Download - Hukum Pidana
1. perbedaan antarahapusnya hak penuntutan dan hapusnya pelaksaan pidana
Jawaban :
Suatu contoh tentang dasar peniadaan penuntutan, ialah apabila suatu perbuatan telah
lewat waktu, penuntut umum tidak dapat lagi melakukan penuntutan: Seandainya penuntut
umum tetap mengadakan penuntutan, maka akan diitolak oleh hakim atau tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima (niet-ontvankelijk verklaring van het O.M). Hal ini diatur dalam
Pasal 78 KUHP sedangkan hapusnya hak menuntut karena ne bis in idem diatur dalam Pasal
76 KUHP.
Berbeda dengan peniadaan penuntutan seperti disebut di muka, jika suatu perbuatan
ternyata berdasarkan keadaan tertentu tidak dapat dipidana, tuntutan penuntut umum tetap
dapat diterima. Dalam hal terakhir ini putusan hakim akan menjadi terdakwa lepas dari segala
tuntutan hukum (ontslagen van alle rechtsver volging).[1]
Di sinilah letak perbedaan antara dasar peniadaan penuntutan dan dasar peniadaan
pidana, yaitu pada putusan hakim. Pada peniadaan pidana putusan hakim merupakan putusan
akhir (vonis), sedangkan pada peniadaan penuntutan disebut penetapan hakim (beschiking).
Jadi upaya hukumnya pun akan berbeda dalam melawan putusan tersebut. Dalam putusan
lepas dari segala tuntutan hukum upaya hukum menurut KUHAP, ialah kasasi. Sebaliknya,
upaya hukum untuk melawan suatu penetapan hakim berupa suatu tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima, ialah perlawanan (verzet).
Menurut Van Bemmelen, kadang kala sulit untuk membedakan apakah itu merupakan
dasar peniadaan penuntutan ataukah dasar peniadaan pidana, karena istilah yang dipakai oleh
pembuat undang-undang tidak selalu jelas.
Sering pula sulit untuk dibedakan apakah sesuatu di dalam rumusan merupakan unsur
(element) ataukah suatu dasar peniadaan pidana atau feit d’excuse.
Kalau dasar peniadaan pidana menghilangkan “melawan hukum” maka disebut dasar
pembenar (rechtvaardigingsgronden), kalau hanya menghilangkan pertanggungjawaban atau
kesalahan disebut alasan pemaaf (Schulduitsluitingsgronden).
Jonkers memberikan tanda perbedaan, bahwa strafuitsluitingsgronden adalah
pernyataan untuk dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtvervolging),
sedangkan pada vervolgingsuitsluitingsgronden adalah pernyataan tuntutan tidak dapat
diterima oleh badan penuntut umum.
2. Apakah pada hak penuntutan dan pelaksanan pidana terdapat kemungkinan
daluwarsa
Jawaban :
Ada kemungkinan kadaluwarsa karena Di dalam ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (“KUHP”) daluarsa merupakan salah satu alasan hapusnya
kewenangan menuntut dan menjalankan hukuman. KUHP mengenal adanya dua
macam daluarsa yaitu daluarsa untuk menuntut dan daluarsa untuk menjalankan
hukuman pidana. Pengertian dari penuntutan adalah sebagaimana diatur Pasal 1
angka 7 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang
Secara umum, daluarsa penuntutan dan daluarsa menjalankan hukuman pidana terjadi
karena tertuduh/terpidana meninggal dunia (Pasal 77 jo. Pasal 83 KUHP).
Apabila pelaku tindak pidana masih hidup, daluarsa untuk melakukan penuntutan
tindak pidana penggelapan maupun penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah
12 tahun (lihat Pasal 78 ayat [1] angka 3 KUHP).
Jika pada saat melakukan tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan
pelaku belum berusia 18 tahun, maka daluarsa penuntutan menjadi sesudah 4 tahun
(lihat Pasal 78 ayat [2] KUHP). Perhitungan daluarsa penuntutan tersebut mulai
berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan (Pasal 79 KUHP). Jadi, apabila dalam
kurun waktu yang telah disebutkan setelah dilakukan tindak pidana
penggelapan/penggelapan dengan pemberatan, penuntut umum tidak melakukan
penuntutan, maka hapuslah kewenangan untuk menuntut si pelaku (strafsactie).
Apabila kemudian penuntut umum melakukan penuntutan, daluarsa penuntutan
dihentikan dan dimulai tenggang daluarsa baru (Pasal 80 KUHP).
Sebagai contoh akan kami jelaskan sebagai berikut:
A berusia 21 tahun melakukan penggelapan uang kantor pada 1 April 2003, maka
jika sampai sesudah 2 April 2015 tidak dilakukan penuntutan, maka kewenangan
penuntut umum untuk menuntut A menjadi hapus. Ternyata, pada 17 Juli 2005 A
dituntut oleh Penuntut Umum atas penggelapan yang telah dilakukannya, maka
tenggang daluarsa dihentikan.
Selain daluarsa penuntutan, diatur pula mengenai daluarsa menjalankan hukuman
pidana. Karena yang Saudara tanyakan adalah tindak pidana penggelapan, maka
daluarsa menjalankan hukuman pidana adalah sesudah 16 tahun dan mulai berlaku
pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan (lihat Pasal 84 ayat [2] jo.
Pasal 85 ayat [1] KUHP). Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana,
maka pada esok harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa
baru, dalam hal ini adalah sesudah 16 tahun (Pasal 85 ayat [2] KUHP).
Untuk menjelaskan hal ini, kita kembali menggunakan perumpamaan yang telah
dijelaskan sebelumnya:
Jika A yang telah dituntut di pengadilan kemudian diputus hakim hukuman
penjara selama 4 tahun pada 10 Agustus 2005 dan putusan sudah dapat
dijalankan pada 18 Agustus 2005, maka mulai 19 Agustus 2005 sampai dengan
19 Agustus 2021 berlakulah tenggang daluarsa menjalankan hukuman pidana dan
dalam hal ini penuntut umum sebagai eksekutor putusan hakim harus memasukan
A ke penjara. Ternyata pada 20 November 2005, A melarikan diri dari penjara,
maka dalam hal ini mulai 21 November 2005 sampai dengan 21 November 2021
berlakulah masa tenggang daluarsa yang baru untuk menjalankan hukuman
pidana. Masa tenggang daluarsa ini akan berhenti setelah A ditangkap kembali
dan dimasukan ke penjara.
3. Apa perbedaan mendasar antara grasi dan amnesty ?
Grasi
Grasi dalam arti sempit merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah
diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan
hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang1.
Undang- Undang Grasi (UU GRASI) tidak menyatakan apakah artinya istilah
grasi. Namun, menurut teori hukum pidana dan hukum negara grasi adalah hak yang
diserahkan kepada kepala negara untuk membebaskan seseorang dari pada hukuman
yang dijatuhkan kepadanya dengan keputusan hakim atau untuk mengurangi hukuman
itu atau untuk mengganti hukuman itu dengan sejenis hukuman yang lebih ringan.
Keputusan grasi yang hanya mengurangi hukuman biasanya dinamakan remisi.
Jika dengan keputusan grasi diganti hukuman yang ditentukan oleh hakim dengan
sejenis hukuman yang lebih ringan maka grasi itu dinamakan komutasi.
Grasi hanya dapat diberikan kepada mereka yang dihukum dengan keputusan
hakim dan tidak boleh diubah lagi, dengan salah satu hukumannya tersebut dalam
pasal 10, tidak kepada mereka yang dengan keputusan itu digunakan suatu tindakan
jadi si terdakwah tidak dapat dilepaskan dari rumah gila (pasal 44 ayat 2) atau si
tersalah dari rumah pendidikan negara (pasal 46 ayat 1) dengan keputusan grasi.2
Prosedur dan Proses Permohonan Grasi
Berdasarkan UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai
berikut:
1. Surat permohonan yang diajukan oleh terhukum atau orang lain dengan
persetujuan terhukum harus ditujukan kepada Presiden dan diajukan kepada
Panitera Pengadilan atau Mahkamah Militer yang memutus pada tingkat pertama
atau pada pembesar di Daerahnya apabila pemohon bertempat tinggal di luar
daerah hukum pengadilan itu atau jika Panitera tidak berada di tempatnya.
2. Permohonan grasi itu harus diajukan paling lambat 14 hari terhitung setelah
putusan berkekuatan hukum tetap. Untuk hukuman mati permohonan grasi dapat
diajukan paling lambat 30 hari setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.
3. Setelah menerima permohonan yang diajukan, Panitera Pengadilan mengirimkan
surat permohonan tersebut beserta berita-berita acara sidang, surat putusan yang
bersangkutan atau salinannya, dan banding serta kasasi (bila ada) kepada Ketua
Pengadilan /Mahkamah Militer/Militer Tinggi yang memutus pada tingkat
pertama. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri/Mahkamah Militer tersebut
mengirimkan surat-surat itu beserta pertimbangannya kepada Jaksa/Kepala
Kejaksaan Negeri yang menuntut pada tingkat pertama.
4. Jaksa/Kepala Kejaksaan Negeri segera meneruskan berkas perkara beserta
pertimbangannya kepada Mahkamah Agung.
5. Mahkamah Agung segera meneruskan berkas-berkas tersebut beserta
pertimbangan yang diberikan kepada Menteri Kehakiman.
(Ilustrasi Grasi)
Seorang pembunuh sadis di Pekanbaru yang diberi pengampunan atau grasi oleh
presiden, Dwi Trisna, diduga pernah terlibat pembunuhan lainnya di Batu Raja,
Sumatera Selatan (Sumsel). Menindak lanjuti hal ini, Polda Riau akan berkoordinasi
dengan Polda Sumsel untuk menyelidikinya.
"Informasi ini akan dipelajari terlebih dahulu. Nanti akan dikordinasikan dengan Polda
Sumsel," ujar Kabid Humas Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo SIK di Pekanbaru, Rabu
(18/3/2015).
Guntur mengatakan, mendapat informasi ihwal keterlibatan Dwi pada kasus
pembunuhan di Batu Raja, setelah mendengar cerita dari keluarga korban pembunuhan
Dwi, Sulastri Yahya, di Pekanbaru.
"Kepada keluarga korban harap menyampaikannya ke Mapolresta Pekanbaru. Karena
penanganannya di sana. Kalau memang ada, nanti Polda akan berkoordinasi dengan
Polda Sumsel," ucap Guntur.
Sulastri, yang merupakan istri Agusni Bahar dan ibu dari Dodi Haryanto (keduanya
korban Dwi), kepada wartawan menjelaskan, ada indikasi Dwi pernah membunuh
berdasarkan rekaman percakapan Dwi dengan 2 pelaku lainnya, Andi Paula dan Candra.
Sulastri sendiri mendapat rekaman itu dari flash disk milik Candra. Barang itu ditemukan
anak Sulastri lainnya sewaktu membersihkan Niagara Ponsel, tempat suami dan
anaknya dibunuh secara sadis.
"Kami bersih-bersih. Kemudian anak saya menemukan flash disk. Kemudian dia
membukanya di komputer. Isinya merupakan rekaman percakapan dan transkip
pembicaraan antara Dwi, Andi Paula dan Candra," sebut Sulastri.
Disebutkan Sulastri, Candra sewaktu bekerja di tempat suaminya memang mengaku
pernah kehilangan flash disk. Candra sempat panik ketika mencarinya, tapi flash disk itu
tak berhasil ditemukan.
"Isi pembicaraanya, mereka bertiga membicarakan pembunuhan yang dilakukan di Batu
Raja. Dari rekaman itu, korbannya ada 2. Satu hidup, satunya kritis," terang Sulastri.
Masih kata Sulastri, dalam pembicaraan Dwi menanyakan keberadaan Andi dan Candra.
Ketiganya membicarakan pembunuhan di Batu Raja, di mana Dwi ingin pergi ke
Pekanbaru untuk menghilangkan jejak.
"Dwi nanya ke Andi, apakah tidak takut menjual siomay di Pekanbaru, sementara
kasusnya jadi sorotan di Batu Raja. Dwi pun dalam pembicaraan ingin menyusul Andi
untuk melarikan diri," ungkap Sulastri sambil memperlihatkan transkip pembicaraan
yang disalin dan dicetak dari flask disk.
Sulastri berencana mengirim rekaman dan transkrip pembicaraan tersebut ke Presiden
Jokowi. Dia berharap, grasi yang telah diberikan presiden ketujuh RI itu dibatalkan.
"Nanti dikirimkan ke Presiden dan akan juga diserahkan ke polisi. Mudah-mudahan
dibatalkan grasinya, karena Dwi pernah terlibat pembunuhan lain," ucap Sulastri.
Suami dan anak Sulastri dibunuh pada 2012 oleh komplotan Dwi, Andi dan Candra.
Setelah tertangkap, ketiganya divonis mati di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dwi
kemudian mengajukan permohonan grasi ke Presiden Jokowi dan grasi itu dikabulkan.
Hukuman mati berubah menjadi hukuman seumur hidup.
Amnesti
Amnesti berasal dari bahasa Yunani amnestia yang berarti “melupakan”. Amnesti
adalah tindakan untuk melupakan suatu kejahatan yang biasanya diberikan massal kepada
sekelompok orang atau sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah
kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Seseorang yang
telah diberikan amnesti tidak akan dituntut atas kejahatan sebagaimana yang tersebut dalam
amnesti. Secara umum amnesti merupakan hak kepala negara untuk meniadakan akibat
hukum yang mengancam terhadap sesuatu perbuatan atau sekelompok kejahatan politik.
Jadi Amnesti Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam
suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak
pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum
dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan
terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, atau abolisi karena
amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu
negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu
pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan Negara.6
Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai
akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan. Karena merupakan hak Kepala Negara untuk
memberikan pengampunan artinya bahwa tidak memberlakukan proses hukum terhadap
warga negara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata
melawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara
baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik untuk menggulingkan kekuasaan negara
yang sah. Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus benuansa politik dan oleh karenanya
umumnya bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan
amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum, tokoh
politik, dan atau tekanan internasional.