i. bab i pendahuluan -...

26
1 I. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Metode ekstra terestrial adalah metode penentuan posisi dengan melakukan pengamatan atau pengukuran terhadap obyek di luar angkasa baik itu obyek alami ataupun buatan manusia seperti satelit (Abidin, 2000). Global Navigation Satellite System (GNSS) adalah salah satu metode penentuan posisi secara ekstra terestrial dengan menggunakan teknologi satelit navigasi yang diamat dari permukaan bumi seperti GPS, GLONASS, Galileo, QZSS, Beidou, dan IRNSS. Survei GNSS mampu memberikan posisi tiga dimensi serta informasi waktu yang akurat dan relatif cepat. Metode survei GNSS inilah yang paling banyak digunakan untuk penentuan posisi. Survei GNSS dimanfaatkan dalam berbagai pekerjaan seperti pemetaan, navigasi, militer, eksplorasi sumber daya alam, rekayasa, transportasi, mitigasi bencana dan lain-lain. Salah satu alat survei yang umum digunakan adalah receiver GPS. Khusus dalam bidang survei dan pemetaan diperlukan survei GPS secara teliti pada berbagai kegiatan teknis seperti pengukuran jaring kontrol dari orde nasional hingga daerah, survei deformasi, pemetaan bidang tanah, dan lain-lain. Pada umumnya kegiatan survei dan pemetaan tersebut menggunakan receiver GNSS yang sudah standar dengan tipe geodetik dan sudah dikalibrasi. Receiver tipe geodetik ini mampu menghasilkan ketelitian hingga fraksi milimeter. Menurut International Federation of Surveyors (FIG) receiver GNSS dengan tipe geodetik relatif mahal mulai dari 145 juta rupiah (Weston dan Schwieger, 2010). Kondisi kebutuhan penentuan posisi yang tersebut di atas, mendorong para ahli GNSS untuk menciptakan teknologi yang lebih efektif dan efisien dalam berbagai aspek, seperti kehandalan, efisiensi waktu, biaya, dan kemudahan. Perkembangan tersebut mampu menciptakan receiver GNSS yang diproduksi dalam bentuk Original Equipment Manufacturer (OEM) dengan harga yang jauh lebih murah dari receiver GNSS tipe geodetik yaitu mulai dari dua juta rupiah (Weston dan Schwieger, 2010).

Upload: nguyenkien

Post on 08-Apr-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Metode ekstra terestrial adalah metode penentuan posisi dengan melakukan

pengamatan atau pengukuran terhadap obyek di luar angkasa baik itu obyek alami

ataupun buatan manusia seperti satelit (Abidin, 2000). Global Navigation Satellite

System (GNSS) adalah salah satu metode penentuan posisi secara ekstra terestrial

dengan menggunakan teknologi satelit navigasi yang diamat dari permukaan bumi

seperti GPS, GLONASS, Galileo, QZSS, Beidou, dan IRNSS. Survei GNSS mampu

memberikan posisi tiga dimensi serta informasi waktu yang akurat dan relatif cepat.

Metode survei GNSS inilah yang paling banyak digunakan untuk penentuan posisi.

Survei GNSS dimanfaatkan dalam berbagai pekerjaan seperti pemetaan,

navigasi, militer, eksplorasi sumber daya alam, rekayasa, transportasi, mitigasi

bencana dan lain-lain. Salah satu alat survei yang umum digunakan adalah receiver

GPS. Khusus dalam bidang survei dan pemetaan diperlukan survei GPS secara teliti

pada berbagai kegiatan teknis seperti pengukuran jaring kontrol dari orde nasional

hingga daerah, survei deformasi, pemetaan bidang tanah, dan lain-lain. Pada

umumnya kegiatan survei dan pemetaan tersebut menggunakan receiver GNSS yang

sudah standar dengan tipe geodetik dan sudah dikalibrasi. Receiver tipe geodetik ini

mampu menghasilkan ketelitian hingga fraksi milimeter.

Menurut International Federation of Surveyors (FIG) receiver GNSS dengan

tipe geodetik relatif mahal mulai dari 145 juta rupiah (Weston dan Schwieger, 2010).

Kondisi kebutuhan penentuan posisi yang tersebut di atas, mendorong para ahli

GNSS untuk menciptakan teknologi yang lebih efektif dan efisien dalam berbagai

aspek, seperti kehandalan, efisiensi waktu, biaya, dan kemudahan. Perkembangan

tersebut mampu menciptakan receiver GNSS yang diproduksi dalam bentuk Original

Equipment Manufacturer (OEM) dengan harga yang jauh lebih murah dari receiver

GNSS tipe geodetik yaitu mulai dari dua juta rupiah (Weston dan Schwieger, 2010).

2

OEM adalah alat yang dirancang dan diproduksi oleh suatu perusahaan

manufaktur berdasarkan spesifikasi yang telah ditentukan oleh perusahaan tersebut.

OEM modul receiver diproduksi dan dijual di pasaran seperti merek Skytraq, U-blox,

Novatel, dan lain-lain. Untuk dapat menggunakannya, alat OEM tersebut pada

umumnya dirakit dengan perangkat lain seperti antena, catu daya, media

penyimpanan, dan kontroler dengan perangkat lunak untuk pengoperasiannya. Hal

tersebut menunjukkan perbedaan yang signifikan antara OEM modul receiver GPS

dengan receiver geodetik yang kondisinya memang diciptakan untuk menghadapi

berbagai kondisi dan sudah terintegrasi dengan perangkat pendukung lain secara

permanen.

Pada prinsipnya cara kerja kedua alat tersebut sama yaitu menggunakan

pengamatan code dan carrier phase. Code dan carrier phase digunakan untuk

menghitung jarak antara satelit yang berada di luar angkasa dengan receiver yang

berada di permukaan bumi melalui fungsi code dan carrier phase. Perhitungan yang

akurat sangat menentukan akurasi perhitungan untuk menentukan posisi sebuah

receiver. Sebelum itu sebuah receiver mampu melacak satelit dengan baik untuk

dapat melakukan inisialisasi penentuan posisinya, karena semakin banyak satelit

yang dapat dilacak akan semakin presisi data yang diamat.

OEM diklaim mampu memberikan solusi ketelitian posisi dalam fraksi

sentimeter (Dabove dan Manzino, 2014), lebih rendah dibandingkan dengan receiver

geodetik. Sampai saat ini alat tersebut sudah banyak digunakan untuk navigasi dan

mulai digunakan untuk survei dan pemetaan. Untuk itu, OEM tersebut masih perlu

dikembangkan dan dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan produk

yang lebih baik khususnya untuk survei dan pemetaan.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kemampuan pelacakan satelit,

kemampuan pengukuran code dan kemampuan pengukuran carrier phase pada OEM

modul receiver GPS dengan antena geodetik menggunakan data hasil pengukuran

yang dilakukan. Code dan carrier phase yang diterima akan sangat mempengaruhi

ketelitian pengukuran yang dilakukan. Penelitian ini mengacu pada kemampuan

standar receiver tipe geodetik sehingga dapat diketahui kemampuan pengukuran

pseudorange dan carrier phase oleh OEM modul receiver GPS serta kelayakan alat

tersebut untuk kegiatan survei dan pemetaan.

3

I.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, OEM modul receiver GNSS dengan

antena Geodetik mulai dimanfaatkan untuk bidang survei dan pemetaan yang pada

umumnya menggunakan receiver geodetik. Walaupun dari segi harga jauh lebih

murah, namun ketelitiannya berbanding terbalik. Faktor yang sangat mempengaruhi

ketelitian yang dihasilkan oleh suatu receiver antara lain kemampuan pengukuran

code dan carrier phase. Kemampuan tersebut dapat dilihat dari kemampuan

pelacakan satelit, kemampuan pengukuran pseudorange, kemampuan pengukuran

carrier phase. Untuk itu, diperlukan analisis pada data hasil pengukuran OEM

dibandingkan dengan nilai standar receiver geodetik agar dapat diketahui kelayakan

produk tersebut untuk bidang survei dan pemetaan.

I.3. Pertanyaan Penelitian

Untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada, maka dalam penelitian ini

terdapat beberapa pertanyaan antara lain:

1. Bagaimana kemampuan pelacakan satelit oleh OEM modul receiver GPS

dengan antena Geodetik dilihat dari nilai SNR?

2. Bagaimana kemampuan pengukuran pseudorange oleh OEM modul receiver

GPS dengan antena Geodetik dilihat dari nilai ORD?

3. Bagaimana kemampuan pengukuran carrier phase oleh OEM modul receiver

GPS dengan antena Geodetik dilihat dari nilai residual carrier phase double

difference?

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Perolehan kualitas kemampuan pelacakan satelit oleh OEM modul receiver

GPS dengan antena Geodetik dibuktikan dengan nilai SNR.

2. Perolehan kualitas kemampuan pengukuran pseudorange oleh OEM modul

receiver GPS dengan antena Geodetik dibuktikan dengan nilai ORD.

3. Perolehan kualitas kemampuan pengukuran carrier phase oleh OEM modul

receiver GPS dengan antena Geodetik dibuktikan dengan nilai residual

carrier phase double difference.

4

I.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi ilmu

pengetahuan tentang kemampuan code dan carrier phase oleh OEM modul receiver

GPS dengan antena Geodetik. Pengetahuan tersebut diharapkan mampu memicu

penelitian lanjutan yang terkait dan pemanfaatan receiver yang diteliti pada bidang

survei dan pemetaan.

I.6. Cakupan Penelitian

Ditinjau dari beberapa aspek, diberikan batasan - batasan dalam penelitian ini

antara lain:

1. Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah OEM modul

receiver GPS, receiver GPS tipe geodetik dan antena geodetik.

2. Penelitian ini dilakukan pada titik yang sudah diketahui koordinatnya, dan

titik yang memiliki kondisi ideal untuk pengukuran dengan sedikit obstruksi

dan multipath.

3. Pengamatan dilakukan dengan metode statik zero baseline.

4. Satelit GNSS yang digunakan dalam penelitian ini adalah satelit GPS

5. Data hasil pengamatan diolah dengan metode ORD dan double difference.

6. Analisis yang dilakukan meliputi:

a. Nilai SNR OEM dibandingkan dengan nilai standar SNR geodetik

yang mengacu pada penelitian Langley (1997).

b. Nilai ORD OEM dibandingkan dengan nilai standar ORD geodetik

yang mengacu pada SPS-PS-GPS (2008).

c. Nilai residual carrier phase OEM dibandingkan dengan nilai standar

residual carrier phase geodetik yang mengacu pada penelitian

Muravchik, dkk (2005).

I.7. Tinjauan Pustaka

OEM modul receiver GPS sudah berkembang selama kurang lebih sepuluh

tahun silam. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan

dan kehandalan OEM di lapangan.

5

Penelitian yang dilakukan antara lain terkait pengukuran code dan carrier

phase seperti yang dilakukan oleh Takasu dan Yasuda pada tahun 2004 di Jepang.

Penelitian ini menggunakan metode akuisisi dataa secara real time kinematik (RTK).

Selama pengamtan berlangsung Takasu dan Yasuda menganalisis antena PCV

(phase center variation), multipath, dan SNR atau carrier to noise density (C/N0).

Data hasil pengukuran pseudorange dan carrier phase digunakan untuk

mengevaluasi akurasi pengukuran RTK, ambiguitas fase, dan time to first fix (TTFF).

Hasil dari analisis dan evaluasi yang dilakukan antara lain terdapat perbedaan yang

signifikan terhadap pengukuran code antara receiver geodetik dengan receiver GPS

Single-frequency berbiaya rendah yaitu pada rentang nilai ± 3 m, namun untuk

pengukuran carrier phase tidak ada perbedaan yang signifikan yaitu pada rentang

nilai ± 3 cm. Nilai root mean square error koordinatnya pada rentang nilai ± 2 cm.

Takasu dan Yasuda menyimpulkan bahwa RTK dengan receiver/antena GPS Single-

frequency berbiaya rendah layak digunakan untuk penentuan posisi secara presisi,

namun kinerja inisialisasinya masih rendah.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Takasu dan Yasuda,

Schwieger, dkk. melakukan penelitian untuk mengetahui kemungkinan penggunaan

teknologi receiver GPS berbiaya rendah untuk aplikasi penentuan posisi kelas

geodetik di Mesir pada tahun 2005. Penelitian yang dilakukan oleh Schwieger, dkk.

menggunakan metode akuisisi data secara short baseline dan diolah dengan post

processing. Alat yang digunakan adalah OEM receiver modul GPS GARMIN eTrex

dengan menggunakan antena standar tipe geodetik dan telah dikalibrasi. Data hasil

pengukuran short baseline dianalisis terhadap residu pengukuran code dan carrier

phase. Nilai residu pengukuran code berada pada rentang nilai ± 10 m dari lima

baseline yang diukur. Nilai residu pengukuran carrier phase berada pada rentang

nilai ± 5 mm dari lima baseline yang diukur. Baseline dan nilai koordinat yang

didapat memiliki ketelitian 8 cm.

Penelitian yang serupa dengan Schwieger, dkk. dilakukan oleh Andrei, dkk.

pada tahun 2011 di Denmark dengan metode dan analisis yang lebih komplek.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan penentuan posisi oleh

modul receiver GPS u-blox LEA 6T. Jika Schwieger, dkk. menggunakan metode

akuisisi secara short baseline, Andrei, dkk. (2011) menggunakan metode zero

6

baseline dan short baseline. Secara umum analisis yang dilakukan terhadap data

hasil pengukuran antara lain adalah kemampuan pengukuran pseudorange dan

kemampuan pengukuran carrier phase. Hasil dari kemampuan pengukuran

pseudorange dengan pengamatan zero baseline dan short baseline dianalisis

menggunakan data residu pseudorange yang hasilnya pada rentang nilai yang sama

yaitu ± 10 m (≈ 0,5 cycle untuk frekuensi L1). Kemampuan pengukuran carrier

phase dengan pengamatan zero baseline dianalisis menggunakan data residu carrier

phase yang hasilnya pada rentang nilai ± 9 cm dan dengan pengamatan zero baseline

memiliki rentang nilai ± 7 cm. Pada elevasi yang rendah memiliki nilai residu yang

besar yang dapat mengurangi kemampuan pengukurannya. Modul receiver GPS u-

blox LEA 6T memiliki kepresisian di bawah 2 cm pada area dengan kondisi

multipath dan obstruksi minimal, sedangkan pada lingkungan yang banyak pohon

dan gedung memiliki kepresisian di bawah 10 cm.

Metode akuisisi secara zero baseline untuk mengevaluasi kinerja OEM modul

receiver yang lain dilakukan pada tahun 2014 oleh Rapiński, dkk. di Polandia.

Tujuan penelitian ini untuk meneliti kemungkinan penggunaan OEM modul receiver

untuk posisi yang presisi dengan pengamatan zero baseline double difference.

Analisis hasil akuisisi data yang dilakukan antara lain kualitas pelacakan satelit

dengan menghitung nilai SNR atau C/N0, menganalisis kualitas pengukuran

pseudorange dengan metode ORD, menganalisis kualitas pengukuran carrier phase

dengan metode double difference, dan menganalisis kualitas penentuan posisi dengan

pengukuran terhadap titik yang sudah diketahui koordinatnya. Hasil dari penelitian

ini antara lain nilai rata-rata SNR 43,79 dBHz dengan nilai variasinya 28 dBHz

sampai dengan 51 dBHz, nilai rata-rata ORD 0,99 m dengan nilai variasinya -10 m

sampai dengan 30 m, dan nilai residual carrier phase 0,013 mm dengan nilai

variasinya -2,7 mm sampai dengan 1,5 mm. Pengamatan yang dilakukan oleh OEM

modul receiver U-blox LEA-6T sebanding dengan receiver tipe geodetik dan dapat

digunakan untuk aplikasi geodesi.

Kinerja pengukuran pseudorange dan carrier phase dengan OEM modul

receiver terus dilakukan. Penelitian yang lebih detil antara OEM modul receiver

dengan setiap satelit yang diamat dilakukan oleh Montenbruck, dkk. (2014) di

Munchen. Penelitian ini menggunakan NovAtel OEM-4 dengan pengamatan zero

7

baseline untuk menganalisis kesalahan pada double difference dan noisenya. Analisis

dilakukan pada data hasil pengolahan double difference dengan satelit tertentu yang

dipilih berdasarkan nilai SNR yang bagus (sinyal kuat) serta nilai clock offset dari

pengamatan tersebut. Berdasarkan nilai SNR dipilih pasangan satelit PRN 17 dan 32

serta PRN 6 dan 9. Hasil dari penelitian tersebut antara lain nilai deviasi

pseudorange dari PRN 17 dan 32 sebesar 0,58 m sedangkan nilai residual carrier

phasenya sebesar 0,82 mm. Nilai deviasi pseudorange dari PRN 6 dan 9 sebesar 0,31

m sedangkan nilai residual carrier phasenya sebesar 0,74 mm. Nilai rata-rata SNR

pada elevasi yang rendah sebesar 42,07 dBHz dan pada elevasi yang tinggi sebesar

50,64 dBHz. Serta nilai cock offset pada data pseudorange sebesar 0,25 ms.

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang kinerja OEM modul receiver

yang berbeda-beda, Everett (2015) di Colorado melakukan penelitian pada modul

receiver U-blox M8T untuk penentuan posisi yang presisi secara komprehensif.

Everett membandingkan hasil pengamatan menggunakan zero baseline double

difference dan short baseline (8 km). Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui

kesalahan pengukuran pseudorange dan carrier phase oleh receiver yang digunakan.

Everett menggunakan perangkat lunak RTKLIB untuk mengkarakteristikkan dan

menganalisis residual pengukuran pseudorange dan residual carrier phase.

Pengamatan dilakukan selama satu jam pada titik yang memiliki banyak obstruksi

dan multipath. Hasil dari penelitian ini antara lain pada elevasi yang tinggi dan sinyal

yang kuat, nilai rata-rata deviasi pseudorange sebesar 0,24 m dan nilai rata-rata

residual carrier phase sebesar 1,7 mm. Pada elevasi yang lebih rendah dan sinyal

yang beragam nilai rata-rata deviasi pseudorange sebesar 0,46 m dan nilai rata-rata

residual carrier phase sebesar 0,8 mm. Serta secara keseluruhan nilai rata-rata

deviasi pseudorange sebesar 1,02 m dan nilai rata-rata residual carrier phase sebesar

3,9 mm.

I.8. Landasan Teori

I.8.1. GNSS

Global Navigation Satellite System (GNSS) adalah sistem konstelasi satelit

yang mengorbit bumi dengan menyiarkan lokasinya dalam ruang dan waktu. Sistem

satelit navigasi ini digunakan untuk menyediakan informasi lokasi dan waktu dengan

8

memancarkan macam-macam sinar dalam berbagai frekuensi secara terus-menerus,

yang tersedia di semua lokasi di atas permukaan bumi (UNOOSA, 2011).

Beberapa negara telah mengembangkan teknologi GNSS. GNSS yang ada

saat ini antara lain:

1. GPS milik Amerika Serikat,

2. GLONASS milik Rusia,

3. Galileo milik Uni Eropa,

4. Compass atau Beidou milik Cina,

5. IRNSS milik India, dan

6. QZSS milik Jepang.

I.8.1.1 GPS (Global Positioning System). GPS merupakan sistem satelit

navigasi yang digunakan dalam penelitian ini. GPS adalah sistem satelit navigasi

milik Departemen Pertahanan (Departemen of Defense) Amerika Serikat yang

menyediakan layanan penyedia informasi posisi, navigasi dan layanan waktu

(Department Of Defense, 2008). GPS terdiri dari tiga segmen, yaitu segmen ruang,

segmen kontrol dan segmen pengguna. Segmen-segmen tersebut memiliki fungsi

masing-masing. Fungsi segmen-segmen tersebut antara lain (Department Of

Defense, 2008):

1. Segmen ruang merupakan stasiun radio di luar angkasa yang dilengkapi

dengan antena untuk mengirim dan menerima sinyal gelombang. Sinyal dari

satelit kemudian akan diterima receiver GPS yang ada di permukaan bumi

dan digunakan untuk menentukan posisi, kecepatan, serta waktu.

2. Segmen kontrol merupakan stasiun pengontrol dan pemonitor satelit selain

bertugas untuk mengontrol dan memonitor satelit, juga berfungsi untuk

menentukan orbit dari seluruh satelit GPS.

3. Segmen pengguna memiliki alat penerima sinyal GPS yang berfungsi untuk

menerima serta memproses sinyal dari satelit GPS untuk penentuan posisi,

kecepatan, serta waktu.

Angkatan Udara Amerika Serikat mengembangkan, memelihara, dan

mengoperasikan segmen ruang dan kontrol. Satelit GPS memberikan layanan kepada

pengguna sipil dan militer. Layanan sipil ini bebas tersedia untuk semua pengguna

9

secara terus-menerus, di seluruh dunia. Dinas militer tersedia untuk Amerika Serikat

dan sekutu Angkatan bersenjata serta disetujui badan-badan pemerintah (Department

Of Defense, 2008). Adapun spesifikasi secara detil sistem yang dimiliki oleh GPS

dapat dilihat pada Tabel I.1 berikut ini.

Tabel I.1 Spesifikasi GPS

Parameter Keterangan

Status Beroperasi

Cakupan Global

Jumlah Satelit 32 satelit

Bidang Orbit 6 buah dengan spasi 600

Inklinasi Orbit 550

Tinggi Orbit 20.560 km

Periode Orbit 11 jam 58 menit

Frekuensi Carrier phase L1 =1575,42 Mhz; L2 =1227,60 Mhz

Frekuensi Code Kode C/A = 1,023 MHz; Kode P = 10,23 MHz

Jenis Code Kode C/A pada L1; Kode P pada L1 dan L2

Sistem Koordinat Earth-Cenetered Earth Fixed (ECEF)

Datum Geodetik World Geodetic System 1984 (WGS 84)

Referensi Waktu UTC (USNO)

Prinsip GPS secara umum memancarkan sinyal yang berfungsi untuk

memberikan informasi tentang posisi satelit, jarak dari satelit ke pengamat beserta

informasi waktunya, kesehatan satelit, koreksi jam satelit, koreksi ionosfer,

transformasi waktu GPS ke UTC (Universal Time Coordinate) dan status konstelasi

satelit. Pada dasarnya sinyal GPS dapat dibagi atas tiga komponen, yaitu

penginformasi jarak (kode), gelombang pembawa (carier wave), dan penginformasi

posisi satelit (navigation message). Ketiga sinyal tersebut digambarkan pada Gambar

I.1.

Gambar I.1 Sinyal yang dipancarkan GPS

(University of Princetown, 2005)

10

Sinyal GPS yang ditunjukkan pada Gambar I.1 memiliki fungsi masing-

masing. Fungsi dan keterangan terkait sinyal-sinyal GPS adalah sebagai berikut

(University of Princetown, 2005):

1. Penginformasi jarak (kode) berupa kode P dan kode C/A. Sinyal ini

dikirimkan melalui frekuensi L1 pada UHF (Ultra High Frequency) 1575,42

MHz. Sinyal yang dikirimkan terdiri dari dua bagian yaitu kode Protected (P)

dan Coarse/Acquisition (C/A). Sinyal L1 dikirimkan dengan pola-pola kode

digital tertentu (unik) antar satelit yang disebut sebagai pseudorandom. Kode

unik yang diterima receiver digunakan untuk membedakan satu satelit dengan

satelit lainnya. Beberapa kode P juga ada yang diacak, agar tidak dapat

diterima oleh GPS biasa. Sinyal yang diacak ini dikenal dengan istilah Anti

Spoofing, yang biasanya digunakan oleh GPS khusus untuk keperluan

tertentu seperti militer.

2. Gelombang pembawa (carier wave) L1 dan L2. Satelite GPS mengirim sinyal

dalam dua frekuensi. Frekuensi L1 dengan 1575,42 Mhz dengan membawa

dua status pesan dan kode pseudorandom untuk keperluan perhitungan waktu.

Frekuensi L2 membawa 1227,60 MHz dengan menggunakan presesi yang

lebih akurat karena untuk keperluan militer. Daya sinyal radio yang

dipancarkan hanya berkisar antara 20 s.d. 50 Watts. Ini tergolong sangat

rendah mengingat jarak antara GPS dan satelit sampai 12.000 mil. Sinyal

dipancarkan secara line of sight (LOS), dapat melewati awan, kaca tapi tidak

dapat benda padat seperti gedung, gunung.

3. Penginformasi posisi satelit (navigation message). Sinyal ini memiliki

frekuensi berkekuatan lemah yang di tambahkan pada kode L1 yang

memberikan informasi tentang parameter orbit satelit, almanak satelit, waktu

satelit, parameter koreksi ionosfer, clock correctionnya dan status sistem

lainnya.

I.8.2. Penentuan posisi pada GNSS

Konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan ke

belakang). Reseksi dapat dilakukan dengan pengukuran jarak secara simultan ke

beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui (Sunantyo, 2000). Menurut

11

Sunantyo (2000), pengamatan dasar pada GNSS dalam penentuan jarak ke satelit

terdapat tiga macam yaitu pseudorange, carrier phase dan doppler. Maka dari itu

dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap pengukuran pseudorange dan carrier

phase.

1.8.2.1. Pseudorange. Pengukuran jarak dengan metode ini didasarkan pada

pengiriman sinyal yang berisi informasi mengenai waktu sementara pemancaran

gelombang, posisi satelit, nomor satelit dan lainnya dari satelit ke receiver. Konsep

perhitungan jarak dengan metode ini didapat dari pengukuran waktu rambat sinyal

yang dipancarkan dari minimal empat satelit GPS ke receiver pada saat bersamaan.

Pengukuran pseudorange dilakukan oleh receiver dengan membandingkan

kode yang diterima dari satelit dan replika kode yang diformulasikan dalam receiver.

Hasil pengamatan dan hubungan-hubungannya dengan parameter lain dapat

diformulasikan sebagai persamaan (I.1) (Fotopoulos, 2000) :

( ) ………………………….(I.1)

Dalam hal ini,

: jarak pseudorange

: jarak sebenarnya

: kesalahan orbit satelit

: kecepatan cahaya

: perbedaan jam satelit dari waktu GPS

: perbedaan jam receiver dari waktu GPS

: bias efek ionosfer

: bias efek troposfer

: multipath

: noise

1.8.2.2. Carrier phase. Pengukuran jarak dengan metode carrier phase

diperoleh dengan mengukur beda fase antara sinyal pembawa yang dibangkitkan

oleh receiver saat penerimaan sinyal berlangsung dengan sinyal pembawa yang

dibangkitkan oleh pemancar sinyal satelit. Konsep perhitungan jarak dengan metode

12

carrier phase berdasarkan perbedaan fase antara vektor posisi satelit ke titik

pengamat yang merupakan fungsi perbedaan fase sinyal yang dipancarkan oleh

satelit hingga diterima oleh receiver (Sunantyo, 2000). Jika jarak antara satelit telah

diketahui, kemudian dapat menghitung posisi receiver dengan menggunakan suatu

algoritma. Data jarak jika dihitung dengan carrier phase dapat diformulasikan pada

persamaan (I.2) (Fotopoulos, 2000):

( ) …………………..(I.2)

Dalam hal ini,

: jarak fase

: jarak pseudorange

: kesalahan orbit satelit

: kecepatan cahaya

: perbedaan jam satelit dari waktu GPS

: perbedaan jam receiver dari waktu GPS

: panjang gelombang pembawa

: ambiguitas integer pada cycles

: bias efek ionosfer

: bias efek troposfer

: multipath

: noise

I.8.3. Metode akuisisi data GNSS

Dalam metode akusisi data secara GNSS, dapat dilakukan dengan beberapa

metode seperti absolut, relatif, statik, rapid static, pseudo-kinematic, stop and

go,RTK, DGPS, PPP dan lain-lain (Abidin, 2000). Dalam penelitian ini akan

dijelaskan metode absolute dan differential.

1.8.3.1. Metode relatif. Metode relatif atau differential adalah metode

penentuan vektor jarak antara dua stasiun pengamatan yang dikenal dengan jarak

basis (baseline) dengan minimal dua receiver. Penentuan posisi relatif dilakukan

dengan mengurangkan data pengamatan dua receiver yang diamat secara simultan

13

dari beberapa satelit dengan minimal. Penentuan suatu titik ditentukan secara relatif

terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya (fix). Data ukuran

pengamatan yang digunakan dalam penentuan posisi secara relatif dapat berupa

pseudorange maupun carrier phase. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai

persamaan (I.3) dan (I.4) (Kornhauser, 2006):

( )

( ) ( )

( ) ( ) ......................(I.3)

( )

( ) ( )

( ) ( ) ...........(I.4)

Dalam hal ini,

( ) : jarak pseudorange satelit (1) dan receiver (A) pada epok t0

( ): jarak fase (carrier phase) satelit (1) dan receiver (A) pada epok t0

( ) : jarak geometris antara receiver (A) dengan satelit (1) pada epok t0

( ): kesalahan jarak akibat kesalahan ephemeris (orbit) pada satelit (1) dan

receiver (A)

: ambiguitas fase dari pengamatan sinyal-sinyal L1 dan L2 dari satelit (1) dan

receiver (A)

c : kecepatan cahaya dalam ruang vakum (m/s)

: panjang gelombang dari sinyal (m)

: fase gelombang yang terukur

( ): kesalahan dan offset dari jam satelit (1) pada epok t0

( ): kesalahan dan offset dari jam receiver (A) pada epok t0

TA : bias yang disebabkan oleh refraksi troposfer pada receiver (A)

IA : bias yang disebabkan oleh refraksi ionosfer pada receiver (A)

: gangguan (noise) yang disebabkan oleh mutipath

Dengan mengurangkan data antar receiver beberapa kesalahan dapat

direduksi atau dihilangkan. Kesalahan yang dapat direduksi adalah kesalahan bias

ionosfer, troposfer, dan ephemeris. Kesalahan yang dapat dihilangkan adalah

kesalahan jam receiver dan jam satelit. Reduksi dan penghilangan berbagai

kesalahan dan bias ini meningkatkan ketelitian posisi yang diperoleh hingga fraksi

milimeter. Efektifitas proses pengurangan ini tergantung pada jarak antara stasiun

monitor dengan stasiun pengamatan yang ditentukan posisinya. Semakin pendek

jarak tersebut maka semakin efektif, dan berlaku juga sebaliknya (Kornhauser,

14

2006). Metode relatif ini digunakan dalam zero baseline yang dilakukan dengan

menggunakan dua receiver atau lebih. Zero baseline akan dibahas lebih lanjut dalam

sub-bab 1.8.7.

I.8.4. Differencing Data GNSS

Metode yang digunakan pada penentuan posisi secara differential atau relatif

adalah teknik differencing, yaitu mengurangkan data pengamatan GNSS untuk

mengeliminasi dan mereduksi efek dari sebagian kesalahan dan bias yang terjadi

pada saat melakukan pengamatan. Reduksi dan penghilangan berbagai kesalahan dan

bias ini meningkatkan ketelitian posisi yang diperoleh. Pengolahan data pengamatan

GNSS secara differencing, dikenal beberapa metode, yaitu single difference, double

difference dan triple (El-Rabbany, 2002).

1.8.4.1. Single difference. Single difference dikenal sebagai differencing antar

receiver. Single difference merupakan penentuan posisi dengan cara mengurangkan

(differencing) dua persamaan pengamatan penentuan posisi one way (OW). Jika

terdapat dua receiver (k dan l) yang mengamati satu satelit (satelit m), dengan

epoch (t) yang sama dapat dituliskan dengan persamaan (I.5) dan (I.6) (Leick, 2004):

( ) ..............................................................(I.5)

( ) ( ) ...............................................(I.6)

Persamaan (I.5) dan (I.6) tersebut, diturunkan menjadi persamaan

pengurangan (I.7) sampai dengan (I.10) (Leick, 2004) :

( )

( ) ( )........................................................................................(I.7)

( )

( ) ( )

( ) ( )

( ) ................(I.8)

( )

( ) ( ).......................................................................................(I.9)

( )

( )

( ) ( ) ( )

( ) ( )

.......(I.10)

Dalam hal ini,

P : jarak pseudorange (m)

Φ : jarak fase (m)

ρ : jarak geometris pengamat dengan satelit (m)

c : kecepatan cahaya dalam ruang vakum (m/s)

15

λ : panjang gelombang (m)

N : ambiguitas fase

e, : efek multipath

ε : efek noise

dt, dT : kesalahan offset jam receiver dan jamsatelit (m)

dion, dtrop : bias refraksi ionosfer dan troposfer

Teknik single differencing ini dapat mengeliminasi efek dari bias jam satelit

dan juga mereduksi efek dari bias troposfer dan ionosfer.

1.8.4.2. Double difference. Double difference, merupakan teknik penentuan

posisi dengan cara mengurangkan (differencing) dua persamaan pengamatan

penentuan posisi relative single difference (SD), Jika terdapat dua receiver (k dan l)

yang mengamati dua satelit (satelit m dan n), dengan epoch (t) yang sama dapat

dituliskan dengan persamaan (I.11) sampai dengan (I.14) (Leick, 2004).

( )

( ) ( ).....................................................................................(I.11)

( )

( ) ( )

( ) ( )

( ) .......(I.12)

( )

( ) ( )...................................................................................(I.13)

( )

( ) ( ) ( )

( ) ( )

( ) .......(I.14)

Dalam hal ini notasi yang digunakan adalah sama dengan notasi pada persamaan

(I.5) sampai dengan (I.10)

Proses differencing tersebut meliputi pengeliminasian kesalahan jam

satelit dan receiver, mereduksi efek kesalahan orbit, bias ionosfer dan bias troposfer

pada data pengamatan, pengestimasian ambiguitas fase.

1.8.4.3. Triple difference. Triple difference merupakan suatu teknik

penentuan posisi dengan cara mengurangkan dua data pengamatan double difference

dengan epoch yang berbeda. Jika terdapat dua receiver (k dan l) yang mengamati

dua satelit (satelit m dan n), secara simultan pada epoch (t1) dan (t2) maka hasil

pengurangan yang diturunkan dari persamaan (I.11) sampai dengan (I.14) menjadi

persamaan (I.15) sampai dengan (I.18) (Leick, 2004).

( )

( ) ( )...........................................................................(I.15)

16

( )

( ) ( ) ( )

( )

( ) ........................................................................................(I.16)

( )

( ) ( )..........................................................................(I.17)

( )

( ) ( ) ( )

( )

( ) ( )

.......................................................................(I.18)

Dalam hal ini notasi yang digunakan adalah sama dengan notasi pada persamaan

(I.5) sampai dengan (I.10)

Hasil akhir dari triple difference dari persamaan (I.15) sampai dengan (I.18)

masih menyisakan efek ionosfer, bias troposfer, multipath. Bias dan kesalahan

tersebut tidak dapat dieliminasi dengan menggunakan teknik differencing tetapi

hanya dapat direduksi.

I.8.5. OEM Modul Receiver GPS

Original equipment manufacturer (OEM) adalah perangkat baik keras ataupun

lunak yang dirancang dan diproduksi oleh suatu perusahaan manufaktur berdasarkan

spesifikasi yang telah ditentukan oleh perusahaan tersebut. Salah satu OEM

perangkat keras adalah modul receiver GPS. OEM modul receiver GPS belum

memiliki kemasan dan ukurannya kecil dalam fraksi sentimeter (Skytraq, 2015).

.

Gambar I.2 Blok diagram OEM modul receiver GPS secara umum

(ublox, 2013)

TCXO or Crystal

RTC Crystal

17

Gambar I.2 merupakan skema komponen dari modul GPS secara umum.

OEM modul receiver GPS merupakan suatu chip yang di dalamnya diberikan fungsi

untuk menerima sinyal satelit GPS. Modul GPS banyak digunakan pada berbagai alat

yang terdapat fungsi navigasi di dalamnya, contohnya smartphone. Bagian terpenting

pada modul GPS antara lain, SAW Filter, RF Front End, dan Broadband Processor.

Adapun fungsi fungsinya adalah sebagai berikut (ublox, 2013):

1. SAW Filter. SAW Filter merupakan kependekan dari Surface Acoustic Wave

Filter yang berfungsi untuk merubah sinyal elektrik menjadi sinyal akustik

dan sebaliknya. Sinyal akustik tersebut kemudian diteruskan pada RF Front

End. SAW Filter juga menerima sinyal akustik dari RF Front End untuk

kemudian dirubah menjadi sinyal elektrik. Tujuan adanya SAW Filter adalah

meminimalisir rambatan panas pada sensor yang disebabkan oleh sinyal

elektrik pada modul GPS.

2. RF Front End. RF Front End merupakan kependekan dari Radio Frequency

Front End yang berfungsi sebagai penerima sinyal radio utama dalam

komponen modul GPS. RF Front End tersebut dilengkapi dengan integrated

LNA (integrated Low Noise Amplifier) yang berfungsi untuk memperkuat

sinyal radio lemah yang ditangkap.

3. Broadband Processor. Broadband Processor merupakan alat pemrosesan

data sinyal radio yang dipancarkan satelit GPS. Broadband Processor

tersebut terdiri dari IF Filter, GPS Engine, SRAM, ROM Code, Power

management, Backup RAM, Microprocessor, dan RTC. Fungsi masing-

masing bagian dari Broadband Processor sebagai berikut

a. IF Filter. IF Filter merupakan kependekan dari Intermediate Frequency

Filter yang berfungsi untuk menyaring sinyal radio dari RF Front End

menjadi sinyal intermediate agar dapat diproses lebih lanjut di dalam

Broadband Processor.

b. GPS Engine. GPS Engine berfungsi untuk melakukan proses perhitungan

agar posisi modul di permukaan bumi dapat diketahui. S

c. SRAM merupakan kependekan dari Static Random Access Memory,

yaitu sejenis semi konduktor yang berfungsi sebagai penyimpanan data

sementara yang bersifat statis. Berbeda dengan DRAM (Dynamic

18

Random Access Memory) yang secara sengaja di refresh untuk

mengosongkan data, SRAM secara otomatis menghilangkan data ketika

modul dalam keadaan off.

d. ROM Code merupakan kependekan dari Read Only Memory Code

berfungsi untuk merubah hasil perhitungan posisi dari GPS Engine

menjadi format BIT.

e. Power Management berfungsi untuk memastikan energi yang digunakan

untuk melakukan semua proses data pada Broadband Processor dapat

menyebar secara merata.

f. Backup RAM berfungsi untuk menyimpan data yang telah diproses

dengan tujuan antisipasi apabila modul berhenti bekerja secara mendadak.

g. Microprocessor berfungsi untuk mengatur dan memastikan semua fungsi

alat dalam Broadband Processor bekerja sesuai dengan perintah.

h. RTC merupakan kependekan dari Real Time Clock yang berfungsi

sebagai alat pencatat waktu secara simultan dan up to date ketika modul

GPS dijalankan.

Prinsip kerja OEM modul receiver GPS dihubungkan dengan perangkat

komputer atau sistem penyimpanan yang dilengkapi dengan sumber energi listrik

menggunakan SAW Filter dengan tujuan untuk mengaktifkan modul. Sinyal radio

GPS ditangkap oleh antenna pada RF Front End kemudian di proses pada

Broadband Processor. Data hasil pemrosesan dari Broadband Processor kemudian

disalurkan kembali ke RF Front End kemudian ke SAW Filter untuk diterima oleh

komputer atau sistem penyimpanan (ublox, 2013).

I.8.6. Sumber Kesalahan dan Bias pada Pengukuran GNSS

Selama proses pengukuran GNSS, receiver yang menerima sinyal dari satelit

merambat melalui media propagasi dan perbedaan sistem satelit-receiver. Media

propagasi dan sistem yang berbeda mempengaruhi kesalahan dan bias. Bias

didefiniskan sebagai efek-efek pada pengukuran yang menyebabkan jarak

sesungguhnya berbeda dengan jarak terukur dengan jumlah perbedaan yang

sistematis dan dimodelkan pada pengukuran dan pengolahan data (Sunantyo, 2000).

19

Sumber kesalahan pada sistem satelit-receiver antara lain kesalahan orbit

satelit, jam satelit, kesalahan jam satelit dan receiver, kesalahan antena, ambiguitas

fase, dan cycle slips. Sumber bias pada media propagasi antara lain ionosfer dan

troposfer dimana sinyal GNSS mengalami refraksi di dalamnya. Selain itu, sinyal

GNSS juga dapat dipantulkan oleh benda-benda di sekitar pengamat dan

menyebabkan efek multipath (Abidin, 2000). Sumber kesalahan dan bias tersebut di

atas dapat mengurangi ketelitian posisi yang dihasilkan oleh receiver.

1.8.6.1. Kesalahan orbit satelit. Kesalahan orbit satelit atau kesalahan

ephemeris terjadi ketika posisi orbit satelit yang terdapat dalam file broadcast

ephemeris tidak sama dengan posisi orbit satelit yang sebenarnya. Pada dasarnya

kesalahan ini dapat disebabkan oleh ketidaktelitian proses perhitungan orbit satelit

oleh stasiun-stasiun pengontrol satelit dan kesalahan dalam prediksi orbit untuk

periode waktu setelah uploading ke satelit. Besarnya kesalahan juga bergantung pada

jenis data ephemeris yang digunakan seperti Almanak, Broadcast Ephemeris, Ultra

Rapid Ephemeris, Rapid Ephemeris, dan Precise Ephemeris. Kesalahan ini dapat

mempengaruhi ketelitian posisi titik-titik yang diamat dapat menurun dikarenakan

jarak yang diu kur lebih panjang atau lebih pendek.

kesalahan orbit satelit dapat direduksi dengan berbagai cara antara lain

dengan diferensial, short baseline, perpanjang waktu pengamatan, dan menggunakan

data orbit satelit yang teliti seperti Precise Ephemeris (Rizos, 1999).

1.8.6.2. Kesalahan jam satelit dan jam receiver. Sistem waktu pada satelit

GNSS menggunakan jam atom. Jam atom tersebut sangat teliti namun masih dapat

mengalami penyimpangan seperti offset, drift, dan drift-rate. Pada umumnya receiver

GNSS dilengkapi dengan jam kristal quartz yang relatif lebih kecil, lebih murah, dan

relatif memerlukan daya yang relatif lebih kecil dibandingkan jam atom yang

digunakan di satelit (Rizos, 1999). Jam satelit dengan jam receiver dapat mengalami

perbedaan yang menyebabkan kesalahan penghitungan lama perambatan sinyal dan

jarak antara satelit dengan receiver.

1.8.6.3. Kesalahan antena. Kesalahan antena atau antenna phase center

variation terjadi ketika ada perbedaan ukuran jarak antara jarak satelit ke pusat

20

geometris antena dengan jarak satelit ke pusat fase antena. Jarak ukuran pada

pengukuran jarak dari satelit ke antena receiver GNSS diasumsikan mengacu ke

pusat geometris dari antena yang lokasinya tetap. Sebenarnya secara elektronik

pengukuran jarak tersebut mengacu ke pusat fase antena, bukan ke pusat geometris

antena. Adanya perbedaan lokasi antara pusat fase dan pusat geometris antena

menyebabkan terjadinya kesalahan pada jarak ukuran (Rizos, 1999).

1.8.6.4. Cycle slips. Cycle slips adalah kondisi terputusnya pengamatan sinyal

satelit dalam jumlah gelombang penuh dari fase gelombang pembawa yang diamati

oleh receiver karena suatu hal. Hal ini dapat terjadi karena beberapa penyebab seperti

mematikan dan menghidupkan receiver, obstruksi sinyal satelit, dinamika receiver

yang tinggi, rendahnya rasio SNR, dan receiver failure (Kaplan, 2006).

1.8.6.5. Ambiguitas fase. Ambiguitas fase adalah kondisi adanya jumlah

gelombang penuh yang tidak terukur oleh receiver GNSS saat pengukuran.

Ambiguitas fase berupa bilangan bulat kelipatan panjang gelombang. Ketidaktepatan

dalam mendefinisikan besarnya ambiguitas fase menyebabkan kesalahan penentuan

jarak dari satelit ke pengamat (Abidin, 2000). Semakin panjang baseline

menyebabkan kesalahan ambiguitas fase besar. Penentuan harga ambiguitas fase

dapat dilakukan dengan pengamatan double difference (Sunantyo, 2000).

1.8.6.6. Bias troposfer. Troposfer adalah bagian atau lapisan dari atmosfer

yang berbatasan dengan permukaan bumi dan mempunyai ketebalan setinggi 9 km

s/d 18 km tergantung pada tempat dan waktu. Ketika sinyal GNSS melalui troposfer,

akan mengalami refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah dari

sinyal GNSS. Efek utama dari refraksi troposfer adalah kesalahan terhadap hasil

ukuran jarak (Rizos, 1999). Bias troposfer dapat dieliminasi dengan cara

meminimalkan besaran zenith pengguna dan memperbesar horizon pengamatan,

pengaruh bias troposfer dapat diabaikan jika sudut satelit di bawah 20º (El-Rabbany,

2002).

1.8.6.7. Bias ionosfer. Ionosfer adalah bagian atau lapisan dari atmosfer yang

berbatasan dengan lapisan troposfer. Lapisan ionosfer terdapat pada ketinggian 50

21

km s/d 1000 km di atas permukaan bumi. Kesalahan ionosfer disebabkan oleh

keberadaan elektron-elektron bebas, molekul dan atom positif yang berterbangan di

lapisan ionosfer.

Benda-benda bertebangan tersebut menyebabkan sinyal GNSS tidak berjalan

dengan kecepatan cahaya sebagaimana di dalam ruang vakum pada saat melalui

lapisan ini. Modulasi sinyal kode dapat mengalami perlambatan (pseudorange hasil

konversi kode-kode C/A dan P lebih panjang dari semestinya), sementara fase-fase

frekuensi radio gelombang pembawa carrier L1 dan L2 mengalami percepatan

sehingga menjadi lebih pendek dari yang sebenarnya dengan besar yang sama.

Densitas dari elektron ini tidak bersifat konstan dan berubah menyesuaikan dengan

posisi bujur dari pengamat (El-Rabbany, 2002).

1.8.6.8. Multipath. Multipath adalah kondisi sinyal satelit GNSS yang tiba di

antena melalui dua atau lebih lintasan berbeda karena efek pantulan benda-benda di

sekitar pengamat seperti bangunan, jalan, dan permukaan air (Sunantyo, 2000).

Perbedaan jarak tempuh dapat menyebabkan sinyal berinterferensi ketika diterima

oleh antena sehingga menyebabkan kesalahan hasil pengamatan (Rizos, 1999).

1.8.6.9. Noise. Noise secara umum menggambarkan kekerasan, kekasaran

atau suara yang tidak diinginkan. Kebisingan tersebut lebih khusus ke sinyal listrik.

Kebisingan listrik ini mengaburkan kegunaan sinyal atau isi informasi. Pada sistem

navigasi, noise bersumber dari perangkat keras, atau perangkat elektrik yang

dihubungkan dengan perangkat keras seperti antena, receiver, atau kabel. Noise

sangat dipengaruhi oleh temperatur. Semakin panas temperatur pada perangkat keras,

maka semakin besar noise yang dihasilkan dari perangkat keras tersebut(Langley,

1997).

I.8.7. Zero Baseline Test

Zero baseline test adalah metode untuk menguji kualitas antena, receiver,

kabel dan perangkat lunak pengolahan data GNSS. Untuk menguji kualitas receiver

menggunakan dua buah receiver GNSS yang dihubungkan dengan satu buah antena

melalui splitter atau repeater. Antena yang digunakan menerima signal dari satelit

lalu dikirim ke splitter dan dibagi menuju kedua receiver. Metode akuisis data yang

22

digunakan adalah metode relatif seperti pada sub-bab 1.8.3.1. dan metode

pengolahan yang digunakan adalah metde double difference seperti pada sub-bab

1.8.4.1. Semua kesalahan umum karena multipath, noise, bias, dan lain-lain direduksi

dalam pengolahan data (Sun, dkk, 2016; Bossler, dkk, 2010 ). Hasil yang didapatkan

pada kedua receiver secara teori sama karena bersumber dari antena yang sama. Jika

terjadi perbedaan hasil berarti salah satu GNSS mengalami masalah (de Bakker, dkk,

2012).

Berikut adalah standar dalam melakukan Zero baseline Test antara lain

(Jabatan Ukur dan Pemetaan Malaysia,1999):

1. Tes dapat dilakukan di tempat yang nyaman, dilakukan di sebuah titik dengan

setidaknya 90% visibilitas langit.

2. Tes dilakukan dengan minimal sesi pengamatan selama sepuluh menit.

3. Tes dilakukan dengan interval rekaman setidaknya 15 detik.

4. Receiver melacak satelit GNSS setidaknya lima satelit selama sesi

pengamatan dengan GDOP dari kurang dari enam.

5. Elevation mask 15° diterapkan selama pengolahan baseline.

6. Jarak kemiringan yang dihasilkan antara dua receiver sedang diuji kurang

dari tiga milimeter.

Jika toleransi ini tidak terpenuhi tes harus diulang atau peralatan dikirim ke

agen GPS untuk pengujian lebih lanjut.

I.8.8. Receiver Independent Exchange (RINEX)

Format data RINEX (Receiver Independent Exchange)adalah format standar

untuk pertukaran data survey GNSS dan navigasi presisi (Gurtner dan Mader, 1990).

RINEX dikembangkan oleh Astronomical Institute of The University of Berne untuk

mengatasi kesulitan mengkombinasikan data biner dari receiver GNSS yang berbeda.

Perangkat lunak pengolah data survei GNSS umumnya dapat memberikan keluaran

dan menerima masukan dalam format RINEX. Beberapa karakteristik RINEX adalah

sebagai berikut:

1. Format ASCII, dengan panjang setiap record maksimum 80 karakter.

2. Satuan data fase adalah panjang gelombang, data pseudorange adalah meter.

3. Semua kalibrasi tergantung receiver sudah diaplikasikan ke data.

23

4. Tanda waktu adalah waktu pengamatan dalam kerangka waktu jam receiver.

5. Data pengamatan, data navigation message, dan data meteorologi diberikan

dalam file yang berbeda.

Dalam file RINEX dapat memberikan informasi untuk data code dan data

carrier phase masing-masing. RINEX memiliki beberapa jenis data antara lain

(International GNSS Service & RINEX Working, 2013):

1. File data observasi (*.YYo)

2. File pesan navigasi GPS (*.YYn)

3. File data Meteorologi (*.YYm)

4. File pesan navigasi GLONASS (*.YYg)

Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah file data observasi dan

file pesan navigasi GPS.

I.8.9. Signal to Noise Ratio (SNR)

Signal to noise ratio (SNR) adalah parameter umum yang digunakan untuk

menggambarkan kekuatan sinyal yang diamati oleh receiver GNSS. SNR mengacu

pada rasio sinyal dan noise listrik suatu bandwidth yang diberikan. Nilai parameter

ini akan tergantung pada model front-end receiver-nya, akuisisi dan pelacakan

parameter serta pengaturan instalasi pada setiap observasi. Ini akan berbeda pada

setiap tahap pemrosesan sinyal dalam receiver GNSS.

SNR merupakan fungsi dari kekuatan sinyal yang dibagi oleh kekuatan derau

atau noise. SNR biasanya dinyatakan dalam satuan desibel. Kekuatan sinyal

didefinisikan dalam satuan daya pada umumnya yaitu watts atau milliwatts. Kondisi

tersebut dapat dibuat persamaan pada persamaan I.19. namun jiga kekuatan sinyal

sudah dalam satuan decibel seperti dBW atau dBm maka dapat dibuat persamaan

seperti persamaan I.20 (Northwood Labs LLC, 2003):

(

).................................................................................................(I.19)

..........................................................................................(I.20)

Dalam hal ini :

SNR : Signal to Noise Ratio

S : kekuatan sinyal,

N : kekuatan suara dalam bandwidth yang diberikan.

24

I.8.10. Observed Range Deviation (ORD)

Observed Range Deviation (ORD) didefinisikan sebagai perbedaan antara

pseudorange yang diamati dan yang diperkirakan atau diperhitungkan (Bradford W.,

dkk. 1996). Pada beberapa receiver GNSS, efek yang paling signifikan untuk

memperhitungkan koreksi rentang pengamatan (beda waktu) adalah jam receiver

offset (perbedaan antara waktu internal penerima dan waktu GNSS yang benar).

Menurut Feess B., dkk. (1987) ORD dapat dirummuskan sebagai berikut:

ORD = PRobs – PRcomp (I.21)

ORD = PRobs – [R + c(фreceiver – фsv)] (I.22)

Dalam hal ini:

PRobs : Pseudorange diamat oleh receiver yang terkoreksi dari kesalahan ionosfer,

dan troposfer.

PRcomp : Pseudorange terhitung untuk receiver

R : Jarak geometris dari Satelit ke receiver

c : Kecepatan cahaya

фreceiver : Offset Jam Satelit terhadap waktu GPS yang terdapat di data navigasi

фsv : Offset Jam Receiver terhadap waktu GPS

ORD adalah salah satu tool pada perangkat lunak GPSTk. Beberapa fungsi

perintah pada ORD antara lain ordClock membuat perkiraan jam receiver offset,

ordLinEst untuk menghitung perkiraan model jam secara linear dan juga menghitung

nilai penyimpangan model (jam residual), ordStats meringkas statistik kesalahan

yang berisi rentang elevasi, standar deviasi, rata-rata dan nilai maksimum dari ORD

yang terdaftar, serta jumlah observasi dan jumlah kesalahan, ordPlot merencanakan

ORD, offset jam, model jam linear dan model jam residual.

I.8.11. Standar yang Digunakan untuk Evaluasi Kemampuan Pengukuran Code

dan Carrier Phase OEM Modul Receiver GPS

1.8.11.1. Standar nilai SNR receiver geodetik berdasarkan penelitian Langley

(1997). Penelitian yang dilakukan oleh Langley (1997), mengarakteristikkan nilai

SNR melalui data pengamatan dibeberapa stasiun pengamatan GPS. Dalam bukunya,

Langley mengatakan bahwa nilai SNR yang diberikan melalui nilai C/N0 yang

dayanya ditransmisikan oleh satelit GPS berkisar pada 42 dBHz. Pernyataan Langley

25

tersebut digunakan sebagai referensi oleh Bilich untuk melakukan penelitian dalam

tingkat thesis pada tahun 2006. Bilich menambahkan nilai SNR receiver geodetik

berada pada rentang 35 dBHz s.d. 50 dBHz.

1.8.11.2. Standar nilai ORD receiver geodetik berdasarkan penelitian Standar

Positioning Service Performance Standard GPS (SPS-PS GPS) (2008). Standar ini

dipublikasikan oleh Departemen Pertahanan, Amerika Serikat pada tahun 2008.

Standar yang memuat tentang berbagai prosedur performa penentuan posisi

menggunakan GPS ditulis dalam dokumen tersebut. Salah satu standar yang ada

adalah standar pengukuran code oleh receiver geodetik. Standar tersebut menyatakan

bahwa akurasi hasil pengukuran pseudorange atau nilai ORD sebesar lebih kurang

7,8 m sebanyak 95% dari 100% data pengukuran. Nilai 95% merupakan tingkat

kepercayaan yang digunakan yang berarti tingkat kepastian sampel estimasi dengan

benar sebesar 95%.

1.8.11.3. Standar nilai residual carrier phase receiver geodetik berdasarkan

Muravchik (2005). Standar nilai residual carrier phase receiver geodetik mengacu

kepada penelitian yang dilakukan oleh Muravchik, dkk. pada tahun 2005.

Muravchik, dkk. melakukan penelitian dengan menggunakan metode differencing

dan menghilangkan serta mengurangi kesalahan yang ada untuk menentukan besaran

nilai residual carrier phase receiver geodetik. Muravchik, dkk. mengatakan bahwa

nilai standar residual carrier phase untuk receiver geodetik adalah sebesar ±8,8 mm.

I.8.12. Perangkat lunak RTKLIB

RTKLIB adalah perangkat lunak open source untuk penentuan posisi

dengan GNSS secara standar dan presisi. RTKLIB terdiri dari sebuah program

library portable. Perangkat lunak ini dapat melakukan pemrosesan data secara cepat

dan dapat diintegrasikan secara post processing maupun real time. Beberapa fitur

dari RTKLIB adalah

1. Dapat menjalankan algoritma penentuan posisi secara presisi seperti GPS,

GLONASS, Galileo, dan lain-lain;

2. Dapat melakukan pengamatan untuk post processing maupun real time;

26

3. Dapat mengolah beberapa format dan protokol GNSS seperti RINEX,

RTCM, RTCA, NMEA, dan lain-lain;

4. Dapat menggunakan beberapa receiver GNSS seperti NovAtel, Hemisphere,

U-blox, Skytraq, JAVAD, dan lain-lain.

I.8.13. Perangkat lunak GPSTk

Perangkat lunak GPSTk atau Toolkit GPS adalah perangkat lunak open

source yang dibuat oleh University of Texas, Austin dan dirilis oleh Lesser GNU

Public License. GPSTk terdiri dari library dan aplikasi yang mendukung penelitian

GPS, analisis, dan pengembangan. GPSTk mendukung berbagai fungsi termasuk

membaca dan menulis pengamatan dalam format standar, seperti RINEX, Binex, dan

SP3, evaluasi ephemeris, penentuan posisi, integritas otonom penerima pemantauan ,

pemodelan penundaan atmosfer, cycle slips dan koreksi, dan generasi P-code.

I.9. Hipotesis

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah diulas dalam tinjauan pustaka

dan teori yang telah diulas dalam landasan teori, hipotesis awal pada penelitian ini

antara lain:

1. Kemampuan pelacakan satelit oleh OEM modul receiver GPS setara dengan

kemampuan receiver geodetik yang dibuktikan oleh nilai rata-rata SNR yang

didapat kurang dari 45 dBHz, dan masih berada dalam rentang nilai SNR secara

umum pada receiver geodetik.

2. Kemampuan pengukuran pseudorange oleh OEM modul receiver GPS setara

dengan kemampuan receiver geodetik yang dibuktikan oleh sebanyak 95% nilai

ORD sesuai dengan standar receiver geodetik yaitu ± 7,8 m.

3. Kemampuan pengukuran carrier phase oleh OEM modul receiver GPS setara

dengan kemampuan receiver geodetik yang dibuktikan oleh nilai residual carrier

phase yang didapat bervariasi pada ± 8,8 mm.