hukum pidana

11
1. perbedaan antarahapusnya hak penuntutan dan hapusnya pelaksaan pidana Jawaban : Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: Seandainya penuntut umum tetap mengadakan penuntutan, maka akan diitolak oleh hakim atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet-ontvankelijk verklaring van het O.M). Hal ini diatur dalam Pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena ne bis in idem diatur dalam Pasal 76 KUHP. Berbeda dengan peniadaan penuntutan seperti disebut di muka, jika suatu perbuatan ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat dipidana, tuntutan penuntut umum tetap dapat diterima. Dalam hal terakhir ini putusan hakim akan menjadi terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsver volging).[1] Di sinilah letak perbedaan antara dasar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan pidana, yaitu pada putusan hakim. Pada peniadaan pidana putusan hakim merupakan putusan akhir (vonis), sedangkan pada peniadaan penuntutan disebut penetapan hakim (beschiking). Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut. Dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut KUHAP, ialah kasasi. Sebaliknya, upaya hukum untuk melawan suatu penetapan hakim berupa suatu tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, ialah perlawanan (verzet).

Upload: chietayamashieta

Post on 14-Apr-2016

9 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Pidana

1. perbedaan antarahapusnya hak penuntutan dan hapusnya pelaksaan pidana

Jawaban :

Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah

lewat waktu, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: Seandainya penuntut

umum tetap mengadakan penuntutan, maka akan diitolak oleh hakim atau tuntutan penuntut

umum tidak dapat diterima (niet-ontvankelijk verklaring van het O.M). Hal ini diatur dalam

Pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena ne bis in idem diatur dalam Pasal

76 KUHP.

            Berbeda dengan peniadaan penuntutan seperti disebut di muka, jika suatu perbuatan

ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat dipidana, tuntutan penuntut umum tetap

dapat diterima. Dalam hal terakhir ini putusan hakim akan menjadi terdakwa lepas dari segala

tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsver volging).[1]

            Di sinilah letak perbedaan antara dasar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan

pidana, yaitu pada putusan hakim. Pada peniadaan pidana putusan hakim merupakan putusan

akhir (vonis), sedangkan pada peniadaan penuntutan disebut penetapan hakim (beschiking).

Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut. Dalam putusan

lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut KUHAP, ialah kasasi. Sebaliknya,

upaya hukum untuk melawan suatu penetapan hakim berupa suatu tuntutan penuntut umum

tidak dapat diterima, ialah perlawanan (verzet).

            Menurut Van Bemmelen, kadang kala sulit untuk membedakan apakah itu merupakan

dasar peniadaan penuntutan ataukah dasar peniadaan pidana, karena istilah yang dipakai oleh

pembuat undang-undang tidak selalu jelas.

            Sering pula sulit untuk dibedakan apakah sesuatu di dalam rumusan merupakan unsur

(element) ataukah suatu dasar peniadaan pidana atau feit d’excuse.

            Kalau dasar peniadaan pidana menghilangkan “melawan hukum” maka disebut dasar

pembenar (rechtvaardigingsgronden), kalau hanya menghilangkan pertanggungjawaban atau

kesalahan disebut alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden).

            Jonkers memberikan tanda perbedaan, bahwa strafuitsluitingsgronden adalah

pernyataan untuk dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging),

sedangkan pada vervolgingsuitsluitingsgronden adalah pernyataan tuntutan tidak dapat

diterima oleh badan penuntut umum.

Page 2: Hukum Pidana

2. Apakah pada hak penuntutan dan pelaksanan pidana terdapat kemungkinan

daluwarsa

Jawaban :

Ada kemungkinan kadaluwarsa karena Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (“KUHP”) daluarsa merupakan salah satu alasan hapusnya

kewenangan menuntut dan menjalankan hukuman. KUHP mengenal adanya dua

macam daluarsa yaitu daluarsa untuk menuntut dan daluarsa untuk menjalankan

hukuman pidana. Pengertian dari penuntutan adalah sebagaimana diatur Pasal 1

angka 7 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang

 

Secara umum, daluarsa penuntutan dan daluarsa menjalankan hukuman pidana terjadi

karena tertuduh/terpidana meninggal dunia (Pasal 77 jo. Pasal 83 KUHP).

 Apabila pelaku tindak pidana masih hidup, daluarsa untuk melakukan penuntutan

tindak pidana penggelapan maupun penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah

12 tahun (lihat Pasal 78 ayat [1] angka 3 KUHP).

Jika pada saat melakukan tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan

pelaku belum berusia 18 tahun, maka daluarsa penuntutan menjadi sesudah 4 tahun

(lihat Pasal 78 ayat [2] KUHP). Perhitungan daluarsa penuntutan tersebut mulai

berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan (Pasal 79 KUHP). Jadi, apabila dalam

kurun waktu yang telah disebutkan setelah dilakukan tindak pidana

penggelapan/penggelapan dengan pemberatan, penuntut umum tidak melakukan

penuntutan, maka hapuslah kewenangan untuk menuntut si pelaku (strafsactie).

Apabila kemudian penuntut umum melakukan penuntutan, daluarsa penuntutan

dihentikan dan dimulai tenggang daluarsa baru (Pasal 80 KUHP).

 

Page 3: Hukum Pidana

Sebagai contoh akan kami jelaskan sebagai berikut:

 

A berusia 21 tahun melakukan penggelapan uang kantor pada 1 April 2003, maka

jika sampai sesudah 2 April 2015 tidak dilakukan penuntutan, maka kewenangan

penuntut umum untuk menuntut A menjadi hapus. Ternyata, pada 17 Juli 2005 A

dituntut oleh Penuntut Umum atas penggelapan yang telah dilakukannya, maka

tenggang daluarsa dihentikan.

 

Selain daluarsa penuntutan, diatur pula mengenai daluarsa menjalankan hukuman

pidana. Karena yang Saudara tanyakan adalah tindak pidana penggelapan, maka

daluarsa menjalankan hukuman pidana adalah sesudah 16 tahun dan mulai berlaku

pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan (lihat Pasal 84 ayat [2] jo.

Pasal 85 ayat [1] KUHP). Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana,

maka pada esok harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa

baru, dalam hal ini adalah sesudah 16 tahun (Pasal 85 ayat [2] KUHP).

 

Untuk menjelaskan hal ini, kita kembali menggunakan perumpamaan yang telah

dijelaskan sebelumnya:

 

Jika A yang telah dituntut di pengadilan kemudian diputus hakim hukuman

penjara selama 4 tahun pada 10 Agustus 2005 dan putusan sudah dapat

dijalankan pada 18 Agustus 2005, maka mulai 19 Agustus 2005 sampai dengan

19 Agustus 2021 berlakulah tenggang daluarsa menjalankan hukuman pidana dan

dalam hal ini penuntut umum sebagai eksekutor putusan hakim harus memasukan

A ke penjara. Ternyata pada 20 November 2005, A melarikan diri dari penjara,

maka dalam hal ini mulai 21 November 2005 sampai dengan 21 November 2021

berlakulah masa tenggang daluarsa yang baru untuk menjalankan hukuman

pidana. Masa tenggang daluarsa ini akan berhenti setelah A ditangkap kembali

dan dimasukan ke penjara.

Page 4: Hukum Pidana

3. Apa perbedaan mendasar antara grasi dan amnesty ?

Grasi

Grasi dalam arti sempit merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah

diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan

hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang1.

Undang- Undang Grasi (UU GRASI) tidak menyatakan apakah artinya istilah

grasi. Namun, menurut teori hukum pidana dan hukum negara grasi adalah hak yang

diserahkan kepada kepala negara untuk membebaskan seseorang dari pada hukuman

yang dijatuhkan kepadanya dengan keputusan hakim atau untuk mengurangi hukuman

itu atau untuk mengganti hukuman itu dengan sejenis hukuman yang lebih ringan.

Keputusan grasi yang hanya mengurangi hukuman biasanya dinamakan remisi.

Jika dengan keputusan grasi diganti hukuman yang ditentukan oleh hakim dengan

sejenis hukuman yang lebih ringan maka grasi itu dinamakan komutasi.

Grasi hanya dapat diberikan kepada mereka yang dihukum dengan keputusan

hakim dan tidak boleh diubah lagi, dengan salah satu hukumannya tersebut dalam

pasal 10, tidak kepada mereka yang dengan keputusan itu digunakan suatu tindakan

jadi si terdakwah tidak dapat dilepaskan dari rumah gila (pasal 44 ayat 2) atau si

tersalah dari rumah pendidikan negara (pasal 46 ayat 1) dengan keputusan grasi.2

Prosedur dan Proses Permohonan Grasi

Berdasarkan UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai

berikut:

1. Surat permohonan yang diajukan oleh terhukum atau orang lain dengan

persetujuan terhukum harus ditujukan kepada Presiden dan diajukan kepada

Panitera Pengadilan atau Mahkamah Militer yang memutus pada tingkat pertama

atau pada pembesar di Daerahnya apabila pemohon bertempat tinggal di luar

daerah hukum pengadilan itu atau jika Panitera tidak berada di tempatnya.

2. Permohonan grasi itu harus diajukan paling lambat 14 hari terhitung setelah

putusan berkekuatan hukum tetap. Untuk hukuman mati permohonan grasi dapat

diajukan paling lambat 30 hari setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Page 5: Hukum Pidana

3. Setelah menerima permohonan yang diajukan, Panitera Pengadilan mengirimkan

surat permohonan tersebut beserta berita-berita acara sidang, surat putusan yang

bersangkutan atau salinannya, dan banding serta kasasi (bila ada) kepada Ketua

Pengadilan /Mahkamah Militer/Militer Tinggi yang memutus pada tingkat

pertama. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri/Mahkamah Militer tersebut

mengirimkan surat-surat itu beserta pertimbangannya kepada Jaksa/Kepala

Kejaksaan Negeri yang menuntut pada tingkat pertama.

4. Jaksa/Kepala Kejaksaan Negeri segera meneruskan berkas perkara beserta

pertimbangannya kepada Mahkamah Agung.

5. Mahkamah Agung segera meneruskan berkas-berkas tersebut beserta

pertimbangan yang diberikan kepada Menteri Kehakiman.

(Ilustrasi Grasi)

Seorang pembunuh sadis di Pekanbaru yang diberi pengampunan atau grasi oleh

presiden, Dwi Trisna, diduga pernah terlibat pembunuhan lainnya di Batu Raja,

Sumatera Selatan (Sumsel). Menindak lanjuti hal ini, Polda Riau akan berkoordinasi

dengan Polda Sumsel untuk menyelidikinya.

"Informasi ini akan dipelajari terlebih dahulu. Nanti akan dikordinasikan dengan Polda

Sumsel," ujar Kabid Humas Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo SIK di Pekanbaru, Rabu

(18/3/2015).

Guntur mengatakan, mendapat informasi ihwal keterlibatan Dwi pada kasus

pembunuhan di Batu Raja, setelah mendengar cerita dari keluarga korban pembunuhan

Dwi, Sulastri Yahya, di Pekanbaru.

"Kepada keluarga korban harap menyampaikannya ke Mapolresta Pekanbaru. Karena

penanganannya di sana. Kalau memang ada, nanti Polda akan berkoordinasi dengan

Polda Sumsel," ucap Guntur.

Sulastri, yang merupakan istri Agusni Bahar dan ibu dari Dodi Haryanto (keduanya

korban Dwi), kepada wartawan menjelaskan, ada indikasi Dwi pernah membunuh

berdasarkan rekaman percakapan Dwi dengan 2 pelaku lainnya, Andi Paula dan Candra.

Page 6: Hukum Pidana

Sulastri sendiri mendapat rekaman itu dari flash disk milik Candra. Barang itu ditemukan

anak Sulastri lainnya sewaktu membersihkan Niagara Ponsel, tempat suami dan

anaknya dibunuh secara sadis.

"Kami bersih-bersih. Kemudian anak saya menemukan flash disk. Kemudian dia

membukanya di komputer. Isinya merupakan rekaman percakapan dan transkip

pembicaraan antara Dwi, Andi Paula dan Candra," sebut Sulastri.

Disebutkan Sulastri, Candra sewaktu bekerja di tempat suaminya memang mengaku

pernah kehilangan flash disk. Candra sempat panik ketika mencarinya, tapi flash disk itu

tak berhasil ditemukan.

"Isi pembicaraanya, mereka bertiga membicarakan pembunuhan yang dilakukan di Batu

Raja. Dari rekaman itu, korbannya ada 2. Satu hidup, satunya kritis," terang Sulastri.

Masih kata Sulastri, dalam pembicaraan Dwi menanyakan keberadaan Andi dan Candra.

Ketiganya membicarakan pembunuhan di Batu Raja, di mana Dwi ingin pergi ke

Pekanbaru untuk menghilangkan jejak.

"Dwi nanya ke Andi, apakah tidak takut menjual siomay di Pekanbaru, sementara

kasusnya jadi sorotan di Batu Raja. Dwi pun dalam pembicaraan ingin menyusul Andi

untuk melarikan diri," ungkap Sulastri sambil memperlihatkan transkip pembicaraan

yang disalin dan dicetak dari flask disk.

Sulastri berencana mengirim rekaman dan transkrip pembicaraan tersebut ke Presiden

Jokowi. Dia berharap, grasi yang telah diberikan presiden ketujuh RI itu dibatalkan.

"Nanti dikirimkan ke Presiden dan akan juga diserahkan ke polisi. Mudah-mudahan

dibatalkan grasinya, karena Dwi pernah terlibat pembunuhan lain," ucap Sulastri.

Suami dan anak Sulastri dibunuh pada 2012 oleh komplotan Dwi, Andi dan Candra.

Setelah tertangkap, ketiganya divonis mati di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dwi

kemudian mengajukan permohonan grasi ke Presiden Jokowi dan grasi itu dikabulkan.

Hukuman mati berubah menjadi hukuman seumur hidup.

Page 7: Hukum Pidana

Amnesti

Amnesti berasal dari bahasa Yunani amnestia yang berarti “melupakan”. Amnesti

adalah tindakan untuk melupakan suatu kejahatan yang biasanya diberikan massal kepada

sekelompok orang atau sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah

kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Seseorang yang

telah diberikan amnesti tidak akan dituntut atas kejahatan sebagaimana yang tersebut dalam

amnesti. Secara umum amnesti merupakan hak kepala negara untuk meniadakan akibat

hukum yang mengancam terhadap sesuatu perbuatan atau sekelompok kejahatan politik.

Jadi Amnesti Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam

suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak

pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum

dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan

terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, atau abolisi karena

amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu

negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu

pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan Negara.6

Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai

akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Karena merupakan hak Kepala Negara untuk

memberikan pengampunan artinya bahwa tidak memberlakukan proses hukum terhadap

warga negara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata

melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara

baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik untuk menggulingkan kekuasaan negara

yang sah. Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya

umumnya bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan

amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum, tokoh

politik, dan atau tekanan internasional.