hotel rwanda

12
Asal-usul dari masyarakat Tutsi dan Hutu merupakan isu kunci dalam sejarah Burundi dan Rwanda, serta wilayah Danau Besar Afrika. Sementara Hutu umumnya diakui sebagai etnis mayoritas Rwanda, dalam ideologi rasialis Tutsi itu diidentifikasi sebagai ras asing, sebagai lawan dari minoritas pribumi. Hubungan antara keduanya adalah demikian, dalam banyak hal, berasal dari asal-usul yang dirasakan dan mengklaim "Rwanda-ness". Konflik terbesar terkait dengan pertanyaan ini adalah Genosida Rwanda 1994. Introduction : History Background (tenang .. nggak panjang kok :) Para ahli sejarah menyebutkan bahwa sekitar taon 1400-an suku Tutsi dari utara menginvasi suku Hutu yang tinggal di Afrika Tengah (sekarang Rwanda dan Burundi). Mereka jadi golongan ningrat or aristokrat sedang suku Hutu jadi masyarakat kelas bawah. Saat dijajah Belgia, sang penjajah mempertahankan struktur sosial seperti di atas and worst of all malah membuat jurang perpisahan antara kedua suku itu menganga lebar antara lain dengan harus dicantumkan stempel identitas suku di ktp mereka. Saat merdeka, suku Hutu gantian mengambil alih. Sejak itu "genocide" kecil2an terhadap suku Tutsi kerap terjadi. Tahun 1973 kelompok militer (sesama Hutu) mengambil alih kekuasaan dan memerintah Rwanda sebagai diktator. Tahun 1990 gerilyawan Tutsi berhasil menguasai sebagian Rwanda hingga terjadi gencatan senjata. Tahun 1994 (yang menjadi setting film ini) diktator Rwanda tewas dalam kecelakaan pesawat. Kaum militan Hutu langsung mengambil alih dan ...... meng-genocide suku Tutsi ..... bersambung di paragraf terakhir ... The Movie Sinopsis : Paul Rusesabagina (Don Cheadle) adalah seorang manager sebuah hotel di Rwanda. Dia dari suku Hutu, sedang istrinya adalah keturunan Tutsi. Tetangga2 dekat Paul juga banyak yg berasal dari suku Tutsi. Mereka hidup bertetangga secara damai. Namun semuanya berubah setelah hari itu tiba, hari di mana seolah 'neraka' pindah ke bumi Rwanda. Diawali dengan tertembak jatuhnya pesawat sang presiden, para militan Hutu bak pasukan iblis mulai membantai suku Tutsi. It was a goddamn hell on earth. Ingat ini bukan peristiwa fiksi like Constantine, ini bukan peristiwa jaman prasejarah atau abad pertengahan, sejarah ini terjadi taon 1994!!! 10 tahun yang lalu! Dan pembantaian serupa sekarang masih terjadi di Sudan! Paul bergegas pulang mencari istrinya. Cukup mencekam saat tetangga2 dekat Paul yg suku Tutsi pada ngumpul dan berlindung di rumah Paul sementara militan Hutu berkeliaran di luar. Paul berusaha keras menyelematkan mereka dg membawa mereka ke hotel si Paul. Hotel yang dijaga pasukan PBB sekalipun tidak bisa menjamin keamanan para penghuninya. Paul tambah repot setelah secara bergelombang para pengungsi berlindung di hotelnya. Saat suasana sudah sangat genting datanglah bala bantuan dari PBB untuk mengungsikan mereka keluar dari tempat neraka itu. Tapi sungguh mengharukan dan menyakitkan hati karena yang diselamatkan

Upload: putriemiliayuriza

Post on 25-Nov-2015

66 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

try .

TRANSCRIPT

Asal-usul dari masyarakat Tutsi dan Hutu merupakan isu kunci dalam sejarah Burundi dan Rwanda, serta wilayah Danau Besar Afrika. Sementara Hutu umumnya diakui sebagai etnis mayoritas Rwanda, dalam ideologi rasialis Tutsi itu diidentifikasi sebagai ras asing, sebagai lawan dari minoritas pribumi. Hubungan antara keduanya adalah demikian, dalam banyak hal, berasal dari asal-usul yang dirasakan dan mengklaim "Rwanda-ness". Konflik terbesar terkait dengan pertanyaan ini adalah Genosida Rwanda 1994.

Introduction : History Background (tenang .. nggak panjangkok:)Para ahli sejarah menyebutkan bahwa sekitar taon 1400-an suku Tutsi dari utara menginvasi suku Hutu yang tinggal di Afrika Tengah (sekarang Rwanda dan Burundi). Mereka jadi golongan ningrat or aristokrat sedang suku Hutu jadi masyarakat kelas bawah. Saat dijajah Belgia, sang penjajah mempertahankan struktur sosial seperti di atas and worst of all malah membuat jurang perpisahan antara kedua suku itu menganga lebar antara lain dengan harus dicantumkan stempel identitas suku di ktp mereka. Saat merdeka, suku Hutu gantian mengambil alih. Sejak itu "genocide" kecil2an terhadap suku Tutsi kerap terjadi. Tahun 1973 kelompok militer (sesama Hutu) mengambil alih kekuasaandan memerintah Rwanda sebagaidiktator. Tahun 1990 gerilyawan Tutsi berhasil menguasai sebagian Rwanda hingga terjadi gencatan senjata. Tahun 1994 (yang menjadisetting film ini)diktator Rwanda tewas dalam kecelakaan pesawat. Kaum militan Hutu langsung mengambil alih dan ...... meng-genocide suku Tutsi ..... bersambung di paragraf terakhir ...The MovieSinopsis:Paul Rusesabagina (Don Cheadle) adalah seorang manager sebuah hotel di Rwanda. Dia dari suku Hutu, sedang istrinya adalah keturunan Tutsi. Tetangga2 dekat Paul juga banyak yg berasal dari suku Tutsi. Mereka hidup bertetangga secara damai.Namun semuanya berubah setelah hari itu tiba, hari di mana seolah 'neraka' pindah ke bumi Rwanda. Diawali dengan tertembak jatuhnya pesawat sang presiden, para militan Hutu bak pasukan iblis mulai membantai suku Tutsi. It was a goddamn hell on earth. Ingat ini bukan peristiwa fiksi like Constantine, ini bukan peristiwa jaman prasejarah atau abad pertengahan, sejarah ini terjadi taon 1994!!! 10 tahun yang lalu! Dan pembantaian serupa sekarang masih terjadi di Sudan! Paul bergegas pulang mencari istrinya. Cukup mencekam saat tetangga2 dekat Paul yg suku Tutsi pada ngumpul dan berlindung di rumah Paul sementara militan Hutu berkeliaran di luar. Paul berusaha keras menyelematkan mereka dg membawa mereka ke hotel si Paul.Hotel yang dijaga pasukan PBB sekalipun tidak bisa menjamin keamanan para penghuninya. Paul tambah repot setelah secara bergelombang para pengungsi berlindung di hotelnya. Saat suasana sudah sangat genting datanglah bala bantuan dari PBB untuk mengungsikan mereka keluar dari tempat neraka itu. Tapi sungguh mengharukan dan menyakitkan hati karena yang diselamatkan hanya ... I think its too spoiler to tell. Kejadian tidak manusiawi yang memalukan sejarah kemanusiaan. Kita bisa berkata 'shame on you' pada semua pimpinan negara dunia, khususnya pada negara2 Eropa dan Amrik.Paul sendiri memutuskan untuk tetap tinggal di hotel tersebut karena dia merasa punya tanggung jawab kemanusiaan terhadap para pengungsi di hotelnya. Bagaimana dia mendapatkan supply makanan di suasana yg penuh dg chaos dan anarkis, bagaimana dia bisa menyelematkan penghuni hotel yang siap dibantai habis para militan di luar sana.Kesan:Film ini adalah film 2004 ketiga yang cukup powerful dan paling berkesanbuatgue pribadi, di samping Fahrenheit 9/11 dan The Passion. Ada perasaan haru di hati saat melihat manusia2 tak berdaya siap menanti ajal dibantai sesama manusia. Mungkin ini salah satu film taon 2004 yg bisa membuat gue meneteskan air mata. Ada rasa muak dan geram saat manusia - ya manusia, yang seharusnya menjadimahluk paling beradab dan penuh kasih, angels on earth - kehilangan nurani dan menjadi - kalo boleh gue sebuat secara emotional dan hiperbolis - the greatest cruelest sadistic killers on earth.Ada rasa geram saat dunia hanya berpangku tanganmelihat sodara2 mereka dibantai bak binatang. Ada sedikit perasaan cemas karena pola kejadian di atas sudah beberapa kali terjadi di negara kita walau dalam skala 'relatif' kecil dibanding tragedi tsb. Dan finally ada rasa penuh harapan bahwa di antara sekian banyak militan haus darah itu ada satu orang suku Hutu, Paul, yang 'berhati malaikat' rela berkorban dan rela mati untuk menyelamatkan orang lain, para penghuni hotel yang notabene kebanyakan dari suku Tutsi, musuh bebuyutan sukunya.Review :Walau film ini lumayan membekas di hati dan cerita filmnya cukup powerful or at least modal ceritanya sangat2 potensial untuk diangkat ke dalam sebuah film, tetapi terus terang gue kurang begitu puas dengan penyutradaraan dan sinematografinya. Film ini kalo gak salah adalah hasil kerjasama Afrika Selatan danInggris or Amerika (ntar gue cek lagi deh).Pacing ceritanya sendiri cukup terjaga, imho nggak bakal membuat elo ngantuk dah :)Cuman si sutradara kurang bisa mengoptimalkan momen2 emotional yang menurut gue cukup banyak dan potensial untuk bisa dibuat lebih dramatis (coz it's a movie, not discovery channel program bukan?). Karakter Paul sendiri juga rada kurang dioptimalkan oleh sang sutradaradan terasa sedikit datar; aktingDon Cheadle sendiri menurut gue cukup bagus (dialek Rwanda-nya cukup oke, se-oke dialek British-nya dalam Ocean 11).Nick Nolte berperan sebagai kolonel Oliver, karakter ini diadaptasi dari tokoh beneran yaitu Letjen Romeo Dallaire, komandan pasukan PBB asal Kanada yg dianggal pahlawan karena berhasil menyelamatkan beberapa puluh ribu suku Tutsi dari pembantaian (like Oscar Schlinder). Tapi di film initokoh tokoh ini cukup diminimalis, mungkin untuk mengangkat dan memfokuskan perhatian pada si Paul.Walau film ini tentang genocide tapi adegan pembantian tidak diekspose secara eksplisit dan menurut gue emang nggak perlu karena gue pribadi tanpa itu rasa kengerian dan kesesakan thd genocide cukup bisa dirasakan kok.Hhmm ... coba kalau film ini digarap oleh Ridley Scott .... (asal bukan Reny Harlin aja deh, soalnya bakal ancur jadi film action gore-fest kayak Exorcist the Beginning)History background continues ... (might containt spoiler buat yg blom pernah baca sejarah Tutsi-Hutu)Yang dibantai militan Hutu bukan hanya suku Tutsi, tetapi juga suku Hutu yang moderat dan suku Hutu yang bernasib malang karena tidak bisa menunjukkan KTP Hutunya, karena secara fisik mereka sulit dibedakan. Ingat pengantar di atas, sejak penjajahan Belgia, di KTP mereka ditulis secara tegas nama suku tiap penduduk, HUTU or TUTSI.Diperkirakan sekitar 1 JUTApenduduk dibantai habis dalam beberapa bulan.Gerilyawan Tutsi akhirnya bisa menghantam balik militan Hutu, dan sekitar 1,2 juta suku Hutu mengungsi keluar Rwanda karena takut akan aksi balas dendam suku Tutsi.Gantian militan sukuHutu yang jadi gerilyawan dan secara sporadismenyerang Tutsi.Beberapa genocide terbesar yg dicatat sejarah antara lain genocide thd suku Armeniaolehpemerintah Ottoman (1,8 juta) sekitar taon 1915,suku Yahudi oleh pihak Nazi Jerman semasa PD 2 (6 juta, ditambah3,5 juta tawananRussia, sekitar 1,5 juta penduduk Polandia dan 0,5 juta suku Gypsi), penduduk Kamboja oleh rezim Khmer Merah taon 1977-79 (1,7 juta) dan sebelum Rwanda, walo jumlahnya tidak mencapai jutaan tapi tetap harus dicatat : 3 etnis Balkan saling bantai, Serbia, Kroasia dan Bosnia dan yang paling parah menderita adalah Bosnia...and the history of mankind continues ...

Genosida Rwanda adalah pembunuhan massal 1994 dari 800.000 orang diperkirakan di negara Afrika Timur kecil Rwanda. Selama sekitar 100 hari (dari pembunuhan Juvenal Habyarimana dan Cyprien Ntaryamira pada 6 April) sampai pertengahan Juli, lebih dari 500.000 orang tewas, menurut perkiraan Human Rights Watch [1]. Perkiraan korban kematian telah berkisar antara 500.000 dan 1.000.000, [2] atau sebanyak 20% dari total penduduk negara itu. Itu adalah puncak dari persaingan etnis lama dan ketegangan antara minoritas Tutsi, yang menguasai kekuasaan selama berabad-abad, dan mayoritas Hutu orang, yang datang ke kekuasaan di pemberontakan 1959-62 dan menggulingkan monarki Tutsi [3].

Pada tahun 1990, Front Patriotik Rwanda (RPF), sebuah kelompok pemberontak sebagian besar terdiri dari pengungsi Tutsi, menyerbu utara Rwanda dari Uganda dalam upaya untuk mengalahkan pemerintah yang dipimpin Hutu. Mereka mulai Rwanda Perang Saudara, berjuang antara rezim Hutu, dengan dukungan dari Francophone Afrika dan Perancis, [4] [5] dan RPF, dengan dukungan dari Uganda. Hal ini memperburuk ketegangan etnis di negara ini. Sebagai tanggapan, banyak Hutu tertarik terhadap ideologi Daya Hutu, dengan mendorong media yang dikendalikan negara Rwanda dan independen.

Sebagai sebuah ideologi, Hutu Daya menegaskan bahwa Tutsi dimaksudkan untuk memperbudak Hutu dan harus dilawan di semua biaya. Perselisihan etnis Melanjutkan menghasilkan angka menggusur pemberontak Hutu besar di utara, ditambah periodik lokal Hutu pembunuhan Tutsi di selatan. Tekanan internasional pada pemerintah yang dipimpin Hutu Juvenal Habyarimana menghasilkan gencatan senjata pada tahun 1993. Dia mulai untuk melaksanakan Persetujuan Arusha.

Pembunuhan Habyarimana pada bulan April 1994 memicu reaksi kekerasan, di mana kelompok-kelompok Hutu melakukan pembunuhan massal suku Tutsi (dan juga pro perdamaian Hutu, yang digambarkan sebagai "pengkhianat" dan "collaborationists"). Genosida ini telah direncanakan oleh anggota-anggota kelompok kekuatan Hutu yang dikenal sebagai Akazu, banyak dari mereka menduduki posisi-posisi di tingkat atas pemerintah nasional; genosida didukung dan dikoordinasikan oleh pemerintah nasional maupun oleh pejabat militer dan sipil setempat dan media massa. Selain tanggung jawab, militer utama bagi pembunuhan sendiri terletak dengan dua milisi Hutu yang telah diselenggarakan untuk tujuan ini oleh partai politik: Interahamwe dan Impuzamugambi, meskipun setelah genosida sedang berlangsung sejumlah besar warga sipil Hutu mengambil bagian dalam pembunuhan.

Ini adalah akhir dari perjanjian damai. RPF Tutsi restart ofensif mereka, mengalahkan tentara dan merebut kendali negara.Selama lebih dari 20 tahun sebelum kolonisasi Jerman dan Belgia kemudian, monarki Tutsi telah menguasai sebagian Rwanda. Monarki ini berlanjut di bawah kekuasaan kolonial. Praktek-praktek masa lalu tetap menjadi bagian dari budaya Rwanda: misalnya, Raja Rwabugiri (1853-1895) melembagakan kerja rodi membenci, yang ditargetkan terutama mayoritas Hutu. Selain itu, ia mengangkat penggunaan kekerasan sebagai praktek standar melawan musuh domestik dan eksternal. [6]

Selama tahun 1950-an, mayoritas Hutu menjadi lebih bergolak. Pada tahun 1957, Gerakan Emansipasi Hutu (Parmehutu) menerbitkan "Manifesto Hutu" (kadang-kadang disebut "Manifesto Bahutu"). Ini dugaan bahwa minoritas Tutsi mengadakan monopoli kekuasaan di Rwanda. Pada tahun 1962, yang menggulingkan monarki Hutu dan mendirikan republik dipimpin oleh presiden Grgoire Kayibanda. Rezimnya menganiaya Tutsi, terutama mereka yang sebelumnya berkuasa, dan banyak dari paling terdidik untuk melarikan diri berlindung di Uganda dan negara-negara lain. Hutu umum Juvenal Habyarimana merebut kekuasaan dalam kudeta pada tahun 1973, membunuh Kayibanda dan kemajuan menjanjikan.

Kolonialisme Belgia memainkan peran utama dalam membangun membagi antara Tutsi dan Hutu masyarakat. Sementara kelompok etnis longgar ada sebelum kolonialisme, efek yang diperparah oleh aturan Belgia. [7] Mereka memperkenalkan kartu identitas terpisah untuk dua suku. [8] Ketika aturan Belgia berakhir, sebagian besar tanah dan kekuasaan berada di tangan Tutsi, sementara Hutu diasingkan ke posisi buruh paksa, atau Akazi. Periode kolonialis menciptakan ini etnis yang datang saling membenci sepanjang waktu melalui ketidaksetaraan sistematis dan perjuangan untuk kekuasaan. Mana ada mungkin belum suatu perbedaan etnis sebelum, kolonialis menciptakan budaya untuk melanggengkan kontrol mereka atas koloni. [7]

Di negara tetangga Burundi, dua episode kekerasan massa telah terjadi sejak kemerdekaan negara itu pada tahun 1962: massa tentara pembunuhan Hutu pada tahun 1972, yang dianggap sebagai genosida Tutsi dimulai karena kelompok etnis telah menguasai tentara pemerintah [9] Di. 1994, penduduk Hutu muncul dan membunuh banyak Tutsi di Burundi.Perang sipilArtikel utama: Perang Sipil Rwanda

Pengungsi Tutsi diaspora merupakan organisasi politik dan militer yang koheren dengan akhir 1980-an. Sejumlah besar pengungsi Tutsi di Uganda telah bergabung dengan Gerakan Perlawanan pemberontak menang Nasional selama Perang Bush Uganda dan menciptakan sebuah gerakan terpisah. Sekitar 6.000 pengungsi Tutsi prajurit menyerbu Rwanda untuk mencoba untuk mendapatkan kembali kekuasaan, mengancam keuntungan dari Hutu sejak kemerdekaan dan cita-cita revolusioner mereka [6].

Para Kangura jurnal, respon Hutu terhadap Tutsi jurnal Kanguka, aktif 1990-1993, berperan dalam hasutan kebencian Hutu untuk Tutsi, [10] atas dasar etnis mereka ketimbang keuntungan ekonomi mereka sebelumnya. Hassan Ngeze, pendiri dan editor Kangura, menerbitkan Hutu banyak dibaca Sepuluh Perintah Allah, yang disebut untuk angsuran formal ideologi Daya Hutu di sekolah dan pembentukan tentara Hutu eksklusif. Di antara perintah-perintah itu diktum tersebut, "Hutu harus berhenti memiliki kasihanilah Tutsi itu."

Tanzania (dengan dukungan Barat) ditengahi pembicaraan damai. Pada bulan Agustus 1993, para pemberontak dan Pemerintah Rwanda menandatangani perjanjian perdamaian Arusha Kesepakatan untuk mengakhiri perang sipil. Para sesuai digulung kembali kekuasaan otoriter Presiden Juvenal Habyarimana, vesting kewenangan Pemerintah Transisi Berbasis Luas (TBBG). TBBG akan mencakup RPF serta enam partai politik yang telah membentuk pemerintahan koalisi, di tempat sejak April 1992, untuk memerintah sampai pemilihan umum dapat digelar tepat. Majelis Nasional Transisi (TNA), cabang legislatif dari pemerintahan transisi, terbuka untuk semua pihak, termasuk RPF.

Para ekstremis Hutu Koalisi untuk Pertahanan Republik (CDR), nominal dikendalikan oleh Presiden Habyarimana, yang sangat menentang untuk berbagi kekuasaan dengan RPF dan menolak untuk menandatangani perjanjian. Ketika akhirnya ia setuju dengan persyaratan, RPF menentang kesepakatan pada gilirannya [kutipan diperlukan]. Penjaga perdamaian PBB dikerahkan untuk berpatroli gencatan senjata dan membantu dalam demiliterisasi dan demobilisasi. Sebuah Maret 1993 laporan menemukan bahwa 10.000 Tutsi telah ditahan dan 2.000 dibunuh sejak tahun 1990 invasi RPF itu. Pada bulan Agustus 1993, Letnan Jenderal Romeo Dallaire, komandan pasukan PBB, melakukan perjalanan pengintai untuk mengevaluasi situasi dan meminta 5.000 tentara;. Ia diberi 2.548 personel militer dan 60 polisi sipil [11] Ia awalnya melihat situasi sebagai standar misi penjaga perdamaian.Persiapan untuk genosida

Pembunuhan itu terorganisasi dengan baik oleh pemerintah [12]. Ketika mulai, milisi Rwanda berjumlah sekitar 30.000, atau salah satu anggota milisi untuk setiap sepuluh keluarga. Ini diselenggarakan secara nasional, dengan perwakilan di setiap lingkungan. Beberapa anggota milisi mampu memperoleh AK-47 senapan serbu dengan mengisi formulir permintaan. Senjata lainnya, seperti granat, diperlukan dokumen tidak dan secara luas didistribusikan oleh pemerintah. Banyak anggota Interahamwe dan Impuzamugambi hanya dipersenjatai dengan parang. Bahkan setelah perjanjian damai ditandatangani di Arusha 1993, pengusaha yang dekat dengan Jenderal Habyarimana diimpor 581.000 parang untuk digunakan Hutu membunuh Tutsi, karena parang lebih murah dibandingkan senjata [13].

Perdana Menteri Rwanda Jean Kambanda terungkap dalam kesaksiannya di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional yang genosida secara terbuka dalam rapat-rapat kabinet dan bahwa "... salah satu menteri kabinet mengatakan bahwa dia secara pribadi mendukung menyingkirkan semua Tutsi; tanpa Tutsi, ia kepada para menteri, semua masalah Rwanda akan berakhir "[14] Selain Kambanda, penyelenggara genosida sudah termasuk Kolonel Theoneste Bagosora, seorang perwira militer pensiunan, dan pejabat pemerintah banyak top-peringkat dan anggota tentara, seperti General Augustin. Bizimungu. Pada tingkat lokal, perencana genosida sudah termasuk Burgomasters, atau walikota, dan anggota polisi.

Hutu dan Tutsi terpaksa menggunakan kartu ID yang ditentukan sebuah kelompok etnis. Kartu ini menjabat sebagai simbol-simbol yang Interahamwe dapat memeriksa melalui ancaman kekerasan [15] Warna kulit. Adalah sifat fisik umum yang biasanya digunakan dalam identifikasi "etnis". Pemantik berwarna yang biasanya Tutsi Rwanda, kelompok minoritas, sementara yang berkulit gelap yang biasanya Hutu Rwanda, kelompok mayoritas di Rwanda. Dalam banyak kasus, orang Tutsi dipisahkan dari populasi umum dan kadang-kadang dipaksa menjadi budak Hutu. Perempuan Tutsi sering disebut sebagai "gipsi" dan sering menjadi korban kekerasan seksual.

Pemerintah dikomunikasikan dengan tokoh-tokoh pemimpin di kalangan penduduk untuk membentuk dan milisi Interahamwe lengan yang disebut, "orang-orang yang berdiri (berperang, membunuh) bersama-sama", dan Impuzamugambi, "mereka yang memiliki tujuan yang sama (atau tunggal)". Kelompok-kelompok ini, terutama sayap muda mereka, bertanggung jawab untuk banyak kekerasan. [16]

Ikatan keluarga dan hubungan dimanipulasi oleh pemerintah Rwanda serta Angkatan Bersenjata Rwanda untuk membuat grup membunuh, atau Interahamwe, seluruh Kigali dan daerah pedesaan lebih. Tanpa kelompok ini membunuh, genosida tidak akan hampir sama efektif dan mengerikan [17] Dalam artikel pada partisipasi warga dalam genosida, Lee Ann Fujii berpendapat bahwa Interhamwe terbentuk bukan dari kebencian Tutsi atau Front Patriotik Rwanda,. Namun dari "dinamika sosial yang kadang-kadang mengambil diutamakan daripada pertimbangan etnis" [18]Media propaganda

Menurut komentator terakhir, media berita memainkan peran penting dalam genosida; cetak lokal dan media radio memicu pembunuhan sementara media internasional mengabaikan atau serius disalahartikan peristiwa di tanah [19] Media cetak di Rwanda diyakini telah. mulai kebencian terhadap etnis Tutsi, yang kemudian dilanjutkan oleh stasiun radio. Menurut komentator, anti-Tutsi pidato kebencian "... menjadi begitu sistemik sebagai tampak norma." Milik negara Kangura surat kabar memiliki peran sentral, memulai kampanye anti-Tutsi dan anti-RPF pada Oktober 1990. Dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda yang sedang berlangsung, individu-individu di belakang Kangura telah dituduh memproduksi selebaran pada tahun 1992 membayangkan parang dan bertanya "Apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan revolusi sosial tahun 1959?" - Referensi untuk pemberontakan Hutu yang menggulingkan monarki Tutsi dan selanjutnya diatur politik kekerasan komunal yang mengakibatkan ribuan korban kebanyakan Tutsi dan memaksa sekitar 300.000 orang Tutsi mengungsi ke tetangga Burundi dan Uganda. Kangura juga menerbitkan terkenal "10 Perintah Hutu," yang diatur semua transaksi dengan Tutsi dan Hutu bagaimana adalah untuk memperlakukan mereka. Ini pesan yang dikomunikasikan RPF memiliki strategi besar licik melawan Hutu (satu fitur artikel berjudul "Tutsi rencana kolonisasi"). [20]

Karena tingginya tingkat buta huruf pada saat genosida, radio merupakan cara penting bagi pemerintah untuk menyampaikan pesan kepada publik. Stasiun radio dua kunci untuk menghasut kekerasan sebelum dan selama genosida itu Radio Rwanda dan Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM). Pada bulan Maret 1992, Radio Rwanda pertama kali digunakan secara langsung mempromosikan pembunuhan Tutsi di Bugesera, selatan ibukota Kigali nasional. Radio Rwanda berulang kali menyiarkan peringatan komunike yang Hutu di Bugesera akan diserang oleh Tutsi, sebuah pesan yang digunakan oleh pejabat setempat untuk meyakinkan Hutu bahwa mereka harus menyerang lebih dulu. Dipimpin oleh tentara, warga sipil Hutu dan Interahamwe menyerang dan membunuh ratusan Tutsi. [21]

Pada akhir 1993, RTLM yang itu sangat sensasional melaporkan pembunuhan presiden Burundi, sebuah Hutu, digunakan untuk menggarisbawahi seharusnya kebrutalan Tutsi. RTLM itu salah melaporkan bahwa Presiden telah disiksa, termasuk pengebirian (di pra-kolonial kali, beberapa raja dikebiri penguasa Tutsi musuh dikalahkan). Ada 50.000 kematian warga sipil di Burundi pada tahun 1993.

Dari akhir Oktober 1993, RTLM berulang kali disiarkan tema dikembangkan oleh pers ekstremis tertulis, menggarisbawahi perbedaan yang melekat antara Hutu dan Tutsi, asal asing Tutsi, pangsa yang tidak proporsional kekayaan Tutsi dan kekuasaan, dan kekuasaan Tutsi kengerian masa lalu. RTLM juga berulang kali menekankan perlu waspada terhadap plot Tutsi dan kemungkinan serangan. Ini memperingatkan Hutu untuk mempersiapkan untuk "membela" diri terhadap suku Tutsi [21] Setelah April 6, 1994, otoritas menggunakan RTLM dan Radio Rwanda untuk memacu dan mengarahkan pembunuhan, khususnya di daerah di mana pembunuhan itu awalnya menolak.. Kedua stasiun radio digunakan untuk menghasut dan memobilisasi penduduk, diikuti dengan arah tertentu untuk melaksanakan pembunuhan. [21]

RTLM telah menggunakan istilah seperti inyenzi (kecoa dalam Kinyarwandan) dan Tutsi secara bergantian dengan orang lain mengacu pada pejuang RPF. Ini memperingatkan bahwa RPF kombatan berpakaian sipil berbaur antara orang-orang pengungsi melarikan diri zona tempur. Siaran ini memberi kesan bahwa semua Tutsi adalah pendukung kekuatan RPF pertempuran melawan pemerintah terpilih [21] Perempuan menjadi sasaran dari propaganda anti-Tutsi sebelum genosida tahun 1994, misalnya, "Sepuluh Perintah Hutu" (1990). termasuk empat perintah yang menggambarkan perempuan Tutsi sebagai alat dari orang-orang Tutsi, dan sebagai senjata seksual untuk melemahkan dan akhirnya menghancurkan orang-orang Hutu [22] Jenis Kelamin berbasis propaganda. kartun juga termasuk dicetak di koran-koran yang menggambarkan perempuan Tutsi sebagai objek seks. Contoh berbasis gender propaganda kebencian digunakan untuk menghasut perang perkosaan meliputi pernyataan oleh para pelaku, seperti, "pikir Anda Tutsi wanita bahwa Anda terlalu baik bagi kita", dan "Mari kita lihat apa selera wanita Tutsi seperti." [22]

Untuk mempromosikan populasi informasi dan demokrasi di Rwanda, lembaga internasional telah dipromosikan perkembangan media selama tahun-tahun menjelang genosida [23]. Ternyata mempromosikan salah satu aspek demokrasi (dalam hal ini media) mungkin, pada kenyataannya, negatif mempengaruhi aspek lain dari demokrasi atau hak asasi manusia. Setelah pengalaman ini telah berpendapat bahwa badan-badan pembangunan internasional harus sangat sensitif terhadap konteks spesifik dari program-program mereka dan kebutuhan untuk promosi demokrasi secara holistik [23].PBB

Pada 11 Januari 1994 Kanada Letnan Jenderal Romeo Dallaire (PBB Panglima Angkatan di Rwanda) diberitahukan Penasehat Militer kepada Sekretaris Jenderal, Mayor Jenderal Maurice Baril, dari empat cache senjata utama dan rencana oleh orang-orang Hutu untuk pemusnahan suku Tutsi. Telegram dari Dallaire menyatakan bahwa tingkat atas Interahamwe milisi yang diarahkan pelatih demonstrasi beberapa hari sebelumnya, untuk memprovokasi batalion RPF di Kigali menjadi menembak pada demonstran dan Belgia Serikat Misi Bantuan PBB untuk Rwanda (UNAMIR) pasukannya ke menggunakan kekerasan. Interahamwe kemudian akan memiliki alasan untuk melibatkan pasukan Belgia dan batalyon RPF, membunuh warga negara Belgia dan menyebabkan penarikan kontingen Belgia, tulang punggung UNAMIR. Tutsi kemudian akan dieliminasi.

Menurut informan, Interahamwe milisi 1.700 dilatih di kamp-kamp pasukan pemerintah, dan ia memerintahkan untuk mendaftarkan semua orang Tutsi Kigali. Dallaire membuat rencana langsung untuk pasukan UNAMIR untuk merebut senjata cache dan menyarankan Markas PBB dari niatnya, percaya tindakan ini berbaring dalam mandat misi nya. Keesokan harinya, markas menjawab bahwa tindakannya diuraikan melampaui mandat yang diberikan kepada UNAMIR bawah Resolusi Dewan Keamanan 872. Sebaliknya, ia adalah untuk memberitahu Presiden Habyarimana dari kemungkinan pelanggaran Arusha Accord dan kekhawatiran dan melaporkan kembali pada tindakan yang diambil. Dallaire yang 11 Januari Telegram itu penting dalam tinjauan kemudian informasi apa yang tersedia untuk PBB sebelum genosida [24] Pada 21 Februari, ekstrimis dibunuh Menteri Pekerjaan Umum, dan UNAMIR tidak mampu untuk mendapatkan persetujuan PBB untuk menyelidiki pembunuhan itu..

Pada tanggal 6 April 1994, RTLM menuduh pasukan penjaga perdamaian di Belgia memiliki ditembak jatuh-atau membantu untuk menembak jatuh - pesawat presiden. Siaran ini telah dikaitkan dengan pembunuhan sepuluh pasukan PBB Belgia oleh tentara tentara Rwanda. [25]

Situasi terbukti terlalu "berisiko" bagi PBB untuk mencoba untuk membantu [kutipan diperlukan]. RPF mulai mengambil kendali negara. PBB-mandat Perancis yang dipimpin pasukan, di bawah Operasi Turquoise, ditetapkan dan dipelihara sebuah "zona aman" bagi pengungsi Hutu melarikan diri ke di barat daya. Akhirnya, setelah Mandat PBB misi Prancis sudah berakhir, jutaan pengungsi Hutu Rwanda kiri, terutama menuju ke Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo). Kehadiran pengungsi Hutu (melihat krisis pengungsi Great Lakes) di perbatasan dengan Rwanda, ditambahkan ke ketidakstabilan internal, memberikan kontribusi terhadap Perang Kongo Pertama dan Kedua, dengan bentrokan antara kelompok-kelompok dan pemerintah Rwanda terus. [1]

Mandat PBB melarang campur tangan dalam politik internal dari negara manapun kecuali kejahatan genosida yang dilakukan. Perancis telah dituduh membantu rezim Hutu melarikan diri dengan menciptakan Operasi Turquoise [rujukan?] Kanada, Ghana, dan Belanda memberikan dukungan konsisten untuk misi PBB di bawah komando Dallaire, meskipun Dewan Keamanan PBB tidak memberikan suatu. yang sesuai mandat untuk campur tangan. Meskipun tuntutan tegas dari komandan UNAMIR di Rwanda sebelum dan selama genosida, permintaan untuk otorisasi untuk mengakhirinya ditolak, dan kapasitas intervensi berkurang.

Pada tahun 2000, PBB secara eksplisit menyatakan reaksinya ke Rwanda sebuah "kegagalan" [26] Kemudian. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan mengatakan acara "Masyarakat internasional gagal Rwanda dan yang harus meninggalkan kita selalu dengan rasa penyesalan pahit.