang lebih serius.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perkebunan kakao telah memberikan

sumbangan yang cukup nyata bagi penyediaan lapangan kerja, pendapatan petani,

pangsa PDRB dan ekspor Sulawesi Selatan, meskipun peran tersebut masih bersifat

semu karena berbagai kerusakan lingkungan dan dampak turunannya belum

diperhitungkan. Di sisi lain, serangan hama PBK tidak hanya menimbulkan kerugian

ekonomi, tetapi berpotensi untuk melahirkan kantong-kantong kemiskinan di sentra

produksi kakao dan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perkebunan kakao di

Sulawesi Selatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sesungguhnya peran

perkebunan kakao, dampak serangan hama PBK dan keberlanjutan perkebunan

kakao di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk memberikan

gambaran dan informasi khususnya kepada para pengambil kebijakan dan pelaku

agribisnis perkebunan kakao tentang:

Page 16: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

16

a. Berapa besar peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi

Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB), ekspor, penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta

perannya dalam menggerakkan perekonomian regional.

b. Berapa besar biaya lingkungan (eksternalitas) yang harus diperhitungkan agar

penilaian peran kakao tidak bersifat ”semu” dan bagaimana pengaruh

internalisasi biaya eksternalitas terhadap peran kakao bagi perekonomian

regional Sulawesi Selatan.

c. Bagaimana dampak serangan hama PBK terhadap pendapatan petani dan

perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta peningkatan biaya eksternalitas

karena peningkatan areal perkebunan kakao petani yang rusak dan upaya

perluasan areal perkebunan kakao untuk mengantisipasi permintaan kakao dunia

yang terus meningkat.

d. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama

PBK dan bagaimana mempercepat laju adopsi teknologi pengendalian hama PBK

tersebut untuk mengamankan pendapatan petani dan pangsa kakao dalam

menghasilkan PDRB, serta menjaga keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi

perekonomian regional Sulawesi Selatan.

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, kerangka pemikiran, dan permasalahan yang

telah diuraikan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi

pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan di Sulawesi Selatan. Sehubungan

dengan itu dilakukan beberapa kegiatan sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan menganalisis biaya eksternalitas pengembangan

perkebunan kakao dan biaya eksternalitas karena kerusakan perkebunan kakao

akibat serangan hama PBK serta menganalisis biaya eksternalitas sektor

perekonomian lainnya.

b. Menganalisis peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi

Selatan, khususnya dalam menghasilkan output, PDRB, ekspor, penyediaan

Page 17: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

17

lapangan kerja dan sumber pendapatan, serta perannya dalam menggerakkan

perekonomian regional.

c. Menganalisis dampak internalisasi biaya eksternalitas berbagai sektor ekonomi

terhadap output, PDRB dan nilai indikator pengganda serta nilai indikator

keterkaitan berbagai sektor ekonomi dalam perekonomian regional Sulawesi

Selatan.

d. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak serangan hama PBK terhadap

pendapatan petani kakao dan perekonomian Regional Sulawesi Selatan serta

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi dalam rangka

mempercepat adopsi teknologi pengendalian hama PBK.

1.5. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:

a. Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan

pembangunan regional, khususnya pembangunan perkebunan kakao yang

berkelanjutan di Sulawesi Selatan.

b. Menambah khasanah Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu-Ilmu Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan, terutama pengelolaan sumberdaya alam

untuk pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan melalui pendekatan

perencanaan yang terintegrasi antara pertumbuhan ekonomi pengembangan

wilayah dan kualitas lingkungan.

1.6. Kebaharuan (Novelty)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan serangkaian pendekatan atau

metode yang meliputi: berbagai metode valuasi ekonomi untuk menghitung biaya

lingkungan (eksternalitas) dari berbagai sektor ekonomi, analisis Tabel Input Output

konvensional dan Tabel Input Output yang dikoreksi dengan biaya eksternalitas,

pendekatan dengan Model Logit untuk menemukan faktor-faktor kunci yang

mempengaruhi adopsi teknologi pengendalian hama PBK dan analisis prospektif

untuk memberikan arahan strategi pembangunan perkebunan kakao berkelanjutan.

Page 18: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - repository.ipb.ac.idrepository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40524/2/BAB I... · petani dengan sentra produksi Kabupaten Mamuju, Polmas,

18

Metode/pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode-

metode yang sudah baku yang dikemas dalam suatu rangkaian yang baru untuk

menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Jadi kebaharuan dari penelitian ini adalah rangkaian metode penelitian dan hasil

penelitiannya terutama peran riil perkebunan kakao, faktor-faktor yang

mempengaruhi adopsi teknologi dan arahan kebijakan untuk mempercepat adopsi

teknologi pengendalian hama PBK serta arahan strategi pembangunan perkebunan

kakao yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan.