(hukum) judex juris menilai fakta

195
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tatanan kehidupan masyarakat sebagai warga negara Republik Indonesia senantiasa menjunjung tinggi hukum, sebab hukum adalah pilar suatu negara hukum yang berkaitan langsung dengan sistem pelaksana hukum sebagai instrumen yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum. Secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), maka kekuatan suatu negara tidak terletak pada negara itu melainkan pada hukumnya sendiri. Untuk itu memerlukan pelaksana penyelenggara negara yang memiliki kewenangan dalam menegakan hukum. Pelaksana penyelenggara negara dalam menegakan hukum berkaitan dengan warga negara harus 1

Upload: tondy

Post on 05-Dec-2015

105 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

berkaitan dengan Law dalam access administration is speed on

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tatanan kehidupan masyarakat sebagai warga negara Republik

Indonesia senantiasa menjunjung tinggi hukum, sebab hukum adalah pilar

suatu negara hukum yang berkaitan langsung dengan sistem pelaksana hukum

sebagai instrumen yang memiliki kewenangan untuk menegakan hukum.

Secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV

dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), maka

kekuatan suatu negara tidak terletak pada negara itu melainkan pada

hukumnya sendiri. Untuk itu memerlukan pelaksana penyelenggara negara

yang memiliki kewenangan dalam menegakan hukum.

Pelaksana penyelenggara negara dalam menegakan hukum

berkaitan dengan warga negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan

hukum yang berlaku sebagai hukum positif. Apabila terjadi pelanggaran

hukum, maka hukum harus ditegakan dan diselesaikan dengan menempuh

jalur hukum melalui badan-badan peradilan. Amandemen Undang-Undang

Republik Indonesia Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan

ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman,

perubahan tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

1

dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama,

Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan

oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 dan diatur pula pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Walaupun badan-badan peradilan itu berada di bawah Mahkamah

Agung bukan berarti Mahkamah Agung dapat mempengaruhi putusan badan

peradilan di bawahnya. Kedudukan badan-badan peradilan di bawah

Mahkamah Agung itu adalah independen. Mahkamah Agung hanya dapat

membatalkan atau memperbaiki putusan badan peradilan di bawahnya dalam

Tingkat Kasasi. Mengingat adanya yurisdiksi peradilan dalam upaya

menegakan hukum di setiap lingkup peradilan dalam penyelesaian suatu

perkara tentu diakhiri dengan adanya putusan hakim. Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Hakim yang

dimaksud adalah Hakim pada Mahkamah Agung (Hakim Agung) dan hakim

pada badan peradilan yang ada di bawahnya sebagaimana ketentuan Pasal 1

ayat (5) dan ayat (6). Oleh karenanya putusan hakim dalam persidangan

untuk menyelesaikan suatu perkara tidak selamanya dapat memberikan rasa

keadilan bagi masing-masing pihak yang berperkara. Oleh karena itu, putusan

hakim pada tingkat pertama dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya

sebagaimana Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

2

tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa "Kekuasaan Kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman

menurut undang-undang".

Rasa keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau

perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak

memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat

adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak merugikan

seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi

haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.

Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia,

tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang

menang, tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia dalam

mempertahankan hak dan kewajiban1.

Wujud implementasi hukum dalam sebuah sistem hukum nasional

membutuhkan perangkat hukum memadai, sehingga segala keputusannya

dapat memberi keadilan bagi pencari keadilan. Meskipun tuntutan keadilan

hukum dari masyarakat sangat tinggi ditambah dengan akumulasi

problematika kehidupan yang sangat kompleks, namun perangkat hukum

terutama untuk tercapainya keadilan dalam hukum masih dirasakan sangat

minim. Hal demikian terdapat pada materi undang-undang yang masih sangat

memungkinkan bagi para pelanggar hukum untuk lolos dari jeratan hukum.

Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, Keraguan dan

ketidakpercayaan masyarakat membuat hukum semakin tidak berdaya dan

1 Sudikno Mertokusumo, “Metode Penemuan Hukum“ (Yogyakarta:UII Press, 2007), hlm 3.

3

tidak mampu memenuhi rasa keadilan publik dan tidak dapat merespon

persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks dalam masyarakat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 secara

tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga

negara Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”,

Selain itu Pasal 28 huruf D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Afirmasi hukum yang ideal

tersebut terkesan utopis karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan

konsisten dalam penegakan hukum di Indonesia.

Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum,

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

secara khusus mengatur mengenai hak memperoleh keadilan, selanjutnya

dinyatakan bahwa: “Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk

memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan

gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta

diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, setiap warga

negara berhak diperlakukan secara adil dan sama di hadapan hukum, agar

hukum berfungsi secara sungguh-sungguh sebagai sarana untuk mencapai

4

keadilan. Cita-cita tersebut hanya bisa diraih ketika lembaga dan pelaksana

dalam menegakkan hukum tetap konsisten terhadap cita-cita untuk

menegakkan hukum sebaik mungkin dan mencari keadilan bagi semua pihak.

Jika pelaksana dalam menegakkan hukum tidak adil pada setiap perkara

hukum, maka masyarakat tentunya akan mempersoalkan eksistensi hukum

dan pelaksana untuk menegakkan hukum. Keraguan itu bermuara pada

tindakan main hakim sendiri. Tindakan tersebut merupakan akumulasi

ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksana dalam menegakkan hukum

yang diduga memanfaatkan hukum untuk kepentingan ekonomi dan politik

kelompok tertentu.

Hal tersebut menyebabkan hukum menjadi tidak mampu merespon

secara adil persoalan-persoalan hukum. Oleh karena itu, pelaksana demi

menegakkan hukum dituntut untuk lebih serius dan konsisten menegakkan

hukum bagi para pelanggar hukum agar ketegasan hukum memberikan

kepercayaan dan keyakinan kepada para pencari keadilan dan kepastian

hukum sebagai jaminan dari eksistensi hukum. Dalam sistem hukum di

manapun mengenai keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya

melalui lembaga peradilan. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi

bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya

merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan

yang telah disepakati bersama.2

2 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270

5

Sehubungan dengan fenomena keadilan tersebut, bila menarik

pernyataan pakar hukum Sunaryati Hartono yang menegaskan perlunya ahli

hukum, praktisi hukum, ataupun akademisi, serta membedakan

pengertian sistem hukum nasional dan hukum positif Indonesia. Mengenai

cara pandang secara konseptual kedua istilah itu memiliki perbedaan yang

sangat esensial. Menurut Sunaryati Hartono dalam makalah yang berjudul

“Landasan, Kerangka dan Struktur, dan Materi Sistem Hukum Nasional

Kita”, beliau kembali menegaskan perbedaan arti kedua istilah tersebut.

Hukum Nasional adalah ius contituendum sedangkan hukum positif adalah

ius constitutum. Hukum positif Indonesia adalah hukum yang kini sudah ada

dan berlaku di Indonesia, sedangkan hukum nasional Indonesia adalah hukum

yang belum seluruhnya ada di Indonesia dan karena itu masih dipikirkan

bagaimana membentuknya dan apa serta bagaimana kerangka dan

landasannya serta filsafah dan materinya3.

Kenyataan menurut Sunaryati Hartono sejalan dengan pernyataan

pakar hukum Sudiman Kartohadiprodjo, bahwa “Hukum positif dengan nama

asing disebut juga ius constitutum sebagai lawan daripada ius constituendum,

yakni kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi

akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu”4.

3 Sunaryati Hartono, Landasan, Kerangka, Struktur dan Materi Sistem Hukum. Nasional Kita, Pra Seminar Hukum Nasional V Babinkumnas, Departemen Kehakiman, Jakarta 21-22 Januari 1986, hlm 3.

4 Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni, 1980) Halaman 6

6

Mengutip kembali penegasan Sunaryati Hartono mengenai arti hukum

nasional adalah:5

“Seluruh filsafah hukum, nilai-nilai, asas-asas dan norma hukum, maupun aparatur dan lain-lain sumber daya manusia yang tergabung dalam lembaga dan organisasi hukum selanjutnya, proses dan prosedur serta interaksi dari pelaksanaan hukum yang secara utuh mewujudkan dan menggambarkan kehadiran suatu tatanan hukum yang menumbuh kembangkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945”.

Seluruh komponen dalam definisi Hukum Nasional itu merupakan

bagian-bagian yang tidak terlepas dari sistem hukum tersebut. Artinya,

sebagai suatu sistem maka Hukum Nasional terdiri dari sejumlah komponen

atau bagian atau aspek yang terkait satu sama lain oleh paling sedikit satu

asas atau prinsip, dan saling mempengaruhi sehingga perubahan pada

komponen yang satu akan menimbulkan perubahan pula pada komponen-

komponen yang lain6. Pencantuman kata “nasional‟ pada frasa Hukum

Nasional tidak dapat dilepaskan dari asal kata yang membentuknya, yakni

“nation” atau bangsa. Arti bangsa ini menurutnya, jelas tidak sama dengan

arti dari “ras” ataupun “volk” atau “folk” sebab pengertian bangsa yang

dipegang teguh olehnya adalah seperti yang diucapkan oleh Ernst Renan pada

orasi dies Universitas Sorbonne Perancis tahun 1889, yakni “sekelompok

manusia yang sama-sama pernah mengalami penderitaan yang sangat parah

sehingga merasa senasib sepenanggungan dan karena itu mempunyai tekad

5 Sunaryati Hartono, Potitik Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia, Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, tanggal 5 Desember 1994 di Bandungan, Semarang; dan dalam Langkah Kebijaksanaan Pembinaan Hukum Nasional Pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap II.

6 Op.cit, hlm 3.

7

untuk terus hidup sebagai satu kelompok di masa depan secara turun

temurun”. Jadi, ditegaskan oleh Sunaryati Hartono, pembentukan suatu

bangsa (nation) tidaklah berdasarkan pada persamaan keturunan seperti

dalam hal kelompok yang dinamakan ras; tidak juga didasarkan pada

persamaan budaya atau agama seperti di dalam hal suatu “volk” terjadinya

persamaan nasib atau pengalaman bersama yang sangat berat dan

menyedihkan (faktor historis) sehingga kelompok manusia itu merasa senasib

sepenanggungan (faktor psikologis) dan mempunyai tekad untuk tetap hidup

di dalam kebersamaan untuk selama-lamanya secara turun temurun (faktor

politik)7. Selaras dengan pengajaran mengenai Hukum Nasional menurut

Sunaryati Hartono yang dikemukakan pada tahun 2006 yakni:8

“Dengan demikian, jelas pula mengapa pengertian hukum nasional diartikan pula sebagai keseluruhan sistem hukum yang berdasarkan UUD 1945 dan bertujuan mewujudkan cita-cita (visi dan misi) bangsa sebagaimana sudah diikrarkan oleh para pendiri bangsa dan negara ini dalam Pembukaan UUD 1945, Dengan kata lain, hukum nasional itu bukan Hukum Adat; bukan pula Hukum Islam, ataupun sistem hukum modern, atau yang baru sama sekali yang tidak ada, baik hubungan batin maupun hubungan hukum dengan Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm dan Batang Tubuh UUD 1945 sebagaimana ia akan berkembang dari waktu ke waktu. Jika demikian, Hukum Adat, Hukum Islam, bahkan hukum asing (Belanda, Amerika, Perancis, Cina, dsb. nya) dan Hukum Internasional merupakan bahan dan atau unsur-unsur (sumber hukum materiil) yang dapat digunakan dalam dan bagi pembangunan nasional dan pengembangan Hukum Nasional, sepanjang unsur-unsur itu sesuai dengan falsafah bangsa dan Negara, serta asas-asas dan falsafah hukum yang disebut maupun

7 Naskah dari Ernst Renan dalam bahasa Prancis itu telah diterjemahkan oleh Prof. Mr. Sunario, yang adalah ayah dari Sunaryati Hartono. Kutipan teks di atas diambil dari naskah Orasi Dies ke 50 Fakuftas Hukum Universitas Katotik Parahyangan Bandung, yang disampaikan oleh Sunaryati Hartono, 15 September 2008, dengan judul “Membangun Budaya Hukum Pancasila Sebagai Bagian Dari Sistem Hukum Nasional Indonesia Di Abad ke 21.

8 Sunaryati Hartono, Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Citra Aditya Bakti Bandung, 2006, hlm. 21.

8

tersirat di dalam UUD 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 itu, termasuk Pancasila”.

Upaya menegakan hukum maka undang-undang memegang peranan

penting agar hukum itu sendiri dapat dilaksanakan. Faktor yang menghambat

penegakkan hukum adalah dari undang-undang itu sendiri, karena

ketidak jelasan Pasal dalam undang-undang, misal Pasal yang menimbulkan

multi tafsir, sehingga undang-undang tidak dapat dilaksanakan sebagaimana

maksud dari tujuan pembentukannya. Untuk itu perlu dilakukan suatu kajian.

Kajian yang dapat dilakukan dengan menggunakan hermeneutika hukum atau

undang-undang. Objek kajian hermeneutika hukum dapat berupa teks hukum,

naskah-naskah hukum klasik, dokumen resmi negara, ayat-ayat al-ahkam atau

konstitusi sebuah negara. Pendapat ini juga benar, sebab dokumen sejarah

atau tatanan norma dalam kehidupan bernegara itu tidak semuanya bisa

dipahami oleh rakyatnya9.

Dengan demikian peranan hukum bagi pembangunan pemerintahan,

bagi legislatif dan eksekustif, hukum yang mengikat dan dipatuhi haruslah

berbentuk tertulis. Karena hukum tertulis merupakan aturan yang bersifat

riil dapat dibuktikan, karena berbentuk dan memuat norma-norma yang

bersanksi dan harus dipatuhi tidak saja masyarakat namun juga pemerintah

dan negara. Pemerintah memegang peranan penting dalam menjalankan

pembangunan baik spirituil maupun materil. Pembangunan ditujukan pula

bagi terlaksananya kesejahteraan rakyat.

9 Jazim Hamidi, Mengenal Lebih Dekat Hermeneutika Hukum, Dalam Butir-butir Pemikiran Dalam Hukum, Memperingati 70 tahun Prof. Dr.. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 82.

9

Pelaksanaan tersebut tidak lepas dari upaya menegakan hukum yang

dilaksanakan dalam setiap badan peradilan di bawah naungan Kekuasaan

Kehakiman yang dilaksanakan Mahkamah Agung. Untuk itu Mahkamah

Agung bersfungsi melakukan penafsiran hukum terhadap Pasal yang tidak

jelas untuk kemudian diterapkan dalam suatu perkara di persidangan

disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding) dilanjutkan dengan

penciptaan hukum (rechtsschepping) menjadi pembaharu hukum

(rechtsvorming).

Konsep keadilan merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan

bagi penyelengagara negara, dengan memberikan jaminan atas rasa

keadilan terutama keadilan dalam konteks hukum nasional, hukum tentu

harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan Nasional, yaitu melindungi

segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan

ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan

sosial10.

Sebagaimana tujuan Nasional dalam konteks hukum Nasional untuk

mencapai tujuan nasional tidak lepas dari peran lembaga-lembaga negara

yang memisahkan kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga bagian yaitu

kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif

dikenalnya istilah distribution of power, sebagaimana teoti trias politica

menurut John Locke dan Montesque namun tidak diadopsi secara murni di

10 Abdul Hakim G Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, 1988, him. 20.

10

Indonesia11.

Pembagian lembaga-lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda

dan saling bersinergi untuk mewujudkan tujuan Nasional dalam konteks

hukum Nasional, maka kekuasaan negara memiliki konsekuensi

berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 mengenai peran

Lembaga Yudikatif yang diatur dalam BAB IX Kekuasaan Kehakiman

Pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Kekuasaan Kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan” selanjutnya ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi”.

Sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan

bahwa Mahkamah Agung mendapat perhatian sendiri karena merupakan

lembaga pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang

mengawasi apakah penerapan hukum peradilan dibawahnya sudah

dilakukan dengan baik. Dengan demikian fungsi Mahkamah Agung

berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 perubahan II, dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 sebagai Perubahan atas Undang-

11 Saldi Isra; 2013 Pergeseran Fungsi Legislasi, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, hlm 73

11

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagai

pelaksana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh ada campur tangan pihak-

pihak lain, baik internal lembaga yang ada di bawah Mahkamah Agung,

maupun pengaruh pihak eksternal yakni Lembaga Eksekutif dan Lembaga

Legislatif. Hal ini selaras dengan konsiderans faktual Pasal 24 dan Pasal 25

Undang-Undang Mahkamah Agung yang dinyatakan: “bahwa kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung…”. Berdasarkan atas Pasal 24 dan 25 maka

penulis menerapkan Kajian Normatif (analitis-dogmatis) Memandang

hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh

dan apa yang tidak boleh dilakukan, Bersifat preskriptif, Mencerminkan law

in books atau das sollen atau apa yang seharusnya, kajiannya lebih

menekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu, Metode yang

digunakan adalah yuridis-normatif yang pada dasarnya mengkaji hukum

dalam kepustakaan, misalnya: penelitian inventarisasi hukum positif,

penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum in

concreto, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhada taraf

sinkronisasi vertikal dan horizontal, Kajian normatif terhadap hukum antara

lain Ilmu Hukum Pidana Positif, Hukum Tata Negara Positif, dan Hukum

Perdata Positif12.

Mahkamah Agung sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman

12 Yesmil Anwar & Adang.2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta. Grasindo, 2008. Hlm 109.

12

memiliki kewenangan memeriksa dan memutus mengenai adanya

pengajuan: a) Permohonan kasasi; b) Sengketa tentang kewenangan

mengadili; c) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 28 ayat (1) Undang-

Undang Mahkamah Agung; d) Disamping tiga wewenang tersebut

Mahkamah Agung juga mempunyai wewenang menguji secara materiil

hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung; dan e) Berwenang

melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan serta

pengawasan administratif pada semua badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Maka dari

poin-poin wewenang Mahkamah Agung di tingkat kasasi sesuai Pasal 50

ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung dinyatakan dapat

“membatalkan putusan” atau “mengabulkan penetapan pengadilan-

pengadilan dari semua lingkungan peradilan”, karena dengan pertimbangan

yakni bahwa pengadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tidak

berwenang atau melampaui batas wewenang dan salah menerapkan atau

melanggar hukum yang berlaku termasuk lalai memenuhi syarat-syarat

yang diwajibkan oleh perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu

dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Prancis. Kata asalnya ialah

casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi

hukum untuk mencapai kesatuan peradilan yang dilakukan oleh raja beserta

13

dewannya yang disebut Coseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan

kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga

kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan yang menjembatani

pembuat undang-undang dengan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21

Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de

casssation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru

pula oleh negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia.

Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit.

Penafsiran secara lebih adalah D. Simon yang mengatakan ”jika hakim

memutus suatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut kekuasaan

kehakiman”. Dalam arti luas misalnya jika hakim pengadilan tinggi

memutus padahal hakim pertama telah membebaskan. Menurut Wirjono

Prodjodikoro, kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah

Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-

pengadilan lain, tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan

kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang

bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan

uitbouwen dan voorbouwen (mengembangkan dan mengembangkan lebih

lanjut) hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat

mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari

masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-

undangan itu sendiri kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika

14

kehidupan masyarakat itu sendiri13.

Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi

kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan

kehakimannya Kewenangan Mahkamah Agung yang mengadili perkara

kasasi adalah untuk menjaga agar hukum tidak dilanggar, agar tidak salah

menerapkan hukum serta menjaga agar cara-cara mengadili dari pengadilan

yang lebih rendah tidak disalahgunakan. Pengadilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung sebagai fungsi pelaksana Keuasaan Kehakiman adalah

Pengadilan tingkat pertama, sebab pada hakikatnya adalah pengadilan yang

bertugas memeriksa fakta-fakta dalam suatu peristiwa kongkret tertentu dan

kemudian menetapkan apa hukumnya yang berlaku terhadap fakta-fakta

demikian. Oleh karena itu, pengadilan tingkat pertama dikatakan sebagai

judex facti, sedangkan pengadilan tingkat banding bertugas menjawab

persoalan apakah pengadilan tingkat pertama telah benar dalam memeriksa

fakta-fakta yang diajukan kepadanya dalam suatu peristiwa kongkret

tertentu dan juga apakah telah benar dalam menerapkan hukum yang

berlaku terhadap fakta-fakta dalam peristiwa kongkret tersebut. Sementara

itu, upaya tingkat kasasi bertugas menjawab persoalan apakah pengadilan

tingkat banding telah benar dalam menerapkan hukum yang berlaku

terhadap suatu peristiwa kongkret tertentu. Oleh karena itu, pengadilan

tingkat kasasi pada hakikatnya adalah semata-mata sebagai judex juris.

Memegang peranan sebagai Judex Juris, Mahkamah Agung hanya

menilai masalah penerapan hukum yang dijalankan oleh pengadilan

13 Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika. Hlm 292

15

sebelumnya, apakah sudah tepat dilaksanakan. Masalah penilaian fakta-

fakta (judex factie) dan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan

tidak termasuk wewenang Mahkamah Agung, tetapi kewenangan

Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan Tinggi (PT). Oleh karena itu,

kewenangan Mahkamah Agung dalam mengadili perkara kasasi hanya

terbatas pada menyelidiki apakah putusan yang dimintakan kasasi

bertentangan dengan penerapan hukum atau acara mengadili apakah

pengadilan di bawahnya telah melampaui batas-batas kewenangan atau

tidak. Suatu putusan untuk dapat dikatakan terpenuhi dalam arti dikabulkan

atau hasil putusan yang dibatalkan oleh Hakim Agung sebagai pelaksana

Mahkamah Agung menurut ketentuan Undang-Undang Mahkamah Agung

adalah:

1) Mengabulkan: dengan rincian sebagaimana (Pasal 51 Undang-Undang

Mahkamah Agung), sebagaimana diuraikan pada substansi dan amar

putusan.

2) Membatalkan: putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara

tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi

Pengadilan Tingkat Pertama. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang

Mahkamah Agung.

Mengenai Pasal 50 ayat (2) dinyatakan bahwa: “Apabila Mahkamah

Agung membatalkan putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara

tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan

Tingkat Pertama”.

16

Negara yang menganut tradisi hukum Eropa kontinental, umumnya

mengenal istilah dari makna Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah

Agung yang disebut sebagai yurisprudensi mengacu kepada putusan

pengadilan tingkat tinggi (biasanya pengadilan tertinggi) tentang suatu hal.

Meskipun tidak mengikat secara formal, putusan ini secara praktek

mempunyai pengaruh kuat dan sering diterapkan hakim di pengadilan lebih

rendah di kemudian hari apabila fakta-fakta dalam sidang perkara yang

berlangsung mirip dengan fakta dalam kasus di mana yurisprudensi

ditetapkan. Di negara Common Law, istilah ini biasanya mengacu kepada

filsafat hukum.” Jadi, dalam sistem Anglo-Saxon adalah “Preseden”.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo14:

menyatakan bahwa “Preseden ini merupakan satu lembaga yang lebih

dikenal dalam sistem hukum Anglo-Saxon atau Common Law System.

Sejumlah besar jus non scriptum yang membentuk sistem common law itu

hampir seluruhnya terdiri dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil

ini dihimpun ke dalam sejumlah sangat besar law reports yang sudah

dimulai sejak akhir abad ketigabelas...” Sifat preseden dalam sistem

peradilan Anglo-Saxon (common law system) bisa bersifat ‘the binding

force of precedent’ (preseden yang mengikat) dan ‘persuasive precedent’

(preseden yang persuasif). Dua sifat preseden ini sangat bergantung dengan

yurisdiksi yang berada di negara bersangkutan. 

 Sebagai penjelasannya, dapat menyimak pengertian kedua istilah di

atas dalam Black Law’s Dictionary: “Binding Precedent: a precedent that a

14 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Hlm 113

17

court must follow. For example, a lower court as bound by an applicable

holding of a higher court in the same jurisdiction”. (Terjemahan bebasnya

adalah preseden yang harus diikuti oleh pengadilan. Misalnya, pengadilan

di tingkat bawah terikat pada putusan pengadilan di atasnya dalam satu

yurisdiksi yang sama). Contohnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah

Agung (Supreme Court) di Australia mengikat pengadilan-pengadilan

negeri atau tinggi di Australia dinyatakan: Persuasive precedent: a

precedent that a court may either follow or reject, but that is entitled to

respect and careful consideration. For example, if the case was decided in

a neighboring jurisdiction, the court might evaluate the earlier court’s

reasoning without being bound to decide the same way.”

(Terjemahan bebasnya adalah preseden yang boleh diikuti atau

ditolak oleh pengadilan, tetapi bisa dihormati dan digunakan secara hati-

hati sebagai pertimbangan). Contohnya, jika ada kasus yang diputus di

sebuah negara Anglo-Saxon, pengadilan di negara Anglo-Saxon lain (yang

memiliki sistem hukum yang sama) bisa mengevaluasi dasar putusan itu

tanpa harus terikat). Misalnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah

Agung di Inggris, bisa bersifat persuasif untuk diikuti oleh pengadilan-

pengadilan yang memiliki yurisdiksi ‘tetangga’ dengannya, seperti

pengadilan di Australia. Ini disebabkan karena konsep negara mereka yang

masih menganut negara persemakmuran.

 Sementara, di sistem Eropa Kontinental (civil law system) yang

dianut oleh Indonesia, dikenal istilah yurisprudensi. Yurisprudensi dapat

18

digolongkan sebagai ‘persuasive precedent’. Namun, sifat persuasifnya

hanya berlaku di negara Indonesia. Hal itu berbeda dengan preseden

persuasif yang terdapat di negara-negara Anglo-Saxon yang tetap

disarankan untuk mengikuti preseden di negara persemakmuran yang lain.

Karena itulah, yurisprudensi Mahkamah Agung tidak wajib diikuti oleh

pengadilan-pengadilan negeri atau pengadilan-pengadilan tinggi di

Indonesia, melainkan hanya disarankan untuk diikuti.

Jika uraian di atas berlaku di negara yang menganut sistem hukum

civil law, maka Ahmad Kamil dan M. Fauzan menguraikan sistem common

law mengakui bahwa putusan pengadilan adalah hukum. Dan hakim disebut

sebagai pencipta hukum (judge made law)15. Jika terdapat pertentangan

antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yurisprudensi yang

dimenangkan. Sementara, sistem civil law memiliki ciri bahwa hakim

hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis, jika terjadi pertentangan

antara undang-undang dengan yurisprudensi, maka yang dimenangkan

adalah undang-undang. Peranan Hakim Agung dalam membentuk

yurisprudensi ini terutama dilakukan oleh Mahkamah Agung di Indonesia

dalam wujud produk-produk hukum Mahkamah Agung sebagai lembaga

yang memutus terhadap permohonan di tingkat kasasi. Penanganan dari

upaya hukum kasasi tidak lepas dari pelaksana produk hukum Mahkamah

Agung yaitu Hakim Agung sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

15 Ahmad Kamil, M. Fauzan, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, hlm. 9

19

Mahkamah Agung pada Pasal 4 ayat (2) Pimpinan dan Hakim Anggota

Mahkamah Agung adalah Hakim Agung, memiliki fungsi utama menjaga

kesatuan hukum, artinya senantiasa mengeluarkan putusan yang bersifat

konsisten dan berkualitas.

Ketentuan ini merupakan pernyataan yang memberikan makna

bahwa Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dituntutan agar putusan

Mahkamah Agung berkualitas, relevan dengan adanya kemungkinan secara

langsung kepada pihak-pihak yang bersengketa disebutkan bahwa dalam

tingkat kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan atau

penetapan pengadilan yang “tidak berwenang atau melampaui batas

wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku,

melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, cara

mengadili tidak dilaksanakan berdasarkan undang-undang; atau dianggap

lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

bersangkutan”. Intinya, Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutus

permohonan kasasi, berwenang membatalkan putusan atau penetapan

pengadilan, jika putusan atau penetapan itu tidak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dinamika Mahkamah Agung saai ini mempunyai kecenderungan

memperluas kewenangannya. Mahkamah Agung secara historis

mengadopsi konsep kasasi, namun tidak menerapkan prosedur Renvoi

(Penunjukan Kembali dalam kenyataan tersebut memiliki mekanisme

20

bertahap), sehingga hakim agung dalam tingkat kasasi pada akhirnya

diperbolehkan juga memeriksa fakta karena tidak perlu merujuk ke

pengadilan yang seharusnya berwenang memeriksa fakta tersebut.

ketidakjelasan tafsiran atas apa yang diuji terhadap suatu perkara sehingga

dapat dikatakanlah, Mahkaman Agung benar-benar membutuhkan adanya

pemeriksaan atas fakta. Akibatnya, mekanisme kasasi sebenarnya telah

berubah menjadi suatu mekanisme banding yang sempurna16.

Muncul suatu wacana mengenai bagaimana Mahkamah Agung

kemudian memutus hal-hal yang berkaitan dengan fakta. dengan tidak

adanya lagi suatu pembatas, ditambah kecenderungan Mahkamah Agung

memperluas ruang lingkup kasasi, maka dengan sendirinya para pihak,

dalam kondisi apapun, akan mencoba membawa sengketanya ke tingkat

yang tertinggi, yang memberi kecenderungan menganggap bahwa

Mahkamah Agung dalam penerapan hukumnya dinilai tidak lagi konsisten.

Ini bisa kita lihat dari putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang

tidak lagi mengindahkan permasalahan prosedural, tidak menyaring

permohonan yang mengandung pertanyaan hukum, serta tak mencoba

membatasi ukuran hukum tak tertulis yang bisa dijadikan sumber hukum.

Mahkamah Agung juga tidak secara tegas menentukan batasan yang

menjadi acuannya sendiri, langkah Mahkamah Agung ini menimbulkan

ketidakpastian hukum.

Hakikat Mahkamah Agung yang merupakan harapan sebagai

16 Lembaga Peneliti Hukum Independen, Pengamat Hukum Indonesia, Pemerhati Mahkamah Agung, Rubrik: Selasa, 17 Juli 2012.

21

pelaksana Kekuasaan Kehakiman hendaknya dapat mewujudkan

perlindungan berdasarkan hukum yang berkeadilan bagi negara dan rakyat

sudah merupakan kewajiban untuk lebih fokus menangani perkara-perkara

yang menjadi fenomena keadilan seperti masalah pidana, perdata, dan tata

usaha negara dalam tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Bilamana

kekuasaan Mahkamah Agung itu dipertahankan, perlu dibuat mekanisme

atau proses yang bisa memastikan pencari keadilan (“justice seekers”)

mendapatkan proses yang adil, objektif dan transparan (“fair trial”).

Ketentuan hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Perubahan II terhadap Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dengan

demikian dari hasil penelitian perubahannya saat ini belum mencerminkan

prinsip-prinsip itu sebagaimana terlihat dalam Pasal 31 dan Pasal 31A dan

Peraturan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Kajian terhadap putusan Mahkamah Agung yang menimbulkan

masalah semakin kompleks, sebab hasil putusan Mahkamah Agung banyak

yang masih sangat tidak fair dan objektif, kenyataan yang terjadi secara

praktik dari pengajuan kasasi kepada Mahkamah Agung hasilnya diperoleh

penjatuhan sanksi sepihak oleh Mahkamah Agung, meskipun pada dasarnya

Judex Juris tidak berkewenangan melakukan proses klarifikasi dan

investigasi termasuk saksi-saksi serta memeriksa fakta-fakta sebagaimana di

persidangan pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Idealnya, Mahkamah

Agung hanya menilai hasil pemeriksaan yang berupa putusan melalui

22

prosedur Judex Facti. Membuktikan ketidak patuhan terhadap kode etik dan

pedoman Perilaku Hakim, dengan demikian upaya membongkar praktik-

praktik “abuse” peradilan yang sifatnya masif, sistemik dan terstruktur”

diperlukan17.

Selanjutnya berdasarkan penelitian melalui diskusi hukum

"Konsistensi Mahkamah Agung dalam Memutus perkara" dalam rangka

peluncuran jurnal Dictum oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk

Indepedensi Peradilan (LeIP) di Jakarta intinya bahwa18:

“Mahkamah Agung dalam Memutus perkara yang terjadi saat ini dapat dikatakan inkosistensi sebagaimana Sebastian Pompe yang meragukan apakah masalah Inkostensi putusan ini merupakan masalah dari sistem hukum yang digunakan atau hanya masalah administrasi peradilan semata. Penyebabnya adalah telah terjadinya pergeseran paradigma dalam sistem civil law maupun common law saat ini, tudingan bahwa perbedaan sistem menyebabkan terjadinya inkonsistensi putusan menjadi kurang relevan. Dalam sistem civil law, yang selama ini precedent dianggap tidak penting, saat ini telah terjadi pergeseran. Di negara-negara yang menerapkan sistem ini, putusan hakim yang telah ada mulai dipatuhi dan diikuti oleh hakim-hakim lainnya. Sementara sistem common law, yang selama ini dianggap selalu berdasarkan precedent, malah mulai membatasi precedent. Bahkan menurut Pompe, di Indonesia sebelum tahun empat puluhan, sistem precedent telah diterapkan. Putusan Mahkamah Agung sebelumnya diikuti oleh hakim-hakim yang lain. Ini bisa dilihat dari putusan-putusan hakim-hakim pada masa itu yang tersusun rapi dilengkapi dengan indeks dan referensi silang lainnya”.

Ahli hukum Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa “putusan yang konsisten bisa dicapai dengan kemahiran melakukan penelusuran pada sumber-sumber hukum, baik formil maupun materil. "Saat ini kesulitan melakukan penelusuran adalah karena amburadulnya dokumentasi bahan-bahan hukum, baik bahan primer maupun bahan hukum sekunder. Karena itu, hakim dalam membuat putusan hanya menggunakan bahan-bahan hukum

17 Renstra Mahkamah Agung 2010-2014. hlm 17.18 http://new.hukumonline.com/berita/baca/banyak-penyebab-putusan-ma-tidak-

konsisten

23

berdasarkan ingatan dan pengalaman. Karena ingatan dan pengalaman hakim yang satu berbeda dengan yang lain, amar-amar putusan mereka akan lebih bernuansa personal dari pada bernuansa institusional yang akan relatif konsisten”.

Apabila merujuk pada putusan Mahkamah Agung di negara Indonesia

menurut kajian terhadap mekanisme putusan konsistensi Mahkamah Agung

disadari masih masih sangat jauh dari harapan untuk dicapai. Namun

diharapkan Mahkamah Agung mampu memperhatikan setiap putusan

Mahkamah Agung walau berbeda-beda dalam pertimbangan hukumnya

namun wajib memperhatikan perihal yang memuat argumentasi hukum yang

jelas, runtut dan komprehensif akan mengetahui jelas akan kekurangannya,

saat ini putusan Mahkamah Agung tidak cukup menguraikan dengan jelas

alasan-alasan yang menjadi dasar pertimbangan hukum. seperti beberapa

putusan Mahkamah Agung hanya memutus sebatas, “Menimbang Bahwa

Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dibenarkan karena Judex

Facti tidak melanggar hukum”, Mahkamah Agung tidak menerangkan

secara argumentatif di mana letak tidak melanggar hukumnya itu. Dengan

demikian putusan Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya dinilai

tidak efektif dijabarkan secara tegas dan jelas tidak hanya ketentuan hukum

saja namun asas dan teori hukum dan dinamika perkembangan yang ada

dimasyarakat pula secara komprehensif wajib dijadikan wacana dalam suatu

putusan Mahkamah Agung, terlebih lagi Mahkamah Agung tidak lagi

menilai atau mengkoreksi atas putusan peradilan dalam yurisdiksinya

melainkan seolah-olah memeriksa fakta yang melampaui batas-batasnya

24

sebagai Judex Juris19.

Berkaitan mengenai uraian pergeseran paradigma di atas maka dapat

dapat diperoleh melalui hasil gagasan kontroversial manusia sepanjang

perjalanan sejarah peradabannya, suatu produk pilihan dari kurun ke kurun

yang dilakukan para elit pemikir tatkala mereka harus mencari dan

menemukan hukum yang paling signifikan guna melestarikan eksistensi

manusia sosio-politik manusia, maka tak salah kalau Thomas Kuhn

mendalilkan bahwa paradigma itu sesungguhnya merupakan produk

pergeseran pangkal berpikir manusia. Kuhn menggunakan istilah

‘paradigma’ tidak hanya untuk mengisaratkan adanya pola atau pangkal

berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik

antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut

paradigm shift20.

Thomas Kuhn, seorang filsuf dan ahli fisika, dalam kapasitasnya

sebagai pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan sepanjang sejarah

peradaban yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan

dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya

mengembangkan pola atau model berpikir yang sama guna mendefinisikan

pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu

pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama sebagai penunjang

kehidupan yang sesuai. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan

19 Ibid (Data diolah dalam menanggapi Konsistensi Mahkamah Agung)20 : Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University

Press, 1962). Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun Surjaman, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja Karya, 1986).

25

dengan keyakinan paradigmatik yang “tak lekang di panas dan tak lapuk di

hujan” tidaklah selamanya bisa bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah

ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau

beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu

dari satu paradigma ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm

shift.21 Sejumlah gugus pengetahuan yang “normal dan harus dikukuhi

sebagai hal yang benar” ini hanya bisa bertahan sepanjang kurun waktu

tertentu, sampai suatu ketika tatkala datang krisis; ialah ketika seluruh gugus

teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi dapat didayagunakan

secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang bermunculan,

demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang untuk

mencari teori-teori pengetahuan baru atas dasar konsep-konsep yang baru

pula untuk menjawabi banyak persoalan yang tak bisa dipecahkan

bersaranakan pengetahuan-pengetahuan berparadigma lama, begeser ke

pengetahuan-pengetahuan baru yang dibangun atas dasar paradigma yang

baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola berpikir paradigmatik yang

lama ke yang baru.

Demikianlah, dalam dinamika pengetahuan dan ilmu hukum,

perkembangan intelektual manusia pun tidaklah pernah berlangsung secara

lempang-lempang dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a

mainstream). Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang

mengundang gejolak, ialah tatkala paradigma lama sebagai “ilmu yang

dipandang normal dan berlegitimasi pada masanya” gagal menjawab

21 Ibid

26

masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan menerbitkan

anomali-anomali saja. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma

baru yang bisa menawarkan alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini

akan menjadi sumber terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan

menyandingi melainkan juga sampai bisa menandingi mainstream lama.

Apabila berhasil, paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang

meminggirkan paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak

akan lenyap begitu saja dari percaturan.

Konsep paradigm shifts (bergeser) membuka kesadaran bersama

bahwa para pengkaji ilmu pengetahuan itu juga dalam percaturan hukum tak

akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu suasana “objektivitas” yang

mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya sebagai penerus yang

berjalan dalam suatu alur progresi yang linier belaka. Para pengkaji dan

peneliti ilmiah yang sejati selalu saja memiliki subjektivitas naluriah untuk

bergerak secara inovatif guna mencari dan menemukan alur-alur pendekatan

baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan yang sampai saat itu

sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan terabaikan oleh

kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang diyakini

telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang “normal dan tak

lagi diragukan legitimasinya”. Kehendak untuk mencari dan menemukan

alur pendekatan selalu saja terjadi dalam sejarah falsafat dan keilmuan

manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang mendasar pada

kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga masyarakat

27

politik pada banyak permasalahan baru yang menghendaki jawaban-jawaban

yang baru pula.

Pemahaman filsafat yang diterapkan oleh Thomas S. Kuhn apabila

menilai kinerja Mahkamah Agung dihubungkan dengan harapan yang ingin

dicapai mengingat lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi

yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman sebagai pemutus terakhir dari

upaya hukum bagi setiap pencari keadilan, maka wajib mengutamakan

perhatian demi tercapainya tujuan keadilan yang diperoleh dari hasil putusan

sebagai produk hukum Mahkamah Agung bukan berarti perhatian terhadap

kinerja Mahkamah Agung belaka yang dirubah melainkan sistem hukumnya

sendiri pula harus berubah, sebab putusan yang relevan harus ditunjang

dengan adanya perangkat yang terorganisir jelas dan substansi putusan yang

berkualitas dan komprehensif dan tetap patuh terhadap Kode Etik Perilaku

Hakim dengan tidak melampaui batas-batas kewenangan sebagaimana

ketentuan yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang yang

berkaitan dengan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dan sebagai

pelaksana Kekuasaan Kehakiman.

Dengan landasan penelitian yang diperoleh, selanjutnya digunakan

dalam menyusun Disertasi dengan judul: “KEWENANGAN

MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI JUDEC JURIS DALAM MENILAI

FAKTA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN”.

Demi tercapainya kepastian, dan kemanfaatan hukum yang

berkeadilan. Sebagaimana amanat Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang

28

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka penelitian ini

bertujuan untuk mengkaji adanya peralihan sistem sebagai mekanisme

Mahkamah Agung dalam fungsinya dan tujuannya berpedoman pada

kepatuhan terhadap hukum untuk membentuk putusan yang mewujudkan

keadilan.

Penelitian ini akan berupaya membandingkan dengan negara seperti

Singapura yang bersistem hukum Commond Law (Anglo Saxon) yang juga

mengadopsi sistem hukum Civil law berdasarkan teori Paradigma Shift

menurut filsafat Thomas S. Kuhn begitu pula sebaliknya di negara yang

bersistem Common law mengadopsi sistem hukum Civil Law. kedua sistem

hukum ini faktanya berlaku di Indonesia yang secara praktis mengadopsi

sistem hukum Anglo Saxon seperti the Binding force of Precedent artinya

kekuatan mengikatnya suatu putusan peradilan. Secara garis besar adalah

negara yang bersistim hukum Common Law (Anglo Saxon) menekankan

bahwa Hakim kompetensinya adalah judex juris, putusannya judgement

decision, sedangkan Juri kompetensinya adalah judex facti, putusannya

adalah verdict. Hakim mewakili Negara sedangkan juri mewakili rakyat.

Sistem hukum Civil Law, yaitu sistem hukum yang mengutamakan

kodifikasi hukum dan Undang-Undang atau hukum tertulis sebagai

penjamin asas legalitas dan kepastian hukum seperti yang berlaku di

Indonesia. Namun dalam praktek seiring dengan perjalanan waktu, apabila

dianalisa memiliki manfaat secara internal setelah adanya pengaruh

globalisasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara,

29

nampaknya penerapan sistem hukum Civil Law di Indonesia mulai

mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya akademisi maupun praktisi

hukum dari Indonesia yang belajar hukum di negara-negara yang menganut

sistem Common Law. Selain itu terdapat manfaat eksternal yaitu dapat

mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan

negara lain yang berbeda sistem hukumnya. Pergeseran itu antara lain

mulai diakuinya sumber hukum Juriprudensi, yaitu putusan hakim (Judge

Made Law) yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di

Indonesia. Sistem hukum Civil Law memiliki sumber hukum utama yakni

Undang-undang dan Hakim tidak terikat oleh putusan hakim sebelumnya

meskipun dalam perkara yang sama.

Melalui pemahaman ini timbul kesadaran akan pentingnya

mempelajari perbandingan sistem hukum untuk memperoleh pemahaman

yang komprehensif untuk mengadopsi hal-hal positif guna pembangunan

hukum nasional.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, yang menjadi permasalahan

adalah:

1) Bagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa

perkara hanyalah sebagai Judec Juris menurut kajian hukum

normatif dan Filosofis?

30

2) Bagaimana seharusnya Mahkamah Agung sebaai Judec Juris

dalam mewujudkan keadilan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui dan memahami dengan menganalisis mengenai

kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara disamping

fakta yuridis tersebut, kini dapat dipertemukan beberapa putusan yang

melebihi kewenangan Mahkamah Agung.

2) Untuk memahami dan menilai terhadap kontradiksi antara ketentuan

perundang-undangan secara das sein dan fakta yang terjadi secara das

sollen relevansinya dengan pendapat Satjipto Raharjo menuntut agar

Hakim tidak semata-mata tunduk dan patuh pada undang-undang.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat penulisan ini diharapkan berguna secara teoritis maupun

praktis. Maka mengenai kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Kegunaan Teoritis

Merupakan penulisan yang secara teoritis diharapkan berguna untuk

memperluas pengetahuan mengenai:

a) Kewenangan Mahkamah Agung sebagai Pelaksana Kekuasaan

Kehakiman menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

31

tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah

Agung.

b) Kedudukan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus

perkara tanpa terikat pada formalitas Perundang-undangan dengan

pergeseran dalam filosofi Paradigma yang berpengaruh pada hasil

putusan Mahkamah Agung.

2) Kegunaan Praktis.

Manfaat secara praktis betujuan untuk menciptakan keadilan dan

kepastian hukum pada masyarakat dari kegunaan ini, yang secara

keseluruhan adalah:

a) Mengetahui kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus

perkara berkaitan kualitas Mahkamah Agung sebagai Judex Juris

berdasarkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.

b) Sebagai wacana bagi penegak hukum untuk mengetahui intensitas

suatu putusan yang berlaku.

c) Untuk memberi pengetahuan melalui dinamika perkembangan dari

adanya pergeseran paradigma sebagai nuansa baru apakah dapat

diterima atau terjadi penolakan apabila Mahkamah Agung

mengambil keputusan di luar Undang-Undang hukum formil.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Sebelum menguraikan mengenai Teori Negara Hukum, maka akan

32

diuraikan mengenai pengertian negara menurut para ahli hukum.

a) Teori Pengertian Negara

Mengenai pengertian negara, terdapat beberapa pengertian yang

diberikan oleh para sarjana sebagaimana dikutip oleh Max Boli Sabon,

sebagai berikut:22

1. AristotelesNegara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.

2. Jean BodinSuatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.

3. Hugo GrotiusNegara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum

4. BluntschiNegara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu organisasi politik di suatu daerah tertentu.

5. Hans KelsenNegara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.

6. Woodrow WilsonNegara adalah rakyat yang terorganisir untuk hukum dalam wilayah tertentu.

7. DiponoloNegara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu umat di suatu daerah tertentu. Bagaimana bentuk dan coraknya, negara selalu merupakan organisasi kekuasaan. Organisasi kekuasaan ini selalu mempunyai tata pemerintahan. Dan tata pemerintahan ini selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di daerah tertentu.

Pendapat tentang negara juga dapat dijumpai pada tulisan Miriam

Budiardjo yang mengutip beberapa pemikiran sarjana, seperti:23

1) Rogel H. Soltau, mengemukakan negara adalah alat (agency) atau

22 Max Boli Sabon, dkk, Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992. hlm. 25.

23 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1977, hlm 39

33

wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-

persoalan bersama atas nama masyarakat.

2) Harold J. Laski, mengemukakan negara adalah suatu masyarakat

yang diintergrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat

memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau

kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat

adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk

mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.

Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati

baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh

suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.

3) Max Weber, mengemukakan negara adalah suatu asosiasi yang

mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah

dalam sesuatu wilayah.

4) Robert M. MacIver, berpendapat bahwa negara adalah asosiasi yang

menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu

wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh

suatu pemerintah yang untuk suatu pemerintah yang untuk maksud

tersebut diberi kekuasaan memaksa.

Selain para sarjana seperti yang dikutip oleh Max Boli Sabon

dkk dan Miriam Budiardjo, Wirjono Projodikoro juga memberikan

pengertian mengenai negara.24 Negara menurut beliau diartikan sebagai

24 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1974, hlm. 2.

34

suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia

yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (teritoir) tertentu dengan

mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan

keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tadi. Dari

pengertian-pengertian tentang negara tersebut, dapat disimak bahwa

pengertian negara menurut Diponolo yang memberikan uraian yang

sederhana, jelas, dan terperinci. Menurut beliau, negara selalu merupakan

organisasi kekuasaan, mempunyai tata pemerintahan dan tata

pemerintahan yang ada selalu melaksanakan tata tertib atas suatu umat di

daerah tertentu.

b) Teori Pengertian Hukum

Teori mengenai pengertian hukum pada hakikatnya belum adanya

satu definisi yang baku. Banyak pendapat para ahli mengenai disiplin teori

hukum, antara lain:25

1) Hans Kelsen

Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mnegenai hukum yang berlaku

bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud

adalah teori hukum murni, yang disebut teori hukum positif. Teori

hukum murni, makdusnya karena ia hanya menjelaskan hukum dan

berupaya membersihkan objek penjelasan dari segala hal yang tidak

bersangkut paut dengan hukum. Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu

hukum, dan bagaimana ia ada.

25 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 253

35

2) Friedman

Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi

hukum yang berkaitan antara filsafat hukum di satu sisi dan teori

politik di sisi lain. disiplin teori hukum tidak mendapatkan tempat

sebagai ilmu yang mandiri, maka disiplin teori hukum harus

mendapatkan tempat di dalam disiplin ilmu hukum secara mandiri.26

3) Ian Mc Leod

Teori hukum adalah suatu yang mengarah kepada analisis teoritik

secara sistematis terhadap sifat-sifat dasar hukum, aturan-aturan

hukum atau intitusi hukum secara umum.

4) John Finch

Teori hukum adalah studi yang meliputi karakteristik esensial pada

hukum dan kebiasaan yang sifatnya umum pada sutau system hukum

yang bertujuan menganalisis unsure-unsur dasar yang membuatnya

menjadi hukum dan membedakannya dari peraturan-peraturan lain.

5) Jan Gijssels dan Mark van Hocke

Teori hukum adalah ilmu yang bersifat menerangkan atau menjelaskan

tentang hukum. Teori hukum merupakan disiplin mandiri yang

perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait dengan ajaran hukum

umum. Mereka memandang bahwa ada kesinambungan antara Ajaran

Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut:27

26 W. Friedman,  Teori dan Filsafat Hukum. Susunan I. Telaah Kritis Atas Teori Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1990, hlm. 1

27 Otje Salman S, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 54-55

36

Teori hukum sebagai kelanjutan dari Ajaran Hukum Umum

memiliki objek disiplin mandiri, diantara dogmatik hukum di satu

sisi dan filsafat hukum di sisi lain. Dewasa ini teori hukum diakui

sebagai disiplin ketiga disamping untuk melengkapi filsafat hukum

dan dogmatik hukum, masing-masing memiliki wilayah dan nilai

sendiri-sendiri.

Teori hukum dipandang sebagai ilmu yang bebas nilai, yang

membedakan dengan disiplin lain.

6) Bruggink

Teori hukum seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan system

konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan

system tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Pengertian

ini mempunyai makna ganda, yakni definisi teori sebagai produk dan

proses.

c) Teori Pengertian Negara Hukum

Pengertian Negara Hukum sendiri, dalam konsep Eropa

Kontinental dinamakan rechtsstaat, sedangkan dalam konsep Anglo

Saxon dinamakan Rule Of Law. Penegasan Negara Indonesia sebagai

negara hukum telah dinormativisasi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang Dasar 1945 perubahan ke-4 yang menegaskan bahwa

“Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)”. Dengan

penegasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat, dan

37

negara diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik

anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut.

Adapun negara hukum yang dianut oleh Negara Indonesia tidaklah dalam

artian formal namun negara hukum dalam artian material yang juga

diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau “negara

kemakmuruan” Dalam negara kesejahteraan, negara tidak hanya bertugas

memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut untuk turut serta

aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat.

Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran Negara

Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie

gagasan bahwa kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi

Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan

kedaulatan hukum.28 Demikian halnya bahwa kedaulatan rakyat adalah

asasnya demokrasi dan demokrasi adalah tumpuannya Negara hukum

dimana tiap Negara hukum mempunyai landasan tertib hukum dan

menjadi dasar keabsahan bertindak29. Setiap Negara bersandar pada

keyakinan bahwa kekuasaan Negara harus dijalankan atas dasar hukum

yang adil dan baik.

Esensi pada suatu Negara hukum, pertama: Hubungan antara yang

memerintah dan diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan

berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat semua pihak

28 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, Hal. 11.

29 Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum pemerintahan yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Total Media, Yogyakarta, 2008, Hal:4.

38

termasuk memerintah; kedua: norma objektif itu harus memenuhi syarat

bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan

berhadapan dengan ide hukum. dalam ini nilai-nilai yang tumbuh dan

berkembang di masyarakat.

Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia

mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat

diusia tuanya, sementara itu dalam dua tulisan pertama, Politeia dan

Politicous, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato

mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang balk ialah yang

didasarkan pada pengaturan (hukum) yang balk. Dalam bukunya

Politicous yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato30 (429-347

S.M) menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin

dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat

diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan

pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum.

Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika

didukung oleh muridnya, aristoteles, yang menulisnya dalam buku

Politics. Menurut Aristoteles, suatu negara yang balk ialah negara yang

diperintah dengan konstitusi dan kedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga

unsur pemerintahan yang berkonstitusi, yaitu:

1. Pemerintahan yang dilaksanakan oleh kepentingan umum,

30 Budiono Kusumahamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban Yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, Hal.36-37

39

2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada

ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara

sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi.

3. Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang

dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan tekanan

yang dilaksanakan secara despotik.31

Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 S.M) adalah

negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga

negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup

untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu

diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara

yang balk. Dan bagi Aristoteles32 yang memerintah dalam negara

bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan

penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja dan

secara filosofis ditegaskan bahwa, cabang-cabang pengetahuan lainnya,

politik harus mempertimbangkan bukan hanya yang ideal, tetapi juga

berbagai masalah aktual, yaitu konstitusi terbaik yang mana yang dapat

dipraktikkan dalam keadaan tertentu: alat-alat apa yang terbaik untuk

mempertahankan kosntitusi-konstitusi aktual: yang mana konstitusi rata-

rata yang terbaik untuk mayoritas kota: apa perbedaan varietas tipe-tipe

kosntitusi yang utama, dan khususnya demokrasi dan oligarki. Politik juga

harus mempertimbangkan nukan hanya konstitusi-konstitusi, tetapi juga

31 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2010, Hal. 2.32 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN

FH UI dan Sinar Bakti, Jakarta, 1988, Hal. 153.

40

hukum-hukum, dan hubungan yang tepat antara hukum-hukum dengan

konstitusi-konstitusi. Pernyataan tersebut mengingatkan bahwa Konstitusi

sebagai norma yang mesti menjadi dasar pembentukan norma lainnya dan

tidak boleh ada norma yang melebihinya demikian pada bahwa semua

norma mesti dapat diuji dengan norma yang lebih tinggi.

Dalam kaitannya dengan itu, maka33 peraturan dasar merupakan

landasan penyusunan jabatan dalam suatu negara dan menentukan apa

yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan dan apa akhir dari setiap

masyarakat, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus

mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut.

Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan

tenggelam dalam waktu yang panjang, kemudian kembali muncul secara

eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat

dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami pemikiran Immanuel Kant.

Menurut Stahl34, unsur-unsur negara hukum (rechsstaat) adalah:

1) Perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi man usia

2) Negara yang didasarkan pada teori trias potitica ;

3) Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig

bestuur) ; dan

4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus

perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechmatige

overheiddaad).

33 Ridwan HR, Op Cit Hal. 2.34 Aristoteles, Politik Diterjemahkan dari Buku Polities, Oxford University, New York,

1995, Bentang Budaya, yogyakarta, 2004, Hal: 161

41

Lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan oleh F.J. Stahl

adalah konsep pemikiran negara hukum Eropa Kontinental atau yang

dipraktekkan di negara-negara Eropa Kontinental (civil Law). Adapun

konsep pemikiran negara hukum yang berkembang di negara-negara

Anglo-Saxon yang dipelopori oleh A.V. Decey (dari inggris) dengan

prinsip rule of law. Konsep negara hukum tersebut memenuhi 3 (tiga)

unsur utama:

1)Supermasi aturan-aturan hukum (Supremacy of the law), yaitu tidak

adanya kekuasaan sewenang-wenang (Absence of arbitrary power),

dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar

hukum ;

2)Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (Equality before the

law), Dalil ini berlaku balk untuk orang biasa maupun untuk pejabat ;

3)Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain

dengan Undang-Undang Dasar) serta keputusan-keputusan

pengadilan.35

Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum

tersebut di atas, baik Rechtsstaat maupun Rule of Law, mempunyai

persamaan dan perbedaan. Persamaan pokok antara Rechtsstaat dengan

Rule of Law adalah, adanya keinginan untuk memberikan jaminan

terhadap hak-hak asasi manusia. Keinginan memberikan perlindungan dan

penghormatan terhadap hak asasi itu, telah diimpikan sejak berabad-abad

lamanya dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.

35 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2008. Hal. 57-58.

42

Penyebab timbulnya penindasan dan pelanggaran teradap hak asasi

manusia itu faktor penyebab utamanya karena terpusatnya kekuasaan

negara secara mutlak pada satu tangan, yakni raja atau negara (absolut).

Karena itu adanya keinginan untuk memisahkan atau membagikan

kekuasaan negara kepada beberapa badan atau lembaga negara lainnya,

merupakan salah satu cara untuk menghindari terjadinya pelanggaran

terhadap hak asasi manusia dan sekaligus memberikan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia.

Dalam perkembangannya36 konsepsi negara hukum tersebut

kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat

diantaranya:

1)Sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;

2)Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

3)Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

4)Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

5)Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke controle)

yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-

benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;

6)Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga

negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan

kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;'

36 Ridwan HR, op cit., Hal. 4

43

7)Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang

merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.

Khusus untuk Indonesia, istilah Negara Hukum, sering

diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham rechtstaats pada

dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang

rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi

sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja.37 Paham rechtstaats

dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti

Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham

the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885

menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The

Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo

Saxon atau Common law system.

Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya

Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan

mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan

paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht

pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan

kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara

ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal

dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.38 Friedrich

Julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya ; Staat and Rechtslehre II,

37 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989, Hal. 30.38 M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, Hal. 73-74.

44

1878 him. 137, memberikan pengertian Negara Hukum sebagai berikut:

Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan

sebenarnya juga daya pendorong daripada perkembangan pada zaman

barn ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya dan batas-batas

kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat

ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak

dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada

seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum,

misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa

tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan.

Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada

Negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.39

Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang terbesar

dalam abad ke dua puluh di Nederland, menulis karangan tentang Negara

Hukum dimana Paul Scholten menyebut dua ciri daripada Negara Hukum,

yang kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama

daripada Negara Hukum ialah:

1. "er ia recht tegenover den staat", artinya kawula negara itu mempunyai

hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat.

Asas ini sebenarnya meliputi dua segi

a. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya

terletak diluar wewenang negara;

39 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, Hal. 24.

45

b. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan

ketentuan undang-undang, dengan peraturan umum.

2. "er ia scheiding van machten", artinya dalam negara hukum ada

pemisahan kekuasaan.40

Pada bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution, Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti (three meaning) dari the rule of law pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.41

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan

dalam UUD 1945 (setelah amandemen) bahwa, Pasal 1 ayat (3);

"Indonesia ialah hukum (rechtsstaat)". Indikasi bahwa Indonesia

menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah

untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat

dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia,

40 O. Notohamidjojo, Op. cit., Hal. 25.41 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, Hal. 312.

46

2) Memajukan kesejahteraan umum,

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

4) Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan

keadilan sosial.

Instrumen awal fundamental dan fital dalam mewujudkan tujuan

tersebut melalui pembangunan hukum. Kajian dari hasil penelitan tentang

konsep Negara hukum dan prinsip Negara hukum di beberapa Negara,

maka42 tampak unsur-unsur Negara hukum Indonesia menurut Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu :

a. Pancasila dijadikan dasar hukum dan sumber hukum, Pancasila sebagai

kristalisasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat juga memuat prinsip

dalam agama sehingga mempunyai kesamaan dengan nomokrasi Islam.

b. Kedaulatan Negara ada pada rakyat dilaksanakannya oleh lembaga

Negara, yaitu sebagaimana disebut dalam konstitusi yang bermakna

adanya permusyawaratan, hal ini mengingatkan kesamaan dengan

prinsip rule of law.

c. Adanya pembagian kekuasaan kepada lembaga-lembaga tinggi Negara

(distribution of powers)

d. Kekuasaan atau pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi,

e. Adanya independensi kekuasaan kehakiman,

f. Adanya kerja sama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah

dalam pembentukan hukum dan perundang-undangan,

g. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang

bertanggung jawab.

Pendapat Soediman Kartohadiprodjo tentang hukum dan negara

42 Muin Fahmal, Opcit. Hal: 141

47

dalam kerangka Pancasila terkait kedaulatan rakyat adalah segala aturan

yang bersanksi yang mengatur tingkah laku manusia yang dibentuk

berdasarkan penilaian tentang tingkah laku manusia itu yang pada

dasarnya tergantung dari penglihatan manusia yang menilai tadi tentang

tempat individu dalam pergaulan hidup. Sedangkan negara hukum

Pancasila adalah negara berdasarkan hukum dimana kegiatan

pemerintahan dan negara harus sesuai dengan hukum yang berlandaskan

nilai-nilai Pancasila.43

d) Teori Keadilan

Dikemukakan oleh John Rawls (lahir 1921)44

John Rawls adalah tokoh yang meyakini bahwa prinsip-prinsip

etika dapat menjadi dasar yang kuat dalam membangun masyarakat yang

adil. Rawls mengembangkan pemikirannya,tentang masyarakat yang adil

dengan teori keadilannya yang dikenal pula dengan teori Posisi Asli.

Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran

Utilitarianisme. John Rawls mengambil gagasan dan pemikiran dari

Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh Butler, J.J. Rousseau, David Hume,

J.S. Mill, dan Karl Marx mengenai Teori keadilan.

Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam karya-karyanya

tersebut di atas, terdapat beberapa konsep Rawls yang memperoleh

apresiasi dan perhatian luas dari beragam kalangan, diantaranya yaitu: (1)

Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip

kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip

43 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 78

44 John Rawls dalam Pan Mohamad Paiz. UI-Jakarta 2005, Hlm 5

48

perbedaan (two principle of justices), (2) Posisi asali dan tabir

ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance); (3)

Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling

tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik (public

reason).

John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan

mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara

prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa

karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract)

yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John

Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian,

gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan

para pendahulunya, bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-

teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan intuisionistik. Dalam

hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan

dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara

sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama

dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi,

menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat

mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang

telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh

karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai

perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.

49

Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-

prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya

yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung

ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada umumnya, setiap

teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak terkecuali pada

konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk

memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di

dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi

antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status

sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya.

Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan

pihak lainnya secara seimbang.

Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi

asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari

oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan

(equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of

society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya

hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai

“pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere), hanya saja

dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the State of

Nature”.

Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan

oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta

50

dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan

doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan

tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori tersebut,

Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip

kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya

tersebut sebagai “justice as fairness”.

Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-

masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap

orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang

paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi

orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian

rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota

masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan

posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana

adanya persamaan kesempatan yang adil.

Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan yang

sama” (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik

(political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi

(freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom

of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip

perbedaan” (difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan

“prinsip persamaan kesempatan” (equal opportunity principle).

“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip

51

ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol

sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah. Sementara

itu prinsip persamaan kesempatan yang terkandung pada bagian (b) tidak

hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun

juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut.

Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya

perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat

dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls.

Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan

kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya

kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai

nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi

setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang

beruntung (the least advantage).

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut, Rawls

meneguhkan adanya aturan prioritas ketika antara prinsip satu dengan

lainnya saling berhadapan. Jika terdapat konflik di antara prinsip-prinsip

tersebut, prinsip pertama haruslah ditempatkan di atas prinsip kedua,

sedangkan prinsip kedua (b) harus diutamakan dari prinsip kedua (a).

Dengan demikian, untuk mewujudkan masayarakat yang adil Rawls

berusaha untuk memosisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai

yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan

kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau

52

posisi tertentu. Pada akhirnya, Rawls juga menisbatkan bahwa adanya

pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau

membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling tidak beruntung.

Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata Rawls sudah

dipastikan akan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan para filsuf

etik dan politik dari bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak

para pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls, namun tidak

sedikit pula yang menentangnya. Selaku rekan sejawatnya di Harvard

University, Robert Nozick menjadi orang pertama yang melancarkan

kritik secara terbuka terhadap “A Theory of Justice” melalui bukunya

yang berjudul “Anarchy, State and Utopia” (1974). Umumnya hingga

saat ini, kedua buku tersebut selalu dibaca bersandingan untuk

mengetahui pelbagai ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian

justice” terhadap konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral principle),

aturan-aturan (roles), jejak sejarah (historical trace), dan keadilan

distibutif (distributive justice).

Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding Rawls: A Critique

and Reconstruction of A Theory of Justice” (1977) dari persepktif marxist

dan Michael Walzer dari kelompok komunitarian melalui karyanya

“Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama menunjukkan ketidak

setujuannya terhadap konsep keadilan yang didengungkan oleh John

Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A. Cohen turut pula mengkritisi teori

Rawls atas kedalaman dan keseriusan basis egalitariannya.

53

Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga mempertanyakan

keabsahan dan keberfungsian premis-premis keadilan Rawls apabila

dihadapkan pada kondisi-kondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat

dunia yang terus berkembang, seperti misalnya terhadap keadilan

internasional (international justice). Namun demikian, bagi John Rawls

kritikan tersebut justru dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan

dari teori kedilan yang tengah dikembangkannya.

Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls mencoba

untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya

dalam beragam perluasan masalah (problem of extension) yang muncul di

kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam yang tidak hanya sebatas

bagaimana cara membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana

politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus dipelihara dalam konteks

kekinian serta situasi sosial yang ditandai dengan adanya keanekaragaman

agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak

saja memperkenalkan gagasan yang disebutnya sebagai “overlapping

consensus” guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan

kesamaan diantara warga negara yang memiliki pandangan keyakinan

agama dan filosofis yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide

tentang “nalar publik” (public reason) sebagai penalaran bersama dari

seluruh warga negara.

Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik yang

ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih

54

mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan metafisik, John Rawls

mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan

kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari nilai-

nilai keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak

sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan secara damai,

logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-klaim atas

kebenaran yang universal (universal truth).

Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-

prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang

memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan kemerdekaan-

kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk semua

orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-nilai

yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas

dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-

posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan

kesempatan yang adil; dan (b) diperuntukan sebagai kebermanfaatan

sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang paling tidak

diuntungkan.

Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukakann pada konsep yang

awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi “klaim

yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem

kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic liberties) menjadi

“skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan-

55

kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and

liberties). Sebagai tujuan utama dari hukum, maka keadilan sering

menjadi fokus utama dari setiap diskusi tentang hukum. Sayangnya,

karena keadilan merupakan konsep yang sangat abstrak, sehingga di

sepanjang sejarah manusia tidak pernah mendapatkan gambaran yang

pasti tentang arti dan makna yang sebenarnya dari keadilan, tetapi selalu

dipengaruhi oleh paham atau aliran yang dianut saat itu. Namun

demikian, apa sebenarnya manusia begitu gencar mencari keadilan di

sepanjang sejarah peradaban manusia? Apakah yang namanya keadilan

memang diperlukan oleh manusia itu? Jawabannya, tentu saja manusia

sangat memerlukan suatu keadilan seperti uraian di bawah ini.45

a) Jawaban secara deontologis etika, yaitu karena keadilan sudah

menjadi hakdari seseorang, seperti kewajiban orang untuk

menceritakan yang benar (tidak berbohong) atau melaksanakan janji

yang telah dibuatnya (pacta sunt servanda);

b) Jawaban dari kaum utilitarian, bahwa keadilan atau persamaan

perlakuan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk

dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau

kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

c) Jawaban dari kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan

memang kebutuhan dalam masyarakat di sepanjang masa.

d) Jawaban dari kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan

kebutuhan jiwa manusia.

45 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 77.

56

e) Jawaban dari kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak

dan tuntunan ilahi terhadap manusia.

Pada masa 300 Sebelum Masehi, pada masa Plato dan Aristoteles,

konsep keadilan pernah bertengger lama bersamaan dengan

perkembangan paham hukum alam dalam sejarah hukum. Bahkan,

hampir-hampir tidak dapat dibedakan antara konsep keadilan dengan

konsep hukum alam itu sendiri. Karena itu, perkembangan hukum alam

di zaman Yunani klasik berjalan seiring dengan perkembangan konsep-

konsep keadilan kala itu, yang menggantikan konsep- konsep keadilan

yang dilandasi pada mitologi (pada kehendak dewa-dewa) menjadi

konsep keadilan yang berdasarkan kepada hukum alam (yang suci)

berdasarkan atas keinginan yang rasional dan dapat dipahami oleh

rasionalitas manusia. Kemudian, perkembangan historis tentang keadilan

dalam artinya yang modern terjadi dalam beberapa episode, yaitu:

1. episode fajar keadilan (the dawn of justice);

2. episode kepercayaan (the age of faith);

3. episode rasional (the age of reason);

4. episode penuh harapan (the age of hope); dan

5. episode skeptis, dan pesimis.

Episode fajar keadilan (the dawn of justice) di mulai dari awal

kebangkitan hukum yang mempromosikan keadilan. Bagi sistem hukum

Eropa Kontinental, episode ini terjadi di sekitar abad ke-4 dan 5 Masehi,

di mana konsep hukum dan keadilan sedang berkembang pesat di

57

negara Romawi. Sementara itu, untuk sistem hukum Anglo Saxon,

episode fajar menyingsing ini terjadi di sekitar abad ke-12 (dua belas)

dan 13 (tiga belas) yang merupakan era awal kebangkitan sistem hukum

dan keadilan di Inggris. Kemudian, episode kepercayaan (the age of faith)

terjadi di sekitar abad ke-15 dan 16, di mana hukum dan keadilan

dianggap sebagai suatu titah Tuhan. Episode rasional (the age of reason)

terjadi di sekitar abad ke-18, di mana dalam masa-masa ini hukum dan

keadilan diukur dengan memakai ukuran- ukuran rasional sesuai dengan

sistem logika. Dalam tradisi hukum Anglo Saxon keharusan menonjolkan

argumentasi dalam setiap putusan hakim melalui doktrin ratio decidenci,

juga ikut melahirkan yurisprudensi dan aturan-aturan hukum yang

rasional. Sedangkan episode penuh harapan (the age of hope) terjadi di

abad ke-20 (dua puluh), di mana di abad ini hukum sangat diharapkan

untuk dapat memperbaiki keadaan politik, sosial, moral, dan mutu hidup

manusia. Berbeda dengan abad-abad sebelumnya, di abad ini mulai

disadari bahwa hukum tidak mungkin dikembangkan dengan

menggunakan logika secara deduktif semata-mata. Juga, hukum tidak

mungkin direduksi hanya dalam bentuk undang-undang semata- mata.

Bahkan, sering kali undang-undang hanya merupakan penampungan

aspirasi partai tertentu yang berkuasa di parlemen, sedangkan hukum

seharusnya merupakan aspirasi masyarakat luas yang telah teruji

berabad-abad dalam sejarah hukum.

Kemudian, menurut Munir Fuady, di akhir abad ke-20 memasuki

58

abad 21 (dua puluh satu), perkembangan pemikiran tentang hukum dan

keadilan didominasi oleh rasa frustrasi, skeptis, dan pesimis. Hal ini

dikarenakan tidak kesampaiannya harapan yang terlalu besar di abad ke-

20 (duapuluh) pada peranan sektor hukum dan ilmu pengetahuan, yang

ternyata perannya dapat dikatakan gagal total. Bahkan, yang jelas terjadi

adalah perang dunia pertama dan kedua serta perang-perang lainnya, juga

berbagai pergerakan menuju kerusakan bumi, ketidakadilan, dan

kehancuran manusia. Di samping itu, di paruh pertama abad ke-20, orang

terlalu banyak menggantungkan harapan pada hukum. Padahal, hukum

yang diciptakan oleh manusia ditegakkan dan ditafsirkan oleh manusia

juga, pada hukum tersebut mengandung banyak kelemahannya. Karena

kenyataannya tidak sesuai dengan harapan, maka mulai akhir abad ke-20

dan memasuki abad ke-21, terjadi banyak keputusasaan, frustrasi, skeptis,

dan rasa pesimistis. Hal ini berkembang seiring dengan (atau lebih

tepatnya dipengaruhi) ajaran postmodernisme yang memang sedang

berkembang pesat saat ini. prinsip-prinsip keadilan bersumber dari negara

Yunani klasik yang terus berkembang dan masuk ke dalam hukum

Romawi, kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa Kontinental

maupun Anglo Saxon dan terus berkembang sampai dengan keadilan

dalam berbagai sistem hukum modern saat ini.46

Dikemukakan oleh L.J. van Apeldoorn

Menyatakan keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan

46 Ibid

59

persamarataan. bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian

yang sama.47

Juga Aristote1es telah mengajarkannya. Ia mengenal dua macam

keadilan, keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan ditributif

ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut

jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang

sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan

keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang

sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa seseorang. Oleh

Rochmat Soemitro pendapat Aristoteles dirumuskan, bahwa keadilan

terbagi atas dua bagian. Bagian pertama ialah keadilan secara umum.

Sedangkan bagian kedua adalah keadilan secara khusus. Keadilan secara

umum maksudnya bahwa semua orang harus mendapatkan bagian yang

sama tanpa melihat jasa- jasanya. Sedang keadilan secara khusus adalah

keadilan yang hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu saja dimana

terhadap dua orang yang sama diperlakukan tidak sama. Selanjutnya oleh

L.J. van Apeldoorn dinyatakan:

”Ada teori yang mengajarkan, bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan. Teori-teori yang mengajarkan hal tersebut, disebut teori-teori yang ethis karena menurut teori-teori itu, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori-teori tersebut berat sebelah. Ia melebih-lebihkan kadar keadilan hukum, karena ia tak cukup memperhatikan keadaan sebenarnya. Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan hidup. Jika hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-

47 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2009, hlm. 11

60

tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk peraturan-peraturan umum. Dan yang terakhir inilah yang harus dilakukan. Adalah syarat baginya untuk dapat berfungsi. Tertib hukum yang tak mempunyai peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis, tak mungkin. Tak adanya peraturan umum, berarti ketidak tentuan yang sungguh-sungguh, mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan itu selalu akan menyebabkan perselisihan antara orang-orang jadi menyebabkan keadaan yang tiada teratur dan bukan keadaan yang teratur”.

Menurut L.J. van Apeldoorn, hukum harus menentukan peraturan

umum, harus menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan;

keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri:

suum cuique tribuere. Jadi dalam hukum terdapat bentrokan yang tak

dapat dihindarkan pertikaian yang selalu berulang antara tuntutan-tuntutan

keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hukum. Makin banyak hukum

memenuhi syarat ”peraturan yang tetap”, yang sebanyak mungkin

meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum

itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius, summa iniuria.

Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan

bahwa penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya akan

tergantung pada pandangan hidup manusia yang memunculkan penilaian

itu, yakni pada penglihatan manusia yang melakukan penilaian dari

manusia yang perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di

dalam pergaulan hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman Kartohadiprodjo

mulai memfokuskan penelusurannya pada substansi pandangan hidup

yang dianut yang tercermin ke dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di

61

dalam masyarakat yang bersangkutan.48

- Keadilan Subtantif

Keadilan substantif ini menolak pandangan legalisme yang

menganggap Undang-Undang itu kramat, yakni sebagai peraturan

yang dikukuhkan Allah sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang

berlaku bagi semua perkara, karena bersifat rasional. Keadilan substantif

menganggap bahwa legalisme yang murni tidak mungkin. Sebab semua

penerapan kaidah-kaidah hukum yang umum dan abstrak pada perkara-

perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum baru. Administrasi

seorang pegawai sudah merupakan hukum baru, apalagi putusan-putusan

seorang hakim. Memang tindakan yuridis ini mengandaikan adanya suatu

minimum rasionalitas dalam sistem hukum, tetapi mustahil praktik hukum

menurut suatu metode rasional melulu. Putusan seorang hakim tidak dapat

diturunkan secara logis dari peraturan-peraturan yang berlaku, sebab

peraturan itu tidak sempurna, mungkin juga salah atau kurang tepat,

sehingga menyebabkan ketidakadilan. Argumen yang diajukan oleh L.

Pospisil melawan legalisme ini adalah:49

1) Kalau hukum terletak dalam kaidah-kaidah yang abstrak

(peraturan- peraturan), tidak dimengerti mengapa terdapat ketentuan-

ketentuan yang mati, sebab ketinggalan zaman.

2) Peraturan-peraturan yang abstrak tidak mengungkapkan banyak

tentang “pengawasan sosial” (yang dianggap sebagai inti segala

48 Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandagangan Hidup Bangsa, Gatra Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 22.

49 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 122.

62

hukum).

3) Peraturan-peraturan tidak berguna bagi praktik, sebab para hakim

harus mengambil keputusannya sesusai dengan perkara-perkara yang

sangat berbeda.

Legalisme tersebut diserang juga oleh para penganut realisme

hukum Skandinavia. Menurut mereka, kita harus realistis dan karenanya

tidak menerima peraturan-peraturan pemerintah sebagai sesuatu yang

nyaris sempurna.50 Salah satu tokoh realisme hukum Skandinavia yang

bernama Alf Ross mengemukakan tentang teori realitas sosial yang

menentang teori Kelsen, yang memastikan bahwa keharusan yuridis

adalah suatu kategori yang sama sekali lepas dari realitas sosial, seperti

tradisi Kant dikatakan tentang suatu Sollen yang lepas dari Sein. Karena

pemisahan ini Kelsen terus mencari norma dasar (Grundnorm) untuk

mendasari berlakunya hukum. Tetapi Ross menolak suatu norma yang

lepas dari realitas sosial. Norma-norma yang berlaku hanya berfungsi

dalam batas suatu proses pembuatan Undang-undang dimana kejadian-

kejadian yuridis digabungkan dengan sanksi-sanksi hukum.51

Undang-undang selalu tergabung dalam praktik hidup. Berkat

penggabungan itu, praktik hidup dipandang dalam terang Undang-undang

sehingga mendapat rasionalitas. Umpamanya seorang hakim, yang

berhadapan dengan suatu peristiwa dan yang mengikutsertakan nilai-nilai

hidup praktis dalam pertimbangannya, tidak bertindak secara irasional.

50 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm 181.

51 Ata Ujan, Andre, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm 61-63

63

Putusan-putusannya (walaupun tidak dapat diturunkan secara silogistik

dari Undang-undang) merupakan bukan hasil emosi, bukan perjuangan

bagi kepentingannya sendiri, bukan tindakan kekerasan, melainkan hasil

dari suatu pertimbangan rasional, sehingga “masuk akal”. Buktinya

pengadilan selalu menyebut alasan-alasan bagi putusan-putusannya,

berdasarkan suatu “logika yuridis”. Keadilan substantif ini juga tidak

sepaham dengan teori hukum kodrat oleh karena Teori hukum kodrat ini

tidak memberi batas jelas tentang apa itu kodrat dan apa ciri-ciri

hakikinya. Kesulitan muncul dari anggapan populer yang menyamakan

begitu saja “yang kodrati” dengan “yang biasa dilakukan”. “sesuai dengan

kodrat” dengan demikian disamakan dengan apa oleh masyarakat

diterima dan diakui sebagai hal yang lazim dipraktikkan dalam kehidupan

sehari-hari. Disini ada bahaya bahwa apa yang norma; dilakukan

dipandang pantas menjadi norma bertindak. Padahal yang biasa dan

umum dilakukan belum tentu baik. Hidup sesuai dengan tuntutan hukum

kodrat pada dasarnya tidak menghargai kehormatan atau kemuliaan

manusia yang berakal budi. Meskipun adanya pembedaan antara hukum

kodrat yang berlaku bagi makhluk rasional dan hukum alam yang berlaku

bagi makhluk nonrasional sudah merupakan langkah maju yang keluar

dari kesulitan teori hukum kodrat deterministik, jalan keluar ini tetap saja

membawa kesulitan dalam pelaksanaan hukum positif.

- Keadilan Formal

Keadilan formal ini sesuai dengan teori positivisme yang

mendekati gejala hidup secara alamiah belaka yakni sebagai fakta, dan

64

tidak mau tahu tentang nilainya, akibatnya tuntutan tentang keadilan

disingkirkan dari pengertian hukum. Aliran-aliran yang berhaluan

Marxis menganggap bahwa hukum negara nyaris sempurna sehingga

ungkapan kehendak rakyat. Inti pandangan ini ialah bahwa orang-

orang yang menganggap hukum sebagai “ius” lebih percaya pada

prinsip-prinsip moral walaupun abstrak dari pada kebijaksanaan

manusia. Karenanya makna hukum sebagai hukum yang adil lebih

terjamin dalam perumusan-perumusan abstrak dari pada dalam

putusan-putusan hakim. Sesuatu yang mutlak bagi seorang hakim

untuk menyesuaikan diri dengan perumusan-perumusan yang telah

terwujud dalam Undang-undang. Praktik kehakiman oleh rakyat

seringkali dipandang sebagai penerapan Undang-undang pada perkara-

perkara konkret secara rasional belaka. Pandangan ini disebut

Legalisme atau legisme. Dalam pandangan legisme, Undang-Undang itu

dianggap atau kramat, yakni sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah

sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua

perkara, karena bersifat rasional.52

Aliran positivisme hukum memberi nuansa dilosofi pemikiran

tentang hukum. Terdapat sekurang-kurangnya empat pengertian pokok

dalam istilah positivisme hukum, yaitu:

1) Positivisme hukum digunakan untuk menunjuk pada konsep

hukum yang mendefinisikan hukum sebagai komando, pemikiran

sebagaimana diperkenalkan ahli filsafat hukum Inggris John Austin.

52 Ibid

65

2) Istilah positivisme hukum juga digunakan untuk menandai

perkembangan penting dalam konsep hukum yang ditandai oleh

dua citi utama: (1) hukum dipisahkan secara tegas dari moral dan

politik. Hukum harus netral terhadap moral dan politik. Asalkan

dimengerti dengan baik, ini yang disebut dengan teori hukum

murni dikembangkan oleh Hans Kelsen; (2) hukum tidak berurusan

dengan hukum ideal, melainkan dengan hukum aktual, hukum

yang ada. Pemisahan ini tentu saja penting karena pertimbangan

kepastian hukum. Akan tetapi, pemisaha ini bagi positivisme juga

dipandang penting untuk melepaskan hukum dari pernyataan moral

yang tidak ilmiah. Hukum yang ilmiah harus bebas dari moral.

Positivisme hukum juga dimengerti sebagai cara berpikir dalam

proses judisial dimana hakim mendasarkan keputusannya

sepenuhnya pada peraturan hukum yang ada. Disini keputusan

judisial semata-mata merupakan hasil deduksi peraturan hukum.

Inilah cara berpikir akademis yang mengandalkan kemampuan

berpikir logis. Dengan demikian, positivisme dalam konteks judisial

menunjuk pada proses peradilan dimana keputusan hakim diambil,

menurut istilah Ronald Dworkin, secara mekanistis. Hart menyebut

konsep judisial seperti ini sebagai Automatic atau Slot-Machine.

Proses seperti ini praktis membuat proses litigasi menjadi mubazir.

3) Positivisme hukum juga merupakan cara berpikir yang

berpendapat bahwa penilaian moral kalau dipandang perlu harus

dapat dilakukan dengan menujukkan bukti-bukti faktual atau argumen

66

rasional. Kesan seperti ini cukup kuat muncul terutama dalam

pandangan Joseph Raz melalui gagasannya tentang „mitos moralitas

bersama‟ (the myth of common morality). Pandangan ini

beranggapan bahwa kesatuan masyarakat tercipta karena adanya

moralitas yang diterima oleh segenap anggota masyarakat.

Pandangan terakhir ini yang dikenal sebagai positivisme

sosiologis, yang juga sangat menekankan watak ilmiah dari hukum.

4) Istilah positivisme juga digunakan untuk menunjuk pada

pandangan yang menuntut bahwa hukum yang ada, juga kalau tidak

adil, harus dipatuhi. Dengan kata lain, bagi positivisme validitas

hukum tidak tergantung pada validitas moral. Hukum hanya tidak

berlaku atau tidak valid apabila terjadi kontradiksi dalam hukum itu

sendiri.

Makna dan hakekat Judicial Activism penting untuk dipahami

dan diimplementasikan oleh Hakim antara lain karena dalam

pembuktian diproses persidangan, hakim mencari kebenaran materiil,

bukan sekedar kebenaran formil. Disamping itu, perlu disadari juga

bahwa Judicial Activism dapat mengisi kekosongan hukum dalam

menggapai keadilan dalam masyarakat53

Lembaga peradilan adalah perpanjangan tangan dari tujuan

pembentukanhukum, yaitu sebagai alat untuk menemukan keadilan.

Mahkamah Konstitusi (MK) yang hadir pasca amendemen Undang-

Undang Dasar 1945 juga dibentuk untuk memenuhi hasrat para

53 Paulus E Lotulung, Keaktifan Hakim Dalam Proses Peradilan (makalah) disampaikan pada dalam Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2011 di Jakarta.

67

justiabelen akan pemenuhan keadilan. Mahkamah Konstitusi melalui

hakim periode kedua telah mengukuhkan dirinya sebagai lembaga

pelindung keadilan substantive (substantive justice). Sebuah semangat

keadilan sesungguhnya bukan keadilan formalistik teks produk

perundang-undangan.54

Upaya pemenuhan rasa keadilan itu bergantung kepada

bagaimana cara hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan

perkara. Jika hakim Mahkamah Konstitusi gagal mengurai makna

keadilan substantif dalam setiap perkara, maka yang ditemukan adalah

keadilan yang kabur. Adil menurut hakim tapi putusan tersebut tak

mampu memenuhi keadilan yang ingin ditemukan oleh para

pencarinya.

Gerak “langkah” hakim menelusuri ruang dalam sebuah perkara

untuk menemukan keadilan tersebut dikenal dengan konsep judicial

activism. Menurut Kamus Hukum Black, judicial activism dimaknai

sebagai; sebuah filosofi dari pembuatan putusan peradilan dimana

hakim diperbolehkan menggunakan pengetahuan personalnya

mengenai kebijakan publik, di antara pelbagai faktor- faktor, untuk

menuntunnya memutuskan sebuah permasalahan.

e) Teori Kepastian Hukum

L.J. van Apeldoorn berpendapat bahwa kepastian hukum adalah

54 Hasil Penelitian, Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan Di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif) Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Dengan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2010, hlm. 10.

68

kepastian suatu undang-undang. Namun kepastian hukum tidak

menciptakan keadilan oleh karena nilai pasti dalam undang-undang

mewajibkan hal yang tentu sedangkan kepentingan manusia/penduduk

tidak tentu. Misal: Undang-undang antar penduduk dibuat secara

umum (yaitu memberi peraturan-peraturan yang umum), walaupun

alasannya tidak selalu tepat, karena beranekawarnanya urusan-urusan

manusia sangat tidak tentu, padahal undang-undang harus menetapkan

sesuatu yang tentu. Tidak sempurnanya hukum, dalam praktek untuk

sebagian tertampung, karena hakim pada melakukan hukum dalam

hal-hal yang nyata, dalam mentafsirkan peraturan-peraturan, dapat

mempergunakan tafsiran bebas untuk menghilangkan atau

mengurangkan ketidak adilan. Tetapi usaha itu mengurangi kepastian

hukum dan tak selamanya dapat dilakukan. Jadi hukum terpaksa harus

mengorbankan keadilan sekedarnya guna kepentingan daya guna: ia

terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan ada terdapat sejumlah

besar peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan

keadilan, melainkan semata-mata didasarkan pada kepentingan daya

guna.55

Rochmat Soemitro berpendapat berbeda, kepastian hukum

adalah keadilan oleh karena kepastian hukum yang terwujud dalam

undang-undang sudah mengakomodasi nilai keadilan. Kepastian

hukum merupakan certainty yakni tujuan setiap undang-undang.

Dalam membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang

55 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2009, hlm. 14

69

mengikat umum harus diusahakan supaya ketentuan yang dimuat

dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung arti

ganda atau memberi peluang untuk ditafsirkan lain. Kepastian hukum

banyak bergantung pada susunan kalimat, susunan kata, dan

penggunaan istilah yang sudah dibakukan. Untuk mencapai tujuan

tersebut penggunaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan.

Karena bahasa hukum adalah juga bahasa Indonesia. Maka kepastian

hukum juga banyak bergantung kepada penggunaan bahasa Indonesia

yang baik dan benar. Penggunaan bahasa Indonesia tunduk kepada

norma-norma bahasa yang sudah baku. Dalam menyusun undang-

undang yang baik perlu terlebih dahulu dikuasai asas-asas hukum

yang sudah diterima secara umum oleh kalangan orang yang

berprofesi hukum, seperti:45

a. Lex specialis derogat lex generalis;

b. Lex posterior derogat lex anterior;

c. Pacta sunt servanda;

d. Lex locus contractus;

e. Noella poena sine privilegia lege;

f. Azas Non diskriminasi;

g. Domisili, sumber, kebangsaan.

h. Asas keajegan.

i. Asas kontinuitas;

j. Asas keadilan.

70

Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo

Bahwa teori mengenai kepastian hukum dalam upaya memberikan

pendapatnya tentang apa itu kepastian hukum. Menurut ajaran hukum

progresif “Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan

manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia

bahagia”.56

Pernyataan tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya

memuncakpada tuntutan bagi kehadiran hukum progresif. Pernyataan

tersebut mengandung paham mengenai hukum, baik konsep, fungsi serta

tujuannya. Hal tersebut sekaligus merupakan ideal hukum yang menuntut

untuk diwujudkan. Sebagai konsekuensinya, hukum merupakan suatu

proses yang secara terus-menerus membangun dirinya menuju ideal

tersebut. Inilah esensi hukum progresif.

Satjipto Rahardjo menentang pendapat L.J. van Aperldoorn

maupun Rochmat Soemitro. Kepastian hukum bukan terletak pada

pastinya suatu undang-undang. Demikian juga bahwa kepastian hukum

bukan kristalisasi keadilan. Sudah merupakan cap dagang manakala

orang berbicara mengenai hukum. Hukum selalu dibicarakan dalam

kaitan dengan kepastian hukum dan oleh karena itu, kepastian hakum

sudah menjadi primadona dalam wacana mengenai hukum. Kepastian

56 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 2

71

hukum itu merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari

perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian.

Menurut Satjipto Rahardjo, ini merupakan beban berlebihan yang

diletakkan di pundak hukum. Lebih daripada itu, pemahaman dan

keyakinan yang terlalu besar seperti itu, memiliki risiko besar untuk

menyesatkan. Ini karena kepastian hukum sudah didewakan menjadi

ideologi dalam hukum. Maka pemahaman tentang kepastian seperti

tersebut di atas tidak bisa diterima. Optik tersebut menempatkan hukum

pada satu sudut (saja) dalam jagat ketertiban yang luas sekali.

Pemahaman tentang hukum yang demikian itu berimbas pula pada

pemahaman tentang kepastian hukum. Sejak posisi hukum dalam jagat

ketertiban tidak bisa sama sekali meminggirkan berbagai institut

nomiatif yang lain dalam masyarakat, maka kaitan antara hukum

dan kepastian hukum menjadi relatif. Hubungan antara hukum dan

kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta

menciptakan kepastian hukum. Yang benar dan mutlak adalah bahwa

hukum menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan,

seperti undang-undang. Begitu suatu undang-undang X dikeluarkan,

maka pada saat yang sama muncul kepastian peraturan. Tidak ada

keragu-raguan mengenai hal tersebut, oleh karena siapa pun segera dapat

menyimak kepastian kehadiran undang-undang X tersebut. Sebaiknya

dipisahkan antara kepastian peraturan dan kepastian hukum, agar kita

dapat lebih seksama mengetahui masalah kepastian hukum itu.57

57 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 77

72

Kendati demikian ternyata, bahwa kehadiran suatu peraturan itu

masih juga menimbulkan keragu-raguan, yang berarti berkurangnya

nilai kepastian tersebut. Keadaan tersebut terjadi, oleh karena dalam

jagat perundang-undangan, suatu peraturan, tanpa disadari ternyata

bertentangan dengan peraturan lain.58

Lebih lanjut dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, ternyata

peraturan bukansatu-satunya faktor yang menyebabkan munculnya

kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti tradisi dari

perilaku. Seperti dikatakan oleh Lord Sampford, kepastian itu menjadi

ada karena orang menghendaki bahwa ia ada. Kepastian hukum itu

memang merupakan suatu keadaan yang memerlukan usaha dari

perjuangan dan tidak datang secara otomatis, begitu suatu undang-

undang atau peraturan lain diterbitkan maka ada kepastian. Bukan

demikian pernyataannya. Yang benar adalah kepastian hukum

merupakan wujud dari kepatuhan masyarakat berbangsa dan bernegara

terhadap hukum yang dapat berbentuk undang-undang maupun

kebiasaan, sehingga titik berat dari kepastian bukan pada hukumnya

melainkan pada kepatuhan. Akan sangat berat bagi hukum jikalau

kepastian itu adalah kepastian karena hukumnya.59

Maria Farida Indrarti Soeprapto, melihat kepastian hukum

merupakan kejelasan adanya undang-undang yang pasti dan

diberlakukan di masyarakat. Untuk adanya kepastian hukum maka

58 Ibid hlm. 7859 Ibid hlm. 80

73

suatu undang-undang harus dibentuk berdasarkan pada asas

pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Di sini

nampaknya Maria Farida Indrarti Soeprapto sejalan dengan

Rochmat Soemitro dan berbeda pendapat dengan Satjipto Rahardjo

serta L.J. van Apeldoorn. Asas-asas Pembentukan Peraturan

Perundangan Yang Baik menurut Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, meliputi:60

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan dan

g. keterbukaan.

Suatu undang-undang yang berkepastian hukum dibentuk

berdasarkan Asas-asas yang dimaksudkan dalam Pasal 5 Undang-

undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan diberikan penjelasannya dalam Penjelasan Pasal

5 sebagai berikut:52

a) Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas

60 Maria Farida Indrarti Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Jilid I, Kanisius, Jakarta, 2007, hlm

74

yang hendak dicapai.

b) Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah

bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat

oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan

yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat

dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh

lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

c) Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-

benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis

peraturan perundang- undangannya.

d) Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas

peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,

baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

e) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap

peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f) Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-

undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan

peraturan perundang- undangan, sistematika dan pilihan kata atau

terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah

75

dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam

interpretasi dalam pelaksanaannya.

g) Asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,

penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.

Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan

dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

f) Teori Kewenangan Administrasi Negara

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah

wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan

dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut

Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah

kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak

pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam

konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep

hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan

dalam konsep hukum publik.61

Ateng Syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian

kewenangan dan wewenang.54 Kita harus membedakan antara

kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,

61 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa tahun, hlm. 8.

76

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan

formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh

undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu

“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam

kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup

wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat

keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam

rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi

wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.62

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum. 63

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah:64

Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik).

Kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan

wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal

62 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000, hlm. 22

63 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 65

64 Stout HD, de Betekenissen van de wet, (Irfan Fachruddin), Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004), hlm. 4.

77

yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu

spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang

diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang

untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam

melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau

mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang

diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu

atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi

(Undang-Undang Dasar 1945). Pada kewenangan delegasi, harus

ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan

yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti

pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak

atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat pejabat yang

diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama

mandatori (pemberi mandat).

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada

(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan

yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan

keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut.

Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh

bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,

delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah

78

suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna

mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat

dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.65

Anthon F Susanto berpendapat bahwa umumnya keputusan itu

ditetapkan melalui ketrampilan atau keahlian, seluruhnya dipahami

sebagai sebuah keterkaitan yang bersifat mekanistik. Di luar hal itu

umumnya setiap keputusan akan dipandang tidak bijak, provokatif

bahkan mungkin dipandang tidak waras66.

Dalam istilah hukum di Indonesia kewenangan pengujian dikenal

dengan istilah toetsingrecht yang dimasyhurkan oleh Sri Soemantri.58

Dari pandangan Allen dan Thompson serta Sri Soemantri diatas

dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa jenis toetsingrecht, yaitu;

(a) toetsingrecht yang merupakan kewenangan peradilan atau kenal

dengan Judicial Review; (b) toetsingrecht yang merupakan kewenangan

legislatif atau legislative review; dan (c) toetsingrecht yang merupakan

kewenangan eksekutif atau eksekutive review.

g) Teori Mengenai Peradilan

Peradilan kita di Indonesia menganut "sistim kontinental" yang

berasal dari Perancis yaitu sistim kasasi. Dalam sistim tersebut,

Mahkamah Agung sebagai Badan Pengadilan tertinggi merupakan

65 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 219

66 Anthon F Susanto, Hukum dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 129.

79

Pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam

penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan Undang-

Undang diseluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan adil.

Sedangkan di negara sistim Anglo Saxon hamya mengenal banding.

Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan

dan penetapan dari Pengadilan-Pengadilan yang lebih rendah karena:67

a) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya

perbuatm yang bersangkutan;

b) Karena melampaui batas wewenangnya;

c) karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturan-peraturan

hukum yang berlaku (diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 13

tahun 1965).

Sebagai disebutkan di atas sampai saat ini Mahkamah Agung

menggunakan Pasal 131 Undang-Undang No. I tahun 1950 sebagai

landasan hukum untuk beracara kasasi. Dalam tahun 1963 dengan

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 Mahkamah Agung

memperluas Pasal 113 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 dengan

menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan di Pengadilan

tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Semula dalam Pasal 113 tersebut,

permohonan kasasi harus diajukan kepada Pengadilan yang putusannya

dimohonkm kasasi"

67 Sri Soemantri, M., Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5

80

Menurut Soebekti dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung.

Nomor 1 tahun 1963 tersebut adalah tepat karena Pengadilan Tinggi

pada umumnya jauh letaknya dengan tempat tinggal pemohon kasasi

itu. lagi pula berkas-berkasnya disimpan di Pengadilan Negeri.

a. Permohonan kasasi yang disebutkan diatas adalah "kasasi pihak".

Selain daripada kasasi tersebut, masih ada bentuk kasasi lain

yang disebut dengan permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa

Agung demi kepentingan hukum (Pasal 50 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 13 tahun1965).

b. Peninjauan kembali. Dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13

tahun 1965 disebutkan bahwa: "Terhadap putusan Pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon

peninjauan kambali, hanya apabila terdapat hal-hal atau

keadaankeadaan yang ditentukan dengan Undang-

Undang".Kemudian dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14

tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: "Apabila terdapat

hal -hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-

Undang, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuasan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali

kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh

pihak-pihak yang berkepentingan".

c. Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini

sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan. Mengapa? Karena

81

hak uji atau "toetsingsrecht" Hakim terhadap peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah dari UndangUndang hanya formil saja

dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak menguji hakim

tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 pasal 26 yang

berbunyi sebagai berikut:

1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah

semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih

rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan

perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan

pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan

perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut

dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Menurut Soebekti68 (dalam karangan mengenai hubungan Mahkamah

Agung dangan Badan Peradilan) menyatakan bahwa sesungguhnya

“toetsingsrecht" itu ada 2 (dua) macam:

1) "Formiele toetsingsrecht" yaitu hak untuk menguji atau meneliti

apakah suatu peraturan dibentuk secara sah dan dikeluarkan oleh

penguasa atau instansi yang berwenang mengeluarkan peraturan itu.

2) "Materiele toetsingrecht" yaitu hak untuk menguji atau menilai

apakah suatu peraturan dari segi isinya (materinya) mengandung

68 Ibid

82

pertentangan dengan peraturan lain dari tingkat yang lebih tinggi atau

menilai tentang adil tidaknya isi peraturan itu. dan spabila terdapat

pertentangan tersebut atau apabila isi peraturan itu dianggapnya tidak

adil, tidak mengetrapkan, artinya menyisihkan atau menyingkirkan

peraturan itu. (to set aside).

h) Teori Penemuan Hukum dan Penafsiran Hukum

Sudikno Mertokusumo menyamakan pengertian penemuan hukum dan

penafsiran hukum. Bahwa dalam penemuan hukum dilakukan dengan

metode penafsiran (interpretasi).69 Penafsiran oleh hakim harus menuju

kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum

terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat.70

Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau

aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum

umum pada peristiwa hukum konkrit.71 Sebagai proses pembentukan

hukum, maka penemuan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi

persaturan hukum (das sollen) yang bersifat umum denagn mengingat

akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.72

Penemuan hukum dari berbagai pendapat dapat dikemukakan sebagai

berikut, pertama, merupakan penerapan peraturan pada peristiwa konkrit

atau fakta. Kedua, dilakukan ketika harus menemukan hukum karena

peraturannya tidak jelas atau menemukan hukum dengan cara

69 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, hlm. 56.70 Ibid.71 Ibid, hlm 37.72 Ibid.

83

pembentukan hukum karena tidak terdapat peraturan.73 Dalam hal ini

muncul dua istilah yang nampak sama yaitu penemuan hukum

(rechtvinding) dan pembentukan hukum (rechtvorming). Menurut

Bambang Sutiyoso demikian,

Istilah penemuan hukum (rechtvinding) dengan pembentukan hukum

(rechtvorming) dapat memunculkan polemic dalam penggunaannya.

Meskipun demikian keduanya mempunyai perbedaan antara satu dengan

yang lain. Istilah rechtvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak

ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan

diketemukan, sedangkan istilah rechtvorming dalam arti hukumnya tidak

ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya

terdapat penciptaan hukum juga.74

Pembentukan hukum tidak berarti bahwa tidak ada hukumnya sama

sekali, melainkan belum tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Asas-asas

hukum menjadi petunjuk untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Tugas hakim mengaktualisasikan asas-asas tersebut dengan menggunakan

berbagai metode kajian. kemudian pembentukan hukum terjadi ketika

putusan hakim hadir untuk menyelesaikan masalah.75 Putusan hakim

adalah (sumber) hukum. Sehingga dalam hal ini, pembentukan hukum

sama dengan proses legislasi yang menghasilan undang-undang namun

dilakukan oleh hakim.

73 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum - Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009, hal 26-27.

74 Ibid. hal. 31.75 Bandingkan dengan pendapat Paul Scholten dalam Arief Sidharta (Penerjemah), Struktur

Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 203, hal. 63-68.

84

Penafsiran hukum menjadi bagian dari penemuan hukum. Penafsiran

hukum menjadi metode penemuan hukum yang digunakan dalam

menerapkan hukum (das sollen) pada peristiwa konkrit (das sein).

Terdapat berbagai metode penafsiran yaitu interpretasi gramatikal,

sistematis, historis dan teleologis. Berbagai metode penafsiran digunakan

tidak terpisah, melainkan seringkali bersama-sama (lebih dari satu atau

semua digunakan) ketika melakukan penemuan hukum.

i) Teori Hermeneutik

Jazim Hamidi menempatkan hermeneutika hukum sebagai teori

penemuan hukum baru.76 Bahkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan

bahwa hermeneutika hukum sudah dikenal pada abab 19 sebagai ajaran

penemuan hukum atau ajaran penafsiran hukum yang dikenal dengan

hermeneutika yuridis.77 Bahkan Jazim Hamidi dalam uraiannya tentang

hermeneutika hukum mengajukan 11 (sebelas) metode penafsiran atau

interpretasi hukum.78 Berdasarkan hal tersebut apakah perbedaan

hermeneutika hukum dengan penemuan hukum? Ataukah memang

hermeneutika hukum sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi merupakan

teori penemuan hukum baru?

Gerald Bruns menjelaskan mengenai posisi hermeneutika hukum

sebagai berikut: Adapun mengenai hukum, kita bisa mengawalinya dengan

ketentuan bahwa hermeneutika tidak memandang hukum dalam kaitannya

76 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum – Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Jogjakarta, 2005, hal. 39-72.

77 Sudikno Mertokusumo, loc.cit. hal. 37.78 Jazim Hamidi, op.cit. hal. 53-59.

85

dengan urusan konseptual atau metodologis seperti yang dipegang oleh

para teoretisi hukum, apalagi dalam kaitannya dengan persoalan strategi

hukum atau praktik yudisial; melainkan yang menjadi perhatian

hermeneutika adalah kondisi-kondisi di mana semua urusan ini dijalankan.

Bisa dikatakan bahwa minat hermeneutika lebih bersifat ontologis dan

bukan bersifat teknis. Dalam pengertian seperti ini, ‘hermeneutika hukum’

tidak akan sama pengertiannya dengan teori hukum. Sebaliknya,

hermeneutika cenderung agak liar atau bebas dalam pemikirannya

mengenai hukum (atau pokok bahasan apapun). Hal inilah yang agaknya

terjadi ketika kita sampa pada persoalan mengenai hukum dan bahasa, atau

yang dalam hermeneutika disebut sebagai linguistikalitas (sprachlickeit)

hukum.79

Hermeneutika hukum berkaitan dengan ontology hukum maka hukum

tidak dapat direduksi sebagai produk politik semata. Melainkan hukum

adalah produk kebudayaan baik sebagai mahluk social maupun individu.80

Hukum adalah realitas. Realitas hukum dapat mewujud dalam berbagai

bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa realitas hukum

merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak

terbantahkan. Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran

(dan keadilan) menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir

atas teks.

79 Gregory Leyh (Ed.), Hermeneutika Hukum – Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 46.

80 Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hal. 64.

86

Theo Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya

menafsirkan undang-undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran

pelengkap dan penafsiran budaya.81 Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan

mendekatkan penemuan hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.

Hermeneutika hukum yang berasal dari hermeneutika yang diartikan

sebagai proses mengubah sesuatu atau sistuasi ketidaktahuan menjadi

mengerti.82 Hermeneutika berhubungan dengan bahasa83 dan disinilah letak

keterkaitan dengan hukum yang mengalami transliterasi dari ide menjadi

teks.

Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap

hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau

bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdepatkan oleh

para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas

intellegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan

penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutic mau tidak

mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.84 Teks menjadi

bagian dari bahasa, penafsiran teks (hukum) membutuhkan ketepatan

pemahaman dan penjabaran ketika dilakukan penemuan hukum oleh para

pengemban hukum. Untuk itulah penafsiran teks membutuhkan penafsiran

budaya yaitu penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinan-

keyakinan suatu masyarakat tertentu. Keyakinan demikian tidak bersifat 81 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 133-135.82 Sumaryono, Hermeneutik – Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,

1993, hal. 24. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.

83 Ibid. hal. 26.84 Ibid. hal. 29.

87

politik, melainkan social-etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat

tertentu dianggap layak apa tidak.85 Keberhasilan melakukan penafsiran

dari perspektif hermenutika terletak pada talenta bahasa dan talenta

pengetahuan individu.86

Paul Ricoeur menjelaskan mengenai hermeneutika sebagai teori

tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis atau sebuah

interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan

yang dipandang sebagai sebuah teks.87 Hermeneutika yang berfungsi

sebagai metode penafsiran mempunyai tugas mengungkapkan dengan

membawa keluar atau mengeluarkan potensi makna dari teks untuk

menangkap inti pesan yang disampaikan melalui teks.88

Terdapat 10 (sepuluh) pengalaman hermeneutis yang menjadi bagian

dari tesis tentang interpretasi yaitu pertama, pengalaman hermeneutis

bersifat historis. Kedua, pengalaman hermeneutis pada dasarnya bersifat

linguistic. Ketiga, pengalaman hermeneutis bersifat dialektis. Keempat,

pengalaman hermeneutis bersifat ontologis. Kelima, pengalaman

hermeneutis merupakan sebuah peristiwa bahasa. Keenam, pengalaman

hermeneutis itu obyektif. Ketujuh¸ pengalaman hermeneutis harus

dibimbing oleh teks. Kedelapan, pengalaman hermeneutis memahami apa

85 Theo Huijbers, op.cit. hal. 134-135. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1344 - 1346 KUHPerdata.

86 Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat – Reader, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hal. 16.

87 Richard Palmer, Hermeneutika – Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.

88 Eksegese berasal dari bahasa Yunani, exegeomai yang berart membawa keluar atau mengeluarkan.

88

yang dikatakan menurut keadaaan sekarang. Kesembilan, pengalaman

hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kesepuluh, estetik harus

ditetapkan di dalam hermeneutika.89

j) Teori Pergeseran Paradigma

Sebutan Paradigma pada masa sebelumnya belum terlalu nampak

mencolok namun setelah Thomas Khun memperkenalkannya melalui

bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolution”,

University of Chicago Press, Chicago,1962”. menjadi begitu terkenal yang

membicarakan tentang Filsafat Sains. Khun menjelaskan bahwa

Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-

metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh

suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara pandang

tertentu mendapat tantangan dari luar atau mengalami krisis, kepercayaan

terhadap cara pandang tersebut menjadi luntur, dan cara pandang yang

demikian menjadi kurang berwibawa, pada saat itulah menjadi pertanda

telah terjadi pergeseran paradigma. Fungsi dari Paradigma menyediakan

puzzle bagi para ilmuwan. Paradigma sekaligus menyediakan alat untuk

solusinya. Ilmu digambarkan oleh Thomas Kuhn sebagai sebuah kegiatan

menyelesaikan puzzle.Thomas Kuhn pertamakali menggunakannya dalam

sains, menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tidak menuju ke kebenaran.

Penelitian ilmiah sangat tergantung pada dogma dan terikat pada teori

yang lama. Dalam pemikiran Kuhn paradigma secara tidak langsung

89 Richard Palmer, loc.cit. hal. 288-293.

89

mempengaruhi proses ilmiah dalam empat cara dasar. Yaitu: Apa yang

harus dipelajari dan diteliti, Pertanyaan yang harus ditanyakan, Struktur

sebenarnya dan sifat dasar dari pertanyaan itu, Bagaimana hasil dari riset

apapun diinterpretasikan.90

Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode

pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi

setelah sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi

anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma.

Namun demikian ketika banyak anomali-anomali yang mengganggu yang

mengancam matrik(acuan) disiplin maka paradigma tidak bisa

dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan

maka para ilmuan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada

periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang

dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa

sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika Paradigma

mengalami pergeseran maka itu disebut masa revolusioner. Ilmu dalam

tahap biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak

dari solusi Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terdapat revisi

dari kepercayaan ilmiah atau praktek. Thomas Kuhn menyebutkan kurang

lebihnya dalam hal ini yang akan pemakalah jelaskan secara rinci pada

bagian berikutnya yaitu tentang ; pradigma sains yang normal, anomali

90 Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn Dan Perang Ilmu, Yogyakarta:Penerbit Jendela, 2002.hal 30

90

munculnya penemuan sains, revolusi sebagai perubahan pandangan atas

dunia, dan pemecahan revolusi.

Teori Paradigma (Shift) Thomas Samuel Kuhn91

1) Pradigma Sains yang Normal

Thomas Samuel Kuhn (1922-1996) setelah menulis panjang lebar

tentang sejarah ilmu pengetahuan, dan mengembangkan beberapa

gagasan penting dalam filsafat ilmu pengetahuan. Ia paling terkenal

karena bukunya The Structure of Scientific Revolutions di mana ia

menyampaikan gagasan bahwa sains tidak "berkembang secara

bertahap menuju kebenaran", tapi malah mengalami revolusi periodik

yang dia sebut pergeseran paradigma. Analisis Kuhn tentang sejarah

ilmu pengetahuan menunjukkan kepadanya bahwa praktek ilmu datang

dalam tiga Tahapan; yaitu:

a. Tahap Pra-ilmiah, yang mengalami hanya sekali dimana tidak ada

konsensus tentang teori apapun. penjelasan Fase ini umumnya

ditandai oleh beberapa teori yang tidak sesuai dan tidak lengkap.

Akhirnya salah satu dari teori ini "menang".

b. Normal Science. Seorang ilmuwan yang bekerja dalam fase ini

memiliki teori override (kumpulan teori) yang oleh Kuhn disebut

sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal, tugas

ilmuwan adalah rumit, memperluas, dan lebih membenarkan

paradigma. Akhirnya, bagaimanapun, masalah muncul, dan teori

ini diubah dalam ad hoc(khusus) cara untuk mengakomodasi bukti 91 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2002), Ikhtisar BAB I

91

eksperimental yang mungkin tampaknya bertentangan dengan teori

asli. Akhirnya, teori penjelasan saat ini gagal untuk menjelaskan

beberapa fenomena atau kelompok daripadanya, dan seseorang

mengusulkan penggantian atau redefinisi dari teori ini.

c. Pergeseran Paradigma, mengantar pada periode baru ilmu

pengetahuan revolusioner. Kuhn percaya bahwa semua bidang

ilmiah melalui pergeseran paradigma ini berkali-kali, seperti teori-

teori baru menggantikan yang lama.

2) Anomali Munculnya Penemuan Sains

Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa terasing,

melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang

berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan

anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara

telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang

menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan

eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali.

Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah

disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang

diharapkan. Jadi, intinya bahwa dalam penemuan baru harus ada

penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru. Dari teori ini

Thomas Kuhn memberikan definisi yang berbeda antara discovery

dan invention, yang dimaksud discovery adalah kebaruan faktual

(penemuan), sedang invention adalah kebaruan teori (penciptaan)

yang mana keduanya saling terjalin erat satu sama lain.

92

3) Revolusi Sebagai Perubahan Pandangan Atas Dunia

Para sejarahwan menyatakan bahwa jika paradigm-paradigma

berubah, maka dunia sendiri berubah bersamanya, dengan hal

tersebut para ilmuwan mengunakan pedoman-pedoman yang baru

dan menoleh ke tempat-tempat atau lokasi yang baru. Yang lebih

tinggi lagi atau lebih luas dan ini akan menjadikan pandangannya

yang asing. Perubahan-perubahan seperti ini ternyata begitu

berpengaruh. Disini yang perlu diperhatikan yaitu selama proses

revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal baru dan berbeda dengan

ketika menggunakan instrument-instrument yang sangat

dikenalnya untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya.

Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke

daerah lain dimana objek-objek yang sangat dikenal sebelumnya

tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan

objek-objek yang tidak dikenal. Kalaupun ada ilmuwan atau

sebagian kecil ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma yang

baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada

paradigma yang telah dibongkar yang sudah tidak mendapat

legitimasi dari masyarakat sains, maka aktifitas-aktifitas risetnya

hanya merupakan taitologi yang tidak nermanfaat sama sekali.

Inilah yang dinamakan perlunya revolusi ilmiah. Menurut Kuhn,

secara manusiawi maka seseorang tidak akan mau untuk

menjatuhkan teori yang dibangunnya sendiri, tetapi justru akan

mempertahankannya sehingga munculah silang pendapat dan

polemik. karena teori itu bukan dilemahkan oleh fakta-fakta.

93

Setelah suatu revolusi sains, banyak pengukuran dan

manipulasi yang lama menjadi tidak relevan dan diganti dengan

yang lain. Akan tetapi, perubahan-perubahan seperti ini tidak

menyeluruh. Apapun yang kemudian dapat dilihatnya, yang

dipandang oleh ilmuwan setelah revolusi masih tetap dunia itu

juga. Selain itu, meskipun ia telah menggunakan mereka dengan

cara yang berbeda, banyak dari bahasanya dan sebagian besar dari

instrumen tempat penelitiannya masih sama dengan sebelumya.

Akibatnya pada waktu revolusinya, tanpa kecuali, mencakup

banyak manipulasi yang sama, di selanggarakan dengan instrumrn-

instrumen yang sama , dan dilukiskan dengan peristilahan yang

sama dengan pendahulunya dari masa sebelum revolusi. Jika

manipulasi-manipulasi yang kekal ini telah berubah semuannya,

maka perubahan ini harus terdapat pada hubungan mereka dengan

paradigma atau pada hasil-hasil mereka yang kongkret.

4) Pemecahan Revolusi

Bahwa kita sudah melihat beberapa alasan mengapa para

pendukung paradigm yang bersaingan mesti gagal dalam membuat

bentuk yang lengkap dan sesuai dengan sentral satu sama yang

lain. Secara kolektif alasan-alasan ini telah digambarkan sebagai

tradisi-tradisi sains normal sebelum dan pada saat revolusi yang

tidak dapat di bandingkan. Pertama-tama para pendukung

paradigm akan berkompentisi akan sering tidak sepakat tentang

daftar masalah yang harus dipecahkan oleh setiap calon paradigm.

94

Standarnya mereka dalam paradigmanya tidak sama, sebagai

contoh: misalnya mengenai perdebatan antara pendukung

Aristoteles dengan pendukung Galileo dalam melihat benda

berayun. Aristoteles membuat teori bahwa benda berayun itu

hanyalah jatuh dengan kesulitan karena tertahan oleh rantai.

Sedang Galileo memandang benda yang berayun itu dari sisi

pendulumnya. Bagaimanapun, yang terlibat lebih dari pada tidak

bisa dibanding-bandingkannya standar-standar. Karena paradigm-

paradigma baru dilahirkan dari yang lama, mereka biasanya

menggunakan banyak kosakata dan peralatan, baik konseptual

maupun manipulative, yang sebelumnya telah digunakan oleh

paradigm-paradigma tradisional. akan tetapi mereka, jarang

menggunakan unsur-unsur pinjaman ini dengan cara yang benar-

benar tradisional. Dalam paradigm yang baru, istilah, konsep, dan

eksperimen lama masuk kedalam hubungan-hubungan baru satu

sama lain.

Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar baku melainkan

hanyalah menyesuaikan diri terhadap persetujuan masyarakat.

Adanya revolusi sains dengan berbagai teori argumentatifnya akan

membentuk masyarakat sains. Oleh karena itu, permasalahan

paradigma atau munculnya paradigma baru sebagai akibat dari

revolusi sains tiada lain hanyalah sebuah konsensus atau

kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan

95

akademisi atau masyarakat itu sendiri. Sejauh mana paradigma

baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka disitulah

revolusi sains (revolusi ilmiah) akan terwujud.

2. Kerangka Konsep

a) Konsep Rechtsstaat

Secara istilah kata “Negara Hukum” dalam kepustakaan Indonesia

hak asasi manusia selalu dipadankan dengan istilah-istilah asing antara

lain “Rechtsstaat”, “etat de droit”, “The State in according to law”,

”Legal state” and “The rule of law”. Penjelasan Undang-Undang

Dasar 1945 digunakan istilah rechtsstaat diantara dua kurung setelah

kata “Negara Berdasarkan Atas Hukum”. Setelah amandemen ke 4

sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, oleh Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum”. Notohamidjojo menuliskannya dengan

sebutan “Negara Hukum atau Rechtsstaat”92. Sedangkan Muh. Yamin

menuliskannya dengan “Republik Indonesia ialah Negara Hukum

(rechtsstaat, government of law)”93. Dari istilah yang digunakan oleh

kedua ahli tersebut, sulit untuk menghilangkan nuansa rechtsstaat dari

pengertian istilah “Negara Hukum”. Sunaryati Hartono, menyamakan

arti istilah “Negara Hukum” dengan rule of law, sebagaimana terlihat

dalam tulisannya : “… Supaya tercipta suatu Negara hukum yang

92 Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hlm. 27

93 Moh. Yamin,Proklamasi dan Konstitusi Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 72

96

membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan

The rule of law itu harus dalam arti materiel”.94

Seiring dengan pencetusan gagasan demokrasi, gagasan Negara

hukum juga terbentuk dari sikap perlawanan (antithesis) terhadap

pemerintahan absolute. Gerakan dan pemikiran dimulai oleh beberapa

ahli pikir ketika itu, yang antara lain melahirkan Reformasi,

Renaissance, Hukum Kodrat, Aufklarung95, kaum bourgeoisiedan

kaum monarchomachen.

Immanuel Kant (1724-1804) melalui bukunnya Methapysische

Ansfangsgrunde der Rechtlehre mengemukakan konsep negara hukum

liberal.96Ditambahkan bahwa kekuasaan negara sedapat mungkin di

jauhkan dari masyarakat. Negara hanya ditugaskan sebagai penjamin

keterlibatan dan keamanan masyarakat, sedangkan penyelenggaraan

perekonomian dan kemasyarakatan diserahkan kepada masyarakat

sendiri berdasarkan persaingan bebas Iaissez faire, laissez passer.97

Sehubungan dengan konsep ini Sudargo Gautamamengemukakan :

“Negara hanya mempunyai tugas yang pasif yakni untuk hanya

94 Sunaryati Hartono, 1976, Apakah The Rule of Law, Alumni, Bandung, hlm. 35.95 Rukwana Amawinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat

dan Berkumpul Dalam Pasal 26 UUD 1945. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung, 1986, hlm. 78.

96 Harold H. Titus et al …, , Living Issues In Philosophy, Alih Bahasa H.M Rasyid, Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 151.

97 Tahir Azhary, 1992,Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Medinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 66.

97

bertindak, apabila hak-hak asasi dari pada rakyatnya berada dalam

bahaya atau ketertiban umum dan keamanan masyarakat terancam”.98

Dalam suasana alam pikiran negara hukum liberal, Friederich

Julius Stahldalam bukunya Philosophie des Rechts menyusun unsur-

unsur utama dari negara hukum formal sebagai berikut :

a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

b. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan

negara harus berdasarkan teori trias politik;

c. Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan atas Undang-

undang(wetmatigheid van bestuur);

d. Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan

undang-undang masih melanggar hak asasi (campur tangan

pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada

pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.99

Ide Pemikiran Stahl ditujukan untuk mempertahankan hak-hak

asasi, untuk itu penyelenggaraan pemerintahan harus berdasar kepada

undang-undang(wetmatigheid van bestuur). Dan agar kekuasaan

negara tidak berada pada satu tangan, harus dibagi menurut teori trias

politika. Selanjutnya apabila pemerintah melanggar hak asasi

seseorang, haruslah ada pengadilan administrasi yang akan

menyelesaikannya.

98 Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni Bandung, hlm. 13.

99 Padmo Wahjono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co. Jakarta, hlm. 151.

98

Perkembangan pemahaman tentang negara hukum terjadi pada

abad ke-20, kedudukan negara sebagai penjaga ketertiban dan

keamanan mulai berubah. Konsepsi nachwachterstaat bergeser

menjadi welvarstaat, yaitu negara menyelenggarakan kesejahteraan

atau yang dikenal juga dengan sebutan verzorgingsstaat100.DeHaan

P.mengemukakan “de moderne staats is niet allen rechtsstaat in de

negentiende eeuwse zin, maar ook verzorgingsstaat of zo men

wilsociale rechtsstaat”.101“Negara modern bukan saja negara hukum

penjaga malam, tetapi juga negara hukum kesejahteraan atau negara

hukum sosial”.

Dengan cara berbeda Bagir Manan mengemukakan bahwa

konsepsi negara hukum modern merupakan perpaduan antara konsep

negara hukum dan negara kesejahteraan. Dalam konsep ini tugas

negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan

atau ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggung jawab

mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.102.

Tugas pemerintah telah jauh berkembang dan dengan demikian

banyak urusan kehidupan masyarakat yang harus dikerjakan oleh

pemerintah. Peranan pemerintah yang intervensif memasuki hak asasi

manusia semua segi kehidupan warga masyarakat, pembuat undang-

undang tidak dapat lagi memperkirakan kebutuhan undang-undang

100 Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.PT. Bina Ilmu, Surabaya, Hlm 77.

101 De Haan P. et.al. 1986, BestUndang-undangrech in de Sociale Rechtsstaat, Deel. L, Ontwikkeling, Organisatiate, instrumentarium, Kluwer-Deventer, hlm. 15-16

102 Bagir Manan, 1996, Politik Perundang-undangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi Perekonomian, FH UNILA, Bandar Lampung, hlm. 16.

99

dimasa mendatang dan tidak mungkin mengatur segala macam hak,

kewajiban dan kepentingan secara lengkap dalam suatu undang-

undang.103 Karena pendelegasian wewenang pembentukan peraturan

perundang-undangan kepada pemerintah sangat diperlukan dan

pendelegasian bertindak kepada badan pemerintah yang lebih rendah.

Selain itu juga diperlukan adanya kebebasan dalam mengambil

kebijaksanaan, yaitu wewenang yang diberikan kepada pemerintah

untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting

yang mendesak dan belum ada peraturannya, baik untuk mengatur

maupun untuk bertindak.104 Yang lebih dikenal dengan istilah Freies

Ermessen.105

Seiring dengan itu pengertian asas legalitas juga berubah dan

berkembang dari “pemerintah berdasarkan undang–undang”

(wetmatigheid van bestuur) menjadi “pemerintahan berdasarkan atas

hukum” (rechtmatigheid van bestuur). Perubahan ini menunjukkan

terjadinya perubahan nilai, rakyat tidak lagi terlalu konfrontatif

terhadap kekuasaan penguasa dan menganggap pemerintah sebagai

partner untuk mencapai tujuan bersama yaitu kemakmuran. Desakan

mencapai kemakmuran menuntut perubahan pengertian asas legalitas

103 Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencaan dan Pelaksanakan Rencana Pembangunan di daerah seta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Desertasi Universitas Padjajaran, Bandung, 1997, hlm. 205.

104 Marbun, S.F, 1977, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm12

105 Sudargo Gautama, op.cit, hlm. 10.

100

yang lebih longgar, menjadi “doel matigheid van bestuur” atau

pemerintahan berdasarkan manfaat.106

Semakin luasnya wewenang yang diberikan kepada pemerintah

dalam negara hukum kesejahteraan tidak menghilangkan sifat sebagai

negara hukum yang sudah dicapai dalam konsep negara hukum liberal.

Dalam suasana sosiale rechtsstaat, Bothlingdalam “De Rechtsstaat

Nederland” sebagaimana disedut Azhary, menyatakan “negara hukum

ialah negara dimana keinginan bebas dari para penguasa dibatasi oleh

batas-batas hukum”.107

Pada suasana negara hukum modern kekuasaan pemerintah

dituntut semakin luas dan luwes. Penerapan tugas-tugas pemerintahan,

terutama pada Freies Ermessen memerlukan tolok ukur hukum yang

lebih luas termasuk hukum tidak tertulis seperti Asas-asas Umum

Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPPL) guna

memelihara hak-hak dasar warga dari tindakan pemerintah.

b) Konsep The Rule of Law

Konsep the rule of law awalnya dikembangkan oleh seorang

pemikir berkebangsaan Inggris Albert Venn Dicey melalui karyanya

Introduction toStudy of Law of the Constitution yang diterbitkan

pertama kali tahun 1885. Diceymengemukakan tiga unsur utama the

rule of law yaitu : (a) Supremacy of Law (Supremasi Hukum); (b)

Equality before the law (persamaan dihadapan hukum); (c)

106 Tahir Azhary, 1995,Negara Hukum Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Jakarta, hlm. 56.

107 Azhary, ibid, hlm.54.

101

Constitution based on individual right (konstitusi yang didasarkan

kepada hak-hak perorangan).108

Makna unsur supremasi of law, adalah negara diatur oleh

hukum, seorang hanya dapat dihukum karena melanggar hukum dan

hak kebebasan seorang warga terjamin oleh hukum. Makna dari

equality before the law, adalah semua warga negara dalam

kapasitaspribadi maupun pejabat negara tunduk pada hukum yang

sama (ordinary law) dan diadili oleh pengadilan yang sama (ordinary

court). Perbedaan yang menonjol dari konsep rechtsstaat adalah

bahwa konsep rule of law tidak mengenal badan peradilan khusus bagi

pejabat publik, sedang pada sistem hukum eropa continental mengenal

badan peradilan khusus bagi pejabat negara dalam mengisi

tindakannya melaksanakan tugas kenegaraan berupa badan peradilan

administrasi tersendiri dan merupakan suatu ciri spesifik penting yang

menonjol. Constitution based on individual right, konstitusi bukanlah

sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang

dirumuskan dan ditegaskan oleh pengadilan dan parlemen hingga

membatasi posisi Crown dan aparaturnya.109

Dalam hubungannya dengan supremacy of law, Albert Venn

Dicey menjelaskan sebagai berikut :

“The Absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of the arbitary power and

108 Irfan Fachruddin, 2003. Konsekuensi Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintahan, Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung, hlm.133.

109 Made Pasek Diantha, 2000, Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman, disertasi Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 72.

102

excludes the existence of arbitariness of prerogative, or even wide discretionary authority on the part of the government. Englishmen are rule by the law, and by the law alone, a man may with us can be punished for nothing else”.110

“Supremasi absolute atau keunggulan regular law sebagai

kebalikan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan

adanya kesewenang-wenangan prerogative, ataupun wewenang

diskresi yang luas pada pihak pemerintah. Orang Inggris diatur oleh

hukum, dan hanya oleh hukum, seseorang barangkali dihukum

bersama kami untuk suatu pelanggaran hukum, dia boleh dihukum

tetapi bukan untuk yang lain”.

Lebih lanjut Wade and Philips mengetengahkan tiga unsur the

rule of law, yaitu : (a) the rule of law, adalah suatu pandangan filosofis

barat terhadap masyarakat berkaitan dengan demokrasi menentang

otokrasi. (b) the rule of law merupakan doktrin hukum bahwa

pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum. (c) the rule of

law merupakan kerangka pikir politik yang harus dirinci lebih jauh

dalam peraturan-peraturan hukum substantive dan hukum formal.111

Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan dan

persamaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of law. Kedua

konsep itu ditopang oleh sistem hukum yang berbeda. Konsep

rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutism sehingga

bersifat revolusioner, bertumpu pada sistem hukum continental yang

110 Dicey AV, 1952, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, Nineth Edition, Mac.Millan and Co, London, hlm 223.

111 Notohamidjojo,O, Logcit ., hlm. 81-82.

103

disebut“civil law”atau “modern roman law”, dengan karakteristik

administrative. Sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara

revolusioner bertumpu pada sistem hukum“common law” dengan

karakteristik judicial.112 Perbedaan itu sekarang sudah tidak

dipermasalahkan lagi, karena keduanya menuju pada sasaran yang

sama, yaitu jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

c) Konsep Negara Hukum Indonesia

Konstitutional Indonesia merupakan sebuah pernyataan bahwa

Indonesia sebagai Negara hukum telah ada sejak masa periode pertama

berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Penjelasan Undang-Undang

Dasar 1945 menyatakan dalam angka 1 tentang sistem Pemerintahan

Negara: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

(rechtsstaat)”. Berikutnya dijelaskan tidak berdasar atas kekuasaan

belaka (Machtsstaat)”. Dalam konstitusi RIS 1949 dan Undang-

Undang Dasar 1950 dinyatakan : “Negara hukum Indonesia yang

berdaulat sempurna”. Pasal 1 ayat (1) konstitusi Republik Indonesia

Serikat 1949 menegaskan kembali : “… negara hukum yang demokrasi

dan berbentuk kesatuan”. Setelah kembali berlakunya Undang-Undang

Dasar 1945, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum dalam

penjelasan pada angka 1 tentang sistem pemerintahan negara berlaku

kembali. Pernyataan mana pada amandemen ketiga Undang-Undang

112 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.72.

104

Dasar 1945 tahun 2001 ditegaskan dalam batang tubuh, yaitu Pasal 1

ayat (3) dengan menggunakan istilah “negara hukum”.

Secara teoritis, pengertian yang mendasar dari “negara hukum”

sebagaimana yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja adalah

kekuasaan tumbuh pada hukum dan semua orang tunduk kepada

hukum.113

Lebih lanjut Indroharto merumuskan :

“… tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya”.114

Sedangkan Philipus M. Hadjonmengemukakan bahwa negara

hukum Indonesia mengandung unsur: (a) Keserasian hubungan

pemerintah dan rakyat; (b) hubungan fungsional dan proporsional

antara kekuasaan negara; (c) Penyelesaian sengketa melalui

musyawarah dan peradilan sebagai sarana terakhir; (d) keseimbangan

antara hak dan kewajiban.115

Lebih lanjut kekuasaan dan susunan badan-badan

penyelenggaraan oleh Undang-Undang Dasar 1945 diselenggarakan

menurut Undang-undang Dasar atau undang-undang. Sesudah

amandemen keempat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah

113 Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantapan Cita Hukum dan Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang,Makalah,Jakarta, hlm.1.

114 Indroharto (II), Op. Cit., hlm. 83.115 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm.85

105

yang dipilih melalui pemilihan umum dan teratur lebih lanjut dengan

undang-undang”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan : “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 yang tidak ada perubahan dalam amandemen menyatakan:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan

menurut Undang-Undang Dasar”. Pasal 18 Undang-Undang Dasar

1945 (sebelum amandemen) menetapkan :

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil116

dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan

undang-undang…” setelah amandemen kedua Pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan: “Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu

dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap provinsi, kabupaten dan kota

itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-

undang”. Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah117 provinsi, pemerintah daerah kabupaten dan kota dengan

undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

116 Ni’matul Huda, 2005, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 20. Daerah kecil diartikan sebagai pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pemerintahan Daerah hanya ada pemerintahan otonomi (termasuk tugas pembantuan). Prinsip Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 telah sesuai dengan gagasan daerah membentuk Pemerintahan Daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis.

117 Pemerintahan Daerah indentik dengan otonomi daerah. Istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian (zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafhankelijkheid). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Lihat: Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, hal. 128.

106

daerah”. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

“Susunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditetapkan dengan

Undang-undang”. Setelah amandemen kedua oleh Pasal 19 ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 detetapkan: “Susunan Dewan Perwakilan

Rakyat diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya Pasal 22C ayat (4)

menentukan “Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah

diatur dengan undang-undang”. Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 mengatur: “… Badan Pemeriksa Keuangan, yang

peraturannya ditetapkan dengan undang-undang”. Setelah amandemen

ketiga Pasal 23G ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur :

“Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur

dengan undang-undang”. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945 mengatakan: “Susunan dan kedudukan badan-badan

kehakiman118 itu diatur dengan undang-undang”. Setelah amandemen

keempat Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan :

“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman diatur dalam undang-undang”. Pasal 24A ayat (5) Undang-

Undang Dasar 1945 mengatur: “Susunan, kedudukan, keanggotaan dan

hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya

diatur dengan undang-undang”. Pasal 24B ayat (4) Undang-Undang

Dasar 1945 mengatakan: “susunan, kedudukan, keanggotaan Komisi

Yudisial diatur dengan undang-undang”. Pasal 24C Undang-Undang

Dasar 1945 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan

putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

118 Lihat Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

107

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-

Undang Dasar”. Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan: “Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi

diatur dengan undang-undang”.

Berdasarkan pendapat para sarjana dan ketentuan-ketentuan

dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta uraian diatas, tidak dapat lain

yang dapat ditangkap bahwa negara Indonesia memiliki ciri negara

hukum pada umumnya. Pemerintah memperoleh kekuasaan dari

hukum dan menjalankan kekuasaan itu menurut hukum dan kekuasaan

juga dibatasi oleh hukum. Hal ini mirip supremacy of law dalam

konsep the rule of law dan asas legalitas atau wetmatigheid van

bestuurr yang kemudian berubah menjadi rechtmatigheid van bestuur

dalam konsep rechtsstaat.Perbedaan yang paling asasi dari negara

hukum Indonesia hanya terletak pada dasar bertumpu yaitu

“Keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat”.119Indonesia

disebut dengan istilah negara hukum Pancasila. Pancasila itu adalah

asas atau “guiding principle” dalam menegara di Indonesia. Sebagai

asas menegara, Pancasila dapat dikatakan sebagai Ideologi Negara.

Secara yuridis, Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang

fundamental. Dengan demikian, sebagai guiding principle, Pancasila

itu adalah norma kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan

dan putusan di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan

ekonomi.120

119 Irfan Fachruddin, Op.Cit, hlm. 145.120 Bambang Priyambodo, Op.Cit, hlm. 77-78.

108

Sebagaimana penguraian yang telah dikemukakan di atas, dapat

disimpulkan, bahwa proses perumusan Pancasila adalah hasil usaha

para pemimpin pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar

atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan menyusun serta

menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara nasional.

Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan

dan konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan

politik Indonesia dalam menjalankan kegiatan politik sebagai “guiding

principle”. Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya dalam

Undang-undang Dasar, menyebabkan Pancasila juga mempunyai

kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam menjalankan

kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten dengan Undang-

Undang Dasar Tahun 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai

oleh Pancasila.121

Tampak bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak

dibuat berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum, negara dan

politik sebagaimana yang dikembangkan di barat, jadi tidak

berdasarkan dan tidak dijiwai individualisme yang dikembangkan oleh

John Locke, Rousseau, Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-pemikir

barat lain yang lebih kemudian. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

oleh para pembentuknya secara sadar disusun berdasarkan suatu

falsafah yang berbeda dengan falsafah yang melandasi dan menjiwai

undang-undang dasar yang ditemukan di dunia barat (Amerika, Eropa,

121 Ibid.

109

Australia, dan lain-lain) dan di negara-negara lain yang dipengaruhi

oleh dunia pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dibaca, dipahamidan

diimplementasikan berdasarkan dari dalam semangat Pancasila.122

d) Konsep Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Kekuasaan kehakiman yang merdeka diartikan sebagai

pelaksana peradilan yang bebas dan tidak memihak yang dilakukan

oleh hakim untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum yang

diajukan ke pengadilan. Kekusaan Kehakiman yang merdeka ini

merupakan elemen mutlak yang harus ada didalam sebuah negara

yang berpredikat negara hukum123.

Menurut C.S.T. Kansil dan Christine ST Kansil:

Kekuasaan Kehakiman ini mengandung pengertian didalamnya kekusaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekusaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, diretiva dan rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial dalam hal-hal yang diizinkan Undang-Undang….

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudial tidaklah mutlak sifatnya karena tugas hukum adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar, asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan keadaan bangsa dan rakyat Indonesia.

Montesquie mengemukakan4 pentingnya kekuasaan yudikatif

karena kekuasaan Kehakiman yang independen akan menjamin

122 Ibid.123 C.S.T. Kansil dan Chirstine ST Kansil, Hukum Tata Negara RI Jilid I, Rineka Cipta,

Jakarta, 1984, hal 191-192

110

kebebasan individu dan hak asasi manusia. Prinsip persamaan di

muka hukum merupakan elemen yang penting dalam konsep rule of

law. Selanjutnya Montequieu mengatakan:

Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak

dipisahkan dari kekusaan legislatif dan kekusaan eksekutif. Jika

kekusaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan legislatif, kekuasaan

atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan

sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembua hukum. Jika

kekuasaan Kehakiman disatukan dengan kekusaan eksekutif, hakim

bisa menjadi penindas, yang perlu digarisbawahi adalah kemandirian

kekuasaan Kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi

juga kemandirian dalam proses peradilan yang diindikasikan dari

proses pemeriksaan perkara, pembuktian, hingga pada vonis yang

dijatuhkan. Parameter mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai

oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar

kekuasaan kehakiman.124

Kemandirian hakim sangat penting adanya karena hakim secara

fungsional merupakan inti dalam proses penyelenggaraan peradilan.

Indikator mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat

dilihat dari kemampuan hakim menjaga integritas moral dan komitmen

kebebasan profesinya dalam menjalankan amanat adanya campur

tangan pihak lain dalam proses peradilan. Namun yang perlu juga

124 Andi. M. Nasrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta , 2004, hal 32

111

dipahami bahwa jaminan independensi kekuasaan Kehakiman bukan

berarti tidak boleh ada pihak selain dari lembaga peradilan untuk

mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan hakim dan peradilan.7

Rumusan tentang kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 pasca

amandemen yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Kekuasaan

Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”.125

Kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut dapat diartikan pada

suatu kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah

dan karenanya harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang

kedudukan para hakim Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang

merdeka juga berarti bebas dari campur tangan pemerintah atau badan

negara yang lain atau pihak manapun yang akan mempengaruhi

penyelenggaraan tugas serta wewenangnya.126

Mengenai hal ini secara eksplisit telah di amanatkan dalam BAB I

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah menentukan bahwa

kekuasaan Kehakiman adalah kekusaan yang mandiri dan terlepas dari

kekuasaan pemerintah, sehingga dipandang perlu melaksanakan

pemisahan tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.

125 Ibid126 Sirajuddin, Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2006, hal 34

112

1) Mahkamah Agung

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi sebagai

berikut : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan sebuah Mahkamah

Konstitusi”. Dari rumusan pasal tersebut Mahkamah Agung bukanlah

satu- satunya pelaku kekuasaan Kehakiman, namun demikian tugas

dan kewenangan Mahkamah Agung berbeda dengan Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung memiliki posisi strategis terutama di

bidang hukum dan ketatanegaraan yang diformat :

a. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan;

b. Mengadili pada tingkat kasasi;

c. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang

d. Berbagai kekuasaan atau kewenangan yang diberikan oleh

Undang-Undang.

Untuk selanjutnya mengenai Mahkamah Agung diatur tersendiri

dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan ke-II

Undang-Undang ini, yang selanjutnya merubah substansi undang-

undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor l4 Tahun 1985.

Perubahan tersebut disamping guna disesuaikan dengan arah kebijakan

113

yang telah ditetapkan dalam Amandemen Undang-Undang Dasar

1945, juga didasarkan atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Hal baru sebagai bagian dari perubahan Undang-Undang

Mahkamah Agung adalah mengenai bertambahnya ruang lingkup

tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agung meliputi bidang

pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi dan

finansial badan peradilan yang dikenal sebagai penyatuan atap

lembaga peradilan pada Mahkamah Agung. Penyatuan atap merupakan

pembaharuan pengelolaan administrasi umum peradilan yang meliputi

keuangan dan ketenagaan sehingga terjadi perubahan paradigma

manajemen keorganisasian.

Meskipun penyatuan atap ini merupakan tuntutan reformasi di

bidang hukum, namun penyatuan atap berpotensi menimbulkan

monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Sebab setiap

kekuasaan selalu mengandung potensi disalahgunakan atau

dilaksanakan dengan melampaui wewenang. Untuk itulah perlu ada

jaminan yang dapat memberi posisi lebih baik terhadap para pencari

keadilan maupun terhadap subyek yang dituntut melalui mekanisme

pengawasan.

2) Kewenangan Pengawasan oleh Mahkamah Agung

Salah satu fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah

fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 48

114

tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu dalam Bab VI Pasal 39

ayat (1) yang dinyatakan bahwa: “Pengawasan Tertinggi pada semua

badan Peradilan dibawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung”

berdasarkan ketentuan Undang- Undang”. Pelaksanaan pengawasan

juga bersandar pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung yang menyatakan sebagai berikut :

a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam

menjalankan kekuasaan kehakiman.

b. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para

hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan

tugasnya.

c. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang

hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dan semua

lingkungan peradilan.

d. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran atau

peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan disemua

lingkungan peradilan.

Pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut tidak

boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus

perkara. Dari ketentuan diatas maka terlihat bahwa yang harus diawasi

oleh Mahkamah Agung adalah jalannya peradilan (rechstsgang)

115

dengan tujuan agar jalannya peradilan dapat diselenggarakan oleh

pejabat pengadilan dengan seksama dan sewajarnya.

Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi jalannya peradilan,

namun demikian Mahkamah Agung dapat mendelegasikan

kewenangannya pada pengadilan tingkat banding berdasarkan asas

sederhana, cepat dan biaya ringan.

Melalui asas ini memungkinkan pendelegasian kewenangan

pengawasan tersebut. Didalam praktek selama ini Mahkamah Agung

dalam melaksanakan pengawasan telah mendelegasikan kepada para

ketua Pengadilan Tinggi disemua lingkungan peradilan.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini

adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan

(library research), yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif

mencakup lima macam penelitian, yaitu penelitian terhadap asas-asas

hukum, penelitian terhadap sisitematika hukum, penelitian terhadap

taraf sinkronisasi hukum, penelitian perbandingan hukum dan

penelitian sejarah hukum, Negara Indonesia adalah Penganut sistem

116

Hukum Civil law atau Eropa Kontinental berbeda dengan Negara

Singapura, karena itu penelitian ini menggunakan perbandingan dengan

Judex Juris Lembaga Hukum Tertinggi di Negara yang bersistem

Common law atau Anglo Saxon.

Proses ilmiah ini mengikuti pedoman Metode Penelitian Ilmu

Hukum Normatif amat berbeda dalam proses ilmiahnya dengan

disiplin-disiplin ilmu lain seperti misalnya dengan ilmu-ilmu sosial.

Ciri-ciri utama dari Metode Penelitian Hukum Normatif ini ialah:127

1) Deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif;

2) Tahap penelitian: Penelitian kepustakaan, data yang dicari adalah

data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer,

sekunder, tersier, dan lain-lain;

3) Konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi landasan

teoritikal penelitian mengacu pada kaidah hukum yang ada dan

berlaku pada ajaran hukum (dan pakar hukum yang terkemuka);

4) Jarang menampilkan hipotesis;

5) Analisis data dilakukan secara kualitatif artinya tanpa menggunakan

angka, rumus statistik, dan matematik.

Penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah penelitian hukum

normatif didukung dengan hasil putusan Mahkamah Agung dan

wawancara dengan aparatur Mahkamah Agung. Penelitian ini pada

hakekatnya hendak mencari model pengambilan keputusan yang paling

127 Lili Rasjidi, Menggunakan Teori/Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum , Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD, Bandung, 2011, hlm. 5-11

117

ideal yang dilakukan oleh Lembaga Hukum Tertinggi yakni Mahkamah

Agung dengan paradigma yang tidak terikat dengan Undang-Undang

sebagai hukum formil.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan, yaitu mempelajari referensi umum (perundang-

undangan, peraturan, buku-buku teks, kamus) dan referensi khusus

(jurnal, laporan penelitian).

b. Studi lapangan, dilakukan dengan metode analisa terhadap putusan

Mahkamah Agung yang tidak terikat oleh undang-Undang dan

meresponden dari para hakim untuk mengetahui kelebihan maupun

kekurangan jika diterapkan adanya paradigma lain yang diadopsi

dengan pertanyaan yang telah dipersiapkan. Cara ini digunakan

untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,

dan konsisten. “Dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data

yang telah dikumpulkan. Melalui proses penelitian ini diadakan

analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan

selanjutnya diolah”.128

3. Jenis dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini, meliputi data primer

dan data sekunder, sebagai berikut:

128 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 1.

118

a. Data Primer ialah data yang diperoleh dari sumbernya secara

langsung. Data ini dilakukan dengan cara wawancara terhadap

responden.

b. Data sekunder yakni berupa:

1) Diperoleh melalui bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan

hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun

undang-Undang Mahkamah Agung dan lainnya yang berkaitan

dengan Mahkamah Agung

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil

penelitian para ahli, hasil-hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah,

dan sebagainya.

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberi

petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, antara lain kamus hukum, kamus bahasa Indonesia,

karya ilmiah maupun Ensiklopedia, atau Media cetak dan lain

sebagainya.129

4. Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu dengan mengadakan

penelitian di lapangan tentang Sistem Peradilan menyangkut upaya

129 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1985), hal. 45

119

Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam memutus tanpa terikat

dengan Undang-Undang hukum positif, dikaitkan dengan teori hukum

Paradigma Shift dari Thomas S. Khun dan Sartjipto Raharjo.

Kemudian menggunakan teknik Metode Deduktif artinya

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dijadikan sebagai

pegangan untuk diterapkan pada data yang diperoleh dari penelitian

untuk memperoleh hasil dari penelitian dan perubahan yag menjadi

penyebab untuk memperoleh suatu kesimpulan. Metode Induktif

artinya data yang bersifat khusus yang diperoleh dari penelitian ditarik

kesimpulan yang bersifat umum.

G. Orisinalitas Penulisan

Penelitian ini merupakan satu-satunya penelitian di Indonesia pada

Program Doktor Ilmu Hukum yang mengkaji tentang Kewenangan

Mahkamah Agung sebagai Judec Juris dalam menilai fakta untuk

mewujudkan keadilan.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian dalam tahap Seminar Kemajuan Penelitian ini

menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,

kerangka teori dan konsep, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

120

BAB II. Mahkamah Agung dalam Historikal, tugas dan kewenangan

Mahkamah Agung, hak dan kewajiban Mahkamah Agung,

serta kode etik Mahkamah Agung.

BAB III. Pengaturan tentang Mahkamah Agung, pemaparan hasil

penelitian berdasarkan penerapan metode penelitian dari

konsistensi Mahkamah Agung menerapkan keadilan berkaitan

dengan urgensi Mahkamah Agung, komentar atas upaya

Mahkamah Agung mewujudkan keadilan dari hasil putusan

yang melebihi kewenangan Mahkamah Agung.

BAB IV. Pembahasan diantaranya mengenai, kewenangan Mahkamah

Agung dalam memeriksa perkara sebagai Judec Juris menurut

kajian hukum normatif dan Filosofis, selanjutnya dapatkah

Upaya Transformatif Konsep yang diterapkan Mahkamah

Agung sebagai Judec Juris dalam mewujudkan keadilan.

BAB V. Penutup berisi uraian Kesimpulan dan Rekomendasi.

121