hukum progresif ( hukum dan masyarakat)

22
HUKUM DAN MASYARAKAT TEORI HUKUM PROGRESIF ( SATJIPTO RAHARDJO ) SILVIA KUMALASARI 8111412028 FAKULTAS HUKUM

Upload: silvia-kumalasari

Post on 10-Apr-2016

70 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hukum dan masyarakat

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

HUKUM DAN MASYARAKAT

TEORI HUKUM PROGRESIF

( SATJIPTO RAHARDJO )

SILVIA KUMALASARI8111412028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015

Page 2: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

Dalam catatan tentang penegakan hukum di Indonesia terdapat beberapa kisah ahli

hukum yang dianggap tidak lazim jika di pandang dari hegemoni cara berhukum pada eranya.

Misalnya kisah tentang Hakim Agung Asikin Kusumahatmadja yang membuat putusan

melampaui petitum (permohonan) pihak penggugat dalam perkara Gugatan Warga Kedung

Ombo pada akhir tahun 1990-an, kisah terobosan yang dilakukan Hakim Irfanudin dalam perkara

korupsi di Lampung, kisah Hakim Bismar Siregar, kisah Jaksa Agung Baharudin Lopa, kisah

Jenderal Polisi Hoegeng dan “pendekar hukum” lainnya. Sikap, tindakan dan pemikiran mereka

dalam menerobos kebuntuan sistem hukum dalam mewujudkan keadilan sering disebut-sebut

sebagai “penegakan hukum progresif”.

Terobosan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum tersebut merupakan respon

terhadap proses hukum seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas apalagi

memberikan keadilan substantif bagi para pihak. Proses hukum lebih tampak sebagai “mesin

peradilan” yang semata-mata hanya berfungsi mengejar target penyelesaian perkara yang efektif

dari sisi kuantitas sesuai dengan tahap-tahap dan “aturan main” yang secara formal ditetapkan

dalam peraturan. Hukum dan proses peradilan seringkali merasa terkendala ketika harus

dihadapkan pada kasus-kasus yang semakin rumit dan kompleks seiring dengan perkembangan

masyarakat yang sangat dipacu oleh sistem global.

Sistem hukum modern yang telah terlanjur diformat dalam sekat-sekat pembagian bidang

hukum secara tradisional “hitam putih” (Perdata, Administrasi, Pidana, dst.) menjadi gagap

ketika dituntut harus menyelesaikan perkara-perkara yang berada pada “ranah abu-abu” (tidak

tampak jelas batas antara persoalan etika, privat atau publik).

Secara paradigmatik dapat dijelaskan bahwa modernisme terkait dengan berkembangnya

tradisi pemikiran yang mengedepankan rasionalitas daripada hal-hal yang bersifat metafisika

sebagaimana yang berkembang dalam era sebelumnya. Tradisi pemikiran ilmu pengetahuan

didominasi paradigma Cartesian/Baconian/Newtonian telah merubah dunia menuju pada era

masyarakat modern dengan modernismenya. Secara singkat tradisi tersebut adalah cara berpikir

yang menonjolkan aspek rasional, logis, memecah/memilah (atomizing), matematis, masinal,

deterministik dan linier.1

1 Satjipto Rahardjo (Khudzaifah Dimyati, ed.), 2004. Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,

Surakarta: Muhammadiyah University Press, hlm. 35.

Page 3: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era “pencerahan” di dunia sains dan seni

secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di bidang sosial, politik,

ekonomi , dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi perubahan dari tipe masyarakat

agraris menuju pada masyarakat industri yang bersifat liberal. Di bidang politik tampak pada

terbentuknya negara modern dengan platform konstitusional dan demokrasinya. Di bidang

ekonomi muncul sistem perekonomian terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung

bersifat kapitalistik.

Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga diikuti

dengan perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul dan berkembangannya tatanan hukum

modern atau lebih dikenal dengan sebutan hukum sistem hukum positif. Pada awalnya sistem

hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada

masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa mencapai ketertiban dalam hidup

bermasyarakat. Namun demikian, pada kenyataannya dan dalam perkembangannya, sifat hukum

positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern semakin “terasing” dari realitas-

realitas yang terus berkembang semakin pesat.2

Surutnya kejayaan cara berpikir Cartesian/Baconian/Newtonian setelah munculnya teori-

teori baru pada dunia sains seperti teori relativitas dan teori keos telah merubah cara pandang

terhadap kebenaran. Pada kenyataannya metode berpikir secara mekanistis, terukur, linier, dan

seterusnya pada positivisme menyebabkan terjadinya pereduksian makna dan manipulasi fakta

yang menyebabkan kegagalan dalam memahami realita secara benar dan utuh. Hal demikian

tampaknya terjadi pula pada model hukum modern yang masih bertahan dengan dominasi

positivisme-nya yang semakin sulit menjadi sarana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang

berkembang pada masyarakat pascaindustri.

Fenomena yang nampak jelas menunjukkan perubahan paradigma pada masyarakat

pascaindustri atau yang disebut juga sebagai masyarakat informasi adalah perkembangan IPTEK

telah mencapai tahap yang sangat mutakhir. Salah satu produk IPTEK yang kini menjadi simbol

2Positivisme secara universal bisa mengakibatkan keterpurukan hukum, karena terlalu mengandalkan teori dan

pemahaman legalistik-positivistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis (rule bound) belaka maka kita takkan pernah menangkap hakikat kebenaran. Lihat: Achmad Ali, 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.19.

Page 4: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

kemajuan adalah IT (Information Technology). Teknologi inilah yang secara revolusioner

merombak paradigma-paradigma yang ada sebelumnya. Sebut saja misalnya perubahan

paradigma itu terjadi pada sistem teknologi, yakni dari sistem manual menjadi sistem

digital/elektronik, yang mengakibatkan perubahan terhadap realitas yang ada yakni dari hard

reality menjadi virtual reality atau hypperreality.3

Perubahan-perubahan paradigma secara revolusioner tersebut yang dalam bahasanya

Thomas Khun disebut dengan istilah “lompatan paradigmatik”4 atau dalam bahasanya Fritjof

Capra disebut dengan istilah “ingsutan paradigma”, secara nyata telah menciptakan wajah baru

pada pola perilaku termasuk tatanan nilai-nilai di berbagai belahan dunia, sehingga lalu muncul

“era” atau “aliran” posmodernisme yang mencoba merespon, mengoreksi, mengkritisi bahkan

mengecam berbagai kesalahan dalam modernisme.

Sebenarnya secara filosofis ada aliran pemikiran yang dekat dengan semangat

posmodernisme, seperti: Legal Realism dan Critical Legal Studies. Legal realism antara lain

mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan bisa dikesampingkan jika ternyata

keberadaannya menghalangi pencapaian keadilan. Critical Legal Studies bahkan sejak awal

bersikap bahwa peraturan perundang-undangan harus dihindari karena proses penyusunannya

sarat dengan muatan kepentingan yang timpang.

Penerapan legal realism dan critical legal studies dalam praktek penegakan hukum di

Indonesia pada saat ini jelas tidak realistis karena keberadaan paradigma hukum positif masih

3 Teknologi telematika telah melahirkan sebuah dimensi ketiga dalam fenomena kehidupan masyarakat. Dimensi pertama (hard reality) adalah kenyataan dalam kehidupan empiris yang secara fisik bisa dilihat/didengar/dirasakan; dimensi kedua (soft reality) adalah kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai- nilai yang dibentuk; dimensi ketiga (virtual reality) adalah kenyataan dalam kehidupan dunia mayantara (cyber space). Lihat: Ashadi Siregar, 2001. Negara, Masyarakat dan Teknologi Informasi, Makalah dalam “Seminar Tenologi Informasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Demokrasi” Dies Natalis FISIPOL UGM ke-46, Yogyakarta 19 September 2001.4 Menurut Khun, revolusi sains muncul jika paradigma yang lama mengalami krisis dan akhirnya orang mencampakkannya serta merangkul paradigma yang baru. Baca: Thomas Khun, 1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (The Structure of Scientific Revolutions, diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV. Hlm. 57-83.

Page 5: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

mendominasi dunia hukum di Indonesia. Disamping itu pada kenyataannya bagaimanapun

kritikan atau kecaman pascamodernisme terhadap modernism terbukti belum mampu

menghadang derasnya arus liberalisme, kapitalisme ,dan positivisme.

Berkaitan dengan realitas-realitas tersebut maka konsep (penafsiran) hukum progresif

dianggap jalan tengah yang terbaik. “Ajaran” hukum progresif tidak “mengharamkan” hukum

positif namun tidak juga mendewakan ajaran hukum bebas. Progresivisme tetap berpijak pada

aturan hukum positif, namun disertai dengan pemaknaan yang luas dan tajam. Keluasan dan

ketajaman pemaknaan hukum progresif bahkan lebih dari apa yang dikembangkan dalam

sociological jurisprudence, namun mencakup pula aspek psikologis dan filosofis.

Istilah “Hukum Modern” yang dipergunakan dalam tulisan ini sekedar untuk menyebut

model hukum pada masyarakat modern yang bersifat liberal, individualistik dan rasional. Model

ini juga sekedar untuk membedakan dengan model hukum pada masyarakat tradisional yang

lebih bersifat komunal dan magis. Dalam perkembangannya keberadaan hukum modern tidak

terbatas pada lingkup benua asalnya saja (eropa) namun telah merambah pula (dan semakin

mendominasi) negara- negara berkembang, termasuk Indonesia.5

Hukum modern muncul di Eropa pada awal abad XIX yang saat itu didominasi oleh alam

pemikiran positivistik sehingga menghasilkan doktrin Rule of Law yang bercirikan: Formal rules

(tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan); Procedures (dilaksanakan melalui

“aturan main” yang ketat); Methodologist (mendewakan logika dalam penerapannya;

Bureaucreacy (hanya lembaga-lembaga formal yang diakui memiliki otoritas untuk membuat,

melaksanakan dan mengawasi hukum.6

Munculnya ciri-ciri tersebut karena konteks sejarahnya menculnya hukum modern dalam

Constitutional State sebagai reaksi terhadap “kekacauan” yang diakibatkan oleh sistem hukum

era sebelumnya yakni Absolutisme. Sehingga pada awalnya memang model hukum modern ini

cukup efektif dalam upaya penertiban masyarakat. Namun dalam perkembangannya, terutama di

luar negara-negara Eropa Kontinental, model hukum positif sebagai ciri hukum modern semakin

5Al Wisnubroto, Dasar-dasar Hukum Progresif, www. Hukumprogresif.com, 2014, hlm. 4.

6 Periksa: Al. Wisnubroto, Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-Aspek Pengubah

Hukum, 1996, hlm. 20.

Page 6: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

tidak “ampuh” dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial

akibat pesatnya kemajuan teknologi.

Sebab utama kegagalan model hukum modern dalam mengantisipasi perubahan sosial

akibat pesatnya teknologi di bidang transportasi, komunikasi dan informasi adalah sifatnya yang

cenderung otonom, sehingga tidak fleksibel dan dengan sendirinya sulit untuk menjadi responsif

terhadap perkembangan rasa keadilan. Kenyataan yang sangat tidak menguntungkan adalah

keberadaan hukum modern di Indonesia. Apabila dilihat dari latar belakang sejarahnya, hukum

modern yang “dipaksakan” berlaku dalam politik pembangunan hukum Indonesia sejak jaman

kolonial, hingga Indonesia merdeka,7 adalah ibarat “benda asing” yang tidak tumbuh secara

alami seiring dengan perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia (Not developed from

within but imposed from out side). Implementasi hukum modern secara otonom dengan

pendekatan sempit akan menyebabkan hukum tercabut dari masyarakatnya sehingga hanya akan

menghasilkan keadilan formal (bukan keadilan substansial).

Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di

Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional hingga

masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia masih jauh dari harapan dan memerlukan

pembenahan secara serius. Gagasan Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas “kegagalan”

hukum Indonesia yang didominasi doktrin positivism dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi

dan pelanggaran hak asasi manusia.

Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan

manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.8 Hukum

progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan

sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan

7 Hukum modern ditransplantasikan oleh pemerintah Kolonial Belanda di Hindia Belanda melalui kebijakan yang

disebut dengan “bewuste rechtspolitiek” yakni kebijakan membina tata hukum kolonial secara sadar, pada tahun 1830-an hingga tahun 1890-an. Periksa: Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 19 dan hlm.56.8Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hlm. 31

Page 7: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan

kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka

hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk

dimasukkan kedalam skema hukum.

Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah: “Hukum adalah untuk

Manusia”, bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk dalam skema hukum. Bahkan hukum

dibuat bukan untuk dirinya sendiri (hukum untuk hukum). Jadi manusialah yang merupakan

penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin

mengeser landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukan lah

merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,

law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang

berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap

rakyat.

Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai

“alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu

menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah

alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural,

hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem

kemanusiaan.

Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and

behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan

aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu.

Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak

hukum dan masyarakatnya.

Karena bertumpu pada dua pijakan yakni peraturan dan perilaku maka hukum progresif

tidak memposisikan hukum sebagai intuisi yang netral. Hukum Progresif merupakan hukum

Page 8: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

yang berpihak yakni memberi perhatian pada yang lemah, pro rakyat dan pro keadilan.9 Hukum

yang diposisikan sebagai sebagai intuisi yang netral merupakan pengaruh dari paham liberalisme

yang apabila diterapkan pada situasi yang timpang justru cenderung menguntungkan pihak yang

kuat.

Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian

faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion

(perasaan haru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare

(keberanian) dan determination (kebulatan tekad).

Oleh sebab itu hukum progresif tidak menempatkan aturan hukum positif sebagai sumber

hukum yang paripurna. Manusia harus mampu memberikan makna pada sebuah aturan hukum

melampaui teks yang tertulis guna mewujudkan keadilan yang substantif. Prinsip ini telah

mengispirasi praktek penegakan hukum secara progresif oleh para pekerja hukum.10 Dari sudut

teori, maka hukum progresif meninggalkan tradisi analitical jurisprudence atau rechtsdogmatiek

dan mengarah pada tradisi sociological jurisprudence. Jadi sebenarnya konsep hukum progresif

bersentuhan, dipengaruhi atau berbagai dengan beberapa teori hukum yang telah mendahuluinya,

antara lain: Konsep hukum responsif (responsive law) yang selalu dikaitkan dengan tujuan-

tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri; Legal Realism; Freirerechtslehre; Critical Legal

Studies.11 Sekalipun hukum progresif bersama aliran-aliran hukum tersebut mengkritik doktrin

hukum positif, namun hukum progresif sebenarnya tidak anti terhadap keberadaan sistem hukum

positif.

Konsep “progresivisme” bertolak dari pandangan kemanusiaan sehingga berupaya

merubah hukum yang tak bernurani menjadi institusi yang bermoral. Paradigma “hukum untuk

9 Sudijono mengidentifikasikan elemen-elemen utama dari model hukum progresif, yakni: Ideologi: “pro-rakyat”;

Tujuan: “pembebasan”; Fungsi: “Pemberdayaan”; Jenis keadilan: “keadilan sosial” dan Metodologi: “diskresi”. Periksa: Sudijono Sastroadmodjo, “Konfigurasi Hukium Progresif” dalam: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 Nomor 2, September 2005, hlm.187.10

Al. Wisnubroto, ”Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum”, Dalam: Myrna A. Savitri, et.al. (ed.), 2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema-Huma. Hlm. 255.11

Shidarta, ”Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-aliran Filsafat Hukum: Sebuah Diagnosis Awal”, 2005, Hlm. 52.

Page 9: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

manusia” membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta

aksi-aksi yang tepat untuk mewujudkan tujuan hukum yakni keadilan, kesejahteran dan

kepedulian terhadap rakyat. Dengan kata lain hukum progresif bersifat membebaskan manusia

dari kelaziman baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan maupun prosedur serta

kebiasaan praktik hukum. Dalam sistem hukum yang progresif, ahli hukum tidak hanya berperan

sebagai penegak hukum dalam arti sempit (menemukan hukum dalam aturan formal dan

menerapkannya) namun lebih dari itu harus mampu sebagai “kreator hukum”. Sebagai institusi

yang bermoral maka hukum progresif bermodal nurani (empathy; compassion; dedication;

determination; sincerely; dare) dan dijalankan dengan SQ. Jadi kebebasan dalam membuat

terobosan hukum atau memaknai hukum melampaui bunyi teks, tidak dapat artikan sebagai

tindakan semaunya atau sewenang-wenang karena semua tindakan hukum yang bersifat progresif

harus dilandasi dengan argumentasi yang dibangun dengan konstruksi bernalar yang kritis dan

bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan moral. Dengan demikian menjalankan hukum

secara progresif tidak semata-mata berpijak pada rule and logic namun juga rule and behavior.

Hal ini mengingatkan pada penyataan Oliver Wendell Holmes: “…The live of the law has not

been logic. It has been experience”. Menggunakan hukum tidak semata-mata mengandalkan

logika peraturan namun juga harus mempertimbangkan hukum yang bersumber dari pengalaman

empiris misalnya kearifan lokal.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam mewujudkan tujuannya hukum bukanlah

merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process,

law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang

berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap

rakyat. Bahkan hukum progresif menginisiasi konsep “rule breaking” yakni merobohkan hukum

yang dipandang tidak mampu mewujudkan keadilan dan membangun kembali hukum yang lebih

baik. Menjalankan hukum progresif berarti meninggalkan cara berhukum dengan “kacamata

kuda” (masinal, atomizing, mekanistik, linier) dan merubahnya menjadi pada cara pandang yang

utuh (holistic) dalam membaca aturan dan merekonstruksi fakta. Dengan demikian Dalam

menghadapi situasi yang bersifat extraordinary pekerja hukum harus menjalankan profesi atau

tugas melampaui batas beban tugasnya (Mesu budi/doing to the utmost). Akhirnya, masalah

interpretasi atau penafsiran menjadi sangat urgen dalam pemberdayaan hukum progresif dalam

rangka untuk mengatasi kemandegan dan keterpurukan hukum. Interpretasi dalam hukum

Page 10: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

progresif tidak terbatas pada konvensi- konvensi yang selama ini diunggulkan seperti penafsiran

gramatikal, sejarah, sistematik dan sebagainya, namun lebih dari itu berupa penafsiran yang

bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah terobosan dan “lompatan”

pemaknaan hukum menjadi sebuah konsep yang tepat dalam menjangkau hukum yang bermoral

kemanusiaan.

Kehadiran gagasan Hukum Progresif merupakan harapan baru dalam memperbaiki

keterpurukan penegakan hukum di Indonesia. Gagasan hukum progresif bisa dipandang sebagai

sarana untuk mendayagunakan hukum dalam mewujudkan tujuan keadilan sosial dan

kesejahteraan masyarakat.

Menurut Satjipto Rahardjo, hukum yang progresif adalah hukum yang bisa mengikuti

perkembangan zaman dan mampu menjawab perubahan zaman tersebut dengan segala dasar-

dasar yang ada di dalamnya. Disebutkannya, perubahan-perubahan tersebut berkaitan erat

dengan basis habitat dari hukum itu sendiri. Seperti pada abad ke-19, negara modern muncul dan

menjadi basis fisik-teritorial yang menentukan hukum, konsep-konsep, prinsip, dan doktrin pun

harus ditinjau kembali dan diperbarui. Pada sistem hukum modern, keadilan (justice) sudah

dianggap diberikan dengan membuat hukum positif (undang-undang). Dengan kata lain, keadilan

yang akan ditegakkan ditentukan melalui hukum positif. Dalam konteks sosial kemasyarakatan,

hubungan-hubungan dan tindakan pemerintah kepada warga negaranya didasarkan pada

peraturan dan prosedur yang bersifat impersonal dan impartial.12 Dari sinilah kemudian muncul

konsepsi the rule of law.

Dalam konsep hukum progresif, manusia berada di atas hukum, hukum hanya menjadi

sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia. Hukum tidak lagi dipandang

sebagai suatu dokumen yang absolut dan ada secara otonom.“ Berangkat dari pemikiran ini,

maka dalam konteks penegakan hukum, penegak hukum tidak boleh terjebak pada kooptasi rules

atas hati-nurani yang menyuarakan kebenaran. Hukum progresif yang bertumpu pada rules and

behavior, menempatkan manusia untuk tidak terbelenggu oleh tali kekang rules secara absolute.

Itulah sebabnya, ketika terjadi perubahan dalam masyarakat, ketika teks-teks hukum mengalami

keterlambatan atas nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

12 Satjipto Rahardjo, "Hukum dan Birokrasi: Makalah pada diskusi Panel Hukum dan Pembangunan dalam Rangka

Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998, hlm.156

Page 11: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya

sebuah kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain untuk mengatasi

ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat

terobosan-terobosan hukum. Terobosan-terobosan hukum inilah yang diharapkan dapat

mewujudkan tujuan kemanusian melalui bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo

diistilahkan dengan hukum yang membuat bahagia.“

Kreativitas penegak hukum dalam memaknai hukum tidak akan berhenti pada "mengeja

undang-undang", tetapi menggunakannya secara sadar untuk mencapai tujuan kemanusiaan.”

Menggunakan hukum secara sadar sebagai sarana pencapaian tujuan kemanusiaan berarti harus

peka dan responsif terhadap tuntutan sosial.

Sehingga dapat disimpulkan intisari dari hukum progresif dapat diidentifikasi sebagai

berikut:

1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula

menggunakan optik hukum menuju ke perilaku.

2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat

dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilah Nonet dan Selznick bertipe

responsif.

3. Hukum progresif berbagi paham dengan legal realism karena hukum tidak dipandang

dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan social yang

ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum.

4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Roscoe

Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan,tetapi

keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.

5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli

terhadap hal-hal yang “meta-juridical”.

6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legal studies, namun

cakupannya Iebih Iuas.

Page 12: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

Dilihat dari latar belakang kelahirannya, sebagai bentuk ketidakpuasan dan keprihatinan

atas kualitas penegakan hukum di Indonesia, maka spirit hukum progresif adalah spirit

pembebasan. Pembebasan yang dimaksudkan disini adalah:

1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai.

2. Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang

selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan

persoalan.

Spirit pembebasan yang dibawa oleh hukum progresif dirasa penting, karena berangkat

dari realitas bahwa tipe, cara berpikir, asas, dan teori hukum yang dikembangkan di Indonesia

mencerminkan dominasi positivism. Bahkan dalam penyelenggaraan administration of justice

pun, juga didominasi oleh positivism. Berangkat dari realitas ini, karena dipandang bahwa

dengan model ini hukum dinilai belum berhasil menyelesaikan persoalan dalam pencapaian

kesejahteraan manusia, maka kehadiran hukum progresif dimaksudkan untuk membebaskannya.

Selain itu, hukum progresif juga memiliki karakter yang progresif dalam hal:

1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya

memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making)

2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik Iokal, nasional maupun

global.

3. Menolak status-qua manakala menimbulkan dekadensi suasana korup dan sangat

merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan

pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum.

Keadilan menurut hukum progresif adalah keadilan subtantif. Keadilan yang didasarkan

pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban. Nilai-nilai keadilan tersebut

berasal lansung dari masyarakat dan bukan nilai-nilai keadilan yang tekstual dan hitam putih

yang memiliki makna terbatas. Bukan keadilan prosedur yang didapat melalui berbagai macam

prosedur-prosedur yang terkadang mengaburkan nilai-nilai keadilan itu sendiri.

Hukum progresif berpegangan pada paradigma “hukum untuk manusia”. Kemanusiaan

menjadi primus pada saat kita memberi kedudukan terhadap hukum dan masyarakat. Hukum

Page 13: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

berawal tidak dari hukum itu sendiri, melainkan dari manusia dan kemanusiaan. Membicarakan

hukum haruslah lebih dahulu diawali dengan membicarakan dan menuntaskan pembicaraan

mengenai kemanusiaan. Kita pun tidak dapat membicarakan hukum dengan menutup pintu bagi

kemanusiaan karena kemanusiaan akan terus mengalir memasuki hukum. Maka, jadilah hukum

bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk mengabdi dan melestarikan kemanusiaan.13.

Gagasan hukum progresif pada hakekatnya merupakan pembaharuan tradisi berhukum. Oleh

sebab itu pengembangan hukum progresif memerlukan sebuah gerakan intelaktual untuk

mewujudkan tradisi berhukum yang lebih baik.

Dapat disimpulkan bahwa hukum progresif tidak bergerak pada arah legalistik-dogmatis,

analitis positivistik, tetapi lebih pada arah sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh

hukum positif atau peraturan perundang-undangan, tetapi hukum bisa bergerak pada arah

nonformal. Hukum progresif merupakan paparan petunjuk yang selalu memperingatkan bahwa

hukum harus terus merobohkan, mengganti, dan membebaskan hukum yang mandek karena

tidak mampu melayani lingkungan yang selalu berubah. Perkembangan masyarakat yang selalu

penuh dengan dinamika tidak mungkin dapat diwadahi dalam suatu hukum yang dianggap

selesai dan tidak boleh berubah. Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai

kebenaran undang-undang, tatapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang

mendasari undang-undang.

Daftar Pustaka

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta:

Genta Publishing.

______________ .2004. Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan,

Surakarta: Muhammadiyah University Press.

______________. "Hukum dan Birokrasi: Makalah pada diskusi Panel Hukum dan

Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998,

hlm.156.

13 Diandra Preludio Ramada, Dialektika Hukum Progresif: Hukum dalam Jagat Ketertiban, Kaum Tjipian, Magister

Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2014, hlm. 22.

Page 14: Hukum Progresif ( hukum dan masyarakat)

Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas

Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009

Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010

Khun, Thomas, 1989. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (The Structure of

Scientific Revolutions, diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman), Bandung: Remadja Karya CV.

Savitri, Myrna A., et.al. (ed.), 2011. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi

dan Kritik, Jakarta: Epistema-Huma.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika

Sosial Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Wisnubroto, Al. 1996. Iptek, Perubahan Masyarakat dan Hukum: Dalam Kajian Aspek-

Aspek Pengubah Hukum.

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Wisnubroto, Al. 2011. ”Kontribusi Hukum Progresif Bagi Pekerja Hukum”, Dalam:

Myrna A. Savitri, et.al. (ed.),. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik,

Jakarta: Epistema-Huma.

_____________. 2014. Dasar-dasar Hukum Progresif. www. Hukumprogresif.com.

Diakses pada 2 Juni 2015.

Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik

Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia. Yogyakarta: Antony Lib bekerjasama LSHP.

Sudijono. Mengidentifikasikan elemen-elemen utama dari model hukum progresif,

yakni: Ideologi: “pro-rakyat”; Tujuan: “pembebasan”; Fungsi: “Pemberdayaan”; Jenis keadilan:

“keadilan sosial” dan Metodologi: “diskresi”. Periksa: Sudijono Sastroadmodjo, “Konfigurasi

Hukium Progresif” dalam: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 Nomor 2, September 2005.