humanisme religius

4
Humanisme Religius Mulai peristiwa kemanusiaan 11 September 2001 hingga saat ini, sejarah dunia melukiskan wajah Islam sebagai agama yang eksklusif dan menyeramkan. Islam dipahami sebagai agama yang antiglobalisasi, antiperadaban, dan penebar api peperangan. Antipati Barat ditunjukkan dengan nyata terhadap penganut Islam, mulai pelarangan aktivitas kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal, pemberantasan jaringan-jaringannya, hingga ancaman-ancaman lain terhadap negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam. Masih sangat segar ingatan kita pada peristiwa tragedi kemanusiaan bom Bali, lagi-lagi masyarakat dunia melihat komunitas muslim sebagai kelompok pertama yang mesti bertanggung jawab. Peristiwa demi peristiwa menggambarkan dan meletakkan Islam sebagai agama yang tidak beradab dan melakukan tindakan ahumanis sebagai refleksi dari ajaran agamanya. Kata "jihad" yang dipahami umat Islam sebagai perbuatan suci ternodai dengan pemaknaan sempit dan dipahami umat lain dengan makna sebaliknya. Karena itu, untuk melawan tuduhan tersebut, Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam wajib terus disosialisasikan oleh umatnya. Dengan begitu, citra Islam yang babak belur bisa dipahami sebagai agama yang humanis, toleran, transformatif, liberatif, dan beradab. Dalam sejarah kemanusiaan, konflik, peperangan, dan kekerasan manusia selalu dipicu faktor-faktor perbedaan kultural, peradaban, dan warisan peradaban purba yang ditransformasikan ke dalam kepentingan subjektif manusia dan kelompoknya serta bangsa yang berbeda. Agama yang datang dari wahyu Tuhan maupun yang dimanipulasi manusia digunakan untuk menegakkan kepentingan subjektivitas masing-masing sehingga agama suci damai menjadi ajang pertumpahan darah antarmanusia. Secara sosiologis, agama memiliki fungsi-fungsi psikologi sosial dalam proses dialektis dirinya dengan Tuhan sehingga agama dipahami sebagai makna yang unik dalam totalitas kehidupan manusia.

Upload: nopal-nopel

Post on 29-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7/14/2019 Humanisme Religius

http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 1/4

Humanisme Religius

Mulai peristiwa kemanusiaan 11 September 2001 hingga saat ini, sejarah dunia

melukiskan wajah Islam sebagai agama yang eksklusif dan menyeramkan. Islam

dipahami sebagai agama yang antiglobalisasi, antiperadaban, dan penebar api

peperangan. Antipati Barat ditunjukkan dengan nyata terhadap penganut Islam,

mulai pelarangan aktivitas kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal,

pemberantasan jaringan-jaringannya, hingga ancaman-ancaman lain terhadap

negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam.

Masih sangat segar ingatan kita pada peristiwa tragedi kemanusiaan bom Bali,

lagi-lagi masyarakat dunia melihat komunitas muslim sebagai kelompok pertama

yang mesti bertanggung jawab. Peristiwa demi peristiwa menggambarkan dan

meletakkan Islam sebagai agama yang tidak beradab dan melakukan tindakan

ahumanis sebagai refleksi dari ajaran agamanya. Kata "jihad" yang dipahami

umat Islam sebagai perbuatan suci ternodai dengan pemaknaan sempit dan

dipahami umat lain dengan makna sebaliknya.

Karena itu, untuk melawan tuduhan tersebut, Islam sebagai agama rahmat bagi

seluruh alam wajib terus disosialisasikan oleh umatnya. Dengan begitu, citra

Islam yang babak belur bisa dipahami sebagai agama yang humanis, toleran,

transformatif, liberatif, dan beradab.

Dalam sejarah kemanusiaan, konflik, peperangan, dan kekerasan manusia selalu

dipicu faktor-faktor perbedaan kultural, peradaban, dan warisan peradaban

purba yang ditransformasikan ke dalam kepentingan subjektif manusia dan

kelompoknya serta bangsa yang berbeda.

Agama yang datang dari wahyu Tuhan maupun yang dimanipulasi manusia

digunakan untuk menegakkan kepentingan subjektivitas masing-masing sehingga

agama suci damai menjadi ajang pertumpahan darah antarmanusia. Secara

sosiologis, agama memiliki fungsi-fungsi psikologi sosial dalam proses

dialektis dirinya dengan Tuhan sehingga agama dipahami sebagai makna yang

unik dalam totalitas kehidupan manusia.

7/14/2019 Humanisme Religius

http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 2/4

 

Keunikan agama direfleksikan ke dalam berbagai dimensi keagamaan. Antara

lain, dimensi ideologis, emosional, intelektual, dan ritual, yang secara

keseluruhan menjadi konstruksi pengalaman-pengalaman (religiusitas)

seseorang maupun kelompok-kelompok keagamaan.

Religiusitas yang memiliki banyak dimensi justru menimbulkan klaim-klaim

kebenaran agama sekaligus konflik kekerasan, baik global maupun lokal. Hal

ini digambarkan oleh John Hiek: "Satu Tuhan, tetapi banyak jalan."

Kendati humanisme cenderung sinis terhadap agama, mereka tidak lantas

menjadi ateis. Mereka, misalnya, melepaskan diri dari kerangka berpikir

teologis-metafisis, tetapi mereka tidak lantas menjadi amoral. Dalam

kerangka humanistik, mereka justru menemukan makna yang mendasar dari

religiusitas dan moralitas.

Humanisme religius adalah faith in action. Kenneth Phfer menyatakan bahwa

humanisme mengajari kita bahwa ini tidak bermoral untuk menunggu Tuhan agar

melayani kita. Kita harus bergerak untuk menghentikan perang,kejahatan-kejahatan, dan brutalitas di abad mendatang.

Kita mempunyai kekuatan-kekuatan yang baik. Kita mempunyai derajat kebebasan

yang tinggi dalam memilih apa yang akan kita lakukan. Humanisme menerangkan

kepada kita tentang apa pun filosofi alam. Kita bertanggung jawab pada

dunia, tempat kita hidup di dalamnya.

Sebagai paradigma pemikiran yang memperjuangkan martabat manusia, humanisme

diletakkan dalam konteks evolusi pemikiran manusia. Artinya, humanisme

merupakan tahapan dimulainya paradigma manusia sebagai pusat setelah alam

pikiran Yunani kuno peradaban Barat beranjak dari tahapan evolusi

kosmosentris.

7/14/2019 Humanisme Religius

http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 3/4

Pada abad tengah, begitu tahapan kosmosentris berakhir, manusia kemudian

mengubah paradigma pemikirannya dengan memusatkan pikirannya pada Yang Ilahi

atau teosentris. Dalam tahap ini, alam semesta dihayati sebagai buah karya

Tuhan dan semua mendapatkan maknanya dalam Tuhan. Dalam perkembangannya,

muncul kesadaran baru tentang kodrat dan hakikat manusia yang rasional dan

bebas, melahirkan kiblat baru pada kerangka antroposentris yang kritis,

tempat manusia menjadi titik pusat pemikirannya sendiri.

Humanisme Islam

Akan tampak dalam sistem keyakinan ini bahwa humanisme tidak menghendaki

suatu kekerasan. Nucholish Madjid mengungkapkan beberapa landasan teologis

untuk itu. Tetapi, yang penting, prinsip kekerasan tidak sesuai dengan

paradigma dunia manusia yang adil.

Kalau ditelusuri dalam sejarah Islam, mungkin dapat timbul pertanyaan

tentang cara-cara kekerasan yang dipakai oleh Islam. Tetapi, kalau dalam

sumber keyakinan dalam agama itu pun ditemukan landasan kekerasan, agaknya

yang perlu diperbaiki adalah interpretasi terhadapnya.

Kekerasan dalam masyarakat akan ada dan bersifat permanen. Dalam sejarah

manusia, kekerasan merobek-robek dunia semenjak Tuhan menciptakan manusia.

Menurut doktrin sosiologi Islam, sebab-sebab pokok kekerasan itu sudah ada

dalam watak manusia sendiri, seperti keinginan alamiah untuk melakukan

agresi, cinta kekuasaan dan kekayaan, serta dengki dan persaingan mencari

keuntungan. Ada pula yang berasal dari struktur sosial, misalnya, sikap

membangkang pada kekuasaan pusat atau sebaliknya.

Islam natural itu selalu pada posisi positif bahwa kebenaran harus menang

atas kekeliruan, kebaikan harus menang atas kejahatan, dan keadilan harus

memang atas kezaliman. Antagonisme antara perorangan, kelompok-kelompok, dan

bangsa-bangsa tak dapat dihindarkan.

7/14/2019 Humanisme Religius

http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 4/4

Islam adalah sistem total dalam tata kehidupan manusia dan kehadirannya

bersifat ganda. Ia berwajah eksklusif, partikularis, promordial, ilmiah,

rasional, serta melepaskan penganutnya dari belenggu kepercayaan naturalis

mistis dan khurafat.

Islam juga dipenuhi identitas inklusif, universalis, dan mengatasi

(transcendent). Dengan demikian, dalam Islam, dikenal dua

pendekatan-pendekatan konflik atau purifikatif dan pendekatan

akomodatif-reformatif, kondisional, dan apresiatif sesuai keadaan yang

dihadapinya.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Menurut teori humanisme yang pada mulanya berkembang dalam

tradisi Yunani kuno menganggap bahwa, filsafat humanisme mempunyai beberapa pandangan hidup

yang berpusat pada kebutuhan dan ketertarikan manusia Humanisme sebagai paradigma pikiran

yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta penempatan

manusia sebagai sentral perjuangan pembudayaan dan peradapan, dalam sejarah pemikiran harus

diletakan dalam evolusi pemikiran. Artinya, humanisme merupakan tahap dimulainya paradigma

pusat manusia setelah beranjak dalam tahap evolusi kosmosentris. Setelah itu penghayatan hidup

dan paradigma pikirannya dengan memusatkan diri pada yang Ilahi atau teosentris pada abad

pertengahan. Ketika kesadaran budi manusia semakin menyadari posisi sentralnya di pusat jagadraya ini, maka ditemukan kembali dirinya yang mampu merangkum pengalaman dan kreatif 

menemukan ilmu dan teknologi. Inilah tahap antroposentris yaitu sebuah paradigma yang menitik-

tolakkan pemikiran, pengembangan ilmu dan peradapan pada manusia sebagai pusatnya. (2) Secara

konseptual paradigma humanisme religius, dalam kerangka aplikasi dan implikasi, penyusun

menawarkan empat komponen inti, yaitu: aspek guru, aspek siswa, aspek materi dan aspek evaluasi.

Dari keempat stakeholder pendidikan itu, diharapakan ada komunikasi dan interaksi yang saling

melengkapi antara komponen satu dengan komponen yang lain. Pertama kali dilakukan adalah

melakukan gerakan penyadaran terhadap guru dan siswa yang notabene-nya adalah subyek atau

pelaku pendidikan terkait dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya. Sementara materi ibarat

ruh pendidikan untuk merubah daya nalar (kognitif), afektif dan psikomotorik-nya. Sedangkan aspek

evaluasi adalah sistem penilaian yang sifatnya berkelanjutan. Sehingga kerangka konseptual

pendidikan humanis religius dapat diterjemahkan dalam bentuk yang nyata dalam praktik di dunia

pendidikan Islam.