hubungan asfiksia dengan bayi baru lahir
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal merupakan salah satu unsur penentu status
kesehatan. Pelayanan kesehatan neonatal dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil. Pertumbuhan dan perkembangan bayi periode
neonatal merupakan periode yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan
kematian bayi (Safrina, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO) setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120
juta bayi baru lahir mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini meninggal. Di Indonesia, dari
seluruh kematian bayi , sebanyak 57% meninggal. Penyebab kematian bayi baru lahir di
Indonesia adalah bayi berat lahir rendah (29%), asfiksia (27%), trauma lahir, tetanus
neonatorum, infeksi lain dan kelainan kongenital (Wiknjosastro, 2008).
Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 angka kematian
bayi sebesar 34 kematian/1000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi ini sebanyak 47%
meninggal pada masa neonatal, setiap lima menit terdapat satu neonatus yang meninggal.
Adapun penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia, salah satunya asfiksia yaitu sebesar
27% yang merupakan penyebab ke-2 kematian bayi baru lahir setelah Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) (Depkes RI, 2008).
Adapun penyebab langsung kematian bayi baru lahir 29% disebabkan berat bayi lahir rendah
(BBLR), asfiksia (13 %), tetanus (10 %), masalah pemberian makan (10 %), infeksi (6,7 %),
gangguan hematologik (5 %), dan lain-lain (27 %) (Yurnaldi, 2011).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas, sehingga dapat
menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2010).
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga
dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya (Prawirohardjo, 2009).
Faktor yang menyebabkan kejadian Asfiksia adalah faktor ibu yaitu usia ibu kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun (DepKes RI, 2009). Kehamilan pada usia yang terlalu muda
dan tua termasuk dalam kriteria kehamilan risiko tinggi dimana keduanya berperan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin (Widiprianita, 2010).
Umur muda (< 20 tahun) beresiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi)
maupun secara mental. Hasil penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor
resiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas asfiksia, sedangkan umur
tua (> 35 tahun), secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan.
Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture
uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir
(Purnamaningrum, 2010).
Faktor resiko terjadinya asfiksia yaitu usia kehamilan / masa gentasi sangat berpengaruh pada
bayi yang akan dilahirkan, faktor bayi prematur sebelum 37 minggu kehamilan dan faktor ibu
yaitu kehamilan post term atau kehamilan melebihi 42 minggu (DepKes RI, 2009).
Bayi prematur (<37 minggu) lebih beresiko untuk meninggal karena asfiksia (Lee, 2006).
Umumnya gangguan telah dimulai sejak dikandungan, misalnya gawat janin atau stres janin
saat proses kelahirannya (Purnamaningrum, 2010).
Bayi prematur sebelum 37 minggu kehamilan merupakan salah satu faktor resiko terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir. Jadi terdapat hubungan yang erat antara persalinan preterm
yang menyebabkan fungsi organ-organ bayi belum berbentuk secara sempurna, kegagalan
bernafas pada bayi prematur berkaitan dengan defisiensi kematangan surfaktan pada paru-
paru bayi. Bayi prematur mempunyai karakteristik yang berbeda secara anatomi maupun
fisiologi jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan salah satu karakteristik bayi preterm
ialah pernafasan tidak teratur dan dapat terjadi gagal nafas (Purnamaningrum, 2010).
Adapun usia kehamilan >42 minggu (post term) atau disebut dengan lewat bulan juga
merupakan faktor resiko dimana bayi yang dilahirkan dapat mengalami asfiksia yang bisa
disebabkan oleh fungsi plasenta yang tidak maksimal lagi akibat proses penuaan
mengakibatkan transportasi oksigen dari ibu ke janin terganggu (Pantiawati, 2010).
Menurut Aminulloh (2002) dalam penelitian Katriningsih (2009) ada hubunganfaktor yang
berkaitan dengan terjadinya Asfiksia dapat dilihat dari faktor ibu yang meliputi usia ibu
waktu hamil, umur kehamilan saat melahirkan, paritas, dan faktor janin meliputi bayi
prematur.
Berdasarkan hasil Penelitian Revrely yang dilakukan di Ruangan IRINA D RSUP Prof Dr. R.
D. Kandou Manado hubungan umur ibu dengan asfiksia neonatorum menunjukkan angka
yang paling besar presentasinya adalah umur ibu yang berisiko (<20 tahun; >35 tahun)
dengan bayi yang asfiksia yaitu 13 bayi atau 52%. Dari hasil analisa hubungan kedua variabel
dengan menggunakan uji statistik Chi Square menunjukkan ada hubungan umur ibu dengan
kejadian asfiksia neonatorum dengan signifikansi (p) = 0.015, pada α < 0,05. Odds Ratio
(OR) = 1,563. Berarti umur ibu yang berisiko (< 20 tahun; > 35 tahun) mempunyai peluang
1,563 kali bayinya mengalami asfiksia dari pada umur ibu yang tidak berisiko (20-35 tahun)
(Revrely, 2011).
Berdasarkan data Dinas kesehatan Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2008 jumlah
kelahiran yaitu 156.348 orang dengan jumlah kematian bayi yaitu 3,4% (537 kematian bayi),
sedangkan pada tahun 2009 jumlah kelahiran 102.205 orang dengan jumlah kematian bayi
yaitu 0,8% (79 kematian bayi). Persentase kematian tertinggi terjadi di Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI) (1,31%) dan Lahat (0,82%), persentase terendah di Kabupaten Muara
Enim (0,14%) dan Empat Lawang (0,13%) (Dinkes Provinsi Sumatra Selatan, 2010).
Menurut data dinas kesehatan kota Palembang pada tahun 2008 jumlah kelahiran sebesar
30.104 orang dengan angka kematian 4 per 1000 Kelahiran Hidup, Sedangkan pada tahun
2009 jumlah kelahiran sebesar 30.117 orang dengan jumlah angaka kematian bayi yaitu
sekitar 2 per 1000 Kelahiran Hidup (Dinkes Kota Palembang, 2010).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik Kebidanan RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang, pada tahun 2009 jumlah kelahiran 2437 bayi dengan jumlah kejadian
asfiksia pada bayi sebanyak 105 bayi (4,3%), pada tahun 2010 jumlah kelahiran 2183 bayi
dengan jumlah kejadian asfiksia pada bayi sebanyak 143 orang (6,2%), Pada tahun 2011
jumlah kelahiran 2410 bayi dengan jumlah kejadian asfiksia pada bayi sebanyak 167 bayi
(6,9%).Dari data 3 tahun terakhir presentase kejadian asfiksia tingkat kejadiannya meningkat
dari tahun sebelumnya (Medical Record RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, 2011).
Berdasarkan data diatas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Antara Usia
Ibu dan Umur Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian masalah diatas maka penulis membuat rumusan masalah “Apakah ada Hubungan
antara Usia Ibu dan Umur Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.”
1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara usia ibu dan umur kehamilan dengan kejadian asfiksia pada
bayi baru lahir di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan antara Usia Ibu dan Umur Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia
pada Bayi Baru lahir Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian Asfiksia di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2011.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi Usia Ibu di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2011.
3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi Umur Kehamilan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2011.
4. Untuk mengetahui hubungan antara Usia Ibu dengan kejadian Asfiksia pada bayi baru lahir
di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
5. Untuk mengetahui hubungan antara Umur Kehamilan dengan kejadian Asfiksia pada bayi
baru lahir di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Petugas Kesehatan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan sebagai masukan bagi petugas kesehatan
khususnya di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, diharapkan dapat meningkatkan
pelayanan kesehatan pada ibu bersalin dan dapat menghindari terjadinya asfiksia pada bayi
baru lahir dengan harapan dapat mengurangi angka kematian bayi baru lahir.
1.4.2 Bagi Mahasiswa Kebidanan Bina Husada Palembang
Dapat dijadikan sebagai sumber bacaan atau referensi serta menjadi bahan atau data dasar
bagi penelitian lebih lanjut, khususnya mengenai bayi baru lahir dengan asfiksia di Akademi
Kebidanan Tunas Harapan Bangsa Palembang.
1.4.3 Bagi Peneliti
Sebagai penerapan dalam mata kuliah metode penelitian dan dapat menambah pengetahuan
serta pengalaman peneliti secara langsung di dalam mengaplikasikan ilmu metode penelitian.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini termasuk dalam Bidang Asuhan Kebidanan pada Neonatus Bayi dan Balita
dengan sasaran Bayi Baru Lahir dengan Kejadian Asfiksia yang dirawat dan tercatat di
Ruang Kebidanan RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2011. Data yang diambil
adalah data Sekunder yaitu bayi baru lahir selama 3 tahun terakhir (tahun 2009- tahun 2011).
Yang mana peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara Usia Ibu dan Umur
Kehamilan dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Tahun 2011yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Asfiksia Bayi Baru Lahir
2.1.1 Pengertian
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia
pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil,
kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengarui kesejahteraan bayi selama atau sesudah
persalinan (Wiknjosastro, 2008).
Asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi dimana bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir (Betz dan Sowden, 2002). Keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, sampai asidosis (Hidayat, 2008).
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah
persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali pusat, atau masalah pada
bayi selama atau sesudah persalinan (Depkes RI, 2009).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas, sehingga dapat
menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2010).
Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir yang mengalami gagal
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat
memasukkan oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya (Dewi,
2011).
2.1.2 Penyebab Terjadinya Asfiksia Bayi Baru Lahir
2.1.2.1 Penyebab terjadinya Asfiksia menurut (DepKes RI, 2009)
1. Faktor Ibu
a. Preeklamsia dan eklamsia.
b. Perdarahan abnormal (plasenta prervia atau solutio
plasenta).
c. Partus lama atau partus macet.
d. Demam selama persalinan.
e. Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV).
f. Kehamilan post matur.
g. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
h. Gravida empat atau lebih.
2. Faktor Bayi
a. Bayi Prematur (Sebelum 37 minggu kehamilan).
b. Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ektraksi vakum, porsef).
c. Kelainan kongenital.
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).
3. Faktor Tali Pusat
a. Lilitan tali pusat.
b. Tali pusat pendek.
c. Simpul tali pusat.
d. Prolapsus tali pusat.
2.1.2.2 Penyebab terjadinya Asfiksia menurut (Proverawati, 2010)
1. Faktor Ibu
Oksigenisasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anastesi, penyakit
jantung, sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida, dan tekanan darah ibu
yang rendah akan menyebabkan asfiksia pada janin. Gangguan aliran darah uterus dapat
menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering
ditemukan pada: gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat: hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada
penyakit akiomsia dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin
dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya: plasenta tipis,
plasenta kecil, plasenta tak menempel, dan perdarahan plasenta.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus dapat mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah
umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini
dapat ditemukan pada keadaan: tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan
jalan lahir, dan lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi oleh karena pemakaian obat
anastesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi
pusat pernapasan janin, maupun karena trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya
perdarahan intra kranial. Kelainan kongenital pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika
atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
5. Faktor Persalinan
Partus lama dan partus karena tindakan dapat berpengaruh terhadap gangguan paru-paru.
2.1.3 Dampak Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
2.1.3.1 Dampak Asfiksia menurut Kosim (2010)
1. Otak : Ensepalo hipoksis iskemik (EHI).
2. Ginjal : Gagal ginjal akut.
3. Jantung : Gagal jantung.
4. Saluran cerna : EKN= Entero kolitis Nekrotikans/ NEC= Nekrotizing entero.
2.1.3.2 Dampak Asfiksia menurut Sarwono Prawirohardjo (2009)
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga
dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.
2.1.3.3 Dampak Asfiksia menurut Safrina (2011)
Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur.
Asfiksia atau gagal nafas dapat menyebabkan suplai oksigen ke tubuh menjadi terhambat, jika
terlalu lama membuat bayi menjadi koma, walaupun sadar dari koma bayi akan mengalami
cacat otak. Kejadian asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan perdarahan
otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan tumbuh kembang. Asfiksia juga dapat
menimbulkan cacat seumur hidup seperti buta, tuli, cacat otak dan kematian.
2.1.4 Macam-macam Rangsangan terjadinya Respirasi menurut Novita (2011)
2.1.4.1 Chemical Stimuli
Pada bayi baru lahir mengalami asfiksia sementara, akibatnya dari gangguan aliran darah
pada plasenta selama kontraksi uterus dan disertai dengan tekanan tali pusat saat kelahiran.
Kemoreseptor yang ada disertai carotic dirangsang dengan adanya penurunan kadar O2 dan
penurunan pH,
sehingga impuls tersebut men-trigerd sistem pusat pernapasan di medula oblongata.
2.1.4.2 Sensory Stimuli
Pada bayi lahir banyak sekali stimulus baru selama proses persalinan dan kelahiran, antara
lain sentuhan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman, dimana memberi kontribusi
terhadap pencetus dari pernafasan.
2.1.4.3 Thermal Stimuli
Rasa dingin merupakan kekuatan utama terhadap pencetus pernafasan. Rasa dingin pada
muka dan dada mengantarkan impuls ke medula untuk men-trigger pernafasan.
2.1.4.4 Mechanical Stimuli
Selama melalui jalan lahir, kurang lebih 30% cairan pada paru-paru fetus terisi oleh udara
dan alveoli berlahan-lahan mengeluarkan sampai 30 cc ke oropharing sebelum kelahiran.
Terjadi recoil dada setelah melalui jalan lahir, pengeluaran cairan tersebut mempermudah
udara masuk ke dalam paru-paru.
2.1.5 Tanda dan Gejala Asfiksia Bayi Baru lahir Menurut Dewi (2011)
2.1.5.1 Asfiksia Berat (nilai APGAR 0-3)
Pada kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis, sehingga memerlukan perbaikan
dan resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan gejala yang muncul pada asfiksia berat adalah
sebagai berikut:
a. Frekuensi jantung kecil, yaitu < 40 kali per menit.
b. Tidak ada usaha panas.
c. Tonus otot lemah bahkan hampir tidak ada.
d. Bayi tidak dapat memberikan reaksi jika diberikan rangsangan.
e. Bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu.
f. Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah persalinan.
2.1.5.2 Asfiksia Sedang (nilai APGAR 4-6)
Pada asfiksia sedang, tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut:
a. Frekuensi jantung menurun menjadi 60 – 80 kali per menit.
b. Usaha panas lambat.
c. Tonus otot biasanya dalam keadaan baik.
d. Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan.
e. Bayi tampak sianosis.
f. Tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna selama proses persalinan.
2.1.5.3 Asfiksia Ringan (nilai APGAR 7-10)
Pada asfiksia ringan, tanda dan gejala yang sering muncul adalah sebagai berikut:
a. Takipnea dengan napas lebih dari 60 kali per menit.
b. Bayi tampak sianosis.
c. Adanya retraksi sela iga.
d. Bayi merintih (grunting).
e. Adanya pernapasan kuping hidung.
f. Bayi kurang aktivitas.
Untuk menentukan tingkatan asfiksia, apakah bayi mengalami asfiksia berat, sedang atau
ringan/ normal dapat dipakai penelitian apgar skor (Benson, 2010).
APGAR score
A : Apprearance = Rupa (warna kulit)
P : Pulse = Nadi
G : Grimace = Menyeringai (akibat repleks kateter dalam hidung)
A : Activity = Keaktifan
R : Respiration = Pernafasan
Dibawah ini tabel untuk menentukan tingkat/derajat asfiksia yang dialami bayi pada saat dia
dilahirkan penilaian dilakukan pada menit pertama dan menit kelima pada saat bayi lahir.
Nilai APGAR
Tanda 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada Kurang dari 100/ menit Lebih dari 100/
menit
Usaha napas Tidak ada Lemah/tidak teratur (slow
irregular)
Baik/Menangis
kuat
Tonus otot Lumpuh Ekstremitas dalam fleksi
sedikit
Gerakan aktif
Reaksi terhadap
rangsangan
Tidak ada Sedikit gerakan mimik
(grimace)
Gerakan kuat/
melawan
Warna kulit Pucat Badan merah, ektrimitas
biru
Seluruh tubuh
kemerah-merahan
Sumber: Benson (2010) Buku Saku Ilmu Kebidanan.
Keterangan nilai APGAR:
1. 7 - 10: Bayi mengalami asfiksia ringan atau dikatakan bayi dalam
keadaan normal.
2. 4 – 6: Bayi mengalami asfiksia sedang.
3. 0 – 3: Bayi mengalami asfiksia berat.
2.1.6 Klasifikasi Klinis Asfiksia
1. Asfiksia Livida, ciri-cirinya : warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi
rangsangan positif, bunyi jantung reguler, prognosi lebih baik.
2. Asfiksia Pallida, ciri-cirinya : warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi
rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek (Sholihah, 2010).
2.1.7 Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin.
Diagnosis anoksia/hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-
tanda gawat janin. Tiga Hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:
1. Denyut jantung janin: prekuensi normal ialah antara 120 dan 160 denyutan permenit.
Apabila frekuensi denyutan turun sampai di bawah 100 permenit di luar his dan lebih-lebih
jika tidak teratur itu merupakan tanda bahaya.
2. Mekonium dalam air ketuban: adanya mekonium pada presentasi kepala mungkin
menunjukan gangguan oksigenasi dan gawat janin, karena terjadi rangsangan nervus X,
sehingga paristaltik usus meningkat dan sfingter ani membuka. Adanya mekonium dalam air
ketuban pada presentasi kepala merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu
dapat dilakukan dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin: adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu
turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya (Rukiyah, 2010).
2.1.8 Penatalaksanaan
2.1.8.1 Prinsip Resusitasi Menurut Manuaba (2010)
a. Kepala bayi diletakkan pada posisi yang lebih rendah.
b. Bersihkan jalan napas dari lendir, mulut dan tenggorok, saluran napas bagian atas.
c. Mengurangi kehilangan panas badan bayi dengan kain hangat.
d. Memberikan rangsangan menangis: menepuk telapak kaki, atau menekan tendon pada
tumit bayi.
e. Dalam ruang gawat darurat bayi selalu tersedia penghisap lendir bayi dan O2 dengan
maskernya.
2.1.8.2 Prinsip Resusitasi Menurut Hidayat (2008)
Merupakan tindakan dengan mempertahankan jalan napas agar tetap baik, sehingga proses
oksigenasi cukup agar sirkulasi darah tetap baik. Cara mengatasi asfiksia adalah sebagai
berikut.
a. Asfiksia Ringan APGAR skor (7 – 10)
Cara mengatasinya:
1. Bayi dibungkus dengan kain hangat
2. Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut.
3. Bersihkan badan dan tali pusat
4. Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan masukan kedalam inkubator
b. Asfiksia Sedang APGAR skor (4 – 6)
Cara mengatasinya:
1. Bersikan jalan napas.
2. Berikan oksigen 2 liter per menit
3. Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada reaksi, bantu
pernapasan dengan masker (ambubag)
4. Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis, berikan natrium bikarbonat 7,5%
sebanyak 6 cc. Dektrosa 40% sebanyak 4 cc disuntikan melalui vena umbilikus secara
berlahan-lahan untuk mencegah tekanan intrakranial meningkat.
c. Asfiksia Berat APGAR skor (0 – 3)
Cara mengatasinya:
1. Bersikan jalan napas sambil pompa melalui ambubag.
2. Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
3. Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT (endotracheal tube).
4. Bersikan jalan napas dengan ETT.
5. Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5%
sebanyak 6 cc. Selanjutnya berikan dekstrosa 40% sebanyak 4 cc.
2.1.8.3 Prinsip Resusitasi Menurut Benson (2010)
a. Apgar 7 atau lebih
Neonatus tidak perlu bantuan apapun
b. Apgar 4 – 6
1. Lanjutkan stimulasi dengan menggosok kaki, dada atau vertebra.
2. Pastikan bahwa neonatus kering dan hangat.
3. Memberi bantuan pernapasan dengan ventilasi menggunakan oksigen 100% dengan
masker wajah dan hati-hati berikan pernapasan dengan kecepatan 40-50/menit.
4. Lanjutkan observasi komponen Apgar yang lain, terutama frekuensi jantung, warna,
gerakan dan usaha pernapasan.
c. Apgar 0 - 3
Neonatus memerluakan bantuan lebih banyak tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti
tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi:
1. Airway (Memastikan saluran pernafasan terbuka)
a. Mengatur posisi neonatus dengan tepat (Kepala harus berlahan-lahan diletakkan dalam
posisi hiperekstensi bahu diganjal untuk menghilangkan obstruksi jaringan lunak trakea yang
potensial).
b. Membersihkan saluran pernapasan bayi.
c. Menghisap hidung dan mulut dengan hati-hati selama 10 – 15 menit.
2. Breathing (Memulai pernafasan)
a. Memakai rangsangan taktil untuk memulai pernafasan.
b. Memberikan oksigen dengan kantung dan masker dengan kecepatan 40 – 50
pernapasan /menit.
3. Circulation
a. Rangsangan dan pertahanan sirkulasi darah dengan cara kompresi jantung, dilakukan
dengan cara kompresi dada yang lebih cepat dan memerlukan tenaga yang ringan.
- Ini harus dilakukan dengan kecepatan 120 denyut/menit.
- Sternum harus ditekan sejauh 1 - 1,5 cm.
- Gunakan ujung jari tangan II dan III pada sepertiga tengah sternum atau kedua ibu jari
tangan sedangkan kedua tangan menscekram toraks dengan hati-hati.
b. Pemberian obat-obatan.
2.2 Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Asfiksia pada Bayi Baru
Lahir
2.2.1 Usia Ibu
Umur ibu pada waktu hamil sangat berpengaruh pada kesiapan ibu sehingga kualitas sumber
daya manusia makin meningkat dan kesiapan untuk menyehatkan generasi penerus dapat
terjamin. Kehamilan di usia muda/remaja (dibawah usia 20 tahun) akan mengakibatkan rasa
takut terhadap kehamilan dan persalinan, hal ini dikarenakan pada usia tersebut ibu mungkin
belum siap untuk mempunyai anak dan alat-alat reproduksi ibu belum siap untuk hamil.
Begitu juga kehamilan di usia tua (diatas 35 tahun) akan menimbulkan kecemasan terhadap
kehamilan dan persalinannya serta alat-alat reproduksi ibu terlalu tua untuk hamil (Safitri,
2010).
Kehamilan pada usia yang terlalu muda dan tua termasuk dalam kriteria kehamilan risiko
tinggi dimana keduanya berperan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun
janin (Widiprianita, 2010).
Umur muda (< 20 tahun) beresiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi)
maupun secara mental. Hasil penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor
resiko yang mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas asfiksia, sedangkan umur
tua (> 35 tahun), secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan.
Keadaan tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture
uteri, solutio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir
(Purnamaningrum, 2010).
Beberapa studi menyebutkan bahwa primigravida usia yang teralu muda ataupun tua
memiliki kemungkinan terjadinya komplikasi yang lebih besar dibandingkan primigravida
usia 20 – 30 tahun. Pada penelitian Awad Shehadeh di Queen Alia and Prince Hashem
Hospital pada primigravida berusia ≥ 35 tahun didapatkan angka kejadian komplikasi
keluaran maternal dan perinatal yang meningkat bila dibandingkan dengan primigravida usia
20-25 tahun yaitu pada kejadian perdarahan postpartum sebesar, persalinan dengan bedah
caesar, kelahiran prematur, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kelahiran mati, malformasi
kongenital, dan nilai apgar skor rendah (Widiprianita, 2010).
Menurut JT. Mutihir pada studinya di Nigeria disebutkan bahwa pada primigravida usia yang
berusia kurang dari 20 tahun memiliki risiko mengalami komplikasi persalinan dan
komplikasi perinatal yang lebih tinggi dibandingkan dengan primigravida usia 20 – 34 tahun,
yaitu peningkatan kejadian BBLR, asfiksia, persalinan preterm, lahir mati, persalinan
pervaginam dengan bantuan instrumen (Widiprianita, 2010).
Berdasarkan hasil Penelitian Revrely yang dilakukan di Ruangan IRINA D RSUP Prof Dr. R.
D. Kandou Manado hubungan umur ibu dengan asfiksia neonatorum menunjukkan angka
yang paling besar presentasinya adalah umur ibu yang berisiko (<20 tahun; >35 tahun)
dengan bayi yang asfiksia yaitu 13 bayi atau 52%. Dari hasil analisa hubungan kedua variable
dengan menggunakan uji statistik Chi Square menunjukkan ada hubungan umur ibu dengan
kejadian asfiksia neonatorum dengan signifikansi (p) = 0.015, pada α < 0,05. Odds Ratio
(OR) = 1,563. Berarti umur ibu yang berisiko (< 20 tahun; > 35 tahun) mempunyai peluang
1,563 kali bayinya mengalami asfiksia dari pada umur ibu yang tidak berisiko (20-35 tahun)
(Revrely, 2011).
2.2.2 Umur Kehamilan
Umur kehamilan atau usia gestasi (gestational age) adalah ukuran lama waktu seorang
janin berada dalam rahim. Usia janin dihitung dalam minggu dari hari pertama
menstruasi terakhir (HPMT) ibu sampai hari kelahiran (Kamus Kesehatan, 2011).
Menentukan usia kehamilan sangat penting untuk memperkirakan persalinan. Rumus Naegle
menggunakan usia kehamilan yang berlangsung selama 288 hari. Perkiraan kelahiran
dihitung dengan menentukan hari pertama haid terakhir yang kemudian ditambah 288 hari
(Manuaba, 2010).
a. Preterm
Partus prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu atau berat
badan lahir antara 500-2499 gram (Rukiyah, 2010).
Kejadian prematuritas pada sebuah kehamilan akan di picu oleh karakteristik pasien dengan:
Status sosial ekonomi yang rendah, termasuk didalamnya penghasilan yang rendah,
kehamilan pada usia 16 tahun dan primigravida >30 tahun, riwayat pernah melahirkan
prematur, pekerjaan fisik yang berat, tekanan mental (stress) atau kecemasan yang tinggi
dapat meningkatkan kejadian prematur, merokok, dan penggunaan obat bius/kokain
(Rukiyah, 2010).
Faktor predisposisi akan menambah keadaan prematuritas antara lain: infeksi saluran kemih,
penyakit ibu seperti hipertensi dalam kehamilan, asma, penyakit jantung, kecanduan obat,
kolestatis, anemia, keadaan yang menyebabkan distensi uterus berlebihan yaitu kehamilan
multiple, hidramnion, diabetes, perdarahan antepartum (Rukiyah, 2010).
Kegagalan perbafasan pada bayi prematur berkaitan dengan defisiensi kematangan surfaktan
pada paru- paru bayi. Bayi prematur mempunyai karakteristik yang berbeda secara anatomi
maupun fisiologi jika dibandingkan dengan bayi cukup bulan. Karakteristik tersebut adalah:
1. Kekurangan surfaktan pada paru-paru sehingga menimbulkan kesulitan pada saat
ventilasi.
2. Perkembangan otak yang imatur sehingga kurang kemampuan memicu pernafasan.
3. Otot yang lemah sehingga sulit bernafas spontan.
4. Kulit yang tipis, permukaan kulit yang luas dan kurangnya jaringan lemak kulit
memudahkan bayi kehilangan panas.
5. Bayi sering kali lahir disertai infeksi.
6. Pembuluh darah otak sangat rapuh sehingga mudah menyebabkan perdarahan pada
keadaan stres.
7. Volume darah yang kurang, makin rentan terhadap kehilangan darah.
8. Jaringan imatur, yang mudah rusak akibat kekurangan oksigen (Purnamaningrum, 2010).
b. Aterm
Kelahiran cukup bulan (full-term birth) adalah kelahiran hidup atau kelahiran mati yang
terjadi antara 37 dan 42 minggu usia kehamilan dihitung dari hari pertama haid yang terakhir
(Kamus Kesehatan, 2011).
c. Post term
Persalinan post term adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan yang berlangsung 42
minggu atau lebih (>249 hari), istilah lainnya yaitu serotinus. Menentukan kehamilan post
term dengan menggunakan rumus Neagle dihitung dari HPHT dan berdasarkan Taksiran
Persalinan (280 hari atau 40 minggu) dari HPHT (Rukiyah, 2010).
Pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan umur kehamilan melebihi 42 minggu kejadian
asfiksia bisa disebabkan oleh fungsi plasenta yang tidak maksimal lagi akibat proses penuaan
mengakibatkan transportasi oksigen dari ibu ke janin terganggu. Fungsi plasenta mencapai
puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42
minggu, hal ini dapat dibuktikan dengan menurunya kadar estriol dan plasental laktogen.
Rendahnya fungsi plasenta berkaitan dengan kejadian gawat janin dengan resiko (Pantiawati,
2010).
Menurut hasil penelitian Katriningsih tahun 2009 yang berjudul hubungan antara faktor Ibu
dengan kejadian Asfiksia neonatorum di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali dengan
menggunakan uji statistik Chi Square menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara umur kehamilan dengan asfikisa neonatorum dengan signifikasi (p) = 0,003, pada α <
0,05.
2.2.3 BBLR
Bayi Berat Lahir Rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram
tanpa memandang masa kehamilan (Proverawati, 2010).
Jalan nafas merupakan jalan udara melalui hidung, pharing, trachea, bronchioles,
bronchioles respiratorius, dan duktus alveoleris ke alveoli. Terhambatnya jalan nafas dapat
menimbulkan asfiksia, hipoksia dan akhirnya kematian. Selain itu BBLR tidak dapat
beradaptasi dengan asfikisa yang terjadi selama proses kelahiran sehingga dapat lahir dengan
asfiksia perinatal. Bayi BBLR beresiko mengalami serangan apneu dan defesiensi surfaktan,
sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh dari
plasenta (Proverawati, 2010).
Gangguan pernafasan sering menimbulkan penyakit berat pada Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR). Hal ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan pengembangan
paru yang masih belum sempurna. Otot pernafasan yang masih lemah dan tulang iga yang
mudah melengkung, sehingga sering terjadi apneu, asfiksia berat dan sindroma gangguan
pernafasan (Prawiharjo, 2005).
2.2.4 Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun
lahir mati. Dan paritas adalah jumlah kehamilan yang dilahirkan atau jumlah anak yang
dimiliki baik dari hasil perkawinan sekarang atau sebelumnya (Ilfa, 2010).
Paritas adalah jumlah persalinan yang telah dilakukan ibu. Paritas 2-3 merupakan paritas
paling aman di tinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas lebih dari 3
mempunyai angka kematian maternal yang disebabkan perdarahan pasca persalinan lebih
tinggi. Paritas yang rendah (paritas satu), ketidak siapan ibu dalam menghadapi persalinan
yang pertama merupakan faktor penyebab ketidak mampuan ibu hamil dalam menangani
komplikasi yang terjadi dalam kehamilan, persalinan dan nifas (Winkjosastro, 2007).
Paritas 1 beresiko karena ibu belum siap secara medis (organ reproduksi) maupun secara
mental. Hasil penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor resiko yang
mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas asfiksia, sedangkan paritas di atas 4,
secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan. Keadaan tersebut
memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture uteri, solutio
plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir (Purnamaningrum,
2010).
Menurut hasil penelitian Katriningsih tahun 2009 yang berjudul hubungan antara faktor Ibu
dengan kejadian Asfiksia neonatorum di RSU Pandan Arang Kabupaten Boyolali dengan
menggunakan uji statistik Chi Square menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara Paritas dengan asfikisa neonatorum dengan signifikasi (p) = 0,004, pada α < 0,05.
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari
masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2010).
Berdasarkan sumber yang didapat Aminulloh (2002) dalam Katriningsih (2009), penyebab
kegagalan pernafasan pada bayi antara lain disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat
disebabkan asfiksia neonatorum ialah faktor ibu yang meliputi usia ibu waktu hamil, umur
kehamilan saat melahirkan, paritas, dan faktor janin meliputi bayi premature.
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian asfiksia, dalam hal ini karena keterbatasan
tenaga, biaya, dan waktu, maka peneliti hanya meneliti dua faktor yaitu melakukan penelitian
pada faktor Usia Ibu dan Umur Kehamilan sebagai variabel independen. Sedangkan kejadian
asfiksia pada bayi baru lahir sebagai variabel Devenden, maka konsep serta variabel dalam
penelitian ini di gambarkan secara skematis.
3.2 Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Dependen
Asfiksia Bayi Baru Lahir
a. Pengertian : Yaitu suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir yang Terdiagnosis oleh Dokter.
b. Cara ukur : Mencatat di Rekam Medik
c. Alat ukur : chek list
d. Hasil ukur : 1 Ya : Jika bayi tidak dapat bernafas secara spontan yang
terdiagnosis oleh Dokter.
2. Tidak : Jika bayi dapat bernafas secara spontan yang terdiagnosis oleh Dokter.
e. Skala ukur : Nominal
3.2.2 Variabel Independen
1. Usia ibu
a. Pengertian : Umur ibu saat melahirkan anak terakhir dihitung dalam tahun yang
tercatat di Rekam Medik.
b. Cara ukur : Mencatat di Rekam Medik
c. Alat ukur : Chek list
d. Hasil ukur : 1 Resiko Tinggi, jika umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun.
2 Resiko Rendah, jika umur ibu 20-35 tahun (Widiprianita, 2010).
e. Skala ukur : Ordinal
2. Umur Kehamilan
a. Pengertian : Dimulai dari tanggal pertama wanita haid terakhir sebelum tes urine lalu
dinyatakan positif hamil hingga janin dilahirkan yang tercatat di Rekam Medik.
b. Cara ukur : Mencatat di Rekam Medik
c. Alat ukur : Chek list
d. Hasil ukur : 1 Preterm, jika umur kehamilan lebih dari 37 minggu.
2. Aterm, jika umur kehamilan 37 – 42 minggu.
3. Postterm, jika umur kehamilan lebih dari 42
minggu (Rukiyah, 2010).
e. Skala ukur : Ordinal
3.2 Hipotesis
a. Ada hubungan Usia Ibu dengan kejadian Asfiksia bayi baru lahir di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
b. Ada hubungan Umur Kehamilan dengan kejadian asfiksia bayi baru lahir di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2011.
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian adalah suatu proses untuk mencapai (secara sistematis dan didukung oleh data)
jawaban dari suatu pertanyaan, penyelesaian terhadap permasalahan, atau pemahaman yang
dalam terhadap suatu fenomena.
Penelitian ini menggunakan metode Survey Analitik yaitu survey atau penelitian yang
mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi, dengan
pendekatan Cross Sectional dimana data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan
variabel terikat atau variabel akibat, dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan
(Notoatmodjo, 2010).
Dimana data yang menyangkut variabel bebas atau resiko yaitu Usia Ibu dan Umur
Kehamilan dan variabel terikat atau variabel akibat yaitu Asfiksia pada Bayi Baru Lahir.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2010).Populasi penelitian ini adalah semua bayi baru lahir yang dirawat dan
tercatat berjumlah 2.410 orang di ruang Kebidanan RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang
tahun 2011 bulan Januari sampai dengan Desember 2011.
4.2.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2010).
Dalam penelitian ini sampelnya adalah sebagian bayi baru lahir yang di rawat diruang
Kebidanan RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang berjumlah 343 orang.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara sampel acak (Random Sample) yaitu setiap
anggota populasi itu mempunyai kesempatan yang sama untuk diambilsebagai sample. Besar
sample penelitian ini diambil dengan menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2010).
Cara pengambilan sample yaitu gengan teknik Acak Sistematis (Sistematic Random
Sampling). Caranya adalah membagi jumlah atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah
atau anggota populasi dengan perkiraan jumlah sample yang diinginkan hasilnya interval
sample (Notoatmodjo, 2010)
Sehingga interval yang didapatkan adalah 7. Maka anggota populasi yang terkena sampel
elemen yang mempunyai nomor kelipatan 7, yaitu: 7, 14, 21, 28, 35, 42 . . . dan seterusnya
sampai mencapai jumlah 343.
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.3.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di rencanakan di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012.
4.3.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini direncanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni tahun 2012 di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
4.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
4.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan suatu cara atau metode yang digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data dalam penelitian (Notoatmdjo, 2010).
Dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari hasil pendokumentasian Rekam Medik dan status bayi yang dirawat inap di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, bulan Januari – Desember 2011.
4.4.2 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data adalah alat ukur dalam penelitian (Notoadmodjo, 2005).
Instrumen pengumpulann data yang digunakan adalah Check list dan sebagai pedoman dalam
pengumpulan data.
4.5 Tehnik Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo (2010), proses pengolahan data ini melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
4.5.1 Editing (Pengeditan Data)
Editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau
kuisoner. Apakah semua pertanyaan sudah terisi, apakah jawaban atau tulisan masing-masing
pertanyaan cukup jelas atau terbaca, apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya, dan
apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban pertanyaan lainnya.
4.5.2 Coding (Pengkodean)
Setelah melakukan editing, selanjutnya dilakukan peng”kodean” atau “coding”, yakni
mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
4.5.3 Data Entry (Pemasukan Data)
Yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode” (angka
atau huruf) dimasukan kedalam program atau “software” komputer program yang sering
digunakan untuk “entri data” penelitian adalah paket progra SPSS for Window.
4.5.4 Cleaning Data (Pembersihan Data)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan perlu dicek
kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode dan
ketidak lengkapan, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
4.6 Analisa Data
4.6.1 Analisa Univariat (Analisis Deskriptif)
Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian.
Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase
dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisis yang telah dianalisis dilakukan dengan
distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel independen (Usia ibu dan Umur kehamilan) dan
variabel dependen (Kejadian asfiksia).
4.6.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel independen (usia ibu dan umur kehamilan) dengan variabel
dependen ( kejadian asfiksia) di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2011
yang dianalisis dengan uji statistik Chi-Square dan menggunakan komputerisasi dengan
tingkat kemaknaan α = 0,05.
Analisa ini dilakukan untuk melihat hubungan (kolerasi) antara variabel independen dengan
variabel dependen.
Keputusan dari pengujian Chi-Square :
1. Jika ρ value < a (0,05), Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen.
2. Jika ρ value > a (0,05) Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan
antara variabel independen dengan variabel dependen.
DAFTAR PUSTAKA
Aminullah, A. (2006). Asfiksia Neonatorum. In Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Dewi, V.N.L. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika
Fatimah Indarso, Resusitasi Pada Kegawatan Nafas Bayi Baru Lahir, Kumpulan Makalah
Pelatihan PPGD Bagi Dokter, JICA, RSUD Dr. Soetomo, Dinkesda Tk.I Jatim, 1999
Diposkan oleh Yuliana Yahuza di 22.55