hidup itu seperti sebatang rokok

2
Hidup itu seperti sebatang rokok Senja itu tak seperti biasanya terdengar detak jam dinding yang terus berjalan yang seolah tiada lelahnya, aku sendiri dengan alunan musik reggae yang alunanya perlahan menenggelamkanku bersama tenggelamnya sang surya Kupandangi sebatang rokok yang terselip diantara jari tengah dan jari telunjuk tangan kananku, perlahan apinya baranya membakar lintingan tembakau itu dan menyisakan abu. Sesekali ku hisap lintingan tembakau itu dan aku begitu menikmatinya, bahkan dengan asiknya. Dan ketika baranya kian mendekat ke pangkal lintingan itu kucoba mengisapnya sekali lagi dan kali ini benar-benar sudah tak bisa ku hisap lagi. Ketika bara itu padam perlahan hati kecilku bertanya, apakah hidup ini juga seperti lintingan itu ? dinyalakan, dinikmati hingga habis dan hanya menyisakan abu ? jika hidup ini bagai lintingan itu sudah seberapa banyak yang kuhisap, seberapa banyak lintingan itu terbakar ? tiba-tiba aku ingin berjalan ke masa lalu rasanya ingin bercerita pada diri sendiri tentang kata demi kata, lembar demi lembar dan catatan demi catatan. Seolah lembaran-lembaran itu berisi semua hal yang takkan bisa dilakukan orang lain, seolah dengan lantang dan begitu sombongnya aku bercerita pada diriku sendiri. Dan terus berkata “aku adalah yang terbaik dan selalu yang terbaik”, hati kecilku terlihat tersenyum sinis melihat dan mendengar aku bercerita tentang lembaran demi lembaran cerita itu, dan tiba-tiba keluar sepatah kata yang entah kenapa seolah kata itu begitu tajam, bahkan lebih tajam dari pedang sekalipun.

Upload: sigitiarius-sagitariuz

Post on 30-Nov-2015

46 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Cerita pendek tentang kehidupan

TRANSCRIPT

Page 1: Hidup Itu Seperti Sebatang Rokok

Hidup itu seperti sebatang rokok

Senja itu tak seperti biasanya terdengar detak jam dinding yang

terus berjalan yang seolah tiada lelahnya, aku sendiri dengan alunan

musik reggae yang alunanya perlahan menenggelamkanku bersama

tenggelamnya sang surya

Kupandangi sebatang rokok yang terselip diantara jari tengah dan

jari telunjuk tangan kananku, perlahan apinya baranya membakar

lintingan tembakau itu dan menyisakan abu. Sesekali ku hisap lintingan

tembakau itu dan aku begitu menikmatinya, bahkan dengan asiknya. Dan

ketika baranya kian mendekat ke pangkal lintingan itu kucoba

mengisapnya sekali lagi dan kali ini benar-benar sudah tak bisa ku hisap

lagi.

Ketika bara itu padam perlahan hati kecilku bertanya, apakah hidup ini

juga seperti lintingan itu ? dinyalakan, dinikmati hingga habis dan hanya

menyisakan abu ? jika hidup ini bagai lintingan itu sudah seberapa banyak

yang kuhisap, seberapa banyak lintingan itu terbakar ? tiba-tiba aku ingin

berjalan ke masa lalu rasanya ingin bercerita pada diri sendiri tentang

kata demi kata, lembar demi lembar dan catatan demi catatan. Seolah

lembaran-lembaran itu berisi semua hal yang takkan bisa dilakukan orang

lain, seolah dengan lantang dan begitu sombongnya aku bercerita pada

diriku sendiri. Dan terus berkata “aku adalah yang terbaik dan selalu yang

terbaik”, hati kecilku terlihat tersenyum sinis melihat dan mendengar aku

bercerita tentang lembaran demi lembaran cerita itu, dan tiba-tiba keluar

sepatah kata yang entah kenapa seolah kata itu begitu tajam, bahkan

lebih tajam dari pedang sekalipun. “sampai kapan kau akan hidup dalam

kebohongan ?”. kata-kata itu begitu lembut dia ucapkan sperti racun yang

masuk ke pikiranku secara perlahan, sampai merusak sistem syarafku.

Mulutku seperti terpaku tak mampu mengucap satu kata pun, aku hanya

mampu memandangi sisa lintingan yang kubakar tadi, entah mengapa

mataku tiba-tiba menangis.

Page 2: Hidup Itu Seperti Sebatang Rokok

“untuk apa kau menyombongkan kepadaku tentang yang ada dalam

lembaran-lembaran masa lalumu, sedangkan kini aku hanya melihatmu

tak ubahnya seperti abu rokok yang ada di depanmu itu !, kau hanya

terus menghibur dan meyakinkan dirimu bahwa kau yang terhebat kau

memiliki segalanya. Tapi lihat siapa dirimu sekarang ? “

Mataku seolah menyalahkanku dengan limpahan airmatanya yang begitu

deras, tak henti-hentinya.dadaku terasa kian sesak seolah saluran

pernafasanku tertutup oleh rasa sesal.

seolah aku baru melihat terangnya dunia, ternyata aku tak ubahnya

seperti semut yang berjalan di atas dunia. Kini aku melihat burung-burung

terbang tinggi menggapai awan, menikmati seisi jagad raya .

“jika hidup ini seperti rokok yang telah kau bakar, kau jangan terus

menikmati asapnya hingga tak kau sadari baranya menggergoti rokokmu.

Hisaplah rokok itu di untuk mendapatkan asap lagi untuk kau nikmati. Dan

jadikan abunya pelajaran !”