bab ii tinjauan pustaka a. kepailitan 1....27 bab ii tinjauan pustaka a. kepailitan 1. sejarah dan...

92
27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya diatur dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan secara berurutan. Pertama kali, hukum kepailitan diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 yang merupakan produk perundang-undangan Belanda seringkali juga disebut sebagai Hukum Kepailitan Lama 23 . Sehubungan dengan goncangnya perekonomian Indonesia di tahun 1998 24 , pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998) yang selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998). Apabila diperhatikan lebih jauh, UU No. 4 Tahun 1998 ini hanya mengubah, menambah dan memperjelas Faillisement Verordening, sehingga secara yuridis formal, 23 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 1 24 Pada masa itu, John T. Dori menyebutkan bahwa IMF beranggapan kesuksesan pemulihan ekonomi dan reformasi di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu, IMF mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan IMF untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan Khusus Niaga. Lihat John T. Dori, Indonesia’s Economic and Political Crisis: A challenge for U.S Leadership in Asia. Lihat: Sunarmi, Op.cit., hal. 3

Upload: others

Post on 14-Mar-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepailitan

1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia

Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya diatur

dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan secara

berurutan. Pertama kali, hukum kepailitan diatur dalam

Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement

Verordening) Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 yang

merupakan produk perundang-undangan Belanda

seringkali juga disebut sebagai Hukum Kepailitan Lama23.

Sehubungan dengan goncangnya perekonomian Indonesia

di tahun 199824, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998

(selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998) yang

selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4

Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998).

Apabila diperhatikan lebih jauh, UU No. 4 Tahun 1998 ini

hanya mengubah, menambah dan memperjelas

Faillisement Verordening, sehingga secara yuridis formal,

23 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 1 24 Pada masa itu, John T. Dori menyebutkan bahwa IMF beranggapan kesuksesan pemulihan ekonomi dan reformasi di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu, IMF mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan IMF untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan Khusus Niaga. Lihat John T. Dori, Indonesia’s Economic and Political

Crisis: A challenge for U.S Leadership in Asia. Lihat: Sunarmi, Op.cit., hal. 3

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

28

peraturan kepailitan yang lama masih berlaku25. UU No. 4

Tahun 1998 tersebut disempurnakan dengan Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya

disebut UU No. 37 Tahun 2004) yang berlaku hingga saat

ini.

Bagan 1.

Sejarah Hukum Kepailitan dalam 4 (empat)

peraturan perundang-undangan

Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 305 UU No. 37 Tahun

2004 dinyatakan bahwa

“semua peraturan perundang-undangan yang merupakan

pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) yang diubah dengan Perpu No. 1

Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang

berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, pada saat ini (UU No. 37

Tahun 2004 – catatan penulis) diundangkan, masih tetap

berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum

diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-

undang ini (No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis).

Dari pasal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

pengaturan kepailitan dalam peraturan perundang-

undangan sebelum UU No. 37 Tahun 2004 diundangkan,

25 Ibid., hal. 14

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

29

masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau

belum diganti oleh UU No. 37 Tahun 2004.

Pengaturan tentang kepailitan diatur dalam 5 (lima)

peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang

tentang Kepailitan (Faillisement Verordening), Perpu No. 1

Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang

berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, UU No. 37 Tahun 2004

dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.

UU No. 37 Tahun 2004 terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 308

Pasal. Berikut isi dari setiap Bab dalam UU No. 37 Tahun

2004:

BAB I : Ketentuan Umum

BAB II : Kepailitan

BAB III : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB IV : Permohonan Peninjauan Kembali

BAB V : Ketentuan lain-lain

BAB VI : Ketentuan Peralihan

BAB VII : Ketentuan Penutup

Selain diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004, Kepailitan

juga diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas khususnya tentang Tanggung Jawab

Pribadi Pemegang Saham, Anggota Direksi dan Anggota

Dewan Komisaris jika terjadi kepailitan terkait

kesalahan/kelalaian Anggota Organ tersebut (Pasal 104

ayat (2), Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007) serta

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

30

mengenai tanggung jawab terbatas Pemegang Saham

(Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007).

Bagan 2. Pengaturan Hukum Kepailitan dalam

5 (lima) peraturan perundang-undangan

2. Perkembangan Konsep Kepailitan

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa

Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa

Perancis, istilah ‘failite’ artinya pemogokan atau kemacetan

dalam melakukan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa

Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa

Latin dipergunakan istilah failure26.

26 Sunarmi, Op. cit., hal. 23

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

31

Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk

pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah

“bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap debitor Perseroan

yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar

hutang-hutangnya disebut “insolvency”27.

Dalam Black Law Dictionary diketahui bahwa “bankrupt”

adalah:

“the state or conditional of a person (individual, partnership,

corporation, multicipality who is unable to pay its debt as they are, or became due’. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.

Dari pengertian “bankrupt” yang diberikan oleh Black’s

Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian ‘pailit’

dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar

(insolvency) dari debitor atas utang-utangnya yang telah

jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar

(insolvency) tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak

dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan telah jatuh

tempo.

Konsep kepailitan tersebut senada dengan Pasal 1

Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan Lama) yang

menyatakan bahwa:

“Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam

keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan

Putusan Hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya

(kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit.”

27 Loc.cit

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

32

Parafrase “yang berada dalam keadaan berhenti membayar

utang-utangnya” menunjukkan bahwa konsep yang dianut

oleh Failisement Verordening mengandung persyaratan

insolvency untuk dapat memailitkan debitor.

Definisi untuk mengukur bahwa seorang debitor secara

teknis telah berada dalam keadaan insolvent pada

dasarnya telah diatur dalam Pasal 47 KUH Dagang yang

menyatakan sebagai berikut:

“Apabila bagi para pengurus ternyata bahwa Perseroan

menderita kerugian sebesar lima puluh persen dari

modalnya, maka hal ini harus mereka umumkan dalam register-register yang diselenggarakan untuk itu di

kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan dalam Berita Acara.

Jika kerugian tadi sebesar tujuh puluh lima persen, maka

Perseroan tersebut demi hukum bubar.”

Maksud dari Pasal 47 KUH Dagang adalah apabila

Perseroan mengalami kerugian lebih dari 50% dari

modalnya, maka Direksi harus mengumumkan hal

tersebut dalam register pada Pengadilan Negeri. Jika

maksud Pasal tersebut dihubungan dengan maksud dari

Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening maka akan terlihat

korelasi yang menggambarkan pentingnya pembuktian

secara teknis oleh pemohon pailit dengan cara insolvency

test bahwa debitor berada dalam keadaan insolvency.

Korelasi tersebut adalah apabila Direksi Perseroan yang

mengalami kerugian 50% tersebut tidak mengumumkan

kondisi keuangannya tersebut maka apabila Perseroan

tersebut dipailitkan, maka Pemohon Pailit (dalam hal ini

Pemohon Pailit yang dimaksud adalah kreditor sebagai

pihak ketiga – involuntary petition) harus membuktikan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

33

bahwa Perseroan tersebut berada dalam keadaan

insolvency dengan cara melakukan insolvency test.

Menurut Ricardo Simanjuntak, seorang praktisi hukum

kepailitan, insolvency test hampir mustahil dilakukan,

mengingat alat pembuktian keadaan insolvent dari debitor

Perseroan adalah berdasarkan laporan keuangannya28,

maka dalam hal Perseroan tersebut adalah Perseroan

tertutup maka secara teknis hukum akan sangat sulit

memastikan kreditor dapat menggunakan laporan

keuangan tersebut, karena sifatnya rahasia (confidential).

Kalaupun kreditor mendapatkannya dari pihak lain secara

diam-diam, sifat tertutup dari Perseroan tersebut akan

menimbulkan terjadinya permasalahan hukum dari sisi

kerahasiaan dokumen, apabila bukti laporan keuangan

yang diperoleh secara diam-diam tersebut dihadirkan

sebagai bukti di Pengadilan. Hal tersebut menjadi salah

satu alasan yang menurut beliau, menjadikan Failisement

Verordening tidak efektif.

Ketidakefektifan Failisement Verordening juga, menurut

beliau, terletak pada penggunaan waktu yang diukur

dengan parafrase “selekas-lekasnya” yang menyebabkan

pemeriksaan permohonan pailit tidak ada bedanya dengan

jangka waktu yang digunakan untuk mengadili kasus

perdata.

28 Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata, tata cara pembuktian salah satunya melalui surat (dokumen), dan bukti surat tersebut harus asli, berdasarkan Pasal 1888 KUH Perdata. Lihat: Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum

Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 292

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

34

Kedua alasan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan

pentingnya reformasi UU Kepailitan agar UU tersebut

dapat mencerminkan perwujudan asas peradilan yang

cepat, sederhana, efisien, transparan, adil dan

berkepastian hukum. Perubahan substansial pun

dilakukan terutama pada persyaratan untuk dapat

dipailitkannya seorang debitur dengan tidak adanya

keharusan untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa

debitur berada dalam keadaan insolvent. Oleh karena itu,

ketentuan Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening yang

mensyaratkan debitor harus berada “dalam keadaan telah

berhenti membayar utang-utangnya”, diubah menjadi

”debitor yang terbukti memiliki minimum dua kreditur

dimana tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih” dalam Pasal 1 ayat (1)

UU No. 4 Tahun 199829.

Selain mengenai definisi kepailitan, hal penting yang diatur

secara tegas dalam UU No 4 Tahun 1998 adalah mengenai

jangka waktu pembacaan putusan kepailitan diukur dari

waktu pengajuan permohonan pailit. Sebelumnya, dalam

Failisement Verordening, hanya diukur dengan kata

“selekas-lekasnya”.

29 Perubahan Failisement Verordening tersebut merupakan suatu konsekuensi dari reformasi hukum dalam mengembalikan kepercayaan pelaku usaha domestik maupun asing terhadap hukum bisnis dan kredibilitas peradilan di Indonesia. Perubahan tersebut merupakan perubahan yang bersifat mendesak (vide penjelasan dalam Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia – poin A.1.) sehingga perubahan tersebut tidak langsung dengan UU No. 4 Tahun 1998,

tetapi didahului dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998. Lihat Ricardo Simanjuntak, Op.cit., hal.292

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

35

Beberapa pokok perubahan yang dilakukan dalam UU No.

40 Tahun 2007 adalah terhadapa UU No. 4 Tahun 1998

adalah mengenai30:

a. Pengertian “utang” diberikan batasan secara tegas, agar

tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undang-

undang ini. Demikian juga mengenai pengertian “jatuh

waktu” (vide Sub Bab Syarat-Syarat Agar Permohonan

Pernyataan Pailit Dapat Diterima)

b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan

pernyataan pailit dan permohonan penundaan

kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya

pemberian kerangka waktu secara pasti bagi

pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau

penundaan pembayaran utang (vide Sub Bab Prosedur

dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit Per

Tingkat Peradilan)

Matriks 3.

Perbandingan Konsep Kepailitan

Indikator Failisement

Verordening

UU No. 4 Tahun

1998

UU No. 37 Tahun

2004

Syarat

mengajukan

permohonan

pailit

Mensyaratkan

debitor dalam

keadaan

insolvent melalui

Tidak

mensyaratan

debitor dalam

keadaan

Tidak

mensyaratkan

debitor dalam

keadaan insolvent

30 Penjelasan Umum UU No. 40 Tahun 2007 dalam Rahayu Hartini, Penyelesaian

Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana, 2009, hal.70

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

36

Indikator Failisement

Verordening

UU No. 4 Tahun

1998

UU No. 37 Tahun

2004

pernyataan

“Debitor berada

dalam keadaan

telah berhenti

membayar

utang-utangnya”

insolvent karena

hanya

mensyaratkan

debitor:

“terbukti

memiliki

minimum dua

kreditur dan

tidak membayar

lunas sedikitnya

satu utang yang

telah jatuh

tempo dan dapat

ditagih”

karena hanya

mensyaratkan

debitor:

mempunyai dua

atau lebih kreditor

dan tidak

membayar lunas

sedikitnya satu

utang yang telah

jatuh waktu dan

dapat ditagih”

Waktu

pengajuan

permohonan

pailit

Tidak diatur

dengan jelas

karena hanya

berpedoman

pada kata

“selekas-

lekasnya”

Diatur dengan

jelas

Diatur dengan

jelas

3. Definisi Kepailitan

Definisi kepailitan tertulis dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 37

Tahun 2004 sebagai berikut:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor

pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

kurator di bawah pengawasan hakim Pengawas

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

37

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UU No. 37

Tahun 2004 – catatan penulis)”

Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur dari definisi

kepailitan.

a. Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit

Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit

merupakan pengejawantahan dari Pasal 1131 KUH

Perdata yaitu:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak

maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatan perorangan.”

Sita umum yang dimaksud meliputi seluruh kekayaan

debitor (Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004) sehingga

semua kekayaan debitor menjadi boedel pailit, kecuali

benda dan jasa yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 37

Tahun 2004.

Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor

saja, maka seluruh harta kekayaannya menjadi

jaminan bagi pelunasan hutang tersebut, sehingga

dalam pelaksanaannya tidak diperlukan pranata

hukum kepailitan. Namun, jika ternyata debitor

memiliki lebih dari 1 (satu) orang kreditor maka harta

kekayaan debitor haruslah dibagi menurut prinsip di

bawah ini31, sehingga untuk itu diperlukan pranata

hukum kepailitan:

31 Jono, Op.cit, hal. 3

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

38

Pari passu, yaitu kreditor secara bersama-sama

memperoleh pelunasan, tanpa ada yang

didahulukan; dan

Pro rata atau proporsional, yaitu dihitung

berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing

kreditor dibandingkan dengan piutang para kreditor

secara keseluruhan sehingga memperoleh

prosentase tertentu, prosentase itulah yang menjadi

bagiannya dari jumlah seluruh harta kekayaan

debitor tersebut.

Prinsip pari passu dan pro rata tercantum dalam Pasal

1132 KUH Perdata, yaitu:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama

bagi semua orang yang mengutangkan padanya;

pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya

piutang masing-masing, kecuali apabila para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

didahulukan.”

Oleh karena harta kekayaan debitor pailit harus dibagi

secara pari passu dan pro rata kepada masing-masing

kreditor (dalam hal ini kreditor konkuren) kecuali para

kreditor tersebut mempunyai alasan-alasan yang sah

untuk didahulukan (dalam hal ini kreditor preferen

dan kreditor separatis32), maka kekayaan debitor harus

diletakkan di bawah sita umum.

32 Penggolongan kreditor dibahas dalam syarat-syarat agar permohonan pailit dapat diterima khususnya mengenai syarat adanya debitor

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

39

Golongan kreditor ada 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,

kreditor preferen dan kreditor separatis33 yaitu sebagai

berikut:

1) Kreditor konkuren

Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132

KUH Perdata. Kreditor konkuren adalah para

kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak

dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah

terpenuhi. Kreditor konkuren mendapatkan

pelunasan berdasarkan prinsip pari passu dan pro

rata, artinya para kreditor secara bersama-sama

memperoleh pelunasan (tanpa ada yang

didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada

besarnya piutang masing-masing dibandingkan

terhadap piutang mereka secara keseluruhan,

terhadap seluruh kekayaan debitur tersebut.

Dengan demikian, para kreditor konkuren

mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan

utang dari harta debitur tanpa ada yang

didahulukan.

2) Kreditor preferen

Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu

kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata

karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan

terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan

kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu

suatu hak yang oleh undang-undang diberikan

33 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 42

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

40

kepada seorang yang berpiutang sehingga

tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang

lainnya, semata-mata berdasarkan sifat

piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata). Kreditor

preferen terdiri atas kreditor preferen umum dan

kreditor preferen khusus.

a) Kreditor preferen khusus

Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang

piutang-piutangnya diistimewakan menurut

preferensi khusus (Pasal 1139). Preferensi

khusus tersebut antara lain:

(1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan

oleh suatu penghukuman untuk melelang

suatu benda bergerak maupun tidak

bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan

penjualan benda tersebut terlebih dahulu

dari semua piutang lainnya yang

diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula

daripada gadai dan hipotik;

(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak,

biaya-biaya perbaikan yang menjadi

kewajiban si penyewa, beserta segala apa

yang mengenai kewajiban memenuhi

persetujuan sewa;

(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang

belum dibayar;

(4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk

menyelamatkan suatu barang;

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

41

(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu

barang, yang masih harus dibayar kepada

tukang;

(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang

pengusaha rumah penginapan sebagai

demikian sebagai seorang tamu;

(7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya

tambahan;

(8) Apa yang harus dibayar kepada tukang

batu, tukang kayu dan lain-lain tukang

untuk pembangunan, penambahan dan

perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal

saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga

tahun dan hak milik atas persil yang

bersangkutan masih tetap pada si berutang;

(9) Penggantian serta pembayaran yang harus

dipikul oleh pegawai yang memangku suatu

jabatan umum, karena segala kelalaian,

kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang

dilakukan dalam jabatannya.

b) Kreditor preferen umum

Kreditor preferen umum adalah kreditor yang

piutang-piutangnya diistimewakan atas semua

benda bergerak dan tidak bergerak yang disebut

preferensi umum (Pasal 1149 KUH Perdata).

Adapun preferensi umum didasarkan pada

urutan sebagai berikut:

(1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata

disebabkan oleh pelelangan dan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

42

penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini

didahulukan daripada gadai dan hipotek;

(2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak

mengurangi kekuasaan hakim untuk

menguranginya, jika biaya itu terlampau

tinggi;

(3) Semua biaya perawatan dan pengobatan

dari sakit yang penghabisan;

(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu

dan upah yang sudah dibayar dalam tahun

yang sedang berjalan, beserta jumlah uang

kenaikan upah menurut Pasal 1602 q34;

(5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan

makanan yang dilakukan kepada si

berutang beserta keluarganya, selama waktu

enam bulan yang terakhir;

(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah

berasrama, untuk tahun yang penghabisan;

(7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan

orang-orang yang terampu terhadap sekalian

wali dan pengampu mereka.

3) Kreditor separatis (secured creditor)

Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor

pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai,

hipotek, hak tanggungan dan fidusia35. Hak

34 Telah diatur kemudian dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 35 Ibid., hal. 7. Pengaturan tentang hak jaminan kebendaan tersebut adalah

sebagai berikut: a. Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d. 1160 Bab XX KUH Perdata yang

diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai,

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

43

penting yang dipunyai kreditor separatis adalah

hak untuk dengan kewenangan sendiri

menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa

putusan pengadilan (parate eksekusi).

Golongan kreditor tersebut mendapat pembagian hasil

penjualan boedel pailit menurut urutan haknya.

Menurut Ricardo Simanjuntak36 hak para kreditor

untuk mendapatkan pembagian dari hasil penjualan

boedel pailit, dapat dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat

mulai dari hak yang paling tinggi hingga hak yang

paling rendah sebagai berikut:

1) Hak retensi (retain) merupakan hak yang dimiliki

oleh kreditor atas kewenangan yang diberikan

kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun

penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditur

pemilik tagihan ini berhak untuk menahan (retain)

benda (boedel pailit) yang berada di bawah

kekuasaannya sebelum biaya perbaikan terhadap

seorang pemberi gadai (debitur) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor).

b. Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar serta pesawat terbang.

c. Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah.

d. Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek dan hak tanggungan.

36 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 301-302

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

44

boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi37,

serta biaya perkara yang dikeluarkan untuk

pelelangan dan penyelesaian warisan38;

2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan

hak yang dimiliki kantor pajak untuk

mendapatkan pembayaran dari boedel pailit lebih

dahulu dari kreditur lainnya39;

3) Hak preferensi separatis bagi kreditor separatis

(secured creditor) merupakan hak yang dimiliki oleh

kreditur-kreditur yang memegang jaminan dalam

bentuk hak tanggungan, hipotek, gadai dan fidusia

(tersebut di atas);

4) Hak istimewa buruh40;

5) Hak preferensi khusus bagi kreditor preferen

khusus berdasarkan Pasal 1139 KUH Perdata

(tersebut di atas);

6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen

umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata

(tersebut di atas);

37 Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3)b UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2009), 38 Pasal 21 ayat (3)c UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) 39 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 jo Pasal 21 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1134 KUH Perdata jo. Pasal 1137 KUH Perdata. Dalam kacamata pajak, hak istimewa ini bahkan lebih tinggi (mendahului) daripada hak yang dimiliki oleh kreditur separatis. 40 Berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Sebelumnya hak buruh untuk mendapatkan pembayaran berada pada kedudukan kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata, akan tetapi kemudian diberikan hak istimewa oleh UU No 13 Tahun 2003.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

45

7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk

dibayarkan secara pro rata berdasarkan Pasal 1132

KUH Perdata (tersebut di atas).

b. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

kurator

Pengurusan dan pemberesan dalam kepailitan berbeda

dengan pengurusan dan pemberesan dalam likuidasi.

Mekanisme kepailitan pada intinya sama dengan

mekanisme likuidasi yaitu adanya verifikasi utang dan

verifikasi debitor. Namun dalam pelaksanaannya

likuidasi dilakukan oleh likuidator dimana direksi

dapat menjadi likuidator apabila disepakati dalam

RUPS. Sedangkan dalam kepailitan, pengurusan dan

pemberesan hanya bisa dilakukan oleh kurator.

c. Di bawah pengawasan hakim pengawas

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh

pengadilan dalam putusan pailit atau putusan

penundaan kewajiban pembayaran utang41. Fungsinya

adalah untuk mengawasi jalannya pengurusan dan

pemberesan oleh kurator.

4. Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit

Dapat Diterima

Ada 4 (empat) syarat agar pengajuan permohonan pailit

dapat diterima yaitu:

41 Pasal 1 angka 8 UU No. 37 Tahun 2004

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

46

a. Adanya debitor

Syarat “adanya debitor” merupakan syarat materil

terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan

tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena

perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di

muka pengadilan42. Debitor bisa berupa perorangan

(natuurlijk persoon; human being) atau badan hukum

(rechts persoon; artificial person). Perseroan Terbatas

termasuk dalam kategori badan hukum.

b. Adanya dua kreditor atau lebih (concursus

creditorum)

Syarat “adanya dua kreditor atau lebih” merupakan

syarat materil terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang

karena perjanjian atau undang-undang yang dapat

ditagih di muka pengadilan43.

“Adanya dua kreditor atau lebih” memiliki makna

bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit

kepada seorang kreditor, maka kreditor tersebut harus

mempunyai minimal 2 (dua) kreditor.

42 Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004 43 Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

47

c. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” merupakan

syarat materiil, sebagai lanjutan dari syarat kedua,

terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Syarat

“tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

telah jatuh waktu dan dapat ditagih” memiliki makna

bahwa agar dapat mengajukan permohonan

permohonan pailit, maka dari dua kreditor atau lebih,

minimal ada satu hutang kepada salah satu kreditor

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Yang dimaksud dengan “sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang

telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,

karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana

diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda

oleh instansi yang berwenang, maupun karena

putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase44.

Definisi “utang” tercantum dalam Pasal 1 butir 6 UU

No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang

Indonesia maupun mata uang asing, baik secara

langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari

atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau

undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur

dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor

44Penjelasan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

48

untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan

debitur.”

Dari definisi utang tersebut di atas terutama dari

parafrase “kewajiban yang dinyatakan atau dapat

dinyatakan dalam jumlah uang”, maka secara jelas

definisi utang harus ditafsirkan secara luas, bahwa

utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari

perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam”

tetapi juga “utang yang timbul karena undang-undang

atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah

uang”.

d. Pembuktian sederhana (summarily proving)

Syarat ini merupakan syarat formil terkait Pasal 8 ayat

(4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan

apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti

secara sederhana bahwa persyaratan untuk

dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”

Parafrase “fakta dan kenyataan terbukti secara

sederhana” (summarily proving) dalam Pasal 8 ayat 4

UU No. 37 Tahun 2004 tersebut di atas berarti bahwa

keberadaan utang yang dimaksudkan oleh pemohon

pailit tidak dipersengketakan lagi. Dengan kalimat lain,

keberadaan utang yang secara pembuktian telah

sangat kuat dan jelas keberadaannya tersebut

membuat langkah pembuktian terhadapnya – dalam

hal debitur mencoba mengingkarinya – cukup

dilakukan secara sederhana (summarily proving). Jika

utang tersebut masih dipersengketakan, sehingga

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

49

pembuktian terhadap utang tersebut tidak dapat

dilakukan secara sederhana, maka penyelesaian

sengketa utang-piutang tersebut bukan kewenangan

Pengadilan Niaga. Sengketa utang-piutang tersebut

diselesaikan melalui jalur gugatan perdata pada

pengadilan negeri.

Selain itu, menurut penulis perlu ditambahkan, dalam

hal subjek hukum yang dipailitkan adalah Perseroan,

syarat mengenai siapa debitor harus dapat dibuktikan

secara sederhana. Syarat mengenai siapa debitor

adalah mengenai apakah subjek hukum yang berutang

adalah Perseroan atau pribadi anggota Organ

Perseroan.

Bagan 3.

Empat Syarat agar Permohonan Pernyataan Pailit dapat Diterima

Keempat syarat tersebut harus dipenuhi agar permohonan

pailit dapat diterima.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

50

5. Pemohon Pailit

Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan

permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

Permohonan pernyataan pailit bisa diajukan oleh debitor

sendiri (voluntary petition) atau oleh pihak ketiga

(involuntary petition), Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan

Pengawas Pasar Modal, maupun Menteri Keuangan,

sebagai berikut:

a. Atas Permohonan Debitor Sendiri (Voluntary

Petition)

UU No. 37 Tahun 2004 memungkinkan seorang

kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit atas dirinya sendiri45. Tujuannya agar masalah

kesulitan keuangan yang dihadapinya dapat segera

diselesaikan oleh pengadilan melalui kurator kepada

para kreditor.

b. Atas Permohonan Pihak Ketiga (Involuntary

Petition)

Permohonan pernyataan pailit dapat juga diajukan oleh

seorang kreditor atau lebih, termasuk di dalamnya

kreditor konkuren, kreditor preferen maupun kreditor

separatis46.

45 Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Dalam hal permohonan pernyataan pailit

diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Lihat Pasal 4 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 46 Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dan penjelasannya.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

51

c. Kejaksaan

Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur juga

dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan

umum47.

d. Bank Indonesia

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank

Indonesia dalam hal debitornya adalah bank.48

e. Pengawas Pasar Modal

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Badan

Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitor

adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring

dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan

Penyelesaian.49

f. Menteri Keuangan

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri

Keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau

Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik.50

47 Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang

menghimpun dana dari masyarakat; d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari

masyarakat luas; e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan

masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum 48 Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 49 Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 50 Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

52

6. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit per

Tingkat Peradilan

Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit terdiri

atas Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit

pada tingkat pertama, tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali.

a. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit

pada Tingkat Pertama

Permohonan pernyataan pailit pada tingkat pertama

diajukan melalui Pengadilan Niaga di wilayah hukum

debitor Termohon Pailit (Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004. Prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit di

Pengadilan Niaga dari proses pendaftaran permohonan

sampai putusan dibacakan memerlukan waktu 60 (enam

puluh) hari (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004).

Bagan 4

Time-frame Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004)

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

53

b. Prosedur dan Time-Frame Kasasi Perkara Kepailitan

Permohonan kasasi perkara kepailitan diajukan melalui

Pengadilan Niaga. Prosedur pengajuan permohonan kasasi

proses pendaftaran permohonan kasasi di Pengadilan Niaga

sampai putusan dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung

(Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004) memerlukan waktu

sekitar 74 (tujuh puluh empat hari. Berikut ini time-frame

pengajuan permohonan kasasi Perkara Kepailitan di

Pengadilan Niaga:

Bagan 5

Time-frame Pengajuan Permohonan Kasasi Perkara Kepailitan

ke Mahkamah Agung (Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004)

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

54

c. Prosedur dan Time-Frame Peninjauan Kembali Perkara

Kepailitan

Permohonan Peninjauan Kembali (PK) perkara kepailitan

diajukan melalui Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 195 UU No.

37 Tahun 2004, terdapat 2 (dua) alasan Permohonan

peninjauan kembali yaitu:

1) setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di

Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau

2) dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat

kekeliruan yang nyata.

Tenggang waktu untuk pengajuan PK dengan alasan

“ditemukannya bukti baru” adalah 180 (seratus delapan puluh

hari) sejak putusan atas permohonan kasasi memperoleh

kekuatan hukum tetap. Sedangkan tenggang waktu pengajuan

PK dengan alasan “terdapat kekeliruan yang nyata” adalah 30

(tiga puluh hari).

Prosedur pengajuan permohonan kasasi proses pendaftaran

permohonan kasasi di Pengadilan Niaga sampai putusan

dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung memerlukan waktu

sekitar 30 (tiga puluh) hari (Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun

2004). Berikut ini time-frame pengajuan permohonan PK

Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga:

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

55

Bagan 6.

Time-frame Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Perkara

Kepailitan ke Mahkamah Agung

(Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun 2004)

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

56

Dari ketiga bagan jangka waktu (time-frame) pengajuan

permohonan pernyataan pailit, pengajuan kasasi dan

pengajuan permohonan peninjauan kembali kasus kepailitan

yang telah dijelaskan di atas, perkiraan jangka waktu (time-

frame) penyelesaian perkara kepailitan adalah 212 hari

(diperhitungkan dengan perkiraan jangka waktu pembacaan

putusan per tingkat peradilan sampai dengan pengajuan

permohonan per tingkat peradilan). Jangka waktu ini jauh

lebih singkat dari pada jangka waktu (time-frame) pengajuan

perkara perdata yang memakan waktu 4-6 tahun dari tingkat

pertama pada Pengadilan Negeri sampai dengan tingkat

Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Dengan demikian,

pilihan untuk menyelesaikan sengketa hutang-piutang dengan

menggunakan pranata hukum kepailitan melalui Pengadilan

Niaga lebih mudah dan lebih sederhana dibanding

menggunakan pranata hukum perdata melalui Pengadilan

Negeri.

(60) + (8+74) + (30 + 30) = 212 h

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

57

B. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good

Corporate Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan Dalam

Mencegah Terjadinya Kepailitan

Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

Corporate Governance) merupakan keniscayaan dalam suatu

Perseroan. Amartya Sen51, mengibaratkan keberadaan Tata

Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance)

tersebut sebagai “oksigen” bagi “kehidupan” Perseroan, dimana

manfaat kehadirannya lebih dipahami ketika ia tidak hadir:

A basic code of good business behavior (Good Corporate Governance - penulis) is a bit like oxygen: we take an interest

in its presence when it is absent!

Sebuah penelitian terkait Good Corpororate Governance yang

dilakukan oleh Duff and Phelps menyatakan bahwa para

responden baik di AS maupun di Eropa, pada umumnya

sependapat bahwa tuntutan tata kelola Perseroan (Good

Corpororate Governance) yang baik merupakan dampak dari

berbagai skandal korporasi: WorldCom, Enron, Adelphia dan

Parmalat. Survey membuktikan 72% responden berpendapat

bahwa tuntutan pelaksanaan tata kelola Perseroan yang baik

(Good Corpororate Governance) tersebut bahkan menjadi salah

satu faktor pendorong kenaikan permintaan pendapat

kewajaran (fairness opinion)52 oleh Perseroan.

51 Amartya Sen, The 1998 Nobel laureate in Economic Science dalam Saiful M. Ruky, Fairness Opinion: Pendapat Kewajaran Transaksi Korporasi, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2010, hal. 17 52 Pendapat kewajaran (fairness opinion) adalah pendapat yang diberikan oleh

seorang penasihat keuangan independen yang berkaitan dengan kewajaran atas transaksi korporasi yang terjadi pada pasar corporate control tersebut yang terdiri

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

58

Dari hal tersebut di atas, penulis mengasumsikan Pelaksanaan

Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate

Governance) merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan

Perseroan.

1. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate

Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan dalam

Mencegah Terjadinya Kepailitan

Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate

Governance) yaitu Prinsip Transparansi (Transparency),

Akuntabilitas (Accountability), Prinsip Responsibilitas

(Responsibility), Prinsip Independensi (Independency),

Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) harus

tercermin dalam pengelolaan Perseroan agar kepailitan

dapat tercegah.

Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) berkaitan

dengan pengambilan keputusan efektif yang bersumber

pada etika bisnis, budaya Perseroan, etika, nilai, sistem,

proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi yang

bertujuan untuk mendorong dan mendukung:

perkembangan Perseroan; pengelolaan sumber daya dan

risiko secara lebih efisien serta efektif;

dari: 1) uji kewajaran kesepakatan (fair dealing) atau disebut juga dengan

kewajaran prosedur (procedure fairness) dan 2) uji kewajaran harga (fair price). Lihat: Saiful M. Ruky, Op. Cit, hal. 2-5

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

59

pertanggungjawaban Perseroan terhadap pemegang

saham dan stakeholders lainnya53.

Menurut Price Waterhouse Coopers, Tata Kelola Perseroan

adalah sebagai berikut:

Corporate Governance is about effective decision making. It is founded upon organizational culture, ethics, value,

system, processes, policies and structures which are aimed at fostering and promoting: business prosperity; efficient and effective management of resources and risk; corporate accountability and the stakeholders.54

Menurut Parijs55, ditinjau dari sisi badan kepengurusan

Perseroan, dalam hal Tata Kelola Perseroan (Corporate

Governance) dikenal 2 sistem badan kepengurusan

(governing body) yaitu: 1) sistem yang menganut

kepengurusan dengan 1 (satu) lapis dewan pimpinan (one

tier board system), sistem ini diterapkan di negara-negara

yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon, 2) sistem

dengan 2 (dua) lapis dewan pimpinan (two tier board

system), sistem ini banyak diterapkan di negara-negara

yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental

termasuk Indonesia. Perseroan dengan 1 lapis sistem

badan kepengurusan (one governing body); the board of

director (BOD) terdiri dari Eksekutif dan Non-Eksekutif

Direktur atau biasa disebut dengan Inside dan Outside

Director. Mereka dipilih oleh pemegang saham dan

53 Kemal Azis Stamboel, Good Corporate Governance: Menyeimbangkan Antara Kinerja Perusahaan dengan ketaatan, Makalah, Jakarta: The Indonesian Instritute for Corporate Governance, 2000 54 Price Waterhouse Coopers, Conceptual Model for Corporate Governance Definition, Makalah, Jakarta: BPPN Workshop for Recapitalized, 2000 dalam Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta: Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2002, hal.37 55 Sergei Parijs dalam Saiful M. Ruky, Op. Cit, hal. 17

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

60

membuat keputusan serta mengendalikan perusahaan.

Direktur Non-Eksekutif biasanya merupakan Direktur

paruh waktu dan tugas utamanya melakukan supervise

kepada Direktur Eksekutif.

Perseroan dengan 2 sistem badan kepengurusan, terdiri

atas Dewan Manajemen/Eksekutif (Management Board,

Indonesia: Direksi) dan Dewan Pengawas (Supervisory

Board, Indonesia: Dewan Komisaris). Direksi bertugas

atas pengelolaan Perseroan sehari-hari, sedangkan

Dewan Komisaris mengawasi dan memonitor Direksi

dalam melaksanakan tugas pengelolaan sehari-hari,

termasuk memberikan nasihat dan ratifikasi terhadap

keputusan Direksi yang bersifat strategis, sebagaimana

diatur dalam anggaran dasar Perseroan56.

Keputusan untuk meminjam sejumlah uang terhadap

pihak ketiga (debitor) merupakan keputusan yang bersifat

strategis, sehingga dalam membuat keputusan tersebut,

Direksi harus terlebih dahulu meminta nasihat dan

ratifikasi dari Dewan Komisaris.

Dalam beberapa kasus yang akan diulas dalam Bab III,

kepaillitan seringkali disebabkan karena adanya utang

yang telah jatuh tempo, yang setelah ditelusuri ternyata

perjanjian hutang-piutangnya tidak diratifikasi oleh

Dewan Komisaris. Dalam hal ini terjadi pelampauan

wewenang dalam proses perjanjian dengan pihak ketiga

menyangkut keputusan strategis yaitu Direksi tidak

56 Loc. cit.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

61

meminta nasihat dan ratifikasi dari Dewan Komisaris.

Pelampauan wewenang ini merupakan pelanggaran

terhadap prinsip Tata Kelola Perseroan yang baik, dimana

Direksi tidak menyertakan fungsi dari Dewan Komisaris

untuk memberikan nasihat dan melakukan ratifikasi

terhadap keputusan Perseroan yang sifatnya strategis.

Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila Direksi

menyertakan fungsi Dewan Komisaris pada saat hendak

memutuskan hal-hal yang bersifat strategis. Penyertaan

fungsi tersebut merupakan salah satu upaya Direksi

untuk mengelola Perseroan (termasuk di dalamnya

keuangan Perseroan) secara hati-hati (duty of care).

2. Lima Prinsip Good Corporate Governance yang harus

dilaksanakan dalam Pengelolaan Perseroan untuk

mencegah terjadinya Kepailitan

Untuk mencegah terjadinya kepailitan, ada 5 (lima)

prinsip yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan

Perseroan. Menurut Organization For Economic

Cooperation and Development (OECD) prinsip-prinsip Tata

Kelola Perseroan (Good Corporate Governance) tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Transparansi (Transparency)

b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility)

d. Prinsip Independensi (Independency)

e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

62

Berikut uraian dari masing-masing prinsip tersebut:

a. Prinsip Transparansi (Transparency)

Prinsip Transparansi (Transparency) mengandung unsur

keterbukaan yang harus diterapkan dalam setiap aspek

di perusahaan yang berkaitan dengan kepentingan publik

atau pemegang saham. Transparansi dalam GCG adalah

wujud pengelolaan Perseroan secara terbuka dan

pengungkapan fakta yang aktual secara tepat waktu

kepada para pemangku kepentingan.

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance57,

Prinsip Dasar Transparansi (Transparency) adalah untuk

menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis,

perseroan harus menyediakan informasi yang material

dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan

dipahami oleh pemangku kepentingan. Perseroan harus

mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya

masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-

undangan, tetapi juga hal yang penting untuk

pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur

dan pemangku kepentingan lainnya.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan berdasarkan

Prinsip Transparansi (Transparency):

1) Perseroan harus menyediakan informasi secara tepat

waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat

57 Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, 2006, hal. 5

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

63

diperbandingkan serta mudah diakses oleh

pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi

tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan

strategi perseroan, kondisi keuangan, susunan dan

kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali,

kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota

Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam

perseroan dan perseroan lainnya, sistem manajemen

risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal,

sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat

kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat

mempengaruhi kondisi perseroan.

3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perseroan tidak

mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan

kerahasiaan perseroan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak

pribadi.

4) Kebijakan perseroan harus tertulis dan secara

proporsional dikomunikasikan kepada pemangku

kepentingan.

b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

Prinsip Akuntabilitas (Accountability) merupakan suatu

perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan visi dan misi

perusahaan, untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran

yang telah diterapkan58.

58 Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 67

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

64

Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)59: Perseroan

harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perseroan harus dikelola

secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan

perseroan dengan tetap memperhitungkan kepentingan

pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.

Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan

untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

Prinsip Akuntabilitas (Accountability):

1) Perseroan harus menetapkan rincian tugas dan

tanggung jawab masing-masing organ perseroan dan

semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi,

misi, nilai-nilai perseroan (corporate values), dan

strategi perseroan.

2) Perseroan harus meyakini bahwa semua organ

perseroan dan semua karyawan mempunyai

kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab,

dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

3) Perseroan harus memastikan adanya sistem

pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan

perseroan.

4) Perseroan harus memiliki ukuran kinerja untuk

semua jajaran perseroan yang konsisten dengan

sasaran usaha perseroan, serta memiliki sistem

penghargaan dan sanksi (reward and punishment

system).

59 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 5

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

65

5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,

setiap organ perseroan dan semua karyawan harus

berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku

(code of conduct) yang telah disepakati.

c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility)

Prinsip Responsibilitas (Responsibility) mencakup hal-hal

yang terkait dengan pertanggungjawaban yang sesuai

dengan peraturan perundang-undangan kepada para

pemegang saham maupun para pemangku kepentingan

serta pemenuhan kewajiban sosial perusahaan60.

Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)61: Perseroan

harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan

lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan

usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan

sebagai good corporate citizen.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

Prinsip Responsibilitas (Responsibility):

1) Organ perseroan harus berpegang pada prinsip

kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap

peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan

peraturan perseroan (by-laws).

2) Perseroan harus melaksanakan tanggung jawab sosial

dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan

kelestarian lingkungan terutama di sekitar perseroan

60 Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 70 60 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 5 61 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 6

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

66

dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang

memadai.

d. Prinsip Independensi (Independency)

Prinsip Dasar: untuk melancarkan pelaksanaan asas

GCG, perseroan harus dikelola secara independen

sehingga masing-masing organ perseroan tidak saling

mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak

lain.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

Prinsip Independensi (Independency):

1) Masing-masing organ perseroan harus menghindari

terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak

terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari

benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari

segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan

keputusan dapat dilakukan secara obyektif.

2) Masing-masing organ perseroan harus melaksanakan

fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar

dan peraturan perundang-undangan, tidak saling

mendominasi dan atau melempar tanggung jawab

antara satu dengan yang lain.

e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Prinsip Dasar: Dalam melaksanakan kegiatannya,

perseroan harus senantiasa memperhatikan kepentingan

pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya

berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

67

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness):

1) Perseroan harus memberikan kesempatan kepada

pemangku kepentingan untuk memberikan masukan

dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan

perseroan serta membuka akses terhadap informasi

sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup

kedudukan masing-masing.

2) Perseroan harus memberikan perlakuan yang setara

dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai

dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan

kepada perseroan.

3) Perseroan harus memberikan kesempatan yang sama

dalam penerimaan karyawan, berkarir dan

melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa

membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan

kondisi fisik.

Dengan melaksanakan kelima prinsip Tata Kelola Perseroan

yang Baik (Good Corporate Governance) tersebut di atas,

maka diharapkan, kepailitan dapat tercegah.

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

68

C. Kepailitan Perseroan Terbatas

Salah satu subjek hukum yang dapat dipailitkan adalah

Perseroan Terbatas62. Untuk dapat memahami kepailitan

Perseroan Terbatas, penulis membuat perbandingan antara

Kepailitan Perseroan Terbatas dengan kebangkrutan

Perseroan, pembubaran Perseroan dan likuidasi Perseroan.

1. Perbandingan Antara Kepailitan Perseroan Terbatas

dengan Kebangkrutan Perseroan, Pembubaran

Perseroan Dan Likuidasi Perseroan

Kepailitan Perseroan Terbatas adalah keadaan hukum

yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga63 dimana sebuah

Perseroan yang memiliki minimal dua kreditor dan terbukti

tidak membayar paling sedikit satu hutang yang telah

jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebagai konsekuensi

hukum dari kepailitan tersebut semua aset Perseroan

sebagai debitor pailit tersebut berada dalam sita umum

(public attachment) yang dilakukan pengurusan dan

pemberesannya oleh seorang atau lebih kurator yang

berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang

diangkat bersama kurator oleh Pengadilan Niaga.

62 Subjek hukum yang dapat dipailitkan selain Perseroan Terbatas yaitu subjek hukum perorangan, bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Re-asuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara. Lihat Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004. 63 Dalam konteks Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal UU No. 37 Tahun 2004

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

69

Kata “tidak membayar” yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat

(1) memberikan pengertian bahwa UU No. 37 Tahun 2004

tidak mempertimbangkan apakah tidak dibayarnya utang

yang terbukti secara sederhana telah jatuh tempo dan

dapat ditagih tersebut disebabkan karena Perseroan

sebagai debitor pailit tersebut tidak mau membayar

(unwilling to pay debt) atau tidak mampu membayar utang

(unable to pay debt/insolvent)tersebut kepada

kreditornya64. Artinya, tidak dibedakan apakah keuangan

Perseroan sebagai debitor pailit tersebut masih dalam

keadaan sehat atau tidak, asalkan syarat dalam Pasal 2

ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut terpenuhi, maka

debitor tersebut akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan

Niaga.

Oleh karena itu, status pailit belum secara otomatis

menyatakan bahwa Perseroan sebagai debitor pailit

tersebut berada dalam keadaan tidak mampu untuk

membayar utang-utangnya (unable to pay debt/insolvent).

Dapat saja Perseroan sebagai debitor pailit merupakan

Perseroan besar dan memiliki keuangan yang sehat,

namun dipailitkan karena tidak membayar utangnya

(walaupun jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah

asetnya ketika dipailitkan) yang telah terbukti jatuh tempo

dan dapat ditagih.

Ketika Perseroan sebagai debitor pailit tersebut sebenarnya

masih cukup mampu untuk melunasi utang-utangnya

64 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 294

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

70

kepada kreditornya, maka debitor pailit tersebut dapat

mengajukan usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144

UU No. 37 Tahun 2004) dimana bila usulan perdamaian

yang diajukan oleh debitor pailit disetujui oleh seluruh

kreditornya, maka apabila perdamaian tersebut

diwujudkan, akan mengakibatkan berakhirnya status pailit

dari debitor seperti yang diatur dalam Pasal 156 UU No. 37

Tahun 2004 dengan dilakukannya rehabilitasi berdasarkan

Pasal 205 UUK65.

Akan tetapi sebaliknya, bila usulan perdamaian tersebut

ditolak oleh para kreditornya, atau Perseroan sebagai

debitor pailit tersebut tidak mengajukan usulan

perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178 UU No. 37

Tahun 2004 barulah debitor tersebut dinyatakan insolvent.

Sejak Perseroan sebagai debitor pailit dinyatakan insolvent,

kurator mulai melakukan pemberesan terhadap aset-aset

debitor agar dapat digunakan untuk membayar seluruh

kewajiban dari debitor pailit baik dalam bentuk biaya

kepailitan ataupun kewajiban-kewajiban kepada

kreditornya66.

Kebangkrutan Perseroan adalah keadaan dimana

Perseroan mengalami krisis keuangan sehingga total

kewajiban (liability) melebihi total aktiva (asset)67. Krisis

65 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan Makalah Seri Workshop Kepailitan I-IV, 2005, hal. 184 66 Loc.cit. 67 Lihat: Dr. Mamduh M. Hanafi, MBA, Manajemen Keuangan, 2004, Yogyakarta: BPFE UGM, hal. 638

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

71

keuangan dapat terlihat melalui insolcency test yang terdiri

dari cashflow test dan balance sheet test68.

Pada beberapa pembuktian ketidakmampuan membayar

utang, “balance sheet test” disamakan dengan “cashflow

test” karena sama-sama menggambarkan laporan kondisi

keuangan Perseroan seperti dinyatakan oleh Ian Fletcher69

berikut ini:

“Balance sheet” insolvency sometimes referred to as a “cash flow” crisis, where the sum total of debt-present, future and contingent- exceeds the total value of all assets.

Tetapi sejatinya “balance sheet” dan “cashflow” merupakan

laporan keuangan yang berbeda.

Menurut Professor Goode70, cash flow test relatif lebih

mudah untuk diaplikasikan dalam praktek, agar

pengadilan dapat melihat kegiatan aktual Perseroan,

namun sebenarnya cash flow bukanlah fakta pembayaran

utang yang telah jatuh tempo sebagai prasyarat untuk

menyatakan Perseroan tersebut dalam keadaan insolvent:

“The cashflow test is relatively easy to apply in practice, for the court looks at what the company is actually doing; if it is not in fact paying its debts as they fall due it is assumed to be insolvent”

Berdasarkan pendapat Professor Goode tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa krisis keuangan yang menunjukkan

keadaan bankrutnya Perseroan bukanlah krisis cashflow

68 R. M Goode, Principle of Corporate Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal. 26 69 Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 5 70 Loc. cit. hal. 27

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

72

(pengeluaran lebih banyak daripada pemasukan)

melainkan merujuk pada ketidakseimbangan posisi

balance sheet. dimana total kewajiban (liability) melebihi

total aktiva (asset).

Pentingnya membedakan antara krisis cashflow dan

ketidakseimbangan posisi balance sheet adalah karena

bisa jadi, cashflow Perseroan berada dalam kondisi tidak

minus (pemasukan lebih besar daripada pengeluaran)

tetapi ternyata sumber pemasukan tersebut berasal dari

utang yang sebenarnya berposisi sebagai kewajiban

(liability). Untuk mempermudah memahami posisi balance

sheet, perhatikan contoh balance sheet berikut:

Gambar 3.

Neraca (balance sheet)71

Aset Lancar Kewajiban Lancar

Kas dan Sekuritas Utang

Piutang Utang jangka panjang

Persediaan

+ +

Aset Tetap Kewajiban Jangka Panjang

Aset berwujud +

Aset tidak berwujud Ekuitas Pemegang Saham

Dalam neraca (Balance Sheet) tersebut, utang Perseroan

terhadap pihak ketiga tercakup dalam kewajiban (liabilities)

pada bagian kanan. Dalam pembuktian keadaan insolvent

dari suatu Perseroan dapat dianalisis dari balance sheet

tersebut, yaitu dengan melihat perbandingan antara

71 Brealey Myers Marcus, Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan, 2008, Jakarta: Erlangga, hal.58

=

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

73

kewajiban (liabilities) dan modal (equity)72. Jika liabilities >

equity (jumlah utang lebih besar daripada modal), maka

Perseroan tersebut dikategorikan memiliki kemampuan

yang rendah dalam membayar utang. Apalagi jika equity =

0, atau liabilities = 100%, maka Perseroan tersebut

dikategorikan memiliki risiko tinggi (high risk), karena jika

kreditor meminta pelunasan utang, maka jalan keluar

satu-satunya adalah dengan mencairkan aset yang dimiliki

oleh Perseroan tersebut. Inilah salah satu73 asal-muasal

keadaan insolvent debitor dalam membayar hutangnya.

Kebangkrutan (bankruptcy) memiliki persamaan arti

dengan keadaan ketidakmampuan membayar hutang-

hutangnya (insolvency). Kebangkrutan (bankruptcy) dan

ketidakmampuan membayar utang (insolvency)

mempunyai persamaan arti, yaitu keadaan

ketidakmampuan membayar utang karena krisis keuangan

dalam Perseroan. Perbedaannya dikemukakan oleh Ian

Fletcher74, bahwa insolvency adalah kondisi faktual,

sedangkan bankruptcy adalah status hukum:

Distinction between “insolvency” and “bankruptcy”, “insolvency” as a factual condition and “bankruptcy” as a legal condition status.

72 Liabilities dan equity sama-sama merupakan sumber modal Perseroan. Bedanya, liabilities merupakan modal yang bersumber kreditor dalam bentuk pinjaman/utang (payable), sedangkan equity merupakan modal yang bersumber dari investor berupa saham (stock). Wawancara dengan Marwata, SE, MSi. Ph.D, Dosen Akuntansi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2 Mei 2012 73 Selain ketidakmampuan untuk membayar utang (unable to pay), kepailitan bisa

juga terjadi karena ketidakmauan debitor untuk utang (unwilling to pay) 74 Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 4

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

74

Menurut penulis, dalam pranata hukum kepailitan

Indonesia, fungsi balance sheet test dalam pranata hukum

kepailitan di Indonesia, bukan sebagai pembuktian untuk

memperkuat argumen mengenai utang yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih, melainkan untuk pembuktian

dalam usulan perdamaian bahwa Perseroan sebagai

debitor pailit berada dalam keadaan mampu membayar

utang-utangnya (able to pay/solvent).

Pembubaran Perseroan (dissolution) merupakan

penghentian kegiatan usaha perseroan yang tidak

mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum

sampai dengan selesainya likuidasi dan

pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau

pengadilan75 atau pertanggungjawaban kurator diterima

oleh hakim pengawas76. Dengan demikian, kepailitan

merupakan salah satu penyebab bubarnya Perseroan77.

Likuidasi (liquidation) merupakan pemberesan

penyelesaian dan pengakhiran urusan Perseroan setelah

bubarnya Perseroan, apakah bubarnya Perseroan

disebabkan karena jangka waktu yang diatur dalam

Anggaran Dasar telah berakhir, atau karena adanya

keputusan baik keputusan RUPS maupun penetapan

75 Pasal 143 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007) 76 Pasal 142 ayat (2) huruf a UU No. 37 Tahun 2004. Likuidasi dilakukan oleh kurator dalam hal Pembubaran terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah

dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi. Lihat: Pasal 142 ayat (1) huruf e UU No. 37 Tahun 2004 77 Penyebab bubarnya Perseroan ada 6 (enam) hal yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) huruf a-f UU No. 37 Tahun 2004

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

75

pengadilan.78 Dalam hal pembubaran disebabkan oleh

karena Perseroan telah dinyatakan pailit maka kuratorlah

yang melakukan likuidasi. Pemberesan oleh kurator

disebut likuidasi khusus79.

2. Tujuan Hukum Kepailitan Perseroan di Indonesia:

Perbandingan dengan Hukum Kepailitan Amerika

Serikat

Menurut David Milman dan Christopher Durrant80, tujuan

utama (basic aims) Hukum Kepailitan Perseroan di

Amerika Serikat:

a. To protect creditors – e.g., by providing facilities and procedures designed to allow them to enforce their claims against the company;

b. To balance the interests of competing groups on corporate insolvency;

c. To control or punish directors responsible for the financial collapse of the company.

Jika dibuat perbandingan dengan tujuan hukum di

Amerika Serikat, maka tujuan hukum kepailitan Perseroan

di Indonesia:

a. Dalam tujuan pertama, tujuan hukum kepailitan

Indonesia dan AS cenderung sama yaitu bertujuan

untuk melindungi kepentingan kreditor. Hal ini terlihat

dari syarat untuk mengajukan permohonan pailit (Pasal

2 ayat 1) yang sederhana sehingga memudahkan

78 Bandingkan dengan Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, 2011, Griya Media,

Salatiga, hal. 236 79 Lihat Penjelasan Pasal 142 ayat (2) huruf a. 80David Milman dan Christopher Durrant, Corporate Insolvency:Law and Practice, London: Sweet and Maxwell, 1987, hal. 1

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

76

kreditor untuk mempailitkan debitor demi

mendapatkan pelunasan atas piutangnya;

b. Dalam tujuan kedua, tujuan hukum kepailitan

Indonesia dan AS cenderung sama yaitu untuk

menyeimbangkan pembagian hasil boedel pailit

diantara para kreditor, dalam hal ini kreditor konkuren,

setelah kreditor separatis dan kreditor preferen

mendapatkan pemenuhan haknya terlebih dahulu

(Pasal 1132);

c. Dalam tujuan ketiga, tujuan hukum kepailitan

Indonesia dan AS berbeda. Tujuan hukum kepailitan

AS adalah untuk mengontrol atau menghukum Direksi

atas jatuhnya kondisi keuangan Perseroan, sedangkan

di Indonesia, pranata hukum kepailitan tidak sampai

menghukum Direksi atas kepailitan Perseroan. Hal ini

terbukti dari isi putusan Pengadilan Niaga yang tidak

pernah menghukum anggota Direksi Perseroan atas

kepailitan Perseroan tersebut. Anggota Direksi hanya

diminta pertanggungjawabannya apabila kepailitan

terjadi karena perbuatan ultra vires Direksi.

Perbandingan selanjutnya adalah mengenai tujuan adanya

pranata hukum kepailitan di AS adalah untuk

mereorganisasi Perseroan, sebagaimana diatur dalam

Chapter 11 Bankruptcy Code USA. Berikut ini laporan

legislatif USA mengenai tujuan Bankruptcy Code (the goal

of Bankruptcy Code according to legislative report that

accompanied the Bankruptcy Code)81:

81 Rees W. Morrison, Business Opportunities from the Corporate Bankruptcies, USA: John Wiley & Sons, Inc, hal. 44

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

77

“The purpose of a business reorganization case, unlike a bankruptcy liquidation case, is to restructure a business finance so that it may continue to operate, provide its employees with jobs, pay its creditors and produce a return for its stockholders. The premise of a business reorganization is that assets that are used for production in the industry for which they were designed are more valuable than those same assets sold for scrap.”

Menurut penulis, tujuan utama hukum kepailitan

bukanlah untuk reorganisasi Perseroan karena Perseroan

yang telah dipailitkan pada akhirnya akan dibubarkan

secara hukum (dissolution), sehingga eksistensinya sebagai

badan hukum berakhir. Tujuan utama adanya pranata

hukum kepailitan adalah seperti yang telah diuraikan

dalam 3 (tiga) tujuan diatas.

3. Perbedaan Kepailitan Perorangan dan Kepailitan

Perseroan Terbatas

Kepailitan perorangan dan kepailitan Perseroan Terbatas

sama-sama merupakan sita umum atas kekayaan debitor

pailit, namun hal yang menjadikan kepailitan Perseroan

lebih menarik untuk ditelaah adalah implikasi dari sifat

Perseroan sebagai badan hukum (rechts persoon) yaitu

adanya keterpisahan entitas (separate entity) antara

Perseroan dan pemegang saham82, serta adanya tanggung

jawab terbatas; sesuai kewenangan dari Direksi dan

Dewan Komisaris sesuai kewenangan atau tanggung jawab

yang didelegasikan oleh RUPS83.

82 Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 83 Kewenangan diperoleh berdasarkan Residual Theory. Lihat: Tri Budiyono, Op. cit, hal.149

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

78

Matriks 4.

Perbandingan antara Kepailitan Perorangan

dan Kepailitan Perseroan Terbatas

Indikator Kepailitan

Perorangan

Kepailitan

Perseroan Terbatas

Pihak yang

memohonkan pailit

(kreditor)

Badan hukum

atau perorangan

Badan Hukum atau

Perorangan

Pihak yang

dipailitkan

Perseorangan Perseroan

Sifat Termohon

Pailit

Natuurlijk persoon

(Perorangan)/

Human being

(manusia)

Recht persoon

(badan hukum)/

Artificial person

(manusia buatan)

Sumber dana

pembayaran

piutang kepada

debitor

Seluruh kekayaan

debitor pailit (Pasal

1131)

-Perseroan

-Organ Perseroan

(dalam konteks

tertentu yang

melibatkan

pertanggungjawaban

pribadi organ).

“Konteks tertentu yang melibatkan pertanggungjawaban

pribadi organ” dalam sumber dana pembayaran piutang

kepada debitur yang tercantum dalam matriks 4 di atas

adalah hal yang menjadi fokus penelitian ini.

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

79

D. Organ Perseroan Terbatas sebagai Perantara (Agent) bagi

Perseroan untuk Melakukan Tindakan Hukum Dengan

Pihak Ketiga.

Walter Woon84 pernah mengungkapkan:

“A company has no body to be kicked, and no soul to be damned,

no hands with which to work and no mind with which to think… It cannot act by itself. It must work through the medium of some human being…”

Berdasarkan ungkapan Walter Woon di atas, sejatinya

Perseroan sebagai subjek hukum buatan (artificial person)

tidak bisa berbuat apa-apa tanpa keberadaan Organ Perseroan

sebagai Organ Perseron sebagai manusia (human being).

Perseroan memerlukan Organ Perseroan untuk melakukan

tindakan mewakili Perseroan tersebut. Oleh karena itu,

penting untuk mengetahui tanggung jawab organ yang menjadi

perantara (agent) bagi Perseroan untuk melakukan tindakan

hukum dengan pihak ketiga.

Organ Perseroan Terbatas terdiri dari:

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Dewan Komisaris

Direksi

Berikut ini adalah definisi masing-masing Organ Perseroan:

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

RUPS merupakan Organ Perseroan yang mempunyai

wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau

84 Walter Woon dalam Yahya Harahap, Op.cit. hal. 59

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

80

Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UU

ini dan/atau Anggaran Dasar (Pasal 1 angka 4 UU No.40

Tahun 2007). Anggota dari RUPS adalah Pemegang Saham;

2. Dewan Komisaris

Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas

untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau

secara khusus sesuai dengan AD serta memberikan

nasehat kepada Direksi (Pasal 1 angka 6 UU No. 40 Tahun

2007). Dewan Komisaris adalah sebuah badan yang

berisikan Anggota Dewan Komisaris.

3. Direksi

Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan

bertanggung jawab penuh atas Pengurusan Perseroan

sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta

mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar

pengadilan sesuai dengan ketentuan AD (Pasal 1 angka 5

UU No. 40 Tahun 2007). Direksi adalah sebuah badan

yang berisikan Anggota Direksi.

Fokus dari penelitian ini adalah tanggung jawab dari Anggota

Organ Perseroan: Pemegang saham, Anggota Direksi dan

Anggota Dewan Komisaris.

E. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam 5 (lima) Doktrin

Tertransplantasi

Ada beberapa doktrin terkait tanggung jawab Organ Perseroan

dalam kasus-kasus kepailitan yang telah tertranplantasi dalam

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

81

UU No. 40 Tahun 2007. Transplantasi doktrin ke dalam

Undang-undang merupakan salah satu bentuk dari

transplantasi hukum (legal transplant) yang merupakan suatu

keniscayaan dalam pergaulan hukum antar bangsa maupun

antar tradisi hukum. Alan Watson85 mengemukakan definisi

mengenai transplantasi hukum (legal transplant) sebagai

berikut:

“Legal transplant is the moving of a rule or a system of law from one country to another, or from one people to another.”

Definisi transplantasi hukum (legal transplant) tersebut hanya

mencakup transplantasi suatu aturan (rule) atau suatu sistem

(system) hukum. Definisi transplantasi hukum (legal

transplant) yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Tri

Budiyono86:

“Transplantasi hukum adalah pengambilalihan aturan hukum (legal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau

institusi hukum (legal institution) dari suatu sistem hukum ke

sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah

hukum yang lain.”

Kajian beliau terutama mengenai pengambilalihan ajaran

hukum (doctrine) dari common law system ke subsistem

hukum Indonesia, dalam hal ini UU No. 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas menjadi batu pijakan (stepping stone) bagi

penulis untuk mengkaji doktrin-doktrin tersebut terkait

85 Alan Watson, Legal Transplants: An Approach to Comparative Law, 1993,

Georgia: University of Georgia Press, hal. 21 86 Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan,

Studi Transplantasi Doktrin yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, 2009, Salatiga: Griya Media, hal. 11

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

82

tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus-kasus

kepailitan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mendefinisikan “doktrin

tertransplantasi” sebagai “doktrin yang diambilalih dari

common law system ke subsistem hukum Indonesia, dalam hal

ini UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”.

Ada 5 (lima) doktrin tertransplantasi yang akan menjadi batu

pijakan (stepping stone) dalam menganalisis 6 (enam) kasus

kepailitan pada Bab III. Berikut uraian setiap doktrin

tertransplantasi:

1. Doktrin Fiduciary Duty

a. Definisi Fiduciary Duty

Definisi Fiduciary Duty menurut Black’s Law

Dictionary87 adalah:

“Fiduciary duty is a duty to act for someone else’s benefit,

while subordinating one’s personal interests to that of the other person. It is the highest standard of duty implied by law (e.g., trustee, guardian).”

Kewajiban fidusia (fiduciary duty) merupakan tugas

untuk bertindak atas kepentingan orang lain, dengan

cara men-subordinasi-kan kepentingan seseorang

terhadap kepentingan orang lain tersebut. Ini

merupakan tugas dengan standar tertinggi yang

diterapkan dalam hukum. Standar tertinggi yang

87 Lihat: Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal. 625

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

83

dimaksud adalah “amanah”. Fiduciary duty merupakan

sebuah amanah di pundak Anggota Organ Perseroan88.

Titik tolak lahirnya fiduciary duty adalah adanya

kepercayaan (trust) dari pemberi kuasa (principal)

kepada penerima kuasa (agent). Teori pemberian kuasa

dari agent kepada principal ini disebut sebagai Teori

Keagenan. Trust menimbulkan hubungan fidusia

(fiduciary relationship) antara principal dan agent.

Dalam hal ini, Perseroan (pemegang saham) bertindak

sebagai principal dan Anggota Organ Perseroan sebagai

agent.

Fiduciary duty dijabarkan dalam kewajiban untuk

bertindak dengan itikad baik (duty of good faith),

kewajiban untuk melakukan negosiasi secara wajar

(duty of fair dealing), kewajiban untuk memberikan

keterawangan secara penuh (duty of full disclosure),89

dan kewajiban untuk bertindak sesuai dengan

kepentingan Perseroan dan untuk mendahulukan

kepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadi

(duty of loyalty)90.

88 Menurut penulis, fiduciary duty bukan hanya amanah bagi Direksi, melainkan juga Organ Perseroan yang lain: RUPS dan Dewan Komisaris. Hal ini didasarkan pada tertransplantasinya doktrin ini, bukan hanya untuk mengatur tanggung jawab Direksi melainkan juga Dewan Komisaris; lihat penjelasan selanjutnya. Bandingkan dengan Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 30 89 Tri Budiyono, Op.cit, 2011, Salatiga: Griya Media, hal. 39 90 Henry R. Cheeseman, Contemporary Business Law, 2000, Prentice Hall: New

Jersey, hal. 659

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

84

b. Fiduciary Duty sebagai Doktrin Tertransplantasi

Bagi Organ Perseroan

1) Fiduciary duty bagi Anggota RUPS

Fiduciary duty bagi Anggota RUPS tertransplantasi

dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007:

“RUPS mempunyai wewenang yang tidak

diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris,

dalam batas yang ditentukan dalam Undang-

Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007 – catatan

penulis) dan/atau Anggaran Dasar.”

Berdasarkan pasal tersebut, amanah bagi RUPS

adalah menjalankan “wewenang yang tidak

diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris”.

Wewenang tersebut berupa pengambilan

keputusan dalam forum Rapat Umum Pemegang

Saham.

2) Fiduciary duty bagi Anggota Direksi

Fiduciary duty bagi Anggota Direksi

tertransplantasi dalam Pasal 92 ayat (1) jo. Pasal

97 ayat (2) dan Pasal 98 (1) UU No. 40 Tahun 2007:

“Setiap Anggota Direksi wajib melaksanakan

pengurusan Perseroan dengan itikad baik dan

penuh tanggung jawab”

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

85

“Direksi mewakili Perseroan baik di dalam

maupun di luar Pengadilan”

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, amanah bagi

Direksi ada 2 (dua):

1) menjalankan fungsi pengurusan (management)

Perseroan;

2) menjalankan fungsi perwakilan (representative)

baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Kedua amanah bagi Direksi tersebut dilaksanakan

dengan itikad baik (good faith) dan penuh tanggung

jawab (full of responsibility), sesuai dengan maksud

dan tujuan Perseroan (Pasal 92 ayat (1) UU No. 40

Tahun 2007). Melakukan negosiasi secara wajar

(fair dealing), dan memberikan keterawangan

secara penuh (full disclosure) merupakan bentuk-

bentuk dari responsibility Direksi.

3) Fiduciary duty bagi Anggota Dewan Komisaris

Fiduciary duty bagi Anggota Dewan Komisaris

tertransplantasi dalam Pasal 108 ayat (1) jo. Pasal

114 (2) UU No. 40 Tahun 2007:

“Setiap anggota Dewan Komisaris bertanggung

jawab wajib dengan itikad baik, kehati-hatian,

dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas

pengawasan dan pemberian nasihat kepada

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

86

Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108

ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai

dengan maksud dan tujuan Perseroan.”

Berdasarkan pasal tersebut, amanah bagi Dewan

Komisaris ada 2 (dua) yaitu:

a) Menjalankan tugas pengawasan

b) Memberikan nasihat kepada Direksi berkaitan

dengan pengurusan Perseroan.

Amanah tersebut harus dijalankan dengan itikad

baik (good faith), kehati-hatian (prudential), dan

bertanggung jawab (responsible).

Doktrin fiduciary duty sebagai amanah

tertransplantasi dengan baik (well transplanted) dalam

pengaturan mengenai tanggung jawab RUPS, Direksi

dan Dewan Komisaris.

Doktrin fiduciary duty merupakan titik tolak dari

doktrin-doktrin berikutnya terutama pelampauan

wewenangan (ultra vires) dan penyibakan tabir

perseroan (piercing the corporate veil).

2. Doktrin Ultra Vires

a) Definisi Doktrin Ultra Vires

Definisi Ultra vires menurut Black’s Law Dictionary 91

adalah:

91 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal.1522

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

87

“an act performed without any authority to act on subject.”

Ultra Vires didefinisikan sebagai “tindakan yang

dilakukan tanpa otoritas untuk bertindak sebagai

subjek”. Dalam Bahasa Latin, ultra vires berarti “di

luar” atau “melebihi” kekuasaan (outside the power)

yaitu kekuasaan yang diberikan hukum terhadap

suatu badan hukum (dalam hal ini badan hukum

Perseroan diwakili oleh Organ Perseroan dalam

melakukan tindakan hukumnya). Istilah lain yang

seringkali digunakan untuk mendefinisikan ultra vires

adalah “pelampauan wewenang”92.

Ultra vires diterapkan dalam arti luas yakni tidak

hanya kegiatan yang dilarang oleh Anggaran Dasarnya,

tetapi termasuk juga tindakan yang tidak dilarang,

tetapi melampaui kewenangan yang diberikan93.

Doktrin ultra vires memiliki mempunyai basis teori

keagenan. Konstruksi hubungan hukum terjadi antara

pihak principal pada satu sisi dan agent pada sisi yang

92 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 102 93 Loc. cit., Untuk lebih memahami definisi ultra vires, bandingkan antara tindakan ultra vires dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), Pasal 1365 KUH Per. Ultra vires dan PMH sama-sama merupakan tindakan yang menimbulkan kerugian. Perbedaannya yaitu tindakan ultra vires merupakan tindakan di luar

kewenangan, kewenangan mana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun Anggaran Dasar, sedangkan PMH merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian, perbuatan mana tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Page 62: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

88

lain94. Dalam hal ini Organ Perseroan merupakan

agent dan Perseroan merupakan principal. Agent harus

melakukan tindakan dalam batas kewenangannya

(intra vires). Apabila ia bertindak di luar batas

kewenangannya maka Organ Perseroan tersebut

melakukan tindakan ultra vires.

Bagan 7.

Tindakan ultra vires : pelampauan wewenang

Akibat hukum dari tindakan ultra vires adalah

tindakan tersebut batal demi hukum (null and void),

karena tindakan tersebut tidak memenuhi salah satu

syarat objektif sahnya perjanjian yaitu “kausa yang

halal.”

94 Tri Budiyono, Op. Cit., hal. 161

Page 63: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

89

b) Ultra Vires sebagai Doktrin Tertransplantasi bagi

Organ Perseroan

a. Ultra vires RUPS

Ultra vires RUPS (Pemegang Saham)

tertransplantasi dalam Pasal 75 ayat (2) UU No. 40

Tahun 2007:

“Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak

memperoleh keterangan yang berkaitan dengan

Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat

dan tidak bertentangan dengan kepentingan

Perseroan.”

Parafrase “tidak bertentangan dengan kepentingan

Perseroan” menunjukkan bahwa forum RUPS

dalam memperoleh keterangan yang berkaitan

Perseroan harus untuk dalam rangka kepentingan

Perseroan (intra vires). Jika bertentangan dengan

kepentingan Perseroan, maka tindakan tersebut

tergolong ultra vires.

b. Ultra vires Direksi

Ultra vires Direksi tertransplantasi dalam Pasal 92

ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007:

“Direksi berwenang menjalankan pengurusan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan

kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang

ditentukan dalam Undang-Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007 – catatan penulis) dan/atau Anggaran

Dasar.”

Parafrase “dalam batas yang ditentukan dalam UU

ini dan/atau Anggaran Dasar” tersirat adanya

larangan untuk melakukan tindakan di luar batas

Page 64: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

90

yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2007

dan/atau Anggaran Dasar; ultra vires.

c. Ultra vires Dewan Komisaris

Ultra vires Direksi tertransplantasi dalam Pasal 114

(2) UU No. 40 Tahun 2007:

“Setiap anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab

wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan

bertanggung jawab dalam menjalankan tugas

pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan

maksud dan tujuan Perseroan.”

Parafrase “untuk kepentingan Perseroan dan

sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”,

menunjukkan bahwa Dewan Komisaris harus

bertindak intravires dalam melaksanakan tugas

pengawasan dan pemberian nasihat kepada

Direksi.

Dari uraian di atas, penulis mengidentifikasi bahwa

indikator tertransplantasinya doktrin ultra vires dalam

UU No. 40 Tahun 2007 adalah “sesuai dengan maksud

dan tujuan Perseroan”.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana definisi

konkrit dari “maksud dan tujuan Perseroan”? Maksud

dan tujuan Perseroan terjabarkan dalam Anggaran

Dasar Perseroan, sehingga Anggaran Dasar

merupakan sumber sekaligus batas kewenangan

Page 65: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

91

yang paling utama untuk mengukur terlampauinya

kewenangan atau tidak.

c) Batas Tanggung Jawab Organ Perseroan: Penanda

Terlampauinya Kewenangan Organ Perseroan

Batas tanggung jawab Organ Perseroan tercantum

dalam beberapa sumber kewenangan. Sumber

kewenangan organ Perseroan diatur dalam Undang-

Undang, Anggaran Dasar, Putusan RUPS dan Best

Practises yang diilustrasikan dengan bagan berikut95:

Bagan 8.

Sumber Kewenangan Organ Perseroan

Dari bagan tersebut, hendak diilustrasikan bahwa sumber

kewenangan Organ Perseroan adalah berdasarkan

95 Ibid., hal. 145

Best

Practises

Putusan RUPS

AD

UU

Page 66: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

92

Undang-Undang (UU), Anggaran Dasar (AD), putusan

RUPS dan Best Practises. Urutan ini didasarkan pada daya

mengikatnya peraturan yang menjadi sumber kewenangan

Organ Perseroan; semakin ke dalam, daya mengikatnya

semakin kuat.

Tanggung jawab masing-masing Organ Perseroan sejatinya

memiliki batas-batas tertentu. Batas mana yang oleh

tindakan ultra vires dapat tersibak/terterobos (pierced) dan

menyebabkan Organ Perseroan bertanggung jawab sampai

ke ranah tanggung jawab pribadi (Pasal 1131 KUHPer).

Bagan 9.

Batas tanggung jawab Organ Perseroan

Berdasarkan bagan tersebut, tabir Perseroan yang

dimaksud adalah batas kewenangan atau tanggung jawab

Organ Perseroan. Batas tersebut adalah “tanggung jawab

Page 67: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

93

terbatas” bagi pemegang saham dan “tanggung jawab

sesuai kewenangan” bagi direksi dan dewan komisaris.

Selama Organ Perseroan bertindak dalam kewenangannya

(intravires) maka Organ tersebut bertanggungjawab sesuai

kapasitasnya sebagai Organ (Ranah Tanggung Jawab

sebagai Organ Perseroan). Namun apabila Organ tersebut

bertindak di luar kewenangan (ultravires), maka Organ

tersebut bertanggungjawab secara pribadi (Ranah

Tanggung Jawab Pribadi).

Berikut ini adalah uraian mengenai batas tanggung jawab

Organ Perseroan, batas mana yang jika dilanggar akan

mengakibatkan Organ bertanggung jawab secara pribadi.

(1) Batas Tanggung Jawab Anggota Rapat Umum Pemegang

Saham: Tanggung Jawab Terbatas (limited liability)

Anggota Rapat Umum Pemegang Saham adalah pemegang

saham yang pada dasarnya memiliki tanggung jawab

terbatas (limited liability) yakni sebatas jumlah saham yang

dimilikinya; tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Pemegang saham dan Perseroan merupakan entitas yang

terpisah (separated entity). Hal ini diatur dalam Pasal 3

ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007:

“Pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi

atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak

bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham

yang dimiliki.”

Pemegang saham sebagai pemilik memiliki hak kontrol

tidak langsung terhadap kegiatan Perseroan dan atas

Page 68: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

94

segala kebijaksanaan Direksi. Semakin banyak saham

yang dimiliki seorang pemegang saham, semakin besar

pula kekuasaan kontrol yang dimilikinya. Namun,

pemegang saham tidak memikul tanggung jawab atas

pelaksanaan fungsi Direksi96.

Dalam Pasal 3 ayat (1) mengenai tanggung jawab terbatas

(limited liability) pemegang saham, pada hakikatnya

pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi

atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.

Hal ini mempertegas ciri perseroan bahwa pemegang

saham hanya bertanggung jawab sebesar saham yang

dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

(2) Batas Tanggung Jawab Anggota Direksi: Kewenangan

Sesuai Anggaran Dasar, Peraturan Perundang-Undangan

dan Keputusan RUPS

Batas tanggung jawab Anggota Direksi adalah

menjalankan fungsi pengurusan (management) dan fungsi

perwakilan (representative) “sesuai dengan maksud dan

tujuan Perseroan” (Pasal 92 ayat (1) dan “dalam batas yang

ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dan

Anggaran Dasar (Pasal 92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007).

Selain itu, batas tanggung jawab Direksi adalah

berdasarkan keputusan RUPS.

96 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 2009, Jakarta: Sinar Grafika, hal 73

Page 69: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

95

(3) Batas Tanggung Jawab Anggota Dewan Komisaris:

Kewenangan Sesuai Anggaran Dasar, Peraturan

Perundang-Undangan dan Hasil Keputusan RUPS

Batas tanggung jawab Anggota Dewan Komisaris adalah

menjalankan fungsi pengawasan (controlling) dan fungsi

pemberian nasihat (giving advice) kepada Direksi “sesuai

dengan maksud dan tujuan Perseroan” (Pasal 114 ayat (2)

UU No. 40 Tahun 2007). Batas tanggung jawab Direksi

sesuai “maksud dan tujuan Perseroan” adalah kewenangan

sesuai anggaran dasar, peraturan perundang-undangan

dan keputusan RUPS.

3. Doktrin Piercing The Corporate Veil

a. Definisi piercing the corporate veil

Definisi piercing the corporate veil dalam Black’s Law

Dictionary adalah sebagai berikut:

“the judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officer, directors and shareholders for the corporation’s wrongful act.”

Dalam terjemahan bebas, piercing the corporate veil

merupakan tindakan hukum untuk memberlakukan

tanggung pribadi pada Organ Perseroan sebagai

kebalikan dari imunitas sebagai Organ Perseroan atas

kesalahan Perseroan."

Doktrin piercing the corporate veil (lifting the corporate

veil, going behind the corporate veil) berarti menyingkap

atau menerobos tabir Perseroan. Doktrin ini sering

Page 70: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

96

diartikan sebagai suatu proses pembebanan tanggung

jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas

perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu Perseroan

pelaku (badan hukum), tanpa melihat pada fakta bahwa

perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh

Perseroan pelaku tersebut. Dalam hal ini pengadilan

akan mengabaikan status badan hukum dari Perseroan

tersebut serta membebankan tanggung jawab kepada

pihak “pribadi” atau “pelaku” dari Perseroan tersebut

dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas

dari Perseroan sebagai badan hukum.97

Penerapan doktrin piercing the corporate veil secara

umum dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut98:

1) Penerapan Doktrin piercing the corporate veil karena

Perseroan tidak mengikuti formalitas tertentu

2) Penerapan Doktrin piercing the corporate veil

terhadap badan-badan hukum yang hanya terpisah

secara artifisial

3) Penerapan Doktrin piercing the corporate veil

berdasarkan hubungan kontraktual

4) Penerapan Doktrin piercing the corporate veil dalam

hubungan dengan perseroan induk (holding

company) dan anak Perseroan (subsidiary company.

Penerapan doktrin piercing the corporate veil secara

khusus adalah bertanggung jawabnya Organ Perseroan

secara pribadi akibat dari tindakan ultra vires Organ

97 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan

Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti 98 Loc. cit.

Page 71: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

97

Perseroan tersebut. Terterobosnya tabir Perseroan

diakibatkan karena adanya pelampauan wewenang dari

Organ Perseroan, sehingga ultra vires dan piercing the

corporate veil merupakan rangkaian yang saling

berhubungan. Akibat hukum dari terterobosnya tabir

Perseroan adalah Organ Perseroan harus bertanggung

jawab secara pribadi (Pasal 1131 KUH Perdata).

Perhatikan bagan berikut:

Bagan 10.

Penerobosan Tabir Perseroan (piercing the corporate veil) sebagai

akibat dari tindakan ultra vires

b. Piercing the Corporate Veil Anggota RUPS (Pemegang

Saham): Terterobosnya Tanggung Jawab Terbatas

(Limited Liability)

Terterobosnya tanggung jawab terbatas (limited liability)

Pemegang Saham terlihat dalam Pasal 3 ayat (2) dan

Page 72: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

98

Pasal 7 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007. Ada 5 (lima) kondisi maupun tindakan

ultra vires yang menyebabkan limited liability (Pasal 3

ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007) Pemegang Saham tidak

berlaku apabila:

1) Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum

atau tidak terpenuhi;

2) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung

maupun tidak langsung dengan itikad buruk

memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;

3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

Perseroan; atau

4) Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung

maupun tidak langsung secara melawan hukum

menggunakan kekayaan Perseroan, yang

mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak

cukup untuk melunasi utang Perseroan.

5) Pemegang saham kurang dari dua orang dan dalam

jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak

pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang,

pemegang saham yang bersangkutan tidak

mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang

lain99.”

99 Ketentuan pada ayat (5) dan (6) tidak berlaku bagi:

a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau

b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam UU tentang Pasar Modal. Lihat: Pasal 7 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007

Page 73: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

99

c. Piercing the Corporate Veil Anggota Direksi:

Terterobosnya Tanggung Jawab sesuai Kewenangan

Ada 2 (dua) tindakan ultra vires yang menyebabkan

terterobosnya tanggung Jawab sesuai kewenangan dari

Direksi, yaitu:

1) Terjadinya kerugian karena kesalahan atau

kelalaian Anggota Direksi (Pasal 97 ayat (3), (4), dan

(5) UU No. 40 Tahun 2007);

2) Terjadinya kepailitan karena kesalahan atau

kelalaian Anggota Direksi (Pasal 104 ayat (2), (3), (4),

dan (5) UU No. 40 Tahun 2007).

d. Piercing the Corporate Veil Anggota Dewan

Komisaris: Terterobosnya Tanggung Jawab sesuai

Kewenangan

Ada 2 (dua) tindakan ultra vires yang menyebabkan

terterobosnya tanggung Jawab sesuai kewenangan dari

Anggota Dewan Komisaris, yaitu:

1) Terjadinya kerugian karena kesalahan atau

kelalaian Anggota Dewan Komisaris (Pasal 114 ayat

(3), (4), dan (5) UU No. 40 Tahun 2007);

2) Terjadinya kepailitan karena kesalahan atau

kelalaian Anggota Dewan Komisaris (Pasal 115 ayat

(1), (2), dan (3) UU No. 40 Tahun 2007)

Page 74: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

100

4. Doktrin Business Judgement Rule

a. Definisi business judgement rule

Definisi doktrin putusan bisnis (business judgement

rule) menurut Black’s Law Dictionary100:

“This rule immunize management from liability in corporate

transaction undertaken within both power of corporation and

authority of management where there is reasonable basis to

indicate that transaction was made with due care and in good

faith.”

Dalam terjemahan bebas, doktrin putusan bisnis

(business judgement rule) berarti aturan yang

memberikan imunitas bagi yang menjalankan fungsi

pengurusan (Direksi) dari tanggung jawab dalam

transaksi perusahaan yang dilakukan dalam kekuatan

korporasi dan kewenangan pengurusan di mana ada

dasar memadai untuk menunjukkan transaksi yang

dibuat dengan hati-hati dan dengan itikad baik."

b. Business judgement rule sebagai doktrin

tertranplantasi

Berbeda dengan doktrin-doktrin lainnya, business

judgement rule merupakan doktrin yang menguatkan

posisi Direksi. Doktrin ini tertransplantasi dalam Pasal

92 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007:

“Direksi berwenang menjalankan pengurusan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan

kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang

ditentukan dalam Undang-Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007 – catatan penulis) dan/atau Anggaran Dasar”

100 Lihat: Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal. 200

Page 75: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

101

Parafrase “sesuai dengan kebijakan yang dipandang

tepat” mengandung doktrin business judgement rule.

Doktrin ini digunakan untuk melindungi kepentingan

Direksi dari pertanggungjawaban diambilnya

keputusan usaha tertentu yang mengakibatkan

kerugian bagi perseroan.101

5. Doktrin Self Dealing

a. Definisi Self Dealing

Robert W. Hamilton menulis102:

“the danger of self dealing transactions between a corporation and one or more of its director is the risk that the corporation and one or more of its director is the risk that the corporation may be treated unfairly in such transactions.”

Permasalahannya adalah, apakah seorang Anggota

Direksi dapat melakukan transaksi untuk dirinya

sendiri dengan Perseroan dimana dia menjadi

representatornya? Jawaban terhadap permasalahan

inilah yang pada akhirnya melahirkan doktrin self

dealing103.

Transaksi untuk diri sendiri (self dealing)104 yang

merupakan perwujudan dari transaksi yang melekat

kepentingan (interest transaction) oleh Anggota Direksi

suatu Perseroan merupakan suatu transaksi yang

dilakukan oleh Anggota Direksi (langsung atau tidak

langsung) dengan Perseroan itu sendiri. Transaksi self

dealing yang tidak langsung misalnya:

101 Gunawan Widjaya, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 37 102 Robert Hamilton dalam Tri Budiyono, Op. Cit, hal. 195 103 Ibid., hal. 96 104 Munir Fuady, Op.cit. hal. 196

Page 76: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

102

a) Transaksi antara anggota keluarga dari Anggota

Direksi dan Perseroan;

b) Transaksi antara dua perseroan dengan Anggota

Direksi yang sama;

c) Transaksi antara Perseroan dan Perseroan lain

dalam perusahaan mana pihak Anggota Direksi

mempunyai kepentingan finansial tertentu105;

d) Transaksi antara perseroan induk (holding

company) dan anak Perseroan (subsidiary

company.

b. Self Dealing sebagai doktrin tertransplantasi

Doktrin self dealing tertransplantasi UU No. 40 Tahun

2007, salah satunya dalam Pasal 92 ayat (1) Undang-

Undang No. 40 Tahun 2007:

“Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk

kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”

Parafrase “untuk kepentingan perseroan” mengandung

doktrin self dealing. Akibat hukum dari transaksi self

dealing adalah voidable (dapat dibatalkan) karena

transaksi ini dilakukan oleh pihak yang tidak cakap

sebagai subjek; Anggota Direksi sebagai representator

dari Perseroan melakukan transaksi dengan Perseroan.

Berdasarkan penjelasan di atas, kelima doktrin

tersebut tertransplantasi dalam pasal-pasal UU No. 40

105 Misalnya Anggota Direksi terlibat dalam penentuan keputusan Perseroan mengenai jumlah gaji dan komponen penghasilan lain yang akan diterima oleh Direksi. Loc. cit.

Page 77: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

103

Tahun 2007. Berikut rekapitulasi mengenai kelima

doktrin tertransplantasi terkait tanggung jawab Organ

Perseroan:

Tabel 5

Rekapitulasi Doktrin Tertransplantasi terkait

Tanggung Jawab Organ Perseroan

No. Doktrin Organ Perseroan terkait Tertransplantasi pada Pasal .... UU

No. 40 Tahun

2007

Anggota RUPS

Anggota Direksi

Anggota Dewan

Komisaris

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Fiduciary Duty √

75 (1)

92 (1)

97 (2)

98 (1)

108 (1)

114 (2)

2. Ultra Vires √

75 (2)

92 (2)

114 (2)

3. Piercing The Corporate Veil

3 (2)

97 (3), (4), (5)

104 (2), (3), (4), (5)

114 (3), (4), (5)

115 (1), (2), (3)

4. Business Judgement Rule

√ 92 (2)

5. Self Dealing √

72 (2)

92 (1)

108 (2)

Page 78: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

104

F. Pengaturan mengenai Tanggung Jawab Organ Perseroan

dalam Kepailitan

Tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus kepailitan

secara khusus tertransplantasi dalam UU No. 40 Tahun 2007

(vide Matriks 5). Berikut ini, tanggung jawab masing-masing

Organ Perseroan dalam kepailitan.

1. Tanggung Jawab Pemegan Saham Dalam Kepailitan

Perseroan

a. Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham dalam

Kepailitan

Pada dasarnya tanggung jawab Anggota Rapat Umum

Pemegang Saham yaitu Pemegang Saham adalah

tanggung jawab terbatas (limited liability) yakni

sebatas jumlah saham yang dimilikinya; tidak

meliputi harta kekayaan pribadinya. Pemegang

saham dan Perseroan merupakan entitas yang

terpisah (separated entity). Hal ini diatur dalam Pasal

3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007:

“Pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama

Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian

Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”

Pemegang saham sebagai pemilik memiliki hak

kontrol tidak langsung terhadap kegiatan Perseroan

dan atas segala kebijaksanaan Direksi. Semakin

banyak saham yang dimiliki seorang pemegang

saham, semakin besar pula kekuasaan kontrol yang

Page 79: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

105

dimilikinya. Namun, pemegang saham tidak memikul

tanggung jawab atas pelaksanaan fungsi Direksi106.

Begitu pula halnya dengan kepailitan Perseroan. Jika

ternyata kepailitan Persersoan tersebut terbukti

disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian Direksi

maka pemegang saham tidak ikut memikul tanggung

jawab atas kesalahan atau kelalaian tersebut.

b. Hal-hal yang menghapus tanggung jawab terbatas

Pada keadaan dan peristiwa tertentu, tanggung jawab

terbatas (limited liability), secara kasuistis dihapus

dengan cara menembus atau menyibak tembok atau

tabir Perseroan atas tanggung jawab terbatas (limited

liability) sampai ke ranah tanggung jawab pribadi.

Doktrin yang memberlakukan tanggung jawab pribadi

Organ Perseroan yaitu doktrin piercing the corporate

veil. Konsekuensi hukum dari penerobosan tabir

Perseroan (piercing the corporate veil) tersebut107:

1) hilang atau hapusnya tabir tanggung jawab

terbatas pemegang saham yang digariskan Pasal

3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007;

2) dengan sendirinya pemegang saham ikut

memikul risiko bersama-sama dengan Perseroan

membayar utang Perseroan dari harta pribadi

pemegang saham yang bersangkutan.

106 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, 2009, Jakarta: Sinar Grafika, hal 73 107 Ibid., hal. 76

Page 80: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

106

Hal-hal yang menghapus tanggung jawab terbatas

(limited liability) pemegang saham108; piercing the

corporate veil dapat diterapkan dalam hal-hal sebagai

berikut, berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40

Tahun 2007:

1) Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum

belum atau tidak terpenuhi

Apabila Perseroan belum atau tidak memenuhi

syarat dan prosedur sebagai badan hukum maka

akibat hukumnya, semua pendiri dan pemegang

saham bertanggung jawab secara pribadi (personal

liability) terhadap segala tindakan Perseroan.

Mengenai tanggung jawab atas perbuatan atas

nama Perseroan yang belum memperoleh status

badan hukum, merujuk pada ketentuan Pasal 14

UU No. 40 Tahun 2007 yaitu apabila perbuatan

tersebut dilakukan oleh semua pendiri, semua

anggota direksi dan semua anggota dewan

komisaris maka mereka bertanggung jawab secara

tanggung renteng (jointly and severally liable),

namun apabila perbuatan hukum tersebut

dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan maka

perbuatan hukum itu menjadi tanggung jawab

pribadi (personal liability).

108 Loc. cit.

Page 81: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

107

2) Pemegang saham yang bersangkutan baik

langsung maupun tidak langsung secara

melawan hukum menggunakan kekayaan

Perseroan untuk kepentingan pribadi

Dalam teori dan praktik diketegorikan sebagai

dominasi yakni pemegang saham tersebut

dominasi atau berkuasa mengatur atau

mengontrol Perseroan, dimana dominasi tersebut

digunakan oleh pemegang saham untuk tujuan

yang tidak wajar (improper purpose). Dominasi

pemegang saham dianggap terjadi dalam suatu

perbuatan hukum yang dilakukan Perseroan,

apabila Perseroan tersebut diperalat atau menjadi

wakil (agent) dari individu pemegang saham,

biasanya terjadi apabila pemegang saham juga

menjabat sebagai anggota direksi.

Dominasi pemegang saham saja tidak cukup

untuk menjadi dasar penerapan piercing the

corporate veil. Unsur lain yang perlu dibuktikan

adalah adanya “itikad buruk” (bad faith) atau

dominasi “tidak wajar” (improper use) atas

Perseroan. Itikad buruk atau penggunaan tidak

wajar tersebut dianggap terjadi apabila terdapat

indikasi berikut109:

109 Metzger, et.al., Business Law and The Regulatory Environment, Concepts

and Cases, dalam Yahya Harahap, Op.cit, hal 76-78

Page 82: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

108

a) Menipu kreditor (defrauding creditor)

Dengan cara mentransfer asset Perseroan

kepada diri pemegang saham atau afiliasinya di

luar dasar dan pertimbangan yang tepat

b) Kapital tipis (thin capitalization)

Perseroan mengalami kapital tipis (thin

capitalization) apabila Perseroan mengalami

kekurangan modal (under capitalization). Untuk

menipu kreditor, Perseroan atas kendali atau

bekerja sama dengan pemegang saham

dominan, kekurangan modal itu diubah

dengan cara meninggikan atau meningkatkan

debt to equity ratio (DER). Jadi rasio utang

terhadap ekuitas ditinggikan.

c) Perampokan (looting)

Mentransfer aset Perseroan kepada pemegang

saham, transfer mana merupakan perjanjian

transaksi yang berlawanan dengan hukum

antara Perseroan dengan pemegang saham,

sehingga merugikan kreditor. Misalnya

pemegang saham yang sekaligus anggota

direksi melakukan pembayaran atas utang

pribadi pemegang saham dengan

menggunakan aset Perseroan, sehingga

mengakibatkan Perseroan tidak mampu

membayar utang kepada kreditor. Dalam kasus

seperti ini, tanggung jawab terbatas (limited

liability) pemegang saham tersebut patut

Page 83: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

109

dihapus dan oleh karena itu secara pribadi ikut

memikul tanggung jawab utang terhadap

kreditor.

d) Mengakali peraturan perundang-undangan

(circumventing statute)

Perseroan tidak boleh melanggar peraturan

perundang-undangan dan tidak boleh terlibat

melakukan tindakan yang dilarang. Untuk

menghindari larangan tersebut Perseroan

mengakali larangan tersebut. Misalnya

Perseroan dilarang melakukan usaha retail di

suatu tempat. Untuk mengakali larangan itu,

Perseroan mendirikan Perseroan Anak

(subsidiary) yang dapat melakukan usaha retail

di tempat itu, dimana seluruh asetnya dimiliki

oleh Perseroan tersebut. Dalam kasus ini,

hapus tanggung jawab terbatas (limited liability)

Perseroan tersebut sebagai pemegang saham

terhadap subsidiary tersebut; Perseroan

tersebut bukan lagi entitas yang terpisah

(separated entity) dengan subsidiary tersebut.

e) Menghindari kewajiban yang ada (avoiding

an existing obligation)

Perseroan seringkali mencoba menghindari

kewajiban yang telah ada (existing obligation).

Misalnya untuk menghindari memenuhi

tanggung jawabnya atas perjanjian yang dibuat

Page 84: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

110

dengan pihak ketiga (kreditor). Cara yang

sering dilakukan adalah dengan mendirikan

Perseroan baru atau Perseroan Anak

(subsidiary). Subsidiary tersebut menyatakan

tidak punya sangkut-paut dengan Perseroan

lama atau Perseroan Induk (Parent Company).

Dalam kasus demikian, meskipun antara

Perseroan lama (Perseroan Induk) dan

Perseroan Baru (Perseroan Anak) berlaku

prinsip keterpisahan entitas (separate entity),

akan tetapi karena dalam kasus tersebut jelas

ada indikasi unsur itikad buruk (bad faith) dan

penggunaan tidak wajar (improper use) atas

Perseroan baru, maka hapus tanggung jawab

terbatas (limited liability) dan kepada Perseroan

baru dapat diterapkan doktrin piercing the

corporate veil terhadap utang Perseroan lama.

3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat

dalam perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh Perseroan

Dasar yang ketiga untuk menyibak tabir tanggung

jawab terbatas (limited liability) pemegang saham

adalah apabila pemegang saham terlibat atau

bersekongkol dengan Perseroan melakukan

perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan

kerugian kepada pihak lain. Yang perlu

dibuktikan adalah adanya fakta yang

menunjukkan keterlibatan pemegang saham

Page 85: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

111

dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan

Perseroan

4) Pemegang saham yang bersangkutan baik

langsung maupun tidak langsung secara

melawan hukum menggunakan kekayaan

Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan

Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi

hutang Perseroan

Dasar alasan ini termasuk perampokan atau

perampasan (looting) harta kekayaan yang

dijelaskan di atas.

Berdasarkan penjelasan di atas tanggung jawab Pemegang

Saham dalam kepailitan dapat disimpulkan dalam bagan

berikut.

Bagan 11.

Tanggung Jawab Pemegang Saham dalam Kepailitan

Page 86: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

112

2. Tanggung Jawab Anggota Direksi Dalam Kepailitan

Perseroan

a. Direksi bertanggung jawab Secara Tanggung Renteng

terhadap Seluruh Kewajiban yang Tidak Terlunasi

dari Harta Pailit

Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh

debitor sendiri (voluntary petition) atau diajukan oleh

pihak ketiga (involuntary petition), tanggung jawab

Anggota Direksi Perseroan adalah sebagai berikut,

sebagaimana diatur dalam Pasal 104 ayat (2) UU No. 40

Tahun 2007:

“Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau

kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk

membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan

tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng

bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.”

Dari Pasal tersebut terdapat 2 (dua) syarat, agar

Anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban

secara tanggung renteng dalam kepailitan Perseroan

yaitu apabila:

1) Kepailitan itu terjadi karena kesalahan atau

kelalaian anggota Direksi;

2) Harta pailit (boedel pailit) tidak cukup untuk

membayar seluruh kewajiban utang kepada para

kreditor.

Dalam hal kedua syarat tersebut di atas terpenuhi

maka setiap Anggota Direksi bertanggung jawab secara

Page 87: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

113

tanggung renteng (jointly and severally liable) terhadap

kewajiban pembayaran utang yang tidak terlunasi dari

harta Perseroan yang dipailitkan tersebut.

Tanggung jawab secara tanggung renteng tersebut,

berlaku juga terhadap Anggota Direksi yang salah atau

lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi

dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum penetapan

pernyataan pailit diucapkan.

b. Hal yang Membebaskan Anggota Direksi dari

Tanggung Jawab Secara Tanggung Renteng Atas

Kepailitan Perseroan

Anggota Direksi dapat terbebas dari tanggung jawab

secara tanggung renteng (jointly and severally liable)

dengan syarat, apabila anggota Direksi tersebut dapat

membuktikan hal-hal berikut:

1) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau

kelalaiannya

2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik,

kehati-hatian dan penuh tanggung jawab untuk

kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud

dan tujuan Perseroan;

3) Tidak mempunyai benturan kepentingan (conflict of

interest) baik langsung maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan yang dilakukan;

4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah

terjadinya kepailitan.

Page 88: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

114

Hal-hal tersebut secara kumulatif harus dibuktikan

oleh Anggota Direksi agar Anggota Direksi tersebut

dapat terbebas dari tanggung jawab secara tanggung

renteng (jointly and severally) tersebut.

Pembuktian bahwa “kepailitan bukan karena kesalahan

atau kelalaian-nya (anggota Direksi –penulis)”

merupakan pembuktian dengan prinsip “siapa

mendalilkan, dia yang membuktikan” (he who asser,

must proof) sesuai dengan prinsip hukum pembebanan

pembuktian (burden of proof) pada Pasal 163 HIR dan

1865 KUH Perdata. Apabila permohonan diajukan

terhadap Anggota Direksi atas dalil telah salah atau

lalai mengurus Perseroan yang mengakibatkan

Perseroan pailit, maka sesuai dengan prinsip he who

asser, must proof maka pemohon harus membuktikan

dalil tentang kesalahan atau kelalaian Direksi tersebut.

Sebaliknya, jika anggota Direksi mengajukan dalil

bantahan bahwa ia beritikad baik (duty of good faith),

berhati-hati (duty of care), penuh tanggung jawab

dengan cara seksama (duty of diligence), serta sesuai

dengan maksud dan tujuan Perseroan, maka

kepadanya dipikulkan beban untuk membuktikan dalil

bantahannya tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tanggung jawab

Anggota Direksi dalam kepailitan dapat disimpulkan melalui

bagan berikut:

Page 89: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

115

Bagan 12.

Tanggung Jawab Anggota Direksi dalam Kepailitan

3. Tanggung Jawab Anggota Dewan Komisaris Dalam

Kepailitan Perseroan

a. Faktor yang Menyebabkan Anggota Dewan Komisaris

Bertanggung Jawab Atas Kepailitan Perseroan

Dalam Pasal 115 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007

disebutkan bahwa:

“Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan

pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan

oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk

membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan

tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota

Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.”

Page 90: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

116

Dari Pasal tersebut terdapat dua faktor yang

menyebabkan anggota Dewan Komisaris bertanggung

jawab atas kepailitan Perseroan:

1) Kepailitan terjadi karena kesalahan atau

kelalaian pengawasan yang dilakukan oleh Dewan

Komisaris

Faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan

Komisaris untuk ikut bertanggung jawab atas

kewajiban Perseroan, apabila kepailitan terjadi

akibat kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris

melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian

nasihat kepada pengurusan yang dijalankan

Direksi.

2) Harta kekayaan Perseroan tidak mencukupi

membayar seluruh kewajiban

Syarat kedua adalah jika ternyata harta kekayaan

Perseroan setelah dinyatakan pailit (boedel pailit)

tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban

atau dengan kata lain hutang lebih tinggi daripada

asset. Dalam hal demikian, setiap anggota Dewan

Komisaris ikut bertanggung jawab secara tanggung

renteng untuk membayar kewajiban yang belum

terlunasi dari harta kekayaan Perseroan.

Tanggung jawab secara tanggung renteng yang

dijelaskan di atas berlaku juga bagi anggota Dewan

Page 91: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

117

Komisaris yang sudah tidak menjabat selama 5

(lima) tahun sebelum putusan pailit diucapkan,

asalkan kedua syarat di atas terpenuhi.

b. Faktor yang Menyebabkan Gugurnya Tanggung

Jawab Anggota Dewan Komisaris Dalam Kepailitan

Perseroan

Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 memberi

kemungkinan kepada anggota Dewan Komisaris untuk

membebaskan diri dari keikutsertaan bertanggung

jawab secara tanggung renteng (jointly and severally

liable) atas kepailitan Perseroan. Syarat yang dapat

membebaskannya, tergantung pada kemampuannya

untuk membuktikan hal-hal sebagai berikut:

1) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau

kelalaiannya;

2) Telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad

baik dan kehati-hatian untuk kepentingan

Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

Perseroan;

3) Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik

langsung maupun tidak langsung atas tindakan

pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan

kepailitan;

4) Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk

mencegah terjadinya kepailitan.

Page 92: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

118

Syarat pembebasan tanggung jawab secara tanggung

renteng tersebut bersifat kumulatif bukan alternatif.

Oleh karena itu, supaya dapat bebas dari tanggung

jawab atas secara tanggung renteng tersebut, anggota

Dewan Komisaris Perseroan harus mampu

membuktikan keempat hal tersebut di atas.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka tanggung jawab

Anggota Dewan Komisaris dalam Kepailitan adalah sebagai

berikut:

Bagan 13.

Tanggung Jawab Anggota Dewan Komisaris dalam Kepailitan

Demikian Tinjauan Pustaka yang akan digunakan untuk

menganalisis tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus-

kasus kepailitan dalam Bab selanjutnya.