hukum bisnis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan
hukum-hukum yang dapat mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur
apakah hukum yang dipilih atau diciptakan turut mempromosikan efisiensi
ekonomi, maka diperlukan pendekatan terhadap hukum yang tidak semata-mata
hukum an sich. Oleh karena itu tulisan ini membahas suatu pendekatan terhadap
hukum yang semakin hari semakin berkembang, yakni “Economic Analysis of
Law”.
Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of
Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa
pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi
perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus
pembahasannya adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi
kecenderungan di bidang hukum bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit
dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient). Kecenderungan-kecenderungan
tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu dalam
memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan, ketidakefisienan
dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis, serta
adanya ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan.
Cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sudah jelas tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yaitu “Kesejahteraan
Umum Seluruh Rakyat Indonesia”. Dengan demikian, maka tugas negara tidak
hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum, tetapi juga mencapai
kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan (welfarestate). Masalah yang kita
hadapi kemudian adalah bagaimana menterjemahkan pengertian kesejahteraan
atau lebih tepat “kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tersebut,
karena fenomena yang terjadi saat ini adalah bahwa “kesejahteraan bagi rakyat”
hanya menjadi slogan dan bahan kampanye bagi sebagian pejabat di Indonesia,
namun dalam penerapannya masih jauh dari yang diharapkan. Terutama dalam
pengembangan perekonomian di Indonesia masih dikuasai oleh kelompok-
kelompok tertentu yang mana kelompok tersebut selain mempunyai usaha juga
mempunyai kewenangan menetapkan kebijakan sehingga penerapan hukum dapat
disesuaikan dengan kepentingan kelompok tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
1.3 Sistematika Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Analisis Ekonomi Atas Hukum
Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal
sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui
pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik
bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan
mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social
welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam
tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis
mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-
proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun
1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh
pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang
membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker
(1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum;
Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner
(1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan
penerbitan “Journal of Legal Studies”.ii
Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan
pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan
dasar mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau
‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum
terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of
a legal rule); dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan
apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat
(the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi
Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang
biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah
laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang
berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka
kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.iii
Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut
mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi
Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis
dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang
bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya.
Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam
mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai
asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka
akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko
diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan
bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana
memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat
diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi
jumlah kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang
memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas
pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas
pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-
permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian
Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law
dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of law
and public policy including economic regulation of business; antitrust
enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract law
and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in
economics is required; relevan economic concepts will developed through
analysis of various legal applications.”v
2.2 Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan,
baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan
perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah Kebijakan
Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan
peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam
menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan
satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan
hukum di Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum
belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga
aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan
mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang
merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan tertentu
dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia kurang
bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma dalam
ilmu hukum atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan
mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini
dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan
Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
Berdasarkan pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang
hanya digantungkan pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments)
terbukti kurang efektif.
Praktek-praktek perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata sudah
menerapkan konsep mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi
(economic instruments) merupakan salah satu insentif yang membuat potensial
pencemar mematuhi ketentuan Hukum Lingkungan.
Terdapat ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang
lingkungan hidup yang memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan
konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh
Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam
implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian
monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger,
cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya juga pembahasan
Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi.
Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool)
untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang
terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum
berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-
dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan
dalam hukum perbankan.”ix
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan
hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang
diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan
lebih memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan,
penerapan dan enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat
sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas hukum
telah menggejala di setiap bidang hukum.
2.3 Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum,
terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di
bawah akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan
prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini
berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan
rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang
menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya
ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement
dari peraturan perundang-undangan.
Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan
profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan
perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya
pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy
Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak
jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia
secara notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup
dibuat dengan akta di bawah tangan.x
Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya
berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat
dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara
notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan.
Secara ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para
debitor, terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik
sekarang ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan
Peraturan Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa
notaris yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut
dapat secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan
akta.
Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah
bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta
pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas
tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.
Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama
berkenaan dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor
pengusaha lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan
Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk
Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan
kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya masa
berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang
Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa
akta perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat
pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-
undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris
Connection”.
Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga
menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang
Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan
harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam
hal ini izin praktek pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa
permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator,
permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali,
permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan
syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan
rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat
hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana
dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara
kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara
kepailitan. Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan
tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate
lawyer BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal
5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi
karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga
tidak diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal
corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan,
maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer
yang berbiaya tinggi.
Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-
lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional
(BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang
dilakukan secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan
menimbulkan pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-
lembaga tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Padahal di Amerika Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat
dan perlindungan konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU,
BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas satu lembaga yang bernama
Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan perbandingan di bawah ini
dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade
competition in the American economy. … It provides guidance to business and
industry on what they may do under the laws administered by the commission. It
also gathers and makes available to Congress, the president, and the public factual
data on economic and business conditions.
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year
terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than
three of the commissioners may be members of the same political party. One
commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was
the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan
dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum
bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat
dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-
tugasnya mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka
tidak perlu membentuk lembaga baru.
Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah
ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya
ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga
non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para
pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut
tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
bersengketa.”
Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila
upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut
harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak
gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang
dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen
perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-
undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan
dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh)
tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan
jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk
memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen
dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan
dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses
pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan
pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja,
sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang
juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan
akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
2.4 Penegakan Hukum Bisnis di Indonesia
Kemajuan ekonomi telah menimbulkan terjadinya tarik menarik
kepentingan yang kuat di antara para pelaku ekonomi serta munculnya ketidak
seimbangan antara keinginan pelaku-pelaku ekonomi disatu pihak, dengan
kebutuhan masyarakat di lain pihak. Oleh sebab itu maka kedudukan, fungsi,dan
peranan penegakan hukum akan menjadi semakin penting.
Dalam penegakan hukum bisnis di Indonesia, perlu dibentuk dan didukung
dengan adanya aturan main untuk menjamin terlaksananya bisnis yang sehat
dengan tujuan yang ingin dicapai adalah akan terwujudnya suatu pola dan watak
tertentu dalam perekonomian nasional. Selain itu, hukum dalam perekonomian
dapat berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pemerataan (mewujudkan cita-
cita keadilan sosial), yaitu dengan merinci secara hati-hati kebijaksanaan yang
diperlukan untuk memanfaatkan segala sumber yang ada dengan sebaiknya,
sehingga hasil positif yang dicapai melalui peranan pemerintah dalam
perekonomian tidak diragukan.
Secara normatif, Sistem ekonomi Indonesia berdasarkan UUD 1945
terutama pasal 33 ayat 2 dan 3, mengarah pada sistem ekonomi sosialis, akan
tetapi dengan perkembangan suatu golongan pengusaha, saat ini akan semakin
menuju pada sistem ekonomi kapitalis. Dengan perubahan sistem tersebut, maka
akan membuka peluang munculnya pola-pola persaingan yang kurang sehat yang
memiliki batasan antara pengusaha yang besar dengan pengusaha yang menengah
atau kecil. Untuk itu perlu diatur dengan peraturan yang memiliki legalitas formal
antara lain :
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Penataan kegiatan usaha ekonomi di Indonesia ditandai dengan
diundangkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang berasaskan kepada demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha
dan kepentingan umum dengan tujuan untuk menjaga kepentingan umum dan
melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui
terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek monopoli serta
menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam rangka meningkatkan ekonomi
nasional.
Dari segi penegakan hukum, undang-undang ini memiliki ciri khas yaitu
dengan adanya keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang
memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan juga
sekaligus sebagai pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal 35 dan 46, selain
daripada itu dalam undang-undang ini juga diatur adanya larangan terhadap
praktek monopoli dan monopsoni serta persaingan usaha tidak sehat, melarang
pelaku usaha melakukan kegiatan yang menimbulkan terjadinya penguasaan atau
pemusatan produksi dan atau pemasaran.
2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan
pengganti dari undang-undang No. 1 Tahun 1967 dan UU No. 6 Tahun 1968
dimana pada undang-undang yang lama dirasakan ada yang perlu mendapatkan
perubahan dan penyesuaian dengan kondisi kekinian.
Undang-undang ini mencakup semua kegiatan penanaman modal langsung
di semua sektor. Undang-undang ini juga memberikan jaminan perlakuan yang
sama dalam rangka penanaman modal. Selain itu, undang-undang ini
memerintahkan agar pemerintah meningkatkan koordinasi antarinstansi
pemerintah, antarinstansi pemerintah dengan Bank Indonesia dan antarinstansi
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Koodinasi dengan pemerintah daerah
harus sejalan dengan semangat otonomi daerah.
Undang-undang ini mengatur agar pemerintah daerah bersama-sama
dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun pemerintah, harus lebih
diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun
dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal. Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan asas otonomi daerah dan
tugas pembantuan atau dekonsentrasi.
Perekonomian nasional saat ini ditandai dengan adanya kompetisi yang
semakin ketat sehingga kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus mampu
mendorong penciptaan daya saing perekonomian nasional yang terintegrasi
menuju perekonomian global. Untuk itu pemerintah harus objektif dalam
menerapkan hukum di semua sektor kegiatan ekonomi sehingga perekonomian
nasional semakin beranjak menuju perekonomian yang sehat dan dinamis.
Dalam rangka menciptakan persaingan yang sehat antar pelaku bisnis di
Indonesia dan untuk menunjang peningkatan penanaman modal di Indonesia,
maka perlu kiranya pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah bersama-
sama berupaya menciptakan kondisi yang kondusif baik dari sektor hukum,
politik, keamanan dan kemudahan birokrasi. Komitmen ini harus dijalankan dan
ditepati dengan semangat untuk membangun perekonomian Indonesia demi
terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam hal penerapan penegakan hukum dan kaitannya dengan
perkembangan bisnis di Indonesia, Pemerintah telah berusaha keras untuk
menegakkannya sesuai dengan koridor hukum yang seharusnya, meskipun bila
kita lihat dari fenomena yang ada saat ini seolah masih jauh dari harapan yang
diinginkan seluruh rakyat Indonesia.
Beberapa hal yang dapat diambil sebagai contoh dalam penerapan hukum
di Indonesia dan kaitannya dengan perkembangan perekonomian antara lain
adalah munculnya kasus dimenangkannya PT. Kaltim Prima Coal atas Dirjen
Pajak yang menunggak pajak sebesar Rp. 1,5 triliun. Terlepas dari mana yang
benar dan mana yang salah, rakyat dihadapkan pada suatu kondisi yang
mengindikasikan adanya “perselingkuhan politik dan bisnis” antara pengusaha
dengan penguasa dimana Aburizal Bakrie sebagai pemilik PT. Kaltim Prima Coal
pada saat yang sama sebagai mitra koalisi presiden di Sekretariat Bersama
Koalisi.
Penegakan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia dan kaitannya
dengan perkembangan perekonomian nasional masih kurang maksimal. Pada
intinya UU No. 25 tahun 2007 mempunyai tujuan yang substansial yaitu, 1)
membenahi iklim invenstasi di Indonesia, 2) kepastian hukum mengenai tenaga
kerja asing, 3) ketepatan pengurusan perizinan dalam membuka usaha baru di
Indonesia.
Namun UU penanaman modal bukan senjata pamungkas yang dapat
menjamin iklim investasi membaik. Perbaikan perilaku birokrat, keterkaitan
sinergis dengan perangkat aturan lain, serta kejelasan arah kebijakan industrial
adalah faktor-faktor penentu lainnya yang tidak dapat diabaikan. Apabila kita lihat
lebih dalam pada undang-undang penanaman modal, terdapat beberapa point yang
dalam penerapannya masih membutuhkan perbaikan antara lain :
Dalam Pasal 3 yang menguraikan tentang asas dan tujuan penenaman
modal, disana disebutkan bahwa salah satu asas penanaman modal
didasarkan pada asas berwawasan lingkungan, dimana asas penanaman
modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan
perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Namun dalam pelaksanaan di lapangan tidak sedikit yang kita temui, para
penanam modal terutama yang bergerak dalam usaha pertambangan sangat
kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Banyak kasus yang telah
terjadi berkaitan dengan hal ini, salah satunya adalah kasus yang menimpa
PT. Famia Niagara di Kabupaten Seluma yang melaksanakan usaha
penambangan pasir besi. Namun dikarenakan kurang memperhatikan
kelestarian lingkungan akhirnya mendapatkan tentangan dari masyarakat.
Dan pemerintah daerah seolah kurang proaktif dalam menyelesaikan kasus
ini.
Hal ini mungkin dikarenakan kewenangan pemerintah daerah dalam
memberikan insentif kepada penanam modal tetapi tidak memperhatikan
kelestarian lingkungan dan sumber daya alam, dimana dengan
kewenangan tersebut pemerintah daerah mengizinkan penanam modal
mengeruk sumber daya alam tanpa mengindahkan sumber daya
lingkungan berkelanjutan (sustainable resources) karena sampai saat ini
pemerintah daerah lebih memprioritaskan pendapatan daerah
dibandingkan kelestarian lingkungan.
Pada pasal 10 mengenai ketenagakerjaan, UU No. 25 Tahun 2007
menegaskan bahwa perusahaan penanam modal dalam memenuhi
kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga Negara
Indonesia.
Berkenaan dengan pasal ini, mungkin kasus PT. Drydock World Graha di
Batam dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana penerapan undang-
undang ini di lapangan.
Upaya untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia agar lebih kondusif
bagi masuknya penanaman modal asing dan kondisi yang diinginkan investor
asing tersebut adalah:
a. Kebebasan dalam kepemilikan saham, termasuk dihapuskannya divestasi.
b. Kebebasan menetapkan sendiri nilai investasi.
c. Perlakuan sama dalam hukum dan kedudukan.
d. Konsistensi dalampelaksanaan peraturan-peraturan.
e. Adanya jaminan berinvestasi dan berusaha.
f. Diterima kehadirannya sebagai mitra pembangunan.
g. Birokrasi yang transparan dan lancar.
h. Kepastian hukum dan penagakan hukum.
Disamping itu terdapat beberapa faktor pokok yang perlu dipelihara, yaitu:
a. Stabilitas Nasional yang mantap dan dinamis.
b. Kebijaksanaan ekonomimakro yang tepat.
c. Keadaan perekonomian yang sehat yang terlihat dari terkendalinya tingkat
inflasi, nilai tukar mata uang, pertumbuhan ekonomi dan tersedianya
faktor-faktor produksi yang cukup.
d. Tersedianya prasarana fisik, teknologi, institusional dan sosial yang baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pelaksanaan penerapan hukum di Indonesia terutama berkenaan dengan
penegakan perekonomian di Indonesia masih membutuhkan perhatian dan
komitmen yang serius dari pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Banyak kasus-kasus yang terjadi belakangan ini
menunjukkan bahwa penegakan hukum bisnis di Indonesia masih belum
optimal. Untuk itu perlu adanya suatu usaha untuk menelaah dan mengkaji
fungsi dan pengaruh kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menunjang
perkembangan bisnis (usaha) dalam perekonomian nasional.
2. Dalam rangka meningkatkan investasi penanaman modal baik PMA
maupun PMDN, maka disarankan untuk selalu diupayakan pemberian
kemudahan-kemudahan kepada para calon investor terutama dari segi
perizinan. Selain itu perlu adanya penegakan hukum untuk menjamin
kepastian hukum bagi setiap usaha yang dijalankan di Indonesia.
3.2 Saran
Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta
melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi
lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif
pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia.
Tulisan ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis
Ekonomi Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal
telah dapat memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan masalah
economic efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan hukum
bisnis di Indonesia. Oleh karena itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang,
memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas Hukum disamping model teori
hukum lain ke segenap proses hukum di Indonesia, baik dalam tingkat
pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan dalam menganalisis doktrin
serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan,
Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28 – Tahun VIII, Jakarta, 1997.
2. Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian
Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6,
Tahun II, Jakarta, 2000.
3. Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National
Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.
4. Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan
Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.
5. Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University
Online Course”, http://www.hls.edu/.
6. Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10,
Jakarta, 2000.
7. Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam
Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.
8. Soenaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Cet. 2,
Binacipta, Bandung, 1988, hal 8-34