hoegeng iman santoso
TRANSCRIPT
Helin Yovina
XI IPA 1
Hoegeng Iman Santoso
Polisi : Idaman dan Kenyataan
Di dalam biografi yang dibuatnya, Hoegeng Iman Santoso menuliskan pengalaman-pengalaman semasa
hidupnya kepada para pembaca dengan maksud untuk berbagi pengalaman dan dirujukkan kepada
generasi muda terutama kepada kaum taruna di seluruh jajaran kepolisian dan ABRI agar hal-hal positif
yang pernah dirasakan dan dilakukan oleh beliau dapat menjadi panutan dan bekal hidup yang
bermanfaat bagi semua orang.
Di awal biografi ini, pak Hoegeng menceritakan sebuah kota kecil di Jawa Tengah dimana ia dilahirkan ,
yakni Pekalongan. Beliau dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1921 tepatnya di kampung Pesatean
(dulunya adalah perkampungan Arab). Beliau menuliskan bahwa orang-orang Pekalongan biasanya
berbicara dengan gaya bahasa Pekalongan yang dianggap orang-orang diluar Pekalongan kasar. Beliau
menggambarkan bahwa gaya bahasa Pekalongan itu lebih jujur, terus terang, dan transparan, yang
penting adalah rasa keakrabannya, hal tersebut juga dialami sendiri oleh beliau dengan teman-teman
sekampungnya dan bahkan dengan Soekarno.
Pada dekade 1920 dan 1930-an Pekalongan dikenal dengan Keresidenan Pekalongan, wilayah
administrasi pemerintahan Hindia Balanda di Jawa Tengah yang melingkupi 4 kabupaten (Brebes, Tegal,
Pemalang, dan Pekalongan). Pada masa itu Keresidenan Pekalongan merupakan daerah pesisir yang
cukup terbuka sehingga dapat dijadikan jalur perdagangan laut. Namun kapal-kapal hanya dapat
berlabuh di Tegal saja karena di Pekalongan lautnya dangkal sehingga kapal-kapal hanya bisa berlabuh di
tengah laut. Keresidenan Pekalongan juga merupakan kawasan pertanian tradisional yang menghasilkan
beras, gula. Selain itu juga Pekalongan dikenal dengan batik tulisnya yang bagus dan indah.
Sejak kecil pak Hoegeng dan keluarganya terkadang harus berpindah-pindah rumah dan sekolah
dikarenakan beberapa hal ayahnya tidak sempat memiliki rumah pribadi sehingga harus mengontrak
rumah. Namun karena hal tersebutlah yang membuat pak Hoegeng lebih banyak mengenal orang-orang
dan seluk beluk kota Pekalongan. Di pekalongan itu sendiri terdapat hal yang mencolok mengenai
keanekaragaman penduduknya, ada yang berasal dari luar jawa bahkan ada juga yang berasal dari luar
Indonesia.
Pak Hoegeng juga menceritakan keluarga besar dan juga beberapa kenalannya di kota Pekalongan.
Ayahnya yang hobi memelihara burung membuatnya juga hobi memelihara binatang seperti orang utan,
buaya dll. Ayahnya merupakan sosok yang baik baginya, ayahnya menghidupi keluarganya dengan
penuh tanggung jawab bahkan juga menghidupi anggota keluarga yang lainnya. Ibunya bertubuh kecil
dan berkulit putih. Ia mahir memainkan sitar dan pak Hoegeng dan anggota keluarga lainnya bernyanyi.
Lalu eyangnya yang bernama eyang Putri, eyang Putri ini adalah orang yang keras kepala dan memiliki
pendirian yang teguh. Ia terlalu percaya dengan hal-hal yang bersifat pamali dsb. Selain itu juga
beberapa kenalan pak Hoegeng antara lain para pejabat penting di Pekalongan. Mereka terkadang
singgah kerumahnya untuk bertamu dengan ayahnya sehingga ia terbiasa bergaul dengan mereka. Dari
kenalan-kenalan ayahnya itulah banyak yang memberikan teladan yang baik bagi pak Soegeng sendiri,
seperti Pak Ating dan Prapto. Pak Prapto sendiri merupakan seorang Ketua Pengadilan Negeri dan Pak
Ating merupakan seorang menak Sumedang dan pernah menjabat sebagai seorang Kepala Jawatan
Kepolisian di Pekalongan dan sebagai Kepala Kepolisian RI. Dan sebenarnya masih banyak lagi kenalan
ayahnya dan keluarganya yang memberikan contoh teladan bagaimana hidup di tengah masyarakat.
Selanjutnya Pak Hoegeng membeberkan perihal masa-masa sekolah dan remajanya. Pada saat
berumur 6 tahun ketika ayahnya bekerja sebagai jaksa di Pemalang, beliau pertama kali masuk sekolah
kelas 1 di HIS. Pada saat pertama kali masuk beliau masih belum berani dan maunya ditunggui oleh
ayahnya terus. Namun saat ia dibujuk oleh Mevrouw Souissa dengan diberikannya sebatang coklat
kepadanya, maka ditaklukkannyalah beliau dan mulai saat itu beliau tidak perlu memerlukan ayahnnya
lagi untuk repot-repot menungguinya dan menjemputnya. Saat naik ke kelas 2, ayahnya dipindah
tugaskan ke Pekalongan dan beliau pun berpindah tempat ke HIS Pekalongan. Masa masa SD merupakan
masa dimana beliau menganggap dirinya nakal. Ia tatkala memancing Pak Otto, gurunya bahasa
Belandanya sehingga ia terkena galito (hadiah unik untuk anak yang nakal dari pak Otto) yaitu, empu jari
tangan Pak Otto ditekan di kepala dan jari-jari lain dikepal lalu diputar. Namun anehnya beliau tidak
takut terkena hukuman galito tersebut.
Pada tahun 1934, Pak Hoegeng melanjutkan sekolahnya di MULO (SMP). Masa ini merupakan masa-
masa remaja yang sulit baginya, susah untuk disiplin karena godaan-godaan dari luar. Ia lebih serang
bermain layang-layang bersama teman-temannya. Alhasil nilai-nilai yang semula bagus di kuartal satu
turun drastis di kuartal dua. Itu semua karena beliau asyik bermain layangan dengan temannya. Tapi
pada akhirnya beliau dapat lulus dengan nilai yang lumayan yang sebenarnya bisa lebih dari nilai
tersebut jika saja beliau lebih bersungguh-sungguh lagi.
Kesibukan Pak Hoegeng diluar sekolah sendiri adalah mengaji rutin dengan gurunya, pak Kaji.
Sedangkan untuk adik-adik perempuannya mengaji dengan bu Kaji. Dan sayangnya pada saat-saat
tertentu menjelang maghrib, mobil keliling bioskop lewat dan akan diputar sebuah film dan dengan
cepat beliau menanggalkan sarungnya dan meninggalkan pak Kaji. Pak Hoegeng terlahir dari sebuah
keluarga yang menyukai musik. Ayah dan ibunya gemar memainkan alat musik dan tak sedikit alat musik
yang dimiliki oleh keluarganya. Pada saat itu ayahnya mendatangkan guru musik piano namun pada saat
duduk di kelas 4 di HIS, eyangnya membelikannya sebuah biola. Karena sejak kecil beliau sudah terbiasa
dengan berbagai macam alat musik yang dipelajari dan di milikinya maka pada saat beliau berstatus
sebagai pelajar di MULO, beliau dan kawan-kawannya membuat band musik Hawaiian. Mereka
terkadang berlatih di serambi depan rumah dan biasanya tampil jika ada acara di sekolah. Selain
menyanyi beliau pun gemar melukis.
Selain itu beliau juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan club yang didirikan oleh beberapa pelajar
lainnya. Pengalaman yang sangat menarik menurutnya adalah ketika pertama kali ia naik pesawat yang
kebetulan sedang berdemonstrasi di Pekalongan. Karena di Pekalongan tidak ada bandara ataupun
pesawat maka kesempatan itu merupakan kesempatan yang sangat fantastis bagi mereka yang ingin
menaikinya dan untungnya ayahnya dan keluarganya mampu membayar harga yang tidak murah untuk
sekedar menaiki dan merasakan naik sebuah pesawat. Dan selama beberapa hari masyarakat
Pekalongan pun tak henti-hentinya membicarakan tentang pesawat ini.
Setelah lulus dari MULO, Pak Hoegeng melanjutkan sekolahnya ke AMS di Yogyakarta jurusan A II
(SMA). Awalnya ia tinggal bersama Pak Sukendo dan akhirnya ia tinggal bersama Pak Bregas. Pada masa
itu jurusan A menitikberatkan kepada jurusan bahasa sedangkan jurusan B jurusan IPA. Dan A I merujuk
kepada bahasa dan sastra barat dan A II merujuk kepada bahasa dan sastra timur. Karena beliau
menyukai bahasa jadinya ia memilih jurusan A II. Selain menyukai bahasa beliau juga menyukai baseball.
Tatkala beliau juga sengaja membuat rebut di kelas agar dikeluarkan dari kelas dan dapat pergi ke
lapangan dan bermain baseball.
Tinggal di Yogya terkadang beliau bersama teman-temannya naik sepeda dan berkumpul di coffee
house di Malioboro lalu menikmati gudek Yogya di warung kaki lima. Selain itu juga beliau bersama
teman-temannya mencari uang dengan bermain musik Hawaiian. Dan dari hasil bermain tersebut uang
yang didapatkan cukup untuk bermain-main atau sekedar untuk berjalan-jalan. Pada tahun 1940 beliau
menyelesaikan sekolahnya dan rekan-rekan siswa yang pernah bersekolah di AMS Yogya pun banyak
yang berperan sebagai tokoh-tokoh tertentu di Indonesia.
Setelah itu beliau meneruskan kuliahnya di RHS di Batavia. Pada saat itu perang dunia ke 2 sedang
berkecamuk. Pak Hoegeng sendiri mengaku bahwa beliau tidak terlau tertarik dengan hal-hal yang
berbau politik. Beliau masuk ke RHS karena beliau ingin masuk sekolah komisaris polisi di Sukabumi.
Rupanya menjadi polisi merupakan impian masa kecilnya. Di luar kuliahnya beliau pun aktif mengikuti
kegiatan di luar seperti ikut bergabung dengan perkumpulan mahasiswa extrakulikuler USI. Untuk
memasuki berbagai kegiatan ini ternyata dilakukan perpeloncoan dan termasuk pak Hoegeng
mengalaminya sendiri ketika seniornya mengerjainya. Selain itu beliau juga mengisi waktu senggangnya
dengan berlatih tinju dan dansa Balroom.
Setelah mengenai masa-masa sekolahnya, pak Hoegeng menceritakan masa dimana Jepang datang ke
Indonesia dan menunduduki Indonesia. Masuknya Jepang ke Indonesia merupakan hal yang tidak
diherankan lagi sehingga banyak dibicarakan dalam masyarakat dan didiskusikan oleh para pelajar di
Jakarta. Pak Hoegeng yang pada dasarnya tidak tertarik dengan hal-hal berbau politik mau tidak mau
harus ikut berkecimpung juga dengan hal-hal berpolitik. Karena desakan perang yang semakin
terasa,beliau diwajibkan untuk bergabung ke dalam anggota satuan keamanan kampus yang fungsinya
untuk menghadapai keadaan darurat.
Masuknya Jepang ke Indonesia itu sendiri menyebar luas dengan cepat ke seluruh pelosok Indonesia.
Kabar bahwa Jepang menduduki beberapa daerah di Indonesia tanpa perlawanan dan menaklukan
sekutu mengakibatkan hilangnya orang-orang Belanda yang selama ini menduduki Indonesia. Orang-
orang Belanda semakin lama semakin sedikit ditemui dan konon berhembus kabar burung yang
mengatakan bahwa pejabat-pejabat Belanda ditawan dan ditahan di Glodok. Hal tersebut juga berimbas
terhadap sekolah-sekolah Belanda yang pada akhirnya ditutup. Namun beberapa hari kemudian beliau
dihubungi oleh temannya bahwa sekolah HIS akan dibuka kembali, ketika sesampainya disana mereka
tidak menemui orang-orang Belanda melainkan perwira-perwira Jepang yang kemudian menyuruh para
mahasiswa termasuk beliau memindahkan buku-buku ke museum tepat pada jam 1. Karena perbedaan
jam tangan si perwira dengan jam tangan miliknya maka terjadi kesalahpahaman. Beliau datang
terlambat dan beliau mendapat tempeleng dari perwiranya tersebut. Persitiwa ditempelengnya pak
Hoegeng ini menjadi perbincangan hangat diantara para mahasiswa. Setelah itu para mahasiswa entah
kemana nasibnya diombang-ambingkan. Tidak ada kabar bahwa kuliah akan dibuka kembali.
Kabar bahwa jembatan-jembatan yang diledakan oleh Belanda di Jawa Tengah sudah diperbaiki maka
Pak Hoegeng bersama temannya memutuskan untuk kembali pulang ke Pekalongan. Selama di Jakarta
mereka menggangur karena tidak ada kepastian mengenai kuliah mereka yang diombang-ambingkan.
Mereka akhirnya naik kereta api dari Gambir menuju Bandung. Dari Bandung mereka naik kereta api lagi
menuju Purwokerto. Di sela-sela perjalanan, beliau melihat banyak sekali persenjataan milik Belanda
yang sudah rusak berserakan, mungkin sengaja dirusak oleh Belanda agar tidak dapat digunakan kembali
oleh Jepang. Sesampainya mereka di Purwokerto beliau dan temannya disambut dengan hangat oleh
kerabatnya. Situasi ditaklukannya Indonesia oleh Jepang membuat beliau cukup sulit untuk melanjutkan
kuliahnya di RIS. Jepang malah dengan gencar-gencarnya meningkatkan kualitas pendidikan di bidang
militer.
Ada sebuah cerita yang lucu menurut beliau ketika beliau sampai di Pekalongan. Jepang dengan segera
membenahi kedudukan Belanda di bidang pemerintahan di Keresidenan Pekalongan. Mereka membagi
dua bagian, sebelah kanan bagi yang merasa orang asli Indonesia dan sebelah kiri bagi yang merasa
dirinya Belanda atau Indo. Dan orang-orang yang duduk di sebelah kiri digiringnya oleh Jepang masuk ke
dalam mobil dan dibawalah mereka masuk ke dalam penjara untuk ditawan.
Setelah itu Pak Hoegeng yang menganggur karena tempat kuliahnya ditutup memutuskan untuk
mengikuti kursus polisi. Awalnya beliau mengira akan dididik untuk menjadi inspektur polisi tetapi
ternyata bahwa kursus tersebut dibuka untuk Hoofd Agent Polisi (2 tingkat dibawah inspektur polisi).
Awalnya beliau merasa ogah-ogahan karena mengetahui tidak akan mendapatkan pangkat inspektur
polisi tetapi pada akhirnya beliau menikmati juga masa masa kursusnya tersebut. Satu hal yang
mengherankan adalah bahwa Jepang mengabaikan pendidikan di universitas namun malah membuka
lebar pendidikan kemiliteran di Indonesia.
Di sana mereka dididik dengan sangat keras dan disiplin. Kesehariannya mereka merangkap tugas
sebagai polisi resmi di luar tempat kursus. Mereka melakukan bermacam kegiatan seperti melacak
penjahat di berbagai tempat. Dan bahkan beliau pernah ditugaskan di sebuah tempat plesiran yang
pada saat itu bertemunyalah beliau dengan alah satu rekan ayahnya.
Setelah itu beliau ditawari oleh Pak Soemarto untuk masuk ke dalam Jawatan Kepolisian Keresidenan
Pekalongan. Beliau harus mengikuti sebuah tes dan berhubung beliau tidak berniat masuk maka beliau
menjawab asal asalan tetapi pada akhirnya beliau terterima masuk. Pendidikan yang beliau tempuh
berlangsung selama setiap hari dengan rutinitas yang sama setiap harinya dengan waktu yang sudah
ditetapkan. Dan di dalam sana beliau mendapatkan banyak sekali pengalaman dengan beberapa
gurunya bahkan menerima 50 tempelengan dari gurunya tersebut. Beliau dan teman-temannya
membayangkan bahwa setelah lulus mereka akan dinaikkan pangkat menjadi inspektur polisi tetapi
nyatanya mereka hanya akan diberi pangkat yang justru tingkatannya lebih rendah dari pangkat mereka
yang sebelumnya. Hal tersebut sangat mengecewakan terutama bagi beliau sendiri namun tetap
Jepanglah yang berkuasa pada masa itu.
Dibohongi Jepang dua kali merupakan nasib yang sangat mengecewakan namun tidak sebanding
dengan nasib gadis-gadis Indo yang cantik dan malang. Mereka ada yang dijadikan noni-noni oleh Jepang
dan bahkan menjadi pelayan restoran, sungguh nasib yang kurang baik yang harus mereka terima.
Setamatnya Pak Hoegeng dari sekolah polisi tersebut beliau ditugaskan untuk menjaga keamanan di
Semarang. Mereka sudah menjadi polisi beneran tak disangka pangkat mereka terus naik dan naik.
Padahal baru beberapa minggu dicatat sebagai anggota kepolisian namun pangkat sudah naik saja.
Belum sampai 2 tahun mereka dinas sebagai polisi mereka sudah mengalami kenaikan pangkat sebanyak
empat kali. Rupanya hal tersebut merupakan cara Jepang untuk meminta maaf kepada orang-orang
yang mengikuti pendidikan kepolisian sebelumnya dan hal tersebut dianggap beliau sebagai kenangan
yang manis saat itu.
Pada tahun 1972 ketika ia tidak menjabat sebagai kapolri, beliau dengan istrina Merry berkunjung ke
Jepang untuk menghadiri sebuah festival. Disana juga mereka sempatkan untuk melihat masyarakat-
masyarakat Jepang beserta isinya. Dan merupakan suatu kesempatan yang baik bagi beliau adalah ketika
beliau dapat bertemu dengan satu persatu kenalan Jepangnya ketika ia masih bersekolah di Indonesia.
Berkat bantuan salah satu rekannya ia bahkan dapat bertemu dengan guru-guru ketika beliau mengikuti
kursus kepolisian.
Di bab selanjutnya Pak Hoegeng menceritakan pengalamannya ketika Indonesia sedang berada dalam
masa proklamasi dan revolusi Indonesia. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung
Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Namun sebelumnya beliau tidak mengetahui akan
kabar tersebut dan baru mengetahuinya keesokan hari oleh Pak Soeprapto pada saat briefing. Dengan
tegasnya Pak Soeprapto mengatakan bahwa Jepang sudah kalah perang. Lalu mulailah terjadi pengambil
alihan pasukan Indonesia terhadap Jepang. Mulanya hal tersebut berjalan dengan lancar karena Jepang
sudah kehabisan akal namun terjadi konflik ketika pemuda-pemuda Indonesia bersikeras untuk
mengambil persenjataan milik Jepang. Pihak Jepang pun mempesalahkan pemuda-pemuda Indonesia
namun pada akhirnya pihak Jepanglah yang dipersalahkan. Pada saat itu muncullah pemuda-pemuda
Indonesia yang memiliki semangat revolusi yang tinggi dan tidak puas akan apa yang sudah terjadi.
Minggu-minggu pertama sesudah dibacakannya proklamasi Indonesia, Kantor Kepolisian di Semarang
malah sibuk menerima kritikan dan laporan dari Jepang dan sibuk menghadapi para pejuang yang
berkonsultasi. Pada bulan September 1945 Pak Hoegeng dimandatkan untuk mengantarkan Sayuti Melik
dan Soebandrion kepada Mr Besar di Pekalongan untuk mempelajari situasi revolusi sosial yang terjadi
di tiga daerah, yakni : Brebes, Tegal, dan Pemalang. Beliau mendapat kronologis cerita dari keluarganya
bahwa di Pasar Ratu terjadi pertempuran pejuan revolusioner dengan Jepang. Mulanya akan dirombak
kependudukan pejabat dalam Keresidenan Pekalongan namun kaum pemberontak tidak dapat
menerima hasil yang sudah ditetapkan mengingat ada beberapa pejabat yang ditetapkan adalah mantan
pejabat pembesar Hindia-Belanda yang dikhawatirkan akan meneruskan dan mengambil penjajahan
Belanda setelah Jepang kalah, maka muncullah beberapa laskar-laskar pemuda Indonesia dengan
semangat mereka terjadilah pertempuran di Pasar Ratu antara pasukan Jepang dan pemuda-pemuda
Indonesia. Mulanya pemuda-pemuda Indonesia lebih banyak dari pasukan Jepang namun pada akhirnya
pemuda-pemuda Indonesia harus gugur ditangan jepang karena senjata yang mereka gunakan hanyalah
sebatas bambu runcing. Pada saat itu Mery (perempuan yang akan menjadi istrinya) dengan berani
meminta kepada ayahnya dr. Soemakno untuk menjadi bagian dalam PMI. Bersama adik dan rekannya
(5 orang) menuju ke Pasar Ratu dan terjun untuk menyelamatkan dan mengobati pemuda-pemuda
Indonesia yang terkapar bergelimpang darah. Untungnya aksi yang mereka lakukan dapat berhasil tanpa
dihalau oleh Jepang. Gagalnya para pemuda untuk mengambil alih di Pekalongan pun akhirnya
diteruskan di tiga daerah yang sudah disebutkan tadi.
Pada bulan Oktober pecahlah pertempuran yang dikenal dengan pertempuran lima hari di Semarang.
Pak Hoegeng yang bertugas di Kantor Pusat Kepolisian di Semarang menjalankan tugasnya yakni
mnegantarkan orang-orang Jepang yang tertusuk bambu runcing ke dalam penjara. Namun naas beliau
mengalami kecelakaan pada saat menaiki sepeda motor. Keesokan harinya beliau memeriksakan diri di
sebuah rumah sakit dan divonis mengalami gegar otak. Oleh dokter beliau disarankan untuk menjalani
perawatan di rumah sakit. Namun beliau merasa tidak tahan di dalam rumah sakit, ia merasa ngeri
ketika ia harus mendengar bunyi infuse ataupun erangan pasien yang berada di sebelahnya. Maka
besoknya beliau memutuskan untuk kabur lewat belakang dan tahu-tahunya beliau bertemu dengan
istri si dokter dan sempat sarapan terlebih dahulu di rumah si dokter. Akhirnya beliau kembali ke
kediamannya di Semarang dan beliau mendapat cerita bahwa pada saat itu Jepang marah karena
banyak pemuda-pemuda dari Jepang dibunuh oleh pasukan Indonesia. Jepang bahkan mencari pemuda-
pemuda Indonesia termasuk mencarinya ke rumah sakit yang sempat ditempatinya. Syukurlah bahwa
beliau diselamatkan oleh Tuhan dan akhirnya beliau meminta cuti untuk pulang ke Pekalongan.
Pulang ke Pekalongan bukan berarti beliau dapat bersantai istirahat, revolusi terus saja berkobar
dimana-mana. Terjadi sebuah revolusi sosial dari kaum komunis dan radikal Islam di Pekalongan. Ayah
dari Pak Hoegeng pun turut menjadi korbannya karena pada saat pemerintah Belanda ayahnya bekerja
di Keresidenan untuk Belanda. Beliau yang terus saja uring-uringan karena tidak ada pekerjaan akhirnya
ditawari oleh seorang yang bernama Nazir untuk diajaknya bergabung dalam Angkatan Laut di
Yogyakarta. Nazir mengatakan bahwa sayang bagi Pak Hoegeng jika masih saja bergabung dalam
kepolisian yang memang pada saat itu belum terorganisir dengan baik. Nazir mengatakan bahwa
prospek masuk ke dalam Angkatan Laut sangatlah bagus dan karena Pak Hoegeng yang memang bekas
dari Jawatan Polisi maka beliau dapat diterima dan akhirnya beliau keluar dari kepolisiaan. Beliau pergi
ke Yogyakarta dan ikut serta juga mencari orang-orang untuk bergabung masuk ke dalam Angkatan Laut.
Disanalah beliau bertemu dengan Soekanto di sebuah hotel, Soekanto itu sendiri merupakan gurunya
pada saat beliau mengikuti kursus di Sukabumi dulu. Soekanto mengetuk hati beliau karena Soekanto
berkata bahwa apakah beliau masuk ke dalam Angkatan Laut karena malu dengan kondisi kepolisian
yang berantakan. Beliau pun akhirnya mengingat lagi impian masa kecilnya dan beliau pun memutuskan
untuk kembali lagi ke dalam kepolisian.
Di Yogyakarta beliau menginap di sebuah hotel bersama-sama dengan Iskak. Iskak menawari beliau
untuk ikut bermain sandiwara radionya yang bejudul Saija dan Adinda yang mengisahkan Saija yang
merupakan tunangan dari Adinda yang terpaksa merantau ke Batavia karena kerbaunya dirampas oleh
penguasa. Setelah Saija kembali ia mendapati bahwa banyak orang-orang yang mengungsi ke Lampung
termasuk Adinda. Ia pun bernekat untuk menyusul Adinda namun sayang pada saat perjalanan ia tewas.
Awalnya Pak Hoegeng dipaksa-paksa untuk menjadi tokoh Saija namun beliau menolaknya. Tapi pada
suatu ketika beliau bertemu dengan Iskak dan Iskak berkata bahwa Mery perempuan cantik yang pernah
ikut PMI itu yang berperan sebagai Adinda maka akhirnya beliau pun menyanggupi untuk memerankan
Saija. Sandiwara tersebut berlangsung dengan sangat baik dengan latihan yang sudah dipersiapkan
bahkan Soekarno pun mengangkat jempol untuk sandiwara ini. nampaknya kisah percintaan sandiwar
ini berlangsung juga dalam kehidupan sehari-hari antara Mery dan Pak Hoegeng. Beliau akhirnya
melamar Mery dan sah menjadi suami istri.
Seiring berjalannya waktu Mery akhirnya mengandung dengan kondisi sudah 7 bulan usia
kandungannya. Ibu dari Pak Hoegeng pun menyarankan agar Mery dan beliau datang ke Pekalongan.
Sesampainya mereka di Pekalongan mereka melakukan suatu syukuran akan usia kehamilan istrinya
tersebut. Disana mereka pun dapat berkumpul dengan sanak keluarga yang sudah lama tidak bertemu.
Namun tiba-tiba berhembus kabar bahwa di Pekalongan akan terjadi sebuah pertempuran maka semua
keluarga mengungsikan diri dan sayang bahwa peralatan-peralatan termasuk mobil dibakar oleh
ayahnya agar tidak dapat digunakan oleh si pemberontak. Mereka hanya membawa apa yang berguna
bagi mereka. Mereka sekeluarga mengungsi ke Balai Cintraka Mulya namun saat mereka disana mereka
dirampok dan harta-benda mereka diambil termasuk pakaian mereka hingga akhirnya mereka
menggunakan pakaian dari gorden yang digunting-gunting.
Pasukan NICA berhasil menduduki Pekalongan dan itu berarti Belanda telah melanggar perjanjian
Linggarjati. Beliau diminta oleh seseorang untuk mengumpulkan informasi mengenai NICA. Suatu malam
kakak dari Mery datang berniat untuk menjemput Mery untuk kembali ke Yogya dan melahirkan di sana
namun Mery menolak karena perjalanan dari Pekalongan ke Yogya amatlah berbahaya terutama bagi
dirinya yang hamil tua. Akhirnya Mery melahirkan dibantu oleh seorang kenalan dokter Pak hoegeng
pada malam hari dan lahirnya bayi perempuan yang kemudian dinamai Reni.
Suatu pagi ketika beliau sedang menikamti pagi dengan mengobrol dan makan cemilan tiba-tiba saja
beliau ditangkap oleh pasukan NICA untuk dijadikan tahanan. Beruntungya tempat yang dijadikan
tahannya tersebut sangat mewah mengingat beliau memiliki banyak kenalan Belanda yang respect
dengannya. Rupanya beliau ditangkap untuk diinterogasi kalau-kalau beliau sedang menjalankan
tugasnya untuk membantu kepolisian Indonesia namun akhirnya beliau pun dibebaskan.
Selepasnya beliau dari tahanan beliau disuruh untuk bekerja di Yogya. Beliau memutuskan untuk tida
membawa Mery dan Reni mengingat sangat bahaya bagi mereka. Maka Mery dan Reny sementara
waktu tinggal dulu di garasi rumah ibu Ita. Pak hoegeng dari Pekalongan menuju Yogyakarta dengan
singgah terlebih dahulu ke Batavia. Di Yogya beliau kembali meneruskan kuliahnya sambil merangkap
tugas mnejadi polisi dengan bolak balik Jakarta-Yogya. Pada saat itu beliau hanya bekerja untuk
Soekanto dan Soemarto. Selanjutnya beliau pun ikut serta dalam merampas Kudeta PKI Muso. Laskar-
laskar komunis tersebut sangatlah kejam sekali dengan kejamnya mereka menyiksa pasukan Indonesia,
pasukan tanah airnya sendiri dengan ditahan, disiksa, disiram bensin, dibakar hidup-hidup bahkan
dimasukan ke dalam sumur hidup-hidup.
Di Yogya mertua yang merupakan ayah dari Mery meninggal dunia sehingga Mery harus kembali ke
Yogya. Mau tidak mau Mery pergi ke Yogya bersama Reni dan di tengah perjalanan tasnya dibongkar
dan dibentak-bentak oleh Belanda. Namun untungnya Pak Hoegeng mempunyai anggota polisi yang
akhirnya ikut membantu istrinya tersebut. Di Yogya beliau kembali melaksanakan tugasnya sebagai
polisi bahkan ia mneyamar sebagai pelayan di sebuah restoran Pinokio untuk mencari informasi perihal
Belanda, beliau tidak digaji namun beliau mendapatkan makanan gratis. Mery, istrinya pun ikut bekerja
di dalamnnya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Pada tanggal 23 Juni, istrinya Mery berulang tahun. Maka beliau berniat mengadakan pesta yang
meriah untuk istrinya itu. Beliau mengundang teman-temannya untuk menghadirinya. Pesta
berlangsung dari jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Di dalam pesta tersebut terjadilah keakraban karena
lama tidak berjumpan dengan teman-temannya itu. Pasukan Belanda yang merupakan kenalannya pun
ikut datang dan mereka pun saling bertukar seragam kerja dengan orang-orang Indonesia yang
kebetulan ada pada pesta tersebut. Setelah selesai teman-temannya pun undur diri terkecuali seorang
temannya, Belanda yang asyik minum minum sampai mabuk. Setelah itu mereka pun beristirahat dan
tiba-tiba datang satuan keamanan yang melakukan penggerebakan di rumahnya. Ternyata mereka
masih memperlakukan orang-orang Indonesia sebagi musuhnya yang harus ditangakp dan ditahan. Dan
yang menjadi korbannya adalah beliau sendiri. Beliau ditahan di Kantor IVG Belanda di Salatiga. Disana
beliau mulai dinterogasi oleh Belanda. Keesokan harinya beliau pun dinterogasi kembali namun mungkin
karena mereka sudah jengkel tidak mendapat informasi yang dibutuhkan maka beliau dibebaskan dan
akan dipulangkan kembali ke Yogya. Rupanya mereka memperhatikan beliau sebawai tawanan politik
dan bukan sebagai tawanan biasa. Dengan sebuh truk akhirnya beliau sampailah ke Yogya dan
melakukan beberapa aktifitas.
Selang beberapa lama beliau menerima sebuah telegram yang menyatakan bahwa ayahnya sedang
sakit keras dan dirawat disebuah rumah sakit di Tegal. Beliau pun berencana untuk pulang ke Tegal.
Sesampainya beliau disana beliau mendapat bahwa ayahnya sedang terbaring dengan kurus dan pucat,
disana beliau pun bertemu dengan istri dan anaknya dan juga keluarganya. Disana ayahnya berpesan
agar beliau pergi ke Bandung mengunjungi adik dari Raden Ajeng Kartini untuk menyampaikan bahwa
ayahnya sedang sakit. Beliau pun menyanggupi hal tersebut dan ketika beliau ingin kembali pulang ke
tegal tepatnya di sebuah kereta beliau bermimpi bahwa ayahnya berkata “Sudah ya Geng, sampai disini
saja”, mimpi yang serupa pun dialami oleh Pak Lik. Dan mereka pun mendapat kabar bahwa ayahnya
telah berpulang dan akan dibawa ke Pemalang.
Pada tanggal 27 Desember 1949 diselenggarakan Penyerahan Kedaulatan kr tangan Republik Indonesi
melalui konferensi Meja bundar dan Indonesia resmia menjadi RIS. Pada saat itu beliau dan kelaurganya
pindah ke Jakarta. Beliau kembali melanjutkan kuliahnya sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian dan juga ia merangkap tugas sebagai polisi. Di Jakarta beliau tidak langsung memasuki kuliah
karena PTIK belum memiliki gedung resmi makan beliau dengan yang lainnya mnecari sebuah gedung
yang tidak terpakai dan mulai kuliah disana. Beliau juga mengikuti rapat dimana beliau ikut serta dalam
pembuatan lambing-lambang kepolisian.
Selang satuh tahun kemudian beliau mendapat kesempatan untuk study tour ke Amerika. Beliau
dengan beberapa kawannya yang terpilih melakukan perjalanan panjang hingga pada akhirnya mereka
sampai di Amerika. Disana mereka pergi ke laboratorium kepolisian di sana yang tertata rapi. Mereka
juga diajari mengenai hal-hal kepolisian dan juga salah satunya untuk mengontrol pasukan komunis.
Selain itu juga mereka diperkenalkan dengan senjata-senjata dan bahkan mendapat kesempatan untuk
menggunakannya. Setelah itu beliau juga mendapatkan pengalaman pribadi disana. Beberapa minggu
kemudian beliau dan rekannya meninggalkan Amerika dan kembali ke Indonesia.
Kembali ke Indonesia, istrinya tengah hamil tua. Awalnya beliau mengira bahwa beliau akan
mendapatkan bayi perempuan yang sebenarnya yang mereka inginkan adalah baya laki-laki. Tetapi
terjadi kesalahpahaman dan ternyata istrinya melahirkan anak laki-laki. Anak keduanya tersebut diberi
nama Aditya. Mereka semua pun sangat berbahagia terutama Mery dan beliau.
Setelah lulus dari PTIK beliau ditugaskan menjadi jawatan kepolisian di Surabaya. Jabatannya adalah
sebagai wakil kepala direktorat. Namun karena ada sesuatu hal yang menimpa kepala direktorat yang
sebelumnya maka beliau akhirnya diangkat menjadi kepala direktorat kota Surabaya. Selain itu beliau
juga mendaptkan sebuah rumah dinas yang tidak terlalu besar tetapi cukup untuk tinggal bersama istri
dan anak-anaknya. Selama menjadi ketua beliau pun pernah diancam dan dikirimi surat kaleng dari
partai komunis yang mengancamam bahwa beliau akan dibunuh namun pak hoegeng tidak takut sama
sekali bahkan gencar untuk memberantasnya. Selain itu juga beliau menceritakan pengalamannya
bersama soekarno djojonegore selaku bosnya. Beliau menceritakan keadian yang lucu yang terjadi
padanya saat itu dan keluarganya pun cukup akrab dengan keluarga soekarno djojonegoro.
Beliau juga menceritakan pengalamannya ketika dipilih menjadi Kepala Reskrim di Sumatera Utara.
Awalnya beliau mendapatkan sebuah telegram untuk menghadap Jaksa Agung di Jakarta. Beliau dengan
istri dan anaknya segera pergi ke Jakarta. Sesampainya disana ternyata beliau ditugaskan untuk menjadi
Kepala Reskrim di Sumatera Utara untuk menangani kasus smokel (penyelundupan), judi,
pemberontakan, dll. Beliau dipercayakan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Mulanya beliau
menolak untuk ditugaskan kesana karena ada beberapa alasan seperti dengan latar belakang pendidikan
yang beliau terima adalah hal-hal yang bersifat intelijen lalu beliau mendapat kadar bahwa beliau akan
diikutsertakan kembali dalam study tour di Amerika. Dan alasan yang terkahir menurut beliau adalah
susahnya karier yang akan di dapatnya di sana. Karena Sumatera Utara merupakan wilayah yang cukup
berat untuk kepolisian. Namun pada akhirnya beliau pun tetap harus memenuhi tugasnya tersebut
tepatnya di Medan karena memang sebelumnya hal tersebut telah dibicarakan.
Selain itu beliau menceritakan hubungan pertemanannya dengan Abdul Kadir yang merupakan tokoh
kepercayaan Belanda dalam revolusi kemerdekaan, Abdul Kadir tersebut juga yang menandatangani
perjanjian Renville. Rupa-rupanya Abdul Kadir merupakan om dari beliau. Dari Abdul beliau
mendapatkan informasi banyak mengenai situasi Medan dan terutama mengingatkannya bahwa banyak
sekali pedagang-pedagang Cina yang menyelundupkan barang ataupun korupsi.
Ketika sesampainya beliau di Medan beliau disambut oleh seorang Cina yang gemuk. Si cina
menyambut mereka dan tugasnya hanya menyalamkan “Selamat Datang” kepada Pak hoegeng dan
keluarganya. Si Cina turut bergembira atas kedatangan beliau dan juga mengatakan bahwa mobil dan
rumah serta perabotan semuanya sudah disediakan. Pak Hoegeng disini mulai berhati-hati akan maksud
yang disampaikan si Cina. Pak Hoegeng hanya berkata bahwa semua perabotan, mobil dll dimasukan ke
dalam rumah jika sudah mendapatkan instruksi dari beliau. Namun nyatanya si Cina tetap memaksa
memasukan perabotan tersebut ke dalam rumah sehingga akhirnya membuat pak Hoegeng marah dan
menyuruhnya kembali mengambil perabotan tersebut. Rupa-rupanya si Cina tersebut adalah tukang
suap dan untungnya pak hoegeng tahu diri dan tetap menjalankan sumpahnya dalam kepolisian.
Di Medan beliau juga menangani kasus-kasus smokel, judi, dll. Ia bahkan mengungkap siapa-siapa saja
yang terlibat bahkan sampai beliau diguna guna oleh ilmu hitam hingga sakit. Namun akhirnya beliau
pun dapat sembuh kembali akibat pengakuan dan pertolongan dari dukun yang disuruh oleh tersangka
tersebut. Di medan beliau dapat menyelesaikan dan menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Suatu
ketika terjadi aksi PRRI di Medan dimana terjad kericuhan, mau tidak mau Pak hoegeng harus segera
turun tangan dalam menyelesaikan kericuhan tersebut dan beliau pun terpaksa mengamankan dirinya.
Beliau pun sempat ditangkap dan menerima tahanan oleh PRRI. Pada akhirnya beliau dan sekeluaga pun
kembali ke Jakarta. Pak Hoegeng juga merasa kasihan dengan istrinya karena nampaknya suasana dan
kondisi di Medan tidak cocok dengan istrinya itu.
Di bab selanjutnya beliau menceritakan pengalamannya ketika beliau keluar masuk barak polisi. Beliau
diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi di Indonesia. Bahkan beliau pernah diminta bantuan oleh anak
emas Bung Karno untuk membantunya menyediakan paspor diplomatik. Namun beliau menolak dan
dilain kesempatan beliau menceritakan hal tersebut kepada Bung Karno. Bung Karno yang mengetahui
hal tersebut langsung bertanya kepada anak emasnya dan marah ketika mengetahui hal tersebut. Beliau
juga menyampaikan pengalaman-pengalamannya ketika beliau disupiri oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono. Beliau mendapatkan banyak sekali pengalaman-pengalaman dan nasihat dari Sri
Sulatan. Pak Hoegeng juga sempat bertamu dan makan siang bersama Bung Karno.
Pak Hoegeng yang sekarang sudah berkedudukan sebagai menteri juga harus mengahadapi beberapa
desas-desus yang tidak mengenakan dengan salah satu rekannya. Namun akhirnya desas-desus tersebut
dapat berakhir ketika beliau mengklarifikasikan desas-desus tersebut pada rapat. Beliau juga
menceritakan pengalaman-pengalamannya hingga beliau keluar dari menteri.