PENGARUH PROGRAM PELATIHAN KTSP TERHADAP
KETERLAKSANAANNYA PADA PEMBELAJARAN PKn
( STUDI PADA SMP NEGERI SANGGAR JAGAKARSA )
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:
Ahmad Djunaidi
NIM. 102015024020
Di Bawah Bimbingan
Abdul Rozak, M.Si
NIP. 150 277 689
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL ( IPS )
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN PROGRAM PELATIHAN
KTSP TERHADAP KETERLAKSANAANNYA PADA PEMBELAJARAN
PKn (STUDI PADA SMP NEGERI SANGGAR JAGAKARSA)” telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Juni 2008. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (
IPS ).
Jakarta, 24 Juni
2008
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua/ Sekretaris Jurusan,
Drs. H. Nurochim, MM
NIP. 050 046 643
(
)
Penguji I,
Drs. H. Syaripulloh, M. Si
NIP.
(
)
Penguji II,
Muhamad Arief, M. Pd
(
NIP. 132 165 173 )
Mengetahui:
Dekan,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
NIP. 150 231 356
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Identifikasi Masalah......................................................... 5
C. Pembatasan Masalah....................................................... 5
D. Perumusan Masalah ....................................................... 5
E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian..................................... 6
BAB II KAJIAN TEORI
Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)
1. Hakekat Program Pelatihan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) ....................................... 7
2. Tahap-tahap Pelaksanaan Program Pelatihan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)............ 10
Pelaksanaan kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) pada pembelajaran PKn
1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)...............11
a. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) ............................................... 11
b. Prinsip, karakteristik dan komponen Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ........................ 13
2. Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran (PKn)
a. Hakekat PKn........................................................ 19
b. Penerapan KTSP pada pembelajaran PKn .............. 32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Variabel Penelitian.......................................................... 43
B. Populasi dan Sample ...................................................... 43
C. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 44
D. Pengolahan dan Analisa Data .......................................... 45
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data................................................................ 52
B. Analisis dan Interpretasi Data ......................................... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 74
B. Saran-saran ................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 76
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 : Kisi-kisi Instrumen Penelitian..................................... 46
2. Tabel 2 : Kisi-kisi Instrumen Penelitian..................................... 46
3. Tabel 3 : Data Variabel X dan Y............................................... 51
4. Tabel 4 : Descriptive Statistics ................................................ 53
5. Tabel 5 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel X .............. 54
6. Tabel 6 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Y .............. 55
7. Tabel 7 : Interpretasi Data Koefisien Korelasi .......................... 57
8. Tabel 8 : Hasil Statistik Korelasi Pearson ................................. 57
9. Tabel 9 :
10. Tabel 10 : Hasil Statistik Uji t ................................................. 59
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kurikulum pada dasarnya merupakan alat dalam upaya
mencapai tujuan pendidikan. Seperti ungkapan the man behind the
gun, maka sebagus apapun desain atau model kurikulum yang hendak
dikembangkan akan sangat bergantung kepada faktor manusianya.
Dalam hal ini, guru merupakan pelaksana utama dalam kegiatan
pengembangan kurikulum, yang dilaksanakan melalui kegiatan belajar
mengajar mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan
demikian, tampaknya tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa guru
menjadi faktor utama penentu keberhasilan dalam kegiatan
pengembangan kurikulum.
Jika kita cermati lebih dalam lagi tentang pemberlakuan
kurikulum pada masa-masa sebelumnya yang sentralistik, tampaknya
guru cenderung diposisikan hanya sebagai “tenaga tukang” yang
bertugas mengoperasikan berbagai ketentuan kurikulum yang telah
ditetapkan dari pusat. Petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk
teknis (Juknis) dari pusat yang sangat ketat dan serba seragam telah
membelenggu kreativitas guru sekaligus mencabut hak dan
kewenangan guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya.
Bagi para guru yang berjiwa “tukang”, keadaan seperti itu
tentunya dianggap hal yang menguntungkan, karena segala
sesuatunya seolah-olah sudah serba “siap saji”, guru hanya tinggal
melaksanakan saja ketentuan-ketentuan yang ada, tanpa harus banyak
bekerja keras dan berfikir jauh dalam mengimplementasikan
kurikulum, terlepas apakah ketentuan-ketentuan tersebut cocok atau
tidak dengan realita di lapangan.
Kurikulum yang sentralistik (top-down approach) semacam itu
pada akhirnya telah menjadilan pendidikan nasional kita jatuh
terpuruk. Di tengah-tengah kondisi pendidikan nasional yang terpuruk
itu ternyata masih ada juga orang-orang yang mau memikirkan dan
peduli terhadap nasib pendidikan nasional, dan pada akhirnya berhasil
mengantarkan pada keputusan untuk merubah kurikulum nasional.
Upaya perubahan kurikulum memang sempat terganggu, dengan
hadirnya wacana Kurikulum Berbasis Kompetensi yang konon didesain
secara ideal, namun dalam kenyataannya sungguh sulit untuk
diimplemantasikan karena terdapat beberapa asumsi yang tidak dapat
dipenuhi di lapangan. Terpaksa, wacana dan sosialiasasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi pun diralat dan akhirnya sampailah pada upaya
untuk menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
dengan payung hukumnya Permendiknas No. 22 Tahun 2006, yang
tampaknya lebih mencerminkan kurikulum yang bersifat desentralistik
(grass-root approach).
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dalam KTSP penulis
melihat adanya spirit untuk memberdayakan dan mempercayakan guru
sekaligus mengembalikan hak-hak profesional yang melekat dalam
jabatannya, termasuk hak dan otoritas dalam setiap kegiatan
pengembangan kurikulum. Yang menjadi persoalan, seberapa siap
para guru untuk menerima hak-hak dan otoritas profesional dalam
mengembangkan kurikulum di sekolah. Dalam KTSP, tidak lagi
disediakan berbagai petunjuk ketat dalam mengembangkan kurikulum.
yang tersisa dari pusat hanyalah rambu-rambu yang berkenaan
pencapaian Standar Kompetensi sebagaimana tertuang dalam
Permendiknas No. 23 tahun 2006, selebihnya diserahkan sepenuhnya
kepada guru untuk mengatur dan mengelola kegiatan pengembangan
kurikulum di sekolah, yang disesuaikan dengan karakteristik dan
kondisi nyata di lapangan.1
Dalam pandangan penulis, KTSP ini tak ubahnya seperti kertas
kosong yang diberikan kepada guru untuk ditulisi sesuai dengan
kemampuan yang ada pada diri guru itu sendiri. Ada tanggung jawab
besar dari guru untuk bagaimana dapat menulis dalam kertas kosong
itu sehingga akhirnya dapat dihasilkan tulisan yang benar-benar indah
dan bermutu tinggi. untuk mencapai hasil yang maksimal, usaha guru
sendiri untuk menjadikan dirinya profesional tidaklah mudah, akan
tetapi dengan adanya pelatihan-pelatihan tentunya akan sangat
membantu pengembangan diri seorang guru.
Kegiatan pelatihan bagi guru pada dasarnya merupakan suatu
bagian yang integral dari manajemen dalam bidang ketenagaan di
sekolah dan merupakan upaya untuk mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan guru sehingga pada gilirannya diharapkan para guru
dapat memperoleh keunggulan kompetitif dan dapat memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan kata lain, mereka dapat
bekerja secara lebih produktif dan mampu meningkatkan kualitas
kinerjanya. Setidaknya ada banyak manfaat yang dapat diambil bagi
guru setelah mengikuti program pelatihan, baik yang diadakan oleh
pemerintah dalam usaha mensosialisasikan suatu program atau pun
oleh sekolah itu sendiri dalam usaha perbaikan mutu sekolah secara
keseluruhan. Diantara manfaat yang dapat diperoleh oleh guru yang
diungkapkan oleh Kunandar antara lain:
1. Membantu para guru membuat keputusan dengan lebih
baik;
1 Kunandar, “Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru”. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 138
2. Meningkatkan kemampuan para guru menyelesaikan
berbagai masalah yang dihadapinya;
3. Terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor
motivasional; 4. Timbulnya dorongan dalam diri guru untuk terus
meningkatkan kemampuan kerjanya;
5. Peningkatan kemampuan guru untuk mengatasi stress, frustasi dan konflik yang pada gilirannya memperbesar rasa
percaya pada diri sendiri;
6. Tersedianya informasi tentang berbagai program yang dapat
dimanfaatkan oleh para guru dalam rangka pertumbuhan masing-masing secara teknikal dan intelektual;
7. Meningkatkan kepuasan kerja;
8. Semakin besarnya pengakuan atas kemampuan seseorang; 9. Makin besarnya tekad guru untuk lebih mandiri; dan
10. Mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di
masa depan.2
Bagaimanapun kegiatan pelatihan merupakan beban anggaran
tersendiri yang harus dipikul oleh sekolah. Oleh karena itu, jika
kegiatan pelatihan dilakukan tanpa adanya analisis kebutuhan secara
cermat, pada akhirnya dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat
apa pun bagi guru atau pun bagi sekolah. Dengan sendirinya, yang
semula pelatihan dimaksudkan untuk kepentingan efektifvitas dan
efisiensi, malah terbalik menjadi kegiatan pemborosan saja.
Berdasarkan analisis kebutuhan selanjutnya dapat ditetapkan berbagai
sasaran yang ingin dicapai dari suatu kegiatan pelatihan, baik yang
bersifat teknikal maupun behavioral. Bagi penyelenggara, penentuan
sasaran ini memiliki arti penting sebagai: (1) tolok ukur kelak untuk
menentukan berhasil tidaknya program pelatihan; (2) bahan dalam
usaha menentukan langkah selanjutnya, seperti menentukan isi
program dan metode pelatihan yang sesuai. Sedangkan bagi peserta
penentuan sasaran bermanfaat dalam persiapan dan usaha apa yang
2 Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 78
seyogyanya mereka lakukan agar dapat memperoleh manfaat yang
sebesar-besarnya dari kegiatan pelatihan yang diikutinya.
Selain itu, Sungguh banyak tantangan yang dihadapi oleh guru
Civics. Misalnya, mereka harus memahami: berbagai macam teknik
mengajar; hubungan bahan pelajaran Civics dengan ilmu-ilmu sosial
lainnya; lingkungan masyarakat, agama, sains dan teknologi; dan
mengenal karakter kata-kata ilmu-ilmu sosial yang oleh Samuelson
dilukiskan seringkali merupakan "tirani kata-kata". Dikatakan demikian
karena kata-kata atau istilah-istilah dalam ilmu-ilmu sosial bisa
ditafsirkan dari berbagai arti, apalagi kalau latar belakang siswa
berbeda-beda. Kalau pendapat Samuelson dihubungkan dengan
pendapat F.M. Mark yang berpendapat bahwa kesulitan mengajar
Civics adalah "to steer between dull memorization on the other".3
Artinya, di sini guru Civics harus memadukan hafalan dengan
kehidupan yang sebenarnya dalam masyarakat.
Dengan memadukan dull memorization dengan kehidupan dan
kebutuhan dalam masyarakat, maka para siswa dapat dilatih untuk
berpikir, bersikap dan bertindak demokratis di dalam kelas. Dengan
kata lain, guru-guru Civics harus melatih para siswa untuk berlatih
menemukan konsensus dalam hidup bermasyarakat yang demokratis.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merasa tertarik
untuk membahas secara lebih dalam dan menulisnya dalam sebuah
karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul " Hubungan
Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) Tingkat SMP terhadap Keterlaksanaannya pada
Pembelajaran PKn di Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan”.
B. Identifikasi Masalah
3 Muhammad Numan Somantri , “Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS”, (Bandung:
Program Pasca Sarjanadan FPIPS UPI dengan PT. Remaja Rosda Karya, 2001), Cet. I, h. h. 313
Sebelum penulis membatasi masalah di atas kiranya dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang berkenaan dengan judul di atas
sebagai berikut:
a. Penerapan hasil program pelatihan KTSP di sekolah.
b. Kesesuaian antara program pelatihan KTSP yang telah dilakukan
dengan tuntutan pekerjaan.
c. Kinerja guru setelah mengikuti program pelatihan KTSP.
d. Tanggapan peserta pelatihan terhadap program pelatihan KTSP.
e. Keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan, maka dibatasi dalam hal:
a. Program pelatihan KTSP pada tingkat SMP di Sanggar Jagakarsa
Jakarta Selatan
b. Pembelajaran PKn pada tingkat SMP di Sanggar Jagakarsa Jakarta
Selatan
c. Keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn
D. Perumusan Masalah
Setelah membatasi permasalahan dan agar lebih terarahnya
penelitian, maka penulis rumuskan masalah tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana program pelatihan KTSP tingkat SMP di Sanggar
Jagakarsa Jakarta Selatan?
2. Bagaimana keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada
pembelajaran PKn?
3. Adakah hubungan program pelatihan KTSP terhadap
keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn?
E. Kegunaan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui program pelatihan KTSP tingkat SMP di Sanggar
Jagakarsa Jakarta Selatan
2. Untuk mengetahui keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada
pembelajaran PKn.
3. Untuk mengetahui hubungan program pelatihan KTSP terhadap
keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn.
BAB II
KAJIAN TEORI
Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
3. Hakekat Program Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)
a. Pengertian Program Pelatihan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia program
diartikan sebagai “rancangan mengenai asas-asas serta dengan
usaha-usaha”.4 Di dalam suatu program sudah tercantum
sasaran, kebijaksanaan, prosedur, anggaran, dan waktu
pelaksanaannya.
Menurut Henry Simamora pelatihan adalah “serangkaian
aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian,
pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seorang
individu”.5 Menurut T. Hani Handoko “latihan (training)
dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai
keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci, dan
rutin”.6
Istilah pelatihan sering dikacaukan penggunaannya
dengan latihan (practice dan exercise) ialah merupakan bagian
4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Cet. IX, h. 789
5 Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: STIE YKPN,
1995), h. 287
6 T. Hani Handoko, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta:
BPFE, 1996), Cet. X, h. 104
dari suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk
meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang
atau sekelompok orang. Sedangkan latihan ialah salah satu cara
untuk memperoleh keterampilan tertentu, misalnya, latihan
menari, latihan naik sepeda, latihan baris-berbaris, dan
sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
program pelatihan adalah suatu program yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara optimal
melalui pendidikan dan latihan untuk meningkatkan keahlian,
keterampilan, pengetahuan dan pengalaman untuk
melaksanakan tugas kemajuan sekolah.
Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses yang akan
menghasilkan suatu perubahan perilaku sasaran diklat. Secara
konkret perubahan perilaku itu berbentuk peningkatan
kemampuan dari sasaran diklat. Kemampuan ini mencakup
kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Apabila dilihat dari
pendekatan sistem, maka proses pendidikan dan pelatihan itu
terdiri dari input (sasaran diklat) dan output (perubahan
perilaku), dan faktor yang mempengaruhi proses tersebut.
Dalam teori diklat faktor yang mempengaruhi proses itu
dibedakan menjadi dua, yakni apa yang disebut perangkat lunak
(software) dan perangkat keras (hardware).
Perangkat lunak dalam proses diklat ini mencakup antara
lain: kurikulum, organisasi pendidikan dan pelatihan, peraturan-
peraturan, metode belajar mengajar, dan tenaga pengajar atau
pelatih itu sendiri. Sedangkan perangkat keras yang juga besar
pengaruhnya terhadap proses diklat ialah fasilitas-fasilitas, yang
mencakup gedung, perpustakaan (buku-buku referensi), alat
bantu pendidikan, dan sebagainya.
b. Tujuan Program Pelatihan
Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia selalu
mempunyai tujuan tertentu karena aktivitas yang tidak
mempunyai tujuan adalah sia-sia. Tujuan merupakan penentu
arah, pengontrol, dan alat evaluasi semua aktivitas.
Begitu pula suatu program yang akan dijalankan
dijabarkan secara jelas tujuan yang akan dicapai. Tujuan dapat
mengarahkan kegiatan pelaksanaan program secara teratur,
efektif dan efisien.
Menurut Henry Simamora, tujuan utama pelatihan secara
luas dapat dikelompokkan ke dalam lima bidang antara lain:
1) Meningkatkan keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi.
2) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru untuk
menjadi kompeten dalam pekerjaannya. 3) Membantu memecahkan masalah operasional.
4) Mempersiapkan karyawan untuk promosi. 5) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.7
Dalam buku Administrasi Kepegawaian, dikatakan bahwa
tujuan latihan yang diselenggarakan oleh suatu organisasi
adalah:
1) Meningkatkan pengetahuan (knowledge), kemampuan
(ability), dan keterampilan (skill), pegawai dalam menjalankan tugasnya masing-masing.
2) Menanamkan pengetahuan yang sama mengenai suatu tugas dalam kaitannya dengan yang lain untuk
mewujudkan tujuan organisasi perusahaan.
7 Henry Simamora., h. 290
3) Mengusahakan kemampuan dan keterampilan yang
sesuai dengan situasi dan kondisi teknologi yang
terjadi akibat berhasilnya pembangunan.
4) Menumbuhkan minat dan perhatian pegawai terhadap bidang tugas masing-masing.
5) Memupuk keberanian berpikir kreatif dan
berpartisipasi dalam diskusi. 6) Memupuk hubungan kerja sama antar pegawai secara
efisien.
7) Menanamkan jiwa kesatuan.
8) Mengubah sikap dan tingkah laku mental pegawai ke arah kerja yang jujur dan efektif.
9) Mengembangkan karier pegawai.
10) Menumbuhkan rasa turut memiliki dan tanggung jawab pegawai.8
Dengan melihat tujuan-tujuan yang ada, program
pelatihan sangat bermanfaat bagi kemajuan guru dan sekolah.
Pelatihan yang dilakukan secara baik dan benar dapat
meningkatkan sumber daya manusia secara optimal yang akan
berpengaruh terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Berdasarkan uraian mengenai tujuan program pelatihan
dapat disimpulkan bahwa program pelatihan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) dapat memberikan manfaat yang
besar bagi guru yang bersangkutan, sekolah, dan masyarakat.
c. Tahap-tahap Pelaksanaan Program Pelatihan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Untuk mengadakan program pelatihan dimulai dengan
menganalisis kebutuhan sekolah. Setelah diidentifikasikan
kebutuhan sekolah, perlu dibuat program pelatihan yang sesuai
dan benar-benar menyentuh (mencapai sasaran) kebutuhan
8 Slamet Saksono, Admistrasi Kepegawaian, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), Cet. II, h. 80
sekolah, karena tanpa suatu program pelatihan yang baik
sasaran dari program tersebut tidak akan tercapai.
Kegiatan program pelatihan berdasarkan kriteria-kriteria
sebagai berikut:
1) Mempunyai sasaran yang jelas dan memakai tolok ukur terhadap hasil yang dicapai.
2) Diberikan oleh tenaga pengajar yang mampu untuk
menyampaikan ilmunya serta mampu memotivasi
peserta program pelatihan. 3) Materi disampaikan secara mendalam sehingga
mampu merubah sikap dan meningkatkan kinerja
guru. 4) Materi disesuaikan dengan permasalahan dan daya
tangkap peserta.
5) Menggunakan metode yang tepat guna. 6) Meningkatkan keterlibatan aktif peserta sehingga
mereka bukan sebagai pendengar belaka.9
Pelaksanaan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada
pembelajaran PKn
3. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
c. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Menurut S. Nasution kurikulum adalah “suatu rencana
yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di
bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga
pendidikan beserta staf pengajarnya.10
9 Mulia Nasution, Manajemen Personalia Aplikasi Dalam Perusahaan, (Jakarta:
Djambatan, 1994), h. 76
10
S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), Cet. IV, h.
5
Menurut Oemar Hamalik kurikulum adalah “Seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum merupakan susunan
dan bahan kajian dan bahan pelajaran untuk mencapai tujuan
penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan, dalam
rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.11
Kurikulum berasal dari bahasa Romawi, dari kata
curriculum (bentuk tunggal) dan curricula (bentuk jamak) yang
berarti lapangan perlombaan. Orang yang telah berhasil
melampaui lapangan perlombaan tersebut berarti telah
memenangkan perlombaan. Dalam perkembangan selanjutnya
kurikulum diartikan suatu jarak yang harus ditempuh oleh
seorang siswa atau mahasiswa untuk mencapai suatu tingkat
tertentu. Dewasa ini kurikulum diartikan suatu pelajaran atau
daftar mata pelajaran yang akan diterima oleh siswa dalam
waktu tertentu untuk memperoleh ijazah atau kemampuan
tertentu.
Menurut Soekidjo Notoatmodjo kurikulum adalah “Segala
usaha dan kegiatan yang mempengaruhi proses belajar
mengajar.” Jadi, setiap kegiatan yang mempengaruhi proses
pendidikan baik langsung maupun tidak langsung merupakan
bagian dari kurikulum.12
Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan
11 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003),
Cet. IV, h. 18
12
Soekidjo Notoatmodjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2003), Cet. 3, h.50
pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi
dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh
sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan
pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan
silabus.13
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan
nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan.14 Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan
tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam
mengembangkan kurikulum.15
d. Prinsip, karakteristik dan komponen Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)
13 Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006
14 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Pasal 2 ayat (1) Tahun 2005
15 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006
a. Prinsip KTSP
Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan
dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite
sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan
standar isi serta panduan penyusunan kurikulum oleh BSNP
(Badan Standar Nasional Pendidikan). Kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip beriku:
i. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungan. Kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa perserta didik
memiliki posisi sentral untuk mengembangkan
kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman
kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berilmu, kreatif,
mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Agar kesemuanya itu tercapai
maka pengembangan kompetensi peserta didik harus
disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan,
dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
ii. Beragam dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan
memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik,
kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, serta
status social ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi
subtansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan
lokal, dan pengembangan diri secara terpadu.
iii. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku
kepentingan (stake holders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk
didalamnya kehidupan bermasyarakat, dunia usaha dan
dunia kerja.
iv. Menyeluruh dan berkesinambungan. Subtansi kurikulum
mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang
kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan
dan disajikan secara berkesinambungan antar semua
jenjang pendidikan.
v. Peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang
bermutu serta memperoleh kesempatan untuk
mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan
menyenangkan.
vi. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik
mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan,
pengayaan, dan pencapaian sesuai dengan potensi,
tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan
tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan
pribadi peserta didik yang berdimensi ketuhanan,
keindividuan, kesosialan, dan moral.
vii. Kurikulum dilaksanakan dengan pendayagunakan kondisi
alam, sosial, dan budaya serta kekayaaan daerah untuk
keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan
kajian secara optimal.
viii. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi
mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri
diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan
kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas
dan jenis serta jenjang pendidikan.
b. Karakteristik KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menekankan
pada kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki oleh
lulusan suatu jenjang pendidikan. Kemampuan lulusan yang
harus dicapai dinyatakan dengan standar kompetensi, yaitu
kemampuan minimal yang harus dicapai lulusan. Standar
kompetensi lulusan merupakan modal utama untuk bersaing
di tingkat regional maupun global, karena persaingan yang
terjadi dalam era globalisasi adalah persaingan sumber daya
manusia.
Sebagai sebuh konsep, sekaligus sebagai sebuah program,
KTSP memiliki karakteristik sebagai berikut:
i. KTSP menekankan pada ketercapaian kompotensi
siswa baik secara KTSP individual maupun klasikal.
Dalam KTSP peserta didik dibentuk untuk
mengembangkan pengetahuan, pemahaman,
kemampuan, nilai, sikap, dan minat yang pada
akhirnya akan membentuk pribadi yang terampil
dan mandiri.
ii. KTSP berorientasi pada hasil belajar (learning
outcomes) dan keberagaman.
iii. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan
pendekatan metode yang bervariasi.
iv. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi sumber
belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
v. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar
dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu
kompetensi.
Standar kompetensi yang diharapkan dicapai peserta
didik mencakup aspek berfikir, keterampilan dan
kepribadian. Tujuan utama dari standar kompetensi adalah
untuk memberi arah kepada pendidik tentang kemampuan
dan ketarampilan yang menjadi fokus proses pembelejaran
dan penilaian. Jadi, standar kompetensi adalah batas arah
kemampuan yang harus dimiliki dan dapat dilakukan peserta
didik setelah mengikuti proses pembelajaran suatu mata
pelajaran tertentu.
c. Komponen KTSP
a) Struktur
Pada program pendidikan di sekolah menengah
pertama (SMP) dan yang setara, jumlah jam mata pelajaran
sekurang-kurangnya 32 jam pelajaran setiap minggu. Setiap
jam pelajaran lamanya 40 menit. Jenis program pendidikan
di SMP dan yang setara, terdiri dari program umum meliputi
sejumlah mata pelajaran yang wajib diikuti seluruh peserta
didik, dan program pilihan meliputi mata pelajaran yang
menjadi ciri khas keunggulan daerah berupa mata pelajaran
muatan lokal. Mata pelajaran yang wajib diikuti pada
program umum berjumlah 10, sementara keberadaan mata
pelajaran Muatan Lokal ditentukan oleh kebijakan Dinas
setempat dan kebutuhan sekolah.
Pengaturan beban belajar menyesuaikan dengan
alokasi waktu yang telah ditentukan dalam struktur
kurikulum. Setiap satuan pendidikan dimungkinkan
menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu
secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran
tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik
dalam mencapai kompetensi, di samping memanfaatkan
mata pelajaran lain yang dianggap penting namun tidak
terdapat di dalam struktur kurikulum yang tercantum di
dalam Standar Isi. Dengan adanya tambahan waktu, satuan
pendidikan diperkenankan mengadakan penyesuaian-
penyesuaian. Misalnya mengadakan program remediasi bagi
peserta didik yang belum mencapai standar ketuntasan
belajar minimal.
b) Muatan
Muatan kurikulum SMP/MTs meliputi sejumlah mata
pelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan
selama tiga tahun mulai Kelas VII sampai dengan Kelas IX.
Materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri
merupakan bagian dari muatan kurikulum.
Adapun yang termasuk dalam Muatan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebagai berikut :
a. Mata Pelajaran
Mata pelajaran merupakan materi bahan ajar
berdasarkan landasan keilmuan yang akan dibelajarkan
kepada peserta didik sebagai beban belajar melalui
metode dan pendekatan tertentu.
Pada bagian ini sekolah/madrasah mencantumkan
mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri
beserta alokasi waktunya yang akan diberikan kepada
peserta didik.
Untuk kurikulum SMP dan Madrasah Tsanawiyah,
terdiri dari 10 mata pelajaran, muatan lokal, dan
pengembangan diri yang harus diberikan kepada peserta
didik.
b. Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk
mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas
dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang
materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain
dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran
tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh sekolah,
tidak terbatas pada mata pelajaran seni-budaya dan
keterampilan, tetapi juga mata pelajaran lainnya, seperti
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di SMP. Muatan
lokal merupakan mata pelajaran, sehingga sekolah harus
mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Sekolah
dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal
setiap semester, atau dua mata pelajaran muatan lokal dalam
satu tahun.
c. Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan
kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri di bawah
bimbingan konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat
dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan
pengembangan diri dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan
pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri
pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier
peserta didik serta kegiatan ekstrakurikuler, seperti
kepramukaan, kepemimpinan, kelompok seni-budaya,
kelompok tim olahraga, dan kelompok ilmiah remaja.
d. Beban Belajar
Beban belajar ditentukan berdasarkan penggunaan
sistem pengelolaan program pendidikan yang berlaku di
sekolah pada umumnya saat ini, yaitu menggunakan sistem
Paket.
e. Ketuntasan Belajar
Ketuntasan belajar setiap indikator yang dikembangkan
sebagai suatu pencapaian hasil belajar dari suatu kompetensi
dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk
masing-masing indikator 75%. Sekolah harus menentukan
kriteria ketuntasan minimal sebagai Target Pencapaian
Kompetensi (TPK) dengan mempertimbangkan tingkat
kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber
daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Sekolah
secara bertahap dan berkelanjutan selalu mengusahakan
peningkatan kriteria ketuntasan belajar untuk mencapai kriteria
ketuntasan ideal.
f. Kenaikan Kelas dan Kelulusan
Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun
ajaran. Dengan mengacu kepada ketentuan PP 19/2005 Pasal 72
Ayat (1), peserta didik dinyatakan lulus dari SMP, apabila:
a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
b. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk
seluruh mata pelajaran.
c. Lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi.
d. Lulus Ujian Nasional.
4. Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn
a. Hakekat PKn
1. Pengertian PKn
Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai
citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain
untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk
seluruh jalur dan jenjang pendidikan.16
Sampai saat ini bidang itu
sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis
pendidikan nasional Indonesia dalam lima status. Pertama, sebagai
mata pelajaran di sekolah. Kedua, sebagai mata kuliah di perguruan
tinggi. Ketiga, sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin ilmu
pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru.
Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam
bentuk Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(Penataran P4) atau sejenisnya yang pernah dikelola oleh
Pemerintah sebagai suatu crash program.17
Kelima, sebagai
kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individual dan
kelompok pakar terkait, yang dikembangkan sebagai landasan dan
kerangka berpikir mengenai pendidikan kewarganegaraan dalam
status pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Dalam status pertama, yakni sebagai mata pelajaran di
sekolah, pendidikan kewarganegaraan telah mengalami
perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun
substansinya. Pengalaman tersebut di atas menunjukkan bahwa
sampai dengan tahun 1975, di Indonesia kelihatannya terdapat
kerancuan dan ketidakajekan dalam konseptualisasi civics,
16 Arnie Fajar, Portopolio Dalam Pelajaran IPS, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), Cet. IV, h. 142
17
Udin Saripudin Winataputra, Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai
Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, Disertasi Pasca Sarjana UPI Bandung (Bandung:
Pogram Pasca Sarjana UPI, 2001), h. 1
pendidikan kewargaan negara, dan pendidikan IPS. Hal itu tampak
dalam penggunaan ketiga istilah itu secara bertukar-pakai.
Selanjutnya, dalam kurikulum tahun 1975 untuk semua
jenjang persekolahan yang diberlakukan secara bertahap mulai
tahun 1976 dan kemudian disempurnakan pada tahun 1984, sebagai
pengganti mata pelajaran Pendidikan Kewargaannegara mulai
diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP)
yang berisikan materi dan pengalaman belajar mengenai Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau "Eka Prasetia
Pancakarsa".18 Perubahan itu dilakukan untuk mewadahi missi
pendidikan yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila atau P4 (Depdikbud: 1975a, 1975b, 1975c). Mata
pelajaran PMP ini bersifat wajib mulai dari kelas I SD s/d kelas
III SMA/Sekolah Kejuruan dan keberadaannya terus dipertahankan
dalam Kurikulum tahun 1984, yang pada dasarnya merupakan
penyempurnaan Kurikulum tahun 1975. Di dalam Undang-Undang
No 2/1989 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN), yang antara lain Pasal 39, menggariskan adanya
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan.19
Sebagai implikasinya, dalam Kurikulum persekolahan tahun
1994 diperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Ke-
warganegaraan (PPKn) yang berisikan materi dan pengalaman
belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar
18
Somantri., h. 257
19 Somantri., h. 154
butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam
Pancasila.20
Bila dianalisis dengan cermat, ternyata baik istilah yang
dipakai, isi yang dipilih dan diorganisasikan, dan strategi
pembelajaran yang digunakan untuk mata pelajaran civics atau
PKN atau PMP atau PPKn yang berkembang secara fluktuatif
hampir empat dasawarsa (1962-1998) itu, menunjukkan indikator
telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang
sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang
berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.21 Krisis
atau dislocation menurut pengertian Kuhn (1970) yang bersifat
konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep seperti:
civics tahun 1962 yang tampil dalam bentuk indoktrinasi politik;
civics tahun 1968 sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara
yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial; PKN tahun
1969 yang tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan
MPRS; PKN tahun 1973 yang diidentikkan dengan pengajaran
IPS22
; PMP tahun 1975 dan 1984 yang tampil menggantikan PKN
dengan isi pembahasan P4; dan PPKn 1994 sebagai penggabungan
bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang
tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan
dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam terjadinya
perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak
artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak bergeser dari
penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Tampaknya semua itu terjadi karena memang sekolah masih
tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih
20
Paulina Pannen, dkk, Cakrawala Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), h.
386
21
Winataputra., h. 1
22 Paulina., h. 385
belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran serta secara
konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan
kewarganegaraan yang secara ajek diterima dan dipakai secara
nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Kini pada era reformasi pasca jatuhnya sistem politik Orde
Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah
perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi konstitusional yang lebih
murni, keberadaan dan jati diri mata pelajaran PPKn kembali
dipertanyakan secara kritis.
Dalam status kedua, yakni sebagai mata kuliah umum
(MKU) pendidikan kewarganegaraan diwadahi oleh mata kuliah
Pancasila dan Kewiraan. Mata kuliah Pancasila bertujuan untuk
mengembangkan wawasan mahasiswa mengenai Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, sedangkan
kewiraan, yang mulai tahun 2000 namanya berubah menjadi
Pendidikan Kewarganegaran, bertujuan untuk mengembangkan
wawasan mahasiswa tentang makna pendidikan bela negara
sebagai salah satu kewajiban warganegara sesuai dengan Pasal 30
UUD 1945. Kedua mata kuliah ini merupakan mata kuliah yang
wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa, yang mulai tahun 2000
disebut sebagai Mata Kuliah Pembinaan Kepribadian atau MKPK.23
Dalam status ketiga, yakni sebagai pendidikan disiplin ilmu,
pendidikan kewarganegaraan merupakan program pendidikan
disiplin ilmu sosial sebagai program pendidikan guru mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan di LPTK Jurusan atau
Program Studi Civics dan Hukum pada tahun 1960-an, atau
Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan (PMPKn) pada
saat ini.24 Bila dikaji dengan cermat, rumpun mata kuliah pendidi-
kan kewarganegaraan dalam program pendidikan guru tersebut pada
23 Somantri., h. 153
24 Somantri., h. 153
dasarnya merupakan program pendidikan disiplin ilmu pengetahuan
sosial bidang pendidikan kewarganegaraan. Secara konseptual
pendidikan disiplin ilmu ini memusatkan perhatian pada program
pendidikan disiplin ilmu politik, sebagai substansi induknya.
Secara kurikuler program pendidikan ini berorientasi kepada
pengadaan dan peningkatan kemampuan profesional guru
pendidikan kewarganegaraan.
Dampaknya, secara akademis dalam lembaga pendidikan
tinggi keguruan itu pusat perhatian riset dan pengembangan cender-
ung lebih terpusat pada profesionalisme guru. Sementara itu riset
dan pengembangan epistemologi pendidikan kewarganegaraan
sebagai suatu sistem pengetahuan, belum banyak mendapatkan
perhatian.
Dalam status keempat, yakni sebagai crash program
pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, Penataran P-4
mulai dari Pola 25 jam sampai dengan Pola 100 jam untuk para
Manggala yang telah berjalan hampir 20 tahun dengan Badan
Pembina Pelaksanaan Pendidikan P-4) atau BP7 Pusat dan Propinsi
sebagai pengelolanya, dapat dianggap sebagai suatu bentuk
pendidikan kewarganegaraan yang bersifat non-formal.25
Seiring
dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi melalui gerakan
reformasi baru-baru ini, dan juga dilandasi oleh berbagai kenyataan
sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme selama masa
Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada
Penataran P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak
positif, baik terhadap tingkat kematangan berdemokrasi dari
warganegara, maupun terhadap pertumbuhan kehidupan demokrasi
di Indonesia. Sebagai implikasinya, sejalan dengan jiwa dan
semangat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang
25 Winataputra., h. 2
Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara,
kini semua bentuk penataran P-4 telah dibekukan, dan pada tanggal
30 April 1999 BP7 secara resmi dilikwidasi.26
Kini tumbuh kebutuhan baru untuk mencari bentuk
pendidikan politik dalam bentuk pendidikan kewarganegaraan yang
lebih cocok untuk latar pendidikan non formal, yang diharapkan
benar-benar dapat meningkatkan kedewasaan seluruh warganegara
yang mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan cita-
cita, nilai dan prinsip demokrasi, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam
kondisi seperti itu, kebutuhan adanya sistem pendidikan demokrasi
untuk seluruh lapisan masyarakat, terasa menjadi sangat mendesak.
Dalam status kelima, yakni sebagai suatu kerangka
konseptual sistemik pendidikan kewarganegaraan terkesan masih
belum solid karena memang riset dan pengembangan epistemologi
pendidikan kewarganegaraan belum berjalan secara institusional,
sistematis dan sistemik. Paradigma pendidikan kewarganegaraan
yang kini ada kelihatannya masih belum sinergistik. Kerangka
acuan teoritik yang menjadi titik tolak untuk merancang dan
melaksanakan pendidikan kewarganegaraan dalam masing-masing
statusnya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah, atau
sebagai program pendidikan disiplin ilmu dan program guru, atau
sebagai pendidikan politik untuk masyarakat mengesankan satu
sama lain tidak saling mendukung secara komprehensif. Sebagai
akibatnya, program pendidikan kewarganegaraan di sekolah, di
lembaga pendidikan guru, dan di masyarakat terkesan belum
sepenuhnya saling mendukung secara sistemik dan sinergistik.
26 Winataputra., h. 2
Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam
mengenai aspek kajian dalam pendidikan kewarganegaraan, penulis
merincinya menjadi tiga bagian, yaitu: aspek ontologis, aspek
epistimologis dan aspek aksiologis.
1) Aspek Ontologis Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan memiliki dua dimensi
ontologi, yakni obyek telaah dan obyek pengembangan.27
Yang
dimaksud dengan obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil,
instrumental, dan praksis pendidikan kewarganegaraan yang
secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan
pembelajaran PKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format
gerakan sosial-kutural kewarganegaraan masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan obyek pengembangan
adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni
ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik yang
menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai
warganegara, yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara
programatik guna mencapai kualitas warganegara yang “cerdas,
dan baik, dalam arti demokratis, religius, dan berkeadaban
dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Obyek Telaah meliputi tiga aspek yakni: Aspek Idiil,
Instrumental, dan Praksis.28
Aspek idiil pendidikan
kewarganegaraan adalah landasan dan kerangka filosofik yang
menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai muaranya pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia yakni landasan dan tujuan
Pendidikan Nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-
Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN), tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
27 Winataputra., h. 16
28 Winataputra., h. 17
1998, 1999, dan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, serta perundangan lainnya yang
relevan. Aspek instrumental pendidikan kewarganegaraan
adalah sarana programatik kependidikan yang sengaja
dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi
aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek instrumental
tersebut adalah kurikulum, bahan belajar, guru, media dan
sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar, dan
lingkungan. Aspek idiil merupakan obyek telaah yang tepat
bagi studi kualitatif historis atau filosofik. Sedangkan, aspek
instrumental dan praktis merupakan obyek telaah yang tepat
bagi penelitian deskriptif dan penelitian eksperimental.
Obyek Pengembangan dalam aspek ontologis adalah
ranah Sosial dan psikologis. Ranah sosial-psikologis, adalah
keseluruhan potensi sosial-psikologis peserta didik yang oleh
Bloom dkk (1956), Kratzwohl (1962) dikategorikan kedalam
ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang secara
programatik diupayakan untuk ditingkatkan kuantitas dan
kualitasnya melalui kegiatan pendidikan29
. Ranah-ranah
tersebut, seperti dapat disimak dalam perkembangan
citizenship/civic education atau pendidikan kewarganegaraan
dikemas dalam berbagai label kompetensi atau kemampuan dan
atau kepribadian warganegara. Yang termasuk kategori
kompetensi atau kemampuan itu adalah pengetahuan, dan
keterampilan (UU 20/2003); kecerdasan aqliyah (otak logis-
rasional), kecerdasan membuat putusan dan memecahkan
masalah (decision making and problem solving). Kesemua itu
dapat direkonseptualisasi menjadi pengetahuan
kewarganegaraan, keterampilan berpikir kritis/reflektif,
29 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2005), Cet. XVII, h. 34-36
keterampilan memecahkan masalah, keterampilan membuat
keputusan bernalar, dan keterampilan sosial.
Mengenai kepribadian dirumuskan dalam berbagai
rincian, seperti beriman dan bertaqwa, berbudi luhur, mantap
dan mandiri, bertanggung jawab (PP 19/2005);30 berahlak
mulia; kecerdasan ruhaniyah, kecerdasan naqliyah, kecerdasan
emosional, kecerdasan menimbang, cinta kepada negara, cinta
kepada bangsa dan kebudayaan, ikut memajukan negara,
keyakinan hidup tak terpisah dari masyarakat, keyakinan untuk
tunduk pada tata tertib, jujur dalam pikiran dan tindakan (BP
KNIP: 1945), manusia susila yang cakap, demokratis, dan
bertanggung jawab tentang masyarakat dan tanah air (UU No
4/1950).
Kesemua itu dapat direkonseptualisasi bahwa aspek
kepribadian warganegara yang perlu dikembangkan adalah
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa/kecerdasan ruhaniyah, kecerdasan emosional sebagai
warganegara (kepekaan sosial, cinta tanah air, tertib, memiliki
integritas, partisipatif), keberadaban/ahlak mulia, kepercayaan
diri, komitmen terhadap kehidupan berdemokrasi (sadar akan
kewajiban dan hak, menjunjung tinggi hukum, menjunjung
tinggi hak azasi manusia, dan terbuka), dan tanggung jawab
sebagai warga negara (socio-civic responsibility).
2) Aspek Epistemologi Pendidikan Kewarganegaraan.
Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan
berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan
kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang
pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan
sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian
30 Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, (Jakarta: Asa Mandiri), Cet. III, h. 160
ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait
pada obyek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan
epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup
metodologi penelitian dan metodologi pengembangan.31
Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan baru melalui: (1) metode penelitian kuantitatif
yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk
mendukung proses konseptualisasi, dan (2) metode penelitian
kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap
fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Sedangkan,
metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan
paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna
mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik,
dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental
dan kontekstual pendidikan.
Tercatat berbagai kegiatan epistemologis penelitian,
pengembangan, dan penelitian dan pengembangan. Yang
khusus merupakan kegiatan penelitian antara lain yang
dilakukan oleh Capra (1998) tentang titik balik peradaban;
Sanusi (1998) tentang 10 pilar demokrasi Indonesia;
Bahmueller (1996) tentang perkembangan demokrasi; Welzer
(1999) tentang konsep civil society; Gandal dan Finn (1992)
tentang education for democracy; Barr, Bart, dan Shermis
(1977) tentang konsep social studies; Remmers dan Radles
(1960 dalam Shaver 1991) tentang kesadaran politik dan hukum
peserta didik; Stanley (1985) tentang perkembangan social
studies; Shaver (1991) tentang penelitian dan pembelajaran
social studies; Winataputra (1978) tentang pelaksanaan
kurikulum PMP, CERP (1972) tentang pemikiran mengenai
pendidikan IPS dan kewarganegaraan; Djahiri dkk (1998)
31 Winataputra., h. 19
tentang profil kurikulum dan pembelajaran PPKN 1994, dan
CICED (1999 dan 2000) tentang konsep civic education for
civil society dan tentang the needs for new Indonesian civic
education”.
Yang bersifat pengembangan kurikulum dan
pembelajaran, tercatat antara lain yang dilakukan oleh: PPSP
IKIP Bandung (1973) tentang kurikulum IPS/PKN, Depdikbud
(1974) tentang kurikulum IPS dan PMP 1975, Depdikbud
(1983) tentang penyempurnaan kurikulum PMP, Depdikbud
(1993) tentang kurikulum Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), Depdikbud (1999) tentang
pengembangan suplemen dan petunjuk teknis PPKn untuk masa
transisi; CICED (1999) tentang civic education content
mapping.32
3) Aspek Aksiologi Pendidikan Kewarganegaraan.
Yang termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan
kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian
dan pengembangan dalam bidang kajian pendidikan
kewarganegaraan yang telah dicapai, bagi dunia pendidikan,
khususnya pendidikan persekolahan dan pendidikan tenaga
kependidikan.
Hasil-hasil penelitian dan pengembangan social
studies, citizenship education dan civic education” dalam dunia
persekolahan banyak memberi
manfaat dalam merancang program pendidikan guru,
meningkatkan kualitas kemampuan guru,
meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan
kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas
penelitian dan pengembangan.
32 Winataputra., h. 20
2. Tujuan PKn
Hampir semua orang sudah dapat menduga bahwa tujuan
umum pelajaran PKn/ Civics ialah mendidik warga negara agar
menajdi waraga negara yang baik, yang dapat diukiskan dengan
"warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan
negara, beragama, demokratis.
Kurikulum SD, SMP, SMA 1968 melukiskan sebagaimana
dijelaskan oleh Somantri, tujuan ini dengan: "menanamkan,
memupuk rasa kekeluargaan, kasih sayang, memupuk dan
mengembangkan rasa beragama, saling menghormati, memupuk
rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan tanah air,
mengembangkan sikap kewiraan dan seterusnya".33
Isi tujuan tersebut sangat luas, dan karena terlalu luasnya,
inilah pertama-tama yang menyebabkan kekeliruan terhadap
penyajian Civics. Karena terlalu luasnya tujuan Civics tersebut,
maka logis apabila timbul kekeliruan dan kekaburan pelajaran ini.
Dari pembahasan buku PKn untuk SD, SLTP dan SLTA terdapat
petunjuk kuat bahwa buku-buku Civics mencakup etika, moral,
agama, aspek-aspek kehidupan yang dianggap positif, sejarah
kebangkitana nasional, perjuangan membela proklamasi, dan sudah
barang tentu Pancasila dan UUD 1945.
Rupanya tujuan PKn di Indonesia akan dicapai "The Great
Ought"-nya Indonesia yaitu dengan menanamkan konsep-konsep
dan sistem nilai yang sudah dianggap baik sebgai titik tolak untuk
menumbuhkan warga negara yang baik.
Tujuan PKn tersebut tidak ada yang menyangsikan
kebaikannya, tetapi bagi lembaga-lembaga pendidikan akan timbul
masalah yaitu bagaimana menjabarkan tujuan PKn agar tidak hanya
berperan sebagai slogan atau berupa "declaration of hope" saja.
Untuk menjabarkan tuujuan dalam praktik PKn, paling tidak tujuan
33 Somantri., h. 279
harus diperinci dalam tujuan kulikuler yang meliputi: (1) Ilmu
penegtahuan, (2) Keterampilan intelektual, (3) Sikap,
(4)Keterampilan sosial.34
Ilmu pengetahuan yang dimaksudkan di atas adalah meliputi
hierarki: fakta, konsep dan generalisasi/teori. sedangkan
keterampilan intelektual yang dimaksud meliputi beberapa hal.
Pertama, keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang
kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan,
menganalisis, mensintesis dan menilai. Kedua, dari mulai
penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih, yaitu dengan:
keterampilan bertanya dan mengetahui masalah, keterampilan
merumuskan hipotesis, keterampilan mengumpulkan data,
keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, keterampilan
merumuskan generalisasi, dan keterampilan mengkomunikasikan
kesimpulan. Ketiga, dari berpikir kritis sampai berpikir kreatif.
Mengenai sikap yang termasuk di dalamnya adalah nilai,
kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal
afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat
dijabarkan.
Keterampilan sosial yang dimaksud karena tujuan umum
PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu
keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk
secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta
bersahabat dalam pergaulan hidup sehari-hari. Mengkerangkakan
tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan
agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: konsep dasar,
generalisasi, konsep atau topik PKn, tujuan intruksiona, konstruksi
tes beserta penilaiannya.
34 Somantri., 280
Arni Fajar mengatakan bahawa mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam
menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk
membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat
Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa
lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan
dunia secara langsung atau tidak langsung dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.35
b. Penerapan KTSP pada pembelajaran PKn
1. Tahap Persiapan atau Perencanaan
Proses belajar mengajar merupakan interaksi edukatif
yang dilakukan oleh guru dan siswa di dalam situasi tertentu.
Melaksanakan proses belajar mengajar bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah dan dapat terjadi begitu saja tanpa
direncanakan sebelumnya, akan tetapi mengajar itu
merupakan suatu kegiatan yang semestinya direncanakan
dan didisain sedemikian rupa mengikuti langkah-langkah dan
prosedur tertentu. Sehingga dengan demikian
pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan.
H.D. Sudjana, dalam bukunya mengatakan bahwa
"Perencanaan adalah proses yang sistematis dalam
pengambilan kcputusan tentang tindakan yang akan
dilakukan pada waktu yang akan datang. Dikatakan
sistematis karena perencanaan itu dilaksanakan dengan
35 Arnie Fajar, Portopolio Dalam Pelajaran IPS, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), Cet. VI, h. 143
menggunakan prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip itu
mencakup proses pengambilan keputusan, penggunaan,
pengetahuan, dan teknik secara ilmiah serta tindakan
kegiatan yang terorganisasi”.36
Sedangkan T. Hani Handoko mendefinisikan
perencanaan sebagai berikut, "Perencanaan adalah pemilihan
sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang
dilakukan, kapan, dan oleh siapa”.37
Semua yang diungkapkan oleh pakar pada intinya
sama, yaitu perencanaan yang didalamnya itu ada sebuah
pengambilan keputusan, penentu tujuan, dan oleh siapa, dan
untuk siapa perencanaan itu dilakukan sehingga
mendapatkan perencanaan yang bisa mencapai tujuan yang
diinginkan oleh orang-orang yang membuat rencana
tersebut. Akan tetapi masih banyak para ahli yang
mengungkapkan tentang pengertian perencanaan tersebut.
Pada tahap perencanaan ini ada dua hal yang harus
dilaksanakan oleh seorang guru, yaitu:
a. Membuat silabus pada suatu mata pelajaran/tema tertentu
yang mencakup: standar kompetensi, kompetensi dasar,
materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator, penilaian, alokasi waktu, dan
sumber/bahan/alat belajar.
b. Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang terdiri dari: tujuan
pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber
belajar, dan penilaian hasil belajar.38
36 D. Sudjana S, Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan SDM, (Bandung:Falah Production, 2000), h.61
37 T. Hani Handoko, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 1997), h.77
38 Pedoman Khusus Pengembangan Silabus, Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS), (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2005), h. 12
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini seorang guru harus dapat
menciptakan suasana yang interaktif, yaitu terjadinya
interaksi antara guru dengan siswa dalam rangka
menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa guna mencapai
tujuan pengajaran.
Dalam proses pembelajaran metode mengajar
merupakan salah satu cara yang dipergunakan guru dalam
mengadakan hubungan dengan siswa pada saat
berlangsungnya proses pembelajaran. Oleh karena itu,
peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan
suasana yang interaktif dalam proses pembelajaran.
Dengan metode mengajar diharapkan tumbuh
berbagai kegiatan belajar siswa, sehubungan dengan
kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain, terciptalah
interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru berperan sebagai
penggerak/pembimbing, sedangkan siswa berperan sebagai
penerima/dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan
dengan baik, kalau siswa lebih banyak aktif dibandingkan
dengan guru. Oleh karenanya metode mengajar yang baik
adalah metode yang dapat menumbuhkan kegiatan belajar
siswa, serta menggunakan metode mengajar secara
bervariasi. Tugas guru ialah memilih metode yang tepat
untuk menciptakan proses belajar mengajar yang baik.
Kurikulum untuk SMP menyatakan bahwa keterampilan
proses merupakan kemampuan yang akan dikembangkan
dalam setiap mata pelajaran di sekolah tersebut. Kurikulum
yang berlaku menganjurkan guru untuk dapat
mengembangkan proses belajar siswa aktif yang didasarkan
atas keterampilan proses.39
Dalam sistem belajar mengajar yang sifatnya klasikal
(bersama-sama dalam suatu kelas), guru harus berusaha
agar proses belajar mengajar mencerminkan komunikasi dua
arah. Mengajar bukan semata-mata merupakan pemberian
informasi seraya tanpa mengembangkan kemampuan mental,
fisik, dan penampilan diri.
Oleh karena itu, proses belajar mengajar di kelas
harus dapat mengembangkan cara belajar siswa untuk dapat
mendapatkan, mengelola, menggunakan, dan
mengkomunikasikan apa yang telah diperoleh dalam proses
belajar mengajar tersebut.
Guru dalam menyajikan bahan pelajaran (terutama
berupa konsep-konsep atau pengertian-pengertian yang
esensial) harus mengikutsertakan para siswanya secara aktif
baik individual maupun kelompk.
Kemampuan proses yang dapat dikembangkan dalam
pendidikan ilmu-ilmu sosial terdiri atas:
a. Kemampuan Mengumpulkan Informasi
Pengumpulan informasi merupakan kegiatan yang
sangat penting dalam belajar. Ia juga merupakan kegiatan
yang amat penting dalam proses pengembangan ilmu.
Secara mendasar dapat juga dikatakan bahwa proses
belajar dan pengembangan ilmu selalu diawali dengan
kegiatan pengumpulan informasi/data.
39 S. Hamid Hasan, Pendidikan Ilmu Sosial, (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik), h. 214
Kemampuan mengamati merupakan kemampuan
utama untuk mengumpulkan informasi. Untuk itu siswa
diharapkan memperhatikan objek dengan seksama
sehingga mampu mendapatkan informasi. Sebagai contoh
pengamatan siswa diminta untuk memperhatikan suatu
foto tentang suatu pemandangan alam. Mereka diminta
memperhatikan karakteristik alam yang dapat mereka
kenal; apakah itu awan, gunung, pohon, sungai, atau juga
mungkin kontur tanah yang ada dalam foto. Siswa diminta
memberikan uraian mengenai objek tersebut dan ini
adalah informasi yang dapat mereka kumpulkan dari foto
tadi.
b. Kemampuan Mengolah Informasi
Agar memiliki makna yang lebih luas dan
mendalam, informasi yang dimiliki seseorang harus diolah.
Proses pengolahan informasi adalah sebagai proses
berpikir. Hasil pengolahan infomasi yang baik dapat
menghasilkan informasi baru yang merupakan informasi
yang lebih tinggi sifatnya dibandingkan dengan informasi
dasar (informasi yang diperoleh dari hasil kegiatan
penguumpulan).
Dalam mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) diperlukan kemampuan
mengolah informasi ketika siswa membahas pokok
bahasan antara lain bentuk pemerintahan Republik,
Kerajaan, Kekaisaran; dan Demokrasi. Siswa diminta
untuk menemukan persamaan dan perbedaan dari
berbagai bentuk pemerintahan tersebut. Kemampuan
analisis yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan
siswa dalam menentukan keterhubungan antara satu
informasi dengan informasi lainnya; menentukan pokok-
pokok pikiran yang mendasari suatu informasi; dan
kemampuan siswa dalam menarik konsekuensi dari
informasi baik dalam waktu maupun dimensi.
c. Kemampuan Memanfaatkan Keterampilan dan Informasi
Kemampuan memanfaatkan keterampilan dan
informasi adalah kemampuan memanfaatkan apa yang
telah menjadi milik siswa. Kemampuan ini merupakan
kemampuan lanjutan yang melibatkan kemampuan
mencari, mengolah, pengetahuan yang sudah diperoleh
siswa dalam kegiatan sebelumnya.
Guru dapat memanfaatkan masalah yang sedang
hangat dibicarakan di masyarakat atau pun media massa
sebagai bahan untuk menciptakan suasana baru. Masalah
kehidupan adalah masalah yang mereka hadapi sehari-
hari (mereka terlibat secara langsung dalam masalah itu).
Sebagai contoh, guru PKn telah membahas mengenai
konsep kekuasaan. Secara akademik siswa telah pula
mencari informasi, mengolah informasi yang berhubungan
dengan berbagai aspek kekuasaan yang dibahas. Untuk
melatih siswa dalam menerapkan apa yang sudah
dimilikinya maka guru dapat meminta siswa untuk
membicarakan apa yang telah dilakukan dalam OSIS
(Organisasi Siswa Intra Sekolah ). Guru memberi suasana
baru dan siswa diminta untuk mengerahkan apa yang
telah dipelajari mengenai kekuasaan.
Dengan demikian, guru dapat menyajikan isu
dimulai dari yang dekat dengan kehidupan siswa sampai
ke yang paling makro.
d. Kemampuan Mengkomunikasikan Hasil
Suatu hasil olahan atau pun studi tidak memiliki
makna besar apabila tidak dikomunikasikan. Demikian
pula halnya dengan pendapat atau hasil temuan siswa di
kelas/sekolah. Siswa yang tidak pernah berbicara atau
mengkomunikasikan buah pikirannya di kelas memberikan
kesulitan kepada guru untuk menilai apakah siswa
tersebut faham ataukah siswa itu tidak faham mengenai
apa yang dibahas.
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam
masalah mengkomunikasikan hasil. Pertama adalah
kemauan dan keberanian mengemukakan hasil. Kedua
adalah kemampuan untuk mengemukakan hasil itu.
Keduanya haruslah mendapatkan perhatian dan
dikembangkan dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial.
Agar kedua hal tersebut dapat terwujud maka guru
yang bersangkutan dapat menerapkan metode diskusi
dalam proses pembelajaran tersebut. Menurut A. Azis
Wahab dalam modul 1-3 Metodologi Pengajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial, beliau mengatakan bahwa “Dalam
proses belajar mengajar, diskusi kelompok dapat
meningkatkan kreativitas siswa dan dapat membina
kemampuan siswa untuk berkomunikasi serta percaya
diri”.40
40
A. Azis Wahab, Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, (Jakarta: Karunika
Jakarta Universitas Terbuka, 1986), Cet. I, h. 3.20
Dalam proses pembelajaran ini guru harus
memperhatikan kemampuan dan mengembangkannya
dalam berbagai kesempatan di kelas. Siswa harus diminta
untuk mengemukakan pendapatnya, membandingkan
pendapat temannya, berani menyatakan sependapat/tidak
sependapat dengan alasan. Siswa harus pula dibimbing
agar mau mengemukakan pikirannya mengenai suatu
masalah yang dibahas.
Pengembangan keterampilan proses ini
memerlukan kemampuan guru untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan siswa serta mengorganisasi kelas.
Untuk itu setiap guru secara mandiri diminta untuk
mengembangkan kemampuannya agar proses belajar
mengajar yang mengembangkan keterampilan proses ini
dapat berhasil.
3. Tahap Evaluasi dan Tindak lanjut
a. Pengertian evaluasi dan tindak lanjut
Untuk menentukan tercapai tidaknya tujuan
pendidikan dan pengajaran perlu dilakukan usaha dan
tindakan atau kegiatan untuk menilai hasil belajar.
Penilaian hasil belajar bertujuan untuk melihat kemajuan
belajar peserta didik dalam hal penguasaan materi
pengajaran yang telah dipelajari.
Pengertian Penilaian Seringkali dikacaukan antara
pengertian penilaian (evaluation). pengukuran adalah
suatu upaya untuk mengetahui berapa banyak hal-hal
yang telah dimiliki oleh siswa dari hal-hal yang telah
diajarkan oleh guru. Pengertian ini menunjukkan bahwa
pengukuran bersifat kuantitatif. Pengukuran bermaksud
menentukan luas, dimensi, banyaknya, derajat atau
kesanggupan suatu hal atau benda. Tugas pengukuran
berhenti pada mengetahui “berapa banyak pengetahuan
yang telah dimiliki siswa”, tanpa memperhatikan arti dan
penafsiran mengenai banyaknya pengetahuan yang
dimiliki itu. Apabila hasil pengukuran itu ditafsirkan.
Artinya berdasarkan norma-norma dan tujuan tertentu,
maka pekerjaan itu ditafsirkan sebagai penilaian.
Penilaian adalah salah satu komponen dalam proses
pembelajaran, yang meliputi : (1). Tujuan pembelajaran,
(2). Metode pembelajaran, (3). Penilaian hasil belajar.41
Sedangkan menurut Schwartz dan kawan-
kawannya, penilaian adalah suatu program untuk mem-
berikan pendapat dan penentuan arti atau faedah suatu
pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah
pengalaman yang diperoleh berkat proses pendidikan.
Pengalaman tersebut tampak pada perubahan tingkah
laku atau pola kepribadian siswa. Jadi pengalaman yang
diperoleh siswa adalah pengalaman sebagai hasil belajar
siswa di sekolah. Dalam hal ini, penilaian adalah suatu
upaya untuk memeriksa sejauh mana siswa telah
mengalami kemajuan belajar atau telah mencapai tujuan
belajar dan pembelajaran.
41 Oemar Hamalik., h. 156
Ada yang beranggapan, bahwa penilaian hanya
suatu bagian kecil dalam proses pendidikan, yang
menyatakan bahwa penilaian sarna artinya dengan
pemberian angka atas prestasi belajar siswa. Padahal
makna penilaian sangat luas dan merupakan bagian
sangat penting dalam upaya mengetahui hasil
pendidikan.
Evaluasi adalah suatu proses merencanakan,
memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat
diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif
keputusan.42
b. Fungsi dan tujuan evaluasi
Setidaknya ada tiga fungsi dari evaluasi
pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1) Untuk diagnostik dan pengembangan: Hasil evaluasi
menggambarkan kemajuan, kegagalan dan keslliitan
masing-masing siswa. Untuk menentukan jenis dan
tingkat kesulitan siswa serta faktor penyebabnya
dapat diketahui dari hasil belajar atau hasil dan
evaluasi tersebut. Berdasarkan data yang ada
selanjutnya dapat didiagnosis jenis kesulitan apa yang
dirasakan oleh siswa, dan selanjutnya dapat dicarikan
altematif cara mengatasi kesulitan tersebut melalui
proses bimbingan dan pengajaran remedial. 2). Untuk
seleksi. Hasil evaluasi dapat digunakan dalam rangka
menyeleksi calon siswa dalam rangka penerimaan
siswa baru dan atau melanjutkan ke jenjang
pendidikan berikutnya: Siswa yang lulus seleksi berarti
42 Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip Evaluasi Pengajaran (Bandung,: Remaja Rosda
Karya, 2004), cet. ke 12, h.1
telah memenuhi persyaratan pengetahuan dan
keterampilan yang telah ditetapkan, sehingga yang
bersangkutan dapat diterima pada suatu jenjang
pendidikan tertentu.
2) Untuk kenaikan kelas. Hasil evaluasi digunakan untuk
menetapkan siswa mana yang memenuhi rangking
atau ukuran yang ditetapkan dalam rangka kenaikan
kelas. Sebaliknya siswa yang tidak memenuhi rangking
tersebut dinyatakan tidak naik kelas atau gagal, dan
harus mengulangi program studi yang sarna sebelum-
nya.
3) Untuk penempatan. Para lulusan yang ingin bekerja
pada suatu instansi atau perusahaan perlu
menyiapkan transkrip program studi yang telah
ditempuhnya yang juga memuat nilai-nilai hasil
evaluasi belajar. Pihak penerima biasanya
memperhatikan daftar nilai tersebut sebagai bahan
pertimbangan mengenai tingkat kemampuan calon
pegawai tersebut.
Jadi evaluasi hasil penilaian berfungsi
menyediakan data tentang lulusan agar dapat ditempat-
kan sesuai dengan kemampuannya.
Adapun tujuan dari evaluasi hasil belajar menurut
Oemar Halik adalah sebagai berikut :
a. Memberikan informasi tentang kemajuan siswa
dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajar melalui berbagai kegiatan belajar.
b. Memberikan informasi yang dapat digunakan
untuk membina kegiatan-kegiatan belajar siswa lebih lanjut, baik keseluruhan kelas
maupun masing-masing individu.
c. Memberikan informasi yang dapat digunakan
untuk mengetahui kemampuan siswa,
menetapkan kesulitan-kesulitannya dan me-
nyarankan kegiatan-kegiatan remedial (perbaikan).
d. Memberikan informasi yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk mendorong motivasi belajar siswa dengan cara mengenal ke-
majuannya sendiri dan merangsangnya untuk
melakukan upaya perbaikan.
e. Memberikan informasi tentang semua aspek tingkah laku siswa, sehingga guru dapat
membantu perkembangannya menjadi warga
masyarakat dan pribadi yang berkualitas. f. Memberikan informasi yang tepat untuk
membimbing siswa memilih sekolah, atau jabatan yang sesuai dengan kecakapan, minat dan
bakatnya.43
43 Oemar Hamalik., h. 160
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
Kata “variabel” berasal dari bahasa Inggris “variable” yang
berarti “ubahan” faktor tak tetap atau gejala yang dapat berubah.44
Sutrisno Hadi mendefinisikan variabel “sebagai gejala yang bervariasi”.
Variabel adalah objek penelitian, atau yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian.45
Dalam penelitian ini ada dua variabel :
1. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi yaitu
pelaksanaan program pelatihan KTSP.
2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi yaitu
keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn di
Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan
B. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Dalam sebuah
penelitian terlebih dahulu menentukan populasi dan sampel guna
membatasi ruang lingkup penelitian sehingga penelitian menjadi
terarah.
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah peserta
pelatihan sekaligus guru mata pelajaran PKn yang ada di Sanggar
Jagakarsa Jakarta Selatan. Adapun teknik penelitian sample digunakan
teknik acak sederhana (Simple Random Sampling) yakni cara memberi
44 Anas Sudjono, Pengantar Statistik Pendidikan, (JJakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000), Cet ke10, h. 23
45
Suahrsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1990), Cet ke-11, h. 97
sample dengan memberi peluang yang sama kepada setiap anggota
populasi.
C. Metode Penelitian
Adapun dalam penelitian ini digunakan metode sebagai berikut :
1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara membaca, mempelajari, dan meneliti berbagai buku, majalah,
surat kabar serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang akan dibahas, baik buku-buku yang penulis miliki
maupun buku-buku perpustakaan.
2. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan
mengadakan penelitian langsung terhadap objek yang akan dituju
untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut :
1. Observasi
Menurut Sutrisno Hadi observasi adalah pengamatan dan
pencatatan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.46
Sedangkan menurut Nasrun Harahap, observasi adalah cara
menganalisa serta mengadakan pencatatan secara sistematis
46 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), Cet ke-2, h.
136
berdasarkan penglihatan baik individu maupun kelompok secara
langsung.47
Dari kedua definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
observasi merupakan pengamatan dan pencatatan masalah-masalah
yang diteliti secara langsung dan dilakukan oleh peneliti untuk
mendapatkan hasil penelitian yang diinginkan.
2. Wawancara
Wawancara adalah “Tanya jawab lisan antara dua orang atau
lebih secara langsung”.48 Penulis melakukan wawancara terhadap
wakil Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan. Wawancara yang
dilakukan oleh peneliti adalah untuk memperoleh data yang lebih
mendalam dan untuk mengkomparasikan data yang diperoleh
melalui angket.
3. Angket
Menurut Muhammad Ali, angket merupakan teknik penelitian
yang banyak memiliki kesamaan dengan teknik wawancara, kecuali
dalam pelaksanaannya.49 Angket dilakukan secara tertulis,
sedangkan wawancara dilakukan secara lisan. Pada penelitian ini
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan daftar
pertanyaan dalam bentuk tertutup atau terstruktur yang berkaitan
dengan keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran
PKn yang sebelumnya telah disusun oleh peneliti dan kemudian
47 Nasrun Harahap, Teknik Penelitian Hasil Belajar, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.
60
48
Harahap, h. 58
49
Muhammad Ali, Penelitian Kependidikan Prosedu,r dan Strategi, (Bandung: Aksara,
1992), h. 27
responden diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Angket dibuat dengan model likert yang mempunyai empat
opsi jawaban yang berjumlah genap ini dimaksudkan untuk
menghindari kecenderungan responden bersikap ragu-ragu dan
tidak mempunyai jawaban yang jelas.
Penyusunan angket program pelatihan KTSP dan
keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn mengacu kepada aspek-
aspek kemampuan profesional guru yang terdiri dari masing-
masing variabel 25 item dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 1
Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
Variabel X Indikator Sub Variabel Nomor Item
a. Membuat Persiapan Mengajar 1, 2, 3
b. Menguasai Bahan 4, 5
c. Mengelola PBM 6, 7, 8, 9, 13, 23
d. Mengelola Kelas 10, 12,
e. Mengelola Media Belajar 14, 15, 16
Program
Pelatihan
KTSP
e. Mengelola Interaksi Belajar
Mengajar
11, 17, 18, 19
f. Mengevaluasi siswa 20, 21, 22, 24,
25
Tabel 2
Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
Variabel Y Indikator Sub Variabel Nomor Item
a. Membuat Persiapan Mengajar 1, 2, 3
b. Menguasai Bahan 4, 5
Keterlaksanaannya
pada pembelajaran PKn c. Mengelola PBM 6, 7, 8, 9, 13,
23
d. Mengelola Kelas 10, 12,
e. Mengelola Media Belajar 14, 15, 16
f. Mengelola Interaksi Belajar
Mengajar
11, 17, 18, 19
g. Mengevaluasi siswa 20, 21, 22, 24,
25
4. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi yang penulis pilih adalah tentang
keterlaksanaan program pelatihan KTSP pada pembelajaran PKn di
Sanggar Jagakarsa Jakarta Selatan. Dalam hal ini penulis
mendokumentasikan bahan-bahan pendidikan dan pelatihan (diklat)
yang pernah dilatihkan oleh Suku Dinas Pendidikan Sekolah
Menengah Pertama (SuDin SMP), yaitu berupa slides Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan.
E. Teknik Analisa Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul, langkah selanjutnya
adalah menganalisis data. Menganalisis data merupakan suatu cara
yang digunakan untuk menguraikan data yang diperoleh agar dapat
dipahami bukan hanya oleh orang yang meneliti, tetapi juga orang lain
yang ingin mengetahui hasil penelitian.
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, penulis melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Editing
Dalam menganalisis data, yang pertama kali harus dilakukan
adalah editing. Pada tahap ini dilakukan pengecekan terhadap
pengisian angket. Setiap angket diteliti satu persatu mengenai
kelengkapan, kejelasan dan kebenaran pengisian angket tersebut
agar terhindar dari kesalahan/kekeliruan dalam mendapatkan
informasi sehingga dapat diperoleh data yang akurat.
2. Skoring
Skoring merupakan tahap pemberian skor terhadap butir-
butir pertanyaan yang terdapat dalam angket. Dalam setiap
pertanyaan dalam angket terdapat (4) empat butir jawaban a, b, c,
dan d yang harus dipilih oleh responden. Maka penulis memberikan
skor untuk setiap jawaban adalah nilai 4 untuk jawaban a, nilai 3
untuk jawaban b, nilai 2 untuk jawaban c, dan nilai 1 untuk
jawaban d.
Setelah hasil pengolahan data secara kuantitatif melalui
koesioner sudah terhitung, barulah digunakan perhitungan statistik
dengan menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 11,5.
Data program ini menggunakan analisis koefisien korelasi dan analisis
regresi linier sederhana, yaitu untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel dan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji parsial ( uji
t).
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik, maka sebelum
dilakukan uji statistik terlebih dahulu data yang diperoleh harus
dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
1. Uji Validitas dan Reliabilitas
a. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Menurut Imam
Ghazali, validitas dalam penelitian ini digunakan untuk
mengukur sah atau tepat (valid) tidaknya suatu koesioner.50
Suatu koesioner dikatakan valid jika pertanyaan atau
pernyataan pada koesioner mampu untuk mengungkapkan
sesuatu yang akan diukur oleh koesioner tersebut.
50 Imam Ghazali, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, (Jakarta: Badan
Penerbit Universitas Diponogoro, 2002), h. 135
Tipe validitas yang digunakan adalah validitas konstruksi
(Construct validity). Validitas kontruksi menentukan validitas
alat pengukur dengan mengkorelasikan antara skor yang
diperoleh dari masing-masing item yang berupa pertanyaan
ataupun pernyataan dengan skor totalnya.
Skor total ini merupakan nilai yang diperoleh dari hasil
penjumlahan semua skor item. Korelasi antara skor item dengan
skor totalnya harus signifikan berdasarkan dimensi konsep
berkorelasi dengan skor totalnya, maka dapat disimpulkan
bahwa alat pengukuran tersebut valid.
Biasanya syarat minimum untuk dapat dianggap
memenuhi syarat adalah apabila r = positif (+). Jadi, jika
korelasi antar butir dengan skor negatif (-), maka butir dalam
instrumen tersebut dinyatakan tidak valid
b. Uji Reliabilitas
Apabila suatu alat pengukuran telah dinyatakan valid,
maka tahap berikutnya adalah mengukur reliabilitas dari alat.
Sebagai ukuran yang menunjukkan konsistensi dari alat ukur
dalam mengukur gejala yang sama di lain kesempatan. Menurut
Imam Ghazali, realibilitas sebenarnya adalah alat untuk
mengukur suatu koesioner yang merupakan indikator dari
variabel. Suatu koesioner dapat dikatakan relieabel atau handal
apabila jawaban seseorang terhadap pertanyaan atau
pernyataan adalah konsisten dari watu kewaktu.51
Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat konsistensi alat
ukur yang akan digunakan yakni apakah alat ukur tersebut
akurat, stabil dan konsisten. Teknik yang digunakan adalah
koefisien alpha cronbach dengan rumus:
51 Ibid, h. 135
−−
=∑
2
2
111
)1(t
b
k
kr
σ
σ
Keterangan:
r11 = Reliabilitas instrumen
k = Jumlah soal
∑ 2
bσ = Jumlah varians butir
2
tσ = Jumlah varians total
Reliabilitas suatu instrumen dapat diterima jika memilki
koefisien alpha cronbach minimal 0,60 yang berarti bahwa
instrumen tersebut dapat digunakan sebagai pengumpul data
yang handal yaitu hasil pengukuran relatif konsisten jika
dilakukan pengukuran ulang.
2. Regresi Linier Sederhana
a Uji Normalitas
Pengujian normalitas adalah pengujian tentang
kenormalan distribusi data. Uji ini merupakan pengujian yang
paling banyak dilakukan untuk analisis statistic parametric.
Penggunaan uji normalitas karena pada analisis statistic
parametic, asumsi yang harus dimiliki oleh data adalah bahwa
data tesebut terdistribusi secara normal. Maksud data
terdistribusi secara normal adalah bahwa data akan mengikuti
bentuk distribusi normal. Bahwa data memusat pada nilai rata-
rata dan median. Untuk mengetahui bentuk distribusi data kita
bisa menggunakan grafik distribusi.
b Pengujian Hipotesis
Selanjutnya adalah penghitungan terhadap hasil skor
yang telah ada. Karena penelitian ini adalah untuk melihat
apakah ada korelasi antara program pelatihan KTSP dengan
keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn, maka yang dipakai
adalah rumus “r” product moment dari karl pearson. Adapun
rumusnya adalah sebagai berikut:
[ ][ ]2222 )()(
))((
ΣΥ−ΝΣΥΣΧ−ΝΣΧ
ΣΥΣΧ−ΝΣΧΥ=xyr
Keterangan:
rxy = Angka Indeks Korelasi “r” product moment (variabel
x dan y)
N = Jumlah Responden
∑ XY = Jumlah hasil perkalian antara skor x dan skor y
∑ X = Jumlah seluruh skor x
∑Y = Jumlah seluruh skor y
Rumusan korelasi tersebut untuk menguji hipotesis
sebagai berikut:
Hipotesa alternatif (Ha) : Ada hubungan yang signifikan antara
program pelatihan KTSP (variabel X)
dengan keterlaksanaannya pada
pembelajaran PKn (variabel Y).
Hipotesa nihil (Ho) : Tidak ada hubungan yang signifikan
antara program pelatihan KTSP
(variabel X) dengan
keterlaksanaannya pada pembelajaran
PKn (variabel Y).
c Uji t hitung
Untuk mengetahui pengambilan keputusan uji hipotesa,
maka dilakukan dengan cara membandingkan t hitung dengan t
tabel pada taraf signifikansi 5 % atau 1 % dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima,
berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas
dengan variabel terikat.
2) Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak,
berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel
bebas dengan terikat.
Rumusnya adalah:
ns
xt oµ−
=
Keterangan:
t = Nilai t yang dihitung
x = Nilai rata-rata
µ = Nilai yang dihipotesiskan
s = Simpangan baku sampel
n = Jumlah anggota sampel
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Penelitian ini meliputi dua variabel, pertama variabel bebas yaitu
Program Pelatihan KTSP (variabel X) dan yang kedua variabel terikat
yaitu Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn (variabel Y).
Penulis memperoleh data melalui observasi, angket, dan studi
dokumentasi. Untuk angket diberikan kepada guru-guru yang
mengajar di SMP Negeri Sanggar Jagakarsa dan angket juga diberikan
kepada siswa-siswi SMP Negeri yang ada di Sanggar Jagakarsa. Angket
tersebut terdiri dari 25 pernyataan dalam melakukan penilaian Program
Pelatihan KTSP dan 25 pernyataan tentang keterlaksanaan KTSP pada
pembelajaran PKn.
Program Pelatihan KTSP (variabel X) dan Keterlaksanaan KTSP
pada Pembelajaran PKn (variabel Y) adalah data kuantitas terhadap
jawaban responden dari koesioner yang disebarkan.
Data statistik yang akan dianalisa adalah nilai-nilai dari distribusi
frekuensi angket mengenai Program Pelatihan KTSP dan hubungannya
terhadap Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn. Berikut ini
penulis sajikan data hasil nilai angket Program Pelatihan KTSP dan
Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn.
Tabel 3 Data Variabel Program Pelatihan KTSP (X)
dan Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn (Y)
No X No Y
1 83 1 77
2 86 2 83
3 84 3 78
4 83 4 78
5 84 5 78
6 85 6 79
7 84 7 83
8 81 8 78
9 81 9 81
10 82 10 80
11 81 11 81
12 81 12 80
13 80 13 81
14 93 14 80
15 92 15 83
16 86 16 77
17 87 17 76
18 87 18 74
19 76 19 73
20 74 20 75
21 73 21 77
22 69 22 65
23 70 23 67
24 68 24 66
25 80 25 70
26 80 26 71
27 79 27 73
28 77 28 82
29 76 29 83
30 78 30 82
Jml 2420 Jml 2317
Nilai-nilai distribusi frekuensi di atas kemudian diolah dengan
menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 11,5. Dari
hasil perhitungan yang penulis lakukan diperoleh nilai rata-rata
Program Pelatihan KTSP sebesar 80,66, simpangan baku sebesar 6,05
dan nilai rata-rata Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn
sebesar 77,23, simpangan baku sebesar 2,44. Untuk lebih jelasnya
deskripsi statistik variabel Program Pelatihan KTSP dan Keterlaksanaan
KTSP pada Pembelajaran PKn ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 4
Descriptive Statistics
Mean
Std.
Deviation N
Program
Pelatihan KTSP
80,666
7 6,05910 30
Keterlaksanaan
nya pada
Pembelajaran
PKn
77,233
3 2,44503 30
Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
program pelatihan KTSP tergolong baik. Begitu pula dengan
keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn dapat dikatakan baik, hal
ini dapat dilihat dari nilai rata-rata tersebut di atas.
B. Analisis dan Interpretasi Hasil
Untuk menganalisia data dalam perhitungan statistik penulis
menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi 11,5. Data
program ini menggunakan analisis koefisien korelasi dan analisis
regresi linier sederhana, yaitu untuk mengetahui hubungan antara
kedua variable yang diteliti.
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik maka sebelum
dilakukan uji statistik terlebih dahulu data yang diperoleh harus
dilakukan uji validitas dan reliabilitas.
1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Pengujian validitas tiap
butir pernyataan digunakan analisis item, yaitu mengkorelasikan
antara skor yang diperoleh dari masing-masing item yang berupa
pertanyaan atau pernyataan dengan skor totalnya.
Skor total ini merupakan nilai yang diperoleh dari hasil
penjumlahan semua skor item. Korelasi antara skor item dengan
skor totalnya harus signifikan berdasarkan dimensi konsep
berkorelasi dengan skor totalnya, maka dapat disimpulkan bahwa
alat pengukuran tersebut valid.
Biasanya syarat minimum untuk dapat dianggap memenuhi
syarat adalah apabila r = positif (+). Jadi, jika korelasi antar butir
dengan skor negatif (-), maka butir dalam instrumen tersebut
dinyatakan tidak valid.
Pengujian reliabilitas adalah berkaitan dengan masalah
adanya kepercayaan terhadap alat test (instrumen). Suatu
instrumen dapat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi apabila
hasil dari pengujian tersebut menunjukkan hasil tetap. Dengan
demikian, masalah reliabilitas test atau instrumen berhubungan
dengan masalah ketetapan hasil. Jika terjadi perubahan test atau
instrumen, maka perubahan itu dianggap tidak berarti.
Untuk lebih jelasnya bahwa data instrumen yang penulis
sebarkan valid atau tidak valid dan reliabel atau tidak reliabel dapat
dilihat pada tabel hasil uji validitas dan reliabilitas berikut:
Tabel 5
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Variabel X
No. Butir Instrume
n
Korelasi Item
Cronbach α
Keterangan
1 0,4079 0,6207 Valid
2 0,1134 0,6480 Valid
3 0,2401 0,6373 Valid
4 0,3919 0,6170 Valid
5 0,2693 0,6346 Valid
6 0,0418 0,6581 Valid
7 0,4826 0,6171 Valid
8 0,1939 0,6420 Valid
9 0,3810 0,6275 Valid
10 0,0923 0,6511 Valid
11 0,0292 0,6698 Valid
12 0,1521 0,6828 Valid
13 0,2598 0,6356 Valid
14 0,1503 0,6698 Valid
15 0,0526 0,6581 Valid
16 0,1034 0,6507 Valid
17 0,3944 0,6158 Valid
18 0,4474 0,6173 Valid
19 0,1931 0,6421 Valid
20 0,3835 0,6223 Valid
21 0,4150 0,6186 Valid
22 0,2798 0,6348 Valid
23 0,1247 0,6481 Valid
24 0,2486 0,6364 Valid
25 0,3032 0,6340 Valid
Berdasarkan dari hasil tabel di atas dapat diperoleh data
yang menyatakan bahwa item soal (instrumen) pada variabel X
yang disebarkan kepada 30 responden semuanya dinyatakan valid
karena semua korelasi item yang didapatkan positif.
Sedangkan pada variabel X untuk menyatakan data tersebut
reliabel atau tidak reliabel dapat diketahui dari hasil rata-rata alpha
cronbachnya. Dari hasil data tersebut di atas diperoleh hasil rata-
rata alpha cronbach sebesar 0,6498. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa instrumen tersebut dinyatakan reliabel karena
memiliki koefisien alpha cronbach lebih besar dari 0,60 yang
menjadi syarat minimalnya.
Tabel 6
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Y
No. Butir Instrume
n
Korelasi
Item
Cronbac
h α Keterangan
1 0,3032 0,6356 Valid
2 0,2486 0,6698 Valid
3 0,1247 0,6581 Valid
4 0,2798 0,6507 Valid
5 0,3944 0,6158 Valid
6 0,4474 0,6173 Valid
7 0,1931 0,6421 Valid
8 0,3835 0,6223 Valid
9 0,1521 0,6186 Valid
10 0,0292 0,6348 Valid
11 0,0923 0,6481 Valid
12 0,3810 0,6364 Valid
13 0,4079 0,6207 Valid
14 0,1134 0,6480 Valid
15 0,2401 0,6373 Valid
16 0,3919 0,6170 Valid
17 0,2693 0,6346 Valid
18 0,0418 0,6581 Valid
19 0,4826 0,6171 Valid
20 0,1939 0,6420 Valid
21 0,4150 0,6275 Valid
22 0,1034 0,6511 Valid
23 0,0526 0,6698 Valid
24 0,1503 0,6828 Valid
25 0,2598 0,6511 Valid
Berdasarkan dari hasil tabel di atas dapat diperoleh data
yang menyatakan bahwa item soal (instrumen) pada variabel Y
yang disebarkan kepada 30 responden semuanya dinyatakan valid
karena semua korelasi item yang didapatkan positif
Sedangkan pada variabel Y untuk menyatakan data tersebut
reliabel atau tidak reliabel dapat diketahui dari hasil rata-rata alpha
cronbachnya. Dari hasil data tersebut di atas diperoleh hasil rata-
rata alpha cronbach sebesar 0,6517. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa instrumen tersebut dinyatakan reliabel karena
memiliki koefisien alpha cronbach lebih besar dari 0,60 yang
menjadi syarat minimalnya.
2. Regresi Linier Sederhana
a. Pengujian Hipotesis
Seperti diketahui bahwa penelitian ini adalah untuk
melihat apakah ada korelasi atau tidak antara program pelatihan
KTSP dengan keterlaksanaan KTSP pada pembelajaran PKn di
Sanggar Jagakarsa, maka pengujian hipotesisnya menggunakan
rumus “r” product moment (korelasi pearson).
Sedangkan untuk mengetahui tinggi atau rendahnya
tingkat korelasi tersebut, maka perlu diungkapkan terlebih
dahulu pedoman untuk menentukan koefisien korelasinya., yaitu
sebagai berikut:
Tabel 7
Interpretasi Data Koefisien Korelasi
Koefisien
Korelasi Interpretasi
0,91 – 1,00 Sangat Tinggi
0,71 – 0,90 Tinggi
0,41 – 0,70 Cukup
0,21 – 0,40 Rendah
0,00 – 0,20 Sangat Rendah
Selanjutnya dalam melakukan penghitungan statistik
untuk mencari hasil korelasi antara dua variabel tersebut,
penulis menggunakan sistem komputerisasi program SPSS versi
11,5 yang mampu menganalisis data dengan mudah. Adapun
hasil statistik korelasinya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8
Hasil Statistik Korelasi Pearson Correlations
Program Pelatiha
n KTSP
Keterlaksanaan-nya pada
Pembelajaran
PKn
Program Pelatihan
KTSP
Pearson Correlation 1 ,874(**)
Sig. (1-tailed) . ,000
Sum of Squares
and Cross-products
1064,667
375,333
Covariance 36,713 12,943
N 30 30
Keterlaksanaannya
pada Pembelajaran
PKn
Pearson Correlation
,874(**) 1
Sig. (1-tailed) ,000 .
Sum of Squares and Cross-
products
375,333 173,367
Covariance 12,943 5,978
N 30 30
** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil indeks korelasi
“r” product moment sebesar 0,874 pada taraf signifikansi 1 % (
0,01 ). Dengan memperhatikan besarnya “r” product moment
yang diperoleh yaitu = 0,874 yang besarannya berada pada
koefisien korelasi antara 0,71 – 0,90, maka dapat
diinterpretasikan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara
program pelatihan KTSP dengan keterlaksanaannya pada
pembelajaran PKn.
Setelah hasil indeks korelasi “r” product moment
diketahui, selanjutnya dicari koefisien determinasinya. Koefisien
determinasi (R2) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan variabel independen menjelaskan variabel
dependen. Dalam output SPSS, koefisien determinasi terletak
pada tabel Model Summary(b) dan tertulis R Square. Nilai R
Square dikatakan baik jika di atas 0,5 karena nilai R Square
berkisar antara 0 sampai 1. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 9
Model Summary(b)
Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Durbin-Watson
1 ,874(a) ,763 ,755 1,21079 ,275
a Predictors: (Constant), Program Pelatihan KTSP b Dependent Variable: Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn
Dari data output SPSS tersebut di atas, diperoleh nilai
koefisien determinasi sebesar 0,763. Artinya, 76,3 % variabel
dependen keterlaksanaan KTSP dijelaskan oleh variabel
independen program pelatihan KTSP, dan sisanya 23,7 % (100
% - 76,3 %) dijelaskan oleh variabel lain di luar variabel yang
digunakan.
b. Uji t hitung
Setelah angka indeks korelasi “r” product moment telah
diketahui, langkah selanjutnya adalah melakukan uji t hitung.
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengambilan
keputusan uji hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu
dilakukan dengan cara membandingkan t hitung dengan t tabel
pada taraf signifikansi 5 % atau pada taraf signifikansi 1 %.
Dengan menggunakan sistem komputerisasi program
SPSS versi 11,5 diperoleh hasil statistik uji sebagai berikut:
Tabel 10 Hasil Statistik Uji t
Coefficients(a)
Unstandardize
d Coefficients
Standardiz
ed
Coefficient
s
Model
B
Std.
Error Beta
t
Sig.
1 (Constant) 48,795
3,001 16,25
7 ,000
Program
Pelatihan
KTSP
,353 ,037 ,874 9,500 ,000
a Dependent Variable: keterlaksanaan KTSP pada pembelajaran
PKn
Berdasarkan pada tabel di atas diperoleh nilai t hitung
sebesar 9,500. Setelah nilai t hitung diketahui maka selanjutnya
mencari nilai t tabelnya dengan mencocokan pada data t tabel.
Setelah melihat data pada t tabel, maka diperoleh nilai t tabel
pada taraf signifikansi 5 % sebesar 2,04 dan pada taraf
signifikansi 1 % sebesar 2,76. Hal ini menunjukkan bahwa t
hitung lebih besar dibandingkan dengan t tabel baik pada taraf
signifikansi 5 % maupun pada taraf signifikansi 1 %. Karena t
hitung lebih besar dari t tabel maka dapat diambil keputusan
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima.
Dengan demikian, dari hasil pengujian hipotesis dan
statistik uji yang telah dikemukakan maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
program pelatihan KTSP dengan keterlaksanaannya pada
pembelajaran PKn.
1) Analisa Ketercapaian Program Pelatihan KTSP
Berdasarkan hasil perhitungan statistik mengenai
keterlaksanaan program pelatihan KTSP terhadap
keterlaksanaanya pada pembelajaran PKn dapat penulis
katakan bahwa kegiatan pelatihan bagi guru dinyatakan
berhasil dan berimplikasi baik terhadap proses pembelajaran.
Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan pada dasarnya
merupakan suatu bagian yang integral dari manajemen
dalam bidang ketenagaan di Departemen Pendidikan
Nasional sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap
pendidik di negeri ini, maupun bagi sekolah sebagai upaya
untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru
sehingga pada gilirannya diharapkan para guru dapat
memperoleh keunggulan kompetitif dan dapat memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan kata lain, mereka
dapat bekerja secara lebih produktif dan mampu
meningkatkan kualitas kinerjanya. Pelatihan yang dilakukan
secara baik dan benar dapat meningkatkan sumber daya
manusia secara optimal yang akan berpengaruh terhadap
pencapaian tujuan sekolah. Karena kompetensi para guru
merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki seseorang
untuk melakukan pekerjaan berdasarkan kriteria yang
ditetapkan dalam persyaratan kerja dengan menggunakan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang meliputi
kemampuan analitis, sintesis sesuai tuntutan sistem
teknologi pekerjaan terkait.
Pengembangan karier seharusnya tidak hanya
tergantung pada usaha-usaha guru saja, karena hal itu tidak
selalu sesuai dengan kepentingan sekolah. Sebagai contoh
guru mungkin minta berhenti dan pindah kesekolah lain,
atau guru bisa tidak acuh terhadap kesempatan-kesempatan
karier mereka dan kebutuhan-kebutuhan staffing sekolah.
Untuk mengarahkan pengembangan karier agar
menguntungkan sekolah dan guru, kepala sekolah sering
mengadakan program-program latihan dan pengembangan
bagi para guru karena setiap manusia mempunyai potensi
sumber daya yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya.
Potensi setiap orang berbeda-beda, ada yang di bawa sejak
lahir atau dipengaruhi oleh lingkungan, untuk
mengembangkan potensi yang ada pada manusia
dipengaruhi oleh lingkungan atau pendidikan
Selain itu, pelaksanaan suatu program dapat
dikatakan berhasil jika dalam diri peserta tersebut terjadi
suatu proses transformasi. Proses transformasi dapat
dinyatakan berlangsung dengan baik apabila terjadi paling
sedikit dua hal, yaitu: peningkatan kemampuan dalam
melaksanakan tugas dan perubahan perilaku yang tercermin
pada sikap, disiplin, dan etos kerja. Pelatihan yang bersifat
keterampilan adalah pelatihan teknis yang diharapkan
mampu meningkatkan keterampilan peserta diklat,
sedangkan pelatihan administratif dapat disimpulkan sebagai
pelatihan yang memberikan dasar-dasar dan pengembangan
proses administrasi standar. Pengembangan karier melalui
program pelatihan yang diadakan akan mendorong sekolah
untuk mengembangkan cara-cara menilai kompetensi.
Dengan cara tersebut setiap guru akan mengetahui sampai
dimana realitas kompetensi mereka agar jangan merasa over
estimate atau under estimate dari kemampuan mereka. Guru
juga akan mengetahui opsi karier mana yang cocok dengan
realitas kemampuan mereka. Pada sisi yang lain sekolah
dapat mengembangkan pelatihan untuk membantu guru
dalam mengembangkan kompetensi yang berkaitan dengan
kariernya.
Berangkat dari tujuan suatu program pelatihan, yaitu
meningkatkan sumber daya manusia secara optimal yang
akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan sekolah,
maka program pelatihan yang telah dilaksanakan oleh Suku
Dinas Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tentang
kurikulum tingkat satuan pendidikan dapat dikatakan baik
karena:
a) Menumbuhkan minat dan perhatian guru terhadap bidang
studi masing-masing.
Guru yang bersangkutan telah dapat menguasai
bahan pengajaran, cara mempelajari bahan pengajaran,
dan menguasai pengetahuan tentang belajar dan
mengajar. Dalam hal ini guru yang bersangkutan juga
mengetahui batas-batas materi yang akan disajikan
dalam kegiatan belajar mengajar, baik keluasan materi,
konsep, maupun tingkat kesulitannya sesuai dengan
yang digariskan dalam kurikulum, dan juga menguasai
substansi materi yang diajarkannya.
b) Meningkatkan pengetahuan (knowledge), kemampuan
(ability), dan keterampilan (skill), guru dalam
menjalankan tugasnya masing-masing.
Guru telah dapat smerencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran seperti membuat
satuan pelajaran, melaksanakan strategi belajar
mengajar, memilih dan menggunakan media serta alat
bantu pengajaran, memilih dan menggunakan metode-
metode mengajar, dan memotivasi belajar siswa.
c) Meningkatkan keahlian para guru sejalan dengan
perubahan teknologi.
Guru yang bersangkutan terus berupaya untuk
mengikuti perkembangan-perkembangan yang ada di
dunia luar, baik itu ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Sehingga ketika guru-guru tersebut dihadapkan dengan
perkembangan dunia maya yang semakin pesat, mereka
tidaklah canggung. walaupun ada beberapa dari mereka
yang masih gagap terhadap perkembangan teknologi,
namun mereka terus berusaha untuk tak tertinggal
dengan rekan-rekan lainnya, yaitu cara mencari tahu
dan mempelajarinya.
Dengan melihat tujuan-tujuan yang ada, program
pelatihan sangat bermanfaat bagi kemajuan guru dan
sekolah. Pelatihan yang dilakukan secara baik dan benar
dapat meningkatkan sumber daya manusia secara optimal
yang akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Terdapat beberapa kondisi yang menunjukkan
keberhasilan dari program pelatihan yang diadakan terkait
dengan kinerja guru dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Tingkat keberhasilan tersebut dapat penulis lihat dari tugas-
tugas administratif guru yang dapat dijalankan dengan baik
seperti membuat silabus dan Rencana Program
Pembelajaran untuk 1 (satu) materi bahasan maupun secara
keseluruhan. Artinya, guru dapat merasakan manfaat dari
keterlaksanaan program pelatihan yang diikutinya dan juga
mengaplikasikan pengetahuan atau informasi yang
diperolehnya demi profesionalitas kinerjanya. Mengingat
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
menekankan pada pengembangan kompetensi peserta didik
yang disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan, maka semestinya guru dapat menterjemahkan
semua itu dengan baik sehingga apa yang dilakukan guru
merupakan usaha untuk menjamin relevansi pendidikan
dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan bermasyarakat, dunia usaha dan dunia kerja.
Selain itu, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga
berorientasi pada hasil yang harus tercapai, baik pada hal-
hal yang sudah ditentukan dalam tujuan pembelajaran
(standar kompetensi), maupun pada hal-hal yang bernuansa
afektif yang merupakan bentuk aplikatif dari apa yang
dipelajari siswa sesuai dengan kebutuhannya. Dikarenakan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berorientasi
pada hasil, maka tujuan yang ditetapkan merupakan sebuah
arah agar pembelajaran yang terjadi benar-benar fokus dan
mencapai kompetensi dan keterampilan yang harus dicapai
setelah siswa mengikuti pembelajaran.
Tidak hanya pada hal-hal yang bersifat administratif
manfaat yang dapat dirasakan oleh guru setelah mengikuti
program pelatihan, akan tetapi keberhasilan pelatihan
tersebut pun juga tercermin dari performance guru. Guru
yang mengikuti pelatihan lebih memiliki keyakinan lebih
dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik dalam arti
menentukan dan mengoptimalkan apa yang seharusnya
dilakukan sesuai dengan kondisi yang ada. Artinya, guru
dapat meminimalisir kecenderungan untuk tidak
menjalankan tugasnya dengan maksimal. Tentunya hal
tersebut dilatar belakangi oleh informasi dan pengetahuan
yang diterima guru setelah mengikuti program pelatihan.
2) Analisa Keterlaksanaan KTSP Pada Pembelajaran PKn
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bukanlah suatu
“harga mati” yang harus diterima dan dilaksanakan apa
adanya, melainkan masih dapat dikembangkan sesuai
dengan situasi dan kondisi lapangan, sepanjang tidak
menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara
nasional. Dalam hal ini guru aadalah pengembang kurikulum
yang berada dalam kedudukan yang menentukan dan
strategis. Jika kurikulum diibaratkan rambu-rambu lalu lintas,
maka guru adalah pejalan kakinya. Dengan asumsi bahwa
gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan
peserta didik, perbedaan siswa, daya serap, suasana dalam
kegiatan pembelajaran, serta sarana dan sumber yang
tersedia. Maka guru berwenang untuk menjabarkan dan
mengembangkan kompetensi dasar menjadi silabus, dan
selanjutnya dijabarkan lagi dalam bentuk rencana
pembelajaran, untuk kemudian diimplementasikan dalam
proses belajar mengajar dan pada tahap selanjutnya
dievalusi.
Berikut ini adalah hasil dari penelitian yang penulis
lakukan tentang pelaksanaan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP) pada pembelajaran PKn di Sanggar
Jagakarsa Jakarta Selatan, adalah sebagai berikut:
a) Analisa tahap persiapan atau perencanaan
Pada tahap perencanaan ini mereka telah membuat
seperangkat rencana dan pengaturan tentang
pengembangan kurikulum, yang mencakup kebulatan
pengetahuan, keterampilan sikap yang ingin dicapai,
pengalaman belajar yang harus dilakukan, dan evaluasi
untuk mengetahui keberhasilan pembelajarannya. Silabus
ini merupakan uraian yang lebih rinci mengenai
kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar yang
harus dimiliki oleh peserta didik sehubungan dengan
suatu mata pelajaran. Silabus ini juga bermanfaat untuk
pedoman pokok dalam pengembangan pembelajaran
lebih lanjut, mulai dari pembuatan rencana pembelajaran,
pengelolaan kegiatan pembelajaran, dan pengembangan
sistem penilaian.
Pada tahap persiapan ini mereka juga telah membuat
Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP). Pada tahap
ini mereka membuat RPP seluwes (fleksibel) mungkin dan
memberi kemungkinan bagi mereka untuk
menyesuaikannya dengan respon siswa dalam proses
pembelajaran sesungguhnya. Hal ini dimaksudkan agar
proses belajar mengajar (kegiatan pembelajaran) dapat
lebih terarah dan berjalan secara efektif dan efisien.
Silabus merupakan uraian yang lebih rinci mengenai
kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar yang
harus dimiliki oleh peserta didik sehubungan denga suatu
mata pelajaran. Kompetensi dasar dalam silabus
berfungsi untuk mengarahkan guru dan fasilitator
pembelajaran, mengenai target yang harus dicapai dalam
pembelajaran. Materi standar dalam silabus berfungsi
untuk memberikan petunjuk kepada peserta didik dan
guru/fasilitator tentang apa yang harus dipelajari dalam
mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Hasil belajar
dalam silabus berfungsi sebagai petunjuk tentang
perubahan perilaku yang akan dicapai oleh peserta didik
sehubungan dengan kegiatan belajar yang dilakukan,
sesuai dengan komptensi dasar dan materi standar yang
dikaji. Hasil belajar ini bisa berbentuk pengetahuan,
keterampilan maupun sikap. Indikator pencapaian hasil
belajar dalam silabus berfungsi sebagai tanda-tanda yang
menunjukan terjadinya perubahan perilaku pada diri
peserta didik. Tanda-tanda ini lebh spesifik dan lebih
dapat diamati dalam diri peserta didik. Jika serangkaian
indikator hasil belajar sudah nampak pada diri peserta
didik, maka target kompetensi dasar tersebut sudah
terpenuhi atau tercapai. Prosedur pembelajaran dalam
silabus dapat berfungsi mengarahkan kegiatan
pembelajaran yang harus dilakukan oleh peserta didik
dan guru dalam membentuk kompetensi dasar. Dalam
garis besarnya, prosedur pembelajaran ini mencakup
kegiatan awal (pembuka), kegiatan inti (pembentukan
kompetensi), dan kegiatan akhir (penutup). Dalam
kegiatan akhir atau penutup dapat dilakukan penilaian
untuk mengecek apakah ketercapaian kompetensi dasar
oleh peserta didik.
b) Analisa tahap pelaksanaan pembelajaran
Pembelajaran dalam KTSP adalah pembelajaran
dimana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan
dicapai oleh siswa, sistem penyampaian, dan indikator
pencapaian hasil belajar, sebagaimana telah dirumuskan
secara tertulis sejak perencanaan dimulai.
Sebelum membahas materi yang akan diajarkan
mereka (guru-guru) memulainya dengan melakukan
apersepsi atau melakukan pemanasan terlebih dahulu
terhadap materi yang akan diajarkan, dengan begitu
materi yang diajarkan akan mudah diketahui dan
dipahami oleh siswa. Mereka juga memotivasi siswa agar
lebih tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru.
Latar belakang kehidupan sosial anak penting untuk
diketahui oleh guru. Sebab dengan mengetahui dari mana
anak berasal, dapat membantu guru untuk memahami
jiwa siswa. Pengalaman apa yang telah dipunyai siswa
adalah hal yang sangat membantu untuk memancing
perhatian siswa. Anak biasanya senang membicarakan
hal-hal yang menjadi kesenangannya.
Dalam mengajar, mereka memanfaatkan hal-hal yang
menjadi kesenangan siswa untuk diselipkan dalam
melengkapi isi dari bahan pelajaran yang disampaikan.
Pemanfaatannya sesuai dengan bahan pelajaran.
Pendekatan realisasi ini dirasakan keampuhannya untuk
memudahkan pengertian dan pemahaman siswa terhadap
bahan pelajaran yang disajikan. Siswa mudah menyerap
bahan yang bersentuhan dengan apersepsinya. Bahan
pelajaran yang belum pernah didapatkan dan masih asing
baginya, mudah diserap bila penjelasannya dikaitkan
dengan apersepsi siswa.
Bahan apersepsi sangat membantu siswa dalam
usaha mengolah kesan-kesan dari bahan pelajaran yang
diberikan oleh guru. Penjelasan demi penjelasan dapat
siswa cerna secara bertahap hingga proses belajar
mengajar berakhir.
Pada tahap ini mereka (guru-guru) lebih menekankan
pada pelaksanaan pembelajaran yang bersifat kontekstual
atau belajar aktif. Pada pembelajaran ini mereka lebih
menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental,
intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar
yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik.
Dengan menggunakan pendekatan ini mereka
menghubungkan materi pelajaran yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Dengan cara seperti itu siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang
terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan
masalah dalam kehidupannya sebagai anggota
masyarakat.
Pada tahap pelaksanaan ini para guru mendorong
siswa untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses belajar
mengajar. Dalam hal ini hal yang dilakukan oleh para
guru adalah dengan memanfaatkan hal-hal yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari pada anak untuk diselipkan
dalam melengkapi isi dari bahan/materi yang
disampaikan. Dengan begitu siswa dapat
menghubungkan keselarasannya antara kehidupan
kesehariannya dengan materi yang dibahas oleh guru di
kelas. Setelah menghubungkan keduanya guru meminta
tanggapan dari para siswa apakah materi yang dibahas
itu selaras atau tidak dengan kenyataan yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.
Selain memudahkan pemahaman para siswa terhadap
materi/bahan pelajaran yang disajikan, para siswa juga
mudah menyerap materi/bahan yang bersentuhan
dengan kehidupan kesehariannya. Dengan melakukan hal
tersebut, maka partisipasi secara aktif akan dapat
terwujud.
Jalan pengajaran yang kondusif adalah kondisi belajar
mengajar yang menyenangkan bagi siswa. Kegairahan
belajar siswa terkuak sebagai implementasi dari luapan
motivasinya. Siswa giat belajar, tidak ada yang diam,
sesuai dengan harapan guru. Apa yang guru perintahkan
tidak mendapat bantahan dari siswa, namun mereka
menuntut aturan pengajaran yang mereka buat. Anak
didik belajar dengan konsentrasi tanpa mendapat
gangguan yang berarti dari lingkungan sekitarnya. Kondisi
belajar yang itulah yang diinginkan, tidak seperti anak
bingung yang kurang mengerti penjelasan guru.
Kemudian untuk menciptakan suasana kelas yang
kondusif dan efektif, para guru melakukan pendekatan
psikologis yang fundamental, yaitu berupa pemberian
pujian (reward) dan hukuman (punishment). Asumsi ini
mengharuskan para guru melakukan usaha mengulang-
ulangi program atau kegiatan yang dinilai baik
(perangsang) bagi terbentuknya tingkah laku tertentu,
terutama di kalangan siswa.
Untuk itu menurut pendekatan ini tingkah laku yang
baik atau posistif harus dirangsang dengan memberikan
pujian atau hadiah yang menimbulkan perasaan senang
dan puas. Sebaliknya, tingkah laku yang kurang baik
dalam melaksanakan program kelas harus diberi sanksi
atau hukuman yang akan menimbulkan perasaan tidak
puas dan pada gilirannya tingkah laku tersebut akan
dihindari.
Hal lain yang dilakukan para guru dalam penciptaan
dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal adalah
dengan cara menegur atau mengomeli. Hal tersebut
dilakukan jika ada siswa yang nyata-nyata melanggar dan
mengganggu siswa lain yang berusaha untuk aktif
dengan cara menyela kegiatan siswa lain dalam
kelompoknya.
Teguran yang dilakukan oleh guru dimaksudkan untuk
menghentikan ganggguan siswa. Hal ini dibenarkan
dalam dunia pendidikan dengan syarat; tegas dan jelas
tertuju kepada anak didik yang mengganggu serta
tingkah lakunya yang menyimpang, dan menghindari
peringatan yang kasar dan menyakitkan atau
mengandung penghinaan.
Dalam penggunaan media atau sarana pembelajaran,
para guru telah memanfaatkannya dengan baik. Misalnya
saja, dengan manghadirkan media cetak berupa koran di
tengah-tengah siswa, kemudian mereka diperintahkan
untuk mencari permasalahan yang sesuai dengan materi
yang menjadi pembahasan pada saat itu. Setelah dibuat
kelompok, para siswa diminta untuk mempresentasikan
dengan satu orang.
Dengan hadirnya media berupa koran ini, maka
ketidakjelasan bahan/materi yang disampaikan oleh guru
dapat terbantu dengan menghadirkan koran sebagai
media pembelajaran. Kerumitan bahan yang disampaikan
oleh guru kepada para siswa dapat disederhanakan
dengan bantuan media. Dengan demikian, para siswa
dapat lebih mudah mencerna materi/bahan yang
disampaikan oleh guru daripada tanpa bantuan media.
Media dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu.
Selain itu media juga berfungsi untuk melicinkan jalan menuju tercapainya tujuan pengajaran. Hal ini
dilandasi dengan keyakinan bahwa proses belajar mengajar dengan bentuan media mempertinggi kegiatan
belajar para siswa dalam tenggang waktu yang cukup lama. Itu berarti kegiatan belajar para siswa dengan bantuan media akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih baik daripada tanpa bantuan media.
c) Analisa tahap evaluasi
Standar kompetensi yang diharapkan dicapai peserta
didik mencakup aspek berfikir, keterampilan dan
kepribadian. Tujuan utama dari standar kompetensi adalah
untuk memberi arah kepada pendidik tentang kemampuan
dan ketarampilan yang menjadi fokus proses pembelejaran
dan penilaian. Jadi, standar kompetensi adalah batas arah
kemampuan yang harus dimiliki dan dapat dilakukan peserta
didik setelah mengikuti proses pembelajaran suatu mata
pelajaran tertentu.
Pada tahap evaluasi ini, ada dua tahap yang dilakukan
oleh guru, yaitu melakukan evaluasi formatif dan evaluasi
sumatif. Dalam evaluasi formatif terdapat dua jenis evaluasi
yang dilakukan, yang pertama yaitu pre test; dilakukan
untuk mengetahui kesiapan siswa sebelum memulai proses
belajar mengajar atau mengetahui pemahaman siswa
terhadap materi yang telah lalu diajarkan. Yang kedua; post
test; dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa
terhadap materi/bahan yang telah diajarkan oleh guru dan
letak post ini ada di akhir proses belajar mengajar. Evaluasi
formatif ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan dan
perkembangan serta keberhasilan siswa setelah mengalami
atau melakukan kegiatan belajar selama jangka waktu
tertentu, selanjutnya evaluasi tersebut juga dapat digunakan
untuk memperbaiki cara belajar para siswa.
Evaluasi sumatif bertujuan untuk menentukan
kenaikan kelas atau lulus tidaknya seorang siswa dari suatu
lembaga pendidikan tertentu, dilakukan dengan mengisi
raport atau Surat Tanda Tamat Belajar. Evaluasi sumatif
dilakukan pada akhir blok pengajaran untuk memberi
indikasi tingkat pencapaian belajar peserta didik atau
kompetensi dasar yang dicapai peserta didik.
Dengan melakukan penilaian atau evaluasi, mereka
(para guru) dapat mengetahui keberhasilan pencapaian
tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta
ketepatan atau keefektifan metode mengajar. Manfaat lain
yang didapat dari penilaian ini adalah untuk mengetahui
kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya. Dengan
peniliaian guru dapat mengklasifikasikan apakah seorang
siswa termasuk kelompok siswa yang pandai, sedang,
kurang, atau cukup baik di kelasnya jika dibandingkan
dengan teman-temannya.
Dengan menelaah pencapaian tujuan pengajaran,
mereka (para guru) dapat mengetahui apakah proses belajar
yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik
dan memuaskan, atau sebaliknya. Jadi, jelaslah bahwa
mereka benar-benar dituntut untuk mampu dan terampil
melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian mereka
dapat mengatahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia
melaksanakan proses belajar mengajar.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang
hubungan program pelatihan KTSP terhadap keterlaksanaannya pada
pembelajaran PKn, yang penulis lakukan mulai bulan Agustus 2007 –
Maret 2008 di Sanggar Jagakarsa, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Program Pelatihan KTSP di Sanggar Jagakarsa tergolong baik. Hal
ini dapat dilihat dari hasil nilai rata-rata skor Program pelatihan
KTSP berdasarkan pada jawaban responden yaitu 80,6667 (lihat
tabel 2).
2. Keterlaksanaan KTSP pada Pembelajaran PKn di SMP Negeri
Sanggar Jagakarsa tergolong pada kategori baik. Hal ini dapat
dilihat dari hasil nilai rata-rata skor keterlaksanaan pada
pembelajaran PKn yaitu 77,23 (lihat tabel 2).
3. Ada hubungan yang signifikan antara program pelatihan KTSP
dengan keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn. Hal ini dapat
dilihat dari hasil “r” product moment dan statistik uji (uji t hitung)
yang telah penulis lakukan. Hasil “r” product moment tersebut
sebesar 0,874 yang sebarannya berada pada koefisien korelasi
antara 0,71 – 0,90 dan hasil uji t hitungnya adalah 9,500 yang bila
dibandingkan dengan t tabel ternyata lebih besar t hitung dari pada
t tabel, baik pada taraf signifikansi 5% maupun pada taraf
signifikansi 1%. Untuk lebih jelasnya dapat lihat tabel 6 dan 7.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan
saran sebagai berikut:
1. Hendaknya para guru sebagai kunci keberhasilan pendidikan agar
betul-betul memperhatikan dan memahami kompetensi mengajar.
Karena, para guru tidak hanya bertugas sebagai pengajar yang
mengajarkan pengetahuan intelektual semata, tetapi juga sebagai
pembimbing yang mengarahkan siswa untuk terus berprestasi dan
sebagai pendidik yang menanamkan nilai moral agar siswa menjadi
pribadi yang baik.
2. Hendaknya para guru khususnya guru bidang study PKn dapat
mempertahankan dan meningkatkan hasil kegiatan pembelajaran
yang telah dicapai serta dapat memperkaya diri dengan mengikuti
berbagai pelatihan-pelatihan pendidikan untuk meningkatkan
kompetensinya.
3. Peneliti menyadari meskipun penelitian ini telah berhasil menguji
adanya hubungan antara program pelatihan KTSP dengan
keterlaksanaannya pada pembelajaran PKn, akan tetapi tidak hanya
dari pelatihan saja yang menentukan positif atau negatifnya
penerapan kurikulum KTSP. Banyak faktor lain yang mungkin ikut
memhubungani keterlaksanaan kurikulum tersebut, seperti
lingkungan, sekolah, keluarga, kecerdasan siswa, status sekolah
dan faktor-faktor lain yang belum diketahui. Untuk itu diperlukan
penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Aksara, 1992
Arikunto, Suahrsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1990, Cet ke-11
Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, 2006
Fajar, Arnie, Portopolio Dalam Pelajaran IPS, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005, Cet. IV
Ghazali, Imam, Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, Jakarta:
Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2002
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1992, Cet ke-2
Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003,
Cet. IV
Handoko, Hani, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: BPFE, 1996, Cet. X
Harahap, Nasrun, Teknik Penelitian Hasil Belajar, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Hasan, S. Hamid, Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik
Kunandar, “Guru Profesional, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru”. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007
Nasution, Mulia, Manajemen Personalia Aplikasi Dalam Perusahaan, Jakarta:
Djambatan, 1994
Nasution, S, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006, Cet. IV
Notoatmodjo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2003, Cet. 3
Pannen, Paulina, dkk, Cakrawala Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 1999
Pedoman Khusus Pengembangan Silabus, Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS), Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama,
2005
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, Cet. III
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Pasal 2 ayat (1) Tahun 2005
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2006
Purwanto, Ngalim, Prinsip-Prinsip Evaluasi Pengajaran Bandung,: Remaja
Rosda Karya, 2004, cet. ke 12
P. Siagian, Sondang, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara,
1991
Soemantri, Numan, “Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS”, Bandung:
Program Pasca Sarjanadan FPIPS UPI dengan PT. Remaja Rosda Karya,
2001, Cet. I
Simamora, Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: STIE YKPN,
1995
Sudjono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Cet ke10
Sudjana, D, Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Luar Sekolah
dan Pengembangan SDM, Bandung:Falah Production, 2000
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2005, Cet. XVII
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, Cet. IX
Wahab, A. Azis, Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta:
Karunika Jakarta Universitas Terbuka, 1986, Cet. I
Winataputra, Udin Saripudin, Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai
Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi, Disertasi Pasca Sarjana UPI
Bandung Bandung: Pogram Pasca Sarjana UPI, 2001
Jakarta, 7 September 2008
Kepada Yth,
HRD Manager PT. ANDINI WAHYU KENCANA dan GROUP
Jl. Gandaria 1 / Persil 7, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Di
Tempat
Lamaran Pekerjaan
Dengan hormat,
Nama : Gatot Subroto
Umur : 26 Tahun
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl Pesanggrahan RT 04/04 Kp. Utan Kel: Cempaka Putih
Kec: Ciputat
Phone : (021) 68234484-7312434 / 081574555340
Email : [email protected]
Dengan ini saya berinisiatif untuk melamar pekerjaan di perusahaan
yang Bapak/Ibu pimpin sebagai Karyawan
Saya memiliki tanggung jawab tinggi, dapat dipercaya, cepat
belajar, sanggup bekerja keras, disiplin, siap bekerja di bawah tekanan,
dapat bekerjasama dengan orang lain maupun sendiri, dapat bekerjasama
dengan orang-orang dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda, dapat
beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mempunyai kemampuan
komunikasi yang baik.
Berdasarkan latar belakang pendidikan yang saya miliki serta
keinginan untuk mengembangkan kemampuan dan keahlian saya, saya
akan berusaha memenuhi semua kualifikasi yang diperlukan oleh lembaga
ini.
Demikian surat lamaran kerja saya sampaikan, besar harapan saya
untuk dapat bergabung serta memberikan kontribusi pada lembaga yang
Bapak / ibu pimpin. Atas perhatian Bapak / Ibu, saya ucapkan terima
kasih.
Hormat Saya,
(Gatot
Subroto)