himpunan peraturan perundang-undangan di bidang … · perangkat hukum berupa peraturan...

564
DEWAN KELAUTAN INDONESIA HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KELAUTAN Diterbitkan Oleh : DEWAN KELAUTAN INDONESIA SEKRETARIAT DEWAN KELAUTAN INDONESIA Ged. Mina Bahari I Departemen Kelautan dan Perikanan Lt. 3 Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta Pusat 10110 Tahun Anggaran 2009

Upload: others

Post on 04-Feb-2020

55 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • DEWAN KELAUTAN INDONESIA

    HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

    DI BIDANG KELAUTAN

    Diterbitkan Oleh :

    DEWAN KELAUTAN INDONESIA SEKRETARIAT DEWAN KELAUTAN INDONESIA

    Ged. Mina Bahari I Departemen Kelautan dan Perikanan Lt. 3

    Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta Pusat 10110

    Tahun Anggaran 2009

  • PENGANTAR PENERBITAN

    Laut merupakan pilar utama ekonomi negara dan pemersatu bangsa, sebagai media transportasi antar pulau maupun

    negara, sebagai objek wisata maupun keamanan dan pertahanan negara. Dalam pengelolaannya dibutuhkan

    perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya.

    Sejak tahun 1927, sudah banyak peraturan perundang-undangan di bidang kelautan diterbitkan dan diterapkan

    di Indonesia, namun belum banyak orang yang mengetahui dan memahaminya, terlebih para pemangku kepentingan

    di laut.

    Atas dasar pemikiran tersebut, Dewan Kelautan Indonesia berinisiatif menghimpun berbagai peraturan

    perundangan-undangan di bidang kelautan. Penyusunan buku himpunan peraturan perundang-undangan dibagi

    menjadi dua buku, Buku I berisi mengenai Undang-Undang, sedangkan pada Buku II berisi mengenai Peraturan

    Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, dan Keputusan Menteri.

    Diharapkan dengan terbitnya buku himpunan peraturan perundang-undangan ini dapat digunakan oleh para

    pemangku kepentingan di laut maupun para pengambil kebijakan di Negara Indonesia, sebagai pedoman dalam

    pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam laut Indonesia.

    Dewan Kelautan Indonesia memberikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada semua pihak

    yang telah memberikan berbagai informasi dan bahan sehingga dapat tersusun himpunan peraturan perundang-

    undangan ini. Semoga dengan terbitnya Himpunan Peraturan Perundang-undangan ini akan menambah wawasan

    dan pemahaman tentang kelautan bagi para pembaca.

    Jakarta, April 2009

    Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia

  • DAFTAR ISI

    Hal

    1. Ordonansi Dinas pemanduan kapal tahun ............................................... 1

    2. Ordonansi kapal-kapal pedalaman tahun 1927 ........................................ 7

    3. Ordonansi surat laut dan pas kapal 1935 ................................................. 11

    4. Paraturan pelayaran tahun 1936 ................................................................ 21

    5. Undang-undang pelayaran Indonesia tahun 1936 .................................. 25

    6. Ordonansi mahkamah pelayaran tahun 1938 ............................................ 29

    7. Peraturan pendaftaran kapal tahun 1938 .................................................. 35

    8. Ordonansi laut teritorial dan lingkungan-lingkungan

    maritim tahun 1939....................................................................................... .47

    9. UUD negera RI tahun 1945 ......................................................................... 49

    10 Ordonansi ijin masuk tahun 1949 ...............................................................69

    11. Pengumuman pemerintah mengenai wilayah perairan negera

    RI Tahun 1958 ...............................................................................................73

    12. Konvensi landas kontinen tahun 1958 ..................................................... 75

    13. Konvensi tentang laut bebas tahun 1958 ................................................. 81

    14. Konvensi mengenai pengambilan ikan serta hasil laut dan

    pembinaan sumber hayati laut bebas tahun 1958 .................................... 93

    15. Undang-undang no. 4 prp tahun 1960 tentang perairan Indonesia ...... 101

    16. Undang-undang no. 19 tahun 1961 tentang persetujuan atas

    tiga konvensi tahun 1958 mengenai hukum laut ...................................... 107

    17. Undang-undang no 16 tahun 1964 tentang bagi hasil perikanan ......... 111

    18. Perjanjian antara RI dan Malaysia tentang penetapan Garis batas

    laut wilayah kedua negara di selat malaka tahun 1970 ............................ 131

    19. Undang-undang RI no 2 tahun 1971 tentang perdjanjian antara RI

    dan Malaysia tentang penetapan garis batas laut wilayah

    kedua negara diselat malaka .......................................................................133

    20. Undang-undang RI no 1 tahun 1973 tentang

    landas kontinen Indonesia ..........................................................................137

    21. Undang-undang RI no 7 tahun 1973 tentang perjanjian antara RI

    dan laut wilayah kedua negara di selat singapura ................................ 145

    22. Undang-undang RI no 11 tahun 1974 tentang pengairan .................... 149

    23. Undang-undang RI no 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan

    pokok pertahanan keamanan negara RI ............................................... 167

    24. UNCLOS Bahasa Indonesia tahun 1982 ............................................209

    25. Undang-undang RI no 1 tahun 1983 ttg pengesahan perjanjian

    antara RI dan Malaysia tentang rejim hukum negara nusantara

    dan hak-hak Malaysia di laut teritorial dan perairan nusantara

    serta ruang udara diatas laut teritorial, perairan nusantara

    dan wilayah RI yang terlatak di antara malaysia timur dan

    Malaysia barat ..................................................................................... 359

    26. Undang-undang RI no 5 tahun 1983 tentang

    zona ekonomi eksklusif Indonesia ....................................................... 365

    27. Undang-undang RI no 9 tahun 1985 tentang perikanan ...................... 383

    28. Undang-undang RI no 17 tahun 1985 tentang

    pengesahan UNCLOS ........................................................................ 409

  • 29. Undang-undang RI no 16 tahun 1992 tentang karantina

    hewan ikan dan tumbuhan ................................................................... 421

    30. Undang-undang RI no 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia ........ 445

    31. Undang-undang RI no 31 tahun 2004 tentang perikanan .................... 471

    32. Undang-undang RI no 16 tahun 2006 tentang sistem

    penyuluhan pertanian perikanan dan kehutanan .................................. 531

    33. Undang-undang RI no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang ............ 561

    34. Undang-undang RI no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan

    wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ................................................. 639

    35. Undang-undang RI no 17 tahun 2008 tentang pelayaran ..................... 697

    36. Undang-undang no. 21 tahun 2009 tentang Persetujuan Pelaksanaan

    Ketentuan-ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

    Tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan

    dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya

    Jauh ................................................................................................................ 863

  • Ordonansi Dinas Pemanduan Kapal

    (Loodsdienstordonnantie)

    S. 1927-62.

    Catatan: Dg.Ordonansi ini dicabut: Loodsreglement (S. 1914-222) dan ketentuan-ketentuan setempat tentang Pengaturan

    Pemanduan Kapal.

    Pasal 1. Dalam ordonansi ini yang diartikan dengan:

    I. “perairan pandu”: suatu perairan pelayaran, yang mempunyai dinas pemanduan, berdasar-kan ketentuan dalam

    pasal 2; tidak diwajibkan

    II. “perairan pandu luar biasa”: suatu perairan pandu,di mana memakai pertolongan pandu;

    “nakhoda”: pemegang pimpinan kapal atau yang menggantinya;

    “kapal”: setiap kapal atau kendaraan air;

    “pelayaran khusus”: suatu pelayaran khusus dari suatu kapal di pelabuhan atau bandar yang mempunyai suatu

    dinas pemanduan, selama pelayaran itu dilakukan di dalam perairan pandu;

    “pandu”: seseorang yang diangkat sebagai pandu oleh negara atau yang diterima sementara sebagai pandu;

    “kapal pandu” suatu kendaraan air yang dipakai untuk dinas pemanduan, kecuali kapal-kapal suar pandu;

    “bendera dinas pemanduan” bendera biru dengan bintang di tengah-tengahnya;

    “isi” suatu kapal): isi kotor;

    “Inspektur Umum”: Kepala Jawatan Pelayaran;

    “Superintenden”: syahbandar yang ditugaskan menguasai dinas pemanduan.

    Pasal 2. Oleh atau atas nama Kepala Negara ditunjuk perairan-perairan, di mana diadakan urusan pemanduan dan ditetapkan

    di antara perairan-perairan mana yang menjadi “perairan pandu luar biasa”.

    Pasal 3. Nakhoda setiap kapal diwajibkan memakai seorang pandu, ketika melayani perairan pandu yang bukan perairan

    pandu luar biasa, dan begitu pula ketika melakukan pelayaran khusus, kecuali:

    a. kalau superintenden telah mengizinkan untuk melayari perairan pandu atau melakukan pelayaran khusus tanpa

    pandu;

    b. kalau tidak tersedia pandu;

    c. kapal-kapal Negara atau kapal-kapal perang di bawah bendera Negara sahabat, yang berlayar ke dan dari

    cerocok sandar atau dermaga dan untuk pelayaran khusus, tetapi dengan pengerti, bahwa superintenden

    berwenang mewajibkan pertolongan pandu bagi kapal-kapal tersebut di atas;

    d. kapal-kapal yang isi kotornya kurang daripada isi kotor yang oleh atau atas nama Kepala Negara telah

    ditetapkan sebagai batas wajib pandu;

    e. kalau oleh atau atas nama Kepala Negara telah diberikan pembebasan.

    Pasal 4. (1) Pandu diwajibkan memberikan petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk berlayar dengan selamat dan untuk

    ketertiban lalu-lintas; nakhoda diharuskan mengizinkan kepada pandu memasuki tempat-tempat, yang oleh

    pandu dipandang perlu untuk melakukan dinasnya.

    (2) Bila nakhoda memintanya, pandu dapat mengambil alih pengemudian kapal, tetapi nakhoda tetap

    bertanggungjawab (Lihat S. 1915-327 dimana ditetapkan dengan Kon. Besluit tanggal 6 Pebruari 1915 No 110,

    bahwa Indonesia tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian yang dilakukan oleh

    pegawai yang berwenang untuk mengerjakan dinas kepanduan).

    Pasal 5. (1) yang berwenang untuk menjalankan dinas pemanduan-.

    a. superintenden, para syahbandar dan para syahbandar muda yang diperbantukan kepadanya atas siapa

    berlaku ketentuan-ketentuan ordonansi mengenai pemanduan ini, ketika menjalankan dinas pemanduan;

  • b. para pandu.

    (2) Nakhoda harus mengusahakan, selama pandu berada di kapal, mengibarkan bendera dinas pemanduan yang

    diberikan kepadanya oleh pandu.

    (3) Orang-orang yang tidak dimaksudkan dalam ayat (1) dan orang-orang yang tidak termasuk awak kapal, dilarang

    melakukan dinas pemanduan di dalam batas-batas perairan pandu, kecuali kalau perairan pelayaran itu suatu

    “perairan pandu luar biasa”, dan kalau dimintakan seorang pandu, sesuai dengan peraturan-peraturan yang

    ditetapkan, akan tetapi pandunya tidak ada.

    Pasal 6. (1) Nakhoda harus mengukur dalamnya air di perairan pandu dekat dan pada ambang-ambang dan di tempat-tempat

    lain, di mana dipandang perlu oleh pandu dan memberitahu-kan hasilnya kepada pandu.

    (2) Ia harus memberikan segala keterangan yang diperlukan kepada pandu tentang surat kapal, kemampuan gerak

    kapal, keadaan-keadaan dan kekurangan-kekurangan kapal dan salah tunjuk kompas.

    Pasal 7. Nakhoda diwajibkan, selama pandu berada di kapal, memberikan makan yang layak pada waktu-waktu yang tertentu

    dengan cuma-cuma dan bila perlu menyediakan tempat tidur yang layak.

    Pasal 8. (1) Di tempat-tempat kedudukannya, di kapal-kapal suar pandu dan tempat-tempat di ujung perairan pandu, pandu-

    pandu itu dibawa ke dan di jemput dari kapal oleh dinas pemanduan.

    (2) Bagi kapal-kapal yang pergi ke laut, maka perjalanan pandu dianggap selesai sudah, jika telah tiba pada batas

    antara laut dan perairan pandu; dan bagi kapal-kapal lainnya, jika kapal-kapal itu telah dilabuhkan atau

    disandarkan dengan selamat di dalam batas-batas bandar atau di pelabuhan, atau di tempat tujuannya selama

    tempat itu terletak di dalam batas-batas perairan pandu, atau bila tempat itu terletak di luar batas-batas perairan

    pandu yang bersangkutan.

    (3) Dalam hal-hal yang tak terduga, kalau pada dinas pemanduan tidak tersedia alat-alatnya, atau kalau tempat

    berangkat atau tempat tujuan kapal terletak tidak pada ujung perairan pandu yang bersangkutan atau pada ujung

    suatu “perairan pandu luar biasa”, maka nakhoda, atas biayanya, harus menyeberang-kan pandu ke atau dari

    salah satu ujung itu, yang sebelumnya telah ditunjuk oleh superintenden, pada saat yang telah ditetapkannya.

    Pasal 9. (1) Nakhoda tidak boleh menahan pandu di kapal setelah pandu selesai membawa kapal sesuai dengan tugasnya.

    (2) Nakhoda diwajibkan menjalankan kapalnya seperlunya dan menghentikannya, atau mengurangi lajunya kapal

    untuk memberi kesempatan kepada pandu, begitu pula kepada para pegawai lainnya, yang berada di kapal itu

    karena diperlukan untuk melakukan tugasnya, naik atau turun dari kapal dengan selamat.

    (3) Jika diminta oleh pandu, maka nakhoda harus menggandeng alat penyeberang pandu, dalam hal mana dengan

    memperhatikan petunjuk-petunjuk pandu itu, ia harus mengemudikan kapalnya sedemikian hingga tidak

    membahayakan alat penyeberang pandu itu.

    Pasal 10. Diwaktu siang hari semua kapal harus mengibarkan bendera kebangsaannya setelah terlihatnya kapal suar pandu dan

    di dalam batas-batas perairan pandu.

    Pasal 11.

    (1) Nakhoda harus mengusahakan, agar tidak membuang minyak dalam perairan pandu dan di perairan pandu itu

    yang dalamnya kurang daripada 20 m, tidak membuang abu atau sampah lainnya atau tolak bara yang akan

    mengendap.

    (2) Pandu-pandu harus mengamat-amati jangan sampai ketentuandalam ayat di atas dilanggar.

    (3) Bila di perairan pandu kapal kehilangan jangkar, dadung atau rantai, maka nakhoda diwajibkan berusaha secepat

    dan setepat mungkin menjajagi tempat itu dan memberitahukannya kepada superintenden atau kepada pandu.

    (4) Bila si pemilik atau kuasanya tidak mengangkat jangkar,dadung dan rantai yang hilang dalam waktu 14 hari,

    maka superintenden dapat menyuruh mengangkatnya atas biaya si pemilik.

    (5) Bila pelayaran dalam perairan pandu, menurut pertimbangan superitenden akan terancam bahaya atau akan

    terganggu karena jangkar, dadung dan rantai itu, maka ia bisa menyuruh mengangkatnya dengan segera setelah

    barang-barang itu hilang.

    (6) Untuk memancing, mengangkat dan menyimpan oleh atau atas nama super-intenden atau untuk usaha

    memancing, mengangkat dan menyimpan jangkar, dadung dan rantai yang hilang di perairan pandu, si pemilik

  • barang-barang itu atau kuasanya dikenakan pembayaran kerugian kepada Negara;oleh atau atas nama Kepala

    Negara ditetapkan seperlunya cara menghitung pembayaran kerugian itu.

    (7) Superintenden mengembalikan barang-barang yang disimpan itu kepada si pemilik atau kuasanya setelah

    dilakukan pembayaran kerugian.

    (8) Bila si pemilik atau kuasanya tidak ada, atau bila barang-barang yang disimpan-nya itu dalam waktu 3 bulan,

    setelah kepada sipemilik atau kuasanya oleh atau atas nama superintenden diberitahu tentang besarnya kerugian

    itu, tidak diambil dengan membayar kerugian itu maka barang-barang itu diberikan kepada si penemu barang

    rampasan pantai itu.

    Pasal 12. (1) Setelah selesai perjalanan pandu itu, nakhoda diwajibkan dengan segera mengisi dengan selengkapnya,

    menandatangani dan mengembalikan sertifikat pandu yang diberikan kepadanya oleh pandu, sebagai bukti

    bahwa kapal telah dipandu, model sertifikat pandu itu ditetapkan oleh Direktur Pelayaran (S. 1947-50.)

    (2) Bila kapal dipandu tidak dengan selayaknya, maka nakhoda harus menyatakan-nya dalam sertifikat pandu;

    pengaduan masih bisa pula diajukan kepada super-intenden dengan lisan dan tertulis.

    Pasal 13. (1) Ketentuan-ketentuan mengenai permintaan pandu ditetapkan atau atas nama Kepala Negara,

    (2) Nakhoda harus mengusahakan bahwa di kapal tidak dilakukan penyalahgunaan dari suatu isyarat, yang telah

    ditetapkan untuk meminta pandu,dan yang diberikan prioritas itu.

    Pasal 14. (1) Sesuai dengan tarif-tarif dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh atau atas nama Kepala Negara, ditarik

    uang pandu:

    a. untuk kapal-kapal yang melayari perairan pandu;

    b. dalam hal pemberian pertolongan pandu dalam “pelayaran khusus” akan diberikan dengan cuma-cuma,

    dalam hal-hal yang tidak ditetapkan tarif-tarifnya.

    (2) Sebagai Pengganti kerugian, karena tidak pada waktunya memasukkan, meng-ubah atau mencabut permintaan

    pandu, dibayar tambahan uang pandu, sesuai dengan tarif-tarif dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan

    oleh atau atas nama Kepala Negara.

    Pasal 15.

    (1) Dalam perairan pandu, di tempat-tempat yang ditunjuk oleh atau atas nama Kepala Negara, dilarang memasang

    tonggak-tonggak penangkapan ikan atau lainnya yang merintangi lalu-lintas pelayaran.

    Oleh atau atas nama Kepala Negara ditetapkan siapa-siapa yang berwenang menyingkirkan barang-barang itu

    atas biaya dan bahaya terhadap si pelanggar

    (2) Nakhoda-nakhoda harus mengusahakan, bahwa di tempat-tempat yang telah ditunjuk oleh atau atas nama

    Kepala Negara yang masih merupakan bagian dari perairan pandu, agar kapal-kapalnya berlabuh dengan

    memakai dua jangkar.

    Pasal 16.

    (1) Dipidana denda paling tinggi: pasal 7, 12 ayat (1), 15 ayat(1);

    a. Rp. 25,- setiap pelanggaran ketentuan dalam pasal-15 ayat(2);

    b. Rp. 50,- nakhoda yang melanggar ketentuan dalam pasal-pasal4 ayat (1), ayat (2), atau tidak berusaha

    memenuhi ketentuan dalam pasal 10;

    c. Rp. 100,- setiap pelanggaran ketentuan dalam pasal-pasal 6,13 ayat (2);

    d. Rp. 200,- setiap pelanggaran ketentuan dalam pasal-pasal 3,8 ayat (3), 9,

    e. Rp. 2,- per- M3 isi kapal sampai maksimum Rp. 500,- nakhoda yang melanggar ketentuan dalam pasal 11

    ayat (1).

    (2) dipidana kurungan paling tinggi 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000, - setiap pelanggaran pasal 5 ayat

    (3).

    (3) Tindak pidana yang ditetapkan menurut ordonansi ini dianggap sebagai pelanggaran-pelanggaran.

  • Pasal 17. Pengusutan pelanggaran-pelanggaran ordonansi ini, selain kepada pegawai-pegawai polisi, ditugaskan pula kepada

    syahbandar dan pegawai negeri bawahan-nya yang ditugaskan untuk pekerjaan itu; pun pegawai-pegawai inspektur-

    inspektur dari Direktorat Pelayaran berwenang untuk melakukan itu.

    Pasal 18. Untuk pembayaran-pembayaran uang pandu berdasarkan ordonansi itu dan pembayaran-pembayaran lainnya, kapal

    yang bersangkutan terikat dan dapat disita sesuai dengan putusan hakim (executabel).

    Pasal 19. Segala sesuatu yang selanjutnya diberlakukan untuk melaksanakan ordonansi ini diatur oleh atau atas nama Kepala

    Negara.

    Ordonansi ini dapat disebut sebagai “Ordonansi Dinas Pemanduan Kapal” dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli

    1927

  • Ordonansi Kapal-Kapal Pedalaman –1927

    (Binnenschepen-ordonnantie).

    S. 1927-289, s.d.t. dg. S.1929-111

    Ordonansi ini mengatur pengawasan terhadap kapal-kapal dan alat-alat kendaraan air yang digunakan untuk

    mengangkut orang, barang dan/atau binatang di bandar-bandar,sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaman.

    Pasal 1. (1) Di mana pengawasan terhadap kapal-kapal dan alat-alat kendaraan air yang digunakan untuk mengangkut orang,

    barang dan/atau binatang di bandar-bandar, sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaman dianggap perlu oleh

    Dewan Daerah dan Kepala Pemerintahan Daerah, seperti dimaksud dalam pasal berikut, Pengawasan tersebut

    dilakukan di tempat-tempat di mana ber-kedudukan syahbandar: oleh syahbandar, di tempat tempat lainnya:

    oleh pejabat yangditunjuk untuk itu; tetapi satu dan lain dengan pengertian, bahwa di tempat dimana ada

    seorang pejabat syahbandar, seorang pejabat lain dapat diberi tugas untuk pengawasan tersebut, sebagai

    gantinya.

    (2) Pejabat syahbandar sebanyak mungkin harus bekerja dengan bantuan seorang tenaga ahli.

    Pasal 2. (1) Aturan-aturan yang mengatur tentang pengawasan yang dimaksud dalam pasal terdahulu dan sehubungan

    dengan pengawasan itu persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal dan alat-alat kendaraan

    air berkenaan dengan kelayakan, susunan perlengkapan dan awak kapalnya, sejauh hal ini belum atau tidak akan

    diatur oleh Menteri Perhubungan,di daerah tingkat I ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Daerah tingkat I dan

    didaerah tingkat II oleh Dewan Perwakilan Daerah tingkat II, dengan pengertian,bahwa bila suatu daerah

    termasuk dalam lebih dari satu daerah tingkat II,pengaturan di laksanakan oleh Dewan Perwakilan Daerah dari

    daerah yang terbesar.

    (2) Untuk bagian-bagian daerah tidak termasuk yang dimaksud dalam ayat terdahulu, Pengaturan dilakukan oleh

    Kepala Pemerintahan Daerah.

    Pasal 3. (1) Pada aturan-aturan dimaksud dalam pasal 2 akan ditentukan,bahwa untuk kapal-kapal dan alat-alat kendaraan

    air yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan, sebagai buktinya akan diberikan sertifikat.

    (2) Untuk tiap pemeriksaan yang diadakan sehubungan dengan permohonan untuk memperoleh sertifikat, pemilik

    kapal atau alat kendaraan air bersangkutan harus membayar biaya kepada Negara sesuai tarif yang ditetapkan

    Menteri Perhubungan.

    (3) (s.d.t. dg. S. 1929-111.) Dokumen-dokumen, yang dibuat untuk memenuhi ketetapan-ketetapan ordonansi ini

    dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya adalah bebas meterai, kecuali yang ditujukan kepada atau yang datang

    dari Menteri Perhubungan.

    Pasal 4. (1) Tiap Pejabat yang diserahi tugas pengawasan untuk membuat daftar mengenai sertifikat-sertifikat yang

    dikeluarkan di tempat kedudukannya,diserahi pengawasan terus-menerus terhadap kapal-kapal dan alat-alat

    kendaraan air dan pekerjaan-pekerjaan administrasi yang bertalian dengan pengawasan, mengurus penagihan

    dan penyetoran ke dalam Kas Negara dari biaya-biaya yang terutang dimaksud dalam ayat (2) pasal terdahulu

    dan mengusahakan agar permohonan pemeriksaan secepat mungkin

    (2) Untuk tiap pemeriksaan yang diadakan sehubungan dengan permohonan untuk memperoleh sertifikat, kepada

    pejabat dimaksud dalam ayat terdahulu dan demikian pula kepada tenaga ahli, seperti dimaksud dalam ayat

    (2)pasal 1, yang mengadakan pemeriksaan atau memberi bantuan kepadanya pada waktu pemeriksaan, sesuai

    permintaan pejabat syah bandar, diberikan uang jasa dari Kas Negara sesuai aturan-aturan yang ditetapkan oleh

    Menteri Perhubungan.

    Pasal 5. Wewenang untuk menunjuk pejabat-pejabat dimaksud dalam pasal 1, dan orang-orang yang dapat membantu

    pejabat syahbandar sebagai tenaga ahli ada pada Dewan Perwakilan Daerah dan Kepala Pemerintahan Daerah,

    menurut kekhususannya masing-masing yang dibuat dalam pasal 2.

  • Pasal 6. (1) Kapal laut, seperti dimaksud dalam pasal 1 Ordonansi Kapal-kapal 1927, pada waktu berlayar ke dan dari

    perairan luar tidak tunduk pada pengawasan dimaksud dalam pasal 1.

    (2) Bila kapal laut digunakan untuk pelayaran dimaksud dalam pasal 1, maka sertifikat-sertifikat yang diberikan

    berdasarkan Ordonansi Kapal-kapal 1927 yang masih berlaku, dapat menggantikan sertifikat-sertifikat sejenis,

    yang dikeluarkan berdasarkan pasal 3 ayat (1) ordonansi ini.

    Pasal 7. (1) Ordonansi ini dapat disebut sebagai : “Ordonansi Kapal-kapal Pedalaman-1927”.

    (2) Ordonansi ini berlaku sejak hari, Ordonansi Kapal-kapal 1927 mulai berlaku.

    Ditetapkan di Batavia

    pada tanggal 12 Mei 1927.

  • Ordonansi Surat Laut Dan Pas Kapal

    (ZeebrievenenScheepspassenordonnantie).

    S. 1935-492 jo. 565, mb. 1Desember 1935.

    Catatan:

    1. Sebelum ordonansi ini telah ada terlebih dahulu ”Zeebrievenen Scheepspassenbesluit 1934" atau Penetapan

    Surat Laut dan Pas Kapal 1934. (K.B. 27 Nov. 1933; S. 1934-78 jo. S. 1935-89.)

    2. Ordonansi ini dilengkapi dengan pasal-pasal dari Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal (singkatan Z. en S.besl.)

    yang ada hubungannya dengan ordonansi ini dan yang dianggap penting, dan dimuat sesudah pasal-pasal yang

    bersangkutan.

    3. Singkatan yang digunakan:

    Z. en S.besl. = Zeebrieven-en Scheepspassenbesluit 1934.

    (Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal 1934).

    Z. en S.verord. = Zeebrieven-en Scheepspassenverordening1935; S. 1935-564 jo. 565.

    (Peraturan Surat Lautdan Pas Kapal 1935).

    4. Dengan dicabutnya ordonansi tanggal 1 Mei 1915 (S.1915-342), S. d. u. terakhir dg. ordonansi tanggal 11 Mei

    1927 (S. 1927-21 1),ditetapkan ketentuan-ketentuan di bawah ini.

    Pasal 1. (1) Istilah-istilah yang digunakan dalam ordonansi ini: laut, kapal laut, kapal laut Indonesia dan nakhoda

    mempunyai arti yang sama seperti yang dimaksud dalam Z. en S-besl. 1934 (Penetapan Surat Laut dan Pas

    Kapal 1934).

    Catatan: Menurut pasal 1 Z. en S.besl. 1934 yang dimaksud dengan:laut, semua wilayah laut, termasuk di dalamnya

    tanjung-tanjung, dan selat-selat yang berada di luar daerah perbatasan yang ditentukan; kapal laut, setiap

    kendaraan air untuk pelayaran di laut atau yang dipergunakan untuk kepentingan itu; (KUHD 310.)

    nakhoda, pemegang pimpinan (komando) kapal atau orang yang meng-gantinya. (KUHD 341, 341d.)

    (2) Dalam ordonansi ini yang dimaksud dengan:

    kapal nelayan laut:

    kapal laut yang digunakan untuk menangkap ikan di laut, mengangkut hasil tangkapan dan mengangkut

    barang-barang yang dibutuhkan dalam usaha tersebut, asal besarnya tidak melebihi isi kotor 100m3 atau

    lebih, dan dilengkapi dengan motor;

    kapal pesiar:

    kapal laut yang terdaftar pada perkumpulan (perserikatan) yang sah menurut hukum, seperti perkumpulan

    dayung, perahu motor atau perahu layar, yang khusus digunakan untuk kepentingan perkumpulan tersebut

    (rekreasi, sport dan pariwisata);

    syahbandar:

    syahbandar ahli dan pejabat pemerintah yang berdinas memimpin pelabuhan dan daerah pelabuhan;

    syahbandar ahli:

    Pegawai negeri yang bertindak selaku pengganti syahbandar; daerah-daerah otonom: daerah propinsi dan

    daerah bawahannya yang ditunjuk sebagai daerah otonom berdasarkan pasal 121 IndischeStaatsregeling.

    Pasal 2. (1) Nakhoda dari setiap kapal laut, kecuali kapal laut yang digunakan untuk tugas Negara, daerah-daerah

    Otonom/swaproja, kapal perang berbendera asing dan kapal laut yang isi kotornya kurang dari maksimum 5

    m3 yang ditentukan dengan peraturan pemerintah, yang berada atau ditempatkan di daerah yang ditunjuk oleh

    Pemerintah, diwajibkan datang dan memperlihatkan Surat laut,pas kapal dan bukti kebangsaan kapal yang

    bersangkutan pada waktu datang di dan berangkat dari pelabuhan, kepada pejabat yang dengan peraturan

    pemerintah ditugasi untuk urusan tersebut. (Z. en S.verord. la.)

    (2) Bila nakhoda tidak dapat memperlihatkan Surat laut, pas kapal, atau bukti kebangsaan kapal yang bersangkutan,

    maka nakhoda dan kapalnya dilarang bertolak ke laut;bila dianggap perlu pejabat yang dimaksud dalam ayat (1),

    dapat melarang bertolaknya kapal itu sampai nakhoda dapat memperlihatkan Surat-Surat yang diperlukan. (Z.

    en S.ord. 16; Z. en S.verord. 2.)

  • Pasal 3. (1) Surat laut diberikan bagi kapal laut yang isi kotornya berukuran 500 m3 atau lebih, yang bukan kapal nelayan

    laut atau kapal pesiar.

    (2) Surat laut diberikan oleh Gubemur Jenderal (kini dapat disamakan dengan Menteri Perhubungan) untuk waktu

    yang tidak ditetapkan dan dikeluarkan dalam bentuk (model) yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.(Z.

    en S. verord. 6 dst.)

    Pasal 4. (1) Pas kapal diberikan bagi kapal laut yang tidak mendapat Surat laut, pas kapal dapat dibedakan atas:

    a. Pas tahunan : untuk kapal-kapal yang mempunyai isi kotor 20 M3 atau lebih, tetapi kurang dari 500 M3,

    yang bukan kapal nelayan laut dan kapal pesiar;

    b. Pas kecil : untuk kapal-kapal yang isi kotornya kurang dari 20 M3 dan yang digunakan untuk kapal

    nelayan Laut dan kapal pesiar.

    (2) Pas kapal diberikan oleh pejabat yang ditunjuk berdasarkan peraturan pemerintah dan dikeluarkan dalam bentuk

    (model) yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

    (3) Pas tahunan diberikan untuk jangka waktu paling lama satu tahun; tetapi dengan Peraturan pemerintah dapat

    ditetapkan untuk jangka waktu lebih dari satu tahun, akan tetapi paling lama lima belas bulan. (Z, enS-verord.

    13 dst.)

    (4) Pas kecil diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan,tetapi setiap tahun harus ditandatangani oleh

    pejabat dengan cara yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. (Z. en S.verord. 19 dst.)

    Pasal 5. (1) (S. d. u. dg. S. 1937-591, S. 1938 -],

    2.) Untuk mendapatkan Surat laut atau pas kapal yang pertama kali, dalam meng-ajukan Surat permohonan harus

    dilampirkan:

    a. keterangan tertulis yang dibuat dalam bentuk (model) yang ditetapkan peraturan pemerintah, yang

    membuktikan bahwa kapal bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam pasal 2

    Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal 1934 (Z. en S-besi. 1934) dan dilengkapi pula dengan pernyataan

    bahwa kapal bersangkutan tidak dipersenjatai untuk berperang yang tidak bertentangan dengan sifat netral

    suatu negara.

    Catatan: Menurut pasal 2 (Z. en S.best. 1934) yang maksudnya telah disesuaikan dengan keadaan sekarang:

    kapal Indonesia adalah kapal yang:

    a. dimiliki bangsa Indonesia;

    b. paling sedikit 2/3 bagian menjadi milik bangsa Indonesia dan selebih-nya milik bangsa asing,

    sedangkan pemegang bukunya (boekhouder) bila itu diduduki oleh orang asing, harus bertempat tinggal

    di Indonesia.

    lihat pasal 16 ayat (4) Z. en S.ord.

    c. grosse atau salinan asli pendaftaran atau balik nama atas nama pe-mohon Surat laut atau pas kapal,

    kecuali bila bagi pemilik yang ber-sangkutan tidak berlaku Peraturan Pendaftaran Kapal (S. 1933-48),

    dalam hal mana Surat bukti milik lainnya cukup diperlihatkan kepada pejabat yang berwenang

    memberikan bukti kebangsaan untuk di pertimbangkan sebagaimana mestinya;

    d. Surat ukur kapal (Z. en S.ord. 9; Z. en S.verord. 6 dst.,14.)

    (2) Keterangan tertulis yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dibuat oleh pemilik, beberapa pemilik atau pemegang

    buku, tergantung dari pemilikan kapal tersebut oleh satu orang, beberapa orang, atau oleh pengusaha perkapalan

    (reedert) yang mengangkat seorang pemegang buku; bila pemilik atau pemilikan bersama suatu firma,

    persekutuan komanditer, perseroan terbatas, perkumpulan berbadan hukum atau yayasan yang berdomisili di

    Indonesia, maka keterangan yang di maksud tersebut di atas, berturut-turut di perlihatkan oleh pengurus

    persekutuan, atau oleh salah seorang anggota pengurus. Bila pemilik atau pemilik bersama tidak bertempat

    tinggal di Indonesia maka dalam mengemukakan keterangan termaksud dilakukan oleh wakilnya di

    Indonesia.(KUHPerd. 1690 dst.; KUHD 15 dst., 36 dst., 320 dst., 327; S. 1919-27, S.1870-64, S. 1933-108.)

    (3) (s. d. u. dg. S. 1937-591.) Bila akta pendaftaran atau balik nama dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak ada,

    pejabat yang ditunjuk dengan peraturan pemerintah dalam hal khusus dapat memperkenankan untuk

    diperlengkapi dengan bukti lainnya yang sah menurut hukum.

  • Pasal 6. Bila surat-surat untuk mendapatkan Surat laut atau pas kapalyang pertama kali telah lengkap, kecuali dalam hal yang

    dimaksud dalam pasal 8 Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal 1934 (Z. en S.besl. 1934), maka Surat laut atau pas

    kapal yang pertama kali akan diserahkan bila yang berkepentingan mengenai Surat laut telah menyetor sejumlah

    uang ke Kas Negara sebagai biaya yang jumlahnya seperdua belas dari jumlah uang yang dimaksud dalam pasal 7

    ayat(1), untuk setiap bulan yang belum dilalui dari tahun yang sedang dijalani, terhitung mulai dalam bulan mana

    Surat laut itu diberikan, dan mengenai pas kapal yang pertama kali diberikan setelah bea meterainya dilunasi.

    Catatan : Pasal 8 Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal (Z. en S.besl. 1934) berbunyi sebagai berikut:

    (1) Bukti kebangsaan kapal ditolak, bila kapal dilengkapi dengan peralatan perang, atau dapat diduga bertentangan

    dengan sikap netral suatu negara bahwa kapal itu dilengkapi dengan peralatan perang, begitu pula Gubernur

    Jenderal (kini dapat disamakan dengan Pemerintah) Indonesia memandang perlu untuk kepentingan negara.

    (2) (s.d.t. dg. S. 1937-629, 630.) Selanjutnya untuk pembuktian kebangsaan kapal dapat ditolak, bila Pemerintah

    Indonesia ternyata kemudian, bahwa pemohon untuk mendapatkan bukti kebangsaan kapalnya bertindak selaku

    perantara untuk kepentingan orang lain yang tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan menurut pasal 2, Z.

    en S. besl. 1934. (lihat Catatan pasal 5 ordonansi ini), atau bila Pengurus Badan Hukum yang berkepentingan,

    yang berkuasa seluruhnya atau bagian terbesamya, terdiri dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat

    yang diperlukan menurut pasal 2 Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal 1934. (Z. en S.besl. 1934.)

    (3) (s.d.t. dg. S. 1937-629, 630.) Sepanjang mengenai kapal yang digunakan untuk atau bukan semata-mata untuk

    pelayaran laut disepanjang pantai Indonesia, bukti kebangsaan kapal dapat ditolak, bila menurut pertimbangan

    Pemerintah Indonesia tidak cukup beralasan untuk dipastikan, bahwa perusahaan yang akan menggunakan kapal

    bersangkutan sama sekali tidak atau sebagian besar tidak dijalankan untuk kepentingan Indonesia.

    Pasal 7. (1) Untuk kapal yang telah diberi Surat laut, maka orang yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (2), diwajibkan setiap

    tahun dalam bulan Januari untuk menyampai-kan keterangan yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a,

    setelah menyetor-kan uang ke Kas Negara sejumlah tiga sen setiap m3 isi kotor kapal menurut Surat

    ukurnya. Bila jumlah uang tersebut tidak disetorkan dan penyampaian keterangan dimaksud tidak dilaksanakan

    pada waktunya maka Surat laut tidak berlaku.

    (2) Oleh atau atas nama Menteri Perhubungan dalam keadaan khusus dapat diberikan penundaan waktu paling lama

    tiga bulan mengenai ketentuan yang disebut dalam ayat (1).

    (3) Dengan peraturan pemerintah dapat ditetapkan bahwa dalam kasus-kasus tertentu juga mengenai pembaharuan

    pas tahunan diminta sekali lagi keterangan yang dimaksud dalam ayat (1). (Z. en S. verord. 16 4; Z. enS.verord.

    18.)

    Pasal 8. (S. d. t. dg. S. 1937-591.) Setelah pejabat menerima permohonan untuk mendapatkan pas kecil maka oleh pejabat

    yang bersangkutan kepada siapa yang berkepentingan untuk memperoleh pas demikian, menurut ketentuan dalam

    pasal 9 harus berhubungan, diadakan pemeriksaan apakah kapal tersebut telah memenuhi ketentuan dalam pasal 2

    Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal (Z. en S. besl. 1934) atau tidak; sepanjang mengenai kapal yang mempunyai isi

    kotor 20 M3 atau lebih maka berlaku ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) huruf b dan ayat (3). (Lihat pasal 2 Z. en S.

    best. 1934 pada pasal 5 ordonansi ini).

    Pasal 9. Dengan peraturan pemerintah ditentukan kepada siapa yang berkepentingan harus berhubungan untuk mengajukan

    permohonan Surat laut atau pas kapal, tata cara mengajukan permohonan, surat-surat dan data lain yang telah

    ditentukan dalam ordonansi ini, yang harus diperlihatkan atau diserahkan dan hal-hal yang harus diperhatikan

    menurut ketentuan ordonansi ini, baik oleh yang berkepentingan maupun oleh pejabat yang bersangkutan. (Z. en

    S.verord. 6 dst.,14 dst.)

    Pasal 10. (1) Bila surat-surat untuk mendapatkan Surat laut atau pas kapal yang pertama kali, telah lengkap menurut

    ketentuan dalam ordonansi ini, hal ini tergantung dari keputusan pejabat yang berwenang, maka untuk

    kepentingan pemohon diberikan izin tertulis untuk dapat melakukan satu atau beberapa perjalanan atau berlayar

    selama waktu yang ditentukan dalam izin tersebut, dan tidak akan melebihi jangka waktu untuk menyinggahi

    pelabuhan-pelabuhan yang ditentukan dalam izin tersebut, tetapi tidak lebih dari 3 bulan.

  • (2) Izin tertulis yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal 1934 (Z. en S.besl.

    1934) diberikan untuk jangka waktu tidak lebih dari tiga bulan; untuk sekali perjalanan ke tempat lain di

    Indonesia dapat diberikan izin seperti yang dimaksud pada ayat bersangkutan hanya diberikan untuk

    menggunakan kapal itu sebagai kapal yang hanya dipakai didalam negeri saja, untuk pengukuran, penyerahan,

    perbaikan, pembongkaran atau untuk mendapatkan bukti kebangsaan yang lain dari semula.

    Catatan : Pasal 6 ayat (4)Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal (Z. enS.besl. 1934), s.d.u. dg. S. 1935-89,

    berbunyi sebagai berikut:

    Untuk kapal, yang dibuat atau dibeli di Indonesia dengan pembayaran yang dilakukan di luar negeri dan yang

    diinginkan dibawa ke negeri tujuan dengan berbendera Indonesia, dan begitu pula yang oleh ordonansi ini

    disebutkan kasus-kasus untuk dapat melakukan hanya satu perjalanan ke tempat lain di Indonesia, oleh Menteri

    Perhubungan atau pejabat yang ditunjuk dengan peraturan pemerintah dapat diberikan izin tertulis untuk

    perjalanan itu, akan tetapi tidak akan melebihi jangka waktu yang ditentukan dalam ordonansi, tanpa harus

    dipenuhi ketentuan dalam ketiga ayat pertama dari pasal 2.

    (3) Dengan peraturan pemerintah ditunjuk pejabat yang berwenang untuk mem-berikan izin dimaksud dalam ayat

    (1) dan ditetapkan bentuk-bentuk (model) dimaksud dalam ayat (1) dan (2). (Z. en S.verord. 9, 16.)

    (4) Bila terjadi penyalahgunaan atau ada dugaan akan disalahgunakan izin-izin seperti yang di maksud dalam pasal

    ini, maka Surat izin tersebut segera dicabut oleh pejabat yang berwenang.

    Pasal 11. (1) Nakhoda dilarang menggunakan Surat laut, pas tahunan atau pengganti sementara Surat laut atau pas tahunan

    sebelum ditandatangani dihadapan syahbandar di pelabuhan mana kapal itu bersandar atau bila kapal itu berada

    di luar Indonesia ditandatangani oleh Pejabat Perwakilan Republik Indonesia yang diberi wewenang

    mengadakan pemasukan atau pengeluaran barang-barang atau pejabat dari konsulat dan penandatanganan ini

    tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu. (Z. en S.ord. 16.)

    (2) Bila nakhoda diganti, maka ketentuan dalam ayat (1),berlaku bagi pengganti sementara atau pengganti tetap dari

    nakhoda yang bersangkutan. (KUHD 34 Id; Z en S.ord. 16.)

    (3) Penggantian nakhoda dimaksud dalam ayat (2) atau penggantian seperti yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (2)

    ordonansi ini, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang menurut pasal 5 ayat (1) di tempat mana

    terjadinya peng-gantian, atau bila tidak terdapat pejabat seperti dimaksud itu, di tempat pertama yang disinggahi

    di mana terdapat pejabat yang demikian itu. (Z. en S.ord. 16.)

    (4) Dalam keadaan khusus dapat diadakan pengecualian dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2)

    dilakukan oleh pejabat yang memberikan Surat laut, pas tahunan dan Surat izin; dan mengenai pas tahunan dan

    Surat izin oleh pejabat yang memberikan hal itu.

    (5) Pas kecil sebelum digunakan harus ditandatangani atau disahkan dengan cara yang ditentukan dengan peraturan

    pemerintah. (Z. enS.verord. 19.)

    Pasal 12. Surat laut dan pas kapal, begitu juga Surat izin tertulis yang diberikannya atas dasar penggunaan bendera Indonesia,

    harus selalu berada di atas kapal yang ber-sangkutan selama berada di laut. Nakhoda kapal yang diberi Surat laut,

    pas tahunan atau izin tertulis, pemilik kapal atau bila la tidak hadir di kapalnya, pemakai kapal yang telah diberi pas

    kecil wajib menaati peraturan ini. (KUHD 347; Z. en S.ord. 16.)

    Pasal 13. (1) Bila Surat laut atau pas kapal telah diberikan, pemilikan kapal berpindah tangan, Surat laut atau pas kapal tidak

    berlaku menurut ketentuan dalam pasal 9, Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal 1934 (Z. en S.besl. 1934), atau

    bila isi kotor kapal dan tanda-tandanya seperti yang dinyatakan dalam Surat laut atau pas kapal mengalami

    perubahan, maka dalam jangka waktu yang telah ditentukan hal itu harus dilaporkan kepada pejabat yang

    ditunjuk dengan peraturan pemerintah dan dalam hal penggantian (pengalihan), hak milik oleh pemilik barunya

    harus di laporkan kepada orang yang ditunjuk menurut pasal 5 ayat (2) dan dalam hal-hal yang lainnya kepada

    orang yang ditunjuk dengan peraturan pemerintah. (Z. en S.ord. 16.)

    (2) (S. d. t. dg. S. 1937-591.) Terhadap kapal-kapal yang isi kotornya 20 M3 atau lebih berlaku pemberitahuan

    dimaksud dalam ayat (1), sepanjang hal peralihan hak milik berlaku ketentuan dalam pasal 5 ayat (1) sub c dan

    ayat (3), dan mengenai perubahan besar isi kotor kapal, harus diperlihatkan Surat ukur yang baru.

    (3) Dalam peralihan hak milik kapal dan perubahan isi kotor atau salah satu tanda pengenal di maksud dalam ayat

    (1) dari kapal yang telah diberi Surat laut, di berikan Surat laut baru dan Surat lama dicabut, setelah pembayaran

    bea meterai sebanyak satu setengah gulden.

  • (4) Dalam peralihan hak milik kapal serta perubahan isi kotor kapal atau tanda-tanda pengenal dimaksud dalam ayat

    (1) dari kapal yang telah diberi pas kapal, maka oleh pejabat yang di maksud dalam ayat (1) tersebut dicatat

    pada pas kapal yang bersangkutan. (Z. en S.verord. 10, 17.)

    Pasal 14. (1) Kapal yang telah diberi Surat laut atau pas tahunan, nakhodanya harus berusaha memasangkan nama kapal pada

    kedua belah sisi depan bagian luar kapal dengan jelas dan mudah dilihat, sebagaimana dimaksud dalam Surat

    laut atau pas tahunan, begitu juga dinding luar buritan nama kapal dan nama tempat di Indonesia, tempat tinggal

    pemilik atau wakil dari pemilik tersebut atau dari Pengurus seperti dimaksud dalam pasal 2 ayat (5) Penetapan

    Surat Laut dan Pas Kapal 1934. (Z. en S.besl. 1934; Z. en S.verord. 4.)

    (2) Dengan peraturan pemerintah ditetapkan peraturan mengangkut tanda pengenal yang harus dipasang pada kapal

    yang diberi pas kapal kecil dan menyangkut pula cara pemasangan tanda pengenal pada kapal-kapal tersebut.

    (Z.en S.ord. 16; Z. en S.verord. 21.)

    Pasal 15. (1) Dengan peraturan pemerintah ditunjuk pejabat-pejabat dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) Penetapan Surat Laut

    dan Pas Kapal (Z. enS.besl. 1934) kepada siapa bukti-bukti kebangsaan kapal harus disampaikan setelah habis

    masa berlakunya. (Z. en S.verord. 92, 101, 16 2, 172.)

    Catatan: Pasal 10 ayat (2) Z. en S.besl. 1934 berbunyi sebagai berikut:

    (1) Pejabat-pejabat yang disebut pada ayat di atas, bila ditunjukkan kepadanya, mengadakan pencabutan

    terhadap bukti-bukti kebangsaan kapal yang telah habis masa berlakunya; bukti yang tidak berlaku tersebut,

    setelah dibubuhi tanda tidak berlakunya, disampaikan kepada pejabat yang oleh atau berdasarkan ordonansi

    atau kepada kantor yang mengeluarkan bukti-bukti itu; sebaiknya nakhoda yang bersangkutan diberikan

    bukti penerimaannya.

    (2) Menteri Perhubungan dan pejabat-pejabat yang ditunjuk berdasarkan peraturan pemerintah, berwenang untuk

    memberikan pembebasan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan dalam pasal 12 ayat (1) Z. en S.besl.1934. (Z.

    en S. verord. 5.)

    Catatan: Pasal 12 dari Z. en S.besl. 1934 berbunyi:

    (1) Nakhoda kapal Indonesia yang dengan kapalnya memasuki pelabuhan luar negeri di mana terdapat pejabat

    konsulat Indonesia,wajib melapor dengan datang sendiri bila kapalnya bersandar di pelabuhan tersebut lebih

    dari dua puluh empat jam, paling lambat dua hari setelah berlabuh, untuk minta tanda tangan bukti

    kebangsaan kapal itu dari pejabat yang bersangkutan.

    (2) Dengan atau berdasarkan ordonansi, pejabat yang ditunjuk untuk urusan tersebut berwenang, dengan syarat

    yang ditetapkan, untuk memberikan kebebasan seluruhnya atau sebagian ketentuan dalam ayat di atas. (Z.en

    S.ord. 15'; Z. en S.verord. 5.)

    (3) Bila nakhoda berhalangan datang selama berada diluar negeri, maka pejabat konsulat Indonesia yang

    berkedudukan di negeri tersebut, memegang bukti kebangsaan dari kapal Indonesia itu.

    Pasal 16. (1) Pelanggaran ketentuan dimaksud dalam pasal-pasal 2 ayat (2),11 ayat (1), (2) dan (3), 12, 13 ayat (1) dan pasal

    14 ayat (1) dikenakan hukuman kurungan setinggi-tingginya dua bulan atau denda setinggi-tingginya lima ratus

    gulden, sepanjang menyangkut kapal yang telah diberikan Surat laut dan pas tahunan.

    (2) Pelanggaran ketentuan pasal-pasal 2 ayat (2), 12 dan 13 ayat(1) sepanjang mengenai kapal yang telah diberikan

    pas kecil, dikenakan hukuman kurungan setinggi-tingginya tiga minggu atau denda setinggi-tingginya lima

    puluh gulden.

    (3) Barang siapa yang tidak berwenang mengubah nama atau tanda pengenal yang ada pada kapal seperti dimaksud

    dalam pasal 14, mengubah atau membuat sampai tidak dapat terbaca, dikenakan hukuman kurungan setinggi-

    tingginya dua bulan atau denda setinggi-tingginya lima ratus gulden.

    (4) Barang siapa menyerahkan keterangan tertulis seperti dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 7 ayat

    (1) dan (3), di mana ia mengetahui bahwa isinya tidak sesuai dengan kenyataan, dikenakan hukuman penjara

    setinggi-tingginya 5 tahun.

    (5) Perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (4) dianggap sebagai kejahatan dan yang dimaksud dalam ayat-ayat

    lainnya dianggap sebagai pelanggaran.

  • Pasal 17. Selain pejabat dan pegawai negeri yang bertugas dalam pengusutan kejahatan dan pelanggaran pada umumnya,

    diberikan wewenang pula dalam mengusut pelanggaran berdasarkan ketentuan Penetapan Surat Laut dan Pas Kapal

    1934 (Z. en S.besi. 1934) dan peraturan dalam ordonansi ini, wewenang diberikan pula kepada Inspektur Jenderal

    Perhubungan laut, syahbandar, syahbandar pembantu dan pegawai negeri yang diberikan wewenang untuk bertindak

    atas namanya, Komandan Kapal dan Perwira Angkatan laut Republik Indonesia dan selanjutnya orang-orang yang

    ditunjuk berdasarkan peraturan pemerintah. (Z. enS.verord. 28.)

    Pasal 18. (1) Pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan penaatan ordonansi ini diatur dengan peraturan pemerintah.

    (2) Selama dalam pasal-pasal yang bersangkutan tidak ditetapkan lain, perbuatan pengajuan surat-surat,

    permohonan, keputusan (beslit) dan sebagaimana yang dibuat berdasarkan ordonansi ini dan pelaksanaan

    ketentuan peraturan pemerintah, dibebaskan dari bea meterai.

    Pasal 19. (Dianggap tidak ada karena sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.)

    Peraturan Pelayaran 1936

    (Scheepvaartverordening 1936)

    S. 1936-703, s.d.u. dg. S.1937-445 dan 609, S. 1938-202, S. 1940-62;

    pp No. 1711956, LN. 1956-31, pp No.46/1958, LN. 1958-74.

    Pasal 1. (s.d.u. dg. PP No.46/1958.)

    Sebagai pelabuhan laut (zeehaven) ditundjuk: Djakarta dengan Tandjung Priuk, Tjirebon, Indramaju, Tegal,

    Pekalongan, Semarang, Tjilatjap, Surabaja, Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Panarukan, Banjuwangi, Lhok

    Seumawe, Langsa, Ulelheu, Sabang, Meulaboh, Sibolga, Teluk Bajur (Padang), Pandjang, Palembang, Djambi,

    Muarasabak, Tungkal, Tandjung Pinang, Sambu, Tandjung Uban, Sungai Kolak (Selat Kidjang), Litong, Kramat,

    Maras, Tarempa, Midai, Genting, Penagih (Ulu), Pulau Pandjang, Serassan, Tembelan Besar, Penuba, Dabo, Rengat,

    Pulau palas, Tembilahan, Sepat, Parigiradja, Kuala Gaung, Kuala Mandah, Sungai Guntung, Pulau Kidjang,

    Penjalai, Tandjung Samah, Tandjung kedabu, Selat Pandjang, Teluk Betung, Sungai Kembung, Kudap, Ketam

    Putih, Bengkalis, Pakning, Siak Sri Indrapura, Pakanbaru, Batu Pandjang, Tandjung Medang, Sineboi, Bagansiapi-

    api, Panipahan, Labuhanbilik, Sungai brombang, Kulau (Tandjung Mengaidar), ledung, Tandjungbalai dengan Teluk

    Nibung, Tandjungtiram, Pangkalan Dobe, Bandar chalifah, Tandjung beringin, Belawan, Tandjungpura,

    Pangkalanbrandan, Pulau Kumpai, Pangkalansusuh, Mentok, Belinju, Sungailiat, Pangkalbalam, Koba,

    Djebus,Toboali, Tandjungpandan, Pontianak, Sambas, Pemangkat, Singkawang, Kumai, Sampit, Sernuda,

    Bandjarmasin, Kota Baru, Balikpapan, Samarinda, Lingkas (Tarakan), Makassar, Bitung, Menado, Atapupu,

    Ternate, Poso, Ambon, Kupang, Buleleng.

    Pasal 2. Ditunjuk sebagai pelabuhan pantai yang terbuka untuk perdagangan luar negeri untuk golongan-golongan kapal-

    kapal laut yang dinyatakan untuknya:

    a. Manokwari untuk kapal-kapal laut yang isi kotornya berukuran lebih kecil dari 750 m3;

    b. (s.d.u.dg.Pp No. 46/1958.) Benoa, Paloh, Ketapang, Sukamara, Pengkalanbun, Tandjung redeb, Tandjungselor,

    Nunukan, Sangkapura(Bawean) untuk kapal-kapal lajar tanpa tenaga bantu, tanpa memandang besarnya;

    c. pelabuhan-pelabuhan pantai di Riau yang ditunjuk oleh Residen Riau, sejauh berada di luar daerah pabean,

    untuk kapal-kapal laut yang isi kotornya ber-ukuran lebih kecil dari 750 M3.

    Pasal 3. (1) Ditunjuk sebagai pelabuhan pantai di mana kapal-kapal laut berbendera negara-negara yang bersahabat dengan

    Republik Indonesia, berhak melakukan kegiatan-kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 4 ayat (1)”Undang-

    Undang Pelayaran Indonesia 1936":

    a. (s.d. u. dg. S. 1937-445; S. 1940-62, PP No. 17/1956 danPP No. 46/1958) Merauke, Djajapura, Dobo,

    Bula, Saumlaki, Djungkat (Muara Sungai Kapuas Kecil);

    b. Pelabuhan-pelabuhan pantai yang, dengan menyimpang dari ketentuan, bahwa penyerahan dokumen-

    dokumen kepada Bea Cukai pada waktu kapal-kapal tiba dilakukan, berdasarkan pasal 6 ayat (1) Reglemen

    A dan pasal 1ayat terakhir dari Reglemen B, kedua Reglemen itu terlampir pada Ordonansi Bea Cukai (S.

  • 1931-471), ditunjuk untuk penyerahan dokumen-dokumen itu, tetapi hanya untuk kapal-kapal laut, yang

    menyerahkan dokumen-dokumen seperti dimaksud di atas di tempat itu.

    (2) (s.d.u. dg. PP No. 46/1958.) Ditundjuk sebagai pelabuhan-pelabuhan pantai di mana hanja kapal-kapal luar jang

    diakui sebagai”kapal-kapal pariwisata” berbendera negara-negara jang bersahabat dengan Republik Indonesia,

    berhak melakukan kegiatan-kegiatan sebagai dimaksud dalam pasal 4 ajat (1) “Undang-Undang Pelajaran

    Indonesia 1936”:

    Teluk dalam, Teluk Padang, Bima, Endeh, Waingapu, Kalabahidan Bandanira.

    Pasal 4. (1) (s.d.u. dg. S. 1938-202.) Untuk melakukan pengusutan-pengusutan tindak-tindak pidana yang diuraikan dalam

    pasal 5"Undang-Undang Pelayaran Indonesia 1936", juga berwenang komandan-komandan kapal-kapal perang

    Republik Indonesia, nakhoda-nakhoda kapal-kapal Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, orang-orang yang ada

    di bawah perintah komandan-komandan dan nakhoda-nakhoda tersebut yang untuk itu mendapat perintah,

    pandu-pandu, perwira-perwira Angkatan Laut dan perwira-perwira kapal-kapal Direktorat Jenderal

    Perhubungan Laut yang ditunjuk oleh Kepala Staf Angkatan Laut, pejabat-pejabat inspeksi Direktorat Jenderal

    Perhubungan Laut, dan juga sejauh mengenai alat-alat penyeberang yang isi kotornya berukuran kurang dari

    100 M3 dan kapal-kapal nelayan laut, juragan-juragan kapal-kapal daerah.

    (2) Untuk menjalankan wewenang sebagai dimaksud dalam pasal 5 ayat (5) “Undang-Undang Pelayaran Indonesia

    1936” ditunjuk syahbandar-syahbandar dan pejabat-pejabat Bea dan Cukai.

    (3) Untuk menyelesaikan dengan jalan damai dengan para tersangka untuk meng-hindarkan tuntutan-tuntutan

    pidana disebabkan pelanggaran-pelanggaran, sebagai dimaksud dalam pasal 5 ayat (1)”Undang-Undang

    Pelayaran Indonesia 1936", ditunjuk Menteri Keuangan untuk Jawa dan Madura dan Kepala-kepala Pemerintah

    Daerah untuk luar Jawa dan Madura.

    Pasal 5. Peraturan ini dapat dinamakan”Scheepvaartverordening” (“Peraturan Pelayaran”), dengan menyebutkan tahun dari

    staatsblad, di mana Peraturan ini dimuat dan mulai berlaku pada saat yang sama dengan mulai berlakunya “Undang-

    Undang Pelayaran Indonesia 1936” yaitu tanggal 1 Pebruari 1937.

    UNDANG-UNDANG PELAYARAN INDONESIA 1936

    Pelayaran : Pelayaran Pantai. Undang-Undang tanggal 17 Juli 1936 memuat peninjauan kembali dari Tata

    pengaturan Pelabuhan Laut dan Pelayaran di Indonesia (“Undang-Undang Pelayaran Indonesia”)

    (Sb. 1936 No. 700.*)

    Pasal 1. Di dalam undang-undang ini dan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan berdasarkan undang-undang ini, yang

    diartikan dengan:

    kapal laut: setiap kendaraan air yang dipergunakan untuk pelayaran di laut atau dimaksudkan untuk itu;

    pelabuhan laut: tempat yang dengan peraturan pemerintah ditunjuk sebagai demikian di Indonesia yang dapat dikunjungi oleh

    kapal-kapal laut;

    pelabuhan pantai: setiap tempat lainnya di Indonesia yang dapat dikunjungi oleh kapal-kapal laut;

    pelayaran pantai: pengangkutan dengan kapal-kapal laut dari barang-barang yang dimuat, dan/atau penumpang-penumpang yang

    dinaikkan di pelabuhan laut atau pelabuhan pantai ke pelabuhan laut atau pelabuhan pantai lainnya, di mana

    barang-barang itu dibongkar dan/atau penumpang-penumpangnya diturunkan tanpa memper-soalkan trayek

    yang dilayari.

    Pasal 2. (1) Pelabuhan-pelabuhan laut terbuka untuk perdagangan luar negeri dengan kapal-kapal laut berbendera Indonesia

    dan berbendera negara-negara yang bersahabat dengan negara Republik Indonesia, atas dasar perjanjian timbal-

    balik dan dengan menaati peraturan-peraturan umum dan peraturan-peraturan setempat.

  • (2) Dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah dapat ditunjuk pelabuhan-pelabuhan pantai yang terbuka untuk

    perdagangan luar negeri untuk kapal-kapal laut sebagaimana dimaksud dalam ayat di atas dengan jenis dan

    besar tertentu.

    (3) Oleh atau atas nama Kepala Negara, bila dianggap perlu,dengan menentukan syarat-syaratnya, dalam hal-hal

    khusus ataupun untuk barang-barang tertentu, dapat dibuka pelabuhan-pelabuhan pantai untuk perdagangan luar

    negeri untuk kapal-kapal laut yang dimaksud dalam ayat (I).

    Pasal 3. (1) Kapal-kapal laut berbendera Indonesia, selain yang ditetapkan dalam ayat berikut dan menaati peraturan-

    peraturan umum dan setempat, berhak melakukan pelayaran pantai.

    (2) Dengan peraturan pemerintah dapat ditetapkan dalam hal-hal mana di haruskan adanya izin dari Kepala Negara

    untuk menyelenggarakan pelayaran pantai. Pada izin demikian dapat ditentukan persyaratan-persyaratan.

    (3) Oleh atau atas nama Kepala Negara, bila dianggap perlu,dengan menerapkan persyaratan-persyaratannya, dapat

    diberikan pembebasan dari persyaratan bendera tersebut dalam ayat (1), di dalam hal-hal khusus atau untuk

    trayek-trayek atau untuk pengangkutan barang-barang tertentu.

    Pasal 4. (1) Kapal-kapal laut berbendera Indonesia berhak melakukan kegiatan-kegiatan di pelabuhan-pelabuhan laut dan

    pelabuhan-pelabuhan pantai, asalkan menaati peraturan-peraturan umum dan setempat untuk dan hak untuk

    kegiatan-kegiatan itu tidak dapat dilandaskan pada yang ditetapkan dalam atau berdasarkan pasal-pasal 2 dan 3

    selain mentaati peraturan-perautan umum setempat.

    (2) Untuk kegiatan-kegiatan dimaksud dalam ayat satu, kapal-kapal laut berbendera negara-negara yang bersahabat

    dengan Republik Indonesia, atas dasar per-janjian timbal-balik dan dengan mentaati peraturan-peraturan umum

    dan setempat, berhak melakukan kegiatan-kegiatan yang dimaksud dalam ayat (1):

    a. di pelabuhan-pelabuhan laut;

    b. di pelabuhan-pelabuhan pantai yang berdasarkan yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3), terbuka

    untuk perdagangan luar negeri bagi kapal laut bersangkutan;

    c. di pelabuhan-pelabuhan pantai yang berdasarkan yang ditetapkan dalam pasal 3 ayat (3) terbuka untuk

    pelayaran pantai bagi kapal laut bersangkutan.

    (3) Dengan peraturan pemerintah dapat ditunjuk pelabuhan-pelabuhan pantai yang terbuka untuk kegiatan-kegiatan

    yang dimaksud dalam pasal ini, bagi kapal-kapal laut yang dimaksud dalam ayat (2) ataupun bagi golongan-

    golongan kapal-kapal demikian yang akan ditentukan dengan peraturan pemerintah itu.

    (4) Oleh atau atas nama Kepala Negara, bila dianggap perlu dengan menentukan persyaratan-persyaratannya, di

    dalam keadaan luar biasa, dapat diizinkan kepada kapal-kapal laut yang dimaksud dalam ayat (2), untuk

    melakukan kegiatan-kegiatan yang dimaksud dalam pasal ini di pelabuhan pantai.

    Pasal 5. (1) Dipidana dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah):

    a. nakhoda kapal laut bukan berbendera Indonesia, yang melakukan kegiatan dengan maksud untuk

    mengadakan hubungan ke darat dipelabuhan pantai yang tidak ter-buka bagi kapal laut bersangkutan sesuai

    dengan yang ditetapkan dalam pasal 4 ayat (2), (3) dan (4) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang

    dimaksud dalam pasal itu;

    b. nakhoda kapal laut yang tanpa hak melakukan kegiatan-kegiatan itu berdasarkan yang ditetapkan dalam

    pasal 2 ayat (2) dan(3), di pelabuhan pantai, membongkar muatan dan menurunkan penumpang yang dimuat

    atau dinaikkan di luar Indonesia, atau memuat barang-barang atau menaikkan penumpang-penumpang

    untuk dibongkar atau diturunkan di luar Indonesia;

    c. nakhoda kapal laut bukan berbendera Indonesia, yang tanpa hak melakukan kegiatan-kegiatan itu

    berdasarkan yang ditetapkan dalam pasal 3 ayat (3), memuat barang-barang atau menaikkan penumpang-

    penumpang dalam pelayaran pantai, maupun membongkar barang-barang atau menurunkan penumpang-

    penumpang setelah melakukan pelayaran pantai;

    d. nakhoda kapal laut berbendera Indonesia, yang dalam hal dimaksud dalam pasal 3 ayat (2), tanpa mendapat

    izin yang diharuskan atau bertentangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan pada izin yang bersangkutan,

    memuat barang-barang atau penumpang-penumpang dalam pelayaran pantai, maupun membongkar barang-

    barang atau menurunkan penumpang-penumpang setelah melakukan pelayaran pantai.

    (2) Tindak-tindak pidana yang dimaksud dalam ayat di atas,dianggap sebagai pelanggaran-pelanggaran.

    (3) Kapal laut yang digunakan dan barang-barang yang berhubungan dengan pelanggaran itu, dapat disita.

  • (4) Untuk pembayaran denda yang dikenakan dan biaya-biaya tuntutan pengadilan, kapal-kapal laut dan barang-

    barang yang dimaksud dalam ayat di atas terikat dan dapat disita.

    (5) Penguasa-penguasa yang ditunjuk dengan peraturan pemerintah berwenang, atas biaya dan tanggungan

    pelanggar-pelanggar, jika mungkin dan sebaiknya setelah diberikan peringatan dan jika terpaksa dengan

    kekerasan, untuk menyuruh hilangkan atau menyuruh lakukan segala yang bertentangan dengan undang-undang

    ini, dengan peraturan yang berlandaskan undang-undang ini, atau dengan perintah yang dikeluarkan berdasarkan

    undang-undang ini, atau peraturan demikian, telah atau akan dilakukan atau dilalaikan.

    (6) Pengusaha-pengusaha yang ditunjuk dengan peraturan pemerintah, untuk menghindarkan tuntutan pidana

    disebabkan pelanggaran-pelanggaran yang diuraikan dalam ayat satu, dapat mengatur dengan jalan perdamaian

    dengan tersangka-tersangka.

    Pasal 6. (1) Untuk pelaksanaan dan pengawasan terhadap ditaatinya ketentuan-ketentuan undang-undang ini ditunjuk

    syahbandar-syahbandar, dan pejabat-pejabat bea dan cukai.

    (2) Kecuali pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai yang diserahi pekerjaan peng-usutan kejahatan-kejahatan dan

    pelanggaran-pelanggaran pada umumnya, untuk pengusutan tindak-tindak pidana yang diuraikan dalam pasal 5,

    juga berwenang pejabat-pejabat yang disebut dalam ayat (1) di atas dan orang-orang yang ditunjuk dengan

    peraturan pemerintah.

    Pasal 7. Undang-undang ini tidak berlaku lagi:

    a. kapal-kapal perang dan kapal-kapal laut berbendera Indonesia yang digunakan untuk dinas umum;

    b. hal-hal bencana laut atau darurat.

    Pasal 8. Ketentuan-ketentuan selanjutnya tentang pelaksanaan dan penaatan undang-undang ini ditentukan dengan atau

    berdasarkan peraturan pemerintah.

    Pasal 9. Undang-undang ini dan peraturan-peraturan pemerintah yang ditetapkan untuk pelaksanaannya, juga berlaku

    terhadap orang-orang pribumi didaerah pemerintahan langsung yang tunduk pada kekuasaan hukum peradilan adat.

    Pasal 10. (1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal pengumumannya dalam Staatsblad, yaitu tanggal 1 Februari

    1937.

    (2) Dengan ini dihapuskan ordonansi tanggal 20 September 1912(S. 1912-479).

    (3) “Undang-undang” ini dapat disebut De IndonesischeScheepvaartwet (“Undang-undang” Pelayaran Indonesia).

    Diumumkan olehAlgemeene Secretaris pada tanggal 31 Desember 1936.

    ORDONANSI MAHKAMAH PELAYARAN

    (Ordonnantie op de Raad voor deScheepvaart)

    S.1934-215 jo. S. 1938-2, s.d. u. t. Dengang S. 194 7-66,

    S. 1949-103 dan SK. Mphbi. 18Peb. 1964 No. Kab. 413124

    dan KepPres. No. 2811971.

    Pasal I.

    Menetapkan ordonansi di bawah ini sebagai Mahkamah Pelayaran.

    Pasal 1. Mahkamah Pelayaran, bertugas:

    1). (s.d.u. dg. S. 1947-66.) mengadakan pemeriksaan dan mengambil keputusan sebagai yang termuat dalam pasal

    25 ayat-ayat (4), (7),(8) dan (11) Ordonansi Kapal; (S. 1935-66.)

    2). memutuskan dalam hal sebagai dimaksud dalam pasal373a KUHD;

    3). mengadakan pemeriksaan dan atau mengambil keputusan dalam semua hal yang oleh undang-undang

    dibebankan kepadanya. Mahkamah tidak dapat mengambil keputusan lain selain mengenai hal yang telah

    ditetapkan menurut peraturan yang berlaku dan menjadi tugasnya untuk memeriksa atau mengerjakannya.

  • Pasal 2. (s.d.u. dg. KepPres No. 281197i tanggal 5 Mei 1971.) Susunan Mahkamah Pelajaran, terdiri atas:

    Pertama:

    a. Seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut atau Nachoda Pelajaran Besar Niaga/Negara sebagai Ketua merangkap

    Anggota;

    b. Tiga orang Nachoda Pelajaran Besar Niaga/Negara atau Perwira Menengah Angkatan Laut sebagai Anggota;

    c. Seorang Sardjana Hukum sebagai Anggota;

    d. Seorang ahli Mesin Kapal Kepala atau Perwira Menengah Tehnik Angkatan Laut sebagai Anggota Luar Biasa;

    e. Seorang Sardjana Hukum sebagai Sekretaris.

    Kedua:

    Untuk mengisi djabatan sebagaimana disebut dalam dictum PERTAMA huruf a, b dan d Keputusan Presiden ini

    dapat diangkat Perwira Purnawirawan atau Pensiunan Pegawai dalam pangkat dan keachlian jang sama, apabila

    tidak terdapat tenaga-tenaga jang masih dalam dinas aktip.

    Ketiga:

    Dalam hal Ketua dan/atau Sekretaris berhalangan mendjalankan tugasnja, Mahkamah memilih salah seorang

    Anggota untuk bertindak sebagai Ketua atau Sekretaris.

    Keempat:

    Pengangkatan dan pemberhentian Ketua, para Anggota dan Sekretaris Mahkamah Pelajaran ditetapkan oleh

    Menteri Perhubungan.

    Ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini jang berlaku bagi para anggota berlaku pula bagi anggota luar biasa.

    Pasal 3.

    Mahkamah bersidang di Jakarta.

    Sidang diadakan setiap kali ada keperluan dan dipimpin oleh ketua,yang para anggotanya dipanggil tepat pada

    waktunya oleh sekretaris dengan surat yang berisikan uraian singkat yang akan dibahas dalam sidang.

    (s.d. u. dg. S. 194 7-66.) Setelah menerima undangan sebagai dimaksud pasal 25 ayat (4) Ordonansi Kapal 1935,

    atau pengaduan sebagai dimaksud dalam pasal 373a KUHD, Mahkamah segera bersidang dan mengadakan

    pemeriksaan.

    Sidang Mahkamah terbuka untuk umum, kecuali jika diputuskan,dengan alasan yang akan disebutkan dalam surat

    keputusan, sidang dilakukan dengan pintu tertutup sebagian atau seluruhnya.

    Pasal 4. (s. d. u. dg. KepPres No. 2811971, dictum kelima.) Sebelum mendjalankan tugasnja anggota-anggota Mahkamah

    Pelajaran mengangkat sumpah/djandji dihadapan Menteri Perhubungan.

    Bunyi sumpah itu sebagai berikut:

    “Saya bersumpah (berjanji):

    bahwa saya akan menjalankan jabatan selaku ketua (sekretaris atau anggota) Mahkamah Pelayaran dengan jujur,

    rajin dan saksama dan merahasiakan semua pertimbangan yang diadakan dalam sidang mahkamah; bahwa dalam

    semua perkara yang diajukan kepada Mahkamah akan bertindak saksama, jujur dan tidak berpihak, dan tidak akan

    memberikan janji yang menguntungkan atau tidak menguntungkan kepada para pihak, dan tidak akan mengurangi

    tindakan saksama, jujur dan tidak berpihak dengan alasan apapun dari saya; dan bahwa saya sekuat kemampuan

    saya akan menepati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang dalam menjalankan jabatan

    saya. Bantulah saya, Tuhan Yang Maha Kuasa (Saya berjanji)”.

    Pasal 5. Mahkamah mengambil sebagai patokan yang bersangkutan datang menghadap sendiri untuk di dengar

    keterangannya dan untuk memberi kesempatan kepadanya guna mengadakan pembelaan yang olehnya dianggap

    perlu.

    Bila Mahkamah berpendapat ada keberatan yang sangat bagi yang bersangkutan menghadap sendiri, bila ada alasan

    demikian dan dengan mengirimkan pertanyaan yang perlu, dapat memberi kesempatan kepada yang bersangkutan

    untuk memberikan bahan dan keterangan yang dianggap perlu secara tertulis kepada Mahkamah.

    Mahkamah berwenang mengadakan surat-menyurat dengan para pihak yang bersangkutan dan bila dianggap perlu

    untuk penyelidikan yang saksama, memanggil para saksi dan ahli.

    (s.d. u. dg. S. 194 7- 66.) Para saksi dan saksi ahli sebelum didengar mengambil sumpah di hadapan ketua, bahwa

    saksi akan mengatakan apa yang sebenarnya dan tidak lain daripada apa yang benar, dan bahwa saksi ahli akan

    memberikan laporan menurut pengetahuannya.

  • Mahkamah berwenang untuk meminta agar diperlihatkan semua surat resmi seperti jurnal, daftar pidana atas

    pelanggaran dan sebagainya yang berhubungan dengan persoalan yang sedang diselidikinya.

    Kepada para saksi dan saksi ahli, bila mereka menghendaki, Mahkamah akan mem-beri ganti rugi menurut tarif bagi

    saksi dan ahli dalam perkara pidana. Dalam hal yang khusus, dengan perantaraan Menteri Kehakiman, Mahkamah

    dapat mengajukan usul kenaikan ganti rugi kepada pemerintah.

    Bila Mahkamah berpendapat bahwa ada keberatan yang sangat bagi saksi dan saksi ahli untuk menghadap sendiri,

    sedapat mungkin di bawah sumpah, keterangan mereka didengar atas pertanyaan hakim pengadilan negeri dan bila

    di tempat itu tidak ada pejabat yang demikian, oleh kepala pemerintah setempat di mana mereka itu bertempat

    tinggal.

    (s.d. u. dg. S. 194 7-66.) Dalam hal diperlukan kesaksian dari orang yang bertempat tinggal di luar Indonesia,

    Mahkamah mengirimkan Komisi Rogator untuk membawa pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan, kepada

    pejabat yang ditunjuk di negara di mana para saksi bertempat tinggal dengan permintaan untuk mengadakan

    pemeriksaan, dan pula permintaan pemeriksaan kepada pejabat konsulat Republik Indonesia di daerah tempat

    tinggal para saksi.

    Pasal 6. Bila akan diadakan pemeriksaan tentang kecakapan nakhoda atau perwira kapal atau penyelidikan mengenai sebab-

    sebab kecelakaan kapal, juga kesalahan mereka yang bersangkutan, ketua memberikan salinan keputusan kepada

    yang ber-sangkutan.

    Yang bersangkutan berhak dibantu oleh pembela atau diwakili oleh kuasa khususnya, tanpa mengurangi wewenang

    Mahkamah untuk memanggil yang bersangkutan menghadap sendiri.

    (s.d.u. dg. S. 194 7-66.) Yang bersangkutan atau pembelanya oleh Mahkamah diperbolehkan melihat semua berkas

    yang berhubungan dengan pemeriksaan di maksud dalam ayat (1) pasal ini, tetapi tidak boleh membawa berkas

    tersebut atau menyebabkan jalannya pemeriksaan terhenti.

    Bila dianggap sangat penting untuk pembelaan, mereka boleh membuat salinan berkas tersebut atas biaya sendiri.

    Bila yang bersangkutan telah dipanggil selayaknya, tetapi yang bersangkutan sendiri atau kuasanya tidak datang di

    hadapan Mahkamah, ia dinyatakan tidak hadir, pemeriksaan dan keputusan dilakukan diluar kehadirannya.

    Bila penyelesaian perkara dilakukan tanpa kehadirannya yang bersangkutan atau kuasanya, dalam waktu tiga bulan

    setelah pemberitahuan keputusan tersebut, ia dapat mengajukan verset (perlawanan) sendiri dengan memori tertulis

    kepada ketua. Verset tidak menangguhkan pelaksanaan keputusan.

    (s.d.u. dg. S. 1947-66.) Dalam hal dimaksud dalam ayat diatas Mahkamah berwenang membuka kembali sidang

    perkara ini atau sesudah pihak yang bersangkutan dalam kesempatan yang di berikan menjelaskan memorinya

    secara lisan, Mahkamah segera menjatuhkan keputusan terakhir. Dalam hal keputusan terakhir setelah verset

    pencabutan wewenang tidak dipertahankan, maka wewenang dianggap tidak pernah dicabut.

    Pasal 7. Semua surat-surat yang keluar dari Mahkamah ditandatangani oleh ketua dan sekretaris.

    Pasal 8. Sidang diketuai oleh ketua Mahkamah dan bila ia tidak ada atau berhalangan oleh ketua pengganti dan bila ia tidak

    ada atau berhalangan juga oleh anggota yang tertua (menurut pengangkatan). Sidang dianggap lengkap bila selain

    ketua dihadiri pula oleh dua anggota, dan alam setiap sidang mereka yang hadir menandatangani daftar hadir.

    Pasal 9. Dalam tiap sidang dibuat notulen; notulen sidang terakhir yang lain segera dibacakan sesudah sidang berikutnya

    dibuka, dan setelah tidak ada catatan yang perlu dibuat atau diperhatikan, ditanda tangani oleh ketua sebagai tanda

    pengesahannya.

    Pasal 10. Mahkamah mengambil keputusan atas dasar suara terbanyak;dalam semua hal ketua harus mengadakan pertanyaan

    kepada masing-masing anggota,dari anggota yang termuda menurut pengangkatannya. Ketua menentukan suaranya

    yang terakhir dan memutuskan dalam hal terdapat kemacetan pengambilan suara. Anggota yang tidak hadir tidak

    dapat memberikan suaranya baik dengan perantaraan anggota lainnya maupun dengan pengajuannya secara tertulis.

    Pasal 11. Keputusan Mahkamah dilaksanakan dalam sidang terbuka; keputusan ini dalam waktu 24 jam harus ditandatangani

    oleh ketua dan anggota-anggota yang turut serta dalam pemeriksaan perkara.

  • Pasal 12. Keputusan Mahkamah serta pelaksanaan selanjutnya tidak terikat kepada cara dan bentuk lain selain yang ditetapkan

    dalam ordonansi ini; keputusan harus selalu memuat alasan-alasan yang menjadi landasannya, dan untuk hal

    tindakan ketertiban dikenakan hukuman untuk membayar ongkos perkara.

    Bila tindakan ketertiban dikenakan dari satu keputusan tentang satu perkara yang sama terhadap dua orang atau

    lebih, maka mereka masing-masing dikenakan hukuman ongkos perkara.

    Pasal 13. Keputusan Mahkamah dikirim dan disediakan untuk Panitera Raad van Justitic di Jakarta, di mana para pihak yang

    berkepentingan dapatmelihat atau memperoleh salinannya; ketua Mahkamah harus mengusahakan agar sebelum

    pengiriman tersebut, sebelumnya dibuat salinan keputusan yang diperlukan guna dikirimkan kepada Menteri

    Perhubungan dan Direktur Jenderal Perhubungan Laut.

    Pasal 14. Bila Mahkamah menganggap perlu, karena alasan apapun,mengangkat suatu komisi dari antara mereka, komisi ini

    harus terdiri dari tiga anggota dan bila anggota-anggota ini perlu pergi ke lain tempat untuk penyelidikan setempat,

    bila mereka pegawai negeri berhak mendapat penggantian biaya perjalanan dan penginapan menurut peraturan yang

    berlaku dan bila bukan pegawai negeri berhak mendapat biaya perjalanan menurut peraturan tersebut dan ganti rugi

    sebesar dua puluh gulden sehari.

    Pasal 15.

    (s.d.u. dg. S. 1949-103.) Bila para anggota dan sekretaris Mahkamah pergi untuk sementara ke luar Jakarta, sebelum

    dan sesudah kembalinya harus memberitahukan-nya kepada ketua.

    Bila untuk sementara ketua sedang pergi, pemberitahuan ini disampaikan kepada ketua pengganti.

    Pasal 16. Bila terjadi lowongan dalam Mahkamah, ketua memberitahukan tentang hal tersebut kepada Menteri Perhubungan

    dan Direktur Jenderal Perhubungan Laut yang selanjutnya akan mengajukan usul untuk pengisian lowongan

    tersebut.

    Pasal 17. Ketua, sekretaris dan para anggota Mahkamah Pelayaran untuk menjalankan pekerjaannya mendapat ganti rugi yang

    ditetapkan oleh pemerintah.

    Pasal 18. Ordonansi ini dapat disebut sebagai “Ordonansi Mahkamah Pelayaran”.

    Pasal II.

    Mencabut: a. Ordonansi tanggal 14 Juli 1873 (S. 1873-119), berisi ketentuan tentang de huishouding dan tucht dari

    Indonesische koopvaardyschepen;

    b. Instruksi untuk ketua dan anggota Mahkamah Pelayaran yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah tgl. 16

    Juni 1928 (S. 1928-215).

    Pasal III.

    Berisi peraturan peralihan.

    Pasal IV.

    Mengatur mulai berlakunya berdasarkan S. 1938-2, yaitu pada tanggal

    1 April 1938.

    Peraturan Pendaftaran Kapal

    (Teboekstelling van Schepen;disingkat PDK)

    (Ord. 4 Februari 1933, S.1933-48 jo. S. 1938-2.), mb. 1 April 1938.

    Catatan: Dengan ordonansi ini dicabut: S. 1911-661, S. 1913-227, S. 1913-646; s.d. u. terakhir dg. S. 1915-425, S. 191 7-

    543, S. 1918-613 dan S. 1924-334.

  • Pasal 1.

    Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

    Kapal : alat pelayaran seperti yang dimaksudkan dalam pasal 309 Kitab Undang-undang Hukum Dagang yang

    ukuran isi kotornya paling rendah 20M3;

    Pegawai pencatat balik nama: pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditugaskan untuk membuat

    akta-akta seperti yang dimaksudkan dalam pasal I Overschrij vingsordonnantie (S. 1834-27), begitu pula pejabat

    yang ditunjuk berdasarkan pasal 2;

    Panitera: pegawai yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan mem-bantu pekerjaan pegawai pencatat

    balik nama.

    Pasal 2. (1) Gubernur Jenderal (kini dapat disamakan dengan Menteri Perhubungan) di tempat-tempat yang ditunjuknya dan

    dalam wilayah-wilayah yang ditetap-kannya, berwenang untuk mengangkat pegawai-pegawai yang diberi

    wewenang untuk membuat akta-akta yang dimaksud dalam peraturan ini. (S. 1936-153, S.1946-135 pasal 4.)

    (2) (s.d.t. dg. S. 1938-1 jo. 2.) Pegawai pencatat balik nama yang dimaksud dalam ayat (1), dalam pekerjaannya

    dibantu oleh pejabat atau pegawai yang ditunjuk oleh atau atas nama Menteri Perhubungan, tetapi dalam arti

    bila di tempat-tempat mana Ketua Pengadilan Negeri bertindak selaku pejabat pencatat balik nama, dalam

    pekerjaannya akan dibantu oleh paniteranya.

    Pasal 3. (1) Pendaftaran kapal, penyerahan kapal atau kapal yang sedang dibuat yang telah terdaftar dan saham-saham serta

    hak-hak kebendaan atas kapal-kapal demikian, penghipotekan, penghipotekan hak-hak kebendaan lainnya atas

    kapal-kapal demikian, beserta pula penyerahan hak tagihan-tagihan yang doamin hipotek atas kapal-kapal

    demikian, dilakukan dengan akta yang dibuat dihadapan pegawai pencatat balik nama oleh pihak atau para

    pihak yang bersangkutan. (KUHPerd. 613, 1171 dst., 1179; Ov. 24; Overschr. 1; S. 1933-48 pasal III; Tbs. 1, 5,

    11, 14, 21 dst., 24, 29, S. 1936-153, S. 1946-135 pasal4.)

    (2) Surat asli (minut) dari akta-akta ini dimasukkan dalam daftar harian menurut urutan tanggal pembuatannya dan

    ditandatangani oleh pihak atau para pihak yang bersangkutan, oleh pegawai pencatat balik nama dan panitera.

    (Tbs. 7 dst.; Overschr. 22, 24 dst.)

    (3) Bila pihak atau para pihak tidak dapat menulis, hal demikian harus dinyatakan dalam akta.

    Pasal 4. (1) (s.d.u. dg. S. 1938-1 jo. 2.) Pegawai pencatat balik nama wajib membuat akta, bila ternyata dari surat-surat yang

    diperlihatkan itu para pihak memang berhak untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang akan dimuat

    dalam akta. (Tbs. 1, 13.)

    (2) Pegawai pencatat balik nama dapat meminta dari pihak-pihak yang menghadap, agar mereka menunjukkan

    identitas (bukti diri) lengkap dan dapat dianggap cukup. Bukti tertulis identitas ini bebas dari bea meterai.

    (3) Bila pegawai pencatat balik nama menolak untuk membuat akta,maka Raad van Justitie di wilayah kedudukan

    pegawai pencatat balik nama tersebut, atas permohonan yang berkepentingan dapat memerintahkan agar akta

    dibuat.

    (4) Pegawai pencatat balik nama bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian yang di sebabkan oleh pelanggaran

    atau oleh tidak ditepatinya suatu ketentuan dalam peraturan ini, bila pelanggaran atau tidak ditepatinya

    ketentuan dalam peraturan ini disebabkan oleh kesalahan atau kelalaiannya. (KUHPerd. 1365 dst.)

    Pasal 5. (1) Akta harus memuat nama dan nama kecil dan tempat tinggal para pihak secara lengkap, penyebutan surat-surat

    yang menyatakan mengenai hak para pihak untuk pembuatan akta, uraian (ketentuan-ketentuan) tentang kapal

    menurut ketentuan dalam pasal 11, beserta pula harga pembelian atau nilai harga kapal ataupun nilai hak atas

    kapal, atau jaminan kapal itu yang ditulis dengan huruf atau bila mengenai hipotek, besarnya modal yang

    dipinjam atas kapal itu.(Tbs. 23 , 12, 22, 29.)

    (2) Akta pemindahan hak yang dijamin oleh hipotek, harus pula memuat harga yang ditulis dengan huruf, yaitu

    harga untuk mana sesi itu dilakukan. (Tbs. 24; KUHPerd. 613, 1172, 1465.)

    (3) Akta tidak boleh dibuat sampai seluruh atau sebagiannya tidak dapat dibaca; coretan harus di lakukan dengan

    suatu garis sehingga apa yang dicoret itu masih dapat dibaca, dengan catatan di pinggir halaman tentang jumlah

    perkataan yang dicoret; perubahan dan tambahan harus di lakukan dipinggir halaman atau di bagian halaman

  • sebelum ayat itu ditutup. Segala pernyataan tentang pencoretan, perubahan atau penambahan kata-kata harus

    diparaf oleh semua penanda tangan akta itu, sepanjang hal itu semuanya ditaruh pada pinggir halaman akta.

    (Overschr. 29; Tbs. 33.)

    (4) Untuk pembuatan akta, wajib dibayar upah tertentu, diperhitungkan dengan tarif yang di pergunakan untuk

    kepentingan ini bagi Panitera Raad van Justitle. (S. 1949-282.)

    Pasal 6. (1) Para pihak wajib memasukkan terlebih dahulu surat-surat yang bersangkutan kepada panitera dengan

    memberitahukan akta apa yang hendak diminta untuk dibuat. (Tbs. 1, 29.)

    (2) dan (3) Dihapus dg. S. 1938-1 jo. 2.

    Pasal 7. (1) Panitera mengadakan suatu daftar induk yang di dalamnya dicatat untuk setiap kapal dengan induk pembukuan

    tersendiri, isi ringkas semua akta yang dimuat dalam daftar harian seperti yang dimaksud dalam pasal 3. (Tbs.1,

    8 dst.)

    (2) Pencatatan harus dilakukan dalam waktu 24 jam sesudah akta yang ber-sangkutan dibuat.

    (3) Atas permohonan yang berkepentingan panitera menulis didalam daftar induk segala catatan mengenai

    kedudukan hukum dari kapal yang terdaftar itu, yaitu kedudukan hukum yang ditentukan oleh atau

    diperbolehkan oleh suatu peraturan perundang-undangan. (Tbs. 9, 125, 15, 19 dst., 27', 28;KUHD 322, 329 dst.;

    Rv. 562.)

    (4) Pencoretan (penghapusan) pendaftaran kapal, hipotek atau suatu hak kebendaan lainnya, dilakukan dengan

    pencoretan catatan mengenai hal itu di dalam daftar induk. (KUHD 315c; KUHPerd. 1195 dst.; S. 1933-48

    pasalIII; Overschr. 31; Tbs. 33.)

    Pasal 8. (1) Panitera ditugaskan untuk menyimpan daftar-daftar seperti yang dimaksud dalam pasal 3 dan 7. (Tbs. 1.)

    (2) Penyimpan bertanggungjawab secara pribadi atas kerusakan yang diakibatkan oleh kurang sempurnanya

    pemeliharaan atau penyimpanan daftar-daftar itu, begitu juga atas perbuatan-perbuatan yang diakibatkan dari

    ketidak lengkapan atau ketidakbenaran jawaban-jawaban mengenai keterangan yangdimintakan berkenaan

    dengan isi daftar itu. (KUHPerd. 1365 dst.; Tbs. 33.)

    (3) Sesuai dengan biaya menurut tarif yang berlaku yang harus dibayar oleh pihak pemohon, penyimpan wajib

    memperlihatkan daftar induk, dan Surat Asli (minut) dari akta yang dicatat di dalamnya begitu pula berkas

    surat-surat yang merupakan bagian dari yang disimpan itu dan memberikan salinan dari daftar induk itu bila

    diperlukan oleh pemohon. (Tbs. 33.)

    Pasal 9. Pada hoofdkantoor van scheepvaart (kini dapat disamakan dengan Kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut)

    diadakan daftar induk pusat dari semua kapal yang didaftarkan dan catatan-catatan mengenai hal-hal itu,yang telah

    diadakan dalam daftar induk (daerah). Semua salinan catatan-catatan yang telah dibuat oleh penyimpan daftar induk

    yang bersangkutan harus segera dikirimkan kepada Kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. (Tbs. 10, 12 5,19

    dst., 28, 33.)

    Pasal 10. (1) Bila dari daftar induk pusat ternyata bahwa kapal yang sama itu didaftarkan di beberapa tempat, maka pegawai

    yang ditunjuk oleh hoofdinspecteur van scheepvaart (kini dapat disamakan dengan Direktur Jenderal

    Perhubungan Laut) untuk menyimpan daftar induk pusat, diharuskan memberitahukan hal itu kepada para

    penyimpan daftar induk (daerah) di mana kapal itu di daftarkan; para penyimpan yang disebut terakhir wajib

    mengadakan catatan dalam daftar induknya masing-masing.

    (2) Direktur Jenderal Perhubungan Laut harus dengan segera mengambil keputusan tentang pendaftaran mana yang

    harus dipertahankan. la harus mengusahakan agar selekasnya di dalam daftar yang dipertahankan itu, disebutkan

    segala sesuatu yang dinyatakan dalam pendaftaran yang dihapuskan itu dan pen-daftaran yang perlu dihapuskan

    itu dicoret dengan menunjuk kepada keputusan yang telah diambilnya itu.

    (3) Penyimpan daftar induk pusat wajib memberitahukan kepada setiap orang tentang ada atau tidaknya dan di

    tempat mana suatu kapal tertentu terdaftar di dalam daftar induk (daerah). Untuk pemberitahuan hal ini biaya

    yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, harus disetor ke Kas Negara.

  • Pasal 11. (1) Pendaftaran kapal dilakukan dengan jalan membuat akta pendaftaran oleh pemilik kapal. (Tbs. 12 dst., 14.)

    (2) Keterangan-keterangan tentang kapal dimaksud dalam pasal 5, berisikan: nama, jenis dan kegunaan, tanggal,

    nomor dan tempat pengeluaran surat-ukur, tempat dan tahun pembuatannya, ukuran besarnya, ukuran isi

    kotornya dalam meter kubik dan tanda tera-bakar, satu dan lain hal sesuai dengan keterangan yang bersangkutan

    dengan hal-hal yang terdapat dalam surat-ukurnya.(Tbs. 15 dst.)

    Pasal 12. (1) Kecuali dalam hal yang dinyatakan dalam pasal 14, pada surat permohonan pendaftaran harus dilampirkan:

    a. surat-ukur kapal yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

    b. Surat penyerahan kapal atau Surat pembelian kapal atau pun suatu tanda bukti tentang pemilikan kapal.

    (2) Pendaftaran dimohonkan sebagai kapal laut, kapal nelayan laut atau sebagai kapal pedalaman.

    (3) Bila pendaftaran dimohonkan untuk kapal laut atau kapal nelayan laut, maka selain dari surat-surat seperti yang

    disebut dalam ayat (1),harus pula di lampirkan:

    a. Surat keterangan dari pemohon, bahwa kapal itu adalah kapal Indonesia dalam pengertian pasal 311 Kitab

    Undang-undang Hukum Dagang;

    b. berkas surat-surat bukti yang diperlukan untuk mempertimbangkan kebangsaan kapal itu. (Tbs. 2 14; S.

    451ter.)

    (4) Bila di antara surat-surat yang diperlukan itu terdapat kekurangan-kekurangan ataupun dari padanya tidak cukup

    nyata adanya kecocokan dengan identitas kapal, tidak adanya hak milik yang sah dari pemohon, maka

    pendaftaran itu ditolak dengan Surat keputusan yang di dalamnya disebutkan alasan-alasan penolakan itu.

    (5) Pendaftaran terlaksana bila ada pernyataan yang ditandatangani tentang pendaftaran kapal itu, sebagai kapal laut

    atau kapal nelayan laut atau kapal pedalaman.

    (6) Peralihan dari suatu golongan ke golongan lain, hanya dilakukan dengan akta yang dibuat oleh yang berhak di

    hadapan pegawai pencatat balik nama.

    (7) Akta itu hanya dibuat bila pegawai pencatat balik nama yang bersangkutan berpendapat bahwa segala peraturan

    untuk pendaftaran dalam golongan yang dimintakan itu, telah di penuhi sebagaimana mestinya. Penolakan untuk

    membuat akta dilakukan dengan pemberian Surat putusan yang di dalamnya disebutkan alasan penolakan itu.

    (Tbs. 23.)

    Pasal 13. (1) Akta pendaftaran dapat dibuat di hadapan setiap pegawai pencatat balik nama menurut pilihan si pemilik. (Tbs.

    4, 11 dst.)

    (2) Pendaftaran suatu kapal yang telah dilakukan di suatu tempat, tidak dapat dipindahkan ke tempat lain dari

    tempat pendaftaran pertama.

    Pasal 14. (1) Setiap kapal yang sedang dibuat di Indonesia, dapat didaftarkan untuk sementara oleh pemiliknya dengan akta

    yang dibuat di hadapan pegawai pen-catat balik nama yang menguasai wilayah kerja tempat kapal itu sedang

    dibuat.

    (2) Pendaftaran sementara hilang kekuatan hukumnya sejak saat kapal itu dipakai. Pemiliknya wajib mengajukan

    permohonan penghapusan pendaftaran sementara itu. (Tbs. 12, 195, 20, 33.)

    Pasal 15. Pada waktu pemberian surat-ukur yang baru, pemilik kapal wajib memberitahukan hal itu kepada panitera di kantor

    pendaftaran kapal itu. Panitera mencatat isi surat-ukur yang baru itu ke dalam daftar induk. (Tbs. 7,9, 33; S. 1927-2

    10 pasal 5; S. 1927-212 pasal 40 jis. 35 dst.)

    Pasal 16. (1) Bila kapal yang sedang dibuat di Indonesia atau kapal yang lama telah didaftarkan, maka ahli ukur kapal yang

    berwenang harus mencapkan atau membubuhkan tanda terbakar pada kapal itu di tempat yang mudah dapat

    dilihat dari luar dan dengan cara yang tidak mudah dihapus yaitu kode tahun, pernyataan tempat pendaftaran

    dan nomor register pendaftaran dari kapal yang bersangkutan. Pencapan atau pemberian tanda terbakar ini harus

    dinyatakan dengan surat keterangan ahli ukur kapal itu.

    (2) Bila pembubuhan tanda terbakar tidak mungkin dilakukan pada kapal itu, maka pembubuhan tanda terbakar ini

    dilakukan di tempat pembuatan kapal itu.

  • (3) Bila pada bagian kapal di mana kode tersebut dalam ayat (1) dicapkan atau di bubuhkan tanda terbakar, diganti

    dengan yang baru atau jika kode itu seluruhnya atau sebagian sudah tidak dapat dibaca lagi, maka atas

    permintaan pemilik yang disampaikan kepada ahli ukur kapal yang berwenang, dilakukan lagi pencapan kode

    atau pembubuhan tanda terbakar yang b