judul hukum pidana

59
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR Oleh : LINDADARI USWATUN KHASANAH NRP : 06.01.111.00493 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA FAKULTAS HUKUM 2013

Upload: muammar-riski

Post on 31-Dec-2015

102 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Judul Hukum Pidana

1

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN

ANAK DI BAWAH UMUR

Oleh :

LINDADARI USWATUN KHASANAH

NRP : 06.01.111.00493

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

FAKULTAS HUKUM

2013

Page 2: Judul Hukum Pidana

2

SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN

ANAK DI BAWAH UMUR

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LINDADARI USWATUN KHASANAH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2013

i

Page 3: Judul Hukum Pidana

3

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI

BAWAH UMUR

OLEH

LINDADARI USWATUN KHASANAH

Pembimbing I

H.Boedi Moestiko, S.H.,M.Hum

NIP : 195810011988111001

Pembimbing II

Dr.Wartiningsih, S.H.,M.Hum

NIP : 196202022001122001

ii

Page 4: Judul Hukum Pidana

4

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Fakultas Hukum

Universitas Trunojoyo Madura, Pada Hari Jumat, Tanggal 30 Agustus 2013

DEWAN PENGUJI

KETUA

SAIFUL ABDULAH,SH.,MH

NIP.

Penguji I Penguji II

A. Agus Ramdlany,S.H.,M.H Dr. Eny Suwastutik ,S.H.,M.H

NIP. NIP.

Penguji III Penguji IV

H.Boedi Mustiko,S.H.,M.Hum Dr.Wartiningsih,S.H.,M.Hum

NIP. 195810011988111001 NIP. 196202022001122001

Mengesahkan :

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Trunojoyo Madura

H.Boedi Moestiko, S.H.,M.Hum

NIP : 195810011988111001

iii

Page 5: Judul Hukum Pidana

5

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi ini tidak pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi lain, dan sepanjang

pengetahuan saya didalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila suatu saat ada pihak lain yang

melakukan klaim bahwa karya ilmiah ini merupakan plagiat karya ilmiah lain, dan

ternyata terbukti, saya bersedia menerima segala sanksi yang akan diberikan oleh

Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.

Bangkalan, 30 Agustus 2013

LINDADARI USWATUN KHASANAH

iv

Page 6: Judul Hukum Pidana

6

MOTTO

”Hidup merupakan suatu perjalanan yang selalu

dipenuhi dengan ujian dan cobaan, jalani semua dengan

perjuangan dan pengorbanan, jangan mudah mengeluh

dan putus asa, niscaya Allah SWT senantiasa akan

membukakan jalan”

v

Page 7: Judul Hukum Pidana

7

PERSEMBAHAN

Akan saya persembahkan skripsi ini untuk semuanya yang saya sayangi

1. Buat orang tua dan adek ku Moch.Windy Saputro yang selama ini selalu

memberikan semangat, motivasi serta doa agar menyelesaikan skripsi hingga

akhir.

2. Buat keluarga besar saya Eyang Putri, bibi Elisar Riana Sari, paman Djarot

Efendy, bibi Inda fulhanifah, paman Sentot Boedi Satria terima kasih atas

semua dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Buat mas Achmad Efendi dan sahabatku Risma Ardiantina yang setiap saat

sudah memberikan semangat dan motifasinya untuk menyelesaikan skripsi

ini.

4. Buat mas Nana Tresna yang sudah memberi inspirasi dan suportnya dalam

segala hal mengenai pembuatan skripsi ini, “Akan Aku Ingat Pelajaran Hidup

Yang Selalu Engkau Ajarkan Kepada Ku, bahwa kesabaran dan usaha itu

adalah kunci dari keberhasilan yang sesungguhnya ”.

5. Buat mas Arnes, Joshanda Aghadia, mas Nino, mas Arief Andrianda, mbak

Merry Purnamasari, adek Uswatun Hasanah terimakasih yang sebesar-

besarnya untuk semangat, motivasi serta suportnya selama pembuatan skripsi

ini.

6. Untuk semua kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura

yang belum satu-persatu saya sebutkan terima kasih untuk semuanya.

7. Buat mbak Selfin Laka,S.H.,M.H dan bunda Eva Savitry Bari‟ah,SH yang

selama ini membimbing saya di POSBAKUM Pengadilan Negeri Surabaya.

8. Buat Brigadir Afiq Siswanto (abi) yang bertugas di Polsek Galis, Bribda

Shofi Fatqul Mubarok, dan seluruh teman-teman yang bertugas di Bangkalan

Madura terima kasih atas semangatnya.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang terdekat saya yang

belum saya sebutkan.

LINDADARI USWATUN KHASANAH

vi

Page 8: Judul Hukum Pidana

8

KATA PENGANTAR

Pertama-tama perkenankanlah penulis mengucapkan puji syukur kehadirat

Allah SWT. Karena hanya dengan Ridho Nya lah Skripsi dengan judul :

“Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur” ini dapat

terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena

terbatasnya pengetahuan, referensi, waktu dan pemahaman yang penulis miliki,

oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif guna

perbaikannya nanti. Dalam menyusun Skripsi ini penulis sangat banyak

memperoleh bantuan, dorongan, bimbingan dan saran dari berbagai pihak, untuk

itu pada kesempatan ini diperkenankanlah pula penulis mengucapkan terima kasih

yang setulus-tulusnyakepada :

1. Bapak H. Boedi Moestiko, S.H., Mhum, selaku dekan Fakultas Hukum dan

dosen pembimbing I, segenap jajaran pimpinan di lingkungan Universitas

Trunojoyo Madura.

2. Bapak Muhklis, selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Trunojoyo Madura.

3. Ibu Dr. Wartiningsih,SH., Mhum selaku dosen pembimbing II yang senantiasa

memberi saya semanagat dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Masyirah Whidayati,SH., MH selaku PANMUD HUKUM di Pengadilan

Negeri Surabaya dan segenap jajaran pimpinan di lingkungan Pengadilan

Negeri Surabaya.

5. Buat orang tua dan adek ku Moch.Windy Saputro yang selama ini selalu

memberikan semangat, motivasi serta doa agar menyelesaikan skripsi hingga

akhir.

6. Buat keluarga besar saya Eyang Putri, bibi Elisar Riana Sari, paman Djarot

Efendy, bibi Inda fulhanifah, paman Sentot Boedi Satria terima kasih atas

semua dukungan dan semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Buat mas Achmad Efendi dan sahabatku Risma Ardiantina yang setiap saat

sudah memberikan semangat dan motifasinya untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Buat mas Nana Tresna yang sudah memberi inspirasi dan suportnya dalam

segala hal mengenai pembuatan skripsi ini, “Akan Aku Ingat Pelajaran Hidup

Yang Selalu Engkau Ajarkan Kepada Ku, bahwa kesabaran dan usaha itu

adalah kunci dari keberhasilan yang sesungguhnya ”.

9. Buat mas Arnes, Joshanda Aghadia, mas Nino, mas Arief Andrianda, mbak

Merry Purnamasari, adek Uswatun Hasanah terimakasih yang sebesar-

vii

Page 9: Judul Hukum Pidana

9

besarnya untuk semangat, motivasi serta suportnya selama pembuatan skripsi

ini.

10. Buat semua kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura

yang belum satu-persatu saya sebutkan terima kasih untuk semuanya.

11. Buat mbak Selfin Laka,S.H.,M.H dan bunda Eva Savitry Bari‟ah,SH yang

selama ini membimbing saya di POSBAKUM Pengadilan Negeri Surabaya.

12. Buat Brigadir Afiq Siswanto (abi) yang bertugas di Polsek Galis, Bribda Shofi

Fatqul Mubarok, dan seluruh teman-teman yang bertugas di Bangkalan

Madura terima kasih atas semangatnya.

13. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua orang terdekat saya yang

belum saya sebutkan.

Akhirnya kepada Allah SWT, penulis pasrahkan semoga amal dan

sumbangsih yang telah diberikan kepada penulis memperoleh balasan yang

setimpal dari Allah SWT. Harapan terakhir penulis, semoga skripsi ini dapat

memberikan tambahan cakrawala ilmu dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang

memerlukannya serta sebagai darma bakti penulis kepada almamater tercinta.

Bangkalan, 30 Agustus 2013

Penulis

LINDADARI USWATUN KHASANAH

viii

Page 10: Judul Hukum Pidana

10

ABSTRAK

Terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas dasar

beberapa faktor, salah satunya seperti faktor ekonomi yang mendesak

(kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan

menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan

mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat

membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif

ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur.

Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan atas

ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset

keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas

dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi

agama. Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-

Undang Perlindungan Anak, walaupun kedua undang-undang tersebut

menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak

menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya saja undang-undang

tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal apabila terjadi pelanggaran

karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga apabila perkawinan di bawah

umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dan

dapat dibatalkan. Ketentuan ini sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan

dan tidak adil bagi anak. Bagaimanapun jika perkawinan sudah berlangsung pasti

membawa akibat, baik dari aspek fisik maupun psikis, maka dapat saya rumuskan

permasalahan sebagai berikut : Bagaimana formulasi/pengaturan hukum pidana

terhadap perkawinan anak di bawah umur saat ini ?

Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

jenis penelitian yuridis normatif, pendekatan penelitian yang digunakan adalah

pendekatan Undang-Undang (Statute Approacht), Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini dilakukan adalah bahan hukum yaitu berupa : bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan bahan

hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan,

sedangkan untuk metode pengolahan bahan hukum yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah aktivitas setelah pengumpulan bahan hukum selesai. Dalam

hal ini bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dipilah-pilah yang kemudian

disusun sistematis sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dan di dalam pelaksanaan

analisis data dilakukan secara deduktif. Artinya, analisis bahan hukum dari yang

bersifat umum pada yang bersifat khusus. Kemudian didiskripsikan atau

dipaparkan secara rinci sesuai rumusan masalah yang dikaji.

Pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur lebih banyak mudharat dari

pada manfaatnya, oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan

untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia

dini/harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.

Namun di lain pihak permasalahan pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi

agama islam, karena menurut agama islam jika dengan menikah muda mampu

ix

Page 11: Judul Hukum Pidana

11

menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah

adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai

usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama. Bahwa

meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman pidana yang

tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan Anak

sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan untuk

dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara lain

diatur dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal

81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak. Dalam Pasal

228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa pidana

penjara maksimal 8 (delapan) tahun penjara bila mengakibatkan luka dan pidana

penjara maksimal 12 (dua belas) tahun bila mengakibatkan kematian. Sedangkan

dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak

menyebutkan bahwa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun serta paling sedikit

Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan maksimal 15 (lima belas) tahun

serta Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

x

Page 12: Judul Hukum Pidana

12

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii

HALAMAN TIM PENGUJI ......................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iv

MOTTO .......................................................................................................... v

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

ABSTRAK ...................................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4

1.3 Alasan Pemilihan Judul ......................................................................... 4

1.4 Tujuan Penulisan ................................................................................... 4

1.5 Metodologi Penelitian ............................................................................ 5

1.5.1 Jenis Penelitian .......................................................................... 5

1.5.2 Pendekatan Penelitian ................................................................ 6

1.5.3 Bahan Hukum ............................................................................ 6

1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 7

1.5.5 Metode Pengolahan Bahan Hukum ........................................... 7

1.5.6 Analisis Bahan Hukum .............................................................. 7

1.6 Pertanggungjawaban Sistematika .......................................................... 8

BAB II: TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN

ANAK DI BAWAH UMUR .......................................................................... 10

2.1 Perkawinan ........................................................................................... 10

2.1.1 Pengertian perkawinan ............................................................... 10

xi

Page 13: Judul Hukum Pidana

13

2.1.2 Asas Perkawinan ........................................................................ 13

2.1.3 Tujuan Perkawinan .................................................................... 15

2.1.4 Syarat Perkawinan ..................................................................... 16

2.2 Perlindungan Anak ................................................................................ 22

2.2.1 Pengertian Perlindungan Anak .................................................. 22

2.2.2 Jenis Tindak Pidana ................................................................... 22

2.2.3 Sanksi ......................................................................................... 23

2.2.4 Subyek Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ................................... 24

2.3 Perkawinan Yang Dapat Diklasifikasikan Sebagai Tindak Pidana ....... 25

2.3.1 Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur .................................... 25

2.3.2 Pengertian Anak Menurut Hukum Yang Berlaku Di Indonesia . 26

BAB III : PEMBAHASAN ........................................................................... 28

Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak Di Bawah Umur.......... 28

BAB IV : PENUTUP ..................................................................................... 43

4.1 Kesimpulan ............................................................................................ 43

4.2 Saran ...................................................................................................... 44

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 45

xii

Page 14: Judul Hukum Pidana

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fenomena pernikahan dini bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Hal

ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta-fakta yang terjadi pada zaman dulu,

yaitu bahwa nenek moyang bangsa Indonesia dulu sudah banyak yang menikahi

gadis di bawah umur. Bahkan pernikahan di usia matang akan menimbulkan

pemikiran buruk di mata masyarakat.

Fenomena yang terjadi di kebanyakan Negara berkembang seperti Indonesia,

nikah atau perkawinan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah cukup

umur (dewasa) saja. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal perkawinan seseorang adalah

berusia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan, namun juga

terjadi di kalangan anak di bawah umur, khususnya anak perempuan. Banyak

kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi di Indonesia

terutama di pedesaan, contohnya saja seperti pernikahan dini yang terjadi Ulfa

yang waktu itu masih berumur 12 tahun dan Pujiono yang berusia 46 tahun.

Berkaitan dengan konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum

dalam Pasal 26 Ayat 1 butir c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “orang tua berkewajiban dan

Page 15: Judul Hukum Pidana

2

bertanggung jawab untuk mencegah perkawinan di usia anak-anak”. Pada

prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang

harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa

menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak,

mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak

untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya

keterpaksaan untuk menjadi orang dewasa mini.

Di sisi lain, terjadinya pernikahan anak di bawah umur seringkali terjadi atas

dasar beberapa faktor, salah satunya seperti faktor ekonomi yang mendesak

(kemiskinan). Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan

menikahkan anaknya, meskipun anak yang masih di bawah umur akan

mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan dimungkinkan dapat

membantu beban ekonomi keluarga tanpa berpikir panjang akan dampak positif

ataupun negatif terjadinya pernikahan anaknya yang masih di bawah umur.1

Kondisi ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan

atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset

keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas

dirinya sendiri serta yang paling keji adalah menggunakan alasan terminologi

agama.

Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan maupun Undang-

Undang Perlindungan Anak, walaupun kedua undang-undang tersebut

1 http://sosiologihukum.blogspot.com, diakses tanggal 10 Februari 2013

Page 16: Judul Hukum Pidana

3

menentukan umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak

menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur.

Hanya saja undang-undang tidak mencantumkan sanksi yang tegas dalam hal

apabila terjadi pelanggaran karena perkawinan adalah masalah perdata sehingga

apabila perkawinan di bawah umur terjadi maka perkawinan tersebut dinyatakan

tidak memenuhi syarat dan dapat dibatalkan.

Ketentuan ini sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan dan tidak adil

bagi anak. Bagaimanapun jika perkawinan sudah berlangsung pasti membawa

akibat, baik dari aspek fisik maupun psikis. Selain itu, jika dikaji dari aspek

hukum pidana, walaupun dalam KUHP dimuat ketentuan dalam pasal 288 ayat (1)

yang memberi ancaman hukuman 4 tahun, tetapi haruslah ada pengaduan dan

pembuktian peristiwa tersebut memenuhi unsur-unsur pidana yang ada serta

proses persidangan yang dapat menimbulkan dampak psikologis bagi anak

sehingga untuk membawa persoalan tersebut menjadi peristiwa pidana tidaklah

mudah.

Tampaklah bahwa dari aspek hukum, perkawinan di bawah umur merupakan

perbuatan melanggar undang-undang, terutama terkait ketentuan batas umur untuk

kawin. Perkawinan di bawah umur merupakan bentuk ketidakadilan yang dialami

anak akibat kuat berakarnya budaya patriarki pada masyarakat yang menganggap

anak sebagai barang dan selalu berada di bawah (subordinasi). Perkawinan di

bawah umur merupakan masalah yang pelik dan sensitif. Oleh karena itu,

Page 17: Judul Hukum Pidana

4

penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui tinjauan hukum pidana

terhadap perkawinan di bawah umur.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat saya rumuskan

permasalahan sebagai berikut : bagaimana formulasi/pengaturan hukum pidana

terhadap perkawinan anak di bawah umur saat ini ?

1.3 Alasan Pemilihan Judul

Adapun alasan judul skripsi “Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan

Anak Di Bawah Umur” adalah sebagai berikut : mengetahui dan menganalisa

formulasi/pengaturan hukum pidana terhadap perkawinan anak di bawah umur.

1.4 Tujuan Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan :

1. Manfaat teoritis : Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

Ilmu Hukum pada umumnya, dan bagi Hukum Perkawinan pada khususnya.

2. Manfaat praktis : Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai masukan

bagi para Hakim, Notaris, Pengacara dan Profesi lainnya dalam penemuan

hukumnya dan dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan

informasi yang aktual mengenai tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan

anak di bawah umur.

Page 18: Judul Hukum Pidana

5

1.5 Metodologi Penelitian

1.5.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif.

Secara umum yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah suatu pendekatan

dengan cara melakukan pembahasan terhadap norma-norma hukum yang berlaku

berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat.2 Dalam hal ini untuk

peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di

bawah umur.

Menurut Jhonny Ibrahim yang dimaksud dengan jenis penelitian yuridis

normatif adalah jenis penelitian yang berdasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di

bawah umur yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.3

1.5.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang (Statute

Approacht). Artinya bahwa penelitian yang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi (norma) yang bersangkut paut dengan isu hukum

2 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,

(Surabaya:Bayumedia Publishing, 2005) Surabaya, hlm. 444. 3 Ibid, hlm. 444

Page 19: Judul Hukum Pidana

6

yang sedang dibahas yaitu tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah

umur.4

1.5.3 Bahan Hukum

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :

10. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa

perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan tinjauan hukum

pidana terhadap perkawinan di bawah umur yaitu :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

11. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang sifatnya menjelaskan

bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur-literatur atau

pendapat ahli, antara lain :

a. Kompilasi Hukum Islam.

12. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang bersifat melengkapi berupa

kamus-kamus hukum, dan atau kamus-kamus umum.

1.5.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan. Adapun yang dimaksud dengan metode pengumpulan

4 Ibid, hlm. 391

Page 20: Judul Hukum Pidana

7

bahan hukum studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan bahan hukum dengan

cara mempelajari pendapat-pendapat para sarjana/ahli hukum yang berkaitan

dengan perundang-undangan yang mengatur tentang tinjauan hukum pidana

terhadap perkawinan di bawah umur yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

1.5.5 Metode Pengolahan Bahan Hukum

Metode pengolahan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah aktivitas setelah pengumpulan bahan hukum selesai. Dalam hal ini bahan

hukum yang berhasil dikumpulkan dipilah-pilah yang kemudian disusun

sistematis sesuai dengan kebutuhan yang ada.

1.5.6 Analisis Bahan Hukum

Di dalam pelaksanaan analisis data dilakukan secara deduktif. Artinya,

analisis bahan hukum dari yang bersifat umum pada yang bersifat khusus.

Kemudian didiskripsikan atau dipaparkan secara rinci sesuai rumusan masalah

yang dikaji.5

1.6 Pertanggungjawaban Sistematika

Sistematika penulisan penelitian ini dibagi menjadi 1 (satu) bab dengan

susunan sebagai berikut :

5 Ibid, hlm. 383

Page 21: Judul Hukum Pidana

8

Bab I, Pendahuluan, merupakan bagian awal dari seluruh rangkaian

pembahasan penelitian yang disajikan dalam bentuk pengantar. Sub bab

pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, alasan pemilihan judul,

tujuan penulisan, metodologi penelitian dan pertanggungjawaban sistematika.

Bab II, dalam bab ini membahas tentang tinjauan pustaka mengenai tinjauan

hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur. Sub bab tinjauan pustaka

terdiri dari : undang-undang perkawinan yang meliputi pengertian perlindungan

anak, jenis tindak pidana, sanksi dan subyek tindak pidana dalam pengertian

perkawinan, undang-undang perkawinan yang meliputi : pengertian perkawinan,

asas perkawinan, tujuan perkawinan dan syarat perkawinan serta perkawinan yang

dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana yang meliputi : pengertian

perkawinan di bawah umur, dan pengertian anak menurut hukum yang berlaku di

Indonesia.

Bab III, dalam bab ini membahas tentang tinjauan hukum pidana terhadap

perkawinan di bawah umur. Dalam bab ini membahas tentang sanksi/ancaman

pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur.

Sanksi/ancaman pidana ini diharapkan agar dapat membuat jera para pelaku

perkawinan dibawah umur, sebab perkawinan di bawah umur lebih banyak

mudharat dari pada manfaatnya. Sanksi/ancaman ini diatur dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP).

Page 22: Judul Hukum Pidana

9

Bab IV, Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dari penelitian yang dilakukan

dan saran untuk memberikan solusi dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan

dengan tinjauan hukum pidana terhadap perkawinan di bawah umur.

Page 23: Judul Hukum Pidana

10

BAB II

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI

BAWAH UMUR

2.1 Perkawinan

Beberapa aspek perkawinan antara lain meliputi :

2.1.1 Pengertian perkawinan

Menurut Mohd. Idris Ramulyo yang dimaksud dengan “Nikah (kawin)

menurut arti aslinya adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi

(mathaporic) atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal

hubungan seksual sebagai suami isteri, antara seorang pria atau wanita”.6

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga

dan keluarga sejahtera bahagia dimana kedua suami isteri memikul amanah dan

tanggung jawab, si isteri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis

yang berat yaitu kehamilan dan kelahiran yang meminta pengorbanan.7

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

yang dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan berarti undang-undang ini merupakan Undang-Undang Perkawinan

6 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Perundang-

undangan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Cetakan IV, (Jakarta: Bina Aksara,

1985) hlm. 1 7 Ibid, hlm. 1

Page 24: Judul Hukum Pidana

11

Nasional karena menampung prinsip-prinsip perkawinan yang sudah ada

sebelumnya dan diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Menurut Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang

diatur dalam KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan

peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur

dalam Undang-Undang Perkawinan Nasional ini.

Jadi demikian dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang

ini antara lain adalah :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

3. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia.

Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan

pengertian perkawinan itu. Oleh karena itu untuk memahami arti perkawinan

dapat dilihat pada ilmu pengetahuan atau pendapat para sarjana. “Menurut

Page 25: Judul Hukum Pidana

12

pendapat Ali Afandi mengatakan bahwa Perkawinan adalah suatu persetujuan

kekeluargaan”.8

“Perkawinan atau pernikahan dalam literature fiqh berbahasa Arab disebut

dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam

kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al Qur‟an dan

Hadist Nabi. Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan

juga berarti “akad”.9

Menurut Scholten menyatakan bahwa Perkawinan adalah hubungan hukum

antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal,

yang diakui oleh negara.10

Jadi dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini

berarti bahwa undang-undang hanya mengakui perkawinan perdata sebagai

perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedang syarat-syarat

serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan. Menurut Pasal 2

Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

8 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1997) hlm.94 9 Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat

Dan Undang-Undang Perkawinan, Cetakan II, (Jakarta: Kencana, 1990) hlm. 45. 10 R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum

Keluarga, (Bandung: Alumni, 1985) hlm.31

Page 26: Judul Hukum Pidana

13

Jadi dari beberapa pendapat di atas, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan

batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga

yang kekal. Sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Perkawinan adalah hukum

yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan,

beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan

tersebut.

2.1.2 Asas Perkawinan

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyatakan, bahwa asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan

agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan

Komplikasi Hukum Islam. Terhadap asas monogami ini KUH Perdata

mengaturnya pula di dalam Pasal 27 yang bunyinya : “Dalam waktu yang sama

seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai

isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”. Asas

monogamy ini menurut KUH Perdata mutlak tanpa pengecualian.

Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah asas monogami, yaitu dalam suatu

perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, kecuali karena

hukum dan agama yang bersangkutan mengijinkan seorang pria dapat beristri

lebih dari seorang, dengan alasan :

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan

Page 27: Judul Hukum Pidana

14

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Menurut Ali Muhammad Daud menyebutkan bahwa dalam ikatan perkawinan

sebagai salah satu bentuk perjanjian (suci) antara seorang pria dengan seorang

wanita, yang mempunyai segi-segi perdata, pada Hukum Islam berlaku asas-asas

antara lain :

1. Kesukarelaan

Merupakan asas terpenting perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya

harus terdapat antara kedua calon suami istri, tetapi juga antara kedua orang

tua kedua belah pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang

wanita, merupakan sendi asasi perkawinan Islam.

2. Persetujuan

Persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas

kesukarelaan. Dalam perkawinan tidak boleh ada paksaan. Persetujuan

seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya, harus

diminta lebih dahulu oleh wali atau orang tuanya. Menurut Sunnah Nabi

dapat diketahui bahwa perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan

kedua belah pihak, dapat dibatalkan oleh Pengadilan.

3. Keabsahan memilih pasangan

Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis bernama

Jariyah mengahadp Rasullullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan

oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah mendengar

pengaduan itu, Nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih

meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu atau

meminta supaya perkawinannya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan

dan kawin dengan orang lain yang disukainya.

4. Kemitraan suami istri

Dalam Al Qur‟an Surat Al Nisa (4) Ayat 34 dan Surat Al Baqarah (2) Ayat

187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal

sama, dalam hal yang lain berbeda yakni suami menjadi kepala keluarga, istri

menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga misalnya.

Page 28: Judul Hukum Pidana

15

5. Untuk selama-lamanya

Perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina

cinta serta kasih saying selama hidup (Q.S Al Rum (30) : 21). Karena asas ini

maka perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-

senang selama waktu tertentu saja, seperti dalam masyarakat Jahiliyah dahulu

dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad.

6. Monogami terbuka

Disimpulkan dari Al Qur‟an Surat Al Nisa (4) Ayat 3 jo Ayat 29. Di dalam

Ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria muslim dibolehkan atau boleh beristri

lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, diantaranya

adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi

istrinya. Dalam Ayat 29 surat yang sama, Allah menyatakan bahwa manusia

tidak mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat

demikian. Oleh karena ketidakmungkinan berlaku adil terhadap istri-istri itu

maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik kawin dengan

seorang wanita saja. Ini berarti bahwa boleh dilalui oleh seorang laki-laki

muslim kalau terjadi bahaya, antara lain untuk menyelamatkan dirinya dari

berbuat dosa, kalau istrinya, misalnya tidak mampu memenuhi kewajibannya

sebagai istri.11

2.1.3 Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada

satu pasal pun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan

itu. Perkawinan di negara lain adalah sah, jika perkawinan dilangsungkan menurut

cara atau aturan negara tersebut dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam

KUHPerdata. Kemudian dalam waktu satu tahun setelah suami-isteri tersebut

11 Ali Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam

di Indonesia, Cetakan II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 139

Page 29: Judul Hukum Pidana

16

kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan harus dicatatkan dalam daftar

pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka (Pasal 84 KUHPerdata)”.12

Menurut P.N.H. Simajuntak menerangkan bahwa : pada Pasal 56 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur perkawinan di luar

negeri, baik yang dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia di luar negeri

atau salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia sedang yang lain adalah

warga negara asing, adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di

negara di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi warga Negara Indonesia

tidak melanggar undang-undang ini”.13

“Pasal 56 ayat 2 menentukan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami

isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan harus didaftarkan

di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka”.

2.1.4 Syarat Perkawinan

Menurut Arief Budiman menerangkan bahwa : “Perkawinan menurut teori

Positivis Yuridis dinyatakan dapat diterima sebagai perkawinan yang berkekuatan

hukum apabila sudah memenuhi ketentuan hukum, yakni apabila telah ditentukan

secara positif oleh Negara. Sederhananya, hukum hanya berlaku apabila hukum

itu mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang (neagra),

yang dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama atau KUA, bagi orang-orang

yang beragama Islam. Norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan rasa

12 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Djambatan, 1999)

hlm.56 13 Ibid, hlm. 76

Page 30: Judul Hukum Pidana

17

keadilan dalam hati nurani manusia sering kali tidak mempunyai tempat dalam

sistem sosiologis seperti ini”.14

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Kompilasi

Hukum Islam, dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan adalah

sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Selanjutnya Pasal 5 Kompilasi

Hukum Islam diterangkan bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin

ketertiban perkawinan. Kemudian dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam bahwa

perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak

mempunyai kekuatan hukum.

Pada Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menyatakan bahwa syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya

persetujuan kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang

belum berusia 21 tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur

16 tahun, tidak ada hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan

perkawinan dengan pihak lain, tidak ada larangan kawin menurut agama dan

kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak dalam waktu tunggu bagi wanita yang

janda.

14 Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, (Jakarta: Padi dan Kapas, 1991), hlm. 19-

21

Page 31: Judul Hukum Pidana

18

Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material

absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai,usia pria 18

tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah

perkawinan yang terdahulu dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu

larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan

sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah

melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian

jika belum lewat waktu 1 tahun.

Menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam dalam melaksanakan perkawinan

harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad

nikah.

Menurut hukum Islam yang berlaku di Indonesia, perkawinan itu sah dianggap

sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat mempelai, di Masjid atau

Kantor Agama, dengan Ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab adalah

ucapan menikahkan dari wali calon istri dan Kabul adalah kata penerimaan dari

calon suami. Ucapan ijab dan Kabul dari kedua pihak harus terdengar dihadapan

Majelis dan jelas didengar oleh kedua orang yang bertugas sebagai saksi akad

nikah. Jadi sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah diucapkannya ijab

dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang sama di dalam

suatu Majelis yang disaksikan oleh dua orang saksi yang sah.

Akad nikah harus dilakukan dengan lisan dan tidak boleh dengan tulisan saja.

Kecuali perkawinan yang dilakukan oleh orang tuna wicara yang bisa cukup

Page 32: Judul Hukum Pidana

19

dengan isyarat tangan atau menganggukan kepala yang dapat dimengerti

maksudnya.

Syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam akad nikah yakni harus beragama

islam, sudah dewasa (baliqh), berakal sehat, dapat melihat, mendengar dan

memahami tentang akad nikah dan berlaku adil.

2.2 Perlindungan Anak

Beberapa aspek Perlindungan Anak antara lain meliputi :

2.2.1 Pengertian Perlindungan Anak

Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak yang dimaksud dengan Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2.2.2 Jenis Tindak Pidana

Dalam membahas tindak pidana kita pasti menemukan beragam tindak pidana

yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik itu sengaja maupun tidak

sengaja. Menurut Adami Chazawi yang berkaitan dengan tindak pidana itu sendiri

dibaginya sebagai berikut :

1. Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II

dan pelanggaran dimuat dalam buku III.

Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran

lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana

pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi

Page 33: Judul Hukum Pidana

20

berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi

dengan ancaman pidana penjara. Antara lain yang membedakan kejatan dan

pelanggaran yakni kejahatan itu meruapakan delik-delik yang melanggar

kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret,

sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja.

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan

tindak pidana materril.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa

sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah

melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak

memerlukan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari

perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata

pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya

pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam

rumusan tindak pidana materril, inti larangan adalah pada menimbulkan

akibat yang dilarang.

3. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan

kealpaan.

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya

dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.

Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya

mengandung culpa.

4. Berdasarkan macam perbuatan perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak

pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana

pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa

perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkan

disyaratkan adanya gerakan dari anggotan tubuh orang yang berbuat. Dengan

berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik

dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materiil.

Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak

pidana aktif.

Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan

tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak

pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya

semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara

itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada

dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara

tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat

Page 34: Judul Hukum Pidana

21

terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga

akibat itu benar-benar timbul.

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara

tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama

atau berlangsung lama/berlangsung terus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,

disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu

berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih

berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten.

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan

tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP

sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III). Sementara

itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar

kodifikasi KUHP.

7. Dilihat dari sudut subjek hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana

communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak

pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang

berkualitas tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku

pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan

dengan maksud yang demikian.

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka

dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk

dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan

adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak

pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk

terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan,

yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu

dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan

oleh orang yang berhak.

9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan

antara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak

pidana yang diperingan.

Page 35: Judul Hukum Pidana

22

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk

menjadi:

a. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga

disebut dengan bentuk strandar;

b. Dalam bentuk yang diperberat;

c. Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya

semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk

yang diperberat dan atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur

bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya

atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur

yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

Karena ada aktor pemberatnya atau aktor peringannya, ancaman pidana

terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan

itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.

10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak

terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi.

Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP

didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan

kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan misalnya

dalam Buku II. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan

Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I),

untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi

penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII),

untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi

dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII), Penggelapan (Bab

XXIV), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII) dan seterusnya.

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan dibedakan

antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumusakan sedemikian

rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat

dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar

tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara

itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan

dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan dilakukan secara berulang.15

15

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT.Raja Grafindo

Persada, 2007) hlm. 121

Page 36: Judul Hukum Pidana

23

Jenis tindak pidana pada anak yang berkaitan dengan perkawinan anak di

bawah umur yaitu memaksakan anak yang masih di bawah umur untuk menikah

dengan seorang laki-laki demi mengurangi angka beban ekonomi keluarganya dan

dimungkinkan dapat membantu beban ekonomi keluarga. Dalam hal ini terlihat

jelas bahwa hal ini pada akhirnya memunculkan aspek penyalahgunaan kekuasaan

atas ekonomi dengan memandang bahwa anak merupakan sebuah property/asset

keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang mempunyai hak-hak atas

dirinya sendiri, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh

berkembang sesuai dengan usianya dan pada akhirnya adanya keterpaksaan untuk

menjadi orang dewasa mini.

2.2.3 Sanksi

Adapun sanksi terhadap pelaku yang melakukan perkawinan anak di bawah

umur dapat dikenakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa :

“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah)”.

2.2.4 Subyek Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak

Menurut E. Utrecht dalam hukum ada 2 (dua) pengertian yang sangat penting

yakni:

a. Pengertian subyek hukum;

Page 37: Judul Hukum Pidana

24

b. Pengertian obyek hukum.16

Menurut E. Utrecht bahwa yang dimaksud dengan subyek hukum (persoon)

ialah suatu pendukung hak, yaitu manusia atau badan yang menurut hukum

berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Suatu subyek hukum mempunyai

kekuasaan untuk mendukung hak (rechtsvoegdheid).17

Menurut E. Utrecht jenis subyek hukum ini bisa berbeda untuk setiap ranah

hukum yang berlainan, namun secara umum, ada dua macam subyek hukum yakni

manusia dan badan hukum.18

Contoh subyek hukum pada ranah hukum perdata adalah manusia dan badan

hukum. Pada ranah hukum pidana, subyek hukumnya adalah manusia dan badan

hukum. Sedangkan, subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai

konvensi internasional antara lain:

a. Negara;

b. Tahta Suci Vatikan;

c. Organisasi Internasional;

d. Palang Merah Internasional;

e. Kelompok Pemberontak;

f. Perusahaan Multinasional;

g. Individu.19

16 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada

2005), hlm. 234 17 Ibid, hlm. 234 18 Ibid, hlm. 235 19 Ibid, hlm 236

Page 38: Judul Hukum Pidana

25

Subyek tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak antara lain :

1. Orang tua atau Wali; dan

2. Pihak laki-laki yang ingin menikahi;

2.3 Perkawinan Yang Dapat Diklasifikasikan Sebagai Tindak Pidana

Beberapa aspek dalam perkawinan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak

pidana antara lain :

2.3.1 Pengertian Perkawinan di Bawah Umur

Istilah pernikahan di bawah umur atau yang lebih dikenal dengan pernikahan

dini adalah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu, yakni di awal waktu

tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluarsa.

Pernikahan dini adalah agar tidak melebar dari tujuan utama penulisan ini,

mengingat banyaknya definisi „usia dini‟ dalam ungkapan „pernikahan dini‟ maka

penulis membatasi definisi „pernikahan dini‟ sebagai sebuah pernikahan yang

dilakukan oleh mereka yang berusia di bawah usia yang dibolehkan untuk

menikah dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menyebutkan bahwa minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19

tahun untuk laki-laki.

Undang-undang negara Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan.

Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan disebutkan bahwa

perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas)

tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.

Page 39: Judul Hukum Pidana

26

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini

tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar

kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif

baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari

sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini

disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang

belum matang.20

Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak

dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas

umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

2.3.2 Pengertian Anak Menurut Hukum yang Berlaku Di Indonesia.

1. Pengertian anak menurut hukum adat, yaitu seseorang yang masih di bawah

umur 21 tahun, belum pernah melakukan perkawinan dan masih dalam

pengawasan.

2. Pengertian anak menurut Pasal 330 ayat (1) B.W. adalah segala orang yang

belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

3. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, yaitu:

Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat perkawinan bagi seseorang yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya.

20http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2240923-pengertian-pernikahan-di-

bawah-umur, diakses tanggal 15 Juni 2013

Page 40: Judul Hukum Pidana

27

Pasal 7 ayat (1) mengatur batas minimum untuk dapat kawin bagi pria adalah

19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

4. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 dan Pasal 2 adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

5. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Peradilan Anak adalah orang yang dalam perkara nakal telah mencapai umur

8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.

6. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (26) adalah setiap

orang yang berumur di bawah 18 tahun.

Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa yang

dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun, belum

pernah melakukan suatu perkawinan dan masih dalam pengawasan orang tua atau

wali.

Page 41: Judul Hukum Pidana

28

BAB III

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI

BAWAH UMUR

Formulasi/Pengaturan Hukum Pidana Terhadap Perkawinan Anak di

Bawah Umur

Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita

perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan

mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada.

Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan

seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum

ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat

dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Dalam hukum positif Indonesia, mengatur tentang perkawinan yang tertuang

di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang

dimaksud dengan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1

Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka yang

telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan seperti dalam

Page 42: Judul Hukum Pidana

29

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

menyebutkan bahwa batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria sudah

berusia 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 (enam

belas) tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap

perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum berusia 19

tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai “Perkawinan

dibawah umur”. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas

usia perkawinan, pada hakikatnya disebut masih berusia muda (anak-anak) yang

ditegaskan dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga

termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan

tegas dikatakan adalah perkawinan di bawah umur”.

Dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh Hak

hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan berpotensi

secara positif sesuai apa yang digaris bawahi agama. Jika anak masih berusia

muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak seperti yang

telah dijelaskan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Peradilan Anak, dimana jelas bagi orang tua berkewajiban untuk mencegah

adanya perkawinan pada usia muda.

Tetapi perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap wajar

dalam suatu masyarakat Indonesia, namun perkawinan di bawah umur bisa

menjadi isu yang menarik perhatian publik dan berlanjut menjadi kasus hukum

Page 43: Judul Hukum Pidana

30

contohnya seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh Puji dengan Lutviana

ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi terhadap kasus

perkawinan di bawah umur ini. Berita ini menarik perhatian khalayak karena

merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut

dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat

membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan

di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur

dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Dampak terhadap hukum.

Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam

Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan Perkawinan hanya diizinkan jika pihak

pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai

umur 16 tahun. Dan pada Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan

perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat

izin kedua orang tua.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur

dalam Pasal 26 ayat (1) yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban

dan bertanggung jawab untuk : mengasuh, memelihara, mendidik dan

melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan

kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan

pada usia anak-anak.

Page 44: Judul Hukum Pidana

31

2. Dampak biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju

kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan

lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika

dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang

akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.

Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar

kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya

kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.21

3. Dampak psikologis.

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,

sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak

yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang

berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan

hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk

memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu

luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.22

4. Dampak sosial.

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat

patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang

rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat

21 http://macanbanci.wordpress.com/2010/10/15/makalah-pernikahan-dini/, diakses

tanggal 15 Juni 2013 22 Ibid, diakses tanggal 15 Juni 2013

Page 45: Judul Hukum Pidana

32

bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat

menghormati perempuan. Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya

patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap

perempuan.

5. Dampak prilaku seksual menyimpang.

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar

berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.

Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak),

namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak khususnya Pasal 81, ancamannya pidana penjara

maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta

dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap

orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan

tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah

umur (anak) lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Oleh karena itu patut

ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan

menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus

memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat

yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada

pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM

peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan

Page 46: Judul Hukum Pidana

33

penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada

dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan

perundangan yang ada antara lain : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Aspek hukum perkawinan di bawah umur diatur dalam Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa

pengertian suatu “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka tentunya ada beberapa persyaratan yang

tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan perkawinan tersebut, salah satunya

adalah mengenai batas usia minimum untuk seseorang bisa melakukan

perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa : Perkawinan hanya

diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak

wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Namun ketentuan Pasal 7

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatas

ternyata tidak berlaku absolut/mutlak, karena dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : Dalam

hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada

Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau

Page 47: Judul Hukum Pidana

34

pihak wanita. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan ini mengandung pengertian bahwa perkawinan dibawah umur

dapat dilakukan apabila ada permintaan dispensasi yang dimintakan oleh salah

satu pihak orang tua dari kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan.

Apalagi dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan secara tidak langsung menyatakan bahwa permintaan dispensasi

tersebut dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lainnya dengan alasan

bahwa hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan

memperbolehkannya (vide Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan).

Ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan tersebut seolah-olah membuat Undang Undang

Perkawinan tersebut menjadi tidak tegas (firm) dan strict, karena dengan demikian

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesungguhnya tidak

melarang perkawinan dibawah umur jika agama dan kepercayaan yang

bersangkutan tidak menentukan lain, yang artinya secara tidak langsung batas usia

minimum untuk melaksanakan suatu perkawinan dapat dikompromikan atas dasar

suatu keyakinan/kepercayaan. Celah hukum seperti inilah yang mungkin dapat

dipakai oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari dilakukannya

perkawinan dibawah umur tersebut. Hal ini menimbulkan pemikiran bahwa

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah seharusnya

direvisi atau dikaji ulang.

Page 48: Judul Hukum Pidana

35

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

maka mengenai batas usia dewasa untuk melangsungkan perkawinan bagi orang

yang beragama Islam (Muslim) adalah 21 (dua puluh satu) tahun, batas usia

dewasa untuk melakukan perkawinan tersebut diatur dalam Pasal 98 Kompilasi

Hukum Islam menyebutkan bahwa : ”Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri

atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun

mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.

Perlu diakui bahwa peran pengadilan dalam hal pencegahan suatu perkawinan

dibawah umur adalah sangat vital, hal ini terkait dengan adanya upaya hukum

yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yaitu permohonan untuk meminta dispensasi pelaksanaan perkawinan dibawah

umur. Disinilah pengadilan mempunyai peranan penting untuk mencegah

perkawinan dibawah umur yang dimohonkan oleh pemohon yang beritikad buruk.

Selain daripada peran pengadilan sebagaimana yang telah disebutkan diatas,

maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga

memberikan upaya pencegahan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan

bahwa : ”Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Dalam upaya pencegahan perkawinan tersebut, maka berdasarkan ketentuan

Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis

Page 49: Judul Hukum Pidana

36

keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari

salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan (pihak yang

masih terikat perkawinan dengan salah satu dari kedua belah pihak tersebut

dengan dasar masih adanya perkawinan yang sah).

Bahwa usaha untuk melindungi kepentingan dari anak perempuan yang masih

dibawah umur dari segala akibat dan konsekuensi dari perkawinan dibawah umur,

maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak telah mewajibkan orang tua dan keluarga dari anak yang

masih dibawah umur tersebut untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia

anak-anak (vide Pasal 26 ayat (1) Poin c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak).

Bahwa selain upaya pencegahan perkawinan, maka Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memberikan upaya lain yaitu upaya

pembatalan perkawinan. Perkawinan tersebut diatas dapat dibatalkan, apabila para

pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (vide Pasal

22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), misalnya

pelanggaran terhadap batas usia minimum untuk melangsungkan suatu

perkawinan. Selain itu yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah :

Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, suami atau

isteri, Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan,

Pejabat yang ditunjuk tersebut Ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum

Page 50: Judul Hukum Pidana

37

secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu

putus (vide Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Permohonan pembatalan perkawinan tersebut diajukan kepada Pengadilan

dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal

kedua suami-isteri, suami atau isteri (vide Pasal 25 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan). Batalnya suatu perkawinan tersebut dimulai

sejak adanya putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht

van gewijsde).

Bahwa meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman

pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan

Anak sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan

untuk dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara

lain :

(1) Pasal 228 KUH Pidana

1) Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang

bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan

mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama

empat tahun.

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana

penjara paling lama delapan tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua

belas tahun.

Page 51: Judul Hukum Pidana

38

(2) Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Banyak kasus-kasus pernikahan anak perempuan di bawah umur yang terjadi

di Indonesia terutama di pedesaan, salah satu contohnya saja seperti pernikahan

dini yang terjadi Ulfa yang waktu itu masih berumur 12 tahun dan Pujiono yang

berusia 46 tahun.

Dalam kasus ini H.M. Pujiono Cahyo W atau yang dikenal dengan syeh Puji

dijadikan terdakwa oleh penuntut umum yang mendasarkan dakwaanya atas

beberapa perbuatan yang diduga telah dilakukan oleh H.M.Pujiono Cahyo W.,

pada waktu antara tanggal 20 Juli 2008 sampai dengan bulan Oktober 2008 atau

setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam tahun 2008, yaitu :

1. Dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau

membujuk anak, melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

2. Telah mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu terdakwa telah melakukan

eksploitasi seksual terhadap Lutviana Ulfah yang masih berumur 12 tahun 8

bulan.

Page 52: Judul Hukum Pidana

39

3. Telah melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahui atau

sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau

kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk

dikawini, yaitu terdakwa telah melakukan perbuatan cabul dengan Lutviana

Ulfah yang umurnya baru 12 tahun 8 bulan.

Adapun dakwaan dari penuntut umum terhadap H.M. Pujiono antara lain :

1. Dakwaan Pertama

Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang berbunyi :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain.

2. Dakwaan Kedua

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

yang berbunyi : “Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual

Page 53: Judul Hukum Pidana

40

anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau

denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

3. Dakwaan Ketiga

Pasal 290 KUHP yang berbunyi :

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal

diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

(2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum

lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawin;

(3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya

harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau

umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk

dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,

atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Dalam kasus ini penuntut umum mengajukan tuntutan terhadap H.M.Pujiono

Cahyo W., sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin Hartono alias

Suramin telah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum

melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan atau membujuk anak, melakukan persetubuhan

dengannya atau dengan orang lain sebagaimana yang diatur dan diancam

pidana sesuai Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.

Page 54: Judul Hukum Pidana

41

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin

Hartono alias Suramin berupa pidana penjara 6 (enam) tahun dikurangi

selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa

ditahan, dan dipidana denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta

rupiah).

Sehingga dalam kasus ini Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut :

1. Menyatakan bahwa terdakwa H.M.Pujiono Cahyo Widiyanto bin Alm.

Hartono alias Suramin telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan

dengannya.

2. Oleh karena itu, menghukum terdakwa H.M. Pujiono Cahyo Widiyanto bin

Alm. Hartono alias Suramin dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun

dan denda sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana

kurungan selama 4 (empat) bulan.

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa H.M Pujiono

Cahyo Widiyanto bin Alm. Hartono alias Suramin dikurangkan seluruhnya

dari pidana yang dijatuhkan.

Page 55: Judul Hukum Pidana

42

Putusan Pengadilan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Semarang

yang tertuang dalam Putusan perkara No. 493/Pid/2010/PT.Smg. tertanggal 7

Februari 2011.

Page 56: Judul Hukum Pidana

43

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur lebih banyak mudharat dari

pada manfaatnya, oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan

untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia

dini/harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.

Namun di lain pihak permasalahan pernikahan dini tidak bisa diukur dari sisi

agama islam, karena menurut agama islam jika dengan menikah muda mampu

menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan maka menikah

adalah alternatif yang terbaik. Namun jika dengan menunda pernikahan sampai

usia matang mengandung nilai positif maka hal ini adalah lebih utama.

Bahwa meskipun sampai dengan saat ini belum ada suatu sanksi /ancaman

pidana yang tegas dan jelas bagi pelaku perkawinan dibawah umur, namun Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dan Undang-Undang Perlindungan

Anak sendiri sudah mempunyai sanksi pidana yang terkait dan dimungkinkan

untuk dapat diterapkan kepada pelaku perkawinan dibawah umur tersebut, antara

lain diatur dalam Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak. Dalam

Pasal 228 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa

pidana penjara maksimal 8 (delapan) tahun penjara bila mengakibatkan luka dan

pidana penjara maksimal 12 (dua belas) tahun bila mengakibatkan kematian.

Page 57: Judul Hukum Pidana

44

Sedangkan dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Peradilan Anak menyebutkan bahwa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun serta

paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan maksimal 15 (lima

belas) tahun serta Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

4.2 Saran

1. Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang

berlaku terkait perkawinan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang

ingin melakukan perkawinan dengan anak di bawah umur berpikir 2 (dua)

kali terlebih dahulu sebelum melakukannya.

2. Pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan undang-undang yang terkait

perkawinan anak di bawah umur beserta sanksinya sehingga masyarakat tahu

dan sadar bahwa perkawinan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah

dan harus dihindari.

3. Pemerintah harus memberikan pemahaman kepada oaring tua dan masyarakat

tentang hak-hak anak yang melekat pada diri seorang anak itu sendiri dan

memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sejak anak-anak.

4. Anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan perkawinan

anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka.

Page 58: Judul Hukum Pidana

45

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:

Rineka Cipta.

Amir, Syarifudin. 1990. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh

Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Cetakan II. Jakarta:

Kencana.

Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan. Jakarta: Padi dan Kapas.

Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Daud, Ali Muhammad. 2004. Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan tata

Hukum Islam di Indonesia. Cetakan II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ibrahim, Jhonny. 2005. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Edisi

Revisi. Surabaya: Bayumedia Publishing.

Idris Ramulyo, Mohd. 1985, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari

Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam.

Cetakan IV. Jakarta: Bina Aksara.

Simanjuntak, P.N.H. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Djambatan.

Soetojo, R. Prawirohamidjojo dan Azis Safioedin. 1985. Hukum Orang dan

Hukum Keluarga. Bandung: Alumni.

Utrecht. E. 2005. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada

Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Kompilasi Hukum Islam

Page 59: Judul Hukum Pidana

46

Kamus :

Subekti dan Tjitrosoedibio. 2001. Kamus Hukum. Jakarta : Intermasa.

Susi Moeimam dan Hein Steinhauer. 2006. Kamus Belanda-Indonesia.

Yogyakarta : Liberty.

Umi Chulsum dan Windy Novia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :

Intermasa.