himmah semester 1, 2014 (bahasa indonesia dan inggris)
TRANSCRIPT
8
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
H I M M A H
Jurnal Ilmiah Keislaman
Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir
Pelindung:
Presiden PPMI Mesir 2013-2014
(Amrizal Batubara, Ss.)
Mitra Bestari:
Dr. H. Fahmy Lukman, MHum.
Pemimpin Redaksi:
Mohammad Izdiyan Muttaqin
Sekretaris:
Elva Siti Fauziyah
Dewan Redaksi:
Jauharotun Naqiyah
Ratih Ayu Muflihah Salwa
Abdul Malik
Sukron Sayyid
Tata Letak:
Shilmy Azis Hasbullah
Desain Cover:
Husni Dzahaby
Penyunting:
Zaimuddin Abdul Adzim, Lc.
Novan Hariansyah, Lc.
Irvan Prima Putra
Alamat Redaksi:
8 Wahran st. Rabea el-Adawea Nasr City Cairo Egypt
Phone & Fax (202)24048719
Email: [email protected]
9
Daftar Isi
Editorial
The Archetypal Psychology and The Creative Psyche;
Jung‘s Contribution toward Modern Psychoanalysis
Umar Abdulloh
Fiqh Awlawiyat; Konsep Rekontruksi Berfikir Umat
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
Penghianatan Di Bumi Kufah
(Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)
Muhammad Faiq Aziz
Abdul Hamid II (1842 – 1918):
Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
Sunah dan Orientalisme dalam Sorotan
Roni Fajar Verigina
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah;
Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
iii
iv
8
22
32
42
62
80
97
DAFTAR ISI
10
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
بسم ميحرلا نمحرلا هللا
انغالو عهكى سحخ هللا ثشكبر
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepada kita dua mata, Dialah yang telah
memberikan kita satu lidah dan dua bibir, dan Dia pula yang memberikan kita hidayah menuju
jalan kebenaran. Shalawat serta salam selalu kita panjatkan kehadirat Nabi Besar Muhammad
SAW. Yang telah mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya.
Senang sekali rasanya Jurnal Himmah Edisi 9 Nomor 1 Bulan Febuari 2014 ini bisa kem-
bali hadir di Masisir di tengah kondisi politik Mesir yang masih simpang siur tidak menentu.
Mesir masih hangat diterpa Revolusi, demo-demo terjadi hampir setiap hari selama kita kuliah,
namun semua itu tentu tidak menghentikan langkah kita untuk maju menyongsong masa depan
yang lebih baik. Semangat kita untuk memperbaiki diri, belajar, dan mempersiapkan diri untuk
membangun Indonesia harus senantiasa kita jaga.
Telah terjadi beberapa perubahan dalam tim redaksi, Saudara Hariyadi yang telah ber-
juang mempertahankan eksistensi Jurnal ini kini menyerahkan tanggungjawab penerbitan ini
kepada kami, sebagai tim redaksi yang baru, dan tentu saja bagi kami segenap kru redaksi,
proses penerbitan Jurnal Himmah adalah sebuah fase latihan dan pembelajaran yang tidak
boleh disia-siakan. Jurnal Himmah sebagai bentuk aktualisasi aktifitas intelektual Masisir harus
tetap hadir mengisi posisinya yang sangat penting sebagai wadah untuk berkarya bagi Masisir.
Dalam edisi kali ini kami memuat 9 buah tulisan karya Para Pelajar Indonesia di Al-
Azhar. 6 tulisan berbahasa Indonesia, 1 tulisan berbahasa Inggris, dan 2 tulisan berbahasa Arab.
Tulisan-tulisan tersebut Insya Allah akan menambah luas wawasan dan cakrawala keilmuwan
kita. Kita akan diajak menjelajah tentang kisah runtuhnya Daulah Utsmaniyah oleh al-Ustadz
Indra Gunawan, Lc. Dipl. Beliau akan mengupas kehidupan Khalifah terakhir di Dunia Islam
yang tragis nan dramatis. Kita juga akan menyimak bagaimanakah asal-muasal dan sejarah dari
perayaan Asyuro‘ yang diadakan oleh pengikut syi‘ah untuk mengenang kematian Sayyidina
Hussein, lewat sebuah artikel karya Mohammad Faiq Aziz. Ditambah lagi wawasan menarik
tentang astronomi dan asal muasal penghitungan kalender miladiyah yang kontroversial akan
diulas menarik oleh Saudara Ismail Sujono.
Dari segi Syari‘ah Islamiyah kita akan disuguhi tulisan yang sangat menggugah tentang
teknologi penataan pekerjaan atau skala prioritas dalam syari‘at islam yang sungguh penting
kita ketahui sebagai bekal kita dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi tulisan menarik karya
Saudara Roni Fajar Verigina tentang ulasan mengenai Orientalisme yang telah membuat orang-
orang barat malang melintang di Negara-negara Islam dengan dimotivasi oleh berbagai niat dan
tujuan masing-masing. Kita juga akan menemukan tulisan menarik karya Abdul Ghani
mengenai filsafat islam atau ilmu kalam yang membandingkan antara dua sesepuh dalam dunia
filsafat islam, antara pemikiran Imam Ghazali dan pemikiran Ibnu Rusyd. Dan yang tidak kalah
11
menarik adalah tulisan berbahasa Inggris kita yang ditulis oleh Umar Abdulloh tentang psikolo-
gi yang ternyata masih berhubungan dengan etika, adab, tingkah laku, dan bahkan berhubungan
dengan ruh.
Dua tulisan berbahasa Arab dalam edisi kali ini juga tidak kalah menarik. Dalam tulisan
karya al-Ustadz Anas Azizi kita akan menelaah perbedaan-perbedaan istilah antara dua madras-
ah paling masyhur di ―Dunia Nahwu‖, Bashriyah, dan kufiyah. Dan al-Ustadz Mulyadi Makoli
akan menerangkan tentang kebutuhan Umat Islam akan tafsir yang kian hari kian penting untuk
memahami al-Qur‘an yang merupakan pedoman Umat Manusia untuk mencapai kebahagiaan
di dua kehidupan, Dunia dan Akhirat
Akhirnya kami segenap kru mengucapkan selamat membaca, terima kasih karena anda
telah meluangkan waktu untuk ikut membaca dan mengapresiasi karya-karya Masisir yang ten-
tu saja merupakan benih-benih pemimpin dan ulama yang akan menghiasi Indonesia di Masa
yang akan datang. Tidak lupa kami mengucapkan maaf jika terdapat kesalahan di sana-sini,
kritik, saran dan masukan anda selalu kami tunggu, silahkan mengirimnya melalui email yang
sudah tertera di bagian depan jurnal ini. Semoga jurnal ini bermanfaat bagi kita semua, dan
Semoga kita selalu dibimbing Allah menuju jalan yang diridhoi-Nya,
انغالو عهكى سحخ هللا ثشكبر
Mohammad Izdiyan Muttaqin
12
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
ر وإن كان حدثا” العال كبي
ر وإن كان شيخا ― واجلاهل صغي
“Orang yang berpengetahuan tetap besar
walaupun masih kecil,
dan orang yang bodoh tetap kecil walau-
pun sudah besar”
13
THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE
CREATIVE PSYCHE;
Jung’s Contribution toward Modern Psychoa-
nalysis
Umar Abdulloh
Student of Department of Sharia and Law, Faculty of Islamic Sharia and Law,
Al-Azhar University, Cairo, Egypt
Email: [email protected]
ABSTRAK
Manusia hidup dalam simbol-simbol yang bertransformasi dalam banyak aspek ke-
hidupan. Entah itu muncul dalam mimpi, pikiran, refleksi, kecenderungan dan imajinasi manu-
sia memiliki makna khusus yang tidak bisa diabaikan. Dalam ilmu psikologi modern, nantinya
simbol-simbol ini juga terkait dalam pembentukan jiwa seseorang, dan jiwa yang utuh hanya
mampu tercapai saat seseorang mampu meleburkan alam bawah sadar dengan alam sadarnya.
C. G. Jung mengemukakan teori psikologi arketipe yang menggegerkan dunia psikologi klasik
yang semula sangat membedakan antara alam bawah sadar dengan alam sadar. Dia juga mem-
perkenalkan bahwa seluruh simbol dalam kehidupan memiliki fungsi dan makna secara khusus.
Kata kunci: Jung, psikologi, pola dasar, jiwa, simbol
ABSTRACT
People live inside the symbols which transformed and dissolved into the aspects of life.
These symbols which often emerge at the human‘s dream, thought, reflection, preference and
imagination are not to be underestimated. A modern psychology states that these symbols are
linked with one‘s psyche development, and a psyche could only gain its wholeness when the
conscious is able to interact with the unconscious and come to term with this counterpart. C. G.
Jung had suggested the archetypal psychology which made a stir among the whole classical
school of psychology, where they separated between the conscious and the unconscious. He
also said that every symbol has its own meaning and function in this life.
Keyword: Jung, psychology, archetype, psyche, symbol.
THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis
Umar Abdulloh
14
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
PREFACE
What is a psyche which is called by
various names so far: a soul, a life, a form of
accumulated experience, and many more. In
the ancient time, the idea of the psyche is
mostly referred to Plato‘s idea of psyche,
thus he wrote that the soul and life would be-
come immortal when they are separated. He
also stated that ‗a psyche‘ after death is able
to achieve wisdom and experience better than
which it is alive, assuming that a soul and a
body are united. When death comes, the soul
is no longer unhindered by the body.
In respond to Plato‘s concept of psy-
che, and what Medieval psychology defines a
psyche as an anima, a term which traditional-
ly means a soul but had been altered by Jung,
becomes more superstitious in some manner
later, anima is just another term inside Jung‘s
concept of psyche. For Jung, the psyche was
a many-splendored thing: fluid, multi-
dimensional, alive, and capable of creative
development. Before reaching the stage
which we could interpret Jung‘s view of the
psyche in a whole, we must understand that
Jung was no stranger to disease, psychosis
and inertia, having been an Assistant Director
of a psychiatric hospital he was. Since then,
he possessed a love for the orderly chaos of
the psyche and a trust in its integrity, not to
be confused with traditional definitions of
psyche which distinguished between the un-
conscious and conscious ones. Eventually,
Jung was drawn to mystical systems like as-
trology and alchemy, because they were to-
ward a synthetic understanding of matter and
psyche. He saw in them the unity between a
man‘s inner psychological process and his
fantasies of the workings of the biological
and physical world.
Some psychologists even said, Jung
was ahead of his time, prescient in terms of
his post-modern view of the psyche which
differs from all previous concepts, even his
tutor, Sigmund Freud. Later, this paper‘s
main purpose is to discover Jung‘s contribu-
tions in his concept of psyche, the foundation
which he laid his ideas upon, his unique view
of psychological process, the individual path
to objective awareness and the creative use of
unconscious material. Jung‘s orientation to-
ward the psyche differed from older ‗human‘
systems that functioned psychologically by
fusion, compulsion or the rudeness of fate,
but also diverted from modern rational views
oriented toward separation from the uncon-
scious, and ego control over both matter and
psyche. His entire concept toward the psyche
was ‗post-modern‘, which will be explained
thoroughly below.
JUNG’S DEFINITION OF PSYCHE
Freud‘s dictum, ―Where id was there
ego shall be‖ shortly described what the psy-
che was. Freud believed there must be three
components to define a psyche, they are: the
id, which represents the instinctual drives of
an individual and remains largely uncon-
scious; the super ego, which represents a per-
son‘s conscience and their internalization of
societal norms and morality; and last comes
the ego, which is conscious and serves to in-
tegrate the drives of the id with the prohibi-
tions of the super-ego.
The three components above must re-
main equivalent and stay in balance. When
the id slightly appears much higher than the
super ego, the wild instinct of human kicks in
and drives people aggressively, intangible,
without moral bounded from within. As vice
versa, when the super ego (or alter ego) dom-
inates the self too much then the id, human
would eventually having too much pride
15
which has too much sense of justice, and that
is not always better. Therefore comes the ego
as a bridge between those two. Thus, this
‗structural-model‘ when psyche is a battle
between the id and the super ego, and the ego
as the one to mediate between those two,
would have an important role in the history
of foundation of the archetypal psychology.
After becoming too much infatuated
with Freud‘s ideas, Jung‘s view of psyche
departs from his tutor‘s concept, but with
some alteration here and there because off his
disagreement in some of his mentor‘s per-
spective of life. Jung‘s view of psyche then
lies in his vision of interplay between inter-
nal psychic, somatic, and interpersonal phe-
nomena, with the world, and life itself. While
he obsessed so much about Medieval psy-
chology and alchemy, he often referred these
living and inseparable relationships as deriv-
ing from an unus mundus, means ‗one uni-
tary world.‘
Jung implied that all forms of existence
and experience are linked. Moreover, recent
discoveries in the technology of DNA stated
that all animate life from a petal of grass to a
human being is built from the same four
components of genetic material, differing
only by arrangement. Yet, this discovery is
just another validation for this ‗unitary
world‘ concept in a symbol which exists in
every culture throughout history: the manda-
la, or magic circle, which signifies both un-
differentiated and integrated wholeness.
In Jung‘s idea of unus mundus, everything is
interconnected, and there is no difference be-
tween psychological and physical facts, past,
present or future. This borderline state where
time, space, and eternity are united forms the
backdrop for his most basic formulation
about the structure and dynamics of the psy-
che. Thus, it could be concluded as the exist-
ence of an objective psyche or collective un-
conscious, which is the reservoir of human
experience both actual and potential, and its
components, the archetypes. Internal and ex-
ternal events are related by their subjective
meaning. There are inseparable links be-
tween psyche and matter, subject and object,
affects, images, and action are virtually iden-
tical. One most featured of Jung‘s approach
was the value given to this miraculous layer
of the psyche, and the understanding that it
never disappears, but remains the wellspring
from which all else flows.
And so, Jung always maintained the
fact of the reality of the psyche per se. It
means, psychic phenomena are related, but
not reducible to other levels of experience
such as neurons and synapses. This realiza-
tion of psychic reality per se implies that the
unconscious can never be entirely repressed,
exhausted, or emptied through reductive
analysis. Moreover, this would be harmful
for psychic health. The danger here conse-
quently is the possibility of being possessed
by it, thus created some kind of madness.
But again, Jung had suggested the solu-
tion, that he conceived the optimum relation-
ship between ego and the rest of the psyche
to be one of the continuous dialogues. The
dialogues here mean that there is an unbreak-
able link between ego and the psyche, and
they always communicate in such a never-
ending-process way. The core issue as how
the Jungian sees it, is how to maintain a dy-
namic tension and a flexible relationship be-
tween the ego and the rest of the psyche. It
has only one object: to find a way to come to
terms with the unconscious as well as deal
with future difficulties. This process, again,
consists of maintaining a continuous dia-
THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis
Umar Abdulloh
16
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
logue with the unconscious that facilitates
creative integration of psychological experi-
ence.
THE ARCHETYPE : THE OBJECTIVITY
OF THE PSYCHE AND ITS OBJECTIVE
AWARENESS
Jung felt that knowledge was entirely
experimental, probably inspired by Descartes
in his theory of ‗innate idea‘, this Germany
psychologist also has gnosis, an ‗inner know-
ing‘ which was gained through one‘s own
experience and understanding. It is more than
just consciousness, but includes the experi-
ence of meaning. Based on his personal expe-
rience gained from such a numerous psycho-
logical life where he encountered imaginary
identical from different views and religions,
he then an archetypal instinct, formed in
symbols. He argued that the archetypal sym-
bols which emerge from the unconscious are
part of the psyche‘s objective ―meaning-
making‖ instinct, but again, each symbol
must be realized subjectively within each in-
dividual.
For example, there is a human instinct
to create an image of a goldfish trapped in
some transparent container, the function of
which is to symbolize the solitary person who
judges others by his eyes while hiding inside
the harden safe-locked container within the
heart. Again, the content of this image must
vary within individuals, they are not always
the same, some differ, mostly not. But the
symbols are always universal.
Departs from the concept above, Jung
saw a need to differentiate the universal com-
ponents of consciousness in such a way as to
describe how these components work in dif-
ferent ways in different individuals. He de-
scribed two basic modes of perception: intro-
version, were the psychic is primarily stimu-
lated by the internal world, and extraversion,
where the psychic focus is on the external
world. Within these two modes, Jung de-
scribed four properties of consciousness:
thinking, feeling, intuition and sensation. The
modes of perception and the properties of
consciousness are found combined in many
ways, for those the introverted intuitive
thinking type or the extraverted ones. The
theory implies that there are various ways not
only of understanding but also of functioning
in the world. The theory which suggests the
different types of patient may require differ-
ent treatment.
The understanding of both the objectiv-
ity of the psyche and the importance of one‘s
subjective experience of it informs the learn-
ing Jungian – those who learn thoroughly the
ideas and concepts of C.G. Jung‘s archetypal
psychology – the view of the analytic pro-
cess. This process involves the uncovering of
one‘s personal history, unconscious dynam-
ics, and individual limitations, with the at-
tendant suffering and healing of unresolved
complexes. This personal material is also
considered as the objective psyche or collec-
tive unconscious, the level and content of the
unconscious which consists of archetypes.
Since all individuals experience have an ar-
chetypal core, issues from personal history
and archetypal patterns are always linked,
often needing first to be separated, and then
linked back together. Jung‘s way of looking
at consciousness was very different from a
universal theory applied indiscriminately.
Even so, he considered all subjective paths of
experience, all typologies, and all complexes,
to lead to the universal objective level of psy-
che, comprised of the archetypes.
The archetypes picture how we relate to
17
the world. They manifest as instincts and af-
fects, as the primordial images and symbols
in dreams and mythology, and in patterns of
behavior and experience. Unmerged from the
individual, these archetypes reflect universal
issues, and serve to bridge the subject or ob-
ject gap. The recognition of archetypes in-
cluding the psyche‘s personalization of sym-
bolic archetypal motifs (such as the fantasy
in everyone‘s thought that his/her mother is
either demon or an angel) must be well un-
derstood for every Jungian or every people
familiar to this concept and for people who
tend to understand themselves for gaining the
better purpose in this university of life.
This entire character of archetypes
form a theoretical background a lot more
than what Freud suggested in his trinity con-
cept of psyche, and how the psyche is such
omnipotence, idealization, fusion and separa-
tion-individuation struggles. The archetypal
psyche is the world of the unus mundus
where nothing is separated, but nothing is
sequentially connected either. Instead of con-
nections and relations, there is a substitution
and affect. Then, for people to understand
themselves and recognizing the darkness
lived within, where the conscious and the
unconscious could emerge as a whole.
THE JUNGIAN MODEL AND ITS DY-
NAMICS : HOW IT DIFFERS FROM
FREUDIAN
While the objectivity of experience is
determined by the archetypes, its subjectivity
is determined by the nature of one‘s personal
complexes. Jung was, in many ways, the fa-
ther of ―complex theory.‖ He had conducted
some experiments to prove his theory. He
once tested several people using a ‗word as-
sociation test‘ in which they responded with
associations to stimulus words. While he was
testing, he found the presence of unconscious
distractions which interfered with associa-
tions to the test words. These internal distrac-
tions were called feeling-toned complexes of
ideas, or to be shortened simply as complex-
es. This work had great bearing on the status
of psychoanalysis in the scientific communi-
ty at that time, yielding empirical indications
that an ‗association‘ could be disturbed pure-
ly from within.
The word association test suggested the
presence of many types of complex, contra-
dicting Freud‘s claim for a core sexual com-
plex. Jung also observed that these complex-
es were dissociable, they functioned autono-
mously as the unconscious capable of form-
ing separate personalities or characters. Thus
he never believed that dissociations were
necessarily caused by sexual trauma or any
trauma unlike in Freud‘s theory. For Carl
Gustav Jung, the psyche was inherently dis-
sociable, with complexes and archetypal con-
tents symbolized and functioned autono-
mously as complete secondary systems. He
visualized them as a secondary selves, not
merely unconscious drives and processes.
While Freud‘s psychoanalysis was pre-
dominantly historical, prying into someone‘s
past, Jung‘s was concerned with the present
as it illuminated the path for future develop-
ments. Jung saw the ego as prone to errors of
misguidedness and one-sidedness. He be-
lieved that the material surfacing from the
unconscious served to bring light to its fun-
damental darkness.
He considered unconscious imagery to
be symbolic, where a symbol is understood
as something that compensates the errors of
ego consciousness. The symbol has a regulat-
ing function. The essence of the teleological
position is that:
THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis
Umar Abdulloh
18
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
All symptoms and complexes have a
symbolic archetypal core
The purpose or aim of a symptoms,
complexes or defense mechanism is
more important than its causes.
In summary, a symptom develops not
because of prior history of trauma but in or-
der to express a piece of psyche or to accom-
plish a purpose. In the case of medium whom
Jung studied, her spirit guide was not reduced
to pathological hysterical complex, but con-
sidered as ‗an independent existence as au-
tonomous personality, seeking a middle way
between extremes.‖ Jung saw the figure as an
attempt to rectify her past and prepare her for
adult life; it was a numinous element in the
psyche capable of giving meaning to her life.
Jung was arguing that a complex, rather than
just repeating itself, could also function to
regulate current functioning and reorganize
the future.
The most serious kind of disease is not
the existence of complexes, but the break-
down of the psyche‘s considerable self-
regulating capacities, such as the ability to
recognize the current situation and bring it
into awareness and form an archetypal mate-
rial. Henceforth, the teleological view proved
another of Jung‘s seminal ideas: the existence
of the Self, by which he meant an ideal agen-
cy that contained structures, and directed the
development of the entire psyche, including
the ego. James Hillman, one of the most in-
fluential Jungian, stated that when the perso-
na, similar to Freud‘s super-ego could con-
quer, recognize and create an intertwining
between it and the shadow, or just like
Freud‘s id, is when the psyche could become
whole, the Self. It means that Jung suggested
the ideal concept of psyche is when people
are able to recognize their weakness and ac-
cept it as their part of self, come to terms
with it, and rather than being gullible by self-
guilty, they prefer to realize their strengths
and weaknesses come from one source, their
soul, thus to move forward is to conquer the
Selves.
But the process of understanding one‘s
Self is not that simple. The symbolic forms
emerged from the psyche when they are de-
veloping, created a double-sided mirror,
which in a person‘s dream or his view toward
an object, they must not be understood only
from what is revealed, but rather, there must
be something concealed to be extracted.
Those symbolic forms are later must be inter-
preted by understanding not only from his
traumatic history in childhood, but also how
does this person view his life as he is right
now and the potential of his psyche to react
for the future.
THE INTERPRETATION OF THE AR-
CHETYPES: THE SYMBOLIC USE OF
UNCONSCIOUS MATERIAL
Regarding to Jung, fantasies, dreams,
symptomology, self-defense mechanism and
resistance are all viewed in terms of their cre-
ative function ad teleology. The assumption
is that they reflect the psyche‘s attempts to
overcome obstacles, make meaning, and pro-
vide potential options for the future, rather
than existing only as passive responses to
past history. For example, during a period of
depression and anxiety a woman reported
―I‘d like to jump in a river.‖ Jungian ap-
proach to this disturbing fantasy reveals a
disgusting proof of this patient‘s suicidal im-
agery. Its apparent meaning and purpose will
be seen in the context of its underlying func-
tion and symbolism.
Jung‘s view of most mental illness was
19
that when the natural flow or libido (by
which he meant psychic energy, not only
sexual libido like Freud suggested) is stopped
due to one‘s inability to meet internal or ex-
ternal difficulties, and it regresses. As it re-
gresses, it activates both past internalized
images, such parents perhaps, and archetypal
symbols of libido from the objective psyche,
in this case, water. The fantasy of ‗jumping
in a river‘ is the psyche‘s image for an im-
pending regression whose quality is ‗watery‘.
The questions then asked as the libido re-
gresses and such potent symbols emerged,
they are: what is this for and where is it go-
ing? This approach is called the synthetic and
progressive method of interpretation, to dis-
tinguish it from a retrospective and personal
approach which analyzes in terms of past his-
tory and personal experience. A combination
of both methods is used by Jung in his treat-
ment.
Jung considered libido to necessarily
flow backwards or to regress. It is another of
the self-regulating mechanisms. He stated
that regression and introversion not only po-
tentially adaptive, but they turn out to be-
come such a healing potion for self if suc-
cessful. As libido regresses and turns inwards
during illness, symbols are emerging from
the unconscious. Jung felt that the purpose of
a symbol was to transform libido from one
level to another, elevate it, pointing the way
toward future development.
Symbols speak the language of the ar-
chetype as they are. They originate in the lay-
er of the psyche, where they are potentially
healing, destructive, or prophetic. Symbolic
images are truly genuine transformers of psy-
chic energy because a symbolic image
evokes the totality of the archetype it reflects.
Images evoke the aim and motivation of in-
stincts through the psychological nature of
the archetype. This holds the truth whether or
not they are rationally understood.
Fox example, the image of ‗jumping
into the river‘ means much more than the
dreamer‘s personal associations to it. It car-
ries with it all the archetypal imagery of
moving water. It represents flow vs. fixity,
immersion, containment, dissolution and pu-
rification. Water relaxes the connections be-
tween things, which results in either death or
resurrection. The sacred rivers of the world,
such as Nile, Musi, the Ganges, are all
thought to have healing and regenerative
properties. They also represent the suicidal
images which symbolize the need to dissolve
things back into their constituent parts to be
swept away into the waters of unconscious
and purified as a prelude to rebirth.
Another way in which Jungian work
uses unconscious material in creative fashion
is in its approach to the experience of oppo-
sites in psychological life. This experience
reflects the psychological fact that whatever
is in the ego complex has its mirror opposite
in the unconscious. A controlling ego will
play a role in the contrary of what in the un-
conscious. Example, a warrior is also a wolf,
while a wolf contains a potential warrior. A
beautiful woman is also a swan, and so the
swan may be a beautiful woman within. The
psyche is not a perfect homogenous entity,
rather it works to create wholeness. But dis-
orderly wolves are usually pushed into un-
conscious, forming a secondary personality
which Jung called the shadow. It is so im-
portant to bring this and the shadow into con-
scious awareness, otherwise further dissocia-
tion and neurosis will take effect.
Exploring the relationships inside the
Self the work of psychotherapy, where the
THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis
Umar Abdulloh
20
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
important questions become: how will the
wolves live if not in projection? How does
the warrior treat the wolf, and the wolf treat
the warrior? Finding answers is a process of
subjective understanding, realization of the
ego, continuous integration of shadow mate-
rial, and a subjective topic on what describes
‗good and bad‘ in psychological life.
CONCLUSION
A whole Jung‘s concept of psychology
emphasizes purposive development, a sense
of personal meaning, and creative adaptation
as operative factors inside the psyche. It ex-
plains a process continuous psychic integra-
tion, always preceded by stages of dissocia-
tion, summed up in the psychological term as
a ‗dissolve and coagulate‘ theory. The pur-
pose of analysis is to help redirect psychic
energy toward development with the help of
a symbolic experience of unconscious materi-
al.
Jung‘s major contributions were the
insistence on the symbolic and creative func-
tion of unconscious material, the healing
power of images, and the psyche‘s prospec-
tive tendency toward regression during stress
and growth. He was ahead of his time, ad-
dressing problems of dependency, regression,
and collusion which continue to undermine
the value of contemporary psychotherapy.
Moreover, less but not forgotten, his
work opened up the traditional concept of
Freud‘s psychoanalysis by exploring the ob-
jective field of archetypal dynamics. Issues
that are being explored in the older field like
the separated objects between the id, the su-
per-ego and the ego, separation individuation
struggles, dissociative disorders, and the cir-
cumstances around it, all have their roots in
the archetypal layer of the psyche.
REFERENCES
Campbell, Joseph. 1976. The Portable Jung.
New York: Penguin Books.
Freud, Sigmund. 1933. New Introductory
Lectures, London: Hograth Press.
Hillman, James. 1975. Re-visioning Psychol-
ogy. New York: Harper & Row.
____________. 1985. Archetypal Psycholo-
gy: A Brief Account. Dallas: Spring
Publications.
Jung, Carl Gustav. 1966. The Practice of
Psychotherapy. New Jersey: Princeton
University Press.
_____________. 1969. The Structure and
Dynamics of the Psyche. New Jersey:
Princeton University Press.
_____________. 1970. Mysterium Coniunc-
tionis. New Jersey: Princeton Universi-
ty Press.
_____________. 1970. On the Psychology
and Pathology of So-called Occult Phe-
nomena. New Jersey: Princeton Univer-
sity Press.
_____________. 1971. Psychological Types.
New Jersey: Princeton University
Press.
Kerr, John. 1993. A Most Dangerous Meth-
od: The Story of Jung, Freud and
Sabina Spielrein. New York: Alfred A.
Knopf.
Kugler, Paul. 1997. Psychic Imaging: a
Bridge between Subject and Object.
UK: Cambridge University Press.
Lopez-Pedraza, R. 1971. Responses and Con-
tributions. Dallas: Spring Publications.
McNeely, Deldon. 1997. ‖ The Case of Joan:
Classical, Archetypal and Developmen-
tal Approaches‖ in The Cambridge
21
Companion to Jung. UK: Cambridge
University Press.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor In-
donesia.
Myers, Steve. 2009. ―The Cryptomnesic Ori-
gins of Jung‘s Dream of the Multi-
storied House‖ in The Journal of Ana-
lytical Psychology. New York, Vol 54,
No. 4.
Segal, R. A. 1992. The Gnostic Jung. NJ:
Princeton University Press.
Sherry Salman. 1997. ―The Creative Psyche:
Jung‘s Major Contributions‖ in The
Cambridge Companion to Jung. UK:
Cambridge University Press.
Shamdasany, Sonu. 2003. The Red Book of
C.G. Jung. UK: Cambridge University
Press.
Winnicott, D. W. 1965. ―True and False Self
― in The Maturational Processes and
the Facilitating Environment. New
York: International Universities Press.
Britannica Encyclopedia Ultimate Reference
Suite
www.perseus.tufts.edu
http://web.archive.org
THE ARCHETYPAL PSYCHOLOGY AND THE CREATIVE PSYCHE Jung’s Contribution toward Modern Psychoanalysis
Umar Abdulloh
22
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI
BERPIKIR UMAT
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
Mahasiswa Jurusan Syari‘at Islam,
Fakultas Syari‘at Islam dan Hukum, Universitas Al-Azhar, Kairo
Email: [email protected]
انمهخص
نبرا رأخش انغه رمذو غشى؟ زا انغؤال ك ظفزب انو نجحث عك ع دس انغه ف عصش أنف.
كأ انغه فمذا حكى ألسشذى ف يشزى. حب غشى اشزغها ف رنذ انعهو انجذذح نصهحخ عبيخ انبط رككك
حضبسرى ان ي حضبسرب ثحغت انبدخ. لذ اشزغها انغه ثئخزالفى ف أيس انجضئبد انكفكشعككخ.يكب ك انغكجكت
انز غجت رأخش انغه؟ رأخش حضبسح انغه ثغجت انغهظ ف كفخ رفكش انغه ع انحبح. نبرارأخكش؟ حكمككمكخ
اإلعالو ال رك كزانك, أل اإلعالو ضع مطخ اإلطالق نجبء حضبسح انكجشح. لذ عشفككب أ ككشح انكككضكخ اإلعكالو ركذس
انعبنى. زجخ عه رانك, احذ انحم إلصالح حضبسرب اصالح كفخ رفكشى ثزمذى يب حكمك انكزكمكذكى كؤخكش يكب حكمك
انزأخش. نزانك اخزش انكبرت انجحث ع انفم األنبد ألحذ انجذ إلصالح فكشح انغه.
: األنبد، انظش، الع، يصهحخ، يفغذحانكهمبت األسبسية
ABSTRAK
Mengapa Umat Islam terbelakang dan orang-orang non muslim justru berkembang? Soal
ini menjadi tugas kita bersama untuk memandang peranan umat muslim pada era milenium
kedua. Umat muslim seakan kehilangan kompasnya disaat melangkah, dikala orang-orang non
muslim justru sebaliknya meniti karir kejayaan. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Salah
satu sebab ketertinggalan umat Islam dari peradaban lain adalah cara umat muslim berpikir
tentang hidup. Ketika peradaban lain sibuk melahirkan karya-karya untuk kehidupan manusia,
umat muslim justru disibukkan dengan pertikaian antar saudara. Padahal, ajaran Islam telah
menetapkan batu pijakan untuk mewujudkan peradaban yang besar. Sejarah mencatat bahwa
Islam dan nilai-nilainya telah menjadi pondasi kuat dalam membangun Masyarakat yang adil
dan makmur, bahkan nilai-nilai inilah yang menjadi pondasi kebangkitan Eropa. Oleh karena
itu, salah satu solusi untuk memperbaiki peradaban umat Islam saat ini adalah dengan memper-
baiki pola pikirnya. Mengedepankan apa yang perlu untuk dikedepankan, serta mengakhirkan
apa yang perlu ditangguhkan. Maka Penulis mencoba untuk memaparkan pembahasan fiqh aw-
lawiyyât sebagai salah satu upaya rekonstruksi pemikiran umat muslim.
Kata kunci: prioritas, pertimbangan, realita, maslahat, mafsadat
23
PENGANTAR
Peradaban Islam telah memberikan
sumbangsih yang jelas bagi kebangkitan
Eropa. Melalui Andalusia dan Cordoba, Is-
lam menyatukan antara kebudayaan Timur
dan Eropa dan mengantarkan mereka pada
era renaisan.1 Hal ini ditengarai dengan
adanya transfer pengetahuan dari pelbagai
bidang seperti: kedokteran, sastra, astronomi
ke Eropa. Disamping itu, penerjemahan lit-
eratur dari berbagai wilayah yang berkem-
bang pesat pada masa itu, seperti: Yunani,
Persia, Iberia telah menggoreskan garis per-
mulaan kebangkitan di Eropa. Oleh karena
itu, peradaban Islam ikut serta berkontribusi
dalam penyelamatan Eropa dari kegelapan
abad pertengahan ke era renaisan.
Seiring berjalannya waktu, khilafah
Utsmani pun berakhir, dan sebaliknya,
peradaban Eropa pasca revolusi Perancis dan
revolusi Industri di Inggris mengalami
perkembangan yang pesat. Keruntuhan khil-
afah Utsmani tersebut sering dikatakan se-
bagai titik tolak kemunduran umat Islam. Se-
lanjutnya, umat Islam lebih terlihat
mengepigoni atau membebek pada peradaban
yang dulu diselamatkan olehnya. Tak Ayal
jika Albert Hourani2 dalam mukadimah
bukunya al-Fikr al-„Arabî fî „Asr Nahdhah
memaparkan aspek-aspek apa saja yang ha-
rus diambil dan ditinggalkan oleh umat Islam
dari peradaban Barat untuk menghidupkan
tatanan sosialnya.3 Kondisi tersebut juga di-
pertanyakan oleh Syekh Syakib Arslan,4
―apakah masih tersisa semangat pem-
bangunan Islam sebagaimana masa lalu dan
umat muslim tertinggal? Atau saat ini ajaran
Islam dipahami dan hanya dianggap sebagai
simbol saja?‖5 Pertanyaan-pertanyaan ini
semakin dikuatkan dengan pernyataan Mu-
hammad Abduh6 bahwa ia melihat kaum
muslimin di Timur tanpa kehadiran Islam,
sedangkan ia melihat Islam di Barat tanpa
kehadiran kaum muslimin.7
Terdapat beragam alasan mengenai
penyebab kemunduran umat Islam. Dari
sekian ragam penyebab yang ada, penulis
hanya mencoba menelisik tentang metode
berpikir yang menyebabkan muslim menjadi
mundur dan terbelakang, yaitu terkait runtu-
tan cara berpikir dan bertindak dengan cara
melihat pertimbangan prioritas. Inilah yang
1. Abdul Hay Al Kattani, Al-Islâm fî al-Fikri al-Gharbî, terj. Lathifah Ibrahim Khadar, (Jakarta: Gema Insani Press, cet.I, 2005), hal. 25.
2. Albert Hourani adalah seorang orientalis dan pakar sejarah dari Inggris khususnya sejarah Arab dan Timur Tengah. Ia lahir di Manchester pada tahun 1915 M dan wafat pada tahun 1993 M. Karya besarnya yang mendapat apresiasi dari dunia sejarah adalah Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939 dan A History of the Arab Peoples.
3. Albert Hourani, al-Fikr al-„Arabî fî „Asr Nahdah 1798-1939, terj. Karim Aschole, (Beirut: Dâr al-Nahâr), hal. 9. 4. Amir Syakib Arslan adalah seorang pemikir Arab yang lahir pada tahun 1869 M di Beirut. Nama Syakib dalam
bahasa Iran bermakna Seorang Penyabar. Sedangkan Arslan dalam bahasa Turki berarti harimau. Pemikirannya banyak terpengaruhi oleh gurunya yaitu Syekh Adullah al-Bustani dan ulama-ulama yang satu kurun dengan beliau, seperti: Syekh Jamaludin al-Afghani,Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridhlo, atau para penyair Arab seperti Ahmad Syauqi dan Ismail Sobri. Karya besar beliau yang semakin membuka pandangan kita tentang umat Islam adalah Limâdza Taakhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum. Beliau wafat pada tahun 1946 M.
5. Amir Syakib Arslan, Limâdza Taakhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Hayât, cet.II), hal. 42.
6. Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di delta nil, Mesir. Beliau adalah seorang pemikir dan juga pemba-haru. Salah satu karya beliau adalah Risâlah Tawkhid. Beliau wafat pada tahun 1905
7. Ali Harb, Asilah al-Haqîqah wa Rahânat al-Fikr: Muqârabat Naqdiyyah wa Sijâliyyah, terj. Umar Bu-khory,Ghazi Mubarak, (Yogyakarta: IRCiSoD, cet.I, 2012), hal.5.
FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
24
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
biasanya disebut fikih prioritas. Aspek apa
sajakah yang harus dikedepankan oleh umat
muslim saat ini untuk mengembalikan ke-
jayaannya? Bagaimanakah cara mempriori-
taskan antara pelbagai hal yang muncul da-
lam realitas? Aspek mana yang lebih
dikedepankan dan aspek apa saja yang seha-
rusnya ditangguhkan? Pola pemikiran
demikian dianggap perlu untuk dikaji meng-
ingat banyak umat muslim kehilangan
‗timbangan personal‘ menurut bahasa penu-
lis, dalam bertata perilaku mengatur ritme
hidup yang dijalaninya. Sehingga dengan
konsep berpikir pemprioritasan atau dalam
bahasa Syekh Yusuf Qaradhawi8 disebut fiqh
awlawiyyât, umat muslim dapat melangkah
lebih proporsional dalam berpikir.
PEMBAHASAN
Definisi Fiqh Awlawiyyât (فق أنيبت(
Term fiqh awlawiyyât mulai dikenal
dipanggung dunia sejak diperkenalkan oleh
Syekh Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Fî
al-Fiqhi al-Awlawiyyât. Sebelum term ini
berkembang, terdapat embrio yang melatar
belakangi terbentuknya istilah fiqh awlawiy-
yât, yaitu pembahasan beliau dalam kitab as-
Shahwah al-Islâmiyyah baina al-Juhûd wa at
-Tatharruf tentang fikih tahapan-tahapan
amal (. فق مراتب األعمبل) 9 Kendati demikian,
hakikatnya konsep prioritas sudah inheren
dengan ajaran Islam itu sendiri, meskipun
secara penamaan masyhur di era kontemporer
oleh Syekh Yusuf Qaradhawi.
Definisi fiqh awlawiyyât secara etimol-
ogi berasal dari gabungan dua kata, yaitu ka-
ta فق yang bermakna pegetahuan atau
pemahaman akan sesuatu10 dan kata األنية
yang berasal dari kata yang merupakan ان
isim tafdhîl yang berarti (احق) lebih berhak
dan (احر) yang lebih utama.11 Sedangkan
secara terminologi, definisi fiqh awlawiyyat
menurut Syekh Yusuf Qaradhawi adalah me-
letakkan segala sesuatu sebagaimana posisi
semestinya dengan tidak mengakhirkan
sesuatu yang seharusnya dikedepankan dan
mengedepankan sesuatu yang seharusnya
diakhirkan serta tidak mengecilkan perkara
yang besar dan membesarkan perkara yang
kecil.12
Latar belakang Kemunculan Fiqh Aw-
lawiyyât dan Urgensitasnya di Era
Kontemporer
Menurut Muhammad al-Wakili, secara
garis besar penyebab kemunculan fiqh aw-
lawiyyât terbagi menjadi dua. Pertama, mun-
culnya kekacauan dalam runtutan amal per-
buatan, seperti lebih mengedepankan bidang
yang seharusnya ditangguhkan atau mereme-
hkan perkara-perkara yang lebih urgen.
Lebih mengedepankan simbolitas dibanding-
kan dengan esensi dari amal tersebut. Atau-
pun membuka luas pintu pertentangan dan
mewacanakan ulang khilaf yang sudah di-
maklumi terjadi di berbagai ranah yang me-
8. Syekh Yusuf Qaradhawi lahir pada tahun 1926 di Saft Turab, Mesir. Beliau merupakan seorang fakih di era ini. Salah satu karya beliau adalah fiqh zakât yang merupakan tesis beliau ketika menempuh jenjang S2 di Al-Azhar.
9. Yusuf al-Qaradhawi, Fî Fiqhi al-Awlawiyyat Dirâsatun Jadîdatun fi Dhaw` al-Qurân wa al-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. IX, 2012), hal. 9.
10. Ibnu Mundzir, Lisân al -„Arab, (Kairo: Dâr al- Makrifah, tanpa cetakan, tanpa tahun), hal. 3450 . 11. Ibid, 4921. 12. Muhammad al-Wakili, Fiqh al-Awlawiyyât Dirâsatun fî Dhawâbith, (Virginia: Ma‘had al-‗Âlamî li al-Fikr al-
Islâmi, cet. I, 1997), hal. 15.
25
mang jelas dipertentangkan sejak zaman sa-
habat.13
Kedua, tuntutan keadaan untuk mem-
bentuk konsep tingkatan-tingkatan amal dan
pemprioritasan dalam amal tersebut. Di
samping itu, pola ajaran Islam sejatinya di-
ajarkan secara berangsur-angsur dan dengan
pola pemprioritasan yang terstruktur. Se-
bagaimana kita mendapati beberapa hukum
seperti meminum minuman keras, atau me-
makan harta riba yang pelarangan keduanya
berangsur-angsur. Revitalisasi konsep priori-
tas merupakan kebutuhan yang mendesak di
era ini.14
Menjalankan seluruh ajaran Islam
dengan sempurna dan tanpa cela dalam ke-
hidupan memang sulit dikarenakan kemam-
puan manusia yang terbatas. Hal ini dikuat-
kan oleh pernyataan Fahmi Huwaidi15 bahwa
ia tidak menyerukan agar umat Islam menga-
malkan seluruh amalan yang terdapat dalam
Islam atau meninggalkannya. Akan tetapi, ia
hanya menegaskan dengan melihat keterbata-
san yang dimiliki oleh manusia, seyogyanya
kita harus menggunakan konsep prioritas
atau tahapan dalam bertindak.
Mengedepankan yang lebih urgen dari yang
penting hingga mencapai tujuan dengan jelas
dan menentramkan hati. Pendapat ini di-
perkuat oleh Syekh Said Hawa16 dalam kitab-
nya Ihyâ`ar-Rabbâniyyah yang menyerukan
bahwa konsep dakwah pada saat ini membu-
tuhkan landasan prioritas untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki dengan sedikit keru-
gian dan berlimpahnya keuntungan.17
Jejak Fikih Prioritas di Panggung Se-
jarah
Istilah fiqh awlawiyyât menjadi
masyhur pasca diterbitkannya kitab Fî al-
Fiqhi al-Awlawiyyât. Dalam kitab tersebut,
Syekh Yusuf Qaradhawi hanya merapikan
ulang konsep prioritas dan berusaha men-
stimulasi umat muslim agar tersadar dengan
konsep berpikir mereka. Sejatinya sejak za-
man Rasulullah konsep tersebut telah terap-
likasi dalam metode dakwahnya. Hal ini
ditelisik dari bentuk prioritas dari kacamata
sejarah, bentuknya berbeda-beda sesuai
dengan kondisi pada zaman tersebut. Maka
tak ayal kita temui produk fatwa berbeda-
beda dari masa ke masa hal ini tidak lepas
dari lima aspek yang disebut oleh Ibnu Qay-
yim al-Jauzi dalam kitab I‟lâmul Mu-
waqqi‟în „an Rabb al-„Âlamîn yaitu: zaman,
tempat, kondisi, niat, dan juga manfaat.18
Contoh-contoh fikih prioritas ditinjau
dari setiap masa, penulis kelompokkan men-
jadi empat :
a. Zaman Rasulullah
Banyak sekali model prioritas yang
dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW.
Jika berinteraksi dengan hadis-hadis beliau
lebih mendalam, kita akan sering mendapati
sabda beliau tentang semulia-mulianya amal,
atau amal yang paling dicintai oleh Allah,
seperti :
19أحب األعمبل إن هللا أدامب إن قم
20أفضم انجبد كهمة حق عىذ إمبو جبئر
13. Ibid. 17-33. 14. Ibid. 17-33. 15. Fahmi Huwaidi merupakan kolumnis dan wartawan dari Mesir. 16. Said Hawa dilahirkan pada tahun 1935 di Suria. Beliau merupakan seorang dai dan juga mujahid. 17. Muhammad al-Wakili, Op.Cit., 35. 18. Ibnu Qayyim al-Jauzi, I‟lâmul Muwaqqi‟în „an Rabb al-„Âlamîn, vol.I, (Jedah: Dâr Ibn al-Jauzi cet.I, 2000),
hal. 41.
FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
26
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Demikian pula dalam perkara-perkara yang
tidak terpuji dan harus dijauhi, nabi Muham-
mad memberi tingkatan-tingkatan juga, sep-
erti
21أبخم انىبس: مه بخم ببنسالو
Pertanyaanya, mengapa kedua aspek baik
dan buruk beliau paparkan? Hal ini dikare-
nakan sabda-sabda nabi Muhammad di atas
menjadi kompas bagi umat muslim untuk
melangkah dan menjadi timbangan agar tidak
terjatuh pada hal-hal yang paling buruk. Ka-
rena manusia tidak luput dari kesalahan, se-
hingga sabda tersebut juga berfungsi
meminimalisir umat muslim jatuh ke jurang
keburukan yang lebih rusak.22
b. Zaman Khulafâurrâsyidîn
Pada zaman Khulafâu al-râsyidîn
corak prioritas antar personal sahabat ber-
beda-beda. Kita sering menemukan kontra-
diksi pendapat antar sahabat dalam satu
perkara seperti perintah Abu Bakar untuk
membunuh muslim yang memisahkan antara
shalat dan zakat. Hal ini dikarenakan sholat
dan zakat saling berkelit kelindan. Umar Ibn
Khattab justru berpendapat sebaliknya, kare-
na kalimat syahadat masih terpatri dalam diri
orang-orang yang memisahkan shalat dan
zakat, maka tidak diperbolehkan untuk
dibunuh. Ketika dikomparasikan antara ke-
maslahatan dan kemudharatan yang
dihasilkan, ternyata lebih besar kemaslahatan
yang tercipta. Maka konsep prioritas yang
terwujud melalui keputusan Abu Bakar ter-
sebut diterima oleh para sahabat.23
Pada zaman Umar Ibn Khattab terlihat
penerapan fikih prioritas dalam masalah
hukuman pencurian. Beliau mengambil
keputusan untuk tidak memotong pemuda
yang mencuri unta, dengan mempertim-
bangkan kondisi pada masa itu, dimana
paceklik dan kelaparan melanda dunia Arab
sehingga memaksa pemuda tersebut untuk
melakukan pencurian itu. Kondisi ini meru-
pakan pengecualian di masa Umar.24
Pada masa Utsman Ibn Affan pun kon-
sep prioritas senantiasa berlaku. Hal ini ter-
lihat ketika kodifikasi al-Quran terlaksana
pada zaman Beliau. Alasan dari dil-
aksanakannya kodifikasi adalah kek-
hawatiran akan orang-orang yang berdusta
dengan dalih perkataannya merupakan al-
Qur‘an dan as-Sunah pada era sebelum
masanya. Dengan adanya kodifikasi al-
Qur‘an ini, perselisihan antara Umat Islam
yang disebabkan oleh ketidaksamaan dalam
dialek pembacaan al-Qur‘an dapat dimini-
malisir.
Pada masa Ali Ibn Abi Thalib, penera-
pan fikih prioritas juga diterapkan. Konsep
jaminan dalam istishnâ‟25 merupakan format
baru pada masa kekhilafan Ali RA. Karena
pada asalnya istishnâ‟ tidak memerlukan
19. Hadis tersebut bermakna: Jihad yang paling utama adalah (mengungkapkan) kebenaran pada pemimpin yang sewenang-wenang.
20. Hadis tersebut bermakna: Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah (amal) yang paling konsisten (dalam mengerjakannya) meskipun sedikit.
21. Hadis tersebut bermakna: Orang yang paling tamak adalah orang yang kikir dalam (mengungkapkan) salam. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abdullah ibn Mughfil.
22. Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 11. 23. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Fiqh al-Awlâwiyyât fî Dzilâli Maqâshid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah
(Damaskus: Dâr Thayyibah, cet. I, 2008), hal. 197. 24. Ibid., hal. 212.
27
adanya barang jaminan di dalam akadnya,
dan asasnya adalah kepercayaan antar kedua
belah pihak.26
c. Masa Setelah Para Sahabat
Pada zaman pasca para sahabat, para
Salaf shaaleh meneruskan konsep prioritas
dalam mengambil tindakan terkait pan-
dangannya terhadap suatu perkara. Tindakan
yang diambil pun dilatarbelakangi oleh bi-
dang yang mereka tekuni, seperti contoh per-
masalahan ketika seseorang berada dalam
masa dan wilayah yang di dalamnya di-
penuhi maksiat dan kerusakan. Para ulama
dari tarikat Sufi memilih agar orang tersebut
pergi dari wilayah tersebut sebagai pen-
jagaan diri dan tidak terjerumus ke dalam
sumur kerusakan. Sementara para mujahid,
cenderung berpendapat untuk tinggal dan
bercampur dengan kondisi tersebut dan be-
rusaha melakukan perubahan. Sementara itu
Imam Ghazali menimbang kemaslahatan
yang didapatkan antara menetap atau
meninggalkan wilayah tersebut.27
Dari sini dapat kita lihat, pola para ula-
ma dalam melihat suatu perkara. Latar
belakang bidang yang ditekuni dan prioritas
yang dikedepankan oleh masing-masing
pihak merupakan wujud kontekstualisasi
pemahaman mereka terhadap bidang yang
mereka tekuni sebagai respon terhadap suatu
permasalahan.
d. Zaman Kontemporer
Pada era kontemporer, fikih prioritas
lebih dikemas dalam bingkai yang lebih uni-
versal dan dalam bidang tertentu. Jika pada
masa klasik umumnya prioritas ditinjau dari
permasalahan-permasalahan parsial yang
kemudian dikritisi oleh para ulama pada ma-
sa itu, pada masa kontemporer corak priori-
tas lebih mendalam dalam bidang garapan
yang universal, seperti pendidikan, jihad,
akidah, dll. Maka dari itu kita mengenal Sy-
ekh Muhammad Ibn Abdul Wahab dalam
upaya penjagaan akidah dan memerangi
khurafat di Saudi Arabia. Lantas di Sudan
dikenal Syekh Zaim Muhammad Ahmad al-
Mahdi yang corak pemprioritasan dalam bi-
dang jihad. Syekh Jamaluddin al-Afghani
dalam upaya-upaya pembangunan umat, sy-
ekh Muhammad Abduh dalam upaya pem-
bebasan dari belenggu-belenggu taklid, dan
masih banyak lagi para ulama yang tetap
memperhatikan konsep prioritas di berbagai
masa dan wilayah.28
Fiqh awlawiyyât sejak zaman Rasulu-
lah hingga pada masa kontemporer selalu
mengikuti alur kondisi para zaman tersebut.
Tujuannya adalah demi kemaslahatan manu-
sia ditengah keterbatasan yang dimiliki
olehnya, sehingga dapat memiliki timbangan
yang jelas dalam mengambil tindakan.
Korelasi Fiqh Awlawiyyât dengan
Fikih Lain
Fiqh awlawiyyât memiliki keterkaitan
dengan beberapa fikih lain, di antaranya:
1. Keterkaitan fiqh awlawiyyât dengan fiqh
al-muwâzanah
Fiqh awlawiyyât berkaitan erat dengan
fiqh al-muwâzanah. Hal ini tidak dapat
25. Istishnâ‟ adalah akad kontrak antara pembuat sesuatu (penjual) dengan pembeli untuk membuatkan sesuatu yang dikehendaki oleh pembeli. Lihat Wahbah Zuhaili, Al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âshirah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, cet.VII, 2009), hal.303.
26. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Op.Cit., hal. 233. 27. Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., 202.
FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
28
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
dipungkiri, mengingat aspek muwâzanah
(pertimbangan) merupakan bagian yang inte-
gral dalam tahapan prioritas. Adapun definisi
muwâzanah secara etimologi berasal dari ka-
ta زن yang bermakna pengetahuan terhadap
kadar sesuatu. Kata زن juga memiliki makna
lain, yaitu penaksiran dan pertimbangan. Se-
dangkan secara terminologi pengertian
muwâzanah adalah perbandingan antara
maslahat dan mafsadat yang saling berten-
tangan untuk mengedepankan atau
mengakhirkan (aspek) mana yang lebih uta-
ma untuk dikedepankan atau diakhirkan.29
Hubungan yang paling konkrit di anta-
ra fiqh awlawiyyât dengan fiqh al-
muwâzanah adalah peranan pertimbangan
dan perbandingan dalam fiqh al-muwâzanah
antar entitas sebelum menetapkan bahwa en-
titas yang satu lebih utama atau lebih priori-
tas dibandingkan entitas yang lain.30
Syekh Yusuf Qaradhawi memaparkan tiga
aspek mendasar dalam muwâzanah, yaitu:31
1. Perbandingan antar kemaslahatan.32
2. Perbandingan antar kerusakan.33
3. Perbandingan antara kemaslahatan dan
kerusakan dalam satu perkara.34
pengertian maqâshid secara terminologi ada-
lah makna-makna dan hukum yang
dikehendaki oleh Allah baik didalam seluruh
aspek pensyariatan atau sebagian besar tanpa
pengkhususan pada jenis aspek syariah ter-
tentu.35
Dalam memberikan beban hukum
kepada manusia, Allah senantiasa memper-
hatikan kondisi dan kapasitas hamba-Nya
yang terbatas. Oleh karena itu, pensyariatan
selalu melangkah dalam koridor penjagaan
maqâshid al-syarî‟ah. Menurut Imam Syati-
bi, maqâshid al-syarî‟ah sebagai upaya
mengimplementasikan maslahat terbagi men-
jadi tiga bentuk. Bentuk-bentuk inilah yang
sangat berkaitan erat dengan fiqh awlawiyyât
sebagai tolak ukur untuk menimbang ke-
maslahatan dan juga kemafsadatan suatu hal.
Sehingga dengan demikian, pemprioritasan
suatu hal berangkat dari tolak ukur yang
jelas. Adapun bentuk-bentuk maqâshid al-
syarî‟ah yaitu:36
1. Dharûriyyah (primer)
28. Ibid., hal. 225. 29. Husain Ahmad Abu Ajwah, Fiqh al-Muwâzanah baina al-Mashâlih wa al-Mafâsid wa Dawruhu fi Raqqy bi al
-Da‟wati al-Islâmiyyah, (Gaza: Universitas Aqsa, 2005), hal.3. 30. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Op.Cit., hal. 34. 31. Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 25. 32. Muhammad al-Wakili menjelaskan pedoman ketika seseorang dihadapkan pada perbandingan antara dua hal
yang bermanfaat dan maslahat dalam satu waktu serta dituntut adanya prioritas di dalamnya. Adapun pedoman yang menjadi pijakan yaitu: 1. Lebih mengedepankan maslahat yang lebih besar diantara keduanya. 2. Lebih mengedepankan maslahat yang bersifat primer dibandingkan dengan maslahat yang bersifat sekunder. 3. Lebih mengedepankan maslahat sekunder dibandingkan dengan maslahat tersier. 4. Lebih mengedepankan maslahat primer yang lebih mendesak dibandingkan dengan maslahat primer yang
mendesak. Untuk pembahasan lebih mendalam antara maslahat yang bersifat primer dan sekunder, dibahasas dalam ket-erkaitan fiqh awlawiyyâh dengan fiqh maqâshid. Banyak sekali dijumpai kaidah-kaidah mengenai pengedepanan maslahat ini, seperti pengedepanan maslahat yang lebih mayoritas dibandingkan maslahat yang bersifat minoritas, pengedepanan masla-hat yang menghasilkan kebaikan lebih banyak dibandingkan sedikit, dan lain sebagainya. Lebih lengkapnya lihat Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 26.
33. Pedoman yang menjadi pijakan dalam perbandingan antara kerusakan diantaranya, yaitu: 1. Mengambil kemudharatan yang lebih kecil untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar
29
Dharûriyyah disini bermakna segala
sesuatu yang dengan wujudnya akan tercipta
kemaslahatan dunia dan agama, seperti kebu-
tuhan sandang, pangan dan papan.37
2. Khâjiyyâh (sekunder)
Khâjiyyâh bermakna segala sesuatu
yang wujudnya dibutuhkan tetapi jika tidak
terpenuhi berdampak pada kesulitan dalam
menjalani hidup, seperti keringanan untuk
berbuka puasa ketika safar.
3. Tahsîniyyâh (tersier)
Tahsîniyyâh dimaknai segala sesuatu yang
wujudnya sebagai pelengkap, dan umumnya
dalam hal tata perilaku dan akhlak, seperti
tata perilaku dalam bertindak yang baik.
Menurut Jasr Audah, maqâshid dapat
diketahui dengan kita berdilaog dengan nas-
nas syariah dengan menggunakan satu kata
yaitu ―mengapa‖ ( ؟نبرا ) Mengapa salat
termasuk rukun Islam? Mengapa Islam
mengharuskan berbuat baik pada tetangga?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi lan-
dasan untuk mengetahui maqâshid al-
syarî‟ah. Langkah pemprioritasan juga ber-
pijak dari kata tersebut, karena tujuan dari
syariat itu sendiri untuk kemaslahatan manu-
sia.38
4. Keterkaitan fiqh awlawiyyât dengan fiqh
al-wâqi‟
Fiqh al-wâqi‟ secara gamblang mem-
berikan gambaran mengenai situasi dan kon-
disi dalam penerapan suatu hukum. Hal itu
tentunya dipengaruhi oleh pergantian waktu,
tempat,adat, dan juga keadaan.39 Secara ek-
plisit, keterkaitan fiqh al-wâqi‟ dengan fiqh
awlawiyyât adalah keelastisitasan kedua fikih
tesebut dalam berdialektika dengan berbagai
hal. Oleh karena itu, prioritas setiap masa
terkadang berbeda dengan masa sepeninggal-
nya. Hal ini disesuaikan dengan keadaan re-
alita pada masa tersebut. Menurut Ahmad
Bu‘ud, pengertian fiqh al-wâqi‟ adalah
pengetahuan yang mendalam terhadap segala
sesuatu yang mencakup kehidupan manusia,
baik yang kontradiktif dengan kehidupan
manusia, maupun yang integral dengan ke-
FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
2. Mengambil kemudharatan yang berimplikasi pada minoritas personal untuk mencegah kerusakan yang ber-pengaruh pada mayoritas individu.
3. Melihat kadar hukum pelarangan perkara tersebut, apakah bersifat haram atau makruh. Kemudian mengedepankan perkara yang makruh dibandingkan perkara yang haram.
Pedoman ini hanya gambaran besarnya saja, karena para ulama berbeda pendapat mengenai hal ter-sebut. Lebih lengkapnya lihat Muhammad al-Wakili, Op.Cit., hal. 217 dan Yusuf al-Qaradhawi, Op.Cit., hal. 28.
34. Gambaran hal ini adalah ketika suatu hal memili dua sisi mata pisau, satu sisi memberikan maslahat, disisi lain memberikan kerusakan, seperti minuman keras misalnya. Maka pedoman yang menjadi pijakan adalah mengkomparasikan kadar maslahat dan mafsadat yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana terdapat beberapa kaidah seperti mencegah kerusakan lebih diprioritaskan dibandingkan dengan mendatangkan kemaslahatan, mengambil kerusakan yang sedikit untuk mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar. Lebih lengkapnya lihat Ya‘kub Ibn Abdul Wahab, al-Mufashal fî Qawâ‟id al-Fiqhiyyah , (Riyadh: Dâr Tadmuriyyah, cet. II, 2011), Hal.369.
35. Umar Luthfi Jazari, Fiqh al-Tamkîn wa atsaruhu fî Tathbîq al-Akhkâm al-Syar‟iyyah,(Gaza: Universitas Islam Gaza, 2011), hal.41.
36. Abu Ishaq As-Syatibi, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Fiqh ditahkik oleh Abdullah Darraz ,vol.II, (Kairo: Bibliotica Alexandria,t.t), hal.8.
37. Bentuk maslahat yang bersifat individual, yang lebih dikenal dengan kulliyyah al-khamsah, yaitu: penjagaan agama,jiwa,keturunan, akal, dan juga harta. Lebih lengkapnya lihat Yusuf al-Qaradhawi, Dirâsatun fî Fiqh al-Maqâshid al-Syarî‟ah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. III, 2008), hal.29.
30
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
hidupan manusia.40
Fiqh awlawiyyât, fiqh al-muwâzanâh
dan fiqh al-maqâshid tidak dapat terwujud
tanpa peranan fiqh al-wâqi‟. Hal ini dikare-
nakan sebelum proses pemprioritasan ter-
laksana, seseorang dituntut untuk mengetahui
secara detail perkara yang ia hadapi, sehing-
ga dapat ia timbang apakah hal tersebut
sesuai dengan maqâshid al-syarî‟ah atau
justru bertentangan dengannya. Jika tidak
melalui tahapan ini, prioritas mungkin terjadi
namun tidak sesuai dan mampu menjawab
realita di lapangan demi kemaslahatan manu-
sia. Pola prioritas antar personal berbeda-
beda sesuai kondisi yang dihadapinya.41
Kesimpulan
Konsep prioritas merupakan konsep
berpikir secara matang sebelum mengambil
suatu keputusan. Keterbelakangan umat Is-
lam salah satu sebabnya berawal dari kesala-
han dalam konsep ini. Prioritas bukan berarti
menyepelekan suatu perkara dengan perkara
yang lain, seperti lebih mengedepankan ilmu
agama ketimbang ilmu sains, begitu juga se-
baliknya. Akan tetapi, prioritas di sini adalah
peta umat muslim dalam menentukan alur
langkah hidupnya dengan mengambil
manfaat terbesar di setiap keputusan hidup-
nya. Tidak terdapat unsur penyepelean di da-
lamnya, mengingat segala aspek kehidupan
saling berkelit kelindan dan umat muslim di
tengah keterbatasan sebagai manusia be-
rusaha melakukan tindakan yang terbaik.
Oleh karena itu, prioritas justru sebagai
kompas hidup dalam melangkah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ajwah, Husain Ahmad. 2005. Fiqh al-
Muwâzanah baina al-Mashâlih wa al-
Mafâsid wa Dawruhu fi Raqqy bi al-
Da‟wati al-Islâmiyyah. Gaza: Jâmi‘ah al-
Aqsa.
Al-Jauzi, Ibnu Qayyim. 2000. I‟lâmul Mu-
waqqi‟în „an Rabb al-„Âlamîn. Jedah: Dâr
Ibn al-Jauzi .
Al- Kattani, Abdul Hay. 2005. Al-Islâm fî al-
Fikri al-Gharbî, terj. Lathifah Ibrahim
Khadar. Jakarta: Gema Insani Press.
Al- Qaradhawi, Yusuf. 2008 Dirâsatun fî
Fiqh al-Maqâshid al-Syarî‟ah. Kairo:Dâr
al-Syurûq.
__________________. 2009. Mûjibât
Taghayyur al-Fatwa fî „Asrinâ. Kairo:Dâr
al-Syurûq.
__________________. 2012. Fî Fiqhi al-
Awlawiyyat Dirâsatun Jadîdatun fi Dhaw`
al-Qurân wa al-Sunnah . Kairo: Maktabah
Wahbah.
Al-Sahud , Ali Ibn Nayif . 2009. Al-
Khulâshah fî Fiqh al-Awlawiyyât. Ba-
hang: Dâr al-Ma‘mûr.
Al-Syatibi , Abu Ishaq. Al-Muwâfaqât fî
Ushûl al-Fiqh ditahkik oleh Abdullah
Darraz. Kairo:Bibliotica Alexandria
Al-Wakili, Muhammad. 1997. Fiqh al-
Awlawiyyât Dirâsatun fî Dhawâbith. Vir-
ginia: Ma‘had al-‗Âlamî li al-Fikr al-
38. Jasr Audah, Maqâsid al-Syârî‟ah Dalîl Li al-Mubtadiîn, (Virginia:Ma‘had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî, t.t), hal 14.
39. Yusuf al-Qaradhawi, Mûjibât Taghayyur al-Fatwa fî „Asrinâ, (Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. II, 2009), hal.22. 40. Abdussalam ‗Iyadah Ali Karbuli, Op.Cit., 35. 41. Ibid.
31
FIQH AWLAWIYYÂT; KONSEP REKONTRUKSI BERPIKIR UMAT
Muhammad Fardan Satrio Wibowo
Islâmi.
Ali Karbuli, Abdussalam ‗Iyadah. 2008. Fiqh al-Awlâwiyyât fî Dzilâli Maqâshid al-Syarî‟ah al-Islâmiyyah . Damaskus: Dâr Thayyibah.
Audah, Jasr. Maqâsid al-Syârî‟ah Dalîl Li al-Mubtadiîn. Virginia:Ma‘had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî.
Audah, Jasr. 2006. Fiqh al-Maqâshid Inâthatul Akhkâm al-Syar‟iyyah bi al-Maqâshidiha. Virginia: Ma‘had al-Âlamî li al-Fikri al-Islâmî.
Ibnu Mundzir. Lisân al -„Arab. Kairo: Dâr al- Makrifah.
Harb, Ali. 2012. Asilah al-Haqîqah wa Rahânat al-Fikr: Muqârabat Naqdiyyah wa Sijâliyyah, terj. Umar Bukhory,Ghazi Mubarak. Yogyakarta: IRCiSoD.
Hourani, Albert. al-Fikr al-„Arabî fî „Asr Nahdah 1798-1939, terj. Karim Aschole. Beirut: Dâr Nahâr.
Ibn Abdul Wahab, Ya‘kub. 2011. al-Mufashal fî Qawâ‟id al-Fiqhiyyah , (Riyadh:Dâr Tadmuriyyah.
Jazari, Umar Luthfi. 2011. Fiqh al-Tamkîn wa atsaruhu fî Tathbîq al-Akhkâm al-Syar‟iyyah. Gaza: Jâmi‘ah al-Islâmiyyah Ghazza.
Jughaim ,Nu‘man. 2001. Thuruq al-Kasyfi „an Maqhâsid al-Syâri‟. Urdun: Dâr al-Nafâis.
Syakib Arslan, Amir. Limâdza Taakhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghairuhum. Beirut: Dâr al-Maktabah al-Hayât
Zuhaili,Wahbah. 2009. Al-Mu‟âmalah al-Mâliyah al-Mu‟âshirah. Damaskus: Dâr al-Fikr.
32
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Penghianatan di Bumi Kufah
(Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)
Muhammad Faiq Aziz
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Bahasa Arab
Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir
Email: [email protected]
انمهخص
إ ي األخ أ عشف كم يغهى حممخ يب حصم ف يلعخ كشثالء رنك نعشف كم احذ يب أ انخهفخ ضذ اث يعبخ
ال شذ لزم عذب حغ. أل انحممخ انزبسخخ رؤكذ أ انخهفخ ضذ اث يعبخ نى أيش انجش األي ثمزه ثم إ رغك
ثصخ أث ثأ عبيم أثبء اإليبو عه ثعبيهخ حغخ كب أ أجش عه أثبء عه يجهغب يعب ي انبل طال فزشح حك.
ي انجذش ثبنزكش أ عكب انكفخ ى انز أشعها شا انثسح ، حث أى ساعها اإليبو انحغ نهزبة إن انكفخ أل
جبعى أم انكفخ نكى ف بخ األيش رخبرنا ي يلفى نى غبعذا اإليبو انحغ لبفهز ف ياجخ ضغظ انحكى
األي.
انؤايشح، عبشساء، انكفخ، كشثالء، ثعخانكهمبت األسبسية:
Abstrak
Penting kiranya bagi Umat Islam untuk mengetahui peristiwa karbala, agar kita paham bahwa
Khalifah ketika itu tidak bermaksud untuk membunuh Husen RA. Karena pada faktanya kita
tidak menemukan adanya unsur kesengajaan dari pihak Khalifah Yazid, untuk membunuh
Husen RA. Hal itu dapat kita lihat dalam kebijakan-kebijakan yang di ambil dari awal oleh
Khalifah Yazid. Salah satu faktor yang sangat berperan besar dalam kejadian ini adalah faktor
penduduk Kufah. Husen RA sama sekali tidak berusaha untuk memecah belah umat. Penduduk
kufah lah yang sangat bertanggung jawab dalam hal ini.
Kata kunci: Pengkhianatan, Asyura, Kufah, Karbala, Bai’at
33
A. Pendahuluan
Banyak sekali dari kaum Muslimin,
yang membicarakan keterkaitan Khalifah
Yazid bin Muawiyah dengan terbunuhnya
Husen bin Ali RA. Banyak dari kalangan kita
tidak mengetahui hakikat sebenarnya yang
terjadi pada masa itu, baik itu kebijakan apa
saja yang di ambil oleh Khalifah dan hal-hal
yang terjadi di lapangan
Yazid bin Muawiyah merupakan Kha-
lifah Umayah kedua setelah ayahnya Muawi-
yah RA. Dalam perjalanannya ia banyak
menemui jalan yang amat terjal, terdapat be-
berapa orang yang tidak ingin membaiatnya
dan bahkan berpaling darinya. Makalah ini
akan membahas kebijakan-kebijakan yang di
ambil oleh Yazid, dan besarnya peranan
penduduk Kufah dalam menimbulkan peristi-
wa yang menyedihkan ini.
B. Profil Yazid dan Husen RA
a. Yazid bin Muawiyah
Ia lahir pada masa ke-Khalifahan Us-
man bin Affan RA, yaitu pada tahun 26 H.
menurut suatu pendapat ia lahir pada tahun
yang sama dengan kelahiran Abdul Malik bin
Marwan, yaitu pada tahun 26 H. ia bernama
lengkap Yazid bin Muawiyah bin Abu Su-
fyan bin Shukr bin Harb bin Umayyah bin
Abdus Syams al-Qursyi yang dikenal dengan
panggilan Abu Khalid.1 Ibunya bernama
Hadl al-Kalbiyah, namun ia diceraikan oleh
Muawiyah.2
Ia pernah dikirim oleh ayahnya ke
sahara di masa kecilnya kemudian ia tinggal
bersama ayahnya kembali. Muawiyah me-
nyerahkan pendidikannya kepada Daghfal
bin Hanzalah al-Sudusi. Ia Juga berguru
kepada Ubaid bin Saryah al-Jurhumi, ia be-
rasal dari Shan‘a Yaman, ia memiliki banyak
wawasan mengenai sejarah kaum Arab dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di Arab. Ia
juga memiliki buku yang bernama, al-Amtsal
dan kitab al-Muluk Wa Akhbar al-Madhiyin.3
Tidak dapat diragukan lagi, pendidi-
kan dan pembelajaran dari para gurunya ini
banyak membentuk karakter yazid. Yazid
memiliki sebuah majlis ilmu yang dihadiri
oleh para ulama arab.4
Ia dibaiat menjadi Khalifah setelah
ayahnya meninggal pada tahun 60 H bulan
Rajab. Dia berumur 34 tahun disaat ia dia-
baiat menjadi Khalifah. Ia meneruskan be-
berapa kebijaksanaan yang dianut oleh
ayahnya, yaitu dengan tidak menurunkan pa-
ra gubernur di daerah-daerah, ini merupakan
salah satu contoh kecerdasaanya.5
b. Profil Husen bin Ali RA
Dia adalah Husen bin Ali bin Abi
Thalib bin Abdil Muthallib bin Hasyim Abu
Abdullah al-Qursyi al-Hasyimi. Lahir pada
tanggal 5 Sya‘ban tahun 4 H, sedang menurut
Qatadah, Husen lahir pada pada tahun 6 dan
5 setengah bulan dan terbunuh pada hari
Jum‘at , Asyura bulan Muharram tahun 61 H
dan umurnya 54 tahun 6 bulan setengah. Na-
bi Muhammad memberinya nama Husen,
1. Muhammad bin Razzan al-Syaibani, Mawâqif al-Muâridoh fî „Ahdi Yazid bin Muawiyah, (Riyadh: Daruttay-yibah, 2009), Cet. 2, hal. 57.
2. Ibid., hal. 59. 3. Ibid., hal. 62. 4. Ibid., hal. 64. 5. Abul Fida Ibnu Katsir, Al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, vol. 4, (Kairo: Darul Hadis, 2006), Cet. 1, hal. 144.
PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)
Muhammad Faiq Aziz
34
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
sebelum itu Ali telah memberinya nama
Harb, dalam pendapat lain, Ali memberinya
nama Jakfar.6
Selama sekitar 5 tahun Husen mene-
mani Rasulullah dan meriwatkan hadis
darinya. Dia hidup semasa dengan nabi dan
menemaninya hingga ia meniggal ia rida
kepadanya, namun dia masih kecil. dia
pernah bergabung bersama tentara yang me-
nyerang Kostantinopel bersama Yazid bin
Muawiyah. Namun pada tahun 51, ketika
Muawiyah membaiat Yazid sebagai calon
penggantinya, Husen termasuk kedalam go-
longan yang menentangnya bersama Ibnu
Zubair, Abdurrahman bin Abu Bakr, Ibnu
Umar dan Ibnu Abbas.7
Rasulullah sangat mencintainya dan men-
doakannya, ia berdoa kepada Allah, ―Wahai
Allah aku mecintai kedua anak ini ( Hasan
dan Husen ), maka cintailah mereka ber-
dua.‖8 Sahabat Anas berkata, ―Ia ( Husen )
adalah seorang yang paling mirip dengan
Rasulullah.9
C. Husen Menolak Baiat
Perselisihan yang terjadi antara
Husen dan Yazid, sebenarnya bermula dari
ketidak setujuannya membai‘at Muawiyah.
Namun hal itu ia pendam, sebab ia menghor-
mati keputusan kakaknya Hasan RA, menye-
rahkan ke khalifahan kepada Muawiyah. Pa-
da masa kepemimpinan Muawiyah, Husen
meminta penduduk Kufah untuk tidak
menentang Muawiyah, itu karena baiat se-
luruh kaum muslim telah di ambil termasuk
di dalamnya baiat Husen sendiri. Karena
penduduk kufah tak henti-hentinya
merayunya untuk keluar dari baiat Muawi-
yah RA.10
Setelah Hasan menyerahkan ke-
Khalifahannya kepada Muawiyah, Hasan dan
adiknya Husen tinggal di Madinah. Hub-
ungan yang terjalin antara Husen dan
Muawiyah sangatlah baik. Hubungan yang
baik ini terus berlanjut diantara keduanya,
mereka berdua saling menghormati. Muawi-
yah selalu mengadakan interaksi dengan
Husen, bahkan dia selalu sigap menanggapi
beberapa permintaan dan kebutuhannya. Na-
mun ( perlu diingat juga ) hubungan yang
terjalin diantara penduduk Kufah dengan Ha-
san dan Husen, tidak pernah putus walau
mereka berdua telah pindah dari Kufah dan
menetap di Madinah.11
Muawiyah RA sangat terkenal dengan
kepandaiannya dalam berpolitik. Ia telah
memprediksi apa yang akan terjadi kelak,
ketika dia telah tiada dan di gantikan oleh
anaknya Yazid. Bagaimanapun juga, hub-
ungan yang erat antara Husen dan penduduk
Kufah, membuat Muawiyah berkeyakinan
bahwa suatu saat Husen akan benar-benar
keluar menuju Kufah dan keluar dari baiat.
Oleh karenanya, sebelum hal itu terjadi ia
berpesan kepada anaknya Yazid, mem-
berinya pengarahan akan kebijakan-
6. Ibid., hal. 146-147. 7. Kemudian Abdurrahman bin Abu Bakr meninggal sedang hatinya tetap bersikeras dengan pendapatnya itu. Na-
mun ketika Muawiyah meninggal pada Tahun 60 H dan Yazid di baiat menjadi Khalifah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ikut membaiatnya, sedangkan Husen dan Abdullah bin Zubair masih berpegang teguh pada pendapatnya. Lihat, Ibid., hal. 148.
.lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bâribi Syarhi Shahîh al-Bukhari, vol) انهى إ أحجب فأحجب ( .88, ditahkik oleh Abu Kutaibah Nazr Muhammad al-Fariyabi, (Riyadh: Dar Tayyibah, 2011), hal. 456-457.
.lihat: Ibid., hal. 457 ( كب أشجى ثشعل هللا ( .910. Muhammad bin Abdul Hadi, Op.Cit., hal. 217. 11. Ibid., hal. 219.
35
kebijakan apa yang harus di ambil jika hal
yang telah ia prediksi benar-benar menjadi
kenyataan. Ia berkata, ―Lihatlah Husen bin
Ali, bin Fatimah binti Rasulullah! Dia adalah
orang yang paling dicintai diantara umat,
maka pereratlah tali silaturahim dengannya
dan berlakulah baik kepadanya, niscaya hub-
ungan kalian akan baik-baik saja. Namun
jika terjadi sesuatu, aku berharap, agar
cukup bagimu ( menghukum ) orang-orang
yang membunuh ayahnya dan menelantarkan
saudaranya.‖12
D. Penduduk Kufah Mendustai Muslim
Bin Aqil
Penduduk Kufah memiliki andil yang
sangat besar dalam peristiwa ini, merekalah
yang terus membujuk Husen untuk keluar
dari baiat. Karena merekalah, Umat Islam
sekarang terpecah-pecah. Mereka tak mem-
biarkan Husen melupakan niat untuk keluar
dari baiat. Mereka gencar mengirim surat
kepadanya agar kembali kepangkuan mereka
dan berjuang bersama. Tidak akan ada asap
jika tidak ada api. Merekalah yang memiliki
andil dalam menyulut api tersebut.
Merekalah yang telah membiarkan Ali
RA terbunuh, merekalah yang telah mene-
lantarkan Hasan dan karena merekalah Husen
terbunuh. Apa sebenarnya yang mendorong
mereka berkhianat kepada mereka semua.
Apa mereka tidak pernah berpikir tentang apa
yang akan terjadi kelak jika mereka berbuat
demikian. Bukankah karena mereka muncul
kelompok yang mengklaim diri mereka se-
bagai satu-satunya kelompok yang mencintai
Ahlu bait. Ikhlaskah mereka dengan hal itu,
atau mereka memiliki dorongan lain
melakukan itu, riya‟ kah mereka?
Sekitar Lima belas hari setelah Muawi-
yah meninggal pada awal bulan Syaban, ka-
bar mengenai kematiannya tersebar di Madi-
nah.13 Husen telah banyak menerima surat
yang dikirim dari negeri Irak, memanggilnya
untuk bergabung bersama mereka,14 Abdul-
lah bin Sab‘ al-Hamadani dan Abdullah bin
Wal merupakan dua orang pertama yang
mendatanginya, dengan membawa surat yang
didalamnya terdapat ucapan salam dan
selamat atas kematian Muawiyah RA.15
Di dalam salah satu isi surat yang
mereka kirim, mereka mengabarkan kepadan-
ya, bahwa mereka bergembira atas mening-
galnya Muawiyah RA. Mereka mengabarkan
kepadanya bahwa mereka belum membai‘at
seorang pun sepeninggal Muawiyah. Oleh
karena itu mereka menunggu kedatangan
Husen di negeri mereka untuk menjadikann-
ya seorang Khalifah. Menindak lanjuti hal
tersebut, Husen berinisiatif mengirim pa-
mannya Muslim bin Aqil bin Abi Thalib16
menuju Irak, untuk melihat dan mengetahui
keadaan di Kufah.17
Sesampainya Muslim bin Aqil di
Kufah, pada hari kamis, bulan Syawwal,
tanggal 60 H.18 Ia bermalam di rumah
seseorang yang bernama, Muslim bin
Ausajah al-Asdi. Sedang menurut pendapat
lain, dia bermalam di rumah Mukhtar bin Abi
Ubaid al-Staqafi. Wallahu a‟lam. Ketika
Penduduk Kufah mendengar kabar kedatan-
12. Ibid., hal. 22. 13. Ibid 234 14. Yaitu, ketika sampai kepada mereka, kabar mengenai meninggalnya Muawiyah RA dan Yazid bin Muawiyah
dibaiat menjadi Khalifah. Perginya Husen RA dari Madinah menuju Mekah untuk melarikan diri dari perintah agar membaiat Yazid. Abul Fida Ibnu Katsir, Al-Bidâyah Wa al-Nihâyah, vol. 4, hal. 148.
15. Ibid., hal. 148. 16. Dia lahir di Madinah tahun 22 H, ia termasuk dalam golongan Tabi‟i. Isterinya bernama Ruqayyah, puteri Ali
PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)
Muhammad Faiq Aziz
36
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
gannya mereka pergi menemuinya dan mem-
baiatnya atas perintah Husen. Mereka berjan-
ji padanya akan menolongnya dengan se-
luruh jiwa dan harta mereka. Jumlah
penduduk yang membaiatnya mencapai
12.000 orang, lalu bertambah hingga 18.000
orang. Kemudian Muslim mengirimkan surat
kepada Husen untuk segera berangkat
menuju Kufah, karena para penduduk telah
membaiatnya dan keadaan di sana yang su-
dah mendukung.19
Kabar mengenai baiat penduduk Kufah
kepada Husen, terdengar hingga ke telinga
Nu‘man bin Basyir Gubernur Kufah saat itu.
Dia melarang mereka untuk berselisih dan
menyebar fitnah atau kekacauan. Mendengar
kabar pembaiatan ini, Yazid menurunkan
Nu‘man dari jabatannya dan menggantinya
dengan Ubaidillah bin Ziyad. Yazid berkata
kepadanya, ―Jika kamu telah sampai di
Kufah, carilah Muslim bin Aqil! Jika kamu
sanggup, bunuhlah ia atau potong
hidungnya!‖20
Ubaidillah bin ziyad mengintrogasi
seorang lelaki bernama Hanik di rumahnya,
kemudian mengurungnya. Kabar ini lang-
sung tersebar luas di telinga penduduk
Kufah. Mendengar hal itu Muslim bin Aqil
mengumpulkan kekuatan dari penduduk
Kufah untuk mendukung posisinya. Dan
akhirnya dia berhasil mengumpulkan 4.000
orang bersamanya. Ia berbicara kepada mere-
ka mengenai Hanik dan memperingatkan
mereka agar tidak tercerai berai. Ubaidillah
bin ziyad mengajak para pemuka kabilah un-
tuk mengajak para rakyatnya, agar mening-
galkan Muslim bin aqil.21
Pemuka kaum itu mengajak para
kaumnya untuk meniggalkan Muslim bin
Aqil dengan cara, mengirim para perempuan
untuk membujuk anak dan saudaranya, para
perempuan itu berkata kepada mereka,
―Pulanglah ke rumah! Orang-orang memusu-
himu.‖ Mereka juga mengirim para lelaki
untuk membujuk anak dan saudara mereka,
mereka berkata, ―Sepertinya kamu besok
akan mengahadapi tentara Syam, Apa yang
akan kalian perbuat untuk menga-
hadapinya?‖22
Orang-orang itu pun sedikit demi
sedikit mulai meninggalkan, menjauhi,
memutus hubungan dan pergi dari Muslim
bin Aqil, hingga jumlah yang tersisa hanya
500 orang, kemudian berkurang hingga 300
orang lalu berkurang lagi hingga tersisa 30
orang. Sampai akhirnya hanya tersisa Mus-
lim bin Aqil seorang. Ia berkata kepada
seorang perempuan seraya meminta segelas
air, ―Aku telah didustai oleh orang-orang dan
kini mereka meninggalkanku.‖23
E. Perjalanan Husen RA Menuju Kufah
Husen keluar dari Mekah menuju
Kufah pada tanggal, 8 Dzulhijjah tahun 60
Hijriah. Dia tetap mengajak keluarga dan pa-
ra pendukungnya, yang jumlahnya berkisar
70 orang. walau Ibnu Abbas RA telah
menasihatinya, untuk tidak membawa istri
bin Abi Thalib RA. Lihat: Hisyam Kamil Hamid Musa, Alul Bait, (Kairo: Darul Manar, 2011) Cet. 1, hal. 221. 17. Abul Fida Ibnu Katsir, Op.Cit., hal. 148. 18. Hisyam Kamil Hamid Musa, Op.Cit., hal. 222. 19. Abul Fida Ibnu Katsir, Op.Cit., hal. 149. 20. Sesampainya di Kufah, penduduk Kufah mengira, bahwa ia adalah Husen RA. Mereka menjawab salam Ubai-
dillah bin Ziyad, ―Wa‘alaikum salam wahai anak Rasulullah SAW, selamat datang.‖ Lihat: Ibid., hal. 149. 21. Lihat: Ibid., hal. 152.
37
dan anaknya keluar bersamanya.24
Kita perlu mengetahui hal-hal yang
mendorong Husen bersikeras untuk keluar
dari baiat Yazid dan bergerak menuju Kufah.
Sempat disinggung di awal, bahwa penging-
karan ini tak lepas dari Husen yang dengan
berat hati harus menghormati penyerahan
tongkat ke-Khilafahan dari saudaranya kepa-
da Muawiyah. Perlu diingat juga, usaha
penduduk Kufah yang terus-menerus mem-
bujuk Husen keluar dari baiat. Husen merasa
dirinya lebih berhak menjadi Khalifah ketim-
bang Yazid bin Muawiyah.
Yang mendorong Husen tidak menetap
di Mekah dan lebih memilih untuk pergi
menuju Kufah, diantaranya adalah, Husen
tidak ingin mengotori kesucian kota Mekah
jika ia terbunuh di dalamnya.25
Didalam perjalanannya, ia bertemu
dengan seorang Penyair yang datang dari
Irak, ia bernama Farzadiq. Husen bertanya
kepadanya mengenai penduduk Irak, ia men-
jawab, “Hati mereka bersamamu, namun
pedang mereka bersama Bani Umayah.”
Walau mendengar itu, Husen tetap melanjut-
kan perjalanannya. Orang-orang yang dia
temui di jalan, tidak henti-henti mem-
peringatkannya.26
Kemudian datang kabar mengenai ter-
bunuhnya Muslim bin Aqil, dikarenakan
ketegasan Gubernurnya, Ubaidillah bin
Ziyad. Husen mulai berfikir untuk kembali,
namun saudara Muslim bin Aqil berkata
kepadanya, “Kita tidak akan kembali, hingga
kita mampu membalaskan dendam kita atau
kita musti merasakan, apa yang telah dirasa-
kan saudara kita ( Muslim bin Aqil ).” Maka
Husen mengikuti pendapatnya.27
Semakin dekatnya Husen menuju
Kufah, Ubaidillah bin Ziyad mengirim seribu
pasukan kudanya yang dipimpin oleh Ibnu
Yazid at-Tamimi. Ubaidillah memerintahkan
kepada Ibnu Yazid untuk menangkap dan
mengirim Husen kepadanya. Namun
sesampainya Ibnu Yazid bertemu dengan
Husen, ia menolak untuk memeranginya. Dia
hanya meminta kepada Husen untuk tidak
melewati jalan menuju Kufah. Husen
menuruti permintaannya dan bergerak
menuju Karbala.28
F. Kebijakan yang Yazid ambil
Khalifah Yazid bin Muawiyah mengi-
kuti perkembangan perjalanan Husen semen-
jak dia berada di Madinah. Dia mengirim su-
rat ke beberapa Sahabat, diantaranya, kepada
Abdullah bin Abbas RA, untuk membu-
juknya mengurungkan niatnya, namun Husen
tetap tidak menggubrisnya. Tidak berhenti
disitu, Yazid memerintahkan Gubernurnya di
Irak, Ubaidillah bin Ziyad untuk menutup
semua akses jalan menuju Kufah. Dia juga
memerintahkan kepada Gubernurnya itu, un-
tuk mengambil langkah yang amat tegas
kepada para pendukung Husen di sana.29
Sebagai Khalifah, Yazid berusaha
menjaga persatuan umat dengan mengirim
utusannya kepada Husen RA, memintanya
agar bersedia membaiat Yazid sebagai Kha-
22. Ibid. 23. Kemudian dia juga mengirim surat kepada Husen RA, menyuruhnya untuk kembali. Lihat: Ibid., hal. 152. 24. Muhammad Ahmad Mahmud, Tarikh „Âlam al-Islâmi „Asru Daulah Umawiyyah, (Maktab al-Masi), Hal. 43. 25. Ibid., hal. 43. 26. Ibid. 27. Ibid.
PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)
Muhammad Faiq Aziz
38
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
lifah. Tentu Yazid mengingat pesan-pesan
ayahnya sebelum ia meninggal, yaitu, ber-
buat baik kepada Husen dan jika memang
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, agar
Yazid mencukupkan dirinya untuk
menghukum penduduk Irak.
Didalam usahanya, Dia mengirim be-
berapa surat kepada para Sahabat, agar berse-
dia membujuk Husen RA untuk men-
gurungkan niatnya. Tak lupa, ia memerinta-
hkan kepada para Gubernurnya untuk
menghalanginya menuju ke Kufah. Ia be-
rusaha menutup akses-akses jalan menuju
kesana. Dia juga memerintahkan kepada Gu-
bernurnya di Irak, untuk memperingatkan
penduduknya yang bersikeras mengajak
Husen RA untuk menuju kesana. Namun
usaha-usahanya ini berujung kepada kegaga-
lan. Husen tetap berhasil melanjutkan perjal-
anannya menuju ke Kufah.
Dalam pandangan penulis, Yazid perlu
menimbang dan memperhitungkan opsi
menemui Husen secara langsung. Mungkin
kita perlu sedikit mengingat beberapa ke-
bijakan yang ditempuh oleh Khalifah Usman
bin Affan RA untuk memadamkan api fitnah
di zamannya. Usman bin Affan mengundang
dan berdialog langsung dengan pemimpin-
pemimpin kelompok-kelompok, yang
menginginkan dia turun dari tongkat ke-
Khalifahan. Walau ketika itu Usman tidak
berhasil memadamkan fitnah, namun hal ini
layak untuk di coba dan di laksanakan,
mengingat suatu masalah akan sulit
dipecahkan bila tidak adanya saling
pengertian.
Memang jika kita menilik beberapa
kebijakan yang Yazid lakukan, beberapa me-
mang tepat. Namun alangkah baiknya jika
dia mendengarkan dan saling bertukar
pikiran langsung dengan Husen. Karena tidak
ada suatu masalah yang paling mendesak dan
paling penting ketika itu kecuali memeca-
hkan masalah ini. Wallahu a‟lam.
G. Peristiwa Berdarah Di Karbala
Pada bulan Muharram tanggal 10, tahun 61
H, terjadilah Perang Karbala. Perang yang
terjadi antara tentara Umayah, yang diko-
mandai Umar bin Sa‘ad bin Abu Waqas,
mereka berjumlah 4.000 orang. Sedang tenta-
ra Husen RA hanya berjumlah, tak lebih dari
100 orang. Tidak ada yang selamat dari
mereka kecuali 5 orang saja, diantaranya, Ali
Zainul Abidin anak Husen RA, Ali anaknya
yang paling kecil, kedua anak perempuaann-
ya Fatimah dan Sakinah dan saudarinya
Zainab binti Ali. Sedang yang tewas dari
pihak Umayah berjumlah 88 orang.30
Umar bin Sa‘ad mengirim kepala
Husen RA dan kepala sahabat-sahabatnya
kepada Ibnu Ziyad. Mereka juga membawa
anak-anak Husen RA. Ketika Khalifah Zayid
melihat hal ini, ia meneteskan air mata seraya
berkata, ―Aku rida dengan ketaatan kalian
tanpa membunuh Husen, semoga Allah
melaknat anak Samiyah (Abdullah bin
Ziyad) demi Allah jika aku disana aku akan
memaafkannya.‖ Dia memuliakan anak-
anaknya, dan ia tidak makan kecuali anak-
anak husen juga ikut makan bersamanya.31
Dengan mendengar perkataan Yazid
ini kita dapat menyimpulkan bahwa sejak
dari awal ia tidak pernah bermaksud untuk
28. Ibid., hal. 44-45. 29. Ibid., hal. 44.
39
membunuh Husen RA, ia melakukan ke-
bijakan-kebijakan persis yang ayahnya ti-
tahkan kepadanya. Jika dari awal ia bermak-
sud membunuhnya, niscaya ia tidak akan
menunggu Husen mendekati kufah, sedari
awal ia akan langsung memerintahkan ten-
taranya untuk membunuhnya. Namun seper-
tinya ubaidillah bin ziyad salah mentafsirkan
perintah yang yazid berikan, ia memerinta-
hkan tentaranya untuk membunuhnya.
Jika peristiwa ini dilihat secara keseluruhan,
yang bertanggung jawab akan peristiwa ini
adalah semua orang yang terlibat. Baik itu
Khalifah Yazid bin Muawiyah, Husen Ra,
Ubaidillah bin Ziyad dan bala tentaranya.
Menurut Abdul Muiz Fadl, Khalifah Yazid
tidak banyak bersalah dalam hal ini, karena
dia yang memegang kendali pemerintahan
dan ia berhak mengatasi masalah masalah
yang muncul di pemerintahannya, terlebih ia
juga tidak memerintahkan untuk membunuh
Husen RA dan ia juga tidak terima Sayyidina
Husen dibunuh.32
Pada hakikatnya tidak semua pasukan itu
mau dan rida membunuh Husen, bahkan
Khalifah Yazid bin Muawiyah juga rida atas
hal tersebut, bahkan Yazid menyumpahi ulah
Ubaidillah. Namun ada hal yang perlu kita
ketahui, yaitu setelah Yazid menyumpah-
serapahi Ubaidillah bin Ziyad, ia tidak
menindaklanjutinya dengan menurunkan jab-
atannya atau menghukumnya ataupun mem-
permalukannya depan umum.33
Penulis memiliki keyakinan yang begitu be-
sar, bahwa dari awal Yazid tidak pernah ber-
niat membunuhnya. Namun kebijakannya
terhadap Ubaidillah bin Yizad terasa sangat
ganjil. Mungkin salah satu rahasia kenapa
Yazid tidak berbuat apa-apa kepada Ubaidil-
lah adalah untuk membuat efek jera kepada
penduduk kufah yang berusaha memecah be-
lah umat.Wallahu A‟lam.
H. Karbala di mata Ulama dan Sejara-
wan Islam
Ibnu katsir berkata mengenai peristiwa
ini, “Sudah sepatutnya, setiap kaum Muslim
sedih dengan peristiwa ini ( terbunuhnya
Husen RA ). Ia termasuk salah seorang yang
mulia diantara kaum Muslim, ia juga guru
bagi para Sahabat. Ia anak dari anak per-
empuan Rasulullah SAW yang paling mulia.
Ia merupakan hamba yang taat lagi pem-
berani, namun yang orang-orang Syiah
lakukan bukanlah perbuatan yang baik.
Mereka menampakkan keluh kesah dan
kesedihan yang mungkin mereka buat-buat
dan dimaksudkan untuk riya‟. Sedang Ali RA
ayahnya yang jelas lebih mulia daripada
Husen RA, mereka tidak mengambil hari ter-
bunuhnya sebagai upacara mereka layaknya
hari terbunuhnya Husen.”34
Terbunuhnya Husen RA memiliki
pengaruh yang begitu besar terhadap Daulah
Umayah. Peristiwa ini juga makin membuat
golongan Syiah35 semakin membara.36
Kecintaan Syiah ini barangkali terlalu dibuat-
buat, terlebih jika kita menilik hari peringatan
kematian Husen RA. Mereka tidak menjadi-
kan hari terbunuhnya Ali RA sebagai hari
yang patut untuk diperingati, sedang Ali RA
juga meniggal karena terbunuh. Barang kali
kecintaan mereka yang berlebih ini terhadap
30. Ibid., hal. 45-46. 31. Ibid., hal. 46. 32. Ibid., hal. 46-47. 33. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, hal. 196.
PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)
Muhammad Faiq Aziz
40
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Husen dikarenakan pandangan mereka ter-
hadap keyakinan mereka terdahulu.
Mayoritas golongan Syiah berasal dari
Bangsa Persia, Sedang Bangsa Persia sendiri
masih terpengaruh oleh hukum-hukum Persia
terdahulu, yaitu ta‟zim atau memuliakan
keluarga kerajaan dan mensucikannya. Darah
( keturunan ) Raja tidak sama dengan darah
rakyat jelata. Ketika mereka masuk islam
mereka melihat Nabi layaknya seorang
Kaisar dan melihat keturunannya layaknya
keturunan Raja. Jika Nabi meninggal, maka
keturunannyalah yang paling berhak menjadi
Khalifah.37 Terlebih salah satu istri Husen
RA ―Salafah‖ merupakan puteri dari Raja
Persia terakhir yaitu, Yazdazrij.38
I. Kesimpulan
Benarlah pendapat Ibnu Katsir bahwa
setiap kaum Muslim sepatutnya sedih,
melihat Husen RA terbunuh dan yang lebih
menyedihkan lagi, kepala Husen yang telah
terbunuh dipisahkan dari badannya.
Mengenai peristiwa ini, kita sebagai orang
Muslim tidak boleh berkata, bahwa Husen
hendak memecah belah umat. Penduduk
Kufah lah yang berusaha memecah belah
umat, entah keuntungan apa yang mereka
dapat dengan memecah umat.
Dari kisah singkat ini kita dapat lebih
mengerti, bahwa Yazid bin Muawiyah tidak
berniat membunuhnya. Yazid bin Muawiyah
sudah berusaha mengerjakan perintah-
perintah yang telah ayahnya wasiatkan sebe-
lum ia wafat.
Secara garis besar apa yang penduduk Kufah
lakukan, hampir menyerupai kisah Bani Israil
yang meminta kepada Allah melalui Nabin-
ya, untuk mengirimkan kepada mereka
seorang raja agar mereka berperang bersama-
sama. Namun ketika permintaan mereka
dikabulkan hanya sedikir dari mereka yang
teguh terhadap niat awalnya. Sejarah akan
selalu berulang, sejarah tidaklah harus teru-
lang terhadap orang yang sama atau di tem-
pat yang sama. Waallahu a‟lam
J. Daftar Pustaka
Al-Syaibani, Muhammad bin Razzan,
Mawâqif al-Muâridoh fî „Ahdi Yazid
bin Muawiyah, (Riyadh: Daruttay-
yibah, 2009).
Ibnu Katsir, Abul Fida, Al-Bidâyah Wa al-
Nihâyah, vol. 4, (Kairo: Darul Hadis,
2006).
Ibnu Hajar al-Asqalani, Ahmad bin Ali,
Fathul Bâribi Syarhi Shahîh al-
Bukhari (Riyadh: Dar Tayyibah, 2011).
Mahmud, Muhammad Ahmad, Tarikh „Âlam
34. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, hal. 196. 35. Pada awalnya Syiah adalah sebuah istilah atau sebutan bagi mereka yang mengikuti dan menolong Amirul
Mukminin Ali bin Abu Thalib dan Imam-imam yang berasal dari keturunannya dan kerabat Rasulullah SAW secara umum. Dengan seiringnya zaman istilah ini dikhusukan bagi mereka yang memiliki pandangan al-Nash wa al-Wasiyyah, yaitu nash atau teks yang mengatakan bahwa Ali adalah Imam setelah Rasulullah. Sedang al-Wasiyah atau wasiat dari Rasulullah kepada Ali untuk menjadi Imam. Wasiat dan nash ini juga merambat kepada para keturunan Ali bin Abi Thalib. Lihat: Muhammad Imarah, Tayârâtul Fikri al-Islâmî, (Kairo: Dar Syuruq, 2011), Cet. 4, hal. 201.
36. Muhammad Ahmad Mahmud, Op.Cit., hal. 48. 37. Ahmad Amin, Dhuhâ al-Islam, (Kairo: al-Maktabah al-Usrah, 1999), Cet. 2, hal. 205.
38. Salafah merupakan ibu dari Zainul Abidin. Lihat: Hisyam Kamil Hamid, Alul Bait, hal. 83.
41
PENGHIANATAN DI BUMI KUFAH (Studi Analitik Peristiwa Berdarah Di Karbala)
Muhammad Faiq Aziz
al-Islâmi „Asru Daulah Umawiyyah,
(Maktab al-Masi)
Musa, Hisyam Kamil Hamid, Alul Bait,
(Kairo: Darul Manar, 2011).
Amin, Ahmad, Dhuhâ al-Islam, (Kairo: al-
Maktabah al-Usrah, 1999).
Imarah, Muhammad, Tayârâtul Fikri al-
Islâmî, (Kairo: Dar Syuruq, 2011).
رء ي ولد عالما”
ت علم ف ليس ادل
“وليس أخو علم كمن هو جاهل
“Belajarlah, karena tidak ada manusia
yang terlahir sudah berilmu, dan para
pemilik ilmu tidak akan sama dengan
orang bodoh”
42
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya
Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Oleh: Indra Gunawan
Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Bahasa Arab
Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir
Email: [email protected]
Abstract
Abdul Hamid II is the Sultan of Ottoman Empire which is written in history in a controver-
sial way, he is the last caliphate in the history of islam who strived and fight to maintain the
unity of his empire. As a young leader he was inaugurated in the middle of the new wave of
freedom which is inspired by the Revolution of France (1830) which inspired many countries
to revolt and to emerge with the same values of freedom, modernization, and equality. Under
his authority the ottoman empire was considered as the sickman of Europe which will never
be able to compete with the changing situation. No matter what, he had done a great accom-
plishment to postpone the devastation of The Ottoman Empire for thirty years.
Keywords: Chaliphate, Secularism, Zionism, Ottoman Empire, Modernization
Abstrak
Sosok Abdul Hamid II merupakan sosok yang ditulis demikian kontroversial karena
perannya yang demikian penting dalam sejarah Daulah Utsmaniyah, karena beliau adalah Sul-
tan terakhir sekaligus khalifah umat islam terakhir yang berjuang mempertahankan persatuan
dan kesatuan Umat Islam di bawah paying Khilafah. Dan beliau muncul di tengah gemuruh
gelombang tren Negara-negara Eropa yang mengagung-agungkan kebebasan, sekularisme,
modernisasi, dan persamaan derajat dan Turki Utsmani pun dicemooh oleh Dunia Barat se-
bagai “Orang Eropa yang Sakit” yang tidak akan mampu lagi bertahan menghadapi tantangan
zaman. Namun beliau terbukti telah Berhasil memperlambat keruntuhan Daulah Turki Utsma-
ni sepanjang tiga puluh tahun. Lantas dihujat habis-habisan akibat penolakannya pada Yahudi
agar mendirikan negara Zionis di Palestina.
Kata kunci: Khilafah, Sekularisme, Zionis, Daulah Usmaniyah, Modernisasi,
43
A. PENGANTAR
Abad ke-19 Masehi adalah periode pal-
ing menyesakkan bagi kaum Muslimin. Tak
berlebihan, era itu dianggap sebagai titik na-
dir dari kemerosotan umat Islam!
Tiap zaman tentu punya kisahnya mas-
ing-masing dalam menghadapi badai an-
caman. Ketika ranah Hijaz mulai bersinar da-
lam peradaban dunia lewat kemunculan Is-
lam, terdapat dua imperium besar menge-
pung Jazirah Arabia; Persia Sasania di timur
dan Romawi Byzantium di barat. Setelah itu
Perang Salib mengobarkan permusuhan pa-
da alam Islami dari barat yang kemudian
dilanjutkan invasi Mongol dari timur.
Rentetan huru-hara itu sempat mendapat
pelipur lara ketika Muhammad al-Fatih ber-
hasil menaklukkan Konstantinopel pada
1453 M.
Sayang, era keemasan itu perlahan-
lahan mulai berakhir. Ditandai lewat
jatuhnya Granada pada 1492 M, kaum Mus-
limin dihadapkan pada musuh utama yang
menjelma jadi musuh dunia bernama koloni-
alisme dan imperialisme. Ratusan tahun
lamanya, negeri-negeri benua biru saling
bersaing menjajah Asia, Afrika, hingga
Amerika. Dan penjajahan itu mencapai pun-
caknya pada abad ke-19 M. Adalah Turki
Utsmani—kekhalifahan Islam yang tengah di
ambang kehancuran—menjadi sasaran ber-
sama. Bagi bangsa Eropa, Turki Utsmani
laiknya orang yang sedang menghadapi sa-
karatul maut, siap membagi-bagi harta war-
isannya. Ibarat kue besar, wilayah Turki
Utsmani yang luas menjadi lahan rebutan.
Betapa menyedihkan kondisi kaum Mus-
limin saat itu. Ketidak-mampuan Turki
Utsmani mengikuti perkembangan sains
membuatnya terbelakang dan wibawanya
merosot tajam. Sampai-sampai bangsa Ero-
pa menyindirnya sebagai “The Sick Man of
Europe”.
Di saat tak berdaya itu, tampil-lah
seorang pemimpin besar bernama Abdul Ha-
mid II. Wibawa Turki Utsmani dan kaum
Muslimin naik kembali pada masanya. Se-
bagai sultan dan khalifah, berbagai persoa-
lan bangsa dan umat ia hadapi dengan keya-
kinan teguh pada mulianya nilai-nilai Islam.
Kemunculannya di tengah-tengah zaman
yang semrawut sungguh merupakan anuge-
rah tak terkira, kalau tak dikatakan sebagai
keajaiban.
Tanpa jerih payahnya, bisa saja Istanbul
tak lagi menjadi bagian umat Islam. Atau Is-
lam di kawasan Balkan telah lama lenyap.
Atau Kurdistan memisahkan diri menjadi se-
buah negara dan Armenia menjelma men-
jadi pusat kekuatan Nasrani di Asia Kecil.
Atau telah berdiri negara Israel Raya dengan
wilayahnya seluruh kawasan Syam. Atau
kemungkinan-kemungkinan terburuk lainnya
yang bisa terjadi ketika itu.
Namun kiranya, keberadaan beliau ber-
hasil menghindari bencana tersebut. Ia juga
yang mampu menaikkan kembali martabat
Turki Utsmani dan mencegah keruntuhannya
sepanjang tiga puluh tahun lebih.
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
44
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Dialah Sultan Abdul Hamid II. Legenda
terakhir dari silsilah umara besar yang
pernah ada!
Gayanya memerintah dianggap kaum
sekuler sangat otoriter, namun nyatanya dia-
lah khalifah terakhir yang punya kekuasaan
sebagai pemimpin umat. Jauh dari interven-
si, tak bisa didikte atau diancam. Pendiriann-
ya amat kokoh, seteguh iman dan keya-
kinannya pada Yang Kuasa.
Namanya ditulis dengan tinta merah di buku-
buku sejarah hanya gara-gara pembangkan-
gannya pada konspirasi zionisme. Kaum Ya-
hudi yang menguasai media massa dan infor-
masi dunia mendiskreditkannya sebagai
pemimpin haus darah karena tak mengiz-
inkan berdirinya Israel di Palestina. Aki-
batnya di barat ia dijuluki sebagai “Sultan
Merah”,1 atau “Abdul Terkutuk”.2
Meski begitu, Abdul Hamid II tetaplah
dipuja di hati kaum Muslimin. Siapa saja
yang tahu duduk persoalan dan menyelami
riwayat kepemimpinan Abdul Hamid dengan
hati jujur, pasti mengakui kebesaran jiwa
dari seorang Abdul Hamid II. Bahwa beliau
tak hanya seorang pemimpin bijak dan poli-
tikus ulung, namun juga pribadi yang penya-
yang, penuh toleransi dan pejuang kaum mi-
noritas.
Rasa galau dan ketidakberdayaan yang
menghimpitnya acapkali ia tulis dalam cata-
tan harian dan surat-surat yang ia tujukan
pada kolega, sahabat, maupun gurunya.
Membaca kejujuran hatinya, membuat kita
bertanya-tanya, layak-kah tuduhan itu terse-
mat padanya? Meresapi kegelisahan yang
dia rasakan, semakin buyarlah segala hujatan
musuh-musuh Islam yang tidak senang atas
keberaniannya menyuarakan kebenaran.
B. PEMBAHASAN
Membuka Cakrawala ke Eropa
Sepeninggal ayahnya Abdul Majid I
(1839-1861), Turki Utsmani dipimpin pa-
mannya Abdul Aziz (1861-1876). Pada tahun
1867, Sultan Abdul Aziz mengadakan kunjun-
gan kenegaraan ke Eropa Barat dengan
tujuan mencari dukungan dan mempererat
kerja sama dengan Turki Utsmani. Abdul Aziz
berusaha menjalin koalisi dengan negeri-
negeri super power Eropa Barat terkait tensi
yang memanas dengan Rusia. Itu merupakan
kunjungan pertama dari Sultan Turki Utsma-
ni ke Eropa Barat.
Delegasi resmi Turki Utsmani saat itu
disertai rombongan kenegaraan, termasuk di
antaranya Abdul Hamid muda. Gairah Abdul
Hamid sangatlah besar mempersiapkan per-
jalanan jauh tersebut. Sudah sering kali ia
dengar kemajuan dan kebangkitan bangsa
Eropa. Tentang tradisi, modernisme, pers
dan kebebasan berekspresi, sistem parle-
menter, juga intervensi dan arogansi pada
negerinya. Ia mempersiapkan diri sebaik-
baiknya dengan banyak membaca dan
1. Francis McCullogh, Sultan Beaten, The New York Times, 25 April, 1909. 2. Frank S. Nugent, Sidelights on Turkish History in 'Abdul the Damned' at the Rialto, The New York Times, 11
Mei, 1936.
45
mendengar pendapat-pendapat orang-orang
sekitar. Pada mereka yang tergila-gila
dengan dunia Barat, begitu juga yang an-
tipati pada kaum kafir Eropa.
Berangkatlah iring-iringan delegasi Abdul
Aziz dari 21 Juni hingga 7 Agustus 1867. Sela-
ma itu mereka telah mengunjungi Prancis,
Britania, Belgia, dan Austria-Hongaria.3 Ab-
dul Hamid berkesempatan bertemu dengan
negarawan dan politikus Eropa seperti Napo-
leon III di Perancis, Ratu Victoria di Inggris,
Leopold II di Belgia, dan Franz Joseph I di
Austria. Saat itu usianya dua puluh lima ta-
hun.4
Dari sana terbukalah cakrawala Abdul
Hamid. Ia melihat langsung bagaimana etika
diplomasi, upacara kenegaraan, kecerdasan
negoisasi, serta konspirasi barat dan kaum
sekuler pada negerinya. Dikisahkan di sela-
sela kunjungan ini, Fuad Pasha selaku Men-
teri Besar Turki Utsmani menjawab pertan-
yaan beberapa pembesar Eropa.
“Berapa kalian jual Pulau Kreta?”
“Dengan harga yang seperti kami mem-
belinya,” jawab Fuad Pasha. (Maksudnya
Turki Utsmani menguasai Kreta selama 27
tahun dan selama itu pula penuh dengan
perang).
“Negara apa terkuat di dunia saat ini?”
“Negara terkuat adalah Turki Utsmani.
Itu karena kalian berusaha menghancur-
kannya dari luar, adapun kami dari dalam,
namun nyatanya kita sama-sama belum ber-
hasil melenyapkannya,” jawab Fuad Pasha.5
Kunjungan ke Eropa merupakan pelaja-
ran yang sangat berharga. Abdul Hamid
melihat sendiri bagaimana tradisi dan bu-
daya masing-masing negeri maju. Bahwa
modernisme rupanya berimbas pada deka-
densi moral. Ia melihat Prancis sebagai
negeri mode tempat bersenang-senang na-
mun punya industri militer yang kuat. Inggris
adalah negeri kaya pertanian dan indus-
trinya maju, ditambah bahwa angkatan
lautnya terhebat kala itu. Adapun Jerman
merupakan negara besar yang baru bangkit,
namun memiliki kedisiplinan tinggi dan
fanatisme kuat pada bangsanya. Selain itu
Abdul Hamid terpesona dengan pendidikan
militer di Jerman. Kelak, di kemudian hari
ketika ia jadi sultan, Abdul Hamid lebih
memilih Jerman sebagai sekutunya daripada
menggantungkan asa pada Inggris, Prancis,
Austria, apalagi Rusia.
Tak cukup di situ, Abdul Hamid sangat
mendukung modernisasi. Ketika berkuasa,
Abdul Hamid membeli dua kapal selam, yang
mana saat itu merupakan senjata baru yang
istimewa. Ia juga memasukkan penggunaan
telegraf, bahkan dari uang pribadinya,
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
3. Ali Muhammad Ash-Shallaby, Al-Daulah al-`Utsmâniyyah; ‘Awâmil al-Nuhûdh wa al-Suqûth, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. III, 2006), hal. 432.
4. Muhammad Harb, Al-Sulthân Abdul Hamîd al-Tsânî, (Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I, 1990 M), hal. 33 & 58. 5. Ibid., hal. 58.
46
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
kemudian menerapkan ukuran resmi dengan
skala meter, mendirikan sekolah modern
yang bermaterikan ilmu-ilmu pasti. Pada
masanya juga penggunaan mobil dan sepeda
pertama kali diterapkan. Meski begitu,
dengan kewaspadaan tinggi ia tetap menyar-
ing pengaruh ghazw al-fikrî ke negerinya.6
Selain kunjungan ke Eropa, Sultan Abdul
Aziz dan Abdul Hamid muda juga sempat
mengunjungi Mesir. Saat itu, Mesir merupa-
kan lahan subur pergolakan. Mesir, sebagai
negeri dengan populasi warga Arab terban-
yak mau tak mau selalu jadi sorotan. Ter-
lebih lagi setelah Khediv Ismail Pasha
berkuasa. Ismail Pasha adalah cucu Muham-
mad Ali Pasha dan menjadi gubernur meng-
gantikan pamannya Said Pasha. Mengecap
pendidikannya di Paris, ia begitu tergila-gila
pada kehidupan barat.
Ismail Pasha bertekad melakukan west-
ernisasi besar-besaran di Mesir. Tahun 1879
ia membuat pernyataan mengejutkan
dengan berkata, “Negeriku bukan lagi di Afri-
ka, sekarang kita telah menjadi bagian Ero-
pa. Oleh karenanya wajar bagi kita mening-
galkan cara-cara para pendahulu, dan mulai
mangadopsi sistem baru yang lebih sesuai
dengan kondisi masyarakat kita.”
Pada masanya Terusan Suez resmi dibu-
ka pada 1869. Namun akibat dari intervensi
besar-besaran pihak asing, Mesir mengalami
resesi ekonomi yang parah. Mesir terbelit
utang yang hampir mustahil diselesaikan.
Ketika tak mampu lagi mencari pinjaman as-
ing, Ismail Pasha akhirnya menjual saham
Mesir di Terusan Suez pada Pemerintah Bri-
tania tahun 1875, hal ini kian menambah
cengkraman asing. Kesewenangan pihak as-
ing dan bobroknya pemerintahan Ismail Pa-
sha membuat kemarahan rakyat Mesir men-
jadi-jadi. Pecahlah revolusi Ahmad Arabi pa-
da 1879, yang berakhir dengan diberhenti-
kannya Ismail Pasha oleh Sultan Abdul Ha-
mid II.
Namun, jauh sebelum pergolakan besar
itu terjadi, Abdul Hamid telah melihat tanda-
tanda kerusakan di Mesir. Dua tahun sebe-
lum Terusan Suez dibuka, ia dan pamannya
melihat langsung derita rakyat Mesir pada
1867. Bagaimana hebatnya cengkraman bar-
at, juga proyek westernisasi yang digencar-
kan Ismail Pasha.7 Kunjungan itu sangat be-
rarti bagi Abdul Hamid ketika ia memegang
amanah selaku khalifah. Sekuat tenaga ia
berjuang habis-habisan menghadang de-
rasnya arus intervensi asing. Meskipun har-
ganya ia dimusuhi banyak pihak: kaum seku-
ler, penguasa Eropa, dan yang paling dahsyat
zionisme dan anteknya.
Sultan ke-34
Sedari awal, Abdul Hamid tak pernah
diprediksi bakal menjadi Sultan Turki Utsma-
ni. Dari garis nasab, meski sebagai anak Ab-
dul Majid I, namun ia bukanlah putra tertua.
6. Ibid., hal. 57. 7. Ali Muhammad Al-Shallaby, Op.cit.
47
Abangnya Murad V
lebih dulu berhak men-
jadi sultan. Namun ru-
panya takdir menetap-
kan Turki Utsmani
dipimpin Abdul Hamid
II. Bahwa di saat-saat
akhir kejatuhan Khilafah
Islamiyah, terdapat pemimpin besar yang
mampu membuat gerakan perubahan,
membangkitkan keterlenaan umat dari
belenggu penjajah.
Adalah Organisasi Turki Muda muncul
sebagai kekuatan baru di Turki Utsmani.
Gerakan ini awalnya dibentuk demi mem-
perbaiki kondisi bangsa yang carut-marut.
Cita-citanya sangatlah luhur, mewujudkan
perlakuan adil antar etnis dan ras, member-
antas korupsi, dan menaikkan taraf hidup
rakyat. Tak heran banyak pihak lantas
bergabung dan nuansa optimisme segera
terpancar.
Malangnya, organisasi ini pelan-pelan
berubah haluan. Disusupi freemasonry dan
orang-orang zionis, Turki Muda lantas disetir
demi kepentingan pihak asing. Atas dalih
kemajemukan, Turki Muda dipenuhi warga
Nasrani dan Yahudi. Kelompok ini kian lama
kian besar, dan bisa dikatakan sebagai
kekuatan tandingan di samping khalifah.
Puncaknya adalah ketika mereka berhasil
menggulingkan Sultan Abdul Aziz pada 1876.
Empat hari setelah dikudeta, Abdul Aziz
ditemukan mati bunuh diri. Namun hampir
semua meyakini, ia bukan bunuh diri melain-
kan dibunuh lewat konspirasi tingkat tinggi.
Sepeninggal Abdul Aziz, Sultan Murad
V lantas berkuasa. Putra Abdul Majid I dan
abang Abdul Hamid II ini hanya bertahta
sekitar 93 hari. Ketika mendengar ter-
bunuhnya pamannya Abdul Aziz dan juga
beberapa pembantunya, Murad V mengala-
mi guncangan hebat hingga mentalnya ter-
ganggu. Atas inisiatif Turki Muda juga, Mu-
rad V kemudian dimakzulkan dan digantikan
Abdul Hamid.
Tepat 31 Agustus 1876, Abdul Hamid II
dilantik menjadi Sultan Turki Utsmani ke-34.
Saat itu umurnya tiga puluh empat tahun.
Naiknya Abdul Hamid dirayakan dengan
meriah. Pelantikannya dihadiri para menteri,
pejabat tinggi negara, maupun petinggi mili-
ter. Di jalan-jalan rakyat berkerumun
menyambut sultan baru. Tiga hari lamanya
Istanbul benderang oleh berbagai hiasan.
Suara genderang ditabuh dan parade militer
ikut menyemarakkan penobatannya.8Abdul
Hamid menerima ucapan selamat dari
berbagai pemimpin golongan dan daerah.
Adapun menteri besar segera mengirimkan
telegraf ke seluruh negara dunia mengabar-
kan peralihan kekuasaan di Turki Utsmani.9
Midhat Pasha dan Jeratan Konstitusi
Abdul Hamid muda
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
8. Muhammad Farîd Beik, Târîkh al-Daulah al-`Aliyyah al-`Utsmâniyyah, tahqiq: Dr. Ihsan Haqqi, (Beirut: Dâr al-Nafais, cet. X, 2006), hal. 587.
9. Ismail Ahmad, Al-Daulah al-`Utsmâniyyah fî al-Târîkh al-Islâmî al-hhhhhhkknssdjasjsHadîts, (Maktabah al-`Abikan, cet. I, 1996), hal. 138.
48
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
10. Ernest E. Ramsaur, The Young Turks: Prelude to the Revolution of 1908, terj. Dr Ahmad Shalih, (Beirut: Dâr al-Maktabat al-Hayat, 1960), hal. 44.
11. Al-Sayyid Muhammad al-Daqn, Dirâsât fî Târîkh al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, (Kairo: Azhar University, 2005), hal. 111.
*Ahmad Syafiq adalah nama asli Midhat Pasha. Dilahirkan di Istanbul (1822-1883). Ia menjabat menteri besar hanya 4 bulan lamanya. Tahun 1878 bulan Februari Midhat dicopot Sultan Abdul Hamid, dan dia-singkan ke Eropa. Kemudian dipanggil lagi dan ditunjuk sebagai Gubernur Suriah kemudian Azmir. Midhat kemudian dipecat lagi dan diadakan pengadilan padanya atas peran pembunuhan Sultan Abdul Aziz. Ia terbukti bersalah dan dihukum mati. Namun akhirnya diringankan menjadi pembuangan ke Hijaz, Thaif. Di sana ia ditahan dan meninggal pada 8 Mei 1884. – Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, terj. Karim ‘Azqul, hal. 134.+
Tantangan terberat pertama yang
dihadapi Abdul Hamid adalah Organisasi Tur-
ki Muda. Kekuatan dan pengaruh Turki Muda
di tubuh Turki Utsmani sangatlah kuat,
melampaui otoritas khalifah. Mereka men-
guasai kabinet pemerintahan, kalangan mili-
ter, bahkan keluarga istana. Proyek liberali-
sasi yang diusung mereka segera mendapat
sokongan dana melimpah dari pihak asing.
Adalah Midhat Pasha selaku Menteri Be-
sar yang menjadi pemimpinnya. Keberhasi-
lan menggulingkan dua sultan sebelumnya
menaikkan popularitas Midhat. Ia begitu
dipuja pendukungnya dan dianggap sebagai
negarawan panutan dalam liberalisasi. Atas
perannya pula Abdul Hamid diangkat men-
jadi Sultan, dengan anggapan Abdul Hamid
nantinya bisa disetir dan dipengaruhi sesuai
keinginannya. Nyatalah, keberadaan Midhat
Pasha bak belati yang siap menghunjam ke
dada Abdul Hamid. Bagaimana mungkin Ab-
dul Hamid bisa nyaman bekerja dengan
orang yang telah menggulingkan dua sultan
dan membunuh pamannya?10
Pamor yang dimiliki Midhat Pasha mem-
buat Abdul Hamid tak punya pilihan selain
menunjuknya sebagai Menteri Besar pada 18
Desember 1876.11 Midhat kemudian men-
jalankan rencananya mereformasi sistem
tata negara khilafah. Ia begitu memuja barat
dan berambisi mendirikan Turki Utsmani
yang baru dengan undang-undang Eropa.
Selanjutnya ia rumuskan konstitusi pertama
bagi Turki dengan mengadopsi undang-
undang Prancis dan Belgia, setelah selesai
disodorkannya pada sultan untuk disahkan.
Abdul Hamid saat itu belumlah punya
kekuatan. Ia diangkat dalam keadaan negara
yang teramat genting. Berbagai persoalan
besar yang menumpuk diwariskan padanya.
Kas negara kosong dan Turki Utsmani terlilit
utang teramat besar. Hal mana membuat
negara asing begitu leluasa mendikte Turki
Utsmani. Belum lagi amarah dan
kekecewaan rakyat pada aparat negara yang
semena-mena memerintah. Korupsi mera-
jalela, gerakan separatis marak terjadi, dan
tensi yang terus memanas dengan Rusia. Ia
langsung dihadapkan segudang problema
yang mustahil diselesaikan sendirian.
Pada 23 Desember 1876, setelah
mengamandemen beberapa pasal, Abdul
Hamid mengumumkan diberlakukannya kon-
stitusi. Konstitusi pertama ini nantinya diang-
49
gap sebagai cikal bakal Turki Sekuler. Ada-
pun pemrakarsanya tak lain adalah Midhat
Pasha, hingga ia dijuluki Bapak Konstitusi
Turki.12 Dalam pandangan Midhat, satu-
satunya cara Turki Utsmani bangkit hanya
lewat undang-undang negara yang baru.
Yang isinya menjamin kemerdekaan berek-
spresi, mengurangi otoritas khalifah, dan
perlakuan sama antaragama dan ras di de-
pan undang-undang.13
Selanjutnya undang-undang itu diberi
nama Qanun Asasy.14 Isinya memuat falsa-
fah dasar negara, di antara muatannya: aga-
ma negara adalah Islam, bahasa ibu adalah
bahasa Turki, diterapkannya independensi
mahkamah, hak prerogatif sultan
mengangkat menteri dan memecatnya,
fungsi sultan juga sebagai panglima tertinggi
yang memutuskan perang atau damai,15 ser-
ta pasal-pasal lainnya.
Selama ini Turki Utsmani memang tak
pernah mengenal sistem parlementer. Be-
gitu juga dengan Khilafah Islamiyah. Syariah
merupakan hukum mutlak, khalifah adalah
pemegang kekuasaan tertinggi sementara
Syaikhul Islam bertugas memberi fatwa
negara sekaligus mengesahkan penobatan
khalifah. Melalui Qanun Asasy, Turki Utsma-
ni memasuki era baru dengan diperkenal-
kannya kehidupan parlemen.
Sesuai amanat konstitusi, digelarlah
pemilihan umum untuk memilih anggota de-
wan legislatif, yang dinamakan majlis al-
mab’utsani. Terpilihlah 119 anggota dengan
komposisi Muslim (71 kursi), Nasrani (44
kursi), dan Yahudi (4 kursi). Selain majlis al-
mab’utsani terdapat pula majlis al-a’yan,
majelis ini dipilih langsung oleh sultan ber-
jumlah 26 anggota, 21 di antaranya Muslim.
Konstitusi juga mengamanatkan per-
tanggungjawaban kabinet terhadap dua
majelis ini.16
Pada 29 Maret 1877, dibukalah sidang
pertama parlemen oleh Sultan Abdul Hamid.
Sultan menyampaikan pidato kenegaraan
dengan memukau. Tampil di hadapan wakil
rakyat terpilih tak membuatnya minder atau
inferior. Dengan tutur kata yang fasih beliau
jelaskan pondasi Turki Utsmani dan perjalan-
an para pendahulu membangun dinasti ini.
Tentang hakikat pemimpin dan per-
tanggungjawaban amanah pada rakyat. Pi-
datonya sangat bersahaja, penuh gelora,
menggambarkan keagungan sultan-sultan
besar Turki Utsmani.17
12. Mahmud Shalih Mansy, Harakah al-Yaqzhah al-‘Arabiyyah fî al-Syarq al-Âsiyawî, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, cet. III, 1978), hal. 53.
13. George Habib Antonius, The Arab Awakening, terj. Dr. Nashiruddin al-Asad & Dr. Ihsan ‘Abbas, Yaqzhah al-‘Arab, (Beirut: Darul ‘Ilmi li al-Malayin, cet. II, 1966), hal.130.
14. Sathi’ al-Hashri, Al-Bilâd al-‘Arabiyyah wa al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malayin, cet. II, 1960), hal. 74-75, 97.
15. Ahmad Abdurrahim Musthafa, Fî Ushûl al-Târîkh al-‘Utsmânî, (Dâr al-Syuruq, cet. II, 1986), hal.234. 16. Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, terj. Karim ‘Azqul, (Beirut: Dâr al-Nahar, 1968), hal. 133. 17. Untuk naskah lengkapnya silahkan lihat di Târîkh al-Daulah al-`Aliyyah al-`Utsmâniyyah, Muhammad Farîd
Beik, tahqiq: Dr. Ihsan Haqqi, hal. 594-600.
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
50
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
18. Sathi’ al-Hashrî, Op.cit., hal. 98
19. Abdul Aziz Al-‘Umary, Al-Futûh al-Islâmiyyah ‘Abr al-‘Ushûr, (Riyadh: Dâr Isybiliyyah, cet. I, 1997), hal. 418.
Di masa itu, anggota legistlatif dari
bangsa Arab berperan aktif dalam perde-
batan di parlemen,18 bahu-membahu
memajukan Khilafah Islamiyah. Menepis
tudingan retaknya Turki-Arab yang dihem-
buskan pihak kolonial. Bukan rahasia lagi,
dari dulu hingga kini Barat sangat getol me-
mecah-belah umat lewat isu nasionalisme
maupun dikotomi negara dan agama.
Krisis Balkan dan Dibekukannya Kon-
stitusi
Konstitusi pertama Turki ini ternyata
tak bertahan lama. Krisis Balkan membuat
peta politik Turki Utsmani berubah drastis.
Tak sampai sebulan setelah digelar sidang
pertama parlemen, Rusia mengumumkan
perang terhadap Turki Utsmani pada 24 April
1877. Perang akhirnya meletus di Balkan dan
Kaukasus, berakhir pada 3 Maret 1878
dengan kekalahan Turki Utsmani.
Krisis Balkan sebenarnya sudah bergo-
lak sejak masa Abdul Aziz. Rusia begitu am-
bisius meluaskan wilayahnya di Balkan. Ada-
pun Austria-Hongaria sejak lama sudah
membidik Bosnia-Herzegovina. Mereka rutin
melakukan provokasi dengan menyuplai da-
na dan senjata kepada penduduk lokal agar
memberontak pada Turki Utsmani. Berbagai
propaganda dijalankan, baik lewat media
massa maupun organisasi rahasia. Setiap ada
celah memberontak, kontak senjata menjadi
hal yang tak terhindarkan.
Sebelumnya, Rusia telah dikalahkan Tur-
ki Utsmani sebanyak enam pertempuran be-
sar. Kekalahan bertubi-tubi yang dialami Ru-
sia membuat dendamnya kian membara.
Persiapan perang besar dimatangkan, warga
pribumi di Balkan dilatih dan dipersenjatai
laiknya tentara Rusia. Ketika meletus perang,
tentara Turki Utsmani mati-matian
menghadapi gabungan koalisi Rusia, Roma-
nia, Bulgaria, Serbia & Montenegro yang
jumlahnya tiga kali lipat. Utsman Nuri Pasha
yang terluka parah akhirnya tak kuasa mena-
han gempuran musuh di Balkan dan menye-
rah akhir tahun 1877. Sementara di sayap
timur Turki Utsmani, Ahmad Mukhtar Pasha
juga takluk setelah Rusia berhasil menekan
hingga Anatolia.19
Di tengah bayang-bayang kekalahan itu,
Turki Utsmani terpaksa menandatangani
Perjanjian Berlin 1878. Di antara isinya Turki
Utsmani merelakan lepasnya Bulgaria,
mengakui kemerdekaan Rumania, Serbia &
Montenegro, dicaploknya Bosnia-
Herzegovina oleh Austria-Hongaria, dan
51
Siprus di bawah pengawasan Britania. Turki
Utsmani juga diharuskan membayar biaya
kompensasi perang sebesar 2,5 juta Lira.20
Tak pelak kekalahan itu merupakan
musibah yang besar bagi dunia Islam. Air
mata bercucuran di penjuru negeri me-
nangisi pejuang yang gugur. Kaum Muslimin
lantas terhenyak mengetahui diusirnya ratu-
san ribu warga Muslim dari Bulgaria. Sebuah
pemandangan memilukan menatap antrian
para pengungsi, membuka luka lama akan
tragedi pengusiran Muslim di Andalusia.
Sungguh, hal yang bertolak belakang ketika
Muslim memerintah, sejarah mencatat hak
dan kehormatan ahlu dzimmah selalu dijaga.
Mereka dilindungi dan diperlakukan dengan
adil dan baik.
Kepedihan yang luar biasa itu akhirnya
berubah menjadi kemarahan. Mayoritas
Orang-orang tak puas dengan kinerja
pemerintah atas kekalahan perang. Mereka
menyalahkan para menteri dan petinggi mili-
ter yang tak becus bekerja. Puncaknya, ter-
jadi kekisruhan antaranggota dewan di par-
lemen menuntut pertanggungjawaban tiga
menteri yang tertuduh. Bahkan perten-
tangan itu mulai mengarah pada kebijakan
Sultan. Konflik yang berlarut-larut membuat
Abdul Hamid punya alasan membekukan
parlemen pada 13 Februari 1878.
Pembekuan berlangsung hingga 30 tahun
lamanya sampai tahun 1908. Jadinya usia
konstitusi pertama Turki sejak dibuka Abdul
Hamid hanya 10 bulan lebih 25 hari. Anggota
parlemen kemudian kembali ke daerahnya
masing-masing, sementara sepuluh orang
pemimpin kekisruhan diasingkan ke tempat
yang jauh.21
Adapun di antara sebab-sebab pe-
nolakan Sultan terhadap undang-undang
disebabkan majemuknya warga Turki Utsma-
ni, bahwa penerapan demokrasi model barat
justru memperparah sengketa minoritas dan
mayoritas. Beliau berkata, “Turki Utsmani
adalah negeri berkumpulnya berbagai bang-
sa, dan demokrasi di negeri seperti ini hanya
akan mematikan etnis asli dalam negeri.
Apakah ada di parlemen Britania anggota
resmi dari penduduk India, atau di parlemen
Prancis anggota dewan dari warga
Aljazair?”22
Orde Hamidi
Setelah dibekukannya konstitusi,
otomatis Abdul Hamid II memegang kendali
pemerintahan. Ia mulai mengembalikan
kembali power sultan yang telah lama
hilang. Abdul Hamid lantas melakukan
berbagai gebrakan dan terobosan baru
terkait kebijakan negara. Sejarawan
menamakan periode kepemimpinan Abdul
Hamid—sejak dibekukannya konstitusi hing-
ga lengsernya tahun 1908—dengan istilah
20. Ismail Yaghi, Al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, hal. 195. 21. Taufiq Ali Brau, Al-‘Arab wa al-Turk fi al-‘Ahdi al-Dustûr al-‘Utsmânî (1908-1914), (Kairo: Ma’had al-Dirâsât
al’-Arabiyyah al-‘Aliyyah, 1960), hal. 32. 22. Muhammad Harb, Op.cit., hal. 95 23. Al-Sayyid Muhammad al-Daqn, Op.cit., hal. 110 .
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
52
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Orde Hamidi (al-‘Ashr al-Hamîdî).23
Salah satu kebijakannya yang paling
diserang kaum sekuler adalah pembentukan
dinas intelijen atau polisi rahasia. Abdul Ha-
mid digambarkan sebagai pemimpin haus
darah dan berwatak kejam yang ringan tan-
gan menjatuhkan hukuman. Namun jika
ditelusuri dengan cermat, ada banyak alasan
kuat yang melatarbelakangi Abdul Hamid
terkait kebijakannya.
Sebagaimana diketahui, Turki Utsmani
saat itu menjadi pusat perhatian dunia. Peri-
stiwa sekecil apapun menyangkut kebijakan
pemerintah langsung menjadi santapan beri-
ta. Dengan wilayah yang meliputi Afrika
Utara, Jazirah Arabia, Syam, Asia Kecil, dan
beberapa wilayah Eropa Timur, Turki Utsma-
ni dihadapkan setumpuk problema raksasa.
Yang paling krusial tentu saja konspirasi luar-
dalam meruntuhkan khilafah. Negeri penja-
jah Eropa begitu tamak ingin merebut wila-
yah Turki Utsmani, kaum zionis menargetkan
Palestina sebagai negara barunya, Armenia
terus-menerus melancarkan provokasi, Kur-
distan dibuat membara agar melepaskan
diri, ditambah nasionalisme Arab yang di-
hembuskan kaum sekuler. Berbagai
kepentingan dan ambisi menggoyang Istan-
bul sedemikian rupa.
Tadinya Sultan tak pernah memba-
yangkan kalau Turki Utsmani dipenuhi makar
dan konspirasi. Ia baru terhenyak setelah
mengetahui menteri besar sebelumnya tern-
yata berkhianat. Duta besarnya di London
Mosorus Pasha mengadu pada Sultan bahwa
Husein Auni Pasha menerima suap yang be-
sar dari Inggris. Kemudian Sultan diberitahu
juga bahwa Turki Muda memiliki badan in-
telijen sendiri demi mendukung rencana ke-
jinya menjatuhkan khilafah.
Dihadapkan pada kondisi genting begitu,
Abdul Hamid lantas membentuk jaringan
polisi rahasia yang langsung berada di bawah
pengawasannya. Anggota intelijen ini
kemudian berkerja mencari data dan infor-
masi terkait ancaman dan bahaya terhadap
negara. Mereka bergerak laiknya mata-mata
dan berbaur dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Di jalan-jalan, di sekolah, di pen-
erbitan, maupun lembaga-lembaga swasta.
Hasilnya, didapatilah data-data rahasia dan
bukti-bukti keterlibatan mereka yang
melakukan makar. Baik dari aparatur negara,
kalangan militer, keluarga kerajaan, kaum
sekuler, warga Nasrani dan Yahudi, maupun
warga asing. Mereka yang bersalah meneri-
ma hukuman yang setimpal sesuai keja-
hatannya. Meski demikian tak seluruh
laporan intelijen ia terima bulat-bulat, Abdul
Hamid selalu memeriksa tiap kasus dengan
teliti sebelum memutuskan perkara.
Sultan sangat berhati-hati dalam
menaruh kepercayaannya. Bisa jadi orang
Tanda Tangan Abdul Hamid II
53
24. Zain Nuruddin Zain, Nusyû` al-Qaumiyyah al-‘Arabiyyah ma’a Dirâsah Târîkhiyyah fî al-‘Alâqât al-‘Arabiyyah al-Turkiyyah, (Beirut: Dâr al-Nahar, cet. II, 1972), hal. 56.
25. Murad V adalah abang tiri Abdul Hamid, naik tahta menggantikan Abdul Aziz. Namun Murad V terkena sakit jiwa hingga dilengserkan, setelah sembuh beberapa pendukungnya berusaha mengangkatnya kembali jadi sultan menggantikan Abdul Hamid.
26. Al-Sayyid Muhammad al-Daqn, Op.cit., hal. 116.
yang selama ini ia percaya rupanya bekerja
untuk musuh. Istanbul seakan-akan dikeli-
lingi mata-mata musuh yang siap melumat
tahtanya kapan saja. Saking mencekamnya,
pada 30 Oktober 1878, Abdul Hamid bicara
terus-terang pada atase militer di Kedutaan
Perancis di Istanbul, “Negeri ini adalah
negeri makar dan konspirasi, bagaimana
mungkin satu orang sanggup berjuang dan
melawan semua manusia?”24
Diantara beberapa peristiwa yang
mengancam kedudukannya adalah ketika
beberapa orang Turki Muda mencoba
melakukan kudeta terselubung menurunk-
annya untuk digantikan Murad V.25 Kemudi-
an pada 21 Juli 1905, atas konspirasi Zionis
dan Armenia, terjadi percobaan pembunu-
han pada Abdul Hamid saat kegiatan rutin
Shalat Jumat. Para pemberontak telah
mengamati kebiasaan Sultan dan mengatur
bom mobil sesuai waktu. Abdul Hamid II
akhirnya selamat, ia terlambat masuk ke
kendaraannya karena mengobrol dengan
Syaikhul Islam Cemalettin Affandi. Bom mo-
bil meledak, jarak waktu dengan mobilnya
hanya berkisar 1 menit 42 detik.
Selain tudingan dinas intelijen, Abdul
Hamid kerap digambarkan sebagai diktator
yang sangat otoriter. Padahal, apa yang dil-
akukan Abdul Hamid tak lain cuma mengem-
balikan haknya yang terampas sebagai pem-
impin negara. Selama ini, sultan tak punya
kebebasan menentukan kebijakan. Bagi
kaum sekuler, posisi sultan cukup sebagai
simbol agama, sebatas mengikuti rutinitas
kenegaraan tanpa punya wewenang admin-
istratif. Di tangan Abdul Hamid, posisi sultan
kembali sebagaimana mestinya. Tak hanya
berdiam diri di Istana Yildiz, Abdul Hamid
terjun langsung menangani persoalan nega-
ra. Begitulah seharusnya, Abdul Hamid
membangkitkan lagi karisma sultan-sultan
besar Turki Utsmani.
Hanya saja, mungkin apa yang diper-
juangkan Abdul Hamid tak selaras dengan
semangat zamannya. Abad ke-19 tengah
bergelora akan ruh demokrasi dan nasional-
isme. Namun sangat tak adil mendiskredit-
kan Abdul Hamid ditengah konspirasi
menggulingkan Turki Utsmani. Padahal di
Eropa maupun belahan bumi lainnya, masih
banyak yang menerapkan sistem monarki
absolut, di mana kepala negara punya
wewenang luas mengelola negerinya.
Nashiruddin Syah berkuasa mutlak di Iran,
bahkan ia yang mengusir Jamaluddin al-
Afghani dari sana ketika Afghani menuntut
diberlakukannya sistem syura. Begitu juga di
Rusia, Kaisar Rusia memerintah dengan tan-
gan besi, represif, semena-mena dan rasis.26
Sebaliknya, dengan ijtihad politik Ab-
dul Hamid, Turki Utsmani berhasil di-
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
54
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
tangguhkan keruntuhannya lebih dari 30 ta-
hun. Jeniusnya Sultan membuat musuh-
musuh Islam kewalahan menumbangkan
khilafah. Mereka menemukan lawan
tangguh yang tak mempan dibujuk rayu. Tiap
gerak-gerik mereka tercium olehnya. Pada
masanya, provokasi Nasrani Armenia tak
pernah berhasil menggerogoti kekuatan
negara, padahal Armenia didukung penuh
Rusia, zionis, dan Eropa yang ingin menjadi-
kannya Balkan kedua. Sultan juga berhasil
memenangkan pertempuran melawan
Yunani dalam mempertahankan Pulau Kreta
pada tahun 1897.
Tentu saja, tak ada pemimpin yang
sempurna. Kesewenang-wenangan yang dil-
akukan pembantunya rasanya tak patut
ditimpakan seluruhnya padanya. Beban yang
ia pikul teramat berat, hingga akhirnya be-
liau mengajak seluruh umat ikut memanggul-
nya bersama-sama. Ikhtiar yang beliau
tempuh hingga kini masih sangat terasa, yai-
tu syiar al-Jami’ah al-Islamiyah.
Al-Jami’ah al-Islamiyah
Abdul Hamid merasa cengkraman ko-
lonial teramat kuat. Satu per satu negeri Is-
lam dijajah Eropa, dieksploitasi dan dipecah-
belah. Di tengah kemerosotan Muslimin,
menghadapi kekuatan Eropa, Rusia, dan zi-
onisme sekaligus sungguh merupakan tan-
tangan yang berat. Harus ada satu kekuatan
yang mampu menaungi kaum Muslimin,
bangkit bersatu-padu mengimbangi domi-
nasi musuh-musuh Islam. Dalam pandangan
Abdul Hamid, kekuatan itu berwujud al-
Jami’ah al-Islamiyah.
Kesatuan umat haruslah diwujudkan. Ukhu-
wah Islamiah adalah senjata ampuh
menghilangkan segala perbedaan. Tiap Mus-
lim, apapun posisi dan di manapun berada,
wajib menjaga kehormatan Islam dan
menentang keras penjajahan. Seruan kesatu-
an umat ini segera mendapat dukungan luar
biasa. Para pemuka negara, kabilah, aliran
sufi, ulama, mendukung penuh syiar Kesatu-
an Islam. Di antara mereka terdapat ulama
besar pada zamannya seperti: Jamaluddin al-
Afghani, Musthafa Kamil di Mesir, Abul Huda
ash-Shayyadi di Suriah, Abdur Rasyid Ibrahim
di Siberia, dan gerakan Sanusiyah di Libya. 27
Gelisahnya Jamaluddin al-Afghani pada
derita umat sejalan dengan ide Abdul Hamid.
Harus ada yang mampu mengangkat
keterpurukan Muslimin di tengah laju imper-
alisme. Bangkit bersama-sama melawan
penjajah. Mulailah Afghani bergerak menya-
darkan umat di seluruh penjuru. Ke mana
pun ia pergi, syiar Kesatuan Umat selalu di-
perjuangkan. Perlahan tapi pasti, dengung al
-Jami’ah al-Islamiyah kian kencang. Di mana-
mana, tak henti-henti para pemuka Muslim
membicarakannya, hal mana membuat Barat
ketar-ketir.
Diantara metode syiar tersebut adalah
pengembalian status khalifah. Selama ini,
meski Sultan disebut juga khalifah kaum
Muslimin, namun gelar itu sebatas
27. Ali Muhammad Al-Shallaby, Op.cit., hal. 453.
55
28. Muhammad Harb, Op.cit., hal. 172.
pelengkap saja. Tak ada nuansa sakral dan
agung. Penyebabnya tak lain dari perangai
penguasa Turki Utsmani sendiri. Sultan-
sultan yang berkuasa jauh dari pribadi Mus-
lim sejati. Mereka lebih suka berfoya-foya,
mabuk kemewahan, sama sekali tak peduli
betapa sengsaranya rakyat. Abdul Hamid
ingin posisi khalifah diluruskan kembali. Kha-
lifah tak ubahnya Ulil Amri sebagai pem-
impin seluruh kaum Muslimin. Tulusnya Ab-
dul Hamid pelan-pelan mendapat simpati
yang besar dari berbagai kalangan.
Selain status khalifah, Abdul Hamid
juga menempuh berbagai cara demi
menggelorakan kebersamaan Islam. Ia inten-
sifkan fungsi ulama dan dai yang terbiasa
berbicara di pelosok negeri demi menyebar-
luaskan syiar ini. Memberi pemahaman dan
penyadaran segenap Muslimin segera bang-
kit mengejar ketertinggalan. Sultan kemudi-
an mendirikan sekolah-sekolah agama dan
modern, pusat-pusat studi Islam, dan
menerbitkan buku-buku penunjang. Tak lupa
pula, pembangunan dan perbaikan masjid-
masjid di mana-mana, menghidupkan kem-
bali fungsi masjid sebagai pusat pembelaja-
ran, terutama Masjidil Haram, Nabawi, dan
al-Quds. Beliau juga mulai merangkul tokoh
Arab yang sebelumnya tak banyak diikutkan
dalam pemerintahan, bahkan ia berusaha
mewujudkan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi negara, namun gagal karena penen-
tangan pembesar Turki. Kemudian Abdul Ha-
mid membuat sekolah khusus bagi anak-
anak pemimpin masyarakat. Mengkader
mereka sebagai calon pemimpin masa de-
pan, memberi pengajaran administratif,
pengetahuan politik dunia, dan me-
nanamkan akhlak umara teladan.
Sultan juga tak menutup mata pada
tarekat sufi—mengingat jumlah besar ja-
maahnya—, para pemukanya didekati Sultan
untuk berdakwah ke seluruh lapisan. Ada-
pun dari segi sosial dan ekonomi, Abdul Ha-
mid bekerja keras membangun jalan-jalan,
jembatan, rumah sakit, serta modernisasi
sektor pelayanan publik.28 Adapun proyek
prestisiusnya adalah pembangunan Jalur
Kereta Api Hijaz yang biaya pengerjaannya
dari hasil derma kaum Muslimin.
Abdul Hamid dan Zionisme
Digdayanya Eropa menjajah dunia mau
tak mau ikut menginspirasi komunitas Ya-
hudi. Ditambah ruh nasionalisme yang
melanda abad 19 membuat hasrat Theodor
Herzl kian menggebu-gebu. Impiannya ada-
lah menyatukan warga Yahudi yang tercerai-
berai dalam wujud sebuah negara di Palesti-
na. Padahal saat itu Palestina dihuni mayori-
tas warga Arab dan beberapa minoritas Kris-
ten dan Yahudi.
Sultan Abdul Hamid adalah orang yang
paling mengerti siasat keji zionis. Berbagai
laporan intelijen maupun masyarakat mene-
gaskan bahwa zionis tak main-main dalam
makar mereka. Namun sungguh Abdul Ha-
mid adalah pemimpin kuat dan berani. Tiga
puluh tahun lebih bertahta, sekuat tenaga ia
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
56
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
berjuang mempertahankan Palestina. Meski
ia sadar, yang dihadapinya adalah zionis. Or-
ganisasi Yahudi yang menjadi momok bagi
siapa saja. Memiliki koordinasi solid, men-
guasai pers dunia, dan berlimpah harta tak
terkira. Abdul Hamid tak gentar, meskipun
karenanya ia harus membayar harga yang
sangat mahal. Kursinya digulingkan atas kon-
spirasi zionisme lewat tangan kaum sekuler.
Hal yang jauh berbeda jika kita saksikan
pemimpin Islam dan Arab sekarang. Mereka
rela menjual kehormatan umat demi me-
langgengkan kursi jabatan. Apapun akan dil-
akukan meski itu mengkhianati agama dan
Tuhannya.
Lihatlah, berkali-kali upaya membujuk
Abdul Hamid tak mempan. Abdul Hamid
selalu membangkang memberikan Palestina
meskipun godaannya tak terkira. Suatu kali
Herzl menyuap Sultan dengan iming-iming
utang Turki Utsmani akan dilunasi, benteng
pertahanan Turki akan dipercanggih, dan se-
bagai imbalannya warga Yahudi boleh
mendirikan negara di Palestina.
Namun dengan tegas Sultan menolak
dan menjawab, “Aku takkan melepaskan Pal-
estina meski sejengkal, sebab tanah itu
bukan milikku namun milik bangsaku, yang
mereka telah berjuang dan bersimbah darah
demi meraihnya. Simpanlah uang kalian. Bila
negeriku hancur suatu hari, maka kalian bisa
mengambilnya tanpa bayaran. Namun sebe-
lum itu terjadi, kalian harus merobek dulu
jasadku, dan aku takkan sudi memberikan
tubuhku selagi aku masih hidup.”29
Ketegasan Sultan termaktub dalam
keputusannya pada tahun 1888 yang
melarang migrasi warga Yahudi Eropa ke
wilayah Turki Utsmani, khususnya Palestina.
Bahkan di tahun 1900 Sultan kembali mem-
perketat izin ziarah warga Yahudi ke tanah
suci hanya tiga bulan.
Tahun 1897, Theodor Herzl terpilih se-
bagai Presiden Zionis dalam Kongres Per-
tama Zionis di Basel, Swiss. Selanjutnya ia
gunakan segala cara agar Sultan bertekuk
lutut padanya. Penolakan Sultan membu-
atnya berpaling pada Kaisar Jerman Wilhelm
II— satu-satunya sekutu Sultan di Eropa—
untuk ikut membujuk Sultan, namun upaya
itu gagal juga. Ketika merasa tak berdaya
dengan keteguhan Abdul Hamid, Herzl lantas
berkata, “Aku sudah putus asa mewujudkan
cita-cita negara Yahudi di Palestina, kita tak-
kan bisa memasuki tanah yang dijanjikan
sepanjang Sultan Abdul Hamid masih
berkuasa.”
Herzl bahkan terang-terangan
menggunakan taktik adu-domba untuk
menghancurkan khilafah, “Berdasarkan
perbincanganku dengan Abdul Hamid, tak
mungkin meruntuhkan Turki kecuali peta
politiknya berubah haluan atau Turki
terseret perang besar yang membuatnya ka-
lah telak, atau dengan cara merusak hub-
29. Ahmad Nury an-Na’imy, Al-Yahûd wa al-Daulah al-‘Utsmâniyyah, (Muassasah al-Risalah Dâr al-Basyir, cet. I, 1997), hal. 120.
30. Ibid., hal. 147 & 158.
57
ungan internasionalnya, atau dengan cara
kedua-duanya sekaligus.”30
Zionis tak lagi menggunakan cara-cara
persuasif pada Istanbul, sebaliknya mereka
langsung bergerak secara rahasia di Palesti-
na. Herzl merunut agenda tersembunyi Zi-
onis dengan gamblang, “Kita harus miliki
tanah Palestina perlahan-lahan tanpa perlu
menggunakan kekerasan. Akan kita perdaya
para petani dan orang-orang miskin dari
penduduk lokal untuk memperoleh peker-
jaan memadai di luar Palestina, setelah itu
lewat agen rahasia kita, tanah-tanah Palesti-
na akan kita beli meski dengan harga selan-
git, lalu Perusahaan Dagang Yahudi akan
menguasai tanah-tanah itu untuk kaum kita
saja.”31
Di samping strategi Palestina, zionis
juga mengguncang Istanbul lewat konspirasi
tingkat tinggi. Mereka aktif menggulirkan
wacana keruntuhan khilafah. Atas nama
demokrasi dan kebebasan berekspresi, Sul-
tan Abdul Hamid harus dilengserkan. Turki
Muda disusupi kalangan zionis dan freema-
sonry yang mengaburkan identitas diri
dengan memeluk Islam. Di kemudian hari,
ketika Sultan berhasil dimakzulkan, bebera-
pa petinggi militer terang-terangan
mengakui kembali keyahudian mereka.32
Pemakzulan Abdul Hamid
Pada tahun 1900-an ide-ide liberalisme
kian menjangkiti pemuda Turki, khususnya
mahasiswa akademi militer dan sekolah-
sekolah modern. Berbagai slogan dan propa-
ganda dilancarkan, entah itu pengaktifan
kembali konstitusi, pencopotan Abdul Ha-
mid, maupun pembubaran khilafah. Gerakan
Turki Muda akhirnya berkembang pesat, tak
hanya dalam satu bentuk, namun bermacam
-macam, sesuai kecendrungan dan
kepentingannya. Yang pasti, gerakan ini
bukan dimotori pemuka Muslim pada za-
mannya, sebab Turki Muda tak mengenal
landasan agama tertentu. Hal yang jamak
diketahui bahwa para pemimpinnya banyak
yang tak memeluk agama.
Sebagian Turki Muda ada yang berafili-
asi pada Pan-Turanisme,33 yang beranggapan
ras Turki adalah ras terbaik dunia. Bangsa
Mongol, Turkistan, Cina, Persia, kawasan
Balkan, Kaukasus, dan Asia Kecil, hakekatnya
berasal dari satu rumpun yakni ras Turki.
Cita-citanya menggabungkan seluruhnya da-
lam satu imperium besar yang memerintah
dunia. Selain itu, beberapa Turki Muda ter-
masuk di antaranya penganut freemasonry,
31. Ibid., hal. 148. 32. Muhammad Jalal Kasyak, Al-Qaumiyyah wa al-Ghazw al-Fikrî, (Beirut: Dâr al-Irsyad li al-Thiba’ah wa al-Nasyr
wa al-Tauzi’, cet. II, 1970), hal. 225. 33. Dinisbatkan pada Gunung Turan di Iran sekarang.
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
58
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
aktifis zionis, dan nasionalis Armenia. Dit-
ambah juga campur tangan Eropa, banyak
dedengkot Turki Muda yang mendapat per-
lindungannya, seperti Ahmad Ridha Beik
yang kabur ke Prancis sejak 1899, juga Ibra-
him Temo yang sebagian besar waktunya
dihabiskan di Eropa demi menyebarkan
pemikiran sekulerisme dan perekrutan kader
Turki Muda.34
Apapun itu, tahun 1906, masing-
masing kelompok ini meleburkan diri dan
berganti nama menjadi Organisasi Persatuan
dan Kemajuan (Jam’iyyah al-Ittihâd wa at-
Taraqqy). Kemudian tahun 1907, Turki Muda
mengadakan kongres di Paris, yang dihadiri
tokoh-tokoh pentingnya. Agendanya adalah
menentukan langkah revolusi demi
mengakhiri jabatan Abdul Hamid serta
pengaktifan parlemen dan konstitusi. Adalah
Salonika35 di Yunani Utara, kawasan paling
subur bagi Turki Muda untuk bergerak. Dari
sana wilayah Balkan dibuat bergolak
sedemikian rupa. Muncul-lah demonstransi
besar-besaran menuntut pengaktifan kem-
bali konstitusi.
Pada 24 Juli 1908—di tengah ancaman
demonstran yang akan bergerak menuju Is-
tanbul jika tuntutan tak dikabulkan—Sultan
akhirnya memberlakukan kembali konstitusi,
yang disebut juga dalam sejarah Turki se-
bagai konstitusi kedua. Tak puas di situ, para
pemberontak lantas menggagas kerusuhan
31 Maret 1909, di mana terjadi bentrokan
antarpendukung Sultan dan kaum sekuler
yang juga menyeret aparat militer. Peristiwa
tersebut dijadikan dalih kuat untuk mengku-
deta Sultan melalui sidang parlemen. Tepat
pada 27 April 1909 Abdul Hamid digulingkan
dan digantikan saudaranya Muhammad V.
Sebuah penyesalan dilontarkan oleh
Anwar Pasha, seorang pembesar Turki Mu-
da, kepada rekannya Jamal Pasha, “Kau tahu
Jamal, apa dosa kita? Karena tak mengenal
Sultan Abdul Hamid dengan benar, akhirnya
kita dijadikan alat oleh zionis, dan
tercapailah kemauan orang-orang freema-
sonry. Kita mengeluarkan jerih payah kita
nyatanya demi zionis, inilah dosa kita
sesungguhnya.”36
Argumen bahwa zionis yang men-
dalangi penggulingan Abdul Hamid diperte-
gas oleh penuturan Abdul Hamid sendiri da-
lam surat yang ia tujukan pada gurunya
Syeikh Mahmud Abu Syamat.37
“Mereka telah menekanku agar
mengizinkan didirikannya negara Yahudi di
tanah suci. Meskipun kuatnya desakan
mereka, tetap saja kutolak permintaan itu.
34. Ali Muhammad Al-Shallaby, Op.cit., hal. 489. 35. Sekarang Thessaloniki. 36. Ahmad Nury an-Na‘imy, Op.cit., hal. 228. 37. Syeikh Abu Syamat adalah Syeikh ternama Tarekat Syadziliyyah di Damaskus. Suatu ketika ia mengunjungi
muridnya Ragib Ridha Beik, menjabat Kepala Istana Sultan, di Istanbul. Abdul Hamid akhirnya berjumpa dengan Syeikh yang membuat Abdul Hamid begitu mengaguminya. Selanjutnya Sultan diangkat murid oleh Syeikh Abu Syamat.
59
38. Ditulis tahun 1911 dari tempat pengasingan Abdul Hamid di Salonika. Surat dengan tulisan tangan ini disem-bunyikan sekian lama kemudian diterjemahkan dari bahasa Turki ke bahasa Arab oleh Syeikh Ahmad al-Qasimy, mantan Direktur Wakaf Republik Suriah. Lalu dipublikasikan oleh Said al-Afghany di majalah Araby vol. 169 Syawwal 1392/Desember 1972, hal. 155-156. Dengannya, makin teranglah alasan dicopotnya Abdul Hamid. [Al-Sayyid Muhammad ad-Daqn, Op.cit., hal. 118].
Lalu mereka membujuk dengan 150 juta lira
emas, namun kutolak juga, dan lantas kuberi
jawaban tegas, ‘Meskipun kalian bayar
dengan emas seluruh dunia, tetap saja tak
bisa kutanggung beban ini, sepanjang 30 ta-
hun aku berkhidmat pada Islam dan umat
Muhammad namun tak pernah aku men-
coreng lembaran Muslimin.’ Setelah jawa-
banku ini, mereka sepakat melengserkanku
dan mereka sampaikan padaku bahwa aku
akan diasingkan ke Salonika, maka biarlah
kuterima beban terakhir ini. Puji syukur pada
Allah aku tak membawa alam Islami dengan
aib yang kekal ini, jika saja sampai berdiri
negara Yahudi di tanah suci Palestina.”38
Sejak kudeta pada dirinya, Abdul Ha-
mid diasingkan ke Salonika, Yunani Utara.
Pada tahun 1912, karena Perang Dunia I, Ab-
dul Hamid dikembalikan ke Istanbul dan
menetap di Istana Beylerbeyi hingga
wafatnya tahun 1918. Sepeninggal beliau
Turki Utsmani dikuasai kaum sekuler, se-
mentara khalifah hanyalah simbol negara
semata. Tahun 1924, khilafah benar-benar
dibubarkan oleh Musthafa Kemal Ataturk,
suatu hal yang paling dicegah Abdul Hamid
sepanjang ia menjabat.
C. PENUTUP
Merindukan Pemimpin Berani
Lebih satu abad sudah sejak terakhir
kali Abdul Hamid memimpin kaum Muslimin.
Dunia sekarang semakin kompleks dan ben-
turan peradaban kian tak terelakkan.
Sedihnya, kondisi kaum Muslimin tengah
dilanda keterbelakangan yang akut. Bebera-
pa yang ekstrim malah melabeli predikat
Muslimin tak ubahnya beban bagi perada-
ban dunia. Dianggap tak mampu bersaing
dalam mewujudkan kemajuan.
Setelah era kolonialisme berlalu, umat
Islam dilanda badai yang lebih dahsyat.
Dunia seakan digiring menyudutkan Islam
lewat isu terorisme. Sungguh, musuh mileni-
um ketiga ini terasa amat menyakitan! Hari
ini, kebiadaban terus terjadi di Palestina, Af-
ghanistan. Irak, Kashmir, Checnya, dan
berbagai wilayah lainnya.
Adakah di antara kaum muslimin yang
bangkit menyelamatkan agama yang lembut
ini? Siapakah sosok pembaharu yang akan
mengangkat umat dari keterpurukan?
Sungguh, betapa umat merindukannya. Me-
nanti-nanti sang pembaharu yang ‘kan mem-
impin kebangkitan, mereguk kembali ke-
jayaan zaman keemasan masa silam.
Marilah kita renungi nasehat Sultan
Abdul Hamid, “Kita kuatkan ikatan seluruh
Muslimin di mana saja, masing-masing kita
saling mendekatkan, makin dekat, dan
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
60
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
makin dekat. Sebab tak ada harapan di masa
depan kecuali dengan persatuan ini. Me-
mang waktunya belum tiba, tapi dia ‘kan da-
tang, akan datang hari di mana tiap Muslim
bangkit dengan kebangkitan yang satu, dan
dipimpin seorang lelaki yang menghancur-
kan tipu daya kaum Kafir.”39
Yang pasti, apapun itu, harga mati ke-
bangkitan tak bisa tidak, selalu lahir dari
rahim intelektual dan ilmu pengetahun. Jika
itu tercapai, maka kebangkitan ekonomi, mi-
liter, dan lainnya cuma soal waktu. Semoga,
dengan tulusnya ijtihad dan doa, pemimpin
adil itu segera datang. Hingga kebangkitan
itu tak lagi utopia, namun wujudnya adalah
keniscayaan!
D. Daftar Pustaka
Ahmad, Ismail. 1996. Al-Daulah al-
`Utsmâniyyah fî al-Târîkh al-Islâmî al-
hhhhhhkknssdjasjsHadîts, Maktabah al
-`Abikan, cet. I.
al-Daqn, Al-Sayyid Muhammad. 2005.
Dirâsât fî Târîkh al-Daulah al-
‘Utsmâniyyah, Kairo: Azhar University.
al-Hashri, Sathi’. 1960. Al-Bilâd al-
‘Arabiyyah wa al-Daulah al-
‘Utsmâniyyah, Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-
Malayin, cet. II.
Al-Shallaby, Ali Muhammad. 2006. Al-Daulah
al-`Utsmâniyyah; ‘Awâmil al-Nuhûdh
wa al-Suqûth, Beirut: Dâr al-Ma’rifah,
cet. III.
Antonius, George Habib. 1966. The Arab
Awakening, terj. Dr. Nashiruddin al-
Asad & Dr. Ihsan ‘Abbas, Yaqzhah al-
‘Arab, Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malayin,
cet. II.
Beik, Muhammad Farîd. 2006. Târîkh al-
Daulah al-`Aliyyah al-`Utsmâniyyah,
tahqiq: Dr. Ihsan Haqqi, Beirut: Dâr al-
Nafais, cet. X.
Harb, Muhammad. 1410 H/1990 M. Al-
Sulthân Abdul Hamîd al-Tsânî,
Damaskus: Dâr al-Qalam, cet. I.
Hourani, Albert. 1968. Arabic Thought in the
Liberal Age, terj. Karim ‘Azqul, Beirut:
Dâr al-Nahar.
Kasyak, Muhammad Jalal. 1970. Al-
Qaumiyyah wa al-Ghazw al-Fikrî, Bei-
rut: Dâr al-Irsyad li al-Thiba’ah wa al-
Nasyr wa al-Tauzi’, cet. II.
Mansy, Mahmud Shalih. 1978. Harakah al-
Yaqzhah al-‘Arabiyyah fî al-Syarq al-
Âsiyawî, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, cet.
III.
McCullogh, Francis. Sultan Beaten, The New
York Times, 25 April, 1909.
Musthafa, Ahmad Abdurrahim. 1986. Fî Ush-
ûl al-Târîkh al-‘Utsmânî, Dâr al-Syuruq,
cet. II,
39. Muhammad Harb, Mudzâkkirât al-Sulthân Abdul Hamîd ats-Tsânî, hal. 24.
61
Nugent, Frank S. Sidelights on Turkish Histo-
ry in 'Abdul the Damned' at the Rialto,
The New York Times, 11 Mei, 1936.
Ramsaur, Ernest E. 1960. The Young Turks:
Prelude to the Revolution of 1908, terj.
Dr Ahmad Shalih, Beirut: Dâr Makata-
bat al-Hayat.
Zain, Zain Nuruddin. 1972. Nusyû` al-
Qaumiyyah al-‘Arabiyyah ma’a Dirâsah
Târîkhiyyah fî al-‘Alâqât al-‘Arabiyyah
at-Turkiyyah, Beirut: Dâr al-Nahar, cet.
II.
Abdul Hamid II (1842 – 1918): Peranannya Dalam Menghadapi Gerakan Zionisme
Indra Gunawan
الت نظرن ألث واب على أحد # إن رمت ت عرفه فانظر إىل األدب
إن ل يكن يف فعله و اخلالئق وما احلسن يف وجه الفت شرفا له #
“Jangan melihat pakaian seseorang, kalau kau ingin
melihat, maka lihatlah perilakunya, dan tidaklah
keindahan rupa seorang pemuda membuatnya mulia,
jika tidak ada keindahan dalam perilaku dan
perbuatannya”
62
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Di-
alektis
Oleh: Abdul Ghani1
Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Al-Azhar, Kairo
Email: [email protected]
ABSTRACT
Greece philosophy infiltrated historically to Islamic world since the first century of Hijri-
yah, although has reached its culmination at Abbashid periode by massif translation of Greece
manuscript to Arabic. The first subject to infiltrate is Aristotelian logics that considered as the
‗basic‘ of every philosophies—especially enclining to Peripathetics. To response this accultura-
tion, Islamic scholars have debated and divided into two groups at least. The first, is what Al-
Ghazali, the great Islamic scholar at fifth century of Hijriyah, representates as Mutakallim and
Ushuly who has expedited many critics to this philosophy, moreover to patch a deviate label to
Peripathethics Philosophers. And the second, is Ibn Rusyd/Averroes who representates as
‗advocate‘ of Aristotelian philosophy;
Keyword: paripathetics, logics, argumentations, debated, existence
ABSTRAK
Filsaofat Yunani masuk ke Dunia Islam pada abad pertama hijriyah. Filosofi tersebut
mencapai masa puncak kegemilangannya pada masa Daulah Abbasiyah setelah digalakannya
penerjemahan secara besar-besaran, terutama pada masa Khalifah Abbasiyah al-Ma‘mun.
Filosofi Yunani yang pertama masuk ke Dunia Islam adalah Logika Aristoteles yang dianggap
sebagai pondasi dari setiap filosofi terutama menurut Para Filosof pengikut Aristoteles. Untuk
menjawab pendapat tersebut, para ilmuwan islam telah berdebat dan akhir terbagi menjadi dua
kelompok. Yang pertama adalah golongan Imam Ghazali, seorang llmuwan Besar Islam pada
tahun kelima Hijriyah, yang biasa disebut sebagai Mutakallimin atau Ushuly. Mereka menyam-
paikan kritik-kritik terhadap filsafat tersebut. Bahkan mereka memberi label bahwa para penga-
nut Filsafat Aristoteles tersebut telah golongan yang menyimpang dari kebenaran. Dan yang
kedua adalah Ibn Rusyd yang dianggap sebagai ―pengacara‖ dari Para Filosof pengikut Aristo-
teles.
Kata kunci: bergerak, logika, argumentasi, debat, keberadaan
1. Mahasiswa tingkat III, Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat, Universitas Al-Azhar. Saat ini tercatat sebagai aktivis kajian Said Aqil Siradj (SAS) Center.
63
PENGANTAR
Filsafat, dalam pergolakannya ia sering
kali ditandai dengan permainan-permainan
logika yang tak kenal letih dan tak kenal le-
lah. Tatkala sebuah tesis muncul, maka
seketika itu pula dengan sendirinya anti-tesis
ikut muncul untuk kemudian menandingi
tesis sebelumnya. Sedari hal itu terjadi,
secara tiba-tiba dalam ruang dan waktu, sadar
ataupun tak sadar, sintesa-sintesa kecil mulai
dimunculkan ke permukaan atas hasil dialek-
tika antara tesis dan anti-tesis tersebut. Na-
mun dikemudian hari sintesa-sintesa tersebut
mulai digugat oleh filosof di generasi beri-
kutnya, lantaran sintesa yang dihadirkan pada
waktu itu diaggap tidak relevan dengan sinte-
sa yang dimaksud oleh para pemukanya.
Sebuah nama yang layak untuk dihadir-
kan disini, yaitu Abu Nasir Muhammad bin
al-Farakh al-Farabi (870-950 M). Konon,
filosof kelahiran Uzbekistan ini mempunyai
sebuah tesis yang berperan sebagai jembatan
penyelamat dari jurang pemisah antara akal
dan wahyu. Tesis ini yang kemudian disebut
sebagai piranti untuk mengharmonisasikan
antara keduanya. Dalam perspektif Al-
Farabi, antara akal dan wahyu tidak ada
perbedaan jika ditinjau dari sumbernya.
Perbedaannya hanya terletak pada masing-
masing orientasi, jika agama orientasinya
memberi kepuasan, sedangkan filsafat mem-
berI keyakinan.2
Selanjutnya, dalam latar waktu yang
selalu berevolusi, dengan seketika itu pula
manusia mulai menggunakan nalar-nalar
logikanya; Abu‗Ali al-Husayn bin ‗Abdullah
bin Sina (980-1037 M), yang kita kenal
dengan dengan sapaan Ibnu Sina, mulai hadir
dan menjelma dengan ―hantu‖ pemikirannya.
Ia ikut meng-amini sintesa yang lahir dari
rahim pemikiran Al-Farabi. Ibnu Sina beru-
jar; bahwa syariat Tuhan yang mengandung
kuasa otoritatif atas manusia, mengambil hak
atas filsafat untuk menegaskan identitas
syariatnya lewat dalil-dalil rasional, begitu
juga sebaliknya: filsafat mengambil hak dari
agama, sebagai upaya memposisikan dirinya
untuk ikut andil membangun dan menguat-
kan agama Tuhan.3
Namun, sintesa-sintesa yang dimuncul-
kan atas hasil analisa kedua filosof ini,
dikemudian hari mendapat gugatan yang san-
gat kuat, bahkan tidak hanya itu, analisa dari
keduanya dianggap tidak relevan dengan apa
yang dipahami lewat pintu agama yang bersi-
fat dogmatik, kedua filosof ini terlalu mem-
posisikan akal dalam porsi yang lebih, kalau
dalam pemaknaan yang radikal, mereka terla-
lu menuhankan akal.
Disini Imam Ghazali adalah ilmuan
pertama yang menyerang filsafat lewat
bukunya “Tahâfut al-Falâsifah”, bahkan
sampai pada taraf pengkafiran. Dengan se-
mangat dan rasa keingintahuannya, ia be-
rusaha mencari jalan untuk mengembalikan
lagi akal pada posisinya. Memang, dalil-dalil
yang digunakan untuk menguatkan argumen-
tasi, tidak ada yang murni berdasar atas teks,
sekalipun ia adalah ahli kitab, semua argu-
mentasi baik yang di pakai ilmuwan mutaka-
lim atau para filosof adalah dalil rasional dan
serupa rasional yang hampir mempunyai
nilai kesamaan dengan teks (musabbah bil al
-naqli). Hal ini bisa kita identifikasi pada
pribadi Al-Ghazali, ketika ia mempelajari
2. Muhyiddin As-Shofy, Qadhiah at-Taufik baina al-din wa al-Falsafah, (Cairo: Maktabah Universitas al-Azhar, cet. II, 2010), hal 5.
3. Abu ‗Ali al-Husayn bin ‗Abdullah bin Sina, Risalah at-Thobii‟iyat li Ibnu Sina. Hal 322.
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
64
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
filsafat, ternyata ilmu kalam sudah lebih dulu
dipelajari, jadi secara otomatis ia mengkritik
habis filsafat lewat dalil rasional dan dalil
rasional yang serupa dengan teks, nash al-
Qur‘an.
Pasca diterbitkan buku Tahâfut al-
Falâsifah, memang semua orang ikut dan taat
terhadap sebuah teks yang ditulis al-Ghazali,
sehingga aktivitas filsafat di dunia timur
nyaris lumpuh, bahkan semerbaknya tidak
pernah tercium lagi.4 Dari sini timbul sebuah
pertanyaan, apakah filsafat itu benar-benar
sudah mati ketika dipukul oleh al-Ghazali,
sehingga tak ada lagi orang yang berminat
untuk menggali?
Lambat laun ternyata ia mulai me-
rangkak ke maghrib, tepatnya di Andalus fil-
safat mulai menggeliat dan menjelma kemba-
li di bawah tangan Ibnu Rusyd. Pisau ana-
lisanya yang masuk lewat pintu epistemologi,
mampu melacak sejauh mana titik kekeliruan
dalam memahami filsafat. Lewat bukunya
“Tahâfutut al-Tahâfut”, ia berusaha mencari
titik terang yang terbentang antara akal dan
wahyu, yang mana sejatinya hal ini telah ban-
yak dibincang dikalangan filosof sebelum Al-
Farabi dan setelahnya. Ibnu Rusyd melacak
permasalahan yang sengit lewat dua pintu
sekaligus, lewat bukunya Fashl al-Maqâl, ia
mengidentifikasi masalah berangkat dari akal
menuju ke wahyu, lalu lewat bukunya al-
Kasyf „an Manâhijal-Adillah fi „Aqâidal-
Millah, ia mengidentifikasi masalah
berangkat dari wahyu menuju ke rasional,
namun buku yang kedua ini lebih banyak me-
maparkan sisi epistemologinya.
Memang, Jenjang psikologis-epistemik
untuk mengkaji permasalahan yang dilalui
oleh al-Ghazali dan Ibnu Rusyd menjadi se-
buah kewajaran apabila dilihat dari ling-
kungan disiplin keilmuan masing-masing.
Ada ada sebuah pemahaman yang menga-
takan bahwa al-Ghazali memahami filsafat
lewat ilmu kalam, kemudian Ibnu Rusyd me-
mahami filsafat lewat penggabungan dalil
antara ilmu kalam dan filsafat.Lantas,
bagaimanakah orientasi dari setiap disiplin
keilmuan itu?
PEMBAHASAN
Identifikasi Masalah Lewat Paparan
Dialektika Bahasa
Membincang persoalan orientasi dari
dialektik ilmu kalam dan filsafat adalah
merupakan problem linguistik, semiotik dan
hermeuneutik. Dalam tradisi keilmuan islam
klasik, pengetahuan mendalam tentang orien-
tasi kebahasaan adalah syarat yang mutlak
bagi seorang pengkaji. Dalam kenyataannya,
teks yang merupakan fakta-fakta linguistik
itu diberlakukan sebagai yang tak terbedakan,
bahkan emanasi dari shuhufin muthaharah,
sehingga pembacaan atau pemaknaan hanya
dimungkinkan bagi mereka yang dianggap
alim, al-râsyihûna fi al-‟ilm.
Begitu juga dengan ilmu kalam, ia ada-
lah teks bahasa arab yang telah dibakukan
kedalam bahasa Indonesia, kalau dalam
istilah Arkoun adalah telah diangkat dalam
status Corpus resmi tertutup, tidak ada yang
bisa mengintervensi lewat jalan apapun.
Ilmu kalam, atau biasa kita sebut ilmu
Ushûl al-Dîn adalah ilmu yang sangat diang-
gap penting dalam tradisi Agama Islam.Imam
Taftazani mengartikan, bahwa ilmu kalam
adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah
agama lewat piranti dalil keyakinan.5
4. Thablawy Mahmud Said, Mauqif Ibn Taimiyyah min Falsafah Ibn Rusyd, (Matba‘ah al-Amanah, 1989) hal 18.
65
Kemudian Syeikh Abdul Qadir al-Sunandaji
menambahkan, bahwa ilmu kalam adalah
sesuatu yang menghubungkan kepada agama
yang dibawa oleh seorang imam—Nabi Mu-
hammad—baik itu dengan pelantara pema-
haman yang bersifat partikular atau pema-
haman yang sifatnya umum.Sama saja pema-
haman itu dari agama yang berupa kenyataan
seperti perkataan ahlul haq, atau sebaliknya;
perkataan yang sifatnya jauh dari kenyataan,
seperti itulah Abdul Qadir berujar. Dari sini,
bisa kita tarik beberapa pemahaman;
Pertama; ilmu kalam adalah ilmu yang
membahas tentang penjelasan dan penetapan
asal agama, sementara kalau dibidik dari segi
cabang, ia menetapkan kaidah-kaidah untuk
menetapkan asal agama lewat dalil-dalil
cabang. Kedua; dari yang pertama kita ambil
abtraksinya: apabila benar-benar demikian
adanya, maka ilmu kalam adalah ilmu yang
mempunyai kedudukan tertinggi atas setiap
disiplin ilmu, maka secara langsung ataupun
tak langsung, ilmu kalam harus berdialektik
(hubungan saling mempengaruhi) terhadap
semua disiplin keilmuan yang ada, karena
memang agama sifatnya mengintervensi pada
setiap disiplin keilmuan yang ada.
Lain halnya dengan filsafat, dalam
tradisi intelektual Islam bisa kita temukan
tiga istilah umum yang diperuntukan filsafat.
Pertama; istilah hikmah, yang tampaknya
sengaja dipakai agar terkesan bahwa filsafat
itu bukan barang asing, akan tetapi berasal
dari dan bermuara pada al-Qur‘an, misalnya,
menulis bahwa hikmah berasal dari Allah,
dan diantara manusia yang pertama dianugra-
hi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-
Hakim.
Demikian pula al-Kindi, yang men-
erangkan bahwa ‗falsafah‘ itu artinya hubb al
-hikmah (cinta pada kearifan).6 Sementara
Ibnu Sina menyatakan bahwa: hikmah adalah
kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil
menangkap makna segala sesuatu dan mam-
pu menyatakan kebenaran dengan pikiran
dan perbuatannya sebatas kemampuannya
sebagai manusia. Siapa berhasil menggapai
‗hikmah‘ sedemikian, maka ia telah
mendapat anugerah kebaikan berlimpah.
Demikian ujar Ibnu Sina.
Sudah barang tentu tidak semua orang
setuju dengan istilah ini. Imam al-Ghazali
termasuk yang menentangnya.Ia tidak setuju
terhadap tesis yang ditawarkan oleh Ibnu Si-
na. Menurutnya, lafaz ‗hikmah‘ telah disalah
gunakan demi kepentingan para filosof, kare-
na ‗hikmah‘ yang dimaksud dalam kitab suci
al-Qur‘an itu bukan filsafat, melainkan
Syari‗at Islam yang diturunkan Allah kepada
para nabi dan rasul.
Selanjutnya adalah istilah falsafah,
yang diserap ke dalam kosakata Arab melalui
terjemahan karya-karya Yunani kuno. Defin-
isinya diberikan oleh al-Kindi: filsafat adalah
ilmu yang mempelajari hakikat segala perka-
ra sebatas kemampuan manusia.7 Filsafat te-
oritis mencari kebenaran, manakala filsafat
praktis mengarahkan pelakunya agar ikut
kebenaran, maka filsafat merupakan usaha
manusia mengenal dirinya dan
Tuhannya.Demikian tulis al-Kindi.
Kamudian ada istilah lain, yaitu „ulûm
al-awâ‟il yang artinya ‗ilmu-ilmu orang za-
man dulu‘. Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari
peradaban kuno pra-Islam seperti India, Per-
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
5. Said Abdul Latif Fudah, Mauqif Ibnu Rusyd Al-Falsafi min Ilmi al-Kalam. (Yordan: Dar El-Fathliddiraasaat wa al-Nasr, cet. I, 2009), Halaman 65.
6. Ibid. Hal 70.
66
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
7. Ibid. Hal 71.
sia, Yunani dan Romawi. Termasuk dian-
taranya ilmu logika, matematika, astronomi,
fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.
Dari paparan istilah di atas, sedikit ban-
yaknya dapat memberi gambaran bagaimana
orientasi dari kedua kata tersebut. Ketika
meninjau satu permasalah dari jalan yang
berbeda, maka secara otomatis akan
menghasilkan sintesa yang berbeda pula. Na-
mun jikalau ada pertentangan antara keduan-
ya, disana terjadi beberapa kemungkinan, di-
antaranya; ketika hasil dari pemikiran ilmu
kalam yang mana adalah sebuah manifestasi
dari al-Qur‘an, dan hasilnya menjurus ke A,
kemudian filsafat ke B, bisa jadi keduanya
mempunyai nilai kebenaran, karena memang
disini tidak ada keharusan sejalan.
Seperti filsafat dalam pengertian kedua,
inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim,
yaitu filsafat yang menggiring pelakunya
kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama,
mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan se-
bagainya. Sehingga pada abad kelima Hijri-
yah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan
keras terhadap filsafat dalam karyan-
ya Tahafut al-Falasifah, dimana beliau
menganggap kufur tiga doktrin filsafat: per-
tama, keyakinan filosof bahwa alam ini
kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tu-
han tidak mengetahui perkara-perkara detil;
dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap
kebangkitan jasad di hari qiyamat. Jika di-
lacak ke akar permasalahan, lantas apa yang
mendasari pemikiran al-Ghazali sehingga
sampai kepada taraf pengkafiran terhadap
para filosof?
Identifikasi Masalah Pengkafiran Al-
Ghazali Terhadap Para Filosof
Pembahasan konflik yang terjadi antara
al-Ghazali dan para filosof terbilang masalah
yang sudah tidak asing lagi dalam pendengar-
an setiap orang pengkaji filsafat, dan bisa
dikatakan sebagai permasalahan yang sudah
tidak up to date lagi.Namun ketika berangkat
dari rasa keingintahuan para pengkaji filsafat
masa kini, masalah ini seolah masih hangat
untuk senantiasa diperbincangkan, bahkan
masih memiliki nilai-nilai yang sangat auten-
tik ketika melacak langsung hingga sampai
kepada para pemukanya.
Dianggap sangat penting bagi penulis,
untuk menghadirkan pemahaman-
pemahaman yang mendapat gugatan kuat dari
filosof setelah masa itu. Namun hal ini tidak
sederhana lagi ketika melibatkan banyak
sudut pandang, apakah itu sudut pandang
agama atau murni kesemuanya lahir dari ra-
sionalitas. Disini persoalannya bukan hanya
problem yang terjadi antara umat Islam saja,
tapi cakupannya lebih luas, melibatkan in-
teraksi antara orang-orang muslim dan non-
muslim.
Persoalan disni adalah berupa percikan
api kecil yang membakar semangat umat is-
lam untuk mencari titik temu antara filsafat
dan ilmu kalam. Sejatinya, persoalan ini lahir
dari tesis para pemuka filosof yang diadopsi
oleh filosof Islam, yang mana tesis-tesis yang
diadopsi itu lahir dari rahim pemikiran filosof
lain yang notabenenya adalah non-muslim.
Disni, ketika berusaha melemparkan tesis
tersebut ke ranah yang paling eksplisit—
teologi—, maka ia harus mengambil konsek-
uensi imajinatif yang bersifat komunal, sep-
erti yang telah dipaparkan di atas, bahwa
ranah teologi yang dibangun atas ilmu kalam,
mesti berdialektika terhadap filsafat.
67
Namun, ada sesuatu yang luar biasa
dan tampaknya sangat menarik ketika penulis
melihat dan memperhatikan sosok al-Farabi.
Dalam analisanya, ia mengupayakan untuk
mencari titik temu antara akal dan wahyu. Ia
berangkat dari rasa takjubnya terhadap para
filosof Yunani—Plato dan Aristoteles—, se-
hingga membuatnya semakin terpesona un-
tuk terus mendalami filsafat. Kekagumannya
ini terabadikan dalam risalahnya al-Jam‟u
Baina Ra‟yai al-Hakîmaini;
مب انمبذعبن انفهسفة انمىشئبن ألانب أصنب انمتممبن
ألاخرب فرعب, عهيمب انمعل في قهيلهللب كلاليلرلب
انيمب انمرجع في يسيرب خطيرب, مب يصلذ علىللملب
في كم فه إومب األصم انمعتمذ عهي نخهي مه انشائلب
انكذ
―Mereka berdua-Plato dan Aristo- adalah
orang-orang yang menciptakan ilmu filsafat,
mereka menumbuhkannya dari akar-akarnya,
dan menyempurnakannya hingga ke ujung-
ujungnya, dan dari merekalah perkara-
perkara filsafat itu berasal, baik itu sedikit-
nya, banyaknya, sulitnya, ataupun mu-
dahnya‖.
Seperti itu kesimpulan al-Farabi ketika
berpendapat tentang kedua filosof beken ini,
sehingga ia berkeyakinan, persoalan apa saja
dalam filsafat yang datangnya dari kedua
filosof ini, maka itulah hakikat filsafat yang
sebenarnya. Dari sini analisa al-Farabi mulai
bermain, bagaimana caranya menarik sintesa
yang lahir dari kedua filosof ini ke ranah aga-
ma, kemudian mengharmonisasikan antara
keduaya. Bagaimana pula menyatukan nilai
kebenaran yang tampak dari dua sisi?
Hakikat murni, bahwa filsafat dan agama
mempunyai nilai kebenaran yang sama, se-
mentara kebenaran dan kebenaran itu tidak
bertentangan, akan tetapi saling menguat-
kan.8
Disini penulis berusaha melacak duduk
permasalahannya lewat konflik yang ditim-
bulkan dari pemahaman tentang alam ini
qadîm. Al-Qur‘an telah berbicara tentang
penciptaan alam, diantaranya: “Segala puji
bagi Allah Yang telah menciptakan langit
dan bumi dan mengadakan gelap dan ter-
ang…”.9 kemudian dalam surat lain; “Dia-
lah Allah yang menciptakan untuk kalian
segala yang ada di bumi, kemudian beranjak
ke langit, maka Dia menyempurnakannya
(menjadi) tujuh (lapis) langit. Dan Dia, ter-
hadap segala sesuatu, Maha Mengetahui.”10
Dan satu ayat lagi yang berbicara tentang
penciptaan langit dan bumi; “Allah Pencipta-
awal langit dan bumi, dan bila Dia berke-
hendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka
Dia hanya mengatakan kepadanya:
"Jadilah", maka jadilah ia”.11
Dari paparan ayat diatas, menunjukan
bahwa secara mutlak alam ini diciptakan,
yang terbentuk dari berbagai unsur sehingga
tergambar jelas alam seperti yang kita saksi-
kan sekarang. Bertolak dari sini, ilmuwan
teologi sepakat bahwa alam ini baru (hâdits),
yang Allah ciptakan dari ketiadaan murni.
Kiranya seperti ini petunjuk yang telah dida-
tangkan dari rahim agama islam, dan dari
setiap agama samawi pada umumnya.
Kemudian, dari sini para filosof is-
lam—seperti al-Farabi, menghadirkan sintesa
-sintesa para filosof terdahulu kedalam ranah
agama. Sebut saja Plato, ia adalah salah
seorang pegiat dan pengkaji filsafat yang no-
tabenenya seorang non-muslim. Pada abad
427 SM, ia mulai menjelma dengan tesisnya
8. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, “Fashl Al-Maql Fiima Bain al-Hikmah wa al-Syari‟ah min al-Itishol”. Tahqiq: Dr. Muhammad Imaroh, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. III), Hal 96.
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
68
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
yang berbunyi; alam ini adalah qadîm dengan
alasan bahwa alam terbuat dari materi-materi
yang mempunyai potensi qadîm. Tesis ini
hampir sama dengan bunyi tesis Aristoteles,
ia juga berpendapat demikian, namun dalam
analisanya, alam ini qadîm karena terbuat
dari materi, gambaran dan dan waktu yang
qadîm pula.12 Logika-logika semacam ini,
adalah sebuah upaya untuk memahami dan
menetapkan adanya sang pencipta, dzat
Wâjib al-Wujûd, lebih jelasnya akan dibahas
tuntas dalam studi kasus di akhir.
Dalam analisanya, Aristoteles
menggunakan dalil gerak (al-harokah). Da-
lam ilmu Fisika, segala sesuatu yang ada di
bumi adalah merupakan hasil dari adanya
energi gerak, kemudian ketika ada gerak,
maka ia senantiasa membutuhkan ruang dan
waktu. Disini seorang pengkaji dituntut untuk
terlebih dulu memahami apa itu ruang?, dan
apa itu waktu?.
Konsep ruang yang telah menjadi per-
hatian banyak filosof dan ilmuan di sepan-
jang sejarah umat manusia, digunakan secara
berbeda dalam berbagai bidang kajian, seper-
ti filsafat, matematika, astronomi, psikologi
dll. Sehingga sulit untuk memberikan suatu
definisi universal yang jelas dan tidak kontro-
versial tanpa memandang konteks yang
sesuai. Terdapat pula ketidaksepahaman
mengenai apakah ruang itu sendiri dapat
diukur atau merupakan bagian dari sis-
tem pengukuran. Ilmu sendiri menganggap
bahwa ruang adalah suatu satuan fundamen-
tal, yaitu suatu satuan yang tak dapat didefin-
isikan oleh satuan lain.
Sedangkan waktu adalah seluruh
rangkaian proses, perbuatan atau keadaansaat
berlangsung. Dalam hal ini skala waktu
merupakan interval antara dua buah keadaan
atau kejadian, atau bisa merupakan lama ber-
langsungnya suatu kejadian.
Memang, secara utuh untuk mengupas
habis permasalahan ini sedikit banyaknya
dituntut untuk membaca sains, tapi tampak-
nya hal ini terlalu melebar jika penulis papar-
kan disini. Kembali lagi ke permasalahan
pertama, yaitu pemahaman tentang gerak
(harokah). Gerak ini dalam analisa Aristo-
teles sifatnya adalah qadîm, ketika gerak itu
sendiri qadîm, maka posisi alam yang men-
jadi penggerak, adalah lebih qadîm juga dan
bersifat ajali.
Dalam memecahkan persoalan ini, ali-
ran filsafat Neoplatonis menghadirkan teori
―emanasi‖13 yang berbunyi; dari wujud Tu-
han yang maha sempurna (mabda‟al-awwal
al-kamil) kemudian memancarkan sesuatu,
kemudian mengalir menjadi materi-materi
yang ada, dengan syarat sesuatu yang
dipancarkan ini adalah merupakan akal mur-
ni. Akal ini terlepas dari mabda‟al-awwal,
dalam bahasa sederhananya ia murni kosong
dari segala aktifitas berpikir, ia sama sekali
tidak mengetahui sesuatu. Disini kita bisa
menganalogikan seperti matahari yang me-
mancarkan cahayanya, atau seperti bara api
yang memancarkan energi panas.
Dalam teori emanasi al-Farabi, kemudi-
an muncul alam semesta sebagai hasil dari
pancaran yang pertama (mabda‟al-awwal al-
9. QS. Al-An‘am, ayat 1. 10. QS. Al-Baqarah, ayat 29. 11. QS. Al-Baqarah, ayat 117. 12. Muhyiddin As-Shofy, Qadhiah at-Taufik baina al-din wa al-Falsafah, (Cairo: Maktabah Universitas al-Azhar,
cet. II, 2010), hal 27.
69
kamil). Kalau tadi dalam teori emanasi Neo-
platonis, bahwasannya akal murni (a`qlual-
awwal) hasil pancaran itu sama sekali tidak
mengetahui apa-apa, akan tetapi dalam teori
emanasinya al-Farabi, ia menjadikan akal
murni itu mengetahui dan berpikir tentang
dzat Tuhan, hasilnya dari sana kemudian
muncul akal yang kedua.
Dalam perspektif hadis qudsi, Allah
berfirman: ―Yang pertama kali aku ciptakan
adalah sang akal (pertama)‖. Pada gilirannya,
sang akal—sebagai akal—berpikir tentang
Allah, sebagai hasilnya terpancarlah Akal
kedua. Proses ini berjalan terus hingga ber-
turut-turut terciptalah akal ketiga, akal keem-
pat, akal kelima, dan seterusnya hingga akal
sepuluh. Akal Sepuluh ini adalah akal tera-
khir dan terendah dalam tingkatan wujud di
alam imaterial. Proses emanasi berhenti pada
akal kesepuluh, hal ini terkait dengan
perkembangan astronomi pada era filosof
Muslim masa itu. Dari akal kesepuluh,
kemudian terpancar akal jasmai yang meru-
pakan bagian dari manusia, kemudian lagi
bumi dengan segala unsur-unsurnya.
Demikianlah tawaran al-Farabi dalam
mengharmonisasikan antara filsafat dan ilmu
kalam. Namun filsafat dan ilmu kalam tam-
paknya tidak setuju dengan tawaran seperti
ini. Filsafat sendiri, baginya tidak dijelaskan
bagaimana perkembangan akal dari akal yang
kedua beserta penguatan bahwasannya ia
adalah akal murni.
Kemudian dari persoalan agama atau
ilmu kalam, ia tidak setuju dengan paparan
teori yang tadi, karena teori itu semata men-
jadikan Tuhan membutuhkan terhadap sesua-
tu yang lain untuk menciptakan dan menga-
dakan segala bentuk yang ada dibumi.
Berangkat dari sini dan dengan alasan seperti
tadi mengundang al-Ghazali untuk melepas-
kan pukulannya terhadap filsafat dan lebih
jauhnya menyematkan tuduhan sesat.
Sebagai asumsi penulis, bahwa persoa-
lan ini muncul karena banyaknya aktivitas
filsafat Yunani masuk ke dunia Islam, tepat-
nya dimasa Abbasiyah frekuensi penerjema-
han manunskrip Yunani kuno terbilang san-
gat gencar. Persoalan yang pertama kali
dikenalkan pada umat islam adalah tentang
logika Aristoteles. Di era ini umat islam telah
mengenal logika Aristoteles sekaligus para
penentangnya; logika stocoisme, empirisme
dan sophia.14 Maka seketika itu, pencampu-
ran filsafat dengan keilmuan islam sedikit
banyaknya menuai kontroversi.
Sikap para tokoh Islam pun kerap ber-
beda terhadap logika Aristoteles. Setidaknya
ada dua kelompok yang tampak dalam me-
nyikapi hal ini. Pertama; kelompok filosof
Islam atau pensyarah warisan filsafat Yunani
yang meyakini kebenararan logika Aristo-
teles sebagai suatu kesatuan dalam berfikir
yang komprehensif, mereka adalah para
komentator yang berusaha mengharmonisasi-
kan unsur filsafat dengan persoalan teologi,
dan dikenal sebagai para pengusung nalar
paripatetik.
Kedua: kelompok Ushûliyyîn dan Mu-
takallimîn yang cenderung menolak logika
Aristoteles secara mutlak, juga kelompok
Shûfiyah—semisal al-Syahrawardi—yang
mencipta logika baru sebagai pengganti logi-
ka Yunani.15
13. Teori emanasi sebagai basis kosmologi. Artinya bahwa alam semesta ini tercipta sebagai hasil proses emanasi yang tersusun dalam hierarki-hierarki. Kemudian, dari dzat Tuhan yang maha sempurna, secara otomatis menghasilkan pancaran, berupa segala perkara yang ada di bumi.
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
70
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Sebagaimana yang penulis kemukakan
di atas, bahwasannya nalar teologi hanya
mencapai tingkat demonstratif (jadali) lewat
dalil al-Qur‘an, sementara filsafat harus ber-
sandar pada nalaritas paripatetik (burhâni).
Pada akhirnya, relasi dialektik antara filsafat
dan ilmu kalam pada masanya menjadi fakta
empiris yang tak terbantahkan. Teologi yang
sudah tercampur postulat-postulat filsafat—
terutama logikanya—juga merembet ke ranah
disiplin ilmu keislaman lain tak hanya pada
disiplin keilmuan teologi, semisal disiplin
keilmuan ushul fikih, Imam Haramain yang
dikenal sebagai ulama dari kelompok Ush-
ûliyyîn menjadikan logika sebagai pondasi
untuk membangun Ilmu ushul fikih. Namun,
pencampuran besar-besaran terjadi ditangan
muridnya, al-Ghazali. Pembahasan beri-
kutnya akan berkonsentrasi pada logika yang
dibangun al-Ghazali sebagai manifestasi dari
aliran teologi Asy'ariyah.
Studi Kasus: Eksistensi Wâjib al-
Wujûd
a. Dekonstruksi; Upaya Pembenahan
al-Ghazali
Sejatinya, sependek pemahaman penu-
lis dalam memahami upaya al-Ghazali, kon-
disi sosio-politik pada waktu itu dianggap
sangat perlu untuk dihadirkan disini sebagai
bahan pertimbangan, biar pembaca sekalian
dapat memahami betapa tak sederhananya
posisi al-Ghazali tatkala mengamati fenome-
na keilmuan sosial yang berkembang, ter-
lebih pengaruh filosof saat itu sangat luas,
terutama pengaruh al-Farabi dan Ibnu Sina.
Masa itu diskursus filsafat sangat berwibawa
di kalangan elit ilmuwan. Logika Aristoteles
menjadi tak tertandingi di masanya, me-
nyurutkan wibawa diskursus agama di tangan
para Ulama. Sehingga psikologi al-Ghazali
merasa terpanggil untuk memperbaiki dan
membenahi kondisi sosial dengan ajaran teo-
logi yang menurutnya sesuai dengan ajaran
Islam Aswaja, khususnya menurut Asy'ari-
yah.16
Masa al-Ghazali adalah masa di mana
Dinasti Saljukiyah berkuasa. Masa itu terjadi
pergolakan cukup tegang antara tiap sekte
dalam Islam termasuk filosof. Masa itu juga
mencatat persaingan ketat Fuqahâ‘ dalam
memperebutkan posisi normatif dalam
pemerintahan. Hal ini paling tidak men-
imbulkan gejolak yang luar biasa dalam
masyarakat. Mereka semakin jauh dari tun-
tunan agama dan teologi Aswaja yang murni.
Kiranya begitu kondisi sosio-politik yang
penulis pahami dari al-Ghazali.
Kendatipun demikian, tapi dalam per-
masalahan tentang dzat Tuhan, semua sekte
dalam islam mempunyai pemahaman yang
berbanding lurus, bahwa Tuhan adalah az-
aliyyah dan qadîmah. Hanya saja untuk
menghasilkan satu konklusi semacam ini,
tiap sekte mempunyai cara observasi yang
kerap berbeda. Jikalau perdebatan kaum
filosof dalam menegakan pemahaman ini me-
lalui logika paripatetik, maka kaum Hasya-
wiyyah—sebagai sekte yang mempunyai pa-
ham bersebrangan—hanya menerima kebena-
ran ini lewat teks yang bersifat dzahir, dan
silogisme akal tidak menjadi bahan pertim-
bangan.17
Meski mereka sepakat dalam konklusi,
namun observasi (istidlal) yang berbeda men-
14. T.C De Boor, Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terj. Muhammad Abdul Hadi Abu Ridah, (Kairo: Maktabah Usroh, cet. II, 2010), hal 29
15. Dr. Ali Ali Sâmi Nasysyâr, Nasyatu al-Fikru al-Falsafy Fi al-Islam, (Kairo: Dâr al-Salam, cet. I, vol I, 2008), hal 112.
71
imbulkan paham yang bervarian, varian ini
terkadang sampai pada tarap penyematan la-
bel sesat terhadap sekte lain—semisal sema-
tan sesat al-Ghazali sebagai manifestasi pa-
ham Asy‘ariyah terhadap paham para
filosof—atau sebaliknya, para filosof me-
mandang argumen al-Ghazali tak mencapai
pada tarap dalil burhani. Disini jelaslah su-
dah konflik paradigma terjadi, dan pada
saatnya nanti akan beragam paham dalam
penetapan eksistensi wâjib al-wujûd, pencip-
ta alam semesta.
Mengenai konsep wâjib al-wujûd, al-
Ghazali yang mengakui pentingnya peran
logika dalam penjabaran objek-objek keis-
laman secara hakiki, mengadopsi logika Ar-
istoteles; premis minor (muqaddimah
shughrâ), premis mayor (muqaddimah ku-
brâ), dan konklusi (natîjah). Dalam pema-
haman al-Ghazali, bahwa konsep alam se-
mesta ini adalah baru, tercipta dari ketiadaan
(hadis), dan setiap yang baru pasti memiliki
sebab. Sehingga selanjutnya dapat dipahami,
bahwa alam semesta pasti memiliki sebab.
Pemahaman al-Ghazali tentang alam
semesta, jika kita terapkan pada konsep logi-
ka Aristoteles yang ia bangun tadi, maka:
premis minornya, alam semesta ini adalah
baru, premis mayornya, setiap yang baru pas-
ti memiliki sebab dan konklusinya: alam se-
mesta pasti memiliki sebab.
Kemudian dalam menetapkan eksisten-
si Tuhan, terlebih dahulu al-Ghazali men-
jelaskan tentang apa yang dimaksud eksisten-
si. Dalam pemahaman al-Ghazali, eksistensi
adakalanya dapat ditangkap dengan panca
indera (mutahayyiz), dan sebaliknya tidak
bisa ditangkap panca indera (ghair mutahay-
yiz). Yang dimaksud mutahayyiz; jika tidak
tersusun dari beberapa bagian, dalam ilmu
mantiq disebut sebagai materi terkecil suatu
benda (jauhar fard), sementara kalau ter-
susun dari beberapa bagian, maka dinamai al
-Jismatau body. Sedangkan yang dimaksud
ghair mutahayyiz; jika membutuhkan tempat
maka dinamai al-„aradl, sebaliknya jika tidak
membutuhkan tempat, maka itulah dzat Tu-
han yang maha esa.18
Dari pemahaman di atas, ilmuwan teo-
logi menggiring logika kita, bahwa Tuhan
adalah sebagai dzat yang wâjib al-wujûd,
yang tidak membutuhkan tempat atau ghair
mutahayyiz. Sedangkan eksistensi yang
lain—selain eksistensi Tuhan—adalah mum-
kin al-wujûd, eksistensinya mempunyai po-
tensi ada atau tidak.
Sebagai analisa penulis, dari paparan di
atas bahwa premis minor; dalam pemahaman
al-Ghazali alam semesta adalah baru, dan
terkonsep melalui nalar argumentatif yang
berdasar pada dua premis. Pertama, tiap jism
tak akan pernah terlepas dari perkara yang
baru (hâdits), sementara tiap yang baru ada-
lah baru pula, tak memiliki potensi kekal.
Maka, konklusinya pada premis minor, tiap
jism adalah baru.
Sedangkan premis mayor; setiap yang
baru pasti memiliki sebab, hal ini bagi al-
Ghazali adalah sebuah badîhiyyah yang seha-
rusnya tak dapat diperdebatkan. Al-Ghazali
16. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Maqâsid al-Falâsifah, (Damaskus: Mathba‘ al-dhajah, cet. I, 2000), hal 6
17. Istilah ini dikaitkan pada jumlah dalam satu kelompok yang berpegang pada kebenaran teks yang bersifat dza-hir, yang mengarah pada tasybîh dan tajsîm, seperti menggambarkan hakikat Tuhan dengan gambaran ma-khluk.
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
72
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
meyakini perdebatan yang sengit antara ilmu-
wan teologi (kalam) dengan filosof bermula
dari pemahaman tentang makna hâdits. Da-
lam pemahaman al-Ghazali, hâdits adalah
setiap perkara yang diawali dari ketiadaan
kemudian menjelma ada sebagai eksistensi.
Eksistensi ini dalam penjelmaannya membu-
tuhkan faktor (murajjih), sebagai penguat
eksistensinya, dalam hal ini yang menjadi
faktornya adalah Dzat wâjib al-wujûd.19 Dalil
ini adalah sebagai bukti bahwa premis mayor
merupakan perkara yang tak bisa diperdebat-
kan lagi.
Frase pertama adalah premis minor,
sedang yang kedua adalah premis mayor. Da-
lam kesepakatan Mutakallimîn jika dua
premis pendahuluan telah diterima maka su-
dah barang tentu konklusi yang dicapai ada-
lah keniscayaan. Demikian pembenahan al-
Ghazali terhadap filsafat dan ilmu kalam
yang berujung pada kesimpulan bahwa alam
ini adalah baru, tidak kekal.
Rekonstruksi; Upaya Paripatetik dan
Tawaran Averroes20
Bagi Ibn Rusyd, sejumlah argumentasi
al-Ghazali diatas, dalam beberapa persoalan
partikular dianggap sangat fatal karena tak
mencapai taraf burhani atau paripatetik; tak
memuaskan akal sekaligus sukar dipahami.
Teori yang dipakai al-Ghazali yang berujung
pada kesimpulan alam ini hâdits adalah
metode yang sangat komprehensif, meski
hâdits yang dimaksud disana bukan hâdits
yang dialami di alam syahid ini21
Hal yang paling mendasar, yang
ditempuh Ibn Rusyd dalam meruntuhkan ar-
gumentasi al-Ghazali, adalah berusaha mem-
buktikan kerentanan argumentasinya, yang
mana al-Ghazali banyak menyadur metode
ilmu kalam jadalî.22 ia berkeyakinan, bahwa
argumentasi yang dibangun al-Ghazali
berangkat dari tiga premis yang tak mencapai
taraf burhani. Hal ini disebabkan—dalam
pemahaman Ibn Rusyd—karena al-Ghazali
memaksakan prosesi silogisme akal untuk
menguatkan argumennya, yaitu qiyâs al-
ghâib „ala al-syâhid: menganalogikan hal
metafisis kepada sesuatu yang empiris. Ini
merupakan sebuah prosesi yang rancu bagi
para filosof, termasuk Ibn Rusyd dan paham
Aristoteles. Dalam logika Aristoteles, upaya
untuk menggapai hal yang metafisis (mâ
warâ‟ al-thabî„ah), adalah dengan cara-
menganalogikan alam empiris dengan
menggunakan silogisme akal untuk mencapai
sesuatu yang metafisis.
Jika demikian, penggunaan al-Ghazali
terhadap logika Aristoteles dalam pemba-
sisan argumentasinya mengalami absurditas,
karena analoginya terbalik—meng-qiyas-kan
alam yang ghaib pada yang syahid.
Sejatinya, al-Ghazali berargumen
demikian demi menetapkan eksistensi Tu-
han—dzat wâjib al-Wujûd. Diawali dengan
terlebih dulu membuktikan dalil tentang ke-
hâdits-an alam semesta. Dalam pembuktiann-
ya, al-Ghazali menggunakan teori al-Jauhar
al-Fard, namun argumen tersebut dalam
pemahaman Ibn Rusyd adalah argumen yang
rentan, kerentanannya terletak pada konsep
atomik yang dikembangkan al-Ghazali. Da-
lam pemahaman Ibn Rusyd, konsep al-
Jauhar al-Fard yang dikembangkan al-
Ghazali tak dapat dibuktikan secara pa-
ripatetik. Al-Ghazali hanya mampu membuk-
18. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Cairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. VII, 2007), hal 88.
19. Ibid, hal 90.
73
tikannya dengan argumen retoris yang tak
mencapai taraf burhani, ia hanya bertumpu
pada tamtsîl bayâni.23
Semisal, analogi dari ungkapan al-
Ghazali; ukuran gajah lebih besar daripada
semut, kemudian dari ungkapan ini
mengarahkan pada pemahaman, bahwa di
dalam gajah terdapat bagian yang lebih ban-
yak daripada semut. Karena andaikata tidak
demikian, maka kita tidak sah mengatakan
bahwa bagian semut lebih sedikit daripada
gajah. Disini titik kerancuan yang didapati
Ibn Rusyd dari al Ghazali tentang konsep al-
Jauhar al-Fard. Hal ini disebabkan karena
ada pencampuran ―kuantitas terpisah‖ (al-
Kammiyah al-Munfashilah) dengan
―kuantitas yang tak terpisah‖ (al-Kammiyah
al-Muttashilah).24
Dari analogi diatas, berarti ‗kuantitas
ukuran‘ gajah atau semut, sementara yang
kedua merupakan ‗kuantitas bagian‘ dalam
tubuh gajah atau semut. Padahal, secara
aturan mantiqi mâ yashduqu „ala al-
munfashilah lâ yashduqu „ala al-
muttashilah: ―kuantitas terpisah‖ semisal
analogi pada ukuran gajah yang bagiannya
lebih banyak daripada semut, tak sebanding
lurus dengan ―kuantitas tak terpisah‖ semisal
analogi ukuran gajah lebih besar daripada
semut. Oleh karenanya, maka tidak sah jika
kita mengungkapkan dengan sudut pandang
terbalik—semisal ukuran bagian gajah lebih
banyak sebagai analogi dari ―kuantitas
terpisah‖ dibalik dan ditempatkan di
―kuantitas tak terpisah—: tidak sah dalam
sudut pandang ―kuantitas tak terpisah‖ bah-
wa ‗bagian gajah‘ lebih banyak daripada
semut, dan tidak sah pula dalam sudut pan-
dang ―kuantitas terpisah‖ bahwa gajah lebih
besar daripada semut. Dengan argumen ini
Ibnu Rusyd telah benar-benar meruntuhkan
argumen al-Ghazaliakan adanya al-jauhar al-
fard. Dalam titik ini Ibn Rusyd telah mampu
membangun premis pertama yang merancu-
kan argumen al-Ghazali.
Selanjutnya, dalam premis kedua Ibn
Rusyd berusaha meruntuhkan kembali argu-
men yang dibangun al-Ghazali, yaitu teori
qiyâs ghâib „ala al-syâhid. Al-Ghazali berar-
gumen bahwa alam semesta ini adalah
hâdits, atas dasar karena terbentuk dari be-
berapa bagian terkecil yang tak dapat ter-
pecah lagi (al-jauhar al-fard) yang poten-
sinya adalah hâdits, sehingga segala jenis
yang tersusun dari yang baru, maka hasilnya
baru juga. Dalam logika ini al-Ghazali meng-
generalisir bahwa jauhar adalah hadis.
Dalam pemaparan diatas, al-Ghazali
membagi mutahayyiz terbagi menjadi dua
bagian: yang tak dapat dipecah lagi (al-
Jauhar al-Fard) dan yang masih dapat ter-
pecah (al-Jism). Bagi Averroes, argumen ini
sangat rentan karena kita tak boleh menga-
nalogikan benda luar angkasa (ghaib) pada
benda bumi (syahid). Hal ini tentunya adalah
generalisir yang sangat tak ilmiah. Karenan-
ya konsep qiyâs al-ghâib „ala al-syâhid perlu
disangsikan kembali. Demikian langkah
20. Averroes, adalah sebuah madzhab yang menganut paham Ibn Rusyd dan banyak berkembang di barat, karena pada persoalan ini tokoh yang paling muncul dan banyak mewarnai peradaban dunia intelektual adalah al-Ghazali dan Ibn Rusyd, maka penulis memfokuskan bahasan relasi dialektis pada dua tokoh ini.
21. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, al-Kasf „an Manaahij al-Adillah fi „Aqaid al-Millah, tahqiq, Dr. Mahmud Qasim, (Kairo: Maktabah Anggelo al-Mishriyah, cet. II, t.t), hal 93.
22.Dr. ‗Athif al-‗Iraqi, al-Faylasûf Ibn Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqafah al-„Arabiyah, (t.k :Maktabah Usrah, cet. II, 2004), hal 64.
23. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Tahafut at-Tahafut, tahqiq Dr. Sulaiman Dunya, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. IV, 1968), hal 182
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
74
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
24. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, al-Kasf „an Manaahij al-Adillah fi „Aqaid al-Millah, tahqiq, Dr. Mahmud Qasim, (Kairo: Maktabah Anggelo al-Mishriyah, cet. II, t.t), hal 138.
kedua Ibnu Rusyd dalam upaya meruntuhkan
argumen al-Ghazali.
Bagi al-Ghazali, bahwa segala perkara
yang tak terlepas dari hâdits, maka ia adalah
hâdits pula. Hal ini bagi Ibn Rusyd adalah
premis yang kurang kokoh, karena secara tak
langsung ia menimbulkan pemahaman gan-
da: pertama, kemungkinan dapat diartikan:
segala hal yang tak terlepas dari jenis hâdits
itu tidak ditentukan mana yang tak terlepas
tersebut. Kedua, kemungkinan dapat dipa-
hami juga bahwa segala yang tak terlepas
dari hâdits, namun masih berkemungkinan
beberapa bagiannyaterlepas. Sehingga bagian
tersebut yang terlepas dari hâdits sama sekali
tak menutup kemungkinan ada bagian-bagian
tertentu yang tak hâdits, termasuk ―tempat‖.
Kemungkinan tempat tersebut adalah al-Jism
yang ditempati al-Aradl, atau sebaliknya
yang tak terhenti silih berganti (ghair mu-
tanâhiyah).25 Jika makna pertama yang di-
maksud, maka presmis tersebut benar secara
burhâni atau paripatetik, namun sayangnya al
-Ghazali lebih memilih kemungkinan yang
kedua.
Demikian kiranya prosesi yang ringkas
dalam upaya Ibn Rusyd melumpuhkan kon-
sep al-Jauhar al-Fard yang di aplikasikan al-
Ghazali dalam membasisi argumentasinya
untuk menetapkan ke-hâdits-an alam, untuk
selanjutnya menetapkan adanya sang Pencip-
ta alam semesta. Namun Ibn Rusyd mencoba
merekonstruksi kembali pemahaman tentang
metode untuk memahami adanya Tuhan, Ka-
rena baginya, selama tujuannya adalah demi
menetapkan eksistensi Tuhan, selayaknya
dilakukan langsung lewat alam raya ciptaan-
Nya. Bukan melalui cara rumit dengan mem-
perkirakan ke-hâdits-an alam.
Seorang Ibn Rusyd, dari pengalamann-
ya menbedah al-Qur‘an secara filosofis, ia
meramu konsep besarnya sebagai sintesa ba-
ru yang dimunculkan, yaitu dua terma besar:
dalîl „inâyah dan dalîl ikhtirâ‟.26 Selanjutnya
akan saya kupas lebih mendalam kedua ter-
ma ini, bagaimana cara seorang Ibn Rusyd
mengajukan proyek besarnya sebagai ganti
atas logika yang telah dibangun al-Ghazali.
Dalam usahanya, Ibn Rusyd mem-
bangun konsep Dalîl „Inâyah atau al-Asbâb
al-Ghâiyah, dengan menggunakan pendeka-
tan premis-konklusi. Hal ini jelas tergambar
dalam pernyataannya berikut:
―Adapaun metode pertama, maka ia
terbangun melalui dua landasan: pertama,
bahwa segala hal eksis yang ada di dunia
ini sesuai dengan karakteristik dan watak
eksistensi manusia. Kedua, kesesuaian ini
adalah kepastian (dlarûrah) di sisi Pembu-
atnya (Tuhan) yang bermotif (qâshid) dan
berkehendak (murîd). Hal ini karena tak
mungkin kesesuaian ini terjadi karena
kebetulan…‖27
Dari pernyatannya ini, sehingga
konklusi yang dicapai adalah keniscayaan
‗eksistensi Pelaku‘, yang menjadikan segala
yang eksis di dunia ini sesuai dengan manu-
sia.Pelaku disini adalah tak lain dari Dzat
Tuhan yang maha berkehendak, yakni sang
Wâjib al-Wujûd. Maksudnya, argumen yang
dibangun Ibn Rusyd ini adalah berusaha
mengenal Tuhan melalui beragam ciptaan-
Nya yang ada di bumi, seperti inilah yang
diyakini Ibn Rusyd sebagai metode yang
digunakan para filosof untuk memahami Tu-
han. Kemudian Ibn Rusyd melanjutkan:
75
25. Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal Fiima Bain al-Hikmah wa al-Syari‟ah min al-Itishol, Tahqiq: Dr. Muhammad Imaroh, (Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. III, t.t). hal 41. 26. Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Ibn Rusyd Syiratu wa Fikru, Diraasat wa Nushus, (Libanon: Mârkaj Diraasat al-Wahidah al-Marbiyah, cet. II, 2001), hal 125. 27. Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Ibn Rusyd Syiratu wa Fikru, Diraasat wa Nushus, (Libanon: Mârkaj Diraasat al-Wahidah al-Marbiyah, cet. II, 2001), hal 125.
―Karena syariat yang khusus bagi para
Filosof adalah sebagai observasi terhadap
segala eksistensi. Hal ini karena Sang Pen-
cipta tak akan bisa disembah secara total
dengan penghambaan yang lebih mulia
kecuali dengan mengenali dulu segala cip-
taan-Nya, yang kemudian akan mampu
membawa pengenalan ini terhadap Dzat
pencipta secara hakiki, yang merupakan
bentuk termulia dari aktifitas manusia di
sisi-Nya.‖28
Dalam argumennya, Ibn Rusyd telah
berhasil mengaplikasikan konsep premis-
konklusi yang telah dibangun Aristoteles.
Metodenya ini dalam menjelaskan eksistensi
Tuhan, adalah merupakan bukti autentik
ketangguhannya dalam mempertahankan
disiplin keilmuan filsafat ditengah kecaman
para pembencinya. Bahkan—dalam pema-
haman penulis—sebagai koreksi atas usaha al
-Ghazali dalam membangun argumentasinya
dengan mengadopsi logika Aristoteles juga.
Kekeliruan al-Ghazali bukan terletak pada
logikanya, melainkan pada ―titik-tolak‖ da-
lam membangun argumen sekaligus men-
gaplikasikannya, yaitu dengan menggunakan
pendekatan qiyâs al-ghâib „ala al-syâhid,
yang mana pendekatan ini adalah sebuah
pendekatan yang tak sebanding lurus dengan
pemahaman filosof.
Jika saya lacak pernyataan Ibn Rusyd
tadi, untuk membuktikan bahwa argumenta-
sinya berbanding lurus dengan logika Aristo-
teles, maka: ungkapannya bahwa―alam se-
mesta dengan segenap isinya sesuai dengan
manusia‖ adalah premis minor. Sedang
ungkapan ―segala perkara yang sesuai
dengan setiap bagiannya dan dengan satu
karakter demi mencapai satu tujuan tertentu
yang sistematis, pastilah merupakan ciptaan‖
adalah premis mayor. Sehingga konklusi
yang dihasilkan adalah ―alam pasti dicipta
dan memiliki Pencipta, yakni Tuhan dzat
Wâjib al-Wujûd‖.
Kemudian dalil yang kedua, yang dipa-
kai Ibn Rusyd dalam mematahkan argumen
al-Ghazali adalah dengan menggunakan dalil
ikhtirâ‟, yaitu sebuah konsep yang bermuara
pada logika Aristoteles juga. Hal ini terbaca
jelas dalam ungkapannya:
―Adapun dalîl ikhtirâ‟ maka ia mencakup
penciptaan eksistensi pelbagai flora, fauna
dan angkasa raya.Metode ini terbangun
atas dua landasan yang tersimpan secara
potensial dalam fitrah setiap manusia. Per-
tama, bahwa segala eksistensi ini telah ter-
cipta. Hal ini dapat diakui secara mandiri
dalam flora dan fauna... Adapun yang
kedua, bahwa setiap ciptaan pasti mem-
iliki pencipta. Sehingga kesimpulan yang
dicapai, bahwa setiap eksistensi pasti
memiliki Pelaku dan Penciptanya...‖ 29
Dari argumentasi ini, ketika men-
imbulkan sebuah keyakinan yang mampu
mengantarkan pada kepercayaan akan eksis-
tensi Dzat Tuhan, maka sebenarnya keya-
kinan ini bersumber dari pengetahuan
mengamati segala eksistensi di dunia ini.
Artinya, dari observasi padaberbagai eksis-
tensi yang ada di alam raya, tidak hanya
dapat mengantarkan seseorang mencapai
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
76
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
28. Ibid, hal 151. 29. Ibid, hal 151.
tingkatan meyakini eksistensi Tuhan saja,
namun jauh lebih dari itu, bahkan mampu
mengenali-Nya dengan hakekat pengetahuan
yang sebenarnya.
Lewat argumennya, Ibn Rusyd telah
berhasil merekonstruksi kembali bangunan
epistemologi yang seolah telah mengalami
kekaburan pemahaman. Kritikannya tak han-
ya berhenti pada tataran argumen paripatetik,
yang mana sebagai serangan balik terhadap al
-Ghazali untuk menghancurkan argumennya,
namun ia membangun kembali ―puing-
puing‖ epistemologi yang telah hancur, se-
hingga menjadi bangunan yang lebih elegan.
Kelebihan bangunan epistemologi yang
dibangun IbnuRusyd tak hanya dari mutu dan
kualitas; karena menggunakan argumentasi
paripatetik, namun juga dari segi efisiensi;
karena dapat dipahami oleh segala tingkatan
nalar manusia, yakni dapat dipahami untuk
membuktikan eksistensi Tuhan.
Dari pemahaman diatas menyisakan
satu pertanyaan: Apakah konsep Ibnu Rusyd
ini paradoks dengan konsep Aristoteles, kare-
na yang pertama menggunakan pendekatan
Qur‘ani sedang yang kedua menggunakan
pendekatan akal? Seorang tokoh ‗Âbid al-
Jâbiri dalam hal ini sangat cantik men-
jelaskannya yang terekam dalam studinya
terhadap karya Ibnu Rusyd al-Kasyf „an
Manâhij al-Adillah. Ia menjelaskan bahwa
tak ada yang paradoks dalam hal ini. Karena
dalîl „inâyah tak lain adalah representasi kon-
sep alam (kosmos). Sedang dalîl ikhtirâ‟ ada-
lah buah dari konsep pembuatan (al-shun‟),
bukan penciptaan dari ketiadaan (al-khalq
min al-„adam) sebagaimana milik al-Ghazali.
Dalam kitab tersebut, saya kira sangat rele-
van untuk dirujuk langsung karena memuat
sedemikian banyak argumentasi yang mena-
wan; memadukan nalar dengan teks-teks al-
Quran.
KESIMPULAN
Sebagai seorang pembaca, dalam me-
nyelesaikan terma yang diusung, tentunya
sejauh mana ia membaca, maka sejauh itu
pula konklusi yang dihasilkan. Dengan
bacaan yang sangat minim, tampaknya masih
belum patut untuk menyimpulkan materi ini,
tapi mau bagaimanapun sebuah kesimpulan
sangat dibutuhkan.
Sikap al-Ghazali dalam mengadopsi
logika Aristoteles, bisa dipahami sebagai usa-
hanya untuk membentengi teologi Asy'ariyah
yang semakin surut pamornya di kalangan
elit ilmuwan. Seakan-akan ia ingin menga-
takan pada masyarakat bahwa diskursus aga-
ma—terutama teologi—tak bertentangan
dengan filsafat, meski pada akhirnya ia me-
nyerang filsafat. Namun dilain pihak, tern-
yata pemahaman al-Ghazali tak sebanding
lurus dengan apa yang dipahami Ibnu Rusyd,
terjadi kekeliruan dalam penggunaan logika
Aristoteles. Meski demikian, tak sedikitpun
menyurutkan nama besar al-Ghazali, malah
kedua tokoh ini menjadi simbol dalam kema-
juan khazanah Islam.
Pada tulisan ini, tak sedikitpun penulis
menyisakan ruang bagi sebuah keyakinan
untuk merasa paling benar; pendapat dan an-
alisis diatas sangat mungkin bisa salah. Oleh
karena itu, sebuah kritik dan masukan dari
para pembaca semua sangatlah diharapkan.
Terakhir, dianggap perlu untukmen-
gutip apa yang telah disampaikan guru fil-
safat saya, dan saya percaya sekali dengan
77
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
ungkapannya: ―janganlah engkau merasa pal-
ing benar sendiri, karena kebenaran itu tak
ada yang tak parsial. Ia ada dimana-mana,
dalam perspektif apa saja, siapa tahu yang
engkau yakini sebagai kebenaran hari ini,
lusa sudah menjadi sesuatu yang tidak benar
lagi. Siapa tahu yang engkau anggap paling
benar dalam satu bidang, ternyata dianggap
kesalahan dalam bidang yang lain. Siapa ta-
hu…!‖ Wallahu „alam bissawab[].
DAFTAR PUSTAKA
As-Shofy, Muhyiddin. 2010. “Qadhiah at-
Taufik Baina ad-din wa al-Falsafah”.
Kairo: Maktabah Universitas al-Azhar,
cet. II.
Ibn Sina, Abu‗Ali al-Husayn bin ‗Abdullah.
1998. “Risalaalah at-Thobii‟iyat li
Ibnu Sina”. Libanon: Beirut.
Fudah, Said Abdul Latif. 2009. “Mauqif Ibnu
Rusyd Al-Falsafi min Ilmi al-Kalam”.
Yordan: Dâr al-Fath liddiraasaat wa al-
Nasr, cet. I.
Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad. “Fashl Al-
Maql Fiima Bain al-Hikmah wa al-
Syari‟ah min al-Itishol”. Tahqiq:
Imaroh, Muhammad. Kairo: Dâr al-
Ma‘arif, cet. III.
____________________________________
_________________. “al-Kasf „an
Manaahij al-Adillah fi „Aqaid al-
Millah”. Tahqiq: Qasim, Dr. Mahmud.
Kairo: Maktabah Anggelo al-
Mishriyah, cet. II.
____________________________________
_________________. 1968. “Tahafut
al-Tahafut”. Tahqiq: Dunya, Sulaiman.
Kairo: Dâr al-Ma‘arif, cet. IV.
Mahmûd Sa‘id, Thablâwy. 1989. “Mauqif
Ibn Taimiyyah min Falsafat Ibn
Rusyd”. Matba‘ah al-Amânah, cet. I.
De Boor, T.C. 2010. “Tarikh al-Falsafah fi
al-Islam”. terj. Abu Ridah, Muhammad
Abdul Hadi. Kairo: Maktabah Usroh,
cet. II.
Nasysyâr, Ali Ali Sâmi. 2008. “Nasyatu al-
Fikru al-Falsafy Fi al-Islam”. Kairo:
Dâr al-Salam, vol I, cet. I.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Mu-
hammad. 2000. “Maqâsid al-
Falâsifah”. Damaskus: Mathba‘ al-
dhajah, cet. I
____________________________________
_________. 2007. “Tahafut al-
Falasifah”. Cairo: Dâr al-Ma‘arif, cet.
VII.
Al-Jabiri, MuhammadAbid. 2001. “Ibn
Rusyd Syiratu wa Fikru, Diraasat wa
Nushus”. Libanon: Mârkaj Diraasat al-
Wahidah al-Marbiyah, cet. II.
Al-Iraqi, ‗Athif. 2004. “al-Faylasûf Ibn
Rusyd wa Mustaqbal al-Tsaqafah al-
„Arabiyah”. Kairo: Maktabah Usrah,
cet. II.
Tafsir al-Qur‘an. 2013. Kementrian Agama
Republik Indonesia. Jakarta: Jam‘iyah
Quraa wa al-Hufadz.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
78
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
عاصي # شكوت إىل وكيع سوء حفظي
فأرشدن إىل ت رك ادل
ون ور هللا الي هدى لعاصي و أخب رن بأن العلم ن ور #
“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya
hafalanku, maka kemudian dia menyuruhku
untuk meninggalkan maksiat,
dan dia memberitahuku
Bahwasanya ilmu adalah cahaya,
dan cahaya Allah tidak diturunkan kepada orang
yang suka maksiat”
(Diriwayatkan dari Imam Syafi’i)
79
Relasi Filsafat dan Ilmu Kalam; Identifikasi Dialektis
Abdul Ghani
ترع ذل اجلهل طول حياته من ل يذق ذل الت علم ساعة #
عليه أرب عا لوفاته ومن فاته الت عليم وقت شبابه # فكب
إذال يكونا ال اعتبار لذاته حياة الفت وهللا بالعلم والت قى #
“Barangsiapa yang belum merasakan hinanya belajar
barang sebentar, maka dia akan merasakan hinanya
kebodohan sepanjang hidupnya. Dan barangsiapa
melewatkan pembelajaran ketika masa mudanya,
maka bertakbirlah empat kali untuk kematiannya.
Kehidupan pemuda demi Allah dengan ilmu dan
ketaqwaan, jika kedua hal itu tidak ada, maka tidak
arti bagi keberadaannya”
80
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
SUNAH DAN ORIENTALISME
DALAM SOROTAN
Oleh: Roni Fajar verigina1
انمهخص
انمشآ انغخ شئب بيب ف حبح انغه ب يصذسا ارخزب انغه يشجعب ف ياجخ رحذبد انحبح.
ي انالصو أ حبفع عهب ثذساعزب رعهب انعم ثب نك جم ع اإلعالو حبضشا ف حبح انغه ف انعصس
انمبديخ. ثعذ انحشة انصهجخ انزفكك انحضبس ث انعبن اإلعالي انغح ثذأ انغح جحث ف اإلعالو
ذسط يعبن ي انمشآ انغخ رنك ثحثب ع انخهم انضعف انز ك نهغح ي خالنب أ طفئ س اإلعالو
إضعبف انجزع اإلعالي. ع انذاسع نإلعالو ي انغح انغزششل. ي انغزششل ي كزت انؤنفبد ف
انحذث انزبسخ انهغخ انعشثخ غشب. عه انشغى ي ز انجد ي لجم انغزششل عهب أ زى ثبنظشف انحطخ
ثبنغزششل حث أ رهك انؤنفبد انز كزجب ضذ لذسا ال رغزب ي انخطأ انزحشف فال ك االعزبد عهب اعزبدا
كهب
االعزششاق، انزبسخ اإلعالي، انغخانكهمبت األسبسية:
Abstrak
Al-Quran dan al-Sunnah adalah dua pedoman dari Allah yang selalu dijaga oleh Allah
dan juga Umat Islam sedunia. Dua sumber agama Islam tersebut harus selalu kita jaga, kita les-
tarikan, kita pelajari dan kita amalkan demi tetap berlangsungnya Peradaban Islam dari masa ke
masa. Di sisi lain, setelah perang salib, Dunia Kristen mengeluarkan segenap kemampuan
mereka untuk mempelajari islam demi mengetahui kelemahan Umat Islam. Dari proses tersebut
lahirlah para orientalis. Mereka mempelajari hadis, sejarah islam, al-Quran dan lain sebagainya.
Bahkan sebagian diantara mereka ada yang turut menyumbangkan kontribusi berupa buku-
buku hadis dan sejarah tentang Bangsa Arab dan Islam pada umumnya. Namun kita harus ber-
hati-hati dalam menelaah buku-buku karya orientalis tersebut menyusul beragam komentar,
respon, bahkan koreksian dari Para Ulama Islam terhadap karya-karya orientalis tersebut.
Kata kunci: orientalisme, sejarah islam, sunnah
1. Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Univ. Al Azhar Ushuluddin Hadits, sedang menulis Thesis Tahqiq kitab “ Ma’ûnatul Qâri Syarah shahîh al-Bukharî ” li as-syaikh Abul Hasan al Mâliki, saran dan kritik bisa disampaikan pada email penulis: [email protected] . semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi amal salih bagi penu-lis dan orangtua penulis khususnya dan teman-teman seperjuangan. Mohon do’anya selalu.
81
PENGANTAR
Dalam konteks sumber ajaran Islam,
al-Sunnah menempati posisi kedua terpenting
setelah al-Quran dalam menetapkan hukum
Islam. Al-Sunnah2 datang sebagai penjelas,
perinci dan penguat dari hukum yang ada da-
lam al-Quran, seperti shalat yang tata caranya
hanya dijelaskan di dalam al-Sunnah. Atau-
pun perintah zakat, dimana al-Quran hanya
menyebutkan hukumnya secara umum tanpa
menjelaskan tata cara dan nisab serta hal
lainnya yang berkaitan dengan zakat,
kemudian dijelaskan oleh al-Sunnah.
Hal ini disebabkan karena al-Quran
adalah Kitab Allah yang hanya memuat ke-
tentuan-ketentuan umum, prinsip-prinsip da-
sar dan garis-garis besar masalah. Sedangkan
rinciannya dituangkan didalam Sunah Nabi.
Sebab jika tidak, sulit dibayangkan al-Quran
akan menjadi setebal apa, karena ia harus
mencantumkan semua masalah kecil dan par-
sial yang tak ada batasnya. Apalagi masalah
yang dihadapi umat manusia tak pernah ber-
henti dari waktu ke waktu. Sebagai salah satu
contoh al-Quran tidak memuat cara pembu-
atan pesawat terbang, teknik merakit komput-
er, rumus-rumus matematika. Sebab masalah-
masalah sejenis ini sifatnya temporer dan
berkembang terus menerus sesuai dengan
tingkat kemajuan peradaban umat manusia.
Akan tetapi al-Quran cukup menginforma-
sikan masalah-masalah general yang bersifat
mutlak dan tak mengalami perubahan.
Adapun masalah-masalah agama yang
tidak dirinci al-Quran, pada umumnya dapat
ditemukan di dalam Hadis Nabi. Umpamanya
aturan pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji
yang merupakan rukun Islam, tidak dijelas-
kan rinciannya dalam al-Quran, akan tetapi
dijabarkan secara detail oleh Sunah Nabi
SAW. Demikian pula aturan muamalah dan
transaksi, pelaksanaan hukuman pidana,
aturan moral dan lainnya. Dari sini dapat di-
tangkap betapa urgennya hadis dalam ke-
hidupan berIslam ini. Tak berlebihan jika
dikatakan bahwa bagian terbesar dari konsep
Islam ini didapati dalam sunah.
Melihat urgensi Sunah dan perannya
yang esensial dalam Islam, tidak
mengherankan jika kalangan yang tidak se-
nang pada Islam berupaya dengan gigih men-
cari-cari kelemahannya, walaupun dengan
cara mengada-ada. Tujuannya adalah untuk
menggoyahkan kepercayaan umat Islam pada
al- Sunnah ini. Sebab mereka memahami bet-
ul bahwa jika Sunah dapat disingkirkan dari
kehidupan umat Islam, maka otomatis Islam
tidak akan dapat tegak. Karena, mustahil
mempraktekkan Islam tanpa Sunah Nabi. Ji-
ka Sunah Nabi sudah dapat mereka sisihkan,
terbukalah peluang untuk menyimpangkanal-
Quran dan memahaminya menurut selera
masing-masing. Beginilah siasat musuh-
musuh Islam. Sebab selama ini, yang menjadi
penghalang utama mereka untuk menyim-
pangkan pemahaman al-Quran adalah petun-
juk-petunjuk Sunah yang membingkai pema-
haman terhadap al-Quran secara benar. Sela-
ma umat Islam berpegang teguh pada al-
Quran dan Sunah, maka upaya-upaya pihak
luar akan senantiasa mengalami kegagalan.
2. Yang di maksud dengan al-Sunnah disini adalah identik dengan Hadis, yaitu sesuatu informasi yang di nisbahkan kepada Nabi SAW, baik berbentuk ucapan, perbuatan, sifat, atau pengakuan. Antara Sunah dan Had-is pada hakikatnya adalah sama. Hanya saja bila ingin di bedakan, maka konotasi Sunah itu biasanya pada per-buatan Nabi SAW. Umpamanya dikatakan, berwangi-wangi dan memakai siwak adalah sunah Nabi saw. Tidak dikatakan Hadis Nabi. Sementara itu, Hadis lebih umum dari pada Sunah (lih: “Ulum al-Hadîts Wa Musthalahu-hu” oleh Dr. Subhi As-Solih, Darul-‘ilmi lil-malayin, Beirut, cet. Kesepuluh, 1978, hal. 6).
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
82
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Mereka sendiri menyadari bahwa
upaya-upaya yang mereka arahkan selama ini
-betapapun terencananya- untuk me-
lumpuhkan al-Quran akan berakhir dengan
kegagalan. Karena itu mereka ingin merubah
sasarannya kepada sumber Islam yang lain
yaitu Sunah, dengan memberikan asumsi
bahwa Sunah tidak terpelihara sebagaimana
al-Quran. Mereka lupa kalau dîn ini secara
umum dipelihara oleh Allah SWT.
Nah, kalangan yang paling berkepent-
ingan dengan masalah ini di zaman modern
ini adalah kaum orientalis (al-mustasyriqûn).
Ini terlihat dari kegigihan mereka dalam
menekuni hadis dan beberapa karya yang
mereka sumbangkan dalam disiplin Ilmu
Hadis.
PEMBAHASAN
Perang Salib dan Munculnya Oriental-
is
Berakhirnya perang salib yang ber-
langsung selama dua abad yang terjadi di
Eropa dan Asia, dan dimenangkan oleh umat
Islam, mengokohkan satu makna bagi Negara
barat, bahwa umat Islam tidak bisa dikala-
hkan dengan kekuatan militer selama mereka
berpegang teguh dengan ajaran agamanya.
Oleh karena itu para politisi barat membuat
konspirasi untuk melemahkan keyakinan
umat Islam dan menjauhkan mereka dari aga-
ma mereka yang benar. Karena itulah muncul
usaha untuk mengenal dunia Islam dan
mempelajari segala sesuatu yang berhub-
ungan dengan Islam dan Negara timur yang
kemudian dinamakan orientalisme.3
Kajian orientalisme terhadap Islam
tidak hanya terbatas pada satu atau dua bi-
dang saja. Bahkan, hampir seluruh ―rumah
tangga‖ Islam tidak luput dari riset mereka.
Ada pakar tertentu yang khusus menekuni
sistem ideologi Islam. Ada juga yang spesial-
isasinya terhadap al-Quran. Mereka
mengkritik dan menyerang al-Quran. Sebagai
contoh ialah George Sale. Orientalis yang
menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa
Inggris dan diterbitkan pada tahun 1736.
Sale, dalam mukadimah terjemahannya
mengatakan, ―adapun mengenai Muhammad,
yang pada hakikatnya sebagai penyusun al-
Quran dan penemu utamanya adalah masa-
lah yang tidak dapat di bantah, meskipun
tidak mengesampingkan bantuan yang di-
perolehnya dari orang lain yang tidak sedi-
kit. Hal ini jelas terlihat dari sikap kaumnya
yang tidak pernah diam memprotesnya
sehubungan dengan masalah tersebut.‖
Mukadimah G. Sale ini, menurut Prof. Dr.
M. Hamdi Zaqzuq, mendapat sambutan
hangat dari kalangan orientalis Barat hingga
dijiplak begitu saja oleh orientalis lainnya
yang menerjemahkan al-Quran ke bahasa
Eropa lainnya seperti Prancis pada tahun
1841. Pandangan Sale itu diyakini secara tak-
en for granted oleh orientalis dalam waktu
yang cukup panjang sebagai materi ilmiah
yang dipercaya.4
Ungkapan George Sale itu, bila kita
perhatikan tidak ubahnya seperti apa yang
dituduhkan oleh pentolan-pentolan paganis
Mekah yang diinvetarisasi oleh al-Quran sep-
erti tertera dalam surat al-Nahl ayat 103. Be-
3. Orientalisme itu sendiri berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa Latin oriri yang berati terbit. Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa timur. Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda atau isma dalam bahasa latin atau ism dalam bahasa Inggris yang berarti a doctrine, theory of system, atau pendirian ,ilmu, paham kepercayaan, dan sistem. Jadi menurut bahasa orientalisme diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur. (lih: kamus ilmiah popular, penerbit gita media press, cet. Pertama thn 2006, hlm. 349)
83
danya hanya dalam cara dan pola, kalau pa-
ganis Mekah melempar tuduhan itu melalui
lisan kepada Rasulullah SAW dan sahabat-
sahabatnya, sedangkan orientalis atau bisa
kita katakan ―neopaganisme Mekah‖ melon-
tarkan klaim-klaim itu melalui forum seminar
dan diskusi di ruang kuliah yang megah dan
ber-AC, melalui tulisan di dalam buku,
jurnal, leksikon, dan ensiklopedi, dengan
selubung akademik ilmiah.
Secara umum, karya-karya sebagian
orientalis yang jujur itu kita hargai dan me-
mang bermanfaat bagi sebagian peneliti, khu-
susnya pemula. Akan tetapi, porsinya harus
dilihat secara objektif tanpa dilebih-lebihkan.
Semua itu tidak ada artinya bila dibanding-
kan dengan karya ulama-ulama kita yang
klasik ataupun modern yang tidak tertampung
oleh perpustakaan manapun di dunia ini. Se-
bagai contoh beberapa karya orientalis yang
cukup bernilai adalah Ensiklopedi Hadis (al-
Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts)
yang merupakan hasil kerja kolektif sejumlah
orientalis, yang diketuai oleh A.J.
Wennsinck, dan Târîh al-Adab al-Arabî
(Sejarah Sastra Arab) karya Karl Brockel-
mann.
Karya yang pertama boleh dinilai se-
bagai hasil karya yang hebat dan dapat juga
dikatakan biasa-biasa saja. Itu tergantung
siapa penilainya. Bagi seorang peneliti pemu-
la di bidang Hadis, karya ini sudah amat
memuaskan dan cukup dikagumi, karena
disusun sedemikian rupa untuk memudahkan
peneliti atau pencari hadis untuk menemukan
hadis yang dicarinya dalam sembilan kitab
Hadis utama (Shahih Bukhari, Muslim,
Sunan Abu Dawud, Tirmidzy, Nasa`i, Ibnu
Majah, Musnad Ahmad, Muwatho` Malik,
dan Sunan Darimy). Tapi bagi sementara
ilmuan yang sudah lama bergelut dengan
Hadis, merasa tidak terlalu kaget dengan kar-
ya ini. Sebab karya semisal – dalam masalah
indeks Hadis – telah berabad-abad sebe-
lumnya disusun oleh Ulama Hadis. Dian-
taranya ensiklopedia yang cukup kesohor
Jâmi„u al-Ushûl karya Ibnu Atsir. Begitu ju-
ga sebuah karya besar Tuhfatu al-Asyrâf ka-
rangan al-Hafizh Al-Mizzy. Kitab Index
Hadis terakhir ini disusun berdasarkan urutan
perawi hadis (sahabat dan tabiin), bukan uru-
tan Abjad seperti metode ensiklopedia orien-
talis tadi. Kemudian, pada akhir tahun
delapanpuluhan, muncul ensiklopedia Hadis
baru dengan judul ―Mausû„atu Athraf al-
Hadîts‖ sebanyak duabelas jilid, karya Abu
Hajar Basiyuni Zaghlul, seorang peneliti sen-
ior di bidang Hadis dari Mesir. Ensiklopedia
yang mengumpulkan ribuan Hadis dari sera-
tus lima puluh referensi Hadis klasik dan
modern ini, memuat pangkal setiap Hadis
dengan urutan abjad. Setiap orang yang
mengetahui awal dari sebuah Hadis, akan
dapat menemukan teks hadis secara lengkap
beserta kitab yang menjadi sumber Hadis ter-
sebut.
Kemudian seperti diketahui banyak
ahli, bahwa orientalis dalam mempersiapkan
ensiklopedia itu tidak dapat melepaskan ban-
tuan para ahli Hadis dari kaum Muslimin,
khususnya al-Ustaz Muhammad Fu`ad Abdul
-Baqi, pakar Hadis terkemuka dari Mesir.
Dan hal itu diakui Wennsinck sendiri dalam
mukadimah ensiklopedi tersebut, betapa
mereka mengalami kesulitan tanpa bantuan
dan keahlian Abdul-Baqi. Selain dari itu, ma-
salah pencetakan karya tersebut pun men-
galami kesulitan, kalau tanpa ada bantuan
4. Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Istisyrâq wa al-khalfiyyâh al-fikriyyah li al-shura‘ al-Hadhâri, (Qatar: Al Ummah, cet. Kedua, 1983) hlm. 83
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
84
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
seorang ahli percetakan kitab-kitab Arab dari
India. Sebab ketika karya itu dikirim ke India
untuk dicetak -paling tidak separuhnya- di
penerbit Islam di India, Abdu Shamad Syara-
fuddin, direktur penerbit itu menemukan ban-
yak kesalahan dalam naskah ensiklopedia
yang membutuhkan keahliannya untuk mem-
perbaiki kekeliruan itu. Tegasnya, ensiklope-
dia karya orientalis di atas sulit dibayangkan
terbit seperti yang ada sekarang tanpa jerih
payah ahli-ahli Muslim baik dari segi skill
Hadisnya maupun pencetakannya. Tapi yang
menonjol ke permukaan adalah orientalisnya.
Karya tersebut itupun tidaklah luput
dari kesalahan ilmiah. Ternyata setelah diteli-
ti secara seksama oleh pakar-pakar Islam,
ditemukan kesalahan dalam jumlah yang tak
sedikit dalam karya besar itu. Dr. Sa‘ad Al-
Murshafi dari Kuwait, menginventarisasi
kesalahan itu dalam bukunya ―Adhwâ` „alâ
Akhthô` al-mustasyriqin‖ mencapai 479 tem-
pat khusus menyangkut shahih Muslim saja.
Karya-karya orientalis yang memutar-
balikan fakta, mendistorsi sejarah, menya-
lahpahami teks, menyusupkan kebohongan
dan fitnah, tidak bisa dihitung banyaknya.
Hal Itu bukan saja terjadi pada figur-figur
tertentu semisal Ignaz Goldzieher, tokoh ori-
entalis asal Yahudi Hongaria, yang selama
ini dikenal fanatisme anti Islamnya mewarnai
hampir keseluruhan karya-karyanya.5 Tapi
juga pada orientalis yang sementara ini
dikenal lebih obyektif seperti Karl Brockel-
mann, orientalis terkemuka dari Jerman yang
menggeluti karya-karya Ulama Islam. Ia ju-
ga terperangkap dalam sikap subyektif dan
tidak jujur terhadap Hadis dalam sebuah kar-
yanya ―Târîkh al-Syu`ûb al-Islamiyyah‖. Dia
dengan sengaja memberi kesan negatif ten-
tang Islam, khususnya Hadis, ketika memberi
komentar tentang ―badui‖ dengan cara me-
menggal teks sebuah Hadis dan tidak
menyajikannya secara utuh. Kekeliruan sep-
erti itu sulit dibayangkan muncul dari
seorang ilmuan seperti Brockelmann yang
sudah lama bergelut dengan kitab-kitab
klasik hingga melahirkan karya yang berhar-
ga ―Târîh al-Adab al-Arabî‖ (Sejarah
kesusastraan Arab). Hal itu terjadi karena
mereka masih menyimpan rasa dendam
―perang salib‖ yang tak kunjung surut.
Mereka hanya mampu bebas (dalam
artian tidak memihak) ketika berhadapan
dengan materi yang tidak ada hubungannya
dengan kajian ke Islaman. Sedang terhadap
kajian-kajian Islam, peneliti Barat tidak
mampu melepaskan subjektifitasnya sebagai
non-Muslim. Ini diakui sendiri oleh pemikir
mereka, seperti Gustav Lobon, filosof Pran-
cis dan ―moyang‖nya kaum sosiolog dan se-
jarawan Barat abad kesembilan belas, yang
menerangkan dalam bukunya ―Peradaban
Islam‖ bahwa, peneliti-peneliti Barat dalam
mengkaji masalah-masalah yang berhub-
ungan dengan Islam, akan menanggalkan
sikap netral dan objektifitas, Peneliti Barat
tanpa disadarinya akan memihak dan intol-
eran. Gambaran suram dan jelek tentang Is-
lam dan umatnya ini masih akan terus terjadi
sebagai suatu warisan ―hitam‖ yang meracuni
pemikiran dan hati mereka sejak perang salib
hingga saat ini.6
Kritik Metodologi dan kelemahan Fun-
damental Orientalis
Sebelum penulis berbicara lebih lanjut
5. Diantara karya-karyanya: Dirasât Islâmiyyah dan al-Aqîdah wa al-Syarî’ah fî al-Islâm (edisi bahasa arabnya diterjemahkan oleh Prof. Muhammad Yusuf Musa, Abdul Aziz Abd. Haq dan Dr. Ali Hasan Abdul Qadir.
85
mengenai beberapa syubhat terhadap sunah
yang dilontarkan oleh orientalis, ada baiknya
kita mengetahui beberapa metodologi mereka
dalam mengkaji Islam terkhusus sunnah nab-
awi yang saya kutip langsung dari analisa
Prof. Mushthafa Al-Siba‘i tentang metodolo-
gi orientalis. Analisa ini dirasa penting kare-
na tokoh yang satu ini pernah mengelilingi
Eropa: Prancis, Jerman, Inggris, Belanda,
Switzerland, dan Skotlandia. Dia mengunjun-
gi pusat-pusat orientalisme di Universitas
barat dan berdialog langsung dengan mere-
ka.7 Ciri khas analisis mereka di antaranya,
sebagai berikut:8
1. Berprasangka buruk dan salah mengerti
tentang masalah-masalah yang berkaitan
dengan Islam, baik tujuan dan motifnya;
2. Berprasangka buruk terhadap tokoh-
tokoh Islam, ulama, dan pembesar-
pembesar mereka;
3. Menggambarkan masyarakat Islam
sepanjang sejarah- khususnya periode
pertama itu- sebagai masyarakat yang
terpecah belah dan individualis;
4. Menggambarkan peradaban Islam
secara tidak realistis dengan mengecil-
kannya serta meremehkan pening-
galannya;
5. Tidak memahami watak masyarakat
Muslim yang sesungguhnya; mereka
hanya mengambil kesimpulan seputar
―rumah tangga‖ dan tradisi bangsa-
bangsa Muslim;
6. Memperlakukan informasi (teks) ilmiah
menurut kemauan mereka sendiri;
7. Memutarbalikkan nushûsh (teks)
dengan sengaja. Jika tidak menemukan
celah-celah untuk diselewengkan, mere-
ka mendistorsi makna yang ada;
8. Menggunakan referensi semaunya untuk
dijadikan sumber nukilan, misalnya
menjadikan buku-buku sastra sebagai
rujukan untuk mengetahui sejarah hadis
dan menggunakan literatur sejarah un-
tuk menentukan sejarah fikih. Mereka
menelan mentah-mentah (taken for
granted) segala yang dinukil oleh al-
Damiri dalam bukunya al-Hayawân.
Anehnya, mereka mendustakan riwayat
Malik dalam kitabnya Al Muwat-
6. Dr. Daud Rasyid, M.A, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam sorotan (Syaamil Publishing, cet. pertama, 2006) hlm. 124
7. Prof. al-Siba’i banyak menemui tokoh-tokoh orientalis dalam kunjungannya ke beberapa Negara itu. Yang per-tama ditemuinya ialah Prof. F. Anderson ketua jurusan hukum perdata yang berlaku di dunia Islam, di Institute Study Oriental,Universitas London. Anderson sendiri adalah alumni Fakultas Teologi Universitas Cambridge. Dia belajar bahasa arab dari beberapa ulama al-Azhar yang mengajar di American University di Cairo. Dia bela-jar Islam melalui ceramah yang disampaikan Thaha Husein dan Ahmad Amin (dua tokoh sekuler Mesir). Keben-ciannya terhadap Islam tampak dari sikapnya terhadap seorang mahasiswanya, alumni al-Azhar yang menempuh program doktor di Univesitas London yang tidak diluluskannya disebabkan sang mahasiswa mengajukan disertasinya tentang Hak-Hak Wanita dalam Islam. Saya (kata Prof. Al-Siba’i) terkejut mendengarnya dan saya katakan padanya, “mengapa Anda menggagalkannya padahal selama ini Anda menggembor-gemborkan kebebasan berpikir di perguruan tinggi Anda? Jawabnya, “karena si mahasiswa ber-pendapat bahwa Islam memberikan kepada wanita hak ini, hak itu.. padahal Islam menentukan untuk wanita hak tertentu saja. Apakah dia Jubir resmi atas nama Islam?.
8. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Al-Sunnah wa makânatuhâ fî al-Tasyri’ al-Islâmî, (Kairo: Dar As-salam, cet. Kelima, 2010), hlm. 178
(selengkapnya, pengalaman amat berharga ini dapat dibaca dalam mukadimah kita As-Sunnah wa makânatuhâ fî At-Tasyri’ Al Islâmi)
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
86
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
ta,padahal validitas kitab Al Muwatta
telah teruji di kalangan ahli-ahli hadis.
Dengan ruh inilah para orientalis me-
masuki dunia Islam dari berbagai sisi; se-
jarah, fikih, tafsir, hadis, adab, dan ke-
budayaan Islam. Kemudian dalam me-
nyusupkan misinya, orientalis Barat
menempuh beragam taktik. Ada yang
mengkritik Islam secara frontal dan terang-
terangan. Misalnya, A.J. Arberry, Alfred Ge-
om, Ignaz Goldzhier, Joseph Schacht, dan
lainnya, termasuk Steenbrink yang menga-
takan dengan jelas bahwa dia tidak percaya al
-Quran sebagai wahyu Allah. Adapula yang
bersikap agak halus seperti Noel J. Coulson.9
Dari segi metodologi, mereka telah memiliki
prakonsepsi yang merupakan doktrin agama
mereka yang ditanamkan sejak kecil bahwa
al-Quran bukan kalam Allah dan Muhammad
bukan Rasul Allah. Akibatnya, penelitiannya
diarahkan hanya untuk mendukung asumsi-
nya saja, bukan ingin mencari kebenaran tapi
pembenaran. Apalagi mereka lemah dari segi
materi keilmuan.
Para pengamat studi orientalis yang
jujur mengemukakan beberapa kelemahan
orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun, di
antaranya sbb:
1. Mereka tidak menguasai bahasa Arab
yang baik, sense bahasa yang lemah
dan pemahaman yang sangat terbatas
atas konteks bahasa Arab yang variatif
(dalâlât al-Arabiyyah al-
mutanawwi‟ah). Hal ini diungkapkan
oleh Syaikh Mustafa as-Siba‘i ketika
berjumpa dengan oreintalis terkenal
asal Cambridge, Ariry. Dia mengaku,
―Kami -sebagai orientalis- banyak
mengalami kekeliruan dalam kajian
kami terhadap Islam. Seharusnya
lapangan ini tidak kami masuki sebab
Anda -sebagai kaum muslimin Arab-
jauh lebih mampu dari kami.10
2. Perasaan superioritas sebagai orang
Barat. Ilmuwan Barat khususnya Ori-
entalis, senantiasa merasa bahwa barat
adalah ―guru‖ dalam segala hal, khu-
susnya dalam logika dan peradaban.
Mereka cenderung tidak mau digurui
oleh orang Timur, sehingga mengaki-
batkan timbulnya rasa egois. Memang
ada di antara mereka yang menunjuk-
kan sikap mau mendengar suara orang
lain, namun jumlahnya kecil dibanding
dengan orang-orang yang arogan terse-
but.
3. Orientalis Barat sangat memegang
teguh doktrin-doktrin mereka yang tak
boleh dikritik, bahkan sampai ke ting-
kat fanatis buta. Diantaranya dua dok-
trin inti, yaitu al-Quran bukan kalam
Allah dan Muhammad bukan Rasul
Allah. Doktrin itu sudah lebih dulu
9. Noel J. Coulson, Orientalis Inggris, guru besar Hukum Islam di Universitas London. Dalam tulisannya beliau mengakui bahwa sistem hukum Islam adalah sistem yang dinamis, applicable dan telah mengakar dalam sanubari umatnya. Namun disela-sela sanjungannya dalam buku A History of Islamic Law, Coulson punya sejumlah pendapat yang aneh-aneh tentang kekuatan Sunah sebagai sumber hukum, Beliau berpendapat; bahwa Sunah sebagai pelengkap al-Quran pertama kali ditemukan oleh Imam Syafi’i. hal ini seperti kata Prof. Dr. Salim Al Owwa, bekas murid Coulson yang kemudian banyak “menelanjangi” pemikiran Coulson tentang hukum Islam, bahwa pemikiran tersebut sangat berbahaya. Di satu sisi, dia mengangkat ketokohan Syafi’I, di sisi lain dia mencoba untuk menghancurkan eksistensi Sunah pra Imam As-Syafi’I. padahal, rentang waktu dua abad itu justru merupakan pondasi bagi berdirinya bangunan al-Sunnah pada fase-fase berikutnya.
87
tertanam dalam pikiran mereka sebe-
lum meneliti (prakonsepsi). Akibatnya,
penelitiannya tidak objektif dan
―bebas‖. Sehingga peneliti Barat men-
elan mentah-mentah riwayat palsu,
menganggap syubhat (tuduhan palsu)
sebagai hujjah (argumentasi).
4. Banyak dari kajian-kajian orientalisme
yang terkait erat dengan kepentingan
Negara-negara tertentu yang mendanai
kajian tersebut. Percuma saja negara-
negara Barat menghamburkan uangnya
jutaan bahkan miliaran dolar hanya
untuk kepentingan ilmiah semata, ka-
lau bukan karena ada target-target ter-
tentu yang sangat berharga bagi
kepentingan mereka. Target itu bisa
bersifat politis, bisnis, strategis dan
lain sebagainya. Hal ini, seperti
diungkap oleh Prof. Ismail Al Faruqi11
dalam sebuah artikelnya pada majalah
The Contemporary Muslim, studi Islam
di Barat, khususnya di Amerika Seri-
kat, tidak pernah luput dari misi Zionis
dan Salibis. Orientalis yang mengajar
di jurusan tersebut, katanya, sebagian
besar orang Yahudi atau Kristen fana-
tis. Di beberapa Universitas Amerika,
studi Islam di tempatkan di fakultas
Lahut (teologi), jurusan Misionarisme
dan materinya di kenal dengan
muqâranatu al-adyân (perbandingan
agama). Dosen- dosen yang ada disana
kerjanya hanya mencari titik-titik
lemah Islam untuk diserang. Oleh ka-
rena itu, kajian-kajian mereka banyak
menyangkut aliran-aliran menyim-
pang, misalnya: Syiah, Ismailiyah, Ah-
madiyah, Bahaiyyah dll. Jika mereka
belajar al-Quran, hadis, dan fikih, Ulti-
mate goal-nya mencari titik lemah. Se-
bagai misal, pusat perbandingan agama
di Harvard berada dibawah fakultas
teologi, begitu juga di Universitas Chi-
cago.12
Ungkapan Faruqi tentu bukan sekedar asum-
si. Ia terlibat langsung dalam ―pergulatan‖
orientalisme di Amerika Serikat. Pengala-
mannya sebagai ketua jurusan Islamic Study
di Temple University dan sebagai guru besar
selama bertahun-tahun di AS dan berbagai
Universitas barat lainnya tidak diragukan
lagi. Sehingga akhirnya ia mengakhiri
hayatnya sebagai syahid bersama istrinya
dibunuh oleh agen-agen Zionis.
Sunah Dan Orientalisme
Setelah sepak terjang orientalis untuk
membuat keraguan terhadap al-Quran men-
10. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 28. 11. Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di
Colleges des Freres yang terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple Uni-versity, Amerika Serikat.
Pandangannya tentang Zionisme; Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dil-akukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang mengang-gap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme. Ismail Raji al-Faruqi
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
88
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
galami kegagalan (sebagaimana penulis sebut
di atas tadi), karena tidak menunjukan
pengaruh yang signifikan di kalangan kaum
Muslimin, orientalis Barat mencoba membi-
dik sumber Islam kedua, al-Sunnah. Orien-
talis pertama yang menyebarkan keraguan
terhadap hadis ialah Goldziher13 seorang ori-
entalis yahudi Hongaria yang di kalangan
Islamolog Barat dianggap sebagai orang
yang paling banyak mengetahui tentang had-
is. Johan Fueck, penulis ―hadis‖ dalam
―Ensiklopedi Islam‖ menyanjungnya secara
berlebihan dengan mengatakan, “Ilmu penge-
tahuan berutang banyak kepada Goldziher
karena tulisan-tulisannya tentang hadis. Dia
telah berjasa menentukan arah dan mengem-
bangkan penelitian dalam kajian ini.” Rasa
kagum orientalis terhadap Goldziher terletak
pada keberaniannya mengkritik, memuncul-
kan keraguan terhadap hadis, serta melontar-
kan tuduhan-tuduhan yang tidak pernah
terdengar di kalangan al-Muhadditsûn sela-
ma berabad-abad kecuali dari kelompok
ekstrimis Inkâru al-Sunnah. Apakah Goldzi-
her datang membawa temuan yang belum
pernah ditemukan oleh para ilmuan sebe-
lumnya, khususnya metodologi kritik hadis?
Ataukah penelitiannya hanya sebuah asumsi
saja yang cenderung apriori prakonsepsi?
Inilah yang akan dicoba dianalisis seobjektif
mungkin dalam tulisan ini. Dan akan ter-
fokus pada analisis pemikiran Goldziher ka-
rena figur ini dianggap cukup representatif
untuk mewakili pandangan-pandangan orien-
talis Barat khususnya dalam studi hadis dan
pengaruhnya pada regenerasi orientalis.
A. Pandangan Goldziher
Untuk mengetahui pandangan Goldzi-
her tentang hadis dapat dibaca dengan gam-
blang dari bukunya Dirâsât Islâmiyyah dan
al-Aqîdah wa al-Syarî‟ah fî al-Islâm. 14
1. Goldziher menuduh bahwa bagian
terbesar dari riwayat hadis tidak benar
dikatakan sebagai catatan tentang fase
awal Islam. Akan tetapi, hadis yang
terkumpul sekarang adalah hasil jerih
payah umat Islam pada fase
keemasannya yang merupakan catatan
meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya, Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi.
12. Jurnal The Contemporary Moslem 13. Ignaz Goldziher lahir pada 22 juni 1850 di sebuah kota di Hongaria. Berasal dari keluarga Yahudi terpandang
dan memiliki pengaruh luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 hanya satu tahun kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Dalam hal pemikiran, Ia sangat ter-pengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki. Ar-minius Vambery lah yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina. Goldziher pernah mengunjungi dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama Islam, diantaranya ia pernah berkun-jung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey,seorang pejebat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey, Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir saat itu. Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syaikhul al-Azhar,ketika itu Syekh al'Abbasi, terbujuk. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.
Setelah beberapa lama tinggal di Mesir Goldziher pun kembali ke Budapest. Ia menjabat sebagai Sekreta-ris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterli-batannya di bidang politik. Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muham-
89
medanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Ko-ranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam,Leiden,1920).
Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena memang tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.
(lebih lengkapnya lih: Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Abdurrohman Badawi, LKis Yogyakarta 2003, hlm 129-131)
14. edisi bahasa arabnya diterjemahkan oleh Prof. Muhammad Yusuf Musa, Abdul Aziz Abd. Haq dan Dr. Ali Ha-san Abdul Qadir.
15. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 180 16. Goldziher memberi contoh tentang perkataan Mu’awiyah kepada Mughirah ibn Syu’bah:
ال تهمل في أن تسب عليا وأن تطلب الرحمة لعثمان، وأن تسب أصحاب علي وتضطهد من أحاديثهم، وعلي الضد من هذاا أن تذمذدث عذثذمذان ) وأهله وأن تقربهم وتسمع إليهم(
atas kemajuan yang dicapai Islam di
bidang agama, sejarah, dan sosial pada
abad pertama dan kedua hijrah.15
2. Goldziher berpendapat bahwa praktik
memalsukan hadis (wadh„ul hadîts) itu
telah terjadi pada fase dimana ketegan-
gan terjadi antara kelompok Umawiy-
yah dan kelompok ulama takwa (ahlul
bait), dimana kedua belah pihak mem-
buat hadis-hadis yang memuji pihaknya
masing-masing dan membuat hadis-
hadis yang menjatuhkan pihak yang
lain.16 Bahkan menurut Islamolog ya-
hudi ini, praktik memalsukan hadis
(wadh„ul hadîts) ini tidak hanya
terbatas dalam lingkup politik saja,
bahkan juga memasuki ―kawasan‖ reli-
gi, seperti melakukan perubahan-
perubahan dalam ibadah sehingga tidak
sesuai dengan praktik penduduk Madi-
nah.17 Sebagai contoh, kata Goldziher,
pelaksanaan khutbah Jum‘at yang biasa
dikenal di kalangan ahlul-Madinah dua
kali khutbah dan khatib menyam-
paikannya dalam posisi berdiri. Semua
ini diubah oleh Umawiyyah. Dasarnya
adalah riwayat Rajâ bin hay bahwa
Rasul dan para Khalifah berkhutbah
dalam keadaan duduk. Padahal Jâbir
bin Samrah telah melakukan protes, ―
Barang siapa yang memberitakan kepa-
da kalian bahwa Rasul berkhutbah sam-
bil duduk, sesungguhnya dia telah ber-
dusta‖. Disini, Goldziher sampai pada
kesimpulan bahwa tidak satupun masa-
lah yang diperselisihkan baik dalam hal
ibadah maupun ideologi mempunyai
sandaran hadis dengan isnâd yang
kuat.18
3. Tuduhan Goldziher terhadap perawi
hadis terkenal, Imam Zuhri, sebagai
orang yang dimanfaatkan oleh Dinasit
Umawi untuk memalsukan hadis sesuai
dengan keinginan mereka. Misalnya
beberapa dokumen yang tersimpan pa-
da al-Khatib al-Baghdadi. Dokumen
tersebut diriwayatkan dari beberapa
jalur yang berbeda. Dari Abdur Razzaq
(211 H), Ma‘mar ibn Rasyid (154 H).-
salah seorang yang mendengar hadis
dari Zuhri – menyebutkan bahwa kha-
lifah al-Walid bin Ibrahim pernah da-
tang kepada Zuhri membawa lembaran
hadis yang dipalsukannya. Dia
meminta kepada Zuhri agar mem-
berikan lisensi (ijazah)19 kepadanya
untuk meriwayatkan hadis yang ada
dalam lembaran yang dibawanya itu.
Lalu Zuhri membenarkannya tanpa ra-
gu-ragu. Demikianlah, menurut orien-
talis ini, rezim Muawiyah dapat mem-
peralat Imam Zuhri untuk memenuhi
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
90
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
tuntutan penguasa dengan ―baju‖ aga-
ma.20
B. Metodologi Muhadditsîn
(Ahli hadis)
Sebelum menelaah secara substansial
pandangan-pandangan Goldziher, terlebih
dahulu kita kemukakan sekilas metodologi
kritik Muhadditsîn dalam upaya memelihara
originality hadis nabi dan meletakkan suatu
kerangka metodologi kritik ilmiah guna
membersihkan hadis dari berbagai kemung-
kinan pemalsuan;
1. Melacak Isnâd (mata rantai) Hadis
Setelah Rasulullah wafat, para sa-
habat tidak pernah meragukan hadis yang
mereka dengar dari sahabat lainnya, begitu
juga para tabiin. fakta itu mulai mengerosi
setelah terjadi fitnah21 dan munculnya
seorang Yahudi, Abdullah bin Saba, yang
melakukan provokasi untuk memper-
tuhankan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Saba juga
memalsukan hadis-hadis Nabi. Sejak saat
itulah para Sahabat da Tabiin mulai berhati-
hati dalam meriwayatkan hadis. Mereka tidak
lagi menerima hadis kecuali setelah mereka
ketahui jalurnya (sanad) dan mereka percayai
perawinya.
Ibnu Sirin menceritakan hal tersebut
dan dikutip oleh Imam Muslim dalam Muk-
adimah kitab Shahîh-nya. ― Dahulu mereka
tidak mempertanyakan tentang Isnâd. Namun
setelah terjadi fitnah, mereka menuntut,
sammû lanâ rijâlukum (sebutkan sumber
hadis kamu itu!, mereka melihat ahli sunah,
lalu mereka terima hadisnya. Dan mereka
tandai ahli bid‟ah agar tidak diterima hadis
darinya.22
2. Otentifikasi (Tautsîq) Hadis
Otentifikasi Hadis sebagai salah satu
metode untuk melacak kebenaran suatu had-
is, telah diuji sejak masa sahabat dan tabiin.
Orang-orang yang menemukan hadis dapat
me-recheck-nya (mengkaji ulang) kepada
sahabat, tabiin, atau pun para Imam, khu-
susnya setelah terjadi fitnah. Otentifikasi itu
tidak hanya terbatas pada sanad (mata rantai)
suatu hadis, bahkan juga mencakup pemerik-
saan terhadap matan (isinya).
Salah satu contoh kasus otentifikasi
isnâd; seorang nenek yang datang
menghadap Abu Bakar menanyakan bagian
warisannya. Abu Bakar menjawab, “Saya
tidak menemukan bagian nenek di dalam al-
Quran ataupun di dalam Sunah Rasul SAW.
― Mughirah bin Syu‘bah berkata, “ Saya
pernah melihat Rasul SAW. Memberi bagian
nenek seperenam.” Kemudian Abu Bakar
berkata, “Adakah orang lain selain Anda?”.
Lalu Muhammad bin Maslamah al-Anshari
berdiri dan membenarkan Mughirah. Atas
dasar itu, Abu Bakar menerima dan
17. Munculnya trend pemahaman yang berorientasi kepada praktik pengamalan penduduk Madinah dalam bidang fikih, dikarenakan Madinah adalah negara pertama yang dibangun Rasul SAW. Dimana ketentuan-ketentuan hukum yang diturunkan ialah selama beliau berdiam dikota ini, dan para Sahabat juga generasi tabiin mewarisi tradisi hukum yang Beliau letakkan, sehingga praktik penduduk kota ini lebih terjamin orisinalitasnya.
18. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 182 19. Ijâzah adalah istilah yang dipakai ahli hadis untuk menerangkan bahwa seorang murid telah diberi izin oleh
gurunya (syeikh) untuk menyampaikan hadis yang telah diterima dari syeikh tersebut. 20. Ijâzah adalah istilah yang dipakai ahli hadis untuk menerangkan bahwa seorang murid telah diberi izin oleh
gurunya (syeikh) untuk menyampaikan hadis yang telah diterima dari syeikh tersebut.
91
21. Fitnah disini ialah tragedi yang menimpa umat Islam pada akhir masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan yang mengakibatkan terbunuhnya beliau, disusul dengan terbunuhnya Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Pun-caknya ialah perselisihan antara kelompok Ali dan Muawiyah. Kaum orientalis mendramatisir bahwa fitnah tersebut berpengaruh negatif terhadap sunah. Namun dalam waktu yang sama fitnah itu sendiri melahirkan seperangkat metodologi hadis riwâyah dan dirâyah bagi umat Islam. (lih: Al Fikr Al Manhajî ‘inda Al Muhad-ditsîn, Dr. Hammam Abdurrahman Sa’id, Al Ummah, Qatar, 1987, hlm 56-57).
22. Lihat mukadimah Shahîh Muslim. 23. Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Kifâyah fî Qawânîn al-Riwâyah, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîts, cet. Pertama), hlm.
66-67 24. Untuk contoh bisa dilihat di Al-Fikr al-Manhaji, Op. Cit., hlm. 55-56
melaksanakannya.23 Abu Bakar dalam kasus
itu meminta saksi lain disamping Mughirah,
bukan karena beliau tidak percaya kepada
Sahabat RA, melainkan sebagai upaya oten-
tifikasi terhadap hadis nabi. Segi matan juga
banyak ditemukan kasus otentifikasi untuk
me-recheck kebenaran isi suatu hadis.24 bila
substansi hadis dirasa kurang sejalan dengan
al-Quran maupun hadis Nabi.
3. Metode Kritik Rawi
Metode kritik rawi hadis- sebagai orang
jujur atau pendusta- merupakan media efektif
untuk membersihkan hadis-hadis Nabi dari
berbagai pemalsuan orang-orang yang
berkedok sebagai perawi. Dengan metode
tersebut, para ulama bisa membedakan hadis
shahîh dengan dha‟îf. Kitab-kitab yang
dikarang oleh para muhadditsîn yang khusus
menghimpun biografi setiap perawi lazim
dikenal dengan kutub al-Rijâl, menghimpun
sejarah hidup 500.000 (setengah juta) perawi
hadis. Fakta inilah yang dilihat oleh oreintalis
sehingga membuat merekatidak berdaya me-
nyembunyikan kebenaran sejarah. Dengan
jujur, Sprenger, orientalis Jerman yang ban-
yak mengkaji hadis, mengakui dalam muk-
adimah yang ditulisnyauntuk sebuah kitab
klasik, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah
karya Ibnu Hajar. Dia mengatakan, “Tidak
dijumpai satu umat pun yang pernah hidup di
muka bumi ini hingga sekarang, memiliki
daftar nama-nama tokoh sebanyak setengah
juta selain dari umat Islam.” 25
C. Telaah Kritis Atas Pandangan Ignaz
Goldziher
Diatas telah kita deskripsikan metod-
ologi muhadditsîn dalam membentengi hadis
Nabi sehingga tak satupun celah yang dapat
ditembus oleh orang-orang yang berniat
busuk terhadap Sunah Nabi. Sekarang kita
mencoba untuk mengkaji sejauh mana
kebenaran tuduhan Goldziher terhadap hadis
seperti yang telah kita sebutkan di atas.
1. Goldziher menuduh bahwa bagian terbesar
dari hadis adalah catatan sejarah tentang
hasil kemajuan yang dicapai Islam di bi-
dang agama, politik dan sosial pada dua
abad pertama hijrah.
Tuduhan itu secara historis dan de facto
tidak beralasan. Rasulullah SAW Mening-
gal setelah “merumahkan”al-Quran dan
sunah Nabi SAW Hal ini secara eksplisit
ditegaskan al-Quran pada ayat yang tera-
khir turun, “Pada hari ini Kusempurnakan
untukmu agamamu, Kucukupkan atasmu
nikmat-Ku dan Aku ridha bagimu Islam
sebagai agama.”26
Islam turun dengan sempurna. Demikian
pula ditegaskan oleh Rasulullah SAW,
“Telah kutinggalkan padamu dua perkara,
jika kamu berpegang teguh padanya
niscaya kamu tidak akan sesat selamanya;
Kitabullâh dan sunnahku.”
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
92
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Untuk mengetahui sejauh mana ma-
tangnya Islam sejak periode pertama,
cukup dilihat kesiapan Umar bin Khatab
menangani urusan dua imperium terbesar
di dunia waktu itu; Persia dan Romawi
yang berhasil dikuasai Islam. Umar mam-
pu menjalankan roda pemerintahan besar
itu dan memerintah keduanya dengan sis-
tem yang jauh lebih sempurna dan adil
dari pada Kisra dan Kaisar. Sekiranya Is-
lam masih dalam fase ―bayi‖, mustahil
rasanya Umar dapat memikul tugas
seberat itu dan mengendalikan dua kera-
jaan seluas itu. Peneliti yang jujur akan
mengetahui bahwa kaum Muslimin di
berbagai belahan bumi melakukan ibadah
dengan kaifiyyah yang sama, menjalankan
hukum yang substansinya sama pula.
Mereka hidup dengan sistem ibadah, mua-
malah, akidah, dan adat yang seluruhnya
sama, mulai dari utara hingga ke Selatan.
Yang ini semua menandakan akan sem-
purna dan matangnya sistem dalam Islam.
Kesimpulannya, seandainya bagian
terbesar dari hadis nabi adalah hasil kema-
juan Islam selama dua abad pertama-
seperti yang diklaim orientalis itu- tentu
saja kaifiyah ibadah Muslim yang tinggal
di berbagai belahan dunia akan tentu ber-
beda satu sama lain.
2. Goldziher menuduh bahwa ahlul bait
(ulama takwa madinah) membuat hadis
yang memuji mereka dan menjatuhkan
pihak lawan (Umawiyyah), dan begitu ju-
ga sebaliknya pihak Umawiyyah.
Ungkapan semacam ini hanya muncul dari
orang yang belum mengetahui kepribadian
ulama kita. Jangankan berdusta terhadap
Rasul SAW, dalam kehidupan mereka
sehari-hari pun sangat keras dalam mem-
basmi dusta.
Kita tidak memungkiri keutamaan para
Sahabat Nabi. Bahkan Allah SWT memuji
sebagian sahabat dalam al-Quran. Nabi
SAW juga memuji Ali bin Abi Thalib se-
bagaimana Ia memuji Abu Bakar, Umar
maupun Utsman. Hanya saja syiah
melebih-lebihkannya. Mereka mulai me-
malsukan hadis yang menyanjung ahlul
bait dan mendiskreditkan Umawiyyah dan
pendukung mereka.
Prof. Dr. Musthafa Al-Siba‘I, pakar hadis
dari Suriah, memberi komentar atas tudu-
han Goldziher tersebut dengan menga-
takan, “Kalau Goldziher ingin tahu siapa
sesungguhnya ahli bid‟ah dalam pan-
dangan ahli Hadis, silahkan merujuk
kepada referensi-referensi Arab yang
dinukil dan diputarbalikan itu. Agar
diketahui bahwa mereka itu adalah
Syi‟ah, Khawârij dan yang mengikuti pa-
ham mereka.Bagaimana mungkin ulama
kita melawan kelompok pemalsu hadis
tentang ahli bait, lalu mereka melakukan
hal serupa pula untuk maksud yang sama.
Lebih lanjut beliau mengatakan, “ yang
anehnya pada saat seorang tokoh Syi‟ah,
Ibnu Abil Hadid mengakui bahwa
Syi‟ahlah yang pertama kali mendustakan
hadis dan melebih-lebihkan keutamaan
ahlul bait, muncul Goldziher menuduh
bahwa ulama-ulama yang taqwa dari
madinah (semisal Sa‟id bin Musayyab,
Atho‟ bin rabah, Imam Zuhri dll.)-
25. Abdul Muta’al Muhammad al-Jabari, Hujajiyât al-Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. Pertama, 1986), hlm. 124
26. Q.S. Al Ma’idah, 5;3
93
menurutnya- yang memulai tindakan keji
itu. Bukankah pemalsuan fakta sejarah
semacam ini hanya dilakukan oleh orang
bejat dan berdosa.27
3. Selanjutnya, sasaran tuduhan Goldziher
diarahkannya kepada Imam terbesar dalam
sunah pada zamannya, bahkan orang yang
pertama menyusun sunah pada zaman sa-
habat, Imam Zuhri. Goldziher menuduh
Zuhri diperalat oleh dinasti Umawi karena
kedekatannya dengan khalifah. Alasan
seperti itu tidaklah cukup untuk menyim-
pulkan tuduhan yang diarahkan padanya.
Bahkan hubungan tersebut merupakan sa-
rana untuk menyampaikan kebenaran
kepada khalifah. Seperti diriwayatkan
Ibnu Asakir-dengan sanadnya dari Imam
al-Syafi‘i-bahwa khalifah Hisyam bin Ab-
dul Malik bertanya pada Sulaiman bin
Yasar tentang tafsir ayat 11 surat an-Nûr,”
Dan siapa di antara mereka yang
mengambil bagian terbesar tentang berita
bohong, baginya azab yang besar.”
Siapakah orang yang dimaksud ayat itu?
Sulaiman menjawab. “Abdullah bin Ubay
bin Salul. Hisyam berkata: Anda bohong.
Dia adalah Ali ibn Abi Thalib. Tampak-
nya Hisyam –kata Dr. Al-Siba‘i- tidak
serius dengan ucapannya itu, dia hanya
ingin menguji keberanian mereka dalam
mempertahankan kebenaran. Lalu Sulaim-
an berkata, “Amirul Mukminin lebih tahu
apa yang di ucapkannya”. Kemudian
Imam Zuhri tiba. Dan Hisyam mengulangi
perkataannya. Zuhri menjawab, “Dia ada-
lah Abdullah bin Ubay bin Salul”. Hisyam
menjawab: Anda bohong. Dia adalah Ali
bin Abi Thalib.” Dengan marah Zuhri
mengatakan, “ Anda katakan saya ber-
bohong? Celakalah Anda! Demi Allah,
sekiranya ada suara yang memanggil dari
langit menyerukan bahwa Allah telah
membolehkan dusta, niscaya aku tidak
akan berdusta. Si fulan dan si fulan
menceritakan kepadaku bahwa orang
yang mengambil bagian terbesar dalam
penyebaran berita bohong itu adalah Ab-
dullah bin Ubay bin Salul. 28
Al-Dzahabi, kritikus terkenal, menga-
takan, “Dia (zuhri) adalah simbol para
penghafal hadis. Dia adalah imam, hafi-
dzh dan hujjah, diantara muridnya ialah
imam Malik, Abu Hanifah, Atha bin Abi
Rabah, Umar bin Abdul Aziz dan yang
lainnya. Hadis-hadisnya banyak dimuat
dalam Shahîhain (kitab Shahih Bukhari
dan Muslim), kitab-kitab sunan, dan
Musnad. Hampir tidak satu bab pun dari
kitab-kitab itu yang tidak memuat hadis
Zuhri.”
Imam Nasai mengatakan,” Isnâd yang
paling bagus dari Rasul saw ada empat
jalur: Zuhri dari Ali ibn al- Hasan dari
ayahnya dari kakeknya, Zuhri dari Ubai-
dillah dari Ibnu Abbas. Dan dua isnâd
lainnya.
Intisari/ kesimpulan
Dari pembahasan di atas setidaknya kita bisa
mengambil benang merah, bahwasannya;
Allah akan selalu menjaga agama-Nya
sampai ia menang, dan Allah akan per-
siapkan rijal-Nya untuk membela agama-
Nya disetiap kurun waktu dan tempat
yang berbeda
Al-Quran dan al-Sunnah adalah dua pe-
doman umat Islam akhir zaman, yang tid-
ak akan lenyap kecuali umat itu sendiri
27. Prof. Dr. Mustafa Al-Siba’I, Op. Cit., hlm. 190
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
94
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
yang melupakannya
Al-sunnah sebagai sumber hukum kedua
setelah al-Quran, mempunyai posisi yang
sangat urgen dalam konsep hukum Islam,
kalau bukan umat Islam sendiri yang
mempelajarinya, mengamalkannya
sekaligus menjaganya maka sangat mung-
kin umat yang lain akan mengisi posisi
tersebut, sehingga bukan tidak mungkin
akan banyak hal yang diluar jalur semesti-
nya.
Betapapun kecilnya kita harus mengakui
karya-karya orientalis dalam ilmu-ilmu
Islam. Akan tetapi, seperti ditegaskan oleh
Syeikh Ahmad Syakir, seorang ulama
terkemuka di Mesir, dalam ―Mukadimah
Sunan al-Tirmizi‖nya, kita ingin menem-
patkan sesuatu seimbang dengan porsinya,
tidak melebihi dan tidak pula mengurang-
inya. Karya mereka itu belumlah seberapa
bila dibandingkan dengan karya-karya
Ulama kita yang melimpah ruah.
PENUTUP
Setelah kita analisis pandangan-
pandangan Goldziher dan Orientalis lainnya.
Tampak jelas bahwa tuduhan-tuduhan mere-
ka tidak beralasan. Kita agaknya sudah dapat
menilai motif serta bobot dari tuduhan dan
klaim yang dilontarkan oleh Goldzhier dan
orientalis lainnya, serta mampu menilai
metodologi yang mereka kembangkan dalam
mengkaji Islam terkhusus al-Quran dan al-
Sunnah. Akhirnya semoga tulisan ini menjadi
amal shalih bagi penulis dan orangtua penulis
khususnya dan teman-teman sekalian pada
umumnya. Dan semoga Allah yang selalu
Mendengar dan Melihat kita, memberikan
karunia kepada kita untuk selalu berada di
jalan-Nya, menjadikan kita berada di garda
terdepan dalam membentengi al-Quran dan
al-Sunnah dari musuh-musuh Islam. Amin.
In Urîdu illal ishlâh mastatha„tu wa mâ
taufîqi illâ billâh „alaihi tawakkaltu wa ilaihi
unîbu. Wallâhu a‟lam bis shawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim.
Al-Baghdadi, Al Khatib, Al Kifâyah fî
Qawânîn Al-Riwâyah. Kairo: Dar Al
Kutub Al Hadits, cet. Pertama.
Al Jabari, Abdul Muta‘al Muhammad, 1986.
Hujajiyât Al-Sunnah. Kairo: Maktabah
Wahbah.
Al-Solih, Subhi. 1978. ‗Ulûm al-Hadîts Wa
Musthalâhuhu. Beirut : Dâr al-‗ilmi lil-
malayin, cet. Kesepuluh.
Al-Siba‘i, Mustafa. 2010. Al-Sunnah wa
makânatuhâ fî al-Tasyrî‟ al-Islâmî.
Kairo: Dar As-salam Mesir, cet.
Kelima.
Badawi, Abdurrohman. 2003. Ensiklopedi
Tokoh Orientalis. Yogyakarta: LKis.
Jurnal The Contemporary Moslem.
Kamus Ilmiah Popular, penerbit gita media
press, cet. Pertama thn 2006.
Rasyid, Daud. 2006 ― Pembaruan Islam dan
Orientalisme dalam sorotan‖, Bandung:
Syaamil Publishing, cet. Pertama.
Sa‘id, Hammam Abdurrahman. 1987. Al-
Fikr al-Manhajî „inda al-Muhadditsîn.
Qatar: Al Ummah.
Shahîh Muslim.
28. Ibid, hlm. 200-202
95
SUNAH DAN ORIENTALISME DALAM SOROTAN
Roni Fajar verigina
Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 1983. Al-Istisyrâq
wa al-khalfiyyât al-fikriyyah li Al-
shura„ al-Hadhâri. Qatar: Al Ummah,
cet. Kedua.
نا # ب عد حق هللا يف االحتام إن للوالدين حقا علي
را # ا ناية اإلكرام أوجدانا ورب يانا صغي فاستحق
“Sesungguhnya bagi kedua orang tua ada hak
atas diri kita setelah hak Allah dalam
penghormatan… Mereka membuat kita ada dan
mendidik kita sewaktu kecil, maka mereka
berhak mendapatkan puncak penghormatan”.
96
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
فإن رفيع القوم من ي ت واضع ت واضع إذا ما نلت يف الناس رف عة #
رء من شيم العقل ت واضع إذا ما كان قدرك عاليا #
فإن اتضاع ادل
“Rendah hatilah jika engkau tidak mendapatkan
kedudukan di Masyarakat, maka sesungguhnya orang-
orang yang memiliki kedudukan adalah orang-orang
yang rendah hati. Rendah hatilah jika kemampuanmu
tidak tinggi, maka sesungguhnya rendah hatinya
seseorang merupakan
tanda kekuatan akal sehat”
97
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah;
Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode
Penanggalan
Ismail Sujono
Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat di Fakultas Ushuluddin
Universitas Al-Azhar Kairo
Email: [email protected]
Abstract
Having calendar system shows a progress of a civilization. Whitout this, a nation might
fall into chaos. In the Quran has a lot of preaching to us to give attention to the time, be it based
on the movement of the sun (solar system), or the moon (lunar system), as well as the move-
ment of both (luni-solar system). For example, AD calendar is a calendar based on the solar
system, Hijra calendar is a calendar based on lunar system, while Jews calendar's using both
lunar and solar system wich called luni-solar system. Both AD calendar and Hijra calendar
have their respective functions, AD calendar could be used as a reference to various things or
terms such as trades, agreements, etc. while Hijra calendar is more to islamic calendar, mostly
used as prayer time setting, islamic holydays, begginning of the month etc.
Keywords: calendar, solar, lunar, luni-solar
Abstrak
Salah satu bentuk kemajuan peradaban suatu bangsa adalah memiliki sistem penangga-
lan.Sebuah kekacauan apabila suatu bangsa tidak memiliki sistem penanggalan.Dalam al-Quran
sendiri pun telah banyak mengabarkan kepada kita untuk selalu memperhatikan waktu, baik itu
berdasarkan pergerakan matahari (solar system), bulan (lunar system) maupun pergerakan
keduanya (luni-solar system).Misalnya kalender yang berdasarkan sistem solar diantaranya kal-
ender masehi, kemudian kalender yang berdasarkan sistem lunar diantaranya kalender hijriah,
sedangkan kalender yang berdasarkan sistem luni-solar diantaranya kalender yahudi.Kalender
masehi maupun kalender hijriah memiliki fungsinya masing-masing. Kalender masehi bisa di-
jadikan acuan dalam hal perjanjian ataupun transaksi-transaksi perdagangan maupun yang
lainnya, sedangkan kalender hijriah lebih bersifat penetapan waktu ibadah maupun hari-hari
besar umat islam.
Kata kunci : kalender, solar, lunar, luni-solar
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
98
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Pengantar
كبس انكك كم اخكزكالف انكهك األسض اد ب ف خهك انغ إ
عكهك لعدا الل لبيب زكش زن األنجبة. ان بد أل
األسض سثككب يكب اد كب ك ف خكهكك انغ زفكش ى جث
زا ثبطال عجحبك فمب عزاة انبس خهمذ 1
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya mal-
am dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal (190), (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan ber-
baring dan mereka memikirkan tentang pen-
ciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
"Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau mencip-
takan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
(191)
صجبح فبنك جعم اإل م ظ عكب انه انش كش انم حغكجكبكب
نك انعضض انعهى رمذش ر2
Artinya:Dia menyingsingkan pagi dan men-
jadikan malam untuk beristirahat, dan
(menjadikan) matahari dan bulan untuk
perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang
Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.(96)
Pernahkah terbersit dalam benak kita
mengapa matahari terbit di timur yang me-
nyebabkan terjadinya siang dan terbenam di
barat yang menyebabkan terjadinya malam
atau mengapa bulan berubah-ubah bentuk
dari sabit kecil hingga purnama dan kembali
ke sabit kecil lagi?Mungkin untuk menjawab
pertanyaan tersebut bagi kita yang hidup di
zaman modern ini tidaklah terlalu sulit.Tapi
bagaimana dengan pendahulu-pendahulu kita
yang hidup ratusan tahun lalu bahkan ribuan
tahun lalu.Orang-orang dulu pernah berpikir
bahwa terbit dan terbenamnya matahari ter-
jadi karena peredaran matahari mengelilingi
bumi.Ternyata jawaban itu keliru dan salah,
malah sebaliknya bumilah yang mengelilingi
matahari yang menyebabkan terjadinya siang
dan malam atau biasa disebut dengan rotasi
bumi.
Matahari dan bulan adalah dua benda
langit yang paling dekat dengan bumi dan
yang paling gampang dilihat oleh mata
manusia.Dari dua benda langit inilah manu-
sia sejak zaman dulu menjadikan keduanya
sebagai acuan waktu.Yang mana kita ketahui
sebelum ditemukannya jam, manusia hanya
menjadikan fenomena siang dan malam se-
bagai patokan waktu.Hingga akhirnya men-
jadikan pergerakan semu matahari ini sebagai
pondasi dasar dalam penentuan kalender sa-
lah satunya kalender masehi yang dipakai
hingga saat ini.Dan juga pergerakan semu
bulan yang mengakibatkan bulan memiliki
fase-fasenya dijadikan acuan dalam penentu-
an kalender hijriah.Bahkan penggabungan
keduanya pun bisa dilakukan dalam penentu-
an kalender.
Salah satu pembahasan ilmu falak is-
lam adalah penanggalan (kalender/tarikh/
taqwim). Urgensi dalam tema kalender ini
sangatlah penting bagi umat islam. Karena
sangat berkaitan erat dengan masalah ibadah.
Bagaimana kita akan memulai puasa Rama-
dhan kalau tidak mengetahui kapan ma-
suknya bulan Ramadhan dan ibadah-ibadah
lainnya yang mana semua harus dilakukan
sesuai pada tempat dan waktunya. Yang akan
kami bahas disini perbandingan antara kalen-
der masehi dan kalender hijriah dari tinjauan
sejarah kemunculan dan metodologi dalam
penerapannya. Sebenarnya setiap bangsa
1. QS. Ali Imran (03): 190-191 2. QS. Al-An’am (06): 96
99
yang berperadaban masing-masing memiliki
sistem penanggalan, misalnya bangsa mesir,
romawi, yunani, china, jawa, dll.
Pembahasan
Sejarah Perkembangan
Kalender Masehi
Cikal bakal munculnya kalender Mase-
hidimulai sejak abad ke-VII SM (lebih
tepatnya pada tanggal 21 april 753 SM),3
kaisar Romawi pertama sekaligus pendiri
kota Roma yaitu Romulus mulai
memperkenalkan yang namanya penanggalan
(kalender).Kalender ini disebut juga dengan
kalender Romawi Kuno. Awalnya, Bangsa
Romawi menggunakan sistem kalender
warisan bangsa Albania,4 namun kalender
yang berdasarkan bintang Sirius5 ini tidak
akurat dan menimbulkan banyak kekacauan
pada perayaan-perayaan keagamaan,
sehingga kaisar Romawi memerintahkan para
Astronom untuk menata ulang kalender
dengan memperhatikan gerak Matahari dan
Bulan. Penanggalan pada masa kaisar
Romulus ini hanya mempunyai 10 bulan
dengan 304 hari dalam satu tahun. Bulan
Maret sebagai bulan awal, 10 bulan itu
adalah:6
1. Martius (artinya mars atau dewa
perang)
2. Aprilis (artinya aprilia atau dewi cinta)
3. Maius (artinya maya atau dewi
kesuburan)
4. Junius (artinya juno atau istri dewa
jupiter)
5. Quintilis (artinya kelima)
6. Sextilis (artinya keenam)
7. Septalis (artinya ketujuh)
8. Octolis (artinya kedelapan)
9. Novelis (artinya kesembilan)
10. December (artinya kesepuluh)
Namun dalam perjalanan sejarah
kalender Romawi Kuno ini terdapat banyak
koreksi dan penyempurnaan sistem
kalender.Pada masa kaisar kedua Romawi
yaitu Numa Pompilius (715-672 SM) terjadi
penambahan bulan. Jadi jumlah bulan yang
sebelumnya hanya berjumlah 10 bulan
dengan 304 hari dalam setahun menjadi 12
bulan dengan 355 hari dalam setahun. Pada
masa kekuasaan Numa Pompilius, ia
mengeluarkan beberapa keputusan-
keputusan, diantaranya:7
Menetapkan atau menambahkan bulan
Januari sebelum bulan Maret.
Menetapkan atau menambahkan bulan
Februari setelah bulan Desember.
Mengubah jumlah hari pada setiap
bulannya menjadi 29 hari dan 30 hari
hingga jumlah hari setiap tahunnya
menjadi 354 hari seperti pada bulan
Qamariah.
Menetapkan setiap 2 tahun sekali
menambahkan 22 hari dan 23 hari silih
berganti, jadi setiap 4 tahun sekali
3. Muhammad Muhammad Fiyadh, al-Taqâwîm,(Kairo: Nahdetmisr, cet. II, 2003), hal.24. 4. Dr. Ali Hasan Musa, al-Tauqît wa al-Taqwîm,(Damaskus: Daru`l Fikri, cet. II, 1998), hal.102.
5. Pada peradaban mesir kuno bintang Sirius disebut pula dengan bintang Spedt yang teradopsi dari bahasa Yunani Shotis.Dengan munculnya bintang Sirius dibagian timur pada malam-malam bulan musim panas sekitar tanggal 19 Tamuz (Juli) dan mulai bersinar diakhir bulan Ab (Agustus) bertepatan dengan datangnya banjir sungai Nil setiap tahunnya.Mesir kuno menjadikan fenomena alam ini sebagai dasar penanggalan yang terus digunakan hingga saat ini.
6. Muhammad Muhammad Fiyadh, op.cit., hal.24. 7. ibid, hal.25.
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
100
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
bertambah 45 hari, ini menjadikan setiap
tahunnya bertambah 11 ¼ hari dan total
setiap tahunnya 365 ¼ hari.
Kemudian masuk pada masa kaisar
Romawi yang terkenal Julius Caesar melihat
banyak kerancuan sistem penanggalan
romawi Kuno yang berdasarkan gerak semu
matahari dan bulan tersebut. Akhirnya Julius
Caesar memerintahkan para astronom untuk
mengoreksi penanggalan tersebut.Atas saran
Sosigenes, seorang astronom asal
Alexandria, Julius Caesar menetapkan
kalendemya menjadi 12 bulan, dengan masa
seminggu tujuh hari sebagaimana yang telah
kita ketahui. Juga ditetapkan tahun Kabisat
setiap 4 tahun sekali, berdasar panjang 1
tahun Matahari adalah 365,25 hari saat itu.
Penanggalan ini dinamakan penanggalan
Julian dan menjadi pondasi awal kalender
Masehi hingga sekarang. Dalam perjalanan
kalender ini Julius Caesar menyisipkan 90
hari ke dalam kalender tradisional Romawi
untuk lebih mendekati ketepatan pergantian
musim. Penyisipan ini sedemikian
cerobohnya sehingga bulan-bulan dalam
kalender itu tidak lagi tepat dengan
perhitungan siklus bulan, padahal dasar dari
kalender Romawi adalah "solar".
Dengan pernyataan di atas Julius
Caesar mengeluarkan maklumat penting dan
berpengaruh luas hingga kini dalam
penggunaan sistem Matahari dalam sistem
penanggalan, adapun maklumat yang
dikeluarkan oleh Julius Caesar, diantaranya:8
Membatalkan pemakaian tahun
Qamariah (pada masa Numa Pompilius)
dan berganti menggunakan tahun
Syamsiyah (Matahari) dengan 365 hari
(tahun Basitah) dan setiap 4 tahun sekali
366 hari (tahun Kabisat).
Pada tahun 708 Romawi berjalan dengan
445 hari, dinamakan dengan tahun
kebingungan (year of confusion),
mayoritas mereka sepakat terjadi pada
tahun 46 SM.
Menetapkan permulaan kalender Julian
dari bulan Januari pada tahun 709
dimulai dari kota Roma. Mayoritas
mereka sepakat awal penggunaan bulan
Januari sebagai awal tahun pada tahun 45
SM.
Menetapkan jumlah hari tiap bulannya
31 hari dan 30 hari silih berganti kecuali
bulan Februari 29 hari pada tahun
Basitah, dan 30 hari pada tahun Kabisat.
Pada tahun 44 SM, Julius Caesar
mengganti nama bulan ke 5 (Quintilis)
dengan menggunakan namanya Julius yang
Agung.9 Pada tahun 8 SM, Oktavianus
Augustus pengganti Julius Caesar
mengabadikan namanya sekaligus mengubah
bulan ke enam (sextilis) dengan namanya
Augustus yang agung. Hal ini Majlis Syurûq
(Senate) menyetujuiperubahan bulan ke 6
(Sextilis) dengan Agustus yang Mulia bagi
Caesar Augustus. Dan gelar ini yang
didapatkan Oktavianus atas kemenangannya
dari Antoniu dalam perang Actium pada
tahun 31 SM. Julius Caesar mengabadikan
namanya pada bulan ke 5 dengan 31 hari
(ganjil). Sedangkan Caesar Augustus
mengabadikan namanya pada bulan ke 6
dengan 30 hari (genap). Kemudian Majlis
Syuruq meramalkan pertanda buruk dari
perhitungan (angka genap bagi kepercayaan
orang Roma sebagai pertanda buruk)
8. Ibid., hal. 25-26. 9. Dr. Ali Hasan Musa,op.cit., hal. 105.
101
pasangannya (Caesar Augustus). Itulah yang
menyebabkan berubahnya bulan Agustus
yang awalnya 30 hari menjadi 31
hari,diambil 1 hari dari bulan Februari yang
jumlanya ketika itu 29 hari sehingga menjadi
hanya 28 hari saja.
Perubahan ini berdampak pada
terjadinya 3 bulan berturut-turut yang
berjumlah 31 hari, dimulai dari Juli, Agustus
dan September.Untuk mengobati keadaan ini
maka diputuskan mulai dari bulan September
30 hari silih berganti hingga Desember 31
hari.Ini merupakan kesalahan para pendeta
(biarawan) dalam pemakaian kalender ini.
Sesungguhnya mereka menafsirkan
penambahan hari disetiap tahun ke 4 akan
menyempurnakan penambahan ini sebelum
datangnya tahun ke 4. Oleh karena itu,
mereka menambahkan pada bulan Februari
setiap 3 tahun sekali. Dan mereka
mengetahui bahwa kaisar Augustus salah
sejak awal atas pemakaian kalender selama
36 tahun, sampai menyebabkan pergeseran
waktu sebanyak 12 hari.Untuk memperbaiki
kesalahan ini, Agustus memerintahkan untuk
meneliti ulang tahun-tahun Basitah yang
terdapat diantara tahun 37 sampai 48
Masehi.Hasilnya penambahan hari terjadi
pada tahun 48 sebanyak 12 hari.
Julius Caesar menetapkan tahun 45 SM
sebagai tahun 1 Julian yang bertepatan
dengan 709 tahun setelah berdirinya kota Ro-
ma. Kemudian pada tahun 532 M seorang
pendeta Rusia, Dionysius Exiguus, merubah
dasar kalender ini yang disesuaikan dengan
lahirnya Isa al-Masih, yaitu hari Sabtu tang-
gal 25 Desember tahun ke-28 masa kekaisa-
ran Agustus menurut riwayat Clement of Al-
exandria. Kaisar Agustus mulai naik tahta
pada tahun 727 Romawi, jadi Isa al-Masih
lahir pada tanggal 25 Desember 754 Romawi,
kemudian 1 januari 75410 Romawi ditetapkan
sebagai 1 Januari tahun 1 Julian.
Setelah diteliti lebih lanjut ternyata Di-
onysius tidak tepat, karena tahun 727 adalah
tahun dimana kaisar Octavius mendapat gelar
Agustus, sedangkan masa pemerintahannya
dimulai sejak tahun 723 Romawi. Jika Isa al-
Masih lahir di tahun ke-28 artinya ia lahir
pada tahun 75011 Romawi, berbeda 4 tahun
dengan tahun yang ditetapkan oleh Dionysi-
us.12
Jika riwayat Clement of Alexandria ini
benar, maka Nabi Isa As. lahir pada tahun
tersebut. Namun pada kenyataannya tidak
ada bukti yang bisa membuktikan kebenaran
akanhal ini. Akan tetapi kelahiran Nabi Isa
As. dapat diteliti dari sejarah hidup Raja
Herodos yang diriwayatkan oleh Yosefos,
sejarawan Yahudi.Bahwa Nabi Isa lahir pada
masa Raja Herodos, dan Raja Herodos
meninggal pada tahun ke-37 (dari masa
kekaisaran Agustus) saat Nabi Isa masih ka-
nak-kanak.
Dalam injil Lukas diceritakan bahwa Isa al-
Masih berumur 30 tahun ketika dibaptis oleh
Yahya, bertepatan pada tahun ke-15 masa
pemerintahan Raja Tiberius. Raja Tiberius
bergabung dengan raja Agustus tahun 765
Romawi, jadi tahun ke-15 adalah tahun 779,13
dan jika Isa al-Masih berumur 30 tahun
maka ia diperkirakan lahir tahun 749
Romawi.
10. Tahun yang sama dengan hari kelahiran Isa Almasih 11. Tahun 723 juga dihitung karena tahun itu belum selesai 12. Muhammad Muhammad Fayadh, op. cit., hal. 30-31
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
102
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Dari sejarah singkat diatas dapat disimpulkan
bahwa tidak ada bukti yang benar-benar
menunjukkan tahun kelahiran Nabi
Isa.Kesalahan yang terdapat pada kalender
masehi ini tidak dikoreksi bahkan masih
tetap dipercayai hingga kini.Hanya saja telah
dibedakan antara tahun kelahiran Isa al-
Masih dengan tahun Masehi.Jadi yang di-
maksud dengan SM (sebelum masehi) adalah
sebelum tahun Masehi dan bukan sebelum
kelahiran Nabi Isa As.14
Walaupun terdapat beberapa kesalahan,
kalender ini tetap digunakan oleh sebagian
besar penduduk bumi hingga tahun 1582
M.Bahkan umat Kristen Ortodoks (gereja
timur) masih menggunakannya, khususnya
untuk menentukan hari Natal.Hingga
akhirnya Pope Gregorius XIII melakukan
modifikasi pada kalender Julian.Perbedaan
kalender yang dinisbatkan kepada Pope
Gregorius XIII ini hanya terletak pada
perbedaan menit.Dalam 16 abad pemakaian
kalender Julian, titik balik surya sudah
bergeser maju sekitar 10 hari dari yang
seharusnya terjadi setiap tanggal 21 Maret
tiap tahun.Hal ini membuat kacaunya
penentuan hari raya Paskah yang bergantung
kepada daur candra dan daur surya di titik
balik tersebut. Dikhawatirkan Paskah akan
semakin bergeser tidak lagi jatuh di musim
semi untuk belahan Bumi utara, serta
semakin menjauhi peringatan hari
pembebasan zaman Nabi Musa
(penyeberangan laut merah).
Sejak hari pertama munculnya kalender
Masehi, para biarawan gereja mendapatkan
hak penuh dan bertindak sewenang-wenang
(sesuka hati) dalam memutuskan
penangguhan masa kekuasaan terhadap
kekuasaan kaisar Romawi. Pada masa Pope
Sixtus IVtahun 1474 M, dilakukan perbaikan
kesalahan yang terdapat pada kalender
Julian.Ia meminta bantuan ketika itu kepada
Astronom terkenal Regiomontanus, yang
akhirnya dapat menyelesaikan tugasnya
dengan cepat sebelum ajal menjemputnya.
Setelah itu, muncullah seorang ahli
Astronom dan ahli Fisika yang terkenal
bernama Ghiraldi dari Napoli yang
direkomendasikan sebagai pengganti
Regiomontanus untuk melanjutkan perbaikan
pada kalender Julian.15
Seiring dengan berjalannya waktu,
kalender Julian yang sudah tampak sempurna
itu lama-lama memperlihatkan
kemelesetannya juga.Apabila pada zaman
Julius Caesar jatuhnya musim semi mundur
hampir 3 bulan, kini musim semi justru
dirasakan maju beberapa hari dari patokan.
Akhirnya kemelesetan itu dapat diketahui
sebab-sebabnya, kala revolusi bumi yang
semula dianggap 365.25 hari, ternyata
tepatnya 365 hari, 5 jam, 56 menit kurang
beberapa detik, jadi ada kelebihan
menghitung 4 menit setiap tahun yang makin
lama makin banyak jumlanya.
1 tahun Julian lebih panjang dari rata-
rata 1 tahun tropis selama 0,0078 hari
(365,25 – 365,2422 = 0,0078) atau 11 menit
14 detik. Selisih tersebut dalam jangka waktu
128 tahun mencapai 23 jam 57 menit 41,76
detik atau 1 hari, dan setelah 1280 tahun
kesalahan mencapai 10 hari. Kesalahan ini
mengakibatkan bergesernya musim-musim
dari waktu sebenarnya.Tahun ke-128 menjadi
standar karena tahun tersebut memiliki sisa
13. Bukan tahun 780 karena tahun dimulainya (765) juga dihitung 14. Ibid., hal. 181-183
103
hari terkecil.
Penjelasan:
128 × 365,2425 = 46751,04
128 tahun: 128 × 0,0078 × 24 = 23,9616
dibulatkan menjadi 24 jam = 1 hari
Dalam masa 400 tahun selisih tahun
Julian dengan tahun tropis mencapai 3 hari,
(400 × 0,0078 = 3,12) artinya setiap 400 ta-
hun Julian harus dikurangi sebanyak 3 hari.
Pengurangan ini dilakukan dengan mengubah
sistem tahun kabisat.Jika suatu tahun habis
dibagi 4 tetapi tidak habis dibagi 100, terma-
suk tahun kabisat.Contohnya, tahun 1612
1704 termasuk tahun kabisat.Jika suatu tahun
habis dibagi 100, tetapi tidak habis dibagi
400, maka tahun tersebut bukan tahun
kabisat.Jika habis dibagi 400, termasuk tahun
kabisat. Jadi, tahun 1700 1800 1900 bukan
tahun kabisat, sedangkan tahun 1600 2000
2400 termasuk tahun kabisat.16
Tahun ke-400 dijadikan standar karena
pada tahun tersebut tidak memiliki sisa hari.
Penjelasan:
1 tahun pendek = 365 hari = 52 minggu + 1
hari
1 tahun kabisat = 366 hari = 52 minggu + 2
hari
1 abad = 76 tahun pendek + 24 tahun
kabisat17
1 abad = (76 × 1) + (24 × 2) = 124 hari
124 hari = 17 minggu + 5 hari
Jadi:
1 abad = (52 × 100) + 17 minggu + 5 hari
2 abad = (52 × 200) + 18 minggu + 3
hari
3 abad = (52 × 300) + 19 minggu + 1
hari
4 abad = (52 × 400) + 20 minggu + 0
hari
Dalam kalender Gregorian terdapat 97 tahun
kabisat pada setiap 4 abad. Jadi panjang rata-
rata 1 tahun Gregorian adalah 365,2425 hari
atau 365 hari 5 jam 49 menit 12 detik. Se-
dangkan panjang tahun tropis adalah 365 hari
5 jam 48 menit 46 detik. Selisihnya dalam
setahun adalah 0,0003 hari atau 26 detik,
yang berarti akan terjadi perbedaan 1 hari
setelah ±3300 tahun, dan solusi yang terbaik
untuk menanggulanginya adalah menjadikan
tahun ke 4000 menjadi tahun pendek.18
Penjelasan:
1 tahun Gregorian: 365 + (97 ’ 400) =
365,2425
1 tahun tropis : 365,2422
selisihnya : 365,2425 – 365,2422 = 0,0003
hari
0,0003 × 24 = 0,0072 jam = 25,92 detik dibu-
latkan menjadi 26 detik
0,0003 × 3300 = 0,99 hari
Dan sejak tahun 325 M hingga tahun
1582 M selisih mencapai 10 hari.Oleh karena
itu, pada tanggal 5 Oktober 1582 kalender
Julian diganti menjadi tanggal 15 Oktober
1582 Gregorian.Dan pada tanggal inilah
ditetapkannya kalender Gregorian sebagai
kalender gereja.Koreksi yang dilakukan pada
kalender ini bertujuan untuk mengembalikan
ketepatan waktu-waktu peribadatan yang
telah bergeser hingga 10 hari dari yang
semestinya. Pada tahun Julian 365,25 hari,
15. Dr. Ali Hasan Musa, op.chit, hal. 107.
16. Muhammad Muhammad Fayadh, op. cit., hal. 32-33 17. Sebenarnya 1 abad memiliki 25 tahun kabisat, namun tahun ke-100 telah disepakati bukan sebagai tahun
kabisat, oleh karena itu 1 abad hanya memiliki 24 tahun kabisat.
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
104
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
maka pada tahun gregorius mencapai
365,2422 hari, jadi perbedaan antara kalender
Julian dengan kalender Gregorian mencapai
0.0078 hari atau 11 menit 14 detik. Hal ini
membuat tahun-tahun berikutnya kacau
hingga membuat pengoreksian ulang
terhadap kalender Julian.
Atas kemelesetan itu, Paus Gregious XIII
pimpinan gereja Katolik di Roma pada tahun
1582 melakukan koreksi dan mengeluarkan
sebuah keputusan bulat:
1. Angka tahun pada abad pergantian, yakni
angka tahun yang diakhiri 2 nol, yang tid-
ak habis dibagi 400, misal 1700, 1800 dan
sebagainya, bukan lagi sebagai tahun
Kabisat (catatan: jadi thn 2000 yang habis
dibagi 400 adalah tahun Kabisat).
2. Untuk mengatasi keadaan darurat pada
tahun 1582, diadakan pengurangan
sebanyak 10 hari jatuh pada bulan Ok-
tober. Pada bulan Oktober 1582, setelah
tanggal 4 Oktober langsung ke tanggal 15
Oktober.
3. Sebagai pembaharu terakhir Paus Gregori-
us XIII menetapkan 1 Januari sebagai
awal tahun baru lagi. Berarti perhitungan
biarawan Katolik (Dionysius Exiguus)
tergusur seketika itu juga. Tahun baru
bukan lagi tanggal 25 Desember se-
bagaimana yang dipahami sebagai hari
kelahiran Nabi Isa As. (Yesus) yang lahir
pada tanggal tersebut; dan permulaan
musim semi pada tanggal 21 Maret.
Pemikiran tentang koreksi ini
sebenarnya telah mulai dipergunjingkan
dengan keluarnya tabel-tabel koreksi oleh
gereja sejak masa Paus Pius V pada tahun
1572. Dekrit rekomendasi baru dikeluarkan
oleh penggantinya, yaitu Paus Gregorius
XIII, dan disahkanlah pada tanggal 24
Februari 1582 dengan mendatangkan seorang
ahli astronomi sekaligus seorang biarawan
bernama Christopher Clavius. Isinya antara
lain tentang koreksi daur tahun Kabisat dan
pengurangan 10 hari dari kalender
Julian.Sejak tahun 325 M hingga tahun 1582
M selisih mencapai 10 hari.Oleh karena itu,
pada tanggal 5 Oktober 1582 kalender Julian
diganti menjadi tanggal 15 Oktober 1582
Gregorian.Pada tanggal inilah ditetapkannya
kalender Gregorian sebagai kalender
gereja.Tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582
tidak pernah ada dalam sejarah kalender
ini.Sejak saat itu, titik balik surya bisa
kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret
tiap tahun, dan tabel bulan purnama yang
baru disahkan untuk menentukan perayaan
Paskah di seluruh dunia.
Pada mulanya yang mengikuti kepu-
tusan paus untuk mengubah kalender sudah
tentu hanyalah negara-negara Eropa yang
mayoritas Katolik.Hal ini pun menimbulkan
kegemparan di kalangan masyarakat awam.
Banyak orang yang ketakutan seandainya
usia mereka berkurang sepuluh hari, dan para
pekerja menuntut upah bagi sepuluh hari
yang dianggap hilang. Adapun negara-negara
Protestan, Anglikan dan Ortodoks tetap me-
makai kalender Julian.Mereka mencurigai
mungkin saja keputusan paus itu hanya taktik
untuk mengembalikan otoritas Katolik Roma
di bidang agama.Apalagi Paus Gregorius
XIII sangat dibenci kaum Protestan, sebab
memprakarsai pembunuhan massal orang
Protestan pada hari Santo Bartholemeus di
Paris tahun 1572.
Menjelang akhir abad ke-17, tahun
1698, seorang ilmuwan Jerman yang
18. Muhammad Muhammad Fayadh, op. cit., hal. 34
105
berwibawa saat itu, Prof. Dr. Erhard Weigel,
mengirim surat kepada raja-raja Eropa yang
beragama Protestan agar menerima kalender
Gregorian. Weigel menegaskan bahwa
pemakaian kalender itu tidaklah berarti
tunduk kepada paus. Ini masalah ketepatan
peredaran benda langit, kata Weigel, bukan
masalah agama.
Maka pada awal abad ke-18 negara-
negara Protestan menerima kalender
Gregorian. Inggris negara Anglikan mulai
mengikutinya pada tahun 1752, dengan
menyatakan bahwa setelah tanggal 2
September 1752 langsung tanggal 14
September 1752. Hal ini juga berlaku untuk
seluruh jajahan Inggris, termasuk Amerika
Utara (Amerika Serikat dan Kanada
sekarang) yang saat itu belum merdeka.
Akibatnya, George Washington, yang
nantinya menjadi presiden pertama Amerika
Serikat, terpaksa mengubah tanggal lahirnya
dari 11 Februari 1732 menjadi 22 Februari
1732.
Negara-negara Eropa Timur yang
menganut Kristen Ortodoks baru menerima
kalender Gregorian sesudah Perang Dunia I
berakhir. Rusia memberlakukannya tahun
1918 dengan menyatakan bahwa 31 Januari
langsung disusul 13 Februari. Hari
penghapusan kekaisaran Rusia yang
berlangsung tanggal 7 November 1917
(menurut kalender Gregorian) sampai
sekarang masih disebut ―Revolusi Oktober‖,
sebab hari itu di Rusia masih berlaku
kalender Julian tanggal 25 Oktober. Negara
Eropa terakhir yang menerima kalender
Gregorian adalah Yunani tahun 1923.
Di negara-negara Asia, Afrika dan
Amerika Latin, penyebaran kalender
Gregorian dilakukan oleh negara-negara
Eropa yang menjajahnya. Mesir mulai
memakai kalender ini tahun 1875 pada masa
Khadev Ismail. Dan secara resmi dipakai di
seluruh Indonesia mulai tahun 1910 dengan
berlakunya Wet op het Nederlandsch
Onderdaanschap, hukum yang
menyeragamkan seluruh rakyat Hindia
Belanda.19
Kalender Hijriah
Dimasa pra Islam, belum dikenal
penomoran tahun seperti yang kita kenal saat
ini, sebuah tahun ditandai dengan nama
peristiwa yang terjadi, seperti ―Tahun
Gajah‖ (tahun lahirnya baginda Nabi
Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi
penyerbuan Ka‘bah oleh pasukan bergajah
yang dipimpin Abrahah. Setelah datangnya
Islam, penanggalan juga senantiasa
ditetapkan berdasarkan kejadian-kejadian
yang ada, dinamakanlah tahun pertama
hijrahnya Nabi Muhammad sebagai
tahun'idzn' (izin) yaitu tahun diizinkannya
untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun
'amr' (perintah), yaitu tahun diperintahkannya
untuk berperang. Tahun ketiga disebut tahun
'tamhîsh' (ujian), tahun keempat disebut
tahun ‘tarfi’ah’, tahun kelima disebut tahun
'zilzâl' (gempa), tahun keenam disebut tahun
'isti'nâs' (keramahan), tahun ketujuh disebut
tahun 'istiqlâb' (peleburan), tahun kedelapan
disebut tahun istiwâ' (tropis), tahun
kesembilan disebut tahun
'barâ'ah' (pembebasan), tahun kesepuluh
disebut tahun 'wada'' (haji wada'), dan
sebagainya.20
Pada awalnya penamaan tahun-tahun
yang telah berlangsung lama ini tidak
terdapat masalah. Hingga pada masa
Khalifah Umar bin Khattab,beliau mendapat
surat dari sahabat Musa Al Asy‘ari, gubernur
Kuffah yang isinya:21
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
106
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
“Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari
kamu beberapa surat-surat, akan tetapi surat
-surat itu tidak ada tanggalnya”.
Setelah membaca surat tersebut terjadi
sebuah kebingungan pada surattersebut yang
hanya tercantum bulan syaban tanpa
diketahui bulan syaban tahun ini ataukah
bulan syaban tahun kemarin. Akhirnya
setelah kejadian tersebut khalifah Umar
memanggi l beberapa orang sahabat
terkemuka guna membahas permasalahan
tersebut serta mencari solusi agar tidak
terulang lagi.Dengan berbagai usulan dan
pendapat akhirnya rapat memutuskan dan
memilih awal kalender Islam dimulai dari
tahun hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari
Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan
dari sahabat Ali ra. Dinamakanlah kalender
tersebut dengan Kalender Hijriah. Sejak saat
itu, ditetapkan tahun hijrah Nabi sebagai
tahun satu, (1 Muharram 1 H) bertepatan
dengan (16 Juli 622 M). Dan tahun
dikeluarkannya keputusan itu langsung
ditetapkan sebagai tahun 17 H.
Sedangkan nama-nama bulan pada kal-
ender hijriah tetap menggunakan nama-nama
bulan yang sudah ada sejak masa pra islam
dan dikenal oleh masyarakat arab saat itu.
Adapun nama-nama bulan pada kalender hi-
jriah, diantaranya:
Muharam
Bulan Muharram merupakan bulan per-
tama pada penanggalan Hijriah. Pada ma-
sa Jahiliah, Bulan tersebut memiliki nama
bulan Safar Awal, karena saat itu terdapat
dua bulan Safar. Bulan Muharram sendiri
merupakan nama dari bulan Rajab pada
masa Jahiliah. Dari segi bahasa, Muhar-
ram memiliki arti pelarangan, yang mana
pada bulan Muharram terdapat larangan
untuk saling berperang.22
Safar
Bulan kedua dari bulan Hijriah dan ju-
ga pada zaman Jahiliah.Dari segi bahasa,
Safar berasal dari kata sifat untuk warna
emas, yaitu kuning.Hal tersebut dikare-
nakan daun-daun di dahan pohon
menguning pada saat itu, karena bulan ter-
sebut merupakan salah satu bulan pada
awal musim panas. Pada bulan safar ini
pulalah kaum Arab kembali untuk ber-
perang, dan melaksanakan kegiatan mere-
ka sebagaimana biasanya setelah
selesainya bulan Muharram yang diha-
ramkan di dalamnya untuk berperang.23
Rabiul Awal dan Rabiul Tsani
Dua bulan tersebut merupakan bulan
ketiga dan keempat dalam penanggalan
Hijriah.Rabī‟ berarti semi yaitu musim
semi terjadi pada dua bulan tersebut.Pada
zaman Jahiliah, bangsa Arab belum
mengenal pembagian empat musim da-
lam satu tahun, sehingga mereka mem-
bagi satu tahun menjadi enam musim.24
Bangsa Arab pada zaman Jahiliah mem-
beri nama bulan Rabiul Awal dengan
Khowān dan bulan Rabiul Akhir dengan
Basyān.25
19. http://maulanusantara.wordpress.com/2008/01/04/kalender-masehi-sekarang-seharusnya-tahun-2013-masehi/ (diakses tanggal 10 november 2013 pukul 17:10)
20. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, Teori Astronomi Fikih dan Praktek, (Kairo: Lembaga Penerbitan PCIM-Kairo, cet. II, 2010), hal.24.
21. Dr. Nazar Mahmud Qasim al-Syeikh, al-Ma’âyîr al-Fiqhîyah wa al-Falakîyah fî I’dâdi al-Taqâwîm al-Hijrîyah, (Beirut: Darul Basyair al-Islamiyah, 2009) hal. 128-131. Lihat juga: Prof. Dr. Susiknan Azhari, Kalender Islam ke Arah Integrasi Muhammadiyah-NU,(Yogyakarta: Museum Astronomi Islam, 2012), hal. 47.
107
Jumadil Awal dan Jumadil Akhir
Bulan kelima dan keenam dari pe-
nanggalan Hijriah. Bangsa Arab pada
zaman Jahiliah menyebutnya dengan bu-
lan Jumādal Sittah dan Jumādal sab‟ah
dan memberi julukan untuk dua bulan
tersebut dengan syaibāni atau milhāni
yang berarti dua uban dan dua garam, hal
itudisebabkan karena kedua bulantersebut
merupakan bulan di musim dingin, kare-
nanya, bulan tersebut diberi nama
jumāda yang diambil dari kata jamad
yang berarti beku.26
Rajab
Rajab merupakan bulan ketujuh dari
penanggaalan Hijriah. Bangsa Arab pada
zaman jahiliah memberinya nama dengan
al-asyommu, sebab diberinya nama terse-
but dengan diharamkannya bangsa Arab
untuk berperang pada bulan-bulan terse-
but.27
Sya‘ban
Bulan Sya‘ban merupakan bulan
kedelapan dari penanggalan Hijriah. Pada
zaman Jahiliah bulan ini memiliki na-
ma„Ādil yang berarti tidak memihak pada
satu sisi.Bulan Sya‘ban merupakan Bulan
sapi yang disucikan dan diagungkan oleh
Bangsa Sumiriyah.Ia juga merupakan
Bulan Ketuhanan bagi Bangsa Babilonia.
Selain ituia juga disebut bulan Tuhan Ke-
hidupan oleh Bangsa Yunani dan Bangsa
Romawi.28
Ramadan
Bulan Ramadan merupakan bulan
kesembilan dari penanggalan Hi-
jriah.Bulan ini merupakan bulan am-
punan yang penuh berkah, karena dalam
bulan tersebut diampuninya dosa-dosa
hamba-Nya yang bertaubat.Bulan ini
merupakan bulan kesabaran.Bulan Rama-
dan merupakan satu-satunya bulan Hijri-
yah yang disebut dalam ayat al-Quran.
Pada zaman Jahiliah, bangsa Arab mem-
berinya namaNātiq, dan pada riwayat
lainnya Nāfiq. Ramadan diambil dari kata
Ramdu, yang memiliki arti kata panas
yang sangat menyengat.29
Syawal
Bulan Syawal merupakan bulan kese-
puluh dalam penanggalan Hijriah. Pada
masa Jahiliah, bangsa Arab memberinya
nama dengan wâgil ( ) atau wa‟Il اغم(
dan setelah datang islam bulanعم(
tersebut diberi nama baru yaitu syawal.
Bulan Syawal dalam penanggalan Ba-
bilonia disebut dengan bulan Abu.30
Dzulqo‘dah
Bulan kesebelas dari penanggalan Hi-
jriah. Pada masa Jahiliah bulan ini berna-
ma Hawā‟ yang memiliki makna nikmat
yang melimpah. Kata Dzulqo‘dah berasal
dari kata Qo‟ada yang berarti duduk atau
berhenti, disebut Dzulqo‘dah karena pada
bulan tersebut kaum Arab berhenti untuk
berperang. Bulan Dzulqo‘dah dan
22. Dr. Samir Syams, Taqâwîm, (Beirut: Dar Shadir, cet. I, 2006), hal. 64-67. 23. Ibid.,hal. 67-69. 24. Adapun enam musim yang dimaksud adalah dua bulan untuk musim semi yang pertama, dua bulan untuk
musim gugur, dua bulan untuk musim dingin, dua bulan untuk musim semi yang kedua, dua bulan untuk musim panas, dua bulan untuk musim sangat panas.
25. Dr. Samir Syams, op.cit.,hal. 69-72. 26. Ibid., hal. 72-75.
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
108
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Dzulhijjah merupakan bulan untuk
berdagang dan berbelanja, karena pada
bulan tersebut merupakan bulan haji se-
hingga banyak suku-suku bangsa Arab
yang berdatangan ke kota Makkah untuk
berhaji, oleh karena itu banyak dari
masyarakat Arab yang memanfaatkannya
untuk berdagang, mereka mendirikan
pasar-pasar, contoh pasar terbesar pada
masa itu adalah yang terletak antara kota
Makkah dan Thoif.31
Dzulhijah
Bulan terakhir dari penanggalan Hi-
jriah. Pada masa Jahiliah, bangsa Arab
memberinya namaBuraka. Bulan tersebut
memiliki keutamaan tersendiri bagi bang-
sa Arab, hal tersebut dikarenakan pada
bulan Dzulhijjah ditunaikannya ibadah
haji sebagai salah satu dari rukun Is-
lam.Pada bulan ini pula diharamkan un-
tuk berperang.32
Landasandan Metode Penanggalan
Kalender Masehi
Penanggalantahun matahari, yang
dikenal juga dengan tahun tropical (sanah al
madariyah), adalah periode berakhir/
berlalunya dua kedudukan di matahari dari
titik hamal (i'tidal rabî'î) secara gerak semu
disekitar Bumi dengan masa 365 hari 5 jam
48 menit 46 detik (365,2422 hari).33 Seperti
yang telah kami paparkan diatas kalender
masehi berdasarkan pergerakan matahari atau
gerak semu matahari mengelilingi bumi.
Gerak semu matahari dibagi menjadi dua,
diantaranya:
a. Gerak Semu Matahari Harian
Matahari memiliki gerak semu harian
yang berbentuk lingkaran, disebut dengan
lingkaran ekliptika, setengah lingkaran be-
rada diatas ufuk dan sisanya dibawah ufuk.
Gerak matahari akan dimulai dari titik timur
(terbit) dan berakhir (tenggelam) di titik bar-
at, titik terbit matahari dapat berubah-ubah
sepanjang tahun, hal ini disebabkan oleh
kemiringan poros bumi terhadap cahaya ma-
tahari akibat revolusi bumi. Oleh karena itu
lingkaran ekliptika yang berada diatas ufuk
dapat berubah-ubah dan waktu siang pun
akan berubah sesuai dengan lingkaran terse-
but. Titik terbit matahari pada musim dingin
akan mendekati arah selatan, maka waktu
siang pada musim dingin akan lebih pendek
dibanding waktu siang pada musim panas
dan begitu pula sebaliknya.34
b. Gerak Semu Matahari Tahunan
Adalah gerak semu matahari yang ter-
lihat dari bumi setiap tahun akibat revolusi
bumi. Saat bumi dan benda-benda langit
lainnya bergerak mengelilingi matahari maka
benda-benda tersebut akan kembali ke posisi
awal relatif terhadap matahari, lain halnya
dengan matahari yang selalu berubah apabila
diukur dengan bintang-bintang yang tetap.
Contohnya jika hari ini matahari terlihat
berdekatan dengan rasi bintang Leo, esok
hari matahari akan terlihat berdekatan dengan
rasi bintang lainnya.35
Ada dua jenis gerak semu matahari ta-
hunan;
1. Tahun sideris (sidereal year) adalah
27. Ibid.,hal. 75-78. 28. Ibid.,hal. 78-82. 29. Ibid.,hal. 83-87. 30.Ibid.,hal. 87-89. 31. Ibid.,hal. 89-93.
109
periode yang dibutuhkan matahari un-
tuk berputar 360º pada lingkaran
ekliptika atau periode yang dibutuhkan
matahari untuk bergerak semu dimulai
dari suatu titik yang tetap dan kembali
kepada titik tersebut yaitu 365,2564
hari.
2. Tahun tropis (tropical year) adalah
periode yang dibutuhkan matahari un-
tuk bergerak semu mengelilingi bumi
dimulai dari titik equinox 136 menuju
equinox 2 dan kemudian kembali ke
equinox 1 yaitu 365,2422 hari.
Perhatikan gambar diatas, pertama ta-
hun sideris membutuhkan waktu berputar
penuh 360º mengelilingi garis ekliptika (yang
berwarna merah) dari titik awal sampai keti-
tik awal lagi dan membutuhkan waktu
365,2564 hari.Kedua, tahun tropis dimulai
dari titik equinox 1 (titik vernal equinox) ke
titik equinox 2 (titik autumnal equinox) sam-
pai akhirnya kembali ke titik equinox 1 dan
membutuhkan waktu 365,2422 hari.
Dari kedua tahun diatas, yang sering
dipakai sebagai dasar pembuatan kalender
adalah tahun tropis saja. Hal ini disebabkan
karena tahun sideris tidak sesuai dengan ak-
tivitas manusia di bumi, karena ketika ma-
tahari bergerak semu mengelilingi bumi
maka ia akan memiliki kecepatan yang tidak
tetap jika diukur berdasarkan bintang
lainnya.37
Disamping itu bumi memiliki
kemiringan 23,5º dari titik porosnya dan be-
rakibat bumi memiliki 4 musim. Salah satu
ciri kalender masehi sesuai dengan perganti-
an musim. Musim semi dimulai sejak tanggal
21/22 maret tiap tahunnya, musim panas dim-
ulai sejak tanggal 20/21 juni tiap tahunnya,
musim gugur dimulai sejak tanggal 22,23
september tiap tahunnya dan musim dingin
dimulai sejak tanggal 21/22 desember tiap
tahunnya. Lebih jelasnya silahkan perhatikan
gambar dibawah ini:
Kalender Hijriah
Penanggalan bulan (qamary) adalah
penanggalan yang didasarkan pada peredaran
Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya
dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit 3
detik (29,530589 hari)dengan kecepatan
3.700juta km/jam.38 Dari peredaran ini,
dalam 12 bulan berarti sama dengan
354,3670694 hari (354 hari, 8 jam, 8 menit,
35 detik), yang berarti lebih sedikit dari tahun
Matahari sekitar 11 hari (10 hari 21 jam).
Penanggalan Bulan dimulai dari terbenamnya
Matahari (setelah terjadinya konjungsi Bulan
dan Matahari) yang ditandai dengan
terlihatnya hilal atau dengan perhitungan
(hisab). Penanggalan ini digunakan umat
Islam dalam menentukan waktu-waktu
ibadah terutama penetapan awal Ramadan-
Syawal dan Dzulhijjah.39
Adapun dua jenis pergerakan bulan,
sebagai berikut:
1. Bulan Sideris (Siderial month): periode
yang dibutuhkan bulan untuk berputar
360° mengelilingi bumi, lamanya
27,321 hari.F
2. Bulan Sinodis (Synodic month): periode
antara satu bulan baru dengan bulan
32. Ibid.,hal. 93-98. 33. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, op.cit.,hal. 17-18., lihat juga: Dr. Ali Hasan Musa, op.cit.,hal. 99. 34. Dr. Ali Hasan Musa, op.cit., hal. 9-11 35. Ibid, hal. 11-13
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
110
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
baru lainnya, lamanya 29,53059 hari
atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.
Ada perbedaan sekitar 2 hari dengan
siderial month karena bumi juga berev-
olusi terhadap matahari pada arah yang
sama, sehingga untuk mencapai
konjungsi berikutnya memerlukan tam-
bahan waktu.F40
Perhatikan dua gambar diatas, pertama
bulan sideris adalah perputaran bulan
mengelilingi bumi dari titik awal sampai keti-
tik awal sebelumnya sebesar 360° (satu pu-
taran penuh) yang membutuhkan waktu
27,321 hari. Kedua bulan sinodis adalah per-
putaran bulan mengelilingi bumi dari titik
konjungsi41 sampai ke titik konjungsi beri-
kutnya yang membutuhkan waktu 29,53059
hari. Perputaran bulan mengelilingi bumi
yang disebut juga dengan revolusi bulan
mengelilingi bumi searah dengan revolusi
bumi mengelilingi matahari.Disamping bulan
berevolusi, bulan juga berotasi pada po-
rosnya. Rotasi bulan dan revolusi bulan sama
membutuhkan waktu 29,53059 hari. Hal ini
mengakibatkan wajah bulan yang tampak ke
bumi hanya sebagian saja (selalu sama tidak
pernah berubah) dan mengalami perubahan
bentuk bulan (fase-fase bulan), sedangkan
sebagian yang lainnya tidak akan pernah kita
bisa melihatnya dari bumi. Lebih jelasnya
fase-fase bulan perhatikan gambar dibawah
ini :
Kalender Hijriah juga memiliki tahun
panjang dan tahun pendek atau biasa disebut
dengan tahun kabisat (tahun panjang) dan
tahun basithah (tahun pendek).Pada kalender
masehi tahun kabisat itu 4 tahun sekali dan
sisanya tahun basithah atau biasa disebut
dengan 1 daur 4 tahun sekali. Sedangkan pa-
da kalender hijriah 1 daurnya selama 30 ta-
hun, dalam 1 daur terdapat 11 kali tahun
kabisat dan 19 kali tahun basithah. Pada kal-
ender masehi satu tahunnya selama 365,25
hari, untuk menggenapkan 0,25 hari hanya
dibutuhkan 4 kali putaran atau selama 4 ta-
hun, sedangkan pada kalender hijriah satu
tahunnya selama 354,3670694 hari atau 354
hari, 8 jam, 8 menit, 35 detik, untuk
menggenapkan sisa hari 8 jam, 8 menit, 35
detik tersebut membutuhkan waktu paling
cepat 30 tahun. Inilah letak perbedaan tahun
kabisat dan tahun basithah antara kalender
masehi dengan kalender hijriah. Untuk lebih
36. Equinox 1 dan 2 adalah titik perpotongan antara lingkaran ekliptika dengan lingkaran ekuator langit.Lihat: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, op.cit., hal. 18
37. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman, Sibâhah Fadhâiyah fî Âfâqi ‘Ilmi Falak, (Kuwait: al-Âjiry, 1999), hal. 212-213 38. Dr. Nazar Mahmud Qasim al-Syeikh, op.cit.,hal. 152.
111
39. Arwin Juli Rakhmadi Butar Butar, op.cit.,hal. 19. 40. Abdul Aziz Bakri Ahmad, Mabâdi’ ‘Ilmi’l Falak al-Hadîts, (Kairo: Maktabah al-Dâr al-‘Arabiyah li’l Kitâb, cet. I,
2010), hal. 539. Lihat juga: Syarqawi Muhammad Shâlih al-Dalâl, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah, vol. II (Kuwait: Mu’assasah al-Kuwait li al-Taqaddum al-‘Ilmi, t.t), hal. 1741.
41. Terjadinya konjungsi; dimana kedudukan Matahari, Bulan dan Bumi berada pada satu garis lurus bidang ekliptika. Lihat: Dr. Nazar Mahmud Qasim al-Syeikh, op.cit.,hal. 151-159.
jelasnya tahun kabisat dan tahun basithah
pada kalender hijriah perhatikan syair
bibawah ini:
كف انخهيم كف ديبو # عه كم خم حب فصبو
Tiap huruf yang bertitik menunjukkan
tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik
menunjukkan tahun basithah. Dengan
demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada
tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26
dan 29, sedangkan sisanya adalah tahun
basithah.42
Dalam hal penerapannya secara global
ada 2 cara dalam menentukan awal bulan
(diluar pro dan kontra) yaitu dengan cara
rukyat dan hisab. Pertama rukyat hilal,
secara harfiyah rukyat bermakna melihat dan
memandang dengan mata.Sedangkan hilal itu
sendiri secara harfiyah bermakna bulan sabit
muda.Menurut pengertian syariah, rukyat hi-
lal berarti melihat dengan mata telanjang
setelah terbenamnya matahari pada hari ke-
29 dari bulan yang lalu dari orang yang
mengakui telah melihat hilal dan menerima
kesaksiannya, kemudian memutuskan ma-
suknya bulan baru berdasarkan kesaksian
orang tersebut.Kedua hisab falak, secara
harfiah, hisab bermakna perhitungan, dalam
Firman Allah Swt. yang berbunyi, ―Matahari
dan bulan beredar menurut perhitungan”. 43
Kata falak itu sendiri berarti gerak edar
(orbit) bintang-bintang. Menurut istilah hisab
falak berarti ilmu yang membahas tentang
keadaan bintang-bintang dilangit, atau ilmu
yang mempelajari apa-apa yang ada dilangit,
misalnya planet-planet, matahari, bulan dan
bintang-bintang.
Simpulan
Demikian pemaparan singkat tentang
sejarah singkat perkembangan kalender
masehi dan kalender hijriah serta landasan
dan metode penerapan keduanya.Kesimpulan
dari pembahasan diatas adalah bahwa dalam
sistem penanggalan kalender Masehi terdapat
banyak sekali kerancuan dan kebingungan.
Salah satu sebab kerancuan dan kebingungan
yang terjadi adalah karena kebiasaan orang-
orang yang berkuasa dan berkepentingan
pada masa itu untuk merubah penanggalan
sesuai dengan kebutuhan dan kehendak
mereka. Tidak jauh beda dengan sstem
penanggalan, bahkan kitab suci agama
mereka pun bisa dirubah sesuai dengan
kepentingan mereka.
Sebenarnya jika ditelaah lebih
mendalam, pemakaian kalender Hijriah jauh
lebih tepat dan akurat karena tidak pernah
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
112
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
42. Dr. Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muham-madiyah, cet. II, 2007), hal. 103. Lihat juga: Dr. Muhammad Basil al-Tha’I, Ilmu Falak wa al-Taqâwîm, (Beirut: Dar al-Nafais, 2007), hal. 248.
43. QS. ar-Rahman: 5
terjadi perubahan dan pergeseran sejak awal
ditetapkannya benarlah bahwa al-Quran
dapat dijadikan bukti nyata bahwa
penggunaan kalender hijriah lebih mudah
dalam pemakaian dan lebih terjaga
ketepatannya, sedangkan di dalam kalender
masehi telah terjadi perubahan dan
pergeseran oleh tangan-tangan orang yang
tidak bertanggung jawab. Namun tidak
semua orang dapat menyadarinya. Hanya
orang-orang yang berilmulah yang dapat
mengetahuinya. Walaâhu a‟lamu bi al-
Shawâb
Daftar Pustaka
Alquran al-Karim.
Ahmad, Abdul Aziz Bakri.2010.Mabâdi’ ‘Ilmi’l
Falak al-Hadîts. Kairo: Maktabah al-Dâr
al-‘Arabiyah li’l Kitâb.
Al-Dalal, Syarqawi Muhammad Sha-
lih.t.t.Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l
Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah. Ku-
wait: Mu’assasah al-Kuwait li al-
Taqaddum al-‘Ilmi.
Al-Tha’I, Muhammad Basil. 2007. Ilmu Falak
wa al-Taqâwîm.Beirut: Dar al-Nafais.
Al-Syeikh, Nazar Mahmud Qasim.2009.al-
Ma‟âyîr al-Fiqhîyah wa al-Falakîyah fî
I‟dâdi al-Taqâwîm al-Hijrîyah.Beirut:
Darul Basyair al-Islamiyah.
Azhari, Susiknan. 2012. Kalender Islam ke
Arah Integrasi Muhammadiyah-
NU.Yogyakarta: Museum Astronomi
Islam.
-----------------. 2007.Ilmu Falak Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Butar Butar, Arwin Juli Rakhmadi. 2010.Teori
Astronomi Fikih dan Praktek.Kairo:
Lembaga Penerbitan PCIM-Kairo.
Muhammad, Muhammad Fiyadh. 2003.al-
Taqâwîm. Kairo: Nahdetmisr.
Musa, Ali Hasan. 1998.al-Tauqît wa al-
Taqwîm. Damaskus: Daru`l Fikri.
Sulaiman, Muhammad Ahmad. 1999.
Sibâhah Fadhâiyah fî Âfâqi „Ilmi Fa-
lak. Kuwait: al-Âjiry.
Syams, Samir. 2006.Taqâwîm. Beirut: Dar
Shadir.
113
Muhammad Faiq Aziz dilahirkan di Semarang tanggal 20
Juli 1991. Selepas lulus sekolah dasar Faiq kemudian
melanjutkan perjalanannya menuntut ilmu ke Pondok
Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Faiq sempat
merasakan bagaimana menjadi pengurus tata usaha di
pondok dan juga menjadi staf foto copy ketika di Pondok.
Faiq menjadi alumni pada tahun 2009 dan kemudian
mengabdi sebagai pengajar selama setahun di Pondok Modern Darul Ma‘rifat Gontor 3 Kediri.
Selepas mengajar selama setahun, Faiq melanjukan perjalanan intelektualnya ke Mesir dan kini
tercatat sebagai Mahasiswa tingkat akhir di Jurusan Sejarah Fakultas Bahasa Arab, Universitas
Al-Azhar Kairo. Selain kuliah Faiq juga mengikuti beberapa kajian di antaranya kajian I‘jaz
tentang tafsir dan kajian Klub Sejarah. Makanan kesukaan Faiq adalah bebek goring. Dan moto
favoritnya: man jadda wajada. Anda bisa menghubungi Faiq melalui:
Facebook: Faiq Aziz No HP: 01140961212
Umar Abdulloh lahr pada tanggal 27 Mei 1991. Setelah
menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, ia melanjutkan pendidi-
kannya di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Selain suka
menulis, Umar juga menyukai Bahasa Inggris sejak di pondok hingga
akhirnya Umar dipilih menjadi salah satu staf Penggerak Bahasa
Pusat di Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM). Dan kemudian
lulus pada tahun 2007.
Selama di Mesir Umar telah malang melintang di dunia jurnalisti Masisir. Sempat men-jadi Pemimpin Redasi Bulletin Carawala IKPM, kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Majalah la tansa IKPM, dan dirinya sempat tercatat pula sebagai tim redaksi Buletin Informatika ICMI Kairo. Makanan kesukaannya adalah yang halal, banyak, dan gratis. Dan kata-kata mutiara fa-voritnya: ―to thine own self be true‖-Hamlet, Shakespeare-. Anda bisa menghubunginya melalui Facebook: Umar Vrathdar, atau No. HP: 01141063894.
BIOGRAFI PENULIS
UMAR ABDULLOH
MUHAMMAD FAIQ AZIZ
114
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Abdul Ghani lahir di Tasikmalaya, 7 September 1991. Abdul
Ghani belajar di SDN Salacau dari tahun 1998-2004, setelah lulus
dari SD tersebut Abdul Ghani melanjutkan pendidikannya di Mts.
Cipaingeun dari tahun 2004-2007. Selanjutnya perjalanan intel-
ektualnya dilanjutkan di MAN Sukamanah dari tahun 2007-2010.
Selepas lulus Aliyah Abdul Ghani mengambil keputusan untuk merantau menimba ilmu di
salah satu Kota Metropolitan nan bersejarah di Dunia Islam, Kairo. Dia menjadi Mahasiswa di
Universitas Al-Azhar Jurusan Akidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin.
Abdul Ghani memiliki segudang pengalaman dalam dunia organisasi. Sewaktu duduk
di bangku Mts Abdul Ghani pernah menjabat sebagai ketua OSIS (2006). Dia juga pernah ter-
catat sebagai ketua IPMT (Ikatan Pelajar Muslim Tasikmalaya) pada tahun 2009. Beliau juga
sempat menjadi Pemred Majalah ―Baitu Mujahidin‖ milik Ponpes Sukamanah pada tahun
2008. Dia juga pernah menjadi penanggungjawab bidang pendidikan di Pondok Pesantren
Sukamanah (2009-2010). Dia juga merupakan penanggungjawab Departemen Sosial KPMJB
tahun 2011. Tidak hanya itu, Beliau juga pernah menjadi Reporter Majalah Afkar NU Mesir
(2011-sekarang), Koordinator LDNU Mesir (2012-sekarang), dan juga sebagai Koordinator
forum kajian SAS Center (Said Agil Siradj Center) sejak tahun 2012 hingga sekarang. Kata-
kata mutiara favoritnya: ―Tujuanku untuk meraih apa yang aku cari, aku tidak peduli dengan
kelelahan‖.
INDRA GUNAWAN
Ust. Indra Gunawan, Lc. Dipl. Adalah sosok yang tidak asing lagi
bagi Mahasiswa Indonesia di Mesir. Beliau begitu aktif dalam organ-
isasi Mahasiswa Indonesia di Mesir, baik itu di IKPM (Ikatan Keluarga
Pondok Modern), ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia),
HMM (Himpunan Mahasiswa Medan), PCIM Mesir (Perwakilan
Cabang Istimewa Muhammadiyah), dan lainnya. Beliau telah me-
nyelesaikan kuliah S1nya di jurusan sejarah, dan beliau juga telah me-
nyelesaikan jenjang tamhidi dan kini tengah menyusun tesis yang mem-
bahas tentang lika liku sejarah Bangsa Mongol.
Beliau telah menikah dan dikaruniai dua anak. Beliau sering mengisi pelatihan-pelatihan
kepenulisan termasuk memberikan motivasi dalam acara-acara upgrading media cetak Masisir
(Masyarakat Indonesia di Mesir) Bagi anda yang ingin menghubungi beliau bisa melalui face-
book: indra san meazza dan email: [email protected] atau via Whatsapp:
+201159350415
ABDUL GHANI
BIOGRAFI PENULIS Jurnal HIMMAH Vol. 9 No.1 Jan. 2014
115
Muhammad Anas Azizy, lahir di Blora, tanggal 11 Juni
1987. Menamatkan pendidikan SD di SDN Ngadipurwo tahun
1998, kemudian Mts. Ma’arif 2 Blora tahun 2001. Kemudian
melanjutkan pendidikannya di MA Raudhatul Ulum Pati 2004.
Dari situ beliau memutuskan untuk langsung berangkat ke Me-
sir dan melanjutkan pendidikan tingkat menengahnya di
Ma’had Bu’us Islamiyah Kairo 2006. Setelah menyelesaikan pendidikan Tsanawi-
yahnya di Ma’had Buus, beliau melanjutkan pendidikannya di Fakultas Bahasa Arab
Universitas al-Azhar, Kairo.
Pendidikan S1nya bisa diselesaikan dengan lancar dan beliau lulus pada tahun
2010. Masih ingin menambah pengalaman menimba ilmu di al-Azhar, beliau pun
mendaftarkan diri dan lolos ujian masuk program S2 di Fakultas Bahasa Arab di Uni-
versitas yang sama. Dan kini beliau menyelesaikan program tamhidinya dan mulai
fokus untuk menyelesaikan tesisnya.
Hobinya sepak bola dan berburu buku terutama di pameran buku tahunan yang
biasanya diselenggarakan di Kairo pada musim dingin. Makanan kesukaannya adalah
rendang. Beliau juga aktif mengabdikan diri untuk Senat Mahasiswa Indonesia
Fakultas Bahasa Arab baik sebagai pembimbing dalam memahami diktat kuliah, mau-
pun sebagai pengurus senat. Kata-kata mutiara favorit beliau antara lain:
وإن كان في لبس الفتى شرف له فما السيف إال غمده والحمائل
Ismail Sujono lahir di Makassar tanggal 2 Juli 1988. Menamatkan jenjang menengah di Madrasah Muallimin Muham-madiyah Yogyakarta, dan sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Ju-rusan Akidah dan Filsafat di Universitas al-Azhar Kairo. Hobinya adalah memasak untuk orang yang lapar, dan hingga kini masih ak-tif di PCIM Mesir. Makanan kesukaannya adalah semua maanan yang halal dan kalau bisa pedas. Anda bisa menghubungi Ismail me-lalui Facebook: ismail sujono atau melalui Hp: 01112906578
ISMAIL SUJONO
MUHAMMAD ANAS AZIZY
116
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Roni Fajar Verigina Lc, Dipl. Lahir di Ciamis Jawa
Barat tanggal 30 Mei 1985. Ia telah menikah dan dikaruniai
dua orang putra, bernama Rijal Saeful Islam, dan Ilyas Zaki.
Setelah menamatkan jenjang S1 nya di Universitas Al-Azhar
Jurusan Ilmu Hadits, Ia melanjutkan studi S2nya di kampus
yang sama, Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Hadits Uni-
versitas Al-Azhar Cairo. Hobinya adalah membaca,
olahraga, dan muhasabah.
Pengalaman organisasinya antara lain menjadi Ketua II KPMJB (Keluarga Paguyu-
ban Mahasiswa Jawa Barat), Koordinator Keilmuwan KPMJB, Koordinator Forum
Telaah Literatur (FTL) ICMI Kairo, selain itu beliau juga tercatat sebagai anggota Pakeis
ICMI Kairo. Di antara makanan kesukaannya adalah durian, madu, dan zabib. Dan kata-
kata mutiara adalah: Belajar untuk selalu jujur akan kekurangan diri dan mau belajar dari
orang lain, dan selalu terbuka dengan siapa pun. Anda bisa menghubunginya melalui Fa-
cebook: Roni Fajar Verigina, atau via. HP: 01155574399
وإن كنت تهوى العيش فابغ توسطا فند التناهي يقصر المتطاول
توقى البدور النقص وهي أهله ويدركها النقصان وهي كوامل
Anda bisa menghubunginya melalui Facebook: Muhammad Anas Azizy, atau Hp:
+20114481488
RONI FAJAR VERIGINA
FARDAN
Muhammad Fardan Satrio, dilahirkan di Banjarnegara, 30
April 1992. Menamatkan SD di SD Negeri 1 Purwareja Klampok ,
kemudian melanjutkan jenjang menangah di Mts dan MA Mualli-
min Muhammadiyah Yogyakarta, dan kini ia tercatat sebagai Ma-
hasiswa tingkat 3 Fakultas Syari‘ah dan Hukum Jurusan Syari‘ah
Islam, Universitas Al-Azhar Cairo. Hobinya berdiskusi, dan mem-
baca dengan ditemani lagu-lagu Iwan Fals.
Fardan pernah menjadi staf Departemen Perkaderan IPM Madrasah Muallimin Mu-
hammadiyah, dan kemudian menjadi staf Departemen Perkaderan Lembaga Pers Mualli-
BIOGRAFI PENULIS Jurnal HIMMAH Vol. 9 No.1 Jan. 2014
117
min Muhammadiyah. Masakan kesukaannya adalah mendoan Banyumas dan tahu masak. Dan
kata-kata mutiara favoritnya: Meninggilah ketika kamu rendah, dan merendahlah ketika kamu
tinggi.
Anda bisa menghubungi Fardan melalui Facebook: Fardan Satrio W
atau via mobile phone: +201064524417
MULYADI MAKOLI
Pemuda asal Indramayu ini bernama lengkap Mulyadi Ma-
koli. Dan dikenal sebagai Mulyadi. Ia lahir pada tanggal 1 Febuari
1986. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ia dibesarkan
di lingkungan keluarga yang berkediaman di Desa Kliwed Rt. 11,
Rw. 02, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu Jawa Barat.
Pria yang mempunyai hobi membaca buku ini memulai perjalanan pendidikannya di
SDN Kliwed Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat Tahun 1999. Lalu
melanjutkan ke jenjang selanjutnya di SMP NU Tenajar Kidul, Kertasemaya, Indramayu tahun
2002. Setelah itu Mulyadi meneruskan pendidikannya di MAK Nusantara Arjawinangun, Cire-
bon, Jawa Barat dan selesai pada tahun 2005. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di
STAIN Cirebon (sekarang IAIN Syekh Nurjati) Fakultas Tarbiyah selama 4 semester hingga
tahun 2007.
Belum puas dengan itu ia kemudian pergi ke salah satu Ibu Kota Dunia Islam, Kairo dan
kemudian menuntut ilmu di Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo.
Setelah berhasil menamatkan jenjang S1nya pada tahun 2011, kini Mulyadi tercatat sebagai
Mahasiswa program magister di jurusan yang sama.
Mulyadi adalah salah satu dari segelintir Mahasiswa Asing di Al-Azhar yang pernah
mendapatkan predikat mumtaz dalam ujian tahunan di Universitas al-Azhar, nilai itu berhasil
diraihnya pada tahun 2009. Selain cemerlang dalam bidang akademis, Mulyadi juga merupakan
founder dari organisasi Markaz Kawakibul Fushaha li al-Maharah al-Lughawiyah. Hingga saat
ini Mulyadi masih aktif sebagai koordinator dari organisasi tersebut. Mulyadi tinggal di Madi-
natul Buus al-Islamiyah Imaroh 26/B/3. Jika ingin berdiskusi dengannya bisa melalui ponsel
+201110642422, atau via email: [email protected]
118
JURNAL HIMMAH Volume 9, No.1 Januari 2014
Kalender Miladiah dan Kalender Hijriah Tinjauan Sejarah serta Landasan dan Metode Penanggalan
Ismail Sujono
Kami selalu siap menampung karya tulis anda,
silahkan kirim tulisan anda
melalu email: [email protected], dan anda
bisa mengkonfirmasinya dengan menghubungi: +201123068925 dengan
ketentuan umum penulisan sebagai berikut:
1. Artikel belum pernah termuat di media lain dan tidak mengandung unsur
plagiat.
2. Artikel dapat berupa hasil penelitian (lapangan maupun kepustakaan),
kajian, gagasan konseptual, aplikasi teori, atau resensi buku.
3. Syarat resensi adalah (a) buku yang diresensi relatif baru (satu tahun sebe-
lumnya untuk buku berbahasa Indonesia dan dua tahun sebelumnya untuk
buku berbahasa asing), (b) panjang resensi 3-5 halaman.
4. Untuk artikel ilmiah berbahasa Indonesia/Inggris, naskah diketik dengan
huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1,5 pada kertas ukuran A4 dengan
jumlah halaman 10-20 halaman termasuk daftar pustaka dan tabel.
5. Untuk artikel ilmiah yang ditulis dalam bahasa Arab, naskah diketik
dengan huruf Traditional Nasakh ukuran 14, spasi 1 pada kertas ukuran A4,
dengan jumlah halaman 10-20 halaman, termasuk daftar pustaka dan tabel.
6. Judul, abstrak, dan kata-kata kunci ditulis dalam bahasa Indonesia dan baha-
sa Arab/Inggris.
7. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia/Arab/Inggris dengan format esai.