hubungan program pelatihan ktsp terhadap...

94
PENGARUH PROGRAM PELATIHAN KTSP TERHADAP KETERLAKSANAANNYA PADA PEMBELAJARAN PKn ( STUDI PADA SMP NEGERI SANGGAR JAGAKARSA ) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh: Ahmad Djunaidi NIM. 102015024020 Di Bawah Bimbingan Abdul Rozak, M.Si NIP. 150 277 689 JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL ( IPS ) FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M

Upload: others

Post on 25-Dec-2019

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGARUH PROGRAM PELATIHAN KTSP TERHADAP

KETERLAKSANAANNYA PADA PEMBELAJARAN PKn

( STUDI PADA SMP NEGERI SANGGAR JAGAKARSA )

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Ahmad Djunaidi

NIM. 102015024020

Di Bawah Bimbingan

Abdul Rozak, M.Si

NIP. 150 277 689

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL ( IPS )

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN PROGRAM PELATIHAN

KTSP TERHADAP KETERLAKSANAANNYA PADA PEMBELAJARAN

PKn (STUDI PADA SMP NEGERI SANGGAR JAGAKARSA)” telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Juni 2008. Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (

IPS ).

Jakarta, 24 Juni

2008

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua/ Sekretaris Jurusan,

Drs. H. Nurochim, MM

NIP. 050 046 643

(

)

Penguji I,

Drs. H. Syaripulloh, M. Si

NIP.

(

)

Penguji II,

Muhamad Arief, M. Pd

(

NIP. 132 165 173 )

Mengetahui:

Dekan,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

NIP. 150 231 356

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ i

DAFTAR ISI ................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .............................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Identifikasi Masalah......................................................... 5

C. Pembatasan Masalah....................................................... 5

D. Perumusan Masalah ....................................................... 5

E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian..................................... 6

BAB II KAJIAN TEORI

Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP)

1. Hakekat Program Pelatihan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) ....................................... 7

2. Tahap-tahap Pelaksanaan Program Pelatihan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)............ 10

Pelaksanaan kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) pada pembelajaran PKn

1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)...............11

a. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) ............................................... 11

b. Prinsip, karakteristik dan komponen Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ........................ 13

2. Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran (PKn)

a. Hakekat PKn........................................................ 19

b. Penerapan KTSP pada pembelajaran PKn .............. 32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Variabel Penelitian.......................................................... 43

B. Populasi dan Sample ...................................................... 43

C. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 44

D. Pengolahan dan Analisa Data .......................................... 45

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data................................................................ 52

B. Analisis dan Interpretasi Data ......................................... 54

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................... 74

B. Saran-saran ................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 76

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 : Kisi-kisi Instrumen Penelitian..................................... 46

2. Tabel 2 : Kisi-kisi Instrumen Penelitian..................................... 46

3. Tabel 3 : Data Variabel X dan Y............................................... 51

4. Tabel 4 : Descriptive Statistics ................................................ 53

5. Tabel 5 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel X .............. 54

6. Tabel 6 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Y .............. 55

7. Tabel 7 : Interpretasi Data Koefisien Korelasi .......................... 57

8. Tabel 8 : Hasil Statistik Korelasi Pearson ................................. 57

9. Tabel 9 :

10. Tabel 10 : Hasil Statistik Uji t ................................................. 59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kurikulum pada dasarnya merupakan alat dalam upaya

mencapai tujuan pendidikan. Seperti ungkapan the man behind the

gun, maka sebagus apapun desain atau model kurikulum yang hendak

dikembangkan akan sangat bergantung kepada faktor manusianya.

Dalam hal ini, guru merupakan pelaksana utama dalam kegiatan

pengembangan kurikulum, yang dilaksanakan melalui kegiatan belajar

mengajar mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan

demikian, tampaknya tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa guru

menjadi faktor utama penentu keberhasilan dalam kegiatan

pengembangan kurikulum.

Jika kita cermati lebih dalam lagi tentang pemberlakuan

kurikulum pada masa-masa sebelumnya yang sentralistik, tampaknya

guru cenderung diposisikan hanya sebagai “tenaga tukang” yang

bertugas mengoperasikan berbagai ketentuan kurikulum yang telah

ditetapkan dari pusat. Petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk

teknis (Juknis) dari pusat yang sangat ketat dan serba seragam telah

membelenggu kreativitas guru sekaligus mencabut hak dan

kewenangan guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya.

Bagi para guru yang berjiwa “tukang”, keadaan seperti itu

tentunya dianggap hal yang menguntungkan, karena segala

sesuatunya seolah-olah sudah serba “siap saji”, guru hanya tinggal

melaksanakan saja ketentuan-ketentuan yang ada, tanpa harus banyak

bekerja keras dan berfikir jauh dalam mengimplementasikan

kurikulum, terlepas apakah ketentuan-ketentuan tersebut cocok atau

tidak dengan realita di lapangan.

Kurikulum yang sentralistik (top-down approach) semacam itu

pada akhirnya telah menjadilan pendidikan nasional kita jatuh

terpuruk. Di tengah-tengah kondisi pendidikan nasional yang terpuruk

itu ternyata masih ada juga orang-orang yang mau memikirkan dan

peduli terhadap nasib pendidikan nasional, dan pada akhirnya berhasil

mengantarkan pada keputusan untuk merubah kurikulum nasional.

Upaya perubahan kurikulum memang sempat terganggu, dengan

hadirnya wacana Kurikulum Berbasis Kompetensi yang konon didesain

secara ideal, namun dalam kenyataannya sungguh sulit untuk

diimplemantasikan karena terdapat beberapa asumsi yang tidak dapat

dipenuhi di lapangan. Terpaksa, wacana dan sosialiasasi Kurikulum

Berbasis Kompetensi pun diralat dan akhirnya sampailah pada upaya

untuk menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

dengan payung hukumnya Permendiknas No. 22 Tahun 2006, yang

tampaknya lebih mencerminkan kurikulum yang bersifat desentralistik

(grass-root approach).

Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dalam KTSP penulis

melihat adanya spirit untuk memberdayakan dan mempercayakan guru

sekaligus mengembalikan hak-hak profesional yang melekat dalam

jabatannya, termasuk hak dan otoritas dalam setiap kegiatan

pengembangan kurikulum. Yang menjadi persoalan, seberapa siap

para guru untuk menerima hak-hak dan otoritas profesional dalam

mengembangkan kurikulum di sekolah. Dalam KTSP, tidak lagi

disediakan berbagai petunjuk ketat dalam mengembangkan kurikulum.

yang tersisa dari pusat hanyalah rambu-rambu yang berkenaan

pencapaian Standar Kompetensi sebagaimana tertuang dalam

Permendiknas No. 23 tahun 2006, selebihnya diserahkan sepenuhnya

kepada guru untuk mengatur dan mengelola kegiatan pengembangan

kurikulum di sekolah, yang disesuaikan dengan karakteristik dan

kondisi nyata di lapangan.1

Dalam pandangan penulis, KTSP ini tak ubahnya seperti kertas

kosong yang diberikan kepada guru untuk ditulisi sesuai dengan

kemampuan yang ada pada diri guru itu sendiri. Ada tanggung jawab

besar dari guru untuk bagaimana dapat menulis dalam kertas kosong

itu sehingga akhirnya dapat dihasilkan tulisan yang benar-benar indah

dan bermutu tinggi. untuk mencapai hasil yang maksimal, usaha guru

sendiri untuk menjadikan dirinya profesional tidaklah mudah, akan

tetapi dengan adanya pelatihan-pelatihan tentunya akan sangat

membantu pengembangan diri seorang guru.

Kegiatan pelatihan bagi guru pada dasarnya merupakan suatu

bagian yang integral dari manajemen dalam bidang ketenagaan di

sekolah dan merupakan upaya untuk mengembangkan pengetahuan

dan keterampilan guru sehingga pada gilirannya diharapkan para guru

dapat memperoleh keunggulan kompetitif dan dapat memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan kata lain, mereka dapat

bekerja secara lebih produktif dan mampu meningkatkan kualitas

kinerjanya. Setidaknya ada banyak manfaat yang dapat diambil bagi

guru setelah mengikuti program pelatihan, baik yang diadakan oleh

pemerintah dalam usaha mensosialisasikan suatu program atau pun

oleh sekolah itu sendiri dalam usaha perbaikan mutu sekolah secara

keseluruhan. Diantara manfaat yang dapat diperoleh oleh guru yang

diungkapkan oleh Kunandar antara lain:

1. Membantu para guru membuat keputusan dengan lebih

baik;

1 Kunandar, “Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 138

2. Meningkatkan kemampuan para guru menyelesaikan

berbagai masalah yang dihadapinya;

3. Terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor

motivasional; 4. Timbulnya dorongan dalam diri guru untuk terus

meningkatkan kemampuan kerjanya;

5. Peningkatan kemampuan guru untuk mengatasi stress, frustasi dan konflik yang pada gilirannya memperbesar rasa

percaya pada diri sendiri;

6. Tersedianya informasi tentang berbagai program yang dapat

dimanfaatkan oleh para guru dalam rangka pertumbuhan masing-masing secara teknikal dan intelektual;

7. Meningkatkan kepuasan kerja;

8. Semakin besarnya pengakuan atas kemampuan seseorang; 9. Makin besarnya tekad guru untuk lebih mandiri; dan

10. Mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di

masa depan.2

Bagaimanapun kegiatan pelatihan merupakan beban anggaran

tersendiri yang harus dipikul oleh sekolah. Oleh karena itu, jika

kegiatan pelatihan dilakukan tanpa adanya analisis kebutuhan secara

cermat, pada akhirnya dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat

apa pun bagi guru atau pun bagi sekolah. Dengan sendirinya, yang

semula pelatihan dimaksudkan untuk kepentingan efektifvitas dan

efisiensi, malah terbalik menjadi kegiatan pemborosan saja.

Berdasarkan analisis kebutuhan selanjutnya dapat ditetapkan berbagai

sasaran yang ingin dicapai dari suatu kegiatan pelatihan, baik yang

bersifat teknikal maupun behavioral. Bagi penyelenggara, penentuan

sasaran ini memiliki arti penting sebagai: (1) tolok ukur kelak untuk

menentukan berhasil tidaknya program pelatihan; (2) bahan dalam

usaha menentukan langkah selanjutnya, seperti menentukan isi

program dan metode pelatihan yang sesuai. Sedangkan bagi peserta

penentuan sasaran bermanfaat dalam persiapan dan usaha apa yang

2 Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 78

seyogyanya mereka lakukan agar dapat memperoleh manfaat yang

sebesar-besarnya dari kegiatan pelatihan yang diikutinya.

Selain itu, Sungguh banyak tantangan yang dihadapi oleh guru

Civics. Misalnya, mereka harus memahami: berbagai macam teknik

mengajar; hubungan bahan pelajaran Civics dengan ilmu-ilmu sosial

lainnya; lingkungan masyarakat, agama, sains dan teknologi; dan

mengenal karakter kata-kata ilmu-ilmu sosial yang oleh Samuelson

dilukiskan seringkali merupakan "tirani kata-kata". Dikatakan demikian

karena kata-kata atau istilah-istilah dalam ilmu-ilmu sosial bisa

ditafsirkan dari berbagai arti, apalagi kalau latar belakang siswa

berbeda-beda. Kalau pendapat Samuelson dihubungkan dengan

pendapat F.M. Mark yang berpendapat bahwa kesulitan mengajar

Civics adalah "to steer between dull memorization on the other".3

Artinya, di sini guru Civics harus memadukan hafalan dengan

kehidupan yang sebenarnya dalam masyarakat.

Dengan memadukan dull memorization dengan kehidupan dan

kebutuhan dalam masyarakat, maka para siswa dapat dilatih untuk

berpikir, bersikap dan bertindak demokratis di dalam kelas. Dengan

kata lain, guru-guru Civics harus melatih para siswa untuk berlatih

menemukan konsensus dalam hidup bermasyarakat yang demokratis.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik

untuk membahas secara lebih dalam dan menulisnya dalam sebuah

karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul " Hubungan

Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) Tingkat SMP terhadap Keterlaksanaannya pada

Pembelajaran PKn di Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan”.

B. Identifikasi Masalah

3 Muhammad Numan Somantri , “Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS”, (Bandung:

Program Pasca Sarjanadan FPIPS UPI dengan PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet. I, h. h. 313

Sebelum penulis membatasi masalah di atas kiranya dapat

diidentifikasi beberapa masalah yang berkenaan dengan judul di atas

sebagai berikut:

a. Penerapan hasil program pelatihan KTSP di sekolah.

b. Kesesuaian antara program pelatihan KTSP yang telah dilakukan

dengan tuntutan pekerjaan.

c. Kinerja guru setelah mengikuti program pelatihan KTSP.

d. Tanggapan peserta pelatihan terhadap program pelatihan KTSP.

e. Keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan, maka dibatasi dalam hal:

a. Program pelatihan KTSP pada tingkat SMP di Sanggar Jagakarsa

Jakarta Selatan

b. Pembelajaran PKn pada tingkat SMP di Sanggar Jagakarsa Jakarta

Selatan

c. Keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn

D. Perumusan Masalah

Setelah membatasi permasalahan dan agar lebih terarahnya

penelitian, maka penulis rumuskan masalah tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimana program pelatihan KTSP tingkat SMP di Sanggar

Jagakarsa Jakarta Selatan?

2. Bagaimana keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada

pembelajaran PKn?

3. Adakah hubungan program pelatihan KTSP terhadap

keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn?

E. Kegunaan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui program pelatihan KTSP tingkat SMP di Sanggar

Jagakarsa Jakarta Selatan

2. Untuk mengetahui keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada

pembelajaran PKn.

3. Untuk mengetahui hubungan program pelatihan KTSP terhadap

keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn.

BAB II

KAJIAN TEORI

Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

3. Hakekat Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP)

a. Pengertian Program Pelatihan

Menurut kamus besar bahasa Indonesia program

diartikan sebagai “rancangan mengenai asas-asas serta dengan

usaha-usaha”.4 Di dalam suatu program sudah tercantum

sasaran, kebijaksanaan, prosedur, anggaran, dan waktu

pelaksanaannya.

Menurut Henry Simamora pelatihan adalah “serangkaian

aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian,

pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seorang

individu”.5 Menurut T. Hani Handoko “latihan (training)

dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai

keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci, dan

rutin”.6

Istilah pelatihan sering dikacaukan penggunaannya

dengan latihan (practice dan exercise) ialah merupakan bagian

4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Cet. IX, h. 789

5 Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: STIE YKPN,

1995), h. 287

6 T. Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta:

BPFE, 1996), Cet. X, h. 104

dari suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk

meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang

atau sekelompok orang. Sedangkan latihan ialah salah satu cara

untuk memperoleh keterampilan tertentu, misalnya, latihan

menari, latihan naik sepeda, latihan baris-berbaris, dan

sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

program pelatihan adalah suatu program yang ditujukan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara optimal

melalui pendidikan dan latihan untuk meningkatkan keahlian,

keterampilan, pengetahuan dan pengalaman untuk

melaksanakan tugas kemajuan sekolah.

Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses yang akan

menghasilkan suatu perubahan perilaku sasaran diklat. Secara

konkret perubahan perilaku itu berbentuk peningkatan

kemampuan dari sasaran diklat. Kemampuan ini mencakup

kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Apabila dilihat dari

pendekatan sistem, maka proses pendidikan dan pelatihan itu

terdiri dari input (sasaran diklat) dan output (perubahan

perilaku), dan faktor yang mempengaruhi proses tersebut.

Dalam teori diklat faktor yang mempengaruhi proses itu

dibedakan menjadi dua, yakni apa yang disebut perangkat lunak

(software) dan perangkat keras (hardware).

Perangkat lunak dalam proses diklat ini mencakup antara

lain: kurikulum, organisasi pendidikan dan pelatihan, peraturan-

peraturan, metode belajar mengajar, dan tenaga pengajar atau

pelatih itu sendiri. Sedangkan perangkat keras yang juga besar

pengaruhnya terhadap proses diklat ialah fasilitas-fasilitas, yang

mencakup gedung, perpustakaan (buku-buku referensi), alat

bantu pendidikan, dan sebagainya.

b. Tujuan Program Pelatihan

Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia selalu

mempunyai tujuan tertentu karena aktivitas yang tidak

mempunyai tujuan adalah sia-sia. Tujuan merupakan penentu

arah, pengontrol, dan alat evaluasi semua aktivitas.

Begitu pula suatu program yang akan dijalankan

dijabarkan secara jelas tujuan yang akan dicapai. Tujuan dapat

mengarahkan kegiatan pelaksanaan program secara teratur,

efektif dan efisien.

Menurut Henry Simamora, tujuan utama pelatihan secara

luas dapat dikelompokkan ke dalam lima bidang antara lain:

1) Meningkatkan keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi.

2) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru untuk

menjadi kompeten dalam pekerjaannya. 3) Membantu memecahkan masalah operasional.

4) Mempersiapkan karyawan untuk promosi. 5) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.7

Dalam buku Administrasi Kepegawaian, dikatakan bahwa

tujuan latihan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi

adalah:

1) Meningkatkan pengetahuan (knowledge), kemampuan

(ability), dan keterampilan (skill), pegawai dalam menjalankan tugasnya masing-masing.

2) Menanamkan pengetahuan yang sama mengenai suatu tugas dalam kaitannya dengan yang lain untuk

mewujudkan tujuan organisasi perusahaan.

7 Henry Simamora., h. 290

3) Mengusahakan kemampuan dan keterampilan yang

sesuai dengan situasi dan kondisi teknologi yang

terjadi akibat berhasilnya pembangunan.

4) Menumbuhkan minat dan perhatian pegawai terhadap bidang tugas masing-masing.

5) Memupuk keberanian berpikir kreatif dan

berpartisipasi dalam diskusi. 6) Memupuk hubungan kerja sama antar pegawai secara

efisien.

7) Menanamkan jiwa kesatuan.

8) Mengubah sikap dan tingkah laku mental pegawai ke arah kerja yang jujur dan efektif.

9) Mengembangkan karier pegawai.

10) Menumbuhkan rasa turut memiliki dan tanggung jawab pegawai.8

Dengan melihat tujuan-tujuan yang ada, program

pelatihan sangat bermanfaat bagi kemajuan guru dan sekolah.

Pelatihan yang dilakukan secara baik dan benar dapat

meningkatkan sumber daya manusia secara optimal yang akan

berpengaruh terhadap pencapaian tujuan sekolah.

Berdasarkan uraian mengenai tujuan program pelatihan

dapat disimpulkan bahwa program pelatihan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) dapat memberikan manfaat yang

besar bagi guru yang bersangkutan, sekolah, dan masyarakat.

c. Tahap-tahap Pelaksanaan Program Pelatihan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Untuk mengadakan program pelatihan dimulai dengan

menganalisis kebutuhan sekolah. Setelah diidentifikasikan

kebutuhan sekolah, perlu dibuat program pelatihan yang sesuai

dan benar-benar menyentuh (mencapai sasaran) kebutuhan

8 Slamet Saksono, Admistrasi Kepegawaian, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), Cet. II, h. 80

sekolah, karena tanpa suatu program pelatihan yang baik

sasaran dari program tersebut tidak akan tercapai.

Kegiatan program pelatihan berdasarkan kriteria-kriteria

sebagai berikut:

1) Mempunyai sasaran yang jelas dan memakai tolok ukur terhadap hasil yang dicapai.

2) Diberikan oleh tenaga pengajar yang mampu untuk

menyampaikan ilmunya serta mampu memotivasi

peserta program pelatihan. 3) Materi disampaikan secara mendalam sehingga

mampu merubah sikap dan meningkatkan kinerja

guru. 4) Materi disesuaikan dengan permasalahan dan daya

tangkap peserta.

5) Menggunakan metode yang tepat guna. 6) Meningkatkan keterlibatan aktif peserta sehingga

mereka bukan sebagai pendengar belaka.9

Pelaksanaan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada

pembelajaran PKn

3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

c. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Menurut S. Nasution kurikulum adalah “suatu rencana

yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di

bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga

pendidikan beserta staf pengajarnya.10

9 Mulia Nasution, Manajemen Personalia Aplikasi Dalam Perusahaan, (Jakarta:

Djambatan, 1994), h. 76

10

S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), Cet. IV, h.

5

Menurut Oemar Hamalik kurikulum adalah “Seperangkat

rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta

cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum merupakan susunan

dan bahan kajian dan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan

penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan, dalam

rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.11

Kurikulum berasal dari bahasa Romawi, dari kata

curriculum (bentuk tunggal) dan curricula (bentuk jamak) yang

berarti lapangan perlombaan. Orang yang telah berhasil

melampaui lapangan perlombaan tersebut berarti telah

memenangkan perlombaan. Dalam perkembangan selanjutnya

kurikulum diartikan suatu jarak yang harus ditempuh oleh

seorang siswa atau mahasiswa untuk mencapai suatu tingkat

tertentu. Dewasa ini kurikulum diartikan suatu pelajaran atau

daftar mata pelajaran yang akan diterima oleh siswa dalam

waktu tertentu untuk memperoleh ijazah atau kemampuan

tertentu.

Menurut Soekidjo Notoatmodjo kurikulum adalah “Segala

usaha dan kegiatan yang mempengaruhi proses belajar

mengajar.” Jadi, setiap kegiatan yang mempengaruhi proses

pendidikan baik langsung maupun tidak langsung merupakan

bagian dari kurikulum.12

Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan

11 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003),

Cet. IV, h. 18

12

Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2003), Cet. 3, h.50

pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi

dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh

sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk

memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan

kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah

kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di

masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan

pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan

kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan

silabus.13

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional

pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan

nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,

proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan

prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian

pendidikan.14 Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan

tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan

(SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam

mengembangkan kurikulum.15

d. Prinsip, karakteristik dan komponen Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP)

13 Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006

14 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Pasal 2 ayat (1) Tahun 2005

15 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006

a. Prinsip KTSP

Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan

dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite

sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan

standar isi serta panduan penyusunan kurikulum oleh BSNP

(Badan Standar Nasional Pendidikan). Kurikulum

dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip beriku:

i. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan

kepentingan peserta didik dan lingkungan. Kurikulum

dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa perserta didik

memiliki posisi sentral untuk mengembangkan

kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman

kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berilmu, kreatif,

mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis

serta bertanggung jawab. Agar kesemuanya itu tercapai

maka pengembangan kompetensi peserta didik harus

disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan,

dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.

ii. Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan

memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik,

kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, serta

status social ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi

subtansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan

lokal, dan pengembangan diri secara terpadu.

iii. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan

kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku

kepentingan (stake holders) untuk menjamin relevansi

pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk

didalamnya kehidupan bermasyarakat, dunia usaha dan

dunia kerja.

iv. Menyeluruh dan berkesinambungan. Subtansi kurikulum

mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang

kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan

dan disajikan secara berkesinambungan antar semua

jenjang pendidikan.

v. Peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang

bermutu serta memperoleh kesempatan untuk

mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan

menyenangkan.

vi. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik

mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan,

pengayaan, dan pencapaian sesuai dengan potensi,

tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan

tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan

pribadi peserta didik yang berdimensi ketuhanan,

keindividuan, kesosialan, dan moral.

vii. Kurikulum dilaksanakan dengan pendayagunakan kondisi

alam, sosial, dan budaya serta kekayaaan daerah untuk

keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan

kajian secara optimal.

viii. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi

mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri

diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan

kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas

dan jenis serta jenjang pendidikan.

b. Karakteristik KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menekankan

pada kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki oleh

lulusan suatu jenjang pendidikan. Kemampuan lulusan yang

harus dicapai dinyatakan dengan standar kompetensi, yaitu

kemampuan minimal yang harus dicapai lulusan. Standar

kompetensi lulusan merupakan modal utama untuk bersaing

di tingkat regional maupun global, karena persaingan yang

terjadi dalam era globalisasi adalah persaingan sumber daya

manusia.

Sebagai sebuh konsep, sekaligus sebagai sebuah program,

KTSP memiliki karakteristik sebagai berikut:

i. KTSP menekankan pada ketercapaian kompotensi

siswa baik secara KTSP individual maupun klasikal.

Dalam KTSP peserta didik dibentuk untuk

mengembangkan pengetahuan, pemahaman,

kemampuan, nilai, sikap, dan minat yang pada

akhirnya akan membentuk pribadi yang terampil

dan mandiri.

ii. KTSP berorientasi pada hasil belajar (learning

outcomes) dan keberagaman.

iii. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan

pendekatan metode yang bervariasi.

iv. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi sumber

belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

v. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar

dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu

kompetensi.

Standar kompetensi yang diharapkan dicapai peserta

didik mencakup aspek berfikir, keterampilan dan

kepribadian. Tujuan utama dari standar kompetensi adalah

untuk memberi arah kepada pendidik tentang kemampuan

dan ketarampilan yang menjadi fokus proses pembelejaran

dan penilaian. Jadi, standar kompetensi adalah batas arah

kemampuan yang harus dimiliki dan dapat dilakukan peserta

didik setelah mengikuti proses pembelajaran suatu mata

pelajaran tertentu.

c. Komponen KTSP

a) Struktur

Pada program pendidikan di sekolah menengah

pertama (SMP) dan yang setara, jumlah jam mata pelajaran

sekurang-kurangnya 32 jam pelajaran setiap minggu. Setiap

jam pelajaran lamanya 40 menit. Jenis program pendidikan

di SMP dan yang setara, terdiri dari program umum meliputi

sejumlah mata pelajaran yang wajib diikuti seluruh peserta

didik, dan program pilihan meliputi mata pelajaran yang

menjadi ciri khas keunggulan daerah berupa mata pelajaran

muatan lokal. Mata pelajaran yang wajib diikuti pada

program umum berjumlah 10, sementara keberadaan mata

pelajaran Muatan Lokal ditentukan oleh kebijakan Dinas

setempat dan kebutuhan sekolah.

Pengaturan beban belajar menyesuaikan dengan

alokasi waktu yang telah ditentukan dalam struktur

kurikulum. Setiap satuan pendidikan dimungkinkan

menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu

secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran

tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik

dalam mencapai kompetensi, di samping memanfaatkan

mata pelajaran lain yang dianggap penting namun tidak

terdapat di dalam struktur kurikulum yang tercantum di

dalam Standar Isi. Dengan adanya tambahan waktu, satuan

pendidikan diperkenankan mengadakan penyesuaian-

penyesuaian. Misalnya mengadakan program remediasi bagi

peserta didik yang belum mencapai standar ketuntasan

belajar minimal.

b) Muatan

Muatan kurikulum SMP/MTs meliputi sejumlah mata

pelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan

selama tiga tahun mulai Kelas VII sampai dengan Kelas IX.

Materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri

merupakan bagian dari muatan kurikulum.

Adapun yang termasuk dalam Muatan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebagai berikut :

a. Mata Pelajaran

Mata pelajaran merupakan materi bahan ajar

berdasarkan landasan keilmuan yang akan dibelajarkan

kepada peserta didik sebagai beban belajar melalui

metode dan pendekatan tertentu.

Pada bagian ini sekolah/madrasah mencantumkan

mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri

beserta alokasi waktunya yang akan diberikan kepada

peserta didik.

Untuk kurikulum SMP dan Madrasah Tsanawiyah,

terdiri dari 10 mata pelajaran, muatan lokal, dan

pengembangan diri yang harus diberikan kepada peserta

didik.

b. Muatan Lokal

Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk

mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas

dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang

materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain

dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran

tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh sekolah,

tidak terbatas pada mata pelajaran seni-budaya dan

keterampilan, tetapi juga mata pelajaran lainnya, seperti

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di SMP. Muatan

lokal merupakan mata pelajaran, sehingga sekolah harus

mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Sekolah

dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal

setiap semester, atau dua mata pelajaran muatan lokal dalam

satu tahun.

c. Kegiatan Pengembangan Diri

Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan

memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan

kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan

kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri di bawah

bimbingan konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat

dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan

pengembangan diri dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan

pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri

pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier

peserta didik serta kegiatan ekstrakurikuler, seperti

kepramukaan, kepemimpinan, kelompok seni-budaya,

kelompok tim olahraga, dan kelompok ilmiah remaja.

d. Beban Belajar

Beban belajar ditentukan berdasarkan penggunaan

sistem pengelolaan program pendidikan yang berlaku di

sekolah pada umumnya saat ini, yaitu menggunakan sistem

Paket.

e. Ketuntasan Belajar

Ketuntasan belajar setiap indikator yang dikembangkan

sebagai suatu pencapaian hasil belajar dari suatu kompetensi

dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk

masing-masing indikator 75%. Sekolah harus menentukan

kriteria ketuntasan minimal sebagai Target Pencapaian

Kompetensi (TPK) dengan mempertimbangkan tingkat

kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber

daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Sekolah

secara bertahap dan berkelanjutan selalu mengusahakan

peningkatan kriteria ketuntasan belajar untuk mencapai kriteria

ketuntasan ideal.

f. Kenaikan Kelas dan Kelulusan

Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun

ajaran. Dengan mengacu kepada ketentuan PP 19/2005 Pasal 72

Ayat (1), peserta didik dinyatakan lulus dari SMP, apabila:

a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.

b. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk

seluruh mata pelajaran.

c. Lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu

pengetahuan dan teknologi.

d. Lulus Ujian Nasional.

4. Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn

a. Hakekat PKn

1. Pengertian PKn

Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai

citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain

untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk

seluruh jalur dan jenjang pendidikan.16

Sampai saat ini bidang itu

sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis

pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai

mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan

tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu

pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru.

Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam

bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

(Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh

Pemerintah sebagai suatu crash program.17

Kelima, sebagai

kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan

kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan

kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam

status pertama, kedua, ketiga, dan keempat.

Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di

sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami

perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun

substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa

sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat

kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics,

16 Arnie Fajar, Portopolio Dalam Pelajaran IPS, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2005), Cet. IV, h. 142

17

Udin Saripudin Winataputra, Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai

Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, Disertasi Pasca Sarjana UPI Bandung (Bandung:

Pogram Pasca Sarjana UPI, 2001), h. 1

pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak

dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai.

Selanjutnya, dalam kurikulum tahun 1975 untuk semua

jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai

tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai

pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaannegara mulai

diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP)

yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia

Pancakarsa".18 Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi

pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No.

II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila atau P4 (Depdikbud: 1975a, 1975b, 1975c). Mata

pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas

III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan

dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan

penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang

No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional

(UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya

Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai

bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang

pendidikan.19

Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun

1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Ke-

warganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman

belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar

18

Somantri., h. 257

19 Somantri., h. 154

butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam

Pancasila.20

Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang

dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi

pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran civics atau

PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif

hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator

telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang

sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang

berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.21 Krisis

atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat

konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti:

civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik;

civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara

yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun

1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan

MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran

IPS22

; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN

dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan

bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang

tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan

dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya

perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak

artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari

penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.

Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih

tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih

20

Paulina Pannen, dkk, Cakrawala Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), h.

386

21

Winataputra., h. 1

22 Paulina., h. 385

belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara

konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan

kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara

nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.

Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde

Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah

perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih

murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali

dipertanyakan secara kritis.

Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum

(MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah

Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk

mengembangkan wawasan mahasiswa mengenai Pancasila sebagai

dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan

kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah menjadi

Pendidikan Kewarganegaran, bertujuan untuk mengembangkan

wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara

sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30

UUD 1945. Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang

wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000

disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK.23

Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu,

pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan

disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata

pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK Jurusan atau

Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau

Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada

saat ini.24 Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi-

kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada

23 Somantri., h. 153

24 Somantri., h. 153

dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan

sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual

pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program

pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya.

Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada

pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru

pendidikan kewarganegaraan.

Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan

tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender-

ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset

dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan

sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan

perhatian.

Dalam status keempat, yakni sebagai crash program

pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4

mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para

Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan

Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4) atau BP7 Pusat dan Propinsi

sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk

pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.25

Seiring

dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan

reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan

sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa

Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada

Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak

positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari

warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi

di Indonesia. Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan

semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang

25 Winataputra., h. 2

Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)

dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara,

kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal

30 April 1999 BP7 secara resmi dilikwidasi.26

Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk

pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang

lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan

benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara

yang mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan cita-

cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat

meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam

kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi

untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.

Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka

konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih

belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi

pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional,

sistematis dan sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan

yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka

acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan

melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing

statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau

sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau

sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu

sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai

akibatnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di

lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum

sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.

26 Winataputra., h. 2

Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam

mengenai aspek kajian dalam pendidikan kewarganegaraan, penulis

merincinya menjadi tiga bagian, yaitu: aspek ontologis, aspek

epistimologis dan aspek aksiologis.

1) Aspek Ontologis Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan memiliki dua dimensi

ontologi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan.27

Yang

dimaksud dengan obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil,

instrumental, dan praksis pendidikan kewarganegaraan yang

secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan

pembelajaran PKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format

gerakan sosial-kutural kewarganegaraan masyarakat.

Sedangkan yang dimaksud dengan obyek pengembangan

adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni

ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik yang

menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai

warganegara, yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara

programatik guna mencapai kualitas warganegara yang “cerdas,

dan baik, dalam arti demokratis, religius, dan berkeadaban

dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

Obyek Telaah meliputi tiga aspek yakni: Aspek Idiil,

Instrumental, dan Praksis.28

Aspek idiil pendidikan

kewarganegaraan adalah landasan dan kerangka filosofik yang

menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai muaranya pendidikan

kewarganegaraan di Indonesia yakni landasan dan tujuan

Pendidikan Nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-

Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar

Haluan Negara (GBHN), tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,

27 Winataputra., h. 16

28 Winataputra., h. 17

1998, 1999, dan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional, serta perundangan lainnya yang

relevan. Aspek instrumental pendidikan kewarganegaraan

adalah sarana programatik kependidikan yang sengaja

dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi

aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek instrumental

tersebut adalah kurikulum, bahan belajar, guru, media dan

sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar, dan

lingkungan. Aspek idiil merupakan obyek telaah yang tepat

bagi studi kualitatif historis atau filosofik. Sedangkan, aspek

instrumental dan praktis merupakan obyek telaah yang tepat

bagi penelitian deskriptif dan penelitian eksperimental.

Obyek Pengembangan dalam aspek ontologis adalah

ranah Sosial dan psikologis. Ranah sosial-psikologis, adalah

keseluruhan potensi sosial-psikologis peserta didik yang oleh

Bloom dkk (1956), Kratzwohl (1962) dikategorikan kedalam

ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang secara

programatik diupayakan untuk ditingkatkan kuantitas dan

kualitasnya melalui kegiatan pendidikan29

. Ranah-ranah

tersebut, seperti dapat disimak dalam perkembangan

citizenship/civic education atau pendidikan kewarganegaraan

dikemas dalam berbagai label kompetensi atau kemampuan dan

atau kepribadian warganegara. Yang termasuk kategori

kompetensi atau kemampuan itu adalah pengetahuan, dan

keterampilan (UU 20/2003); kecerdasan aqliyah (otak logis-

rasional), kecerdasan membuat putusan dan memecahkan

masalah (decision making and problem solving). Kesemua itu

dapat direkonseptualisasi menjadi pengetahuan

kewarganegaraan, keterampilan berpikir kritis/reflektif,

29 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

2005), Cet. XVII, h. 34-36

keterampilan memecahkan masalah, keterampilan membuat

keputusan bernalar, dan keterampilan sosial.

Mengenai kepribadian dirumuskan dalam berbagai

rincian, seperti beriman dan bertaqwa, berbudi luhur, mantap

dan mandiri, bertanggung jawab (PP 19/2005);30 berahlak

mulia; kecerdasan ruhaniyah, kecerdasan naqliyah, kecerdasan

emosional, kecerdasan menimbang, cinta kepada negara, cinta

kepada bangsa dan kebudayaan, ikut memajukan negara,

keyakinan hidup tak terpisah dari masyarakat, keyakinan untuk

tunduk pada tata tertib, jujur dalam pikiran dan tindakan (BP

KNIP: 1945), manusia susila yang cakap, demokratis, dan

bertanggung jawab tentang masyarakat dan tanah air (UU No

4/1950).

Kesemua itu dapat direkonseptualisasi bahwa aspek

kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah

keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha

Esa/kecerdasan ruhaniyah, kecerdasan emosional sebagai

warganegara (kepekaan sosial, cinta tanah air, tertib, memiliki

integritas, partisipatif), keberadaban/ahlak mulia, kepercayaan

diri, komitmen terhadap kehidupan berdemokrasi (sadar akan

kewajiban dan hak, menjunjung tinggi hukum, menjunjung

tinggi hak azasi manusia, dan terbuka), dan tanggung jawab

sebagai warga negara (socio-civic responsibility).

2) Aspek Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan.

Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan

berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan

kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang

pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan

sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian

30 Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar

Nasional Pendidikan, (Jakarta: Asa Mandiri), Cet. III, h. 160

ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait

pada obyek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan

epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup

metodologi penelitian dan metodologi pengembangan.31

Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan

pengetahuan baru melalui: (1) metode penelitian kuantitatif

yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk

mendukung proses konseptualisasi, dan (2) metode penelitian

kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap

fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Sedangkan,

metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan

paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna

mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik,

dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental

dan kontekstual pendidikan.

Tercatat berbagai kegiatan epistemologis penelitian,

pengembangan, dan penelitian dan pengembangan. Yang

khusus merupakan kegiatan penelitian antara lain yang

dilakukan oleh Capra (1998) tentang titik balik peradaban;

Sanusi (1998) tentang 10 pilar demokrasi Indonesia;

Bahmueller (1996) tentang perkembangan demokrasi; Welzer

(1999) tentang konsep civil society; Gandal dan Finn (1992)

tentang education for democracy; Barr, Bart, dan Shermis

(1977) tentang konsep social studies; Remmers dan Radles

(1960 dalam Shaver 1991) tentang kesadaran politik dan hukum

peserta didik; Stanley (1985) tentang perkembangan social

studies; Shaver (1991) tentang penelitian dan pembelajaran

social studies; Winataputra (1978) tentang pelaksanaan

kurikulum PMP, CERP (1972) tentang pemikiran mengenai

pendidikan IPS dan kewarganegaraan; Djahiri dkk (1998)

31 Winataputra., h. 19

tentang profil kurikulum dan pembelajaran PPKN 1994, dan

CICED (1999 dan 2000) tentang konsep civic education for

civil society dan tentang the needs for new Indonesian civic

education”.

Yang bersifat pengembangan kurikulum dan

pembelajaran, tercatat antara lain yang dilakukan oleh: PPSP

IKIP Bandung (1973) tentang kurikulum IPS/PKN, Depdikbud

(1974) tentang kurikulum IPS dan PMP 1975, Depdikbud

(1983) tentang penyempurnaan kurikulum PMP, Depdikbud

(1993) tentang kurikulum Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan (PPKn), Depdikbud (1999) tentang

pengembangan suplemen dan petunjuk teknis PPKn untuk masa

transisi; CICED (1999) tentang civic education content

mapping.32

3) Aspek Aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan.

Yang termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan

kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian

dan pengembangan dalam bidang kajian pendidikan

kewarganegaraan yang telah dicapai, bagi dunia pendidikan,

khususnya pendidikan persekolahan dan pendidikan tenaga

kependidikan.

Hasil-hasil penelitian dan pengembangan social

studies, citizenship education dan civic education” dalam dunia

persekolahan banyak memberi

manfaat dalam merancang program pendidikan guru,

meningkatkan kualitas kemampuan guru,

meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan

kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas

penelitian dan pengembangan.

32 Winataputra., h. 20

2. Tujuan PKn

Hampir semua orang sudah dapat menduga bahwa tujuan

umum pelajaran PKn/ Civics ialah mendidik warga negara agar

menajdi waraga negara yang baik, yang dapat diukiskan dengan

"warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan

negara, beragama, demokratis.

Kurikulum SD, SMP, SMA 1968 melukiskan sebagaimana

dijelaskan oleh Somantri, tujuan ini dengan: "menanamkan,

memupuk rasa kekeluargaan, kasih sayang, memupuk dan

mengembangkan rasa beragama, saling menghormati, memupuk

rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan tanah air,

mengembangkan sikap kewiraan dan seterusnya".33

Isi tujuan tersebut sangat luas, dan karena terlalu luasnya,

inilah pertama-tama yang menyebabkan kekeliruan terhadap

penyajian Civics. Karena terlalu luasnya tujuan Civics tersebut,

maka logis apabila timbul kekeliruan dan kekaburan pelajaran ini.

Dari pembahasan buku PKn untuk SD, SLTP dan SLTA terdapat

petunjuk kuat bahwa buku-buku Civics mencakup etika, moral,

agama, aspek-aspek kehidupan yang dianggap positif, sejarah

kebangkitana nasional, perjuangan membela proklamasi, dan sudah

barang tentu Pancasila dan UUD 1945.

Rupanya tujuan PKn di Indonesia akan dicapai "The Great

Ought"-nya Indonesia yaitu dengan menanamkan konsep-konsep

dan sistem nilai yang sudah dianggap baik sebgai titik tolak untuk

menumbuhkan warga negara yang baik.

Tujuan PKn tersebut tidak ada yang menyangsikan

kebaikannya, tetapi bagi lembaga-lembaga pendidikan akan timbul

masalah yaitu bagaimana menjabarkan tujuan PKn agar tidak hanya

berperan sebagai slogan atau berupa "declaration of hope" saja.

Untuk menjabarkan tuujuan dalam praktik PKn, paling tidak tujuan

33 Somantri., h. 279

harus diperinci dalam tujuan kulikuler yang meliputi: (1) Ilmu

penegtahuan, (2) Keterampilan intelektual, (3) Sikap,

(4)Keterampilan sosial.34

Ilmu pengetahuan yang dimaksudkan di atas adalah meliputi

hierarki: fakta, konsep dan generalisasi/teori. sedangkan

keterampilan intelektual yang dimaksud meliputi beberapa hal.

Pertama, keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang

kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan,

menganalisis, mensintesis dan menilai. Kedua, dari mulai

penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih, yaitu dengan:

keterampilan bertanya dan mengetahui masalah, keterampilan

merumuskan hipotesis, keterampilan mengumpulkan data,

keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, keterampilan

merumuskan generalisasi, dan keterampilan mengkomunikasikan

kesimpulan. Ketiga, dari berpikir kritis sampai berpikir kreatif.

Mengenai sikap yang termasuk di dalamnya adalah nilai,

kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal

afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat

dijabarkan.

Keterampilan sosial yang dimaksud karena tujuan umum

PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu

keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk

secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta

bersahabat dalam pergaulan hidup sehari-hari. Mengkerangkakan

tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan

agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: konsep dasar,

generalisasi, konsep atau topik PKn, tujuan intruksiona, konstruksi

tes beserta penilaiannya.

34 Somantri., 280

Arni Fajar mengatakan bahawa mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki

kemampuan sebagai berikut:

1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam

menanggapi isu kewarganegaraan.

2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan

bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.

3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk

membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat

Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa

lainnya.

4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan

dunia secara langsung atau tidak langsung dengan

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.35

b. Penerapan KTSP pada pembelajaran PKn

1. Tahap Persiapan atau Perencanaan

Proses belajar mengajar merupakan interaksi edukatif

yang dilakukan oleh guru dan siswa di dalam situasi tertentu.

Melaksanakan proses belajar mengajar bukanlah suatu

pekerjaan yang mudah dan dapat terjadi begitu saja tanpa

direncanakan sebelumnya, akan tetapi mengajar itu

merupakan suatu kegiatan yang semestinya direncanakan

dan didisain sedemikian rupa mengikuti langkah-langkah dan

prosedur tertentu. Sehingga dengan demikian

pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan.

H.D. Sudjana, dalam bukunya mengatakan bahwa

"Perencanaan adalah proses yang sistematis dalam

pengambilan kcputusan tentang tindakan yang akan

dilakukan pada waktu yang akan datang. Dikatakan

sistematis karena perencanaan itu dilaksanakan dengan

35 Arnie Fajar, Portopolio Dalam Pelajaran IPS, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2005), Cet. VI, h. 143

menggunakan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip itu

mencakup proses pengambilan keputusan, penggunaan,

pengetahuan, dan teknik secara ilmiah serta tindakan

kegiatan yang terorganisasi”.36

Sedangkan T. Hani Handoko mendefinisikan

perencanaan sebagai berikut, "Perencanaan adalah pemilihan

sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang

dilakukan, kapan, dan oleh siapa”.37

Semua yang diungkapkan oleh pakar pada intinya

sama, yaitu perencanaan yang didalamnya itu ada sebuah

pengambilan keputusan, penentu tujuan, dan oleh siapa, dan

untuk siapa perencanaan itu dilakukan sehingga

mendapatkan perencanaan yang bisa mencapai tujuan yang

diinginkan oleh orang-orang yang membuat rencana

tersebut. Akan tetapi masih banyak para ahli yang

mengungkapkan tentang pengertian perencanaan tersebut.

Pada tahap perencanaan ini ada dua hal yang harus

dilaksanakan oleh seorang guru, yaitu:

a. Membuat silabus pada suatu mata pelajaran/tema tertentu

yang mencakup: standar kompetensi, kompetensi dasar,

materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,

indikator, penilaian, alokasi waktu, dan

sumber/bahan/alat belajar.

b. Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terdiri dari: tujuan

pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber

belajar, dan penilaian hasil belajar.38

36 D. Sudjana S, Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan SDM, (Bandung:Falah Production, 2000), h.61

37 T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1997), h.77

38 Pedoman Khusus Pengembangan Silabus, Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

(IPS), (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan

Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2005), h. 12

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan ini seorang guru harus dapat

menciptakan suasana yang interaktif, yaitu terjadinya

interaksi antara guru dengan siswa dalam rangka

menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa guna mencapai

tujuan pengajaran.

Dalam proses pembelajaran metode mengajar

merupakan salah satu cara yang dipergunakan guru dalam

mengadakan hubungan dengan siswa pada saat

berlangsungnya proses pembelajaran. Oleh karena itu,

peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan

suasana yang interaktif dalam proses pembelajaran.

Dengan metode mengajar diharapkan tumbuh

berbagai kegiatan belajar siswa, sehubungan dengan

kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain, terciptalah

interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru berperan sebagai

penggerak/pembimbing, sedangkan siswa berperan sebagai

penerima/dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan

dengan baik, kalau siswa lebih banyak aktif dibandingkan

dengan guru. Oleh karenanya metode mengajar yang baik

adalah metode yang dapat menumbuhkan kegiatan belajar

siswa, serta menggunakan metode mengajar secara

bervariasi. Tugas guru ialah memilih metode yang tepat

untuk menciptakan proses belajar mengajar yang baik.

Kurikulum untuk SMP menyatakan bahwa keterampilan

proses merupakan kemampuan yang akan dikembangkan

dalam setiap mata pelajaran di sekolah tersebut. Kurikulum

yang berlaku menganjurkan guru untuk dapat

mengembangkan proses belajar siswa aktif yang didasarkan

atas keterampilan proses.39

Dalam sistem belajar mengajar yang sifatnya klasikal

(bersama-sama dalam suatu kelas), guru harus berusaha

agar proses belajar mengajar mencerminkan komunikasi dua

arah. Mengajar bukan semata-mata merupakan pemberian

informasi seraya tanpa mengembangkan kemampuan mental,

fisik, dan penampilan diri.

Oleh karena itu, proses belajar mengajar di kelas

harus dapat mengembangkan cara belajar siswa untuk dapat

mendapatkan, mengelola, menggunakan, dan

mengkomunikasikan apa yang telah diperoleh dalam proses

belajar mengajar tersebut.

Guru dalam menyajikan bahan pelajaran (terutama

berupa konsep-konsep atau pengertian-pengertian yang

esensial) harus mengikutsertakan para siswanya secara aktif

baik individual maupun kelompk.

Kemampuan proses yang dapat dikembangkan dalam

pendidikan ilmu-ilmu sosial terdiri atas:

a. Kemampuan Mengumpulkan Informasi

Pengumpulan informasi merupakan kegiatan yang

sangat penting dalam belajar. Ia juga merupakan kegiatan

yang amat penting dalam proses pengembangan ilmu.

Secara mendasar dapat juga dikatakan bahwa proses

belajar dan pengembangan ilmu selalu diawali dengan

kegiatan pengumpulan informasi/data.

39 S. Hamid Hasan, Pendidikan Ilmu Sosial, (Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik), h. 214

Kemampuan mengamati merupakan kemampuan

utama untuk mengumpulkan informasi. Untuk itu siswa

diharapkan memperhatikan objek dengan seksama

sehingga mampu mendapatkan informasi. Sebagai contoh

pengamatan siswa diminta untuk memperhatikan suatu

foto tentang suatu pemandangan alam. Mereka diminta

memperhatikan karakteristik alam yang dapat mereka

kenal; apakah itu awan, gunung, pohon, sungai, atau juga

mungkin kontur tanah yang ada dalam foto. Siswa diminta

memberikan uraian mengenai objek tersebut dan ini

adalah informasi yang dapat mereka kumpulkan dari foto

tadi.

b. Kemampuan Mengolah Informasi

Agar memiliki makna yang lebih luas dan

mendalam, informasi yang dimiliki seseorang harus diolah.

Proses pengolahan informasi adalah sebagai proses

berpikir. Hasil pengolahan infomasi yang baik dapat

menghasilkan informasi baru yang merupakan informasi

yang lebih tinggi sifatnya dibandingkan dengan informasi

dasar (informasi yang diperoleh dari hasil kegiatan

penguumpulan).

Dalam mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) diperlukan kemampuan

mengolah informasi ketika siswa membahas pokok

bahasan antara lain bentuk pemerintahan Republik,

Kerajaan, Kekaisaran; dan Demokrasi. Siswa diminta

untuk menemukan persamaan dan perbedaan dari

berbagai bentuk pemerintahan tersebut. Kemampuan

analisis yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan

siswa dalam menentukan keterhubungan antara satu

informasi dengan informasi lainnya; menentukan pokok-

pokok pikiran yang mendasari suatu informasi; dan

kemampuan siswa dalam menarik konsekuensi dari

informasi baik dalam waktu maupun dimensi.

c. Kemampuan Memanfaatkan Keterampilan dan Informasi

Kemampuan memanfaatkan keterampilan dan

informasi adalah kemampuan memanfaatkan apa yang

telah menjadi milik siswa. Kemampuan ini merupakan

kemampuan lanjutan yang melibatkan kemampuan

mencari, mengolah, pengetahuan yang sudah diperoleh

siswa dalam kegiatan sebelumnya.

Guru dapat memanfaatkan masalah yang sedang

hangat dibicarakan di masyarakat atau pun media massa

sebagai bahan untuk menciptakan suasana baru. Masalah

kehidupan adalah masalah yang mereka hadapi sehari-

hari (mereka terlibat secara langsung dalam masalah itu).

Sebagai contoh, guru PKn telah membahas mengenai

konsep kekuasaan. Secara akademik siswa telah pula

mencari informasi, mengolah informasi yang berhubungan

dengan berbagai aspek kekuasaan yang dibahas. Untuk

melatih siswa dalam menerapkan apa yang sudah

dimilikinya maka guru dapat meminta siswa untuk

membicarakan apa yang telah dilakukan dalam OSIS

(Organisasi Siswa Intra Sekolah ). Guru memberi suasana

baru dan siswa diminta untuk mengerahkan apa yang

telah dipelajari mengenai kekuasaan.

Dengan demikian, guru dapat menyajikan isu

dimulai dari yang dekat dengan kehidupan siswa sampai

ke yang paling makro.

d. Kemampuan Mengkomunikasikan Hasil

Suatu hasil olahan atau pun studi tidak memiliki

makna besar apabila tidak dikomunikasikan. Demikian

pula halnya dengan pendapat atau hasil temuan siswa di

kelas/sekolah. Siswa yang tidak pernah berbicara atau

mengkomunikasikan buah pikirannya di kelas memberikan

kesulitan kepada guru untuk menilai apakah siswa

tersebut faham ataukah siswa itu tidak faham mengenai

apa yang dibahas.

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam

masalah mengkomunikasikan hasil. Pertama adalah

kemauan dan keberanian mengemukakan hasil. Kedua

adalah kemampuan untuk mengemukakan hasil itu.

Keduanya haruslah mendapatkan perhatian dan

dikembangkan dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial.

Agar kedua hal tersebut dapat terwujud maka guru

yang bersangkutan dapat menerapkan metode diskusi

dalam proses pembelajaran tersebut. Menurut A. Azis

Wahab dalam modul 1-3 Metodologi Pengajaran Ilmu

Pengetahuan Sosial, beliau mengatakan bahwa “Dalam

proses belajar mengajar, diskusi kelompok dapat

meningkatkan kreativitas siswa dan dapat membina

kemampuan siswa untuk berkomunikasi serta percaya

diri”.40

40

A. Azis Wahab, Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, (Jakarta: Karunika

Jakarta Universitas Terbuka, 1986), Cet. I, h. 3.20

Dalam proses pembelajaran ini guru harus

memperhatikan kemampuan dan mengembangkannya

dalam berbagai kesempatan di kelas. Siswa harus diminta

untuk mengemukakan pendapatnya, membandingkan

pendapat temannya, berani menyatakan sependapat/tidak

sependapat dengan alasan. Siswa harus pula dibimbing

agar mau mengemukakan pikirannya mengenai suatu

masalah yang dibahas.

Pengembangan keterampilan proses ini

memerlukan kemampuan guru untuk bertanya dan

menjawab pertanyaan siswa serta mengorganisasi kelas.

Untuk itu setiap guru secara mandiri diminta untuk

mengembangkan kemampuannya agar proses belajar

mengajar yang mengembangkan keterampilan proses ini

dapat berhasil.

3. Tahap Evaluasi dan Tindak lanjut

a. Pengertian evaluasi dan tindak lanjut

Untuk menentukan tercapai tidaknya tujuan

pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan usaha dan

tindakan atau kegiatan untuk menilai hasil belajar.

Penilaian hasil belajar bertujuan untuk melihat kemajuan

belajar peserta didik dalam hal penguasaan materi

pengajaran yang telah dipelajari.

Pengertian Penilaian Seringkali dikacaukan antara

pengertian penilaian (evaluation). pengukuran adalah

suatu upaya untuk mengetahui berapa banyak hal-hal

yang telah dimiliki oleh siswa dari hal-hal yang telah

diajarkan oleh guru. Pengertian ini menunjukkan bahwa

pengukuran bersifat kuantitatif. Pengukuran bermaksud

menentukan luas, dimensi, banyaknya, derajat atau

kesanggupan suatu hal atau benda. Tugas pengukuran

berhenti pada mengetahui “berapa banyak pengetahuan

yang telah dimiliki siswa”, tanpa memperhatikan arti dan

penafsiran mengenai banyaknya pengetahuan yang

dimiliki itu. Apabila hasil pengukuran itu ditafsirkan.

Artinya berdasarkan norma-norma dan tujuan tertentu,

maka pekerjaan itu ditafsirkan sebagai penilaian.

Penilaian adalah salah satu komponen dalam proses

pembelajaran, yang meliputi : (1). Tujuan pembelajaran,

(2). Metode pembelajaran, (3). Penilaian hasil belajar.41

Sedangkan menurut Schwartz dan kawan-

kawannya, penilaian adalah suatu program untuk mem-

berikan pendapat dan penentuan arti atau faedah suatu

pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah

pengalaman yang diperoleh berkat proses pendidikan.

Pengalaman tersebut tampak pada perubahan tingkah

laku atau pola kepribadian siswa. Jadi pengalaman yang

diperoleh siswa adalah pengalaman sebagai hasil belajar

siswa di sekolah. Dalam hal ini, penilaian adalah suatu

upaya untuk memeriksa sejauh mana siswa telah

mengalami kemajuan belajar atau telah mencapai tujuan

belajar dan pembelajaran.

41 Oemar Hamalik., h. 156

Ada yang beranggapan, bahwa penilaian hanya

suatu bagian kecil dalam proses pendidikan, yang

menyatakan bahwa penilaian sarna artinya dengan

pemberian angka atas prestasi belajar siswa. Padahal

makna penilaian sangat luas dan merupakan bagian

sangat penting dalam upaya mengetahui hasil

pendidikan.

Evaluasi adalah suatu proses merencanakan,

memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat

diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif

keputusan.42

b. Fungsi dan tujuan evaluasi

Setidaknya ada tiga fungsi dari evaluasi

pembelajaran yaitu sebagai berikut:

1) Untuk diagnostik dan pengembangan: Hasil evaluasi

menggambarkan kemajuan, kegagalan dan keslliitan

masing-masing siswa. Untuk menentukan jenis dan

tingkat kesulitan siswa serta faktor penyebabnya

dapat diketahui dari hasil belajar atau hasil dan

evaluasi tersebut. Berdasarkan data yang ada

selanjutnya dapat didiagnosis jenis kesulitan apa yang

dirasakan oleh siswa, dan selanjutnya dapat dicarikan

altematif cara mengatasi kesulitan tersebut melalui

proses bimbingan dan pengajaran remedial. 2). Untuk

seleksi. Hasil evaluasi dapat digunakan dalam rangka

menyeleksi calon siswa dalam rangka penerimaan

siswa baru dan atau melanjutkan ke jenjang

pendidikan berikutnya: Siswa yang lulus seleksi berarti

42 Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip Evaluasi Pengajaran (Bandung,: Remaja Rosda

Karya, 2004), cet. ke 12, h.1

telah memenuhi persyaratan pengetahuan dan

keterampilan yang telah ditetapkan, sehingga yang

bersangkutan dapat diterima pada suatu jenjang

pendidikan tertentu.

2) Untuk kenaikan kelas. Hasil evaluasi digunakan untuk

menetapkan siswa mana yang memenuhi rangking

atau ukuran yang ditetapkan dalam rangka kenaikan

kelas. Sebaliknya siswa yang tidak memenuhi rangking

tersebut dinyatakan tidak naik kelas atau gagal, dan

harus mengulangi program studi yang sarna sebelum-

nya.

3) Untuk penempatan. Para lulusan yang ingin bekerja

pada suatu instansi atau perusahaan perlu

menyiapkan transkrip program studi yang telah

ditempuhnya yang juga memuat nilai-nilai hasil

evaluasi belajar. Pihak penerima biasanya

memperhatikan daftar nilai tersebut sebagai bahan

pertimbangan mengenai tingkat kemampuan calon

pegawai tersebut.

Jadi evaluasi hasil penilaian berfungsi

menyediakan data tentang lulusan agar dapat ditempat-

kan sesuai dengan kemampuannya.

Adapun tujuan dari evaluasi hasil belajar menurut

Oemar Halik adalah sebagai berikut :

a. Memberikan informasi tentang kemajuan siswa

dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajar melalui berbagai kegiatan belajar.

b. Memberikan informasi yang dapat digunakan

untuk membina kegiatan-kegiatan belajar siswa lebih lanjut, baik keseluruhan kelas

maupun masing-masing individu.

c. Memberikan informasi yang dapat digunakan

untuk mengetahui kemampuan siswa,

menetapkan kesulitan-kesulitannya dan me-

nyarankan kegiatan-kegiatan remedial (perbaikan).

d. Memberikan informasi yang dapat digunakan

sebagai dasar untuk mendorong motivasi belajar siswa dengan cara mengenal ke-

majuannya sendiri dan merangsangnya untuk

melakukan upaya perbaikan.

e. Memberikan informasi tentang semua aspek tingkah laku siswa, sehingga guru dapat

membantu perkembangannya menjadi warga

masyarakat dan pribadi yang berkualitas. f. Memberikan informasi yang tepat untuk

membimbing siswa memilih sekolah, atau jabatan yang sesuai dengan kecakapan, minat dan

bakatnya.43

43 Oemar Hamalik., h. 160

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Kata “variabel” berasal dari bahasa Inggris “variable” yang

berarti “ubahan” faktor tak tetap atau gejala yang dapat berubah.44

Sutrisno Hadi mendefinisikan variabel “sebagai gejala yang bervariasi”.

Variabel adalah objek penelitian, atau yang menjadi titik perhatian

suatu penelitian.45

Dalam penelitian ini ada dua variabel :

1. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi yaitu

pelaksanaan program pelatihan KTSP.

2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi yaitu

keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn di

Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan

B. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Dalam sebuah

penelitian terlebih dahulu menentukan populasi dan sampel guna

membatasi ruang lingkup penelitian sehingga penelitian menjadi

terarah.

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah peserta

pelatihan sekaligus guru mata pelajaran PKn yang ada di Sanggar

Jagakarsa Jakarta Selatan. Adapun teknik penelitian sample digunakan

teknik acak sederhana (Simple Random Sampling) yakni cara memberi

44 Anas Sudjono, Pengantar Statistik Pendidikan, (JJakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2000), Cet ke10, h. 23

45

Suahrsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 1990), Cet ke-11, h. 97

sample dengan memberi peluang yang sama kepada setiap anggota

populasi.

C. Metode Penelitian

Adapun dalam penelitian ini digunakan metode sebagai berikut :

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan

cara membaca, mempelajari, dan meneliti berbagai buku, majalah,

surat kabar serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan

masalah yang akan dibahas, baik buku-buku yang penulis miliki

maupun buku-buku perpustakaan.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan

mengadakan penelitian langsung terhadap objek yang akan dituju

untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan.

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam

penelitian ini sebagai berikut :

1. Observasi

Menurut Sutrisno Hadi observasi adalah pengamatan dan

pencatatan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.46

Sedangkan menurut Nasrun Harahap, observasi adalah cara

menganalisa serta mengadakan pencatatan secara sistematis

46 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), Cet ke-2, h.

136

berdasarkan penglihatan baik individu maupun kelompok secara

langsung.47

Dari kedua definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

observasi merupakan pengamatan dan pencatatan masalah-masalah

yang diteliti secara langsung dan dilakukan oleh peneliti untuk

mendapatkan hasil penelitian yang diinginkan.

2. Wawancara

Wawancara adalah “Tanya jawab lisan antara dua orang atau

lebih secara langsung”.48 Penulis melakukan wawancara terhadap

wakil Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan. Wawancara yang

dilakukan oleh peneliti adalah untuk memperoleh data yang lebih

mendalam dan untuk mengkomparasikan data yang diperoleh

melalui angket.

3. Angket

Menurut Muhammad Ali, angket merupakan teknik penelitian

yang banyak memiliki kesamaan dengan teknik wawancara, kecuali

dalam pelaksanaannya.49 Angket dilakukan secara tertulis,

sedangkan wawancara dilakukan secara lisan. Pada penelitian ini

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan daftar

pertanyaan dalam bentuk tertutup atau terstruktur yang berkaitan

dengan keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran

PKn yang sebelumnya telah disusun oleh peneliti dan kemudian

47 Nasrun Harahap, Teknik Penelitian Hasil Belajar, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.

60

48

Harahap, h. 58

49

Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan Prosedu,r dan Strategi, (Bandung: Aksara,

1992), h. 27

responden diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

tersebut.

Angket dibuat dengan model likert yang mempunyai empat

opsi jawaban yang berjumlah genap ini dimaksudkan untuk

menghindari kecenderungan responden bersikap ragu-ragu dan

tidak mempunyai jawaban yang jelas.

Penyusunan angket program pelatihan KTSP dan

keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn mengacu kepada aspek-

aspek kemampuan profesional guru yang terdiri dari masing-

masing variabel 25 item dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 1

Kisi-Kisi Instrumen Penelitian

Variabel X Indikator Sub Variabel Nomor Item

a. Membuat Persiapan Mengajar 1, 2, 3

b. Menguasai Bahan 4, 5

c. Mengelola PBM 6, 7, 8, 9, 13, 23

d. Mengelola Kelas 10, 12,

e. Mengelola Media Belajar 14, 15, 16

Program

Pelatihan

KTSP

e. Mengelola Interaksi Belajar

Mengajar

11, 17, 18, 19

f. Mengevaluasi siswa 20, 21, 22, 24,

25

Tabel 2

Kisi-Kisi Instrumen Penelitian

Variabel Y Indikator Sub Variabel Nomor Item

a. Membuat Persiapan Mengajar 1, 2, 3

b. Menguasai Bahan 4, 5

Keterlaksanaannya

pada pembelajaran PKn c. Mengelola PBM 6, 7, 8, 9, 13,

23

d. Mengelola Kelas 10, 12,

e. Mengelola Media Belajar 14, 15, 16

f. Mengelola Interaksi Belajar

Mengajar

11, 17, 18, 19

g. Mengevaluasi siswa 20, 21, 22, 24,

25

4. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi yang penulis pilih adalah tentang

keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn di

Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan. Dalam hal ini penulis

mendokumentasikan bahan-bahan pendidikan dan pelatihan (diklat)

yang pernah dilatihkan oleh Suku Dinas Pendidikan Sekolah

Menengah Pertama (SuDin SMP), yaitu berupa slides Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan.

E. Teknik Analisa Data

Setelah data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya

adalah menganalisis data. Menganalisis data merupakan suatu cara

yang digunakan untuk menguraikan data yang diperoleh agar dapat

dipahami bukan hanya oleh orang yang meneliti, tetapi juga orang lain

yang ingin mengetahui hasil penelitian.

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, penulis melakukan

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing

Dalam menganalisis data, yang pertama kali harus dilakukan

adalah editing. Pada tahap ini dilakukan pengecekan terhadap

pengisian angket. Setiap angket diteliti satu persatu mengenai

kelengkapan, kejelasan dan kebenaran pengisian angket tersebut

agar terhindar dari kesalahan/kekeliruan dalam mendapatkan

informasi sehingga dapat diperoleh data yang akurat.

2. Skoring

Skoring merupakan tahap pemberian skor terhadap butir-

butir pertanyaan yang terdapat dalam angket. Dalam setiap

pertanyaan dalam angket terdapat (4) empat butir jawaban a, b, c,

dan d yang harus dipilih oleh responden. Maka penulis memberikan

skor untuk setiap jawaban adalah nilai 4 untuk jawaban a, nilai 3

untuk jawaban b, nilai 2 untuk jawaban c, dan nilai 1 untuk

jawaban d.

Setelah hasil pengolahan data secara kuantitatif melalui

koesioner sudah terhitung, barulah digunakan perhitungan statistik

dengan menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 11,5.

Data program ini menggunakan analisis koefisien korelasi dan analisis

regresi linier sederhana, yaitu untuk mengetahui hubungan antara dua

variabel dan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji parsial ( uji

t).

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, maka sebelum

dilakukan uji statistik terlebih dahulu data yang diperoleh harus

dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

1. Uji Validitas dan Reliabilitas

a. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Menurut Imam

Ghazali, validitas dalam penelitian ini digunakan untuk

mengukur sah atau tepat (valid) tidaknya suatu koesioner.50

Suatu koesioner dikatakan valid jika pertanyaan atau

pernyataan pada koesioner mampu untuk mengungkapkan

sesuatu yang akan diukur oleh koesioner tersebut.

50 Imam Ghazali, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, (Jakarta: Badan

Penerbit Universitas Diponogoro, 2002), h. 135

Tipe validitas yang digunakan adalah validitas konstruksi

(Construct validity). Validitas kontruksi menentukan validitas

alat pengukur dengan mengkorelasikan antara skor yang

diperoleh dari masing-masing item yang berupa pertanyaan

ataupun pernyataan dengan skor totalnya.

Skor total ini merupakan nilai yang diperoleh dari hasil

penjumlahan semua skor item. Korelasi antara skor item dengan

skor totalnya harus signifikan berdasarkan dimensi konsep

berkorelasi dengan skor totalnya, maka dapat disimpulkan

bahwa alat pengukuran tersebut valid.

Biasanya syarat minimum untuk dapat dianggap

memenuhi syarat adalah apabila r = positif (+). Jadi, jika

korelasi antar butir dengan skor negatif (-), maka butir dalam

instrumen tersebut dinyatakan tidak valid

b. Uji Reliabilitas

Apabila suatu alat pengukuran telah dinyatakan valid,

maka tahap berikutnya adalah mengukur reliabilitas dari alat.

Sebagai ukuran yang menunjukkan konsistensi dari alat ukur

dalam mengukur gejala yang sama di lain kesempatan. Menurut

Imam Ghazali, realibilitas sebenarnya adalah alat untuk

mengukur suatu koesioner yang merupakan indikator dari

variabel. Suatu koesioner dapat dikatakan relieabel atau handal

apabila jawaban seseorang terhadap pertanyaan atau

pernyataan adalah konsisten dari watu kewaktu.51

Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat konsistensi alat

ukur yang akan digunakan yakni apakah alat ukur tersebut

akurat, stabil dan konsisten. Teknik yang digunakan adalah

koefisien alpha cronbach dengan rumus:

51 Ibid, h. 135

−−

=∑

2

2

111

)1(t

b

k

kr

σ

σ

Keterangan:

r11 = Reliabilitas instrumen

k = Jumlah soal

∑ 2

bσ = Jumlah varians butir

2

tσ = Jumlah varians total

Reliabilitas suatu instrumen dapat diterima jika memilki

koefisien alpha cronbach minimal 0,60 yang berarti bahwa

instrumen tersebut dapat digunakan sebagai pengumpul data

yang handal yaitu hasil pengukuran relatif konsisten jika

dilakukan pengukuran ulang.

2. Regresi Linier Sederhana

a Uji Normalitas

Pengujian normalitas adalah pengujian tentang

kenormalan distribusi data. Uji ini merupakan pengujian yang

paling banyak dilakukan untuk analisis statistic parametric.

Penggunaan uji normalitas karena pada analisis statistic

parametic, asumsi yang harus dimiliki oleh data adalah bahwa

data tesebut terdistribusi secara normal. Maksud data

terdistribusi secara normal adalah bahwa data akan mengikuti

bentuk distribusi normal. Bahwa data memusat pada nilai rata-

rata dan median. Untuk mengetahui bentuk distribusi data kita

bisa menggunakan grafik distribusi.

b Pengujian Hipotesis

Selanjutnya adalah penghitungan terhadap hasil skor

yang telah ada. Karena penelitian ini adalah untuk melihat

apakah ada korelasi antara program pelatihan KTSP dengan

keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn, maka yang dipakai

adalah rumus “r” product moment dari karl pearson. Adapun

rumusnya adalah sebagai berikut:

[ ][ ]2222 )()(

))((

ΣΥ−ΝΣΥΣΧ−ΝΣΧ

ΣΥΣΧ−ΝΣΧΥ=xyr

Keterangan:

rxy = Angka Indeks Korelasi “r” product moment (variabel

x dan y)

N = Jumlah Responden

∑ XY = Jumlah hasil perkalian antara skor x dan skor y

∑ X = Jumlah seluruh skor x

∑Y = Jumlah seluruh skor y

Rumusan korelasi tersebut untuk menguji hipotesis

sebagai berikut:

Hipotesa alternatif (Ha) : Ada hubungan yang signifikan antara

program pelatihan KTSP (variabel X)

dengan keterlaksanaannya pada

pembelajaran PKn (variabel Y).

Hipotesa nihil (Ho) : Tidak ada hubungan yang signifikan

antara program pelatihan KTSP

(variabel X) dengan

keterlaksanaannya pada pembelajaran

PKn (variabel Y).

c Uji t hitung

Untuk mengetahui pengambilan keputusan uji hipotesa,

maka dilakukan dengan cara membandingkan t hitung dengan t

tabel pada taraf signifikansi 5 % atau 1 % dengan ketentuan

sebagai berikut:

1) Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima,

berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas

dengan variabel terikat.

2) Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak,

berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel

bebas dengan terikat.

Rumusnya adalah:

ns

xt oµ−

=

Keterangan:

t = Nilai t yang dihitung

x = Nilai rata-rata

µ = Nilai yang dihipotesiskan

s = Simpangan baku sampel

n = Jumlah anggota sampel

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

Penelitian ini meliputi dua variabel, pertama variabel bebas yaitu

Program Pelatihan KTSP (variabel X) dan yang kedua variabel terikat

yaitu Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn (variabel Y).

Penulis memperoleh data melalui observasi, angket, dan studi

dokumentasi. Untuk angket diberikan kepada guru-guru yang

mengajar di SMP Negeri Sanggar Jagakarsa dan angket juga diberikan

kepada siswa-siswi SMP Negeri yang ada di Sanggar Jagakarsa. Angket

tersebut terdiri dari 25 pernyataan dalam melakukan penilaian Program

Pelatihan KTSP dan 25 pernyataan tentang keterlaksanaan KTSP pada

pembelajaran PKn.

Program Pelatihan KTSP (variabel X) dan Keterlaksanaan KTSP

pada Pembelajaran PKn (variabel Y) adalah data kuantitas terhadap

jawaban responden dari koesioner yang disebarkan.

Data statistik yang akan dianalisa adalah nilai-nilai dari distribusi

frekuensi angket mengenai Program Pelatihan KTSP dan hubungannya

terhadap Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn. Berikut ini

penulis sajikan data hasil nilai angket Program Pelatihan KTSP dan

Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn.

Tabel 3 Data Variabel Program Pelatihan KTSP (X)

dan Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn (Y)

No X No Y

1 83 1 77

2 86 2 83

3 84 3 78

4 83 4 78

5 84 5 78

6 85 6 79

7 84 7 83

8 81 8 78

9 81 9 81

10 82 10 80

11 81 11 81

12 81 12 80

13 80 13 81

14 93 14 80

15 92 15 83

16 86 16 77

17 87 17 76

18 87 18 74

19 76 19 73

20 74 20 75

21 73 21 77

22 69 22 65

23 70 23 67

24 68 24 66

25 80 25 70

26 80 26 71

27 79 27 73

28 77 28 82

29 76 29 83

30 78 30 82

Jml 2420 Jml 2317

Nilai-nilai distribusi frekuensi di atas kemudian diolah dengan

menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 11,5. Dari

hasil perhitungan yang penulis lakukan diperoleh nilai rata-rata

Program Pelatihan KTSP sebesar 80,66, simpangan baku sebesar 6,05

dan nilai rata-rata Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn

sebesar 77,23, simpangan baku sebesar 2,44. Untuk lebih jelasnya

deskripsi statistik variabel Program Pelatihan KTSP dan Keterlaksanaan

KTSP pada Pembelajaran PKn ditunjukkan pada tabel berikut ini:

Tabel 4

Descriptive Statistics

Mean

Std.

Deviation N

Program

Pelatihan KTSP

80,666

7 6,05910 30

Keterlaksanaan

nya pada

Pembelajaran

PKn

77,233

3 2,44503 30

Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

program pelatihan KTSP tergolong baik. Begitu pula dengan

keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn dapat dikatakan baik, hal

ini dapat dilihat dari nilai rata-rata tersebut di atas.

B. Analisis dan Interpretasi Hasil

Untuk menganalisia data dalam perhitungan statistik penulis

menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 11,5. Data

program ini menggunakan analisis koefisien korelasi dan analisis

regresi linier sederhana, yaitu untuk mengetahui hubungan antara

kedua variable yang diteliti.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik maka sebelum

dilakukan uji statistik terlebih dahulu data yang diperoleh harus

dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

1. Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat

kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Pengujian validitas tiap

butir pernyataan digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan

antara skor yang diperoleh dari masing-masing item yang berupa

pertanyaan atau pernyataan dengan skor totalnya.

Skor total ini merupakan nilai yang diperoleh dari hasil

penjumlahan semua skor item. Korelasi antara skor item dengan

skor totalnya harus signifikan berdasarkan dimensi konsep

berkorelasi dengan skor totalnya, maka dapat disimpulkan bahwa

alat pengukuran tersebut valid.

Biasanya syarat minimum untuk dapat dianggap memenuhi

syarat adalah apabila r = positif (+). Jadi, jika korelasi antar butir

dengan skor negatif (-), maka butir dalam instrumen tersebut

dinyatakan tidak valid.

Pengujian reliabilitas adalah berkaitan dengan masalah

adanya kepercayaan terhadap alat test (instrumen). Suatu

instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi apabila

hasil dari pengujian tersebut menunjukkan hasil tetap. Dengan

demikian, masalah reliabilitas test atau instrumen berhubungan

dengan masalah ketetapan hasil. Jika terjadi perubahan test atau

instrumen, maka perubahan itu dianggap tidak berarti.

Untuk lebih jelasnya bahwa data instrumen yang penulis

sebarkan valid atau tidak valid dan reliabel atau tidak reliabel dapat

dilihat pada tabel hasil uji validitas dan reliabilitas berikut:

Tabel 5

Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Variabel X

No. Butir Instrume

n

Korelasi Item

Cronbach α

Keterangan

1 0,4079 0,6207 Valid

2 0,1134 0,6480 Valid

3 0,2401 0,6373 Valid

4 0,3919 0,6170 Valid

5 0,2693 0,6346 Valid

6 0,0418 0,6581 Valid

7 0,4826 0,6171 Valid

8 0,1939 0,6420 Valid

9 0,3810 0,6275 Valid

10 0,0923 0,6511 Valid

11 0,0292 0,6698 Valid

12 0,1521 0,6828 Valid

13 0,2598 0,6356 Valid

14 0,1503 0,6698 Valid

15 0,0526 0,6581 Valid

16 0,1034 0,6507 Valid

17 0,3944 0,6158 Valid

18 0,4474 0,6173 Valid

19 0,1931 0,6421 Valid

20 0,3835 0,6223 Valid

21 0,4150 0,6186 Valid

22 0,2798 0,6348 Valid

23 0,1247 0,6481 Valid

24 0,2486 0,6364 Valid

25 0,3032 0,6340 Valid

Berdasarkan dari hasil tabel di atas dapat diperoleh data

yang menyatakan bahwa item soal (instrumen) pada variabel X

yang disebarkan kepada 30 responden semuanya dinyatakan valid

karena semua korelasi item yang didapatkan positif.

Sedangkan pada variabel X untuk menyatakan data tersebut

reliabel atau tidak reliabel dapat diketahui dari hasil rata-rata alpha

cronbachnya. Dari hasil data tersebut di atas diperoleh hasil rata-

rata alpha cronbach sebesar 0,6498. Dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa instrumen tersebut dinyatakan reliabel karena

memiliki koefisien alpha cronbach lebih besar dari 0,60 yang

menjadi syarat minimalnya.

Tabel 6

Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Y

No. Butir Instrume

n

Korelasi

Item

Cronbac

h α Keterangan

1 0,3032 0,6356 Valid

2 0,2486 0,6698 Valid

3 0,1247 0,6581 Valid

4 0,2798 0,6507 Valid

5 0,3944 0,6158 Valid

6 0,4474 0,6173 Valid

7 0,1931 0,6421 Valid

8 0,3835 0,6223 Valid

9 0,1521 0,6186 Valid

10 0,0292 0,6348 Valid

11 0,0923 0,6481 Valid

12 0,3810 0,6364 Valid

13 0,4079 0,6207 Valid

14 0,1134 0,6480 Valid

15 0,2401 0,6373 Valid

16 0,3919 0,6170 Valid

17 0,2693 0,6346 Valid

18 0,0418 0,6581 Valid

19 0,4826 0,6171 Valid

20 0,1939 0,6420 Valid

21 0,4150 0,6275 Valid

22 0,1034 0,6511 Valid

23 0,0526 0,6698 Valid

24 0,1503 0,6828 Valid

25 0,2598 0,6511 Valid

Berdasarkan dari hasil tabel di atas dapat diperoleh data

yang menyatakan bahwa item soal (instrumen) pada variabel Y

yang disebarkan kepada 30 responden semuanya dinyatakan valid

karena semua korelasi item yang didapatkan positif

Sedangkan pada variabel Y untuk menyatakan data tersebut

reliabel atau tidak reliabel dapat diketahui dari hasil rata-rata alpha

cronbachnya. Dari hasil data tersebut di atas diperoleh hasil rata-

rata alpha cronbach sebesar 0,6517. Dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa instrumen tersebut dinyatakan reliabel karena

memiliki koefisien alpha cronbach lebih besar dari 0,60 yang

menjadi syarat minimalnya.

2. Regresi Linier Sederhana

a. Pengujian Hipotesis

Seperti diketahui bahwa penelitian ini adalah untuk

melihat apakah ada korelasi atau tidak antara program pelatihan

KTSP dengan keterlaksanaan KTSP pada pembelajaran PKn di

Sanggar Jagakarsa, maka pengujian hipotesisnya menggunakan

rumus “r” product moment (korelasi pearson).

Sedangkan untuk mengetahui tinggi atau rendahnya

tingkat korelasi tersebut, maka perlu diungkapkan terlebih

dahulu pedoman untuk menentukan koefisien korelasinya., yaitu

sebagai berikut:

Tabel 7

Interpretasi Data Koefisien Korelasi

Koefisien

Korelasi Interpretasi

0,91 – 1,00 Sangat Tinggi

0,71 – 0,90 Tinggi

0,41 – 0,70 Cukup

0,21 – 0,40 Rendah

0,00 – 0,20 Sangat Rendah

Selanjutnya dalam melakukan penghitungan statistik

untuk mencari hasil korelasi antara dua variabel tersebut,

penulis menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi

11,5 yang mampu menganalisis data dengan mudah. Adapun

hasil statistik korelasinya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 8

Hasil Statistik Korelasi Pearson Correlations

Program Pelatiha

n KTSP

Keterlaksanaan-nya pada

Pembelajaran

PKn

Program Pelatihan

KTSP

Pearson Correlation 1 ,874(**)

Sig. (1-tailed) . ,000

Sum of Squares

and Cross-products

1064,667

375,333

Covariance 36,713 12,943

N 30 30

Keterlaksanaannya

pada Pembelajaran

PKn

Pearson Correlation

,874(**) 1

Sig. (1-tailed) ,000 .

Sum of Squares and Cross-

products

375,333 173,367

Covariance 12,943 5,978

N 30 30

** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil indeks korelasi

“r” product moment sebesar 0,874 pada taraf signifikansi 1 % (

0,01 ). Dengan memperhatikan besarnya “r” product moment

yang diperoleh yaitu = 0,874 yang besarannya berada pada

koefisien korelasi antara 0,71 – 0,90, maka dapat

diinterpretasikan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara

program pelatihan KTSP dengan keterlaksanaannya pada

pembelajaran PKn.

Setelah hasil indeks korelasi “r” product moment

diketahui, selanjutnya dicari koefisien determinasinya. Koefisien

determinasi (R2) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar

kemampuan variabel independen menjelaskan variabel

dependen. Dalam output SPSS, koefisien determinasi terletak

pada tabel Model Summary(b) dan tertulis R Square. Nilai R

Square dikatakan baik jika di atas 0,5 karena nilai R Square

berkisar antara 0 sampai 1. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 9

Model Summary(b)

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

1 ,874(a) ,763 ,755 1,21079 ,275

a Predictors: (Constant), Program Pelatihan KTSP b Dependent Variable: Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn

Dari data output SPSS tersebut di atas, diperoleh nilai

koefisien determinasi sebesar 0,763. Artinya, 76,3 % variabel

dependen keterlaksanaan KTSP dijelaskan oleh variabel

independen program pelatihan KTSP, dan sisanya 23,7 % (100

% - 76,3 %) dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel yang

digunakan.

b. Uji t hitung

Setelah angka indeks korelasi “r” product moment telah

diketahui, langkah selanjutnya adalah melakukan uji t hitung.

Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengambilan

keputusan uji hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu

dilakukan dengan cara membandingkan t hitung dengan t tabel

pada taraf signifikansi 5 % atau pada taraf signifikansi 1 %.

Dengan menggunakan sistem komputerisasi program

SPSS versi 11,5 diperoleh hasil statistik uji sebagai berikut:

Tabel 10 Hasil Statistik Uji t

Coefficients(a)

Unstandardize

d Coefficients

Standardiz

ed

Coefficient

s

Model

B

Std.

Error Beta

t

Sig.

1 (Constant) 48,795

3,001 16,25

7 ,000

Program

Pelatihan

KTSP

,353 ,037 ,874 9,500 ,000

a Dependent Variable: keterlaksanaan KTSP pada pembelajaran

PKn

Berdasarkan pada tabel di atas diperoleh nilai t hitung

sebesar 9,500. Setelah nilai t hitung diketahui maka selanjutnya

mencari nilai t tabelnya dengan mencocokan pada data t tabel.

Setelah melihat data pada t tabel, maka diperoleh nilai t tabel

pada taraf signifikansi 5 % sebesar 2,04 dan pada taraf

signifikansi 1 % sebesar 2,76. Hal ini menunjukkan bahwa t

hitung lebih besar dibandingkan dengan t tabel baik pada taraf

signifikansi 5 % maupun pada taraf signifikansi 1 %. Karena t

hitung lebih besar dari t tabel maka dapat diambil keputusan

bahwa Ho ditolak dan Ha diterima.

Dengan demikian, dari hasil pengujian hipotesis dan

statistik uji yang telah dikemukakan maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

program pelatihan KTSP dengan keterlaksanaannya pada

pembelajaran PKn.

1) Analisa Ketercapaian Program Pelatihan KTSP

Berdasarkan hasil perhitungan statistik mengenai

keterlaksanaan program pelatihan KTSP terhadap

keterlaksanaanya pada pembelajaran PKn dapat penulis

katakan bahwa kegiatan pelatihan bagi guru dinyatakan

berhasil dan berimplikasi baik terhadap proses pembelajaran.

Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan pada dasarnya

merupakan suatu bagian yang integral dari manajemen

dalam bidang ketenagaan di Departemen Pendidikan

Nasional sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap

pendidik di negeri ini, maupun bagi sekolah sebagai upaya

untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru

sehingga pada gilirannya diharapkan para guru dapat

memperoleh keunggulan kompetitif dan dapat memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan kata lain, mereka

dapat bekerja secara lebih produktif dan mampu

meningkatkan kualitas kinerjanya. Pelatihan yang dilakukan

secara baik dan benar dapat meningkatkan sumber daya

manusia secara optimal yang akan berpengaruh terhadap

pencapaian tujuan sekolah. Karena kompetensi para guru

merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki seseorang

untuk melakukan pekerjaan berdasarkan kriteria yang

ditetapkan dalam persyaratan kerja dengan menggunakan

pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang meliputi

kemampuan analitis, sintesis sesuai tuntutan sistem

teknologi pekerjaan terkait.

Pengembangan karier seharusnya tidak hanya

tergantung pada usaha-usaha guru saja, karena hal itu tidak

selalu sesuai dengan kepentingan sekolah. Sebagai contoh

guru mungkin minta berhenti dan pindah kesekolah lain,

atau guru bisa tidak acuh terhadap kesempatan-kesempatan

karier mereka dan kebutuhan-kebutuhan staffing sekolah.

Untuk mengarahkan pengembangan karier agar

menguntungkan sekolah dan guru, kepala sekolah sering

mengadakan program-program latihan dan pengembangan

bagi para guru karena setiap manusia mempunyai potensi

sumber daya yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya.

Potensi setiap orang berbeda-beda, ada yang di bawa sejak

lahir atau dipengaruhi oleh lingkungan, untuk

mengembangkan potensi yang ada pada manusia

dipengaruhi oleh lingkungan atau pendidikan

Selain itu, pelaksanaan suatu program dapat

dikatakan berhasil jika dalam diri peserta tersebut terjadi

suatu proses transformasi. Proses transformasi dapat

dinyatakan berlangsung dengan baik apabila terjadi paling

sedikit dua hal, yaitu: peningkatan kemampuan dalam

melaksanakan tugas dan perubahan perilaku yang tercermin

pada sikap, disiplin, dan etos kerja. Pelatihan yang bersifat

keterampilan adalah pelatihan teknis yang diharapkan

mampu meningkatkan keterampilan peserta diklat,

sedangkan pelatihan administratif dapat disimpulkan sebagai

pelatihan yang memberikan dasar-dasar dan pengembangan

proses administrasi standar. Pengembangan karier melalui

program pelatihan yang diadakan akan mendorong sekolah

untuk mengembangkan cara-cara menilai kompetensi.

Dengan cara tersebut setiap guru akan mengetahui sampai

dimana realitas kompetensi mereka agar jangan merasa over

estimate atau under estimate dari kemampuan mereka. Guru

juga akan mengetahui opsi karier mana yang cocok dengan

realitas kemampuan mereka. Pada sisi yang lain sekolah

dapat mengembangkan pelatihan untuk membantu guru

dalam mengembangkan kompetensi yang berkaitan dengan

kariernya.

Berangkat dari tujuan suatu program pelatihan, yaitu

meningkatkan sumber daya manusia secara optimal yang

akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan sekolah,

maka program pelatihan yang telah dilaksanakan oleh Suku

Dinas Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tentang

kurikulum tingkat satuan pendidikan dapat dikatakan baik

karena:

a) Menumbuhkan minat dan perhatian guru terhadap bidang

studi masing-masing.

Guru yang bersangkutan telah dapat menguasai

bahan pengajaran, cara mempelajari bahan pengajaran,

dan menguasai pengetahuan tentang belajar dan

mengajar. Dalam hal ini guru yang bersangkutan juga

mengetahui batas-batas materi yang akan disajikan

dalam kegiatan belajar mengajar, baik keluasan materi,

konsep, maupun tingkat kesulitannya sesuai dengan

yang digariskan dalam kurikulum, dan juga menguasai

substansi materi yang diajarkannya.

b) Meningkatkan pengetahuan (knowledge), kemampuan

(ability), dan keterampilan (skill), guru dalam

menjalankan tugasnya masing-masing.

Guru telah dapat smerencanakan dan

melaksanakan proses pembelajaran seperti membuat

satuan pelajaran, melaksanakan strategi belajar

mengajar, memilih dan menggunakan media serta alat

bantu pengajaran, memilih dan menggunakan metode-

metode mengajar, dan memotivasi belajar siswa.

c) Meningkatkan keahlian para guru sejalan dengan

perubahan teknologi.

Guru yang bersangkutan terus berupaya untuk

mengikuti perkembangan-perkembangan yang ada di

dunia luar, baik itu ilmu pengetahuan maupun teknologi.

Sehingga ketika guru-guru tersebut dihadapkan dengan

perkembangan dunia maya yang semakin pesat, mereka

tidaklah canggung. walaupun ada beberapa dari mereka

yang masih gagap terhadap perkembangan teknologi,

namun mereka terus berusaha untuk tak tertinggal

dengan rekan-rekan lainnya, yaitu cara mencari tahu

dan mempelajarinya.

Dengan melihat tujuan-tujuan yang ada, program

pelatihan sangat bermanfaat bagi kemajuan guru dan

sekolah. Pelatihan yang dilakukan secara baik dan benar

dapat meningkatkan sumber daya manusia secara optimal

yang akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan sekolah.

Terdapat beberapa kondisi yang menunjukkan

keberhasilan dari program pelatihan yang diadakan terkait

dengan kinerja guru dalam penyelenggaraan pembelajaran.

Tingkat keberhasilan tersebut dapat penulis lihat dari tugas-

tugas administratif guru yang dapat dijalankan dengan baik

seperti membuat silabus dan Rencana Program

Pembelajaran untuk 1 (satu) materi bahasan maupun secara

keseluruhan. Artinya, guru dapat merasakan manfaat dari

keterlaksanaan program pelatihan yang diikutinya dan juga

mengaplikasikan pengetahuan atau informasi yang

diperolehnya demi profesionalitas kinerjanya. Mengingat

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang

menekankan pada pengembangan kompetensi peserta didik

yang disesuaikan dengan potensi, perkembangan,

kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan

lingkungan, maka semestinya guru dapat menterjemahkan

semua itu dengan baik sehingga apa yang dilakukan guru

merupakan usaha untuk menjamin relevansi pendidikan

dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya

kehidupan bermasyarakat, dunia usaha dan dunia kerja.

Selain itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga

berorientasi pada hasil yang harus tercapai, baik pada hal-

hal yang sudah ditentukan dalam tujuan pembelajaran

(standar kompetensi), maupun pada hal-hal yang bernuansa

afektif yang merupakan bentuk aplikatif dari apa yang

dipelajari siswa sesuai dengan kebutuhannya. Dikarenakan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berorientasi

pada hasil, maka tujuan yang ditetapkan merupakan sebuah

arah agar pembelajaran yang terjadi benar-benar fokus dan

mencapai kompetensi dan keterampilan yang harus dicapai

setelah siswa mengikuti pembelajaran.

Tidak hanya pada hal-hal yang bersifat administratif

manfaat yang dapat dirasakan oleh guru setelah mengikuti

program pelatihan, akan tetapi keberhasilan pelatihan

tersebut pun juga tercermin dari performance guru. Guru

yang mengikuti pelatihan lebih memiliki keyakinan lebih

dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dalam arti

menentukan dan mengoptimalkan apa yang seharusnya

dilakukan sesuai dengan kondisi yang ada. Artinya, guru

dapat meminimalisir kecenderungan untuk tidak

menjalankan tugasnya dengan maksimal. Tentunya hal

tersebut dilatar belakangi oleh informasi dan pengetahuan

yang diterima guru setelah mengikuti program pelatihan.

2) Analisa Keterlaksanaan KTSP Pada Pembelajaran PKn

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bukanlah suatu

“harga mati” yang harus diterima dan dilaksanakan apa

adanya, melainkan masih dapat dikembangkan sesuai

dengan situasi dan kondisi lapangan, sepanjang tidak

menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara

nasional. Dalam hal ini guru aadalah pengembang kurikulum

yang berada dalam kedudukan yang menentukan dan

strategis. Jika kurikulum diibaratkan rambu-rambu lalu lintas,

maka guru adalah pejalan kakinya. Dengan asumsi bahwa

gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan

peserta didik, perbedaan siswa, daya serap, suasana dalam

kegiatan pembelajaran, serta sarana dan sumber yang

tersedia. Maka guru berwenang untuk menjabarkan dan

mengembangkan kompetensi dasar menjadi silabus, dan

selanjutnya dijabarkan lagi dalam bentuk rencana

pembelajaran, untuk kemudian diimplementasikan dalam

proses belajar mengajar dan pada tahap selanjutnya

dievalusi.

Berikut ini adalah hasil dari penelitian yang penulis

lakukan tentang pelaksanaan kurikulum tingkat satuan

pendidikan (KTSP) pada pembelajaran PKn di Sanggar

Jagakarsa Jakarta Selatan, adalah sebagai berikut:

a) Analisa tahap persiapan atau perencanaan

Pada tahap perencanaan ini mereka telah membuat

seperangkat rencana dan pengaturan tentang

pengembangan kurikulum, yang mencakup kebulatan

pengetahuan, keterampilan sikap yang ingin dicapai,

pengalaman belajar yang harus dilakukan, dan evaluasi

untuk mengetahui keberhasilan pembelajarannya. Silabus

ini merupakan uraian yang lebih rinci mengenai

kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar yang

harus dimiliki oleh peserta didik sehubungan dengan

suatu mata pelajaran. Silabus ini juga bermanfaat untuk

pedoman pokok dalam pengembangan pembelajaran

lebih lanjut, mulai dari pembuatan rencana pembelajaran,

pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan

sistem penilaian.

Pada tahap persiapan ini mereka juga telah membuat

Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP). Pada tahap

ini mereka membuat RPP seluwes (fleksibel) mungkin dan

memberi kemungkinan bagi mereka untuk

menyesuaikannya dengan respon siswa dalam proses

pembelajaran sesungguhnya. Hal ini dimaksudkan agar

proses belajar mengajar (kegiatan pembelajaran) dapat

lebih terarah dan berjalan secara efektif dan efisien.

Silabus merupakan uraian yang lebih rinci mengenai

kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar yang

harus dimiliki oleh peserta didik sehubungan denga suatu

mata pelajaran. Kompetensi dasar dalam silabus

berfungsi untuk mengarahkan guru dan fasilitator

pembelajaran, mengenai target yang harus dicapai dalam

pembelajaran. Materi standar dalam silabus berfungsi

untuk memberikan petunjuk kepada peserta didik dan

guru/fasilitator tentang apa yang harus dipelajari dalam

mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Hasil belajar

dalam silabus berfungsi sebagai petunjuk tentang

perubahan perilaku yang akan dicapai oleh peserta didik

sehubungan dengan kegiatan belajar yang dilakukan,

sesuai dengan komptensi dasar dan materi standar yang

dikaji. Hasil belajar ini bisa berbentuk pengetahuan,

keterampilan maupun sikap. Indikator pencapaian hasil

belajar dalam silabus berfungsi sebagai tanda-tanda yang

menunjukan terjadinya perubahan perilaku pada diri

peserta didik. Tanda-tanda ini lebh spesifik dan lebih

dapat diamati dalam diri peserta didik. Jika serangkaian

indikator hasil belajar sudah nampak pada diri peserta

didik, maka target kompetensi dasar tersebut sudah

terpenuhi atau tercapai. Prosedur pembelajaran dalam

silabus dapat berfungsi mengarahkan kegiatan

pembelajaran yang harus dilakukan oleh peserta didik

dan guru dalam membentuk kompetensi dasar. Dalam

garis besarnya, prosedur pembelajaran ini mencakup

kegiatan awal (pembuka), kegiatan inti (pembentukan

kompetensi), dan kegiatan akhir (penutup). Dalam

kegiatan akhir atau penutup dapat dilakukan penilaian

untuk mengecek apakah ketercapaian kompetensi dasar

oleh peserta didik.

b) Analisa tahap pelaksanaan pembelajaran

Pembelajaran dalam KTSP adalah pembelajaran

dimana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan

dicapai oleh siswa, sistem penyampaian, dan indikator

pencapaian hasil belajar, sebagaimana telah dirumuskan

secara tertulis sejak perencanaan dimulai.

Sebelum membahas materi yang akan diajarkan

mereka (guru-guru) memulainya dengan melakukan

apersepsi atau melakukan pemanasan terlebih dahulu

terhadap materi yang akan diajarkan, dengan begitu

materi yang diajarkan akan mudah diketahui dan

dipahami oleh siswa. Mereka juga memotivasi siswa agar

lebih tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.

Latar belakang kehidupan sosial anak penting untuk

diketahui oleh guru. Sebab dengan mengetahui dari mana

anak berasal, dapat membantu guru untuk memahami

jiwa siswa. Pengalaman apa yang telah dipunyai siswa

adalah hal yang sangat membantu untuk memancing

perhatian siswa. Anak biasanya senang membicarakan

hal-hal yang menjadi kesenangannya.

Dalam mengajar, mereka memanfaatkan hal-hal yang

menjadi kesenangan siswa untuk diselipkan dalam

melengkapi isi dari bahan pelajaran yang disampaikan.

Pemanfaatannya sesuai dengan bahan pelajaran.

Pendekatan realisasi ini dirasakan keampuhannya untuk

memudahkan pengertian dan pemahaman siswa terhadap

bahan pelajaran yang disajikan. Siswa mudah menyerap

bahan yang bersentuhan dengan apersepsinya. Bahan

pelajaran yang belum pernah didapatkan dan masih asing

baginya, mudah diserap bila penjelasannya dikaitkan

dengan apersepsi siswa.

Bahan apersepsi sangat membantu siswa dalam

usaha mengolah kesan-kesan dari bahan pelajaran yang

diberikan oleh guru. Penjelasan demi penjelasan dapat

siswa cerna secara bertahap hingga proses belajar

mengajar berakhir.

Pada tahap ini mereka (guru-guru) lebih menekankan

pada pelaksanaan pembelajaran yang bersifat kontekstual

atau belajar aktif. Pada pembelajaran ini mereka lebih

menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental,

intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar

yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif,

dan psikomotorik.

Dengan menggunakan pendekatan ini mereka

menghubungkan materi pelajaran yang diajarkannya

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-

hari. Dengan cara seperti itu siswa memperoleh

pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang

terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses

mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan

masalah dalam kehidupannya sebagai anggota

masyarakat.

Pada tahap pelaksanaan ini para guru mendorong

siswa untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses belajar

mengajar. Dalam hal ini hal yang dilakukan oleh para

guru adalah dengan memanfaatkan hal-hal yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari pada anak untuk diselipkan

dalam melengkapi isi dari bahan/materi yang

disampaikan. Dengan begitu siswa dapat

menghubungkan keselarasannya antara kehidupan

kesehariannya dengan materi yang dibahas oleh guru di

kelas. Setelah menghubungkan keduanya guru meminta

tanggapan dari para siswa apakah materi yang dibahas

itu selaras atau tidak dengan kenyataan yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari.

Selain memudahkan pemahaman para siswa terhadap

materi/bahan pelajaran yang disajikan, para siswa juga

mudah menyerap materi/bahan yang bersentuhan

dengan kehidupan kesehariannya. Dengan melakukan hal

tersebut, maka partisipasi secara aktif akan dapat

terwujud.

Jalan pengajaran yang kondusif adalah kondisi belajar

mengajar yang menyenangkan bagi siswa. Kegairahan

belajar siswa terkuak sebagai implementasi dari luapan

motivasinya. Siswa giat belajar, tidak ada yang diam,

sesuai dengan harapan guru. Apa yang guru perintahkan

tidak mendapat bantahan dari siswa, namun mereka

menuntut aturan pengajaran yang mereka buat. Anak

didik belajar dengan konsentrasi tanpa mendapat

gangguan yang berarti dari lingkungan sekitarnya. Kondisi

belajar yang itulah yang diinginkan, tidak seperti anak

bingung yang kurang mengerti penjelasan guru.

Kemudian untuk menciptakan suasana kelas yang

kondusif dan efektif, para guru melakukan pendekatan

psikologis yang fundamental, yaitu berupa pemberian

pujian (reward) dan hukuman (punishment). Asumsi ini

mengharuskan para guru melakukan usaha mengulang-

ulangi program atau kegiatan yang dinilai baik

(perangsang) bagi terbentuknya tingkah laku tertentu,

terutama di kalangan siswa.

Untuk itu menurut pendekatan ini tingkah laku yang

baik atau posistif harus dirangsang dengan memberikan

pujian atau hadiah yang menimbulkan perasaan senang

dan puas. Sebaliknya, tingkah laku yang kurang baik

dalam melaksanakan program kelas harus diberi sanksi

atau hukuman yang akan menimbulkan perasaan tidak

puas dan pada gilirannya tingkah laku tersebut akan

dihindari.

Hal lain yang dilakukan para guru dalam penciptaan

dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal adalah

dengan cara menegur atau mengomeli. Hal tersebut

dilakukan jika ada siswa yang nyata-nyata melanggar dan

mengganggu siswa lain yang berusaha untuk aktif

dengan cara menyela kegiatan siswa lain dalam

kelompoknya.

Teguran yang dilakukan oleh guru dimaksudkan untuk

menghentikan ganggguan siswa. Hal ini dibenarkan

dalam dunia pendidikan dengan syarat; tegas dan jelas

tertuju kepada anak didik yang mengganggu serta

tingkah lakunya yang menyimpang, dan menghindari

peringatan yang kasar dan menyakitkan atau

mengandung penghinaan.

Dalam penggunaan media atau sarana pembelajaran,

para guru telah memanfaatkannya dengan baik. Misalnya

saja, dengan manghadirkan media cetak berupa koran di

tengah-tengah siswa, kemudian mereka diperintahkan

untuk mencari permasalahan yang sesuai dengan materi

yang menjadi pembahasan pada saat itu. Setelah dibuat

kelompok, para siswa diminta untuk mempresentasikan

dengan satu orang.

Dengan hadirnya media berupa koran ini, maka

ketidakjelasan bahan/materi yang disampaikan oleh guru

dapat terbantu dengan menghadirkan koran sebagai

media pembelajaran. Kerumitan bahan yang disampaikan

oleh guru kepada para siswa dapat disederhanakan

dengan bantuan media. Dengan demikian, para siswa

dapat lebih mudah mencerna materi/bahan yang

disampaikan oleh guru daripada tanpa bantuan media.

Media dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu.

Selain itu media juga berfungsi untuk melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pengajaran. Hal ini

dilandasi dengan keyakinan bahwa proses belajar mengajar dengan bentuan media mempertinggi kegiatan

belajar para siswa dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti kegiatan belajar para siswa dengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa bantuan media.

c) Analisa tahap evaluasi

Standar kompetensi yang diharapkan dicapai peserta

didik mencakup aspek berfikir, keterampilan dan

kepribadian. Tujuan utama dari standar kompetensi adalah

untuk memberi arah kepada pendidik tentang kemampuan

dan ketarampilan yang menjadi fokus proses pembelejaran

dan penilaian. Jadi, standar kompetensi adalah batas arah

kemampuan yang harus dimiliki dan dapat dilakukan peserta

didik setelah mengikuti proses pembelajaran suatu mata

pelajaran tertentu.

Pada tahap evaluasi ini, ada dua tahap yang dilakukan

oleh guru, yaitu melakukan evaluasi formatif dan evaluasi

sumatif. Dalam evaluasi formatif terdapat dua jenis evaluasi

yang dilakukan, yang pertama yaitu pre test; dilakukan

untuk mengetahui kesiapan siswa sebelum memulai proses

belajar mengajar atau mengetahui pemahaman siswa

terhadap materi yang telah lalu diajarkan. Yang kedua; post

test; dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa

terhadap materi/bahan yang telah diajarkan oleh guru dan

letak post ini ada di akhir proses belajar mengajar. Evaluasi

formatif ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan dan

perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami

atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu

tertentu, selanjutnya evaluasi tersebut juga dapat digunakan

untuk memperbaiki cara belajar para siswa.

Evaluasi sumatif bertujuan untuk menentukan

kenaikan kelas atau lulus tidaknya seorang siswa dari suatu

lembaga pendidikan tertentu, dilakukan dengan mengisi

raport atau Surat Tanda Tamat Belajar. Evaluasi sumatif

dilakukan pada akhir blok pengajaran untuk memberi

indikasi tingkat pencapaian belajar peserta didik atau

kompetensi dasar yang dicapai peserta didik.

Dengan melakukan penilaian atau evaluasi, mereka

(para guru) dapat mengetahui keberhasilan pencapaian

tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta

ketepatan atau keefektifan metode mengajar. Manfaat lain

yang didapat dari penilaian ini adalah untuk mengetahui

kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya. Dengan

peniliaian guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang

siswa termasuk kelompok siswa yang pandai, sedang,

kurang, atau cukup baik di kelasnya jika dibandingkan

dengan teman-temannya.

Dengan menelaah pencapaian tujuan pengajaran,

mereka (para guru) dapat mengetahui apakah proses belajar

yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik

dan memuaskan, atau sebaliknya. Jadi, jelaslah bahwa

mereka benar-benar dituntut untuk mampu dan terampil

melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian mereka

dapat mengatahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia

melaksanakan proses belajar mengajar.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang

hubungan program pelatihan KTSP terhadap keterlaksanaannya pada

pembelajaran PKn, yang penulis lakukan mulai bulan Agustus 2007 –

Maret 2008 di Sanggar Jagakarsa, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Program Pelatihan KTSP di Sanggar Jagakarsa tergolong baik. Hal

ini dapat dilihat dari hasil nilai rata-rata skor Program pelatihan

KTSP berdasarkan pada jawaban responden yaitu 80,6667 (lihat

tabel 2).

2. Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn di SMP Negeri

Sanggar Jagakarsa tergolong pada kategori baik. Hal ini dapat

dilihat dari hasil nilai rata-rata skor keterlaksanaan pada

pembelajaran PKn yaitu 77,23 (lihat tabel 2).

3. Ada hubungan yang signifikan antara program pelatihan KTSP

dengan keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn. Hal ini dapat

dilihat dari hasil “r” product moment dan statistik uji (uji t hitung)

yang telah penulis lakukan. Hasil “r” product moment tersebut

sebesar 0,874 yang sebarannya berada pada koefisien korelasi

antara 0,71 – 0,90 dan hasil uji t hitungnya adalah 9,500 yang bila

dibandingkan dengan t tabel ternyata lebih besar t hitung dari pada

t tabel, baik pada taraf signifikansi 5% maupun pada taraf

signifikansi 1%. Untuk lebih jelasnya dapat lihat tabel 6 dan 7.

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan

saran sebagai berikut:

1. Hendaknya para guru sebagai kunci keberhasilan pendidikan agar

betul-betul memperhatikan dan memahami kompetensi mengajar.

Karena, para guru tidak hanya bertugas sebagai pengajar yang

mengajarkan pengetahuan intelektual semata, tetapi juga sebagai

pembimbing yang mengarahkan siswa untuk terus berprestasi dan

sebagai pendidik yang menanamkan nilai moral agar siswa menjadi

pribadi yang baik.

2. Hendaknya para guru khususnya guru bidang study PKn dapat

mempertahankan dan meningkatkan hasil kegiatan pembelajaran

yang telah dicapai serta dapat memperkaya diri dengan mengikuti

berbagai pelatihan-pelatihan pendidikan untuk meningkatkan

kompetensinya.

3. Peneliti menyadari meskipun penelitian ini telah berhasil menguji

adanya hubungan antara program pelatihan KTSP dengan

keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn, akan tetapi tidak hanya

dari pelatihan saja yang menentukan positif atau negatifnya

penerapan kurikulum KTSP. Banyak faktor lain yang mungkin ikut

memhubungani keterlaksanaan kurikulum tersebut, seperti

lingkungan, sekolah, keluarga, kecerdasan siswa, status sekolah

dan faktor-faktor lain yang belum diketahui. Untuk itu diperlukan

penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad, Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Aksara, 1992

Arikunto, Suahrsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 1990, Cet ke-11

Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006

Fajar, Arnie, Portopolio Dalam Pelajaran IPS, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2005, Cet. IV

Ghazali, Imam, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Jakarta:

Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2002

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1992, Cet ke-2

Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003,

Cet. IV

Handoko, Hani, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: BPFE, 1996, Cet. X

Harahap, Nasrun, Teknik Penelitian Hasil Belajar, Jakarta: Bulan Bintang, 1985

Hasan, S. Hamid, Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik

Kunandar, “Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru”. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2007

Nasution, Mulia, Manajemen Personalia Aplikasi Dalam Perusahaan, Jakarta:

Djambatan, 1994

Nasution, S, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006, Cet. IV

Notoatmodjo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2003, Cet. 3

Pannen, Paulina, dkk, Cakrawala Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 1999

Pedoman Khusus Pengembangan Silabus, Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan

Sosial (IPS), Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama,

2005

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, Cet. III

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Pasal 2 ayat (1) Tahun 2005

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006

Purwanto, Ngalim, Prinsip-Prinsip Evaluasi Pengajaran Bandung,: Remaja

Rosda Karya, 2004, cet. ke 12

P. Siagian, Sondang, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara,

1991

Soemantri, Numan, “Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS”, Bandung:

Program Pasca Sarjanadan FPIPS UPI dengan PT. Remaja Rosda Karya,

2001, Cet. I

Simamora, Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: STIE YKPN,

1995

Sudjono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet ke10

Sudjana, D, Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Luar Sekolah

dan Pengembangan SDM, Bandung:Falah Production, 2000

Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda

Karya, 2005, Cet. XVII

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, Cet. IX

Wahab, A. Azis, Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta:

Karunika Jakarta Universitas Terbuka, 1986, Cet. I

Winataputra, Udin Saripudin, Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai

Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, Disertasi Pasca Sarjana UPI

Bandung Bandung: Pogram Pasca Sarjana UPI, 2001

Jakarta, 7 September 2008

Kepada Yth,

HRD Manager PT. ANDINI WAHYU KENCANA dan GROUP

Jl. Gandaria 1 / Persil 7, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Di

Tempat

Lamaran Pekerjaan

Dengan hormat,

Nama : Gatot Subroto

Umur : 26 Tahun

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl Pesanggrahan RT 04/04 Kp. Utan Kel: Cempaka Putih

Kec: Ciputat

Phone : (021) 68234484-7312434 / 081574555340

Email : [email protected]

Dengan ini saya berinisiatif untuk melamar pekerjaan di perusahaan

yang Bapak/Ibu pimpin sebagai Karyawan

Saya memiliki tanggung jawab tinggi, dapat dipercaya, cepat

belajar, sanggup bekerja keras, disiplin, siap bekerja di bawah tekanan,

dapat bekerjasama dengan orang lain maupun sendiri, dapat bekerjasama

dengan orang-orang dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, dapat

beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mempunyai kemampuan

komunikasi yang baik.

Berdasarkan latar belakang pendidikan yang saya miliki serta

keinginan untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian saya, saya

akan berusaha memenuhi semua kualifikasi yang diperlukan oleh lembaga

ini.

Demikian surat lamaran kerja saya sampaikan, besar harapan saya

untuk dapat bergabung serta memberikan kontribusi pada lembaga yang

Bapak / ibu pimpin. Atas perhatian Bapak / Ibu, saya ucapkan terima

kasih.

Hormat Saya,

(Gatot

Subroto)