hubungan kepercayaan diri dan dukungan keluarga dengan kecemasan matematika

18
HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KECEMASAN MATEMATIKA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Program Studi Sains Psikologi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Psikologi Oleh: MUH EKHSAN RIFAI S. 300 120 009 MAGISTER SAINS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

Upload: chrysna-nay-na-sinulingga

Post on 25-Sep-2015

37 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

NASKAH PUBLIKASIDiajukan KepadaProgram Studi Sains PsikologiProgram Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakartauntuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna MemperolehGelar Magister dalam Ilmu Psikologi

TRANSCRIPT

  • i

    HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DAN DUKUNGAN

    KELUARGA DENGAN KECEMASAN MATEMATIKA

    NASKAH PUBLIKASI

    Diajukan Kepada Program Studi Sains Psikologi

    Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

    Gelar Magister dalam Ilmu Psikologi

    Oleh:

    MUH EKHSAN RIFAI S. 300 120 009

    MAGISTER SAINS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

  • ii

    HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DAN DUKUNGAN

    KELUARGA DENGAN KECEMASAN MATEMATIKA

    NASKAH PUBLIKASI

    Disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan

    Mencapai derajat Magister Sains Psikologi Kekhususan Psikologi Pendidikan

    Oleh:

    MUH EKHSAN RIFAI S. 300 120 009

    MAGISTER SAINS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

    2014

  • iii

  • 1

    HUBUNGAN KEPERCAYAAN DIRI DAN DUKUNGAN

    KELUARGA DENGAN KECEMASAN MATEMATIKA

    Muh Ekhsan Rifai/NIM S.300120009 Magister Sains Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

    ABSTRACT. The aim of the study is to determine the relationship between confidence and family support with math anxiety. The hypothesis tested is, there is a relationship between confidence and parents support with math anxiety. Kind of research used is quantitative correlation with data collection technique using a scale. Sampling technique used is cluster random sampling. The research location is in the city of Sukoharjo. The data is collected by three scales, namely confidence, parents support and math anxiety. Based on the analysis of the data using multiple regression analysis on confidence, there is a significant relationship between confidence and family support to math anxiety is 60,3%. The result of the research is also obtained a correlation between the value of the confidence with math anxiety (rxly) of -0,758 with the effective contribution of 54, 27%. The value of the correlation between family support with math anxiety (rx2y) is -0,250 with the effective contribution of 6,03%. The result showed that there is a significant relationship between confidence and family support with math anxiety. The result of relationship between confidence and family support is negative to math anxiety. The implication of the research in education is, math anxiety can be reduced by increasing confidence and family support.

    Keywords: confidence, family support, math anxiety

    PENDAHULUAN

    Pendidikan mempunyai

    peran yang penting bagi peningkatan

    kualitas sumber daya manusia. Suatu

    bangsa akan tertinggal dari bangsa

    lain apabila pendidikan rakyatnya

    rendah dan tidak berkualitas.

    Sebaliknya, suatu negara dan bangsa

    akan menjadi maju apabila rakyatnya

    memiliki pendidikan yang tinggi dan

    berkualitas. Tanpa sumber daya

    manusia yang berkualitas, suatu

    bangsa akan tertinggal dari bangsa

    lain dalam percaturan dan persaingan

    kehidupan global yang makin

    kompetitif. Kualitas sumber daya

    manusia salah satunya dapat

    diketahui berdasarkan kualitas

    pendidikan suatu bangsa. Maju dan

    mundurnya suatu bangsa juga dapat

  • 2

    diketahui berdasarkan kualitas

    pendidikan.

    Salah satu wujud dari

    kemajuan suatu negara adalah

    dengan adanya kemajuan di bidang

    teknologi. Kemajuan teknologi akan

    ada ketika kemajuan dalam bidang

    science juga mengalami kemajuan,

    termasuk di dalamnya ilmu

    matematika. Matematika merupakan

    salah satu disiplin ilmu yang sangat

    berkembang pesat dalam mening-

    katkan kemajuan suatu negara.

    Pengembangan matematika

    tidak lepas dari bagaimana

    matematika diajarkan lembaga

    pendidikan. Pendidikan matematika

    di sekolah merupakan fondasi kuat

    dalam pengembangan matematika di

    suatu negara, termasuk Indonesia.

    Usaha Indonesia dalam pengembang-

    an sains dan matematika terlihat dari

    pemberian mata pelajaran

    matematika sejak dini. Nawangsari

    (2001) berpendapat pemfokusan

    pelajaran matematika disebabkan

    matematika merupakan dasar untuk

    mengembangkan ilmu sehingga

    mutlak diperlukan tenaga yang

    terampil dan pandai dalam

    matematika. Bila perkembangan ilmu

    matematika dapat berjalan sesuai

    dengan yang diharapkan maka akan

    diperoleh generasi yang berkualitas

    di masa yang akan datang. Namun,

    usaha tidak selalu sama dengan yang

    diharapkan. Terkadang hambatan

    tersebut muncul, baik dari dalam diri

    peserta didik maupun dari

    lingkungan sekitar atau bahkan dari

    matematika itu sendiri karena sudah

    tidak dapat disangkal lagi bahwa

    matematika bukan ilmu yang mudah

    untuk dipelajari. Bila hambatan-

    hambatan tersebut tidak segera

    ditanggulangi maka hambatan-

    hambatan tersebut dapat menim-

    bulkan kecemasan pada bidang

    matematika.

    Russel (2010) menyatakan

    bahwa kecemasan matematika tidak

    jauh berbeda dengan demam

    panggung (stagefright), atau dapat

    digambarkan ketika seorang artis

    merasa takut untuk menghadapi

    banyak orang. Sedangkan kecemasan

    matematika muncul ketika kurang

    percaya diri dalam menyelesaikan

    masalah-masalah matematika.

    Seringkali kecemasan matematika

    muncul karena pikiran-pikiran

    negatif siswa atau pengalaman yang

    memalukan ketika belajar matema-

    tika ataupun juga karena guru yang

  • 3

    mengajar di tahun sebelumnya.

    Kecemasan matematika ini dapat

    menjadi hambatan bagi seseorang

    untuk bisa memahami matematika.

    Hasil studi pendahuluan pada

    tanggal 16 Desember 2013 di SMA

    XX Sukoharjo yang dilakukan

    dengan meminta siswa kelas XI IPS

    mengisi angket tentang jenis mata

    pelajaran yang paling sulit

    menunjukkan bahwa sebanyak 34 %

    siswa menganggap matematika

    sebagai pelajaran yang sulit.

    Matematika memiliki persentase

    paling besar jika dibandingkan

    dengan mata pelajaran yang lain.

    Urutan pelajaran dari pelajaran yang

    paling sulit adalah matematika,

    bahasa Inggris, sejarah, pendidikan

    kewarganegaraan, bahasa Indonesia,

    pendidikan agama, penjasorkes, seni

    budaya, dan TIK. Persentase mata

    pelajaran yang sulit menurut siswa

    kelas XI IPS SMA XX Sukoharjo

    tersaji pada Tabel 1.1.

    Tabel 1. Persentase Mata Pelajaran yang Sulit Menurut Siswa Kelas XI

    IPS SMA XX Sukoharjo.

    Kode Jenis Mata Pelajaran (dalam %)

    1 2 3 4 5 6 7 8 9

    Persentase 34 5 5 11 21 13 3 3 5

    Keterangan: 1: Matematika, 2: Bahasa Indonesia, 3: Pendidikan Agama, 4: Pendidikan Kewarganegaraan, 5: Bahasa Inggris, 6: Sejarah, 7: Seni Budaya, 8: TIK, dan 9: Penjasorkes.

    Berdasarkan hasil peng-

    ukuran juga menunjukkan bahwa

    sebanyak 88 % siswa mengalami

    kecemasan ketika menghadapi mata

    pelajaran matematika. Adapun 12 %

    siswa tidak mengalami kecemasan

    ketika menghadapi mata pelajaran

    matematika.

    Tabel 2. Persentase Kecemasan Ketika Menghadapi Mata Pelajaran

    Matematika Menurut Siswa Kelas XI IPS SMA XX Sukoharjo.

    Kondisi Siswa

    Cemas Tidak Cemas Persentase 88 % 12 %

    Sebagian besar anak meng-

    anggap matematika sebagai mata

    pelajaran yang sulit. Selain itu,

    beberapa anak minder dan tidak

    percaya diri dalam mengikuti

    pelajaran matematika. Jika mereka

    diminta maju untuk mengerjakan

    soal di papan tulis, mereka dengan

    cepat mengatakan tidak bisa sebelum

    mencobanya atau bahkan meminta

    agar teman lain saja yang menger-

    jakan. Berdasarkan hal-hal inilah,

    penulis menduga bahwa kepercayaan

    diri siswa terhadap mata pelajaran

    matematika rendah. Kepercayaan diri

    yang rendah tersebut dapat

    menyebabkan terjadinya ketakutan

    pada matematika.

  • 4

    Ketakutan pada pelajaran

    matematika pada akhirnya memicu

    terjadinya kecemasan. Hal ini juga

    dirasakan oleh siswa-siswi di SMA

    XX Sukoharjo. Terlebih lagi,

    matematika merupakan salah satu

    mata Ujian Nasional (UN). Harapan

    untuk lulus dalam mata pelajaran

    tersebut datang bukan hanya dari

    siswa saja, tetapi juga dari guru

    maupun orang tua. Keinginan untuk

    mewujudkan harapan tersebut

    seringkali menambah beban

    kecemasan pada siswa, di mana

    mereka merasa tertekan dengan

    banyaknya latihan-latihan dan tugas-

    tugas yang diberikan oleh guru,

    tambahan-tambahan pelajaran di

    sekolah maupun di rumah. Siswa

    yang mengalami kecemasan

    matematika menunjukkan sikap

    enggan belajar, merasa rendah diri,

    merasa tidak ada artinya belajar

    matematika, kebingungan, gugup,

    gelisah, khawatir, serta mengalami

    gangguan fisiologis (Nawangsari,

    2001).

    Dukungan keluarga sangat

    bermanfaat dalam pengendalian

    seseorang terhadap tingkat

    kecemasan dan dapat pula

    mengurangi tekanan-tekanan yang

    ada pada konflik yang terjadi pada

    dirinya. Dukungan tersebut berupa

    dorongan, motivasi, empati, ataupun

    bantuan yang dapat membuat

    individu yang lainnya merasa lebih

    tenang dan aman. Dukungan

    didapatkan dari keluarga yang terdiri

    dari suami, orang tua, ataupun

    keluarga dekat lainnya. Dukungan

    keluarga dapat mendatangkan rasa

    senang, rasa aman, rasa puas, rasa

    nyaman dan membuat orang yang

    bersangkutan merasa mendapat

    dukungan emosional yang akan

    mempengaruhi kesejahteraan jiwa

    manusia. Dukungan keluarga

    berkaitan dengan pembentukan

    keseimbangan mental dan kepuasan

    psikologis.

    LANDASAN TEORI

    Zbornik (2001) mendefinisi-

    kan kecemasan matematika sebagai

    gejala spesifik yang tersusun dari

    komponen kecemasan terhadap tes

    meliputi kekhawatiran (worry)

    merupakan aspek kognitif dari

    kecemasan, dan aspek emosional

    (emotionality) serta sebuah aspek

    unik yaitu kecemasan yang

    berhubungan dengan bilangan.

    Kecemasan pada tes matematika

  • 5

    menunjuk pada kecemasan akan

    antisipasi, mengambil, dan menerima

    hasil tes.

    Math anxiety sering diartikan

    sebagai perasaan cemas terhadap

    matematika. Kecemasan matematika

    (math anxiety) didefinisikan sebagai

    perasaan ketegangan dan kecemasan

    yang mengganggu terkait manipulasi

    angka dan pemecahan masalah

    matematika dalam berbagai

    kehidupan sehari-hari maupun situasi

    akademik. Kecemasan matematika

    dapat menyebabkan lupa dan

    kehilangan akan kepercayaan diri

    (Tobias. S, 1993). Menurut Wood

    (2012), kecemasan matematika

    adalah fenomena yang relatif sering

    berhubungan dengan prestasi

    matematika. Adapun menurut

    Ashcraft (2009) kecemasan

    matematika adalah reaksi negatif

    seseorang terhadap situasi yang

    melibatkan angka, matematika, dan

    perhitungan matematika.

    Kecemasan matematika

    dapat diketahui berdasarkan gejala

    yang terjadi. Gejala kecemasan

    matematika menurut Cavanagh &

    Sparrow (2011) adalah:

    1. Gejala secara psikologis,

    meliputi perasaan dari

    ketegangan, ketakutan dan

    kehawatiran kepercayaan diri

    yang rendah, cara pandang

    negatif terhadap pembelajaran

    matematika, merasa terancam,

    gagal untuk meraih potensi,

    sertaterjadi reduksi dalam daya

    ingat.

    2. Gejala secara fisik, meliputi

    tangan berkeringat, jantung

    berdebar, muak, serta kesulitan

    dalam bernapas.

    Haber dan Runyon (dalam

    Suryani, 2007) bahwa jika seseorang

    mengalami perasaan gelisah, gugup,

    atau tegang dalam menghadapi suatu

    situasi yang tidak pasti, berarti orang

    tersebut mengalami kecemasan, yaitu

    ketakutan yang tidak menyenangkan,

    atau suatu pertanda sesuatu yang

    buruk akan terjadi. Harber dan

    Runyon mengemukakan empat

    dimensi kecemasan, yaitu:

    1. Dimensi kognitif, yaitu perasaan

    tidak menyenangkan yang

    muncul dalam pikiran seseorang

    sehingga ia mengalami rasa risau

    dan khawatir. Kekhawatiran ini

    dapat terbentang mulai dari

    tingkat khawatir yang ringan, lalu

    panik, cemas, dan merasa akan

    terjadi malapetaka. Saat individu

  • 6

    mengalami kondisi ini ia tidak

    dapat berkonsentrasi, mengambil

    keputusan, dan mengalami

    kesulitan untuk tidur.

    2. Dimensi motorik, yaitu perasaan

    tidak menyenangkan yang

    muncul dalam bentuk tingkah

    laku, seperti meremas jari,

    menggeliat, menggigit bibir,

    menjentikkan kuku, dan gugup.

    3. Dimensi somatik, yaitu perasaan

    tidak menyenangkan yang

    muncul dalam reaksi fisik

    biologis, seperti mulut terasa

    kering, kesulitan bernapas,

    berdebar, tangan dan kaki dingin,

    pusing seperti hendak pingsan,

    banyak keringat, tekanan darah

    naik, otot tegang terutama kepala,

    leher, bahu, dan dada, serta sulit

    mencerna makanan.

    4. Dimensi afektif yaitu perasaan

    tidak menyenangkan yang

    muncul dalam bentuk emosi,

    perasaan tegang karena luapan

    emosi yang berlebihan seperti

    dihadapkan pada suatu teror.

    Luapan emosi ini biasanya

    berupa kegelisahan atau

    kekhawatiran bahwa ia dekat

    dengan bahaya padahal

    sebenarnya tidak terjadi apa-apa.

    Menurut Alsa (2006),

    kepercayaan diri diartikan sebagai

    suatu keyakinan seseorang untuk

    mampu berperilaku sesuai dengan

    yang diharapkan dan diinginkan.

    Apabila seseorang tidak memiliki

    kepercayaan diri maka banyak

    masalah akan timbul karena

    kepercayaan diri merupakan aspek

    kepribadian dari seseorang yang

    berfungsi penting untuk

    mengaktualisasikan potensi yang

    dimilikinya. Kepercayaan diri adalah

    satu aspek kepribadian yang

    terbentuk melalui interaksi individu

    dengan lingkungannya.

    Menurut George dan

    Cristian, kepercayaan pada diri

    sendiri adalah kemampuan berpikir

    rasional (rational belief) berupa

    keyakinan-keyakinan, ide-ide dan

    proses berpikir yang tidak

    mengandung unsur keharusan yang

    menuntut individu sehingga

    menghambat proses perkembangan

    dan ketika menghadapi problem atau

    persoalan mampu berpikir, menilai,

    menimbang, menganalisa, memu-

    tuskan, dan melakukan. Rasa percaya

    diri (self-confidence) adalah dimensi

    evaluatif yang menyeluruh dari diri.

    Rasa percaya diri juga disebut

  • 7

    sebagai harga diri atau gambaran diri

    (Santrock, 2003).

    Kepercayaan diri terdiri atas

    beberapa aspek. Menurut Lauster

    (2002), aspek-aspek kepercayaan

    diri meliputi:

    1. Optimis, merupakan sikap positif

    seseorang yang selalu berpan-

    dangan baik dalam menghadapi

    segala hal tentang diri, harapan

    dan kemampuan.

    2. Keyakinan pada kemampuan

    sendiri, merupakan sikap positif

    seseorang yang mengerti dengan

    sungguh-sungguh akan apa yang

    dilakukannya.

    3. Toleransi, adalah sikap meng-

    hargai, menenggang, tidak mau

    capur tangan serta membiarkan

    tindakan, sikap dan pendapat

    orang lain.

    4. Ambisi normal, adalah suatu

    keadaan seseorang yang memiliki

    keinginan untuk mencapai segala

    sesuatu yang dicita-citakan.

    5. Tanggung jawab, merupakan

    kesediaan seseorang untuk

    menanggung segala sesuatu yang

    telah menjadi konsekuensinya.

    6. Rasa aman, adalah keadaan

    seseorang yang merasa tidak

    takut dan khawatir mengenai

    pemuasan kebutuhannya

    dikemudian hari dan mampu

    menghadapi segala sesuatu

    dengan tenang.

    7. Mandiri, adalah sikap positif

    seseorang untuk tidak bergantung

    pada orang lain.

    8. Mudah menyesuaikan diri,

    merupakan sikap positif yang

    dimiliki oleh seseorang

    untukmelakukan interaksi dengan

    lingkungan sekitarnya sehingga

    merasa sesuai dan cocok dengan

    lingkungan tersebut.

    Dukungan keluarga diartikan

    sebagai bantuan yang diberikan oleh

    anggota keluarga yang lain sehingga

    akan memberikan kenyamanan fisik

    dan psikologis pada orang yang

    dihadapkan pada situasi stres

    (Taylor, 2006). Aspek dukungan

    keluarga menurut Sarafino (2004),

    Hensarling (2009) adalah:

    1. Aspek empathethic (emosional)

    Aspek dukungan ini

    melibatkan ekspresi, rasa empati

    dan perhatian terhadap

    seseorang sehingga membuatnya

    merasa lebih baik, memperoleh

    kembali keyakinannya, merasa

    dimiliki dan dicintai pada saat

    stres. Komunikasi dan interaksi

  • 8

    antara anggota keluarga

    diperlukan untuk memahami

    situasi anggota keluarga.

    2. Aspek encouragement (peng-

    hargaan)

    Aspek ini terjadi melalui

    ekspresi berupa sambutan yang

    positif dengan orang-orang di

    sekitarnya, dorongan atau

    pernyataan setuju terhadap ide-

    ide atau perasaan individu.

    Perbandingan yang positif

    dengan orang lain seperti

    pernyataan bahwa orang lain

    mungkin tidak dapat bertindak

    lebih baik. Dukungan ini

    membuat seseorang merasa

    berharga, kompeten dan

    dihargai.

    3. Aspek facilitative (instrumental)

    Aspek facilitative (instru-

    mental) merupakan dukungan

    yang bersifat nyata, di mana

    dukungan ini berupa bantuan

    langsung, contoh seseorang

    memberikan/meminjamkan

    uang. Dukungan ini dapat juga

    berupa bantuan mengerjakan

    tugas tertentu pada saat

    mengalami stres. Aspek ini

    memperlihatkan dukungan dari

    keluarga dalam bentuk nyata

    terhadap ketergantungan anggota

    keluarga.

    4. Aspek participative (partisipasi)

    Dukungan ini berupa

    pemberian saran percakapan

    atau umpan balik tentang

    bagaimana seseorang melakukan

    sesuatu, misalnya ketika

    seseorang mengalami kesulitan

    dalam pengambilan keputusan,

    dia akan menerima saran dan

    umpan balik tentang ide-ide dari

    keluarganya. Menurut Peterson

    & Bredow (2009), aspek

    partisipasi ini terdiri dari

    pemberian nasihat, pengarahan,

    atau keterangan yang diperlukan

    oleh individu yang bersangkutan

    serta untuk mengatasi masalah-

    masalah pribadinya.

    Berdasarkan beberapa teori

    yang telah diuraikan, maka hipotesis

    dalam penelitian ini adalah Ada

    hubungan kepercayaan diri dan

    dukungan keluarga dengan

    kecemasan matematika. Adapun

    hipotesis minornya adalah:

    1. Ada hubungan negatif

    kepercayaan diri dengan

    kecemasan matematika. Artinya,

  • 9

    makin tinggi kepercayaan diri,

    maka kecemasan matematika

    makin rendah.

    2. Ada hubungan negatif dukungan

    keluarga dengan kecemasan

    matematika. Artinya, makin

    tinggi dukungan keluarga, maka

    kecemasan matematika makin

    rendah.

    METODE PENELITIAN

    Variabel bebas dalam

    penelitian ini adalah kepercayaan diri

    dan dukungan keluarga. Adapun

    variabel tergantungnya adalah

    kecemasan matematika.

    Populasi adalah seluruh

    subyek penelitian (Arikunto, 2010).

    Populasi pada penelitian ini adalah

    peserta didik kelas XI IPS di SMA

    XX Sukoharjo yang terbagi dalam 5

    kelas.

    Sampel dalam penelitian ini

    berjumlah 132 siswa yang terkumpul

    dalam 4 kelas XI IPS Sekolah

    Menengah Atas di SMA XX

    Sukoharjo Tahun Ajaran 2013/2014.

    Sampel dipilih secara acak.

    Teknik pengambilan sampel

    dalam penelitian ini menggunakan

    teknik studi populasi, yaitu teknik

    pengambilan sampel yang dilakukan

    dengan mengambil semua elemen

    yang ada dalam wilayah penelitian

    (Sabar, 2007).

    Metode pengumpulan data

    dalam penelitian ini adalah meng-

    gunakan kuesioner, sedangkan

    instrumen penelitian dalam

    penelitian ini dengan menggunakan

    skala.

    Skala yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah skala kecemasan

    matematika, skala kepercayaan diri,

    dan skala dukungan keluarga yang

    akan dibuat sendiri oleh peneliti.

    Skala kecemasan matematika dibuat

    berdasarkan aspek kognitif dan aspek

    emosional (Zbornik, 2001). Skala

    kepercayaan diri dibuat berdasarkan

    aspek optimis, keyakinan pada

    kemampuan sendiri, toleransi, ambisi

    normal, tanggung jawab, rasa aman,

    mandiri, dan mudah menyesuaikan

    diri (Lauster, 2002). Adapun skala

    dukungan keluarga diperoleh

    berdasarkan aspek emosional, aspek

    penghargaan, aspek instrumental,

    dan aspek partisipasi (Hensarling,

    2009).

    Analisis data dilakukan

    dengan bantuan program komputer

    Statistical Packages for Social

    Science (SPSS) Versi 17.0.

  • 10

    HASIL PENELITIAN

    Berdasarkan hasil analisis data menggunakan SPSS Versi 17.0 dapat

    dirangkum pada Tabel 3.

    Tabel 3.Rangkuman Hasil Analisis Data. Analisis Variabel Nilai Interpretasi

    Hasil Anareg

    Kecemasan matematika dengan kepercayaan diri dan dukungan keluarga Kepercayaan diri dengan kecemasan matematika

    Koefisien R=0,776 (p=0.000;p

  • 11

    PEMBAHASAN

    Hasil analisis regresi

    berganda dengan menggunakan

    program SPSS 17 for Windows,

    diperoleh nilai koefisien korelasi R =

    0,776; F regresi = 97,773; p = 0,000

    (p < 0,01). Berarti ada hubungan

    yang sangat signifikan antara

    kepercayaan diri dan dukungan

    keluarga dengan kecemasan

    matematika. Berdasarkan hasil

    analisis tersebut menunjukkan bahwa

    hipotesis yang berbunyi ada

    hubungan antara kepercayaan diri

    dengan kecemasan matematika

    diterima.

    Menurut Lauster (2002),

    kepercayaan diri merupakan suatu

    sikap atau keyakinan atas

    kemampuan diri sendiri sehingga

    dalam tindakan-tindakannya tidak

    terlalu cemas, merasa bebas untuk

    melakukan hal-hal yang sesuai

    keinginan dan tanggung jawab atas

    perbuatannya, sopan dalam

    berinteraksi dengan orang lain,

    memiliki dorongan prestasi, serta

    dapat mengenal kelebihan dan

    kekurangan diri sendiri. Lauster

    menggambarkan bahwa orang yang

    mempunyai kepercayaan diri

    memiliki ciri-ciri tidak memen-

    tingkan diri sendiri (toleransi), tidak

    membutuhkan dorongan orang lain,

    optimis, dan gembira.

    Hakim (2002), memperkuat

    penelitian ini dengan mengung-

    kapkan ciri-ciri yang tampak pada

    individu yang kurang memiliki

    kepercayaan diri, seperti mudah

    cemas dalam menghadapi persoalan

    dengan tingkat kesulitan tertentu,

    gugup dan terkadang bicara gagap,

    sering bereaksi negatif dalam

    menghadapi masalah, misalnya

    dengan menghindari tanggung jawab

    atau mengisolasi diri, yang

    menyebabkan rasa tidak percaya

    dirinya semakin buruk. Untuk

    meningkatkan kepercayaan diri,

    dapat dilakukan dengan cara-cara

    berikut.

    1. Mengenali kepribadian klien

    dengan baik dengan segala

    kelebihan dan kekurangannya.

    2. Menelusuri pemahaman klien

    terhadap kelebihan-kelebihan

    yang dimiliki dan keyakinannya

    untuk berbuat sesuatu dengan

    memanfaatkan kelebihan yang

    dimiliki itu.

    3. Pemahaman dan reaksi positif

    klien terhadap kelemahan-

    kelemahan yang dimilikinya.

  • 12

    4. Pengalaman responden dalam

    menjalani berbagai aspek

    kehidupan dengan menggunakan

    segala kelebihan yang ada pada

    dirinya sehingga tidak menim-

    bulkan rasa sulit menyesuaikan

    diri.

    Kecemasan timbul karena

    keadaan di mana individu merasa

    terancam oleh salah satu hal yang

    dianggapnya menakutkan dan

    menyakitkan yang berasal dari luar

    maupun dari dalam (di sini individu

    mengalami kecemasan ketika

    menghadapi pelajaran matematika).

    Akibatnya, timbul kekhawatiran,

    kegelisahan yang menganggu

    ketenangan dan kesehatan yang

    terkadang menimbulkan kekacauan

    fisik.

    Berkaitan pula dengan salah

    satu faktor yang memengaruhi

    kecemasan, yaitu faktor kognitif di

    mana faktor ini menjelaskan bahwa

    kecemasan dititikberatkan pada

    proses persepsi atau tingkah laku

    yang mungkin menganggu

    pertimbangan atau perkiraan

    seseorang tentang bahaya yang dia

    hadapi. Seseorang mungkin juga

    berlebihan dalam mempertimbang-

    kan alam atau kenyataan dari

    ancaman atau ketidakmampuan

    dirinya untuk mengatasi ancaman

    dengan cara yang efektif.

    Ketika seseorang yang

    mengalami kecemasan yang

    dipengaruhi oleh faktor kognitif

    maka orang tersebut akan mengalami

    proses persepsi atau tingkah laku

    yang mungkin menganggu

    pertimbangan atau perkiraan

    seseorang tentang bahaya yang

    dihadapi. Secara sederhana, orang

    tersebut mengalami sebuah

    perubahan dalam hal berpikir dan

    berperilaku. Begitu juga pada orang

    yang yang mengalami kecemasan

    terhadap pelajaran matematika di

    mana orang tersebut dapat

    kehilangan rasa percaya dirinya.

    Pelajaran matematika dapat dianggap

    sebagai sebuah bahaya yang sedang

    dihadapi sehingga timbul kecemasan

    dan hilangnya kepercayaan diri.

    Ketika seseorang meng-

    alami kecemasan terhadap pelajaran

    matematika maka kepercayaan diri

    yang kurang dapat memperkuat

    kecemasan yang sedang dialami

    karena salah satu hal yang

    berhubungan dengan kecemasan

    adalah tingkat kepercayaan diri

    seseorang. Namun, bagi orang yang

  • 13

    memiliki tingkat kepercayaan diri

    yang tinggi, kecemasan menjadi

    lemah atau berkurang karena

    gangguan kecemasan berupa

    kurangnya rasa percaya diri itu tidak

    memperkuat kecemasan atau

    mengkondisikan kecemasan.

    Hasil analisis koefisien

    determinasi didapat nilai R2 = 0,603

    (60,3 %). Hal ini menunjukkan

    bahwa peranan atau sumbangan

    efektif dari kepercayaan diri dan

    dukungan keluarga terhadap

    kecemasan matematika adalah

    sebesar 60,3 %. Sedangkan sisanya

    (39,7 %) dapat dipengaruhi atau

    dijelaskan oleh variabel-variabel lain

    di luar variabel kepercayaan diri dan

    dukungan keluarga, misalnya peran

    dan model guru mengajar, serta

    konsep diri siswa.

    Berdasarkan perhitungan

    menunjukkan bahwa sumbangan

    efektif kepercayaan diri terhadap

    kecemasan matematika adalah 54,27

    %. Adapun sumbangan dukungan

    keluarga terhadap kecemasan

    matematika sebesar 6,03 %. Total

    sumbangan efektif kepercayaan diri

    dan dukungan keluarga terhadap

    kecemasan matematika adalah

    sebesar 60,3 %.

    Sumbangan efektif dukung-

    an keluarga terhadap kecemasan

    matematika rendah dapat

    dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu

    karena orang tua yang memang

    jarang memberikan dukungan kepada

    anak-anaknya dan siswa yang kurang

    memperhatikan bentuk dukungan

    orang tua kepada dirinya. Beberapa

    siswa merasa orang tuanya tidak

    pernah menanyakan kesulitannya

    pada pelajaran di sekolah, orang

    tuanya tidak memberi bantuan ketika

    mereka menemui kesulitan pada

    pelajaran di sekolah, dan orang

    tuanya tidak pernah member-

    kan penghargaan baik berupa hadiah

    maupun pujian ketika mereka

    mencapai prestasi. Hal ini

    mengindikasikan rendahnya persepsi

    siswa mengenai dukungan sosial

    orang tua.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Berdasarkan hasil analisis

    data dan pembahasan dari penelitian

    ini, maka dapat disimpulkan bahwa

    hipotesis mayor yang diajukan teruji.

    Ada hubungan yang sangat

    signifikan antara kepercayaan diri

    dan dukungan keluarga dengan

    kecemasan matematika. Makin tinggi

  • 14

    kepercayaan diri dan dukungan

    keluarga, maka makin rendah

    kecemasan matematika.

    Hipotesis minor pertama

    yang diajukan penelitian juga teruji.

    Ada hubungan negatif yang sangat

    signifikan antara kepercayaan diri

    dengan kecemasan matematika.

    Makin tinggi kepercayaan diri siswa,

    maka makin rendah kecemasan

    matematika pada siswa. Hipotesis

    minor kedua juga teruji. Ada

    hubungan negatif yang sangat

    signifikan antara dukungan keluarga

    dengan kecemasan matematika.

    Makin tinggi dukungan keluarga,

    maka makin rendah kecemasan

    matematika.

    Hasil penelitian ini diha-

    rapkan mampu memberikan kons-

    tribusi bagi siswa, orang tua, dan

    sekolah. Siswa diharapkan dapat

    mempertahankan kepercayaan diri

    yang tinggi. Caranya, antara lain

    dengan yakin terhadap kemampuan

    diri sendiri, memiliki penilaian yang

    positif terhadap diri sendiri, serta

    bertindak mandiri. Berbekal

    kepercayaan diri yang baik maka

    dapat membantu siswa dalam meng-

    atasi kecemasan matematika.

    Orang tua diharapkan lebih

    memperhatikan, membimbing, dan

    memberikan dukungan terhadap

    anaknya dalam masalah pendidikan.

    Ketika mengalami krisis percaya diri

    dan kecemasan terhadap masalah

    pendidikan, orang tua harus mampu

    memberikan dukungan (mensuport).

    Orang tua juga diharapkan senantiasa

    menghargai prestasi putra-putri yang

    telah mereka raih.

    Sekolah mempunyai peran

    yang sangat penting terhadap

    perkembangan siswa-siswinya. Pihak

    sekolah diharapkan dapat membantu

    meningkatkan kepercayaan diri pada

    setiap siswanya, khususnya ketika

    mengalami kecemasan menghadapi

    suatu jenis mata pelajaran. Salah

    satunya adalah ketika mengalami

    kecemasan matematika.

    DAFTAR PUSTAKA Alsa, A. (2006). Hubungan Antara

    Dukungan Sosial Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Remaja Penyandang Cacat Fisik. Jurnal Psikologi, 1, 47-58.

    Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

    Ashcraft, M.H., and Alex M. Moore. (2009). Mathematics Anxiety and the Affective Drop in

  • 15

    Performance. Journal of Psychoeducational Assessment, 27; 197-207 DOI: 10.1177/0734282908330580

    Cavanagh & Sparrow, (2011). Mathematics Anxiety: Scaffolding A New Construct Model. Mathematics: Traditions and [New] Practices. http://www.questia.com

    Hakim, T. (2002). Mengatasi Rasa Tidak Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.

    Hensarling, J. (2009). Development and psychometric Testing of Henserlings Diabeter Family Support Scale, a Dissertation. Degree of Doctor of Psilodophy in The Graduate School of The Texas Womens University. Diakses dari www.proquest.com pada tanggal 8 Agustus 2013

    Lauster, P. (2002). Tes Kepribadian (Alih Bahasa: D.H Gulo). Edisi Bahasa Indonesia. Cetakan Ketigabelas. Jakarta: Bumi Aksara.

    Nawangsari, N.A.F. (2001). Pengaruh Self Efficacy dan Expectancy-Value terhadap Kecemasan Menghadapi Pelajaran Matematika. Jurnal Insan Media Psikologi, 3, 75-88.

    Peterson, Sandra J. & Bredow, Timothy S. (2009). Middle Range Theories, Application to Nursing Research. Second edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.

    Russel, D. (2010). Math Anxienty (online). Tersedia http://math. about.com

    Safarino, E.P. (2004). Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. (2 nd). New York: John Wilky and Sons Inc.

    Santrock, J.W. (2003). Adolecense (Perkembangan Remaja). Terjemahan oleh Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

    Suryani, A.O. (2007). Gambaran Sikap terhadap Hidup Melajang dan Kecemasan akan Ketidakhadiran Pasangan pada Wanita Lajang Berusia di Atas 30 Tahun. Jurnal Ilmiah Psikologi Manasa, 1, 75-93.

    Taylor, S. (2006). Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Predana Media.

    Tobias, Sheila. (1993). Overcoming Math Anxiety: Revised and Expanded. New York: W.W.Norton & Company.

    Wood, G., Pedro Pinheiro-Chagas, Annelise Julio-Costa, Letcia RettoreMicheli, Helga Krinzinger, Liane Kaufmann, KlausWillmes, and Vitor Geraldi Haase. (2012). Math Anxiety Questionnaire: Similar Latent Structure in Brazilian and German School Children. Hindawi Publishing Corporation Child Development Research. 2012, 1-10 DOI:10.1155/2012/610192

    Zbornik, J. (2001). Make Sure Your Math Anxiety Diagnosis, Remediation Add Up. http://www.lkwpdl.org/schools/specialed/zbornik2.htm.12/8/2007.