hubungan perubahan tataguna lahan dan penutup lahan

Upload: ina-ilyas

Post on 20-Jul-2015

478 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENGARUH TIPE PENUTUPAN LAHAN DAN KELEMBABAN TERHADAP DISTRIBUSI SPASIAL SUHU UDARA DI KOTA BANDA ACEH

Oleh: Muthmainna (1107215081980)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN GEOGRAFI 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembangunan perkotaan seharusnya memerlukan perencanaan yang matang, terpadu, dan memperhatikan berbagai dampak yang diakibatkan. Perkembangan kota akibat bertambahnya populasi penduduk dan industrialisasi telah menyebabkan penggunaan bahan bakar yang meningkat, baik untuk proses industri, transportasi, maupun keperluan rumah tangga. Di samping itu penggunaan lahan di perkotaan cenderung menambah jumlah gedung dan bangunan. Pembangunan yang pesat di kota-kota besar menyebabkan terjadinya perubahan tataguna dan penutup lahan yang dapat mempengaruhi suhu di kota tersebut. Perubahan suhu terjadi jika sebagian tumbuh-tumbuhan (vegetasi) digantikan aspal dan beton untuk jalan, bangunan, dan struktur lain yang diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi. Permukaan tanah yang tergantikan tersebut lebih banyak menyerap panas matahari dan juga lebih banyak memantulkan, sehingga menyebabkan temperature permukaan dan suhu lingkungan berubah. Peralihan penggunaan lahan akan memiliki dampak terhadap suhu di wilayah tersebut. Menurut Grey dan Deneke (1976) dalam Zoeraini (2005) pepohonan dan vegetasi lainnya dapat mempengaruhi suhu kota melalui evapotranspirasi, sebuah pohon yang terisolir akan menguapkan air sekitar 400 liter/hari jika air tanah cukup tersedia (Kramer dan Kozlowski (1970), Federe (1970) dalam Zoeraini, 2005). Ini juga didukung oleh penelitian sani (1986) menunjukkan adanya perbedaan suhu di dalam dan di luar taman kota sebesar 4,5C. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai wilayah tumbuhnya tetumbuhan yang dapat menyokong lingkungan perkotaan saat ini mutlak dibutuhkan, terutama karena nilai positif yang diberikan terhadap kehidupan warga dan kualitas lingkungan perkotaan. Akan tetapi kenyataan yang sungguh ironis terlihat saat ini bahwa habitat

tumbuhnya tumbuhan mulai berganti dengan bangunan-bangunan beton sebagai pusat ekonomi, industri, dan properti. Perubahan ini sangat jelas di daerah perkotaan. Beberapa penelitian seputar hubungan penutup lahan dengan suhu udara telah dilakukan. Wenda (1991) melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi, dan luasan dari hutankota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa: 1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-31,0C dengan kelembaban 66-92%. 2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27.7-33.10C dengan kelembaban 62-78%. 3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27.3-32.1C dengan kelembaban 6278%. Koto (1991) juga telah melakukan penelitian beberapa tipe vegetasi di sekitar gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, hutan memiliki suhu udara yang paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput, dan beton. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Hussein, Yanuwiyadi, dan Sumarno (2010) didapatkan perbedaan suhu dan kelembaban di kawasan dekat, tengah, dan jauh dari hutan kota. Dari hasil analisis yang dilakukan ditemukan bahwa hutan kota memberikan efek menurunkan suhu dibandingkan daerah yang tidak bervegetasi. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa tataguna dan penutup lahan memberikan pengaruh terhadap suhu pada wilayah tersebut. Akan terjadi perbedaan suhu pada wilayah-wilayah yang memiliki vegetasi sebagai penutup lahan dengan wilayah yang penutup lahannya berupa semen atau beton. Alih fungsi lahan bervegetasi kini telah banyak berubah menjadi bangunan beton, jalan raya, komplek industri, perumahan, dan areal private lainnya yang menyebabkan berkurangnya lahan terbuka dan vegetasi di wilayah tersebut. Wilayah Banda Aceh pada tahun 2007 memiliki luas lahan yaitu 6.136 Ha dan memiliki luas lahan terbuka hijau yaitu 9. 85% dari keseluruhan luas kota Banda Aceh. Sebaliknya

luas lahan yang terbangun pada tahun 2007 meningkat menjadi % dari luas wilayah kota. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pembangunan yang terjadi telah menyebabkan berkurangnya lahan terbuka dan terjadinya perubahan penutup lahan. Dari persawahan menjadi perumahan, pertokoan, dan gedung-gedung pemerintahan. Fakta yang terjadi ini sesuai dengan pandangan Budiharjo dan Hardjohubojo, 1993; Zoeraini, 2005) bahwa setiap terjadi pembangunan di daerah perkotaaan, lahan bervegetasi selalu berkurang. Perubahan penggunaan lahan di Kota Banda Aceh setiap kecamatan berbedabeda. Kecamatan Syiah Kuala sebagai pusat pendidikan dan pariwisata mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Alih fungsi lahan terjadi untuk pemukiman dan pembangunan pusat-pusat perekonomian. Kecamatan Lueng Bata yang berada di bagian selatan mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 2005 persentase penggunaan lahan di Kecamatan Lueng Bata yaitu 42,70%, ini mengalami peningkatan dari tahun 2002. Kecamatan yang memiliki kepadatan bangunan tertinggi di Kota Banda Aceh yaitu Kecamatan Syiah Kuala dan Kuta Alam. Data yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Mata ie suhu kota Banda Aceh mengalami peningkatan dari beberapa tahun yang lalu. Pada tahun 2011 Suhu Kota Banda Aceh maksimum yaitu 33-37C dan suhu terendah yaitu 1820C. Dari hasil laporan BMG Mata Ie Kota Aceh beberapa bulan pada tahun 2011 berada pada suhu 35C. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa suhu udara Kota Banda Aceh berada pada kondisi yang maksimum. Dengan alasan ini lah peneliti ingin melakukan penelitian tentang pengaruh perubahan tataguna lahan dan penutup lahan terhadap suhu di Kota Banda Aceh.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dijabarkan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah variasi tipe penutupan lahan masing-masing kecamatan di Kota Banda Aceh?

2. Bagaimanakah perbedaan kelembaban pada masing-masing kecamatan di Kota Banda Aceh? 3. Bagaimanakah perbedaan suhu udara setiap kecamatan berdasarkan tipe penutupan lahan di Kota Banda Aceh? 4. Bagaimanakah pola suhu harian masing-masing kecamatan di Kota Banda Aceh? 5. Bagaiamanakah pola kelembaban harian masing-masing kecamatan di Kota Banda Aceh? 6. Bagaimanakah pengaruh tipe penutup lahan terhadap distribusi spasial suhu udara di Kota Banda Aceh? 7. Bagaimanakah pengaruh kelembaban terhadap distribusi spasial suhu udara di Kota Banda Aceh?

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Penutupan Lahan Penggunaan lahan atau tata guna lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) adalah dua istilah yang sering kali diberi pengertian yang sama, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu, sedangkan penutup lahan (land cover) lebih merupakan perwujudan fisik dari objek dan menutupi permukaannya tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut.

1.

Permukaan Bervegetasi Hasil penelitian Martono (1996) menyebutkan perubahan penutup lahan hutan,

semak belukar, dan tegalan menjadi taman rekreasi mempunyai pengaruh berarti terhadap kondisi klimatologis. Pengaruh ini sejalan dengan perkembangan daerah padat penduduk dan sarana trnasportasi yang mempunyai andil cukup besar. Perubahan parameter iklim diperkirakan terjadi dalam kurun waktu lima tahun. Oleh karena itu, perkembangan penggunaan lahan perlu dimonitor secara periodik. Pepohonan merupakan ekosistem kota yang membentuk pengendalian bahang terasa dan penambahan bahang laten serta menjadikan pohon sebagai tempat penyimpanan barang yang diterimanya. Selain itu, pepohonan dapat mengurangi kecepatan angin yang selanjutnya berpengaruh terhadap suhu. Pengurangan kecepatan angin mengakibatkan berkurangnya pertukaran termodinamik antara lapisan udara sehingga menghasilkan suhu yang lebih stabil di daerah terlindung baik siang maupun malam hari (Murdiarso dan Suharsono, 1992). Lahan bervegetasi menyerap radiasi matahari dalam proses transpirasi dan fotosintesis. Radiasi yag sampai ke permukaan tanah akan digunakan untuk evaporasi. Lahan bervegetasi memiliki suhu lebih stabil (kisaran suhu pada siang dan

malam hari yang kecil) jika dibandingkan lahan yang jarang atau tidak bervegetasi (Martono, 1996). 2. Permukaan Terbuka (Tidak Bervegetasi) Daerah perkotaan ditandai dengan adanya permukaan berupa parit, selokan, dan pipa saluran drainase, sehingga hujan yang jatuh sebagian menjadi aliran permukaan, tidak meresap ke dalam tanah. Akibatnya air untuk evaporasi menjadi kurang tersedia. Penguapan di daerah ini menjadi sedikit menyebabkan keadaan tidak sejuk jika dibandingkan dengan daerah pedesaan yang penuh vegetasi. Bangunan akan memperlambat pergerakan angin dan mengurangi gerak udara secara horizontal. Hal ini akan memicu beberapa gas polutan terkosentrasi di dekat permukaan karena faktor pendispersian polutan hanya bergantung pada gerak udara vertical yang selanjutnya mengakibatkan pemanasan di dekat permukaan bangunan (Fardiaz, 1992). Kota dengan dominasi bangunan dan jalan akan menyimpan kemudian melepaskan panas lebih cepat pada siang hari. Bangunan-bangunan kota dapat mengurangi efek aliran udara sehingga proses pengangkutan dan penumpukan panas kota menjadi lebih lambat. Kondisi iklim pada lapisan pembatas dicirikan oleh tingkat perubahan permukaan. Permukaan yang didominasi oleh bangunan secara aerodinamik merupakan permukaan yang kasar pada lapisan pembatas kota. Konsekuensinya di dalam lapisan pembatas proses-proses transfer bahang massa dan momentum akan berlangsung sangat efektif (Murdiarso dan Suharsono, 1992). Penutupan lahan oleh bangunan kota menyebabkan kelembaban udara menjadi kecil karena kurangnya permukaan air terbuka untuk trasnpirasi tanaman. Bangunanbangunan tinggi memicu udara untuk naik sehingga memungkinakan peningkatan hujan. Keadaan ini serupa dengan penerimaan hujan di daratan tinggi yang lebih besar karena pengaruh orografis. Aspal, plesteran, atap seng merupakan material yang cepat menyerap dan melepaskan panas sehingga menyebabkan perbedaan kota dan pedesaan. Hilangnya sebagian besar permukaan bervegetasi berlanjut pada berkurangnya air resapan dan menurunkan kelembaban lokal terutama pada kondisi siang hari. Perumahan, gedung, dan kantor membentuk permukaan yang tidak teratur

sehingga memperlambat angin dan melewatkan energi lebih besar oleh permukaan (Sutamiharja, 1992). B. Kelembaban

C. Suhu Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber panas sebagai akibat dari aktivitas dan panas metabolism penduduk. Givoni dalam Adiningsih et al. (2001) mengemukan lima faktor berbeda yang tidak terikat sama lain yang menyebabkan berkembangnya pulau panas: 1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka di sekitarnya. 2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari. 3. Kosentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di perkotaan (transportasi, industri dan sebagainya). 4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan. 5. Sumber panas musiman, yaitu pemanasan dari gedung-gedung pada musim dingin dan pemanasan dari pendingin ruangan pada musim panas yang akhirnya dilepaskan ke udara kota. Menurut Voogt (2002) dalam Effendy (2007), fenomena pulau panas perkotaan merupakan gambaran peningkatan suhu udara di kota pada urban cover layer (UCL) atau lapisan di bawah gedung dan tajuk vegetasi dibandingkan wilayah pinggiran. Pulau panas adalah suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi dari pada suhu udara terbuka di sekitarnya baik di desa maupun pinggir kota (Adiningsih et al, 2001). Pada umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai ke desa. Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3C Kelvin dibandingkan dengan

pinggir kota. Pulau panas terjadi karena adanya perbedaan dalam pemakain energi, penyerapan, dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan (Landsberg, 1981). a. Hubungan ruang terbuka hijau Ruang terbuka hijau diartikan sebagai bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung yang dihasilkan oleh ruang terbuka hijau dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan (Nurisjah et al., 2005) dalam Effendy (2007). Selaian ruang terbuka hijau, badan air juga dapat mengontrol pulau panas perkotaan, karena energy netto secara maksimal digunakan sebagai panas laten lewat evaporasi, sehingga energi untuk memanaskan udara dapat ditekan pada batas jumlah minimal, khususnya pada siang hari, hal ini dibuktikan oleh Shafir dan Alpert (1990) di Jerrusalem, Israel dan di Kota Mexico oleh Oke, et al, (1999) dalam Effendy (2007). Beberapa penelitian tentang penutup lahan dengan suhu yaitu penelitian yang dilakukan oleh Wardhana (2003) menyebutkan bahwa suhu permukaan masingmasing penutup lahan Kota Bogor umumnya meningkat karena adanya penambahan luas pada penutupan lahan industri, lahan terbuka, dan pemukiman yang banyak menghasilkan panas. Sementara itu penutup lahan yang meredam kenaikan suhu seperti vegetasi tinggi/hutan, tanaman semusim, dan tubuh air berkurangnya luasannya sehingga mengakibatkan peningkatan suhu. Namun, ada beberapa lokasi yang menunjukkan ketidaksesuaian antara perubahan suhu dengan jenis penutup lahannya. Tingginya suhu udara di daerah tersebut kemungkinan disebabkan adanya sumber panas lain. Hasil penelitian Khusaini (2008) menyatakan bahwa secara umum di kota Bogor tipe penutupan lahan yang mengalami perluasan yang paling banyak adalah tipe pemukiman. Sejalan dengan meningkatkan penduduk dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar luas pemukiman maka suhu semakin meningkat.

Menurut Effendy (2007) pengurangan atau penambahan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda dimana setiap pengurangan 50% ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0,4 hingga 1,8C, sedangkan penambahan ruang terbuka hijau 50% hanya menurunkan suhu udara

BAB III METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah kota Banda Aceh yang terdiri dari 9 Kecamatan, 20 kelurahan, dan 70 desa. Berikut ini luas dan persentase wilayah kecamatan di Kota Banda Aceh: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Meuraxa Baiturrahman Kuta Alam Syiah Kuala Ulee Kareng Banda Raya Kuta Raja Lueng Bata Jaya Baru JumlahSumber: RTRW Kota Banda Aceh 2006-2016

Kecamatan

Luas (Km2) 7.258 4.539 10.047 14.244 6.150 4.789 5.211 5.341 3.780 61.359

Persentase % 11,83 7,40 16,37 23,21 10,02 7,80 8,49 8,70 6,16 100

Dari kesembilan wilayah kecamatan di Kota Banda Aceh tersebut akan dijadikan sampel dalam penelitian ini untuk menganalisis perubahan penutup lahan terhadap suhu di Kota Banda Aceh yang dilihat dari data citra landsat TM. Dari Sembilan wilayah kecamatan tersebut memiliki karakteristik penutup lahan yang berbeda dan cakupan wilayah tidak terlalu luas, sehingga semua kecamatan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Setiap kecamatan tersebut diklasifikasikan tipe penutupan lahan berdasarkan kenampakan warna pada citra satelit.

B. Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data landsat TM kota Banda Aceh tahun 2012. b. Data suhu udara harian dari setiap kecamatan yang diambil berdasarkan tipe penutup lahannya. c. Peta tataguna lahan Kota Banda Aceh dari tahun 2012. d. Peta rupa bumi kota Banda Aceh. e. Peta administrasi Kota Banda Aceh.

C. Metode Pengolahan Data Pengolahan data Landsat TM secara garis besar meliputi koreksi geometri, klasifikasi suhu udara. Pertama koreksi geometric dari pemilahan band yang menghasilkan date terkoreksi geometric untuk band 2,4,5, dan 7. Kedua klasifikasi penutup lahan yang menghasilkan peta tematik penutup lahan. Ketiga, estimasi suhu udara permukaan yang menghasilkan peta tematik suhu udara. Keempat, analisis distribusi spasial penutup lahan dan suhu udara. 1. Koreksi geometrik dan pemilahan band. a. Pemotongan citra wilayah Kota Banda Aceh yang belum terkoreksi. b. Koreksi geometris citra menggunakan titik acuan Ground Control Point (GCP) dari citra landsat yang sudah terkoreksi maupun peta tata guna lahan. c. Pemisahan data band 2,4,5 (ketiganya pada spectrum tampak, dan band 7 (pada spectrum inframerah dekat). 2. Klasifikasi penutup lahan. Klasifikasi dilakukan terhadap hasil sampling dengan menggunakan metode pengkelas kimiripan (maximum likelihood classification). Metode maximum likelihood classification yaitu metode yang mempertimbangkan kimiripan spectral obyek maksimum, sehingga jika suatu pixel memiliki kedekatan spektral dengan spectral maksimum suatu obyek yang dominan akan dimasukkan menjadi satu kelas dan jika nilai spektralnya jauh dari maksimum akan dimasukkan ke

dalam kelas lain. Dari proses klasifikasi ini akan diperoleh citra kelas tutupan lahan dan persentase tutupan lahan dari masing-masing kelas. Jenis-jenis penutup lahan diklasifikasi menjadi enam kelas yaitu kelas lahan terbangun (pemukiman, industry, jalan/gedung); kelas lahan pertanian (sawah dan lading); kelas lahan terbuka; kelas kebun campuran; kelas semak, rumput, belukar; kelas badan air. 3. Estimasi suhu udara permukaan a. Dari data Landsat TM Band & di ekstrak nilai radiometer count citra dikorelasikan dengan harga suhu dari data aktual. b. Klasifikasi citra dilakukan dengan kisaran suhu di seluruh daerah penelitian menjadi selang-selang suhu. c. Pendigitasian pola suhu udara hasil estimasi Citra Landsat Band 7 dan hasil digitasi dioverlaykan dengan citra penutup lahan Band 5,4, dan 2. d. Hasil overlay dianalisis untuk mengetahui perbedaan suhu udara permukaan akibat adanya perbedaan penutup lahan di setiap kecamatan di Kota Banda Aceh. 4. Analisis statistik Pada tahap akhir akan dilakukan analisis statistik untuk melihat pengaruh tipe penutupan lahan terhadap distribusi spasial suhu udara.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih ES, Hartini S. Mujiasih S. 2001. Kajian Perubahan Distribusi Spasial Suhu Udara Akibat Perubahan Penutup Lahan. Warta LAPAN Vol 3, no 1.29-43. Budihardjo E,S. Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung. pp. 211. Effendy S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanusius. Yogyakarta. Lillesand TM, Kiefer RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogjakarta. Khusaini NI. 2008. Perubahan Penutup Lahan Terhadap Distribusi Suhu Permukaan di Kota Bogor dengan menggunakan Citra Landsat dan Sistem Informasi Geografi. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martono DN. 1996. Pengaruh Perubahan Penutup Lahan Terhadap Iklim Mikro (Studi Kasus Kecamatan Cangkringan Sleman). Majalah LAPAN No. 76 LAPAN Jatim. Murdiarso D, Suharsono H. 1992. Peranan Hutan Kota dalam Pengendalian Sutamihardja. 1992. Efek Rumah Kaca Pada Iklim Perkotaan Sejuta Pohon Untuk Perbaikan Iklim Kota. Prosiding Seminar Sehari Iklim Perkotaan. Perhimpi. KLH EMDI. Jakarta.

2006. RTRT Kotamadya Banda Aceh Tahun 2006-2016. Bappeda Banda Aceh. Aceh Wardhana LDW. 2003. Pengaruh Tipe Penutup Lahan Terhadap DIstribusi Suhu Permukaan di Kota Bogor. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. IPB. Bogor.

PETA ADMINISTRASI KOTA BANDA ACEH