hegemoni mitos nyai roro kidul terhadap … · sastra sebagai salah satu bentuk karya seni yang...
TRANSCRIPT
HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP KEKUASAANJAWA DALAM NOVEL SANG NYAI KARYA BUDI SARDJONO
SkripsiDiajukan untuk Menempuh Syarat Ujian Sarjana
Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia
Oleh :Herning Puspitarini
13010110120021
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS DIPONEGORO
2014
HALAMAN PERNYATAAN
Penulis menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini disusun tanpa mengambil
bahan hasil penelitian, baik untuk suatu gelar diploma atau sarjana yang sudah ada di suatu
Universitas maupun hasil penelitian lain. Sejauh yang penulis ketahui, skripsi ini juga tidak
mengambil bahan dari publikasi atau tulisan orang lain, kecuali yang telah dirujuk dalam
daftar pustaka. Saya bersedia menerima sanksi jika terbukti melakukan penjiplakan.
Herning Puspitarini
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Kebanggaan dalam hidup adalah bila kita melakukan apa yang menurut orang lain tidak
mungkin kita lakukan.
(Waiter Bouyen Not)
Hidup sepatutnya diperkaya dengan persahabatan. Mencintai dan dicintai adalah
kebahagiaan tak terperikan.
(Sidney Smith)
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Keluarga besarku Bapak dan Ibu, Eyang
Putri, Pak Lik, dan Adikku yang selalu memotivasi,
membimbing, dan memberiku kasih sayang.
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan kepada Tim Penguji
Skripsi pada:
Hari : Sabtu
Tanggal : 30 Agustus 2014
Disetuji oleh:Dosen Pembimbing I,
Drs. M. Muzakka, M.Hum.NIP 196508181994031002
Dosen Pembimbing II,
Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.NIP 197605022008121002
HALAMAN PENGESAHAN
Diterima dan disahkan olehPanitia Ujian Skripsi Program Strata-1Jurusan Sastra IndonesiaFakultas Ilmu Budaya Universitas DiponegoroPada tanggal: 20 September 2014
KetuaDr. Redyanto Noor, M.Hum.NIP 195903071986031002
........................................
Anggota IDrs. M. Hermintoyo, M.Pd.NIP 196103141988031001
........................................
Anggota IIDrs. M. Muzakka, M.Hum.NIP 196508181994031002
.........................................
Anggota IIISukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.NIP 197605022008121002 ........................................
Ketua Jurusan Sastra Indonesia
Drs. Suharyo, M.Hum.NIP 196107101989031
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya atas selesainya skripsi dengan judul “Hegemoni Mitos
Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi
Sardjono”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi tersebut banyak pihak yang telah
membantu, baik secara langsung maupun bentuk dukungan lain. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada.
1. Dr. Agus Maladi Irianto, M.A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya dan selaku dosen
wali yang selalu memberikan arahan selama menempuh perkuliahan;
2. Drs. Suharyo, M.Hum., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro atas
kemudahan dan dukungan yang diberikan sejak penulis mengajukan proposal;
3. Drs. M. Muzakka, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar selalu
membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan skripsi;
4. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis;
5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro atas ilmu pengetahuan yang
telah diberikan sepanjang masa perkuliahan dan seluruh staf Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro, yang telah membantu kelancaran dan kelengkapan administrasi
selama kuliah.
6. H. Tohir Sugiyanto, S.Pd., dan Dra. Hj. Sri Wahyuningtyas, M.Hum. orangtua penulis,
Eyang Putri Sutjiati, Om Wahyu Widodo, S.T, adik saya Wahyu Aprillia, S.Ked.,
terimakasih telah memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan dukungan selama
penulis menimba ilmu.
7. Sahabat-sahabatku David, Purna, Esti, Ina, Isnan, Febi, Eka, Arum, Danu, Windi,
Erinda, Ade, Valen, Hanif, Okvi, Cicha, terimakasih atas keakraban yang sudah terjalin
selama ini, tidak lupa sahabat-sahabatku Korean Pop Iki, Shinta, Junee, Unn Nana,
Kemmi, Pappiyong Family (Aegy, Unn Indry, Bunda Cha, Ocha, Juni, dan Velly),
Ikhsan, Dwi, Wiwit, dan Wisnu yang selalu memberikan perhatian dan dukungan, serta
Super Junior members sebagai inspirasi penulis.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan keilmuan khususnya ilmu sastra.
Semarang, 30 Agustus 2014
ABSTRAK
Puspitarini, Herning. NIM 13010110120021. 2014. Hegemoni Mitos Nyai Roro KidulTerhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai. Skripsi (S-1). Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Diponegoro Semarang.
Novel Sang Nyai merupakan novel yang bertema kebudayaan. Di dalam novel tersebut,terdapat hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa. Hegemoni menunjuk padadominasi kekuasaan yang secara sadar diikuti oleh masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini menjelaskan bentuk-bentukhegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadaphegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya BudiSardjono.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang dikaji dengan teori hegemoniGramsci. Untuk itu penelitian bersifat deskriptif kualitatif yang melalui tahapanpengumpulan data, seleksi data, analisis data, dan menarik simpulan. Seleksi datadilakukan dengan mengidentifikasi setiap unsur dalam novel Sang Nyai. Analisis datadengan menganalisis relevansi tokoh dan penokohan dengan unsur cerita yang lain.Kemudian, analisis tersebut menjadi pijakan untuk menganalisis hegemoni mitos NyaiRoro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai RoroKidul dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai RoroKidul dalam novel Sang Nyai meliputi Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukungeksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Akibatdari hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dengan ideologi tradisional tersebut, maka terjadiperlawanan dari tokoh dengan ideologi modern yang rasional terhadap hegemoni yang ada.Namun, perlawanan tersebut kalah dengan ideologi tradisional masyarakat Jawa yangterdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
Kata kunci: hegemoni, kekuasaan, ideologi, perlawanan
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................................... iiMOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................... iiiHALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................................... ivHALAMAN PENGESAHAN....................................................................................... vKATA PENGANTAR................................................................................................... viABSTRAK ..................................................................................................................... viiiDAFTAR ISI.................................................................................................................. ixDAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. xiBAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1B. Rumusan Masalah......................................................................................... 7C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8E. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 8F. Landasan Teori.............................................................................................. 9G. Metode Penelitian ......................................................................................... 13H. Sistematika Penulisan ................................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIA. Tinjauan Pustaka........................................................................................... 16B. Kerangka Teori ............................................................................................. 18
1. Novel dan Struktur Novel ....................................................................... 18a. Alur atau Plot...................................................................................... 20b. Tema ................................................................................................... 20c. Latar atau Setting ................................................................................ 21d. Amanat .............................................................................................. 22e. Tokoh dan Penokohan ........................................................................ 22
2. Teori Hegemoni....................................................................................... 24a. Hegemoni Gramsci ............................................................................. 25b. Kekuasaan Jawa.................................................................................. 29c. Mitos Nyai Roro Kidul ....................................................................... 30
BAB III ANALISIS RELEVANSI ANTARUNSUR STRUKTUR CERITA DALAMNOVEL SANG NYAI
A. Analisis Relevansi Antarunsur Struktur Cerita ............................................. 34B. Analisis Tokoh dan Penokohan..................................................................... 43
1. Tokoh Sam .............................................................................................. 432. Tokoh Kesi/Nyai Roro Kidul .................................................................. 49
BAB IV ANALISIS HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAPKEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI
A. Bentuk-bentuk Hegemoni Nyai Roro Kidul .......................................... 521. Sang Nyai Sebagai Ratu.................................................................... 532. Sang Nyai Mendukung Eksistensi Raja ............................................ 663. Sang Nyai Sebagai Penguasa Kosmis ............................................... 73
a. Keraton ........................................................................................ 74b. Gunung Merapi............................................................................ 76c. Laut Selatan ................................................................................. 79
4. Sang Nyai dalam Tradisi ................................................................... 81a. Tradisi Labuhan........................................................................... 81
(a) Sesajen ................................................................................... 82(b) Selamatan ............................................................................. 84(c) Kenduri ................................................................................. 85(d) Upacara Labuhan ................................................................... 87
b. Tradisi Ziarah .............................................................................. 90B. Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul ...................... 93C. Hasil dari Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul ..... 101
BAB V SIMPULAN ...................................................................................................... 108DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 111
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Sinopsis.................................................................................................... 114Lampiran 2 : Biografi Pengarang.................................................................................. 118Lampiran 3 : Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta............................................ 119Lampiran 4 : Keraton Yogyakarta................................................................................. 120Lampiran 5 : Keraton Surakarta .................................................................................... 121Lampiran 6 : Gunung Merapi........................................................................................ 122Lampiran 7 : Laut Selatan ............................................................................................. 123Lampiran 8 : Tradisi Labuhan Kesultanan Yogyakarta ................................................ 124Lampiran 9 : Eksistensi Nyai Roro Kidul ..................................................................... 126Lampiran 10 : Daftar Istilah............................................................................................ 127Lampiran 11 : Riwayat Penulis....................................................................................... 130
1
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup dalam suatu peradaban yang menghasilkan kebudayaan
masyarakat tertentu. Kebudayaan tersebut mempengaruhi manusia, sehingga
membentuk pola pikir, tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, kebiasaan, tradisi,
nilai, bahkan mitos di dalam masyarakat. Namun, saat ini banyak berkembang
paham-paham baru di dunia, dan hal itu berpengaruh terhadap budaya masyarakat.
Hal ini menimbulkan pertentangan ideologi antara masyarakat tradisional dengan
masyarakat modern. Dengan demikian, hal tersebut tentu berpengaruh terhadap
perkembangan karya sastra.
Menurut Ratna (2004:356-357) sastra merupakan bagian integral
kebudayaan yang menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif
kreatif, sekaligus masuk akal. Faruk (2012:141) menambahkan bahwa karya
sastra sebagai salah satu bentuk karya seni yang merupakan integral
kebudayaan juga merupakan suatu situs hegemoni. Pengarang termasuk
dalam kategori kaum intelektual organis yang merupakan salah satu pelaku
hegemoni. Dengan demikian, segala aktivitas kultural, termasuk sastra dalam
konteks ini, akan bermuara pada satu sasaran tunggal yaitu penciptaan satu iklim
kultural tunggal melalui proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini
menuntut pemersatuan sosial kultural yang heterogen melalui multiplisitas
kehendak dan tujuan. Hal tersebut tersebar kemudian menjadi satu. Kegiatan
2
serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin dilakukan oleh
“manusia kolektif”.
Karya sastra yang berhubungan dengan manusia kolektif merupakan
sesuatu yang dapat dikaji dengan sosiologi sastra. Namun terdapat teori khusus
yang tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai lembaga sosial yang relatif
otonom, melainkan mempunyai kemungkinan relatif formatif terhadap
masyarakat. Teori tersebut merupakan penjabaran teori kultural/ideologis general
Gramschi yang diterapkan dalam karya sastra, yaitu teori hegemoni (Faruk,
2012:130). Hegemoni sendiri berdasarkan pemikiran Gramsci dapat dijelaskan
sebagai suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun
kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin
terhadap kelompok masyarakat lainnya, sehingga kelompok yang didominasi
tersebut secara sadar mengikutinya (Anwar, 2010: 83).
Sekuat apapun hegemoni pada pihak yang dominan, hal itu juga akan
melahirkan orang yang memiliki ide atau gagasan yang berlawanan dari pihak
tersebut. Bila gagasan serupa itu muncul ke permukaan, biasanya ia akan
mengalami represi. Novel Sang Nyai mengambil setting masa kini saat paham
modern telah menyebar luas, sehingga terdapat pihak yang menentang atau
menolak terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang masih berpegang pada
paham tradisional. Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul
merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Jawa.
Novel Sang Nyai karya Budi Sardjono merupakan karya sastra (novel)
yang menceritakan kehidupan seorang jurnalis bernama Sam. Ia mendapatkan
3
tugas untuk membuat feature tentang sosok kontroversial penguasa gaib Laut
Selatan yaitu Nyai Roro Kidul. Namun, setelah berada sangat dekat dengan
keberadaan Nyai Roro Kidul di Puri Parangkusumo, tepi pantai Laut Selatan, ia
justru bertemu dengan sesosok gadis misterius bernama Kesi yang membawanya
masuk ke dalam dunia yang sulit masuk ke nalar manusia.
Sam sebagai tokoh utama sempat melakukan perlawanan terhadap
hegemoni mitos Nyai Roro Kidul walaupun terbatas dalam batin tokoh. Namun,
saat Sam yang tidak percaya akan hal gaib dan cenderung melakukan perlawanan,
justru ia sendiri yang mengalami hal-hal mistik setelah bertemu dengan Kesi. Hal
ini karena secara tidak langsung Kesi selalu ada di tempat keberadaan mitos Nyai
Roro Kidul. Bahkan, Kesi juga mengajak Sam ke suatu tempat yang terasa asing
sembari mengenalkannya dengan Kang Petruk, yang belakangan Sam ketahui
sebagai legenda penjaga kawah Merapi.
Budi Sardjono sebagai penulis Novel Sang Nyai lahir di Yogyakarta, pada
6 September 1953 merupakan penduduk setempat kota Yogyakarta. Ia telah
menerbitkan beberapa novelnya antara lain: Ojo Dumeh (2005), Kabut dan Mimpi
(2008), Sang Nyai (2011), Kembang Turi (2011), Api Merapi (2012), Roro
Jonggrang (2013), serta Nyai Gowok (2014). Berdasarkan judul novel tersebut,
maka Budi Sardjono merupakan penulis produktif yang telah mempublikasikan
karya-karyanya.
Pada Maret 2011 ia menerbitkan novel Sang Nyai yang menjadi objek
material dalam kajian analisis penelitian ini. Novel Sang Nyai berhasil meraih
penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta. Novel tersebut ditulis berdasarkan
4
mitos dan realitas sosial masyarakat Jawa, khususnya daerah Yogyakarta-
Surakarta. Ia menceritakan kejadian tiap segmen secara terstruktur dengan alur
cerita yang menarik, sehingga melalui novel tersebut pembaca dapat memahami
bahwa mitos dan adat masih kuat dijalankan masyarakat Jawa.
Salah satu daerah dengan simbolisme masyarakat Jawa dan tradisinya
yang menjadi acuan dan sangat dikenal masyarakat luas yaitu Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY). DIY merupakan sebuah provinsi daerah istimewa di pesisir
selatan pulau Jawa yang berdampingan dengan provinsi Jawa Tengah. Mitos dan
kepercayaan tentang Nyai Roro Kidul berkembang sangat kuat di masyarakat
daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Terbukti dengan masih adanya Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang masih mengakui eksistensi Nyai Roro
Kidul, membuat masyarakat patuh dan mengikuti tradisi yang ada. Sebagai contoh
yaitu kenduri, selamatan, sesajen, ziarah, dan labuhan di Pantai Selatan
merupakan tradisi yang masih dilakukan masyarakat Jawa pada waktu-waktu
tertentu. Tradisi tersebut merupakan bentuk hegemoni dalam masyarakat Jawa
karena secara sadar masyarakat mengikuti aktivitas tersebut sebagai bentuk
penghormatan kepada penguasa, serta untuk memperoleh berkah dari alam.
Dengan demikian, kebudayaan Jawa mempunyai pandangan hidup yang
berbeda dengan masyarakat masa kini, karena kebudayaan Jawa masih
mempertahankan kejawennya dengan mempercayai mitos dan tunduk kepada raja.
Hal ini merupakan hegemoni yang masih terdapat dalam lingkungan sosial Jawa
terutama Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Untuk itulah
mengapa Yogyakarta merupakan provinsi yang menyandang gelar Daerah
5
Istimewa. Setiap hal yang berhubungan dengan Keraton masih sangat dihormati
dalam lingkungan tersebut, bahkan hal itu berlangsung hingga sekarang, ketika
Indonesia telah menjadi negara yang merdeka.
Pengarang menjelaskan hubungan yang kuat antara Laut Selatan, Keraton,
dan Gunung Merapi dalam novel Sang Nyai. Ketiga tempat tersebut berada dalam
satu garis lurus yang memanjang dari selatan ke utara. Sosok Nyai Roro Kidul
sebagai mitos dalam tradisi masyarakat Jawa yang mempunyai hubungan dengan
Keraton dan penunggu kawah Merapi merupakan bentuk relasi yang menarik.
Kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel tersebut menunjukkan betapa kuatnya
kepercayaan masyarakat Jawa akan mitos yang ada, sehingga membentuk suatu
hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang secara terbuka
dijalankan oleh masyarakat secara turun-temurun. Hal disebabkan mitos dalam
masyakarat Jawa mampu menjadi pranata sosial yang ampuh dalam membingkai
kehidupan kultural masyarakatnya. Namun, apabila terjadi perpecahan, maka akan
membuahkan pranata baru.
Kekuasaan Jawa tradisional tersebut hingga era modern ini masih tetap
bertahan. Hal ini membuat perlawanan muncul terhadap bentuk kekuasaan Jawa
tradisional itu. Perlawanan berasal dari pemikiran-pemikiran modern yang
bertentangan dengan hal-hal gaib, apalagi berkaitan dengan sosok Nyai Roro
Kidul. Menurut Saini K.M. (1986:14-15) pengarang karya sastra mempunyai
peran sebagai pendukung hegemoni, yakni menggunakan sastra untuk mendukung
adanya hegemoni dengan mengkaji nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra
sesuai realitas sosial masyarakat; pengarang menentang hegemoni, yaitu dengan
6
melakukan perlawanan atau memberikan gambaran yang bertentangan dengan
hegemoni yang ada; dan pengarang mempunyai peran sebagai pendukung
hegemoni tetapi dengan tujuan untuk melakukan kritik terhadap hegemoni.
Berdasarkan hal tersebut, novel Sang Nyai menempatkan pengarangnya sebagai
pendukung hegemoni. Namun, pengarang juga menyampaikan kritik melalui
peran tokoh yang menganut ideologi modern. Tokoh tersebut mengalami
pertentangan dengan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang dipercaya oleh
masyarakat Jawa dengan ideologi tradisional. Bentuk perlawanan antara ideologi
tradisional dan ideologi modern tersebutlah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat
dalam novel Sang Nyai juga merupakan pengetahuan yang diperlukan untuk
memperkenalkan bentuk kekuasaan dan budaya Jawa kepada masyarakat luas.
Tidak banyak novel yang bercerita tentang tradisi atau mitos Jawa secara
terstruktur seperti dalam novel Sang Nyai. Hal tersebut sebagai gambaran wujud
kekuasaan Jawa yang bersifat tradisional, sehingga gagasan di atas yang
melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Hegemoni
Mitos Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya
Budi Sardjono”. Diharapkan dalam penelitian ini dapat menghasilkan sebuah
temuan baru dengan analisis dari perspektif hegemoni mitos Nyai Roro Kidul
terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai. Dari analisis ini
akan ditemukan perlawanan ideologi tradisional terhadap ideologi modern
berkaitan dengan mitos Nyai Roro Kidul yang masih berkembang di masyarakat
Jawa pada masa kini.
7
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan acuan dari masalah yang diteliti agar penelitian
menjadi lebih fokus dan tidak menyimpang dari tujuan dan manfaat yang hendak
dicapai. Meskipun telah terjadi perubahan zaman, tetapi unsur budaya, mitos, dan
tradisiJawa sangat mendominasi kisah dalam novel ini. Perlawanan ideologi
tradisional dan modern membuat sebuah hegemoni dalam karya tersebut, yaitu
hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa.
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas dapat diidentifikasi
masalah sebagai berikut.
1) Bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa
yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
2) Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai
karya Budi Sardjono.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1) Menjelaskan bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap
kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
2) Menjelaskan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam
novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
8
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat praktis dan teoritis. Manfaat praktis yang
diharapkan yaitu membantu pembaca untuk lebih mengetahui bentuk hegemoni
mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat di dalam novel
Sang Nyai karya Budi Sardjono.
Selanjutnya, kontribusi teoritis yang akan didapatkan setelah melakukan
penelitian ini yaitu membantu mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu sastra dalam hal mengkaji sebuah karya sastra (novel). Hasil studi ini dapat
dimanfaatkan untuk dasar pengembangan penelitian berikutnya yaitu, kajian
sastra dengan teori hegemoni, untuk mengkaji bentuk-bentuk hegemoni Nyai
Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni Nyai
Roro Kidul.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan objek material berupa novel Sang Nyai karya Budi
Sardjono dan objek formal yakni hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Kajian
sosiologi sastra khusus yaitu kajian hegemoni digunakan untuk mengkaji bentuk-
bentuk hegemoni Nyai Roro Kidul dan perlawanan terhadap hegemoni Nyai Roro
Kidul dalam novel Sang Nyai. Kekuasaan Jawa terfokus pada kekuasaan sang
Ratu Pantai Selatan, yaitu Nyai Roro Kidul dan Raja (penguasa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta). Dengan pemikiran bahwa, kekuasaan
Keraton masih ada karena dukungan dari kekuasaan gaib Nyai Roro Kidul,
sehingga membentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Namun, terdapat
9
pertentangan antara ideologi tradisional pada kekuasaan Jawa tersebut dengan
ideologi modern yang ada melalui beberapa tokohnya, yaitu Sam, Ki Aji
Sembada, dan Raden Mas Damar Kusumo.
Penelitian dimulai dengan analisis struktural teks yaitu menganalisis
relevansi antara tokoh dan penokohan dengan unsur tema, alur, setting, dan
amanat. Kemudian, dengan menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul
terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel yakni Sang Nyai sebagai
ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis,
dan Sang Nyai dalam tradisi. Dilanjutkan dengan menganalisis perlawanan yang
dilakukan tokoh terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang
Nyai karya Budi Sardjono.
F. Landasan Teori
Untuk menganalisis permasalahan yang telah diuraikan di atas, diperlukan adanya
landasan teori yang tepat. Teori merupakan alat terpenting dari suatu ilmu
pengetahuan. Tanpa teori, hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja
(Koentjaraningrat, 1977:19). Penulis menggunakan kajian hegemoni untuk
meneliti kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi
Sardjono. Namun, dalam mengkaji masalah utama tersebut penulis akan
menggunakan pendekatan struktural sebagai pijakan dalam meneliti novel Sang
Nyai karya Budi Sardjono secara lebih cermat. Berikut teori yang relevan dalam
kajian penelitian ini.
10
1. Teori Struktural
Teori struktural adalah teori penelitian sastra yang bertindak pada prinsip
strukturalisme, bahwa karya sastra dipandang sebagai peristiwa seni bahasa yang
terdiri dari norma-norma dan secara keseluruhan membangun sebuah struktur
(Wellek dan Warren, 1989:59). Menurut Hill yang dikutip oleh Pradopo, karya
sastra adalah sebuah struktur yang kompleks, oleh karena itu untuk dapat
memahaminya haruslah karya satra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra
diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan
karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat pendapat Hawkes melalui
Pradopo bahwa karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh. Di samping
itu, sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna
keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling berhubungan
di antaranya dengan keseluruhannya. Unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya
dengan keseluruhannya (Pradopo, 2005:108).
Kemudian Sudjiman (1988:16-7) berpendapat bahwa struktur yang
membangun cerita rekaan biasanya terdiri atas alur dan pengaluran, tema dan
amanat, latar dan pelataran, tokoh dan penokohan serta pusat pengisahan. Teori
struktural terdiri atas dua bagian yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.
Adapun yang terkandung di dalam unsur intrinsik antara lain alur, penokohan,
latar serta tema dan amanat. Untuk itulah, analisis struktural ini diperlukan
sebagai pijakan untuk menuju analisis berikutnya.
11
2. Sosiologi Sastra
Hartoko dan B. Rahmanto dalam bukunya yang berjudul Pemandu di Dunia
Sastra memaparkan bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang
mempelajari sastra dalam hubungannya dengan kenyataan sosial. Kenyataan
sosial mencakup pengertian konteks pengarang dan pembaca (produksi dan
resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek-aspek sosial dalam teks sastra).
Pembicaraan tentang konteks sosial pengarang dan pembaca disebut sosiologi
komunikasi sastra dan pembicaraan sosiologi karya sastra disebut penafsiran teks
sastra secara sosiologis (dalam Noor, 2009:87).
Sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Goldman mencoba untuk
menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik.
Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Ia
berpendapat bahwa karya utama sastra dan filsafat memiliki kepaduan total, dan
bahwa unsur-unsur yang membentuk teks itu mengandung arti hanya apabila bisa
memberikan suatu lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya
tersebut (Damono, 2010:55).
Pada saat ini, pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan
orang, adalah menaruh perhatian kepada teks sastranya atau aspek dokumenter
sastra. Menurut Damono (2009: 8-9) landasannya adalah suatu gagasan bahwa
karya sastra merupakan cermin langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan
kekeluargaan, pertentangan sosial, dan sebagainya. Dalam hal ini tugas ahli
sosiologi sastra hanya menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan
situasi ciptaan pengarang, dengan sejarah asal-usul sosiologi. Jadi tema dalam
12
karya sastra, yang bersifat pribadi harus diubah oleh pengarangnya menjadi hal
yang bersifat sosial.
3. Teori Hegemoni
Berdasarkan pemikiran Gramsci dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan
suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun
kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin
terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi
tersebut secara sadar mengikutinya (Anwar, 2010: 83).
Istilah hegemoni umumnya dipakai oleh para komentator politik untuk
menunjuk dominasi kekuasaan dan kepemimpinan. Namun, dalam
perkembangannya istilah hegemoni tidak hanya digunakan oleh banyak orang
untuk merujuk sebuah dominasi kekuasaan atau kepemimpinan seperti misalnya
hegemoni laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Menurut Gramsci,
konsep tersebut mengacu kepada pengertian yang kompleks yang di dalamnya
bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis turut membangun kepemimpinan ini
secara tawar-menawar bukan dominasi yang bersifat memaksa(Faruk, 2012: 132-
133).
Sebuah dominasi atau hegemonik tidak hanya mengenai proses kultural
dalam peranannya yang aktif dan konstitutif, tetapi juga berurusan dengan bentuk-
bentuk kultural oposisional dan alternatif yang mungkin menentang tatanan
dominan bahkan ketika bentuk-bentuk itu masih terbungkus atau
termarginalisasikan oleh batas-batas tekanan hegemonik (Faruk, 2012: 156).
13
Studi sastra tentang kebudayaan menurut Raymond Williams yaitu
masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan
satu sama lain. Dengan demikian, di dalamnya tidak ditemukan hubungan
determinasi antara elemen yang satu dengan elemen lain. Yang ada hanyalah
hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk mengatasi
persoalan determinasi tersebut Williams menggunakan konsep hegemoni
Gramscian. Williams, dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci,
membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga
kategori: kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan
endapan atau residual (Faruk, 2012:155-156; Harjito, 2002:28). Teori hegemoni
tersebut yang akan menjadi acuan dari analisis penelitian ini.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang
menitikberatkan pada hubungan antara karya sastra dengan realitas kehidupan
masyarakat. Sastra umumnya berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya agar mampu menggambarkan kehidupan asli dari masyarakat
zamannya. Mitos merupakan bagian dari aspek sosiologi sastra, sedangkan
penelitian ini meneliti sosiologi teks. Sosiologi teks tersebut meneliti mitos yang
berkembang dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif.
Penafsiran penelitian ini dijelaskan secara rinci dengan gambaran atau lukisan
yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, peristiwa-peristiwa
14
maupun hubungan antarfenomena dalam menganalisis novel Sang Nyai karya
Budi Sardjono. Oleh sebab itu, untuk memperoleh sebuah temuan yang empiris
diperlukan data yang teruji.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Sang Nyai karya
Budi Sardjono. Sumber data lain yang mendukung penelitian ini yaitu skripsi,
tesis, atau penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan teori hegemoni dan novel
Sang Nyai. Sumber data sekunder berasal dari dokumen lainnya yang mendukung
adanya fakta dari objek penelitian seperti buku-buku literatur, buku tentang
kebudayaan Jawa, mitos, internet, atau buku-buku lainnya.
Teknik penelitian meliputi beberapa hal yaitu (1) teknik pengumpulan
data, kegiatan ini merupakan bagian terpenting dalam penelitian. Kualitas sebuah
penelitian tergantung dari proses yang dilakukan pada saat pengumpulan data.
Pada saat mengerjakan aktivitas ini peneliti akan melakukan analisis yang
membutuhkan penguasaan teori atau konsep struktural, agar penelitian menjadi
terstruktur dan sesuai target yang diharapkan, cara operasional pengumpul data itu
dikenal dengandata reduction dan data selection (Siswantoro, 2010:74), (2)
menyeleksi data yaitu dengan mengidentifikasi setiap unsur dalam novel Sang
Nyai, (3) analisis data digunakan untuk menganalisis relevansi tokoh dan
penokohan dengan tema, alur, setting, dan amanat, hegemoni mitos Nyai Roro
Kidul terhadap kekuasaan Jawa, serta perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai
Roro Kidul; dilanjutkan dengan (4) menarik simpulan dari analisis yang telah
dilakukan.
15
H. Sistematika Penyajian
Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang penulisan, rumusan
masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penelitian, landasan teori, metode
penelitian, serta sistematika penelitian.
Bab II berupa tinjauan pustaka yang mencakup penelitian sebelumnya dan
kerangka teori yang menjelaskan teori struktural novel dan teori hegemoni.
Bab III berisi analisis relevansi antarunsur struktur cerita dalam novel
Sang Nyai karya Budi Sardjono menggunakan metode struktural.
Bab IV berisi paparan analisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap
kekuasaan Jawa dan perlawanannya dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
Bab V merupakan penutup, yang memuat simpulan hasil analisis yang
diperoleh dari hasil penelitian bab-bab sebelumnya.
16
BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
Bab II ini terdiri atas dua subbab, yaitu subbab penelitian sebelumnya dan subbab
kerangka teori.Subbab penelitian sebelumnya memaparkan intisari beberapa
penelitian sejenis yang pernah dilakukan, subbab kerangka teori memaparkan
beberapa teori yang digunakan dalam penelitian novel Sang Nyai karya Budi
Sardjono.Teori yang digunakan di antaranya adalah teori struktural dan teori
hegemoni. Berikut uraiannya.
A. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian mengambil objek material novel Sang Nyai karya
Budi Sardjono yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: penelitian yang
dilakukan oleh Dwi Isma Hajarwati (2013) dengan judul “Mitos dalam Novel
Sang Nyai Karya Budi Sardjono” dalam jurnal skripsi mahasiswa STKIP PGRI
Jombang. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui struktur mitos dan
fungsi mitos dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, difokuskan pada mitos yang terjadi
pada novel Sang Nyai yang dikaji dengan strukturalisme Lèvi-Strauss.
Pendekatan ini membuat pemahaman akan karya sastra lebih mudah karena
bertujuan untuk memahami mitos yang tertuang dalam realita kehidupan
masyarakat modern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur mitos yang
terdapat dalam novel tersebut hanya ada pada tokoh Kesi dan Kang Petruk.
17
Berikutnya, penelitian yang dilakukan oleh Intan Dewi Permatasari (2013)
yang berjudul “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono
dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA” dalam skripsi
mahasiswa Universtias Pancasakti, Tegal. Penelitian tersebut menganalisis lima
nilai budaya Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.
Lima nilai budaya Jawa tersebut adalah (1) nilai agama, (2) nilai moral; (3) nilai
budaya; (4) nilai sosial; dan (5) nilai terhadap alam sekitar. Teknik analisis data
dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data
yang digunakan penelitian ini adalah teknik dokumentasi, teknik kepustakaan, dan
teknik baca, simak dan catat. Metode dan teknik analisis data menggunakan
metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil akhirnya yakni implikasi nilai budaya
Jawa dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono dapat menambah minat siswa
untuk membaca karya-karya sastra dalam kegiatan pembelajaran sastra di SMA.
Selain itu, juga bermanfaat untuk menambah wawasan siswa tentang nilai budaya
Jawa.
Selain penelitian di atas yang menggunakan objek material sama yaitu
novel Sang Nyai karya Budi Sardjono, ada penelitian lain yang relevan dengan
objek formal kajian analisis penelitian ini, antara lain skripsi yang ditulis oleh
Irma Anita Sary (2013), mahasiswa STKIP PGRI Jombang yang berjudul
“Hegemoni Gramsci dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya
Pramoedya Ananta Toer.” Skripsi ini membahas tentang hegemoni kultural,
hegemoni ideologi, dan instabilitas hegemoni dalam novel Sekali Peristiwa di
Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian lainnya yaitu oleh Dewi
18
Ayu Larasati tahun 2011, mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Medan yang
berjudul “Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam”.
Penelitian ini menghasilkan analisis mengenai etika kekuasaan Jawa yang
dilakukan oleh para priyayi. Selanjutnya, penelitian lain yang berkaitan dengan
budaya Jawa yaitu pada penelitian yang digarap oleh Muharrina Harahap (2009)
yang berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo” tesis mahasiswa
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
B. Kerangka Teori
1. Novel dan Struktur Novel
Sastra merupakan wujud refleksi realitas sosial meskipun dalam penyajiannya
dibumbui oleh unsur imajinatif dari pengarang. Sejalan dengan pendapat Damono
(2010:1) yang menyebutkan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai medium, hal ini tentu karena bahasa itu sendiri
merupakan ciptaan sosial. Dengan demikian sastra menampilkan gambaran
kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Wellek dan Warren mengatakan bahwa karya sastra sebuah lembaga
masyarakat yang bermedium bahasa, sedangkan bahasa adalah ciptaan masyarakat
(1989:48). Menanggapi hal tersebut, bahasa merupakan hal terpenting dalam
karya sastra. Bahasa sebagai sarana menuangkan suatu karya imajinatif hasil
karya cipta dunia pengarang yang bersifat imajinatif berbentuk cerpen, novel,
novela, puisi maupun karya sastra yang lainnya. Pengertian lain mengenai karya
sastra dirumuskan secara metodik oleh Jehlen (dalam Anwar, 2010: 143) yang
19
menempatkan karya sastra sebagai objek materi yang berbeda dengan objek-objek
materi lain dalam studi fisik dan sosial. Karya sastra adalah dirinya sendiri yang
telah ditafsirkan oleh pengarangnya.
Novel merupakan cerita rekaan yang panjang, yang mengetengahkan
tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara
terstruktur (Noor, 2009:27). Novel sendiri merupakan gabungan dari realitas dan
kenyataan. Pembaca sebagai penikmat karya sastra tersebut juga harus memahami
novel dan menafsirkan peristiwa yang ada dalam kenyataan sehari-hari.
Struktur karya sastra sendiri dapat diartikan sebagai susunan, penegasan,
dan gambaran yang membentuk kebulatan yang indah. Selanjutnya, menurut
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:36) sebuah karya sastra, fiksi atau puisi
mempunyai unsur pembangun yang koherensif sehingga merupakan sebuah
totalitas. Dengan demikian, unsur pembangun tersebut merupakan hal penting
dalam penyusunan sebuah karya fiksi atau puisi untuk membentuk suatu totalitas
yang koheren, guna membuat sebuah gambaran yang mempunyai nilai estetis.
Struktur karya sastra juga mengacu pada hubungan antarunsur instrinsik
yang bersifat timbal balik, saling menentukan dan mempengaruhi, sehingga
membentuk satu kesatuan yang utuh jika bersama-sama. Lain halnya jika unsur
tersebut hanya berdiri sendiri maka bagian-bagian tersebut tidak penting, namun
jika berhubungan dengan unsur-unsur yang lain, maka akan lebih mempunyai
makna dan membentuk suatu wacana (Nurgiyantoro, 2010:36). Berdasarkan
pernyataan tersebut, agar lebih mudah dalam mengkaji novel Sang Nyai karya
Budi Sardjono, maka penelitian dilakukan dengan menganalisis pada tokoh dan
20
penokohan, namun dihubungkan dengan unsur instrinsik lain pembangun novel
yaitu tema, alur, latar (setting), dan amanat.
a. Alur/Plot
Sebuah cerita tidak dapat dipisahkan dari unsur yang disebut plot atau alur.
Definisi menurut Stanton (2012:26) alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa
dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut terhubung secara kasual, dan peristiwa
tersebut merupakan peristiwa yang dapat menyebabkan atau menjadi dampak dari
peristiwa yang lain. Hal tersebut tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh
pada keseluruhan cerita.
Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan plot sebagai
peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana, karena
peristiwa itu telah disusun berdasarkan kaitan sebab akibat oleh sang pengarang.
Menambahkan pengertian di atas, Forster mengemukakan plot sebagai peristiwa
cerita yang mempunyai penekanan pada hubungan kasualitas. Berdasarkan tiga
pengertian di atas, alur merupakan sebuah bentuk penyampaian kejadian tiap
peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat dan tidak dapat berdiri sendiri,
namun saling berkaitan antara satu dengan yang lain.
b. Tema
Tema menurut Stanton dan Kenny (melalui Nurgiyantoro, 2010:67) merupakan
makna yang dikandung sebuah cerita, namun makna yang dimaksud adalah
21
makna khusus yang mewakili keseluruhan cerita. Makna tersebut merupakan poin
utama yang menjadi garis besar cerita dan menjadi acuan isi cerita.
Tema memberi kekuatan yang menegaskan kesatuan kejadian-kejadian
yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya
yang paling umum. Tema merupakan bentukan dari kesatuan cerita dan memberi
makna pada setia peristiwa. Dengan demikian, dengan adanya tema maka dapat
diketahui apa makna cerita, karena pengarang memanfaaatkan tema sejauh tema
memberikan makna pada pengalaman cerita (Stanton, 2012:8).
c. Latar/Setting
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216), latar atau setting disebut juga
sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Pendapat lainnya menurut Stanton, latar merupakan lingkungan yang melingkupi
sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-
peristiwa yang sedang berlangsung di dalam sebuah karya sastra (Stanton,
2012:35).
Dalam novel terdapat hubungan antara latar dengan unsur cerita yang lain,
baik secara langsung maupun tak langsung, khususnya dengan alur dan tokoh.
Perbedaan latar, baik yang menyangkut hubungan tempat, waktu, maupun sosial
menuntut adanya perbedaan pengaluran dan penokohan (Nurgiyantoro, 2010:223-
225).
22
d. Amanat
Amanat atau moral cerita merupakan pandangan hidup pengarang yang
disampaikan, tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal tersebut ingin disampaikan
kepada pembaca melalui cerita, pengertian tersebut diungkapkan oleh Kenny
(dalam Nurgiyantoro, 2010:321). Melalui amanat tersebut maka dengan melihat
sikap para tokoh, maksud dari kejadian dan peristiwa, serta melalui sikap, cerita
dan tingkah lakunya dapat mengambil hikmah atau pesan dari cerita yang
diamanatkan.
e. Tokoh dan Penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku cerita. Abrams menjelaskan bahwa tokoh
(character) merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan mempunyai kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam dialog atau melalui
tindakan (Nurgiyantoro, 2010:165).
Dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, maka oleh Nurgiyantoro
(2010:176) tokoh dibedakan menjadi tokoh utama cerita dan tokoh tambahan.
Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-
menerus, sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh tambahan
adalah tokoh-tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita
dalam porsi yang relatif lebih pendek.
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, maka dikenal tokoh protagonis,
yaitu tokoh yang dikagumi –dikenal sebagai hero– tokoh yang sesuai dengan
23
harapan-harapan pembaca, segala hal yang dirasakan tokoh tersebut seperti yang
dirasakan pembaca. Berlawanan dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis adalah
tokoh yang menciptakan konflik dan ketegangan, khususnya terhadap tokoh
protagonis (Nurgiyantoro, 2010:178-179).
Foster (melalui Nurgiyantoro, 2010:181) membagi tokoh berdasarkan
perwatakannya, yaitu tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah
tokoh yang mempunyai satu kualitas pribadi sehingga hanya mempunyai sifat
atau watak tertentu saja, sedangkan tokoh bulat merupakan tokoh yang lebih
kompleks, sehingga mempunyai berbagai kemungkinan dalam sisi kehidupan,
kepribadian, bahkan jati dirinya.
Kriteria lain dalam menentukan perwatakan tokoh berdasarkan
berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh cerita, hal ini dibedakan menjadi
tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak
mengalami perkembangan atau perubahan akibat dari peristiwa yang terjadi.
Berlawanan dengan tokoh statis, tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami
perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan peristiwa atau plot yang
dikisahkan (Nurgiyantoro, 2010:188).
Pembedaan tokoh yang lain yaitu berdasarkan kemungkinan pencerminan
tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata. Menurut Altenberd dan
Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2010:190-191) tokoh itu terbagi atas tokoh tipikal
yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan individualitasnya, sehingga lebih
banyak ditampilkan kualitas pekerjaan dan kebangsaannya, dan tokoh netral yaitu
24
tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri, hanya dihadirkan semata-mata
demi cerita.
Nurgiyantoro (2010:166) mengungkapkan bahwa selain unsur tokoh, juga
terdapat penokohan dalam sebuah karya sastra. Penokohan merupakan salah satu
unsur pembangun karya fiksi yang mencakup masalah identitas tokoh cerita,
bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah
cerita, sehingga sanggup memberi gambaran yang jelas pada pembaca.
Unsur penokohan sebagai unsur yang penting dapat dikaji dan dianalisis
keterjalinannya dengan unsur pembangun lainnya. Jika penokohan terjalin secara
harmonis dan saling melengkapi dengan unsur yang lain, maka suatu karya fiksi
telah dianggap sebagai karya yang berhasil. Seperti halnya berkaitan dengan unsur
plot, tema, setting, amanat, sudut pandang, gaya, dan lain-lain (Nurgiyantoro,
2010:172).
Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini memfokuskan hubungan
antara penokohan dengan unsur cerita yang lain. Seperti yang telah diungkapkan
Nurgiyantoro (2010:172-173) unsur cerita yang lain tersebut meliputi : (1)
Penokohan dan pemplotan; (2) Penokohan dan tema; (3) Penokohan dan setting;
(4) Penokohan dan amanat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan, sehingga
membentuk analisis struktural teks yang menjadi satu kesatuan. Hal ini akan lebih
memudahkan dalam mengapresiasi karena keterkaitan antar elemen dalam cerita
tidak dapat dipisahkan yaitu relevansi antara tokoh dan penokohan dengan unsur
tema, plot, setting, dan amanat.
25
2. Teori Hegemoni
a. Hegemoni Gramsci
Hegemoni berasal dari akar kata bahasa Yunani hegeisthai (to lead atau
shidouken) yang artinya memimpin, kepemimpinan, ataupun kekuasaan yang
melebihi kekuasaan yang lain. Dengan demikian, secara leksikografis hegemoni
mempunyai arti ‘kepemimpinan’. Namun, dalam kehidupan sehari-hari istilah
hegemoni dikaitkan dengan dominasi. Istilah hegemoni sendiri sering dikacaukan
dengan istilah ideologi karena terdapat unsur kepemimpinan dan persetujuan dari
kelompok yang dihegemoni. Hal ini sangat berbeda, karena dalam hegemoni yang
mempunyai struktur lebih kompleks dapat terkandung ideologi, namun belum
tentu sebaliknya (Ratna, 2010:175). Hegemoni juga banyak dipakai oleh para ahli
sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan.
Artinya, bagaimana kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi
kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya
dari kelompok berkuasa.
Hegemoni dikembangkan oleh seorang filsuf Marxis Italia Antonio
Gramsci (1891-1937). Konsep tersebut dikembangkan atas dasar dekonstruksinya
terhadap konsep-konsep Marxis Ortodoks. Menurut Chantal Mouffe istilah
hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul
“Notes on The Sourthen Question”. Berbeda halnya dengan pendapat Roger
Simon karena istilah hegemoni telah digunakan Plekhanov dan para pengikut
Marxis pada umumnya sekitar tahun 1880-an (Ratna, 2010:176).
26
Kepemimpinan merupakan sebuah hegemoni seperti yang dikemukakan
oleh Gramsci. Hegemoni itu didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang
sekaligus bersifat ekonomik dan elit-politis. Dalam hegemoni perlu diperhatikan
kecenderungan dan interes-interes suatu kelompok tempat hegemoni tersebut
dijalankan. Terdapat pengorbanan tertentu yang dilakukan secara kompromi oleh
kelompok dalam berbagai hal, baik dalam aktivitas ekonomi maupun elit-politis
(Faruk, 2010:142).
Hegemoni Gramscian populer pada dekade 1970-an hingga 1980-an
dengan memberikan perhatian pada proses pemaknaan yang didominasi oleh
praktik otoritatif. Dalam analisis Gramscian, ideologi dipahami sebagai ide yang
mendukung kelompok sosial tertentu. Benet membandingkan konsep kebudayaan
menurut Foucault dan Gramsci. Pusat perhatian Foucoult pada pemerintahan
birokrasi, sedangkan Gramsci pusat perhatiannya adalah ideologi. Bagi Foucoult
kekuasaan tidak mempunyai asal usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan
kekuasaan (hegemoni) menurut Gramsci mengalir ke bawah mengarah pada
perjuangan kaum tertindas untuk menentang sumber kekuasaan tunggal (Ratna,
2010:179).
Bagi Gramsci, sejarah adalah suatu proses konflik dan kompromi yang di
dalamnya terdapat kelas fundamental yang nanti akan muncul sekaligus sebagai
dominan dan direktif dalam batas-batas ekonomik, bahkan hingga dalam batas-
batas moral dan intelektual. Hegemoni yang mendefinisikan sifat kompleks dari
hubungan antara rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat dalam
suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian sempit, tetapi juga
27
mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan
orisinalitas konsep hegemoni. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan
secara berlebihan pada pentingnya dasar ekonomi masyarakat, berbeda dengan
gagasan liberal Gramsci yang berpegang pada penyatuan kedua aspek tersebut.
Salah satu cara yang terdapat di dalamnya yaitu “pemimpin” dan “yang dipimpin”
disatukan melalui “kepercayaan-kepercayaan populer” (Faruk, 2012:143-144).
Menurut Gramsci, ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu: (1)
bahasa merupakan sarana utama yang berpengaruh terhadap konsep dunia
tertentu. Makin luas wilayah maka makin banyak bahasa yang dikuasai, dan
makin mudah dalam penyebaran ideologi; (2) pendapat umum (common sense)
yang bersifat kolektif. Menurut Gramsci budaya pop telah menjadi arena penting
dalam pertarungan ideologi. Melalui pendapat umum maka dibangunlah ideologi,
yang juga berfungsi untuk melawan ideologi; (3) Folklor, dalam hal ini meliputi
kepercayaan, opini, dan takhayul juga sangat berperan dalam menopang
hegemoni, kekuatan ini berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan.
Pada dasarnya hegemoni tidak dapat dipaksakan dari pemimpin, namun tidak juga
berkembang secara bebas atau tidak disengaja, hegemoni diperoleh dari negoisasi
dan kesepakatan (dalam Ratna, 2010:184).
Raymond Williams dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci,
membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga kategori
yaitu kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan endapan
atau residual. Kebudayaan hegemonik atau dominan merupakan kebudayaan yang
mendominisi, namun tidak secara pasif, melainkan sesuatu yang terus-menerus
28
harus diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi.
Selanjutnya, kebudayaan bangkit atau yang diperjuangkan yaitu praktik-praktik,
makna-makna, dan nilai-nilai baru, dan jenis-jenis hubungan yang tidak hanya
bersangkutan dengan ciri-ciri kebudayaan dominan, melainkan secara substansial
merupakan alternatif yang bertentangan dengannya. Kemudian, kebudayaan
residual mengacu pada pengalaman, makna-makna, nilai-nilai yang dibentuk masa
lalu, meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan dominan, terus hidup
dan dipraktikkan pada masa kini (Faruk, 2012:155-56).
Dengan demikian, pada awalnya kepercayaan tentang mitos merupakan
sebuah kebudayaan yang residual. Dominasi peran penguasa yang ada membuat
sebuah hegemoni kekuasaan tercipta di masyarakat Jawa yang berasal dari mitos
Nyai Roro Kidul, dan masih diikuti oleh raja terdahulu hingga sekarang. Dengan
dominasi Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, sebagai
penguasa kosmis, dan dalam tradisi menunjukkan bentuk dari hegemoni Nyai
Roro Kidul yang dipercaya oleh masyarakat. Meskipun demikian, dalam sebuah
masyarakat jika ada penguasa, maka tentu ada represi sehingga menimbulkan
perlawanan pada hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang ada
dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Hal ini disebabkan adanya sebuah
ideologi baru yang masuk, maka tumbulah kebudayaan bangkit, untuk
memperjuangkan nilai-nilai baru yang diharapkan dapat melawan kebudayaan
sebelumnya.
29
b. Kekuasaan Jawa
Sekalipun ada banyak pandangan berbeda tentang konsep kekuasaan, namun
mencapai sebuah deskripsi yang mewakili semua bahwa kekuasaan dianggap
sebagai kemampuan pelaku (merujuk pada seseorang, sekelompok orang, atau
suatu kolektivitas) untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain, sehingga
perilaku dari pelaku lain sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
kekuasaan (Budiardjo, 1984:9).
Penelitian ini memfokuskan pada kekuasaan Jawa yang berkembang di
sekitar Yogyakarta. Kekuasaan Jawa sangat erat kaitannya dengan hegemoni
sebagai dominasi dari pemerintahan raja. Koentjaraningrat mengatakan bahwa
tidak hanya kesaktian yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin. Seperti
halnya semua pemimpin di dunia, seorang pemimpin dalam masyarakat
berkebudayaan Jawa perlu memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang
diperlukan seorang pemimpin secara universal. Seorang pemimpin juga perlu
memiliki sifat yang diperlukan sebagai syarat pimpinan yang bermutu.
Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawamenganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraihdengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaandan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kinisedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsiIndonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143).
Masyarakat tradisional Jawa harus mempunyai sosok penguasa yang
mencerminkan sifat-sifat kepemimpinan dan kekuasaan seperti dalam kerangka
teori pemikiran Koentjaraningrat pada masyarakat negara kuno. Raja harus
mempunyai kharisma sebagai komponen paling penting, sehingga hal tersebut
merupakan unsur yang menjamin kontinuitas wewenang atau tanggungjawab
30
kepemimpinan. Namun, raja dalam masyarakat tradisional tidak dapat
mengabaikan unsur yang lain seperti kewibawaan yang menampilkan pemimpin
dengan sikap-sikap yang menjadi cita-cita atau keyakinan masyarakat, serta
kekuasaan dalam arti khusus yang meliputi kekuatan fisik serta kemampuan raja
dalam mengorganisasi orang dalam jumlah banyak dan memberikan sistem sanksi
(Koentjaraningrat, 1984:135).
c. Mitos Nyai Roro Kidul
Mitos (mite) pada umumnya mengisahkan tentang alam semesta, dunia, manusia
pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, topografi, gejala alam, dan
sebagainya. Mitos juga mengisahkan petualangan, kisah percintaan, hubungan
kekerabatan, kisah perang, dan sebagainya yang menceritakan para dewa
(Danandjaja, 1997:51). Menurut Yunus (dalam Pusposari, 2011:4) mitos termasuk
dalam kajian foklor. Mitos dapat dituangkan dalam bentuk karya sastra sehingga
melalui karya sastra, maka mitos akan menjadi cerita yang bertahan di
masyarakat.
Danandjaja (1997:23) menjelaskan bahwa folklor sebagian lisan
merupakan campuran antara unsur lisan dan unsur bukan lisan, sebagai contoh di
dalamnya adalah kepercayaan rakyat. Pengertian orang “modern” disebut sebagai
takhayul, tidak berdasar logika, dan secara ilmiah tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Mitos Indonesia bisanya menceritakan tentang terjadinya
alam semesta (cosmogony), terjadinya susunan para dewa, dunia dewata
(pantheon), terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture
31
hero), terjadinya makanan pokok, seperti beras, dan sebagainya (Danandjaja,
1997:52).
Jawa merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan
mitos. Terdapat beberapa dongeng yang tersamar berkembang dalam kebudayaan
Jawa, khususnya yang berkaitan dengan Ratu Kidul yang mendiami dan
menguasai Samudra Hindia (Samudra Indonesia). Mitos tersebut tersebar dari
Parangtritis selatan Yogyakarta, Karangbolong di Selatan Gombong, Cilacap di
Selatan Banyumas (Jawa Tengah), sampai ke Pelabuhan Ratu di Selatan
Sukabumi (Jawa Barat). Ratu Kidul inilah yang dikenal oleh banyak orang awam
sebagai Nyai Roro Kidul. Keberadaan Sang Nyai tersebut sangat diyakini oleh
masyarakat Surakarta dan Yogyakarta sebagai istri raja dari dinasti Mataram
Islam, sejak zaman raja terdahulu, Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan
Senopati (Herusatoto, 2012:85).
Mitos tentang Nyai Roro Kidul masih dipercayai rakyat setempat hingga
saat ini, baik dari pihak Keraton (Kasunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta), maupun rakyat kedua keraton tersebut dan dari bekas wilayah
Kraton Galuh Padjajarandi Tanah Sunda (Jawa Barat). Mitos berawal dari kisah
kisah pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul di Babad
Tanah Jawa:
Setelah Panembahan Senopati mendapat wahyu pada suatu malam,Ki Juru Mertani, paman sekaligus penasehatnya, belum merasa yakin jikakemenakannya itu telah menerima wahyu. Untuk memastikan,Panembahan Senopati diminta bertapa ke Laut Kidul, sedangkan Ki JuruMertani bertapa ke Gunung Merapi. Panembahan Senopati segeraberangkat, dan ia menceburkan diri ke laut Opak, bertapa denganmenghanyutkan diri mengikuti arus sungai Opak (tanpa mbathang) sampaidi Laut Kidul. Mengetahui hal itu, Ratu Kidul menemui Panembahan
32
Senopati, dan diajaknya Senopati ke keratonnya di dasar samudera.Menyadari akan kecantikan Ratu Kidul dan ketampanan Senopati,keduanya saling terpikat dan menyatu dalam asmara. Sejak saat itulahRatu Kidul menjadi istri Panembahan Senopati. Ketika Senopatimengajaknya hidup bersama dan mendampinginya sebagai Raja Mataram,Ratu Kidul dengan halus menjelaskan bahwa itu tidak mungkin dilakukan,karena ia makhluk halus/peri. Meski tak dapat mendampingi Senopati,Ratu Kidul berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataramsewaktu-waktu menghadapi bahaya (Herusatoto, 2012:84).
Dari kisah tersebut diketahui bahwa mitos Nyai Roro Kidul hidup karena
kepercayaan masyarakat akan rajanya yang memperistri seorang makhlus halus
atau peri. Mitos ini berkembang di masyarakat karena terbukti dengan kisah
tersebut adanya keselarasan kehidupan Jawa di lingkungan Yogyakarta meliputi
wilayah Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi. Selain Ratu Kidul, raja
wanita yang menempati keraton di dasar Laut Kidul (laut Selatan Pulau Jawa),
yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul, dikenal juga panglima atau senapati perangnya
yang bergelar Nyai Rara Kidul (Herusatoto, 2012:84).Namun, sering terdapat
kekeliruan pengertian dari orang awam tentang kedua sosok tersebut. Untuk
mempermudah, maka dalam penelitian ini menekankan pada tokoh Nyai Roro
Kidul yang dikenal masyarakat Jawa.
Pengaruh agama dan filsafat Islam dalam tindakan simbolis orang Jawa
terdapat dalam rangkaian upacara sekatenan. Upacara ini berkaitan dengan simbol
pantai selatan sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, hal ini dilakukan
dengan melarung pakaian wanita persembahan dari raja yang merupakan
keturunan Panembahan Senopati. Kisah panembahan Senopati atau yang disebut
sebagai Wong Ngeksi Ganda terdapat dalam Serat Wedatama karya
Mangkunegara IV. Tindakan simbolis upacara tersebut menampakkan pengaruh
33
mitos mengalirnya kesaktian Panembahan Senopati yang telah berhasil
menyatukan dirinya dengan kesaktian Nyai Roro Kidul demi kesejahteraan
keturunannya yang bertahta di wilayah kerajaan (Herusatoto, 1985:103).
34
BAB IIIRELEVANSI ANTARUNSUR STRUKTRUR DALAM NOVEL SANG NYAI
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis relevansi antarunsur struktur cerita.
Analisis ini menjelaskan unsur intrinsik tema, alur, setting, dan amanat yang
mempengaruhi perkembangan tokoh dan penokohan dalam novel Sang Nyai.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teori struktural. Berikut paparan
analisisnya.
A. Analisis Relevansi Antarunsur Struktur Novel Sang Nyai
Novel Sang Nyai mengungkapkan tentang kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro
Kidul pada masyarakat Jawa.Sebagai cerita yang menampilkan tema mayor yaitu
kepercayaan rakyat Yogyakarta terhadap eksistensi keberadaan Nyai Roro Kidul,
maka Sam sebagai tokoh utama sangat berpengaruh dalam membuktikan
kebenaran dari kepercayaan masyarakat tersebut. Sam yang semula menolak
keberadaan dari hal-hal gaib sekitarnya dengan ideologi modern yang dianut,
membuatnya harus membuktikan sendiri mengenai kebenaran mitos yang
berkembang di masyarakat.
Novel ini mengambil sudut pandang dari sisi Sam sebagai tokoh utama
dan sebagai pelaku utama atau bentuk “aku-an”. Cerita difokuskan pada karakter
Sam yang sedang melakukan liputan tentang Nyai Roro Kidul. Dalam novel ini
yang mengungkap kepercayaan rakyat Yogyakarta khususnya dan Jawa pada
umumnya terhadap eksistensi keberadaan Nyai Roro Kidul, maka tokoh Sam
sangat berpengaruh dalam membuktikan kebenaran dari kepercayaan masyarakat
35
tersebut. Sam yang semula menolak keberadaan dari hal-hal gaib sekitarnya
dengan ideologi modern yang dianut, membuatnya harus membuktikan sendiri
mengenai kebenaran dari mitos yang ada.
Sosok Kesi secara tidak langsung membantu menyampaikan tema bahwa
kepemimpinan dan kekuasaan Nyai Roro Kidul benar adanya. Segala keanehan
Sam alami ketika bertemu dengan Kesi, karena Kesi merupakan jelmaan dari Nyai
Roro Kidul. Hal ini menguatkan bahwa kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro
Kidul ada di masyarakat. Selain itu, tradisi dan budaya Jawa sangat kuat dalam
novel ini, sebagai tokoh utama maka Sam mengikuti tradisi Jawa yang dilakukan
seperti di dalam novel tersebut. Seperti pada saat Sam mengikuti jalannya prosesi
upacara labuhan.
Novel Sang Nyai merupakan novel dengan alur maju. Peristiwa awal
dialami Sam ketika ia ditugaskan untuk membuat feature tentang Nyai Roro
Kidul. Sam harus terjun secara langsung ke lapangan untuk mencari berita tentang
sosok kontroversial tersebut. Peristiwa diawali dengan kunjungan Sam di
Parangkusumo. Di tempat inilah Sam bertemu dengan gadis misterius bernama
Kesi yang pada akhirnya akan mengantarnya masuk ke dalam dunia gaib yang
berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Berikut kutipannya:
Aku seperti terbang! Tinggi sekali! Seperti remaja yang barupertama kali dicium oleh pacarnya. Wow, luar biasa! Terima kasih PakYos karena telah memberi tugas kepadaku untuk membuat feature tentangpenguasa Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Hampir saja tugas ini kutolak.Karena aku harus memasuki dunia mistik, alam supranatural, danmengorek hal-hal yang bersifat gaib. Apa gunanya semuanya itu di zamannuklir ini? (Sang Nyai, 2011:36-37).
36
Kesi membuka pikiran Sam, sehingga wartawan tersebut dengan senang
hati membuka pikirannya untuk menerima mitos Nyai Roro Kidul. Kesi lalu
mengantarkan Sam untuk berkenalan dengan Kang Petruk, teman Kesi yang
tinggal di Merapi. Hal gaib mulai dirasakan Sam saat perjalanan menuju rumah
Kang Petruk, hingga tiba di gua milik Kang Petruk.
Sebagai tokoh utama maka Sam membawa peristiwa ini memasuki sebuah
alam yang tidak bisa diterima nalar manusia. Banyak kejadian aneh Sam alami
ketika berada di kediaman Kang Petruk. Hal itu ia ceritakan kepada Sugeng, dan
dari situlah Sam mengetahui bahwa Kang Petruk adalah sosok lain dari Kiai Sapu
Jagad, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Petruk, penunggu kawah Merapi.
Saat itulah awal munculnya konflik, saat pemikiran Sam goyah karena ia
mengalamikejadian di luar akal sehat atau mempertahankan ideologi yang
dianutnya.
Keadaan semakin gawat ketika pada akhirnya Sam mendapatkan telepon
dari Kang Petruk untuk menjauh dari Merapi. Ini merupakan tahap pemunculan
konflik, karena Sam mendapat peringatan langsung dari sosok yang dipercaya
sebagai penjaga kawah Merapi tentang kondisi Merapi yang berbahaya. Sam
akhirnya menyampaikan berita itu dengan menyamar sebagai sosok imajiner yaitu
Syekh Tunggul Wulung, ulama dari Demak. Masyarakat yang masih percaya pada
wisik mempercayai apa yang dikatakan oleh ulama tersebut, terlebih ketika status
Merapi dinaikkan dari waspada menjadi siaga dan raja telah memerintahkan untuk
membuat sayur tolak bala. Perhatikan kutipan berikut:
“Merapi gawat! Merapi gawat!” teriak pengasong koran sambilmengangkat barang dagangannya. “Mbah Petruk ketemu Syekh Tunggul
37
Wulung di Merapi!” lanjut si pengasong itu. “Koran, Om?” (Sang Nyai,2011:272).
Keadaan bertambah buruk saat dikabarkan ada isu tentang perahu layar
yang berlayar di Kali Code tanpa penumpang dan naga yang muncul di Kali Opak
yang dipercaya masyarakat sebagai tanda datangnya musibah besar. Kejadian
yang tidak diduga oleh Sam, sehingga setelah memutuskan bertemu dengan Nyai
Maryatun yang mendapatkan koin emas dari seorang wanita misterius yang
memesan batiknya secara borongan yaitu tujuh batik motif sidomukti, dan tujuh
belas batik motif parangrusak Sam segera kembali ke Parangkusumo tempat
Romo Darpo berada.
Keadaan Laut Selatan pun tidak berbeda dengan penduduk lereng Merapi.
Mereka turut prihatin dengan musibah yang mengancam. Mereka was was jika
Merapi benar-benar meletus. Apalagi Sang Sultan sudah memerintahkan untuk
membuat selametan, kenduri, dan mengadakan labuhan di Pantai Selatan untuk
memohon kebaikan dari Nyai Roro Kidul agar membujuk Kiai Sapu Jagad, agar
Merapi tidak meletus. Hal ini memperkuat kondisi yang semakin gawat dengan
status Merapi saat itu.
Proses labuhan yang semula berjalan lancar menjadi sebuah malapetaka.
Ada beberapa orang yang tewas saat menjarah barang yang dilabuh. Hal ini
memperburuk kondisi Sam. Hingga akhirnya Merapi benar-benar memuntahkan
laharnya. Yogyakarta dalam kondisi gawat, pada saat yang bersamaan Sam
kehilangan Sugeng, teman akrabnya yang tewas akibat menyelamatkan warga
dusunnya dari panasnya awan wedhus gembel. Bagian inilah yang menjadi
38
konflik utama dalam novel Sang Nyai karena menyebabkan cerita dalam keadaan
klimaks. Perhatikan kutipan berikut:
Aku menghela nafas. Merapi benar-benar mengamuk. Baru sajastatusnya ditingkatkan dari siaga ke awas. Langsung meletus. Kang Petruktidak main-main, ternyata. Ia mengingatkan kepada mereka yang tinggal dilereng Merapi agar hati-hati dan waspada. Peringatan itu sudahdisampaikan oleh Syekh Tunggul Wulung, hehehe.... Karena, dialah yangmendapatkan bisikan langsung. Sebagian masyarakat ada yang percaya,sebagian lagi mengabaikan. Ngarsa Dalem sendiri sudah menginagtkanmereka yang tinggal di kawasan rawan bencana agar segera mengungsi.Namun, ada yang berkilah, mereka mau mengungsi kalau Mbah JuruKunci Merapi juga ikut mengungsi. Selama Mbah Juru Kunci Merapibertahan di rumahnya, mereka juga tidak mau pergi. Sebab, empat tahunlalu ketika Merapi meletus, mereka juga aman-aman saja. Karena waktuitu, Mbah Juru Kunci duduk di rumahnya tidak mau mengungsi. Memangselamat. Karena waktu itu, Bukit Geger Boyo tegak berdiri dan mampumenahan laju lahar panas. Namun, hari-hari terakhir, bukit itu ambrol juga.Dan sekarang, tak ada lagi bukit yang bisa menghadang lajunya laharpanas. Mereka tewas (Sang Nyai, 2011:414-415).
Tahap penyelesaian dari konflik dalam novel ini dengan keputusan Sam
sebagai tokoh utama untuk kembali ke Jakarta. Ia menolak perintah Pak Yos
untuk menambah tiga hari waktu liputan di Yogyakarta sekaligus meliput bencana
Merapi yang terjadi. Sam mengalami guncangan karena kehilangan teman-
temannya, dimulai tewasnya Kang Trisno akibat mengadu nasib dengan
mengambil barang-barang labuhan di Laut Selatan yang sedang mengamuk, dan
meninggalnya Sugeng karena menyelamatkan warga yang berada di lereng
Merapi.
Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnyaterdapat kotak kayu ukir yang halus, motif naga dan kembang melati.Kotak kubuka. Isinya brokat warna hijau gadung, kain batik motifsidomukti, ulos atau selendang dari Batak, satu bungkus plastik kecil berisiabu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buah uang logam emas. Ketikakuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambar wanitacantik. Dan, wanita itu adalah Kesi! (Sang Nyai, 2011: 435).
39
Tahap penyelesaian ini juga mencengangkan karena pada tahap inilah Sam
mengetahui bahwa Kesi adalah sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya dari
sebungkus kado yang secara gaib diletakkan di koper Sam. Dengan demikian,
terungkap misteri yang membuat Sam penasaran dengan sosok Kesi yang selalu
muncul tiba-tiba, bahkan seolah seperti muncul dengan cara gaib ke tempat yang
diyakini merupakan tempat persinggahan Nyai Roro Kidul ketika Sam melakukan
liputan.
Novel Sang Nyai mempunyai latar waktu yang beragam namun dibatasi
dengan proses peliputan Sam tentang sosok Nyai Roro Kidul sebagai bahan
featurenya. Waktu Sam berada di Yogyakarta dalam melaksanakan tugas hanya
dua minggu. Pada saat terjadi letusan Merapi, seharusnya Sam sudah kembali ke
Jakarta. Namun, atasannya ingin menambah tiga hari lagi agar Sam bisa meliput
kejadian tersebut. Sam menolaknya karena ia merasa tidak dapat menyaksikan
penderitaan rakyat Yogyakarta yang sedang mengalami bencana.
“Perintah Pak Yos agar aku bertahan tiga hari lagi di Yogyakutolak. Pimpinan redaksi itu minta agar aku sekalian meliput bencanaMerapi. Mumpung ada di Yogya. No way! Aku ingin segera pulang, inginsegera meninggalkan Yogya yang sedang berduka cita... (Sang Nyai,2011:429).
Dari data di atas, maka dapat dianalisis bahwa waktu kejadian dalam novel
tersebut berkisar pada tanggal 26 Oktober 2010. Merapi mengalami letusan hebat
pada tanggal tersebut yang menelan ratusan korban jiwa. Dengan demikian, waktu
Sam dalam cerita mempengaruhi berlangsungnya jalan cerita Sang Nyai. Ketika ia
kembali ke Jakarta maka berakhirlah kisah Sam yang tengah meliput sosok
kontroversial Nyai Roro Kidul.
40
Tokoh Sam juga menentukan kelangsungan jalan cerita novel Sang Nyai, karena
berkaitan dengan waktu dinasnya ke Yogyakarta untuk meliput sosok Nyai Roro
Kidul. Cerita diakhiri dengan kondisi Sam baru mengetahui bahwa Kesi adalah
sosok yang sama dengan Nyai Roro Kidul.
Pukul tujuh malam aku meditasi di bawah tujuh lukisan sosok NyaiRoro Kidul. Tujuh kali aku seperti dibawa kekuatan gaib ke tempat-tempatdi mana Nyai Roro Kidul sering berada. Mulai dari Sanur Beach HotelBali, Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen, Parangkusumo, SamuderaBeach Hotel, Banglampir Gunung Kidul, dan Pantai Karangbolong. Tujuhtempat yang berbeda itu ternyata memiliki aura yang sama. Aura mistisyang sulit diterangkan dengan akal sehat. Orang boleh percaya, namunjuga boleh mendebat. Sebab, aura semacam itu hanya bisa dirasakan jikaseseorang mau datang sendiri di tempat tersebut... (Sang Nyai, 2011:161).
Berdasarkan kutipan di atas, Sam yang melakukan pertapaan di tempat
Nyai Mundingsari mengantarkan padanya ke tempat-tempat gaib yang diyakini
sebagai tempat persinggahan Nyai Roro Kidul. Setelah Sam tiba di Yogyakarta
dan berkunjung ke Parangkusumo lalu bertemu Kesi, ia mulai mengalami hal-hal
gaib. Sam merasa seperti berada di dua alam. Termasuk ketika berada di rumah
Kang Petruk, ia merasa berada di dunia makhluk halus. Kejadian-kejadian aneh
inilah yang membuat Sam meyakini keberadaan Nyai Roro Kidul yang
sebelumnya hanyalah mitos di masyarakat.
Perilaku kehidupan sosial bermasyarakat dalam cerita merupakan latar
sosial sebuah karya sastra (novel). Awal keadaan di tempat Sam melakukan
wawancara dengan Mas Darpo di Parangkusumo sudah menunjukkan interaksinya
dengan masyarakat, karena lingkungan yang dikunjungi sangat kuat menjunjung
tradisi yang ada. Daerah Yogyakarta merupakan daerah yang masih kuat
41
menjunjung tinggi adat istiadat, mempercayai mitos, dan tunduk kepada perintah
raja. Berikut kutipannya:
Entahlah. Semua serba mungkin, namun sekaligus juga tidakmungkin. Tetapi, inilah upaya terakhir masyarakat pesisir untuk membantusaudara-saudaranya yang tinggal di sekitar Merapi (Sang Nyai, 2011:355).
“Lho, andaikata meletus pun bukankah masyarakat di sini tidakakan jadi korban? Hujan abu pun tidak akan sampai sini. Sebab, abu diangkasa pasti akan didorong angin laut dan kembali ke utara,” kataku.
“Memang. Tapi, apakah kita akan diam saja melihat saudara kita disana menderita? Tidak mungkin kita hanya diam dan menonton tho?” MasDarpo menatapku. Ekspresi wajahnya memang serius.“Bagaimanapunjuga, antara Merapi dan Laut Selatan punya hubungan istimewa. Mas Sampasti sudah mendapat informasi itu dari beberapa orang, bukan?” (SangNyai, 2011:336)
Sam menyampaikan pelajaran kehidupan melalui beberapa pemikirannya
yang kritis. Ketika mengetahui bahwa Laut Selatan dan Gunung Merapi
mempunyai hubungan khusus, namun Sam mencoba memancing jawaban dari
Mas Darpo tentang hubungan istimewa yang menghubungkan garis imajiner dari
selatan ke utara dengan Keraton Yogyakarta sebagai penengah, dan maksud di
baliknya. Berdasarkan kutipan tersebut terlihat jelas hubungan masyarakat pesisir
pantai selatan dengan warga pantai utara yang harmonis. Ketika, tersebar kabar
Merapi akan meletus warga Pantai Selatan memberikan bantuan tanpa pamrih
berupa doa untuk saudara-saudaranya di lereng Merapi sebagai bentuk
kepedulian.
Sebagai masyarakat Jawa yang masih memegang teguh kepercayaannya,
rakyat juga mempunyai hubungan baik dengan satu sama lain, sehingga akan
saling membantu jika mengalami musibah. Seperti keprihatinan penduduk daerah
pesisir yang ditunjukkan dengan melakukan selametan, kenduri, dan labuhan
42
untuk membantu saudara-saudaranya yang tinggal di Merapi. Sam pun turut
bersosialisasi dengan kegiatan tersebut, seperti saat terjadinya prosesi labuhan
yang membuatnya khawatir karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan
untuk mengadakan labuhan di Laut Selatan.
Tradisi yang masih kokoh inilah yang membuat kehidupan masyarakat
Yogyakarta layak menyandang status keistimewaannya. Terlebih dengan masih
adanya eksistensi Keraton Yogyakarta dan Pakualaman yang membuat daerahnya
menjadi semakin dilindungi. Hegemoni raja dominan dalam masyarakat daerah,
sehingga segala hal yang berhubungan dengan Keraton merupakan hal keramat.
Penokohan Sam pun membuatnya mau tidak mau masuk membaur ke dalam
masyarakat yang telah mempercayai tradisinya erat secara turun-temurun.
Tradisi dan mitos dalam masyarakat Jawa merupakan sesuatu yang
dominan, sehingga seseorang dengan pemikiran modern seperti Sam yang pada
awalnya tidak percaya, namun ketika mengalaminya akhirnya paham yang
dianutnya runtuh karena pengalaman spiritual yang ia peroleh selama mencari
informasi tentang Nyai Roro Kidul. Tradisi dan mitos tersebut merupakan bentuk
kearifan lokal dan warisan budaya yang harus dijaga dan menjadi warisan turun
temurun. Manusia terutama masyarakatnya, sebagai salah satu pelakunya
diharapkan dapat melindungi warisan budaya atau tradisi nenek moyang tersebut.
Terlepas dari kebenaran cerita Nyai Roro Kidul, sesungguhnya kehidupan
di dalam dan sekitar Keraton mengajarkan Sam bahwa hidup bermasyarakat di
Jawa dapat mengembangkan sikap gotong royong, saling membantu, laku
prihatin, dan kepedulian terhadap sesama. Bahkan, ketika terjadi musibah letusan
43
di Gunung Merapi pun Sam turut berduka cita merasakan penderitaan Yogyakarta
waktu itu. Sam sebagai salah satu bagian dari kehidupan Yogyakarta pada saat itu
merasa belum melakukan sesuatu yang berarti seperti yang dilakukan oleh teman-
temannya, seperti meninggalnya Sugeng karena membantu penduduk
menyelamatkan diri dari serangan awan panas.
B. Analisis Tokoh dan Penokohan
Berdasarkan analisis struktural dalam novel Sang Nyai di atas, maka
memperlihatkan adanya keterkaitan di setiap unsur intrinsik yang digunakan.
Tema dominan yang diusung dalam novel yakni mengenai eksistensi Nyai Roro
Kidul dalam kebudayaan Jawa. Latar tempat, waktu dan sosial Sam sejak
melakukan peliputan tentang sosok Nyai Roro Kidul yang akhirnya
mempengaruhi perkembangan watak Sam, termasuk juga alur cerita dan amanat
yang menggambarkan kehidupan Sam yang tiba-tiba berubah orientasi sosialnya.
Perkembangan ideologi dan perwatakan dalam novel Sang Nyai terlihat jelas dari
tokoh-tokohnya. Bertolak pada hal itu, melalui relevansi antarunsur struktur
dalam novel Sang Nyai yang telah dibahas, penulis akan memaparkan analisis
tokoh Sam dan Kesi sebagai tokoh dominan yang sangat berpengaruh terhadap
analisis pada bab berikutnya. Berikut paparan analisisnya.
1. Tokoh Sam
Sam adalah seorang wartawan yang berasal dari ibukota. Ia ditugaskan oleh
bosnya, Pak Yos, untuk membuat feature tentang Nyai Roro Kidul. Ia adalah
44
tokoh utama yang menjadi poros dalam cerita. Sam juga merupakan tokoh yang
protagonis karena profesinya sebagai wartawan yang mempunyai karakter pekerja
keras, kuat, berani, hati-hati, dan pemikir. Karakter itulah yang mengantarnya
untuk masuk lebih jauh ke lapangan tempatnya mencari informasi untuk mencari
bahan tulisan tentang Nyai Roro Kidul. Sam selalu menenangkan pikiran dengan
cara meditasi, sehingga mulai dari situ ia dapat merasakan hal-hal gaib di
sekitarnya.
Penggambaran tokoh Sam dilakukan secara langsung melalui deskripsi
pengarang. Sudut pandang “aku”-an menjadi dominasi pemikiran Sam dalam
perkembangan cerita. Oleh sebab itu, novel itu menempatkan Sam sebagai tokoh
utama cerita. Perwatakan Sam sebagai tokoh utama dapat dilihat dari
kegigihannya dalam mencari informasi tentang Nyai Roro Kidul. Ia merupakan
seseorang yang pekerja keras. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Dikejar deadline. Hal yang biasa bagi orang pers. Untuk menjawabhal itu, hanya ada satu kata: kerja keras! Tidak bisa dibayangkanbagaimana ritme kerja wartawan koran harian atau televisi yang kejartayang. Setiap hari melewati saat-saat kerja yang menuntut disiplin tinggi.Tegang, stres, lupa makan, lupa tidur, adalah hal biasa bagi insan pers.Karena itu, seseorang harus mampu mengelola waktu dengan baik.Menjaga kesehatan dengan prima. Bukan rahasia lagi banyak orang persmeninggal dunia dalam usia muda karena sakit... (SangNyai, 2011:198).
Sikap tersebut membuat profesinya sebagai wartawan harus berpikir
rasional dan profesional. Perhatian kepada diri sendiri sangat diperlukan orang
pers jika tidak ingin jatuh sakit. Pekerjaan yang membutuhkan perhatian khusus
ini telah menunjukkan bahwa Sam adalah seorang berideologi modern yang harus
siap dengan segala tantangan untuk ia selesaikan. Termasuk dalam hal melakukan
liputan terhadap Nyai Roro Kidul yang sempat ditolaknya. Pekerjaan Sam
45
menuntut kerja keras individu dalam melakukan liputan. Namun, dalam
prakteknya banyak pihak yang membantu Sam dalam memberikan informasi
tentang bahan feature yang harus ia kumpulkan. Perwatakan Sam yang lain juga
ditunjukkan pada kutipan berikut ini:
Sekarang, aku harus masuk jauh ke dalam dunia semacam itu. tidakbisa setengah hati. Menulis feature beda jauh dibanding menulis berita.Kalau berita cukup memakai rumus 5W +1H, untuk feature perluditambah insting, visi, misi, dan sedikit imajinasi. Karena itulah, sebuahfeature bisa tahan lama. Tidak cepat basi. Apa yang kutulis minggu inimasih layak dibaca dua tahun mendatang. Bahkan, bertahun-tahunkemudian sejauh data dan lokasi tidak banyak mengalami perubahan. Jikapun terjadi banyak perubahan, maka feature tersebut malah bisa jadisemacam dokumaen sejarah (Sang Nyai, 2011:39).
Berdasarkan kutipan di atas, meskipun Sam merupakan wartawan dari
Jakarta dengan latar belakang modern, individualisme, dan pekerja keras, namun
Sam juga sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Pelukisan karakter tokoh
Sam dilakukan secara langsung oleh pengarang. Melalui perilaku dan pemikiran
Sam inilah dapat dilihat karakter Sam yang sesungguhnya. Ia dengan ideologi
modern yang dianut harus melakukan liputan pada sosok Nyai Roro Kidul yang
bertentangan dengan rasionalisme yang dianutnya.
Selain itu, Sam juga mempunyai watak cerdas, dilihat dari pemikirannya
yang kritis. Pengarang menceritakannya dalam bentuk konflik batin, sehingga
karakter Sam mengalami perkembangan karakter termasuk perkembangan
ideologi setelah berada dalam lingkungan yang berbeda. Ia harus melakukan
liputan secara langsung ke tempat keberadaan mitos Nyai Roro Kidul.
46
Paham rasionalisme Sam ditunjukkan dengan sikapnya yang menentang
keras segala hal berbau gaib. Hal gaib merupakan sesuatu yang tidak wajar dalam
perkembangan dunia modern. Berikut kutipannya.
Apa gunanya semuanya itu di zaman nuklir ini? bagaimanamungkin bangsa ini akan maju kalau masih mempercayai sesuatu yanggaib? Masih bersandar pada pusaka nenek moyang, lalu mengabaikankecerdasan otak (Sang Nyai, 2011:37).
Dari data di atas menunjukkan karakter Sam yang rasional. Zaman
berkembang semakin maju, sehingga segala hal terus mengalami perubahan.
Tidak hanya terpaut pada peninggalan masa lalu. Kecerdasan otak sangat penting
di era modern. Segala hal dalam dunia modern dibuktikan dengan penyajian data
yang empiris dan terbukti kebenarannya, sedangkan hal gaib seperti kisah Nyai
Roro Kidul hanya merupakan kisah yang berkembang secara turun temurun di
masyarakat. Bahkan belum tentu yang melaksanakan perintah-perintah berkaitan
dengan sosok Nyai Roro Kidul pernah melihat secara langsung sosok Nyai Roro
Kidul sebagai pemimpin Laut Selatan.
Hidup di Yogyakarta dengan latar belakang ideologi tradisional,
konvensional, berpegang pada kultur, dan feodalisme yang sebagian dianut oleh
masyarakatnya membuat Sam harus mengubah pikiran modernnya mengikuti
masyarakat tempat ia bernaung. Segala hal yang semula dianggapnya hanya
omong kosong belaka terbukti dengan kejadian gaib yang dialami oleh Sam.
Ideologi tradisional masyarakat Yogyakarta tersebut berwujud dengan
masih adanya kepercayaan terhadap kekuatan lain yaitu Nyai Roro Kidul yang
menyokong keberadaan Keraton. Masyarakat Yogyakarta juga masih memegang
tinggi budaya Jawa baik dalam hal sopan santun maupun perilaku kehidupan
47
sehari-hari, serta tunduknya masyarakat dengan perintah raja sebagai bentuk
kepemimpinan di lingkungan Yogyakarta. Sebagai tokoh utama yang pada
mulanya mempunyai ideologi bertentangan dengan masyarakat tersebut, Sam
diharuskan mengikuti tradisi yang ada selama hidup di dalam lingkungan
Yogyakarta.
Terjadilah konflik antara Sam dengan batinnya yang mempengaruhi
pemahamannya tentang hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Ideologi modern
awalnya membuat Sam menentang pemikiran yang berhubungan dengan hal
mistis. Namun, peristiwa yang dialami mengubah Sam, sehingga ia merupakan
tokoh bulat dan tokoh yang berkembang dalam cerita ini karena mengalami
perubahan kepercayaan dan perkembangan karakter. Terdapat perubahan yang
kompleks dari pemikiran yang dianut oleh tokoh tersebut, dari seorang Sam yang
menganut paham rasionalisme, berubah menjadi Sam yang percaya pada hal-hal
irrasionalisme, seperti hal-hal gaib yang ada di sekitarnya.
Perkembangan watak Sam sangat berkaitan dengan sosok Kesi yang
menjadi tokoh pendukung dan sangat berkaitan dengan tokoh utama. Paham
irrasionalisme Sam yang tercipta yaitu ketika Sam harus mempercayai eksistensi
Nyai Roro Kidul.
“Hehehe..., di mana ada Samhudi, di situ ada Kesi. Begitu ya?”Aku mengangguk. “Sangat aneh. Kadang-kadang aku merasa
seperti berada di alam gaib, bertemu makhluk-makhluk gaib pula. Tapitiba-tiba, aku bisa kembali ke alam nyata sehari-hari. Kalau aku ceritakepada orang lain, mungkin malah dianggap aku sudah sinting. Bahkansudah gila (Sang Nyai, 2011:246).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sam mulai mengalami perubahan
ideologi ketika menyadari bahwa Kesi bukan makhluk biasa, disebabkan
48
kemunculannya secara tiba-tiba di setiap tempat yang Sam datangi. Perubahan
ideologi ini menandakan kuatnya kekuasaan Jawa yang terfokus pada hegemoni
mitos Nyai Roro Kidul.
Perubahan kepercayaan dan ideologi Sam terjadi ketika ia semakin
penasaran dengan kejadian yang dialaminya ketika berada di rumah Kang Petruk.
Ia menanyakan perihal pertemuannya dengan Kang Petruk dengan Bu Mul atau
yang dikenal sebagai Nyai Mundingsari, wanita yang sangat menyukai hal gaib,
apalagi segala hal yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Di rumah Bu Mul
inilah Sam melihat tujuh lukisan bergambar Nyai Roro Kidul dengan berbagai
versi. Di rumah Bu Mul jugalah Sam mengadakan meditasi dan secara gaib ia
terlempar ke tempat-tempat keberadaan Nyai Roro Kidul sesuai asal usul lukisan
tersebut dan bertemu Kesi di tempat itu. Perhatikan kutipannya:
“Semakin mantap niatmu untuk menulis kisah tentang Nyai Roro Kidul?”“Ya.”“Mas Sam percaya bahwa sosok Nyai Roro Kidul itu bukan isapan jempolbelaka? Bukan hanya ada di alam dongeng?”“Ya.” (Sang Nyai, 2011:151).
Kejadian tersebut mengubah perwatakan Sam. Ia mengalami kejadian
aneh, sehingga ia percaya bahwa hal gaib yang dialaminya berkaitan dengan Nyai
Roro Kidul. Sesuatu gaib yang sebelumnya tak pernah terbukti, akhirnya ia alami.
Hal ini membuktikan bahwa Sam dapat menerima rasio pemikiran irasionalisme
yang sebelumnya ditentang olehnya.
49
2. Kesi/Nyai Roro Kidul
Tokoh Kesi merupakan sosok yang misterius. Namun, ia digambarkan sebagai
gadis yang sangat cantik, menarik, dan seksi. Siapa pun laki-laki yang melihatnya
pasti akan tergoda. Kesi berteman baik dengan Kang Petruk yang belakangan Sam
ketahui sebagai penjaga kawah Merapi. Ia sering menggunakan kebaya.
Karakternya ceria, namun cerdas. Ia selalu berada di tempat yang berkaitan
dengan Nyai Roro Kidul yang Sam datangi.
“Aneh sekali,” kataku. “Waktu aku di rumah Kang Petruk, kamu
datang. Lalu pergi tiba-tiba. Waktu aku seperti berada di Sanur Beach
Hotel, kamu pun ada di sana. Dan sekarang aku di sini, kamu sudah lebih
dulu tiba. Kamu benar-benar mirip angin. Pergi ke mana saja sesuka
hatimu (Sang Nyai, 2011:246).
Kutipan di atas menyimpulkan bahwa Kesi merupakan sosok misterius
yang selalu hadir di tempat keramat keberadaan Nyai Roro Kidul. Dari kutipan di
atas secara tidak sengaja Sam bertemu dengannya di Panggung Sanggabuwana
pada malam hari. Akhirnya, setelah ditelusuri oleh Sam, wartawan itu
menemukan fakta bahwa Kesi merupakan sosok penjelmaan Nyai Roro Kidul.
Dengan demikian, akhirnya jelaslah misteri tentang Kesi yang selalu muncul di
setiap tempat yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul pada saat Sam mencari
liputan tentang sosok kontroversial itu.
Kesi sebagai tokoh protagonis merupakan tokoh yang sangat
mempengaruhi kisah dari novel Sang Nyai, karena semua hal berawal dari misteri
yang dibawa oleh Kesi. Penggambaran tokohnya pun dilakukan secara langsung
melalui interaksi dengan Sam dan Kang Petruk. Sosok Kesi yang misterius juga
ditunjukkan dengan tidak ada interaksi antara ia dengan tokoh lain, selain Kang
50
Petruk temannya. Hal ini membuat Sam akhirnya percaya bahwa Kesi merupakan
sosok Nyai Roro Kidul. Ia mempunyai peran ganda dalam novel ini.
“Nyai Roro Kidul itu bukan sosok yang kejam, Mas Sam,” kataKesi kemudian. “Dia itu justru pribadi yang welas asih, suka menolong,dan memberikan apa yang dimiliki bagi siapa saja yang memintakepadanya.” (Sang Nyai, 2011: 374).
Berdasarkan kutipan di atas, sosok Nyai Roro Kidul sendiri merupakan
sosok yang misterius namun sangat dipercaya oleh sebagian besar masyarakat
Jawa sebagai penguasa Laut Selatan. Selanjutnya, tokoh ini merupakan sosok
yang welas asih dan dipercaya dapat mengabulkan doa dari rakyat yang memohon
secara tulus kepadanya, misalnya melalui ziarah di Parangkusumo pada malam
Jum’at Kliwon, atau melalui upacara sesaji dan labuhan. Tokoh kontroversial ini
hidup di dua alam, alam gaib dan manusia, serta bertugas melindungi masyarakat
Jawa pada umumnya dan rakyat Yogyakarta khususnya. Ia mempunyai
keterkaitan dengan raja-raja Mataram dan keturunannya, serta berhubungan baik
dengan penunggu kawah Merapi.
Penggambaran sosok Nyai Roro Kidul dilakukan melalui dialog
antartokoh. Nyai Roro Kidul tidak secara langsung menampakkan diri di hadapan
manusia biasa, sehingga masyarakat yang percaya dengan eksistensi Nyai Roro
Kidul hanya dapat mendeskripsikannya seperti kepercayaan yang berkembang di
masyarakat. Hanya orang-orang tertentu atau orang-orang suci yang bisa
merasakan atau melihat keberadaan Nyai Roro Kidul. Hal inilah yang membuat
hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tercipta dalam masyarakat Yogyakarta.
Meskipun demikian, dari sosok Nyai Roro Kidul inilah pengarang
memulai cerita tentang novel Sang Nyai, karena acuan tokoh utama Sam untuk
51
mencari liputan adalah sosok Nyai Roro Kidul. Oleh sebab itu, Nyai Roro Kidul
mengambil peran penting pada kelangsungan cerita. Tanpa Nyai Roro Kidul yang
diceritakan dan sosok Kesi yang hadir maka cerita Sang Nyai tidak akan berjalan
sesuai yang pengarang harapkan.
Sebagai sosok yang sama, maka Kesi dan Nyai Roro Kidul merupakan
tokoh bulat, tokoh ini mempunyai jati diri yang berbeda seiring perkembangan
cerita. Seorang gadis bernama Kesi ternyata adalah perwujudan dari Nyai Roro
Kidul. Hal ini merupakan surprise atau kejutan bagi Sam yang menyadarinya di
akhir cerita. Kejutan ini tentu saja menguatkan perubahan ideologi yang dianut
oleh Sam.
Dengan demikian, posisi Kesi tidak hanya terfokus pada salah satu
karakter saja, namun menjadi karakter lain yang membuatnya menjadi tokoh yang
berkembang. Tokoh ini pun meruntuhkan kepercayaan Sam yang semula
menentang keras hal-hal yang berbau gaib menjadi Sam yang harus mempercayai
keberadaan dari sosok Nyai Roro Kidul sebagai wujud lain dari diri Kesi.
Selain Sam dan Kesi, dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono
terdapat banyak tokoh yang berkaitan dengan cerita. Tokoh tambahan ini
mempunyai peranan yang berbeda-beda dalam membawa cerita. Tokoh tambahan
tersebut diantaranya: Mas Darpo, Bu Mul, Sugeng, Pak Nung, Kang Petruk,
Kanjeng Sultan, Kanjeng Sunan, Nyai Maryatun, Ki Aji Sembada, Raden Mas
Damar Kusumo, Kang Trisno, Pak Yos, Kang Jiman, Mbak Sum, Mujimin, dan
Tiga wartawan dari Jakarta (Dodo, Tata, Murti).Dengan tokoh tambahan tersebut
mendukung tokoh utama saat menjalani peristiwa di setiap cerita dalam novel
Sang Nyai karya Budi Sardjono. Sam terhubung dengan banyak orang yang
menambah informasinya tentang sosok Nyai Roro Kidul untuk menjadi bahan
featurenya.
52
BAB IVANALISIS HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP
KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis dan pembahasan hegemoni mitos Nyai
Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa. Proses analisis relevansi antarunsur struktur
cerita pada bab sebelumnya digunakan sebagai pijakan dalam menganalisis
hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan
terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tersebut. Berikut paparan analisisnya.
A. Bentuk-bentuk Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul
Analisis penelitian ini menggunakan hegemoni Gramsci yang menunjuk pada
dominasi kekuasaan, namun tidak bersifat memaksa karena dilakukan melalui
cara-cara intelektual kultural dan politis. Cara-cara tersebut dilihat dengan
patuhnya hampir sebagian masyarakat Yogyakarta kepada dominasi kekuataan
lain yang menyokong legitimasi Keraton, yakni keberadaan Nyai Roro Kidul.
Hegemoni Gramsci digunakan sebagai dasar teori yang menjadi acuan
penelitian ini untuk menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang terdapat
dalam novel Sang Nyai. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul merupakan dominasi
kekuasaan yang dilakukan oleh Nyai Roro Kidul mencakup seluruh lapisan
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, wilayah alam, bahkan adat istiadat yang
berkembang di dalamnya. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tersebut mempunyai
beberapa bentuk yakni Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi
raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Berikut
paparan analisisnya.
53
1. Sang Nyai Sebagai Ratu
Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.
Sosoknya sangat dihormati karena dianggap suci sebagai penguasa gaib Laut
Selatan. Nyai Roro Kidul merupakan pemimpin yang tidak diketahui asal-usulnya
secara jelas, karena terdapat berbagai versi mengenai kelahiran sosok tersebut.
Salah satunya yang disebutkan dalam novel Sang Nyai yakni tercantum dalam
kutipan berikut:
“Ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari tanah Batak.Sebagian orang percaya dia berasal dari Banten atau tanah Pasundan.Namun, ada juga yang percaya dia itu berasal dari Kudus,” kataku (SangNyai, 2011:181-182).
Berdasarkan data di atas tidak ada yang tahu pasti asal usul Nyai Roro
Kidul. Ada berbagai macam versi kisah tentang Ratu Laut Pantai Selatan tersebut.
Salah satunya yang dikisahkan oleh S. Padmoesoekotjo, bahwa Ratu Kidul adalah
jelmaan dari bidadari yaitu Dewi Nawangwulan yang pernah diperistri oleh Jaka
Tarub. Kisah tersebut bercerita bahwa Jaka Tarub mencuri selendang
Nawangwulan, sehingga sang Dewi tidak dapat kembali ke kahyangan. Saat itulah
Jaka Tarub datang menolong dan memperistrinya. Namun, setelah mengetahui
kebenaran bahwa ia ditipu suaminya, Nawangwulan mencoba kembali ke
Kahyangan. Sayangnya, ia telah digauli manusia, sehingga tidak berhak tinggal di
Kahyangan. Selanjutnya, oleh Sang Hyang Guru (Raja Para Dewa) Sang Dewi
diperintahkan untuk menjadi ratu di Laut Kidul, membawahi para makhluk halus
di daerah tersebut (Herusatoto, 2012:88).
54
Wiryapanitra (melalui Herusatoto, 2010:88) menuliskan kisah lainnya
tentang Nyai Roro Kidul yaitu, Sang Ratu berasal dari kerajaan Padjajaran yang
merupakan putri sulung dari Raden Bondhanwangi. Sang putri tidak mau menikah
sehingga dikutuk ayahnya dan diusir ke luar istana. Sang putri lalu bertapa dan
berubah menjadi makhluk halus lalu memimpin Laut Selatan, cerita ini dikisahkan
dalam Babad Tanah Jawa. Dua cerita tersebut menegaskan bahwa, tidak adanya
kejelasan sejarah dari berdirinya kerajaan Laut Selatan yang dipimpin oleh Nyai
Roro Kidul. Asal usulnya masih menjadi teka-teki yang misterius. Namun, Nyai
Roro Kidul sebagai penguasa dipercaya oleh masyarakat mempunyai istana dan
pasukannya yang terdiri atas puluhan ribu bangsa jin, siluman, dan lelembut yang
menjaga Pantai Selatan.
Bertolak dari kisah tersebut, masyarakat mengenal Nyai Roro Kidul
dengan ciri-ciri tertentu. Dalam novel Sang Nyai, Nyai Roro Kidul digambarkan
sebagai sosok perempuan muda yang cantik, mengenakan kemban warna hijau
gadung, bermahkota, dan biasanya berada di atas ombak. Setidaknya itu yang
tergambar di lukisan-lukisan yang sering dilihat orang pada umumnya. Hal ini
disebabkan banyak pelukis yang menggambarnya dengan model tidak jauh
melenceng dari karya lukisan Basuki Abdullah.
Sosok yang misterius. Dia berada di dua alam: alam nyata danalam gaib. Di alam nyata, nama sang Nyai sangat akrab di telingamasyarakat. Siapa yang tidak kenal nama itu? Bahkan, ia mendapat satutempat terhormat. Beberapa hotel besar menyediakan kamar khususuntuknya. Setiap kali keraton mengadakan labuhan, dia tidak ditinggalkan.Dihantarkan kepadanya segala macam makanan dan pakaian kesenangansang Nyai. Dan, setiap malam Jum’at Kliwon, Ratusan orang ngalapberkah kepadanya dengan cara ziarah di Cepuri Parangkusumo (SangNyai, 2011:430).
55
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Nyai Roro Kidul menunjukkan
‘hegemoni’-nya terhadap masyarakat Jawa. Nyai Roro Kidul mempunyai tempat
khusus di masyarakat. Ia merupakan ratu yang diyakini dapat menjelma menjadi
manusia di alam nyata dan menjadi pemimpin di alam gaib. Segala hal yang
berhubungan dengan Nyai Roro Kidul menjadi hal yang keramat, bahkan ada
waktu ziarah khusus untuknya yaitu pada malam Jum’at Kliwon di Puri
Parangkusumo. Masyarakat menghormati sosoknya, bahkan ketika ada peristiwa
labuhan Nyai Roro Kidul tidak pernah ditinggalkan, sehingga pada saat labuhan
benda yang dilarung berisi segala macam makanan dan pakaian yang disukai Nyai
Roro Kidul.
Selain itu, Nyai Roro Kidul juga dihormati oleh banyak orang tidak hanya
sebagai sosok mitos pemimpin Laut Selatan Jawa, namun ia juga sebagai istri dari
Raja Mataram terdahulu. Terdapat hubungan “spesial” antara Panembahan
Senopati dengan Nyai Roro Kidul, sehingga sampai sekarang masih ada
kepercayaan Nyai Roro Kidul akan membantu Panembahan Senopati hingga
keturunannya apabila menghadapi masalah. Eksistensi Nyai Roro Kidul sebagai
pemimpin Laut Selatan merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang ia miliki,
sehingga secara tidak langsung sosoknya sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan Keraton. Berikut kutipan yang menjelaskan hubungan Nyai Roro
Kidul dengan Kanjeng Sultan dan Sunan.
Di antara catur sagotrah itu ada orang ketiga atau kelima yangsangat diperhitungkan eksistensinya, yakni Nyai Roro Kidul. Namun,penguasa Laut Selatan itu hanya berhubungan asmara dengan orang nomorsatu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Rupanya, Ratucantik yang terkenal sangat sakti itu tidak melirik penguasa di Pura
56
Mangkunegaran maupun Pura Pakualaman. Keduanya mungkin dianggaptidak selevel karena hanya menyandang gelar adipati. Selevel di bawahsunan maupun sultan (Sang Nyai, 2011: 221).
“Nyai Roro Kidul itu memang...apa ya... kalau zaman sekarangistilahnya, mungkin termasuk perempuan selebriti papan atas. Beliauhanya mau bercinta dengan kalangan atas. Dengan raja-raja. Bukan denganlelaki biasa.”
“Ya, ya, karena beliau sendiri juga seorang penguasa di LautKidul,” imbuhku (Sang Nyai, 2011:206).
Nyai Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan yang terkenal dengan
kecantikan dan kesaktiannya hanya berhubungan dengan pemimpin Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, karena hanya dua pemimpin tersebut yang
dianggap setingkat dengannya sebagai pemimpin suatu masyarakat tradisional.
Dominasi Nyai Roro Kidul tersebut menandai bahwa tidak sembarang orang yang
bisa berhubungan dengan sang Nyai, karena ia hanya mau berhubungan dengan
orang-orang tertentu sesuai kehendaknya. Jadi, jika tidak berkehendak maka Nyai
Roro Kidul tidak akan muncul karena ia mempunyai kekuasaan tersendiri.
Selain menjalin hubungan dengan Raja Mataram seperti yang diungkapkan
sebelumnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu mempunyai kharisma. Kharisma Nyai
Roro Kidul terpancar dari asal usulnya yang merupakan sosok ratu gaib Laut
Selatan. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat atau berinteraksi
dengannya. Nyai Roro Kidul sebagai ratu Laut Selatan sendiri kemunculannya
mempunyai ciri-ciri yang khusus dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan sosok
Nyai Roro Kidul merupakan makhluk yang tak kasat mata, sehingga
kedatangannya melalui tanda-tanda gaib. Tanda-tanda gaib tersebut dapat dilihat
dari kutipan percakapan antara Pak Nung seorang peziarah yang sering
57
berkunjung ke Cepuri Parangkusumo tiap malam Jum’at Kliwon dengan Sam
berikut ini:
“Kalau Gusti Ratu Kidul hadir, angin datang persis dari arahselatan pintu Cepuri. Dan, tidak pakai berputar-putar segala. Hanyamemang cukup besar anginnya. Namun, tidak sampai merusak ataumenerbangkan sampah segala,” kata Pak Nung, peziarah yang mengakuberasal dari Temanggung.
“Pernah melihat hal itu?” tanyaku.“Sering, Mas. Karena setiap malam Jum’at Kliwon, saya selalu
datang.”“Ada tanda-tanda lain?”“Ada. Biasanya disertai harum kembang melati. Sangat harum.”
(Sang Nyai, 2011: 50).
Dari kutipan di atas dapat ditafsirkan bahwa masyarakat awam menandai
kedatangan Nyai Roro Kidul melalui kejadian alam seperti dalam bentuk angin
yang berhembus dari selatan melalui pintu Cepuri disertai harum kembang melati.
Fenomena alam berupa angin menjadi pertanda sebagai bentuk kedatangan leluhur
yang besar. Peristiwa ini sering terjadi ketika upacara atau pada waktu-waktu
ziarah. Harum melati juga merupakan pertanda akan keberadaan makhluk-
makhluk astral, baik dari leluhur maupun kalangan yang lebih tinggi sekelas dewi,
bidadari, ataupun arwah para raja.
Dalam novel Sang Nyai, hembusan angin dan harum melati mencirikan
kehadiran Nyai Roro Kidul di tempat tersebut. Ia datang lalu lenggahan atau
duduk-duduk di sekitar Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Hal itu
dipercaya merupakan tanda-tanda bahwa Nyai Roro Kidul telah hadir di Cepuri
untuk mengabulkan keinginan para peziarah melalui perantara doa-doa Mas
Darpo, sang juru kunci Parangkusumo. Dengan demikian, pada malam tersebut
58
banyak sekali orang datang ke Cepuri Parangkusumo untuk ziarah dan meminta
berkah pada Nyai Roro Kidul.
Nyai Roro Kidul juga digambarkan sebagai seorang pemimpin yang suci
dan keramat. Tidak hanya manusia yang takut padanya, bahkan kharismanya juga
membuat api tidak berani mendekatinya. Hal itu juga menegaskan bahwa sosok
Nyai Roro Kidul tidak dapat diremehkan. Berikut kutipannya.
“Kamar ini adalah saksi hidup. Tidak bisa dinalar dengan akalsehat, tapi terbukti. Nyata. Siapa pun bisa melihat dengan mata telanjang.Apa yang melindungi kamar ini dari amukan api? Tidak ada, bukan?Kamar ini terbuka seperti kamar yang lain. Dan nyatanya? Api pun takberani mendekat. Itu berarti Nyai Roro Kidul tidak termasuk sebangsa jinatau demit. Sebab, jin atau demit itu takut dengan api. Sedang apa yangterjadi di sini, justru apinya yang takut.” (Sang Nyai, 2011:151).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Roro Kidul bukan
hanya makhluk halus biasa, namun makhluk setingkat dewi karena api saja takut
dengannya. Hotel Sanur Beach Hotel Bali pernah mengalami kebakaran dan
hanya satu kamar dalam hotel itu yang tidak terjilat oleh api. Sebagai makhluk
yang mempunyai sumber api lebih kuat dari api yang lain, menjadi penyebab api
biasa tidak berani melawan kekuatan Nyai Roro Kidul. Kamar tersebut akhirnya
selamat dari tragedi kebakaran.
Kejadian yang tidak masuk akal jika dipikirkan dengan akal sehat.
Masyarakat kemudian percaya bahwa kamar tersebut merupakan tempat
persinggahan Nyai Roro Kidul pada saat itu, sehingga kamar tersebut menjadi
tempat yang keramat. Hal itu dijelaskan Kesi yang tiba-tiba berada di kamar hotel
itu kepada Sam, ketika pemuda itu tiba-tiba terlempar ke Sanur Beach Hotel Bali
dalam meditasinya di bawah tujuh lukisan Nyai Roro Kidul. Terlihat bahwa
59
kharisma Nyai Roro Kidul terpancar dari figurnya yang mempunyai ciri-ciri
khusus. Seorang penguasa mempunyai aura tersendiri dan cenderung memiliki
kemampuan khusus yang membuatnya disegani rakyat dan memancarkan
kharisma yang dimilikinya. Hal ini mendapat tempat tersendiri di masyarakat
Jawa, sehingga sampai sekarang sosok Nyai Roro Kidul masih dipercaya
eksistensinya.
Dominasi Nyai Roro Kidul sebagai ratu lainnya juga dilihat dengan
sosoknya yang mempunyai tempat-tempat terhormat yang dipercaya oleh
masyarakat sebagai tempat yang keramat. Tempat-tempat tersebut berada di alam
nyata yang dikenal menjadi tujuh tempat persinggahan Nyai Roro Kidul. Tujuh
tempat keramat yang disebutkan dalam novel Sang Nyai yaitu Sanur Beach Hotel,
Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen, Parangkusumo, Samudera Beach Hotel,
Banglampir Gunungkidul, dan Pantai Karangbolong. Hal ini diketahui Sam
selama melakukan meditasi di rumah Nyai Mundingsari di bawah tujuh lukisan
sosok Nyai Roro Kidul. Ia seperti merasa dibawa kekuatan gaib menuju ke tempat
Nyai Roro Kidul berada.
Nyai Roro Kidul juga mempunyai tempat khusus untuk bertemu dengan
Sultan seperti di selo gilang yang bertempat di Cepuri Parangkusumo, maupun
tempat pertemuan dengan Sunan di Panggung Sanggabuwana di Keraton
Surakarta. Itulah bukti hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dan kebesaran yang ia
miliki yang dipercaya oleh masyarakat Jawa.
Selanjutnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu menurut pandangan masyarakat
Jawa dianggap sebagai sosok yang berwibawa karena dapat mengabulkan segala
60
keinginan dari para peziarah, dan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan.
Meskipun begitu ada yang pro dan kontra dengan sosok tersebut. Ada yang
mengatakan jika Laut Selatan sedang berombak dan memakan korban jiwa,
banyak yang menganggap bahwa Nyai Roro Kidul sedang marah dan mencari
tumbal. Sebenarnya hal tersebut hanya takhayul yang dibicarakan masyarakat
saja. Pada dasarnya, sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya merupakan sosok
yang welas asih, suka menolong, dan memberikan apa yang dimiliki bagi yang
meminta. Berikut keterangan yang dilontarkan oleh Kesi tentang sosok Nyai Roro
Kidul sebenarnya. Simak kutipan di bawah ini:
Mereka itulah yang nanti akan menjarah benda-benda labuhanyang dikembalikan ke pantai. Menyimpan benda-benda itu sebagai pusaka,atau berharap ada berkah tersendiri karena telah memperoleh benda-bendalabuhan. Mereka percaya jika benda itu sudah disentuh oleh Nyai RoroKidul. Bahkan ada yang dicoba. Nyai Roro Kidul bukannya menolakbarang-barang yang dipersembahkan kepadanya itu, namun konon iamemang kepengen memberikannya kembali kepada rakyat kecil yangpercaya dan setia dengan dirinya (Sang Nyai, 2011:365).
“Karena kita dianggap melecehkan beliau. Seolah kita hanyabermain-main saja, tidak serius. Padahal kalau kita berhasil, beliau benar-benar akan datang dan mengabulkan semua permohonan kita. Hebat,bukan?”
“Hebat sekali. Menyamai Sang Pencipta dong!”“Lho, beliau memang dekat dengan Sang Pencipta, Mas! Kalau
tidak, dari mana beliau bisa mengabulkan permohonan para peziarah?”(Sang Nyai, 2011:54).
Sosok Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang baik hati dan menghargai
rakyatnya. Dari kutipan di atas maka dapat disimpulkan bahwa berkah yang
diterima saat labuhan merupakan berkah dari Nyai Roro Kidul. Barang-barang
persembahan yang dilarung, dipercaya dapat memberikan rezeki, karena Nyai
Roro Kidul bermaksud memberikannya kembali kepada rakyat kecil yang percaya
61
dan setia kepada dirinya. Hal itu merupakan wujud kewibawaan dari seorang ratu
kepada rakyatnya, sehingga rakyat akan tunduk, patuh, dan menghormati sang
pemimpin. Dengan demikian, Nyai Roro Kidul merupakan figur yang sesuai
dengan dicita-citakan oleh masyarakat Jawa.
Sebagai ratu, Nyai Roro Kidul juga mempunyai wewenang yang harus
dijalankan oleh seorang ratu. Tanggungjawab ini berkaitan dengan segala hal
yang berhubungan dengan tugas-tugas kerajaan seperti seorang Ratu harus
mempunyai kekuatan sakti. Kekuatan sakti Nyai Roro Kidul sudah terlihat dari
bentuk kekuasaan dan kemampuan Sang Nyai. Nyai Roro Kidul merupakan sosok
penguasa Laut Selatan yang terkenal mempunyai pasukan dari bangsa makhluk
halus. Hal itu dimanfaatkan oleh Sultan Agung pada masa lampau untuk
menyerang Belanda, karena kekuatan gaib diyakini susah untuk tertandingi. Hal
ini membuktikan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang memiliki
kemampuan khusus karena berhasil memimpin puluhan ribu lelembut, makhluk
halus dalam kuasa kerajaan Laut Selatan. Berikut kutipannya:
Benarkah engkau seorang panglima, Nyai? Tanyaku dalam hati.Mungkin saja. Pasukannya adalah para lelembut, makhluk halus yangjumlahnya tidak bisa dihitung. Konon, waktu Sultan Agung dari Matarammenggempur Batavia, Raja Mataram itu pun minta dukungan dari NyaiRoro Kidul. Katanya, ada sekitar lima belas ribu makhluk halus gabungbersama para prajurit Mataram (Sang Nyai, 2011:159).
Kekuatan sakti Nyai Roro Kidul tersebut dapat memimpin sekitar lima
beras ribu makhluk halus. Dilihat dari sejarah hal itu merupakan kekuatan yang
luar biasa dari seorang ratu alam gaib dalam membantu Sultan Agung, Raja
Mataram kala itu. Kekuatan sakti juga merupakan modal utama seorang raja
62
untuk membela kekuasaannya, sehingga dengan demikian rakyat, bahkan
pemimpin dari bangsa lain akan tunduk dan menghormatinya. Kekuatan Nyai
Roro Kidul dalam memerintah bangsa lelembut menandakan kekuasaannya yang
meliputi makhluk-makhluk gaib, hal itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang
yang mempunyai kekuatan sakti sehingga makhluk tersebut tunduk kepada sang
penguasa, yaitu Nyai Roro Kidul.
Sebagai seorang ratu, meskipun Nyai Roro Kidul berada dalam kehidupan
dua alam, manusia dan alam gaib, tetapi ia dimitoskan mempunyai seorang putri
bernama Nyi Blorong. Nyi Blorong merupakan anak dari Nyai Roro Kidul dengan
Begawan Antaboga (Dewa Ular Bumi). Nyi Blorong inilah yang dikenal
masyarakat untuk tempat mencari pesugihan. Berikut kutipannya:
“Nyai Blorong? Siapa dia, Mas?” tanyaku heran.“Belum pernah dengar?”Aku menggeleng.“Dia itu dipercaya sebagai putri dari Nyai Roro Kidul. Kalau ada
orang mencari kekayaan dengan cara gaib, biasanya mereka ditemui NyiBlorong. Dia makhluk berkepala manusia, namun tubuhnya berbentuk ularbersisik. Sisik emasnya itu yang diberikan kepada mereka yang haus hartabenda dunia, namun tidak mau kerja keras. Mereka mau hidup enak, hartamelimpah, namun dengan jalan pintas. Karena korupsi tidak bisa, yabisanya minta kepada Nyai Blorong itu, hehehe....” (Sang Nyai, 2011:341)
Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat percaya Nyi Blorong
merupakan keturunan Nyai Roro Kidul dengan wujud ular (turunan dari ayahnya)
berkepala manusia yang mempunyai sisik emas. Sisik emas itulah yang menjadi
sumber pesugihan bagi manusia yang ingin hidup enak tanpa bekerja keras.
Namun tidak semudah itu, apapun yang di dapat secara instan tentu mempunyai
syarat tertentu. Nyi Blorong tidak memberikannya secara sukarela, ia meminta
tumbal berupa orang-orang yang dicintai. Hal itu tentu berlawanan dengan sosok
63
Nyai Roro Kidul ibunya, meskipun makhluk gaib, namun ia sering berwujud
dalam rupa wanita cantik dan membantu rakyatnya dengan mengabulkan doa-doa
tanpa mengajukan syarat, karena Nyai Roro Kidul mempunyai sikap muraj hati.
Pusaka merupakan bentuk kebesaran atau lambang dari sebuah kekuasaan.
Namun, pusaka keramat juga bisa digunakan sebagai tanda kebesaran dalam
pertempuran. Nyai Roro Kidul juga mempunyai senjata keramat sebagai wujud
dari dirinya yang merupakan seorang Ratu. Perhatikan kutipan berikut:
“Punten Nyai,” kataku menirukan apa yang tadi diucapkan petugashotel. Tiba-tiba, bulu kudukku berdiri waktu menatap lukisan yangtergantung di dinding. Persis dengan lukisan yang tergantung di rumah BuMul! Sosok Nyai Roro Kidul digambarkan sedang naik kuda warna putih.Ia tidak mengenakan mahkota kebesaran. Justru rambutnya dibiarkantergerai. Di pinggangnya terselip keris pusaka. Sosok penguasa LautSelatan itu tidak digambarkan sebagai wanita cantik yang lemah gemulai.Namun, wanita yang gagah perkasa. Ia siap memimpin pasukannya majuke medan perang! (Sang Nyai, 2011:158).
Dari kutipan tersebut bisa dilihat bahwa sosok Nyai Roro Kidul
mempunyai senjata berupa keris pusaka. Sosok lain dari Sang Nyai ketika berada
di medan perang digambarkan sebagai wanita yang gagah perkasa menurut
pemikiran Sam. Meskipun hanya bentuk visualisasi dalam bentuk lukisan, namun
lukisan yang berbau mistik itu secara tidak langsung menggambarkan sosok Nyai
Roro Kidul dalam rupa seorang panglima perang berkuda.
Selanjutnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu juga mempunyai kekuasaan
untuk menggerakkan masyarakat Jawa, baik melalui mitos maupun tradisi yang
ada. Bahkan ia juga merupakan sosok yang paling dinanti kedatangannya ketika
ziarah di Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Para peziarah
menanti kedatangan Sang Nyai, sehingga mereka sangat patuh dengan waktu yang
64
biasa didatangi oleh Nyai Roro Kidul seperti ketika harus mengajukan
permohonan setelah lewat tengah malam. Simak kutipan berikut ini:
“Maka itu bagi peziarah yang sudah tahu, mereka baru mengajukanpermohonannya setengah lewat tengah malam. Kalau sore-sore begini,tidak ada gunanya. Gusti Ratu Kidul tidak bakal mendengar. Coba kalaunanti beliau sudah duduk sinewaka di atas selo gilang. Semua permohonanpara peziarah akan didengar dan dikabulkan. Mas Sam ini mau mintaapa?” tanya perempuan itu tiba-tiba (Sang Nyai, 2011:45).
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Nyai Roro Kidul mempunyai
waktu kunjungan pada saat-saat tertentu, sebagai rakyat yang tunduk kepada
rajanya maka para peziarah mulai mengajukan permohonan seperti pada waktu
yang telah ditentukan. Hal ini dikarenakan jika mengajukan sebelum itu tidak
akan didengar sang Nyai karena ia belum hadir ke Puri Parangkusumo. Namun,
ketika lewat tengah malam dipercaya Nyai Roro Kidul telah hadir dan duduk
sinewaka di atas selo gilang, batu pertemuan dengan Panembahan Senopati.
Sinewaka merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang mempunyai arti raja
yang duduk pada sebuah acara. Istilah tersebut hanya diperuntukan bagi para raja
karena duduknya seorang raja harus dihormati dengan cara menyembah dan
meninggikan raja. Hal tersebut merupakan bentuk adikodrati yang merupakan
kesakralan yang harus dilakukan sebagai seorang pemimpin ketika berhadapan
dengan rakyat. Dengan demikian, setelah Nyai Roro Kidul duduk sinewaka maka
ia dapat memberikan berkah keselamatan pada rakyat yang telah berkunjung di
Puri Parangkusumo dengan mengabulkan doa-doa dari para peziarah. Para
peziarah pun memberikan penghormatan dengan menyembah dan memanjatkan
doa yang mereka harapkan pada Nyai Roro Kidul.
65
“Sampai sekarang, saya tidak berani lagi mengulang puasangebleng agar bisa bertemu dengan Gusti Kanjeng Ratu Kidul.
“Kenapa?”“Konon, kalau kita gagal sampai tiga kali, maka Gusti Kanjeng
Ratu Kidul sendiri yang akan menjemput kita.”“Dia akan menjemput kita? Berarti, kita diajak ke keratonnya di
Laut Selatan sana?”“Ya.”“Modar kita!” (Sang Nyai, 2011:54).
Kutipan terakhir dari data di atas juga menegaskan kekuasaan Nyai Roro
Kidul sebagai ratu. Apabila seseorang melakukan puasa ngebleng selama tujuh
hari tujuh malam berturut-turut, maka dapat bertemu dengan Nyai Roro Kidul dan
segala permohonannya akan dikabulkan. Nyai Roro Kidul dianggap sebagai sosok
yang dekat dengan Pencipta, sehingga bisa mengabulkan permohonan para
peziarah. Hal tersebut diyakini dan dianut oleh masyarakat sehingga para peziarah
datang untuk meminta berkah dari Nyai Roro Kidul pada malam Jum’at Kliwon.
Namun, mitos lain juga berkembang jika tiga kali gagal dalam melaksanakan
puasa tersebut maka akan dijemput Nyai Roro Kidul lalu dibawa ke istananya.
Jika melanggar atau membuat kesalahan seperti hal tersebut ia akan mendapatkan
sanksi berupa kematian. Sanksi inilah yang membuat rakyat takut untuk menemui
Nyai Roro Kidul dengan puasa ngebleng tujuh hari tujuh malem.
Dominasi hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sebagai ratu merupakan
bentuk dari ideologi tradisional yang ada di dalam masyarakat Jawa, khususnya
daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Paham ini masih dianut oleh sebagian
masyarakatnya yang percaya adanya Ratu Laut Selatan sebagai penyokong
eksistensi Kesultanan Yogyakarta dan Keraton Surakarta.
66
2. Sang Nyai Mendukung Eksistensi Raja
Eksistensi raja pada kekuasaan Jawa terwakili oleh karakter Kanjeng Sultan dan
Kanjeng Sunan, karena kedua raja tersebut merupakan bagian dari catur sagotrah
yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram. Kedua pemimpin tersebut
masing-masing memimpin Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Keduanya memiliki gelar masing-masing yang menjadi ciri khas seorang
pemimpin hingga sekarang.
Kharisma seorang pemimpin dalam masyarakat negara kuno ditekankan
pada pengisolasian pemimpin dari rakyatnya, berdasarkan gagasan bahwa seorang
raja merupakan pemimpin utama yang suci. Setiap rakyat yang melihat raja atau
keturunan raja harus memberikan penghormatan kepada pemimpin tersebut.
Dalam novel Sang Nyai (2011:238), ketika Raden Mas Damar Kusumo (cicit
lelaki dan keturunan lelaki lain dari garis pria kerajaan) berjalan di depan. Setiap
kali berpapasan dengan abdi dalem, ia menerima penghormatan sembah.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Raden Mas Damar Kusumo
sebagai keturunan raja mendapat penghormatan dari para abdi dalem kerajaan.
Hal itu biasa dilakukan oleh para abdi setiap berpapasan atau bertemu muka
dengan bangsawan kerajaan dengan tujuan untuk menghormati. Sembah juga
sekaligus bentuk sopan santun dari rakyat atau abdi kepada rajanya. Raja atau
kaum bangsawan kerabat raja dianggap paling suci, sehingga merupakan hal tabu
jika langsung menatap wajahnya secara langsung, etika yang harus dipenuhi
adalah dengan menghaturkan sembah terlebih dahulu agar tidak terkesan lancang.
67
Nama juga merupakan bentuk kharisma dari seorang raja atau keturunan
raja. Keraton Yogyakarta mempunyai pemimpin dengan gelar Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun-Kanjeng Sultan Hamengkubuwono ing Alaga
Ngabdulrrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing
Ngayogyakarta Hadiningrat yang mempunyai arti pemimpin yang menguasai
dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, dan Tuan semua orang yang percaya.
Untuk Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana mempunyai gelar
Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Paku Buwana
Senapati ing Alaga Ngabdulrrakhman Sayidin Panatagama Kaping... Dengan
demikian, mempunyai kuasa atas daerah Keraton Surakarta dengan falsafah
kepemimpinan seperti yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta.
Dalam novel Sang Nyai juga dijabarkan mengenai permasalahan gelar
kebangsawananan. Perhatikan kutipan berikut:
Orang yang sangat pede, percaya diri. Bisa dimaklumi. Gelarkanjeng raden tumenggung atau KRT termasuk terhormat di kalangan paraabdi dalem keraton. Pada zaman dulu, gelar itu memang bisa dibangga-banggakan. Karena tidak semua orang bisa memperolehnya. Hanya orang-orang tertentuyang berjasa kepada keraton bisa memperoleh gelar tersebut.Tetapi konon, Kasunanan Surakarta lebih mudah memberikan gelartersebut. Beberapa pengamat budaya mengatakan jika gelar terhormatitusepertinya diobral begitu saja. Beda dengan Kesultanan Yogyakarta.Sangat selektif menganugerahkan gelar kehormatan kepada para individu(Sang Nyai, 2011:310).
Nyai Maryatun mempunyai suami yang bergelar KRT yaitu Kanjeng
Raden Tumenggung. Gelar tersebut termasuk gelar terhormat pada abdi dalem
kerajaan Kasunanan Surakarta. Gelar yang diberikan oleh Kanjeng Sunan tersebut
bisa menjadi kebanggaan masing-masing abdi dalem. Untuk itulah kanjeng Sunan
68
sangat disegani, hal itu juga berlaku di Kesultanan Yogyakarta. Seperti tokoh Mas
Darpo dalam novel Sang Nyai yang mempunyai gelar Lurah.
Gelar kepemimpinan merupakan bentuk kharisma dari seorang raja.
Dengan demikian, raja tersebut harus mempunyai sifat seperti falsafah
kepemimpinan yang dianut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memimpin
pada 1940-1988. Falsafah kepemimpinan tersebut adalah ‘hamengku, hamangku,
hamengkoni’. Hamengku berarti harus melindungi rakyat secara adil tanpa
membeda-bedakan golongan, keyakinan, maupun agamanya; hamangku
mempunyai arti berkewajiban memberi kepada rakyat bukan lebih banyak
menerima; hamengkoni yang berfungsi sebagai teladan dan memikul tanggung
jawab sebagai pemimpin kepada rakyatnya (Achmad, 2013:68).
“Ya, kami berdoa begitu. Mosok Tuhan akan tega melihat kawulaNgayogyakarta itu pada mampus dimangsa lahar panas? Pasti tidak.Karena itu kemarin-kemarin ada imbauan agar kita semua membuat sayurtolak bala. Dan untunglah, banyak yang membuat. Memang ada satu duakeluarga ya balela, kebanyakan keluarga muda, ya tidak apa-apa. Kalauterjadi sesuatu biar ditanggung sendiri, hehehe...” (Sang Nyai, 2011:280).
Berdasarkan kutipan di atas, sebagai raja harus memperhatikan rakyatnya
dengan memberikan perintah untuk mengantisipasi suatu kejadian. Seperti tradisi
untuk membuat sayur tolak bala merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar
menghindarkan dari bencana. Tradisi membuat sayur tolak bala merupakan
tradisi yang dipercaya masyarakat.
“Ya, harus begitu. Dulu, saat banjir tahun 1969 itu, Ngarsa Dalemsendiri turun tangan langsung. Beliau katanya sampai cuci muka di KaliCode. Dampaknya, banjir langsung surut.” (Sang Nyai, 2011:298).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebagai seorang raja, tanggungjawab
untuk turun mengatasi bahaya demi rakyatnya juga merupakan tugas raja. Hal itu
69
dilakukan oleh Sang Sultan ketika terjadi banjir di Kali Code pada tahun 1969.
Sultan mencuci muka di sungai tersebut, sehingga secara ajaib banjir yang
melanda warga surut. Itu membuktikan bahwa raja mempunyai kekuatan sakti
yang dapat membuat bencana banjir itu surut. Dengan kekuatan sakti maka raja
dapat membebaskan rakyatnya dari penderitaan akibat bencana.
Bertolak pada analisis di atas, raja mempunyai peran yang sangat besar
untuk mengendalikan rakyat. Sementara itu, sebagai pusat kekuasaan di tanah
Jawa, raja menjadi penengah hubungan yang terjadi antara Laut Selatan (Nyai
Roro Kidul) dengan Merapi yang dijaga oleh Kiai Sapu Jagad. Berdasarkan
perjanjian yang telah dibuat antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul
pada masa lampau, maka Keraton sangat bergantung pada kekuasaan Laut
Selatan. Nyai Roro Kidul sebagai bentuk dominasi kekuasaan lain yang
menyokong kehadiran Keraton merupakan bentuk ideologi tradisional yang
melekat di benak masyarakat Jawa. Dengan rakyat yang mengakui dan
menghormati eksistensi Sultan sebagai pemimpin mereka, maka hal yang
dipercaya raja akan dianut oleh masyarakatnya, termasuk mempercayai eksistensi
Nyai Roro Kidul.
Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam mendukung eksistensi raja dalam
novel Sang Nyai terlihat dengan kepercayaan bahwa Nyai Roro Kidul mendukung
kewibawaan Sang Sultan. Kewibawaan Sultan dalam ditunjukkan dengan
kekuatan pasukan Mataram pada masa lampau, jika dengan bantuan tentara Nyai
Roro Kidul, maka pasukan Mataram akan semakin kuat dan disegani oleh rakyat.
Sultan Agung sebagai pemimpin kerajaan Mataram pendahulu merupakan sosok
70
raja yang diakui sebagai raja yang dapat menakhlukkan banyak wilayah. Ia juga
dikenal sebagai pemimpin dengan tangguhnya pasukan Mataram yang tercatat
dalam sejarah. Hingga keturunannya sekarang pun eksistensi dari kerajaan
Mataram masih tetap ada berkat bantuan dari Nyai Roro Kidul yang merupakan
istri dari Raja Mataram. Berikut kutipannya:
Sultan Agung yakin sekali akan menang. Sebab, para lelembut itutidak mungkin dikalahkan. Tentara Belanda tidak bisa menembaknya.Mereka tidak punya ilmu untuk melihat alam gaib. Lagi pula, ruh halustidak bisa mati. Mau diapa-apakan pun, ruh itu tetap ruh. Karenakeyakinannya itu, Sultan Agung menolak bantuan dari raja-raja di luarPulau jawa. Cukup mengandalkan bantuan lelembut dari Laut Selatan. Jikananti menang, kira-kira demikian pemikiran Sultan Agung, yang akanmendapat nama harum adalah dirinya. Dia sebagai Raja Mataramdianggap memiliki pasukan yang hebat dan tangguh. Kalau Belanda sajabisa ditaklukkan, maka dengan mudah ia bisa menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang selama ini belum mau tunduk kepadanya (Sang Nyai,2011:159).
Dari kutipan di atas, Sultan Agung sebagai raja pada masa itu akan
disegani oleh kerajaan-kerajaan kecil tetangga jika berhasil menyerang Belanda
dengan bala tentara Nyai Roro Kidul. Sultan Agung mempunyai rencana untuk
menggempur Belanda yang sedang menguasai tanah Jawa. Sangat terlihat bahwa
Sultan Agung sangat bergantung dengan bantuan dari kekuatan Nyai Roro Kidul.
Dengan mempunyai pasukan yang tangguh dengan tambahan dari bangsa jin atau
lelembut dari Nyai Roro Kidul dapat menaikkan kekuatan tempur kerajaan
Mataram. Hal itu menunjukkan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul
mempengaruhi bidang politik kerajaan Mataram.
Selain itu, hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap raja ditandai dengan
Kanjeng Sultan dan Kanjeng Sunan yang menyediakan tempat khusus bagi
pertemuannya dengan Nyai Roro Kidul. Terkadang kedua tokoh tersebut
71
menyempatkan diri menemui Nyai Roro Kidul yang merupakan kekasih mereka
pada waktu-waktu tertentu. Simak kutipan berikut:
“Kalau Ngarsa Dalem ke Parangkusumo, beliau itu tidak datangpas malam Jum’at Kliwon. Terlalu ramai. Mana beliau mau? Beliau itudatang pada hari biasa dan menyamar seperti rakyat biasa. Hanyamengenakan surjan lurik, sarung tenun, dan sandal jepit. Tidak adapengawal, tidak ada abdi dalem yang mengiringi. Beliau datang sendiri.Kadang naik sepeda motor. Mas Darpo sendiri sering tidak tahu. Karenamemang tidak diberi tahu. Begitulah cara Ngarsa Dalem kalau inginbertemu dengan kekasih hatinya, Nyai Roro Kidul.” (Sang Nyai,2011:204-205)
“Begitu pun kalau Kanjeng Sunan mau bertemu dengan Nyai RoroKidul. Beliau naik ke Panggung Sanggabuwana sendirian. Biasanyatengah malam ketika seluruh penghuni keraton sudah tidur,” lanjut PakNung (Sang Nyai, 2011:205).
Berdasarkan kutipan di atas, Nyai Roro Kidul telah dianggap sebagai istri
dari raja-raja Mataram pendahulu hingga penguasa Yogyakarta dan Surakarta
sekarang ini. Hal tersebut telah melekat di benak masyarakat. Kondisi ini pun
sampai saat ini masih begitu kuat, sehingga masih banyak yang mempercayai
eksistensi Nyai Roro Kidul.
Efek dari kepercayaan adanya Nyai Roro Kidul, juga dapat dilihat dari
cara pandang masyarakat terhadap raja-raja Yogyakarta dan Surakarta. Adanya
hegemoni tersebut memperkuat posisi raja di masyarakat. Raja dianggap sebagai
manusia setengah dewa karena dapat berhubungan dengan penguasa gaib Laut
Selatan, sehingga tak seorang pun yang berani melanggar perintah Raja. segala
hal yang diperintahkan Raja termasuk seperti melakukan labuhan,
sesajen,kenduri, dan selamatan juga harus dipatuhi oleh rakyat untuk
menghindarkan dari bencana.
72
“Sebagai penengahnya adalah Ngarsa Dalem di KeratonYogyakarta.”
“O....”“Maka itu. Ngarsa Dalem menugaskan abdi dalem keraton untuk
menjaga Laut Selatan dan Merapi. Keduanya harus dijaga, diberi sesajen,jangan sampai marah. Karena itu, setiap kali Ngarsa Dalem mengadakanupacara labuhan, selalu diadakan di beberapa tempat. Antara lain ya diLaut Selatan dan Gunung Merapi (Sang Nyai, 2011:330).
Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa untuk memperkuat
posisinya itu raja menempatkan orang-orang yang dipercaya yaitu abdi dalem
kerajaan untuk menjadi juru kunci pada kekuatan kosmis yang menjadi
penyokong pemerintahannya di Yogyakarta. Kekuatan kosmis tersebut
mempunyai masing-masing pemimpin, yaitu Gunung Merapi yang dijaga oleh
Kiai Sapu Jagad dan Laut Selatan yang dipimpin oleh Nyai Roro Kidul.
Raja sebagai pelaku dominan dalam hegemoni mempunyai sistem
kekuasaan yang otoriter sehingga raja merupakan sumber kedaulatan rakyat yang
utama menurut pemikiran Jawa. Jika raja telah menanamkan ideologi tradisional,
secara turun temurun maka rakyat akan patuh dalam kuasa raja dan ideologi
tersebut. Dominasi raja yang bersifat mutlak membuat kepercayaan Raja terhadap
Nyai Roro Kidul akhirnya diikuti oleh rakyatnya. Nyai Roro Kidul tentu saja
berpengaruh terhadap eksistensi raja yang bertahta hingga sekarang.
Kekuasaan raja juga merupakan hal yang bersifat mutlak dan didukung
oleh rakyat, sehingga pemimpinan tertinggi di provinsi tetap harus dipegang oleh
Sang Sultan, tidak dibebankan kepada orang lain. Rakyat tidak menginginkan ada
pihak lain yang memerintah Sultan di daerah kekuasaannya. Seperti yang terjadi
dalam sidang rakyat di gedung DPRD DIY pada 26 Agustus 1998, mereka
mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono X menjadi Kepala Daerah. Rakyat
73
mengatakan hanya Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berhak menduduki kursi
Gubernur DIY.
Demikian pula dengan masalah kepercayaan, sebagai pusat kekuasaan
yang sinkretis, hegemoni mitos Nyai Roro Kidul pada Keraton membuat raja
harus memusatkan perhatian pada rakyatnya dengan mengirimkan orang-orang
kepercayaannya untuk menjadi juru kunci di Merapi dan Parangkusumo.
Masyarakat Jawa tunduk kepada raja dengan kekuasaan dominan yang terikat
pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Mereka merasa bahwa dipersatukan
dalam lindungan raja merupakan sebuah berkah yang luar biasa.
3. Sang Nyai Sebagai Penguasa Kosmis
Hubungan antara Keraton, Gunung Merapi, dan Laut Selatan merupakan satu
kesatuan kekuatan kosmis Jawa. Nyai Roro Kidul sebagai pemimpin Pantai
Selatan, mempunyai pengaruh kuat terhadap ketiga tempat tersebut. Nyai Roro
Kidul sebagai tokoh untuk menyokong eksistensi keberadaan raja yang
memerintah di Keraton, sedangkan di Merapi, ia berteman baik dengan Kiai Sapu
Jagad penjaga kawah Merapi. Selain persahabatan yang terjalin kuat sejak dahulu,
Nyai Roro Kidul Kidul juga mempunyai hubungan khusus dengan penunggu
kawah Merapi. Berikut merupakan paparan analisis yang menjelaskan hegemoni
mitos Nyai Roro Kidul terhadap tiga tempat tersebut.
74
a. Keraton
Keraton merupakan pusat pemerintahan sekaligus tempat keramat bagi tahta
seorang raja. Tempat raja melakukan kepemimpinannya ini merupakan pusat dari
segala kegiatan pemerintahan. Daerah kekuasaan Keraton biasanya berada dalam
pusat kota. Namun, jika tinjauannya pada wilayah kebudayaan Jawa dari masa
lalunya yaitu pada masa kerajaan Mataram, maka masyarakat Jawa oleh
Koentjaraningrat dapat dibedakan ke dalam tiga tipe wilayah kebudayaan, yaitu
(a) negarigung, (b) mancanegari, dan (c) pesisiran. Daerah Keraton inilah yang
dikenal sebagai negarigung yaitu daerah di seputar kota Surakarta dan
Yogyakarta.
Keraton di pusat ibukota yang dikelilingi tempat-tempat penting
membentuk lingkaran, dengan kantor-kantor pemerintahan di pusat kota. Para
abdi dalem tinggal di sekitar wilayah keraton tersebut dengan pengabdian di
Keraton. Masyarakat di daerah tersebut mengutamakan kehalusan baik dari
tingkah laku, berbahasa, maupun kesenian. Namun, kepercayaan agama dalam
masyarakat tersebut cenderung sinkretik karena menganut Islam kejawen (Thohir,
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/ 2010/07/30/masyarakat-pesisir diakses
pada tanggal 24 September 2012).
Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam Keraton sangat terlihat karena
tempat pertemuan khusus dengan sang raja berada di daerah sekitar wilayah
Keraton. Raja menyediakan tempat khusus bagi Nyai Roro Kidul yang berposisi
sebagai istri raja. Tempat pertemuan tersebut berada di Panggung Sanggabuwono
di Keraton Surakarta untuk pertemuan dengan Kanjeng Sunan, dan Hotel
75
Ambarukmo serta selo gilang di Parangkusumo untuk pertemuan dengan
Kanjeng Sultan di Yogyakarta. Berikut kutipannya:
“Di dalam kompleks keraton, ada tempat yang diberi namaPanggung Sanggabuwana. Tempat itu dulu sering dipakai oleh KanjengSunan untuk bertemu dengan Nyai Roro Kidul.”
“Oh, menarik. Di Keraton Yogya malah tidak ada tempat semacamitu.”
“Karena di Yogya, beliau sudah disediakan kamar khusus di HotelAmbarukmo. Jadi tidak perlu lagi ada tempat khusus di lingkungankeraton,” papar Pak Nung. “Juga sudah ada selo gilang di Parangkusumo.Nanti malah kebanyakan tempat pertemuan, malah bisa dilihat banyakorang, hahaha....” (Sang Nyai, 2011:205).
Yogyakarta, hampir setiap sudut kota dan peristiwanya tidak lepasdari kisah-kisah mistik. Sebagian masyarakatnya masih percaya wisik,wangsit, firasat, pralambang, dan kekuatan gaib. Jika menyangkut Merapi,maka jangan abaikan peran Keraton Yogyakarta dan penguasa Laut Kidul.Ketiganya seolah jadi sumber kekuatan yang saling menopang satu denganyang lain. Keyakinan itu sudah hidup di tengah masyarakat secara turuntemurun karena memang dijaga betul agar jangan sampai anak cucugenerasi berikut melupakan begitu saja. Jangan sampai mereka lupa akansejarah leluhurnya, namun juga belum memiliki tempat untuk berpijak danmenemukan nilai-nilai hidup yang baru. Jika hal itu sampai terjadi, makamereka bisa menjadi generasi yang terombang-ambing oleh situasi zaman.Generasi yang tercerabut dari akar budayanya sendiri. Mungkin begitu.Sekurang-kurangnya, begitulah pendapat para budayawan dan sejarawanyang pernah kubaca (Sang Nyai, 2011:283-284).
Berdasarkan kutipan di atas, daerah Yogyakarta hingga sekarang masih
penuh dengan kepercayaan terhadap hal gaib. Daerah ini dulu merupakan bagian
dari kekuasaan Mataram meski telah terbagi menjadi empat bagian dengan dua
wilayah pemerintahan keraton dan dua kadipaten yaitu Kesultanan Yogyakarta,
Kadipaten Pakualaman, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran
(catur sagotrah) berdasarkan perjanjian Giyanti yang ditandatangi pada tanggal
13 Februari 1755 dengan VOC. Mitos Nyai Roro Kidul berkembang pesat di
dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempercayai
76
mitos tersebut yang menunjukkan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul masih
tertanam kuat.
Meskipun ada pihak yang menganggap bahwa kehadiran legenda Nyai
Roro Kidul hanya sebagai propaganda politik dari pihak kerajaan atau Keraton
untuk menakut-nakuti rakyatnya, namun dalam novel ini ditampik karena
mengungkapkan berbagai kejadian supranatural yang secara langsung dialami
oleh Sam. Kejadian tersebut berhubungan dengan Laut Selatan, Keraton, dan
Merapi yang menguatkan kebenaran tentang keberadaan tokoh Nyai Roro Kidul
dan hegemoni kekuasaannya terhadap masyarakat Jawa.
b. Gunung Merapi
Gunung Merapi merupakan gunung yang terletak di Jawa Tengah, wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya ± 20 km di sebelah utara Keraton
Yogyakarta. Gunung Merapi merupakan gunung yang dikenal sebagai gunung
paling aktif di Indonesia, bahkan di dunia. Merapi dipercaya sebagai gunung yang
keramat karena di dalamnya dihuni oleh para jin, lelembut, atau roh-roh leluhur.
Gunung Merapi mempunyai peran yang sangat penting terhadap
kelangsungan Keraton dan Laut Selatan. Pengadaan sesajen dan doa sering
dilakukan di sekitar Merapi untuk menghormati kekuasaan makhluk halus Merapi
dan Nyai Roro Kidul. Ritual tersebut dapat menghindarkan daerah Yogyakarta
dari malapetaka, misalnya Merapi tidak akan marah dan meletus apabila diberi
sesajen.
77
Keberadaan letak mistis geografis keraton Mataram bagi masyarakat Jawa
memiliki filosofis istimewa. Posisi letak antara Gunung Merapi, Keraton
Kesultanan Yogyakarta dan Laut Selatan berada dalam satu garis lurus dari
selatan ke utara yang dinamakan "garis imajiner”. Merapi pun diyakini
mempunyai penunggu bernama Kiai Sapu Jagad, yang mempunyai hubungan baik
dengan Nyai Roro Kidul.
“Antara Gunung Merapi dan Laut Kidul itu ada hubungan lho, Om.Di Laut Kidul ada Nyai Roro Kidul, sedang di Merapi ada Kiai Sapu Jagadalias Eyang Petruk. Mereka saling berhubungan baik (Sang Nyai,2011:329-330).”
Dalam novel Sang Nyai, Merapi digambarkan sebagai tempat tinggal Kang
Petruk, teman Kesi. Kang Petruk dikenal warga sebagai Mbah Petruk penunggu
kawah Merapi. Kondisi Merapi yang saat itu semakin berbahaya membuat rakyat
Yogyakarta cemas. Bahkan, himbauan untuk membuat sayur tolak bala di sekitar
lereng Merapi telah dilakukan. Kegiatan tersebut agar terhindar dari bencana
letusan Merapi. Sementara itu untuk warga di pesisir Pantai Selatan mengadakan
upacara labuhan meminta pertolongan kepada Nyai Roro Kidul untuk membujuk
Kiai Sapu Jagad agar tidak marah dan memuntahkan laharnya ke daerah
Yogyakarta. Hubungan baik antara penunggu Merapi dengan Nyai Roro Kidul
menandakan bahwa Nyai Roro Kidul juga menghegemoni penguasa Merapi. Jika,
Nyai Roro Kidul berhasil membujuk Kiai Sapu Jagad maka diharapkan bencana
tidak akan terjadi dan rakyat Yogyakarta selamat.
“Saya khawatir jika suatu saat nanti Merapi marah danmeluluhlantakkan tempat-tempat semacam itu. Sebab, sedikit banyak,keberadaan losmen itu mengotori kesakralan Merapi. Gunung yang satuini tidak bisa dibuat main-main. Beda dibanding gunung-gunung yanglain. Merapi itu berkaitan erat dengan Keraton Yogyakarta dan penguasa
78
Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Ingat waktu kamu naik andong gaib.Berangkat dari selatan kali Opak melewati KeratonYogyakarta, lalumenyusuri Malioboro, melewati tugu, baru kamu tiba di rumah MbahPetruk. Yang kamu lewati itu memang jalur penghubung utama tigasumber kekuatan di jantung Pulau Jawa. Merapi-keraton-Laut Selatan.Para ahli budaya Jawa yakin sekali akan hal itu (Sang Nyai, 2011:172).
Berdasarkan kutipan tersebut gunung Merapi adalah gunung yang aktif,
namun mempunyai tanah yang subur sehingga menjadi surga bagi rakyatnya,
Selain itu, pasir dari gunung yang larut di sungai-sungai menjadi harta karun bagi
para penambang pasir. Sebagai salah satu kekuatan penting di jantung pulau Jawa
yang terkait dengan Keraton dan Laut Selatan, Merapi memberikan banyak berkah
kepada warganya. Sayangnya, kesakralan Merapi mulai berkurang. Di lereng
Merapi terdapat banyak losmen-losmen untuk berbuat asusila, dan itu sudah
menjadi pekerjaan sampingan beberapa warga gunung yang berprofesi mengelola
losmen sejenis. Dengan adanya hal tersebut, maka tidak heran jika Merapi akan
murka. Kekayaan alam, kesuburan, dan tempatnya yang strategis dimanfaatkan
untuk melakukan hal yang tidak baik.
Namun, letusan Gunung Merapi sebenarnya adalah sebuah siklus alam
yang sudah seharusnya terjadi. Mitologi letusan Gunung Merapi tersebut dipakai
dalam konseptual nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan
manusia, manusia dengan pencipta hidup, manusia dan alam adikodrati (sakral)
dalam pemahaman Jawa. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tetap mencakup
wilayah Merapi berdasarkan relasi yang dibangun antara Kiai Sapu Jagad dan
Sang Sultan sebagai penengah, hal ini sangat dipercaya oleh masyarakat Jawa,
sehingga Gunung Merapi merupakan wilayah cakupan hegemoni mitos Nyai Roro
Kidul.
79
c. Laut Selatan
Laut Selatan merupakan wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul yang paling terlihat.
Ombak Laut Selatan Jawa yang tinggi dan ganas menandakan kekuasaan sang
Ratu. Menurut Artha (2009:96), Laut Selatan dijadikan medium persembahan
adikuasa, yang memberi simbolisasi tritunggal yaitu (1) Ingkang sinuhun, yakni
raja yang bertahta di singgasana duniawi, (2) Sanahita, yakni ratu yang bertahta di
singgasana kedewataan, dan (3) Sasinara, yakni ratu yang menguasai alam rohani.
Dari ketiga unsur tersebut maka sosok Maharani Dewi Asmarawangi
Cemaralungit dimitoskan sebagai Ratu Kidul, atau Nyai Roro Kidul pemimpin
Laut Selatan. Berikut kutipan yang menjelaskan kekayaan dari Laut Selatan:
“Mataram yang makmur! Jika sampai kekurangan, bisa mintabantuan Nyai Roro Kidul untuk membagikan kekayaannya. Sebab, konondi kerajaan Laut Selatan ditimbun berton-ton emas. Tinggal bagaimanacaranya membujuk penguasa Laut Selatan itu untuk berbagi dengankawula Mataram. Pasti tidak keberatan mengingat penguasa Mataramadalah kekasihnya!” (Sang Nyai, 2011:235).
Sebagai kekasih dari para Raja Mataram di Keraton, Nyai Roro Kidul
pemimpin Laut Selatan berkolaborasi dengan Sultan mempunyai hubungan
simbolisasi seperti lingga dan yoni, laki-laki dan perempuan, suami istri yang
menjalin kerjasama saling mengisi satu sama lain. Hubungan erat ini pun
dibuktikan dengan bantuan Nyai Roro Kidul kepada Sri Sultan Hamengkubuwono
I ketika membangun Keraton di kawasan bumi baru pada 1755 dengan bantuan
Nyai Roro Kidul. Bantuan tersebut berupa perlindungan untuk kelancaran
pembangunan Keraton. Pada saat itu terjadi badai, sehingga pembangunan itu
takkan selesai jika terus demikian. Untuk itulah, Nyai Roro Kidul menggunakan
80
kekuatan gaibnya, sehingga pembangunan tetap berjalan meski hari sedang badai.
Hal itu merupakan bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap Raja
Mataram. Raja masih sangat bergantung terhadap eksistensi sosok Nyai Roro
Kidul (Artha, 2009:97).
Berdasarkan kepercayaan Jawa, Pantai Selatan yang berada di laut Jawa
mempunyai ombak yang ganas. Keganasan laut dianggap mempunyai kekuatan
supranatural. Segala aktivitas yang berhubungan dengan Laut Selatan harus
dilakukan dengan seizin Nyai Roro Kidul agar selamat. Seperti contoh, upacara
sesaji atau dikenal sebagai sedekah laut. Jika sesaji tidak dilakukan, maka rakyat
percaya bahwa dapat terjadi kecelakaan laut atau timbul gelombang dan bencana
yang bisa memakan korban. Namun, jika upacara dilaksanakan maka Nyai Roro
Kidul akan memberikan berkah dan melindungi keselamatan rakyat Yogyakarta.
“Bukankah nyala api kemenyan tampak menjilat-jilat tinggi?”“Ya.”“Itu pertanda bahwa sang Nyai berkenan atas Labuhan Jaladri yang
kami laksanakan. Kalau beliau menolak, jangankan apinya menjilat-jilat,kadang-kadang malah tidak mau nyala sama sekali kemenyannya (SangNyai, 2011:403).
Berdasarkan kutipan di atas, restu dari Nyai Roro Kidul pada acara
labuhan mempengaruhi prosesi labuhan. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul
menggerakkan rakyat untuk melaksanakan segala kegiatan harus dengan izin dari
penguasa Laut Selatan, jika tanpa seizinnya maka akan menjadi musibah. Namun,
kehidupan tidak ada yang tahu. Meskipun saat labuhan memakan korban, bukan
berarti Nyai Roro Kidul tidak menerima persembahan. Hal itu merupakan takdir
dari Sang Pencipta bahwa korban-korban yang tenggelam saat mencari barang-
barang yang di larung memang sudah saatnya untuk berpulang.
81
Benar tidaknya mengenai kisah Nyai Roro Kidul berdasarkan kepercayaan
masyarakat yang menjalankan hegemoninya. Bukti kepercayaan itu tentu saja
dengan dilaksanakannya kegiatan labuhan yang dilaksanakan setiap tahun di
Pantai Parangtritis. Kegiatan labuhan ini bertujuan untuk memberikan nafkah
kepada Nyai Roro Kidul dari raja. Sebagaimana halnya seorang suami sang raja
wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Persembahan yang diberikan dalam
labuhan ini juga berupa makanan dan barang-barang tertentu yang sudah
ditentukan, termasuk pakaian sang raja yang sudah bekas juga diberikan kepada
Sang Ratu.
4. Sang Nyai dalam Tradisi
Sebagai bentuk hegemoni yang lain, Nyai Roro Kidul juga menghegemoni tradisi
dan adat istiadat masyarakat Jawa. Hal ini mencakup tradisi labuhan dan tradisi
ziarah ke Cepuri Parangkusumo. Berikut analisisnya.
a. Tradisi Labuhan
Labuhan atau sedekah laut merupakan bentuk upacara yang dilakukan oleh warga
pesisir. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan Nyai Roro Kidul karena
dilakukan di tepi Pantai Selatan. Harus ada izin dari Nyai Roro Kidul jika ingin
mengadakan labuhan, karena tradisi ini merupakan hubungan timbal balik antara
raja yang berkuasa, dengan pemimpin Laut Selatan tersebut. Kewajiban Labuhan
selalu dijalankan oleh raja setiap tahunnya, namun pada saat terjadi peristiwa-
peristiwa tertentu yang mengancam Yogyakarta maka ritual labuhan akan
82
diselenggarakan. Dalam novel Sang Nyai, kondisi Merapi sedang berada dalam
tahap hampir meletus. Untuk itulah, Ngarsa Dalem meminta rakyat di pesisir
untuk melakukan labuhan guna meminta pertolongan pada Nyai Roro Kidul.
Ritual labuhan itu mempunyai beberapa langkah, yaitu menyiapkan sesajen,
selamatan,kenduri, dan upacara labuhan. Berikut uraiannya.
(1) Sesajen
Sesajen merupakan simbolisme dalam adat Jawa. Maksud dibuat sesajen adalah
untuk mendukung kepercayaan terhadap adanya roh halus yang berdiam atau
mbahu reksa di tempat-tempat tertentu agar jangan mengganggu keselamatan,
ketentraman, dan kebahagiaan yang mengadakan sesajen, atau sebaliknya untuk
meminta berkah dan lindungan dari yang mbahu reksa untuk menjauhkan atau
menghindarkan dari gangguan maupun bencana (Herusatoto, 1985:100).
Sesajen merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh orang Indonesia
khususnya Jawa dalam peristiwa tertentu. Dalam novel Sang Nyai, sesajen
diadakan untuk keperluan sebelum labuhan. Biasanya berisi makanan, kembang,
bubur, tumpeng, rempah-rempah, atau semacamnya yang mempunyai nilai-nilai
tertentu. Perhatikan kutipan berikut:
“Monggo, monggo, silakan.” Mbak Sum membuka taplak penutupsesajen yang akan dilabuh. “Ini ada tujuh tumpeng dan ingkung utuh satu.Ada jajan pasar lengkap. Tujuh macam kembang. Urap dari tujuh macamsayuran dan bubur tujuh warna,” jelas perempuan itu. Semua sesajen itudiletakkan di atas tampah, nampan besar terbuat dari anyaman bambu(Sang Nyai, 2011:354).
Sesajen yang disiapkan tersebut semua serba angka tujuh. Dalam bahasa
Jawa tujuh adalah pitu. Jadi, sesajen tersebut mempunyai makna untuk mohon
83
pitulungan atau pertolongan kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan.
Sesajen yang diadakan tersebut juga bersamaan dengan kondisi Merapi yang
sedang dalam keadaan darurat, sehingga dengan sesajen tersebut penduduk Pantai
Selatan berharap bagi keselamatan saudara-saudara mereka yang tinggal di lereng
Merapi. Perhatikan kutipan berikut ini:
Rombongan orang yang mau mengadakan labuhan lalu masukkembali ke dalam rumah Mas Darpo dan tetangganya. Padahal, merekasudah siap-siap melakukan prosesi. Berangkat dari rumah Mas Darposebagai juru kunci, lalu masuk ke Cepuri Parangkusumo. Di situ, semuasesajen dan barang-barang labuhan diletakkan dulu di atas selo gilang.Mas Darpo mendoakannya. Mempersembahkan semuanya itu untukPanembahan Senapati dan Nyai Roro Kidul. Dengan harapan, keduanyabertemu lagi di selo gilang itu untuk memberikan berkah pertolongannya.Setelah itu, barulah prosesi dilanjutkan menuju pantai (Sang Nyai,2011:361).
Berdasarkan kutipan tersebut jelas sekali bahwa hegemoni mitos Nyai
Roro Kidul sangat mempengaruhi prosesi ini. Masyarakat membuat sesajen yang
telah didoakan oleh Mas Darpo juga untuk dipersembahkan pada Panembahan
Senopati dan Nyai Roro Kidul. Mereka percaya bahwa pertemuan keduanya akan
dapat memberikan berkah pertolongan berkaitan dengan keadaan darurat di
Merapi.
Sesajen yang disediakan dengan barang labuhan akan dilarung ke Laut
Kidul dengan tujuan agar Nyai Roro Kidul mau membujuk Eyang Sapu Jagad di
Merapi supaya tidak marah. Benda-benda itu juga bisa dimaknai sebagai alat
untuk perantara, dengan menyediakan barang-barang kesukaannya diharapkan
Nyai Roro Kidul merasa iba dan sanggup membujuk Eyang Sapu Jagad agar
meredakan kemarahannya, sehingga Merapi tidak meletus. Kepercayaan ini masih
berkembang di masyarakat sehingga hegemoni mitos Nyai Roro Kidul masih
84
tertanam kuat di dalam jiwa masyarakat Jawa. Tradisi ini dapat dipercaya atau pun
tidak, tetapi inilah upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir
Pantai Selatan untuk membantu saudara-saudara mereka yang tinggal di sekitar
Merapi.
(2) Selamatan
Tradisi selamatan atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan slametan merupakan
budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata bahasa Jawa slamet yang mempunyai
arti selamat, bahagia, dan sentosa. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang biasanya
digambarkan sebagai pesta ritual untuk mengawali proses upacara-upacara
tertentu. Selain itu, tujuan dari selamatan adalah untuk tolak bala atau menahan
gangguan dan musibah yang akan terjadi.
Kegiatan berwujud perjamuan makan sederhana dengan dihadiri kerabat
dan seluruh tetangga untuk mencapai keselarasan dengan alam. Nilai dari acara
selamatan ini antara lain berwujud kerukunan, kekeluargaan dan kebersamaan
karena semua orang berkumpul dalam satu tempat. Semua orang mempunyai
kedudukan yang sama di mata masyarakat atau dalam bertetangga.
Pada hakikatnya, ritual ini merupakan wujud dari permohonan izin kepada
Sang Pencipta untuk mengawali suatu kegiatan yang lebih besar. Tradisi
selamatan dalam novel Sang Nyai merupakan bentuk dari tradisi masyarakat
Pesisir Selatan yang akan memulai upacara labuhan di pantai Selatan tempat Nyai
Roro Kidul berkuasa. Selain itu, selamatan ini dalam rangka untuk menolak
85
bencana yang akan menimpa akibat kondisi Merapi yang berbahaya. Perhatikan
kutipan berikut ini:
“Pokoknya, utusan dari keraton,” jawab Mas Darpo kalem.“Mereka hanya meminta agar saya dan masyarakat di sini membantukeselamatan saudara-saudara kita yang tinggal di sekitar Merapi. Maka,kami lalu mengadakan selamatan, kenduri, dan nanti malam mengadakanlabuhan. Yah, hanya itu yang bisa kami lakukan.” (Sang Nyai, 2011:345).
Peringatan untuk mengadakan selamatan, kenduri, dan labuhan berasal
dari utusan Keraton, sehingga hal ini merupakan perintah secara langsung dari
Ngarsa Dalem atau sang Sultan. Jadi, secara tidak langsung Ngarsa Dalem
meminta rakyatnya untuk melakukan ritual itu agar Nyai Roro Kidul memberi izin
dalam melaksanakan labuhan jaladri agar prosesinya lancar dan agar ia mau
membantu rakyat yang sedang prihatin terhadap bahaya Merapi. Secara tidak
langsung, Nyai Roro Kidul merupakan tokoh yang dominan dan dipercaya
sebagai perantara dengan Sang Pencipta.
(3) Kenduri
Kenduri dalam bahasa Indonesia baku (KBBI, 1993:478) memiliki arti perjamuan
makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat. Kenduri merupakan bagian
rangkaian dari selamatan, atau merupakan puncak kegiatan selamatan itu sendiri.
Kenduri mempunyai makna untuk sedekah, wujud berbagi dengan keluarga, sanak
saudara, serta tetangga. Dari kenduri inilah maka tercipta kerukunan yang
mempererat kesatuan. Kesatuan kepentingan, kesatuan cita-cita, dan juga kesatuan
masing-masing individu yang ikut dalam ritual ini.
86
Jika selamatan itu meminta izin, maka kenduri adalah wujud sedekah
untuk memperlancar perizinan itu. Prosesi dilakukan dengan membagi-bagikan
nasi berkat atau nasi besek dan nasi tumpeng yang telah didoakan sebelumnya.
Berkat yaitu wadah dari anyaman bambu yang dialasi daun pisang, diisi dengan
tatanan nasi putih, mie goreng, telor rebus, daging ayam, sambal goreng kentang,
acar wortel atau ketimun, kerupuk udang, dan pisang (isi berkat menyesuaikan
yang punya hajat). Dalam acara kenduri harus ada pemimpin yang akan
memimpin dalam pembacaan doa-doa. Dalam novel Sang Nyai acara kenduri
tersebut dipimpin oleh juru kunci Parangkusumo, yakni Mas Darpo. Berikut
kutipannya:
Mas Darpo mengangguk-angguk. Ia melihat jam tangan. Lalu,minta maaf karena harus pamit. Ia akan segera memimpin kenduri.“Silakan kalau Mas Sam mau istirahat dulu. Karena labuhan baru akankami lakukan sekitar pukul delapan malam nanti,” katanya memberiinformasi (Sang Nyai, 2011:349).
Acara selametan dan kenduri merupakan satu rangkaian ritual orang Jawa,
yang dilanjutkan dengan prosesi labuhan jaladri dalam novel Sang Nyai. Ritual
tersebut merupakan sebuah bentuk hegemoni dari penguasa. Masyarakat dengan
senang hati melaksanakannya karena menganggap hal itu penting. Selamatan dan
kenduri itu juga sebagai wujud kepedulian bagi sesama karena manusia hidup
untuk saling membantu. Jika yang lain mengalami kesusahan, wajibnya yang lain
mengulurkan tangan memberi bantuan dan turut prihatin. Seperti halnya warga di
lereng Merapi yang membutuhkan bantuan doa dari saudaranya yang tinggal di
pesisir pantai Selatan Yogyakarta agar terhindar dari bencana.
87
(4) Upacara Labuhan
Labuhan merupakan bentuk kebudayaan Jawa pesisir. Secara etimologis, labuhan
berasal dari kata labuh atau larung yang mempunyai arti membuang sesuatu ke
dalam air baik sungai maupun laut. Labuhan mempunyai maksud memberi sesaji
kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Dalam hal ini labuhan dimaksud
untuk memberi sesaji kepada Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan.
Menurut Wiryapranitra dalam Babad Tanah Jawa, Raden Sutawijaya atau
yang lebih dikenal sebagai Panembahan Senopati penguasa Mataram kala itu,
pernah mengadakan perjanjian dengan Nyai Roro Kidul. Sang Nyai yang telah
diperistri oleh Panembahan Senopati hendak dibawa hidup bersama dan
mendampinginya sebagai Raja Mataram. Namun, Nyai Roro Kidul menjelaskan
bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan karena sang Nyai merupakan makhluk
halus atau peri. Meskipun tak dapat mendampingi Sang Raja, Nyai Roro Kidul
akhirnya berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataram sewaktu-
waktu menghadapi bahaya (Herusatoto, 2012:81-82).
Akhirnya, Panembahan Senopati mengabulkannya. Sebagai imbalan dari
perjanjian itu Panembahan Senopati memberikan persembahan yang diwujudkan
dalam upacara labuhan. Selanjutnya, upacara labuhan menjadi tradisi turun-
temurun dalam kerajaan Mataram karena Nyai Roro Kidul dianggap hidup
sepanjang masa. Raja pengganti Panembahan Senopati bertugas melestarikan
tradisi yang telah ada tersebut sebagai wujud penghormatan terhadap Nyai Roro
88
Kidul dan ikatan perjanjian yang masih tetap terjalin antara Keraton Yogyakarta
dengan penguasa Laut Selatan. Dengan demikian, jika memenuhi kewajiban
untuk mengadakan labuhan tersebut maka Nyai Roro Kidul akan senantiasa
menjaga keselamatan rakyat dan kerajaan Mataram. Bahkan jika sang raja
meminta bantuan, dengan senang hati ia akan memberikan bantuannya.
Dalam novel Sang Nyai, Merapi dalam kondisi terancam meletus. Ngarsa
Dalem melalui utusannya memerintah Mas Darpo sebagai juru kunci
Parangkusumo untuk mengadakan upacara labuhan yang didahului dengan
selamatan dan kenduri. Perhatikan kutipan berikut:
“Maksud dari labuhan itu apa, Mas?”“Ya, kami mohon kepada Sang Pencipta agar Merapi tidak sampai
menelan korban nyawa. Biarkan meletus, karena memang sudah saatnya.Ini sudah memasuki siklus empat tahunan. Lalu, kami juga akan mintapertolongannya supaya membujuk Eyang Sapu Jagad di Merapi. Untukapa? Ya, minta jangan sampai lahar panas Merapi terlalu banyakdimuntahkan, supaya tidak menelan korban nyawa.” (Sang Nyai, 2011:345).
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa melalui labuhan tersebut
Ngarsa Dalem secara tidak langsung meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul
untuk melindungi rakyat Yogyakarta dari ancaman letusan Merapi. Meskipun
sudah masuk siklus empat tahunan sebuah gunung yang aktif untuk meletus,
namun permintaan dari Ngarsa Dalem bertujuan agar Nyai Roro Kidul dapat
membujuk Kiai Sapu Jagad sebagai penjaga kawah Merapi agar gunung tersebut
tidak meletus. Seandainya meletus, dengan labuhan tersebut meminta jangan
sampai lahar Merapi terlalu banyak dimuntahkan, supaya tidak membahayakan
penduduk apalagi menelan korban jiwa.
89
Selain itu labuhan juga disambut antusias oleh warga maupun orang-orang
jauh yang ingin berburu barang-barang labuhan tersebut. Barang-barang yang
telah dilabuh ke Laut Selatan dipercaya membawa berkah. Seperti penuturan
Kang Trisno kepada Sam. Ia mendapat keberuntungan pada labuhan tahun lalu
berupa selendang lurik. Berikut kutipannya:
“Di Parangkusumo, sering diadakan juga kok. Ramai sekali, Om.Barang-barang yang dilabuh itu dijadikan rebutan para pengunjung. Sebab,kami percaya jika barang-barang itu bertuah. Buktinya saya. Tahun lalu,saya mendapat selendang lurik. Ada yang mau membeli satu juta rupiah.Tidak saya berikan. Lalu tiba-tiba, datang seorang wanita cantik. Sudahtidak muda lagi. Umurnya kira-kira lima puluh tahun. Dia mau menukarselendang itu dengan sepeda motor baru. Ya sudah, saya berikan. Inimotornya, hahaha.... Rezeki dari Nyai Roro Kidul, Om.” (Sang Nyai,2011:331).
Berdasarkan kutipan tersebut maka barang-barang yang dilabuh dianggap
telah disentuh oleh Nyai Roro Kidul sehingga dipercayai sebagai barang-barang
yang bertuah. Siapa yang memiliki barang tersebut akan mendapat
keberuntungan. Seperti Kang Trisno yang mendapatkan motor baru dari menjual
selendang lurik hasil dari berburu saat labuhan. Masyarakat percaya bahwa hal itu
merupakan rezeki dari Nyai Roro Kidul.
Dengan bentuk labuhan di atas maka diharapkan Nyai Roro Kidul dapat
membantu mencegah letusan gunung Merapi, dan dapat memberikan berkah bagi
masyarakat yang mendapatkan benda-benda labuhan demi kesejahteraan
masyarakat itu sendiri. Dengan demikian seperti yang dikutip dari Sunarsih, dkk
(1990:42-44) tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan
pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta, dan rakyat Yogyakarta. Upacara labuhan
90
juga memperkuat hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap Raja, masyarakat
Yogyakarta, dan Gunung Merapi.
b. Tradisi Ziarah
Ziarah merupakan sebuah adat istiadat yang sering dilakukan oleh orang-orang
Jawa seperti menengok makam leluhur atau mengunjungi tempat-tempat keramat.
Hal tersebut mempunyai maksud untuk mendoakan atau meminta doa dari tempat
yang diziarahi. Ziarah dalam novel Sang Nyai tersebut berkaitan dengan ziarah ke
tempat keramat di Cepuri Parangkusumo, tepatnya di selo gilang. Selo gilang
merupakan batu keramat tempat pertemuan Panembahan Senopati dengan Nyai
Roro Kidul. Berikut kutipannya:
“Nanti di sini, mereka itu sebenarnya mau apa?” tanyaku kepadaMas Darpo.
“Ya, intinya ziarah, tirakat, laku prihatin, memohon kepada SangPencipta agar mau mengabulkan permohonan mereka.”
“Katanya, agar permohonannya terkabul, mereka harusberhubungan suami istri, tetapi tidak dengan pasangan resminya, harusdengan orang lain. Benar begitu?”
Mas Darpo tertawa terkekeh-kekeh. “Dari mana Mas Sam dengarhal itu? Ini Parangkusumo, bukan Gunung Kemukus.” (Sang Nyai,2011:17).
Parangkusumo merupakan tempat yang keramat. Untuk itulah banyak
orang, bahkan dari luar kota melakukan ziarah, tirakat, maupun berlaku prihatin
dengan mengunjunginya. Mereka berharap dapat memohon kepada Sang Pencipta
agar mau mengabulkan permohonan mereka. Di Parangkusumo inilah Mas Darpo
sebagai juru kunci bertugas menyampaikan doa dan permohonan para peziarah,
dan diharapkan dengan doa tersebut maka Nyai Roro Kidul akan
mengabulkannya. Nyai Roro Kidul merupakan perantara dengan Sang Pencipta.
91
Hal ini menegaskan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sangat kuat dalam
adat ziarah di Parangkusumo.
Untuk itulah Ngarsa Dalem memberikan surat tugas atau kekancingan
pada Mas Darpo sebagai abdi dalem agar menjadi juru kunci Parangkusumo, yang
terletak di Pantai Selatan. Mas Darpo mempermudah orang-orang untuk meminta
berkah kepada Nyai Roro Kidul.Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut:
Laki-laki itu memaknai sebagai berkah dari Ngarsa Dalem, sultandi Keraton Yogyakarta yang memberi kekancingan atau surat tugas kepadadirinya untuk melayani para peziarah. Dan, yang tidak boleh dilupakan,Mas Darpo lagi, adalah berkah dari Nyai Roro Kidul! Penguasa LautSelatan itu seolah mau bermurah hati padanya karena ia telah sudimenjaga selo gilang dengan baik. Itulah upah dari sebuah kesetiaan. Upahdari sebuah kerja yang tulus dan ikhlas. Meski sederhana, namunmaknanya bisa sangat dalam jika dikupas (Sang Nyai, 2011: 41).
Hal ini menandakan bahwa Sultan mempercayakan tugas untuk menjadi
juru kunci Parangkusumo pada Mas Darpo. Kekancingan merupakan surat silsilah
yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem (Kantor Urusan Keturunan Raja) atas
nama sang Sultan. Keluarnya surat tersebut biasanya ditandai dengan penambahan
gelar pada nama seseorang yang telah diangkat menjadi abdi dalem, atau
merupakan keturunan Keraton.
Dalam novel Sang Nyai, Mas Darpo sebagai abdi dalem termasuk sebagai
jajaran Lurah. Sebagai panggilan kehormatan ia dipanggil sebagai Mas Lurah.
Walaupun gajinya hanya beberapa rupiah saja, tetapi tugas yang diembankan
padanya oleh Ngarsa Dalem serta restu dari Nyai Roro Kidul membuahkan rezeki
yang melimpah untuknya melalui tangan para peziarah. Hal itu merupakan upah
dari kesetiaan dengan kerja yang tulus dan ikhlas. Hal itu juga yang membuat
rakyat semakin tunduk dengan kekuasaan sang Sultan dan Nyai Roro Kidul.
92
Ziarah yang dipimpin oleh Mas Darpo dilakukan pada setiap malam
Jum’at Kliwon. Dalam ziarah tersebut biasanya orang mengantri dengan
membawa sebungkus kembang telon, kemenyan, rokok kretek, dan amplop berisi
uang seikhlasnya sebagai ucapan terima kasih. Mas Darpo menganggap amplop
tersebut sebagai mahar atau maskawin. Ketika saatnya tiba, Mas Darpo akan
mulai mendoakan para peziarah di selo gilang yang dikenal sebagai batu cinta,
tempat pertemuan Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Hal tersebut
ditandai dengan wangi kembang melati dan hembusan angin yang datang dari
selatan pintu Cepuri Parangkusumo, Nyai Roro Kidul hadir ke tempat itu untuk
mengabulkan permohonan dari para peziarah sehingga dengan demikian peziarah
berharap doanya akan terkabul. Berikut kutipan yang menegaskan hegemoni
mitos Nyai Roro Kidul melalui ziarah di Puri Parangkusumo:
Laki-laki itu mengangkat bahu. “Monggo sampean sendiri yangbisa menyimpulkan. Nanti kalau saya, dikira memaksakan kehendak.Mentang-mentang Juru Kunci Parangkusumo, lalu berkata begitu. Orangbisa saja menuduh saya seperti itu. Apalagi, setiap malam Jum’at Kliwon,Ratusan peziarah minta pertolongan saya untuk mendoakan keinginanmereka, memohonkan kemurahan Sang Pencipta lewat Nyai Roro Kidul.Nanti dikira saya mencari kebenaran untuk diri sendiri karena punyapamrih, hehehe....” (Sang Nyai, 2011:348).
Dari kutipan di atas dapat diyakini bahwa Nyai Roro Kidul dianggap akan
bermurah hati dan memohonkan doa kepada Sang Pencipta, sehingga rakyat
percaya bahwa doanya dapat terkabul. Hegemoni ini sangat kuat, ditandai dengan
banyaknya peziarah yang datang ke Parangkusumo tiap malam Jum’at Kliwon,
dan hal itu semakin menguatkan kekuasaan Nyai Roro Kidul sebagai Ratu gaib
Pantai Selatan yang dihormati oleh masyarakat Jawa.
93
B. Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul
Sam digambarkan sebagai sosok wartawan yang pada mulanya mendukung
ideologi modern. Ia menentang ideologi tradisional seperti halnya mitos, termasuk
tidak mempercayai kisah tentang Nyai Roro Kidul. Ia mempunyai pemikiran
bahwa dunia mistik, alam supernatural, dan hal-hal yang bersifat gaib tidak
berguna di zaman nuklir ini. Sam menganggap bahwa percaya hal tersebut tidak
akan membuat bangsa menjadi maju. Pemikiran tersebut beralasan, karena hal-hal
demikian hanya akan bersandar pada tradisi nenek moyang yang di luar akal
sehat, lalu mengabaikan kecerdasan otak.
Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terjadi pada
saat rapat redaksi untuk menentukan feature yang akan dimuat oleh majalah
tempatnya bekerja. Pak Yos sang pemimpin redaksi meyakinkan bahwa pasar
masih tertarik pada sosok Nyai Roro Kidul. Pemikiran Sam yang berlawanan
dengan pemimpin redaksi tak menggoyahkan niat Sam untuk menentang. Ia
bahkan menolak keras ide tentang membuat feature Nyai Roro Kidul. Ada
beberapa rekan kerjanya yang mendukung. Mereka lebih memilih mengusulkan
ide untuk membuat feature tentang orang-orang sukses di zaman sekarang. Hal
tersebut bisa lebih menguntungkan dalam berbagai aspek seperti mudah meraih
sponsor, sebagai inspirasi, dan kisah tersebut digemari oleh khalayak muda yang
sedang mencari kerja, daripada kisah tentang Nyai Roro Kidul. Menurut Sam
hanya sebagian kecil masyarakat tradisional yang berminat dengan kisah
mengenai sosok penguasa gaib Laut Selatan tersebut.
94
Terlebih berdasarkan hasil survei, masyarakat tradisional bukan golongan
pembeli majalah mahal seperti yang diproduksi oleh redaksi mereka. Namun,
seberapa keras Sam menolak, tugas meliput itu tetap dibebankan padanya. Berikut
ini kutipan yang menegaskan bahwa Sam harus tetap membuat feature tentang
sosok yang Nyai Roro Kidul. Perhatikan kutipan berikut ini.
Namun ketika Pak Yos tetap memutuskan memuat kisah NyaiRoro Kidul secara serial, justru aku yang ditunjuk! Bagiku ini sepertisenjata makan tuan. Aku yang menolak secara keras, justru tugas liputandibebankan di atas pundakku (Sang Nyai, 2011: 38).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Sam menganggap
penolakannya merupakan senjata makan tuan. Ia yang semula menentang tentang
ide pembuatan kisah Nyai Roro Kidul harus merelakan diri untuk mencari
berbagai hal tentang sosok tersebut. Perlawanannya justru membuatnya harus
masuk semakin dalam ke dunia mistis yang berkaitan dengan sang Nyai. Tugas ini
menuntunnya untuk mengunjungi tempat ziarah Nyai Roro Kidul di Cepuri
Parangkusumo dengan Mas Darpo sebagai juru kunci pantai Parangtritis sebagai
narasumber awal. Biasanya Mas Darpo membacakan doa bagi para peziarah yang
mencari berkah dari Nyai Roro Kidul. Sam juga bertemu dengan sosok gadis
misterius bernama Kesi di tempat itu.
Perlawanan Sam merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi
tradisional Jawa yang mempercayai sosok Nyai Roro Kidul sebagai Ratu Pantai
Selatan. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul belum dirasakan Sam karena waktu itu
ia belum secara langsung terjun ke lapangan tempat berkembangnya mitos Nyai
Roro Kidul. Sam tidak menganggap sosok Nyai Roro Kidul ada dan hanya
95
merupakan kisah masa lalu yang berkembang di masyarakat Jawa sebelum
bertemu Kesi dan Kang Petruk.
Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga
ditunjukkan ketika ia ragu untuk menyampaikan pesan Kang Petruk supaya tidak
mendekati Merapi dalam waktu dekat. Kang Petruk adalah sosok yang dikenalnya
melalui Kesi, yang dipercaya sebagai penguasa Merapi, teman dari Nyai Roro
Kidul. Berikut kutipan yang menunjukkan pembelaan Sam terhadap naiknya
status Merapi berdasarkan pemikiran modern, bukan hanya melalui mitos:
Aku tertawa. “Mestinya mereka harus terbuka wawasannya. Wisikdi zaman modern bukan berupa mimpi atau tanda-tanda dari langit.Khusus untuk Merapi, wisik itu sudah diberikan oleh Pusat Vulkanologidan Mitigasi Bencana Geologi. Merekalah yang berhak menentukan statusMerapi. Bukan para leluhur. Jadi, tugasmu adalah mengajak orang-oranguntuk memaknai wisik dengan mindset baru. Tahu yang kumaksud, kan?”(Sang Nyai, 2011:210).
Berdasarkan kutipan tersebut Sam menyimpulkan bahwa naiknya status
Merapi telah ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan badan Mitigasi Bencana
Goelogi yang dilihat dari tanda-tanda bahaya Merapi. Ilmuwan telah melakukan
pemeriksaan dengan alat-alat yang dapat mendeteksi aktivitas Merapi. Hal
tersebut bertentangan dengan kepercayaan masyarakat tradisional Jawa terutama
yang berada di lereng Merapi, mereka menunggu bahwa sering ada wisik apabila
akan terjadi bencana. Bahkan masyarakat membuat sayur khusus tolak bala yang
diperintah Ngarsa Dalem (Sang Sultan) untuk mencegah meletusnya Merapi.
Menurut Sam, mindset masyarakat tradisional masih terpaku pada wisik
yang berupa mimpi atau tanda-tanda dari langit. Padahal wisik di masa modern ini
bisa berupa peringatan dari para ilmuwan yang meneliti aktivitas Merapi. Ia
96
bermaksud memberikan masukan kepada Sugeng rekannya yang merupakan
penduduk setempat untuk mengajak penduduk sekitar memaknai wisik dengan
pemikiran yang baru. Walaupun hal tersebut sulit karena masyarakat sudah
terlanjur terpaku pada adat lama, yang mematuhi perintah dari penguasa.
Pertentangan lain mengenai batin Sam yang masih belum mempercayai
keberadaan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul ditunjukkan kembali dengan dialog
dengan Damar Kusumo, seorang kerabat dekat Kanjeng Sunan. Perhatikan
kutipan berikut:
“Benarkah di panggung itu Kanjeng Sunan sering menemui NyaiRoro Kidul?” tanyaku hati-hati.
Damar Kusumo tertawa lirih. “Mas Sam percaya?”Aku tidak bisa menjawab. Tidak mungkin aku bilang tidak
mempercayai cerita tersebut. Namun, aneh juga kalau aku langsung bilangpercaya begitu saja. Dasarku apa? Pertanyaan yang benar-benar membuatKO (Sang Nyai, 2011:239).
Berdasarkan kutipan di atas disimpulkan bahwa Sam masih mengalami
pergolakan batin mengenai ideologinya yang masih tetap berbasis intelektual,
sehingga ia belum bisa menerima secara mentah ideologi tradisional tentang Nyai
Roro Kidul yang bertemu dengan Kanjeng Sunan di Panggung Sanggabuwana,
atau pun keberadaan nyata sosok sang Nyai. Dengan demikian, Sam bahkan tidak
bisa menjawab, karena kalau ia mengatakan percaya ia tidak mempunyai dasar
tentang kepercayaan pada hal tersebut.
Sam memilih diam karena ia belum dapat mengakui hegemoni mitos Nyai
Roro Kidul secara terbuka di saat pemikiran modernnya masih mencoba untuk
berpikir logis. Sebuah pemikiran untuk percaya pada hal gaib harus mempunyai
dasar yang jelas. Itulah yang membuat Sam memikirkan ulang saat menjawab
97
pertanyaan dari Damar Kusumo. Ia masih mengalami pertentangan di dalam
dirinya untuk percaya pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul atau menolaknya.
Pemikiran Sam yang bimbang dijawab melalui perlawanan yang
ditunjukkan oleh Raden Mas Damar Kusumo. Sebagai salah satu dari penghuni
Keraton Surakarta, Damar Kusumo berada di sekitar lingkungan gaib yang erat
dengan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Namun, secara tidak langsung
sebenarnya Damar Kusumo mengalami dilema mengenai kehadiran sosok
tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kutipan di bawah ini:
“Maksud saya begini. Mungkin cerita itu benar. Ceritanya ya yangbenar. Tetapi, benarkah bahwa leluhur kami bisa bertemu dengan NyaiRoro Kidul di situ? Itu masih tanda tanya besar. Di antara kami, parakerabat keraton, ada yang pro, ada juga yang kontra. Yang promempercayai begitu saja cerita yang sudah diwariskan secara turuntemurun itu. Bagi yang kontra, terutama mereka yang mengandalkanpenalaran akal sehat, mengatakan bahwa cerita itu hanya dongeng belaka.Sebab, sosok Nyai Roro Kidul sendiri kan masih menjadi tanda tanyabesar...” (Sang Nyai, 2011:240).
Terlihat bahwa Damar Kusumo membenarkan cerita mengenai adanya
kisah Nyai Roro Kidul, tetapi ia tidak menjawab secara tegas mengenai
keberadaan Nyai Roro Kidul sesungguhnya. Dari analisis kutipan tersebut ia
termasuk sedikit meragukan keberadaan mitos yang menjadi pro dan kontra,
bahkan di lingkungan Keraton. Secara tidak langsung Damar Kusumo melakukan
perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dari pernyataan tersebut.
Ia mempunyai pemikiran modern, namun dengan cerdas tidak menunjukkan
secara langsung. Meskipun demikian, sebagai seorang keturunan kerabat raja,
Damar Kusumo bersikap bijaksana dengan tetap menghormati tradisi masa lalu
dari para leluhurnya.
98
Perlawanan Sam terhadap hegemoni tradisional secara tidak langsung juga
ditunjukkan dengan pemikirannya tentang pesugihan terhadap Nyi Blorong
sebagai tema yang dipakai sinetron-sinetron bertema tertentu pada stasiun televisi
lokal. Hal itu dianggap Sam sebagai suatu pembodohan karena hal-hal gaib seperti
itu dianggapnya tidak ada, walaupun pada kenyataannya memang ada di dunia
nyata. Berikut kutipan yang menunjukkan pemikiran tersebut.
“Ya. Dan selalu orang-orang yang dicintai yang diminta untuktumbal.”
“Kok seperti cerita di dalam sinetron, Mas?”“Sinetron itu yang meniru kisah yang sebenarnya.”“O....” Aku melongo. Selama ini, aku paling benci nonton sinetron
begituan. Kuanggap sebagai bentuk pembodohan kepada pemirsa.Bagaimana mungkin di abad nuklir ini masih ada cerita-cerita mistik yangseolah hanya ada di negeri antah berantah. Ternyata, benar-benar ada.“Mas Darpo pernah dimintai tolong peziarah yang mau mencari pesugihandengan Nyai Blorong?” (Sang Nyai, 2011: 341-342).
Walaupun Sam semula menganggapnya sebagai pembodohan terhadap
para penontonnya, dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sinetron bertema
mistis yang sering ditayangkan di layar kaca mengambil latar dari kisah nyata.
Pemikiran modern Sam sejak awal telah menolak bahkan membenci sinetron-
sinetron tersebut karena dirasa tidak masuk akal. Meskipun faktanya hal tersebut
ada. Bahkan, letak tempat tersebut tidak jauh dari Cepuri Parangkusumo. Tempat
untuk mencari pesugihan Nyai Blorong terletak di sebuah gua di tepi pantai yang
dijaga oleh juru kunci.
Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga
ditunjukkan melalui perang batinnya. Antara hati dan pikirannya berbeda,
pikirannya menganggap semua yang dialami merupakan kejadian mustahil dan
aneh, namun hatinya mengatakan bahwa hal yang ia jumpai selama ini, meskipun
99
hal gaib tetapi terlihat dan dialami Sam seperti kenyataan. Berikut kutipan yang
menggambarkan keadaan jiwa Sam saat itu.
Ya, ya. Sekarang, aku bekerja di dua wilayah, hati dan kepala.Kepalaku sering mengatakan banyak hal mustahil dan aneh. Namun,hatiku mempercayai bahwa hal itu nyata dan bisa dilihat secara kasat mata.Ketika kepalaku mengatakan bahwa kemungkinan besar Kesi itu makhlukgaib, hatiku berkata lain (Sang Nyai, 2011: 358-359).
Sam mengalami konflik di dalam dirinya, pertentangan mengenai dua
ideologi yang tertanam di dalam pikiran dan hatinya. Sam yang masih berpegang
pada ideologi modern menganggap hal yang dialami beberapa waktu mustahil dan
aneh. Namun, begitu hatinya berbicara hal tersebut seolah nyata dan tak kasat
mata. Seperti halnya kemisteriusan Kesi, Sam sedikit berpikir bahwa gadis itu
merupakan makhluk halus, namun hatinya mengatakan bahwa Kesi adalah
perempuan biasa yang misterius karena ia pernah merasakan bercinta dengan
gadis itu. Seorang makhluk halus tidak dapat bercinta dengan manusia, sedangkan
Sam pernah bercinta dengan Kesi.
Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul justru membuat
Sam mengalami kebimbangan. Hati dan pikirannya seolah berjalan masing-
masing, hatinya mengikuti ideologi tradisional, sedangkan pikirannya
menganggap hal yang ia temui adalah hal yang mustahil dan aneh seperti dasar
pemikiran ideologi modern. Dengan demikian, Sam berada di dalam dua wilayah
tersebut, antara menolak hegemoni mitos Nyai Roro Kidul, dan mempercayai
hegemoni Sang Nyai.
Selain Sam dan Damar Kusumo, perlawanan dari tokoh lain terhadap
hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga ditunjukkan oleh Ki Aji Sembada. Dalam
100
novel Sang Nyai, iadigambarkan sebagai tokoh yang menentang keras keberadaan
Nyai Roro Kidul. Ia adalah seorang budayawan yang menganggap bahwa Nyai
Roro Kidul merupakan rekaan pujangga keraton zaman dulu dan hanya omong
kosong belaka. Pendapat Ki Aji Sembada tersebut merupakan bentuk perlawanan
terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel tersebut. Berikut kutipan
yang menegaskan penolakannya terhadap sosok Nyai Roro Kidul:
“Itulah pintarnya pujangga keraton zaman dulu. Membuat cerita,tapi juga dijadikan teka-teki sekaligus. Sampai tiga Ratus tahun lebih,teka-teki itu belum terpecahkan. Karena itu, sekali lagi menurut saya, NyaiRoro Kidul itu omong kosong. Ada karena sudah terlanjur ditanam di otakkita masing-masing. Untunglah di otakku cerita itu tidak bisa tumbuh, jadisaya tidak percaya sedikit pun, hahaha....” (Sang Nyai, 2011:182).
Berdasarkan data di atas, Ki Aji Sembada mengatakan bahwa sosok Nyai
Roro Kidul hanya rekaan dan menjadi teka-teki. Hal tersebut tumbuh karena
ditanam melalui otak para pendengar cerita mitos tentang Nyai Roro Kidul. Kisah
tersebut diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat tradisional yang
mempercayai keberadaan sang Nyai, sehingga banyak yang tertipu mengenai
keberadaan sosok tersebut.
Bahkan Ki Aji Sembada juga menolak pemikiran tentang tradisi labuhan.
Ia kembali mengatakan bahwa labuhan bukan merupakan sesuatu yang
menciptakan berkah, karena berkah hanya diperoleh dari sang Pencipta. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan berikut:
“Lagi-lagi, itu akal-akalan orang keraton saja. Merekamenempatkan abdi dalem keraton di Merapi dan di Laut Kidul. Untukapa? Ya biar orang percaya bahwa ketiganya saling berhubungan. Padahal,tidak ada, hahaha...,” lanjut Ki Aji. “Untuk lebih meyakinkan lagi, setiaptahun diadakan labuhan, baik di Merapi maupun di Laut Kidul. Rakyatdipersilahkan nonton. Bahkan disebar isu, siapa pun yang bisa
101
memperoleh benda-benda labuhan, akan mendapat berkah. Berkah apa?Yang bisamemberi berkah hanya Sang Pencipta!” (Sang Nyai, 2011:183).
Data di atas juga merupakan perlawanan secara tidak berdasar yang
diungkapkan oleh Ki Aji Sembada. Secara gamblang ia mengatakan bahwa tidak
ada hubungan antara Merapi, Keraton, dan Laut Selatan yang seperti dipercaya
masyarakat Jawa pada umumnya. Ia menolak tentang pendapat itu, bahkan
labuhan yang sebenarnya bertujuan memberikan sedekah kepada alam untuk
melakukan timbal balik juga dikatakan sebagai omong kosong. Pemikirannya
hanya percaya kepada Tuhan, sehingga Ki Aji Sembada tidak terbuka sedikit pun
untuk mempercayai mitos yang berkembang di masyarakat.
Perlawanan Ki Aji Sembada merupakan buah pikir kontroversial tentang
sosok Nyai Roro Kidul. Ia mengungkapkan penolakannya secara tegas karena
mempunyai alasan bahwa cerita-cerita seperti Nyai Roro Kidul tidak bernalar. Ki
Aji Sembada tidak percaya karena ia menganggap mitos Nyai Roro Kidul hanya
direkayasa oleh para pujangga keraton untuk melindungi raja agar tidak diotak-
atik kekuasaannya yang mutlak oleh rakyatnya. Menurutnya, rakyat hanya
dibodohi apabila percaya dengan cerita yang berkembang pada masa beberapa
abad lalu. Ia menganggap bangsa tidak akan maju jika terus mengembangkan
cerita yang sama, malah hal itu akan membuat kemunduran bagi bangsa itu
sendiri.
C. Hasil Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul
Tokoh Sam, Ki Aji Sembada, dan Raden Mas Damar Kusumo yang terlihat
melakukan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul menemukan
102
penyelesaian yang berbeda-beda. Tokoh tersebut masih mengutamakan pemikiran
yang rasional dan mengandalkan logika. Hal gaib menurut mereka tidak masuk
akal terutama berkaitan dengan tokoh Nyai Roro Kidul.
Sam terus melanjutkan tugas lapangannya sehingga dapat mengungkap
kebenaran di balik semua kejadian misterius yang menimpanya. Ki Aji Sembada
hanya mengeluarkan pendapat tanpa menguji pembenaran secara langsung di
lapangan. Damar Kusumo tetap pada posisinya sebagai kerabat Keraton yang mau
tidak mau harus tetap melaksanakan tradisi yang ada, tentang kehadiran sosok
Nyai Roro Kidul ia tidak mempermasalahkannya walaupun di dalam hati ia
mengalami sedikit perlawanan.
Akhirnya tokoh Sam yang semula tidak percaya akan adanya sosok Nyi
Roro Kidul dan hegemoninya di dalam masyarakat merasakan sendiri hal yang
berhubungan langsung dengan Sang Nyai melalui wujudnya sebagai Kesi. Berikut
ini keanehan yang dialami Sam selama pertemuannya dengan Kesi yang
mengantarkan kesimpulan dari wartawan itu bahwa Kesi adalah sosok Nyai Roro
Kidul yang sesungguhnya:
“Selesai sarapan, Sasongko mengantarku sampai di kamar. Didepan pintu, sudah ada lima orang yang duduk bersila.
“Mengapa mereka ada di situ?” tanyaku heran.Sasongko tidak menjawab. Laki-laki itu hanya tersenyum (Sang
Nyai, 2011:266).
Berdasarkan kutipan tersebut kamar nomor 316 Hotel Bintang Solo seperti
menyimpan suatu misteri. Sam tiba-tiba mendapat jamuan makan besar, dan
pelayanan VIP dari pihak hotel. Itu semua berkat Kesi yang menyewa kamar
tersebut, namun yang menjadi keanehan adanya lima orang laki-laki yang duduk
103
bersila di kamar tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa kamar hotel tersebut
keramat, sehingga orang-orang mencari peruntungan dengan mengunjungi hotel
yang secara tidak langsung sebagai tempat persinggahan Nyai Roro Kidul.
Peristiwa lain yang mencengangkan adalah Kesi sebagai jelmaan Nyai
Roro Kidul sesungguhnya diperkuat dengan keanehan yang dialami Sam, hingga
beberapa kali pertemuan mereka yang terkadang tidak masuk akal. Seperti ketika
pertama kali bertemu di Parangkusumo, tiba-tiba Kesi muncul di Sanur Beach
Hotel Bali di kamar khusus untuk Nyai Roro Kidul yang pada saat kebakaran
masih utuh, lalu Kesi bisa tiba-tiba hadir di Panggung Sanggabuwana ketika Sam
melakukan penelitian tentang Nyai Roro Kidul dengan bertanya-tanya kepada
Raden Mas Damar Kusumo. Pelayanan di hotel bintang Solo yang tidak wajar.
Kemudian, di tempat Kang Petruk dengan segala keajaiban, bahkan Sam
yakin kuda yang ia naiki berkepala manusia, tangga yang ia turuni di rumah Kang
Petruk seperti manusia, besi yang ditempa oleh pekerja di rumah Kang Petruk
adalah manusia, dan kayu bakar yang dilempar Kang Petruk ke tungku Merapi
merupakan potongan-potongan tubuh manusia atau manusia utuh. Sam yang
menyamar sebagai Syekh Tunggul Wulung sebagai penyampai wisik kepada
masyarakat diyakini telah mengunjungi tempat Kang Petruk dan mendapat
wangsit tentang meletusnya Merapi dari Sang Kiai Sapu Jagad tersebut,
masyarakat juga meyakini bahwa kuali yang sedang dijaga apinya oleh Kang
Petruk agar terus menyala sebenarnya adalah kawah Merapi. Seperti yang diyakini
masyarakat sosok Kang Petruk adalah Mbah Petruk atau lebih dikenal sebagai
Kiai Sapu Jagad penjaga kawah Merapi.
104
Terakhir pertemuan di Parangkusumo yang membuat Sam yakin bahwa
Kesi bukan makhluk biasa terbukti dengan wajah Kesi yang terukir dalam uang
logam emas yang menurut Nyai Maryatun diberikan kepada pengrajin kain batik
tulis tersebut dengan pesanan tujuh kain batik motif sido mukti dan tujuh belas
motif parang rusak dengan dibayar menggunakan enam uang legam emas. Uang
logam emas yang tidak ada hak cipta dari pemerintahan. Berikut kutipannya.
“Di beberapa tempat,” jawabku. Pertama kali kulihat diParangkusumo. Kedua kali kulihat di Sanur Beach Hotel. Ketiga kaliketemudi Panggung Sanggabuwana Keraton Solo. Keempat kali di hotelBintang Solo. Oh ya, di rumah Kang Petruk juga. Dan terakhir di PantaiParangkusumo lagi. Malam ini, saat ini juga.”
“Hehehe..., kok yakin sekali?”“Ya. Sangat, sangat yakin. Kamu tidak bisa mengelak. Ini
wajahmu. Benar, bukan?” (Sang Nyai, 2011:381).
Segala keanehan dalam diri Kesi merupakan bentuk dari penjelmaan Nyai
Roro Kidul yang mendekati sang wartawan. Secara tidak langsung, Sam yang
sebelumnya sangat tidak percaya dengan kejadian mistis tersebut akhirnya yakin
bahwa Kesi bukan wanita biasa. Mulailah runtuhnya ideologi modern yang dianut
Sam. Secara langsung ia telah masuk dalam kepercayaan masyarakat tentang
keberadaan Nyai Roro Kidul sebagai tokoh penting dalam eksistensi ideologi
tradisional yang menghegemoni Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi.
Bahkan, bukti tersebut semakin kuat ketika Pak Nung yang terus berbicara
kotor tentang Kesi membuatnya mendapat akibat seperti kata-kata sembrono yang
diucapkannya. Akhirnya mobilnya terbakar dengan api yang muncul secara gaib.
Itu merupakan sedikit hukuman kecil akibat perkataan kotor yang diucapkan pada
Kesi yang sesungguhnya merupakan penjelmaan Nyai Roro Kidul, sesuatu yang
diucapkan akan menjadi kenyataan. Termasuk pemikiran negatif Sam tentang
105
berlangsungnya labuhan akibat cuaca yang tidak mendukung, hal itu merupakan
pantangan. Pantangan tersebut masih dipercaya masyarakat Jawa, karena pikiran
negatif biasanya akan jadi kenyataan dan terbukti saat itu labuhan yang keramat
menjadi mencekam karena ada beberapa orang tewas akibat mengambil barang
labuhan. Namun harus ditekankan, apabila ada korban jiwa dalam labuhan bukan
merupakan kehendak Nyai Roro Kidul, melainkan sudah menjadi takdir dari Yang
Maha Kuasa.
Seperti itulah yang akan ditegaskan oleh kejadian tersebut, karena Nyai
Roro Kidul merupakan figur yang suci dan keramat. Berikut kutipannya:
Tiba-tiba, tanganku ada yang menarik. Mbak Sum. Perempuan itumemberi isyarat agar aku menjauh dari Mas Darpo. Dan, itu kulakukan.“Mas Sam tidak boleh berpikir yang tidak-tidak,” katanya lirih.
“Kenapa, Mbak?”“Itu pantangan. Nanti bisa terjadi sungguhan.”“Aku hanya ingin mengingatkan saja. Sebab, agak rawan
kondisinya.” (Sang Nyai, 2011:362).
“Oh ya, tadi di rumah Mas Darpo, ada wanita cantik, Mas. Benar-benar penuh pesona. Kulitnya kuning, rambutnya panjang sebahu, dandibiarkan terurai begitu saja. Hehhh... tinggi pula tubuhnya.Huhhh...benar-benar sempurna.” Pak Nung meninju telapak tangannyasendiri. “Kehilangan mobil pun saya rela jika bisa tidur bersama dia.Sungguh, Mas. Semua laki-laki pasti akan bersikap sama seperti saya. Airliurku hampir menetes!” (Sang Nyai, 2011:393).
Nyai Roro Kidul sebagai penjelmaan Kesi semakin diakui Sam
keberadaannya dan bukan hanya mitos dengan ditemukannya sebuah bungkusan
kado di dalam tasnya. Pria itu tidak tahu siapa yang menaruhnya karena
seingatnya dalam perjalanan ia tidak bertemu siapapun. Hal ini membuktikan
bahwa Nyai Roro Kidul dengan kekuatannya berhasil memberikan barang-barang
106
itu secara gaib kepada Sam, karena dengan tiba-tiba benda itu berada di dalam
koper Sam.
Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnyaterdapat kotak kayu ukir yang halus, motif naga dan kembang melati.Kotak kubuka. Isinya kebaya brokat warna hijau gadung, kain batik motifsido mukti, ulos atau selendang dari Batak, satu bungkus plastik kecilberisi abu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buang uang logam emas.Ketika kuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambarwanita cantik. Dan, wanita itu tiada lain adalah Kesi!
Jadi..., benarkah Kesi itu penjelmaan dari sang Nyai?!Kedua tanganku gemetar. Kedua kakiku gemetar (Sang Nyai,
2011:435).
Kutipan di atas juga mempertegas bahwa Kesi, gadis misterius yang
mengikuti Sam selama mencari informasi untuk bahan featurenya adalah sang
Nyai Roro Kidul sesungguhnya. Sam terlihat gemetar setelah mengetahui
kebenaran itu, sehingga segala keingintahuannya tentang gadis misterius bernama
Kesi akhirnya terjawab.
Dengan demikian, eksistensi Kesi dalam novel Sang Nyai merupakan
penjelmaan Nyai Roro Kidul. Pemikiran Sam terhadap mitos Nyai Roro Kidul
yang semula tidak ia percayai, akhirnya tunduk pada hegemoni mitos Nyai Roro
Kidul yang secara langsung ia temui dalam perwujudan tokoh Kesi. Pada akhirnya
ideologi modern Sam, kalah dengan ideologi tradisional masyarakat Yogyakarta
yang mempercayai hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Secara langsung Sam telah
disadarkan bahwa tradisi dan mitos yang ada mempunyai dasar, untuk itulah
masyarakat Jawa hingga kini tetap mempercayai kehadiran Nyai Roro Kidul
sebagai penyokong kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Pengarang sempat melakukan perlawanan melalui tokohnya, namun pada
akhirnya pengarang sebagai warga kota Yogyakarta tetap tunduk pada ideologi
107
tradisional yang berlaku. Dengan demikian, pengarang merupakan pendukung
dari hegemoni tradisional yang ada. Dalam kisah ini ia menggambarkan bahwa
sosok Nyai Roro Kidul menjelma menjadi Kesi untuk mengukuhkan adanya
hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Ia tidak berniat untuk membuat perlawanan
yang dilakukan oleh tokoh memenangkan ideologinya, justru ia mengantar tokoh
jauh masuk lebih dalam dunia tempat sosok Sang Nyai berada untuk meruntuhkan
ideologi yang tertanam sebelumnya.
Hal ini didasarkan pada kepercayaan legitimasi kekuasaan raja pada
Keraton masih tetap eksis karena didukung kekuatan Nyai Roro Kidul dan
Gunung Merapi. Mitos Nyai Roro Kidul merupakan sebuah legenda yang pada
dasarnya merupakan culture hero atau adanya tokoh yang membawa kebudayaan.
Mitos ini bertujuan untuk mendukung keteraturan sosial dan mengukukuhkan
kekuasaan raja yang sedang memerintah. Dengan adanya kekuatan lain sebagai
penyokong kekuasaan raja, maka rakyat akan patuh dan tunduk sehingga tercipta
keteraturan sosial. Selain itu, kepercayaan rakyat kepada mitos Nyai Roro Kidul
sebagai wujud pelestarian budaya Jawa.
108
BAB V
SIMPULAN
Berdasarkan analisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai
karya Budi Sardjono, dapat dikatakan bahwa Nyai Roro Kidul sebagai ratu
melakukan dominasi atas masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan sekitarnya.
Nyai Roro Kidul juga mendukung eksistensi raja yang berkuasa secara turun-
temurun. Hal ini disebabkan adanya perjanjian yang terikat antara Panembahan
Senopati dan Nyai Roro Kidul. Dengan adanya hubungan tersebut, maka
mendukung posisi Nyai Roro Kidul sebagai penguasa kosmis yang membuat
terjalinnya keselarasan hubungan antara Laut Selatan dengan dua elemen penting
Yogyakarta yang lain, Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi.
Hegemoni Nyai Roro Kidul juga dirasakan oleh masyarakat melalui tradisi
yang masih berjalan hingga sekarang. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan ziarah
di Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Tradisi yang lain yaitu
upacara labuhan. Upacara ini dimulai dengan pengadaan sesajen, kemudian
dilanjutkan rangkaian ritual yang terdiri atas selamatan, kenduri, diakhiri dengan
prosesi labuhan.
Tradisi yang ditanamkan melalui pemikiran masyarakat Jawa yang masih
mempercayai kekuasaan raja merupakan alat penting untuk menyampaikan
hegemoni kultural yang konsensual untuk membentuk keteraturan sosial pada
masyarakat sipil. Tanpa adanya keseimbangan dan kepercayaan dari masyarakat
terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul, hegemoni ideologi menjadi sulit
109
dilaksanakan, tradisi tidak akan berjalan seperti yang seharusnya. Bahkan, hal itu
dapat mengancam eksistensi Keraton.
Berlawanan dengan itu, sebuah kekuasaan atau dominasi selalu akan
menghadapi perlawanan, bahkan dapat dimulai dari bentuk yang kecil dan jauh
dari kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh tokoh Sam, Ki Aji Sembada, dan
Raden Mas Damar Kusumo. Sam mempunyai pemikiran modern bahwa mitos
Nyai Roro Kidul merupakan pemikiran yang tidak logis, sedangkan Ki Aji
Sembada bahkan menentang keras terhadap hegemoni Nyai Roro Kidul. Nyai
Roro Kidul dianggap sebagai pembodohan kepada masyarakat dan hanya taktik
politik dari Kesultanan Yogyakarta untuk mempertahankan eksistensi kerajaan.
Namun, perlawanan tersebut tidak terlalu berpengaruh karena tradisi tetap
dijalankan oleh masyarakat di Yogyakarta. Lain halnya dengan Damar Kusumo,
ia membenarkan perihal cerita mengenai adanya kisah Nyai Roro Kidul, namun ia
tidak menjawab secara tegas mengenai eksistensi Nyai Roro Kidul sesungguhnya.
Meskipun demikian, Sam sebagai pihak yang awalnya menentang
hegemoni mitos Nyai Roro Kidul akhirnya merasakan sendiri hegemoni itu dari
pengalaman spiritual yang ia alami. Hal itu membuktikan bahwa, walaupun Budi
Sardjono sebagai pengarang sempat melakukan kritik melalui beberapa tokohnya
dengan menunjukkan perlawanan terhadap hegemoni, sebagai pengarang yang
berlatar kehidupan di Yogyakarta, secara tidak langsung ia masih patuh terhadap
ideologi kultural masyarakat Jawa sebagai pendukung hegemoni yang masih
mempercayai eksistensi Sang Nyai sebagai pendukung Keraton.
110
Sehubungan dengan hal ini, tradisi yang telah dibentuk bertahun-tahun
oleh masyarakat Jawa khususnya daerah Yogyakarta akan tetap dilestarikan oleh
masyarakat penganutnya karena kuatnya dominasi kekuasaan Nyai Roro Kidul
dengan dukungan dari pihak Keraton Yogyakarta dan keberadaan Gunung
Merapi. Sebuah tradisi tidak akan hilang jika masyarakat yang mempercayai
tradisi tersebut melestarikan tradisi sebagai bentuk kebudayaan dan kearifan lokal
di masyarakat.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Seodjipto. 2013. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli.Yogyakarta: Laksana.
Achmad, Sri Wintala. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri SultanHB IX & Jokowi. Yogyakarta: Arasta.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lèvi-Strauss Mitos dan KaryaSastra. Yogyakarta: Galang Press.
Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Jakarta: Penerbit Ombak.
Artha, Arwan Tuti. 2009. Langkah Raja Jawa Menuju Istana Laku SpiritualSultan. Yogyakarta: Galang Press.
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Bantul: Kreasi Wacana.
Roland, Barthes. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Budiardjo, Miriam. 1991. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
Dananjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Rusa Utama Grafiti.
Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum.
Endraswara, Suwardi. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Faruk, H.T. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik SampaiPost-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hajarwati, Dwi Isma. 2013. “Mitos dalam Novel Sang Nyai Karya BudiSardjono.” Skripsi. Jombang: STKIP PGRI.
Harahap, Muharrina. 2009. “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”.Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Harjito. 2002. “Student Hijo Karya Marco Kartodikromo Analisis HegemoniGramscian”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Herusatoto, Budiono. 1985. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.Hanindita.
_________________. 2012. Mitologi Jawa. Yogyakarta: Oncor Semesta Ilmu.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Flores: Penerbit Nusa Indah.
112
Larasati, Dewi Ayu. 2011. “Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para PriyayiKarya Umar Kayam”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Noor, Redyanto. 2009. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Nurhadi. 2004. “Analisis Hegemoni pada Iblis Tidak Pernah Mati Karya SenoGumira Ajidarma”. Jurnal Litera. Yogyakarta: FBS UNY.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Pers.
Permatasari, Intan Dewi. 2013. “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Sang NyaiKarya Budi Sardjono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran SastraIndonesia di SMA”. Skripsi. Tegal: Universtias Pancasakti.
Pusposari, Dewi. 2011. Mitos dalam Kajian Sastra Lisan. Malang: PustakaKaiswaran.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra and Cultural Studies Teori Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saini K.M. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.
Sardjono, Budi. 2011. Sang Nyai. Yogyakarta: Divapress.
Sary, Irma Anita. 2013. “Hegemoni Gramsci dalam Novel Sekali Peristiwa diBanten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer.” Artikel MahasiswaSTKIP PGRI Jombang.
Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktural Puisi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumadi. “Gunung Merapi dalam Budaya Jawa”. Jurnal Seni Rupa STSI Surakarta(Online),http://isi.ska.ac.id/index.php/ornamen/article/download/200/175 diaksespada tanggal 30 Juli 2014.
Sumarsih, Sri, dkk. 1989. Upacara Tradisional Labuhan Kraton Yogyakarta.Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teew, A. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Thohir, Mudjahirin. “Sosiologi Pedesaan Masyarakat Jawa Pesisiran” dalamhttp://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2010/07/30/masyarakat-pesisirdiakses pada tanggal 24 September 2012.
113
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. KamusBesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT.
Gramedia.
114
LAMPIRAN 1
SINOPSIS NOVEL SANG NYAI
Novel Sang Nyai mengisahkan tentang seorang wartawan bernama Samhudi yang
ditugaskan untuk membuat feature tentang Nyai Roro Kidul. Sam harus
melakukan penelitian tersebut dengan memulainya di Parangkusumo, tempat
untuk ziarah pada Nyai Roro Kidul. Ia sempat menolak tugas tersebut, karena
bertentangan dengan ideologi modern yang ia anut. Ia menentang keberadaan
sosok gaib Nyai Roro Kidul karena ia tidak mempercayai hal-hal gaib di era
modern ini.
Ketika berada di Parangksumo, ia bertemu dengan Kesi sosok misterius
yang membuatnya tertarik. Dari Kesi inilah Sam memulai petualangan misterinya
untuk berburu informasi tentang Nyai Roro Kidul. Ia dibawa oleh Kesi untuk
bertemu dengan Kang Petruk, teman Kesi yang tinggal di Merapi dengan dalih
bahwa Kang Petruk sangat mengetahui kisah tentang Nyai Roro Kidul. Ketika
dijemput Kang Jiman menggunakan andong untuk ke tempat Kang Petruk, selama
di perjalanan Sam merasa bahwa Jogja kembali ke beberapa abad silam. Bahkan
Sam juga merasa bahwa kuda yang ia naiki berkepala manusia. Ketika sampai di
tempat Kang Petruk pun suasana mistis semakin terasa, Sam bertemu Kesi dan
Kang Petruk yang terlihat sangat akrab. Dari sinilah Sam mulai mengalami hal
gaib yang selama ini mustahil bagi pemikirannya.
Sam menceritakan pengalamannya selama di rumah Kang Petruk kepada
Sugeng temannya. Sugeng kemudian membawa Sam ke tempat Bu Mul alias Nyai
115
Mundingsari yang diketahui sangat menyukai hal-hal berkaitan dengan Nyai Roro
Kidul. Setelah menceritakan semua kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa
Kang Petruk yang ditemui oleh Sam adalah Mbah Petruk atau Kiai Sapu Jagat,
penguasa kawah Merapi yang selama ini menjadi mitos di masyarakat.
Sam akhirnya memutuskan untuk melakukan meditasi di tempat Nyai
Mundingsari di bawah tujuh lukisan Nyai Roro Kidul yang asalnya dari tujuh
tempat berbeda. Sam merasa terlempar ke tempat lukisan-lukisan tersebut berada
yakni di Sanur Beach Hotel Bali, Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen,
Parangkusumo, Samudera Beach Hotel, Banglampir Gunung Kidul, dan Pantai
Karangbolong. Selama berada di tempat itu, tanpa sengaja Sam bertemu dengan
Kesi. Hal itu membuat Sam semakin mencurigai sosok gadis misterius yang
menarik hatinya tersebut.
Keadaan semakin gawat ketika dikabarkan Gunung Merapi akan meletus.
Kang Petruk menelepon Sam agar memperingatkan warga untuk menjauhi
Gunung Merapi sementara waktu. Peringatan ini dianggap sebagai wisik. Sam
akhirnya menyamar sebagai tokoh imajiner yaitu Syekh Tunggul Wulung seorang
ulama dari Demak yang melalui Sugeng temannya menyebarkan peringatan dari
Kang Petruk tersebut, agar masyarakat percaya. Terlebih ketika ada kejadian aneh
yang dilihat oleh warga sekitar yaitu perahu kosong yang berlayar di Kali Code,
dan naga yang muncul di Kali Opak. Hal gaib tersebut merupakan wujud wisik
yang didapat oleh masyarakat sebagai pertanda bahwa akan datang bencana besar.
Sang Sultan yang akrab dipanggil Ngarsa Dalem pun memerintahkan
penduduk Merapi untuk membuat sayur tolak bala guna menghindarkan dari
116
bencana letusan Merapi. Sementara itu, di Pantai Selatan utusan kerajaan yang
mendapat perintah langsung dari Ngarsa Dalem pun menyuruh warganya untuk
membuat acara selamatan, kenduri, dengan diakhiri dengan prosesi labuhan. Hal
ini ditujukan untuk meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul agar membujuk
Kiai Sapu Jagat yang mempunyai hubungan dekat dengannya agar tidak
memuntahkan lahar Merapi kepada penduduk kota Yogyakarta.
Ketika keadaan semakin gawat, setelah Sam mengunjungi Panggung
Sanggabuwono di Keraton Surakarta untuk meliput tentang tempat yang
berhubungan dengan Nyai Roro Kidul, Sam lalu menemui seorang pengrajin batik
tulis yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Hal ini untuk menambah
informasi tentang feature yang akan ia tulis. Pengrajin batik tulis yang bernama
Nyai Maryatun tersebut disewa oleh seorang perempuan cantik untuk membuat
tujuh kain batik motif sidomukti, dan tujuh belas kain batik motif parang rusak
dengan bayaran koin emas yang bergambar seorang perempuan. Setelah Sam
selidiki koin tersebut ternyata bergambar rupa Kesi.
Sam kembali ke Parangkusumo untuk mengikuti prosesi labuhan ketika
kondisi Merapi ditetapkan dalam kondisi yang darurat. Ombak ganas dengan
badai yang mencekam di Pantai Selatan membaut upacara labuhan memakan
korban jiwa, termasuk membuat seorang tukang ojek yang Sam kenal yaitu Kang
Trisno meninggal. Sam terpukul akan kejadian ini. Namun, saat itulah Kesi datang
dan menenangkan Sam. Ia mengatakan bahwa para korban akibat labuhan bukan
merupakan kehendak Nyai Roro Kidul, itu hanya diakibatkan bencana alam,
mereka masih menerjang badai walaupun sudah diperingatkan.
117
Keadaan semakin gawat ketika Merapi akhirnya meletus. Sam mengetahui
bahwa Sugeng, sahabatnya meninggal akibat menyelamatkan penduduk dari
serangan awan wedhus gembel yang menyerang penduduk lereng Merapi.
Kejadian ini membuat Sam terpukul. Ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia
bahkan menolak memperpanjang masa tugasnya sekedar meliput bencana yang
terjadi. Ketika sampai di Jakarta Sam dikejutkan oleh sebuah bingkisan di dalam
tasnya yang berisi segala benda yang disukai Nyai Roro Kidul beserta tujuh koin
emas bergambar wajah Kesi. Sam terkejut mengetahui fakta bahwa Kesi memang
penjelmaan dari sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya.
118
LAMPIRAN 2
BIOGRAFI PENGARANG
M. Budi Sardjono lahir di Yogyakarta, 6 September 1953. Ia adalah seorang
penulis autodidak. Memulai menulis karya-karya fiksi dari cerpen, novelete,
novel, naskah sandiwara, dan sebagainya. Beberapa kali ia telah memenangkan
sayembara mengarang, baik cerpen, novelete, dan lain-lain. Pernah memenangkan
sayembara mengarang naskah sandiwara remaja oleh Dewan Kesenian Jakarta.
Beberapa buku kumpulan cerpennya sudah terbit antara lain: Topeng
Malaikatdan Dua Kado Bunuh Diri. Cerpen-cerpennya juga masuk dalam
beberapa antologi kumpulan cerpen. Beberapa novelnya juga sudah terbit menjadi
buku, antara lain: Ojo Dumeh (2005), Kabut dan Mimpi (2008), Sang Nyai (2011),
Kembang Turi (2011), Api Merapi (2012), Roro Jonggrang (2013), serta Nyai
Gowok (2014). Ia juga menulis buku cerita untuk anak-anak. Akhir-akhir ini
banyak menulis buku-buku motivasi antara lain Hidup Rasa Jeruk, Doa Rasa
Cappucino, 7 Mukjizat Sehari Semalam, Meditasi Syukur 20 Menit, Meditasi
Cinta 20 Menit, 7 Meditasi Penyegar Hidup, Aneka Homili Prodiakon, 25 Ayat
Dahsyat, dan sebagainya.
Lampiran 4
Sumber : http://www.jogjawae.com/2011/09/keraton
Sumber: http://
Keraton Yogyakarta
http://www.jogjawae.com/2011/09/keraton-yogyakarta
Sumber: http://coretanpetualang.wordpress.com/keraton
120
yogyakarta
/keraton-jogja/
123
Lampiran 7
Laut Selatan
Sumber:
http://images.detik.com/customthumb/2012/10/18/1025/img_20121018221232_5
0801c6097506
124
Lampiran 8
Upacara Labuhan Kesultanan Yogyakarta
Upacara labuhan merupakan salah satu upacara adat yang sejak jaman kerajaan
Mataram Islam pada abad ke XIII hingga sekarang masih diselenggarakan secara
teratur dan masih berpengaruh dalam kehidupan sosial penduduk di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat meyakini bahwa dengan upacara
labuhan secara tradisional akan terbina keselamatan, ketentraman dan
kesejahteraan masyarakat dan negara. Meskipun yang menyelenggarakan upacara
labuhan adalah keraton, namun dalam pelaksanaannya di lapangan, rakyat juga
turut serta. Masyarakat merasa ikut memiliki upacara adat itu dan menganggap
upacara labuhan adalah suatu kebutuhan tradisional yang perlu dilestarikan.
Salah satu upacara keraton yang dilaksanakan oleh para Sultan sejak Sultan
Hamengkubuwono I adalah upacara adat yang dalam istilah Jawa disebut labuhan.
Upacara ini biasanya dilaksanakan di empat tempat yang letaknya berjauhan.
Masing-masing tempat itu mempunyai latar belakang sejarah tersendiri sehingga
pada. masing-masing tempat tersebut perlu dan layak dilakukan upacara labuhan
Tempat yang pertama ialah Dlepih, disebut juga Dlepih Kahyangan, terletak
di Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.
Tempat yang kedua adalah Parangtritis, di sebelah selatan kota Yogyakarta, di
tepi Lautan Indonesia (Laut Selatan).
Tempat yang ketiga ialah di Puncak Gunung Lawu, di perbatasan Surakarta
dan Madiun, yang membatasi daerah Jawa Tengah dan dae¬rah Jawa Timur.
Tempat yang keempat adalah di Puncak Gunung Merapi, letak¬nya termasuk
wilayah Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Upacara labuhan tersebut merupakan pemberian atau persembahan (pisungsung-Jw) yang dilakukan di tempat-tempat tertentu, sesuai dengan kepercayaan bahwadi tempat tersebut pernah terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan paraleluhur raja
Berikut foto-foto upacara labuhan di Parangtritis:
125
Sumber :http://bantulbiz.com/id/berita_baca/idb-42.htmlhttp://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1129/upacara-labuhan-kesultanan-yogyakarta diakses pada 14 Agustus 2014
126
Lampiran 9
Eksistensi Nyai Roro Kidul
Pawai Kereta Kencana di Purwakarta (30 Agustus 2014)
Jika dilihat dengan mata telanjang tidak ada cahaya hijaunya, namun di flash
kamera seperti ada sosok dengan memakai kain warna hijau di dalamnya.
Diyakini sosok tersebut adalah Nyai Roro Kidul.
Sumber: Photo by Muhammad Ikhsan Anggara
127
Lampiran 10
DAFTAR ISTILAH
Adikodrati : alam gaib, di luar kodrat.
Folklor : meliputi legenda, musik, sejarah, lisan, pepatah,
lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang
menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau
kelompok.
Formatif : berdasarkan sifat awal atau dari bentuk awal yang
terikat.
Hegemoni ideologi : peta makna yang kendati mengklaim dirinya sebagai
kebenaran universal, namun secara historis merupakan
pemahaman yang khas, yang mengaburkan dan
mempertahankan kekuasaan kelompok sosial.
Hegemoni kultural : hegemoni yang memiliki ciri-ciri yaitu kekuasaan
dengan kombinasi kekuatan dan persetujuan, yang
secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya
kekuataan secara berlebihan memaksakan persetujuan.
Integral kebudayaan : merupakan bagian yang saling berhubungan dengan
kebudayaan
Kejawen : aliran kebatinan masyarakat Jawa.
Kosmos : jagad raya; alam semesta.
128
Layang kekancingan : merupakan surat silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas
Darah Dalem (Kantor Urusan Keturunan Raja) atas
nama sang Sultan.
Manusia kolektif : manusia yang saling berhubungan dengan manusia
lainnya, tidak bisa hidup sendiri.
Marxis Ortodoks : materialisme dialektik
Multisiplitas : keberagaman; diversitas; pluralitas
Otonom : kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan
menentukan arah tindakannya sendiri
Propaganda politik : merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan
secara terencana dan sistematik, untuk menggunakan
sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan
mempengaruhi seseorang atau kelompok orang ,
khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa) agar
melaksanakan atau menganut suatu ide (ideologi,
gagasan sampai sikap), atau kegiatan tertentu dengan
kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa atau
terpaksa.
Represi : tekanan
Ritual : berkenaan dengan ritus; suatu proses tertentu
Sinkretis : aliran islam kejawen
Sinewaka : istilah dalam bahasa Jawa yang mempunyai arti raja
yang duduk pada sebuah acara. Istilah tersebut hanya
129
diperuntukan bagi para raja karena duduknya seorang
raja harus dihormati dengan cara menyembah dan
meninggikan raja.
130
LAMPIRAN 11
BIODATA PENULIS
Nama : Herning Puspitarini
Tempat/tanggal lahir : Purworejo, 21 Februari 1993
Alamat : Wonosri, RT 02/01, Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah 54172
Pendidikan Formal
JENJANG NAMA SEKOLAH NAMA KOTATH
MASUKTH
LULUSTK TK Rahayu Purworejo 1997 1998
SD SD Negeri Wonosri Purworejo 1998 2004
SMP SMP Negeri 11 Purworejo Purworejo 2004 2007
SMA SMA Negeri 7 Purworejo Purworejo 2007 2010
Semarang, 24 September 2014