hubungan dagang indonesia australia

26
1 Bab I PENDAHULUAN Sebagai salah satu negara dengan kekuatan menengah di kawasan Asia Pasifik, Australia memiliki sejarah dan hubungan luar negeri yang dinamis terhadap negara-negara di kawasan tersebut, khususnya terhadap negara-negara Asia Tenggara. Asia Tenggara memiliki arti yang penting bagi Australia dalam berbagai aspek, termasuk politik, keamanan, perdagangan, pendidikan dan industri. 1 Penting untuk dicatat bahwa hubungan antara Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan Australia dalam aspek perdagangan maupun kerja sama ekonomi lainnya telah menempuh sebuah proses evolusi yang panjang dan sangat menarik. Tesis ini akan berfokus pada hubungan ASEAN- Australia dalam aspek kerja sama ekonomi yang dianalisis melalui perspektif ekonomi politik. Dalam membahas aspek ekonomi tersebut diperlukan paparan awal tentang perkembangan hubungan ekonomi ASEAN-Australia. A. Dinamika Strategi Perdagangan Australia Berbeda dengan aspek politik dan keamanan, hubungan ASEAN-Australia dalam aspek ekonomi telah menempuh beberapa tahap proses pendekatan yang relatif kompleks dan beragam. Menarik untuk dilihat bahwa bagi Australia, khususnya dalam periode pasca perang, hubungan dengan ASEAN cenderung berfokus pada aspek politik dan keamanan. Kontestasi pengaruh kekuatan dalam Perang Dingin, khususnya upaya Uni Soviet dalam memperluas pengaruh komunisme di Asia Tenggara, di mana beberapa negara dalam kawasan tersebut sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam, menjadikan hubungan ASEAN-Australia memiliki peran yang semakin penting untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan. Pada masa awal pendirian ASEAN di akhir tahun 1960-an, Australia memandang perlunya pendampingan pembangunan ekonomi dalam kawasan sebagai instrumen membendung pengaruh komunisme yang datang dari utara, dibanding dengan membuka akses ASEAN bagi pasar 1 Hal ini terlihat, misalnya, dari peran Australia yang telah menjadi mitra wicara pertama bagi ASEAN sejak tahun 1974 dengan pembentukan ASEAN-Australia Consultative Meetings (AACM) sebagai penanda kerja sama tersebut. Sejak pertemuan AACM, mekanisme dialog ASEAN-Australia terus berkembang hingga saat ini dalam bentuk forum, komite, konferensi maupun kelompok kerja pada berbagai tingkatan.

Upload: adhe-yustian

Post on 24-Dec-2015

40 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

good to read

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Dagang Indonesia Australia

1

Bab I

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu negara dengan kekuatan menengah di kawasan Asia Pasifik,

Australia memiliki sejarah dan hubungan luar negeri yang dinamis terhadap negara-negara

di kawasan tersebut, khususnya terhadap negara-negara Asia Tenggara. Asia Tenggara

memiliki arti yang penting bagi Australia dalam berbagai aspek, termasuk politik,

keamanan, perdagangan, pendidikan dan industri.1 Penting untuk dicatat bahwa hubungan

antara Association of South East Asian Nations (ASEAN) dan Australia dalam aspek

perdagangan maupun kerja sama ekonomi lainnya telah menempuh sebuah proses evolusi

yang panjang dan sangat menarik. Tesis ini akan berfokus pada hubungan ASEAN-

Australia dalam aspek kerja sama ekonomi yang dianalisis melalui perspektif ekonomi

politik. Dalam membahas aspek ekonomi tersebut diperlukan paparan awal tentang

perkembangan hubungan ekonomi ASEAN-Australia.

A. Dinamika Strategi Perdagangan Australia

Berbeda dengan aspek politik dan keamanan, hubungan ASEAN-Australia dalam

aspek ekonomi telah menempuh beberapa tahap proses pendekatan yang relatif kompleks

dan beragam. Menarik untuk dilihat bahwa bagi Australia, khususnya dalam periode pasca

perang, hubungan dengan ASEAN cenderung berfokus pada aspek politik dan keamanan.

Kontestasi pengaruh kekuatan dalam Perang Dingin, khususnya upaya Uni Soviet dalam

memperluas pengaruh komunisme di Asia Tenggara, di mana beberapa negara dalam

kawasan tersebut sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan, seperti Indonesia,

Malaysia, Filipina dan Vietnam, menjadikan hubungan ASEAN-Australia memiliki peran

yang semakin penting untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan. Pada masa awal

pendirian ASEAN di akhir tahun 1960-an, Australia memandang perlunya pendampingan

pembangunan ekonomi dalam kawasan sebagai instrumen membendung pengaruh

komunisme yang datang dari utara, dibanding dengan membuka akses ASEAN bagi pasar

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!1 Hal ini terlihat, misalnya, dari peran Australia yang telah menjadi mitra wicara pertama bagi ASEAN

sejak tahun 1974 dengan pembentukan ASEAN-Australia Consultative Meetings (AACM) sebagai penanda kerja sama tersebut. Sejak pertemuan AACM, mekanisme dialog ASEAN-Australia terus berkembang hingga saat ini dalam bentuk forum, komite, konferensi maupun kelompok kerja pada berbagai tingkatan.

Page 2: Hubungan Dagang Indonesia Australia

2

domestik Australia. Dari sudut pandang tersebut kemudian Australia mengeluarkan

berbagai kebijakan yang melindungi ekonomi domestik pada masa itu. Kebijakan tersebut

meliputi proteksionisme terhadap produk manufaktur Australia dari kompetisi

internasional, di antaranya produk agrikultur dan pertambangan.

Upaya liberalisasi perdagangan antara Australia dengan negara-negara sekitar

kawasan tidak dapat tercapai hingga Partai Buruh Australia memenangkan pemilu pada

tahun 1972. Di bawah kepemimpinan Gough Whitlam, Australia menerapkan reformasi

kebijakan liberalisasi perdagangan yang cukup signifikan, seperti pemotongan tarif bea

masuk sebesar 25% dan diversifikasi pasar ekspor Australia.2 Namun, kebijakan yang

diterapkan oleh Whitlam ini tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Resesi ekonomi

yang menghantam berbagai kawasan dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, Eropa dan

Australia pada akhir tahun 1974 mengakibatkan permasalahan ekonomi yang serius bagi

Australia. Jumlah ekspor Australia menurun drastis, ditambah dengan laju inflasi yang

terus melambung tinggi mengakibatkan naiknya jumlah pengangguran di Australia.

Kebijakan Whitlam yang mulanya dianggap sebagai upaya peningkatan daya saing produk

Australia justru kemudian dilihat sebagai salah satu faktor yang memperburuk kondisi

ekonomi domestik Australia.

Kekuasaan Partai Buruh berakhir pada tahun 1975 dan pemerintahan direbut

kembali oleh Partai Liberal di bawah kepemimpinan Malcolm Fraser.3 Kontras dengan

kebijakan Whitlam yang menginisiasi pendekatan terhadap kawasan regional seperti Asia-

Pasifik dan khususnya Asia Tenggara, kepemimpinan Fraser diwarnai dengan perselisihan,

perdebatan dan kesalahpahaman antara Australia dengan negara-negara Asia Tenggara

dalam konteks kebijakan ekonomi.4 Pada masa pemerintahan Fraser, Australia menolak

permintaan negara-negara ASEAN untuk membuka pasar domestik, dan justru

menawarkan paket bantuan pembangunan kepada ASEAN. Kebijakan ini menimbulkan

pertanyaan dari negara-negara ASEAN tentang komitmen Australia dalam perdagangan

bebas. Upaya liberalisasi perdagangan yang mulanya digagas oleh Partai Buruh ditarik

kembali oleh Fraser yang tidak ingin membuat kebijakan berlawanan dengan upaya-upaya

proteksionisme.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!2 H. Bull, ‘The Whitlam Government Perception of Our Role in the World’, dalam B.D. Beddie (ed.),

Advance Australia Where?, Oxford University Press, Melbourne, 1975, p. 213. 3 P. Kelly, November 1975: The Inside Story of Australia’s Greatest Political Crisis, Allen & Unwin,

Sydney, 1995, pp. 56-75. 4 J. Okamoto, The Historical Development of Australia-ASEAN Relations: Implications for APEC into

the Year 2000, Research Paper, APEC Study Center, Institute of Developing Economy, 2000, pp. 115-116.

Page 3: Hubungan Dagang Indonesia Australia

3

Kesalahpahaman antara ASEAN dan Australia terus berlangsung hingga Partai

Buruh kembali memenangkan pemilu pada tahun 1983 di bawah administrasi Bob Hawke.

Hawke mengambil berbagai kebijakan seperti liberalisasi pasar finansial Australia,

deregulasi suku bunga bank, liberalisasi pembukaan dan operasi bank asing di Australia,

privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara serta penurunan proteksionisme yang

diterapkan melalui penurunan tarif impor dan penghilangan kuota impor dalam jangka

waktu sepuluh tahun. Di samping disambut baik oleh ASEAN, liberalisasi ekonomi ini

juga diperkuat dengan orientasi politik luar negeri Australia yang kembali

memprioritaskan peningkatan kualitas hubungan dengan negara-negara Asia-Pasifik.

Liberalisasi ekonomi yang dijalankan oleh Hawke terus berlanjut hingga Australia

mencapai komitmen dalam perdagangan bebas dalam level regional maupun global.

Berbagai upaya diplomasi perdagangan regional dan multilateral secara proaktif diterapkan

oleh Australia terhadap kawasan Asia-Pasifik pada akhir dekade 1980-an. Terbentuknya

Cairns Group sebagai wadah akomodasi kepentingan negara-negara penghasil produk

agrikultur serta APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) sebagai forum kerja sama

ekonomi Asia-Pasifik merupakan dua pencapaian penting Australia dalam melakukan

diplomasi perdagangan regional. 5 Pendekatan proaktif Partai Buruh tersebut terus

berlangsung hingga Paul Keating menjabat sebagai Perdana Menteri Australia pada tahun

1993-1996. Keating yang dikenal memiliki visi yang ramah dengan negara-negara Asia

meneruskan kebijakan yang digagas pada periode Hawke hingga pada tahun 1996 ketika

Partai Liberal kembali memenangkan posisi pemerintahan di bawah kepemimpinan John

Howard.

Berbeda dengan pemerintahan Hawke dan Keating, John Howard mengambil

kebijakan ekonomi dan perdagangan internasional dengan pendekatan bilateral. Langkah

ini diambil sebagai respon diplomasi perdagangan multilateral yang dinilai tidak

memberikan keuntungan ekonomi yang maksimal bagi Australia. Kegagalan tercapainya

kesepakatan dalam The Early Voluntary Sectoral Liberalization (EVSL) sebagai upaya

untuk mendorong liberalisasi APEC adalah salah satu tanda bahwa Australia harus

berupaya lebih keras untuk melakukan pendekatan terhadap negara-negara Asia-Pasifik.6

Pada masa pemerintahan Howard sejumlah Free Trade Area (FTA) disepakati dengan

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!5 ‘Trade in Agriculture, The Cairns Group’, Department of Foreign Affairs and Trade,

<http://www.dfat.gov.au/ trade/negotiations/cairns_group.html>, diakses 6 Februari 2012. 6 J. Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN, ISEAS, Singapore, 2010, p. 212.

Page 4: Hubungan Dagang Indonesia Australia

4

negara-negara anggota ASEAN seperti Singapura dan Thailand.7 Bagi Howard, diplomasi

perdagangan bilateral cenderung lebih menunjukkan hasil dan dapat dinegosiasikan dalam

jangka waktu yang lebih singkat. Langkah diplomasi bilateral yang diambil oleh Howard

ini menunjukkan fase baru dalam diplomasi perdagangan Australia, dari yang semula

berbasis proteksionis pada dekade 1970-an berubah menjadi plurilateralis pada dekade

1980-an, kemudian berubah menjadi bilateralis pada akhir dekade 1990-an.8

Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa terlepas dari prinsip bilateralis yang mulai

diterapkan oleh Australia untuk melakukan diplomasi perdagangan dalam satu dekade

terakhir, wacana inisiatif FTA antara Australia dengan Selandia Baru dan ASEAN (AFTA-

CER, ASEAN Free Trade Area-Closer Economic Relationship) yang pada akhirnya diberi

nama AANZFTA (ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) telah digagas sejak

akhir tahun 1999. Berbagai studi yang mendalami prospek keuntungan ekonomi Australia

maupun ASEAN dalam AFTA-CER menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi maksimal

tetap dapat diraih melalui perjanjian perdagangan bilateral. Salah satu studi tersebut

dikeluarkan oleh National Interest Analysis (NIA), yang menegaskan bahwa pada sebagian

sektor industri, tarif bea masuk yang diatur dalam AANZFTA masih lebih tinggi

dibandingkan dengan tarif yang diterapkan dalam perjanjian perdagangan bilateral

Australia dengan beberapa negara di Asia Tenggara.9 Sebagai contoh, dalam sektor

industri hortikultur dan agrikultur yang menjadi komoditas andalan Australia, tarif yang

diterapkan dalam AANZFTA jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian

perdagangan bilateral yang telah ada, seperti Thailand-Australia FTA. NIA lebih lanjut

memaparkan bahwa AANZFTA tidak memiliki banyak aturan terinci tentang bagaimana

AANZFTA terhubung dengan beberapa FTA bilateral yang telah disepakati sebelumnya.

Beberapa analisis lain bahkan mengklaim bahwa penerapan AANZFTA akan tumpang

tindih dengan beberapa FTA bilateral dalam kawasan.10

Studi juga telah menunjukkan bahwa keberadaan China-ASEAN FTA akan jauh

lebih penting dan diprioritaskan oleh negara-negara ASEAN dibanding dengan skema

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!7 Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN, pp. 223-226. 8 FTA dalam level plurilateral adalah perjanjian perdagangan bebas antara beberapa negara (dalam level

regional). Istilah plurilateral digunakan oleh WTO untuk menegaskan perbedaan plurilateral dengan FTA multilateral yang melibatkan banyak negara seperti GATT. Selengkapnya baca WTO, ‘Plurilateral’, Glossary Term, <http://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/plurilateral_e.htm>, diakses 22 Februari 2013.

9 K. Thomson, et al., Report 102: Treaties Tabled on 12 and 16 March 2009, The Parliament of Commonwealth of Australia, Canberra, June 2009, pp. 8-9.

10 R. Scollay, ‘Prospects for Linking PTAs in the Asia-Pacific Region’, dalam C.E. Morisson & E. Pedrosa (eds.), An APEC Trade Agenda? The Political Economy of a Free Trade Area of the Asia Pacific, ISEAS, Singapore, 2007, pp. 170-171.

Page 5: Hubungan Dagang Indonesia Australia

5

AFTA-CER FTA. Hal ini ditunjukkan melalui analisis NIA yang menilai negosiasi

Australia dalam AANZFTA jauh lebih lemah dibanding dengan negosiasi Cina dalam

China-ASEAN FTA.11 Gagasan AFTA-CER juga dinilai tidak memiliki ambisi sebesar

FTA bilateral yang lebih dulu dilaksanakan antara Australia dengan Singapura dan

Thailand, sebagaimana telah dibuktikan dengan negosiasi tarif yang lebih lunak dibanding

dengan FTA bilateral. Dengan kata lain, AFTA-CER tampaknya tidak akan mendapat

perhatian sebesar FTA bilateral. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa AFTA-CER

tidak akan membawa banyak keuntungan ekonomi bagi ketiga pihak jika dibandingkan

dengan pendekatan FTA bilateral.12

Tanpa memperhatikan pengalaman Australia dalam membina diplomasi

perdagangan plurilateral sejak masa Bob Hawke dan beberapa rekomendasi dari studi di

atas, pada akhirnya Australia tetap meneruskan pembahasan skema AFTA-CER FTA

hingga mencapai kesepakatan pada tahun 2009. Skema tersebut kemudian berkembang

dengan nama Australia-ASEAN-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA). Gagasan

AFTA-CER FTA pada masa Howard dan kesepakatan AANZFTA yang dicapai di bawah

pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dari Partai Buruh menimbulkan sebuah

pertanyaan terkait alasan tetap dilaksanakannya skema FTA tersebut. Diplomasi

perdagangan Australia yang pada awal pemerintahan Howard telah bertransformasi

menjadi diplomasi berbasis hubungan bilateral kini berevolusi pada strategi plurilateral

yang menurut beberapa penelitian tidak mampu membawa keuntungan ekonomi yang lebih

besar bagi Australia dibanding dengan pendekatan bilateral.

B. Pertanyaan Penelitian

Uraian di atas telah memberi dasar yang cukup untuk memahami dinamika strategi

perdagangan internasional Australia, khususnya dalam hubungannya dengan negara-negara

di Asia Tenggara. Dinamika tersebut menarik untuk diteliti, terlebih ketika banyak analisis

melihat bahwa keuntungan ekonomi yang lebih besar telah ditunjukkan melalui skema

perdagangan bilateral dibanding dengan skema plurilateral. Dari sini penulis mengajukan

pertanyaan penelitian: mengapa Australia tetap menginisiasi AANZFTA sebagai salah

satu mekanisme diplomasi perdagangan regionalnya?

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!11 Thomson, pp. 9-10. 12 R. Trewin, Resource Based Industry and Development of AANZFTA, Working Paper 07-03, Crawford

School of Economics and Government, Australian National University, Canberra, 2006, pp. 15-18.

Page 6: Hubungan Dagang Indonesia Australia

6

C. Tinjauan Pustaka

Dalam kajian politik perdagangan, hubungan dan kerja sama ekonomi Australia-

ASEAN relatif jarang diangkat setidaknya hingga terjadi perubahan strategi diplomasi

kebijakan ekonomi Australia terhadap ASEAN pada awal dekade 1980-an. Salah satu

peneliti yang memberikan kontribusi penting terhadap kajian kerja sama ekonomi

Australia-ASEAN adalah Jiro Okamoto, peneliti senior di Institute of Developing

Economies (IDE-JETRO) Jepang. Dalam beberapa dekade terakhir, Okamoto melalui

sejumlah publikasi menjelaskan dengan terinci hubungan dan kerja sama ekonomi

Australia-ASEAN. Salah satu publikasi Okamoto dengan tajam menganalisis dinamika

evolusi hubungan dan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN sejak akhir pemerintahan

Partai Liberal di awal dekade 1970-an hingga masa pemerintahan Partai Buruh yang saat

ini sedang berkuasa. 13 Okamoto mengajukan sebuah pendekatan “koalisi negara-

masyarakat” yang dijadikan kerangka teori untuk menganalisis setiap perubahan yang

terjadi dalam hubungan ekonomi Australia-ASEAN.14

Dalam koalisi negara-masyarakat, para aktor kebijakan dalam koalisi memiliki

peran dalam membentuk kepentingan dan tujuan kebijakan. Menurut Okamoto, para aktor

dalam koalisi negara-masyarakat tidak hanya terdiri dari institusi pemerintah dan

kelompok-kelompok kepentingan, namun juga wartawan, akademisi serta analis kebijakan

yang memiliki perhatian terhadap masalah kebijakan.15 Aktor dalam koalisi tidak harus

berafiliasi dengan partai politik maupun kelompok kepentingan tertentu. Karakter utama

koalisi negara-masyarakat menekankan pada dua aspek utama dalam kerangka analisis.

Pertama, koalisi negara-masyarakat tidak hanya terfokus pada kepentingan material aktor-

aktor tertentu dalam koalisi, namun juga kontribusi dalam pembentukan tujuan kebijakan

dengan jangka waktu yang lebih panjang, seperti kepentingan nasional yang terkait dengan

kepentingan masyarakat umum. Kedua, interaksi dalam koalisi akan membentuk preferensi

dalam kebijakan serta menentukan tujuan kebijakan.

Lebih lanjut, Okamoto membagi pendekatan koalisi negara-masyarakat dalam dua

struktur. Struktur yang pertama adalah “ide-ide kebijakan inti” (core policy ideas). Dalam !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

13 Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN. 14 Penggunaan terma “koalisi negara-masyarakat” oleh Okamoto dikembangkan dari teori sejenis yang

digagas oleh Paul Sabatier dan Hank Jenkins-Smith yang dikenal dengan terma “koalisi advokasi”. Lihat P.A. Sabatier & H.C. Jenkins-Smith, Policy Change and Learning: An Advocacy Coalition Approach, Westview Press, Boulder, 1993.

15 Okamoto, Australia’s Foreign Economic Policy and ASEAN, pp. 28-29.

Page 7: Hubungan Dagang Indonesia Australia

7

konteks kebijakan dan kerja sama ekonomi antarnegara, ide-ide kebijakan inti dapat

diterapkan dalam gagasan terkait preferensi sistem dan kerja sama ekonomi serta

perdagangan internasional yang ideal untuk ekonomi nasional maupun peningkatan standar

hidup dalam suatu negara. Ide-ide kebijakan inti mencerminkan persepsi dasar suatu

negara dalam memahami bagaimana hubungan internasional berjalan, seperti bagaimana

negara melihat politik internasional dari perspektif realis atau liberal. Sementara itu,

struktur kedua adalah ide-ide kebijakan nyata yang memiliki peran dalam mendukung

implementasi ide-ide kebijakan inti. Sebagai contoh, apabila suatu negara menganut

liberalisasi perdagangan dan investasi sebagai ide-ide kebijakan inti, maka ide-ide

kebijakan nyata dapat berbentuk kebijakan teknis yang mengatur pilihan sektor industri

yang akan diliberalisasi dan bagaimana proses liberalisasi dijalankan, apakah secara

bertahap atau dalam waktu singkat.

Dalam analisis kebijakan ekonomi antarnegara, menurut Okamoto, perubahan

bentuk hubungan dan kerja sama ekonomi pada prinsipnya memerlukan perubahan ide-ide

kebijakan inti. Dengan kata lain, resistensi terhadap perubahan dalam bentuk hubungan

dan kerja sama ekonomi akan muncul dengan kuat apabila tidak diawali dengan perubahan

ide-ide kebijakan inti suatu negara. Dalam konteks Australia, salah satu mekanimse

perubahan ide-ide kebijakan inti adalah perubahan pemerintahan eksekutif antara Partai

Buruh dan Partai Liberal. Australia dengan sistem pemerintahan parlementer Westminster

memungkinkan perubahan konstruksi pemerintahan yang masif dalam setiap perubahan

kepemimpinan. Okamoto lebih lanjut menekankan bahwa perubahan tersebut tentunya

akan berpengaruh terhadap ide-ide kebijakan serta dukungan politik bagi suatu koalisi.

Pada aspek tertentu, analisis terkait kebijakan ekonomi luar negeri Australia dalam

artikel jurnal yang ditulis oleh Ann Capling sejalan dengan argumen yang diajukan

Okamoto.16 Meskipun tidak secara spesifik membahas kerja sama ekonomi luar negeri

Australia-ASEAN, Capling menggarisbawahi bahwa perubahan kebijakan ekonomi luar

negeri Australia (disebut Okamoto sebagai kebijakan-kebijakan inti) sepenuhnya

tergantung oleh perubahan struktur dan profil pemerintahan eksekutif Australia.

Pemerintahan Liberal lebih memfokuskan strategi kebijakan perdagangan bebas melalui

skema bilateral, sebaliknya Partai Buruh menekankan peran penting multilateralisme

dalam menjalankan kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Capling memberikan contoh

dengan kebijakan Partai Buruh di bawah kepemimpinan Bob Hawke dan Paul Keating

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!16 A. Capling, ‘Australia’s trade policy dilemmas’, Australian Journal of International Affairs, vol. 62,

no. 2, 2008, pp. 229-244.

Page 8: Hubungan Dagang Indonesia Australia

8

yang melakukan liberalisasi perdagangan melalui jalur multilateral, serta John Howard

yang berfokus pada pendekatan bilateral. Lebih lanjut, Capling bahkan memberikan

penjelasan lebih terinci terkait motif perubahan kebijakan ekonomi luar negeri Australia

yang didasarkan pada tiga hal, yaitu defensif, politis dan strategis.

Dalam konteks motif defensif, kebijakan ekonomi luar negeri Australia seharusnya

mampu mengamankan pasar-pasar internasional tertentu yang selama ini telah dikuasai

oleh Australia dari ancaman persaingan melalui berbagai perjanjian perdagangan negara

mitra dengan negara lain. Capling memberikan contoh perjanjian perdagangan antara

Korea Selatan dengan AS yang berpotensi mengancam turunnya nilai ekspor daging sapi

Australia ke Korea Selatan. Hal ini menjadi sebab dimulainya negosiasi perjanjian

perdagangan berbasis preferensi antara Australia-Korea Selatan untuk mengamankan

kepentingan Australia tersebut.

Secara politik, kebijakan ekonomi luar negeri Australia pada dasarnya

dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Australia untuk selalu tampil menjadi pemain

penting dalam perdagangan internasional. Dengan dinamika dan persaingan dalam

perdagangan internasional yang semakin ketat, Australia perlu menyesuaikan diri melalui

berbagai perubahan kebijakan ekonomi luar negeri untuk memastikan dirinya tetap berada

di dalam persaingan. Capling menggunakan contoh ASEAN yang dinilai telah melakukan

banyak pencapaian dalam menjalin hubungan strategis dengan negara-negara mitra dagang

utama Australia. Jika tidak disikapi dengan tepat oleh Australia dengan membina

hubungan ekonomi yang lebih erat dengan ASEAN, hal tersebut bisa membuat posisi

Australia tergeser dan tidak lagi diprioritaskan dalam kerja sama perdagangan

internasional. Sementara itu, berkenaan dengan motif strategis, kerja sama perdagangan

juga dapat didasarkan pada pertimbangan keamanan. Motif ini tidak mampu memberikan

keuntungan ekonomi jangka pendek, melainkan lebih menekankan pada manfaat

kepentingan jangka panjang Australia dalam kebijakan keamanan maupun politik luar

negeri. Perjanjian perdagangan bebas AS-Australia (AUSFTA) menjadi contoh yang

dimaksud oleh Capling. Dalam AUSFTA keuntungan ekonomi yang didapat oleh Australia

tidak sebanding dengan tercapainya tujuan utama AUSFTA bagi Australia, yaitu

terpenuhinya kepentingan nasional Australia untuk memperkuat kemitraan strategis dan

hubungan politik dengan AS.

Secara umum, Okamoto mengklaim bahwa kerangka teori koalisi negara-

masyarakat mampu menjelaskan motif di balik munculnya perubahan kebijakan ekonomi

Australia terhadap ASEAN sejak awal dekade 1980-an. Dinamika koalisi antara

Page 9: Hubungan Dagang Indonesia Australia

9

pemerintah dan masyarakat di Australia menentukan bagaimana negara tersebut

membentuk kebijakan ekonomi terhadap ASEAN. Sementara itu, Capling melengkapi

pendapat Okamoto dengan lebih menekankan pada ragam motif utama perubahan

kebijakan ekonomi luar negeri Australia yang didasarkan pada motif defensif, politik dan

strategis. Ini melengkapi pendapat Capling yang sejalan dengan Okamoto terkait dengan

perubahan konstelasi politik dalam negeri Australia yang juga berpengaruh terhadap

kebijakan perdagangan Australia.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa proposisi yang diajukan Okamoto dalam

koalisi negara-masyarakat belum mampu menerjemahkan seluruh dinamika hubungan dan

kerja sama ekonomi Australia-ASEAN dengan baik dan komprehensif. Hal ini setidaknya

didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, dalam publikasi yang diterbitkan tahun 2010

tersebut, Okamoto cenderung terlalu berfokus pada perubahan kebijakan ekonomi

Australia terhadap ASEAN pada jangka waktu 1975-2007. Dalam rentang waktu tersebut

perubahan yang terjadi dalam kebijakan ekonomi Australia-ASEAN selalu berbentuk

evolusi menuju adopsi sebuah sistem yang baru dan belum pernah diterapkan sebelumnya.

Okamoto menjelaskan bagaimana proteksionisme Australia terhadap ASEAN berubah

menjadi liberalisasi perdagangan yang kemudian berevolusi menjadi beberapa agenda

diplomasi perdagangan plurilateral melalui APEC, sebelum akhirnya berfokus pada

strategi diplomasi perdagangan bilateral, sebagaimana ditekankan Howard di tahun 2006.

Okamoto cenderung meninggalkan bahasan bagaimana skema AFTA-CER kembali

muncul setelah strategi bilateral mendominasi dan berevolusi menjadi AANZFTA. Hal ini

terlihat dari pembahasan yang diuraikan oleh Okamoto yang berfokus pada penundaan

inisiatif AFTA-CER pada tahun 2000, meskipun pembahasan inisiatif tersebut telah

dimulai kembali pada tahun 2004.17

Kedua, teori koalisi negara-masyarakat yang lebih menekankan pada aspek

dinamika hubungan negara-masyarakat serta politik domestik suatu negara cenderung

mengabaikan peran politik internasional dalam proses pembuatan kebijakan. Definisi ide-

ide kebijakan inti yang menurut Okamoto memiliki peran penting dalam menentukan

perspektif dasar suatu negara dalam melihat politik internasional belum mampu mengukur

signifikansi peran politik internasional terhadap proses pembuatan kebijakan. Dalam

konteks AANZFTA, kepentingan ekonomi maupun politik dari negara-negara anggota

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!17 ASEAN, ‘Joint Declaration of The Leaders at The Asean-Australia & New Zealand Commemorative

Summit’, ASEAN on the Web, 30 November 2004, <http://aanzfta.asean.org/uploads/docs/2004-Joint_ Declaration_of_the_Leaders.pdf>, diakses 7 April 2012.

Page 10: Hubungan Dagang Indonesia Australia

10

ASEAN memiliki peran penting dalam inisiatif perjanjian perdagangan bebas tersebut.

Sayangnya, melalui teori koalisi negara-masyarakat kepentingan ASEAN ini tidak

mendapat ruang yang cukup untuk dianalisa.

Ketiga, teori koalisi negara-masyarakat terlalu berfokus pada aspek kalkulasi

ekonomi dan tidak memberi batasan yang jelas dalam membedakan kepentingan aktor

koalisi dengan kepentingan nasional. Hal ini terlihat dari perubahan bentuk hubungan

ekonomi Australia-ASEAN melalui perspektif teori tersebut berdasar pada perubahan

koalisi yang dipicu oleh upaya pemenuhan kepentingan yang berbasis pada kepentingan

masyarakat umum. Dengan kata lain, pendekatan koalisi negara-masyarakat tidak mampu

memberikan analisis yang tegas antara kepentingan masyarakat umum dengan potensi

perubahan kebijakan yang didasarkan pada kepentingan politik partai tertentu dalam

mengumpulkan dukungan politik.

Keempat, terkait salah satu argumen Okamoto tentang perubahan kebijakan yang

dipicu oleh perubahan ide-ide kebijakan inti melalui perubahan pemerintahan,

sebagaimana juga ditegaskan oleh Capling, penting untuk dicatat bahwa argumen tersebut

perlu dikaji dengan lebih terinci. Perubahan bentuk hubungan ekonomi Australia-ASEAN

sejak dekade 1970-an hingga 2000-an pada umumnya terjadi mengikuti setiap perubahan

pemerintahan di Australia. Sebagai contoh, proteksionisme terjadi pada masa Malcolm

Fraser (Liberal); liberalisasi perdagangan dan upaya diplomasi strategi plurilateral melalui

APEC digagas pada masa Bob Hawke dan Paul Keating (Buruh); serta strategi diplomasi

perdagangan bilateral ditekankan oleh John Howard (Liberal). Namun demikian, menarik

untuk dilihat bahwa munculnya kembali inisiatif untuk merumuskan AANZFTA dimulai

sejak akhir periode Howard pada tahun 2004. Inisiatif AANZFTA yang kembali dibahas

pada masa Howard ini menunjukkan realitas yang berbeda dengan argumen Okamoto.

Perubahan bentuk hubungan kerja sama ekonomi Australia-ASEAN pada implementasinya

tidak selalu didasarkan pada perubahan pemerintahan di Australia.

Di sisi lain, meskipun pendapat Capling dalam hal perubahan struktur dan profil

pemerintahan di Australia sebagai penentu utama perubahan kebijakan ekonomi luar

negeri Australia tidak sepenuhnya kuat, menarik untuk dilihat bahwa Capling memaparkan

analisis yang cukup terinci terkait dengan motif perubahan kebijakan ekonomi luar negeri

Australia. Kelemahan pendapat Okamoto dengan ketidakhadiran aspek politik yang jelas

dan terlalu berfokus pada kalkulasi ekonomi pada aspek tertentu telah dilengkapi oleh

Capling melalui tiga motif tersebut di atas. Pada aspek defensif, Capling menekankan

peran penting keuntungan ekonomi yang tetap menjadi bagian dari prioritas kebijakan

Page 11: Hubungan Dagang Indonesia Australia

11

ekonomi luar negeri Australia. Sementara itu, kalkulasi ekonomi yang tersirat melalui

motif defensif tersebut diimbangi dengan motif politik dan strategis yang keduanya

merupakan identitas kepentingan nasional Australia dalam melakukan kerja sama ekonomi

luar negeri. Motif politik dan strategis sekaligus menjadi penegas pendapat Capling dari

Okamoto, yang dengan terma kepentingan masyarakat umum tidak berhasil memberikan

gambaran jelas dan tegas tentang kepentingan nasional Australia. Meskipun demikian,

ketiga motif yang diajukan Capling tersebut juga tidak menjadikan aspek politik

internasional sebagai motif keempat dalam menentukan perubahan kebijakan. Dengan kata

lain, sama halnya dengan Okamoto, Capling tidak berhasil memberikan gambaran yang

jelas tentang peran politik internasional dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi luar

negeri Australia. Ketiga motif yang digagas Capling murni terbatas pada kacamata

kepentingan domestik Australia dalam menilai persaingan ekonomi internasional.

Selain pendekatan Okamoto dan Capling dalam analisis motif dibalik perjanjian

perdagangan yang diinisiasi Australia, Vinod K. Aggarwal dan Seungjoo Lee dengan fokus

analisis yang lebih luas menggagas lima faktor yang mendorong suatu negara menginisiasi

perjanjian perdagangan yang terfokus kepada wilayah Asia. Lima faktor tersebut meliputi

keuntungan ekonomi, pertimbangan ekonomi politik, motivasi untuk reformasi domestik,

asimetri kekuatan serta pertimbangan diplomatik dan keamanan.18 Pada faktor pertama,

Aggarwal dan Lee menegaskan peran kalkulasi keuntungan ekonomi yang menjadi salah

satu bagian penting dalam agenda liberalisasi perdagangan. Dari faktor ini, terdapat dua

indikator yang menjelaskan mengapa proliferasi perjanjian perdagangan terjadi di wilayah

Asia. Pertama, setelah pendekatan multilateral melalui WTO, perjanjian minilateral dan

bilateral merupakan pendekatan yang terbaik dalam melakukan liberalisasi perdagangan.

Semakin banyak jumlah perjanjian yang diinisiasi, kalkulasi tentang keuntungan ekonomi

yang akan diraih akan semakin besar. Hal inilah yang menjelaskan sebab pertumbuhan

jumlah perjanjian perdagangan di negara-negara Asia dalam satu dekade terakhir. Kedua,

preferensi memilih mitra dagang dalam perjanjian perdagangan menunjukkan hubungan

koheren antara jarak geografis dengan keuntungan ekonomi. Pengurangan biaya yang

timbul akibat jarak mitra dagang yang jauh dipadukan dengan optimalisasi keuntungan

ekonomi menunjukkan bahwa negara-negara cenderung memiliki preferensi memilih mitra

dagang dengan negara-negara tetangga. Kondisi ini semakin menguatkan gagasan negara-

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!18 V.K. Aggarwal & S. Lee, ‘The domestic political economy of preferential free trade agreements in

the Asia-Pacific’, dalam V.K. Aggarwal & S. Lee (eds.), Trade Policy in the Asia-Pacific: The Role of Ideas, Interests and Domestic Institutions, Springer, London, 2011, p. 16

Page 12: Hubungan Dagang Indonesia Australia

12

negara di wilayah Asia yang meningkatkan jumlah perjanjian perdagangan dengan negara

sekitar. Beberapa perjanjian perdagangan seperti AFTA, ASEAN-Cina dan Singapura-

Cina menjadi contoh kasus yang dimaksud. Meskipun demikian, menarik untuk dilihat

bahwa faktor keuntungan ekonomi tidak selalu berhasil dalam menjelaskan fenomena

diplomasi perdagangan di Asia. Negara-negara besar di Asia Timur seperti Korea Selatan,

Cina dan Jepang justru tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas antar ketiga negara

tersebut.

Kedua, faktor pertimbangan ekonomi politik juga memainkan peran penting dalam

melatarbelakangi suatu negara menggagas perjanjian perdagangan. Menurut Aggarwal dan

Lee, faktor ini memiliki pendekatan yang berbeda dengan faktor keuntungan ekonomi.

Faktor ekonomi politik menunjukkan bahwa perjanjian perdagangan antarnegara dalam

bentuk minilateral atau bilateral dapat menciptakan ‘efek domino’ atau dampak kerja sama

yang lebih luas antar para pihak. Selain itu, dibanding menjadikan kalkulasi ekonomi

sebagai dasar tunggal untuk menentukan arah perjanjian perdagangan, pertimbangan

ekonomi politik mendorong suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan dan

memilih mitra dagang yang dapat mengurangi dampak negatif domestik dari liberalisasi

perdagangan. Perjanjian perdagangan pada dasarnya tidak hanya mendorong peningkatan

intensitas perdagangan, investasi dan transfer teknologi, namun juga mampu berperan

sebagai instrumen untuk menyelesaikan permasalahan politik domestik yang dihadapi oleh

para pihak yang terlibat. Contoh dari pertimbangan ini dapat dilihat dari beberapa negara

di kawasan Asia yang menggagas perjanjian perdagangan bebas transregional seperti

Singapura-AS, Korea Selatan-AS dan Jepang-Meksiko. Ketiga perjanjian transregional ini

ditujukan untuk mengurangi tekanan politik lintas sektoral dalam negeri terhadap agenda

liberalisasi perdagangan, sebagaimana ditekankan oleh Aggarwal dan Lee.

Ketiga, faktor reformasi domestik. Inisiatif menggagas perjanjian perdagangan juga

dapat dilatarbelakangi oleh agenda untuk melakukan reformasi industri domestik. Suatu

negara dapat menjadikan perjanjian perdagangan sebagai instrumen pendukung kebijakan

industri, baik untuk melindungi industri yang sedang berkembang di dalam negeri, atau

meningkatkan daya saing industri tersebut. Menurut Aggarwal dan Lee, negosiasi dalam

perjanjian perdagangan bilateral dapat membantu memfasilitasi suatu negara melakukan

penyederhanaan, peningkatan atau restrukturisasi ekonomi. Dalam kondisi ini, perjanjian

perdagangan digunakan untuk mendukung reformasi domestik, sehingga pemerintah dapat

menggunakan perjanjian tersebut sebagai pengaruh politik dalam negeri untuk mengurangi

resistensi liberalisasi perdagangan yang ditekankan oleh sektor pemihak proteksionisme.

Page 13: Hubungan Dagang Indonesia Australia

13

Keempat, faktor asimetri kekuatan turut berperan dalam mendorong munculnya

inisiatif perjanjian perdagangan. Menurut Aggarwal dan Lee, perjanjian perdagangan dapat

digagas untuk menjembatani munculnya asimetri kekuatan di antara negara-negara yang

terlibat. Negara dengan kekuatan besar cenderung menjajaki perjanjian perdagangan yang

mencakup semua sektor, termasuk liberalisasi perdagangan barang maupun jasa. Di sisi

lain, negara dengan kekuatan besar juga cenderung menghindari liberalisasi perdagangan

yang merugikan sektor-sektor industri sensitif dalam negeri. Kecenderungan ini menjadi

tekanan tersendiri bagi negara-negara berkekuatan menengah, dimana negara berkekuatan

menengah justru cenderung dipaksa untuk lebih berkompromi dalam negosiasi perjanjian

perdagangan. Keputusan untuk bergabung dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas

dengan negara berkekuatan besar dilihat sebagai bentuk kekhawatiran negara-negara

berkekuatan menengah terhadap pengecualian (fear of exclusion) yang dilakukan oleh

negara berkekuatan besar dalam menentukan agenda liberalisasi ekonomi regional. Contoh

dari faktor ini dapat dilihat dalam perjanjian antara AS-Australia, AS-Singapura dan AS-

Korea Selatan. Kekhawatiran pengecualian pasar ekspor oleh AS dilihat sebagai pemicu

negara-negara tersebut menjajaki kerja sama perdagangan dengan AS.

Kelima, faktor pertimbangan diplomatik dan keamanan adalah faktor terakhir yang

digagas Aggarwal dan Lee berperan melatarbelakangi munculnya perjanjian perdagangan

bebas. Negara berkekuatan besar seperti AS menghubungkan pertimbangan diplomatik dan

keamanan dalam negosiasi perjanjian perdagangan, dimana perjanjian perdagangan bebas

menjadi bentuk penghargaan bagi para sekutu negara tersebut. Perjanjian perdagangan AS-

Israel dan AS-Yordania merupakan contoh bagaimana AS menjadikan perjanjian sebagai

alat diplomasi. Tidak hanya AS, Cina dan Jepang memiliki karakter strategi diplomasi

yang relatif sama. Sebagaimana ditekankan oleh Aggarwal dan Lee, inisiatif perjanjian

perdagangan antara Cina-ASEAN pada dasarnya merupakan upaya diplomatik Cina untuk

meningkatkan hubungan politik antara Cina dan negara-negara ASEAN di tengah realitas

bahwa struktur ekonomi Cina dan ASEAN pada dasarnya lebih bersifat kompetitif. Hal

yang sama dapat juga dilihat dari Jepang yang menginisiasi perjanjian perdagangan bebas

sebagai bagian dari kebijakan strategis untuk menegaskan eksistensi negara tersebut di

kawasan.

Kelima faktor di atas menjadi argumen utama Aggarwal dan Lee dalam penjelasan

motif perjanjian perdagangan bebas yang dewasa ini intensitasnya semakin meningkat di

kawasan Asia. Selain kelima faktor tersebut, di dalam tulisan yang sama Aggarwal dan Lee

juga memaparkan kerangka teoritis tentang proses reformulasi kebijakan perdagangan

Page 14: Hubungan Dagang Indonesia Australia

14

suatu negara. Terdapat tiga variabel utama yang mewarnai proses reformulasi kebijakan

perdagangan, terdiri atas persepsi dan ide-ide; kepentingan; dan institusi domestik. Ketiga

variabel tersebut berada dalam proses politik dalam negeri suatu negara yang menghadapi

tantangan reformulasi kebijakan perdagangan. Persepsi dan ide-ide merupakan variabel

yang dimainkan oleh para aktor dalam negeri yang membantu pembuat kebijakan untuk

mengidentifikasi sekaligus menterjemahkan sifat perubahan eksternal dalam perdagangan,

dimana persepsi dan ide-ide dari aktor-aktor utama tersebut dapat memberikan pilihan dan

alternatif kebijakan reformulasi strategi perdagangan bagi para pembuat kebijakan. Dalam

proses tersebut juga berperan variabel kedua, yaitu kepentingan, dimana para aktor utama

melakukan konfigurasi ulang kepentingan mereka dengan memberikan preferensi terhadap

pilihan kebijakan reformulasi strategi perdagangan. Sejalan dengan proses tersebut juga

berperan variabel ketiga, yaitu institusi domestik, dimana analisis mendalam terkait proses

dan struktur pembuatan kebijakan oleh pemerintah serta kemungkinan perlawanan dalam

negeri terhadap rencana liberalisasi perdagangan merupakan faktor-faktor yang penting

dalam proses reformulasi kebijakan perdagangan.

Melengkapi paparan Aggarwal dan Lee tentang ragam motivasi yang menjadi latar

belakang pembuatan kebijakan perdagangan, John Ravenhill mengemukakan peran penting

regionalisme dalam mendorong meningkatnya intensitas perjanjian perdagangan bebas

dalam satu dekade terakhir. Meskipun dalam tulisannya Ravenhill memfokuskan analisis

pada politik perdagangan di Asia Timur, menarik untuk dilihat bahwa dalam konteks yang

lebih umum, Ravenhill menekankan peran strategis regionalisme sebagai pemicu negara-

negara menginisiasi atau bergabung dalam agenda perjanjian perdagangan bebas. Peran

dan kapasitas negara-negara anggota dalam suatu organisasi regional dalam melakukan

negosiasi perdagangan global menjadi lebih baik, merupakan salah satu peran strategis

regionalisme yang dimaksud. Selain itu, regionalisme juga berkontribusi memberikan

pengaruh positif dan kepastian bagi negara-negara yang mulanya memiliki resistensi tinggi

untuk bergabung dalam perjanjian perdagangan bebas.19 Di sisi lain, regionalisme yang

tidak bekerja secara efektif dapat menimbulkan adanya upaya pendekatan regional yang

baru dalam bidang liberalisasi perdagangan. Kegagalan APEC merupakan contoh kasus

yang dimaksud, dimana ketidakpuasan terhadap perkembangan APEC mendorong negara-

negara untuk melakukan reformulasi liberalisasi perdagangan di level regional.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!19 J. Ravenhill, ‘Trade politics in East Asia’, dalam B. Hocking & S.McGuire (eds.), Trade Politics,

Routledge, New York, 2004, pp. 58-62.

Page 15: Hubungan Dagang Indonesia Australia

15

Selain menegaskan peran strategis regionalisme, Ravenhill juga memaparkan peran

penting kepentingan ekonomi dalam negeri suatu negara dalam membentuk arah perjanjian

perdagangan bebas. Menurut Ravenhill, sebagian besar analisis politik perdagangan dalam

hubungan internasional menjadikan negara sebagai aktor tunggal sehingga analisis yang

memfokuskan pada struktur pembuatan kebijakan dalam suatu negara, termasuk para aktor

yang beprengaruh di dalam negara tersebut masih belum banyak dikembangkan. Dalam

dua dekade terakhir, fokus analisis yang tidak melihat negara sebagai aktor tunggal mulai

banyak dikembangkan, khususnya dalam melihat dinamika perkembangan ekonomi politik

Asia Tenggara. Analisis tersebut melihat komunitas bisnis dalam negeri sebagai kelompok

kepentingan yang memiliki peran penting untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi luar

negeri suatu negara. Menurut Ravenhill, kelompok bisnis berpengaruh terhadap penentuan

besaran tingkat proteksi yang ditetapkan terhadap sektor tertentu oleh suatu negara. Di sisi

lain, kepentingan kelompok bisnis terhadap perjanjian perdagangan bebas semakin tinggi

seiring dengan proliferasi jumlah perjanjian tersebut di kawasan Asia. Kepentingan yang

melekat dengan negosiasi perjanjian perdagangan bebas merupakan konsekuensi logis bagi

kelompok bisnis, untuk memastikan bahwa tidak ada dampak negatif yang timbul akibat

negosiasi suatu perjanjian, khususnya dalam preferensi akses pasar mitra dagang. Beberapa

contoh kasus diangkat oleh Ravenhill, seperti dukungan dari Federasi Organisasi Ekonomi

Jepang, Keidanren, terhadap negosiasi perjanjian perdagangan bebas oleh Jepang pada

awal dekade 1990-an. Hal yang sama juga dapat dilihat dari Federasi Industri Korea yang

mengawal Korea Selatan dalam melakukan negosiasi perjanjian perdagangan bebas.

Motif untuk melakukan perjanjian perdagangan bebas juga dianalisis dengan rinci

oleh Bernard M. Hoekman dan Michel M. Kostecki. Dalam sebuah bab yang menganalisis

integrasi perdagangan regional, Hoekman dan Kostecki memaparkan enam faktor yang

mendorong terjadinya perjanjian perdagangan bebas di level regional.20 Pertama, kekuatan

utama dunia yang melemah. Dalam setiap dinamika maupun hambatan yang terjadi dalam

level internasional akan berdampak terhadap reaksi negara-negara dalam menentukan pola

dan strategi perdagangan. Hoekman dan Kostecki memberikan contoh runtuhnya kekuatan

Uni Soviet pada awal dekade 1990-an mendorong terjadinya demokratisasi di negara-

negara di Eropa Timur, sekaligus transformasi menuju ekonomi berbasis pasar. Dalam

konteks ini, menjajaki perjanjian perdagangan regional dengan negara-negara di Eropa

Barat menjadi salah satu upaya yang dapat mengakselerasi transformasi menuju ekonomi

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!20 B.M. Hoekman & M.M. Kostecki, The Political Economy of the World Trading System: The WTO

and Beyond, Oxford University Press, New York, 2001, pp. 348-349.

Page 16: Hubungan Dagang Indonesia Australia

16

pasar yang terbuka. Kedua, perubahan cara pandang AS dalam melihat regionalisme sejak

dekade 1980-an. Posisi AS yang semula lebih memilih jalur diplomasi multilateral dalam

perdagangan pada masa tersebut berubah menjadi preferensi terhadap diplomasi regional.

Hal ini terjadi karena proses dan perkembangan di jalur multilateral yang berlangsung

lambat. Sebagai negara adikuasa, kondisi ini turut merubah preferensi negara berkekuatan

menengah dalam melakukan strategi perdagangan.

Ketiga, munculnya dampak domino yang dipicu dari terbentuknya blok dagang

regional negara-negara berkekuatan besar. Terbentuknya blok ini menciptakan tekanan

terhadap negara-negara yang tidak masuk dalam blok dagang tersebut, sehingga muncul

terciptanya blok-blok dagang baru yang juga disebut dengan istilah domino regionalism.

Keempat, Hoekman dan Kostecki menempatkan globalisasi sebagai faktor pemicu yang

turut berperan penting mendorong munculnya perjanjian perdagangan regional. Fenomena

globalisasi mendorong terjadinya internasionalisasi pasar dan menciptakan tekanan bagi

perusahaan-perusahaan. Kondisi ini mendorong pemerintahan suatu negara untuk mencari

akses pasar yang lebih luas serta akses investasi dan teknologi yang lebih leluasa. Proses

ini menciptakan upaya bagi perusahaan untuk mencoba mempengaruhi pemerintah untuk

menurunkan biaya-biaya terkait ekspor dan impor dalam perdagangan, dimana salah satu

instrumen efektif yang dapat ditempuh adalah dengan perjanjian perdagangan bebas di

level regional.

Kelima, perjanjian perdagangan bebas di level regional merupakan salah satu upaya

negara dalam meningkatkan kredibilitas dalam maupun luar negeri. Komitmen terhadap

perjanjian perdagangan bebas di level regional dipahami sebagai instrumen pengunci

kebijakan reformasi dalam negeri, baik di bidang ekonomi maupun non-ekonomi, seperti

transformasi menuju demokrasi. Dalam konteks ini negara menunjukkan komitmen untuk

bekerjasama serta meningkatkan kredibilitas dalam menarik penanaman modal dari dalam

maupun luar negeri. Keenam, faktor politis, dimana perjanjian perdagangan bebas sering

dipicu oleh pertimbangan politik luar negeri maupun pertimbangan keamanan nasional.

Menurut Hoekman dan Kostecki, dampak ekonomi yang timbul dari perjanjian tersebut,

terlebih bila perjanjian justru tidak memberikan keuntungan bagi negara, merupakan biaya

yang harus dikeluarkan untuk tercapainya tujuan non-ekonomi. Di sisi lain, dibanding

penyelesaian di level multilateral, perjanjian di level regional juga merupakan alternatif

yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang timbul di antara negara-negara

tetangga.

Page 17: Hubungan Dagang Indonesia Australia

17

Analisis faktor-faktor penyebab suatu negara menginisiasi perjanjian perdagangan

bebas yang dibuat oleh Aggarwal dan Lee, Ravenhill, Hoekman dan Kostecki di atas

menunjukkan beberapa hal. Pertama, sejalan dengan pendekatan Okamoto dan Capling,

Aggarwal dan Lee menekankan peran politik dalam negeri dalam memberikan pengaruh

terhadap penjajakan perjanjian perdagangan. Lima faktor yang digagas oleh Aggarwal dan

Lee menekankan pada interaksi antaraktor dalam negeri dengan kategori analisis yang

luas. Secara umum, pembedaan antara faktor keuntungan ekonomi dengan non-ekonomi

dipisahkan dengan cukup jelas oleh Aggarwal dan Lee. Asimetri kekuatan dan faktor

diplomatik dan keamanan merupakan faktor non-ekonomi yang turut memberi pengaruh

terhadap pembuat kebijakan.

Namun demikian, meskipun dalam tulisannya Aggarwal dan Lee mengkritik bahwa

sebagian besar analisis terkait politik perdagangan di Asia Timur dan Amerika

menempatkan perubahan dalam sistem internasional sebagai faktor dominan yang memicu

perubahan strategi perdagangan, penting untuk dicatat bahwa dalam kerangka teoritis yang

diajukan, perubahan dalam sistem internasional yang disebut dengan external shock justru

tidak diklasifikasikan dengan lebih rinci. Selain itu, kritik Aggarwal dan Lee juga

ditujukan pada analisis perubahan dalam sistem internasional yang tidak menciptakan pola

kebijakan yang sama bagi sebagian besar negara. Dalam konteks ini, kerangka teoritis

yang dibawa oleh Aggarwal dan Lee dengan penekanan terhadap struktur pembuat

kebijakan dalam negeri pada dasarnya juga tidak menghasilkan hasil atau pola analisis

yang dapat diseragamkan. Peran persepsi dan ide-ide, kepentingan serta institusi domestik

pada dasarnya sangat bergantung dari bentuk perubahan dalam sistem internasional itu

sendiri. Dengan kata lain, meskipun Aggarwal dan Lee berhasil memberikan telaah yang

mendalam terkait peran struktur domestik dan tetap menjadikan perubahan dalam sistem

internasional sebagai faktor yang berkesinambungan sebagai pemicu reformulasi strategi

perdagangan, menarik untuk dicatat bahwa tidak adanya penjelasan yang lebih rinci terkait

perubahan dalam sistem internasional justru dapat dilihat sebagai otokritik bagi kerangka

teoritis yang diajukan.

Kedua, dari arah yang berbeda, Ravenhill memaparkan regionalisme sebagai salah

satu pemicu negara-negara menginisiasi ataupun bergabung dalam perjanjian perdagangan

bebas. Dalam konteks ini, tidak ditemukannya klasifikasi yang rinci terkait perubahan

sistem internasional dalam tulisan Aggarwal dan Lee justru dapat ditemukan dalam tulisan

Ravenhill, meskipun hanya mengajukan argumen tunggal regionalisme sebagai pemicu

perkembangan strategi perdagangan. Di sisi lain penting untuk dicatat bahwa Ravenhill

Page 18: Hubungan Dagang Indonesia Australia

18

tidak melakukan dikotomi peran dalam dan luar negeri dalam memberikan pengaruh

terhadap sebuah kebijakan perdagangan. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Ravenhill,

dimana peran kelompok bisnis dalam negeri sebagai bagian dari aktor dan kelompok

kepentingan memiliki posisi yang tidak kalah penting dari peran regionalisme sebagai

faktor luar negeri. Meskipun Ravenhill tidak mengajukan kerangka teoritis sebagaimana

diajukan oleh Aggarwal dan Lee, dapat dilihat bahwa Ravenhill menempatkan faktor

dalam dan luar negeri pada posisi yang tepat dan saling memberikan pengaruh terhadap

dinamika strategi perdagangan suatu negara.

Ketiga, dengan uraian yang lebih rinci terkait faktor luar negeri sebagai pendorong

perubahan strategi perdagangan, Hoekman dan Kostecki memaparkan penjelasan yang

komprehensif. Dengan mengajukan enam faktor pemicu semakin meningkatnya intensitas

perjanjian dan integrasi regional dalam dua dekade terakhir, dapat dilihat bahwa Hoekman

dan Kostecki mengindikasikan setidaknya empat faktor luar negeri, terdiri atas perubahan

kekuatan utama dunia, perubahan pandangan AS terhadap regionalisme, dampak domino

dan globalisasi. Sebagaimana Ravenhill, Hoekman dan Kostecki tetap menganggap politik

dalam negeri memiliki peran penting dalam memberikan pengaruh terhadap strategi

perdagangan suatu negara. Dua faktor terakhir yang diajukan oleh Hoekman dan Kostecki,

yaitu kredibilitas dan politik, menjadi penjelasan bahwa faktor luar negeri tidak berdiri

sendiri. Dengan tanpa memberikan kritik teoritis terhadap analisis politik perdagangan di

level regional, Hoekman dan Kostecki memiliki posisi yang sejalan dengan Ravenhill,

menempatkan faktor dalam dan luar negeri pada posisi yang penting dalam memberikan

pengaruh terhadap perubahan strategi perdagangan.

Keempat, penting untuk dicatat bahwa analisis Aggarwal dan Lee, Ravenhill,

Hoekman dan Kostecki memiliki arah yang sama dengan argumen Okamoto dan Capling,

dimana kelimanya memberikan paparan terkait faktor-faktor pendorong suatu negara

dalam melakukan perjanjian perdagangan. Hal yang membedakan dari kelima analisis di

atas adalah bagaimana peran faktor dalam dan luar negeri memiliki pengaruh dan berperan

terhadap proses perubahan kebijakan strategi perdagangan. Okamoto, Capling bersama

Aggarwal dan Lee menempatkan politik dalam negeri beserta struktur yang ada di

dalamnya sebagai faktor terpenting dalam memahami dinamika strategi perdagangan.

Meskipun ketiga analisis menempatkan faktor luar negeri turut berpengaruh, (exogenous

shock dalam bahasa Okamoto, atau external shock, dalam bahasa Aggarwal dan Lee),

namun ketiga analisis tersebut memiliki prioritas yang sama dengan menempatkan politik

dalam negeri sebagai basis analisis. Sementara itu, Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki

Page 19: Hubungan Dagang Indonesia Australia

19

memiliki pendekatan yang lebih lunak. Dengan menempatkan faktor luar negeri sejajar

bersama faktor dalam negeri dalam memberikan pengaruh terhadap negara dalam inisiasi

perjanjian perdagangan, analisis dalam kedua tulisan tersebut memberikan klasifikasi yang

rinci terkait ragam faktor luar negeri. Tanpa meninggalkan peran faktor dalam negeri,

Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki menggarisbawahi bahwa kedua faktor bersifat

saling memberikan pengaruh terhadap proses pembuatan strategi perdagangan.

Melengkapi analisis Okamoto, Capling, Aggarwal dan Lee, Ravenhill, Hoekman

dan Kostecki, tesis ini akan berfokus pada faktor dalam dan luar negeri dengan

menitikberatkan pada kompleksitas hubungan tiga pertimbangan yang diajukan oleh

William D. Coplin dan Charles W. Kegley, yaitu konteks politik domestik, kapabilitas

ekonomi dan militer serta konteks internasional dalam proses pembuatan kebijakan terkait

kerja sama ekonomi Australia-ASEAN dalam AANZFTA. Dinamika hubungan negara

dengan masyarakat yang menjadi fokus gagasan Okamoto akan terintegrasi dalam kategori

konteks politik domestik, sementara pendapat Capling terkait dengan motif defensif dan

strategis akan tergabung dalam kategori kapabilitas ekonomi dan militer. Sebagaimana

analisis Ravenhill serta Hoekman dan Kostecki, analisis ini juga akan diimbangi dengan

faktor luar negeri dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu konteks internasional yang

akan menjelaskan inisiatif AANZFTA sebagai strategi diplomasi perdagangan plurilateral

adalah bentuk upaya Australia dalam merespon dinamika politik maupun ekonomi yang

terjadi di ASEAN pada dua dekade terakhir. Dalam hal ini, respon Australia tersebut

berupa regional engagement yang tidak hanya berdasar pada pemenuhan kepentingan

jangka pendek seperti keuntungan ekonomi semata, namun juga mencakup kepentingan

jangka menengah berupa hubungan yang harmonis antara Australia dengan negara-negara

Asia Tenggara.

D. Kerangka Teori

Untuk menganalisis pertanyaan penelitian tentang strategi diplomasi perdagangan

Australia dalam kawasan Asia Tenggara, penting untuk melihat kepada teori pembuatan

kebijakan yang digagas oleh William D. Coplin dan Charles W. Kegley. Dalam teori

tersebut Coplin dan Kegley menekankan bahwa kebijakan luar negeri pada dasarnya

merupakan hasil dari tiga pertimbangan yang saling mempengaruhi satu sama lain terhadap

pengambil kebijakan. Pertama, kondisi politik dalam negeri; kedua, kemampuan ekonomi

dan militer; dan ketiga, konteks internasional, yaitu posisi khusus negara dalam

Page 20: Hubungan Dagang Indonesia Australia

20

hubungannya dengan negara lain dalam sistem internasional.21 Sebagai pertimbangan

pertama, kondisi politik dalam negeri meliputi interaksi di antara para aktor yang

mempengaruhi kebijakan (policy influencers), yang terdiri atas birokrat, partai politik,

kelompok kepentingan dan massa. Dalam pembuatan kebijakan ekonomi luar negeri,

Coplin dan Kegley menekankan peran kelompok kepentingan, partai politik dan birokat

sebagai aktor yang paling berperan dalam sistem pengaruh kebijakan di level politik dalam

negeri. Sistem pengaruh kebijakan dalam suatu negara merupakan interaksi antara para

pengambil keputusan dengan para policy influencers. Coplin dan Kegley menambahkan,

kelompok kepentingan memiliki peran yang lebih besar dalam negara dengan sistem

politik yang terbuka seperti Australia. Meskipun demikian, tidak dapat diasumsikan bahwa

kelompok kepentingan selalu menjadi penentu utama desain dan arah kebijakan ekonomi

luar negeri sebuah negara. Sebaliknya, dalam sebuah negara bersistem politik terbuka juga

memungkinkan kelompok kepentingan memiliki peran yang terbatas dalam menggunakan

pengaruh. Gambaran yang sama juga terlihat dari peran partai politik dalam negara

bersistem politik terbuka.

Pertimbangan kedua, kekuatan ekonomi dan militer, dapat dicatat bahwa Coplin

dan Kegley menekankan beberapa aspek dalam kedua kekuatan tersebut. Pada kekuatan

ekonomi, aspek yang dimaksud meliputi sejarah perkembangan kondisi ekonomi, kapasitas

produksi nasional serta ketergantungan suatu negara pada perdagangan internasional.

Sejarah perkembangan kondisi ekonomi dinilai berperan besar dalam mempengaruhi arah

kebijakan ekonomi luar negeri, khususnya dalam mengukur kapasitas produksi komoditas

ekspor. Analisis terhadap kedua aspek ini menunjukkan tingkat ketergantungan ekonomi

suatu negara terhadap perdagangan internasional. Pada kekuatan militer, Coplin dan

Kegley menekankan peran kapasitas penggunaan kekuatan militer serta ketergantungan

keamanan nasional terhadap aktor luar negeri, dimana keduanya dinilai memiliki pengaruh

dalam membentuk arah politik luar negeri suatu negara.

Pertimbangan ketiga memperlihatkan dimensi yang berbeda dari pertimbangan

pertama dan kedua. Bila politik dalam negeri dan kekuatan ekonomi serta militer adalah

bagian dari dinamika dalam negeri suatu negara, maka konteks internasional sebagai

pertimbangan ketiga merupakan dimensi luar negeri yang berperan dalam memberikan

pengaruh terhadap politik luar negeri. Sifat konteks internasional yang diwarnai dengan

hubungan antar negara dengan kondisi-kondisi dalam sistem internasional menentukan

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!21 W.D. Coplin & C.W. Kegley, Multi Method Introduction to International Politics, Markham

Publishing Company, Chicago, 1971, pp. 30-31.

Page 21: Hubungan Dagang Indonesia Australia

21

bagaimana suatu negara akan berperilaku. Dalam menjelaskan pertimbangan ini, Coplin

dan Kegley menekankan tiga aspek yang terdiri atas aspek geografis, ekonomis dan politis.

Kedekatan geografis berhubungan dengan perdagangan antarnegara serta keanggotaan

bersama dalam organisasi-organisasi antarpemerintah. Demikian halnya dengan aspek

ekonomis yang merupakan bagian penting dalam konteks internasional. Arus barang dan

jasa maupun arus modal menciptakan pola ketergantungan suatu negara terhadap negara

lain. Selain itu, aspek politis yang digambarkan dengan hubungan politis antarnegara juga

berperan besar dalam politik luar negeri suatu negara. Menurut Coplin dan Kegley, aliansi

keamanan dapat berdampak besar terhadap anggota maupun non-anggota aliansi dalam

perumusan politik luar negeri.

Ketiga pertimbangan di atas memiliki peran yang saling berkesinambungan dalam

mempengaruhi pertimbangan pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan. Konteks

dalam negeri yang terdiri atas politik dalam negeri, kekuatan ekonomi dan militer berperan

bersama dengan konteks internasional dalam membentuk arah politik luar negeri. Ketiga

pertimbangan tidak berdiri secara terpisah, melainkan saling memberikan pengaruh dalam

proses pembuatan kebijakan. Politik luar negeri sebagai output dari pendekatan Coplin dan

Kegley ini mencakup fokus analisis yang luas, dari kebijakan yang terkait dengan hukum

dan keamanan internasional hingga kebijakan ekonomi luar negeri suatu negara. Lebih

jauh, Coplin dan Kegley menegaskan bahwa politik internasional adalah perilaku dan

komitmen suatu negara terhadap isu-isu internasional. Dalam kondisi tersebut, kebijakan

luar negeri dapat dipahami sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasional tertentu oleh

suatu negara.

Dengan dasar pendekatan di atas, teori Coplin dan Kegley dapat menjelaskan

kebijakan ekonomi luar negeri Australia yang terkait dengan diplomasi perdagangan

dengan Asia Tenggara. Dari sisi pertimbangan pertama, teori ini mengungkap peran policy

influencers politik dalam negeri yang mendorong pemerintah Australia menginisiasi

AANZFTA. Pertama, hubungan pemerintah dan sektor swasta yang diwarnai dengan

agenda liberalisasi perdagangan yang terfokus pada kawasan Asia Pasifik, dimana kondisi

ini menggambarkan peran birokrat, partai politik dan kelompok kepentingan. Bob Hawke

membuka pintu liberalisasi perdagangan sebagai bagian dari agenda reformasi struktural

dengan menciptakan interaksi intensif bersama para pelaku industri dan buruh untuk

memastikan liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Liberalisasi tersebut

terus menjadi prioritas bagi Australia, terlepas dari pergantian pemerintahan. Hingga

pemerintahan Julia Gillard, liberalisasi perdagangan diterapkan dengan beragam strategi.

Page 22: Hubungan Dagang Indonesia Australia

22

Inisiasi pemerintah Australia atas AANZFTA sebagai perjanjian plurilateral digagas sejak

periode Howard di tengah kebijakan yang lebih mengarah pada perjanjian perdagangan

bilateral. Melalui kerangka kerja AFTA-CER dan pembentukan ACBC perumusan

AANZFTA dinilai sebagai bentuk kerja sama ekonomi yang strategis antara ketiga pihak

tersebut. Meskipun demikian, AANZFTA banyak mendapatkan catatan dan kritik dari

berbagai sektor industri di Australia, khususnya hortikultur dan agrikultur. Penerapan tarif

masuk yang lebih tinggi dibanding perjanjian bilateral Australia dengan negara-negara

ASEAN dipandang oleh sektor industri hortikultur sebagai kondisi yang tidak efektif dan

merugikan pertumbuhan sektor tersebut. Selain itu, Sektor manufaktur menilai AANZFTA

tidak akan mampu membawa dampak positif bagi kenaikan volume ekspor Australia dalam

sektor tersebut. Pada sisi pemerintah, National Interest Analysis juga memberikan catatan

penting seperti pengaturan tarif, mekanisme negosiasi serta masukan pertimbangan tentang

perlindungan lingkungan, hak asasi manusia dan standar hidup buruh. Dengan tidak

didapatkannya dukungan penuh sektor swasta terhadap AANZFTA, dapat dilihat bahwa

inisiasi atas AANZFTA didasarkan pada pertimbangan yang lebih luas dari sekadar

interaksi pemerintah dengan sektor swasta.

Kedua, hal utama yang mendorong AANZFTA selain interaksi pemerintah dengan

swasta dan agenda liberalisasi adalah pengaruh ideologi dan politik bipartisan dalam

dinamika parlemen Australia. Hal ini semakin menegaskan peran penting partai politik

dalam pembuatan kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Pengaruh ideologi tidak lagi

berdampak signifikan dalam proses pembuatan kebijakan dalam Partai Buruh maupun

Partai Liberal. Kedua partai yang memiliki ideologi yang berbeda tersebut telah

menghadapi ujian keberpihakan kebijakan partai pada agenda liberalisme. Kondisi ini

mendorong terjadinya politik bipartisan dalam parlemen Australia. Politik bipartisan

terjadi dalam ruang lingkup kebijakan politik keamanan, sosial maupun ekonomi. Dalam

konteks ekonomi, politik bipartisan sangat jelas terlihat dalam kebijakan liberalisasi

ekonomi dalam negeri yang menjadi prioritas bagi kedua partai dalam tiga dekade terakhir.

Dengan komitmen bipartisan di antara kedua partai, inisiasi Australia atas AANZFTA

relatif lancar dan tidak menemukan kendala berarti dalam level prosedural parlemen.

Berdasar pada realitas dalam parlemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa inisiasi

AANZFTA tidak hanya didasarkan pada kalkulasi ekonomi, melainkan juga membawa

agenda pendekatan regional terhadap kawasan ASEAN.

Pertimbangan kedua menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Pendekatan

Coplin dan Kegley telah mengungkapkan dua hal. Pertama, sejarah perkembangan

Page 23: Hubungan Dagang Indonesia Australia

23

ekonomi Australia menunjukkan perubahan komposisi ekspor yang mendorong resiko

kerentanan ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap inisiasi AANZFTA. Perubahan

dinamika ekonomi global yang ditandai dengan munculnya industrialisasi dan urbanisasi di

negara-negara Asia Timur, khususnya Cina, telah mendorong peningkatan kapasitas

produksi berupa lonjakan permintaan ekspor bahan baku untuk mendukung kebutuhan

sektor manufaktur. Lonjakan ekspor tersebut berdampak signifikan terhadap perekonomian

Australia sehingga mempengaruhi komposisi ekspor Australia yang kini didominasi oleh

sektor pertambangan. Dengan terminologi “resource boom”, Australia melihat lonjakan

ekspor tersebut sebagai dampak positif dari industrialisasi yang terjadi di Asia Timur.

Namun di sisi lain, lonjakan ekspor tersebut juga berdampak terhadap ketergantungan

Australia atas permintaan ekspor dari Cina. Bahkan, lonjakan ekspor tersebut berisiko

mendekatkan Australia pada kerentanan ekonomi ketika daya tahan perekonomian

Australia saat ini justru lebih bergantung dari permintaan ekspor.

AANZFTA dinilai sebagai instrumen penting untuk mendukung diversifikasi

produk ekspor agar Australia tidak hanya mengandalkan sektor pertambangan sebagai

komoditas ekspor. Hal ini dianggap relevan karena neraca perdagangan antara Australia

dan ASEAN dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan

permintaan di sektor non-pertambangan, seperti manufaktur dan agrikultur. Dalam konteks

ini telah disimpulkan bahwa AANZFTA juga berperan dalam mendorong pemerintah

untuk melakukan reformasi domestik, khususnya untuk meningkatkan daya saing industri

pada sektor agrikultur. Meskipun demikian, agenda diversifikasi ekspor dan reformasi

domestik tidak dapat diterjemahkan sebagai faktor terpenting dalam mendorong inisiasi

AANZFTA karena kedua agenda tersebut juga diterapkan dalam perjanjian perdagangan

lainnya yang digagas oleh Australia.

Kedua, kondisi militer Australia yang diwarnai oleh evolusi strategi pertahanan

yang semakin menekankan pentingnya stabilitas kawasan dinilai sebagai faktor yang

mendorong inisiasi AANZFTA. Kondisi ini menunjukkan kapasitas penggunaan kekuatan

militer Australia. Stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara merupakan prioritas bagi

pertahanan Australia, sebagaimana tercantum dalam dokumen Kertas Putih Pertahanan.

Pengerahan kekuatan militer bukan menjadi pilihan bagi Australia, melainkan justru

merupakan bagian dari penjajakan kerja sama antara Australia dan ASEAN di berbagai

bidang, khususnya bidang ekonomi. Peran AANZFTA dalam menjalin kerja sama tersebut

sangat penting untuk mendukung kondisi keamanan Asia Tenggara yang stabil dan

berkelanjutan. Selain itu, perkembangan strategi pertahanan Australia menunjukkan bahwa

Page 24: Hubungan Dagang Indonesia Australia

24

aliansi keamanan dengan Amerika Serikat tidak lagi sepenuhnya mampu menjamin

keberlanjutan keamanan Australia. Meskipun aliansi tersebut masih berjalan hingga kini,

telah dijelaskan bahwa AANZFTA adalah bentuk upaya Australia untuk meningkatkan

kapabilitas pertahanan secara mandiri melalui diplomasi ekonomi luar negeri yang terfokus

pada penjajakan perjanjian perdagangan bebas antara Australia dan ASEAN.

Pada pertimbangan yang ketiga, pendekatan Coplin dan Kegley mengungkapkan

aspek geografis, ekonomis dan politis yang saling terkait. Pertama, dinamika ekonomi

politik kawasan Asia Tenggara yang mengindikasikan proliferasi perjanjian perdagangan

bebas dalam dua dekade terakhir turut mempengaruhi Australia untuk menggagas

AANZFTA. Keputusan Australia untuk menjajaki perjanjian perdagangan bebas dengan

ASEAN merupakan langkah diplomatis untuk mengirim sinyal kepada kawasan bahwa

Australia tetap memiliki komitmen serius terhadap liberalisasi perdagangan, sekaligus

sebagai bentuk pendekatan regional. Tanpa kehadiran AANZFTA, Australia melihat

potensi munculnya risiko untuk dikesampingkan dalam agenda kerja sama ekonomi

kawasan, khususnya bila tidak ikut serta menjadi salah satu aktor di dalam proliferasi

perjanjian tersebut. Hal ini semakin dikuatkan dengan temuan bahwa negara-negara mitra

dagang yang bekerja sama dengan ASEAN merupakan mitra dagang terpenting bagi

Australia, seperti Cina, Jepang, India dan Korea Selatan.

Kondisi tersebut di atas menunjukkan sentralitas ASEAN yang juga terjadi pada

ruang lingkup kerja sama yang lain. Selain bidang ekonomi, sentralitas ASEAN juga

terlihat dalam bidang politik dan keamanan, sebagaimana terlihat melalui terbentuknya

ARF dan EAS. Menguatnya sentralitas ASEAN ini dipahami oleh Australia sebagai

momentum untuk menguatkan agenda pendekatan regional, salah satunya melalui kerja

sama perdagangan. Hal ini dianggap penting karena pada saat yang sama Australia

menemukan hambatan dalam menjalankan agenda APEC di kawasan sebagai forum kerja

sama ekonomi yang tidak mengikat, beranggotakan negara-negara dengan keberagaman

ekonomi yang tinggi. Melihat dinamika tersebut, AANZFTA dipahami sebagai bentuk

respon proaktif Australia terhadap pengembangan kerja sama ekonomi kawasan Asia

Tenggara.

Kedua, perimbangan kekuatan dan pengaruh antara AS dan Cina di Asia Tenggara

dalam satu dekade terakhir semakin menegaskan motivasi Australia dalam menggagas

AANZFTA. Pertumbuhan ekonomi Cina yang signifikan mendorong pengaruh yang lebih

besar terhadap kawasan Asia Tenggara. Terjalinnya perjanjian perdagangan bebas dalam

skema ACFTA merupakan bentuk pengaruh Cina yang dimaksud. Pertumbuhan pengaruh

Page 25: Hubungan Dagang Indonesia Australia

25

Cina tersebut disikapi oleh AS dengan penjajakan kerja sama perdagangan dengan ASEAN

melalui jalur bilateral maupun plurilateral. Perjanjian USSFTA dan TPP dilihat sebagai

instrumen yang strategis bagi AS, meskipun ukuran dari kedua perjanjian tersebut berada

di bawah ACFTA. Untuk mengimbangi pengaruh Cina, AS juga menguatkan arus PMA

langsung di Asia Tenggara sehingga selama beberapa dekade terakhir ia menjadi salah satu

negara sumber PMA asing terbesar di kawasan tersebut. Kondisi ini semakin relevan untuk

melihat rivalitas AS-Cina jika dihadapkan realitas di bidang perdagangan, di mana Cina

merupakan mitra dagang terbesar ASEAN.

Selain bidang ekonomi, rivalitas kedua negara besar tersebut juga terlihat dalam

bidang politik dan keamanan, khususnya pada kasus sengketa Laut Cina Selatan. Posisi

Cina yang bersikukuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur bilateral serta

kecenderungan sikap asertif Cina dalam menyelesaikan sengketa tersebut menjadi salah

satu pemicu AS untuk menegaskan komitmennya terhadap stabilitas keamanan di ASEAN.

Diplomasi AS melalui ARF yang disikapi Cina sebagai bentuk intervensi yang tidak perlu

semakin menguatkan ketegangan antara kedua negara tersebut dalam hal kontestasi

pengaruh di Asia Tenggara. Kondisi ini menjadi faktor penting yang mendorong

AANZFTA berperan sebagai upaya Australia untuk melakukan harmonisasi hubungan

antara Australia, ASEAN, Cina dan AS. Posisi sebagai mitra aliansi keamanan AS dan

mitra dagang Cina menuntut Australia untuk mampu memainkan peran strategis dengan

baik. AANZFTA diharapkan mampu berperan menjadi jembatan dialog bagi Australia dan

ASEAN dalam menghadapi berbagai perkembangan isu ekonomi dan keamanan

kontemporer, khususnya terkait kontestasi AS-Cina.

E. Hipotesis

Dengan berdasar analisis Okamoto, Capling, Aggarwal dan Lee, Ravenhill,

Hoekman dan Kostecki serta teori pembuatan kebijakan Coplin dan Kegley, penulis

mengajukan hipotesis bahwa Australia tetap menginisiasi AANZFTA karena perjanjian

tersebut didorong oleh faktor politik dalam negeri yang terdiri atas interaksi pemerintah

dengan sektor swasta yang mengarah pada liberalisasi perdagangan, dinamika partai

politik dalam parlemen serta kekuatan ekonomi dan militer Australia, serta faktor luar

negeri berupa dinamika ekonomi politik Asia Tenggara serta kontestasi kekuatan AS-Cina

di kawasan Asia Tenggara. Kedua faktor tersebut mendorong pemerintah Australia untuk

menjadikan AANZFTA tidak hanya sebagai perjanjian perdagangan yang memiliki tujuan

Page 26: Hubungan Dagang Indonesia Australia

26

ekonomi, namun sekaligus sebagai instrumen diplomasi pendekatan regional terhadap

ASEAN yang dilihat sebagai tujuan non-ekonomi.

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab I Pendahuluan ini, pada Bab II

akan dijelaskan mengapa Australia tetap melaksanakan skema kerja sama perdagangan

multilateral melalui AANZFTA dari pendekatan politik dalam negeri. Bab ini akan

menguraikan besarnya pengaruh koalisi kelompok kepentingan terhadap kebijakan

pemerintah Australia terkait kerja sama perdagangan dan investasi. Selain itu, pada bab ini

juga akan dijelaskan kecenderungan politik luar negeri Australia yang semakin bipartisan

sehingga akan terlihat gambaran tekanan domestik dalam mendorong perlunya AANZFTA

bagi Australia.

Analisis pada Bab III akan berfokus pada motif Australia di balik inisiasi

AANZFTA melalui pendekatan kemampuan ekonomi dan militer. Bab ini akan

menguraikan kondisi ekonomi Australia dalam satu dekade terakhir yang menuntut

perlunya kerja sama ekonomi melalui perjanjian perdagangan bebas. Kepentingan strategis

Australia dalam menjaga hubungan harmonis dengan ASEAN melalui AANZFTA sebagai

upaya menekan dampak negatif dari kerja sama militer dengan AS juga akan menjadi salah

satu hal yang dijelaskan pada bab ini.

Bab IV akan melihat dinamika konteks internasional dalam lingkup kawasan.

Perkembangan hubungan Australia-ASEAN dalam satu dekade terakhir menuntut

Australia untuk melakukan upaya yang lebih komprehensif dalam melakukan kemitraan

dengan negara-negara anggota ASEAN. Pada bab ini juga akan dijelaskan ragam dinamika

hubungan Australia-ASEAN sehingga akan terlihat bahwa AANZFTA merupakan bentuk

respon diplomasi pemerintah Australia untuk melakukan integrasi holistik dengan Asia

Tenggara yang tidak hanya terbatas pada kalkulasi keuntungan ekonomi.

Penutup tesis ini akan disampaikan di Bab IV, di mana penulis akan menyampaikan

kesimpulan dan inferens yang bisa ditarik dari hasil pengkajian isu yang diteliti.