hubungan antara status gizi dan tingkat konsumsi energi protein dengan frekuensi kejadian (ispa)...

Download Hubungan Antara Status Gizi Dan Tingkat Konsumsi Energi Protein Dengan Frekuensi Kejadian (Ispa) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi (Lengkap)

If you can't read please download the document

Upload: rexy-nunuhitu

Post on 26-Nov-2015

76 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

nn

TRANSCRIPT

PERBEDAAN RESIKO KEJADIAN ANEMIA ANTARA PENDERITA GONDOK DAN NON GONDOK DI SDN TLEKUNG 01 BATU

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI, PROTEIN

DENGAN FREKUENSI KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)

PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GONDANGLEGI,

KECAMATAN GONDANGLEGI KABUPATEN MALANG

Sri Andarini *, Asmika**, Ani Noviani***

Abstrak

Status gizi balita sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi terbanyak yang merupakan peringkat pertama sepuluh besar penyakit terbanyak di Indonesia adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Diantara ketiganya tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan tingkat konsumsi energi, protein dengan kejadian penyakit ISPA pada balita di wlilayah kerja Puskesmas Gondanglegi, Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 91 balita yang diambil dengan teknik cluster sampling. Variabel dalam penelitian ini adalah status gizi, tingkat konsumsi energi, protein dan frekuensi kejadian ISPA. Hasil uji statistika menggunakan Chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara status gizi dan frekuensi kejadian ISPA (p=0,023). Juga terdapat hubungan bermakna antara tingkat konsumsi energi dengan frekuensi kejadian ISPA (p=0,004). Selain itu juga terdapat hubungan bermakna antara antara tingkat konsumsi protein dengan frekuensi kejadian ISPA (p=0,010). Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa status gizi, tingkat konsumsi energi, protein mempengaruhi frekuensi kejadian ISPA pada balita.

Kata kunci: status gizi, tingkat konsumsi energi dan protein, frekuensi kejadian ISPA

Abstract

Nutritional status of children very influenced by energy, protein intake and in-fection diseases. One of the top ten disease in Indonesia is ARI. Between the three of these was inseparable and influenced one to another. The objective of this study was to observe relationship between nutritional status of children, energy, protein intake with occurence frequency of ARI disease. The analytic observasional study with cross-sectional approach was conducted among children under five in region work of Gon-danglegi Public Health Care, subdistrict Gondanglegi, district Malang. Amount 91 children under five taken by cluster sampling technique. Chi-Square Test were used to test the relationship between nutritional status of children under five with occurence frequency of ARI diseases, energy intake with occurence frequency of ARI diseases, protein intake with occurence frekuency of ARI diseases. The result showed that there are significant relation between nutritional status of children under five with occurence frequency of ARI diseases (p=0,023). There are significant relation between energy intake with occurence frequency of ARI diseases (p=0,004). There are significant relation between protein intake with occurence frequency of ARI diseases (p=0,010). Thus, there are relationship between nutritional status of, energy, protein intake with occurence frequency of ARI diseases in children under five.

Keyword: Nutritional Status, Energy Protein Intake, ARI diseases

* Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat FKUB

** Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat FKUB

*** Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan FKUB

PENDAHULUAN

Di suatu kelompok masyarakat, anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya ke-kurangan gizi. Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai tingkat berat dan terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu cukup lama. Masa balita menjadi lebih penting lagi karena meru-pakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada ke-hidupan berikutnya yang sulit diperbaiki.

Berdasarkan Susenas 2003, di In-donesia terdapat sekitar 27,5% balita mengalami kekurangan gizi (19,2% gizi kurang dan 8,3% gizi buruk). Tahun 2005 di Jawa Timur terdapat 17,05% balita gizi kurang dan 5,88% balita gizi buruk. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang tahun 2005, prevalensi gizi kurang sebe-sar 13,78% dan gizi buruk sebesar 2,75%. Di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi, Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang, prevalensi gizi kurang sebesar 17,83% dan gizi buruk sebesar 3,3%.

Kasus meninggal dunia pada gizi buruk umumnya disertai dengan penyakit infeksi seperti ISPA, diare, TB, campak dan malaria. Menurut Dirjen PPM & PL, Umar Fahmi Achmadi, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) merupakan pembunuh utama kematian bayi serta balita di Indonesia. Konferensi Interna-sional mengenai ISPA di Canberra Aus-tralia, pada Juli 1997 menemukan bahwa 4 juta bayi dan balita di negara-negara berkembang meninggal tiap tahun akibat ISPA. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjuk-kan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1%. Hasil penelitian Susie Suwarti, dkk tahun 2005, mengenai Pola Penyakit Anak Balita Penderita Gizi Bu-ruk, menyebutkan penyakit ISPA meru-pakan penyakit terbanyak yang ditemu-kan (71,5%). Sampai tahun 2005 ISPA masih menduduki peringkat pertama sepuluh besar penyakit di Kabupaten Malang. Di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi Kecamatan Gondanglegi, ISPA juga merupakan peringkat pertama dari lima belas besar penyakit terbanyak. Data prevalensi ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi Kecamatan Gondanglegi tahun 2005 yaitu sebesar 60,12%.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross-sec-tional, untuk mengetahui hubungan antara status gizi, tingkat konsumsi energi, protein dengan frekuensi ke-jadian penyakit ISPA pada anak balita.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi, Ke-camatan Gondanglegi. Kriteria inklusi untuk sampel penelitian ini yaitu bertem-pat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang paling sedikit selama 3 bulan terakhir, berusia < 5 tahun dan ibu balita bersedia menjadi sampel dalam penelitian. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster sampling.

Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik responden, status gizi balita, tingkat konsumsi energi dan protein balita dan frekuensi kejadian ISPA pada balita.

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Responden

Pada penelitian ini jumlah seluruh responden adalah 91 balita. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa respon-den terbanyak berjenis kelamin perem-puan yaitu 52 balita (57,14%), sedang-kan berdasarkan usia diketahui bahwa sebaran usia responden terbanyak berusia antara 13-24 bulan yaitu 28 balita (30,77%).

B. Keadaan Status Gizi

Status Gizi

Status gizi ditentukan berdasarkan Z-Score dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 dengan kriteria sebagai berikut:

Gizi Baik : -2 SD sampai +2 SD

Gizi Kurang : < -2 SD sampai -3 SD

Gizi Buruk : < -3 SD

Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh data bahwa sebagian besar responden berstatus gizi baik, yaitu 63 balita (69,2%). Terdapat 23 balita (25,3%) dengan status gizi kurang dan 5 balita (5,5%) berstatus gizi buruk.

Tabel 1. Distribusi Status Gizi Balita

Status Gizi

Jumlah

n

%

Gizi Baik

Gizi Kurang

Gizi Buruk

63

23

5

69,2

25,3

5,5

Total

91

100

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

Kriteria tingkat konsumsi energi dan protein ditentukan menurut empat cut off point berdasarkan Depkes RI (1990), sebagai berikut:

Baik : 100% AKG

Sedang : 80-99% AKG

Kurang : 70-80% AKG

Defisit : < 70% AKG

Berdasarkan kriteria tersebut diatas, diperoleh data bahwa tingkat kon-sumsi energi sebagian besar responden adalah kurang, yaitu 38 balita (41,8%). Terdapat 37 balita (40,7%) dengan tingkat konsumsi energi sedang, 8 balita (8,8%) dengan tingkat konsumsi energi baik dan 8 balita (8,8%) dengan tingkat konsumsi energi defisit.

Sedangkan untuk tingkat konsumsi protein sebagian besar responden adalah kurang, yaitu 43 balita (47,3%). Terdapat 29 balita (31,9%) dengan tingkat konsumsi protein sedang, 9 balita (9,9%) dengan tingkat konsumsi protein baik dan 10 balita (11,0%) dengan tingkat konsumsi protein defisit.

Tabel 2. Distribusi Konsumsi Energi Balita

Tingkat Konsumsi Energi

Jumlah

n

%

Baik

Sedang

Kurang

Defisit

8

37

38

8

8,8

40,7

41,8

8,8

Total

91

100

Tabel 3. Distribusi Konsumsi Protein Balita

Tingkat Konsumsi Energi

Jumlah

n

%

Baik

Sedang

Kurang

Defisit

9

29

43

10

9,9

31,9

47,3

11,0

Total

91

100

C. Frekuensi Kejadian ISPA

Frekuensi kejadian ISPA pada sebagian besar responden adalah 1 kali dalam 2 bulan terakhir, yaitu 34 balita (37,4%). Terdapat 19 balita (20,9%) dengan frekuensi ISPA 2 kali dalam 2 bulan terakhir, 18 balita (19,8%) dengan frekuensi ISPA 3 kali dalam 2 bulan terakhir dan 20 balita (11,0%) yang tidak pernah terkena ISPA dalam 2 bulan terakhir.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita

Frekuensi Kejadian ISPA

Jumlah

n

%

Tidak Pernah

1 Kali

2 Kali

3 Kali

20

34

19

18

22,0

37,4

20,9

19,8

Total

91

100

D. Hubungan Antara Status Gizi dan Frekuensi Kejadian ISPA

Pada tabel 5 disajikan hubungan antara status gizi dan frekuensi kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji statistik dengan tabel kontingensi 2 x 2 dan = 0,05 diperoleh nilai p value adalah 0,023. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan frekuensi kejadian ISPA.

Tabel 5. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita

Status Gizi Balita

Frekuensi Kejadian ISPA

Total

Tidak Pernah

Pernah

n

%

n

%

n

%

Gizi Baik

Gizi Kurang

18

2

28,6

7,1

45

26

71,4

92,9

63

28

100

100

Total

20

22,0

71

78,0

91

100

(p = 0,023; = 0,05)

E. Hubungan Antara Tingkat Kon-sumsi Energi dan Frekuensi Ke-jadian ISPA

Pada tabel 6 disajikan hubungan antara tingkat konsumsi energi dan fre-kuensi kejadian ISPA pada balita. Ber-dasarkan hasil uji statistik Chi-Square dengan tabel kontingensi 2 x 2 dan = 0,05 diperoleh nilai p value adalah 0,004. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi pada balita dengan frekuensi kejadian ISPA.

Tabel 6. Hubungan antara Tingkat Konsumsi Energi dengan Kejadian ISPA pada Balita

Tingkat Konsumsi Energi

Frekuensi Kejadian ISPA

Total

Tidak Pernah

Pernah

n

%

n

%

Baik

Tidak Baik

5

15

62,5

18,1

3

68

37,5

81,9

8

83

100

100

Total

20

22,0

71

78,0

91

100

p = 0,004; = 0,05

F. Hubungan Antara Tingkat Kon-sumsi Protein dan Frekuensi Kejadian ISPA

Pada tabel 7 disajikan hubungan antara tingkat konsumsi protein dan fre-kuensi kejadian ISPA pada balita. Ber-dasarkan hasil uji statistik Chi-Square dengan tabel kontingensi 2 x 2 dan = 0,05 diperoleh nilai p value adalah 0,010. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein pada balita dengan frekuensi kejadian ISPA.

Tabel 7. Hubungan antara Tingkat Konsumsi Protein dengan Kejadian ISPA pada Balita

Tingkat Konsumsi Protein

Frekuensi Kejadian ISPA

Total

Tidak Pernah

Pernah

n

%

n

%

Baik

Tidak Baik

5

15

55,6

18,3

4

67

44,4

81,7

9

82

100

100

Total

20

22,0

71

78,0

91

100

p = 0,010; = 0,05

PEMBAHASAN

A. Status Gizi Balita berdasarkan Indeks BB/U di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi

Berdasarkan hasil penelitian dida-patkan bahwa status gizi sebagian besar balita di wilayah kerja Puskesmas Gon-danglegi berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U) adalah gizi baik, yaitu sebesar 69,2%. Sebanyak 25,3% balita mengalami gizi kurang dan 5,5% balita lainnya mengalami gizi buruk.

Dari hasil tersebut diatas dapat dilihat bahwa prevalensi kurang gizi (status gizi kurang dan gizi buruk) di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi masih sangat tinggi, yaitu sebesar 30,8%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan tabulasi silang antara status gizi dan usia balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi, didapatkan status gizi kurang paling banyak terjadi pada balita usia 25-36 bulan, sedangkan status gizi buruk paling banyak terjadi pada balita usia 13-24 bulan.

Pemantauan status gizi balita de-ngan indeks BB/U ini, dalam masyarakat diterapkan menggunakan kartu menuju sehat (KMS) dengan membandingkan berat badan balita pada bulan penim-bangan saat ini dan bulan sebelumnya, dengan melihat garis dalam grafik per-tumbuhan anak.

Pada umumnya, status gizi bayi non BBLR saat lahir kurang lebih sama dengan status gizi bayi di Amerika. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur, disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka sebagian besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak penurunan pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok umur inilah prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi 21.

B. Tingkat Konsumsi Energi dan Pro-tein pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi

Berdasarkan hasil penelitian dida-patkan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein pada sebagian besar balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi adalah kurang, yaitu sebesar 41,8% dan 47,3%. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi 2004 bagi orang Indonesia, konsumsi energi yang dianjurkan untuk balita dibagi menurut kelompok umur yaitu: 550 Kkal (0-6 bulan), 650 Kkal (7-12 bulan), 1000 Kkal (1-3 tahun) dan 1550 Kkal (4-6 tahun). Angka Kecukupan konsumsi protein yaitu: 10 gr (0-6 bulan), 16 gr (7-12 bulan), 25 gr (1-3 tahun) dan 39 gr (4-6 tahun).

Pada umumnya para ahli sepen-dapat, bahwa status gizi secara langsung disebabkan oleh asupan makanan dan penyakit, khususnya penyakit infeksi. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, makanan dan tersedianya bahan makanan 15, 20.

Penghasilan keluarga mempe-ngaruhi kedua faktor yang berperanan langsung terhadap status gizi. Pengha-silan keluarga mempengaruhi mutu fasilitas perumahan, penyediaan air ber-sih dan sanitasi yang pada dasarnya sangat berperanan terhadap timbulnya penyakit infeksi, terutama infeksi saluran nafas dan saluran pencernaan. Selain itu penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga termasuk makanan. Tersedia atau tidaknya makanan dalam keluarga akan menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan yang dikon-sumsi oleh anggota keluarga sekaligus mempengaruhi asupan zat gizi 15.

C. Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gondanglegi

Berdasarkan hasil penelitian dida-patkan bahwa frekuensi kejadian ISPA terbanyak pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi adalah 1 kali dalam dua bulan terakhir, yaitu sebesar 37,4%. Sebanyak 22,0% balita tidak per-nah mengalami ISPA dalam dua bulan terakhir. Frekuensi kejadian ISPA 2 kali dan 3 kali dalam dua bulan terakhir masing-masing adalah 20,9% dan 19,8%. Trend penyakit ISPA di Puskesmas Gon-danglegi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan yang kecenderungan me-ningkat setiap tahunnya.

Scrimshaw et. al, (1959) menyata-kan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Kaitan pe-nyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi yang jelek dapat memper-mudah terkena infeksi 20.

ISPA adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh masuknya kuman mikroorganisme (bakteri dan virus) kedalam organ saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru. Bila anak mengalami ISPA (Infeksi saluran Perna-pasan Akut) bagian atas, semisal flu ha-rus ditangani dengan baik. Kalau tidak sembuh juga, misalnya dalam seminggu dan daya tahan anak sedang jelek, maka ISPA atas ini akan merembet ke ISPA bagian bawah, sehingga anak mengalami bronkitis, radang paru-paru, ataupun asmatik bronkitis. Gejalanya, anak gelisah, rewel, tak mau makan-minum, napas akan cepat, dan makin lama me-lemah. Biasanya juga disertai tubuh panas, sampai sekeliling bibir biru/siano-sis, berarti pernapasannya terganggu 5.

D. Hubungan Antara Status Gizi de-ngan Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Pus-kesmas Gondanglegi

Berdasarkan hasil penelitian di-dapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dan frekuensi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi Kabupaten Malang. Di bidang kesehatan, bangsa Indonesia masih harus berjuang memerangi berbagai macam penyakit infeksi dan kurang gizi yang saling berinteraksi satu sama lain menjadikan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia tidak kunjung meningkat secara signifikan. Di sebagian besar daerah Indonesia, penyakit infeksi seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare dan campak masih merupakan 10 penyakit utama dan masih menjadi penyebab utama kematian. Tingginya angka kesakitan dan kematian ibu dan anak balita di Indonesia sangat berkaitan dengan buruknya status gizi.

Anak kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang masih seperti anak-anak lain, beraktivitas, bermain dan sebagainya, tetap bila diamati dengan seksama badannya mulai kurus dan staminanya mulai menurun. Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap infeksi, terjadi pengurusan otot, pem-bengkakan hati, dan berbagai gangguan yang lain seperti misalnya peradangan kulit, infeksi, kelainan organ dan fungsinya (akibat atropy) pengecilan or-gan 13.

Daya tahan tubuh anak yang kurang gizi akan menurun, sehingga mudah terkena penyakit infeksi, sebali-knya anak yang menderita penyakit in-feksi akan mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi se-hingga menyebabkan kurang gizi 9.

ISPA merupakan salah satu pe-nyebab kematian tersering pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya. Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah akut, paling sering adalah pneumonia. Infeksi saluran pernafasan atas akut mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi menyebabkan kecacatan. Anak yang menderita kurang gizi berat berada pada resiko tinggi mengalami pneumonia dan meninggal karena pneumonia 12.

Penurunan status gizi yang terjadi berkaitan dengan penurunan asupan makanan akibat gangguan kesulitan makan. Anoreksia sering terjadi selama infeksi pernafasan akut, khususnya jika terdapat demam. Anak dengan pneumo-nia berat dapat mengalami kesulitan makan karena adanya pernafasan cepat atau sulit bernafas 12. Umumnya penderita dengan kegagalan pernafasan akut mengalami hiperkatabolik dan simpanan proteinnya akan dipecah guna memenuhi kebutuhan metabolik. Jaringan yang tergantung pada glukosa seperti otak, sel darah merah dan otot akan memenuhi kebutuhan tersebut melalui glukoneogenesis dari asam-asam amino hasil metabolisme protein. Kedua hal ini, yaitu kondisi anoreksia dan hiperkata-bolisme menjadi penyebab terjadinya penurunan status gizi pada balita.

E. Hubungan Antara Tingkat Kon-sumsi Energi dengan Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gon-danglegi

Berdasarkan hasil penelitian di-dapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi dan frekuensi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi Kabupaten Malang. Sebagian besar tingkat konsumsi energi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi adalah kurang dengan frekuensi kejadian ISPA terbanyak yaitu 1 kali dalam 2 bulan terakhir.

Konsumsi energi yang tidak ade-kuat dari kecukupan gizi yang dianjurkan akan membawa dampak pada sistem imunitas tubuh. Kekurangan zat gizi esensial dalam tubuh memberikan pe-ngaruh langsung terhadap timbulnya mikroorganisme patogen 3.

Kekurangan energi yang kronis pada anak-anak dapat menyebabkan anak-anak tersebut lemah, pertumbuhan jasmani terlambat dan perkembangan selanjutnya terganggu. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan mudahnya sera-ngan infeksi dan penyakit lainnya serta lambatnya regenerasi sel tubuh 18.

Hilangnya nafsu makan sering terjadi selama infeksi pernafasan akut. Pemberian makanan selama masa infeksi dan peningkatan pemberian makanan selama masa penyembuhan dapat mencegah kekurangan gizi dan mengganti penurunan berat badan yang terjadi.

F. Hubungan Antara Tingkat Kon-sumsi Protein dengan Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gon-danglegi

Berdasarkan hasil penelitian di-dapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dan frekuensi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi Kabupaten Malang. Sebagian besar tingkat konsumsi protein pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi adalah kurang dengan frekuensi kejadian ISPA terbanyak yaitu 1 kali dalam 2 bulan terakhir.

Protein merupakan zat gizi yang sangat diperlukan bagi pembentukan en-zim yang berperan dalam metabolisme tubuh, termasuk sistem imun. Antibodi globulin gamma yang biasanya disebut immunoglobulin merupakan 20% dari seluruh protein plasma. Semua imu-noglobulin terdiri atas rantai polipeptida yang mengandung bermacam-macam asam amino-asam amino yang spesifik. Salah satu asam amino yang berperan dalam sistem imun adalah asam amino teronin yang memiliki kemampuan untuk mencegah masuknya virus dan bakteri terutama pada saluran pernafasan dan paru-paru. Yakni berupa sekresi lendir yang disebut glikoprotein dan dimer imu-noglobulin A. Penderita yang mengalami kekurangan asam amino treonin akan mengalami kemunduran sistem keke-balan.

Kekurangan protein yang terjadi dapat menurunkan sistem imun yang pada akhirnya akan menyebabkan tubuh lebih mudah terpapar penyakit infeksi. Selain itu, kekurangan protein umumnya diikuti dengan terjadinya defisiensi zat gizi mikro yang berperan sebagai kofaktor dalam reaksi metabolisme tubuh dan be-berapa vitamin serta meniral yang berperan sebagai antioksidan tidak dapat berperan secara maksimal, akibatnya flora normal tubuh yang ada dapat berkembang dan virulensinya meningkat, sehingga menyebabkan timbulnya gejala penyakit, termasuk infeksi saluran per-nafasan akut (ISPA) 10.

ISPA sering dihubungkan dengan gejala sistemik, seperti anoreksia, fatigue dan malaise. Ketika gejala ini disertai dengan batuk dan atau dispneuasupan oral sering menjadi lebih sedikit. Kombi-nasi penurunan asupan oral dan pening-katan kebutuhan metabolik mengarah pada keseimbangan negatif nitrogen dengan penurunan ketahanan otot per-nafasan karena katabolisme protein, pertukaran udara yang kurang dan penu-runan fungsi kekebalan. Guna merespons peningkatan kebutuhan energi pada masa infeksi, maka cadangan protein otot rangka akan dimobilisasi. Akibatnya keseimbangan nitrogen menjadi negatif karena katabolisme protein.

KESIMPULAN

1. Keadaan status gizi sebagian besar balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi Kabupaten Malang ber-dasarkan Z-score dengan indeks be-rat badan menurut umur (BB/U) adalah gizi baik yaitu sebanyak 69,2%. Namun masih terdapat balita dengan status gizi kurang yaitu 25,3% dan balita dengan status gizi buruk yaitu sebesar 5,5 %.

2. Tingkat konsumsi energi dan protein balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi, paling banyak termasuk dalam kategori kurang, yaitu tingkat konsumsinya hanya berkisar antara 70-80% AKG. Persentase balita de-ngan tingkat konsumsi energi kurang sebesar 41,8%, sedangkan persen-tase balita dengan tingkat konsumsi protein kurang sebesar 47,3%.

3. Frekuensi kejadian ISPA pada balita paling banyak terjadi 1 kali dalam 2 bulan terakhir, dengan persentase sebesar 37,4%.

4. Berdasarkan hasil uji statistik, dida-patkan hubungan yang bermakna antara status gizi dan frekuensi ke-jadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi (p = 0,023).

5. Berdasarkan hasil uji statistik terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi dan frekuensi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi (p = 0,004).

6. Berdasarkan hasil uji statistik juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan frekuensi kejadian ISPA, pada balita di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi (p = 0,010).

SARAN

1. Perlu dilakukan kegiatan peningkatan status gizi balita dengan gizi buruk dan gizi kurang, agar tidak jatuh dalam kondisi yang lebih buruk, me-lalui program pemberian makanan tambahan (PMT) bagi balita dengan gizi buruk dan gizi kurang yang di-prakarsai oleh kader posyandu, agar dapat menjangkau balita dengan gizi kurang dan gizi buruk di sekitarnya sehingga diharapkan dapat sekaligus memantau pertumbuhan balita dalam masa pemberian PMT tersebut.

2. Perlu dilakukan kegiatan edukasi kepada ibu balita tentang pemberian makanan yang baik bagi anak sesuai dengan usia dan pertumbuhannya, agar dapat meningkatkan konsumsi balita.

3. Perlu dilakukan edukasi tentang pe-nyakit infeksi pada balita dan cara hidup sehat, agar dapat mengurangi resiko balita terkena penyakit infeksi seperti ISPA, yang dapat mempe-ngaruhi status gizi dan tingkat kon-sumsi balita.

DAFTAR PUSTAKA

1. _________, 2006. Laporan Tahunan Puskesmas Gondanglegi Kabupaten Malang tahun 2005. Puskesmas Gondanglegi. Ka-bupaten Malang. Malang.

2. Almatsier S, 2001, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

3. Azwar, Azrul. 2000. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005. Pemerintah Republik Indonesia dan WHO. Jakarta.

4. Baratawidjaja, Karnen Garna. 2004. Imunologi Dasar. FKUI. Jakarta.

5. Dirjen P2M dan PLP. 1996. Pedo-man Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penang-gulangan Pnemonia pada Balita dalam Pelita VI. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

6. Dirjen P2M dan PLP. 1995. Modul ISPA untuk Tenaga Kesehatan, Bimbingan Ketrampilan dalam Tatalaksana Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Anak. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

7. Departemen Kesehatan RI. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/ 2002 Tentang Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita).

8. Departemen Kesehatan RI. 1997. Petunjuk Penanggulangan Ke-kurangan Energi Protein (KEP) dan Petunjuk Pelaksanaan PMT pada Balita, Jakarta. Ditjen Binkesmas Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

9. Departemen Kesehatan RI. 2006. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia Tahun 2005, Jakarta. Ditjen Binkesmas Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

10. Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Editor : dr. Irawati Setiawan. EGC. Jakarta.

11. Kresno, Siti Boedina. 2001. Imu-nologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. FKUI. Jakarta.

12. Natalia Susi, editor. 2003. Penan-ganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil di Negara Berkembang. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

13. Nency, Yetty, dkk, 2004. Gizi Buruk Ancaman Generasi yang Hilang. Redaksi Inovasi Online, (www. Indonews.com), diakses 29 Desember 2005.

14. Pamungkasiwi, Endang. 2000. Makalah: Gizi Buruk di Masyarakat dan Upaya Pencegahannya.

15. Prawirohartono, Endy Paryanto, 1997. Gizi Dalam Masa Tumbuh Kembang. Sub bagian Gizi Anak SMF Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito. Yogyakarta.

16. Pudjiadi, Solihin. 1997. Ilmu Gizi Klinis pada Anak edisi ketiga. FKUI. Jakarta.

17. Sastroasmoro, Sudigdo dan Sofyan Ismael. 1998. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. FKUI. Jakarta.

18. Soekidjo Notoadmojo, 1993, Me-todologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

19. Soekirman, 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

20. Supariasa, dkk, 2000, Penilaian Status Gizi, Depkes RI, Akademi Gizi, Malang.

21. Taslim, Nurpudji A, 2005. Kontroversi tentang Gizi Buruk, Apakah Ketidakberhasilan Departemen Kesehatan http://www.gizi.net diakses tanggal 4 Desember 2005.