histamin tuna (thunnus sp) dan identifikasi bakteri … · 2015-09-03 · tentang suhu penanganan...

78
HISTAMIN TUNA (Thunnus sp) DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PEMBENTUKNYA PADA KONDISI SUHU PENYIMPANAN STANDAR SRI WAHYUNI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: dophuc

Post on 06-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HISTAMIN TUNA (Thunnus sp) DAN

IDENTIFIKASI BAKTERI PEMBENTUKNYA

PADA KONDISI SUHU PENYIMPANAN STANDAR

SRI WAHYUNI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

RINGKASAN

SRI WAHYUNI. C34070083. Histamin Tuna (Thunnus sp) dan Identifikasi

Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar.

Dibimbing oleh: WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO.

Banyak industri pangan dunia tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan cara

pengolahan pangan yang baik, begitu juga dengan industri perikanan tuna karena

tingginya kadar histamin. Amerika Serikat dan Uni Eropa menetapkan regulasi

tentang suhu penanganan tuna untuk menghambat pembentukan histamin melalui

risk analysis, namun tidak demikian dengan Indonesia. Risk analysis belum

banyak digunakan dalam pengambilan keputusan dan perumusan regulasi, padahal

ikan tuna merupakan komoditi ekspor kedua terbesar untuk produk perikanan di

Indonesia, sehingga aturan tentang histamin seharusnya dibuat berdasarkan

pendekatan ilmiah untuk menghindari penolakan terkait dengan histamin.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pembentukan histamin pada bagian tubuh ikan tuna yang berbeda dengan lama penyimpanan dan suhu

penyimpanan standar serta mengidentifikasi bakteri pembentuknya.

Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu: preparasi sampel,

penyimpanan sampel, analisis kimia dan mikrobiologi, yakni analisis kadar

histamin, kadar Total Volatile Base (TVB), angka lempeng total dan bakteri

pembentuk histamin, serta isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri. Faktor

penelitian ini terdiri dari bagian daging tuna (ekor dan perut), lama penyimpanan

(0, 2, dan 7 hari), serta suhu penyimpanan (4-5 ºC dan (-2)-1

ºC).

Kualitas daging tuna bagian ekor yang disimpan pada suhu 4-5 ºC dan

(-2)-1 ºC serta tuna bagian perut yang disimpan pada (-2)-1

ºC selama 7 hari masih

sangat bagus karena mengandung histamin tidak melebihi 50 ppm, sedangkan

daging bagian perut yang disimpan pada suhu 4-5 0C mengandung histamin

melebihi 50 ppm pada penyimpanan hari ke-7, sehingga waktu penyimpanan pada

suhu 4-5 0C untuk konsumsi harus di bawah 7 hari atau diduga hingga 6 hari.

Isolasi, karakterisasi, dan identifikasi yang dilakukan terhadap bakteri

pembentuk histamin menunjukkan bahwa Pseudomonas putida dengan persentase

identifikasi sebesar 99,6% dan 99,7% atau dianggap sebagai very good

identification serta Raoultella ornithinolytica dengan persentase identifikasi

sebesar 99,9% merupakan bakteri pembentuk histamin tuna.

HISTAMIN TUNA (Thunnus sp) DAN

IDENTIFIKASI BAKTERI PEMBENTUKNYA

PADA KONDISI SUHU PENYIMPANAN STANDAR

SRI WAHYUNI

C34070083

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Judul : Histamin Tuna (Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri

Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar

Nama : Sri Wahyuni

NRP : C34070083

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Wini Trilaksani,M.Sc Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si

NIP. 196101281986012001 NIP. 196906031998021001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil.

NIP. 195805111985031002

Tanggal Lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Histamin Tuna

(Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu

Penyimpanan Standar adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal

atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Sri Wahyuni

C34070083

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-

Nya penelitian berjudul “Histamin Tuna (Thunnus sp) dan Identifikasi

Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu Penyimpanan Standar” dapat

terselesaikan dengan baik.

Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi,

M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan

masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Ibu Dr.Ir Iriani Setyaningsih selaku dosen penguji atas saran dan

masukan bagi penulis.

3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen

Teknologi Hasil Perairan.

4. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan

Teknologi Hasil Perairan.

5. Pihak manajemen PT Z yang telah membantu dalam menyediakan

sampel penelitian.

6. Pimpinan BPMPHPK yang telah memberikan izin kepada penulis untuk

melakukan penelitian serta penyelia dan analis atas segala bantuannya

selama penulis melakukan penelitian.

7. Pimpinan dan analis Mikrobiologi Klinik FKUI atas segala bimbingan

dan bantuannya kepada penulis.

8. Ibu, almarhum Papa, dan kakak-adik yang selalu mendoakan dan

memberi bantuan kepada penulis.

9. Yoga Indra Purnama serta Jordan dkk, terima kasih atas motivasi dan

dukungannya dalam segala bentuk.

10. Alhana, Fipo, Mila, Sabri, Yunko, Sherly, Medal, Cencen, Dyhart,

Ellis, Indah RW, Desie, Mariah, Anggi Nurmalasari, Marisa, Trancy,

v

THP 44, 45, dan 43, terutama Kak Ibnu yang telah membantu banyak

hal kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun

dari semua pihak. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Desember 2011

Sri Wahyuni

C34070083

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Belawan, pada tanggal 8

April 1989 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara

dari pasangan Mochammad Husni (Alm.) dan Nunung

Janita Salmiah. Pada tahun 2007, penulis lulus dari

SMA Dharmawangsa, Medan dan pada tahun yang

sama, penulis diterima di Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor

(IPB) melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Selama pendidikan, penulis aktif menjadi staf Departemen Pertanian

Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor

(BEM KM IPB, 2007-2008), anggota divisi Pengembangan dan Pendidikan

Sumber Daya Manusia Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan (BEM FPIK, 2008-2009), serta anggota Fisheries Processing

Club (FPC, 2009-2010). Penulis pernah menjadi asisten praktikum

Penanganan Hasil Perairan pada tahun 2009-2010, asisten praktikum

Diversifikasi dan Pengembangan Produk Perairan, Teknologi Pemanfaatan

Hasil Samping dan Limbah Industri Perairan serta Teknologi Pengolahan

Hasil Perairan pada tahun 2010-2011, dan pernah mengikuti pelatihan

HACCP di Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyusun skripsi dengan judul “Histamin Tuna

(Thunnus sp) dan Identifikasi Bakteri Pembentuknya pada Kondisi Suhu

Penyimpanan Standar” di bawah bimbingan Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani,

M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si.

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL........................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi

1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Tujuan ................................................................................................ 4

2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5

2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp) ..................................................... 5

2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna (Thunnus sp) ........................................ 7

2.3 Histidin dan Histamin ........................................................................ 9

2.4 Bakteri Pembentuk Histamin ............................................................. 11

2.5 Standar, Regulasi Teknis, dan Risk Assessment ................................. 13

3 METODOLOGI ...................................................................................... 16

3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 16

3.2 Bahan dan Alat ................................................................................... 16

3.3 Metode Penelitian ............................................................................ 17

3.3.1 Preparasi sampel..................................................................... 17

3.3.2 Penyimpanan sampel .............................................................. 18

3.3.3 Analisis kimia dan mikrobiologi ............................................ 18

3.3.4 Isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri ........................ 19

3.4 Rancangan Penelitian ......................................................................... 19

3.5 Prosedur Pengujian Sampel ............................................................. 20

3.5.1 Analisis kadar histamin (SNI 2355.10:2009) ......................... 20

3.5.2 Analisis kadar Total Volatile Base (TVB) (SNI

2355.8:2009) .......................................................................... 21

3.5.3 Analisis Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 01-2332.3-

2006) ..................................................................................... 22

3.5.4 Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin (modifikasi

Niven et al.1981) .................................................................. 23

3.5.5 Isolasi bakteri (modifikasi Niven et al. 1981; Kung et al.

2009; Hwang et al. 2010) ....................................................... 24

3.5.6 Karakterisasi bakteri (Tiwari et al. 2009) ............................. 24

3.5.6.1 Morfologi koloni (Tiwari et al. 2009) .................... 25

3.5.6.2 Morfologi sel (Tiwari et al. 2009) .......................... 25

3.5.6.3 Uji sifat fisiologis (Tiwari et al. 2009) .................... 26

viii

Halaman

3.4.7 Identifikasi bakteri (bioMérieux 2006) ................................. 26

\

4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 29

4.1 Kadar Histamin Tuna (Thunnus sp) .................................................. 29

4.2 Kadar TVB Tuna (Thunnus sp) ......................................................... 31

4.3 Nilai ALT Tuna (Thunnus sp) ........................................................... 32

4.4 Jumlah Bakteri Pembentuk Histamin Tuna (Thunnus sp)................. 33

4.5 Isolasi Karakterisasi, dan Identifikasi BPH Tuna(Thunnus sp) ........ 34

5 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 40

5.1 Simpulan ........................................................................................... 40

5.2 Saran .................................................................................................. 40

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Komposisi ikan tuna per 100 gram ........................................................... 7

2 Komposisi asam amino ikan tuna per 100 g ............................................. 8

3 Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan ....................................... 11

4 Model tabel data analisis ........................................................................... 19

5 Kadar histamin daging ikan tuna dalam satuan ppm pada berbagai

kondisi perlakuan ...................................................................................... 29

6 Kadar TVB daging ikan tuna dalam satuan mg N/100 g pada berbagai

kondisi perlakuan ...................................................................................... 31

7 Log ALT daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi

perlakuan .................................................................................................. 33

8 Log BPH daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi perlakuan .................................................................................................. 34

9 Morfologi koloni dan morfologi sel bakteri .............................................. 36

10 Hasil pembacaan API kit 20 NE .............................................................. 38

11 Hasil pembacaan API kit 20 E .................................................................. 39

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Ikan tuna (Thunnus sp) ........................................................................ 6

2 Proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin.................................. 10

3 Lokasi bagian daging yang digunakan dalam penelitian ..................... 18

4 Skema pemilihan API .......................................................................... 28

5 Bentuk sel dan hasil pewarnaan Gram isolat 1, 2, dan 3...................... 36

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Good Manufacturing Practise penanganan bahan baku PT Z ............. 49

2 Morfologi koloni bakteri (Tiwari et al. 2009) ...................................... 51

3 Morfologi sel bakteri (Tiwari et al. 2009) ........................................... 52

4 Data uji statistik hasil analisis histamin ............................................... 53

5 Data uji statistik hasil analisis TVB ..................................................... 55

6 Data uji statistik hasil analisis ALT ..................................................... 56

7 Data uji statistik hasil analisis BPH ..................................................... 57

8 Contoh perhitungan kadar histamin ..................................................... 58

9 Contoh perhitungan kadar TVB ........................................................... 61

10 Contoh hasil pembacaan API kit .......................................................... 62

11 Dokumentasi penelitian ........................................................................ 63

12 Pertimbangan penentuan suhu berdasarkan risk assessment ............... 65

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Food and Agricultural Organization/World Health Organization

(FAO/WHO) sejak tahun 1992 telah merasa prihatin bahwa ratusan juta manusia

di dunia telah mati karena menderita penyakit akibat mengonsumsi pangan yang

tercemar (FAO 1992), bahkan European Commissioner (EC) menyatakan bahwa

pangan yang aman merupakan hak asasi manusia (EC 2010). Akan tetapi, banyak

industri pangan dunia tidak sepenuhnya mematuhi ketentuan cara pengolahan

pangan yang baik, seperti mengontrol suhu produk dan program sanitasi yang

berdampak terhadap keamanan pangan, padahal penolakan terhadap pangan

karena permasalahan keamanan pangan merupakan pertimbangan penting dalam

perekonomian dunia. Food and Drug Administration (FDA) menyampaikan

bahwa telah terjadi penolakan yang besar terhadap pangan yang berasal dari laut

sepanjang tahun 1998-2004, yang mencapai 20,1% dari total pangan yang masuk

ke Amerika dan kasus ini merupakan kasus kedua terbesar setelah sayuran

(Buzby 2008). Lebih lanjut EC (2010) menyampaikan bahwa pada tahun 2010

terdapat lebih dari 1 miliar orang mengonsumsi pangan yang tidak aman ini.

Industri perikanan tuna Indonesia tidak lepas dari permasalahan keamanan

pangan tersebut, yaitu berupa penolakan dari negara importir karena tingginya

kadar histamin. Sejarah mencatat bahwa terdapat 4 kasus impor tuna Indonesia

pada tahun 2006 (EC 2007), 7 kasus tahun 2007 yang mengalami penolakan

Rapid Alert System for Food and Feed (RASSF) Uni Eropa (EU 2008). Import

Refusal Report (IRR) juga menunjukkan catatan penolakan produk tuna

Indonesia, yakni sebanyak 8 perusahaan mengalami penolakan karena kasus

histamin sepanjang tahun 2009 (FDA 2010).

Keracunan histamin merupakan isu yang selalu hangat dan terkait dengan

keamanan dan kesehatan pangan masyarakat. Keracunan histamin ditandai dengan

gejala timbulnya ruam, mual, muntah, dan diare (Shalaby 1996), bahkan menjurus

pada kematian. Histamin dikenal sebagai ”scromboid toxin”, karena umumnya

ditimbulkan akibat mengonsumsi ikan-ikan dari famili scombridae, seperti tuna,

mahi-mahi, dan mackerel (Murray et al. 1981; FDA 2004; Barceloux 2008).

2

Keracunan ini timbul karena konsentrasi yang terdapat pada produk pangan

tersebut telah melebihi dosis 200 ppm, dan seringkali terjadi pada konsentrasi

histamin 500 ppm (Lehane & Olley 2000; FDA 2011). Selain itu, mengonsumsi

ikan, sayur, buah, produk fermentasi yang mengandung amin biogenik lainnya,

seperti putresin dan kadaverin dapat pula meningkatkan risiko keracunan (Shalaby

1996; Hungerford 2010). Faktor kerentanan manusia, bobot tubuh, usia

(Barceloux 2008), mengonsumsi lemon atau vinegar, alkohol (Lehane & Olley

1996), obat antihistamin tertentu dan isoniazid (Barceloux 2008), mengidap

histamine intolerance (Hungerford 2010) juga dapat meningkatkan risiko. Oleh

karena itu, dapat disimpulkan bahwa keracunan histamin tidak hanya disebabkan

oleh mengonsumsi ikan dengan histamin tinggi, tetapi juga diperparah oleh faktor

manusia sendiri.

Pembentukan histamin pada produk ikan, terkait langsung dengan

konsentrasi histidin dalam jaringan, jumlah dan jenis bakteri yang mengandung

enzim histamine decarboxylase (hdc) atau bakteri pembentuk histamin, lokasi

daging dan kondisi lingkungan (Lehanne & Olley 1999; Barceloux 2008). Histidin

merupakan asam amino yang dapat didekarboksilasi oleh hdc yang dihasilkan

ikan dan bakteri, menjadi histamin (Keer et al. 2002). Ikan scromboid, tuna

misalnya mengandung histidin tinggi pada jaringan daging yang dapat mencapai

8% - 9% dari total asam amino bebas (Alasalvar et al. 2011). Dengan kata lain,

tingginya kadar histidin sebagai prekursor histamin pada ikan dapat meningkatkan

peluang terbentuknya histamin yang tinggi.

Berbagai jenis bakteri telah disinyalir menghasilkan histamin diantaranya

Morganella morganii, Enterobacter aerogenes, Raoultella planticola, Raoultella

ornithinolytica dan Photobacterium damselae yang dapat menghasilkan lebih dari

1000 ppm histamin. Hafnia alvei, Citrobacter freundi, Vibrio alginolyticus dan

Escherichia coli dapat menghasilkan histamin dengan konsentrasi kurang dari

500 ppm (Taylor & Speckhard 1983; Butler et al. 2010). Selain itu, Morganella

psychrotolerans, Staphylococcus piscifermentans, Bacillus subtilis, dan Bacillus

sp juga merupakan bakteri penghasil histamin (Emborg 2006; Hwang et al. 2010).

Bakteri penghasil hdc berperan penting dalam memproduksi histamin. Menurut

Trilaksani et al. (2009), jumlah bakteri pembentuk histamin sebesar 65,84% dari

3

angka lempeng total (ALT) pada proses pembongkaran tuna di transit. Namun,

produksi histamin tidak selalu berkorelasi dengan jumlah bakteri penghasil

histamin, karena respon dan kemampuan bakteri dalam menghasilkan histamin

bervariasi (Allen 2004).

Kondisi lingkungan, terutama suhu, juga sangat terkait dengan

terbentuknya histamin. Berbagai kajian telah menunjukkan bahwa kadar histamin

cenderung mengalami peningkatan pada kondisi penyimpanan dan penanganan

yang tidak baik terkait dengan suhu (Silva et al. 1998). Hasil penelitian mengenai

suhu optimum dan batas suhu terendah untuk pembentukan histamin sangat

bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin adalah 25 ºC oleh Morganella

morganii dan Proteus vulgaris, tetapi pada suhu 15 ºC histamin masih diproduksi

dalam level yang signifikan pada daging (Kim et al. 2001). Menurut Guizani et al.

(2005), produksi histamin pada suhu 0 ºC sebesar 0,61 mg/kg pada hari ke-17,

pada suhu 8 ºC hari ke-8 produksi histamin meningkat cepat sebanyak

15 mg/100 g. Pembentukan histamin terjadi dengan sangat cepat pada

penyimpanan suhu 20 ºC, yakni naik hingga 10 kali lipat setelah penyimpanan

selama 24 jam sebesar 11,14 mg/100 g tuna. Food and Drug Administration

(FDA 2011) menetapkan batas kritis suhu untuk pembentukan histamin pada

pusat ikan, yakni 4,4 ºC, Indonesia menetapkan suhu pusat ikan tuna juga sebesar

4,4 ºC (BSN 2006a), sedangkan Uni Eropa menentukan suhu pusat ikan tuna,

yakni suhu lebur es atau sekitar 0-2 ºC (EU 2004; Dalgaard 2008).

Amerika Serikat dan Uni Eropa menetapkan suatu regulasi dan kebijakan

pangan khususnya kebijakan tentang histamin dan suhu penanganan ikan tuna

melalui risk analysis, yang dilakukan oleh Center for Food Safety and Applied

Nutrient, Risk Assessment Consortium, dan Joint Institute for Food Safety

Research (JIFSR) dan European Food Safety Authority. Namun tidak demikian

dengan Indonesia, risk analysis belum banyak digunakan dalam pengambilan

keputusan dan perumusan regulasi (Trilaksani et al. 2010). Padahal, ikan tuna

merupakan komoditi ekspor kedua terbesar untuk produk perikanan di Indonesia,

sehingga aturan tentang histamin seharusnya dibuat berdasarkan pendekatan

ilmiah untuk menghindari penolakan barang terkait dengan histamin.

4

Risk analysis merupakan suatu pendekatan berbasis risiko dalam

mengendalikan bahaya kesehatan masyarakat terkait dengan pangan (WHO 2005).

Pelaksanaan risk analysis membutuhkan pendekatan ilmiah untuk mengukur

besarnya risiko dan efeknya. Selain analisis histamin, jenis bakteri pembentuk

histamin juga penting diketahui untuk menghambat bakteri spesifik

pembentuknya serta dalam melakukan pengujian mikrobiologi untuk pangan laut

harus diketahui target bakteri yang diinginkan, sehingga karakterisasi bakteri

tersebut harus diketahui (Dalgaard et al. 2008). Dengan demikian, sebagai acuan

ilmiah untuk melakukan risk analysis terhadap penanganan dan penyimpanan ikan

tuna, penelitian ini penting dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pembentukan histamin pada

bagian tubuh ikan tuna yang berbeda dengan lama penyimpanan dan suhu

penyimpanan standar serta mengidentifikasi bakteri pembentuknya.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp)

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scrombidae, tubuh seperti cerutu,

mempunyai dua sirip punggung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah

dari sirip belakang, mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip

punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip

ekor berbentuk bulan sabit (Saanin 1984). Tuna digunakan sebagai nama grup dari

beberapa jenis ikan yang terdiri dari, tuna besar (yellowfin tuna, bigeye, southern

bluefin tuna, albacore) dan ikan mirip tuna (tuna-like species), yaitu marlin,

sailfish, dan swordfish (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2005). Morfologi

tuna dapat dilihat pada Gambar 1.

Klasifikasi ikan tuna (Saanin 1984 dan FAO 2011) adalah sebagai berikut.

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Teleostei

Subkelas : Actinopterygi

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombridae

Famili : Scombridae

Genus : Thunnus

Spesies : Thunnus obesus (big eye tuna, tuna mata besar)

T. alalunga (albacore, tuna albacore)

T. albacares (yellowfin tuna, madidihang)

T. tonggol (longtail tuna, tuna ekor panjang)

T. macoyii (southern bluefin tuna, tuna sirip biru selatan)

T. thynnus (northern bluefin tuna, tuna sirip biru utara)

T. atlanticus (blackfin tuna, tuna sirip hitam)

6

Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus sp) (Destin Florida Fishing 2005).

Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur

migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perbatasan

perairan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Migrasi kelompok tuna

yang melintasi wilayah perairan pantai dan teritorial terjadi karena perairan

tersebut berhubungan langsung dengan perairan kedua samudera. Kelompok tuna

merupakan jenis kelompok ikan pelagis besar, yang secara komersial dibagi

menjadi kelompok tuna besar dan tuna kecil. Tuna besar terdiri dari tuna mata

besar, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, dan tuna abu-abu, sedangkan

yang termasuk tuna kecil adalah cakalang (KKP 2003).

Penangkapan ikan tuna dilakukan menggunakan kapal purse sein,

longline, dan pole and line. Hasil tangkapan tuna oleh kapal purse sein sebesar

58%, longline 15%, pole and line 14%, gear lainnya (gillnet coastal, handline,

dll) 13%, dan troll <1%. Kapal longline umumnya menangkap tuna mata besar

dan tuna sirip biru yang berumur lebih tua, sedangkan kapal purse sein

menangkap cakalang dan madidihang yang berumur lebih muda, serta sesekali

tuna mata besar (FAO 2004; Gilman & Lundin 2008).

Tuna merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan dan

penampakan eksternal tuna merupakan pertimbangan penting untuk menentukan

nilai jual, sehingga penanganan tuna harus dilakukan dengan hati-hati, cepat, dan

digunakan suhu rendah segera setelah penangkapan. Selain itu, penanganan yang

baik dapat meningkatkan umur simpan dan mempertahankan kesegaran tuna.

Aktivitas penanganan ikan tuna di kapal meliputi membunuh tuna (killing),

membuang darah (bleeding), membuang insang dan jeroan (gilling and gutting),

mencuci (cleaning), dan menyimpan pada suhu rendah (Blanc et al. 2005).

7

2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna (Thunnus sp)

Ikan tuna adalah jenis ikan yang mengandung lemak rendah (kurang dari

5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi gizi ikan tuna

bervariasi tergantung spesies dan bagian-bagian dari tubuh ikan tersebut. Selain

itu, variasi ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: jenis, umur,

musim, laju metabolisme, aktivitas pergerakan, dan tingkat kematangan gonad

(Stansby & Olcott 1963).

Kandungan lemak ikan tuna berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu

dengan yang lainnya, misalnya antara daging merah dengan daging putih

(Stansby & Olcott 1963). Berdasarkan lapisan lemaknya, daging tuna dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu: otoro, chutoro, akami. Otoro dan chutoro merupakan

jenis-jenis toro dengan kadar lemak sekitar 25%. Otoro berwarna merah muda,

merupakan bagian terbaik dan termahal sebagai bahan baku sashimi, kemudian

diikuti oleh chutoro yang berwarna lebih gelap. Bagian daging tuna yang terletak

agak di pusat ikan dan berwarna lebih merah dengan kandungan lemak 14% lebih

rendah disebut akami. Bagian ini memiliki harga paling murah diantara bagian

tubuh ikan tuna yang lainnya.

Ikan tuna tergolong ke dalam ikan dengan protein yang sangat tinggi dan

lemak rendah (Stansby & Olcott 1963). Komposisi kimia tersebut dapat

mengalami perubahan ketika terjadi proses kemunduran mutu. Kemunduran mutu

ikan meliputi perubahan fisik, kimia, dan organoleptik dengan urutan mulai dari

pre-rigor, rigormortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba, oksidasi lemak, dan

hidrolisis (Huss 1995). Komposisi kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi ikan tuna per 100 gram

Komponen Komposisi kimia (%)

Yellow fin Blue fin Skipjack

Air 74,0 ±0,28 70,1 ±1,98 69,9 ±0,71

Protein 23,2 ± 1,34 25,5 ±4,03 26,0 ±0,28

Lemak 2,4 ±1,41 2,1 ±0,92 2 ±0,07

Karbohidrat 1,0 ±1,27 0,9 ±1,13 0,7 ±0,42

Abu 1,3 ±0,14 1,4 ±0,21 1,4 ±0,07

Sumber: Departement of Health, Education and Walfare (1972); Infofish (2002)

8

Tabel 2 Komposisi asam amino ikan tuna per 100 g

Asam amino Kandungan mg/100g

Threonine 1079

Tryptophane 342,5

Valine 1477,5

Histidine 1476,5

Arginine 1487

Alanine 1569,5

Aspartic acid 2260

Glutamic acid 3171

Glysine 971,5

Proline 1088,5

Serine 953,5

Sumber: Departement of Health, Education and Walfare (1972); Kim et al. (2009)

Pre-rigor merupakan peristiwa lepasnya lendir dari kelenjar di bawah kulit

ikan. Keadaan tersebut terjadi pada saat jaringan otot lembut dan lentur, ditandai

dengan menurunnya ATP dan kreatin fosfat. Lendir sebagian besar terdiri dari

glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri.

Lendir membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Jumlah

lendir yang terlepas dapat mencapai 1-2,5% dari bobot tubuh ikan. Pada tahap

pre-rigor, terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat sehingga menurunkan

pH (Eskin 1990).

Rigormortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati.

Rigormortis terjadi pada saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan aktin di

dalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen (Eskin

1990). Lamanya tingkat rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh

ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dan suhu lingkungan

yang rendah akan menunda terjadinya rigor (Huss 1995).

Tahap autolisis dimulai dengan terjadinya pemecahan senyawa penyusun

ikan menjadi senyawa lain dengan berat molekul yang lebih kecil oleh kerja

enzim. Pemecahan penyusunan jaringan akan berakibat pada penurunan sifat

organoleptik, seperti bau, rasa, tekstur, dan terkadang warna (Huss 1986;

Clucas & Ward 1996).

Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigormortis selesai.

Bakteri yang semula hanya berada di insang, jeroan, dan kulit, mulai masuk ke

9

otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi, seperti protein, lemak,

dan karbohidrat menjadi senyawa pembusuk berupa indol, skatol, merkaptan,

amonia, asam sulfida, dan lainnya. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang

terberat dan dianggap paling bertanggung jawab dalam kebusukan ikan

(Huss 1986).

2.3 Histidin dan Histamin

Histidin merupakan asam amino bebas yang terdapat pada daging ikan

merah segar, seperti tuna, cakalang, dan sardin. Secara umum, kandungan histidin

pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis horse mackerel. Japanese

pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6% histidin,

bahkan cakalang, yellowtail, madidihang, daging bluefin tuna mengandung

histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al. 2011). Kandungan histidin bebas

pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya,

sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk

penyimpanan dan penanganan yang salah (Keer et al. 2002).

Menurut Abe et al. (1986), kandungan histidin cakalang lebih banyak

terdapat pada daging putih daripada daging merah. Kandungan histidin pada ikan

yang lelah berenang akan meningkat pada daging putih, sedangkan tetap pada

daging merah. Hal tersebut terkait dengan kemampuan tuna dalam berenang

cepat. Kemampuan tuna berenang cepat didukung dengan peningkatan kapasitas

glikolisis secara anaerob pada daging putih, yang dapat dilihat dari aktivitas

dehidrogenase laktat (Guppy & Hochachka 1978, diacu dalam Abe et al. 1986).

Selama berenang cepat, sejumlah besar laktat, sekitar 100 µmol/g daging

terakumulasi sebagai produk akhir pada daging putih, diikuti dengan produksi

proton, yang menimbukan efek bahaya (Guppy et al. 1979, diacu dalam Abe et al.

1986). Untuk itu dibutuhkan peran penyangga intraseluler, yakni kelompok

imidazol L-histidin, yang berubah menjadi residu histidin pada protein, L-histidin,

dan histidin yang mengandung dipeptida (anserine, carnosine, balenine atau

orphidine) (Crush 1970, diacu dalam Abe et al. 1986).

Histidin pada ikan dapat diubah menjadi histamin oleh enzim histidin

dekarboksilase. Histamin merupakan kelompok dari amin biogenik, yaitu bahan

10

aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam

amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging

merah, keju dan makanan fermentasi (Keer et al. 2002). Amin biogenik adalah

basa organik dengan bobot molekul rendah yang secara normal dapat membantu

fungsi fisiologis tubuh, seperti pH dan volume lambung, aktivitas otak,

pengaturan suhu tubuh, dan pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan alergi

(Allen 2004). Histamin disebut juga sebagai scrombotoksin.

Histamin adalah salah satu penyebab paling signifikan dari foodborne

illness yang terkait dengan pangan laut, walaupun terkadang terjadi kesalahan

diagnosis sebagai infeksi Salmonella spp. Histamin terbentuk pada ikan

rusak/busuk oleh bakteri tertentu yang memiliki enzim histidin dekarboksilase

(Frank et al. 1981), sehingga dapat mendekarboksilasi asam amino histidin.

Walaupun bakteri tersebut secara normal terdapat pada flora mikroba ikan hidup,

sebagian besar berasal dari kontaminasi pasca penangkapan pada kapal, industri

pengolahan, atau distribusi (Lehane & Olley 2000). Proses dekarboksilasi histidin

menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 2. Satuan kadar histamin dalam

daging ikan dapat dinyatakan dalam mg/100g atau ppm (mg/kg). Uni Eropa

menentukan satuan standar histamin yang dinyatakan dalam mg/kg

(Etienne 2005a).

Gambar 2 Proses dekarboksilasi histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002).

Laporan mengenai suhu optimum dan batas suhu terendah untuk

pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin

adalah pada suhu 25 ºC oleh Morganella morganii dan Proteus vulgaris, tetapi

pada suhu 15 ºC histamin masih diproduksi dalam level yang signifikan pada

daging (Kim et al. 2001). Menurut Fletcher et al. (1995) pembentukan histamin

pada suhu 0–5 ºC sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian

11

Price et al. (1991) menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat

pada suhu 0 C atau lebih rendah. Menurut Craven et al. (2000), pada suhu 4,4 ºC

dengan es curai terbentuk histamin sebanyak 0,5-1,5 mg/100g ikan. Konsentrasi

tersebut memenuhi aturan FDA, yakni tidak melampaui 5 mg/100 g. Oleh karena

itu, FDA menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada ikan

sebesar 4,4 ºC (FDA 2011).

Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada Tabel 3.

FDA mengatur tentang kadar maksimum histamin, yakni tidak melebihi 50 ppm

(FDA 2002), sedangkan peraturan dari EC menyatakan bahwa histamin yang

dianalisis dari 9 sampel pada masing-masing batch, memiliki rataan tidak

melebihi 100 ppm, dan tidak ada sampel yang melebihi 200 ppm (EU 2005).

Pembentukan histamin pada produk ikan, terkait langsung dengan

konsentrasi histidin dalam jaringan, jumlah dan jenis bakteri yang mengandung

enzim histamine decarboxylase (hdc) atau bakteri pembentuk histamin, lokasi

daging dan kondisi lingkungan (Lehanne & Olley 1999; Barceloux 2008).

Tabel 3 Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan

Kadar histamin per 100 g Tingkatan bahaya

< 5 mg

5-20 mg

20-100 mg

> 100 mg

Aman dikonsumsi

Kemungkinan toksik

Berpeluang toksik

Toksik Sumber: Shalaby (1996), diacu dalam Sumner et al. (2004)

2.4 Bakteri Pembentuk Histamin

Mikroorganisme ditemukan di seluruh permukaan tubuh (kulit dan insang)

serta di dalam usus pada ikan hidup dan ikan yang baru ditangkap. Flora bakteri

pada ikan yang baru ditangkap lebih bergantung pada lingkungan ikan tersebut

dibandingkan dengan spesies ikan. Ikan yang ditangkap di perairan sangat dingin

dan tidak tercemar mengandung sejumlah kecil flora bakteri, sebaliknya ikan yang

ditangkap di perairan hangat mengandung flora bakteri sedikit lebih banyak dan

ikan yang ditangkap di perairan hangat dan tercemar mengandung sejumlah besar

flora bakteri, yakni 107 cfu/cm

2 (Huss 1995).

Pembentukan histamin terjadi selama penanganan ikan yakni pada proses

thawing oleh bakteri psikotropik karena proses tersebut membutuhkan waktu yang

12

lama. Selain itu, bila jeroan tidak dikeluarkan sebelum pembekuan, beberapa jenis

bakteri di usus berperan dalam dekomposisi dan akumulasi histamin (Frank &

Yoshinaga 1987).

Histamin diproduksi oleh mikroorganisme tertentu yang mengandung

enzim hdc. Banyak jenis bakteri yang dapat menghasilkan histamin, tetapi

penghasil utama histamin pada ikan adalah bakteri Gram negatif jenis enterik

mesofilik dan bakteri laut (Middlebrooks et al. 1988; Butler et al. 2010).

Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada otot, insang, dan

isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri

tersebut karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme.

Bakteri akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan.

Penyebaran bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling)

dan penyiangan (gutting) (Sumner et al. 2004). Pertumbuhan bakteri pembentuk

histamin berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 ºC) daripada

temperatur rendah (7,2 ºC) (FDA 2011).

Kung et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat lima jenis bakteri

ditemukan pada tuna sandwiche yang dapat menghasilkan 42,1-595,4 ppm

histamin dalam media trypticase soy broth dengan 1% L-histidin (TSBH), yakni

Hafnia alvei, Raoultella ornithinolytica dan Raoultella planticola. Hafnia alvei

diidentifikasi sebagai pembentuk histamin yang lemah, sedangkan Raoultella

ornithinolytica dan Raoultella planticola dapat menghasilkan histamin lebih dari

500 ppm dalam media TSBH. Taylor & Speckhard (1983) menemukan Proteus

morganii dari media TSA dan NA dan Citrobacter freundii dari media TSA pada

insang skipjack tuna beku.

Histamin dihasilkan oleh berbagai jenis bakteri, penghasil utama histamin

adalah bakteri Gram negatif mesofil, yakni Morganella morganii, Enterobacter

aerogenes, Raoultella planticola, Raoultella ornithinolytica dan Photobacterium

damselae yang dapat menghasilkan lebih dari 1000 ppm histamin dalam kaldu

ketika dikultur dalam kondisi optimal. Hafnia alvei, Citrobacter freundi, Vibrio

alginolyticus dan Escherichia coli adalah penghasil histamin yang rendah dengan

konsentrasi kurang dari 500 ppm di bawah kondisi kultur yang sama

(Butler et al. 2010).

13

2.5 Standar, Regulasi Teknis, dan Risk Assessment

Berdasarkan PP RI nomor 15 tahun 1991 tentang SNI, standar adalah

spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus

semua pihak terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan,

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan

masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-

besarnya (Departemen Perindustrian 1992).

Standar dalam pelayanan publik bermanfaat untuk mengurangi variasi

proses, sehingga meningkatkan konsistensi pelayanan publik, mengurangi

terjadinya kesalahan, meningkatkan efisiensi pelayanan, dan memudahkan

petugas dalam memberikan pelayanan. Pelaksanaan standar tidak bersifat wajib

(World Trade Organisation WTO 2003). Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah

satu-satunya standar yang berlaku secara nasional di Indonesia. SNI dirumuskan

oleh Panitia Teknis dan ditetapkan oleh BSN. Agar SNI memperoleh

keberterimaan yang luas antara para stakeholder, maka SNI dirumuskan dengan

memenuhi WTO Code of good practice, yaitu: terbuka, transparan, konsensus dan

tidak memihak, efektif dan relevan, koheren, dan berdimensi pembangunan

(BSN 2011).

Berdasarkan Annex I perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT),

regulasi teknis merupakan suatu dokumen yang ditetapkan berdasarkan

karakteristik produk atau proses yang terkait dan cara produksi, termasuk

ketentuan administrasi aplikatif yang pemberlakuannya bersifat wajib. Regulasi

teknis juga berisi tentang terminologi, simbol atau label yang dibutuhkan untuk

produk, proses atau cara produksi (WTO 2003). Oleh karena suatu regulasi teknis

mencakup persyaratan yang mengikat, maka penetapannya harus memenuhi

sejumlah kaidah sebagai berikut (BSN 2003).

a. tujuan dari regulasi tersebut dapat dimengerti oleh pihak-pihak yang

terikat;

b. regulasi teknis tersebut dapat diberlakukan kepada semua pihak yang

terikat tanpa diskriminasi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif

bagi perkembangan iklim usaha yang kompetitif dan persaingan yang

sehat;

14

c. semua ketentuan yang dipersyaratkan dapat dipenuhi oleh pihak yang

terikat olehnya dalam kurun waktu yang wajar;

d. penetapan regulasi teknis memberi tenggang waktu yang cukup sebelum

diberlakukan secara efektif, agar pihak yang terikat olehnya dapat

mempersiapkan penerapannya;

e. regulasi teknis yang telah berlaku secara efektif dapat ditegakkan, baik

melalui penyediaan prasarana yang memadai untuk memfasilitasi pihak-

pihak yang mematuhi semua ketentuan yang diatur maupun melalui

pengawasan pasar untuk mengkoreksi dan/atau menindak pihak-pihak

yang tidak mematuhinya;

f. regulasi teknis ditetapkan oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk

melaksanakan koreksi dan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak

mematuhi regulasi tersebut.

Risk analysis merupakan suatu pendekatan berbasis risiko dalam

mengendalikan bahaya kesehatan masyarakat terkait dengan pangan (WHO 2005).

Risk analysis terdiri dari tiga komponen, yakni risk assessment, risk management,

dan risk communication. Risk assessment adalah karakterisasi potensial risiko

bahaya menggunakan pendekatan ilmiah, termasuk perkiraan besarnya risiko dan

efek dari hasil yang ada. Risk management merupakan proses mempertimbangkan

alternatif kebijakan yang sesuai dan dapat diterapkan berdasarkan hasil risk

assessment, sehingga dapat mengendalikan potensi bahaya. Risk communication

merupakan proses interaksi berupa diskusi dan pertukaran informasi antara pihak-

pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengawasan keamanan pangan untuk

memastikan pelaksanaan kebijakan dan konsep keamanan pangan berjalan dengan

baik dan benar.

Aplikasi risk assessment terdiri dari empat komponen, yakni identifikasi

bahaya (hazard identification), penilaian paparan (exposure assessment),

karakterisasi bahaya (hazard characterization), dan karakterisasi risiko (risk

characterization) (Sumner et al. 2004).

a. Identifikasi bahaya, merupakan identifikasi agen biologi, kimia, dan fisik

yang memiliki efek merugikan terhadap kesehatan bila terdapat dalam

15

makanan. Proses ini merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari

sumber bahaya, misalnya: bahaya histamin pada ikan scromboid.

b. Penilaian paparan, merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif dari

kemungkinan adanya agen biologi, kimia, dan fisik yang masuk melalui

makanan. Pada tahap ini diperlukan data konsumsi makanan yang

berpotensi bahaya dan tingkat kontaminasi dari mikroorganisme atau

toksin pada saat konsumsi.

c. Karakterisasi bahaya, merupakan evaluasi kualitatif dan atau kuantitatif

dari efek yang merugikan kesehatan dalam hubungannya dengan agen

biologi, kimia, dan fisik yang mungkin terdapat dalam makanan. Dua

faktor penting dalam tahap ini adalah gambaran efek bahaya dan dosis

yang dapat diterima.

d. Karakterisasi risiko, merupakan proses penentuan secara kualitatif dan

atau kuantitatif yang mencakup ketidakpastian, kemungkinan kejadian,

dan keparahan dari potensi yang merugikan kesehatan yang diketahui

dalam suatu populasi yang ditentukan berdasarkan identifikasi bahaya,

penilaian paparan, dan karakterisasi bahaya.

16

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus

2011, bertempat di PT Z, Jakarta Utara, Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan

Hasil Perikanan dan Kelautan (BPMPHPK) DKI Jakarta, dan Laboratorium

Mikrobiologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging ikan tuna

segar (Thunnus sp) pada bagian ekor dan perut, yang ditangani sesuai dengan

penanganan bahan baku perusahaan terkait (Lampiran 1). Bahan untuk membawa

ikan tuna dari PT Z ke laboratorium adalah sterofoam, selotip putih, dan plastik

polypropylene steril. Bahan untuk pengujian kadar histamin meliputi metanol,

glass wool, HCl 1 N, NaOH 1 N, HCl 0,1 N, orto-ptalatdikarbosildehid (OPT)

0,1%, H3PO4 3,57 N, resin penukar ion, dan histamin dihidroklorida. Pengujian

total volatile base (TVB) membutuhkan bahan berupa asam perklorat 6%, NaOH

20%, H3BO4 3%, HCl 0,02 N. Pengujian angka lempeng total (ALT)

membutuhkan plate count agar dan larutan butterfield’s phosphate buffered.

Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin membutuhkan larutan butterfield’s

phosphate buffered dan larutan agar Niven yang terdiri dari: 0,1% trypton, 0,2%

yeast exstract, 1,8% L-histidin, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,5% agar, dan 0,003%

phenol red. Isolasi bakteri membutuhkan bahan berupa media Niven, Trypticase

Soy Agar (TSA) dan Trypticase Soy Broth Histidine (TSBH). Karakterisasi

bakteri, yakni pewarnaan Gram membutuhkan kristal violet, iodin, safranin,

minyak imersi, alkohol 95%; Uji motilitas membutuhkan agar semi solid; Uji

oksidase membutuhkan kertas oxidase test strip; Uji katalase membutuhkan 3%

H2O2. Identifikasi bakteri membutuhkan API kit 20 E dan API kit 20 NE beserta

reagen.

Alat penyimpanan sampel pada suhu 4-5 ºC berupa lemari pendingin

dengan temperature display bermerk Vwr Refrigerator Chrom 45.5CF VCR445D

dengan rentang suhu 1 ºC - 8 ºC, dengan setting suhu 4 ºC - 5 ºC, sedangkan alat

17

penyimpanan sampel pada suhu -2-1 ºC berupa lemari pendingin dengan

temperature display bermerk Vwr/ Shel lab 5216 dengan rentang suhu -60 ºC - 8

ºC, dengan setting suhu -2 ºC - 1 ºC. Alat yang dibutuhkan untuk pengujian kadar

histamin adalah kolom resin dan instrumen spektroflorometer Cary Eclipse

FLO811M007 detektor floresens dan waterbath. Alat yang dibutuhkan untuk

pengujian TVB adalah alat destilasi uap dan timbangan analitik dengan ketelitian

10-4

gram. Alat pengujian ALT dan analisis jumlah bakteri pembentuk histamin

yang dibutuhkan adalah timbangan analitik, homogenizer, cawan petri, inkubator,

alat penghitung koloni (acolyte) serta pH meter. Isolasi bakteri membutuhkan

pipet 0,1 ml, cawan petri, dan inkubator. Alat yang dibutuhkan untuk karakterisasi

bakteri adalah kaca objek dan mikroskop cahaya merek Olympus untuk

pengamatan morfologi koloni dan bentuk sel; pewarnaan Gram membutuhkan

mikroskop cahaya; uji motilitas membutuhkan inkubator; uji oksidase

membutuhkan ose dan stopwatch; uji katalase membutuhkan ose dan pipet tetes.

Identifikasi bakteri membutuhkan alat berupa inkubator, nephelometer, dan

apiwebTM

identification software (Ref. 40 011).

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu: (1) preparasi sampel;

(2) penyimpanan sampel; (3) analisis kimia dan mikrobiologi, yakni analisis kadar

histamin, analisis kadar Total Volatile Base (TVB), analisis Angka Lempeng

Total (ALT), dan bakteri pembentuk histamin (BPH); serta (4) isolasi,

karakterisasi, dan identifikasi bakteri.

3.3.1 Preparasi sampel

Sampel merupakan daging ikan tuna (Thunnus sp) segar yang diperoleh

dari PT Z. Daging tuna yang digunakan meliputi daging bagian ekor dan perut

(Frank et al. 1981). Pengkodean sampel dilakukan dengan memberikan tanda

sesuai dengan ketentuan yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Teknik preparasi yang dilakukan meliputi penerimaan, pencucian,

penyimpanan sementara, pemotongan kepala dan sirip, serta pembentukan loin

(Lampiran 1). Teknik tersebut mengacu pada SNI 01-4104.3-2006 tentang tuna

loin beku (BSN 2006b). Daging tuna yang digunakan meliputi daging bagian ekor

18

dan perut dari produk tuna loin, dengan daging pada bagian perut yang tidak

dilakukan proses pemotongan (Frank et al. 1981). Hal tersebut dilakukan karena

PT Z melakukan proses pemisahan pada penjualan loin dan daging perut. Proses

preparasi sampel dilakukan dengan memperhatikan sanitasi peralatan dan

higienitas manusia (BSN 2006a), yang dilakukan oleh pihak PT Z.

Perut Ekor

Gambar 3 Lokasi bagian daging yang digunakan dalam penelitian.

Seluruh sampel selanjutnya dibawa dengan segera dari PT Z ke

laboratorium menggunakan sterofoam dengan lama perjalanan 10 menit. Selama

transportasi, sampel dalam sterofoam diberikan es curai mengacu kepada

Widiastuti (2008).

3.3.2 Penyimpanan sampel

Sampel yang diperoleh dari perusahaan, ditimbang dan dicacah hingga

halus. Namun, sampel analisis mikrobiologi tidak dicacah. Proses tersebut

dilakukan dengan memperhatikan higienitas dan sanitasi, yakni selalu

menggunakan api bunsen, alkohol, masker, dan sarung tangan. Sampel kemudian

dibungkus dengan plastik polypropylene steril. Sampel selanjutnya disimpan

dalam ruang pendingin (BSN 2006a). Suhu ruang penyimpanan yang digunakan

adalah -2-1 ºC untuk penyimpanan suhu -2-1 ºC , mengacu ketentuan EC (2004)

dan Dalgaard (2008) serta 4-5 ºC untuk penyimpanan suhu 4-5 ºC , mengacu

ketentuan FDA (2001). Lama penyimpanan sampel dilakukan selama 0, 2, dan 7

hari berdasarkan FDA (2009) dan ketentuan PT Z.

3.3.3 Analisis kimia dan mikrobiologi

Tingkat kemunduran mutu sampel diketahui dengan melakukan analisis

kimia dan mikrobiologi, yang meliputi analisis kadar histamin (SNI

2354.10:2009), analisis kadar Total Volatile Base (TVB) (SNI 2354.8:2009),

19

analisis Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 01-2332.3-2006) dan analisis jumlah

bakteri pembentuk histamin (BPH) (modifikasi Niven et al. 1981). Analisis

tersebut dilakukan dengan pengulangan sebanyak tiga kali dan duplo. Model tabel

analisis penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Model tabel data analisis

Lama

penyimpanan

Lokasi daging

Perut Ekor

Suhu penyimpanan (°C)

4-5 -2-1 4-5 -2-1

0 hari

2 hari

7 hari

3.3.4 Isolasi, karakterisasi, dan identifikasi bakteri

Jenis bakteri yang berperan dalam memproduksi histamin diketahui

dengan isolasi bakteri (Hwang et al. 2010), karakterisasi bakteri yang terdiri dari

uji morfologi koloni, morfologi sel, yakni bentuk sel, pewarnaan Gram, uji

motilitas, uji oksidase, uji katalase (Tiwari et al. 2009), dan identifikasi bakteri

(bioMérieux 2006a; bioMérieux 2006

b).

3.4 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok

(RAK) faktorial. Penggunaan RAK faktorial disebabkan karena sampel yang

digunakan pada setiap ulangan berasal dari ikan tuna dari hasil tangkapan yang

berbeda. RAK faktorial sangat baik digunakan jika keheterogenan unit percobaan

berasal dari satu sumber keragaman (Mattjik & Sumertajaya 2002), dalam hal ini

adalah tuna pada masing-masing ulangan. Faktor yang digunakan meliputi lokasi

daging, suhu penyimpanan dan lama penyimpanan. Lokasi daging terdiri dari ekor

dan perut. Suhu penyimpanan adalah -2-1 ºC dan 4-5 ºC, serta lama penyimpanan

adalah 0, 2, dan 7 hari. Pengujian dilakukan dengan ulangan sebanyak tiga kali.

Model untuk RAK faktorial adalah (Steel & Torrie 1983)

20

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + þk + εijk

Keterangan:

Y jk : hasil pengamatan untuk faktor A taraf ke- i, faktor B taraf ke- j pada

kelompok ke- k

μ : nilai tengah populasi

αi : pengaruh faktor A pada taraf ke- i

βj : pengaruh faktor B pada taraf ke- j

(αβ)ij : pengaruh interaksi AB pada taraf ke-i (dari faktor A), dan taraf ke-j (dari

faktor B )

þk : pengaruh taraf ke k dari faktor kelompok

εijk : pengaruh acak (galat percobaan) pada taraf ke-i (faktor A), taraf ke-j

(faktor B), interaksi AB yang ke- i dan ke- j

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis ragam dengan bantuan program

SAS 9.1. Bila hasil perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan

uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan yang memberikan perbedaan yang

nyata terhadap respon yang dianalisis. Model uji Duncan adalah sebagai berikut.

Se = √(KTG/n)

Keterangan:

Se : uji Duncan

KTG : KT galat

n : jumlah sampel

3.5 Prosedur Pengujian Sampel

Prosedur kerja analisis dalam pengujian sampel pada penelitian ini, terdiri

dari analisis kadar histamin, kadar Total Volatile Base (TVB), Angka Lempeng

Total (ALT), analisis jumlah bakteri pembentuk histamin, isolasi, karakterisasi,

dan identifikasi bakteri.

3.5.1 Analisis kadar histamin (SNI 2354.10:2009)

Analisis kadar histamin dilakukan dengan menggunakan

spektroflorometri, yang didasarkan pada pengukuran fluorosensi. Prinsip metode

tersebut adalah histamin diekstrak dari jaringan daging sampel (BSN 2009a).

Prosedur analisis kadar histamin, yakni sampel diblender hingga homogen,

kemudian ditimbang sebanyak 10±0,1 gram dalam beaker glass 250 ml dan

ditambahkan 50 ml metanol. Sampel dalam keadaan tertutup dipanaskan di dalam

waterbath selama 15 menit pada suhu 60 ºC dan didinginkan dalam suhu kamar.

Sampel tersebut dituang ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan hingga tanda

tera dengan metanol. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan kertas

21

saring dan filtrat ditampung dalam botol contoh. Filtrat dapat disimpan dalam

refrigerator.

Glass wool yang telah diberi aquades dimasukkan ke dalam kolom resin

setinggi 1,5 cm. Resin netral dalam medium air dimasukkan ke kolom resin

setinggi 8 cm dengan volume air di atas resin setinggi 1 cm. Labu takar 50 ml

yang berisi 5 ml HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin untuk menampung

elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin.

Filtrat contoh sebanyak 1 ml dipipet ke dalam kolom resin, kran kolom

resin dalam posisi terbuka dan hasil elusi dibiarkan menetes lalu ditampung dalam

labu takar 50 ml. Aquades ditambahkan pada saat tinggi cairan 1 cm di atas resin

dan cairan dibiarkan terelusi. Prosedur tersebut diulangi hingga hasil elusi dalam

labu takar tepat 50 ml. Hasil elusi dapat disimpan dalam refrigerator.

Tiga tabung reaksi 50 ml disiapkan untuk sampel, standar, dan blanko.

Filtrat sampel, larutan standar kerja, dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet masing-

masing sebanyak 5 ml. Ke dalam tabung reaksi tersebut berturut-turut

ditambahkan 10 ml HCl 0,1 N dan diaduk; 3 ml NaOH 1 N dan diaduk, kemudian

didiamkan selama 5 menit; 1 ml OPT 0,1% lalu diaduk dan didiamkan selama 4

menit; 3 ml H3PO4 3,57 N dan diaduk. Pengukuran flourescene dilakukan

terhadap sampel, standar, dan blanko sesegera mungkin dengan alat

spektroflorometri pada panjang gelombang eksitasi 350 nm dan emisi 444 nm

dalam waktu 90 menit.

y = a + bx

Keterangan:

y : fluoresensi contoh

a : intersep

b : kemiringan

x : konsentrasi contoh

Konsentrasi histamin (µg/g) = x . (volume akhir (ml). faktor pengenceran)

gram sampel

3.5.2 Analisis kadar Total Volatile Base (TVB) (SNI 2354.8:2009)

Total volatile base (TVB) merupakan jumlah basa nitrogen yang mudah

menguap. Analisis ini bertujuan untuk menentukan jumlah kandungan senyawa

basa volatil yang terbentuk akibat degradasi protein. Prinsip analisis TVB adalah

22

sampel diekstraksi menggunakan larutan asam perklorat (HClO4) 6%. Ekstrak

dibasakan dengan penambahan larutan NaOH 20% kemudian didestilasi uap,

destilat ditampung dalam larutan H3BO3 3%. Konsentrasi TVB-N dalam destilat

ditentukan dengan cara titrasi menggunakan larutan HCl 0,02 N (BSN 2009b).

Analisis kadar TVB dilakukan dengan tahapan ekstraksi, destilasi, titrasi,

dan perhitungan kadar TVB. Sampel ditimbang sebanyak 10 gram ± 0,1 gram

dengan menggunakan beaker glass. Ke dalam sampel ditambahkan 90 ml asam

perklorat (PCA) 6%, kemudian dihomogenkan dengan homogenizer selama 2

menit dan disaring dengan kertas saring kasar. Ekstrak dapat disimpan paling

lama satu minggu pada suhu 2 ºC – 6 ºC.

Ekstrak sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam tabung destilasi dan

ditambahkan dengan 3 tetes indikator fenolftalein. Tabung destilasi dipasang pada

peralatan destilasi uap dan ditambahkan 10 ml NaOH 20% (pada tahap ini

campuran berwarna merah). Penampung erlenmeyer berisi 100 ml H3BO4 3% dan

3-5 tetes indikator tashiro disiapkan (larutan berwarna ungu). Destilasi uap

dilakukan selama 10 menit hingga mempeoleh destilat 100 ml, sehingga terdapat

volume akhir sebanyak 200 ml larutan berwarna hijau. Destilasi larutan blanko

sama dengan sampel, tetapi mengganti ekstrak contoh dengan 50 ml PCA 6%.

Titrasi destilat contoh dan blanko dilakukan dengan menggunakan larutan

HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya kembali warna ungu

pada cairan yang sama dengan warna blanko yang telah didestilasi.

Kadar TVB-N (mg/100g) =

Keterangan:

Ar N : 14.007

Faktor pengenceran : 2

3.5.3 Analisis Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 01-2332.3-2006)

Angka lempeng total merupakan jumlah mikroorganisme hidup yang

membutuhkan oksigen yang terdapat dalam suatu produk yang diuji. Pengujian ini

bertujuan untuk mengetahui jumlah total bakteri aerob pada sampel. Prinsip kerja

analisis ALT adalah pertumbuhan mikroorganisme setelah contoh diinkubasi

23

dalam media agar pada suhu 35 ºC selama 48 jam, maka mikroorganisme tersebut

akan tumbuh berkembang biak dengan membentuk koloni yang dapat langsung

dihitung (BSN 2006c).

Sampel ditimbang secara aseptik sebanyak 25 gram dan ditambahkan

225 ml larutan butterfield’s phospate buffered, kemudian dihomogenkan selama 2

menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1

. Dengan menggunakan

pipet steril, diambil 1 ml homogenat dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml

larutan butterfield’s phospate buffered sehingga diperoleh contoh dengan

pengenceran 10-2

. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25

kali, kemudian dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-3

, 10-4

, 10-5

, dan

seterusnya sesuai kondisi sampel. Selanjutnya untuk metode cawan tuang (pour

plate method), dipipet sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dan dimasukkan ke

dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet steril. Ke dalam masing-

masing cawan yang sudah berisi sampel, ditambahkan 12-15 ml media Plate

Count Agar (PCA) yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu 45 ºC. Setelah

agar menjadi padat, cawan petri yang telah berisi agar dan larutan sampel tersebut

dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu

35 ºC. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni

bakteri yang ada di dalam cawan petri menggunakan alat penghitung koloni.

Jumlah koloni yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri

antara 25-250 koloni.

3.5.4 Analisis jumlah bakteri pembentuk histamin (modifikasi Niven et al.

1981)

Analisis bakteri pembentuk histamin dilakukan untuk mengetahui jenis

bakteri yang berperan dalam pembentukan histamin. Prinsip dari analisis bakteri

pembentuk histamin adalah Enterobactericeae akan mengubah histidin menjadi

histamin melalui proses dekarboksilasi yang akan menaikkan pH dan mengubah

warna pada media (Niven et al. 1981).

Media modifikasi Niven agar dipersiapkan dengan cara mencampurkan

0,1% trypton, 0,2% yeast extract, 1,8% L-histidin, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl,

2,5% agar, dan 0,003% phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer

dan diencerkan menggunakan aquades hingga 1000 ml. Selanjutnya dipanaskan

24

hingga mendidih dan diatur pH 6 kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf

pada suhu 121 ºC selama 15 menit.

Sampel sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml

larutan butterfield’s phospate buffered steril, kemudian diblender hingga larutan

homogen. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1

. Dari campuran

tersebut kemudian diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 ml

larutan butterfield’s phospate buffered sehingga diperoleh contoh dengan

pengenceran 10-2

, kemudian dikocok hingga homogen. Pengenceran dilakukan

hingga 10-4

. Satu ml larutan sampel di setiap pengenceran dimasukkan ke dalam

cawan petri, lalu 12-15 ml media Niven bersuhu 45 ºC dituangkan ke dalam

cawan berisi sampel. Setelah media Niven memadat, cawan petri dimasukkan

dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 35 ºC.

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni dengan pink halo

hingga purpe halo yang merupakan koloni bakteri pembentuk histamin.

3.5.5 Isolasi bakteri (modifikasi Niven et al. 1981; Kung et al. 2009; Hwang et

al. 2010)

Isolasi dan pemurnian bakteri bertujuan memperoleh isolat bakteri murni

dari sampel, sehingga dapat dilakukan karakterisasi dan identifikasi bakteri yang

diperoleh. Isolasi bakteri yang dilakukan menggunakan metode gores kuadran,

yaitu menggoreskan larutan sampel beberapa kali menggunakan lup inokulasi di

permukaan media kultur.

Larutan sampel dari setiap pengenceran untuk analisis jumlah bakteri

pembentuk histamin atau ALT dipipet sebanyak 0,1 ml dan dituang ke media

Niven lalu diinkubasi selama 4 hari pada suhu 35 ºC. Koloni berwarna biru atau

ungu digoreskan pada media trypticase soy agar (TSA) untuk memperoleh kultur

murni. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah.

Isolat bakteri dikatakan murni jika diperoleh bentuk sel dan morfologi koloni

yang seragam.

3.5.6 Karakterisasi bakteri (Tiwari et al. 2009)

Karakterisasi bakteri meliputi pengujian terhadap morfologi koloni dan sel

bakteri serta sifat fisiologis isolat murni yang diperoleh. Sebelum karakterisasi

bakteri dilakukan, penting dilakukan pengujian kemampuan bakteri menghasilkan

25

histamin. Pengujian tersebut bertujuan untuk meyakinkan bahwa isolat bakteri

yang dimiliki merupakan BPH.

Kultur murni ditumbuhkan dalam 10 ml trypticase soy broth (TSB) yang

ditambahkan 1% L-histidin atau disebut sebagai media trypticase soy broth

histidine (TSBH), kemudian diinkubasi pada suhu 35 ºC selama 24 jam. Biakan

tersebut digunakan untuk pengujian kadar histamin yang dihasilkan bakteri sesuai

BSN (2009a).

3.5.6.1 Morfologi koloni

Pengamatan morfologi koloni bertujuan mengetahui bentuk koloni dari

atas, bentuk tepi, bentuk elevasi, dan warna koloni secara visual (Lampiran 2).

3.5.6.2 Morfologi sel (Tiwari et al. 2009)

Pengamatan morfologi sel meliputi pewarnaan gram dan uji motilitas.

Pewarnaan gram merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk

mengidentifikasi bakteri berdasarkan perbedaan warna karena perbedaan

komposisi kimia dan fisika dinding sel bakteri.

Pewarnaan gram diawali dengan mengolesi inokulum yang berumur 24

jam pada kaca objek dan difiksasi di atas api hingga kering. Kaca objek ditetesi

larutan kristal violet dan didiamkan selama 1 menit. Larutan kristal violet dibuang

dengan memiringkan kaca objek dan dibilas dengan aquades lalu dikeringkan

dengan tisu. Selanjutnya kaca objek digenangi dengan larutan iodin selama 1

menit dan dibilas dengan alkohol 95% selama 15 detik, kemudian ditetesi dengan

safranin selama 45 detik dan dibilas dengan aquades serta dikeringkan dengan

tisu. Saat pengamatan dengan mikroskop, kaca objek ditetesi minyak imersi.

Mikroskop di-setting memiliki perbesaran lensa objek 100 kali dan perbesaran

lensa okuler 10 kali. Bila terbentuk warna merah muda, menandakan bakteri

Gram negatif, sedangkan bila terbentuk warna ungu, menandakan bakteri Gram

positif.

Bentuk sel dari preparat bakteri juga dapat diamati melalui pewarnaan

gram. Sel bakteri yang berbentuk seperti bola atau elips dinamakan kokus. Sel

bakteri yang berbentuk silindris atau batang dinamakan basilus. Bakteri berbentuk

spiral atau spirilum terurtama dijumpai sebagai individu sel yang tidak saling

melekat (Pelczar dan Chan 1986) (Lampiran 3).

26

Uji motilitas dilakukan dengan cara menusukkan isolat bakteri ke dalam

media semisolid agar dengan jarum ose tusuk steril, kemudian diinkubasi selama

semalam pada suhu 37 ºC. Bila pertumbuhan bakteri menyebar, maka bakteri

tersebut motil dan bila pertumbuhan bakteri tidak menyebar atau hanya berupa

segaris mengikuti arah tusukan, maka bakteri non motil.

3.5.6.3 Uji sifat fisiologis (Tiwari et al. 2009)

Uji sifat fisiologis meliputi uji oksidase dan uji katalase. Sebanyak satu

ose koloni bakteri digoreskan pada kertas Oxidase Test Strip untuk pengujian

oksidase. Perubahan warna yang terjadi pada tes strip diamati setelah 10-15 detik.

Bila terjadi perubahan warna menjadi biru violet menandakan oksidase positif dan

bakteri termasuk bakteri non enterik, sedangkan bila tidak terjadi perubahan

warna menandakan oksidase negatif dan bakteri termasuk bakteri enterik.

Uji katalase dilakukan dengan cara satu ose koloni bakteri dioleskan pada

kaca objek kering dan diteteskan 2-3 tetes 3% H2O2. Bila terbentuk gelembung

udara, maka bakteri dinyatakan katalase positif. Bakteri aerob memberikan reaksi

positif, sebaliknya pada bakteri anaerob.

3.5.7 Identifikasi bakteri (bioMérieux 2006)

Identifikasi bakteri dilakukan dengan menggunakan analytical profile

index (API). API terdiri dari beberapa jenis dan bersifat spesifik terhadap

karakteristik bakteri yang akan diidentifikasi. Skema pemilihan API untuk bakteri

Gram negatif, berbentuk batang dan tidak rewel (non fastidious) dapat dilihat pada

Gambar 4.

Identifikasi bakteri yang bersifat Gram negatif, tidak rewel, dan oksidase

positif dilakukan menggunakan API kit 20 NE dengan tahapan sebagai berikut

(bioMérieux 2006a).

1. Bakteri dengan koloni murni yang akan diuji disegarkan terlebih dahulu

selama 18-24 jam.

2. Bakteri kemudian dilarutkan dalam garam fisiologis (0,85%) sebanyak

6 ml dan dihomogenisasi, kemudian kekeruhan larutan diukur

menggunakan nephelometer. Kekeruhan larutan sebesar 0,5 Mc Farland.

27

3. Sebanyak 0,2 ml larutan bakteri murni dihomogenkan dengan media API

AUX.

4. Larutan media tersebut dipipet ke dalam cupules (sumur) API 20 NE

menggunakan jarum suntik.

5. Cupules yangbertanda dipipet hingga penuh, yakni cupules GLU, ARA,

MNE, MAN, NAG, MAL,GNT, CAP, ADI, MLT, CIT, dan PAC.

6. Cupules NO3, TRP, GLU, ADH, URE, ESC, GEL, dan PNPG dipipet

hanya sampai setengah bagian cupules.

7. Cupules GLU, ADH, dan URE ditambahkan dengan minyak mineral.

8. Hasil dibaca setelah inkubasi selama 24±2 jam pada suhu 29±2 ºC.

9. Setelah inkubasi 24 jam, reagen James ditambahkan sebanyak 1 tetes pada

cupules TRP dan hasil dapat dibaca langsung. Reagen Nit 1 dan Nit 2

ditambahkan pada cupules NO3.

10. Hasil perubahan warna dituliskan pada kertas hasil, kemudian kode angka

yang diperoleh berdasarkan pembacaan hasil dimasukkan ke dalam

software API web. Spesies isolat akan ditampilkan sebagai hasil.

Identifikasi bakteri yang bersifat Gram negatif, tidak rewel, dan oksidase

negatif dilakukan menggunakan API kit 20 E dengan tahapan sebagai berikut

(bioMérieux 2006b).

1. Bakteri dengan koloni murni yang akan diuji disegarkan terlebih dahulu

selama 18-24 jam.

2. Bakteri kemudian dilarutkan dalam garam fisiologis (0,85%) sebanyak

6 ml dan dihomogenisasi, kemudian kekeruhan larutan diukur

menggunakan nephelometer. Kekeruhan larutan sebesar 0,5 Mc Farland.

3. Suspensi bakteri tersebut kemudian dipipet ke dalam cupules API 20 E

menggunakan pipet sekali pakai.

4. Cupules yang bertanda dipipet hingga penuh, yakni cupules Cit, VP,

dan Gel.

5. Cupules lainnya dipipet hanya sampai setengah bagian cupules.

6. Cupules ADH, LDC, ODC, H2S, dan URE ditambahkan dengan minyak

mineral.

7. Hasil dibaca setelah inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 36±2 ºC.

28

8. Setelah inkubasi 24 jam, reagen James ditambahkan sebanyak 1 tetes pada

cupules IND dan hasil dapat dibaca langsung. Reagen VP 1 dan VP 2

ditambahkan pada cupules VP, tunggu selama 10 menit untuk melihat

perubahan warna. Reagen TDA ditambahkan pada cupules TDA.

9. Hasil perubahan warna dituliskan pada kertas hasil, kemudian kode angka

yang diperoleh berdasarkan pembacaan hasil dimasukkan ke dalam

software API web. Spesies isolat akan ditampilkan sebagai hasil.

Gambar 4 Skema pemilihan API (bioMérieux 2006ab

).

Oksidase positif

Fermenter positif

Bakteri Gram negatif bentuk batang

Oksidase positif Oksidase negatif

Oksidase positif

Fermenter negatif Oksidase positif

Fermenter negatif

Oksidase negatif

Fermenter positif

Non fermenter:

API 20 NE

Fermenter:

API 10 S

API 20 E

Rapid 20 E

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kadar Histamin Tuna (Thunnus sp)

Tuna merupakan ikan yang mengandung sejumlah asam amino histidin.

Asam amino ini merupakan substrat bagi enzim histidine decarboxylase (hdc),

baik yang dihasilkan oleh bakteri dalam daging maupun oleh ikan itu sendiri,

untuk kemudian diubah menjadi histamin (Frank et al. 1981; Hungerford 2010).

Hasil analisis histamin memperlihatkan bahwa kadar histamin daging tuna

bagian ekor yang disimpan pada suhu 4-5 °C dan (-2)-1 °C serta daging tuna

bagian perut yang disimpan pada (-2)-1 °C selama 7 hari tidak melebihi 50 ppm,

namun daging tuna bagian perut yang disimpan pada suhu 4-5 °C selama 7 hari

telah melebihi 50 ppm. FDA mengatur tentang kadar maksimum histamin untuk

ikan yang dapat dikonsumsi, yakni tidak melebihi 50 ppm. Hal tersebut

disebabkan ketika terdeteksi histamin sebesar 50 ppm pada satu bagian tubuh,

kemungkinan akan terdeteksi 500 ppm histamin pada bagian tubuh lainnya (FDA

2001). Kadar histamin ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kadar histamin daging ikan tuna dalam satuan ppm pada berbagai kondisi

perlakuan

Lama

penyimpanan

Lokasi daging

Perut Ekor

Suhu penyimpanan (°C)

4-5 (-2)-1 4-5 (-2)-1

0 hari 0,9732±0,1970de

0,5479±0,4233de

0,7961±1413 de

0,4483±0,1298de

2 hari 7,3427±0,5483c 1,2843±0,3847

de 1,2909±0,4461

de 1,1748±0,4719

de

7 hari 71,3474±0,8901a 0,3445±0,1683

e 45,6645±0,6204

b 1,4266±0,9584

d

Keterangan: Huruf superscript yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

Analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa

interaksi antara ketiga perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar

histamin pada daging ikan tuna. Lebih lanjut, hasil uji Duncan menunjukkan

bahwa pada daging ikan tuna yang diambil di bagian ekor dengan suhu (-2)-1 °C

selama penyimpanan 0 dan 2 hari tidak menunjukkan adanya perbedaan yang

nyata dengan perlakuan suhu 4-5 °C selama penyimpanan yang sama. Demikian

pula dengan daging ikan tuna yang diambil pada perut dengan suhu (-2)-1 °C

30

selama penyimpanan 0 hari dan 2 hari tidak memberikan perbedaan yang nyata

dengan perlakuan suhu 4-5 °C dengan penyimpanan yang sama. Akan tetapi,

kombinasi perlakuan dengan menggunakan daging ekor dan perut pada suhu

penyimpanan 4-5 °C dengan lama penyimpanan 7 hari memberikan perbedaan

yang nyata dengan kombinasi perlakuan pada suhu penyimpanan (-2)-1 °C dengan

lama penyimpanan 7 hari.

Tingginya kadar histamin tuna pada bagian perut dibandingkan bagian ekor

pada suhu 4-5 ºC selama penyimpanan 7 hari diduga dikarenakan isi perut

merupakan sumber terbesar dari mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan Du et al.

(2002) dan FDA (2004) yang menyatakan bahwa kandungan histamin pada bagian

anterior ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan posterior. Lebih lengkap

disampaikan oleh Lerke (1978), tercatat bahwa pada daging bagian dorsal dari

ikan tuna jenis madidihang terdeteksi histamin 52±15 mg/kg, sedangkan daging

bagian perut pada kondisi penyimpanan yang sama terdeteksi 4400±2700 mg/kg

histamin.

Adanya kandungan histamin hingga hari ke-7 diduga disebabkan oleh

telah terjadinya autolisis yang menyebabkan degradasi protein, sehingga

membebaskan histidin terikat. Selama histidin masih tersedia pada daging, enzim

hdc bakteri akan terus bekerja membentuk histamin. Secara umum, Alasalvar et

al. (2011) menyampaikan bahwa kandungan asam amino histidin pada ikan tuna

adalah sebesar 82-90 mg/g protein. Lebih lanjut Silva et al. (1998) menyampaikan

bahwa hingga penyimpanan hari ke-12, kadar histidin pada ikan tuna masih

tersedia, yaitu sebesar 300 mg/100 g daging pada cakalang dan 400 mg/100 g

daging pada ikan tuna sirip biru.

Adanya perbedaan suhu penyimpanan dan lama penyimpanan terutama

hari ke-7 terhadap peningkatan kadar histamin diduga disebabkan oleh aktivitas

yang intensif dari bakteri-bakteri pembentuk histamin. Walaupun menurut Du et

al. (2002) bahwa pada suhu 4 ºC dengan lama penyimpanan 9 hari tercatat telah

terbentuk histamin sebanyak 68,8 ppm dengan log ALT mendekati 7,5 CFU/g dan

log BPH mendekati 5,2 CFU/g, namun jika melihat data hasil analisis log ALT

(Tabel 7) dan BPH (Tabel 8) menunjukkan bahwa tidak terlihat adanya

peningkatan yang signifikan akan jumlah bakteri selama berlangsungnya

31

penyimpanan hingga pada hari ke-7. Akan tetapi, jika melihat dari jenis bakteri

yang ada cenderung terlihat adanya bakteri-bakteri pembentuk histamin yang

kuat, seperti Raoultella ornithinolytica. Menurut Kung et al. (2009), Raoultella

ornithinolytica dapat menghasilkan histamin hingga lebih dari 500 ppm, bahkan

menurut Butler et al. (2010) dapat melebihi 1000 ppm pada kondisi yang optimal.

4. 2 Kadar TVB Tuna (Thunnus sp)

Total Volatile Base (TVB) atau Total Volatile Basic Nitrogen (TVB-N)

atau Total Volatile Nitrogen (TVN) merupakan jumlah dari amonia, dimetilamin

(DMA), trimetilamin (TMA), dan komponen basa lainnya berbasis nitrogen yang

bersifat volatil (Etienne et al. 2005b). DMA dan TMA dihasilkan dari degradasi

trimetilamin oksida (TMAO), sedangkan amonia berasal dari adenosine

monophospate (AMP) (Huss 1995). TVB dapat digunakan sebagai parameter

kimia sebagai uji tambahan untuk meyakinkan hasil uji organoleptik dalam

menentukan kebusukan ikan, namun TVB bukan merupakan indikator kebusukan

yang tepat pada ikan tertentu, seperti tuna mata besar (Thunnus alalunga) dan

cakalang (Katsuwonus pelamis) karena merupakan ikan pelagis dengan kadar

TMAO yang rendah (Etienne et al. 2005b).

Analisis kadar TVB pada daging ikan tuna memperlihatkan bahwa hanya

daging tuna bagian ekor dan perut yang disimpan pada suhu 4-5 °C selama

penyimpanan 7 hari yang tidak termasuk dalam kelompok kondisi segar, yaitu

melebihi 30 mg N/100 g (Farber 1965). Kadar TVB daging ikan tuna pada

berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Kadar TVB daging ikan tuna dalam satuan mg N/100 g pada berbagai

kondisi perlakuan

Lama

penyimpanan

Lokasi daging

Perut Ekor

Suhu penyimpanan (°C)

4-5 (-2)-1 4-5 (-2)-1

0 hari 9,1436±0,8028 9,1536±0,0609 10,0587±0,4677 9,6887±0,3544

2 hari 13,3622±0,9684 10,4960±0,3624 13,2587±0,9531 12,8803±0,8783

7 hari 38,6908±0,8867 14,3313±0,7589 36,9076±0,8352 18,5937±0,3923

Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa

semua kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang

32

nyata terhadap kadar TVB. Tidak adanya pengaruh ini diduga disebabkan

aktivitas mikrorganisme dalam menghasilkan perubahan komponen volatil

cenderung belum terlihat nyata.

Secara mekanisme, perubahan volatil oleh bakteri melibatkan kerja enzim

yang meliputi enzim dehidrogenase yang menguraikan asam amino dan TMAO-

ase yang mereduksi TMAO. Suhu merupakan penghambat aktivitas bakteri

tersebut. Banyak bakteri yang tidak dapat tumbuh pada suhu di bawah 10 ºC,

bahkan bakteri psikotropik hanya dapat tumbuh dengan lambat. Pada suhu

mendekati 0 ºC, pertumbuhan bakteri berada pada fase lag karena suhu tersebut

memperpanjang fase lag bakteri (Huss 1995). Oleh sebab itu, tidak banyak bakteri

bekerja untuk menghasilkan TVB.

Menurut Özoğul & Özoğul (2000), ikan rainbow trout yang disimpan pada

suhu 4-6 ºC mengalami peningkatan TVB dengan cepat setelah penyimpanan hari

ke 7-9. Hal tersebut disebabkan karena kadar TVB tidak meningkat pada tahap

awal kemunduran mutu. TVB hanya akan meningkat karena aktivitas bakteri

selama tahap kemunduran mutu lanjut (Huss 1995; Silva et al. 1998; Etienne et al.

2005b), sehingga TVB bukanlah indikator kesegaran yang tepat pada tahap awal

kemunduran mutu ikan. Oleh karena kemungkinan sampel tuna belum mengalami

kemunduran mutu lanjut hingga penyimpanan hari ke(-2), maka kadar TVB tidak

mengalami peningkatan yang besar.

4.3 Nilai ALT Tuna (Thunnus sp)

Mikroorganisme pada ikan, umumnya ditemukan di seluruh permukaan

luar tubuh ikan (kulit dan insang) atau pada bagian dalam jeroan dari ikan yang

masih hidup maupun ikan yang baru ditangkap. Jeroan merupakan bagian tubuh

ikan yang berisiko besar mengandung sejumlah besar bakteri karena disebut

sebagai gudang bakteri (Huss 1995).

Angka Lempeng Total (ALT) merupakan jumlah mikroorganisme hidup

yang terdapat pada produk uji. ALT yang dapat diterima atau layak untuk

konsumsi adalah tidak melebihi sebesar 5x105 CFU/g atau setara dengan log ALT

5,70 CFU/g (BSN 2006c). Hasil analisis ALT menunjukkan kondisi tidak layak

konsumsi (log ALT melebihi 5,70 CFU/g) adalah untuk lama penyimpanan 7 hari,

33

baik pada daging bagian ekor maupun perut pada suhu penyimpanan 4-5 ºC. Nilai

log ALT daging ikan tuna pada berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat

pada Tabel 7.

Hasil analisis ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa

kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata

terhadap ALT. Hal tersebut kemungkinan disebabkan pada suhu rendah,

pertumbuhan bakteri menjadi terhambat.

Huss (1995) dan Guizani et al. (2006) menyatakan bahwa ikan yang

berasal dari perairan hangat, mengandung mikroba yang didominasi oleh mikroba

mesofilik. Oleh karena perlakuan suhu yang diberikan adalah suhu rendah, diduga

mengakibatkan pertumbuhan bakteri tersebut terhambat atau bahkan tidak

tumbuh.

Tabel 7 Log ALT daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi

perlakuan

Lama

penyimpanan

Lokasi daging

Perut Ekor

Suhu penyimpanan (°C)

4-5 (-2)-1 4-5 (-2)-1

0 hari 3,30±0,0122 4,11±0,1656 3,52±0,0354 3,58±0,0778

2 hari 4,70±0,0356 4,60±0,0361 4,28±0,1891 4,40±0,2052

7 hari 6,70±0,1197 5,60±0,0986 6,70±0,0272 4,53±0,0284

Menurut Silva et al. (1998), pada suhu 0 ºC nilai log bakteri yang tumbuh

pada ikan tuna segar pada penyimpanan 2 hari dan 7 hari berturut-turut sebesar

3,2 CFU/g dan 4 CFU/g, sedangkan penyimpanan pada suhu 20 ºC hanya selama

2 hari telah mencapai log bakteri 5,8 CFU/g. Hal tersebut menunjukkan bahwa

pertumbuhan bakteri terhambat pada suhu rendah. Selain itu, pada suhu 4 ºC, baik

bakteri mesofilik maupun bakteri psikrofilik, cenderung mengalami pertumbuhan

yang tidak jauh berbeda (Silva et al. 1998) dan suhu 0 ºC dapat memperpanjang

fase lag bakteri psikrofilik (Huss 1995).

4.4 Jumlah Bakteri Pembentuk Histamin Tuna (Thunnus sp)

Histamin, yang merupakan salah satu amin biogenik, terutama terbentuk

karena adanya enzim histidin dekarboksilase dari jenis bakteri yang terdapat pada

34

pangan laut. Bakteri pembentuk histamin (BPH) biasanya terdapat dalam

lingkungan perairan, menetap di insang dan usus ikan laut yang hidup serta tidak

berbahaya bagi ikan itu sendiri (Ko 2006).

Secara umum jumlah bakteri pembentuk histamin yang dapat diterima atau

layak untuk konsumsi sama dengan ketentuan jumlah bakteri dengan ALT yaitu

tidak melebihi 5x105 CFU/g (BSN 2006

c). Nilai log BPH daging ikan tuna pada

berbagai perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 8. Data Tabel 8

menunjukkan bahwa tidak semua bakteri pada ALT merupakan BPH karena tidak

semua bakteri tersebut mampu menghasilkan hdc.

Tabel 8 Log BPH daging ikan tuna dalam satuan CFU/g pada berbagai kondisi

perlakuan

Lama

penyimpanan

Lokasi daging

Perut Ekor

Suhu penyimpanan (°C)

4-5 (-2)-1 4-5 (-2)-1

0 hari 1,11±0,0658 1,40±0,1462 1,32±0,0553 1,23±0,0853

2 hari 2,28±0,1219 2,20±0,0413 2,92±0,2843 1,85±0,1381

7 hari 4,40±0,0372 3,45±0,1434 4,26±0,0534 2,45±0,0493

Analisis ragam pada kepercayaan 95% diperoleh bahwa kombinasi

perlakuan antara lokasi daging, suhu, dan lama penyimpanan tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap jumlah BPH. Hal tersebut kemungkinan disebabkan

karena suhu rendah tidak dapat mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri

pembentuk histamin (BPH) umumnya merupakan golongan bakteri Gram negatif

jenis enterik mesofilik (Middlebrooks et al. 1988; Butler et al. 2010). Bakteri

mesofilik memiliki rentang suhu hidup 20-45 ºC (Tiwari et al. 2009), sehingga

suhu rendah yang diberikan kepada bakteri tersebut dapat menyebabkan hambatan

terhadap proses metabolisme dan akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri.

4.5 Isolasi, Karakterisasi, dan Identifikasi BPH Tuna (Thunnus sp)

Isolasi merupakan pemisahan mikroba tertentu dari populasi campuran.

Proses isolasi dilakukan terhadap tiga koloni terpilih yang berwarna ungu atau

biru pada media Niven didasarkan pada Niven et al. (1981), Kung et al. (2009),

35

dan Hwang et al. (2010). Koloni berwarna ungu kemudian digoreskan dengan

metode gores kuadran pada media TSA hingga menghasilkan koloni tunggal.

Karakterisasi bakteri bertujuan untuk mengetahui karakteristik tiap isolat

yang dihasilkan dan memudahkan dalam pemilihan jenis API kit yang akan

digunakan. Sebelum dilakukan uji karakterisasi, dilakukan terlebih dahulu analisis

histamin yang dihasilkan bakteri. Isolat murni yang diperoleh ditumbuhkan dalam

media TSBH, kemudian kadar histamin yang dihasilkan bakteri tersebut

dianalisis. Analisis histamin isolat bakteri bertujuan untuk meyakinkan bahwa

koloni yang dihasilkan merupakan koloni BPH karena tidak semua bakteri yang

tumbuh pada Niven adalah penghasil histamin (Kim et al. 2002), hanya sebesar

33% (Hwang et al. 2010) dan 29,16% (Joshi & Bhoir 2011).

Hasil analisis histamin isolat murni menunjukkan bahwa ketiga isolat

menghasilkan histamin sebesar (i) 1,2077 ppm pada isolat 1; (ii) 1,2802 ppm pada

isolat 2; dan (iii) 1,8617 ppm pada isolat 3. Oleh karena itu, dapat diketahui

bahwa ketiga isolat tersebut menghasilkan enzim hdc. Selanjutnya, uji

karakteristik bakteri dilakukan terhadap ketiga isolat yang telah dinyatakan positif

penghasil histamin. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Hasil pewarnaan Gram yang terlihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa

ketiga isolat merupakan bakteri Gram negatif dengan penampakan sel berwarna

merah muda. Uji karakterisasi berikutnya pada ketiga isolat adalah pergerakan

bakteri (motilitas), yang menunjukkan bahwa semua bakteri dari ketiga isolat

bersifat non motil. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhannya yang tidak menyebar

pada agar semisolid. Oleh karena itu, bakteri tersebut tidak memiliki flagela

sebagai alat gerak (Pelczar dan Chan 2006).

Oksidase merupakan enzim yang termasuk dalam sistem transpor elektron

bakteri aerob. Uji oksidase penting dilakukan untuk mengidentifikasi

Pseudomonas, Vibrio, Flavobacterium, dan sebagainya. Ketiga jenis bakteri

tersebut bersifat oksidase positif, sedangkan anggota dari Enterobacteriaceae

bersifat oksidase negatif (Tiwari et al. 2009). Selain itu, uji oksidase penting

dilakukan untuk mengetahui jenis API kit yang digunakan untuk identifikasi.

Hasil pengujian oksidase menunjukkan bahwa isolat 1 dan 2 bersifat oksidase

positif, sedangkan isolat 3 bersifat oksidase negatif. Oksidase positif menandakan

36

bahwa bakteri menghasilkan energi melalui respirasi, sedangkan oksidase negatif

menandakan bahwa bakteri menghasilkan energi melalui proses fermentasi.

Tabel 9 Morfologi koloni dan morfologi sel bakteri

Sifat isolat 1 2 3

Morfologi koloni

Warna pada Niven Ungu Ungu Ungu

Warna pada TSA Kuning Kuning Kuning

Bentuk koloni Tidak beraturan Tidak beraturan Bulat

Tepian Berombak Berombak Penuh

Elevasi Cembung Cembung Cembung

Morfologi sel

Bentuk sel Batang Batang Batang

Gram Negatif Negatif Negatif

Motilitas Negatif Negatif Negatif

Isolat 1

Isolat 2

Isolat 3

Gambar 5 Bentuk sel dan hasil pewarnaan Gram isolat 1, 2, dan 3

Uji katalase bertujuan mengetahui kemampuan mikroba untuk

menghasilkan katalase. Katalase berperan sebagai pendegradasi H2O2 yang

dihasilkan oleh oksidase. Selama respirasi, banyak mikroba menghasilkan H2O2

dan turunan oksigen reaktif lainnya, seperti superoksida. Akumulasi bahan

37

metabolit tersebut dapat bersifat racun, sehingga harus diinaktif secara enzimatis.

Katalase mengubah H2O2 menjadi oksigen dan air (Tiwari et al. 2009).

Berdasarkan uji katalase terhadap ketiga isolat, diketahui bahwa ketiga isolat

tersebut bersifat katalase positif, maka isolat tersebut bersifat aerob atau anaerob

fakultatif.

Identifikasi bakteri merupakan perbandingan antara sifat bakteri yang

belum teridentifikasi dengan sifat bakteri sesuai dengan kunci identifikasi bakteri.

Identifikasi bakteri dapat dilakukan secara konservatif melalui pengujian berbagai

macam gula yang kemudian hasil reaksi gula tersebut dicocokkan dengan panduan

buku manual untuk mencari genus dari isolat bakteri. Buku manual yang dapat

digunakan adalah Bergey’s Manual. Selain itu, terdapat cara yang lebih mudah

dan cepat untuk mengidentifikasi bakteri, yakni menggunakan kit, seperti

analytical profile index (API).

Analytical profile index (API) merupakan suatu sistem yang dapat

menentukan reaksi isolat murni terhadap berbagai jenis media diagnosa yang

dipilih secara hati-hati. Keuntungan penggunaan sistem tersebut adalah hanya

membutuhkan sedikit media, tidak menggunakan banyak tempat dalam inkubator,

dan memberikan makna yang efektif serta dapat dipercaya terhadap hasil

identifikasi (Black 2004).

Berdasarkan hasil uji oksidase dan pewarnaan Gram memperlihatkan

bahwa jenis API yang digunakan dan berhasil mengidentifikasi ketiga isolat

adalah API 20 NE untuk isolat 1 dan 2 serta API 20 E untuk isolat 3. API 20 NE

digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Gram negatif, berbentuk batang, dan

nonfermenter (Lampe & Reijden 1984), sedangkan API 20 E digunakan untuk

mengidentifikasi bakteri Enterobacteriaceae (Popovic et al. 2007). Hasil

identifikasi bakteri isolat dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Software API

kit yang berperan dalam membaca hasil menyatakan bahwa isolat 1 dan 2 adalah

bakteri jenis Pseudomonas putida dengan persentase identifikasi berturut-turut

99,6% dan 99,7% atau dianggap sebagai very good identification, sedangkan

isolat 3 adalah bakteri Raoultella ornithinolytica dengan persentase identifikasi

sebesar 99,9% atau dianggap sebagai excellent identification.

38

Hasil ini sejalan dengan hasil uji histamin terhadap isolat, bahwa ketiga

bakteri tersebut merupakan BPH. Kanki et al. (2002), Wauters et al. (2004), Kung

et al. (2009), menyatakan bahwa Raoultella ornithinolytica adalah salah satu dari

jenis Enterobacteriaceae yang berperan sebagai BPH. Demikian juga dengan Sato

et al. (1994) yang menyatakan bahwa Pseudomonas putida juga merupakan BPH

dan bakteri pendekomposisi histamin.

Tabel 10 Hasil pembacaan API kit 20 NE

Pengujian Bahan aktif Hasil Isolat 1 Isolat 2

(-) (+) (-) (+) (-) (+)

NO3 Potassium nitrate Tidak berubah

warna

Merah tua √ √

TRP L-triptophane Tidak berubah

warna

Jingga √ √

GLU D-glucose Biru Kuning √ √

ADH L-arginine Kuning Jingga √ √

URE Urea Kuning Merah muda √ √

ESC Esculin ferric

citrate

Tidak berubah

warna

Hitam √ √

GEL Gelatin Tidak berubah

warna

Hitam √ √

PNPG 4-nitrophenyl-βD-

galactophyranoside

Tidak berubah

warna

Kuning √ √

GLU D-glucose Jernih Keruh √ √

ARA L-arabinose Jernih Keruh √ √

MNE D-mannose Jernih Keruh √ √

MAN D-mannitol Jernih Keruh √ √

NAG N-acetyl-

glucosamine

Jernih Keruh √ √

MAL D-maltose Jernih Keruh √ √

GNT Potassium

gluconate

Jernih Keruh √ √

CAP Capric acid Jernih Keruh √ √

ADI Adipic acid Jernih Keruh √ √

MLT Malic acid Jernih Keruh √ √

CIT Trisodium citrate Jernih Keruh √ √

PAC Phenylacetic acid Jernih Keruh √ √

39

Tabel 11 Hasil pembacaan API kit 20 E

Pengujian Bahan aktif Hasil Isolat 3

(-) (+) (-) (+)

ONPG 2-nitrophenyl-βD-

galactophyranoside

Tidak berubah

warna

Kuning √

ADH L-arginine Kuning Merah √

LDC L-lysine Kuning Oranye √

ODC L-ornithine Kuning Merah √

CIT Trisodium citrate Kuning Biru tua √

H2S Sodium thiosulfate Tidak berubah

warna

Hitam √

URE Urea Kuning Merah muda √

TDA L-tryptophane Kuning Hitam √

IND L-tryptophane Kuning Merah √

VP Sodium pyruvate Jernih Jernih

kemerahmudaan

GEL Gelatin Tidak berubah

warna

Hitam √

GLU D-glucose Biru Kuning √

MAN D-mannitol Biru Kuning √

INO Inositol Biru Kuning √

SOR D-sorbitol Biru Kuning √

RHA L-rhamnose Biru Kuning √

SAC D-saccharose Biru Kuning √

MEL D-melibiose Biru Kuning √

AMY Amygdaline Biru Kuning √

ARA L-arabinose Biru Kuning √

40

5 SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Kadar histamin yang terdapat pada daging bagian perut dan ekor yang

disimpan pada suhu 4-5 ºC atau pada suhu pada (-2)-1 ºC selama 0 dan 2 hari

tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, namun perbedaan tersebut

menjadi sangat nyata dengan lama penyimpanan 7 hari. Hal ini sejalan pula

dengan makin meningkatnya nilai TVB dan ALT.

Identifikasi bakteri pada penelitian ini dilakukan terhadap BPH yang terdiri

dari tiga isolat. Hasil pengujian histamin dan identifikasi bakteri mengindikasikan

bahwa Pseudomonas putida dari isolat 1 dan 2 dengan persentase identifikasi

berturut-turut 99,6% dan 99,7% atau dianggap sebagai very good identification

serta Raoultella ornithinolytica dari isolat 3 dengan persentase identifikasi sebesar

99,9% atau dianggap sebagai excellent identification adalah tergolong sebagai

BPH.

5.2 Saran

Berdasarkan pertimbangan kemungkinan risiko yang akan timbul melihat

dari besaran suhu yang ada, maka suhu 4-5 oC merupakan kondisi yang cukup

baik dalam mencegah peningkatan kandungan histamin pada ikan tuna selama

proses penanganan. Selain itu, diperlukan pengujian histamin pada lama

penyimpanan 5-6 hari pada suhu 4-5 oC untuk mengetahui dengan pasti batas

waktu penyimpanan tuna. Penanganan yang tepat, terutama pendinginan cepat

penting dilakukan pada tahap pasca penangkapan untuk mengantisipasi risiko

terbentuknya histamin.

DAFTAR PUSTAKA

Abe H, Brill RW, Hochachka PW. 1986. Metabolism of L-histidine, carnosine,

and anserine in skipjack tuna. Physiol Zool (4): 439-450.

Alasalvar C, Shahidi F, Miyashita K, Wanasundara U. 2011. Handbook of

Seafood Quality, Safety, and Health Applications. UK: Blackwell

Publishing Ltd.

Allen DG. 2004. Regulatory control of histamine production in North Carolina

harvested mahi-mahi (Coryphaena hippurus) and yellowfin tuna (Thunnus

albacares): a HACCP-based industry survey [thesis]. North Carolina:

Graduate Faculty, North Carolina State University.

Barceloux GD. 2008. Medical Toxicology of Natural Substances. Virginia: John

Wiley & Sons, Inc.

bioMérieux. 2006a. Identification system for non-fastidious, non-enteric Gram

negative rods. France: bioMérieux, Inc.

bioMérieux. 2006b. Identification system for Enterobacteriaceae and other non-

fastidious Gram negative rods. France: bioMérieux, Inc.

Black JG. 2004. Microbiology: Principles and Exploration. Virginia: John Wiley

& Sons, Inc.

Blanc M, Desurmont A, Beverly S. 2005. Onboard Handling of Sashimi-Grade

Tuna. A Practical Guide for Crew Members. New Zealand: Ultimo Group.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2003. Pedoman pemberlakuan Standar

Nasional Indonesia (SNI) wajib. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006a. Tuna Segar untuk Sashimi. SNI 01-

2693.3-2006. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006b. Tuna Loin Beku - Bagian 3:

Penanganan dan Pengolahan. SNI 01-4104.3-2006. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006c. Cara Uji Mikrobiologi – Bagian 3:

Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. SNI 01-

2332.3-2006. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009a. Cara Uji Kimia - Bagian 10.

Penentuan Kadar Histamin dengan Spektroflorometri dan Kromatografi

Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada Produk Perikanan. SNI 2354.10:2009.

Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009b. Cara Uji Kimia - bagian 8.

Penentuan Kadar Total Volatile Base Nitrogen (TVB-N) dan Trimetil Amin

42

Nitrogen (TMA-N) pada Produk Perikanan. SNI 2354.8:2009. Jakarta:

BSN.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Tentang SNI. http://www.bsn.go.id

[18 Oktober 2011]

Butler KB, Bolton GE, Jaykus LA, Green PDM, Green DP. 2010. Development of

molecular-based methods for determination of high histamine producing

bacteria in fish. International J of Food Microbiology 139: 161-167.

Buzby JC. 2008. International Trade and Food Safety, Economic Story and Case

Study. USA: USDA.

Clucas IJ dan Ward AR. 1996. Post Harvest Fisheries Development: A Guide to

Handling, Preservation, Processing, and Quality. United Kingdom:

Chatam Maritime.

Craven C, Hilderbrand K, Kolbe E, Sylvia G, Daeschel M, Gloria B, An H. 2000.

Understanding and Controlling Histamine Formation in Troll-Caught

Albacore Tuna: A Review and Update of Preliminary Findings from The

1994 Season. Oregon: Oregon State University.

Dalgaard P, Emborg J, Køjlby A, Sørensen ND, Ballin NZ. 2008. Improving

Seafood Product for The Customer. England: Woodhead Publishing

Limited.

Departement of Health, Education and Walfare. 1972. Food composition table for

use in East Asia. http:www.fao.org [7 September 2011]

Departemen perindustrian. 1992. Kumpulan Perundang-undangan Republik

Indonesia. Jakarta: Departemen perindustrian.

Destin Florida Fishing. 2005. Yellowfin tuna. http://www.floridafishinginfo.net

[28 November 2010]

Du WX, Lin CM, Phu AT, Cornell JA, Marshall MR, Wei CI. 2002. Development

of biogenic amines in yellowfin Tuna (Thunnus albacares): effect of storage

and correlation with decarboxylase-positive bacterial flora. J of Food

Science 67: 292-301.

[EC] European Commision. 2010. An EU policy framework to assist developing

countries in addressing food security challenges. http://www.ec.europa.eu

[27 Oktober 2011]

Emborg J. 2006. A new psychrotolerant and histamine producing Morganella

species. http://www.seafoodplus.org [7 Februari 2011]

Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Ed ke-2. California: Academic press

Inc.

43

Etienne M, Ifremer, Nantes. 2005a. Methods for chemical quality assessment-

methodology for histamine and biogenic amines analysis. France: EC.

Etienne M, Ifremer, Nantes. 2005b. Volatile amines as criteria for chemical quality

assessment. France: Seafood plus Traceability.

[EU] European Union. 2004. Regulation (EC) No 853/2004 of the European

Parliament and of the Council of 29 April 2004 laying down specific

hygiene rules for food of animal origin. Official J of the European Union

226: 22-82.

[EU] European Union. 2005. Commission regulation (EC) No 2073/2005 of 15

November 2005 on microbiological criteria for foodstuffs. Official J of the

European Union 338: 1-29.

[EU] European Union. 2008. The Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF)

Annual Report 2007. Luxembourg: European Communities.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 1992. International conference of

nutrition. http://www.fao.org [28 November 2010]

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2004. The world tuna industry -an

analysis of imports, prices, and of their combined impact on tuna catches

and fishing capacity. FAO.

Farber L. 1965. Freshness Tests. Di dalam: Borgrom G, editor. Fish as Food. Vol

IV. New York: Academic Press, Inc.

[FDA] Food and Drug Administration. 2001. FDA and EPA Safety Level in

Regulation and Guidance, 3rd

Edition. Washington DC: FDA.

[FDA] Food and Drug Administration. 2004. ORA laboratory manual, volume 4,

section 9, seafood chemistry. http://www.fda.gov [23 November 2010]

[FDA] Food and Drug Administration. 2009. Chapter 27: Scombrotoxin

(histamine) formation. http://www.fda.gov [16 Februari 2011]

[FDA] Food and Drug Administration. 2010. Detention without physical

examination of seafood and seafood products from specific

manufacturers/shippers due to decomposition and/or histamines.

http://www.fda.gov [28 November 2010]

[FDA] Food and Drug Administration. 2011. Fish and Fisheries Products

Hazards and Control Guidance, Fourth Edition. Washington DC: FDA.

Fletcher GC, Summers G, Winchester RV dan Wong RJ. 1995. Histamine and

histidine in New Zealand marine fish and shellfish species, particularly

Kahawai (Arripis trutta). J of Aquatic Food Product Technology 4(2): 53-

74.

44

Frank HA, Yoshinaga DA, Wai-Kit NIP. 1981. Histamine formation and

honeycombing during decomposition of skipjack tuna, Katsuwonus

pelamis, at elevated temperatures. Marine Fisheries Review 43: 9-14.

Frank HA dan Yoshinaga DA. 1987. Table for estimating histamine formation in

skipjack tuna, Katsuwonus pelamis, at low nonfreezing temperature.

Marine Fisheries Review 49: 67-70.

Gilman E dan Lundin C. 2008. Principles and Methods to Minimize Bycatch of

Sensitive Species Groups in Marine Capture Fisheries: Lessons from

Commercial Tuna Fisheries. Handbook of Marine Fisheries Conservation

and Management. Oxford University Press.

Guizani N, Al-Busaidy MA, Al-Belushi IM, Mothershaw A, Rahman MS. 2005.

The effect of storage temperature on histamine production and the

freshness of yellowfin tuna (Thunnus albacares). J Food Res 38: 215-222.

Hungerford JM. 2010. Scromboid poisoning: a review. J of Toxicon 56: 231-243.

Huss HH. 1986. Fresh Fish Quality and Quality Change. Roma: FAO.

Huss HH. 1995. Quality and Quality Changes in Fresh Fish. FAO Fisheries

Technical Paper 348, FAO.

Hwang CC, Lee YC, Huang YR, Lin CM, Shiau CY, Hwang DF, Tsai YH. 2010.

Biogenic amines content, histamine-forming bacteria and adulteration of

bonito in tuna candy products. J Food Cont 21: 845-850.

Infofish. 2002. Handling and Processing of Tuna for Sashimi and Fresh or

Chilled Product. Infofish Technical Handbook 1. Kuala Lumpur: Infofish.

Joshi PA dan Bhoir VS. 2011. Study of histamine forming bacteria in commercial

fish samples of Kalyan city. Int J Cur Sci Res 1 (2): 39-42.

Kanki M, Yoda T, Tsukamoto T, Shibata T. 2002. Klebsiella pneumoniae

produces no histamine: Raoultella planticola and Raoultella

ornithinolytica strains are histamine producers. Applied and Enviromental

of Microbiology 68 (7): 3462-3466.

Keer M, Paul L, Sylvia A, Carl R. 2002. Effect of storage condition on histamine

formation in fresh and canned tuna. Victoria: Comissioned by Food Safety

Unit.

Kim BH, Lee HS, Jang YA, Lee JY, Cho YJ, Kim CI. 2009. Development of

amino acid composition database for Korean foods. J of Food

Composition and Analysis 22: 44-52.

Kim SH, Field KG, Chang DS, Wei CI, An H. 2001. Identification of bacteria

crucial to histamine accumulation in pacific mackerel during storage. J

Food Prot 64 (10): 1556–1564.

45

Kim SH, Price RJ, Morrissey MT, Field KG, Wei CI, An H. 2002. Occurrence of

histamine-forming bacteria in albacore and histamine accumulation in

muscle at ambient temperature. J of Food Microbiology and Safety 67 (4):

1515-1521.

Ko IS. 2006. Factor affecting histamine level in Indonesia canned albacore tuna

(Thunnus alalunga) [tesis]. Norway: University of Tromsø.

Kung HF, Wang TY, Huang YR, Lin CS, Wu SW, Lin CM, Tsai YH. 2009.

Isolation and identification of histamine-forming bacteria in tuna

sandwiches. J Food Cont 20: 1013-1017.

Lampe AS dan Reijden TJK. 1984. Evaluation of commercial test system for

identification of nonfermenters. Eur J Clin Microbiol 4: 301-305.

Lehane L dan Olley J. 1999. Histamine (scromboid) fish poisoning, a review in a

risk-assessment framework. Canberra: National Office of Animal and

Plant Health.

___________. 2000. Histamine fish poisoning revisited. J of Food Microbiology

58: 1-37.

Lerke PA, Werner SB, Taylor SL, Guthertz LS. 1978. Scombroid poisoning. The

Western J of Medicine 129: 381–386.

Mattjik AA dan Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi

SAS dan Minitab, Jilid 1. Bogor: IPB Press.

Mendes R. 2009. Fishery Product: Quality. Safety, and Authenticity. London:

Blackwell Publishing Ltd.

Middlebrooks, B.L., Toom, P.M., Douglas, W.L., Harrison, R.E. and McDowell,

S. (1988) Effects of storage time and temperature on the microflora and

amine development in Spanish mackerel. J of Food Science 53: 1024-1029.

Murray CK, Hobbs J, Gilbert RJ. 1981. Scrombotoxin and scrombotoxin-like

poisoning from canned fish. J Hyg Camb 88: 215-220.

Niven CF, Jeffrey MB, Corlett DA. 1981. Differential plating medium for

quantitative detection of histamine-producing bacteria. Applied and

Environmental Microbiology 41 (1):321-322.

Önal A. 2006. A review: Current analytical methods for the determination of

biogenic amines in foods. J Food Chem 103: 1475-1486.

Özoğul F dan Özoğul Y. Comparison of methods used for determination of total

basic nitrogen (TVB-N) in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J

Zool 24: 113-120.

Pelczar MJ dan Chan ECS. 2006. Dasar Dasar Mikrobiologi I. Jakarta: UI-Press.

46

Popovic NT, Rakovac RC, Perovic IS. 2007. Commercial phenotypic test (API

20E) in diagnosis of fish bacteria: a review. Veterinary Medicina 2: 49-53.

Price RJ, Melvin EF, Bell JW. 1991. Postmortem changes in chilled round bled

and dress albacore. J of Food Science 35: 318-321.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I & II. Jakarta: Bina

Cipta.

Sato T, Okuzumi M, Masuda T, Fujii T. 1995. Distribution and genus/spescies

composition of histamine-decomposing bacteria during storage of common

mackerel. Fisheries Science 61: 83-85.

Shakila RJ, Vijayalakshmi K. Jayasekaran J. 2003. Changes in histamine and

volatile amine six commercially important of fish of the Thoothukkudi

coast of Tamil Nadu, India stored at ambient temperature. J Food Chem

82: 347-352.

Shalaby AR. 1996. Significance of biogenic amines to food safety and human

health. Food Research International 29 (7): 675-690.

Silva CCG, Ponte DJB, Dapkecivius MLNE. 1998. Storage temperature effect on

histamine formation in big eye tuna and skipjack. J of Food Science 63

(4): 644-647.

Stansby ME dan Olcott HS. 1963. Composition of Fish. Di dalam: Stansby ME,

Dassow JA, editor. Industrial Fishery Technology. London: Reinhold

Publishing Co. Chapman and Hall Ltd.

Steel RGD dan Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu

Pendekatan Biometrik: Edisi kedua. B Sumantri, penerjemah. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in The Fish

Industry. Rome: FAO.

Taylor SL dan Speckhard MW. 1983. Isolation of histamine-producing bacteria

from frozen tuna. Marine Fisheries Review 45: 35-39

Tiwari RP, Hoondal GS, Tewari R. 2009. Laboratory Techniques in Microbiology

and Biotechnology. New Delhi: Abhishek Publication.

Trilaksani W, Bintang M, Monintja DR, Hubeis M. 2009. Asesmen semi-

kuantitatif risiko histamin ikan tuna dari tempat pendaratan (transit 14). J

Ilmu dan Teknologi Pangan 7 (2): 1-20.

___________. 2010. Analisis regulasi sistem manajemen keamanan pangan tuna

di Indonesia dan negara tujuan ekspor. J Pengolahan Hasil Perikanan

Indonesia XIII (1): 63-82.

47

Wauters G, Avesani V, Charlier J, Janssens M, Delmée M. 2004. Histidine

decarboxylase in Enterobacteriaceae revisited. J Clin Microbiol 42 (12):

5923-5924.

[WHO] World Health Organization. 2005. About risk analysis in food.

http://www.who.int [10 Januari 2011]

Widiastuti I. 2008. Analisis mutu ikan tuna selama lepas tangkap pada perbedaan

preparasi dan waktu penyimpanan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,

Institut pertanian Bogor.

[WTO] World Trade Organisation. 2003. 3.10 Techinal Barrier to Trade. New

York and Geneva: United Nations.

49

Lampiran 1 Good Manufacturing Practice penanganan bahan baku PT Z

1. Proses penanganan sampel tuna di PT Z

Penerimaan ikan tuna dilakukan di dalam ruang penerimaan bahan baku. Ikan

satu per satu diturunkan dari mobil, diukur suhunya, dan dimasukkan dalam ruang

melalui sebuah loket yang dilengkapi dengan plastik curtain. Daging ikan yang

diterima adalah daging yang memiliki warna merah cerah. Suhu ikan yang diterima

umumnya kurang dari 0 ºC. bila mencapai suhu 3 ºC, biasanya ikan akan ditolak oleh

perusahaan.

Ikan yang telah diterima di ruang penerimaan dicuci dengan menggunakan air

dingin bersuhu ± 2 ºC. Air yang digunakan adalah potable water. Ikan yang telah

dicuci, kemudian dimasukkan ke dalam bak penampungan ikan selama 30 menit. Bak

penampungan tersebut berisi air dan es curai yang bersuhu ≤ 3 ºC. Proses ini

bertujuan untuk menjaga suhu ikan agar ≤ 3 ºC saat menunggu proses selanjutnya.

Ikan yang telah ditampung dalam bak penampung, kemudian ditimbang. Ikan yang

teelah ditimbang dilanjutkan ke proses filleting dengan pemotongan kepala dan

pembentukan loin. Pembuatan loin dilakukan dengan memotong tubuh ikan menjadi

empat bagian dan membuang duri atau tulang yang masih menempel pada daging.

Proses selanjutnya adalah pembuangan kulit dari loin, dilanjutkan dengan

pembuangan daging gelap dan perapihan. Pada tahap ini dilakukan pengambilan

sampel berupa daging perut (belly) dan ekor.

2. Profil PT Z

PT Z berlokasi di komplek Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman,

Jakarta. Lokasi perusahaan berdekatan dengan pelabuhan dan tempat pelelangan ikan,

sehingga memudahkan proses produksi serta mendapatkan bahan baku. PT Z

memiliki visi menjadi perusahaan pengolahan ikan tuna yang paling berkualitas

dengan selalu memuaskan kepentingan pelanggan, karyawan, dan lingkungan sekitar,

dengan misi mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan

melalui proses pengolahan ikan tuna yang berprinsip pada zero waste atau cleaner

50

production, yaitu memanfaatkan ikan secara optimal sehingga tidak ada bagian yang

terbuang.

PT Z memfokuskan produksi produk ekspor beku, seperti loin, stick, cubes,

chunk, saku dan produk sampingan, yaitu scrab dalam jumah besar. Negara tujuan

ekspor perusahaan ini adalah USA, UE, Jepang, Cina, Taiwan, dan Asia Tenggara.

Data ekspor produk tuna PT Z dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Data ekspor produk tuna PT Z

Tahun Volume (kg)

Lainnya UE USA Total (kg)

2003 63.475 244.621 227.509 535.605

2004 257.431 495.799 245.107 998.337

2005 131.409 394.625 201.698 727.732

2006 85.053 242.625 172.253 499.931

2007 67.100 - 238.851 305.951

2008 126.062 - 310.684 436.746

2009 61.050 - 365.363 426.413

2010 15.490 - 288.873 304.363

807.070 1.377.670 2.050.338 4.235.078

Pemilihan PT Z sebagai sumber penyedia sampel disebabkan oleh selama 10

tahun beroperasi, hampir tidak terjadi keluhan pelanggan mengenai produk tuna yang

dihasilkan. Hal ini akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pelanggan terhadap PT

Z. Pelanggan merasa puas terhadap kualitas produk tuna, terlebih lagi kualitas

pelayanan perusahaan menjadi prioritas utama dalam menghargai setiap pembeli yang

datang. Selain itu, PT Z merupakan satu-satunya perusahaan tuna Indonesia yang

tidak terkena aturan CD 235 tahun 2006 yang dikeluarkan oleh UE, sehingga produk

tuna PT Z dapat dipercaya memiliki kualitas yang baik.

51

Lampiran 2 Morfologi koloni bakteri (Tiwari et al. 2009)

52

Lampiran 3 Morfologi sel bakteri (Tiwari et al. 2009)

53

Lampiran 4 Data uji statistik hasil analisis histamin

The GLM Procedure

Variabel terikat (dependent variable): respon1

Sumber (source) Derajat

bebas

(DF)

Jumlah

kuadrat

(sum of

squares)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

Value)

Pr > F

Model 13 17317,84897 1332,14223 4999,64 <,0001

Kesalahan (error) 22 5,86184 0,26645

Total koreksi

(corrected total)

35 17323,71082

Koef determinasi (R-

Square)

Koef. keragaman (Coeff

Var)

Root

MSE

Respon1 Mean

0,999662 4,669907 0,516185 11,05344

Sumber

(source)

DF Jumlah kuadrat

(Type I SS)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

value)

Pr > F

fak1 1 240,852103 240,852103 903,94 <,0001

fak2 1 3732,510574 3732,510574 14008,4 <,0001

fak1*fak2 1 268,712654 268,712654 1008,50 <,0001

fak3 2 6281,641318 3140,820659 11787,8 <,0001

fak1*fak3 2 241,578858 120,789429 453,33 <,0001

fak2*fak3 2 6256,864743 3128,432371 11741,3 <,0001

fak1*fak2*fak3 2 295,052007 147,526003 553,68 <,0001

Keterangan:

Fak1 : Lokasi daging

Fak2 : Suhu penyimpanan

Fak3 : Lama penyimpanan

* : Interaksi

Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata,

sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan

hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.

54

Means with the same letter are

not significantly different,

Duncan Grouping Mean N fak1

A 71,3474 3 PT1H3

B 45,6645 3 ET1H3

C 7,3427 3 PT1H2

D 1,4266 3 ET2H3

D

E D 1,2909 3 ET1H2

E D

E D 1,2843 3 PT2H2

E D

E D 1,1748 3 ET2H2

E D

E D 0,9732 3 PT1H1

E D

E D 0,7962 3 ET1H1

E D

E D 0,5479 3 PT2H1

E D

E D 0,4483 3 ET2H1

E 0,3445 3 PT2H3

Keterangan:

P : perut

E : ekor

T1 : suhu 4-5 ºC

T2 : suhu -2-1 ºC

H1 : penyimpanan 0 hari

H2 : penyimpanan 2 hari

H3 : penyimpanan 7 hari

55

Lampiran 5 Data uji statistik hasil analisis TVB

The GLM Procedure

Dependent Variable: respon1

Sumber (source) Derajat

bebas

(DF)

Jumlah

kuadrat

(sum of

squares)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

Value)

Pr > F

Model 13 6,59820641 0,50755434 31,79 <,0001

Kesalahan (error) 22 0,35121038 0,01596411

Total koreksi

(corrected total)

35 6,94941679

Koef determinasi (R-

Square)

Koef. keragaman (Coeff

Var)

Root

MSE

Respon1 Mean

0,949462 4,206785 0,126349 3,003461

Sumber

(source)

DF Jumlah kuadrat (Type

I SS)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

value)

Pr > F

fak1 1 0,00682426 0,00682426 0,43 0,5200

fak2 1 0,88082027 0,88082027 55,18 <,0001

fak1*fak2 1 0,08790073 0,08790073 5,51 0,0284

fak3 2 4,24360235 2,12180117 132,91 <,0001

fak1*fak3 2 0,01866004 0,00933002 0,58 0,5658

fak2*fak3 2 1,22396300 0,61198150 38,33 <,0001

fak1*fak2*fak3 2 0,09570304 0,04785152 3,00 0,0706

Keterangan:

Fak1 : Lokasi daging

Fak2 : Suhu penyimpanan

Fak3 : Lama penyimpanan

* : Interaksi

Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata,

sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan

hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.

56

Lampiran 6 Data uji statistik hasil analisis ALT

The GLM Procedure

Dependent Variable: respon1

Sumber (source) Derajat

bebas

(DF)

Jumlah

kuadrat

(sum of

squares)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

Value)

Pr > F

Model 13 220,6291423 16,9714725 274,94 <,0001

Kesalahan (error) 22 1,3580016 0,0617273

Total koreksi

(corrected total)

35 221,9871439

Koef determinasi (R-

Square)

Koef, keragaman (Coeff

Var)

Root

MSE

Respon1 Mean

0,993883 2,281439 0,248450 10,89005

Sumber

(source)

DF Jumlah kuadrat (Type

I SS)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

value)

Pr > F

fak1 1 1,0270972 1,0270972 16,64 0,0005

fak2 1 16,2380602 16,2380602 263,06 <,0001

fak1*fak2 1 8,5355740 8,5355740 138,28 <,0001

fak3 2 156,6173834 78,3086917 1268,62 <,0001

fak1*fak3 2 3,5393598 1,7696799 28,67 <,0001

fak2*fak3 2 34,1868212 17,0934106 276,92 <,0001

fak1*fak2*fak3 2 0,3505811 0,1752905 2,84 0,0800

Keterangan:

Fak1 : Lokasi daging

Fak2 : Suhu penyimpanan

Fak3 : Lama penyimpanan

* : Interaksi

Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata,

sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan

hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.

57

Lampiran7 Data uji statistik hasil analisis BPH

The GLM Procedure

Dependent Variable: respon1

Sumber (source) Derajat

bebas

(DF)

Jumlah

kuadrat

(sum of

squares)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

Value)

Pr > F

Model 13 11,33352 0,871809 6,32 <,0001

kesalahan (error) 22 3,057375 0,138972

Total koreksi

(corrected total)

35 14,39089

Koef determinasi (R-

Square)

Koef keragaman (Coeff

Var)

Root

MSE

respon1 Mean

0,992420 2,14260 100039,7 432275,0

Sumber

(source)

DF Jumlah kuadrat (Type

I SS)

Nilai tengah

kuadrat

(mean square)

Nilai F

(F

value)

Pr > F

fak1 1 10,01406025 10,01406025 10,01 0,0045

fak2 1 15,437369 5,437369 243,31 <,0001

fak1*fak2 1 2,4550373 2,4550373 24,53 <,0001

fak3 2 12,2226192 6,113096 610,83 <,0001

fak1*fak3 2 12,759365 6,879682 6,87 0,0048

fak2*fak3 2 25,026902 5,1345099 113,04 <,0001

fak1*fak2*fak3 2 3,7852559 1,8926279 8,91 0,0100

Keterangan:

Fak1 : Lokasi daging

Fak2 : Suhu penyimpanan

Fak3 : Lama penyimpanan

* : Interaksi

Bila nilai Pr > F lebih kecil dari 0,05, menunjukkan perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata,

sehingga perlu dilakukan uji lanjut. Jika sebaliknya, maka tidak menunjukkan perlakuan memberikan

hasil yang berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjut.

58

Lampiran 8 Contoh perhitungan kadar histamin

a. Pembacaan awal standar dan sampel

59

60

b. Persamaan regresi standar histamin

IU

0 0,460 a 0,5496

0,0025 1,240 b 406,72995

0,005 2,727 r 0,99828

0,01 4,980

0,02 8,679

0,04 16,733

y = a + bx

1,003 = 0,5496 + 406,72995x

x = 0,0011

c. Perhitungan kadar histamin yang dihasilkan sampel 1

Konsentrasi histamin (µg/g) = x . (volume akhir (ml). faktor pengenceran)

gram sampel

= 0,0011. 50. 100

10,0000

= 0,5574 µg/g

= 0,5574 ppm

61

Lampiran 9 Contoh perhitungan kadar TVB

Kadar TVB daging perut; 4,4 ºC; Hari ke-0 ulangan 1

= vol ,titrasi sampel −vol ,titrasi blanko x N HCl x Ar N x faktor pengenceran x 100

bobot sampel

= 1,9 ml−0,02 ml x 0,0193x 14,007x2 x 100

10,0075 g

=10,1570 mg N/100 g

62

Lampiran 10 Contoh hasil pembacaan API kit

63

Lampiran 11 Dokumentasi penelitian

Gambar 1 Media analisis BPH

Gambar 2 Media analisis ALT

Gambar 3 Alat penghitung koloni

Gambar 4 Homogenizer

Gambar 5 Alatdestilasi analisis TVB

Gambar 6 Larutan blanko dan larutan contoh

analisis TVB

64

Gambar 7 Proses persiapan sampel analisi

histamin

Gambar 8 Proses pemurnian sampel analisis

histamin

Gambar 9 Proses derivatisasi analisis histamin

Gambar 10 Isolasi bakteri dengan metode gores

kuadran

Gambar 11 API kit

Gambar 12 Indikator pembacaan hasil API kit

20 NE

65

Lampiran 12 Pertimbangan penentuan suhu berdasarkan risk assessment

Tabel pertimbangan penentuan suhu berdasarkan risk assessment

Lama

penyimpanan

Lokasi daging

Perut Ekor

Suhu penyimpanan (°C)

4-5 -2-1 4-5 -2-1

Pro/Sev Pro/Sev Pro/Sev Pro/Sev

0 hari L/NL L/NL L/NL L/NL

2 hari L/L L/NL L/L L/NL

7 hari H/ML L/NL H/NL H/ML

Keterangan:

Pro : probability (Low, Medium, High)

Sev : severity (Not Likely, May Likey, Automatic)