hubungan antara komunikasi interpersonal suami …...pasien yang mengalami ggk akan menunjukkan...

37
HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL SUAMI ISTRI TERHADAP KOPING DENGAN STRES PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK OLEH UNITITA SAHARA 802011077 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL

    SUAMI ISTRI TERHADAP KOPING DENGAN STRES PADA

    PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK

    OLEH

    UNITITA SAHARA

    802011077

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan

    Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2017

  • HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI INTERPERSONAL

    SUAMI ISTRI TERHADAP KOPING DENGAN STRESPADA

    PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK

    Unitita Sahara

    Aloysius L. S. Soesilo

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2017

  • i

    Abstrak

    Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami

    penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama. Biasanya pasangan yang

    menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal, merasa bahwa dirinya tidak dapat

    berfungsi secara maksimal sebagai suami ataupun istri. Tujuan dari penelitian ini

    adalah untuk melihat korelasi atau hubungan antara komunikasi interpersonal suami

    istri terhadap koping dengan stress pada penderita gagal ginjal kronik GGK di RSUD

    Kota Salatiga. Sampel (N= 35), diambil dengan menggunakan purposive sampling.

    Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu skala komunikasi

    interpersonal suami istri dan skala koping dengan stress pada penderita GGK. Hasil

    penelitian menggunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment dengan koefisien

    korelasi (Rxy) = 0,632 dan R² = 0,243 atau hanya 24,3% yang artinya komunikasi

    interpersonal suami istri memiiki hubungan terhadap koping dengan stress pada

    penderita GGK di RSUD Kota Salatiga.

    Kata kunci : komunikasi interpersonal suami istri, koping dengan stress,

    penderita gagal ginjal kronik.

  • ii

    Abstract

    Kidney disease is a disease in which kidney function has decreased until finally no

    longer able to work together. Usually, couples who suffer from chronic diseases such

    as kidney failure felt that they could not function optimally as husband or wife. The

    purpose of this study was to look at the correlation or relationship between

    interpersonal communication married couple to coping with stress in patients with

    chronic renal failure CRF in Salatiga City Hospital. Sample (N = 35), were taken by

    using purposive sampling. The data collection is done by using two scale that is scale

    interpersonal communication married and scale of coping with stress in patients with

    CRF. The results using Pearson Product Moment Correlation with the correlation

    coefficient (rxy) = 0,632 and R ² = 0,243 or 24,3%, which means there is correlatte

    between interpersonal communication married to coping with stress in patients with

    CRF in Salatiga City Hospital.

    Keywords :Interpersonal communication married couple, coping with stress,

    Chronic Renal Failure (CRF).

  • 1

    PENDAHULUAN

    Komunikasi adalah unsur dasar kehidupan sosial. Komunikasi adalah proses

    sistemis dimana orang berinteraksi dengan dan melalui simbol untuk menciptakan

    dan menafsirkan makna. Komunikasi merupakan proses, yang artinya sedang

    berlangsung, selalu bergerak, bergerak semakin maju, dan berubah secara terus-

    menerus. Komunikasi juga merupakan hal yang sistemis, yang berarti bahwa itu

    terjadi dalam suatu sistem pada bagian yang saling berhubungan yang mempengaruhi

    satu sama lain. Dalam komunikasi keluarga, misalnya, setiap anggota keluarga adalah

    bagian dari sistem (Galvin, Dickson, Marrow, 2006, dalam Wood, 2013).

    Sebuah hubungan terbentuk ketika terjadi proses pengiriman dan penerimaan

    pesan secara timbal balik, yaitu ketika dua atau lebih individu saling

    mempertimbangkan dan saling menyesuaikan perilaku verbal dan nonverbal mereka

    satu sama lain. Pengelolaan timbal balik seperti ini, kita sebut sebagai komunikasi

    interpersonal dimana di dalamnya terdapat proses hubungan diawali, berkembang,

    tumbuh, dan kadang memburuk.

    Komunikasi interpersonal memainkan peranan sangat penting untuk

    kehidupan manusia terutama kehidupan berumah tangga. Komunikasi interpersonal

    antara suami dan istri dibentuk sebelum dan setelah menikah, serta akan lebih intensif

    ketika komunikasi dilakukan setelah menikah. Komunikasi antar pasangan dalam

    perkawinan sangatlah penting bagi kesejahteraan dan saling membangun harmoni.

    Seperti yang dikatakan para penasihat pernikahan pentingnya komunikasi demi

  • 2

    hubungan yang sehat dan tahan lama (Wood, 2013). Walaupun berumah tangga

    tidaklah berjalan selalu baik, ada kalanya pasangan suami istri mengalami pedebatan

    atau konflik kecil, misalnya pasangan menghabiskan waktu terlalu banyak untuk

    bekerja, pasangan yang teralu hemat atau boros, pasangan selalu komplain, dan

    pasangan yang mempermasalahkan soal kesehatan, seperti ketika pasangan kita

    menderita sakit yang tidak kunjung sembuh seperti gagal ginjal. (Merdeka.com).

    Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

    dan kita hanya dapat mengurangi intensitas keparahannya melalui hemodialisis atau

    bantuan terapi mengeluargan zat–zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan

    mengeluarkan air yang berlebihan didalamnya.

    Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

    mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam

    hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat

    kimia tubuh seperti sodium dan kalium dalam darah atau produksi urin. Penyakit

    gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal

    sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia

    kedokteran dikenal dua macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal

    ginjal kronis (Mansjoer, 2002).

    Gagal ginjal akut (GGA) atau Acute Renal Failure (ARF) terjadi ketika ginjal

    tiba-tiba berhenti menyaring produk limbah dari darah. Sedangkan penyakit Gagal

    Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya fungsi ginjal yang bersifat

  • 3

    kronik, progresif dan menetap berlangsung beberapa tahun. Pada keadaan ini ginjal

    kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan cairan tubuh dalam

    keadaan asupan diet normal (Wilson & Price, 1994 dalam Rindiastuti, 2008).

    Penderita yang berada pada stadium akhir untuk mempertahankan kelangsungan

    hidupnya diperlukan terapi penganti yaitu hemodialisis (HD), peritoneal dialysis

    mandiri berkesinambungan (Continuos Ambulatory Peritoneal dialysis (CAPD)) atau

    transplantasi ginjal (Wilson & Price, 1994 dalam Rindiastuti, 2006). Penyakit

    ginjal tahap akhir biasanya ditandai dengan tes klirens kreatinin rendah. Penderita

    dengan tes klirens kreatinin mencapai 9 ml per 15 menit dianjurkan untuk menjalani

    terapi pengganti, salah satunya adalah dengan dialisis. Tindakan dialisis merupakan

    salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien bertujuan

    menurunkan kadar ureum, kreatinin dan zat toksik lainnya dalam darah.

    Biasanya pasangan yang menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal,

    merasa bahwa dirinya tidak dapat berfungsi secara maksimal sebagai suami ataupun

    istri. Perubahan penampilan peran yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dari

    sehat ke sakit yaitu kehilangan pekerjaan, perubahan peran dalam keluarga, dan

    perubahan peran pada masyarakat sekitar merupakan beberapa faktor penyebab stres.

    Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang

    disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal ataupun eksternal.

    Keadaan stress muncul apabila individu tidak dapat memenuhi tuntutan yang luar

    biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan dan integritas seseorang.

  • 4

    Dari hal ini peneliti mengangap bahwa penelitian ini penting karena penderita

    gagal ginjal akan mengalami stress karena penyakit yang dideritanya. Maka dari itu

    penderita membutuhkan dukungan dari keluarga terutama pasangannya. Komunikasi

    interpersonal sangat berperan untuk mengurangi atau sebagai koping dengan stres

    pasien penderita gagal ginjal dan mempererat hubungan suami istri. Seperti pada

    penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sandra, Dewi, dan Dewi (2012)

    berdasarkan hasil dari tingkat stres psikologis pada pasien yangmenjalani terapi

    hemodialisa didapatkan hasil sesuai aspek stres psikologis berat dan sedang. Pasien

    merasakan stres psikologis sedang sebesar 47%, dan stres psikologis berat sebesar

    39%. Sejalan dengan penelitian Bare & Smeltzer (2002), bahwa pasien yang

    menjalani terapi hemodialisa biasanya menghadapi masalah kesulitan

    dalammempertahankan apa yang telah menjadi miliknya, seperti pekerjaan,

    perkawinan, dan keuangan. Sebagian besar pasien yang berpartisipasi dalam

    penelitian mengeluhkan masalah ini. Kecemasan akan terapi yang dijalani serta

    kekhawatiran terhadap penyakit yang diderita hanya 8,3%yang tidak mengatakannya.

    GAGAL GINJAL KRONIK

    Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang

    umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Bare & Smeltzer, 2002).

    Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi

    ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat

    persisten dan irreversible (Mansjoer, 2000). Hampir setiap tahunnya sekitar 70.000

    orang di Amerika Serikat meninggal dunia disebabkan oleh gagal ginjal (Lewis,

  • 5

    Heitkemper, & Dirksen, 2004). Di Indonesia, menurut Rayadi pada tahun 2010

    berdasarkan data dari Indonesian Renal Registry, pada tahun 2007 penderita GGK

    adalah 4038 orang.

    Pasien yang mengalami GGK akan menunjukkan gejala seperti terjadinya

    penurunan lemak tubuh, retensi air dalam jaringan, perubahan warna kulit tubuh,

    gerakan yang melambat serta adanya penumpukan zat yang tidak diperlukan lagi oleh

    tubuh (Lemone & Burke, 2004). Pada pasien GGK terdapat tiga pilihan untuk

    mengatasi masalah yang ada yaitu; tidak diobati, dialisis kronis (dialisis peritoneal/

    hemodialisa), serta transplantasi. Kebanyakan orang memilih untuk mendapatkan

    pengobatan dengan hemodialisa atau transplantasi dengan harapan dapat

    mempertahankan hidupnya (Hudak, Gallo, Fontaine, & Morton, 2006).

    Menurut Sinaga (2007), bila pasien telah mengalami GGK stadium berat,

    untuk mempertahankan hidupnya diperlukan terapi sementara berupa cuci darah

    (hemodialisa). Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien

    dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa

    hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan GGK yang memerlukan terapi

    jangka panjang atau permanen. Fungsi proses hemodialisis adalah mengeluargan zat–

    zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.

    Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan

    ultrafiltrasi.

    Menurut Sinaga (2007), pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 orang lebih

    penderita gagal ginjal di Indonesia. Di Jakarta, khususnya di RSUPN Dr. Cipto

    Mangunkusumo, menurut Sinaga (2007) ada sebanyak 120 orang pasien gagal ginjal

  • 6

    menjalani pengobatan hemodialisa. Sedangkan di Rumah Sakit Umum Daerah

    (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru, berdasarkan data Rekam Medik, sampai bulan

    Oktober tahun 2009 terdapat 100 orang pasien gagal ginjal yang menjalani

    pengobatan hemodialisa secara rutin. Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa,

    membutuhkan waktu 12-15 jam untuk dialisa setiap minggunya, atau paling sedikit 3-

    4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang

    hidupnya (Bare & Smeltzer, 2002).

    Perubahan yang Terjadi pada Pasien Ginjal yang Menjalani Hemodialisis

    Perubahan fisik yang terjadi pada pasien gaga ginjal adalah kecemasan,

    penurunan konsentrasi, tremor, kelemahan pada lengan, nyeri ditelapak kaki,

    perubahan warna kulit, spenipisan rambut, dsb. Penderita juga memiliki gangguan

    reproduksi seperti: amenorhea, atropi, dan penurunan libido yang mengganggu dalam

    kehidupan suami istri (Warianto, 2011).

    Perubahan psikologis yang dialami pasien terjadi selain pasien harus

    melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit yang menghabiskan biaya dan waktu

    pasien (Sandra, Dewi & Dewi 2012), pasien juga terancam terkena malpraktik dan

    ancaman kematian (Sandra, Dewi & Dewi 2012). Kondisi psikologis terparah yang

    dialami pasien adalah pasien merasa tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis untuk

    pasangannya.

    Penelitian yang dilakukan oleh Asri, 2006 (dalam Sandra, Dewi & Dewi

    2012) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial

    dan tingkat depresi pasein yang menjalani hemodialisis. Penelitian lain menunjukkan

    bahwa pada pasien gagal ginjal kronis yang mengalami depresi memiliki kualitas

  • 7

    hidup yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami

    depresi (dalam Sandra, Dewi & Dewi 2012).

    Perubahan peran pada kehidupan sosial sangat mempengaruhi kehidupan

    pasien. Peran sosial lain yang berubah pada pasien GGK adalah perubahan pekerjaan.

    Pasien dengan keterbatasan fisik akan mengalami penurunan kemampuan kerja.

    Sedangkan perubahan ekonomi akibat dari penyakit ginjal dan dialysis tidak

    hanya terjadi pada individu dan keluarga pasien. Biaya dialisis yang mahal akan

    membuat pengeluaran di sektor kesehatan akan meningkat. Menurut data dari

    Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2016 biaya yang harus dikeluarkan

    pertahunnya untuk hemodialisa adalah 96.000.000 rupiah, sedangkan untuk biaya

    konsultasi dokter pertahunnya adalah 1.920.000 rupiah. Maka asuransi kesehatan

    yang dimiliki akan sangat membantu mengurangi pengeluaran finansial mereka.

    Penurunan pengeluaran finansial ini dapat sedikit mengurangi stress psikologis

    pasien.

    Tujuan Penelitian

    Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui apakah komunikasi

    interpersonal suami istri memiliki hubungan terhadap koping dengan stres pasangan

    yang mengalami penyakit gagal ginjal kronik?

  • 8

    Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat praktis dan teoritis, agar

    kedepannya dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Penelitian ini diharapkan dapat

    memberikan informasi dan pengembangan dibidang psikologi klinis, psikologi

    keluarga, dan psikologi kesehatan tentang dampak penyakit yang membuat seseorang

    terkena stress atau tekanan mental. Dibidang kedokteran dapat menyembuhkan secara

    fisik maupun psikologis dari pasien penderita gagal ginjal atau penyakit lainnya.

    Dari penelitian ini diharapkan agar para suami atau istri yang memiliki

    pasangan yang menderita suatu penyakit agar lebih sabar dalam merawat

    pasangannya dan lebih mengetahui lebih lanjut tentang penyakit yang diderita pasien

    penderita serta lebih bisa mendukung agar kesembuhan pasien dapat meningkat.

    Karena pada dasarnya penyakit fisik dapat menimbulkan penyakit mental, begitu juga

    sebaliknya dan akan bertambah parah jika tidak didukung oleh keluarga besar

    terutama pasangan. Sedangkan manfaat bagi peneliti adalah agar peneliti dapat

    memiliki peran dalam mendukung kesembuhan baik fisik maupun mental pasien,

    baik pasien hemodialisa atau pasien dengan penyakit lainnya di lingkungan peneliti.

  • 9

    Komunikasi Interpersonal Suami Istri

    Definisi

    Di dalam situasi dan konteks yang sangat luas, komunikasi memainkan peran

    utama (basic) dan pokok (fundamental). Begitu mendasarnya sehingga dengan

    gampangnya komunikasi dipandang sebagai suatu kebenaran dan begitu saja diterima

    oleh akal sehat. Menurut Tubbs dan Moss (dalam Mulyana, 2008) komunikasi adalah

    proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Jadi dari definisi secara

    umum, komunikasi memiliki peran mendasar dalam pembentukan makna verbal

    maupun nonverbal antara dua orang atau lebih dalam suatu hubungan.

    Bentuk khusus dari komunikasi interpersonal adalah komunikasi diadik yang

    melibatkan hanya dua orang, seperti suami-istri, sepasang sahabat, dua sejawat dan

    lainya. Peristiwa komunikasi dua orang mencakup semua komunikasi informal dan

    basa-basi, percakapan sehari-hari yang kita lakukan sejak saat kita bangun pagi

    sampai kembali ke tempat tidur.

    Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini dan

    perilaku komunikan itulah maka bentuk komunikasi interpersonal serngkali

    digunakan untuk menyampaikan komunikasi persuasif (persuasive communication)

    yakni suatu teknik komunikasi searah psikologis manusiawi yang sifatnya halus,

    luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan. Dengan demikian maka setiap pelaku

    komunikasi akan melakukan empat tindakan yaitu membentuk, menyampaikan,

    menerima dan mengolah pesan. Keempat tindakan tersebut lazimnya berlangung

    secara berurutan dan membentuk pesan diartikan sebagai menciptakan ide atau

    gagasan dengan tujuan tertentu.

  • 10

    Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal

    Aspek-aspek kemampuan komunikasi tersebut bertolak dari pendapat De Vito

    (1995) yaitu keterbukaan (openness) yang berkualitas dari komunikasi interpersonal

    meliputi beberapa aspek yaitu kesediaan untuk mengungkap diri (self-disclosure)

    pada orang lain yang berinteraksi dengan lingkungannya, kesediaan untuk

    menanggapi serta jujur pada setiap stimuli yang diterima serta mengalami dan

    bertanggung jawab atas segala pikiran dan perasaan yang diungkapkannya.

    Empati yaitu kemampuan untuk merasakan dan mengalami apa yang

    dirasakan orang lain yaitu mencoba merasakan dalam cara yang sama dengan

    perasaan orang lain. Keakuratan berempati meliputi sensitifitas untuk merasakan

    kejadian-kejadian saat ini dan mampu mengerti kata-kata yang diucapkan ketika

    komunikasi interpersonal berlangsung.

    Dukungan (suportiveness) yang diperlukan dalam komunikasi interpersonal,

    meliputi empat aspek yaitu descriptiveness, lingkungan yang deskriptif yaitu

    lingkungan yang tidak mengevaluasi orang secara evaluatif sehingga membuat orang

    cenderung menjadi defisit. Spontaneity, individu yang berkomunikasi secara spontan

    yaitu yang memiliki pandangan ke depan dan terbaik dalam mengungkapkan

    pemikirannya, provisionalism, menjadi professional berarti memiliki pemikiran yang

    terbuka (open mindedeness), bersedia menerima pandangan orang lain dan bersedia

    merubah pandangannya jika memang diperlukan, dan dukungan yang tidak

    terucapkan berupa gerakan-gerakan menganggukkan kepala, mengedipkan mata,

    tersenyum.

  • 11

    Kepositifan (positiveness) terdiri dari tiga hal yaitu: perhatian yang positif

    terhadap orang lain sangat mendukung keberhasilan komunikasi interpersonal,

    perasaan yang positif sangat bermanfaat untuk mengefektifkan kerjasama, perhatian

    dan perasaan yang positif itu harus dikomunikasikan sehingga komunikasi

    interpersonal dapat terpelihara dengan baik, mencakup sikap positif terhadap diri

    sendiri, orang lain, dan situasi komunikasi.

    Kesamaan (equality), komunikasi akan lebih efektif dalam suasana kesamaan

    walaupun tidak ada orang yang secara absolut sama dengan orang lain dalam segala

    hal. Adapun dalam kesamaan terkandung unsur keinginan untuk saling bekerjasama

    dalam memecahkan masalah, hal ini terwujud dalam memandang ketidaksetujuan dan

    perselisihan di antara individu yang berkomunikasi, lebih sebagai usaha untuk

    memahami perbedaan yang ada.

    Keyakinan (confidence), seorang komunikator yang efektif menunjukkan

    keyakinan atau kemantapan dalam berkomunikasi diwujudkan dalam bentuk rasa

    rileks, tidak canggung, sikap badan dan suara yang fleksibel, tidak terpaku pada

    gerakan atau nada suara tertentu.

    Kesiapan (immediacy), menunjukkan pada kesiapan melakukan komunikasi

    lewat penciptaan rasa tertarik dan perhatian terhadap lawan bicara berupa pemberian

    respon atau umpan balik dengan segera, menciptakan kebersamaan antara pembicara

    dan pendengar secara verbal maupun non verbal.

    Dari teori diatas disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah suatu

    proses sosial di mana di dalamnya mengandung unsur keterbukaan, empati,

    dukungan, kepositifan, kesamaan, keyakinan, dan kesiapan, dalam suatu hubungan.

  • 12

    Stres

    Definisi Stres

    Menurut Lazarus (1976) stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang

    disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal ataupun eksternal. Selye

    (dalam Rice, 1992) menggolongkan stress menjadi dua, didasarkan atas persepsi

    individu terhadap stress yang dialaminya, yaitu: distress (stres negatif) dan eustress

    (stres positif).

    Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) kondisi fisik,

    lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stress disebut dengan

    stressor.Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (Rice, 1992). Situasi,

    kejadian, atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab

    reaksi psikologis ini disebut stressor (Berry, 1998).

    Koping dengan Stres

    Pada saat mengalami stress, seseorang akan mencari dan menggunakan

    berbagai cara untuk mengurangi atau menghilangkan stresnya atau biasa disebut

    dengan koping dengan stres (Sarafino, 2006).

    Aspek-aspek Koping dengan stres

    Studi yang dilakukan oleh Moos dan Schaefer (1984, dalam Ogden, 2007)

    menggambarkan tiga proses yang merupakan proses koping: (1) Apraisal Kognitif;

    (2) Tugas Adaptif; dan (3) Keterampilan Koping. Apraisal Kognitif adalah tahap

    ketidakseimbangan yang dipicu oleh penyakit, individu awalnya menilai keseriusan

    dan signifikansi dari penyakit (misalnya gagal ginjal saya serius? Bagaimana

  • 13

    pengaruh gagal ginjal saya hidup saya dalam jangka panjang?). Faktor-faktor seperti

    pengetahuan, pengalaman sebelumnya dan dukungan sosial dapat mempengaruhi

    proses penilaian kognitif ini.

    Moos dan Schaefer (dalam Ogden, 2007) menjelaskan tujuh tugas adaptif

    (adaptive tasks) yang digunakan sebagai bagian dari proses koping. Ini dapat dibagi

    menjadi tiga tugas yang berkaitan secara spesifik dengan suatu penyakit dan empat

    umum tugas. Tiga tugas yang berkaitan secara spesifik dengan suatu penyakit dapat

    digambarkan sebagai: Berurusan dengan rasa sakit yaitu menderita cacat dan gejala

    lainnya, berurusan dengan lingkungan rumah sakit dan prosedur perawatan khusus,

    mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang memadai dengan staf

    perawatan kesehatan. Empat tugas umum dapat digambarkan sebagai: Melestarikan

    keseimbangan emosional yang wajar dan memuaskan citra diri, mempertahankan rasa

    kompetensi dan penguasaan, mempertahankan hubungan dengan keluarga dan teman-

    teman, serta mempersiapkan masa depan yang pasti. Penyakit sering dapat

    mengakibatkan hilangnya (misalnya: penglihatan, gaya hidup, mobilitas, hidup).

    Tugas ini melibatkan datang untuk berdamai dengan kerugian tersebut dan

    mendefinisikan ulang masa depan.

    Moos dan Schaefers (dalam Ogden, 2007) mengemukakan serangkaian

    keterampilan koping yang diakses untuk menangani krisis penyakit fisik.

    Keterampilan koping bisa dikategorikan ke dalam tiga bentuk: a) koping berfokus

    penilaian seperti; analisis logis dan persiapan mental, redefinisi kognitif,

    penghindaran kognitif dan penolakan. b) koping terfokus masalah seperti: Mencari

  • 14

    informasi dan dukungan, mengambil tindakan pemecahan masalah, mengidentifikasi

    imbalan alternatif. dan c) koping terfokus emosi yaitu; afektif, emotional discharge,

    resigned acceptance.

    Stress pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Unit Hemodialis dan Hubungannya

    dengan Komunikasi Interpersonal Suami Istri

    Moos dan Schaefer, 1984 (dalam Ogden, 2007), mengemukakan bahwa

    penyakit fisik seperti gagal ginjal kronik dapat dianggap krisis karena merupakan titik

    balik dalam kehidupan individu. Mereka menyarankan bahwa penyakit fisik

    menyebabkan perubahan, yang dapat dikonseptualisasikan sebagai krisis seperti

    perubahan identitas yaitu penyakit dapat membuat pergeseran identitas, seperti dari

    pengasuh untuk pasien, atau dari pencari nafkah untuk orang dengan penyakit.

    Perubahan lokasi: penyakit dapat menyebabkan langkah untuk lingkungan baru

    seperti menjadi tidur-tak berdaya atau dirawat di rumah sakit. Perubahan peran:

    perubahan dari orang dewasa independen untuk bergantung pasif dapat terjadi setelah

    penyakit, sehingga peran berubah. Perubahan dukungan sosial: penyakit dapat

    menghasilkan isolasi dari teman dan keluarga, mempengaruhi perubahan dukungan

    sosial. Perubahan di masa depan: sebuah masa depan yang melibatkan anak-anak,

    karier atau perjalanan dapat menjadi tidak pasti.

    Selain itu, sifat krisis penyakit dapat diperburuk oleh faktor-faktor yang sering

    khusus untuk penyakit seperti: penyakit ini sering tak terduga dan jika penyakit tidak

    diharapkan maka individu tidak akan memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan

    kemungkinan strategi bertahan. Informasi tentang penyakit ini tidak jelas, banyak

  • 15

    informasi tentang penyakit ini ambigu dan tidak jelas, terutama dalam hal kausalitas

    dan hasil. Makna ambigu, karena ketidakpastian tentang kausalitas dan hasil, arti

    penyakit bagi seorang individu akan sering ambigu (misalnya, hal itu serius? Berapa

    lama itu mempengaruhi saya?). Keputusan diperlukan dengan cepat: penyakit yang

    sering membutuhkan keputusan tentang tindakan yang harus dilakukan cepat

    (misalnya, harus kami menjalani hemodialisis, kita harus mengambil obat-obatan,

    harus kita mengambil cuti dari kerja, kita harus memberitahu teman-teman kita).

    Terbatas pengalaman sebelumnya: kebanyakan individu yang sehat sebagian besar

    waktu. Oleh karena itu penyakit ini jarang terjadi dan mungkin terjadi untuk individu

    dengan pengalaman sebelumnya terbatas. Kurangnya Pengalaman memiliki implikasi

    untuk pengembangan strategi mengatasi dan kemanjuran berdasarkan situasi lain

    yang sejenis (misalnya, 'Aku tidak pernah punya penyakit kronis apapun sebelumnya,

    apa yang harus saya lakukan selanjutnya?') (Moos dan Schaefer, 1984 dalam Ogden,

    2007).

    Perubahan-perubahan seseorang yang mengalami penyakit khususnya gagal

    ginjal berpotensi besar untuk terkena stress. Keadaan ketergantungan pada mesin

    dialisa seumur hidupnya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit mengakibatkan

    terjadinya perubahan dalam kehidupan pasien. Perubahan dalam kehidupan,

    merupakan salah satu pemicu terjadinya stress. Perubahan tersebut dapat menjadi

    dialisis yang diidentifikasikan sebagai stressor (Rasmun, 2004).

    Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yosep (2007), bahwa

    dialisis diawali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya

  • 16

    yang dimiliki individu. Semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi pula

    tingkat dialisis yang dialami individu.

    Hawari (2008) mengatakan bahwa keadaan dialisis dapat menimbulkan

    perubahan secara fisiologis, psikologis, dan perilaku pada individu yang

    mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Perilaku lain yang sering terjadi pada

    pasien yang menjalani hemodialisa adalah ketidakpatuhan terhadap modifikasi diet,

    pengobatan, uji dialisis, dan pembatasan asupan cairan (Baradero, Dayrit, & Siswadi,

    2009). Hal ini jelas menunjukkan bahwa dampak dialisis lainnya pada pasien yang

    menjalani hemodialisa adalah dapat memperburuk kesehatan pasien dan menurunkan

    kualitas hidupnya.

    Walaupun pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisis,

    namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari penyakit

    dan terapi hemodialisis (Ibrahim, 2009). Dampak terapi hemodialisis berpengaruh

    pada keterbatasan pasien untuk bekerja, sehingga meskipun biaya dialysis dibantu,

    akan menimbulkan masalah besar dalam hal keuangan dipihak pasien dan

    keluarganya.

    Komunikasi yang dibangun sejalan dengan status perkawinan antara suami

    dan istri sangat menentukan sejauh mana penderita dapat mengatasi stresnya. Hal ini

    dikuatkan oleh pendapat Bare & Smeltzer (2002), tentang pasien gagal ginjal kronik

    yang menghadapi berbagai permasalahan keuangan, kesulitan mempertahankan

    pekerjaan, diringan seksual yang menghilang serta terjadi impotensi, kekhawatiran

    terhadap perkawinan dan ketakutan terhadap kematian dapat menjadi stressor

    penderita gagal ginjal kronik.

  • 17

    Keluarga serta sahabat pasien yang memandang pasien sebagai orang yang

    mempunyai keterbatasan dalam melakukan aktivitas sosial yang dapat menimbulkan

    konflik, frustasi serta rasa bersalah dalam keluarga (Bare & Smeltzer, 2002). Stressor

    seperti itu dapat sedikit berkurang dengan adanya komunikasi interpersonal suami

    istri.

    Hipotesis Penelitian

    Hipotesis Nol (Ho)

    Komunikasi interpersonal suami istri tidak memiliki hubungan dengan

    koping dengan stres penderita gagal ginjal kronik.

    Hipotesis alternatif (Ha)

    Komunikasi interpersonal suami istri berhubungan dengan koping dengan

    stres penderita gagal ginjal kronik.

  • 18

    METODE

    Partisipan

    Peneliti menggunakan purposive sampling yang merupakan metode

    penetapan parisipan untuk dijadikan sampel berdasarkan kriteria tertentu, yaitu

    seluruh pasien hemodialisis di RSUD Kota Salatiga yang sudah diobservasi pada

    bulan Maret 2016. Jumlah pasien yang menjalani terapi di unit hemodialisa diperoleh

    35 orang dalam periode tersebut rentang usia 30-60 tahun dan dipilih mereka yang

    telah menikah dengan rentang usia pernikahan minimal 10 tahun.

    Alasan peneliti memilih rentang usia pernikahan karena menurutStrong dan

    De Vault (1989), masa ini meliputi fase perkenalan awal diikuti oleh fase menetap.

    Selama fase perkenalan, satu sama lain saling mengenal kebiasaan sehari-hari.

    Pada fase menetap, pasangan masih mengejar karir, memutuskan memiliki

    anak dan mengatur peran masing-masing. Mereka saling menyesuaikan harapan

    sesuai dengan peran yang atas dasar gender, hukum, dan pengalaman pribadi yang

    dipelajarinya. Satu sama lain saling memberikan pendapatnya tentang pembagian

    peran yang akan dijalankan sebagai pasangan suami istri.

    Skala Pengukuran Instrumen Penelitian

    Dalam penelitian ini, peneliti memodifikasidua skala penelitian yaitu: skala

    komunikasi interpersonal suami istri dan skala koping dengan stress penderita gagal

    ginjal kronik. Instrumen pertama yaitu komunikasi interpersonal suami istri, peneliti

    menggunakan aspek-aspek dalam skala psikologis dalam teori DeVito (2002) yaitu

    keterbukaan, empati, dukungan, kepositifan, kesamaan, keyakinan, dan kesiapan.

  • 19

    Skala ini mempunyai 50 pernyataan, dalam bentuk skala likert dengan 4 alternatif

    jawaban yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

    Sedangkan pada instrumen kedua, peneliti menggunakan teori koping dengan

    stress dari Moos dan Schaefer (1984, dalam Ogden, 2007) dengan aspek yang

    menggambarkan tiga proses yang merupakan proses koping: (1) cognitive appraisal;

    (2) adaptive tasks; dan (3) coping skill. Peneliti menggunakan skala yang sudah

    dibuat dan diuji coba oleh Wulandari (2016) pada penelitian sebelumnya dalam

    bentuk skala Likert dengan design 4 alternatif jawaban yaitu sangat setuju, setuju,

    tidak setuju, dan sangat tidak setuju dengan α = 0.962.

    HASIL

    Uji Reliabilitas dan Seleksi Item

    Uji reliabilitas komunikasi interpersonal suami istri dengan menggunakan

    Alpha Cronbach dilakukan sebanyak dua kali putaran. Pada putaran pertama dari 50

    pernyataan ditemukan 23 item dengan koefisien reliabilitas 0.775.

    Pada skala koping dengan stress hasil uji reliabilitas dan daya diskriminasi

    item pada tahap uji coba diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.962, berarti alat

    ukur yang dipakai tergolong sangat reliabel.

  • 20

    Analisis Deskriptif

    Peneliti mengelompokkan skor dari setiap skala menjadi 5 kategori skor dari

    mulai “sangat rendah” sampai “sangat tinggi” (Hadi, 2000, dalam Wulandari, 2016).

    Table 1 dan 2 menunjukkan skor dari setiap variabel.

    Tabel 1. Kriteria skor untuk komunikasi interpersonal suami istri

    No Interval Kategori F Presentase Mean

    1 66,125 ≤ X Sangat tinggi 24 68,571%

    2 57,5 ≤ X < 66,125 Tinggi 11 31,42% 68,74

    3 48,87 ≤ X ≤ 57,5 Rendah

    4 X < 48,87 Sangat rendah

    Total : 35

    Min : 58 Max: 83 Std: 17,67

    Tabel 2. Kriteria skor untuk koping dengan stress

    No Interval Kategori F Presentase Mean

    1 120,75 ≤ X Sangat tinggi 35 100%

    2 105 ≤ X < 120,75 Tinggi 144,6

    3 89,25 ≤ X < 105 Rendah

    4 X ≤ 89,25 Sangat rendah

    Total : 35

    Min : 131 Max :168 Std : 26,163

  • 21

    Uji Asumsi

    1. Uji Normalitas

    Uji normalitas penelitian ini menggunakan Uji Kolmogrov-Smirnov (K-S).

    One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

    Tabel 3. Uji Normaitas Kolmogorov-Smirnov

    komunikasi interpersonal

    koping dengan stres

    N 35 35

    Normal Parametersa Mean 68.74 144.60

    Std. Deviation 5.458 13.070

    Most Extreme Differences Absolute .134 .236

    Positive .132 .236

    Negative -.134 -.157

    Kolmogorov-Smirnov Z .792 1.396

    Asymp. Sig. (2-tailed) .556 .041

    a. Test distribution is Normal.

    Hasil Uji Kolmogrov-Smirnov pada komunikasi interpersonal suami istri

    dengan hasil probabilitas 0,792 (0.792 > 0.05), dan koping dengan stress 1,396 yang

    artinya data penelitian ini berdistribusi normal.

    2. Uji Linieritas

    Hasil uji linieritas variabel komunikasi interpersonal terhadap koping dengan

    stres. Berdasarkan nilai signifikansi dari output spps pada Tabel. 4 menghasilkan nilai

    signifikansi= 0,995 lebih besar dari 0,05, artinya terdapat hubungan linier secara

    signifikan antara variable komunikasi interpersonal (X) terhadap koping dengan

    stress (Y).

  • 22

    Tabel 4. Uji Linieritas Anova

    Sum of

    Squares df

    Mean

    Square F Sig.

    Koping

    dengan stres

    *

    komunikasi

    interpersona

    l

    Between

    Groups

    (Combined) 1175.852 17 69.168 .254 .996

    Linearity 40.853 1 40.853 .150 .703

    Deviation from

    Linearity 1134.999 16 70.937 .260 .995

    Within Groups 4632.548 17 272.503

    Total 5808.400 34

    Berdasarkan output spss, diperoleh nilai Fhitung = 0,254, sedang Ftable pada

    distribusi tabel nilai 0,05, Ftabel = (1,16) = 4,49. Karena Fhitung lebih kecil daripada

    Ftable maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan linier yang signifikan antara

    komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping dengan stress penderita gagal

    ginjal kronik.

    Hasil Uji Hipotesis

    Berdasarkan uji korelasi komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping

    dengan stress, menunjukkan hubungan kuat antar variabel dengan r = 0,632 (p>0,05).

    Seperti yang ditujukkan Tabel 5. pada uji korelasi.

    Tabel 5. Uji Korelasi Pearson Product Moment

    komunikasi interpersonal

    koping dengan stres

    komunikasi interpersonal Pearson Correlation 1 .084

    Sig. (2-tailed) .632

    N 35 35

    koping dengan stres Pearson Correlation .084 1

    Sig. (2-tailed) .632

    N 35 35

  • 23

    Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan hubungan yang rendah dengan

    koefisien korelasi (Rxy) = 0,632. Sedangkan kontribusi atau sumbangan secara

    simultan variabel komunikasi interpersonal suami istri terhadap koping dengan stres

    R² = 0,243. Artinya komunikasi interpersonal suami istri memiliki hubungan yang

    cukup kuat terhadap koping dengan stress pasien GGK yaitu sebesar 24,3%.

    Sedangkan sisanya disumbangkan dari faktor lain pada penelitian Mutoharoh (2009),

    yaitu mekanisme koping maladaptif dari pasien GGK, lalu pada penelitian Armiyati

    dan Rahayu (2014), mekanisme koping yang adaptif berhubungan dengan berapa

    lama pasien menderita GGK.

    PEMBAHASAN

    Hasil analisa deskriptif kriteria skor yang diperoleh dari komunikasi

    interpersonal suami istri masuk kedalam kategori sedang hingga sangat tinggi, dan

    kriteria skor untuk koping dengan stress pernderita GGK menghasilkan kategorisasi

    skor tinggi hingga sangat tinggi. Oleh karena perolehan skor antara komunikasi

    interpersonal suami istri dan koping dengan stress penderita GGK sangat tinggi hal

    itu berarti komunikasi interpersonal suami istri memiliki hubungan terhadap koping

    dengan stres dari pasien penderita GGK RSUD Kota Salatiga.

    Hasil dari teori komunikasi interpersonal suami istri yang dikemukakan oleh

    De Vito (1995) 6 dari 7 aspek memiliki hubungan dengan koping dari stress penderita

    gagal ginjal kronik. Aspek-aspek yang berhubungan antara lain seperti: keterbukaan

    (openness), empati, dukungan (suportiveness), kepositifan, keyakinan (confidence),

  • 24

    dan kesiapan. Sedangkan aspek kesamaan (equality) tidak berhubungan terhadap

    koping dengan stres penderita GGK karena pernyataan dari aspek tersebut seluruhnya

    gugur pada saat pengolahan data.

    Berdasarkan uji korelasi pada komunikasi interpersonal terhadap koping

    dengan stress penderita GGK ditemukan bahwa R² = 0,243, yang berarti hanya 24,3%

    sumbangan dari komunikasi interpersonal suami istri. Sedangkan sisanya 75,7%

    ditentukan oleh faktor-faktor lain yang ditemukan pada kajian kepustakaan, yaitu

    hubungan mekanisme koping maladaptif oleh pasien GGK yang memiliki harapan

    akan efikasi diri rendah pada kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan tugas

    dengan sukses (Mutoharoh, 2009), lalu hubungan antara lamanya pasien menderita

    GGK dengan mekanisme koping adaptif dalam penelitian ini pasien memiliki upaya

    untuk mengantisipasi keadaan yang menjadi stressor, sehingga pasien dapat lebih

    mudah beradaptasi dengan keadaan dilingkungannya (Armiyati & Rahayu, 2014).

  • 25

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Dari hasil uji hipotesis penelitian Ha diterima atau dapat dikatakan bahwa

    komunikasi interpersonal memiliki hubungan yang kuat dengan koping penderita

    gagal ginjal kronik. Faktor yang terkait dengan koping menurut beberapa penelitian

    sebelumnya yaitu koping maladaptif yang berhubungan dengan efikasi diri rendah,

    aktivitas spiritual yang juga berhubungandengan koping penderita, serta mekanisme

    koping adaptif yang berhubungan dengan lamanya pasien menderita GGK di RSUD

    Kota Salatiga.

    Peran keluarga, dokter dan perawat disekitar pasien sudah banyak membantu.

    Berkaca pada keterbatasan peneliti saat melakukan penelitian, peneliti menemukan

    banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan penelitian yaitu tentang

    keadaan pasien saat menjalani hemodialisis yang lebih mudah lelah dan lebih banyak

    tertidur, oleh karena itu observasi tentang keadaan pasien menjadi penting sebelum

    melakukan penelitiaan. Perolehan responden dari pasien GGK di RSUD Kota

    Salatiga hanya terbatas 30 orang pasien dewasa dari total responden 35 orang yang

    sisianya diperoleh peneliti dari lingkungan tempat tinggal peneliti,akan lebih baik lagi

    jika memperluas ruang penelitian, misalnya bekerja sama dengan rumah sakit lain,

    atau mencari responden di luar rumah sakit. Reliabilitas dan validitas alat ukur adalah

    hal yang juga perlu di perhatikan, serta akan lebih baik lagi jika alat ukur yang akan

    digunakan diuji coba pada banyak responden.

  • 26

    DAFTAR PUSTAKA

    Ananda. W. K. (2009). Coping with stress pelayanan pada pendeta Gereja Kristen

    Jawa di Salatiga. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya

    Wacana.

    Armiyati.Y. & Rahayu.Y. (2014). Faktor yang berkorelasi terhadap mekanisme

    koping pasien CKD yang menjalani hemodialisis di RSUD Kota Semarang.

    Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Universitas Muhammadiyah.

    Baradero, M., Dayrit, M.W., Siswadi, Y. (2009).Seri asuhan keperawatan: Klien

    gangguan ginjal.Jakarta: EGC.

    Bare, B.G. & Smeltzer, S.C. (2002). Buku ajar: Keperawatan medikal bedah.

    Brunner &Suddarth. (Edisi ke-8), (H.Y.Kuncara., dkk, Terj.).Jakarta: EGC.

    (Naskah asli dipublikasikan tahun1996).

    Berry, L.M. (1998). Psychology at work: An introduction to organization

    psychology.(2nd

    ed). New York: McGraw Hill.

    Carlson, D. (2004). Mengatasi keletihan dan stress. Yogyakarta: ANDI Offset.

    Carpenter, B. (1992). Personal coping: Theory, research, and application. London:

    Greenwood Publishin Group.

    De Vito, J. (1997). Komunikasi antar manusia. Jakarta : Professional Books.

    Faradilla.N. (2009).Gagal ginjal kronik. Pekanbaru, Riau: Universitas Riau.Diakses

    tanggal 10 januari 2016 darihttp://www.Files-of-DrsMed.tk.

    Hawari, D. (2008). Manajemen stres cemas dan depresi. Jakarta: FKUI.

    Hudak, C.M., Gallo, B.M., Fontaine, D.K., & Morton, P.G. (2006).Critical care

    nursing: Aholistic approach. (8th

    ed). Lippincott:Williams& Wilkins.

    http://www.depkes.go.id/article/print/16013000003/rsup-sanglah-siap-layani-

    cangkok-ginjal.html. (Diakses tanggal 2 November 2016).

    http://margonoskep.blogspot.co.id/2010/03/hemodialisa.html (diakses tanggal 10

    Januari 2016).

    Ibrahim, K. (2009). Kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

    hemodialisis.Diakses tanggal 12 Januari 2016 dari http://www.mkb-online.org.

    http://www.files-of-drsmed.tk/http://www.depkes.go.id/article/print/16013000003/rsup-sanglah-siap-layani-cangkok-ginjal.htmlhttp://www.depkes.go.id/article/print/16013000003/rsup-sanglah-siap-layani-cangkok-ginjal.htmlhttp://margonoskep.blogspot.co.id/2010/03/hemodialisa.htmlhttp://www.mkb-online.org/

  • 27

    Indrawati, S.W., Maslihan.S.,& Wulandari, A. (2010). Study tentang religiusitas,

    drajat stres dan strategi penanggulangan stres (coping with stress) pada

    pasangan hidup pasien gagal ginjal kronik yang mengalami terapi

    hemodialisa. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Pendidikan

    Indonesia.

    Lazarus, S &Folkman. (1984). Stress, appraisal, dan coping. New York-Springer

    Publishing Company.

    Lemone, P. & Burke, K. (2004). Medical surgical nursing. (3rd ed).Newjersey:

    Pearson Education,Inc.

    Lewis, S.M., Heitkemper, M.M., & Dirksen, S.R. (2004).Medical surgical nursing:

    assessmentand management of clinical problems(6th ed). Mosby: Elsevier,

    Inc.

    Mansjoer, A. (2002). Gagal ginjal kronik. kapita selekta kedokteran. (Jilid II edisi 3).

    Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

    Mulyana, D. (2008). Komunikasi efektif: Suatu pendekatan lintas budaya. Bandung:

    PT. Remaja Rosdakarya.

    Mulyani. (2011). Hubungan antara dukungan sosial dengan stress pada mahasiswa

    jurusan psikologi Binus University yang sedang menyelesaikan skripsi.

    Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.

    Mutoharoh, I. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan mekanisme koping

    klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSUP

    Fatmawati tahun 2009. Skripsi tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Islam

    Negri Syarif Hidayatullah.

    Morgan, C.T. King, R.A. Wesz, J.R. & Schopler, J. (1989).Introduction to

    psychology.(7th

    ed). Singapore: McGraw-Hill.

    Ogden, J. (2007). Health psychology a textbook.(4th

    ed). British: McGraw-Hill.

    Rakhmat, J. (2008). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

    Rice. (1992). Stress & Health. (2nd

    ed). California: Brooks/Cole Publishing Company.

    Rindiastuti, Y. (2008). Deteksi dini dan pencegahan penyakit gagal ginjal kronis.

    Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta: Universitas Negri Surakarta.

    Ruben, B, & Stewart, L. (2013).Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT. Raja

    Grafindo Persada.

  • 28

    Sandra, W., Dewi.N., & Dewi. Y. (2012).Gambaran stress pada pasien gagal ginjal

    terminal yang menjalani terapi hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah

    Arifin Achmad Pekanbaru. Jurnal keperawatan, 2(2). Riau: Universitas Riau.

    Sarafino, E.P. (1994). Health psychology.(2nd

    ed). New York: John Wiley and Sons.

    Solichatun, Y. (2011). Stres dan staretegi coping pada anak didik di Lembaga

    Pemasyarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam. Malang: Universitas Negeri

    Malang.

    Sinaga, U.M. (28 Juli 2007). Peran dan tanggung jawab masyarakat dalam masalah

    pengadaan donor organ manusia. Diakses tanggal 12 Januari 2016 dari

    http://www.usulmajadisinaga.pdf.

    Siregar, S. (2014). Statistik parametik untuk penelitian kuantitatif. Bandung: PT.

    Remaja Rosdakarya.

    Taylor, S.E. (2003). Health psychology (5th

    ed). New York: McGraw Hill

    Timiswla, J. (2012). Coping with stress remaja pasca abortus Provocatus

    Criminalise. Skripsi diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

    Warianto.C. (2011).Gagal ginjal. Artikel Publikasi.

    West, R, & Turner, L.(2008). Teori komunikasi: Analisis dan aplikasi (6th

    ed). Jakarta:

    Salemba Humanika.

    Wood, J. (2013). Komunikasi interpersonal: Interaksi keseharian. Jakarta: Salemba

    Humanika.

    Wulandari, R. (2016). Koping dengan stres dan dukungan social keluarga sebagai

    prediktor motivasi sembuh pada penderita kanker serviks. Skripsi tidak

    diterbitkan. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

    Yosep, I. (2007). Keperawatan jiwa. Bandung: Refika Aditama.