hukum kepailitan

Upload: prisca-adi-luckynuari

Post on 16-Jul-2015

174 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SEJARAH HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIAHAK ISTIMEWA YANG HARUS DIDAHULUKAN: 1. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1137 ayat (1)KUH Perdata: Hak (tagihan, penulis) dari Kas Negara, Kantor Lelang, dan badan publil lainnya yang dibentuk oleh Pemerintah, harus didahulukan dalam melaksanakan hak tersebut, dan jangka wakktu berlakunya hak tersebut diatur dalam berbagai undang-undang khusus mengenai hal-hal itu. Hak-hak yang sama dari persatuan-persatuan (gemeenschappen) atau kumpulan-perkumpulan (zedelijke ligchamen) yang berhak atau baru kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea, diatur dalam peraturan-peraturan yang sudah ada akan akan diadakan tentang hal itu. (Termasuk tagihan pajak, bea dan biaya Kantor Lelang merupakan Hak Istimewa yang hams didahulukan pelunasannya dari tagihan yang dijamin dengan hak jaminan dalam hal harta kekayaan Debitor pailit dilikuidasi.) 2. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam ayat (3) Pasal 21 Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dengan Undang- undang No. 9 Tahun 1994. 3. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1139 ayat (1) KUH Perdata, yaitu biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak atau benda tidak bergerak. 4. Hak Istimewa yang dimaksudkan dalam Pasal 1149 angka (1) KUH Perdata, yaitu biaya-biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. 5. Imbalan Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UUK dan Pasal 67D jo Pasal 69 UUK.

Sumber Hukum Kepailitan Indonesia: 1. KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal 1134. 2. Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No.348 sepanjang belum diubah dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan. 3. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atal Undang-undang Kepailitan. 4. Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas khususnya Pasal 90.

SEJARAH HUKUM KEPAILITAN INDONESIA

Pada tanggal 22 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang No. 1 Tahun 1998 tanggal 22 April 1998 tentang Pembahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Lembaran Negara R.I. Tahun 1998 No. 87 (Undang-undang Kepailitan). Perpu tersebut kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi undang-undang dan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan menjadi Undang-undang tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara RI I Tahun 1998 No. 135).

Undang-undang Kepailitan Sebelum 1945 Mula-mula, kepailitan untuk kasus pedagang (pengusaha) Indonesia diatur dalam Wetboek van Koophandel (W.v.K), buku Ketiga, yang berjudul van de Voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang). Peraturan ini termuat dalam Pasal 749 sampai dengan Pasal 910 W.v.K, tetapi kemudian telah dicabut berdasarkan Pasal 2 Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348). Peraturan ini berlaku untk pedagang saja.

Sedangkan kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering atau disingkat Rv (S.1847-52 jo. 1849-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu), dalam Pasal 899 sampai dengan Pasal 915, yang kemudian telah dicabut oleh S. 1906-348. Adanya dua buah peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya ialah: banyak formalitas yang hams ditempuh; biaya tinggi; terlalu sedikit bagi Kreditor untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan; dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama. Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Sehubungan dengan maksud tersebut, maka pada tahun 1905 telah diundangkad

Faillissementsverordening (S. 1905-217). Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk

Orang-Orang Eropa). Berdasarkan Verordening ter invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906348), Faillissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal I November 1906.

Dengan berlakunya Faillissementsverordening tersebut, maka dicabutlah: 1. Seluruh Buku HI dari WVK. 2. Reglement op de Rechtsvordering, Buku III, Bab Ketujuh, Pasall 899 sampai dengan Pasal 915.

Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terhadap penduduk Hindia Belanda. Pada waktu itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk Hindia Belanda dibagi atas beberapa golongan sebagai berikut: - Golongan Eropa - Golongan Bumiputra Golongan Timur Asing yang dibagi lagi ke dalam: - Golongan Timur Asing Cina dan - Golongan Timur Asing bukan Cina (India, Pakistan, Arab dan Iain-Iain).

Undang-undang Kepailitan Sejak 1945 Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ada beberapa kurun sejarah yang perlu dicermati sehubungan dengan berlakunya Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan). Kurun-kurun sejarah itu ialah tahun 1945-1947, tahun 1947-1998 dan tahun 1998-sekarang. Tahun 1945-1947 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan sebagai berikut: "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, maka seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.

Tahun 1947 Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissmenten 1947). Tujuannya ialah untuk memberikan dasar hukum bagj penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai, sehingga dengan demikian Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi.

Tahun 1947-1998 Di dalam praktik, Faillissementsverordening relatif sangat sedikit digunakan. Faktor penyebabnya antara lain karena keberadaan peraturan itu di tengah-tengah masyarakat, kurang dikenal dan dipahami. Sosialisasinya ke masyarakat sangat minim. Awalnya, Faillissementsverordening itu hanya berlaku untuk pedagang di lingkungan masyarakat yang tunduk pada hukum perdata dan dagang Barat saja. Akibatnya, Faillissementsverordening itu tidak dirasakan sebagai sesuatu peraturan yang menjadi milik masyarakat pribumi, dan karena itu pula tidak pernah tumbuh di dalam kesadaran hukum masyarakat. Faktor penyebab lain ialah karena sebagian besar masyarakat pedagang atau pengusaha pribumi Indonesia dan para pengusaha menengah dan kecil masih belum banyak melakukan transaksi bisnis yang besar-besar. Pada umumnya pula mereka masih melakukan transaksi dalam lingkungan yang terbatas. Sebagian besar masyarakat pengusaha Bumiputra belum mengenal sistem hukum bisnis Barat.

Antara lain mereka belum: - melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas, - menerbitkan dan atau melakukan perdagangan surat-surat berharga, -melakukan pembukuan atas transaksi-transaksi bisnis dan keadaan keuangannya, melakukan pembayaran dengan menggunakan sistem perbankan, dan membebankan tanggung jawab atas utangnya pada kekayaan perusahaan, bukan pada kekayaan pribadinya.

Karena persepsi masyarakat yang negatif terhadap badan peradilan, maka masyarakat merasa tidak ada sarana yang efektif yang dapat digunakan Kreditor untuk dapat melindungi kepentingannya, khususnya agar Debitor yang nakal dapat melunasi kewajibannya, jika perlu dengan melakukan paksaan secara hukum melalui pengadilan.

Tahun 1998-Sekarang

Pada bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia yang kemudian diperparah lagi oleh krisis politik yang mengakibatkan lengsernya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu membayar utang-utangnya. Di samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin membubung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau Non-Performing Loans yang memprihatinkan), yaitu sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter. Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat diandalkan. Banyak Debitor yang hubungi oleh para Kreditornya karena berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utang-utangnya. Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh apabila Debitor bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau sebaliknya. Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor harus masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue, sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Mengingat upaya restrukturisasi utang masih belum dapat diharapkan akan berhasil baik, sedangkan upaya melalui kepailitan dengan menggunakan Faillissementsverordening yang berlaku dapat sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya, maka masyarakat Kreditor, terutama masyarakat Kreditor luar negeri, menghendaki agar Peraturan Kepailitan Indonesia, yaitu Faillissementsverordening, secepatnya dapat diganti atau diubah.

IMF sebagai pemberi utang kepada pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia kepada para Kreditor luar negerinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. Oleh karena itu, maka IMF mendesak pemerintah Republik Indonesia agar segera mengganti atau mengubah Peraturan Kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissementsverordening, sebagai sarana penyelesaian utang-utang pengusaha Indonesia kepada para Kreditornya. Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan, dan lahirlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut mengubah dan menambah Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening). Dari segi bahasa, ada yang kurang tepat pada judul Perpu tersebut, karena selama ini Faillissementsverordening kita kenal dengan naffi* sebutan "Peraturan Kepailitan" dan bukan "Undang-

undang KepaiW* an". Oleh penyusun Perpu, kata "verordening" dalam FaillissementS' verordening telah diterjemahkan dengan kata "Undang-undang"- Perpu No. 1 Tahun 1998. Kemudian diterbitkannya Perpu Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 maka 5 bulan kemudian Perpu Kepailitan dan perubahan atas Kepailitan itu ditetapkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998.

Pada saat tulisan ini selesai dibuat, suatu tim di bawah Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM telah selesai menyusun draft RUU tentang Kepailitan yang baru itu dan telah diajukan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Mengingat dugaan sebelumnya bahwa pelaksanaan Perpu No. 1 Tahun 1998 (yang telah menjadi UU No. 4 Tahun 1998) akan menimbulkan banyak kekecewaan, dan ternyata dugaan itu terbukti, maka kebutuhan untuk mempunyai undang-undang kepailitan yang lebih baik sudah sangat mendesak pada saat ini. Diharapkan RUU tentang Kepailitan yang baru itu dapat diundangkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Latar Belakang Perubahan Faillissementsverordening Menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Untuk memahami terjadinya perubahan terhadap Faillissementverordening hingga menjadi Undang-undang Kepailitan, yaitu UU No. 4 1998, perlu diketahui latar belakang mengapa perubahan itu dilakukan. Beberapa pertimbangan yang dikemukakan adalah: - Gejolak moneter yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap kehidupan perekonomian nasional, dan menimbulkan kesulitan yang besar di kalangan dunia usaha untuk meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepan Kreditor. - Untuk memberikan kesempatan kepada pihak Kreditor pada perusahaan sebagai Debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil, diperlukan sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan efektif. - Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang-piutang adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang & Peraturan tentang kepailitan yang masih berlaku, yaitu Faillissementsverordening atau Undang-undang tentang Kepailitan sebagaimana termuat dalam Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan keadaan dan kebutuhan bagi penyelesaian utang-piutang tadi. Untuk mengatasi gejolak moneter beserta akibatnya yang berat

terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang sangat mendesak dan memerlukan pemecahan adalah penyelesaian utang-piutang perusahaan, dan dengan demikian adanya peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh Debitor dan para Kreditor secara cepat, terbuka dan efektif menjadi sangat perlu untuk segera diwujudkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang-piutang di atas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa dan memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam penyelengaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. - Sehubungan dengan adanya kebutuhan yang sangat mendesak bagi penyelesaian masalah seperti tersebut di atas, dipandang perlu untuk secepatnya melakukan penyempurnaan terhadap be-berapa ketentuan dalam Undang-undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 nomor 348) dan menetapkannya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. - Penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif, yaitu: penyempurnaan syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk di dalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan kepailitan. - Penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil pihak-pihak yang bersangkutan, khususnya Kreditor, atas kekayaan Debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan. - Peneguhan fungsi Kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan berfungsinya pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Kurator. Ketentuan yang ditambahkan antara lain mengatur syarat-syarat untuk dapat melakukan kegiatan sebagai Kurator berikut kewajiban mereka. - Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan, bahwa untuk itu dapat langsung diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Tata cara dan kerangka waktu bagi upaya hukum tadi juga ditegaskan dalam penyempurnaan ini. Dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak di antara Kreditor yang memegang Hak Tanggungan, gadai atau agunan lainnya. Diatur pula ketentuan mengenai status hukum atas perikatan-perikatan yang telah dibuat Debitor sebelum adanya putusan pernyataan kepailitan.

- Penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang penundaan kewajiban pembayaran sebagaimana telah diatur dalam bagian KEDUA Undang-undang Kepailitan. - Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang mau menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga berupa Pengadilan Niaga dengan hakim-hakimnya yang & bertugas secara khusus. Pembentukan Pengadilan Niaga bukan merupakan langkah diferensiasi atas Peradilan Umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang- undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman. - Mengenai Pengadilan Niaga, dapat dikemukakan bahwa Pengadilan Niaga bukan merupakan badan peradilan baru di luar badan-badan peradilan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tersebut, tetapi hanya sekadar merupakan chamber khusus yang baru dalam Peradilan Umum. Jadi, bukan badan peradilan yang berdiri sendiri. Dalam peraturan pemerintah pengganti undangundang ini, peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap. Begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. - Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan yang penting lagi, tingkat kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya. - Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian telah disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 bukan merupakan Undang-undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekadar mengubah dan menambah Faillissementsverordening S. 1905 No. 217 Jo S. 1906 No. 348. Faillissementsverordening terdiri dari 279 pasal, sedangkan UU No. 41 Tahun 1998 mencabut 6 pasal (Pasal 14A, 19, 218, 219, 221 dan 272) dan 1 ayat (Pasal 149 ayat (3)). Terdapat 93 pasal yang diubah dan menambah 10 pasal baru. Dengan demikian jumlah pasal UU No. 4 Tahun 1998 adalah 282 pasal.

RUU Kepailitan.

Pada waktu Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan untuk ditetapkan sebagai undang-undang, terjadi perbedaan pendapat di DPR dan pemerintah mengenai substansi Perpu tersebut. Salah satu syarat IMF akan memberikan dana adalah apabila Indonesia mempunyai UU Kepailitan dan akhirnya disepakatilah bahwa pemerintah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal UU No. 4

Tahun 1998 diundangkan, yaitu sejak 9 September 1998, akan menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru kepada DPR RI. Sesuai dengan kesepakatan tersebut seharusnya paling lambat tanggal 9 September 1999 Pemerintah sudah harus menyampaikan RUU tentang Kepailitan yang baru sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998. Namun karena berbagai alasan dan hambatan ternyata RUU tersebut tertunda penyelesaiannya. Pada hakikatnya perbedaanya tidak terlalu, tetapi ada beberapa ketentuan2 lama yang dihapuskan.

HUKUM KEPAILITAN

Kepailitan Semula lembaga hukum kepailitan diatur undang-undang tentang Kepailitan

dalam Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348. Karena perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi, serta modal yang dimiliki oleh para pengusaha umumnya berupa pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, undang-undang tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam penyelesaian utang-piutang. Penyeleseaian utang-piutang juga bertambah rumit sejak terjadinya berbagai krisis keuangan yang merembet secara global dan memberikan pengaruh tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional. Kondisi tidak menguntungkan ini telah menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya. Undang-undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348), sebab itu, telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan tersebut juga ternyata belum memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat, sehingga pada tahun 2004 pemerintah memperbaikinya lagi dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU). Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan dan PKPU), kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Menurut kamus, pailit berarti bangkrut atau jatuh miskin. Dengan demikian maka kepailitan adalah keadaan atau kondisi dimana seseorang atau badan hukum tidak mampu lagi membayar kewajibannya (Dalam hal ini utangnya) kepada si piutang. Dalam Blacks Law Dictionary, pailit atau bankrupt diartikan sebagai: The state or condition of a person (Individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.

Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu Debitur tidak dapat membayar utangnya, maka jika Debitur tersebut hanya memiliki satu orang Kreditur dan Debitur tidak mau membayar utangnya secara sukarela, maka Kreditur dapat menggugat Debitur ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta Debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditur. Namun, dalam hal Debitur memiliki lebih dari satu Kreditur dan harta kekayaan Debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang kepada para Kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para Kreditur akan berlombalomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta Debitur sudah habis. Kondisi ini tentu sangat tidak adil dan merugikan Kreditur yang tidak menerima pelunasan. Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum. Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditur dengan berpedoman pada KUHPer, terutama pasal 1131 dan 1132, maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Pasal 1131 KUHPer: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu. Pasal 1132 KUHPer: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Dari dua pasal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pada prinsipnya pada setiap individu memiliki harta kekayaan yang pada sisi positif di sebut kebendaan dan pada sisi negatif disebut perikatan. Kebendaan yang dimiliki individu tersebut akan digunakan untuk memenuhi setiap perikatannya yang merupakan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan. Selanjutnya, pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU, mengatur bahwa: Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas, supaya pasal 1131 dan 1132 KUHP berlaku sebagai jaminan pelunasan utang Kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan Pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada Pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar Debitur. Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa Debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut memberi kesempatan kepada Kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan kepailitan sebagai berikut: (1) (2) ditagih. Debitur mempunyai dua atau lebih Kreditur Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPer yang merupakan jaminan pemenuhan pelunasan utang kepada para Kreditur, maka pasal 1 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih Kreditur. Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan Debitur Pailit dapat diajukan sebagai jaminan pelunasan piutang semua Kreditur, sehingga semua Kreditur memperoleh pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara Pari passu dan Prorata. Pari Passu berarti harta kekayaan Debitur dibagikan secara bersama-sama diantara para Kreditur, sedangkan Prorataberarti pembagian tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing Kreditur terhadap utang Debitur secara keseluruhan. Dengan dinyatakannya pailit seorang Debitur, sesuai pasal 22 jo. Pasal 19 Undang-undang Kepailitan dan PKPU, Debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan, Pengadilan melakukan penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan Debitur Pailit, yang selanjutnya akan dilakukan pengurusan oleh Kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPer tentang hapusnya perikatan, maka hubungan hukum Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih Kreditur. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

utang-piutang antara Debitur dan Kreditur itu hapus dengan dilakukannya pembayaran utang melalui lembaga kepailitan. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Gugatan pailit dapat diajukan apabila Debitur tidak melunasi utangnya kepada minimal satu orang Kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238 KUHPer mengatur sebagai berikut: Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Berdasarkan pasal tersebut, mengenai utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih adalah ketika Debitur melakukan kelalaian dalam perjanjian, dan berdasarkan ketepatan waktu kelalaian tersebut dapat dibedakan atas: 1. Dalam hal terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian. Jika dalam perjanjian telah ditetapkan suatu waktu tertentu tentang kapan Debitur harus melaksanakan kewajibannya melunasi utang, maka dengan lewatnya jangka waktu tersebut dan Debitur tidak melaksanakan kewajiban utangnya, Debitur sudah dapat dianggap lalai. Mulai sejak saat itu Debitur dianggap lalai karena tidak melaksanakan kewajibannya, dan sejak saat itu pula muncul hak Kreditur untuk melakukan penagihan pelunasan utang melalui lembaga kepailitan. 2. Dalam hal tidak terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian. Selain oleh Kreditur dan Debitur sendiri, suatu permohonan pailit dapat diajukan oleh pihakpihak lain seperti yang disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Mereka adalah:

1. Kejaksaan untuk kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. 2. Bank Indonesia dalam hal Debitur adalah bank Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pengajuan tersebut semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan. 3. Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian Permohonan pailit juga dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BPPM) karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap bank. 4. Menteri Keuangan dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik