hubungan antara dukungan sosial … hubungan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping...

23
1 HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PROBLEM-FOCUSED COPING PADA SISWA SMU PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNSIONAL (SBI) Anggit Dwi Jayanti Mira Aliza Rachmawati INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, semakin tinggi problem-focused coping. Sebaliknya semakin rendah dukungan sosial yang diterima, semakin rendah problem-focused coping. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMU Negeri 1 Kotagajah, Lampung Tengah, baik laki-laki maupun perempuan yang merupakan siswa program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yang duduk di bangku kelas sepuluh (kelas satu), kelas sebelas (kelas dua) dan kelas duabelas (kelas tiga), yang berusia 14 sampai 18 tahun, yang berjumlah 69 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah skala problem-focused coping yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Aldwin dan Revenson (1987) yang berjumlah 37 aitem, dan skala dukungan sosial yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Taylor (1995), yang berjumlah 35 aitem. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11,5 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan koefisien korelasi sebesar r = 0,293 dengan p = 0,007 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima. Kata Kunci : Dukungan Sosial, Problem-Focused Coping

Upload: doannhan

Post on 02-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL

DENGAN PROBLEM-FOCUSED COPING PADA SISWA SMU

PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNSIONAL (SBI)

Anggit Dwi Jayanti Mira Aliza Rachmawati

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima, semakin tinggi problem-focused coping. Sebaliknya semakin rendah dukungan sosial yang diterima, semakin rendah problem-focused coping.

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMU Negeri 1 Kotagajah, Lampung Tengah, baik laki-laki maupun perempuan yang merupakan siswa program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yang duduk di bangku kelas sepuluh (kelas satu), kelas sebelas (kelas dua) dan kelas duabelas (kelas tiga), yang berusia 14 sampai 18 tahun, yang berjumlah 69 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah skala problem-focused coping yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Aldwin dan Revenson (1987) yang berjumlah 37 aitem, dan skala dukungan sosial yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Taylor (1995), yang berjumlah 35 aitem.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11,5 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan koefisien korelasi sebesar r = 0,293 dengan p = 0,007 (p < 0,01) yang artinya ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan problem-focused coping. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima.

Kata Kunci : Dukungan Sosial, Problem-Focused Coping

2

Pengantar

Masa remaja ialah masa dimana masalah pokok remaja berpangkal pada

pencarian identitas diri. Remaja mengalami krisis identitas, karena untuk

dikelompokkan dalam kelompok anak-anak remaja merasa sudah besar, namun

untuk dikelompokkan dalam kelompok dewasa remaja dianggap kurang besar

(www.kompas.com 24/07/2005). Sebagai peralihan dari masa anak-anak menuju

masa dewasa, masa remaja merupakan masa yang penuh dengan kesulitan dan

gejolak, baik bagi remaja sendiri maupun bagi orang tuanya. Seringkali karena

ketidaktahuan dari orang tua mengenai keadaan masa remaja tersebut ternyata

mampu menimbulkan bentrokan dan kesalahpahaman antara remaja dengan

orang tua yakni dalam keluarga atau remaja dengan lingkungannya.

(www.bpkpenabur.or.id 03/1998).

Semakin berkembangnya era globalisasi di masa sekarang ini, menuntut

daya saing yang kuat baik dalam bidang teknologi, manajemen, maupun sumber

daya manusia. Sehingga dalam upaya mewujudkan hal tersebut, pemerintah

melakukan inovasi di bidang pendidikan. Salah satunya dengan mendirikan kelas

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekolah Bertaraf Internasional

(SBI) adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan

standar nasional pendidikan Indonesia dan tarafnya Internasional sehingga

lulusannya memiliki daya saing Internasional (Anonim, www.smantiboo.com).

Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, sistem belajar mengajar dan

fasilitasnya pun berbeda dengan kelas reguler pada umumnya. Kelas program

SBI dilengkapi dengan fasilitas belajar yang berstandar internasional, yakni ruang

kelas yang memenuhi standar internasional, pembelajaran berbasis ICT

3

(Information and Communication Technology), laboratorium IPA dan Bahasa,

tersedia akses internet dan ruang multi media, serta komunikasi yang

menggunakan sistem dua bahasa (bilingual) yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris (Anonim, www.smantiboo.com).

Sistem belajar mengajar dan jadwal kegiatan belajar mengajar siswa SBI

memiliki perbedaan dengan sistem belajar mengajar siswa reguler pada

umumnya. Sistem komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di SBI

menggunakan dua bahasa (bilingual) yaitu bahasa Ingris dan Bahasa Indonesia,

adanya “double teacher” (dua guru) maksudnya adalah selain ada tim guru yang

merupakan guru SMU Negeri I Kotagajah, program SBI juga mendatangkan guru

tamu dalam KBM. Sedangkan perbedaan jadwal kegiatan sekolah adalah siswa

program SBI mendapatkan tambahan waktu belajar di sekolah, yakni dua jam

lebih lama dibandingkan siswa reguler. Kegiatan belajar mengajar siswa SBI

berakhir pada pukul 14.00 (sama halnya dengan siswa reguler) namun setelah

jadwal pelajaran berakhir, siswa SBI akan mendapatkan mata pelajaran

tambahan, khusus mata pelajaran IPA sampai pukul 16.00 pada hari Senin,

Selasa, Rabu dan Sabtu, untuk hari Kamis siswa SBI diwajibkan untuk mengikuti

EC (English Club) hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Bahasa

Inggris siswa. Sedangkan hari Jum’at adalah waktu untuk siswa mengikuti

kegiatan ekstrakurikuler di sekolah namun sifatnya tidak wajib. Oleh karena itu,

dengan kondisi tersebut siswa dituntut untuk memiliki kesiapan dalam menerima

konsekuensi yang harus mereka hadapi jika mereka menjadi siswa program SBI,

misalnya dalam hal kesulitan membagi waktu, kurang waktu istirahat, banyaknya

tugas mata pelajaran sekolah dan lain sebagainya.

4

Namun, yang terjadi tidaklah demikian, hasil wawancara yang peneliti

lakukan terhadap siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang merupakan siswa program

SBI, pada tanggal 9 September 2007 di Lampung, menunjukkan bahwa dalam

kenyataannya permasalahan kesulitan dalam membagi waktu, kurang waktu

untuk istirahat, tetap dialami oleh siswa program SBI. Hal tersebut terkadang

membuat siswa merasa lelah dan terforsir dengan padatnya jadwal kegiatan

sekolah, bahkan kasus yang terjadi adalah ada beberapa siswa yang memilih

untuk pindah ke kelas program reguler karena merasa terforsir dengan padatnya

jadwal kegiatan di program SBI. Selain itu penggunaan sistem komunikasi

bilingual dalam kegiatan belajar mengajar khususnya dalam penggunaan Bahasa

Inggris terkadang membuat siswa mengalami kesulitan untuk menerima

pelajaran dengan maksimal (apalagi jika dalam menyampaikan pelajaran dalam

Bahasa Inggris kurang menarik bagi siswa), sehingga apa yang disampaikan oleh

guru mata pelajaran terkadang kurang mampu dimengerti oleh para siswa

dengan baik. Meskipun mereka telah mendapatkan jam tambahan khusus untuk

belajar Bahasa Inggris di sekolah dan ada hari khusus yang mewajibkan semua

siswa dan guru SBI menggunakan Bahasa Inggris atau yang lebih dikenal dengan

istilah ”English Day” yakni pada hari Selasa dan Kamis, namun hasilnya masih

kurang maksimal. Selain kegiatan belajar mengajar yang menggunakan sistem

komunikasi bilingual, banyaknya tugas mata pelajaran yang harus mereka

kerjakan sebagai Pekerjaan Rumah (PR) membuat mereka sering mengeluh, dan

meminta kepada guru mata pelajaran untuk mengurangi tugas-tugas yang harus

mereka kerjakan. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka menganggap

bahwa waktu yang mereka miliki sangat terbatas untuk dapat mengerjakan

5

tugas-tugas yang begitu banyak, sehingga terkadang jika PR tersebut tidak dapat

mereka selesaikan di rumah, maka pada waktu pagi harinya mereka akan

menyelesaikan PR tersebut bersama-sama dengan teman di sekolah, atau

bahkan ada beberapa siswa yang justru mengandalkan pada pekerjaan teman

(mencontek).

Berdasarkan contoh kasus di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah, remaja khususnya siswa

program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) cenderung kurang mampu

menyelesaikan masalah dengan baik. Contoh kasus yang terjadi di SMU Negeri 1

Kotagajah menunjukkan bahwa kurang maksimalnya penggunaan problem-

focused coping pada siswa program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dalam

menyelesaikan permasalahan, baik masalah yang berhubungan dengan kegiatan

di sekolah maupun masalah pribadi yang sering mereka hadapi. Karena mereka

lebih sering menunda-nunda untuk menyelesaikan masalahnya, kurang berhati-

hati dalam mengambil keputusan masalahnya karena mereka menganggap

bahwa yang terpenting adalah masalah tersebut bisa cepat selesai. Bahkan

membiarkan masalah tersebut sampai pada akhirnya masalah tersebut dapat

mereka lupakan, karena yang pertama kali mereka lakukan ketika ada masalah

adalah berusaha menghibur diri sendiri. Perilaku yang tidak sesuai yang

dilakukan remaja biasanya didorong oleh keinginan mencari jalan pintas dalam

menyelesaikan sesuatu tanpa mendefinisikan secara cermat akibatnya. Untuk itu,

dalam menghadapi masalahnya, remaja akan menggunakan mekanisme coping

yang menunjuk pada suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola

jarak yang ada antara tuntunan-tuntunan (baik itu tuntunan yang berasal dari

6

individu maupun tuntunan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber

daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful (Cohen, dkk.,

Smet, 1994).

Dukungan dari orang-orang terdekat, misalnya dari keluarga dan teman

akan sangat membantu remaja dalam menghadapi masalahnya. Karena dengan

adanya dukungan sosial tersebut, remaja merasa dicintai dan diperhatikan, mulia

dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial, misalnya keluarga atau

organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan kebaikan, pelayanan, dan

saling menjaga ketika berada dalam situasi yang penuh tekanan (Cobb, dalam

Sarafino, 1994). Sehingga dalam menghadapi masalahnya remaja tidak merasa

sendiri dan tidak cepat putus asa karena ada orang-orang disekelilingnya yang

membantu dan memberikan dukungan.

Oleh karena itu, mengingat begitu pentingnya peran coping dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi remaja, maka peneliti ingin mengetahui

apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan kemampuan problem-

focused coping pada siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)?

Problem-Focused Coping

Menurut Aldwin dan Revenson (1987), Problem-focused coping meliputi

perilaku dan kognisi yang diarahkan untuk menganalisa dan untuk memecahkan

masalah. Problem-focused coping juga sangat berguna dalam mengurangi stres.

Menurut Taylor (1995) problem-focused coping atau problem-solving efforts

merupakan suatu tindakan yang digunakan untuk memperbaiki situasi yang

7

stresful yang dianggap merugikan, mengancam, atau bahkan situasi yang penuh

tantangan bagi individu.

Problem-focused coping digunakan untuk mengurangi stressor, individu

akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan

yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin

akan dapat mengubah situasi. Problem-focused coping dan emotion-focused

coping juga merupakan coping yang berupa respon tingkah laku dan pikiran

individu untuk mengatur, meminimalkan, atau menguasai tuntutan-tuntutan dari

dalam dan dari luar yang dinilai memberatkan atau melebihi batas-batas

kemampuannya (Folkman, dalam Zamindari, 1999).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa problem-

focused coping adalah reaksi individu dalam menghadapi masalah yaitu dengan

cara berusaha mencari penyebab masalah dan berusaha menyelesaikannya

dengan beberapa alternatif pemecahan masalah yang dianggap dapat mengubah

situasi yang stressfull tersebut.

Aldwin dan Revenson (1987) menyebutkan aspek-aspek problem-focused

coping sebagai berikut :

1. Exersiced Caution (Cautiousness), yaitu tindakan menahan diri atau berhati-

hati dalam mengambil keputusan yang tepat untuk menyelesaikan masalah.

Dalam hal ini individu mempertimbangkan terlebih dahulu beberapa

alternatif pemecahan masalah.

2. Instrumental Action, meliputi usaha-usaha langsung individu menemukan

solusi problemnya, misalnya dengan menyusun suatu rencana dan

kemudian melaksanakan langkah-langkah yang telah direncanakan itu.

8

3. Negotiation, merupakan salah satu teknik dalam problem-focused coping

yang diarahkan langsung pada orang lain yang menjadi penyebab masalah.

Individu mencoba mengadakan kompromi atau mengubah pikiran orang

lain demi mendapatkan hal yang positif dari situasi problematik tersebut.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek dari coping yang

akan mendukung problem-focused coping adalah exercise cauiton

(cautiousness), instrumental action, dan negotiation.

Problem-focused coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang meliputi :

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam mengunakan problem-

focused coping antara lain adalah sebagai berikut :

1. Dukungan Sosial

Menurut Garmezi dan Rutter (dalam Primastuti, 2005) Dukungan dari orang-

orang di sekitar individu, yakni saudara, orangtua terutama ibu, suami atau

isteri, teman, tenaga profesional, tentu saja dapat membantu individu dalam

melakukan coping yang tepat, dalam usaha menghadapi dan memecahkan

masalahnya. Hal itu karena dengan adanya dukungan dari sosialnya maka

individu akan semakin mampu dan yakin dalam memecahkan masalahnya,

begitu juga sebaliknya.

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Billing dan Moss (dalam Sarafino,

1994) terhadap 200 pasangan yang menikah, diperoleh hasil bahwa wanita

(Isteri) lebih sering menggunakan emotion-focused coping dalam

menghadapi masalah, sedangkan pria (Suami) lebih cenderung

9

menggunakan problem-focused coping ketika dihadapkan pada situasi yang

penuh tekanan.

3. Status Sosial Ekonomi dan Tingkat Pendidikan

Hasil penelitian Billing dan Moss (dalam Sarafino, 1994) juga menunjukkan

bahwa individu dengan status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang

tinggi menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi

masalahnya dibandingkan dengan individu yang memiliki status sosial

ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah.

4. Usia

Sarafino (dalam Primastuti, 2005) mengatakan bahwa perilaku yang lebih

sering digunakan orang dewasa adalah yang berpusat pada pemecahan

masalah (problem-focused coping), sedangkan pada anak-anak lebih sering

menggunakan perilaku coping yang berpusat pada emosi (emotion-focused

coping).

5. Jenis Masalah yang dihadapi

Individu kurang menggunakan problem-focused coping ketika masalah yang

dihadapinya menyangkut kematian anggota keluarganya. Beda halnya ketika

masalah yang dihadapi berkaitan dengan masalah kesulitan ekonomi atau

berkaitan dengan keadaan sakit, individu akan lebih cenderung

menggunakan problem-focused coping (Billing dan Moss, dalam Sarafino,

1994).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi individu dalam menggunakan problem-focused coping

10

adalah dukungan sosial, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan tingkat

pendidikan, usia dan jenis masalah yang dihadapi.

Dukungan Sosial

Cohen dan Syme (1985) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber

yang diberikan oleh orang lain. Sedangkan menurut Gottlieb (dalam Smet, 1994)

dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau non-verbal,

bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat

karena kehadiran individu-individu tersebut dan mempunyai manfaat emosional

atau efek perilaku bagi pihak penerima.

Sarafino (dalam Smet, 1994) mengusulkan definisi operasional yaitu

dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan

kepedulian, atau menerima bantuan dari orang-orang atau kelompok-kelompok

lain. Berdasarkan pada Cobb (Sarafino, 1994), individu yang mendapatkan

dukungan sosial percaya bahwa individu tersebut dicintai dan diperhatikan, mulia

dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial, misalnya keluarga atau

organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan kebaikan, pelayanan, dan

saling menjaga dalam waktu yang dibutukan dan membahayakan. Sarason

(dalam Effendi dan Tjahjono, 1999), mengemukakan bahwa dukungan sosial

dapat berupa pemberian informasi, pemberian bantuan tingkah laku atau materi

yang didapat dari hubungan sosial yang akrab atau hanya disimpulkan dari

keberadaan kelompok yang membuat individu merasa diperhatikan dan dicintai.

11

Dari beberapa pendapat tokoh di atas, peneliti menyimpulkan bahwa

dukungan sosial adalah suatu bentuk perhatian, kasih sayang, penghargaan, dan

bantuan baik nyata maupun tingkah laku yang diterima individu dari orang-orang

terdekatnya (kerabat dekat, teman sebaya, guru) yang akan sangat berpengaruh

bagi individu yang menerima dukungan tersebut.

Sumber-sumber dukungan sosial, menurut Ganster dkk, (dalam Rohman,

dkk, 1997), yaitu :

1. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan seseorang,

kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikis mula-mula terpenuhi dari

lingkungan keluarga. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan

keluarga sebagai tumpuan harapan, tempat mengeluarkan keluhan-

keluhan bilamana individu sedang menghadapi permasalahan.

2. Rekan sekerja/Teman

Dalam dunia kerja, manusia membutuhkan penghargaan atas apa yang

sudah mereka kerjakan. Manusia yang sehat kondisinya akan merasakan

dirinya berguna, penting, dan membutuhkan penghargaan sesuai

martabatnya sebagai manusia. La Rocco dan Jones (dalam Rohman, dkk,

1997) berpendapat bahwa karyawan yang bekerja membutuhkan

dorongan moral dari rekan sekerja maupun atasannya.

3. Supervisor (Penyelia)

As’ad (dalam Rohman, dkk, 1997) mengemukakan bahwa seorang

penyelia ialah seorang manajer yang bertanggung jawab kepada manajer

yang lebih tinggi kedudukannya. Tugas utama penyelia ialan memimpin

12

pekerja pelaksana dalam taraf operasional. Kedudukan penyelia berada di

antara pihak manajemen dengan pihak pekerja.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber

dukungan sosial yang mendukung dalam penelitian ini adalah dukungan sosial

yang berasal dari keluarga dan teman.

Menurut Sarafino (1994) aspek-aspek dukungan sosial meliputi :

1. Dukungan Emosional

Dukungan emosional meliputi perasaan empatik, perhatian, dan

keprihatinan terhadap orang lain. Membarikan individu perasaan nyaman,

tentram, dimiliki, dan merasa dicintai ketika sedang memiliki masalah

atau berada dalam situasi yang stressfull.

2. Dukungan Penghargaan

Dukungan penghargaan terlihat dari ekspresi seseorang ketika

memberikan penghargaan yang positif, dorongan atau persetujuan

terhadap ide atau perasaan individu dan perbandingan positif antara

individu yang satu dengan yang lain.

3. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental meliputi bantuan langsung, yaitu ketika seseorang

memberikan atau meminjamkan uang atau pertolongan berupa pekerjaan

ketika orang lain menghadapi situasi yang stressfull.

4. Dukungan Informasional

Dukungan informasonal meliputi pemberian nasehat, petunjuk, saran

atau umpan balik tentang bagaimana seseorang mengerjakan sesuatu.

13

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek dari dukungan

sosial yang mendukung adalah dukungan emosional, dukungan penghargaan,

dukungan instrumental, dan dukungan informasional.

Hubungan Antara Dukungan Sosial

Dengan Problem-Focused Coping

Masalah yang dihadapi remaja seringkali menimbulkan stress yang

mendalam dalam kehidupan sehari-hari remaja. Masalah dengan teman, masalah

dengan orang tua, masalah dengan diri sendiri, dan masalah yang berkaitan

dengan pelajaran di sekolah tidak jarang membuat remaja menjadi kurang

memiliki daya juang, sulit bergaul dengan lingkungan sekitarnya dan merasa

dikucilkan dari pergaulan. Untuk mengurangi beban stress yang dihadapi remaja,

remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dan bereaksi terhadap situasi

yang stressfull, dan disini peran perilaku coping sangat dibutuhkan.

Peran problem-focused coping dalam menyelesaikan permasalahan yang

dihadapi remaja diharapkan dapat merubah situasi yang stresful akan menjadi

lebih baik. Problem-focused coping biasanya ditunjukkan dengan indikator

sebagai berikut, yaitu menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif,

menimbang-nimbang alternatif yang berkaitan dengan biaya dan manfaat,

memilih salah satunya, dan mengimplementasikan alternatif yang dipilih

(Atkinson, dkk, 1999). Salah satu faktor yang mempengaruhi individu

menggunakan problem-focused coping adalah adanya dukungan sosial. Dengan

adanya dukungan sosial yang tinggi, seseorang akan menjadi lebih yakin akan

14

kemampuannya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Garmezi dan

Rutter, dalam Primastuti, 2005). Dengan demikian, diharapkan individu yang

menerima dukungan sosial yang tinggi dari orang-orang terdekatnya akan lebih

cenderung menggunakan problem-focused coping dalam mengatasi masalah

yang dihadapinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Primastuti (2005) menunjukkan hasil

bahwa semakin tinggi tingkat dukungan yang diterima ibu yang memiliki anak

berbakat intelektual baik dari suami maupun guru di sekolah, maka tingkat

problem-focused coping ibu juga akan semakin tinggi. Hal ini senada dengan

teori yang telah dikemukakan oleh Lazarus (dalam Primastuti, 2005) bahwa

dukungan dari orang-orang terdekat bila dilakukan secara bersama-sama akan

dapat meningkatkan problem-focused coping yang dilakukan oleh ibu. Dengan

adanya dukungan dari orang terdekat, ibu yang memiliki anak berbakat

intelektual akan merasa beban dirinya lebih ringan dan ada seseorang yang mau

menanggapi ataupun memperhatikan dirinya. Individu yang mendapatkan

dukungan sosial percaya bahwa individu tersebut dicintai dan diperhatikan, mulia

dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial, misalnya keluarga atau

organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan kebaikan, pelayanan, dan

saling menjaga dalam waktu yang dibutukan dan membahayakan. Sehingga

individu tidak merasa sendiri dan cepat putus asa dalam menghadapi

permasalahan yang dihadapinya karena ada orang-orang disekelilingnya yang

membantu dan memberi dukungan.

15

Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritik diatas, maka hipotesis yang peneliti ajukan

adalah bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan problem-

focused coping pada siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang mengambil program

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dimana semakin tinggi dukungan sosial

yang diterima oleh remaja, maka akan diikuti juga dengan semakin tingginya

problem focused coping pada siswa SMU program Sekolah Berstandar

Internasional (SBI).

Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu :

1. Variabel Tergantung : Problem-Focused Coping

2. Variabel Bebas : Dukungan Sosial

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMU Negeri 1 Kotagajah,

Lampung Tengah, baik laki-laki maupun perempuan yang merupakan siswa

program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yang duduk di bangku kelas

sepuluh (kelas satu), kelas sebelas (kelas dua) dan kelas duabelas (kelas tiga),

yang berusia 14 sampai 18 tahun. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian

ini adalah purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek yang

didasarkan atas ciri-ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya

(Hadi, 2000).

16

Metode Pengumpulan Data

1. Dukungan Sosial

Skala dukungan sosial dalam penelitian ini disusun berdasarkan aspek-

aspek dukungan sosial menurut Sarafino (1994), yang meliputi dukungan

emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasional dan dukungan

instrumental.

Skala ini terdiri dari 35 butir pernyataan yang bersifat favourable dan

unfavourable. Subjek diberi alternatif untuk menjawab, keempat alternatif

tersebut yaitu : SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS

(Sangat Tidak Sesuai). Nilai yang diberikan pada tiam aitem bergerak dari 1

sampai 4, sedangkan penilaian untuk masing-masing aitem dalam skala adalah

sebagai berikut untuk aitem yang bersifat favorabel nilai 4 (empat) diberikan

untuk jawaban SS (Sangat Sesuai), nilai 3 (tiga) untuk jawaban S (Sesuai), nilai 2

(dua) untuk jawaban TS (tidak sesuai), dan nilai 1 (satu) untuk jawaban STS

(Sangat Tidak Sesuai). Sedangkan untuk aitem yang bersifat unfavorabel nilai 4

(empat) untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai), nilai 3 (Tiga) untuk jawaban

TS (Tidak Sesuai), nilai 2 (dua) untuk jawaban S (Sesuai), dan nilai 1 (satu)

untuk jawaban SS (Sangat Sesuai).

Pernyataan yang bersifat favourable menunjukkan tingginya tingkat

dukungan sosial yang diterima subjek dan pernyataan yang bersifat unfavourable

menunjukkan rendahnya tingkat dukungan sosial yang diterima subjek.

2. Problem-Focused Coping

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala. Skala

problem-focused coping yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam

17

penelitian ini merupakan skala problem-focused coping yang penulis susun

sendiri dan mengacu pada aspek-aspek atau komponen yang dikemukakan oleh

Aldwin dan Revenson (1987), yang meliputi exersiced caution (Cautiousness),

instrumental action, dan negotiation.

Skala ini terdiri dari 37 butir pernyataan yang bersifat favourable dan

unfavourable. Subjek diberi alternatif untuk menjawab, keempat alternatif

tersebut yaitu : SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), dan STS

(Sangat Tidak Sesuai). Nilai yang diberikan pada tiam aitem bergerak dari 1

sampai 4, sedangkan penilaian untuk masing-masing aitem dalam skala adalah

sebagai berikut untuk aitem yang bersifat favorabel nilai 4 (empat) diberikan

untuk jawaban SS (Sangat Sesuai), nilai 3 (tiga) untuk jawaban S (Sesuai), nilai 2

(dua) untuk jawaban TS (tidak sesuai), dan nilai 1 (satu) untuk jawaban STS

(Sangat Tidak Sesuai). Sedangkan untuk aitem yang bersifat unfavorabel nilai 4

(empat) untuk jawaban STS (Sangat Tidak Sesuai), nilai 3 (Tiga) untuk jawaban

TS (Tidak Sesuai), nilai 2 (dua) untuk jawaban S (Sesuai), dan nilai 1 (satu)

untuk jawaban SS (Sangat Sesuai).

Pernyataan yang bersifat favourable pada problem-focused coping

menunjukkan tingginya kemampuan subjek dalam menyelesaikan masalah

dengan menggunakan tipe coping tersebut dan pernyataan yang bersifat

unfavourable menunjukkan rendahnya kemampuan subjek dalam menyelesaikan

masalah dengan menggunakan problem-focused coping.

18

Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

analisis korelasi product moment Pearson pengolahan data menggunakan

bantuan Program SPSS for windows (Statistical Program for Social Science) Versi

11,5.

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis tentang adanya

hubungan positif antara dukungan sosial dengan problem-focused coping pada

siswa SMU program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Berdasarkan hasil

analisis data, diperoleh hasil yang mendukung hipotesis tersebut, yakni hasil uji

korelasi kedua variabel menunjukkan koefisien korelasi sebesar rxy = 0,293 dan p

= 0,007 (p < 0,01) yang berarti bahwa nilai korelasi yang dihasilkan signifikan.

Dengan demikian berarti ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan

sosial dengan problem-focused coping pada siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang

mengambil program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Dari penjabaran diatas, pada penelitian ini tingginya dukungan sosial

yang diterima siswa mempengaruhi problem-focused coping dalam menghadapi

masalah, ketika dukungan sosial yang diterima tinggi maka siswa akan lebih

mampu dalam menggunakan problem-focused coping untuk menghadapi

masalah. Begitu pula sebaliknya ketika dukungan sosial yang diterima rendah,

maka siswa cenderung kurang mampu dalam menggunakan problem-focuced

coping untuk menghadapi masalahnya. Hal ini senada dengan apa yang

dikemukakan Cobb (Sarafino, 1994) yakni ketika individu menerima dukungan

19

sosial dari orang-orang terdekatnya, maka individu tersebut akan merasa dicintai

dan diperhatikan, mulia dan dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial,

misalnya keluarga atau organisasi kemasyarakatan, yang dapat memberikan

kebaikan, pelayanan, dan saling menjaga ketika berada dalam situasi yang

penuh tekanan. Sehingga dalam menghadapi masalahnya individu tidak merasa

sendiri dan tidak cepat putus asa karena ada orang-orang di sekelilingnya yang

membantu dan memberikan dukungan. Selain itu, dengan adanya dukungan

sosial yang tinggi, seseorang akan menjadi lebih yakin akan kemampuannya

dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Garmezi dan Rutter, dalam

Primastuti, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh House, dkk (dalam Sarafino,

1994) juga menunjukkan hasil bahwa dukungan sosial dapat mengurangi

masalah yang dialami oleh individu.

Hal ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Primastuti

(2005) yang menunjukkan hasil bahwa semakin tinggi tingkat dukungan yang

diterima ibu yang memiliki anak berbakat intelektual baik dari suami maupun

guru di sekolah, maka tingkat problem-focused coping ibu juga akan semakin

tinggi. Dari beberapa hasil penelitian diatas maka dapat diketahui bahwa

tingginya dukungan sosial yang diterima individu akan berpengaruh terhadap

kemampuan individu tersebut dalam menggunakan problem-focused coping

dalam menghadapi masalahnya.

Penelitian ini telah membuktikan bahwa dukungan sosial merupakan salah

satu faktor yang penting dalam problem-focused coping siswa SMU program

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Walaupun demikian, sumbangan efektif

yang diberikan variabel dukungan sosial terhadap problem-focused coping

20

tergolong rendah, yaitu sebesar 8,6 % ini berarti sekitar 91,4 % problem-focused

coping dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.

Selain itu ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam penelitian ini,

diantaranya adalah terbatasnya jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian

ini, selain itu kelemahan dalam skala yang digunakan untuk mengukur tingkat

dukungan sosial dan problem-focused coping, yakni aitem-aitem dalam skala

dukungan sosial tidak secara spesifik menyebutkan sumber dukungan sosial yang

diterima siswa SBI tersebut dari siapa (teman, orangtua, kakak/adik, atau dari

guru di sekolah). Sedangkan aitem-aitem dalam skala problem-focused coping

yang hanya pada ranah kognitif saja dan tidak menyebutkan secara spesifik

masalah yang berkaitan dengan siswa SBI. Hal inilah yang menjadi salah satu

penyebab mengapa sumbangan efektif dukungan sosial terhadap problem-

focused coping tergolong rendah.

Kesimpulan

Ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan

problem-focused coping pada siswa SMU Negeri 1 Kotagajah yang mengambil

program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sumbangan efektif dukungan

sosial terhadap problem-focused coping pada siswa SMU Negeri I Kotagajah yang

mengambil program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) hanya sebesar 8,6 %

sedangkan 91,6% lainnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak

dijelaskan dalam penelitian ini.

21

DAFTAR PUSTAKA

Aldwin, C. M. & Revenson, T. A. 1987. Does Coping Help? A Reexamination of the Relation Between Coping and Mental Health. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 53, No 2, 337-348.

Anonim. 2005. http:www.kompas.com/Kesehatan/news/0507/24/083524.htm. Atkinson, R., dkk. Pengantar Psikologi (Edisi 11, Jilid 2). Jakarta : Interaksara. Cohen dan Syme. 1985. Social Support and Health. Orlando, Florida, San Diego,

New York : Academic Press, Inc. Effendi, R. W., & Tjahjono, E. 1999. Hubungan Antara Perilaku Coping dan

Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Anima. Vol 14, No 54, Januari – Maret.

Hadi, S. 2000. Statistik (Jilid 2). Yogyakarta : Penerbit Andi. Mu’tadin, Z. 2002. Mengembangkan Keterampilan Sosial Pada Remaja.

http://www.e-psikologi.com. 6 Agustus 2002. Primastuti, E. 2005. Hubungan Antara Dukungan Suami dan Dukungan Guru

Dengan Problem-Focused Coping Ibu dari Anak Berbakat Intelektual. Tesis (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

Rohman, T. N., dkk. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Burnout

Pada Perawat Putri Di Rumah Sakit Swasta. Psikologika. Nomor 4 Tahun II, 51-59.

Safarino, E. 1994. Health Psychology, Biopsychosocial Interaction (2nd ed). New

York : John Wiley & Sons, Inc. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia. Taylor, S. E. 1995. Health Psychology (3th ed). New York : McGraw-Hill, inc.

22

Zamindari, V. 1999. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Problem-Focused Coping Menghadapi Masalah Skripsi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.

_______. 1998. http://www.bpkpenabur.or.id 03/1998 _______. 2006. Kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) SMA Negeri 3

Bogor.http://www.smantiboo.com/utama1.php?modul=pengumuman&f=pengumuman/sbi.php&jdl=SEKOLAH%20BERTARAF%20INTERNASIONAL

23

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL

DENGAN PROBLEM-FOCUSED COPING PADA SISWA SMU PROGRAM

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)

Telah Disetujui Pada Tanggal

______________________

Dosen Pembimbing

(Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi)