hukum kejahatan bisnis

12
HUKUM KEJAHATAN BISNIS 1. Aspek Hukum Pidana a. Aspek pidana kasus ini terletak pada klausul yang menyatakan bahwa aturan perdata tidak serta merta meniadakan pidana. Aturan ini merupakan aturan umum dalam prinsip hukum yang disepakati semua narasumber dalam penelitian in Out of Court Settlement umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapahal sebagai berikut: sebagai penentukeluaran akhirdarisuatukasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi/pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pih tertentu, sekaligus (tidak dalam semua hal dilanjutkan dengan permintaan pelaku/pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. !stilah umum yang populer adalah dilakukannya "perdamaian# dalam perkara pelanggaran hukum pidana. 1 $euntunganutama daripenggunaanA%& dalam menyelesaikan kasus'kasus pidana adalahbahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelakudan korban. $euntunganlain yang juga amat menonjoladalah biaya yang murah. ebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak p menawarkan kompensasi yang dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. %engan demikian, keadilan menjadi buah darikesepakatan bersama ant para pihak sendiri, yaitupihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Pemerintah sesungguhnya telahmemperkenalkan A%& dalam sistem hukum pidana, yakni melalui !npres )o. * +ahun -- tentang pemberian aminan $epastian Hukum kepada %ebitur yang +elah enyelesaikan $ewajibannya 1 eliala, Adrianus. Penyelesaian engketa alternatif: Posisi dan Potensinya di !ndonesi --*, diunduh dari: www.adrianusmeliala.0om/files/pub /fpub -* --2-23 -

Upload: rinofebrianto

Post on 02-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kejahata bisnis

TRANSCRIPT

HUKUM KEJAHATAN BISNIS

1. Aspek Hukum Pidanaa. Aspek pidana kasus ini terletak pada klausul yang menyatakan bahwa aturan perdata tidak serta merta meniadakan pidana. Aturan ini merupakan aturan umum dalam prinsip hukum yang disepakati semua narasumber dalam penelitian ini. Out of Court Settlement umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi/pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, sekaligus (tidak dalam semua hal) dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku/pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya perdamaian dalam perkara pelanggaran hukum pidana.[footnoteRef:1] [1: Meliala, Adrianus. Penyelesaian Sengketa alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia, 11 Juli 2008, diunduh dari: www.adrianusmeliala.com/files/pub2/fpub2_22082007075220]

Keuntungan utama dari penggunaan ADR dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan/disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah darikesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Pemerintah sesungguhnya telah memperkenalkan ADR dalam sistem hukum pidana, yakni melalui Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Sebagai suatu kebijakan, maka kelemahan dari kebijakan release and discharge (R &D) ini terlihat dari kurang kuatnya landasan hukum pelaksanaan R & D itu sendiri. Seharusnya, kebijakan R & D dituangkan dalam undang-undang dan diatur secara komprehensif menjadi suatu bentuk alternatif penyelesaian perkara-perkara non pidana. Betapapun demikian, secara substantif, konsep R & D merupakan langkah maju dalam sistem hukum pidana yang mengarah kepada alternative dispute resolution system.[footnoteRef:2] [2: Darus, Mariam, Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi Keuangan di Luar Pengadilan, Kertas kerja disajikan pada Seminar dan LokakaryaPembangunan Hukum Nasional Ke VIII, Bali, tanggal 14 s/d 18 Juli 2003]

Hal ini penting untuk ditekankan mengingat konstruksi hukum pidana Indonesia sebenarnya tidak mengenal model penyelesaian perkara pidana melalui ADR. Sebagaimana dapat terlihat, dalam hal perkara perselisihan yang termasuk bidang hukum non-hukum pidana sekalipun, model ADR ditempatkan sebagai alternatif terakhir. Pertama-tama perlu dijelaskan bahwa kasus-kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut : Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara atau dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Disamping itu, ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya. Kedua, tindak pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi. Dalam hukum pidana, model penyelesaian seperti ini dikenal dengan nama pendekatan restoratif (restorative approach) dan rehabilitatif (rehabilitative approach). Suatu model baru yang diharapkan dapat dimasukkan sebagai salah satu model penyelesaian dalam sistem hukum pidana kita. Tentu saja, di samping model penyelesaian represif dan preventif. Pendekatan restoratif lebih bertujuan memulihkan keadaan yang bermasalah atau mengalami ketidakseimbangan agar menjadi tidak bermasalah atau tercapai keselarasan dan kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Dalam hal ini adalah keseimbangan ekonomi makro di tengah krisis keuangan negara.[footnoteRef:3] [3: Ibid]

b. R&D memiliki dasar hukum yang kuat yaitu Tap MPR No X Tahun 2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara dan UU No 25 Tahun 2002 tentang Propenas. Disamping itu Jaksa Agung pada saat itu juga berpendapat sama bahwa Kejagung tidak akan menuntut obligor bermasalah yang telah memperoleh R&D. Hal itu dikarenakan Kejagung mempunyai kewenangan untuk menghentikan proses penuntutan suatu perkara. Kewenangan itu disebut asas oportunitas yang isinya pertimbangan demi kepentingan umum. alur pidana memberikan dasar pembenar, dasar pemaaf dan dasar penghapus dan salah satunya yaitu pertimbangan demi kepentingan umum. Bahwa release and discharge adalah sebuah policy science atau kebijakan publik. Inpres No 8/2002 pada hakekatnya merupakan suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintahan dengan berbagai pertimbangan sesuai kondisi saat itu. Inpres tersebut ditujukan untuk memberikan kepastian hukum, berupa penerbitan SKL untuk 5 obligor MSAA dan 17 obligor PKPS/APU, serta memberi landasan tindakan hukum penanganan obligor yang tidak kooperatif.c. Asas ultimum remedium tersebut memiliki pemaknaan bahwa apabila suatu perkara dapat ditempuh melalui jalur lain seperti hukum perdata ataupun hukum administrasi hendaklah jalur tersebut ditempuh sebelum mengoperasionalkan hukum pidana. Penerapan asas ultimum remedium digunakan dalam kasus BLBI dapat dikatakan tepat karena penegakan hukum pidana dalam kasus BLBI harus mempertimbangkan konteks situasi ekonomi dan sosial dari eksistensinya dalam kehidupan masyarakat.[footnoteRef:4] [4: Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana , Buku 1, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 2013. Hlm.137]

d. Hukum pidana tidak difungsikan secara primum remidium atau sebagai pilihan utama karena pemerintah ingin mengembalikan atau mengatasi membesarnya kerugian negara dengan cara penyelesaian diluar pengadilan atau out of court settlement dan tidak akan efektifnya para debitur dalam mengembalikan uangnya kepada negara apabila berada dalam penjara.2. Aspek Hukum Perdataa. Pada saat perjanjian-perjanjian diadakan diantara kedua belah pihak maka perjanjian itu murni tunduk pada hukum perjanjian yang diatur didalam KUHPerdata. Perjanjian-perjanjian tersebut tunduk pada asas-asas, antara lain, asas Pacta Sunt Servanda, asas kebebasan mengadakan perjanjian, asas keseimbangan, asas persamaan, asas itikad baik. Perjanjian yang sudah mempunyai kekuatan mengikat tidak boleh dirubah secara sepihak kecuali jika ada alasan yang ditentukan oleh undang-undang.[footnoteRef:5] Untuk kegiatan-kegiatan dalam bidang ekonomi dan keuangan yang didalamnya terdapat penyertaan modal Negara dan Negara terancam bahaya, maka jika sengketa yang terjadi diselesaikan diluar pengadilan (Out of Court Settlement (OCS)) maka acuannya tidak kepada hukum perdata tetapi mengacu kepada hukum publik. Untuk memenuhi asas legalitas (rechtsvaardigheid) diciptakan undang-undang seperti UU PUPN, UU Perbankan dan UU Pasar Modal. Secara formal hal itu dapat dibenarkan sebagai sesuatu hal yang sah tetapi secara materiil jika dilihat dari sistem hukum yang berlaku maka terjadi penerobosan sistem oleh hukum publik terhadap hukum perdata. Alasan pembenar itu didasarkan pada situasi darurat yang membahayakan kepentingan umum.[footnoteRef:6] [5: Darius< Mariam, LocCit.] [6: Ibid]

b. Berdasarkan Pasal 1320 dan 1321 KUHPer, maka perjanjian MSAA dengan memasukan klausula RD dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Batal demi hukum, karena adanya klausula dalam kedua perjanjian tersebut yang meniadakan sanksi pidana, dimana keadaan ini bertentangan dengan undang-undang. Dan Dilihat dari aspek pidana pun, MSAA sebagai bentuk perjanjian adalah batal demi hukum (void), yakni apabila ketentuanRelease and Dischargediinterpretasikan sebagai membebaskan debitor dari tanggung jawab pidana, karena hal tersebut bertentangan dengan asas kepatutan/keadilan dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam hal ini Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan.c. Kesepakatan MSAA tersebut merupakan maksud baik pemerintah dalam mencari solusi penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK dengan menuntut niat baik obligor secara out of court settlement (diluar putusan pengadilan) yang mungkin dianggap dapat lebih efektif dalam mengembalikan kerugian negara.d. Terhadap permasalahan pertama, dapat dijelaskan bahwa pengaturan gugatan perdata dimungkinkan di dalam UU PTPK didasarkan alasan-alasan bahwa penyelesaian perkara korupsi secara pidana tidak selalu berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara, disamping tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang Iuar biasa yang memerlukan penanganan dengan cara yang luar biasa. Tujuan gugatan perdata secara filosofis untuk memaksimalkan pengembalian keuangan negara dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat.Dasar legitimasi gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi terletak pada timbulnya kerugian, dalam hal ini keuangan negara, yang harus dikembalikan. Pengembalian keuangan negara yang dikorupsi tersebut dilakukan dengan cara menggugat perdata. UU PTPK tidak mengatur mekanisme gugatan perdata meskipun memungkinkan dilakukannya gugatan perdata.Prinsip gugatan perdata dalam perkara korupsi secara umum mengikuti ketentuan yang diatur dalam HIR UU PTPK hanya mengatur beberapa hal, yang dapat dikatakan sebagai ikhwal yang spesifik, sekaligus merupakan karakteristik gugatan perdata yang membedakan dari gugatan perdata pada umumnya. Letak perbedaan itu karena gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dilakukan setelah upaya pidana tidak mungkin lagi dilakukan karena dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu yaitu adanya unsur tidak cukup bukti, tersangka atau terdakwa meninggal dunia dan karena adanya putusan bebas, sebagaimana ketentuan Pasal 32, 33, 34 UU PTPK.3. Aspek Hukum Administrasi Negaraa. Peran hukum admnistrasinegara tidak didahuhulukan oleh BI karena BLBI adalah kebijakan Pemerintah. BLBI bukan kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia, semata-mata adalah pelaksana dari suatu kebijakan Pemerintah. Sebagai bukti dari argumentasi di atas, adalah bahwa atas penyaluran BLBI, Bank Indonesia mengalihkan tagihan kepada penerima BLBI menjadi tagihan Pemerintah melalui Badan yang khusus dibentuk Pemerintah untuk itu yang bernama Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk oleh Pemerintah dengan Keppres nomor 27 dan no. 34 tahun 1998.[footnoteRef:7] Tugas Pokok BPPN misalnya antara lain adalah untuk merestruktusisasi sektor sperbankan secara keseluruhan sejalan dengan program yang diformulasikan oleh Bank Indonesia. Dengan demikian, tidak mudah untuk memilah antara tanggungjawab Pemerintah maupun tanggungjawab Bank Sentral sehubungan dengan krisis yang terjadi dengan BLBI. [7: Pengalihan Badan/ lembaga yang menerima pelunasan BLBI diatur dalam SK Direksi BI nomor 31/27/Kep/Dir.]

Dalam hal penyaluran BLBI, bank Indonesia berkilah dan berlindung di balik berbagai aturan normatif sebagai berikut :1) Rush terhadap salah satu bank dapat mengakibatkan berkurangnya dana dalam sistem perbankan, yang pada gilirannya akan berpengaruh (contagion effect) yang memberikan efek domino terhadap bank-bank lain dalam sistem perbankan nasional2) Adanya program penjaminan pemerintah terhdapa simpanan nasabah di bank-bank nasional memungkinkan Bank Indonesia secara otomatis memberikan BLBI kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas3) Pemberian BLBI oleh Bank Indonesia kepada bank bank adalah untuk menolong sistem perbankan nasional.b. Dapat karena BPPN menjalankan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana yang diinstruksikan dalam INPRES No. No8/2002 dan juga berdasarkan Tugas Pokok BPPN misalnya antara lain adalah untuk merestruktusisasi sektor sperbankan secara keseluruhan sejalan dengan program yang diformulasikan oleh Bank Indonesia.c. Ultra Viresadalah istilah Latin yang berarti melampaui, melebihi kewenangan atau kekuasaan yang dimilikinya. Padanan katanya beyond the powers. Apabila perbuatan kekuasaan dari otoritas publik atau privat dianggap berlebihan atau melampau kekuasaan yang dimilikinya, maka perbuatannya, sebuah peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang dikeluarkan adalah tidak sah. Hukum Administrasi Negara memiliki pandangan yang lebih beragam. Bidang hukum ini mengenal ultra vires dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit, ultra vires terjadi bilamana pejabat tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan atau membuat keputusan dengan prosedur yang cacat Pengertian ultra vires yang luas berlaku apabila terdapat penyalahgunaan wewenang.Dalam hal tindakan BPPN tidaklah melampau kewenangnya dalam memberikan jaminan kepastian hukum dan tindakan yang bersifat pidana maupun perdata karena kewenangannya tersebut telah diberikan melalui INPRES (instruksi presiden) sehinnga dalam menjalankan kewenangannya tersebut telah mempunyai payung hukum yang kuat.d. 4. Aspek Kebijakan Kriminala. Politik kriminal merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Sebagai usaha untuk menanggulangi tindak pidana, maka politik kriminal merupakan bagian daripolitik sosial, yakni usaha setiap masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.[footnoteRef:8] [8: Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995]

Yang sering dilupakan orang adalah seolah-olah terjadi pemisahan yang absolut antara penegakan hukum pidana, penegakan hukum administrasi dan penegakan hukum perdata. Padahal dilihat dari sistem hukum nasional, ketiga-tiganya mempunyai kedudukan sebagai sub-sistem yang membawa konsekuensi tidak boleh bertentangan satu sama lain bahkan harus saling mendukung. Ahli hukum pidana, Sudarto menguraikan terdapat 3 arti mengenai kebijakan kriminal :[footnoteRef:9] [9: Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, 1996]

1) Keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana (dalam arti sempit); 2) Keseluruhan fungsi dari aparat penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi (dalam arti luas); 3) Keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.Melihat definisi kebijakan kriminal dari kedua ahli hukum diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan kriminal tidak terbatas pada bidang kriminal atau hukum saja, melainkan juga meliputi bagian-bagian lain sebagai satu kesatuan seperti politik, ekonomi dan sosial. Hal itu tidak terlepas dari tujuan akhir yang sama dari berbagai kebijakan tersebut.Berdasarkan pendapat tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa penerapan pola MSAA (dengan klausula RD), MRNIA dan APU cukup efektif untuk mmengembalikan uang negara yang hilang dalam kasus BLBI. b. Pemerintah ingin segera ada penyelesaian yang jelas dan tegas terhadap para obligor BLBI yang bermasalah. Untuk merealisasikan keinginan itu pemerintah mengeluarkan Intruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jamian Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (release and discharge). Isi dari Inpres No. 8 Tahun 2002 dinyatakan bahwa debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang Saham, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukumatau lebih dikenal dengan surat keterangan lunas. Para debitur yang nyatanyata melanggar hukum, seperti melanggar Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK) tidak akan dituntut secara hukum jika mengembalikan sejumlah dana kepada Pemerintah.[footnoteRef:10] [10: Iskandar, S Eka (2008). Prinsip Pengembalian Keuangan Negara akibat Tindak Pidana Korupsi melalui Gugatan Perdata. Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: Universitas Airlangga.]

Pemerintah bermaksud membebaskan mereka jika bersedia melunasi 100 persen utang-utangnya. Obligor yang telah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) diberi release and discharge (bebas dari segala proses hukum jika utang lunas), meskipun kemudian Pemerintah mengatakan bahwa pemilik Surat Keterangan Pembayaran Kewajiban (SKPK) akan dikesampingkan kasus hukumnya. Prioritas untuk mengembalikan uang negara yang dikemplang para obligor nakal menjadi tujuan pokok pemerintah. Para pengemplang BLBI tidak akan diadili melalui proses hukum jika mampu membayar utangnya hingga akhir tahun 2006. c. Perlu di kembangkan model penyelesaian OCS baru yaitu dengan memasukkan lembaga penyelesaian "injunction". Melalui lembaga ini maka kerugian (material maupun immaterial) yang lebih besar lagi akan dapat dicegah jika proses penyelesaian melalui sanksi administratif, perdata atau pidana tetap berjalan sesuai dengan UU yang berlaku. Putusan Pengadilan yang memerintahkan penghentian proses penyelesaian yang sedang berlangsung dan dilaksanakan, oleh pejabat keuangan atau perbankan sebagai penyidik PPNS dapat mencegah terjadinya kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, apakah Negara sebagai pihak maupun stakeholder sebagai pihak.[footnoteRef:11] [11: Atmasasmita, Romli. (2003). Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Jakarta: Prenada Media.]

Dimasukkannya proses penyelesaian OCS dengan menggunakan injunction sehingga melibatkan peranan Pengadilan jauh sebelum proses penyelesaian dengan UU dilaksanakan atau selama berlangsungnya proses penyelesaian. Model penyelesaian OCS plus tersebut akan membuka lembaran baru dalam sistem hukum dan sistem peradilan di Indonesia yaitu proses penyelesaian dalam kasus keuangan dan perbankan melalui mekanisme injunction - adminisratif - (injunction) perdata (injunction) pidana (injunction).[footnoteRef:12] [12: Ibid]

Restorative model merupakan salahsatu model ADR dimana lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/ anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Dalam Restorative model, pihak-pihak yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada para pihak yang terlibat untuk menentukan solusi, membangun rekonsiliasi demikian pula membangun hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Hubungan baik ini berguna untuk, salah satunya, menekan residivisme.Dalam hal ini, korban memainkan peran yang utama dalam proses penyelesaian masalah dan dapat mengajukan tuntutan sebagai kompensasi kepada pelaku. Singkatnya, Restorative model menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat.d. Kasus BLBI memang sangat sulit untuk dibuka lagi dan dilematis, oleh sebab itu dalam kasus BLBI ini Pemerintah harus memperjelas secara rinci dan mengena di hati rakyat atas penyelesaiannya sekalipun harus dilakukan dilauar Pengadilan secara perdata, dapat juga penyelesaian dengan didasari perjanjian master of setllement and acquistion agreement / MSAA ( perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan jaminan aset), juga master of refinancing and note issuance agreement /MRNIA ( perjanjian penyelesaian BLBI dengan tambahan jaminan pribadi), serta perjanjian akta pengakuan hutang ( APU ).Dalam Klausul MSAA dan MRNIA terdapat pemberian pelepasan hukum ( RD ) untuk pelanggaran batas maksimum pemberian modal bagi debitor yang sudah memenuhi kewajiban utang BLBI nya. Pemerintah mempunyai kewajiban yang mutlak yaitu ; harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa masalah pada kasus BLBI sudah diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mulai dari pelaksanaan ketetapan MPR hingga Instruksi Presiden No. 8 tahun 2002 tentang pemberian R&D bagi debitor dan obligor BPPN yang selesai memnuhi kewajiban hutangnya, oleh karena untuk out of cour settlement dapat saja menggunakan resolusi perselisihan alternatif yaitu : Mediasi ( mediation), arbitrase ( arbitrase) dan ombudsman.