humanisme religius
TRANSCRIPT
7/14/2019 Humanisme Religius
http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 1/4
Humanisme Religius
Mulai peristiwa kemanusiaan 11 September 2001 hingga saat ini, sejarah dunia
melukiskan wajah Islam sebagai agama yang eksklusif dan menyeramkan. Islam
dipahami sebagai agama yang antiglobalisasi, antiperadaban, dan penebar api
peperangan. Antipati Barat ditunjukkan dengan nyata terhadap penganut Islam,
mulai pelarangan aktivitas kelompok-kelompok Islam yang dianggap radikal,
pemberantasan jaringan-jaringannya, hingga ancaman-ancaman lain terhadap
negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam.
Masih sangat segar ingatan kita pada peristiwa tragedi kemanusiaan bom Bali,
lagi-lagi masyarakat dunia melihat komunitas muslim sebagai kelompok pertama
yang mesti bertanggung jawab. Peristiwa demi peristiwa menggambarkan dan
meletakkan Islam sebagai agama yang tidak beradab dan melakukan tindakan
ahumanis sebagai refleksi dari ajaran agamanya. Kata "jihad" yang dipahami
umat Islam sebagai perbuatan suci ternodai dengan pemaknaan sempit dan
dipahami umat lain dengan makna sebaliknya.
Karena itu, untuk melawan tuduhan tersebut, Islam sebagai agama rahmat bagi
seluruh alam wajib terus disosialisasikan oleh umatnya. Dengan begitu, citra
Islam yang babak belur bisa dipahami sebagai agama yang humanis, toleran,
transformatif, liberatif, dan beradab.
Dalam sejarah kemanusiaan, konflik, peperangan, dan kekerasan manusia selalu
dipicu faktor-faktor perbedaan kultural, peradaban, dan warisan peradaban
purba yang ditransformasikan ke dalam kepentingan subjektif manusia dan
kelompoknya serta bangsa yang berbeda.
Agama yang datang dari wahyu Tuhan maupun yang dimanipulasi manusia
digunakan untuk menegakkan kepentingan subjektivitas masing-masing sehingga
agama suci damai menjadi ajang pertumpahan darah antarmanusia. Secara
sosiologis, agama memiliki fungsi-fungsi psikologi sosial dalam proses
dialektis dirinya dengan Tuhan sehingga agama dipahami sebagai makna yang
unik dalam totalitas kehidupan manusia.
7/14/2019 Humanisme Religius
http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 2/4
Keunikan agama direfleksikan ke dalam berbagai dimensi keagamaan. Antara
lain, dimensi ideologis, emosional, intelektual, dan ritual, yang secara
keseluruhan menjadi konstruksi pengalaman-pengalaman (religiusitas)
seseorang maupun kelompok-kelompok keagamaan.
Religiusitas yang memiliki banyak dimensi justru menimbulkan klaim-klaim
kebenaran agama sekaligus konflik kekerasan, baik global maupun lokal. Hal
ini digambarkan oleh John Hiek: "Satu Tuhan, tetapi banyak jalan."
Kendati humanisme cenderung sinis terhadap agama, mereka tidak lantas
menjadi ateis. Mereka, misalnya, melepaskan diri dari kerangka berpikir
teologis-metafisis, tetapi mereka tidak lantas menjadi amoral. Dalam
kerangka humanistik, mereka justru menemukan makna yang mendasar dari
religiusitas dan moralitas.
Humanisme religius adalah faith in action. Kenneth Phfer menyatakan bahwa
humanisme mengajari kita bahwa ini tidak bermoral untuk menunggu Tuhan agar
melayani kita. Kita harus bergerak untuk menghentikan perang,kejahatan-kejahatan, dan brutalitas di abad mendatang.
Kita mempunyai kekuatan-kekuatan yang baik. Kita mempunyai derajat kebebasan
yang tinggi dalam memilih apa yang akan kita lakukan. Humanisme menerangkan
kepada kita tentang apa pun filosofi alam. Kita bertanggung jawab pada
dunia, tempat kita hidup di dalamnya.
Sebagai paradigma pemikiran yang memperjuangkan martabat manusia, humanisme
diletakkan dalam konteks evolusi pemikiran manusia. Artinya, humanisme
merupakan tahapan dimulainya paradigma manusia sebagai pusat setelah alam
pikiran Yunani kuno peradaban Barat beranjak dari tahapan evolusi
kosmosentris.
7/14/2019 Humanisme Religius
http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 3/4
Pada abad tengah, begitu tahapan kosmosentris berakhir, manusia kemudian
mengubah paradigma pemikirannya dengan memusatkan pikirannya pada Yang Ilahi
atau teosentris. Dalam tahap ini, alam semesta dihayati sebagai buah karya
Tuhan dan semua mendapatkan maknanya dalam Tuhan. Dalam perkembangannya,
muncul kesadaran baru tentang kodrat dan hakikat manusia yang rasional dan
bebas, melahirkan kiblat baru pada kerangka antroposentris yang kritis,
tempat manusia menjadi titik pusat pemikirannya sendiri.
Humanisme Islam
Akan tampak dalam sistem keyakinan ini bahwa humanisme tidak menghendaki
suatu kekerasan. Nucholish Madjid mengungkapkan beberapa landasan teologis
untuk itu. Tetapi, yang penting, prinsip kekerasan tidak sesuai dengan
paradigma dunia manusia yang adil.
Kalau ditelusuri dalam sejarah Islam, mungkin dapat timbul pertanyaan
tentang cara-cara kekerasan yang dipakai oleh Islam. Tetapi, kalau dalam
sumber keyakinan dalam agama itu pun ditemukan landasan kekerasan, agaknya
yang perlu diperbaiki adalah interpretasi terhadapnya.
Kekerasan dalam masyarakat akan ada dan bersifat permanen. Dalam sejarah
manusia, kekerasan merobek-robek dunia semenjak Tuhan menciptakan manusia.
Menurut doktrin sosiologi Islam, sebab-sebab pokok kekerasan itu sudah ada
dalam watak manusia sendiri, seperti keinginan alamiah untuk melakukan
agresi, cinta kekuasaan dan kekayaan, serta dengki dan persaingan mencari
keuntungan. Ada pula yang berasal dari struktur sosial, misalnya, sikap
membangkang pada kekuasaan pusat atau sebaliknya.
Islam natural itu selalu pada posisi positif bahwa kebenaran harus menang
atas kekeliruan, kebaikan harus menang atas kejahatan, dan keadilan harus
memang atas kezaliman. Antagonisme antara perorangan, kelompok-kelompok, dan
bangsa-bangsa tak dapat dihindarkan.
7/14/2019 Humanisme Religius
http://slidepdf.com/reader/full/humanisme-religius 4/4
Islam adalah sistem total dalam tata kehidupan manusia dan kehadirannya
bersifat ganda. Ia berwajah eksklusif, partikularis, promordial, ilmiah,
rasional, serta melepaskan penganutnya dari belenggu kepercayaan naturalis
mistis dan khurafat.
Islam juga dipenuhi identitas inklusif, universalis, dan mengatasi
(transcendent). Dengan demikian, dalam Islam, dikenal dua
pendekatan-pendekatan konflik atau purifikatif dan pendekatan
akomodatif-reformatif, kondisional, dan apresiatif sesuai keadaan yang
dihadapinya.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) Menurut teori humanisme yang pada mulanya berkembang dalam
tradisi Yunani kuno menganggap bahwa, filsafat humanisme mempunyai beberapa pandangan hidup
yang berpusat pada kebutuhan dan ketertarikan manusia Humanisme sebagai paradigma pikiran
yang memperjuangkan dihormatinya manusia dengan harkat dan martabatnya serta penempatan
manusia sebagai sentral perjuangan pembudayaan dan peradapan, dalam sejarah pemikiran harus
diletakan dalam evolusi pemikiran. Artinya, humanisme merupakan tahap dimulainya paradigma
pusat manusia setelah beranjak dalam tahap evolusi kosmosentris. Setelah itu penghayatan hidup
dan paradigma pikirannya dengan memusatkan diri pada yang Ilahi atau teosentris pada abad
pertengahan. Ketika kesadaran budi manusia semakin menyadari posisi sentralnya di pusat jagadraya ini, maka ditemukan kembali dirinya yang mampu merangkum pengalaman dan kreatif
menemukan ilmu dan teknologi. Inilah tahap antroposentris yaitu sebuah paradigma yang menitik-
tolakkan pemikiran, pengembangan ilmu dan peradapan pada manusia sebagai pusatnya. (2) Secara
konseptual paradigma humanisme religius, dalam kerangka aplikasi dan implikasi, penyusun
menawarkan empat komponen inti, yaitu: aspek guru, aspek siswa, aspek materi dan aspek evaluasi.
Dari keempat stakeholder pendidikan itu, diharapakan ada komunikasi dan interaksi yang saling
melengkapi antara komponen satu dengan komponen yang lain. Pertama kali dilakukan adalah
melakukan gerakan penyadaran terhadap guru dan siswa yang notabene-nya adalah subyek atau
pelaku pendidikan terkait dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya. Sementara materi ibarat
ruh pendidikan untuk merubah daya nalar (kognitif), afektif dan psikomotorik-nya. Sedangkan aspek
evaluasi adalah sistem penilaian yang sifatnya berkelanjutan. Sehingga kerangka konseptual
pendidikan humanis religius dapat diterjemahkan dalam bentuk yang nyata dalam praktik di dunia
pendidikan Islam.