i. latar belakang tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

27
1 I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil penelitian tentang model relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan pemerintah di wilayah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Hal ini dipicu semakin meningkatnya keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis atau biasa disingkat anjal dan gepeng di wilayah Kabupaten Bantul. Keberadaan mereka sering dianggap sebagai masalah bagi masyarakat, sehingga pemerintah diharuskan menangani anak jalanan, gelandangan dan pengemis agar tidak semakin menjamur. Bukan hanya pemerintah yang memiliki perhatian khusus terhadap keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, banyak lembaga non pemerintah yang turut terjun langsung menangani masalah tersebut, seperti yang dilakukan oleh Lembaga Sosial Hafara. Walaupun Lembaga social Hafara bukan merupakan institusi formal pemerintah, Lembaga Sosial Hafara tidak lantas bekerja sendiri menangani masalah gepeng dan anjal, lembaga social tersebut sering bekerja sama dengan Pemkab Bantul. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana model relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Secara teknis terdapat tiga actor utama dalam tema penelitian ini, yaitu: Lembaga social Hafara, pemerintah kabupaten Bantul dan komunitas jalanan dalam hal ini anak jalanan, gelandangan, pengemis. Relasi antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemkab Bantul menjadi hal yang menarik, walaupun Lembaga sosial Hafara merupakan lembaga informal dan Pemkab Bantul merupakan

Upload: vuongtuyen

Post on 12-Jan-2017

218 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

1

I. LATAR BELAKANG

Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil penelitian tentang model relasi

institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan pemerintah di wilayah Kabupaten

Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Hal ini dipicu

semakin meningkatnya keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis atau

biasa disingkat anjal dan gepeng di wilayah Kabupaten Bantul. Keberadaan

mereka sering dianggap sebagai masalah bagi masyarakat, sehingga pemerintah

diharuskan menangani anak jalanan, gelandangan dan pengemis agar tidak

semakin menjamur. Bukan hanya pemerintah yang memiliki perhatian khusus

terhadap keberadaan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, banyak lembaga

non pemerintah yang turut terjun langsung menangani masalah tersebut, seperti

yang dilakukan oleh Lembaga Sosial Hafara. Walaupun Lembaga social Hafara

bukan merupakan institusi formal pemerintah, Lembaga Sosial Hafara tidak lantas

bekerja sendiri menangani masalah gepeng dan anjal, lembaga social tersebut

sering bekerja sama dengan Pemkab Bantul. Pertanyaan yang muncul selanjutnya

adalah bagaimana model relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan

pengemis. Secara teknis terdapat tiga actor utama dalam tema penelitian ini, yaitu:

Lembaga social Hafara, pemerintah kabupaten Bantul dan komunitas jalanan

dalam hal ini anak jalanan, gelandangan, pengemis. Relasi antara Lembaga Sosial

Hafara dengan Pemkab Bantul menjadi hal yang menarik, walaupun Lembaga

sosial Hafara merupakan lembaga informal dan Pemkab Bantul merupakan

Page 2: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

2

lembaga formal, kedua institusi tersebut dapat bersinergi untuk saling bekerja

sama dalam menangani masalah anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

Anjal dan Gepeng merupakan suatu fenomena social yang penting, mereka

lahir melalui kekalahan persaingan dalam mencari pekerjaan yang mereka

harapkan untuk memperbaiki nasib. Di Indonesia pada umumnya, dan DIY pada

khususnya keberadaan lapangan pekerjaan sector formal sangatlah terbatas.

Belum lagi proses seleksi sector formal berdasarkan pendidikan, ketrampilan

bekerja, bahkan jejaring. Bagi mereka yang tidak dapat bekerja di sector formal,

maka sector informal menjadi pilihan yang memungkinkan, namun tidak semua

orang dapat bekerja di sector informal. Dibutuhkan modal yang kadang tidak

sedikit dan kemampuan bersaing dalam bisnis. Permasalahan muncul bagi mereka

yang tidak menempuh pendidikan formal, tanpa ketrampilan, tanpa jejaring dan

tanpa memiliki modal. Semakin ketatnya cara memperoleh pekerjaan, semakin

sulit bagi mereka memperoleh pekerjaan. Walaupun pekerjaan formal maupun

informal tidak didapat, mereka yang hidup kekurangan harus berfikir untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Gelandangan dan pengemis menjadi pilihan yang

memungkinkan karena pekerjaan tersebut tidak mempersyaratkan ketrampilan

khusus, persyaratan pendidikan maupun modal. Bukan hanya orang dewasa,

anak-anak pun turut serta menjadi anak jalanan yang mengais rejeki di jalanan.

Gelandangan umumnya lahir dari kemiskinan yang sudah lama mereka

jalani. Karena kondisi kemiskinan tersebutlah menjadikan keluarga tidak

memberikan keterampilan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih

menjanjikan. Dengan menyadari modal ketrampilan yang pas-pasan serta

Page 3: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

3

menyadari sulitnya mendapat pekerjaan, alhasil banyak dari mereka untuk tidak

memimpikan pekerjaan sector formal. Pekerjaan untuk menjadi anjal dan gepeng

semakin dilirik dan menjamur selain karena kemudahan untuk menjadi anjal dan

gepeng, Hasil yang didapatkan dari pekerjaan tersebut cukup untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Walaupun terlihat banyak kemudahan dalam memperoleh

uang, anjal dan gepeng tetap dimasukkan ke dalam kelompok miskin karena tidak

memiliki pekerjaan tetap dan banyak dari mereka tidak memiliki tempat tinggal

tetap.

Permasalahan anjal dan gepeng bukan lagi hal baru, hampir di setiap kota-

kota besar menjadikan mereka sebagai masalah, terutama bagi masyarakat yang

menganggap kehadiran gepeng dan anjal menimbulkan ketidaknyamanan bagi

pengguna jalan raya. Pemerintah pun menganggap kehadiran gepeng dan anjal

menyebabkan ketidaktertiban seperti pencurian, munculnya kantong-kantong

hunian liar baik itu di pinggir jalan, kolong jembatan maupun diruang-ruang

public lainnya (Wibowo2012: 25). Selain itu banyak istilah- istilah negative yang

disematkan kepada mereka seperti nakal, kumuh, tidak tahu aturan, dll. Disadari

maupun tidak, stigma yang melekat kepada anjal dan gepeng semakin

mempersulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak.

Walaupun keberadaan anjal dan gepeng menimbulkan ketidaknyamanan,

tidak semua warga negara mampu dan mau untuk membantu mengentaskan

masalah anjal dan gepeng. Di Kabupaten Bantul banyak lapisan masyarakat yang

menaruh perhatian terhadap masalah anjal dan gepeng, seperti pelajar, mahasiswa,

dll. Namun tidak semua orang memiliki sumber daya untuk menyampaikan

Page 4: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

4

aspirasi mereka. Salah satu cara untuk mewujudkan komitmen bagi masyarakat

yang peduli terhadap masalah-masalah social adalah dengan membentuk lembaga

social. Di Bantul sendiri salah satu lembaga social yang menangani masalah anjal

dan gepeng adalah Lembaga Sosial Hafara. Selain lembaga social tersebut,

Pemkab Bantul juga memiliki kewajiban untuk mengatasi permasalahan anjal dan

gepeng. Dalam menangani masalah gepeng dan anjal, Pemkab Bantul merupakan

actor formal yang memiliki kewajiban menangani masalah anjal dan gepeng di

wilayah Bantul seperti yang tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia

1945 pasal 34 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,

sedangkan Lembaga social Hafara adalah lembaga informal yang membantu

secara sukarela dalam penanganan masalah anjal dan gepeng di wilayah Bantul.

Walaupun memiliki latar belakang, idiologi, tujuan, dan struktur organisasi yang

jelas berbeda antara Pemkab Bantul dengan Lembaga Sosial Hafara, namun

mereka memiliki keprihatinan yang sama terhadap masalah anak jalanan,

gelandangan dan pengemis. Perbedaan tersebutlah yang justru diperlukan dalam

menangani masalah tersebut. Sejatinya diperlukan kesadaran dan kerjasama

berbagai macam pihak dengan spesifikasi kemampuan yang berbeda, untuk

bekerja sama menambah kapasitas teknis. Relasi ini dilakukan dengan cara saling

mendukung dan melengkapi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Dalam menangani masalah gepeng dan anjal terbentuklah relasi antara

Pemerintah Kabupaten Bantul dengan Lembaga social Hafara. Seperti diketahui

peran Negara dalam hal ini Pemkab Bantul sebagai pengatur dan pelindung

sedangkan Lembaga Sosial Hafara sebagai lembaga alternative yang bersifat

Page 5: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

5

otonom. Dibandingkan Pemkab Bantul, Lembaga Sosial Hafara memiliki

keunggulan seperti lebih dekat dengan komunitas jalanan dalam hal ini gepeng

dan anjal, memiliki kemampuan dalam rehabilitasi dan pemberdayaan

masyarakat, memiliki staf yang terlatih dan berpengalaman, serta organisasi yang

kecil sehingga relative memudahkan pengorganisasian. Sesuai dengan

keunggulannya Lembaga social Hafara dapat member dukungan atas pelaksanaan

program pemerintah, selain itu juga dapat melakukan kegiatan yang kurang dapat

dilaksanakan oleh Pemkab Bantul.

Pemerintah sendiri sejak dahulu memiliki beragam undang-undang atau

peraturan untuk mengurangi masalah penanganan gelandangan, yaitu; UUD 1945

Pasal 34 ayat 1, Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No 1 tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial dan Perda Bantul No 10 tahun 2000 tentang Ketertiban , Keindahan,

Kesehatan Lingkungan dan Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan.

Walaupun memiliki beragam peraturan, usaha tersebut tentu tidak begitu efektif

karena mekanisme pencegahan kemunculan anjal dan gepeng tidak ada. Masalah

anjal dan gepeng sudah lama ada, namun tidak pernah bisa tuntas ditangani,

Pemerintah Kabupaten Bantul sendiri kurang memiliki sumber daya manusia yang

cukup berkompeten untuk melakukan rehabilitasi. Bagaimanapun juga pemerintah

daerah memiliki kapasitas yang terbatas . Tidak semua permasalahan di

masyarakat dapat diselesaikan, terlebih bagi pemerintah masalah gepeng dan anjal

tidaklah dianggap sebagai permasalahan yang krusial sehingga harus ditangani

secara lebih mendalam. Untuk itu penting bagi pemerintah untuk bekerja sama

Page 6: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

6

dengan Lembaga Sosial Hafara sebagai lembaga yang cukup dipercaya untuk

melaksanakan program pemberdayaan dan rehabilitasi. Karena program yang

dijalankan akan lebih efisien dan efektif jika diserahkan kepada lembaga social

Hafara dari pada dilakukan sendiri oleh Pemkab Bantul. (Affan Gaffar1999, h

202)

Program penanganan masalah anjal dan gepeng memerlukan pengamatan

kepribadian masing-masing gelandangan, selain itu memerlukan pengamatan

gejala perkembangan kejiwaan. Sudah barang tentu dalam penanganan ini

menuntut kelengkapan sarana prasarana, anggaran serta tenaga profesional.

Pemerintah Kabupaten Bantul sebenarnya memiliki beragam program dan tenaga

untuk mengatasi masalah tersebut, namun untuk mengamati secara cermat para

gelandangan dirasa belum mencukupi.(LP3ES 1986,hal 118-119) Untuk itu

diperlukan kelembagaan social yang dapat mengkoordinasi program dengan

memperhatikan kearifan local, kerja sama, memperhatikan nilai-nilai social

budaya sehingga dapat membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.

(Pranowo2006,h10) Dengan menjalin relasi dengan Lembaga Sosial Hafara

diharapkan dapat memberikan kemampuan untuk mengelola berbagai sumber

daya sehinggan para anak jalanan, gelandangan dan pengemis dapat lepas dari

ketergantungan terhadap kegiataannya selama ini.

Tulisan ini sekali lagi membagas mengenai bagaimana model relasi institusi

antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam

penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Tema ini dipilih mengingat

kurangnya penelitian yang membahas mengenai relasi antara lembaga social

Page 7: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

7

dengan pemerintah melalui teori relasi institusi Levitsky Steven. Sebelum

ditulisnya penelitian ini terdapat penelitian terdahulu yang dianggap berhubungan

dengan pokok pembahasan diatas, walaupun demikian pembahasan tetap dari

fokus dan obyek yang berbeda. Penelitian yang saya temukan berikut

diklasifikasikan menjadi 3 kata kunci yaitu relasi antara pemerintah dan LSM,

relasi antar institusi pemerintah dan pembinaan.

Berhubungan dengan relasi antara pemerintah dengan LSM terdapat 2

skripsi. Nizam Zulfikar (2010), menuliskan dalam skripsi berjudul Pola relasi

yang terbangun antara negara dan Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan

(FKMCS) dalam rangka pembangunan masyarakat code selatan. Skripsi tersebut

menjelaskan mengenai relasi negara ( Balai Lingkungan Hidup Provinsi DIY,

Pemerintah Kota Yogyakarta, dan Dinas Pemukiman dan Prasarana wilayah

Yogyakarta) dengan FKMCS. Kemiskinan merupakan masalah yang harus

diselesaikan oleh negara, namun upaya pemberdayaan oleh pemerintah tidak

terlalu memberikan perubahan yang signifikan. Muncul dari keprihatinan elite

wilayah brontokusuman dan balai lingkungan hidup DIY terbentuklah FKMCS.

Dengan relasi kedua institusi yang bersifat komplementer tersebut FKMCS

berhasil melakukan perbaikan dan pembangunan bantaran kalicode selatan.

Skripsi kedua oleh Octo Noor Arafat berjudul LSM dan Pemerintah dalam

pelayanan umum: studi tentang model hubungan LSM dan pemerintah dalam

pelayanan social terhadap anak jalanan di Kota Yogyakarta (2003). Penelitian

tersebut menjelaskan model yang digunakan berbagai LSM ( Rumah Singgah

Anak Mandiri Yayasan Insan Mandiri / RSAM YIM dan RSAM Ceria) dengan

Page 8: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

8

pemerintah ( Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Provinsi DIY) dalam menangani

masalah anak jalanan. Disini negara tidak selalu sebagai institusi satu-satunya

dalam pelayanan social tersebut, namun juga menuntut ketelibatan actor lainnya

seperti lembaga swasta, volunteer, maupun masyarakat umum. RSAM YIM

terlibat dalam kegiatan advokasi dan politik, namun RSAM Ceria tidak terlibat

dalam upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah tersebut, RSAM ceria hanya

bersifat memberdayakan anak jalanan.

Berhubungan dengan pembinaan, terdapat skripsi yang ditulis oleh Tri

Muryani (2008) berjudul Rehabilitasi social bagi gelandangan di Panti Sosial Bina

Karya Sidomulyo Yogyakarta. Skripsi ini membahas mengenai proses rekrutmen

dan proses rehabilitasi yang dilakukan Panti Sosial Bina Karya. Proses rekrutmen

sendiri terdapat 4 klasifikasi seperti razia, hasil motivasi petugas, datang atas

kesadaran sendiri dan kemitraan dengan pihak lain.

Skripsi selanjutnya adalah Evaluasi Program Pembinaan Anak Jalanan DI

Rumah Singgah Setara Semarang oleh Dimas Arfan Ardyana (2012). Secara garis

besar skripsi tersebut membahas bagaimana Rumah Singgah Setara Semarang

menjalankan program pembinaan anak jalanan. Sumber daya manusia menjadi

nilai plus dari evaluasi program tersebut, karena sumber daya manusia di rumah

singgah tersebut sangat berkompeten menjalankan program kerja. Program

kerjanya sendiri menganut pola pemberdayaan anak jalanan melalui pendidikan

dan ketrampilan.

Sesuai dengan penjelasan singkat mengenai penelitian terdahulu, hasil

penelitian ini merupakan perihal yang berbeda walaupun terdapat beberapa aspek

Page 9: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

9

yang dapat menjadi masukan. Dalam aspek relasi antara pemerintah dengan LSM,

Nizam Zulfikar dalam penelitiannya membahas mengenai relasi Forum

Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dengan negara menggunakan

dasar teori milik Levitsky Steven tentang relasi institusi dan teori spirit quasi

autonomous non governmental organizational yaitu FKMCS yang merupakan

lembaga informal, namun memiliki kecenderungan kepada pemerintah karena

terbentuk juga atas inisiasi pemerintah yaitu Balai Lingkungan Hidup Provinsi

DIY. Sedangkan skripsi kedua milik Octo Noor Arafat dimana terdapat beberapa

LSM yaitu RSAM YIM dan RSAM Ceria dan keduanya memiliki relasi yang

berbeda- beda dengan pemerintah. Pada penelitian relasi institusi lembaga social

Hafara dengan Pemkab Bantul yang saya tulis lebih membahas mengenai

bagaimana model relasi institusi antara dua lembaga tersebut dalam menangani

masalah gepeng dan anjal. Satu hal yang dapat ditarik benang merah bahwa kedua

penelitian tersebut memiliki kesamaan konsep karena sama-sama membahas relasi

antara LSM dengan pemerintah. Terlebih dengan skripsi milik Nizam Zulfikar

dimana memiliki persamaan teori yaitu milik Lavitsky Steven, yang menjadi

berbeda adalah teori spirit quasi autonomous non governmental organizational,

dimana dalam skripsi saya tidak membahas mengenai teori tersebut karena

Lembaga Sosial Hafara tidak lahir dari inisiasi pemerintah, sehingga masih

relative berdiri sendiri walaupun tidak menampik menjalin relasi dengan

pemerintah.

Dalam aspek Pembinaan, Tri Muryadi menjelaskan bagaimana berjalannya

proses rehabilitasi gelandangan sedangkan Dimas Arfan Ardhiyana membahas

Page 10: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

10

mengenai evaluasi dari program pembinaan anak jalanan mengenai kelebihan dan

kekurangan. Satu kesamaan dari skripsi yang saya tulis adalah sama-sama

membahas bagaimana suatu panti social/rumah singgah/ lembaga social

melakukan pembinaan terhadap anjal atau gelandangan, yang menjadi pembeda

karena kedua skripsi terdahulu tersebut tidak menyebutkan teori secara terpusat

sehingga hanya terkesan menjelaskan konsep-konsep umum.

Relasi institusi antara lembaga social Hafara dengan Pemkab Bantul

merupakan hal yang patut menjadi masukan dalam ilmu politik, bahwa

penyelesaian dari suatu masalah yang sulit untuk ditangani, dapat lebih mudah

untuk ditangani atau diminimalisir dengan cara menjalin relasi. Menjalin relasi

dengan pemerintah sendiri tidak selalu terkesan buruk, seperti diketahui bahwa

menyelesaikan masalah public bukan hanya menjadi tanggung jawab negara,

namun juga seluruh lapisan masyarakat. Dengan bekerja sama antara LSM dengan

pemerintah setidaknya LSM dapat mengisi lubang yang belum diisi negara,

seperti yang dilakukan oleh Lembaga social Hafara.

I.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana model relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan

Pemerintah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan

pengemis?

Page 11: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

11

I.3. TUJUAN PENELITIAN

1. Menganalisis model relasi institusi antara lembaga social Hafara dengan Pemkab

Bantul dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis

2. Mengetahui bagaimana berjalannya model pemberdayaan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis

I.4. KERANGKA TEORI

I.4.1 Institusi Formal dan Institusi Informal

Sebelum membahas mengenai relasi institusi informal dengan institusi

formal (negara) dengan menggunakan teori Steven Levitsky, terlebih dahulu

akan dijelaskan mengenai perbedaan institusi formal dan informal.Menurut

Steven Levitsky institusi formal adalah aturan atau prosedur yang dibuat dan

bersifat memaksa yang menembus berbagai saluran dan diterima sebagai aturan

resmi. Dengan pengertian tersebut dapat diartikan pula bahwa institusi formal

menunjuk pada tubuh negara dimana terdapat kumpulan dua orang atau lebih

secara sadar mengikatkan diri pada peraturan bersama yang bersifat memaksa

(hukum atau regulasi). Institusi formal juga memiliki struktur atau bagian-bagian

dengan tugas dan wewenang yang berbeda-beda. Struktur tersebut menjadi hal

yang sangat penting bagi institusi Formal karena dalam struktur tersebut

dijelaskan bagaimana pembagian tugas masing-masing personil sampai

bagaimana mekanisme dan pola interaksi pada tiap bagian struktur. Maka tidak

mengherankan jika mekanisme institusi formal biasanya diidentikkan dengan

ketidakefektifan, terlebih ketika membuat aturan formal. Aturan tersebutharus

Page 12: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

12

melewati channel-channel resmi yang panjang seperti legislative dan eksekutif

sebelum ditegakkan. Contohnya adalah pengadilan,ataupun birokrasi. Menurut

Max Webber (1986,h 232-233) dijelaskan cirri-ciri institusi formal atau birokrasi

modern sebagai berikut:

Pertama, Fungsi resmi diatur dalam bentuk peraturan

Kedua, Kewajiban melaksanakan fungsi yang sudah ditetapkan

Ketiga, Organisasi Kepegawaian melewati prinsip hirarkis

Keempat, Peraturan-peraturan yang mengatur seorang pegawai dapat merupakan

aturan atau norma yang bersifat teknis

Kelima, Para anggota terpisah dari kepemilikan alat – alat produksi atau

administrasi

Keenam, Tidak ada pemberian posisi kepegawaian oleh orang yang menduduki

suatu jabatan

Ketujuh, Tindakan, keputusan dan peraturan administrasi dicatat dalam bentuk

tertulis

Berbeda dengan institusi formal, institusi informal menurut Steven

Levitsky adalah aturan social yang biasanya tidak tertulis, dibuat dan

dikomunikasikan dengan sifat memaksa. Aturan ini berada diluar aturan resmi dan

hanya menyentuh bagian tertentu. Aktifitas yang terjalin bersama ini sering kali

memiliki tujuan bersama yang tidak disadari. Perbedaan yang jelas antara institusi

formal dan informal tersebut adalah bentuk pelaksanaan dari aturan. Peraturan

informal biasanya dibentuk dari masyarakat dan dijalankan oleh masyarakat.

Sedangkan peraturan formal dibuat oleh negara. Institusi Informal memiliki cirri –

Page 13: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

13

cirri keswadayaan, dan sukarela. Helmke dan Levitsky (2004) mendefinisikan

institusi informal menjadi 3 pendekatan yaitu:

Pertama, pendekatan state sociental: sebagai institusi diluar institusi negara seperti

agama, kekerabatan, aturan dan organisasi sosial

Kedua, Pendekatan lokasi penegakkan aturan dapat diartikan institusi informal

memiliki penegakkan internal tempat anggota komunitas secara mutual merespon

satu sama lain dalam penegakkan aturan-aturan.

Ketiga, Pendekatan berdasarkan kodifikansi dan komunikasi aturan: institusi

informal adalah aturan-aturan yang diterima secara sosial, biasanya tidak tertulis

dan ditegakkan diluar aturan-aturan resmi.

Sedangkan Soekanto (2002,79-80) mengklasifikasikan institusi Informal

di masyarakat seperti berikut :

Pertama, Dari sudut perkembangannya Cresive Institutions dan Enacted

Institutions. Creseive Institutions yaitu institusi masyarakat informal yang dengan

sendirinya tumbuh melalui adat istiadat masyarakat. Enacted Institutions

merupakan institusi yang sengaja dibentuk untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu

tetapi masih tetap didasarkan ppada kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.

Kedua, Dari sudut sistem nilai yang diterima masyarakat seperti Basic Institutions

dan Subsidiary Institutions. Basic Institutions adalah lembaga informal yang

penting untuk memelihara dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat.

Sedangkan Subsidiary Institutions adalah institusi informal yang cenderung

mengatur kegiatan yang dianggap kurang penting bagi masyarakat.

Page 14: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

14

Ketiga, Dari sudut penerimaan masyarakat seperti Approved institutions dan

Sanctioned institutions . Approved Institutions adalah institusi informal yang

keberadaanya diterima oleh masyarakat. Sanctioned Institutions adalah intitusi

informal yang keberadaanya ditolak oleh masyarakat.

Keempat, Dari sudut factor penyebaran institusi informal yaitu General

Institutions dan Restricted Institutions.

Kelima, Dari sudut fungsinya dibedakan menjadi Operative Institutions dan

Regulative Institutions. Operative institutions adalah institusi yang menghimpun

pola-pola atau cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan institusi yang

bersangkutan. Regulative Institutions adalah institusi informal yang bertujuan

untuk mengawasi tata kelakuan yang tidak menjadi bagian dari institusi itu

sendiri.

Munculnya institusi informal bukan tanpa alasan, beberapa alasan tersebut

seperti tidak berjalan efektifnya institusi formal. Selain itu bagi actor yang

menginginkan sesuatu tetapi tidak dapat meraih aksesnya, dapat menggunakan

institusi informal sebagai jalan keluarnya. Mekanisme institusi informal sendiri

berbeda dengan institusi formal. Namun berbeda dengan institusi informal, karena

bisa diciptakan dan dikomunikasikan di luar public channels bahkan tanpa

sepengetahuan public. Levitsky mengungkapkan proses kemunculan institusi

informal dibedakan menjadi dua jenis: Pertama, Institusi informal yang reaktif,

dimana ia tumbuh dan berkembang disebabkan struktur institusi formal atau

tumbuh secara independen dari struktur itu sendiri atau bisa disebut tumbuh diluar

struktur. Kedua, Institusi informal yang sengaja diciptakan. Dalam proses kedua

Page 15: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

15

ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu bottom up dan top down.Bottom up adalah

suatu proses berasal dari koordinasi sejumlah besar aktor yang menegakkan

aturan, interaksi atau proses tawar menawar. Sedangkan Top down, merupakan

strategi yang didesain oleh sejumlah kecil elit, sehingga institusi informal

merupakan produk , dari desentralisasi atau koordinasi , elite creating , dan proses

historis yang menempatkan actor, kepentingan dan mekanisme sebagai peraturan

yang diciptakan dan dikomunikasikan (Helmke dan Levitsky 2004,h6-7)

I.4.2 Relasi Institusi Informal dengan negara menurut Steven Levitsky

Ada beberapa tipe yang dapat muncul dari institusi informal terhadap

institusi formal, yaitu:

1) Complementary informal institutions: adalah suatu tipe yang bersifat melengkapi

peran institusi formal. Tipe komplementer dapat berfungsi sebagai fondasi bagi

institusi formal. Selain itu juga dapat menciptakan atau memperkuat dari

kebijakan institusi formal.

2) Accomodating informal institutions: Tipe ini dapat disebut tipe mengakomodasi.

Dalam tipe ini kapasitas negara masih berjalan efektif. Namun institusi komunitas

dapat menciptakan peraturan yang bersumber dari norma/ nilai komunitas untuk

menegatur perilaku anggota atau warganya dengan secara tidak langsung merubah

nilai substansi dari perilaku formal.

3) Competing informal institutions atau bersaing dengan institusi formal. Persaingan

ini muncul karena institusi formal tidak berjalan efektif karena aturan dari institusi

Page 16: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

16

formal banyak pelanggaran dan tidak ditegakkan. Relasi yang terjalin antara

institusi informal dan institusi formal bersifat jauh.

4) Substitutive Informal Institutions atau menggantikan institusi formal. Dalam

tipologi ini institusi formal tidak berjalan efektif, ditandai dengan melemahnya

kepatuhan terhadap negara. Tujuan institusi komunitas yang menggantikan

institusi formal negara agar mampu merespon dan mengarahkan kepentingan

bersama, karena institusi formal dianggap gagal menciptakan kepentingan

komunitas.

(Helmke dan Levitsky 2004,h11-14)

Keberadaan institusi informal yang menjalin relasi dengan pemerintah

selaku institusi formal sangat mendukung iklim kontrol yang efektif terhadap

kinerja pemerintah. Institusi informal banyak bergerak dalam bidang social

kemasyarakatan, banyak pula yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah

pengembangan sumber daya manusia, budaya maupun lingkungan hidup. Dengan

peningkatan partisipasi masyarakat dalam bentuk institusi informal sekaligus

dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan politik.

(Dwiyanto2002,h136-137)

I.4.3Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat memiliki makna harfiah membuat berdaya atau

dapat diartikan untuk meningkatan kemandirian masyarakat. Menurut Ife dalam

buku Pekerjaan social dan Kesejahteraan social hal 270 Pemberdayaan merupakan

suatu cara bagi kelompok kurang beruntung untuk meningkatkan kekuasaan. Dua

Page 17: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

17

kata kunci dalam pengertian pemberdayaan tersebut adalah kekuasaan dan

kekurang beruntungan. Kekuasaan sendiri dapat diartikan sebagai kondisi

ketimpangan relasi antar masyarakat dimana terdapat suatu kelompok yang

mendominasi kelompok lainnya, efek yang terjadi adalah munculnya kompetisi

yang tidak menguntungkan bagi kelompok tertentu. Kekurangberuntungan adalah

kondisi suatu kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan yang lemah.

Contoh dari kelompok masyarakat kurang beruntung seperti kelompok yang rugi

secara structural (ketimpangan kelas,dll), merugi karena factor ekonomi (cacat,

usia tua,dll) dan rugi karena factor personal (krisis identitas,dll). (Miftachul Huda

2009,h 273)

Pemberdayaan menurut Kartasasmita(1996:145) adalah upaya untuk

membangun sumber daya dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan

kesadaran potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkkannya. Tujuan

penberdayaan secara garis besar bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi

melainkan juga memberikan arahan agar dapat menganalisis keadaanya sendiri

serta mengembangkan potensi setiap orang agar dapat mengembangkan

kehidupannya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dan meningkatkan kemandirian

masyarakat atau suatu kelompok tertentu proses merupakan suatu hal yang

penting. Dalam penanganan Anak Jalanan, gelandangan dan pengemis dapat

dibagi menjadi dua kategori, yaitu penanganan terorganisir dan penanganan tidak

terorganisir. Penanganan terorganisir adalah penanganan yang dilakukan oleh

pemerintah secara berkelanjutan meliputi dua system yaitu system panti sosial dan

nonpanti sosial. Dalam system non panti, peranan masyarakat yang besar. Dalam

Page 18: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

18

system ini rumah singgah yang dikelola masyarakat dapat menjadi contoh system

non panti. Dalam penanganan tidak terorganisir adalah bentuk kegiatan yang tidak

direncanakan misalnya adalah bakti sosial atau pemberian sedekah. (Mardian

Wibowo2012,h 124-125)

Untuk meningkatkan kualitas hidup kelompok sasaran harus disesuaikan

dengan dinamika lingkungannya. Banyak hal yang mempengaruhi seperti modal

sosial, sumber daya manusia, sampai persoalan yang berbeda-beda, berbagai hal

tersebutlah yang menyebabkan proses pemberdayaan oleh tiap actor berbeda-

beda. Pada dasarnya ada beberapa proses yang mengganggu pemberdayaan

masyarakat. Pertama, pemberdayaan yang mengutamakan proses instan. Dengan

kebiasaan memberikan bantuan langsung kepada kelompok sasaran untuk

menyelesaikan masalah, maka bisa jadi selamanya kelompok sasaran tersebut

tidak akan mampu mewujudkan kemandirian karena kelompok sasaran lebih

senang untuk mencari bantuan dari pada menyelesaikan masalah secara mandiri.

Kedua, sikap yang hedonis. Kelompok sasaran yang terlalu dimanjakan justru

rentan menjadi tidak berdaya. Masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang

mampu menghadapi berbagai dinamika dan perubahan sosial.

Upaya yang dapat dilakukan dalam proses pemberdayaan adalah dengan

menciptakan suasana yang memungkinkan untuk masyarakat dapat berkembang,

memberikan bantuan seperti dana, pelatihan, sarana prasarana, dan juga dengan

cara melindungi kelompok yang lemah atau kurang beruntung dari persaingan

tidak seimbang dengan cara membentuk kemitraan (Sumodiningrat 1999,h254-

255). Memberdayakan masyarakat kurang beruntung bukan hanya kewajiban dari

Page 19: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

19

pemerintah, namun juga setiap masyarakat. Masyarakat juga memiliki peran

penting sebagai pelaku social-ekonomi untuk ikut serta dalam proses

pemberdayaan.

Unsur yang paling penting dalam pemberdayaan adalah penguatan dan

pengakuan posisi seseorang terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki. Dalam hal

ini seseorang dituntut untuk menyadari dan memperjuangkan apa yang menjadi

hak dan kewajibannya, walaupun proses tersebut membutuhkan bantuan pihak

lain untuk mendampingi, poin penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah

mengutamakan usaha sendiri. Untuk lebih memperlancar proses pemberdayaan

ada beberapa hal yang harus dibangun dalam setiap kegiatan pemberdayaan, yaitu:

pertemanan, kesetaraan dan partisipasi. Dengan menganggap seseorang atau suatu

kelompok tertentu sebagai teman yang setara mampu menumbuhkan kepercayaan

diri dan kepercayaan terhadap pendamping. Sedangkan pendekatan partisipatif

sendiri membuka peluang bagi kelompok sasaran untuk menentukan sendiri

kegiatan yang akan dilakukan. Dengan keadaan yang demikian akan memudahkan

bagi kelompok sasaran dan pendamping untuk bekerja sama untuk memudahkan

terlaksananya kegiatan pemberdayaan.(Tjandraningsih1996,h5-6)

I.4.4.Strategi pemberdayaan

Masalah ekonomi merupakan salah satu permasalahan utama yang

menyebabkan diperlukannya pemberdayaan, namun menitikberatkan

pemberdayaan pada aspek ekonomi melalui berbagai program tidak serta merta

menyelesaikan masalah. Diperlukan suatu strategi khusus agar kelompok sasaran

Page 20: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

20

dalam hal ini anak jalanan, gelandangan dan pengemis dapat mengembangkan

potensi mereka secara mandiri. Strategi tersebut diarahkan untuk meningkatkan

kapasitas masyarakat pada umumnya dan kelompok sasaran pada khususnya.

Menurut Ife dalam buku Pekerjaan social dan Kesejahteraan social hal 274-276

kurang lebih ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk memberdayakan

masyarakat, yaitu perencanaan dan kebijakan, aksi social dan politik, peningkatan

kesadaran dan pendidikan. Pemberdayaan melalui perencanaan dan kebijakan

sering kali dilakukan oleh institusi formal. Dengan melakukan perubahan struktur

dan institusi akan memudahkan masyarakat mengakses berbagai hal untuk

meningkatan taraf hidup, contohnya kebijakan upah minimum regional yang

tinggi. Aksi social dan politik dengan merubah system masyarakat partisipatif,

sehingga memungkinkan lebih besarnya keterlibatan masyarakat dalam proses

pemberdayaan. Sedangkan strategi yang terakhir memerlukan kesadaran

kelompok sasaran itu sendiri. Karena banyak dari kelompok sasaran justru tidak

menyadari mengenai hak dan kewajibannya. Terlebih lagi kurangnya

keterampilan dan strata pendidikan yang rendah semakin merujuk kelompok

sasaran ke dalam penindasan secara tidak langsung. Untuk itu diperlukan strategi

peningkatan kesadaran dan pendidikan.

I.5. DEFINISI KONSEPTUAL

a. Relasi institusi informal dengan institusi formal: Hubungan yang terjalin

antara institusi informal (Lembaga social Hafara)dan institusi formal (Pemerintah

kabupaten Bantul) dengan didasarkan pada tujuan tertentu. Pemerintah memiliki

Page 21: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

21

kewajiban untuk mengatasi suatu masalah, namun tetap saja pemerintah memiliki

suatu keterbatasan kapasitas mengingat banyaknya cangkupan permasalahan yang

harus diatasi oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan institusi informal dimana

mereka terfokus pada suatu permasalahan tertentu sehingga dapat menjalankan

fungsinya secara lebih maksimal, walaupun tetap terdapat berbagai kendala yang

harus diatasi.

b. Pemberdayaan masyarakat: suatu proses sosial untuk mendorong,

memotivasi dan membangkitkan kesadaran potensi individu atau kelompok agar

dapat memperbaiki keadaanya dan meningkatkan taraf kehidupan secara mandiri.

I.6. DEFINISI OPERASIONAL

Masalah mengenai anak jalanan, gelandangan dan pengemis menjadi

permasalahan yang selalu ada hampir di seluruh kota besar di Indonesia.

Pemerintah memiliki beragam kebijakan dan tindakan untuk mengatasi hal

tersebut contohnya dengan pemberdayaan. Namun kebijakan tersebut tidak cukup

untuk mengatasi permasalahan atau mengurangi keberadaan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis. Bukan hanya pemerintah saja yang memiliki

perhatian terhadap masalah tersebut, banyak lembaga informal yang juga

memiliki perhatian terhadap masalah tersebut dengan menyiapkan berbagai

program pemberdayaan untuk kelompok anak jalanan, gelandangan dan

pengemis. Antara institusi informal dan formal sama-sama memiliki pandangan

dan cara tersendiri dalam melihat dan mengatasi permasalahan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis. Menjadi menarik ketika kedua institusi tersebut saling

Page 22: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

22

berhubungan. Karena pola relasi yang terjalin bukan hanya dapat bersifat

membantu seperti melengkapi, namun juga dapat bersifat menggantikan,

mengakomodasi ataupun bersaing. Untuk menghindari perbedaan interpretasi

dalam konteks penelitian ini, maka akan diberikan batasan dari masing-masing

variabel teori dalam penelitian ini. Definisi operasional dari masing-masing

variabel adalah sebagai berikut:

1.6.1 Relasi institusi informal dan institusi formal

1) Proses kemunculan institusi informal dibedakan menjadi dua jenis yaitu

Institusi informal yang reaktif dan Institusi informal yang sengaja diciptakan.

2) Kerja sama negara dengan instiitusi informal

3) Antara Institusi Formal dengan Informal saling mempengaruh menghasilkan

tipe pola relasi yang dapat muncul dari institusi informal terhadap institusi

formal seperti complementary, substitusi, accommodating dan competing.

I.6.2 Pemberdayaan kelompok anak jalanan, gelandangan dan pengemis

1) Dalam penanganan terorganisir anak Jalanan, gelandangan dan pengemis dapat

dibagi menjadi dua kategori, yaitu dengan penanganan oleh pemerintah yang

biasanya menggunakan sistem panti sosial dan non panti yang dilakukan oleh

masyarakat sebagai sektor informal.

2) Tujuan pemberdayaan bukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi

melainkan juga memberikan arahan agar dapat menganalisis keadaanya sendiri

serta mengembangkan potensi untuk mengembangkan kehidupannya.

Page 23: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

23

3) Kurang lebih ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk memberdayakan

masyarakat, yaitu: perencanaan dan kebijakan, aksi sosial dan politik,

peningkatan kesadaran dan pendidikan.

I.7. KERANGKA PEMIKIRAN

Page 24: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

24

I.8. METODE PENELITIAN

1.8.1 Jenis Penelitian

Pada penelitian mengenai model relasi institusi ini menggunakan metode

penelitian kualitatif. Kualitatif peneliti rasa lebih sesuai untuk mengeksplorasi

bagaimana cara suatu institusi informal yaitu Lembaga Sosial Hafara berinteraksi

dengan Pemkab Bantul sebagai institusi formal untuk mengatasi masalah anak

jalanan, gelandangan dan pengemis. Metode penelitian yang akan digunakan

adalah dengan studi kasus. Metode tersebut dirasa cocok untuk menjelaskan

rumusan penelitian Bagaimana model relasi institusi antara Lembaga Sosial

Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam penanganan anak jalanan,

gelandangan dan pengemis? Penelitian ini juga bersifat deskriptif yang akan

mencoba melakukan eksplorasi mengenai latar belakang munculnya Lembaga

Sosial Hafara sebagai institusi informal.

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Sumber penelitian yang akan dicari ada dua macam, yaitu sumber primer

dan sekunder. Sumber primer terkait dengan model relasi antara Lembaga Sosial

Hafara dengan Pemkab Bantul dalam mengatasi masalah anak jalanan,

gelandangan dan pengemis. sedangkan sumber sekunder dalam penelitian berisi

sejarah terbentuknya Lembaga social Hafara, dan cara pemberdayaan anak

jalanan, gelandangan dan pengemis.

Page 25: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

25

Untuk mengumpulkan data primer tersebut melalui sumber wawancara

dengan aktor- aktor strategis terkait permasalahan tersebut, hal tersebut sebagai

metode utama dan studi dokumen sebagai sampingan. Wawancara yang akan

dilakukan diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu: (1)wawancara dengan

pengurus Lembaga Sosial Hafara mewakili institusi informal, (2)wawancara

dengan instansi pemerintah (Dinas Sosial Bantul, Dinas Sosial DIY, Satpol PP ),

selaku institusi formal.

Metode wawancara yang dilakukan adalah dengan cara in-depth interview

atau juga biasa disebut wawancara secara mendalam. Disini mencoba menggali

data-data melalui informan yang mengetahui atau terlibat langsung proses relasi

antara lembaga social hafara dengan instansi pemerintah dalam mengatasi

masalah anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Seperti yang sudah dijelaskan

diatas, wawancara tidak hanya dilakukan kepada Lembaga Sosial Hafara semata

namun juga melalui pemerintah . Tentu dalam wawancara, tidak dapat dilakukan

tanpa alat bantu wawancara. Alat bantu wawancara yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah pedoman pertanyaan wawancara.

Pengumpulan data sekunder sebagai bahan untuk memperkuat argumentasi,

disini akan berusaha memaparkan, mengumpulkan berbagai sumber seperti

dokumen-dokumen, berita media cetak, elektronik maupun internet. Metode

dokumentasi yang akan dilakukan adalah dengan mengumpulkan data-data diatas

untuk melengkapi data primer. Tujuan dari penggabungan data primer dan data

sekunder sendiri adalah untuk memperoleh informasi yang valid dan dapat

diambil kesimpulan dari kedua data tersebut.

Page 26: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

26

1.8.3 Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data sendiri ada 4 proses utama yang akan dilewati

sebagai arahan peneliti untuk melakukan penelitian, yaitu dengan:

Pertama, Terjun ke lapangan dengan berbekal pada teori awal yang ditujukan

sebagai arahan. Beberapa yang akan dituju adalah kantor Lembaga social Hafara,

Pemkab Bantul, Dinas Sosial, Satpol pp.

Kedua, Mengumpulkan data-data, baik primer maupun sekunder baik melalui

wawancara dengan aktor- aktor strategis terkait kebijakan tersebut dan juga

berbagai sumber seperti dokumen-dokumen, berita media cetak, elektronik

maupun internet

Ketiga, Menafsirkan data-data yang kemudian dikaitkan dengan kerangka teori.

Keempat, Menarik kesimpulan dari penafsiran data-data.

I.9. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini secara umum membahas mengenai model relasi institusi

antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul dalam

penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Dengan judul Relasi

institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah Kabupaten Bantul

dalam penanganan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Disini penulis

menekankan pada Lembaga Sosial Hafara sebagai institusi informal dalam

mengatasi permasalahan anak jalanan, gelandangan dan pengemis. Penulisan

penelitian ini akan dibagi menjadi 5 subbab, yaitu:

Page 27: I. LATAR BELAKANG Tulisan ini ingin mengungkapkan hasil

27

Subbab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka

konseptual, dan metode penelitian sebagai bahan informasi awal yang akan

mengantarkan pada kesimpulan mengapa memilih topik tersebut. Kata kunci

penting dalam bab ini adalah model relasi institusi, dan pemberdayaan. Subbab

kedua membahas mengenai pemberdayaan yang dilakukan oleh Lembaga Sosial

Hafara sebagai institusi informal. Dalam subbab ketiga bentuk bentuk

pemberdayaan yang dilakukan oleh institusi formal dalam hal ini Dinas Sosial,

Satpol PP, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Selain itu juga dibahas

mengenai kelemahan pemberdayaan oleh institusi formal. Subbab empat

menjelaskan relasi yang terjalin antara Lembaga social Hafara dengan Pemkab

Bantul, dan bentuk pemberdayaan yang dilakukan oleh kedua institusi tersebut.

Serta relasi kuasa yang terdapat dalam tubuh Hafara sehingga membentuk pola

relasi. Subbab lima atau terakhir adalah kesimpulan yang berisi penjelasan model

relasi institusi antara Lembaga Sosial Hafara dengan Pemerintah