hqghqj 6dslmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw...

15
10 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Definisi dan Susunan Daging Sapi Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong (Muchtadi, dkk., 2013). Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak (Soeparno, 2009). Otot mengandung sekitar 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non protein, dan 2,5% lemak (Soeparno, 2009). Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan, jenis daging, proses pengawetan, penyimpanan, dan metode pengepakan daging. Komposisi kimia daging juga sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya, dengan meningkatnya kandungan lemak daging, kandungan air dan proteinnya akan menurun (Muchtadi, dkk., 2013). Daging yang dikonsumsi berasal dari beberapa jenis hewan ternak diantaranya adalah sapi. Salah satu jenis sapi yang banyak digunakan sebagai ternak potong di Indonesia adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi PO merupakan hasil pemuliaan melalui sistem persilangan dengan grading up sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO). Sapi PO dibeberapa daerah dipelihara dengan tujuan ganda disamping sebagai sapi potong penghasil daging juga untuk sapi perkerja (dwiguna). Sapi PO tanggap terhadap perubahan maupun perbaikan pakan dengan menunjukan pertambahan bobot badan harian yang berbeda. Sapi PO

Upload: others

Post on 16-Mar-2020

6 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

10

II KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi dan Susunan Daging Sapi Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada

kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga, yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong (Muchtadi, dkk., 2013). Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Otot merupakan komponen utama penyusun daging. Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak (Soeparno, 2009).

Otot mengandung sekitar 75% air, 19% protein, 3,5% substansi non protein, dan 2,5% lemak (Soeparno, 2009). Komposisi kimia daging tergantung dari spesies hewan, kondisi hewan, jenis daging, proses pengawetan, penyimpanan, dan metode pengepakan daging. Komposisi kimia daging juga sangat dipengaruhi oleh kandungan lemaknya, dengan meningkatnya kandungan lemak daging, kandungan air dan proteinnya akan menurun (Muchtadi, dkk., 2013).

Daging yang dikonsumsi berasal dari beberapa jenis hewan ternak diantaranya adalah sapi. Salah satu jenis sapi yang banyak digunakan sebagai ternak potong di Indonesia adalah sapi Peranakan Ongole (PO). Sapi PO merupakan hasil pemuliaan melalui sistem persilangan dengan grading up sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO). Sapi PO dibeberapa daerah dipelihara dengan tujuan ganda disamping sebagai sapi potong penghasil daging juga untuk sapi perkerja (dwiguna). Sapi PO tanggap terhadap perubahan maupun perbaikan pakan dengan menunjukan pertambahan bobot badan harian yang berbeda. Sapi PO

Page 2: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

11

menghasilkan daging yang cukup tinggi dengan persentase karkas 42 57,21% (Astuti, 2004).

2.2 Dendeng Sapi Pengeringan daging adalah cara yang paling umum dilakukan untuk

mengawetkan daging dan sudah dilakukan sejak awal peradaban manusia. Pengeringan daging yang paling sederhana adalah dengan cara memilih daging tanpa lemak yang berasal dari sapi, kerbau, babi, rusa, atau hewan lainnya lalu dipotong dan diris-iris menjadi lembaran tipis kemudian dikeringkan dengan bantuan panas matahari menjadi pangan siap makan yang bergizi tinggi (Nummer, dkk, 2004; Yang, dkk, 2009).

Dendeng sapi adalah produk makanan yang berbentuk lempengan terbuat dari daging sapi segar dan atau daging sapi beku, yang diiris atau digiling, ditambah bumbu dan dikeringkan dengan sinar matahari atau alat pengering, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (Badan Standarisasi Nasional, 2013). Menurut United States Department of Agriculture (2014) dendeng adalah jenis pangan siap makan yang berasal dari daging yang dikeringkan dan memiliki daya simpan yang tinggi di suhu kamar.

Menurut United States Department of Agriculture (2014), secara umum proses pembuatan dendeng terdiri dari pengirisan daging, perendaman irisan daging, pemanasan, dan pengeringan irisan daging. Tujuan utama pemanasan pada proses pembuatan dendeng adalah untuk membunuh dan mengurangi jumlah mikroorganisme. Tujuan utama pengeringan pada proses pembuatan dendeng adalah untuk menghasilkan produk akhir yang memiliki daya simpan yang tinggi dan mencegah mikroorganisme untuk tumbuh terutama mikroorganisme toksik

Page 3: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

12

yaitu Staphylococcus aureus. Proses pembuatan dendeng dibagi menjadi 6 tahap yaitu:

1. Persiapan daging dengan mengiris atau menggiling daging. 2. Perendaman irisan daging ke dalam larutan yang mengandung gula, garam,

dan bahan tambahan pangan lainnya yang diizinkan. 3. Intervensi antimikroba yang bertujuan untuk meningkatkan daya hambat

pertumbuhan bakteri seperti Salmonella, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan bahan bahan yang memiliki sifat antibakteri yang diizinkan untuk digunakan dan aman untuk dikonsumsi.

4. Pengeringan dilakukan sampai produk akhir memiliki kadar air yang sesuai dengan standar. Jika kadar air tidak sesuai dengan standar, maka dapat menyebabkan kapang dan Staphylococcus aureus untuk tumbuh.

5. Pemanasan setelah pengeringan, proses ini dilakukan apabila setelah proses intervensi antimikroba masih ditemukan bakteri Salmonella.

6. Penanganan produk akhir dengan memperhatikan sanitasi untuk menghindari rekontaminasi dan kontaminasi silang pada produk. Rust dan Knipe (2014) menambahkan bahwa daging yang digunakan dalam

pembuatan dendeng harus memiliki kandungan lemak kurang dari 10% dan tidak terlihat adanya urat daging. Daging diiris dengan arah berlawanan dengan serat daging, dengan ketebalan sekitar 5mm. Bumbu yang biasa digunakan dalam dendeng yaitu lada hitam dan bawang putih. Penambahan garam tidak lebih dari 3% dari berat daging. Irisan daging didiamkan sampai 24 jam agar bumbu bumbu dapat masuk ke dalam irisan daging, kemudian daging dikeringkan sampai kadar air produk sesuai standar yang ditentukan.

Page 4: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

13

Perendaman pada daging dimaksudkan untuk mendapatkan sifat fungsional dan citarasa dari larutan perendam. Penyerapan cairan oleh otot daging tidak hanya menyebabkan berkembangnya citarasa daging, namun juga meningkatkan keempukan daging. Serat daging melebar karena gaya elektrostatis menyebabkan larutan perendam terikat pada miofibril, namun karena energi kinetis dari larutan perendam yang masuk menyebabkan miofibril dapat terus melebar dan rusak dan hal ini sangat dipengaruhi oleh waktu perendaman (Xiong dan Kupski, 1999).

Menurut Badan Standarisasi Nasional (2013), syarat mutu dendeng sesuai SNI-2908-2013 yaitu: kadar air maksimal 12%; kadar lemak maksimal 3%; kadar protein minimal 18%; kadar abu tidak larut dalam asam maksimal 0,5%; cemaran logam maksimum kadmium (Cd), timbal (Pb), timah (Sn), merkuri (Hg), dan arsen (As) secara berurutan yaitu 0,3 mg/kg, 1 mg/kg, 40 mg/kg, 0,03mg/kg, dan 0,5 mg/kg; Angka lempeng total maksimal 1x105 koloni/g; cemaran mikroba maksimum Escherichia coli <3 APM/g, Salmonella sp. negatif / 25g, Staphylococcus aureus 1x102, dan Bacillus cereus 1x103. Produk dinyatakan lulus uji apabila memenuhi syarat mutu.

2.3 Kolesterol 2.3.1 Definisi Kolesterol

Kolesterol (cholest-5-en-3 -ol; C27H46O) merupakan salah satu senyawa dalam golongan lipid (Freeman, 2005). Beberapa substansi dalam tubuh hewan dan tumbuhan seperti cairan empedu, hormon seksual, dan sapogenin terkait secara struktural dengan kolesterol. Substansi substansi ini memiliki nukleus yang mengandung empat cincin karbon siklopentanofenantren dan biasa disebut dengan steroid (Myant, 1981).

Page 5: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

14

Studi tentang kolesterol pertama kali dilakukan oleh Chevreul (1816) yang menemukan bahwa komponen utama batu empedu pada manusia adalah kristalin putih yang larut pada alkohol dan eter, kemudian senyawa ini disebut . Berthelot (1859) menyatakan bahwa merupakan alkohol, sehingga mengubah namanya menjadi cholesterol (Ilustrasi 1).

Ilustrasi 1. Struktur Molekul Kolesterol dengan Penomeran Sesuai IUPAC (Kreps, dkk., 1981)

Kolesterol pada tubuh memiliki peran utama sebagai komponen membran sel, komponen utama cairan empedu yang dapat mencerna makanan di dalam usus halus, serta membantu tubuh mensintesis vitamin D dan hormon seksual. Kolesterol mengalir di dalam tubuh bersama darah melalui pembuluh darah, namun dikarenakan kolesterol merupakan senyawa lipid dan darah merupakan senyawa air, keduanya tidak bercampur. Kolesterol pada darah dilapisi protein yang disebut lipoprotein, sehingga dengan mudah dapat bercampur dengan darah (Freeman, 2005).

Lipoprotein sebagai pembungkus kolesterol dibagi menjadi dua yaitu Low Density Lipoprotein (LDL) dan High Density Lipoprotein (HDL). Perbedaan antara LDL dan HDL adalah massa jenisnya dan berkaitan dengan rasio lipid dengan protein. LDL memiliki rasio kandungan lipid lebih tinggi dari kandungan protein

Page 6: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

15

sehingga massa jenisnya rendah dan HDL memiliki rasio kandungan lipid lebih rendah dari kandungan protein sehingga massa jenisnya tinggi. LDL berperan sebagai pengangkut kolesterol dari pembuluh darah ke organ yang membutuhkan, namun kandungan LDL yang terlalu tinggi pada pembuluh darah dapat menyebabkan penumpukan kolesterol pada arteri sehingga pembuluh darah tersumbat. HDL berperan sebagai pengangkut kolesterol kolesterol yang menumpuk pada pembuluh darah dan membawanya kembali ke hati untuk didaur ulang atau diubah menjadi cairan empedu (Freeman, 2005).

2.3.2 Kolesterol pada Daging Sapi Sumber utama kolesterol pada manusia berasal pada daging ternak.

Kandungan kolesterol pada daging sapi mentah dan yang telah dimasak secara berturut turut dapat berkisar antara 57 101 mg/100g daging dan 43 84 mg/100g daging (Chizzolini, dkk., 1999). Faktor yang mempengaruhi kandungan kolesterol pada daging sapi yaitu jenis kelamin, umur, kualitas karkas, tingkat marbling, ketebalan lemak subkutan, bangsa sapi, pemberian pakan, dan jenis potongan daging (Stromer, dkk., 1966; Rhee, dkk., 1982; Dinh,dkk., 2008).

Kandungan kolesterol pada daging olahan berkisar antara 23 mg/100g daging sampai 144 mg/100g daging (Bragagnolo, 2009). Menurut United States Department of Agriculture National Nutrient Database for Standard Reference (2015) kandungan kolesterol pada dendeng sapi berkisar antara 12 48 mg/ 100g dendeng sapi. Kandungan kolesterol yang bervariasi dapat disebabkan oleh bahan bahan yang digunakan, jenis daging yang digunakan, metode pemasakan, dan oksidasi kolesterol (Bragagnolo, 2009). Daging yang telah diolah dan dimasak biasanya memiliki kandungan kolesterol yang lebih tinggi daripada daging mentah

Page 7: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

16

karena hilangnya kelembaban sedangkan kolesterol tetap tertahan (Rhee, dkk., 1982; Kregel, dkk., 1986; Baggio dan Bragagnolo, 2006). Perpindahan kolesterol dari jaringan lemak ke jaringan otot juga merupakan penyebab kadar kolesterol yang lebih tinggi pada daging yang dimasak (Swize, dkk., 1992).

2.3.3 Oksidasi Kolesterol Secara umum kolesterol memiliki struktur molekul yang stabil, namun

kolesterol juga memilik ikatan rangkap sehingga memungkinkan untuk mengalami oksidasi dan menghasilkan Cholesterol Oxidation Product (COP) atau produk oksidasi kolesterol. COP dapat diproduksi melalui berbagai mekanisme reaksi seperti reaksi panas, reaksi kimia, fotosintesis, dan oksidasi enzimatis sehingga kolesterol memproduksi isomer hidroksiperoksida (Ilustrasi 2). Mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung COP dapat mengakibatkan disfungsi metabolisme sehingga berpotensi membahayakan kesehatan. COP memiliki efek biologis negatif seperti aterogenik, mutagenik, dan karsinogenik (Kreps, dkk., 1981; Smith, 1981; Schroepfer, 2000; Brown dan Jessup., 2009; Otaegui-Arrazola, dkk., 2010).

Oksidasi kolesterol terjadi melalui mekanisme radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk pertama kali yaitu pada nomor 7, membentuk

-hydroxycholest-5-en- -hydroperoxide atau -Hidroperoksikolesterol ( -HPC) dan -hydroxycholest-5-en- -hydroperoxide atau -Hidroperoksikolesterol ( -HPC). Setelah pemanasan pada suhu 160ºC, -HPC dan -HPC mengalami dekomposisi dan membentuk -hydroxycholest-5-en- -one atau 7-Ketokolesterol (7-KC) serta cholest-5-en- , -diol atau -Hidroksikolesterol ( -HC) dan

Page 8: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

17

cholest-5-en- , -diol atau -Hidroksikolesterol ( -HC). Pada suhu 170ºC kolesterol akan membentuk 3, -cholesteryl ether atau Kristal Kolesterol Embolisi (CCE) (Smith, 1981)

Ilustrasi 2. Skema Pembentukan Produk Oksidasi Kolesterol (Smith, 1981)

Daging mentah mengandung COP yang relatif rendah, namun kandungan nya dapat meningkat setelah terpapar agen peroksida seperti cahaya (Vicente, dkk., 2012). Selama penyimpanan, kadar 7-KC pada daging mentah dan daging olahan akan meningkat dan hal ini dipengaruhi juga oleh temperatur penyimpanan (Osada, dkk., 2000). Oksidasi kolesterol pada daging iris sangat rentan terjadi karena luas permukan daging bertambah (Zanardi, dkk., 2002). Daging yang direndam juga menghasilkan 7-KC, namun kadarnya dapat dipengaruhi antioksidan yang terdapat pada larutan perendam (Chen, dkk., 2012).

Page 9: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

18

2.4 Teh Hijau 2.4.1 Sejarah Teh

Pada tahun 1690, dokter dan botanis yang berasal dari Jerman, E. Kaempfer, datang ke Jepang untuk mengobservasi kebiasaan meminum seduhan daun dimasyarakat, yang selanjutnya menamakan daun tersebut sebagai Thea. Klasifikasi daun teh yang pertama dilakukan pada tahun 1752 oleh Linnaeus, dimana daun teh dikategorikan sebagai Thea bohea dan Thea sinensis. Pada tahun 1753, botanis terkenal bernama C. daun teh dari Thea sinensis menjadi Camellia sinensis sehingga menyebabkan adanya kerancuan diantara kedua nama tersebut dan hingga akhirnya, pada tahun 1958, J.R. Sealy menyatakan bahwa semua jenis daun teh termasuk dalam genus Camellia. Berdasarkan C. , taksonomi teh hijau adalah sebagai berikut (Hara, 2001; Kapoor, dkk., 2013): Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Ericales Family : Theaceae Genus : Camellia Species : C. sinensis

Daun teh atau Camellia sinensis, diklasifikasikan menjadi dua varietas yaitu var. sinensis dan var. assamica. Perbedaan kedua varietas daun teh terdapat pada karakteristik daun dan habitat tumbuhnya. Camellia sinensis var. sinensis memiliki ciri ciri sebagai tanaman tipe semak dengan pertumbuhan yang lambat, memiliki daun yang kecil, bergerigi, sempit, dan berwarna hijau tua. Berbeda dengan

Page 10: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

19

Camellia sinensis var. sinensis, Camellia sinensis var. assamica memiliki ciri ciri sebagai tanaman tipe pohon dengan pertumbuhan yang cepat, memiliki daun yang besar, lebar, dan berwarna hijau muda. Camellia sinensis var. sinensis dapat bertahan hidup sampai suhu -12ºC, sedangkan Camellia sinensis var. assamica akan mati pada suhu -4ºC dalam beberapa minggu, oleh karena itu var. sinensis biasanya ditanam pada negara yang memiliki temperatur rendah sendangkan var. assamica ditanam pada negara tropis dan subtropis. Kandungan polifenol pada kedua varietas Camellia sinensis juga berbeda, var. assamica memiliki kadar polifenol lebih tinggi yaitu 17,26 % sedangkan var. sinensis 13,52% (Kapoor, dkk., 2013).

2.4.2 Pembuatan Teh Hijau Daun teh biasanya dikonsumsi sebagai minuman seduhan dari daun teh

kering. Daun teh kering dibedakan menjadi teh putih, teh hijau, teh oolong, dan teh hitam berdasarkan proses pembuatannya (Lampiran 1). Fermentasi pada produksi teh mempunyai pengertian sebagai perombakan polifenol karena enzim endogenus yaitu polifenol oksidase. Daun teh yang telah dipetik , dilapukan untuk mengurangi kelembaban daun teh. Teh putih dihasilkan dari daun teh yang dikeringkan tanpa ada perlakuan selanjutnya. Teh hijau diproses dengan menonaktifkan enzim polifenol oksidase, sehingga tidak terjadi fermentasi pada teh hijau. Teh oolong dan teh hitam mendapatkan perlakuan mekanis untuk memaksimalkan fermentasi daun teh. Perbedaan proses pada pembuatan teh menyebabkan perbedaan kandungan polifenol pada setiap produk teh (Hilal dan Engelhardt, 2007; Kapoor, dkk., 2013).

Page 11: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

20

2.4.3 Polifenol Teh Hijau Polifenol adalah hasil metabolisme pada tumbuhan yang mengandung

beberapa kelompok hidroksil fenolik (Giannasi, 1988). Polifenol memiliki berbagai macam subtipe dengan perbedaan pada struktur molekul dan biosintesisnya, namun katekin dan proantosianidin merupakan polifenol yang paling penting yang terdapat pada bahan pangan (Tanaka, dkk., 2013). Katekin dan proantosianidin biasanya terdapat berdampingan pada tumbuhan, namun pada buah pisang hanya terdapat proantosianidin (Tanaka, dkk., 2000) dan pada daun teh hanya terdapat katekin (Hashimoto, dkk., 1992).

Ilustrasi 3. Struktur Molekul Katekin (Tanaka, dkk., 2013)

Katekin (flavan-3-ol) pada daun teh memiliki 2 cincin aromatik yang disebut A-ring dan B-ring (Ilustrasi 3) yang secara berturut turut berasal dari turunan asam asetat dan asam shikimat. Berdasarkan manfaat biologisnya, kandungan polifenol terpenting pada teh hijau yaitu (-)-epigallokatekin-3-O-gallat (EGCG) (Lampiran 2), dan polifenol ini merupakan ciri khas dari daun teh karena tidak ada tumbuhan lain yang memiliki kandungan EGCG lebih tinggi dari dauh teh. Kadar polifenol pada teh hijau yang ada di pasaran hampir sama seperti pada daun teh, karena pada proses pembuatan teh hijau dilakukan pemanggangan diawal

Page 12: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

21

proses untuk menginaktivasi enzim yang berhubungan dengan oksidasi polifenol. Kandungan polifenol pada teh hijau dijabarkan pada Tabel 1 (Tanaka, dkk., 2013).

Tabel 1. Kandungan Polifenol pada Teh Hijau Senyawa Kandungan (%)

Epikatekin 9,95 11,94 Epikatekin-3-O-galat 16,67 31,08 Epigalokatekin 21,70 49,84 Epigalokatein-3-O-galat 76,93 85,53 Katekin 2,56 6,71 Galokatekin 2,69 4,48 Galokatekin-3-O-galat 4,35 8,83 Asam galat 0,14 0,68 Theogalin 1,06 10,83 Kafein 27,70 42,32 Theobromin 0,91 1,78 Sumber: Tanaka, dkk., 2013

Kandungan polifenol tertinggi pada teh hijau yaitu epigalokatein-3-O-galat (EGCG) dimana kandungannya mencapai 76,93 85,53%. EGCG merupakan polifenol yang memberikan kontribusi terbesar pada manfaat teh hijau terhadap kesehatan manusia (Mandel, dkk., 2004).

2.5 Akseptabilitas Pengujian sensoris atau pengujian dengan indera disebut juga penilaian

akseptabilitas. Uji sensoris meliputi beberapa teknik pengukuran respon masyarakat kepada produk pangan dan meminimalisir kemungkinan efek bias pada identitas produk pangan sesuai dengan persepsi masyarakat. Uji sensoris didefinisikan sebagai metode ilmiah untuk membangkitkan, mengukur, menganalisis, dan menginterpretasikan responsi tersebut melalui penglihatan, penciuman, perabaan, pencicipan, dan pendengaran.

Page 13: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

22

Preparasi sampel dan penyediaan sampel pada saat uji sensoris harus dilakukan pada kondisi yang terkontrol sehingga faktor bias dapat diminimalisir. Kondisi yang terkontrol contohnya: memisahkan panelis pada saat uji sensoris agar keputusan panelis tidak dipengaruhi panelis lainnya; sampel yang diuji dilabeli angka acak agar keputusan panelis tidak dipengaruhi urutan angka sampel; dan sampel diberikan dengan urutan acak agar panelis tidak dapat menebak perlakuan yang diberikan pada sampel.

Uji sensoris merupakan metode ilmiah kuantitatif dimana data numerik diperoleh untuk mengukur hubungan antara karakteristik produk dengan persepsi masyarakat. Panelis diminta untuk memberikan respon dalam bentuk angka yang mewakili persepsi panelis akan karakteristik suatu produk. Penelitian tentang sikap dan psikologi masyarakat dibutuhkan untuk menentukan skala angka yang digunakan sebagai respon panelis.

Proses selanjutnya dalam uji sensoris adalah menganalisis data. Data yang diperoleh dari panelis biasanya memiliki variasi yang luas, dikarenakan banyak faktor dari panelis yang tidak dapat dikontrol, seperti: sensitivitas fisiologi panelis terhadap stimulan sensoris, keadaan psikis panelis pada saat pelaksanaan pengujian, dan pengetahuan panelis terhadap produk. Model analisis statistik digunakan untuk mengetahui hubungan antara respon panelis dan karakteristik produk tanpa dipengaruhi oleh faktor faktor internal panelis yang tidak dapat dikontrol (Lawless dan Heymann, 2010)

Menurut Soekarto (1985), pelaksanaan uji sensoris atau organoleptik membutuhkan panel yang bertindak sebagai instrumen atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok, orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Ada

Page 14: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

23

6 macam panel yang biasa digunakan dalam penilaian organoleptik, yaitu sebagai berikut:

1. Panel pencicip perorangan (individual expert), disebut juga pencicip tradisional. Pencicip perorangan ini mempunyai kepekaan yang sangat tinggi, jauh melebih kepekaan rata rata manusia. Keistimewaan seorang pencicip ini adalah dalam waktu singkat dapat menilai suatu hasil dengan tepat bahkan dapat menilai pengaruh dari macam macam perlakuan, misalnya bahan asal, atau macam macam cara pengolahan. Hanya dengan pencicipan atau pembauan, pencicip ini dapat segera mengenal adanya penyimpangan rasa dari suatu makanan dan dapat segera membuat koreksi yang diperlukan.

2. Panel pencicip terbatas (small expert panel), penggunaan panel pencicip terbatas dapat sangat mengurangi faktor bias dalam menlai rasa suatu komoditi. Panel pencicip terbatas dapat bertindak misalnya sebagai alat analisis dalam pemilihan faktor faktor tertentu tentang rasa serta dalam menentukan pengaruh bahan dan pengaruh cara pengolahan terhadap hasil akhir.

3. Panel terlatih (trained panel), anggota panel terlatih lebih besar daripada panel pencicip terbatas, yaitu antara 15-25 orang. Panel terlatih berfungsi sebagai alat analisis dan pengujian yang dilakukan terbatas pada kemampuan membedakan produk.

4. Panel tak terlatih (untrained panel), panel tak terlatih umumnya untuk menguji kesukaan. Pemilihan anggota panel tak terlatih lebih mengutamakan segi sosial seperti latar belakang pendidikan, asal daerah, atau kelas ekonomi dalam masyarakat.

Page 15: HQGHQJ 6DSLmedia.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110295_2_6474.pdfxml dsdelod phphqxkl v\dudw pxwx .rohvwhuro 'hilqlvl .rohvwhuro .rohvwhuro fkrohvw hq ro & + 2 phuxsdndq vdodk

24

5. Panel agak terlatih (semi-trained panel), termasuk dalam kategori panel agak terlatih adalah sekelompok mahasiswa atau staf peneliti. Panelis untuk panel agak terlatih jumlahnya terletak di antara panelis terlatih dan panelis tidak terlatih. Jumlah itu berkisar antara 15 25 orang. Semakin kurang terlatih, semakin besar jumlah panelis yang diperlukan.

6. Panel konsumen (consumer panel), panel ini biasanya mempunyai anggota yang besar jumlahnya, dari 30 1000 orang. Pengujiannya biasanya mengenai uji kesukaan dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji dapat digunakan untuk menentukan apakah suata produk dapat diterima oleh masyarakat.