hegemoni mitos nyai roro kidul terhadap … · sastra sebagai salah satu bentuk karya seni yang...

142
HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI KARYA BUDI SARDJONO Skripsi Diajukan untuk Menempuh Syarat Ujian Sarjana Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia Oleh : Herning Puspitarini 13010110120021 JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO 2014

Upload: trankhanh

Post on 02-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP KEKUASAANJAWA DALAM NOVEL SANG NYAI KARYA BUDI SARDJONO

SkripsiDiajukan untuk Menempuh Syarat Ujian Sarjana

Program Strata 1 dalam Ilmu Sastra Indonesia

Oleh :Herning Puspitarini

13010110120021

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYAUNIVERSITAS DIPONEGORO

2014

HALAMAN PERNYATAAN

Penulis menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini disusun tanpa mengambil

bahan hasil penelitian, baik untuk suatu gelar diploma atau sarjana yang sudah ada di suatu

Universitas maupun hasil penelitian lain. Sejauh yang penulis ketahui, skripsi ini juga tidak

mengambil bahan dari publikasi atau tulisan orang lain, kecuali yang telah dirujuk dalam

daftar pustaka. Saya bersedia menerima sanksi jika terbukti melakukan penjiplakan.

Herning Puspitarini

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Kebanggaan dalam hidup adalah bila kita melakukan apa yang menurut orang lain tidak

mungkin kita lakukan.

(Waiter Bouyen Not)

Hidup sepatutnya diperkaya dengan persahabatan. Mencintai dan dicintai adalah

kebahagiaan tak terperikan.

(Sidney Smith)

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Keluarga besarku Bapak dan Ibu, Eyang

Putri, Pak Lik, dan Adikku yang selalu memotivasi,

membimbing, dan memberiku kasih sayang.

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui oleh dosen pembimbing untuk diajukan kepada Tim Penguji

Skripsi pada:

Hari : Sabtu

Tanggal : 30 Agustus 2014

Disetuji oleh:Dosen Pembimbing I,

Drs. M. Muzakka, M.Hum.NIP 196508181994031002

Dosen Pembimbing II,

Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.NIP 197605022008121002

HALAMAN PENGESAHAN

Diterima dan disahkan olehPanitia Ujian Skripsi Program Strata-1Jurusan Sastra IndonesiaFakultas Ilmu Budaya Universitas DiponegoroPada tanggal: 20 September 2014

KetuaDr. Redyanto Noor, M.Hum.NIP 195903071986031002

........................................

Anggota IDrs. M. Hermintoyo, M.Pd.NIP 196103141988031001

........................................

Anggota IIDrs. M. Muzakka, M.Hum.NIP 196508181994031002

.........................................

Anggota IIISukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.NIP 197605022008121002 ........................................

Ketua Jurusan Sastra Indonesia

Drs. Suharyo, M.Hum.NIP 196107101989031

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat, hidayah, serta inayah-Nya atas selesainya skripsi dengan judul “Hegemoni Mitos

Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi

Sardjono”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi tersebut banyak pihak yang telah

membantu, baik secara langsung maupun bentuk dukungan lain. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terima kasih kepada.

1. Dr. Agus Maladi Irianto, M.A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya dan selaku dosen

wali yang selalu memberikan arahan selama menempuh perkuliahan;

2. Drs. Suharyo, M.Hum., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro atas

kemudahan dan dukungan yang diberikan sejak penulis mengajukan proposal;

3. Drs. M. Muzakka, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang dengan sabar selalu

membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan

penulisan skripsi;

4. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis;

5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro atas ilmu pengetahuan yang

telah diberikan sepanjang masa perkuliahan dan seluruh staf Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Diponegoro, yang telah membantu kelancaran dan kelengkapan administrasi

selama kuliah.

6. H. Tohir Sugiyanto, S.Pd., dan Dra. Hj. Sri Wahyuningtyas, M.Hum. orangtua penulis,

Eyang Putri Sutjiati, Om Wahyu Widodo, S.T, adik saya Wahyu Aprillia, S.Ked.,

terimakasih telah memberikan doa, kasih sayang, motivasi, dan dukungan selama

penulis menimba ilmu.

7. Sahabat-sahabatku David, Purna, Esti, Ina, Isnan, Febi, Eka, Arum, Danu, Windi,

Erinda, Ade, Valen, Hanif, Okvi, Cicha, terimakasih atas keakraban yang sudah terjalin

selama ini, tidak lupa sahabat-sahabatku Korean Pop Iki, Shinta, Junee, Unn Nana,

Kemmi, Pappiyong Family (Aegy, Unn Indry, Bunda Cha, Ocha, Juni, dan Velly),

Ikhsan, Dwi, Wiwit, dan Wisnu yang selalu memberikan perhatian dan dukungan, serta

Super Junior members sebagai inspirasi penulis.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa

disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi perkembangan keilmuan khususnya ilmu sastra.

Semarang, 30 Agustus 2014

ABSTRAK

Puspitarini, Herning. NIM 13010110120021. 2014. Hegemoni Mitos Nyai Roro KidulTerhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai. Skripsi (S-1). Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Diponegoro Semarang.

Novel Sang Nyai merupakan novel yang bertema kebudayaan. Di dalam novel tersebut,terdapat hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa. Hegemoni menunjuk padadominasi kekuasaan yang secara sadar diikuti oleh masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini menjelaskan bentuk-bentukhegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadaphegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya BudiSardjono.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang dikaji dengan teori hegemoniGramsci. Untuk itu penelitian bersifat deskriptif kualitatif yang melalui tahapanpengumpulan data, seleksi data, analisis data, dan menarik simpulan. Seleksi datadilakukan dengan mengidentifikasi setiap unsur dalam novel Sang Nyai. Analisis datadengan menganalisis relevansi tokoh dan penokohan dengan unsur cerita yang lain.Kemudian, analisis tersebut menjadi pijakan untuk menganalisis hegemoni mitos NyaiRoro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai RoroKidul dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai RoroKidul dalam novel Sang Nyai meliputi Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukungeksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Akibatdari hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dengan ideologi tradisional tersebut, maka terjadiperlawanan dari tokoh dengan ideologi modern yang rasional terhadap hegemoni yang ada.Namun, perlawanan tersebut kalah dengan ideologi tradisional masyarakat Jawa yangterdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

Kata kunci: hegemoni, kekuasaan, ideologi, perlawanan

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................................... iiMOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................... iiiHALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................................... ivHALAMAN PENGESAHAN....................................................................................... vKATA PENGANTAR................................................................................................... viABSTRAK ..................................................................................................................... viiiDAFTAR ISI.................................................................................................................. ixDAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. xiBAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................. 1B. Rumusan Masalah......................................................................................... 7C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 8D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8E. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 8F. Landasan Teori.............................................................................................. 9G. Metode Penelitian ......................................................................................... 13H. Sistematika Penulisan ................................................................................... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIA. Tinjauan Pustaka........................................................................................... 16B. Kerangka Teori ............................................................................................. 18

1. Novel dan Struktur Novel ....................................................................... 18a. Alur atau Plot...................................................................................... 20b. Tema ................................................................................................... 20c. Latar atau Setting ................................................................................ 21d. Amanat .............................................................................................. 22e. Tokoh dan Penokohan ........................................................................ 22

2. Teori Hegemoni....................................................................................... 24a. Hegemoni Gramsci ............................................................................. 25b. Kekuasaan Jawa.................................................................................. 29c. Mitos Nyai Roro Kidul ....................................................................... 30

BAB III ANALISIS RELEVANSI ANTARUNSUR STRUKTUR CERITA DALAMNOVEL SANG NYAI

A. Analisis Relevansi Antarunsur Struktur Cerita ............................................. 34B. Analisis Tokoh dan Penokohan..................................................................... 43

1. Tokoh Sam .............................................................................................. 432. Tokoh Kesi/Nyai Roro Kidul .................................................................. 49

BAB IV ANALISIS HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAPKEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI

A. Bentuk-bentuk Hegemoni Nyai Roro Kidul .......................................... 521. Sang Nyai Sebagai Ratu.................................................................... 532. Sang Nyai Mendukung Eksistensi Raja ............................................ 663. Sang Nyai Sebagai Penguasa Kosmis ............................................... 73

a. Keraton ........................................................................................ 74b. Gunung Merapi............................................................................ 76c. Laut Selatan ................................................................................. 79

4. Sang Nyai dalam Tradisi ................................................................... 81a. Tradisi Labuhan........................................................................... 81

(a) Sesajen ................................................................................... 82(b) Selamatan ............................................................................. 84(c) Kenduri ................................................................................. 85(d) Upacara Labuhan ................................................................... 87

b. Tradisi Ziarah .............................................................................. 90B. Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul ...................... 93C. Hasil dari Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul ..... 101

BAB V SIMPULAN ...................................................................................................... 108DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 111

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Sinopsis.................................................................................................... 114Lampiran 2 : Biografi Pengarang.................................................................................. 118Lampiran 3 : Peta Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta............................................ 119Lampiran 4 : Keraton Yogyakarta................................................................................. 120Lampiran 5 : Keraton Surakarta .................................................................................... 121Lampiran 6 : Gunung Merapi........................................................................................ 122Lampiran 7 : Laut Selatan ............................................................................................. 123Lampiran 8 : Tradisi Labuhan Kesultanan Yogyakarta ................................................ 124Lampiran 9 : Eksistensi Nyai Roro Kidul ..................................................................... 126Lampiran 10 : Daftar Istilah............................................................................................ 127Lampiran 11 : Riwayat Penulis....................................................................................... 130

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia hidup dalam suatu peradaban yang menghasilkan kebudayaan

masyarakat tertentu. Kebudayaan tersebut mempengaruhi manusia, sehingga

membentuk pola pikir, tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, kebiasaan, tradisi,

nilai, bahkan mitos di dalam masyarakat. Namun, saat ini banyak berkembang

paham-paham baru di dunia, dan hal itu berpengaruh terhadap budaya masyarakat.

Hal ini menimbulkan pertentangan ideologi antara masyarakat tradisional dengan

masyarakat modern. Dengan demikian, hal tersebut tentu berpengaruh terhadap

perkembangan karya sastra.

Menurut Ratna (2004:356-357) sastra merupakan bagian integral

kebudayaan yang menceritakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif

kreatif, sekaligus masuk akal. Faruk (2012:141) menambahkan bahwa karya

sastra sebagai salah satu bentuk karya seni yang merupakan integral

kebudayaan juga merupakan suatu situs hegemoni. Pengarang termasuk

dalam kategori kaum intelektual organis yang merupakan salah satu pelaku

hegemoni. Dengan demikian, segala aktivitas kultural, termasuk sastra dalam

konteks ini, akan bermuara pada satu sasaran tunggal yaitu penciptaan satu iklim

kultural tunggal melalui proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini

menuntut pemersatuan sosial kultural yang heterogen melalui multiplisitas

kehendak dan tujuan. Hal tersebut tersebar kemudian menjadi satu. Kegiatan

2

serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin dilakukan oleh

“manusia kolektif”.

Karya sastra yang berhubungan dengan manusia kolektif merupakan

sesuatu yang dapat dikaji dengan sosiologi sastra. Namun terdapat teori khusus

yang tidak hanya mengakui eksistensi sastra sebagai lembaga sosial yang relatif

otonom, melainkan mempunyai kemungkinan relatif formatif terhadap

masyarakat. Teori tersebut merupakan penjabaran teori kultural/ideologis general

Gramschi yang diterapkan dalam karya sastra, yaitu teori hegemoni (Faruk,

2012:130). Hegemoni sendiri berdasarkan pemikiran Gramsci dapat dijelaskan

sebagai suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun

kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin

terhadap kelompok masyarakat lainnya, sehingga kelompok yang didominasi

tersebut secara sadar mengikutinya (Anwar, 2010: 83).

Sekuat apapun hegemoni pada pihak yang dominan, hal itu juga akan

melahirkan orang yang memiliki ide atau gagasan yang berlawanan dari pihak

tersebut. Bila gagasan serupa itu muncul ke permukaan, biasanya ia akan

mengalami represi. Novel Sang Nyai mengambil setting masa kini saat paham

modern telah menyebar luas, sehingga terdapat pihak yang menentang atau

menolak terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang masih berpegang pada

paham tradisional. Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul

merupakan bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Jawa.

Novel Sang Nyai karya Budi Sardjono merupakan karya sastra (novel)

yang menceritakan kehidupan seorang jurnalis bernama Sam. Ia mendapatkan

3

tugas untuk membuat feature tentang sosok kontroversial penguasa gaib Laut

Selatan yaitu Nyai Roro Kidul. Namun, setelah berada sangat dekat dengan

keberadaan Nyai Roro Kidul di Puri Parangkusumo, tepi pantai Laut Selatan, ia

justru bertemu dengan sesosok gadis misterius bernama Kesi yang membawanya

masuk ke dalam dunia yang sulit masuk ke nalar manusia.

Sam sebagai tokoh utama sempat melakukan perlawanan terhadap

hegemoni mitos Nyai Roro Kidul walaupun terbatas dalam batin tokoh. Namun,

saat Sam yang tidak percaya akan hal gaib dan cenderung melakukan perlawanan,

justru ia sendiri yang mengalami hal-hal mistik setelah bertemu dengan Kesi. Hal

ini karena secara tidak langsung Kesi selalu ada di tempat keberadaan mitos Nyai

Roro Kidul. Bahkan, Kesi juga mengajak Sam ke suatu tempat yang terasa asing

sembari mengenalkannya dengan Kang Petruk, yang belakangan Sam ketahui

sebagai legenda penjaga kawah Merapi.

Budi Sardjono sebagai penulis Novel Sang Nyai lahir di Yogyakarta, pada

6 September 1953 merupakan penduduk setempat kota Yogyakarta. Ia telah

menerbitkan beberapa novelnya antara lain: Ojo Dumeh (2005), Kabut dan Mimpi

(2008), Sang Nyai (2011), Kembang Turi (2011), Api Merapi (2012), Roro

Jonggrang (2013), serta Nyai Gowok (2014). Berdasarkan judul novel tersebut,

maka Budi Sardjono merupakan penulis produktif yang telah mempublikasikan

karya-karyanya.

Pada Maret 2011 ia menerbitkan novel Sang Nyai yang menjadi objek

material dalam kajian analisis penelitian ini. Novel Sang Nyai berhasil meraih

penghargaan dari Balai Bahasa Yogyakarta. Novel tersebut ditulis berdasarkan

4

mitos dan realitas sosial masyarakat Jawa, khususnya daerah Yogyakarta-

Surakarta. Ia menceritakan kejadian tiap segmen secara terstruktur dengan alur

cerita yang menarik, sehingga melalui novel tersebut pembaca dapat memahami

bahwa mitos dan adat masih kuat dijalankan masyarakat Jawa.

Salah satu daerah dengan simbolisme masyarakat Jawa dan tradisinya

yang menjadi acuan dan sangat dikenal masyarakat luas yaitu Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY). DIY merupakan sebuah provinsi daerah istimewa di pesisir

selatan pulau Jawa yang berdampingan dengan provinsi Jawa Tengah. Mitos dan

kepercayaan tentang Nyai Roro Kidul berkembang sangat kuat di masyarakat

daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Terbukti dengan masih adanya Kesultanan

Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang masih mengakui eksistensi Nyai Roro

Kidul, membuat masyarakat patuh dan mengikuti tradisi yang ada. Sebagai contoh

yaitu kenduri, selamatan, sesajen, ziarah, dan labuhan di Pantai Selatan

merupakan tradisi yang masih dilakukan masyarakat Jawa pada waktu-waktu

tertentu. Tradisi tersebut merupakan bentuk hegemoni dalam masyarakat Jawa

karena secara sadar masyarakat mengikuti aktivitas tersebut sebagai bentuk

penghormatan kepada penguasa, serta untuk memperoleh berkah dari alam.

Dengan demikian, kebudayaan Jawa mempunyai pandangan hidup yang

berbeda dengan masyarakat masa kini, karena kebudayaan Jawa masih

mempertahankan kejawennya dengan mempercayai mitos dan tunduk kepada raja.

Hal ini merupakan hegemoni yang masih terdapat dalam lingkungan sosial Jawa

terutama Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Untuk itulah

mengapa Yogyakarta merupakan provinsi yang menyandang gelar Daerah

5

Istimewa. Setiap hal yang berhubungan dengan Keraton masih sangat dihormati

dalam lingkungan tersebut, bahkan hal itu berlangsung hingga sekarang, ketika

Indonesia telah menjadi negara yang merdeka.

Pengarang menjelaskan hubungan yang kuat antara Laut Selatan, Keraton,

dan Gunung Merapi dalam novel Sang Nyai. Ketiga tempat tersebut berada dalam

satu garis lurus yang memanjang dari selatan ke utara. Sosok Nyai Roro Kidul

sebagai mitos dalam tradisi masyarakat Jawa yang mempunyai hubungan dengan

Keraton dan penunggu kawah Merapi merupakan bentuk relasi yang menarik.

Kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel tersebut menunjukkan betapa kuatnya

kepercayaan masyarakat Jawa akan mitos yang ada, sehingga membentuk suatu

hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang secara terbuka

dijalankan oleh masyarakat secara turun-temurun. Hal disebabkan mitos dalam

masyakarat Jawa mampu menjadi pranata sosial yang ampuh dalam membingkai

kehidupan kultural masyarakatnya. Namun, apabila terjadi perpecahan, maka akan

membuahkan pranata baru.

Kekuasaan Jawa tradisional tersebut hingga era modern ini masih tetap

bertahan. Hal ini membuat perlawanan muncul terhadap bentuk kekuasaan Jawa

tradisional itu. Perlawanan berasal dari pemikiran-pemikiran modern yang

bertentangan dengan hal-hal gaib, apalagi berkaitan dengan sosok Nyai Roro

Kidul. Menurut Saini K.M. (1986:14-15) pengarang karya sastra mempunyai

peran sebagai pendukung hegemoni, yakni menggunakan sastra untuk mendukung

adanya hegemoni dengan mengkaji nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra

sesuai realitas sosial masyarakat; pengarang menentang hegemoni, yaitu dengan

6

melakukan perlawanan atau memberikan gambaran yang bertentangan dengan

hegemoni yang ada; dan pengarang mempunyai peran sebagai pendukung

hegemoni tetapi dengan tujuan untuk melakukan kritik terhadap hegemoni.

Berdasarkan hal tersebut, novel Sang Nyai menempatkan pengarangnya sebagai

pendukung hegemoni. Namun, pengarang juga menyampaikan kritik melalui

peran tokoh yang menganut ideologi modern. Tokoh tersebut mengalami

pertentangan dengan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang dipercaya oleh

masyarakat Jawa dengan ideologi tradisional. Bentuk perlawanan antara ideologi

tradisional dan ideologi modern tersebutlah yang akan dikaji dalam penelitian ini.

Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat

dalam novel Sang Nyai juga merupakan pengetahuan yang diperlukan untuk

memperkenalkan bentuk kekuasaan dan budaya Jawa kepada masyarakat luas.

Tidak banyak novel yang bercerita tentang tradisi atau mitos Jawa secara

terstruktur seperti dalam novel Sang Nyai. Hal tersebut sebagai gambaran wujud

kekuasaan Jawa yang bersifat tradisional, sehingga gagasan di atas yang

melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Hegemoni

Mitos Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya

Budi Sardjono”. Diharapkan dalam penelitian ini dapat menghasilkan sebuah

temuan baru dengan analisis dari perspektif hegemoni mitos Nyai Roro Kidul

terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai. Dari analisis ini

akan ditemukan perlawanan ideologi tradisional terhadap ideologi modern

berkaitan dengan mitos Nyai Roro Kidul yang masih berkembang di masyarakat

Jawa pada masa kini.

7

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan acuan dari masalah yang diteliti agar penelitian

menjadi lebih fokus dan tidak menyimpang dari tujuan dan manfaat yang hendak

dicapai. Meskipun telah terjadi perubahan zaman, tetapi unsur budaya, mitos, dan

tradisiJawa sangat mendominasi kisah dalam novel ini. Perlawanan ideologi

tradisional dan modern membuat sebuah hegemoni dalam karya tersebut, yaitu

hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa.

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas dapat diidentifikasi

masalah sebagai berikut.

1) Bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa

yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

2) Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai

karya Budi Sardjono.

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1) Menjelaskan bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap

kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

2) Menjelaskan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam

novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

8

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat praktis dan teoritis. Manfaat praktis yang

diharapkan yaitu membantu pembaca untuk lebih mengetahui bentuk hegemoni

mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat di dalam novel

Sang Nyai karya Budi Sardjono.

Selanjutnya, kontribusi teoritis yang akan didapatkan setelah melakukan

penelitian ini yaitu membantu mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya

ilmu sastra dalam hal mengkaji sebuah karya sastra (novel). Hasil studi ini dapat

dimanfaatkan untuk dasar pengembangan penelitian berikutnya yaitu, kajian

sastra dengan teori hegemoni, untuk mengkaji bentuk-bentuk hegemoni Nyai

Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan terhadap hegemoni Nyai

Roro Kidul.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan objek material berupa novel Sang Nyai karya Budi

Sardjono dan objek formal yakni hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Kajian

sosiologi sastra khusus yaitu kajian hegemoni digunakan untuk mengkaji bentuk-

bentuk hegemoni Nyai Roro Kidul dan perlawanan terhadap hegemoni Nyai Roro

Kidul dalam novel Sang Nyai. Kekuasaan Jawa terfokus pada kekuasaan sang

Ratu Pantai Selatan, yaitu Nyai Roro Kidul dan Raja (penguasa Kesultanan

Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta). Dengan pemikiran bahwa, kekuasaan

Keraton masih ada karena dukungan dari kekuasaan gaib Nyai Roro Kidul,

sehingga membentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Namun, terdapat

9

pertentangan antara ideologi tradisional pada kekuasaan Jawa tersebut dengan

ideologi modern yang ada melalui beberapa tokohnya, yaitu Sam, Ki Aji

Sembada, dan Raden Mas Damar Kusumo.

Penelitian dimulai dengan analisis struktural teks yaitu menganalisis

relevansi antara tokoh dan penokohan dengan unsur tema, alur, setting, dan

amanat. Kemudian, dengan menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul

terhadap kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel yakni Sang Nyai sebagai

ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis,

dan Sang Nyai dalam tradisi. Dilanjutkan dengan menganalisis perlawanan yang

dilakukan tokoh terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang

Nyai karya Budi Sardjono.

F. Landasan Teori

Untuk menganalisis permasalahan yang telah diuraikan di atas, diperlukan adanya

landasan teori yang tepat. Teori merupakan alat terpenting dari suatu ilmu

pengetahuan. Tanpa teori, hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja

(Koentjaraningrat, 1977:19). Penulis menggunakan kajian hegemoni untuk

meneliti kekuasaan Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi

Sardjono. Namun, dalam mengkaji masalah utama tersebut penulis akan

menggunakan pendekatan struktural sebagai pijakan dalam meneliti novel Sang

Nyai karya Budi Sardjono secara lebih cermat. Berikut teori yang relevan dalam

kajian penelitian ini.

10

1. Teori Struktural

Teori struktural adalah teori penelitian sastra yang bertindak pada prinsip

strukturalisme, bahwa karya sastra dipandang sebagai peristiwa seni bahasa yang

terdiri dari norma-norma dan secara keseluruhan membangun sebuah struktur

(Wellek dan Warren, 1989:59). Menurut Hill yang dikutip oleh Pradopo, karya

sastra adalah sebuah struktur yang kompleks, oleh karena itu untuk dapat

memahaminya haruslah karya satra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra

diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan

karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat pendapat Hawkes melalui

Pradopo bahwa karya sastra itu adalah sebuah karya sastra yang utuh. Di samping

itu, sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna

keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling berhubungan

di antaranya dengan keseluruhannya. Unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya

dengan keseluruhannya (Pradopo, 2005:108).

Kemudian Sudjiman (1988:16-7) berpendapat bahwa struktur yang

membangun cerita rekaan biasanya terdiri atas alur dan pengaluran, tema dan

amanat, latar dan pelataran, tokoh dan penokohan serta pusat pengisahan. Teori

struktural terdiri atas dua bagian yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

Adapun yang terkandung di dalam unsur intrinsik antara lain alur, penokohan,

latar serta tema dan amanat. Untuk itulah, analisis struktural ini diperlukan

sebagai pijakan untuk menuju analisis berikutnya.

11

2. Sosiologi Sastra

Hartoko dan B. Rahmanto dalam bukunya yang berjudul Pemandu di Dunia

Sastra memaparkan bahwa sosiologi sastra adalah cabang ilmu sastra yang

mempelajari sastra dalam hubungannya dengan kenyataan sosial. Kenyataan

sosial mencakup pengertian konteks pengarang dan pembaca (produksi dan

resepsi) dan sosiologi karya sastra (aspek-aspek sosial dalam teks sastra).

Pembicaraan tentang konteks sosial pengarang dan pembaca disebut sosiologi

komunikasi sastra dan pembicaraan sosiologi karya sastra disebut penafsiran teks

sastra secara sosiologis (dalam Noor, 2009:87).

Sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Goldman mencoba untuk

menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik.

Baginya, karya sastra harus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Ia

berpendapat bahwa karya utama sastra dan filsafat memiliki kepaduan total, dan

bahwa unsur-unsur yang membentuk teks itu mengandung arti hanya apabila bisa

memberikan suatu lukisan lengkap dan padu tentang makna keseluruhan karya

tersebut (Damono, 2010:55).

Pada saat ini, pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan

orang, adalah menaruh perhatian kepada teks sastranya atau aspek dokumenter

sastra. Menurut Damono (2009: 8-9) landasannya adalah suatu gagasan bahwa

karya sastra merupakan cermin langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan

kekeluargaan, pertentangan sosial, dan sebagainya. Dalam hal ini tugas ahli

sosiologi sastra hanya menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan

situasi ciptaan pengarang, dengan sejarah asal-usul sosiologi. Jadi tema dalam

12

karya sastra, yang bersifat pribadi harus diubah oleh pengarangnya menjadi hal

yang bersifat sosial.

3. Teori Hegemoni

Berdasarkan pemikiran Gramsci dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan

suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun

kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin

terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi

tersebut secara sadar mengikutinya (Anwar, 2010: 83).

Istilah hegemoni umumnya dipakai oleh para komentator politik untuk

menunjuk dominasi kekuasaan dan kepemimpinan. Namun, dalam

perkembangannya istilah hegemoni tidak hanya digunakan oleh banyak orang

untuk merujuk sebuah dominasi kekuasaan atau kepemimpinan seperti misalnya

hegemoni laki-laki terhadap perempuan atau sebaliknya. Menurut Gramsci,

konsep tersebut mengacu kepada pengertian yang kompleks yang di dalamnya

bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis turut membangun kepemimpinan ini

secara tawar-menawar bukan dominasi yang bersifat memaksa(Faruk, 2012: 132-

133).

Sebuah dominasi atau hegemonik tidak hanya mengenai proses kultural

dalam peranannya yang aktif dan konstitutif, tetapi juga berurusan dengan bentuk-

bentuk kultural oposisional dan alternatif yang mungkin menentang tatanan

dominan bahkan ketika bentuk-bentuk itu masih terbungkus atau

termarginalisasikan oleh batas-batas tekanan hegemonik (Faruk, 2012: 156).

13

Studi sastra tentang kebudayaan menurut Raymond Williams yaitu

masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan

satu sama lain. Dengan demikian, di dalamnya tidak ditemukan hubungan

determinasi antara elemen yang satu dengan elemen lain. Yang ada hanyalah

hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk mengatasi

persoalan determinasi tersebut Williams menggunakan konsep hegemoni

Gramscian. Williams, dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci,

membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga

kategori: kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan

endapan atau residual (Faruk, 2012:155-156; Harjito, 2002:28). Teori hegemoni

tersebut yang akan menjadi acuan dari analisis penelitian ini.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan yang

menitikberatkan pada hubungan antara karya sastra dengan realitas kehidupan

masyarakat. Sastra umumnya berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat

secermat-cermatnya agar mampu menggambarkan kehidupan asli dari masyarakat

zamannya. Mitos merupakan bagian dari aspek sosiologi sastra, sedangkan

penelitian ini meneliti sosiologi teks. Sosiologi teks tersebut meneliti mitos yang

berkembang dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif.

Penafsiran penelitian ini dijelaskan secara rinci dengan gambaran atau lukisan

yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, peristiwa-peristiwa

14

maupun hubungan antarfenomena dalam menganalisis novel Sang Nyai karya

Budi Sardjono. Oleh sebab itu, untuk memperoleh sebuah temuan yang empiris

diperlukan data yang teruji.

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Sang Nyai karya

Budi Sardjono. Sumber data lain yang mendukung penelitian ini yaitu skripsi,

tesis, atau penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan teori hegemoni dan novel

Sang Nyai. Sumber data sekunder berasal dari dokumen lainnya yang mendukung

adanya fakta dari objek penelitian seperti buku-buku literatur, buku tentang

kebudayaan Jawa, mitos, internet, atau buku-buku lainnya.

Teknik penelitian meliputi beberapa hal yaitu (1) teknik pengumpulan

data, kegiatan ini merupakan bagian terpenting dalam penelitian. Kualitas sebuah

penelitian tergantung dari proses yang dilakukan pada saat pengumpulan data.

Pada saat mengerjakan aktivitas ini peneliti akan melakukan analisis yang

membutuhkan penguasaan teori atau konsep struktural, agar penelitian menjadi

terstruktur dan sesuai target yang diharapkan, cara operasional pengumpul data itu

dikenal dengandata reduction dan data selection (Siswantoro, 2010:74), (2)

menyeleksi data yaitu dengan mengidentifikasi setiap unsur dalam novel Sang

Nyai, (3) analisis data digunakan untuk menganalisis relevansi tokoh dan

penokohan dengan tema, alur, setting, dan amanat, hegemoni mitos Nyai Roro

Kidul terhadap kekuasaan Jawa, serta perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai

Roro Kidul; dilanjutkan dengan (4) menarik simpulan dari analisis yang telah

dilakukan.

15

H. Sistematika Penyajian

Bab I merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang penulisan, rumusan

masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup penelitian, landasan teori, metode

penelitian, serta sistematika penelitian.

Bab II berupa tinjauan pustaka yang mencakup penelitian sebelumnya dan

kerangka teori yang menjelaskan teori struktural novel dan teori hegemoni.

Bab III berisi analisis relevansi antarunsur struktur cerita dalam novel

Sang Nyai karya Budi Sardjono menggunakan metode struktural.

Bab IV berisi paparan analisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap

kekuasaan Jawa dan perlawanannya dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

Bab V merupakan penutup, yang memuat simpulan hasil analisis yang

diperoleh dari hasil penelitian bab-bab sebelumnya.

16

BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Bab II ini terdiri atas dua subbab, yaitu subbab penelitian sebelumnya dan subbab

kerangka teori.Subbab penelitian sebelumnya memaparkan intisari beberapa

penelitian sejenis yang pernah dilakukan, subbab kerangka teori memaparkan

beberapa teori yang digunakan dalam penelitian novel Sang Nyai karya Budi

Sardjono.Teori yang digunakan di antaranya adalah teori struktural dan teori

hegemoni. Berikut uraiannya.

A. Tinjauan Pustaka

Terdapat beberapa penelitian mengambil objek material novel Sang Nyai karya

Budi Sardjono yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: penelitian yang

dilakukan oleh Dwi Isma Hajarwati (2013) dengan judul “Mitos dalam Novel

Sang Nyai Karya Budi Sardjono” dalam jurnal skripsi mahasiswa STKIP PGRI

Jombang. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui struktur mitos dan

fungsi mitos dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Metode yang

digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, difokuskan pada mitos yang terjadi

pada novel Sang Nyai yang dikaji dengan strukturalisme Lèvi-Strauss.

Pendekatan ini membuat pemahaman akan karya sastra lebih mudah karena

bertujuan untuk memahami mitos yang tertuang dalam realita kehidupan

masyarakat modern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur mitos yang

terdapat dalam novel tersebut hanya ada pada tokoh Kesi dan Kang Petruk.

17

Berikutnya, penelitian yang dilakukan oleh Intan Dewi Permatasari (2013)

yang berjudul “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono

dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA” dalam skripsi

mahasiswa Universtias Pancasakti, Tegal. Penelitian tersebut menganalisis lima

nilai budaya Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono.

Lima nilai budaya Jawa tersebut adalah (1) nilai agama, (2) nilai moral; (3) nilai

budaya; (4) nilai sosial; dan (5) nilai terhadap alam sekitar. Teknik analisis data

dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data

yang digunakan penelitian ini adalah teknik dokumentasi, teknik kepustakaan, dan

teknik baca, simak dan catat. Metode dan teknik analisis data menggunakan

metode analisis deskriptif kualitatif. Hasil akhirnya yakni implikasi nilai budaya

Jawa dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono dapat menambah minat siswa

untuk membaca karya-karya sastra dalam kegiatan pembelajaran sastra di SMA.

Selain itu, juga bermanfaat untuk menambah wawasan siswa tentang nilai budaya

Jawa.

Selain penelitian di atas yang menggunakan objek material sama yaitu

novel Sang Nyai karya Budi Sardjono, ada penelitian lain yang relevan dengan

objek formal kajian analisis penelitian ini, antara lain skripsi yang ditulis oleh

Irma Anita Sary (2013), mahasiswa STKIP PGRI Jombang yang berjudul

“Hegemoni Gramsci dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya

Pramoedya Ananta Toer.” Skripsi ini membahas tentang hegemoni kultural,

hegemoni ideologi, dan instabilitas hegemoni dalam novel Sekali Peristiwa di

Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian lainnya yaitu oleh Dewi

18

Ayu Larasati tahun 2011, mahasiswa Universitas Sumatera Utara, Medan yang

berjudul “Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam”.

Penelitian ini menghasilkan analisis mengenai etika kekuasaan Jawa yang

dilakukan oleh para priyayi. Selanjutnya, penelitian lain yang berkaitan dengan

budaya Jawa yaitu pada penelitian yang digarap oleh Muharrina Harahap (2009)

yang berjudul “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo” tesis mahasiswa

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

B. Kerangka Teori

1. Novel dan Struktur Novel

Sastra merupakan wujud refleksi realitas sosial meskipun dalam penyajiannya

dibumbui oleh unsur imajinatif dari pengarang. Sejalan dengan pendapat Damono

(2010:1) yang menyebutkan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang

menggunakan bahasa sebagai medium, hal ini tentu karena bahasa itu sendiri

merupakan ciptaan sosial. Dengan demikian sastra menampilkan gambaran

kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Wellek dan Warren mengatakan bahwa karya sastra sebuah lembaga

masyarakat yang bermedium bahasa, sedangkan bahasa adalah ciptaan masyarakat

(1989:48). Menanggapi hal tersebut, bahasa merupakan hal terpenting dalam

karya sastra. Bahasa sebagai sarana menuangkan suatu karya imajinatif hasil

karya cipta dunia pengarang yang bersifat imajinatif berbentuk cerpen, novel,

novela, puisi maupun karya sastra yang lainnya. Pengertian lain mengenai karya

sastra dirumuskan secara metodik oleh Jehlen (dalam Anwar, 2010: 143) yang

19

menempatkan karya sastra sebagai objek materi yang berbeda dengan objek-objek

materi lain dalam studi fisik dan sosial. Karya sastra adalah dirinya sendiri yang

telah ditafsirkan oleh pengarangnya.

Novel merupakan cerita rekaan yang panjang, yang mengetengahkan

tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara

terstruktur (Noor, 2009:27). Novel sendiri merupakan gabungan dari realitas dan

kenyataan. Pembaca sebagai penikmat karya sastra tersebut juga harus memahami

novel dan menafsirkan peristiwa yang ada dalam kenyataan sehari-hari.

Struktur karya sastra sendiri dapat diartikan sebagai susunan, penegasan,

dan gambaran yang membentuk kebulatan yang indah. Selanjutnya, menurut

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:36) sebuah karya sastra, fiksi atau puisi

mempunyai unsur pembangun yang koherensif sehingga merupakan sebuah

totalitas. Dengan demikian, unsur pembangun tersebut merupakan hal penting

dalam penyusunan sebuah karya fiksi atau puisi untuk membentuk suatu totalitas

yang koheren, guna membuat sebuah gambaran yang mempunyai nilai estetis.

Struktur karya sastra juga mengacu pada hubungan antarunsur instrinsik

yang bersifat timbal balik, saling menentukan dan mempengaruhi, sehingga

membentuk satu kesatuan yang utuh jika bersama-sama. Lain halnya jika unsur

tersebut hanya berdiri sendiri maka bagian-bagian tersebut tidak penting, namun

jika berhubungan dengan unsur-unsur yang lain, maka akan lebih mempunyai

makna dan membentuk suatu wacana (Nurgiyantoro, 2010:36). Berdasarkan

pernyataan tersebut, agar lebih mudah dalam mengkaji novel Sang Nyai karya

Budi Sardjono, maka penelitian dilakukan dengan menganalisis pada tokoh dan

20

penokohan, namun dihubungkan dengan unsur instrinsik lain pembangun novel

yaitu tema, alur, latar (setting), dan amanat.

a. Alur/Plot

Sebuah cerita tidak dapat dipisahkan dari unsur yang disebut plot atau alur.

Definisi menurut Stanton (2012:26) alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa

dalam sebuah cerita. Peristiwa tersebut terhubung secara kasual, dan peristiwa

tersebut merupakan peristiwa yang dapat menyebabkan atau menjadi dampak dari

peristiwa yang lain. Hal tersebut tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh

pada keseluruhan cerita.

Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan plot sebagai

peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana, karena

peristiwa itu telah disusun berdasarkan kaitan sebab akibat oleh sang pengarang.

Menambahkan pengertian di atas, Forster mengemukakan plot sebagai peristiwa

cerita yang mempunyai penekanan pada hubungan kasualitas. Berdasarkan tiga

pengertian di atas, alur merupakan sebuah bentuk penyampaian kejadian tiap

peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat dan tidak dapat berdiri sendiri,

namun saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

b. Tema

Tema menurut Stanton dan Kenny (melalui Nurgiyantoro, 2010:67) merupakan

makna yang dikandung sebuah cerita, namun makna yang dimaksud adalah

21

makna khusus yang mewakili keseluruhan cerita. Makna tersebut merupakan poin

utama yang menjadi garis besar cerita dan menjadi acuan isi cerita.

Tema memberi kekuatan yang menegaskan kesatuan kejadian-kejadian

yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya

yang paling umum. Tema merupakan bentukan dari kesatuan cerita dan memberi

makna pada setia peristiwa. Dengan demikian, dengan adanya tema maka dapat

diketahui apa makna cerita, karena pengarang memanfaaatkan tema sejauh tema

memberikan makna pada pengalaman cerita (Stanton, 2012:8).

c. Latar/Setting

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216), latar atau setting disebut juga

sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan

lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Pendapat lainnya menurut Stanton, latar merupakan lingkungan yang melingkupi

sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-

peristiwa yang sedang berlangsung di dalam sebuah karya sastra (Stanton,

2012:35).

Dalam novel terdapat hubungan antara latar dengan unsur cerita yang lain,

baik secara langsung maupun tak langsung, khususnya dengan alur dan tokoh.

Perbedaan latar, baik yang menyangkut hubungan tempat, waktu, maupun sosial

menuntut adanya perbedaan pengaluran dan penokohan (Nurgiyantoro, 2010:223-

225).

22

d. Amanat

Amanat atau moral cerita merupakan pandangan hidup pengarang yang

disampaikan, tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal tersebut ingin disampaikan

kepada pembaca melalui cerita, pengertian tersebut diungkapkan oleh Kenny

(dalam Nurgiyantoro, 2010:321). Melalui amanat tersebut maka dengan melihat

sikap para tokoh, maksud dari kejadian dan peristiwa, serta melalui sikap, cerita

dan tingkah lakunya dapat mengambil hikmah atau pesan dari cerita yang

diamanatkan.

e. Tokoh dan Penokohan

Istilah “tokoh” menunjuk pada pelaku cerita. Abrams menjelaskan bahwa tokoh

(character) merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,

atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan mempunyai kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam dialog atau melalui

tindakan (Nurgiyantoro, 2010:165).

Dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, maka oleh Nurgiyantoro

(2010:176) tokoh dibedakan menjadi tokoh utama cerita dan tokoh tambahan.

Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-

menerus, sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh tambahan

adalah tokoh-tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita

dalam porsi yang relatif lebih pendek.

Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, maka dikenal tokoh protagonis,

yaitu tokoh yang dikagumi –dikenal sebagai hero– tokoh yang sesuai dengan

23

harapan-harapan pembaca, segala hal yang dirasakan tokoh tersebut seperti yang

dirasakan pembaca. Berlawanan dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis adalah

tokoh yang menciptakan konflik dan ketegangan, khususnya terhadap tokoh

protagonis (Nurgiyantoro, 2010:178-179).

Foster (melalui Nurgiyantoro, 2010:181) membagi tokoh berdasarkan

perwatakannya, yaitu tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah

tokoh yang mempunyai satu kualitas pribadi sehingga hanya mempunyai sifat

atau watak tertentu saja, sedangkan tokoh bulat merupakan tokoh yang lebih

kompleks, sehingga mempunyai berbagai kemungkinan dalam sisi kehidupan,

kepribadian, bahkan jati dirinya.

Kriteria lain dalam menentukan perwatakan tokoh berdasarkan

berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh cerita, hal ini dibedakan menjadi

tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh yang tidak

mengalami perkembangan atau perubahan akibat dari peristiwa yang terjadi.

Berlawanan dengan tokoh statis, tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami

perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan peristiwa atau plot yang

dikisahkan (Nurgiyantoro, 2010:188).

Pembedaan tokoh yang lain yaitu berdasarkan kemungkinan pencerminan

tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata. Menurut Altenberd dan

Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2010:190-191) tokoh itu terbagi atas tokoh tipikal

yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan individualitasnya, sehingga lebih

banyak ditampilkan kualitas pekerjaan dan kebangsaannya, dan tokoh netral yaitu

24

tokoh yang bereksistensi demi cerita itu sendiri, hanya dihadirkan semata-mata

demi cerita.

Nurgiyantoro (2010:166) mengungkapkan bahwa selain unsur tokoh, juga

terdapat penokohan dalam sebuah karya sastra. Penokohan merupakan salah satu

unsur pembangun karya fiksi yang mencakup masalah identitas tokoh cerita,

bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan pelukisannya dalam sebuah

cerita, sehingga sanggup memberi gambaran yang jelas pada pembaca.

Unsur penokohan sebagai unsur yang penting dapat dikaji dan dianalisis

keterjalinannya dengan unsur pembangun lainnya. Jika penokohan terjalin secara

harmonis dan saling melengkapi dengan unsur yang lain, maka suatu karya fiksi

telah dianggap sebagai karya yang berhasil. Seperti halnya berkaitan dengan unsur

plot, tema, setting, amanat, sudut pandang, gaya, dan lain-lain (Nurgiyantoro,

2010:172).

Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini memfokuskan hubungan

antara penokohan dengan unsur cerita yang lain. Seperti yang telah diungkapkan

Nurgiyantoro (2010:172-173) unsur cerita yang lain tersebut meliputi : (1)

Penokohan dan pemplotan; (2) Penokohan dan tema; (3) Penokohan dan setting;

(4) Penokohan dan amanat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan, sehingga

membentuk analisis struktural teks yang menjadi satu kesatuan. Hal ini akan lebih

memudahkan dalam mengapresiasi karena keterkaitan antar elemen dalam cerita

tidak dapat dipisahkan yaitu relevansi antara tokoh dan penokohan dengan unsur

tema, plot, setting, dan amanat.

25

2. Teori Hegemoni

a. Hegemoni Gramsci

Hegemoni berasal dari akar kata bahasa Yunani hegeisthai (to lead atau

shidouken) yang artinya memimpin, kepemimpinan, ataupun kekuasaan yang

melebihi kekuasaan yang lain. Dengan demikian, secara leksikografis hegemoni

mempunyai arti ‘kepemimpinan’. Namun, dalam kehidupan sehari-hari istilah

hegemoni dikaitkan dengan dominasi. Istilah hegemoni sendiri sering dikacaukan

dengan istilah ideologi karena terdapat unsur kepemimpinan dan persetujuan dari

kelompok yang dihegemoni. Hal ini sangat berbeda, karena dalam hegemoni yang

mempunyai struktur lebih kompleks dapat terkandung ideologi, namun belum

tentu sebaliknya (Ratna, 2010:175). Hegemoni juga banyak dipakai oleh para ahli

sosiologi untuk menggambarkan suatu usaha mempertahankan kekuasaan.

Artinya, bagaimana kelompok yang mendominasi berhasil mempengaruhi

kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik, dan budaya

dari kelompok berkuasa.

Hegemoni dikembangkan oleh seorang filsuf Marxis Italia Antonio

Gramsci (1891-1937). Konsep tersebut dikembangkan atas dasar dekonstruksinya

terhadap konsep-konsep Marxis Ortodoks. Menurut Chantal Mouffe istilah

hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam tulisannya yang berjudul

“Notes on The Sourthen Question”. Berbeda halnya dengan pendapat Roger

Simon karena istilah hegemoni telah digunakan Plekhanov dan para pengikut

Marxis pada umumnya sekitar tahun 1880-an (Ratna, 2010:176).

26

Kepemimpinan merupakan sebuah hegemoni seperti yang dikemukakan

oleh Gramsci. Hegemoni itu didefinisikan sebagai sesuatu yang kompleks, yang

sekaligus bersifat ekonomik dan elit-politis. Dalam hegemoni perlu diperhatikan

kecenderungan dan interes-interes suatu kelompok tempat hegemoni tersebut

dijalankan. Terdapat pengorbanan tertentu yang dilakukan secara kompromi oleh

kelompok dalam berbagai hal, baik dalam aktivitas ekonomi maupun elit-politis

(Faruk, 2010:142).

Hegemoni Gramscian populer pada dekade 1970-an hingga 1980-an

dengan memberikan perhatian pada proses pemaknaan yang didominasi oleh

praktik otoritatif. Dalam analisis Gramscian, ideologi dipahami sebagai ide yang

mendukung kelompok sosial tertentu. Benet membandingkan konsep kebudayaan

menurut Foucault dan Gramsci. Pusat perhatian Foucoult pada pemerintahan

birokrasi, sedangkan Gramsci pusat perhatiannya adalah ideologi. Bagi Foucoult

kekuasaan tidak mempunyai asal usul dan tidak bersifat tunggal, sedangkan

kekuasaan (hegemoni) menurut Gramsci mengalir ke bawah mengarah pada

perjuangan kaum tertindas untuk menentang sumber kekuasaan tunggal (Ratna,

2010:179).

Bagi Gramsci, sejarah adalah suatu proses konflik dan kompromi yang di

dalamnya terdapat kelas fundamental yang nanti akan muncul sekaligus sebagai

dominan dan direktif dalam batas-batas ekonomik, bahkan hingga dalam batas-

batas moral dan intelektual. Hegemoni yang mendefinisikan sifat kompleks dari

hubungan antara rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat dalam

suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian sempit, tetapi juga

27

mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan

orisinalitas konsep hegemoni. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan

secara berlebihan pada pentingnya dasar ekonomi masyarakat, berbeda dengan

gagasan liberal Gramsci yang berpegang pada penyatuan kedua aspek tersebut.

Salah satu cara yang terdapat di dalamnya yaitu “pemimpin” dan “yang dipimpin”

disatukan melalui “kepercayaan-kepercayaan populer” (Faruk, 2012:143-144).

Menurut Gramsci, ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu: (1)

bahasa merupakan sarana utama yang berpengaruh terhadap konsep dunia

tertentu. Makin luas wilayah maka makin banyak bahasa yang dikuasai, dan

makin mudah dalam penyebaran ideologi; (2) pendapat umum (common sense)

yang bersifat kolektif. Menurut Gramsci budaya pop telah menjadi arena penting

dalam pertarungan ideologi. Melalui pendapat umum maka dibangunlah ideologi,

yang juga berfungsi untuk melawan ideologi; (3) Folklor, dalam hal ini meliputi

kepercayaan, opini, dan takhayul juga sangat berperan dalam menopang

hegemoni, kekuatan ini berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan.

Pada dasarnya hegemoni tidak dapat dipaksakan dari pemimpin, namun tidak juga

berkembang secara bebas atau tidak disengaja, hegemoni diperoleh dari negoisasi

dan kesepakatan (dalam Ratna, 2010:184).

Raymond Williams dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci,

membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga kategori

yaitu kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan endapan

atau residual. Kebudayaan hegemonik atau dominan merupakan kebudayaan yang

mendominisi, namun tidak secara pasif, melainkan sesuatu yang terus-menerus

28

harus diperbarui, diciptakan kembali, dipertahankan, dan dimodifikasi.

Selanjutnya, kebudayaan bangkit atau yang diperjuangkan yaitu praktik-praktik,

makna-makna, dan nilai-nilai baru, dan jenis-jenis hubungan yang tidak hanya

bersangkutan dengan ciri-ciri kebudayaan dominan, melainkan secara substansial

merupakan alternatif yang bertentangan dengannya. Kemudian, kebudayaan

residual mengacu pada pengalaman, makna-makna, nilai-nilai yang dibentuk masa

lalu, meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan dominan, terus hidup

dan dipraktikkan pada masa kini (Faruk, 2012:155-56).

Dengan demikian, pada awalnya kepercayaan tentang mitos merupakan

sebuah kebudayaan yang residual. Dominasi peran penguasa yang ada membuat

sebuah hegemoni kekuasaan tercipta di masyarakat Jawa yang berasal dari mitos

Nyai Roro Kidul, dan masih diikuti oleh raja terdahulu hingga sekarang. Dengan

dominasi Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi raja, sebagai

penguasa kosmis, dan dalam tradisi menunjukkan bentuk dari hegemoni Nyai

Roro Kidul yang dipercaya oleh masyarakat. Meskipun demikian, dalam sebuah

masyarakat jika ada penguasa, maka tentu ada represi sehingga menimbulkan

perlawanan pada hegemoni Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa yang ada

dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. Hal ini disebabkan adanya sebuah

ideologi baru yang masuk, maka tumbulah kebudayaan bangkit, untuk

memperjuangkan nilai-nilai baru yang diharapkan dapat melawan kebudayaan

sebelumnya.

29

b. Kekuasaan Jawa

Sekalipun ada banyak pandangan berbeda tentang konsep kekuasaan, namun

mencapai sebuah deskripsi yang mewakili semua bahwa kekuasaan dianggap

sebagai kemampuan pelaku (merujuk pada seseorang, sekelompok orang, atau

suatu kolektivitas) untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain, sehingga

perilaku dari pelaku lain sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai

kekuasaan (Budiardjo, 1984:9).

Penelitian ini memfokuskan pada kekuasaan Jawa yang berkembang di

sekitar Yogyakarta. Kekuasaan Jawa sangat erat kaitannya dengan hegemoni

sebagai dominasi dari pemerintahan raja. Koentjaraningrat mengatakan bahwa

tidak hanya kesaktian yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin. Seperti

halnya semua pemimpin di dunia, seorang pemimpin dalam masyarakat

berkebudayaan Jawa perlu memperhitungkan semua komponen kekuasaan yang

diperlukan seorang pemimpin secara universal. Seorang pemimpin juga perlu

memiliki sifat yang diperlukan sebagai syarat pimpinan yang bermutu.

Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawamenganggap kekuasaan identik dengan satu energi sakti yang dapat diraihdengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jawa mengenai kekuasaandan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu; konsepsi masa kinisedang berkembang dari konsepsi tradisional, ke arah suatu konsepsiIndonesia masa kini. (Koentjaraningrat dalam Budiardjo, 1984:143).

Masyarakat tradisional Jawa harus mempunyai sosok penguasa yang

mencerminkan sifat-sifat kepemimpinan dan kekuasaan seperti dalam kerangka

teori pemikiran Koentjaraningrat pada masyarakat negara kuno. Raja harus

mempunyai kharisma sebagai komponen paling penting, sehingga hal tersebut

merupakan unsur yang menjamin kontinuitas wewenang atau tanggungjawab

30

kepemimpinan. Namun, raja dalam masyarakat tradisional tidak dapat

mengabaikan unsur yang lain seperti kewibawaan yang menampilkan pemimpin

dengan sikap-sikap yang menjadi cita-cita atau keyakinan masyarakat, serta

kekuasaan dalam arti khusus yang meliputi kekuatan fisik serta kemampuan raja

dalam mengorganisasi orang dalam jumlah banyak dan memberikan sistem sanksi

(Koentjaraningrat, 1984:135).

c. Mitos Nyai Roro Kidul

Mitos (mite) pada umumnya mengisahkan tentang alam semesta, dunia, manusia

pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, topografi, gejala alam, dan

sebagainya. Mitos juga mengisahkan petualangan, kisah percintaan, hubungan

kekerabatan, kisah perang, dan sebagainya yang menceritakan para dewa

(Danandjaja, 1997:51). Menurut Yunus (dalam Pusposari, 2011:4) mitos termasuk

dalam kajian foklor. Mitos dapat dituangkan dalam bentuk karya sastra sehingga

melalui karya sastra, maka mitos akan menjadi cerita yang bertahan di

masyarakat.

Danandjaja (1997:23) menjelaskan bahwa folklor sebagian lisan

merupakan campuran antara unsur lisan dan unsur bukan lisan, sebagai contoh di

dalamnya adalah kepercayaan rakyat. Pengertian orang “modern” disebut sebagai

takhayul, tidak berdasar logika, dan secara ilmiah tidak dapat

dipertanggungjawabkan. Mitos Indonesia bisanya menceritakan tentang terjadinya

alam semesta (cosmogony), terjadinya susunan para dewa, dunia dewata

(pantheon), terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture

31

hero), terjadinya makanan pokok, seperti beras, dan sebagainya (Danandjaja,

1997:52).

Jawa merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal dengan

mitos. Terdapat beberapa dongeng yang tersamar berkembang dalam kebudayaan

Jawa, khususnya yang berkaitan dengan Ratu Kidul yang mendiami dan

menguasai Samudra Hindia (Samudra Indonesia). Mitos tersebut tersebar dari

Parangtritis selatan Yogyakarta, Karangbolong di Selatan Gombong, Cilacap di

Selatan Banyumas (Jawa Tengah), sampai ke Pelabuhan Ratu di Selatan

Sukabumi (Jawa Barat). Ratu Kidul inilah yang dikenal oleh banyak orang awam

sebagai Nyai Roro Kidul. Keberadaan Sang Nyai tersebut sangat diyakini oleh

masyarakat Surakarta dan Yogyakarta sebagai istri raja dari dinasti Mataram

Islam, sejak zaman raja terdahulu, Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan

Senopati (Herusatoto, 2012:85).

Mitos tentang Nyai Roro Kidul masih dipercayai rakyat setempat hingga

saat ini, baik dari pihak Keraton (Kasunanan Surakarta dan Kesultanan

Yogyakarta), maupun rakyat kedua keraton tersebut dan dari bekas wilayah

Kraton Galuh Padjajarandi Tanah Sunda (Jawa Barat). Mitos berawal dari kisah

kisah pertemuan antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul di Babad

Tanah Jawa:

Setelah Panembahan Senopati mendapat wahyu pada suatu malam,Ki Juru Mertani, paman sekaligus penasehatnya, belum merasa yakin jikakemenakannya itu telah menerima wahyu. Untuk memastikan,Panembahan Senopati diminta bertapa ke Laut Kidul, sedangkan Ki JuruMertani bertapa ke Gunung Merapi. Panembahan Senopati segeraberangkat, dan ia menceburkan diri ke laut Opak, bertapa denganmenghanyutkan diri mengikuti arus sungai Opak (tanpa mbathang) sampaidi Laut Kidul. Mengetahui hal itu, Ratu Kidul menemui Panembahan

32

Senopati, dan diajaknya Senopati ke keratonnya di dasar samudera.Menyadari akan kecantikan Ratu Kidul dan ketampanan Senopati,keduanya saling terpikat dan menyatu dalam asmara. Sejak saat itulahRatu Kidul menjadi istri Panembahan Senopati. Ketika Senopatimengajaknya hidup bersama dan mendampinginya sebagai Raja Mataram,Ratu Kidul dengan halus menjelaskan bahwa itu tidak mungkin dilakukan,karena ia makhluk halus/peri. Meski tak dapat mendampingi Senopati,Ratu Kidul berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataramsewaktu-waktu menghadapi bahaya (Herusatoto, 2012:84).

Dari kisah tersebut diketahui bahwa mitos Nyai Roro Kidul hidup karena

kepercayaan masyarakat akan rajanya yang memperistri seorang makhlus halus

atau peri. Mitos ini berkembang di masyarakat karena terbukti dengan kisah

tersebut adanya keselarasan kehidupan Jawa di lingkungan Yogyakarta meliputi

wilayah Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi. Selain Ratu Kidul, raja

wanita yang menempati keraton di dasar Laut Kidul (laut Selatan Pulau Jawa),

yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul, dikenal juga panglima atau senapati perangnya

yang bergelar Nyai Rara Kidul (Herusatoto, 2012:84).Namun, sering terdapat

kekeliruan pengertian dari orang awam tentang kedua sosok tersebut. Untuk

mempermudah, maka dalam penelitian ini menekankan pada tokoh Nyai Roro

Kidul yang dikenal masyarakat Jawa.

Pengaruh agama dan filsafat Islam dalam tindakan simbolis orang Jawa

terdapat dalam rangkaian upacara sekatenan. Upacara ini berkaitan dengan simbol

pantai selatan sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, hal ini dilakukan

dengan melarung pakaian wanita persembahan dari raja yang merupakan

keturunan Panembahan Senopati. Kisah panembahan Senopati atau yang disebut

sebagai Wong Ngeksi Ganda terdapat dalam Serat Wedatama karya

Mangkunegara IV. Tindakan simbolis upacara tersebut menampakkan pengaruh

33

mitos mengalirnya kesaktian Panembahan Senopati yang telah berhasil

menyatukan dirinya dengan kesaktian Nyai Roro Kidul demi kesejahteraan

keturunannya yang bertahta di wilayah kerajaan (Herusatoto, 1985:103).

34

BAB IIIRELEVANSI ANTARUNSUR STRUKTRUR DALAM NOVEL SANG NYAI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis relevansi antarunsur struktur cerita.

Analisis ini menjelaskan unsur intrinsik tema, alur, setting, dan amanat yang

mempengaruhi perkembangan tokoh dan penokohan dalam novel Sang Nyai.

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teori struktural. Berikut paparan

analisisnya.

A. Analisis Relevansi Antarunsur Struktur Novel Sang Nyai

Novel Sang Nyai mengungkapkan tentang kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro

Kidul pada masyarakat Jawa.Sebagai cerita yang menampilkan tema mayor yaitu

kepercayaan rakyat Yogyakarta terhadap eksistensi keberadaan Nyai Roro Kidul,

maka Sam sebagai tokoh utama sangat berpengaruh dalam membuktikan

kebenaran dari kepercayaan masyarakat tersebut. Sam yang semula menolak

keberadaan dari hal-hal gaib sekitarnya dengan ideologi modern yang dianut,

membuatnya harus membuktikan sendiri mengenai kebenaran mitos yang

berkembang di masyarakat.

Novel ini mengambil sudut pandang dari sisi Sam sebagai tokoh utama

dan sebagai pelaku utama atau bentuk “aku-an”. Cerita difokuskan pada karakter

Sam yang sedang melakukan liputan tentang Nyai Roro Kidul. Dalam novel ini

yang mengungkap kepercayaan rakyat Yogyakarta khususnya dan Jawa pada

umumnya terhadap eksistensi keberadaan Nyai Roro Kidul, maka tokoh Sam

sangat berpengaruh dalam membuktikan kebenaran dari kepercayaan masyarakat

35

tersebut. Sam yang semula menolak keberadaan dari hal-hal gaib sekitarnya

dengan ideologi modern yang dianut, membuatnya harus membuktikan sendiri

mengenai kebenaran dari mitos yang ada.

Sosok Kesi secara tidak langsung membantu menyampaikan tema bahwa

kepemimpinan dan kekuasaan Nyai Roro Kidul benar adanya. Segala keanehan

Sam alami ketika bertemu dengan Kesi, karena Kesi merupakan jelmaan dari Nyai

Roro Kidul. Hal ini menguatkan bahwa kepercayaan terhadap mitos Nyai Roro

Kidul ada di masyarakat. Selain itu, tradisi dan budaya Jawa sangat kuat dalam

novel ini, sebagai tokoh utama maka Sam mengikuti tradisi Jawa yang dilakukan

seperti di dalam novel tersebut. Seperti pada saat Sam mengikuti jalannya prosesi

upacara labuhan.

Novel Sang Nyai merupakan novel dengan alur maju. Peristiwa awal

dialami Sam ketika ia ditugaskan untuk membuat feature tentang Nyai Roro

Kidul. Sam harus terjun secara langsung ke lapangan untuk mencari berita tentang

sosok kontroversial tersebut. Peristiwa diawali dengan kunjungan Sam di

Parangkusumo. Di tempat inilah Sam bertemu dengan gadis misterius bernama

Kesi yang pada akhirnya akan mengantarnya masuk ke dalam dunia gaib yang

berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Berikut kutipannya:

Aku seperti terbang! Tinggi sekali! Seperti remaja yang barupertama kali dicium oleh pacarnya. Wow, luar biasa! Terima kasih PakYos karena telah memberi tugas kepadaku untuk membuat feature tentangpenguasa Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Hampir saja tugas ini kutolak.Karena aku harus memasuki dunia mistik, alam supranatural, danmengorek hal-hal yang bersifat gaib. Apa gunanya semuanya itu di zamannuklir ini? (Sang Nyai, 2011:36-37).

36

Kesi membuka pikiran Sam, sehingga wartawan tersebut dengan senang

hati membuka pikirannya untuk menerima mitos Nyai Roro Kidul. Kesi lalu

mengantarkan Sam untuk berkenalan dengan Kang Petruk, teman Kesi yang

tinggal di Merapi. Hal gaib mulai dirasakan Sam saat perjalanan menuju rumah

Kang Petruk, hingga tiba di gua milik Kang Petruk.

Sebagai tokoh utama maka Sam membawa peristiwa ini memasuki sebuah

alam yang tidak bisa diterima nalar manusia. Banyak kejadian aneh Sam alami

ketika berada di kediaman Kang Petruk. Hal itu ia ceritakan kepada Sugeng, dan

dari situlah Sam mengetahui bahwa Kang Petruk adalah sosok lain dari Kiai Sapu

Jagad, atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Petruk, penunggu kawah Merapi.

Saat itulah awal munculnya konflik, saat pemikiran Sam goyah karena ia

mengalamikejadian di luar akal sehat atau mempertahankan ideologi yang

dianutnya.

Keadaan semakin gawat ketika pada akhirnya Sam mendapatkan telepon

dari Kang Petruk untuk menjauh dari Merapi. Ini merupakan tahap pemunculan

konflik, karena Sam mendapat peringatan langsung dari sosok yang dipercaya

sebagai penjaga kawah Merapi tentang kondisi Merapi yang berbahaya. Sam

akhirnya menyampaikan berita itu dengan menyamar sebagai sosok imajiner yaitu

Syekh Tunggul Wulung, ulama dari Demak. Masyarakat yang masih percaya pada

wisik mempercayai apa yang dikatakan oleh ulama tersebut, terlebih ketika status

Merapi dinaikkan dari waspada menjadi siaga dan raja telah memerintahkan untuk

membuat sayur tolak bala. Perhatikan kutipan berikut:

“Merapi gawat! Merapi gawat!” teriak pengasong koran sambilmengangkat barang dagangannya. “Mbah Petruk ketemu Syekh Tunggul

37

Wulung di Merapi!” lanjut si pengasong itu. “Koran, Om?” (Sang Nyai,2011:272).

Keadaan bertambah buruk saat dikabarkan ada isu tentang perahu layar

yang berlayar di Kali Code tanpa penumpang dan naga yang muncul di Kali Opak

yang dipercaya masyarakat sebagai tanda datangnya musibah besar. Kejadian

yang tidak diduga oleh Sam, sehingga setelah memutuskan bertemu dengan Nyai

Maryatun yang mendapatkan koin emas dari seorang wanita misterius yang

memesan batiknya secara borongan yaitu tujuh batik motif sidomukti, dan tujuh

belas batik motif parangrusak Sam segera kembali ke Parangkusumo tempat

Romo Darpo berada.

Keadaan Laut Selatan pun tidak berbeda dengan penduduk lereng Merapi.

Mereka turut prihatin dengan musibah yang mengancam. Mereka was was jika

Merapi benar-benar meletus. Apalagi Sang Sultan sudah memerintahkan untuk

membuat selametan, kenduri, dan mengadakan labuhan di Pantai Selatan untuk

memohon kebaikan dari Nyai Roro Kidul agar membujuk Kiai Sapu Jagad, agar

Merapi tidak meletus. Hal ini memperkuat kondisi yang semakin gawat dengan

status Merapi saat itu.

Proses labuhan yang semula berjalan lancar menjadi sebuah malapetaka.

Ada beberapa orang yang tewas saat menjarah barang yang dilabuh. Hal ini

memperburuk kondisi Sam. Hingga akhirnya Merapi benar-benar memuntahkan

laharnya. Yogyakarta dalam kondisi gawat, pada saat yang bersamaan Sam

kehilangan Sugeng, teman akrabnya yang tewas akibat menyelamatkan warga

dusunnya dari panasnya awan wedhus gembel. Bagian inilah yang menjadi

38

konflik utama dalam novel Sang Nyai karena menyebabkan cerita dalam keadaan

klimaks. Perhatikan kutipan berikut:

Aku menghela nafas. Merapi benar-benar mengamuk. Baru sajastatusnya ditingkatkan dari siaga ke awas. Langsung meletus. Kang Petruktidak main-main, ternyata. Ia mengingatkan kepada mereka yang tinggal dilereng Merapi agar hati-hati dan waspada. Peringatan itu sudahdisampaikan oleh Syekh Tunggul Wulung, hehehe.... Karena, dialah yangmendapatkan bisikan langsung. Sebagian masyarakat ada yang percaya,sebagian lagi mengabaikan. Ngarsa Dalem sendiri sudah menginagtkanmereka yang tinggal di kawasan rawan bencana agar segera mengungsi.Namun, ada yang berkilah, mereka mau mengungsi kalau Mbah JuruKunci Merapi juga ikut mengungsi. Selama Mbah Juru Kunci Merapibertahan di rumahnya, mereka juga tidak mau pergi. Sebab, empat tahunlalu ketika Merapi meletus, mereka juga aman-aman saja. Karena waktuitu, Mbah Juru Kunci duduk di rumahnya tidak mau mengungsi. Memangselamat. Karena waktu itu, Bukit Geger Boyo tegak berdiri dan mampumenahan laju lahar panas. Namun, hari-hari terakhir, bukit itu ambrol juga.Dan sekarang, tak ada lagi bukit yang bisa menghadang lajunya laharpanas. Mereka tewas (Sang Nyai, 2011:414-415).

Tahap penyelesaian dari konflik dalam novel ini dengan keputusan Sam

sebagai tokoh utama untuk kembali ke Jakarta. Ia menolak perintah Pak Yos

untuk menambah tiga hari waktu liputan di Yogyakarta sekaligus meliput bencana

Merapi yang terjadi. Sam mengalami guncangan karena kehilangan teman-

temannya, dimulai tewasnya Kang Trisno akibat mengadu nasib dengan

mengambil barang-barang labuhan di Laut Selatan yang sedang mengamuk, dan

meninggalnya Sugeng karena menyelamatkan warga yang berada di lereng

Merapi.

Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnyaterdapat kotak kayu ukir yang halus, motif naga dan kembang melati.Kotak kubuka. Isinya brokat warna hijau gadung, kain batik motifsidomukti, ulos atau selendang dari Batak, satu bungkus plastik kecil berisiabu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buah uang logam emas. Ketikakuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambar wanitacantik. Dan, wanita itu adalah Kesi! (Sang Nyai, 2011: 435).

39

Tahap penyelesaian ini juga mencengangkan karena pada tahap inilah Sam

mengetahui bahwa Kesi adalah sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya dari

sebungkus kado yang secara gaib diletakkan di koper Sam. Dengan demikian,

terungkap misteri yang membuat Sam penasaran dengan sosok Kesi yang selalu

muncul tiba-tiba, bahkan seolah seperti muncul dengan cara gaib ke tempat yang

diyakini merupakan tempat persinggahan Nyai Roro Kidul ketika Sam melakukan

liputan.

Novel Sang Nyai mempunyai latar waktu yang beragam namun dibatasi

dengan proses peliputan Sam tentang sosok Nyai Roro Kidul sebagai bahan

featurenya. Waktu Sam berada di Yogyakarta dalam melaksanakan tugas hanya

dua minggu. Pada saat terjadi letusan Merapi, seharusnya Sam sudah kembali ke

Jakarta. Namun, atasannya ingin menambah tiga hari lagi agar Sam bisa meliput

kejadian tersebut. Sam menolaknya karena ia merasa tidak dapat menyaksikan

penderitaan rakyat Yogyakarta yang sedang mengalami bencana.

“Perintah Pak Yos agar aku bertahan tiga hari lagi di Yogyakutolak. Pimpinan redaksi itu minta agar aku sekalian meliput bencanaMerapi. Mumpung ada di Yogya. No way! Aku ingin segera pulang, inginsegera meninggalkan Yogya yang sedang berduka cita... (Sang Nyai,2011:429).

Dari data di atas, maka dapat dianalisis bahwa waktu kejadian dalam novel

tersebut berkisar pada tanggal 26 Oktober 2010. Merapi mengalami letusan hebat

pada tanggal tersebut yang menelan ratusan korban jiwa. Dengan demikian, waktu

Sam dalam cerita mempengaruhi berlangsungnya jalan cerita Sang Nyai. Ketika ia

kembali ke Jakarta maka berakhirlah kisah Sam yang tengah meliput sosok

kontroversial Nyai Roro Kidul.

40

Tokoh Sam juga menentukan kelangsungan jalan cerita novel Sang Nyai, karena

berkaitan dengan waktu dinasnya ke Yogyakarta untuk meliput sosok Nyai Roro

Kidul. Cerita diakhiri dengan kondisi Sam baru mengetahui bahwa Kesi adalah

sosok yang sama dengan Nyai Roro Kidul.

Pukul tujuh malam aku meditasi di bawah tujuh lukisan sosok NyaiRoro Kidul. Tujuh kali aku seperti dibawa kekuatan gaib ke tempat-tempatdi mana Nyai Roro Kidul sering berada. Mulai dari Sanur Beach HotelBali, Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen, Parangkusumo, SamuderaBeach Hotel, Banglampir Gunung Kidul, dan Pantai Karangbolong. Tujuhtempat yang berbeda itu ternyata memiliki aura yang sama. Aura mistisyang sulit diterangkan dengan akal sehat. Orang boleh percaya, namunjuga boleh mendebat. Sebab, aura semacam itu hanya bisa dirasakan jikaseseorang mau datang sendiri di tempat tersebut... (Sang Nyai, 2011:161).

Berdasarkan kutipan di atas, Sam yang melakukan pertapaan di tempat

Nyai Mundingsari mengantarkan padanya ke tempat-tempat gaib yang diyakini

sebagai tempat persinggahan Nyai Roro Kidul. Setelah Sam tiba di Yogyakarta

dan berkunjung ke Parangkusumo lalu bertemu Kesi, ia mulai mengalami hal-hal

gaib. Sam merasa seperti berada di dua alam. Termasuk ketika berada di rumah

Kang Petruk, ia merasa berada di dunia makhluk halus. Kejadian-kejadian aneh

inilah yang membuat Sam meyakini keberadaan Nyai Roro Kidul yang

sebelumnya hanyalah mitos di masyarakat.

Perilaku kehidupan sosial bermasyarakat dalam cerita merupakan latar

sosial sebuah karya sastra (novel). Awal keadaan di tempat Sam melakukan

wawancara dengan Mas Darpo di Parangkusumo sudah menunjukkan interaksinya

dengan masyarakat, karena lingkungan yang dikunjungi sangat kuat menjunjung

tradisi yang ada. Daerah Yogyakarta merupakan daerah yang masih kuat

41

menjunjung tinggi adat istiadat, mempercayai mitos, dan tunduk kepada perintah

raja. Berikut kutipannya:

Entahlah. Semua serba mungkin, namun sekaligus juga tidakmungkin. Tetapi, inilah upaya terakhir masyarakat pesisir untuk membantusaudara-saudaranya yang tinggal di sekitar Merapi (Sang Nyai, 2011:355).

“Lho, andaikata meletus pun bukankah masyarakat di sini tidakakan jadi korban? Hujan abu pun tidak akan sampai sini. Sebab, abu diangkasa pasti akan didorong angin laut dan kembali ke utara,” kataku.

“Memang. Tapi, apakah kita akan diam saja melihat saudara kita disana menderita? Tidak mungkin kita hanya diam dan menonton tho?” MasDarpo menatapku. Ekspresi wajahnya memang serius.“Bagaimanapunjuga, antara Merapi dan Laut Selatan punya hubungan istimewa. Mas Sampasti sudah mendapat informasi itu dari beberapa orang, bukan?” (SangNyai, 2011:336)

Sam menyampaikan pelajaran kehidupan melalui beberapa pemikirannya

yang kritis. Ketika mengetahui bahwa Laut Selatan dan Gunung Merapi

mempunyai hubungan khusus, namun Sam mencoba memancing jawaban dari

Mas Darpo tentang hubungan istimewa yang menghubungkan garis imajiner dari

selatan ke utara dengan Keraton Yogyakarta sebagai penengah, dan maksud di

baliknya. Berdasarkan kutipan tersebut terlihat jelas hubungan masyarakat pesisir

pantai selatan dengan warga pantai utara yang harmonis. Ketika, tersebar kabar

Merapi akan meletus warga Pantai Selatan memberikan bantuan tanpa pamrih

berupa doa untuk saudara-saudaranya di lereng Merapi sebagai bentuk

kepedulian.

Sebagai masyarakat Jawa yang masih memegang teguh kepercayaannya,

rakyat juga mempunyai hubungan baik dengan satu sama lain, sehingga akan

saling membantu jika mengalami musibah. Seperti keprihatinan penduduk daerah

pesisir yang ditunjukkan dengan melakukan selametan, kenduri, dan labuhan

42

untuk membantu saudara-saudaranya yang tinggal di Merapi. Sam pun turut

bersosialisasi dengan kegiatan tersebut, seperti saat terjadinya prosesi labuhan

yang membuatnya khawatir karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan

untuk mengadakan labuhan di Laut Selatan.

Tradisi yang masih kokoh inilah yang membuat kehidupan masyarakat

Yogyakarta layak menyandang status keistimewaannya. Terlebih dengan masih

adanya eksistensi Keraton Yogyakarta dan Pakualaman yang membuat daerahnya

menjadi semakin dilindungi. Hegemoni raja dominan dalam masyarakat daerah,

sehingga segala hal yang berhubungan dengan Keraton merupakan hal keramat.

Penokohan Sam pun membuatnya mau tidak mau masuk membaur ke dalam

masyarakat yang telah mempercayai tradisinya erat secara turun-temurun.

Tradisi dan mitos dalam masyarakat Jawa merupakan sesuatu yang

dominan, sehingga seseorang dengan pemikiran modern seperti Sam yang pada

awalnya tidak percaya, namun ketika mengalaminya akhirnya paham yang

dianutnya runtuh karena pengalaman spiritual yang ia peroleh selama mencari

informasi tentang Nyai Roro Kidul. Tradisi dan mitos tersebut merupakan bentuk

kearifan lokal dan warisan budaya yang harus dijaga dan menjadi warisan turun

temurun. Manusia terutama masyarakatnya, sebagai salah satu pelakunya

diharapkan dapat melindungi warisan budaya atau tradisi nenek moyang tersebut.

Terlepas dari kebenaran cerita Nyai Roro Kidul, sesungguhnya kehidupan

di dalam dan sekitar Keraton mengajarkan Sam bahwa hidup bermasyarakat di

Jawa dapat mengembangkan sikap gotong royong, saling membantu, laku

prihatin, dan kepedulian terhadap sesama. Bahkan, ketika terjadi musibah letusan

43

di Gunung Merapi pun Sam turut berduka cita merasakan penderitaan Yogyakarta

waktu itu. Sam sebagai salah satu bagian dari kehidupan Yogyakarta pada saat itu

merasa belum melakukan sesuatu yang berarti seperti yang dilakukan oleh teman-

temannya, seperti meninggalnya Sugeng karena membantu penduduk

menyelamatkan diri dari serangan awan panas.

B. Analisis Tokoh dan Penokohan

Berdasarkan analisis struktural dalam novel Sang Nyai di atas, maka

memperlihatkan adanya keterkaitan di setiap unsur intrinsik yang digunakan.

Tema dominan yang diusung dalam novel yakni mengenai eksistensi Nyai Roro

Kidul dalam kebudayaan Jawa. Latar tempat, waktu dan sosial Sam sejak

melakukan peliputan tentang sosok Nyai Roro Kidul yang akhirnya

mempengaruhi perkembangan watak Sam, termasuk juga alur cerita dan amanat

yang menggambarkan kehidupan Sam yang tiba-tiba berubah orientasi sosialnya.

Perkembangan ideologi dan perwatakan dalam novel Sang Nyai terlihat jelas dari

tokoh-tokohnya. Bertolak pada hal itu, melalui relevansi antarunsur struktur

dalam novel Sang Nyai yang telah dibahas, penulis akan memaparkan analisis

tokoh Sam dan Kesi sebagai tokoh dominan yang sangat berpengaruh terhadap

analisis pada bab berikutnya. Berikut paparan analisisnya.

1. Tokoh Sam

Sam adalah seorang wartawan yang berasal dari ibukota. Ia ditugaskan oleh

bosnya, Pak Yos, untuk membuat feature tentang Nyai Roro Kidul. Ia adalah

44

tokoh utama yang menjadi poros dalam cerita. Sam juga merupakan tokoh yang

protagonis karena profesinya sebagai wartawan yang mempunyai karakter pekerja

keras, kuat, berani, hati-hati, dan pemikir. Karakter itulah yang mengantarnya

untuk masuk lebih jauh ke lapangan tempatnya mencari informasi untuk mencari

bahan tulisan tentang Nyai Roro Kidul. Sam selalu menenangkan pikiran dengan

cara meditasi, sehingga mulai dari situ ia dapat merasakan hal-hal gaib di

sekitarnya.

Penggambaran tokoh Sam dilakukan secara langsung melalui deskripsi

pengarang. Sudut pandang “aku”-an menjadi dominasi pemikiran Sam dalam

perkembangan cerita. Oleh sebab itu, novel itu menempatkan Sam sebagai tokoh

utama cerita. Perwatakan Sam sebagai tokoh utama dapat dilihat dari

kegigihannya dalam mencari informasi tentang Nyai Roro Kidul. Ia merupakan

seseorang yang pekerja keras. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

Dikejar deadline. Hal yang biasa bagi orang pers. Untuk menjawabhal itu, hanya ada satu kata: kerja keras! Tidak bisa dibayangkanbagaimana ritme kerja wartawan koran harian atau televisi yang kejartayang. Setiap hari melewati saat-saat kerja yang menuntut disiplin tinggi.Tegang, stres, lupa makan, lupa tidur, adalah hal biasa bagi insan pers.Karena itu, seseorang harus mampu mengelola waktu dengan baik.Menjaga kesehatan dengan prima. Bukan rahasia lagi banyak orang persmeninggal dunia dalam usia muda karena sakit... (SangNyai, 2011:198).

Sikap tersebut membuat profesinya sebagai wartawan harus berpikir

rasional dan profesional. Perhatian kepada diri sendiri sangat diperlukan orang

pers jika tidak ingin jatuh sakit. Pekerjaan yang membutuhkan perhatian khusus

ini telah menunjukkan bahwa Sam adalah seorang berideologi modern yang harus

siap dengan segala tantangan untuk ia selesaikan. Termasuk dalam hal melakukan

liputan terhadap Nyai Roro Kidul yang sempat ditolaknya. Pekerjaan Sam

45

menuntut kerja keras individu dalam melakukan liputan. Namun, dalam

prakteknya banyak pihak yang membantu Sam dalam memberikan informasi

tentang bahan feature yang harus ia kumpulkan. Perwatakan Sam yang lain juga

ditunjukkan pada kutipan berikut ini:

Sekarang, aku harus masuk jauh ke dalam dunia semacam itu. tidakbisa setengah hati. Menulis feature beda jauh dibanding menulis berita.Kalau berita cukup memakai rumus 5W +1H, untuk feature perluditambah insting, visi, misi, dan sedikit imajinasi. Karena itulah, sebuahfeature bisa tahan lama. Tidak cepat basi. Apa yang kutulis minggu inimasih layak dibaca dua tahun mendatang. Bahkan, bertahun-tahunkemudian sejauh data dan lokasi tidak banyak mengalami perubahan. Jikapun terjadi banyak perubahan, maka feature tersebut malah bisa jadisemacam dokumaen sejarah (Sang Nyai, 2011:39).

Berdasarkan kutipan di atas, meskipun Sam merupakan wartawan dari

Jakarta dengan latar belakang modern, individualisme, dan pekerja keras, namun

Sam juga sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Pelukisan karakter tokoh

Sam dilakukan secara langsung oleh pengarang. Melalui perilaku dan pemikiran

Sam inilah dapat dilihat karakter Sam yang sesungguhnya. Ia dengan ideologi

modern yang dianut harus melakukan liputan pada sosok Nyai Roro Kidul yang

bertentangan dengan rasionalisme yang dianutnya.

Selain itu, Sam juga mempunyai watak cerdas, dilihat dari pemikirannya

yang kritis. Pengarang menceritakannya dalam bentuk konflik batin, sehingga

karakter Sam mengalami perkembangan karakter termasuk perkembangan

ideologi setelah berada dalam lingkungan yang berbeda. Ia harus melakukan

liputan secara langsung ke tempat keberadaan mitos Nyai Roro Kidul.

46

Paham rasionalisme Sam ditunjukkan dengan sikapnya yang menentang

keras segala hal berbau gaib. Hal gaib merupakan sesuatu yang tidak wajar dalam

perkembangan dunia modern. Berikut kutipannya.

Apa gunanya semuanya itu di zaman nuklir ini? bagaimanamungkin bangsa ini akan maju kalau masih mempercayai sesuatu yanggaib? Masih bersandar pada pusaka nenek moyang, lalu mengabaikankecerdasan otak (Sang Nyai, 2011:37).

Dari data di atas menunjukkan karakter Sam yang rasional. Zaman

berkembang semakin maju, sehingga segala hal terus mengalami perubahan.

Tidak hanya terpaut pada peninggalan masa lalu. Kecerdasan otak sangat penting

di era modern. Segala hal dalam dunia modern dibuktikan dengan penyajian data

yang empiris dan terbukti kebenarannya, sedangkan hal gaib seperti kisah Nyai

Roro Kidul hanya merupakan kisah yang berkembang secara turun temurun di

masyarakat. Bahkan belum tentu yang melaksanakan perintah-perintah berkaitan

dengan sosok Nyai Roro Kidul pernah melihat secara langsung sosok Nyai Roro

Kidul sebagai pemimpin Laut Selatan.

Hidup di Yogyakarta dengan latar belakang ideologi tradisional,

konvensional, berpegang pada kultur, dan feodalisme yang sebagian dianut oleh

masyarakatnya membuat Sam harus mengubah pikiran modernnya mengikuti

masyarakat tempat ia bernaung. Segala hal yang semula dianggapnya hanya

omong kosong belaka terbukti dengan kejadian gaib yang dialami oleh Sam.

Ideologi tradisional masyarakat Yogyakarta tersebut berwujud dengan

masih adanya kepercayaan terhadap kekuatan lain yaitu Nyai Roro Kidul yang

menyokong keberadaan Keraton. Masyarakat Yogyakarta juga masih memegang

tinggi budaya Jawa baik dalam hal sopan santun maupun perilaku kehidupan

47

sehari-hari, serta tunduknya masyarakat dengan perintah raja sebagai bentuk

kepemimpinan di lingkungan Yogyakarta. Sebagai tokoh utama yang pada

mulanya mempunyai ideologi bertentangan dengan masyarakat tersebut, Sam

diharuskan mengikuti tradisi yang ada selama hidup di dalam lingkungan

Yogyakarta.

Terjadilah konflik antara Sam dengan batinnya yang mempengaruhi

pemahamannya tentang hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Ideologi modern

awalnya membuat Sam menentang pemikiran yang berhubungan dengan hal

mistis. Namun, peristiwa yang dialami mengubah Sam, sehingga ia merupakan

tokoh bulat dan tokoh yang berkembang dalam cerita ini karena mengalami

perubahan kepercayaan dan perkembangan karakter. Terdapat perubahan yang

kompleks dari pemikiran yang dianut oleh tokoh tersebut, dari seorang Sam yang

menganut paham rasionalisme, berubah menjadi Sam yang percaya pada hal-hal

irrasionalisme, seperti hal-hal gaib yang ada di sekitarnya.

Perkembangan watak Sam sangat berkaitan dengan sosok Kesi yang

menjadi tokoh pendukung dan sangat berkaitan dengan tokoh utama. Paham

irrasionalisme Sam yang tercipta yaitu ketika Sam harus mempercayai eksistensi

Nyai Roro Kidul.

“Hehehe..., di mana ada Samhudi, di situ ada Kesi. Begitu ya?”Aku mengangguk. “Sangat aneh. Kadang-kadang aku merasa

seperti berada di alam gaib, bertemu makhluk-makhluk gaib pula. Tapitiba-tiba, aku bisa kembali ke alam nyata sehari-hari. Kalau aku ceritakepada orang lain, mungkin malah dianggap aku sudah sinting. Bahkansudah gila (Sang Nyai, 2011:246).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sam mulai mengalami perubahan

ideologi ketika menyadari bahwa Kesi bukan makhluk biasa, disebabkan

48

kemunculannya secara tiba-tiba di setiap tempat yang Sam datangi. Perubahan

ideologi ini menandakan kuatnya kekuasaan Jawa yang terfokus pada hegemoni

mitos Nyai Roro Kidul.

Perubahan kepercayaan dan ideologi Sam terjadi ketika ia semakin

penasaran dengan kejadian yang dialaminya ketika berada di rumah Kang Petruk.

Ia menanyakan perihal pertemuannya dengan Kang Petruk dengan Bu Mul atau

yang dikenal sebagai Nyai Mundingsari, wanita yang sangat menyukai hal gaib,

apalagi segala hal yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Di rumah Bu Mul

inilah Sam melihat tujuh lukisan bergambar Nyai Roro Kidul dengan berbagai

versi. Di rumah Bu Mul jugalah Sam mengadakan meditasi dan secara gaib ia

terlempar ke tempat-tempat keberadaan Nyai Roro Kidul sesuai asal usul lukisan

tersebut dan bertemu Kesi di tempat itu. Perhatikan kutipannya:

“Semakin mantap niatmu untuk menulis kisah tentang Nyai Roro Kidul?”“Ya.”“Mas Sam percaya bahwa sosok Nyai Roro Kidul itu bukan isapan jempolbelaka? Bukan hanya ada di alam dongeng?”“Ya.” (Sang Nyai, 2011:151).

Kejadian tersebut mengubah perwatakan Sam. Ia mengalami kejadian

aneh, sehingga ia percaya bahwa hal gaib yang dialaminya berkaitan dengan Nyai

Roro Kidul. Sesuatu gaib yang sebelumnya tak pernah terbukti, akhirnya ia alami.

Hal ini membuktikan bahwa Sam dapat menerima rasio pemikiran irasionalisme

yang sebelumnya ditentang olehnya.

49

2. Kesi/Nyai Roro Kidul

Tokoh Kesi merupakan sosok yang misterius. Namun, ia digambarkan sebagai

gadis yang sangat cantik, menarik, dan seksi. Siapa pun laki-laki yang melihatnya

pasti akan tergoda. Kesi berteman baik dengan Kang Petruk yang belakangan Sam

ketahui sebagai penjaga kawah Merapi. Ia sering menggunakan kebaya.

Karakternya ceria, namun cerdas. Ia selalu berada di tempat yang berkaitan

dengan Nyai Roro Kidul yang Sam datangi.

“Aneh sekali,” kataku. “Waktu aku di rumah Kang Petruk, kamu

datang. Lalu pergi tiba-tiba. Waktu aku seperti berada di Sanur Beach

Hotel, kamu pun ada di sana. Dan sekarang aku di sini, kamu sudah lebih

dulu tiba. Kamu benar-benar mirip angin. Pergi ke mana saja sesuka

hatimu (Sang Nyai, 2011:246).

Kutipan di atas menyimpulkan bahwa Kesi merupakan sosok misterius

yang selalu hadir di tempat keramat keberadaan Nyai Roro Kidul. Dari kutipan di

atas secara tidak sengaja Sam bertemu dengannya di Panggung Sanggabuwana

pada malam hari. Akhirnya, setelah ditelusuri oleh Sam, wartawan itu

menemukan fakta bahwa Kesi merupakan sosok penjelmaan Nyai Roro Kidul.

Dengan demikian, akhirnya jelaslah misteri tentang Kesi yang selalu muncul di

setiap tempat yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul pada saat Sam mencari

liputan tentang sosok kontroversial itu.

Kesi sebagai tokoh protagonis merupakan tokoh yang sangat

mempengaruhi kisah dari novel Sang Nyai, karena semua hal berawal dari misteri

yang dibawa oleh Kesi. Penggambaran tokohnya pun dilakukan secara langsung

melalui interaksi dengan Sam dan Kang Petruk. Sosok Kesi yang misterius juga

ditunjukkan dengan tidak ada interaksi antara ia dengan tokoh lain, selain Kang

50

Petruk temannya. Hal ini membuat Sam akhirnya percaya bahwa Kesi merupakan

sosok Nyai Roro Kidul. Ia mempunyai peran ganda dalam novel ini.

“Nyai Roro Kidul itu bukan sosok yang kejam, Mas Sam,” kataKesi kemudian. “Dia itu justru pribadi yang welas asih, suka menolong,dan memberikan apa yang dimiliki bagi siapa saja yang memintakepadanya.” (Sang Nyai, 2011: 374).

Berdasarkan kutipan di atas, sosok Nyai Roro Kidul sendiri merupakan

sosok yang misterius namun sangat dipercaya oleh sebagian besar masyarakat

Jawa sebagai penguasa Laut Selatan. Selanjutnya, tokoh ini merupakan sosok

yang welas asih dan dipercaya dapat mengabulkan doa dari rakyat yang memohon

secara tulus kepadanya, misalnya melalui ziarah di Parangkusumo pada malam

Jum’at Kliwon, atau melalui upacara sesaji dan labuhan. Tokoh kontroversial ini

hidup di dua alam, alam gaib dan manusia, serta bertugas melindungi masyarakat

Jawa pada umumnya dan rakyat Yogyakarta khususnya. Ia mempunyai

keterkaitan dengan raja-raja Mataram dan keturunannya, serta berhubungan baik

dengan penunggu kawah Merapi.

Penggambaran sosok Nyai Roro Kidul dilakukan melalui dialog

antartokoh. Nyai Roro Kidul tidak secara langsung menampakkan diri di hadapan

manusia biasa, sehingga masyarakat yang percaya dengan eksistensi Nyai Roro

Kidul hanya dapat mendeskripsikannya seperti kepercayaan yang berkembang di

masyarakat. Hanya orang-orang tertentu atau orang-orang suci yang bisa

merasakan atau melihat keberadaan Nyai Roro Kidul. Hal inilah yang membuat

hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tercipta dalam masyarakat Yogyakarta.

Meskipun demikian, dari sosok Nyai Roro Kidul inilah pengarang

memulai cerita tentang novel Sang Nyai, karena acuan tokoh utama Sam untuk

51

mencari liputan adalah sosok Nyai Roro Kidul. Oleh sebab itu, Nyai Roro Kidul

mengambil peran penting pada kelangsungan cerita. Tanpa Nyai Roro Kidul yang

diceritakan dan sosok Kesi yang hadir maka cerita Sang Nyai tidak akan berjalan

sesuai yang pengarang harapkan.

Sebagai sosok yang sama, maka Kesi dan Nyai Roro Kidul merupakan

tokoh bulat, tokoh ini mempunyai jati diri yang berbeda seiring perkembangan

cerita. Seorang gadis bernama Kesi ternyata adalah perwujudan dari Nyai Roro

Kidul. Hal ini merupakan surprise atau kejutan bagi Sam yang menyadarinya di

akhir cerita. Kejutan ini tentu saja menguatkan perubahan ideologi yang dianut

oleh Sam.

Dengan demikian, posisi Kesi tidak hanya terfokus pada salah satu

karakter saja, namun menjadi karakter lain yang membuatnya menjadi tokoh yang

berkembang. Tokoh ini pun meruntuhkan kepercayaan Sam yang semula

menentang keras hal-hal yang berbau gaib menjadi Sam yang harus mempercayai

keberadaan dari sosok Nyai Roro Kidul sebagai wujud lain dari diri Kesi.

Selain Sam dan Kesi, dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono

terdapat banyak tokoh yang berkaitan dengan cerita. Tokoh tambahan ini

mempunyai peranan yang berbeda-beda dalam membawa cerita. Tokoh tambahan

tersebut diantaranya: Mas Darpo, Bu Mul, Sugeng, Pak Nung, Kang Petruk,

Kanjeng Sultan, Kanjeng Sunan, Nyai Maryatun, Ki Aji Sembada, Raden Mas

Damar Kusumo, Kang Trisno, Pak Yos, Kang Jiman, Mbak Sum, Mujimin, dan

Tiga wartawan dari Jakarta (Dodo, Tata, Murti).Dengan tokoh tambahan tersebut

mendukung tokoh utama saat menjalani peristiwa di setiap cerita dalam novel

Sang Nyai karya Budi Sardjono. Sam terhubung dengan banyak orang yang

menambah informasinya tentang sosok Nyai Roro Kidul untuk menjadi bahan

featurenya.

52

BAB IVANALISIS HEGEMONI MITOS NYAI RORO KIDUL TERHADAP

KEKUASAAN JAWA DALAM NOVEL SANG NYAI

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisis dan pembahasan hegemoni mitos Nyai

Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa. Proses analisis relevansi antarunsur struktur

cerita pada bab sebelumnya digunakan sebagai pijakan dalam menganalisis

hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap kekuasaan Jawa dan perlawanan

terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tersebut. Berikut paparan analisisnya.

A. Bentuk-bentuk Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul

Analisis penelitian ini menggunakan hegemoni Gramsci yang menunjuk pada

dominasi kekuasaan, namun tidak bersifat memaksa karena dilakukan melalui

cara-cara intelektual kultural dan politis. Cara-cara tersebut dilihat dengan

patuhnya hampir sebagian masyarakat Yogyakarta kepada dominasi kekuataan

lain yang menyokong legitimasi Keraton, yakni keberadaan Nyai Roro Kidul.

Hegemoni Gramsci digunakan sebagai dasar teori yang menjadi acuan

penelitian ini untuk menganalisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul yang terdapat

dalam novel Sang Nyai. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul merupakan dominasi

kekuasaan yang dilakukan oleh Nyai Roro Kidul mencakup seluruh lapisan

masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, wilayah alam, bahkan adat istiadat yang

berkembang di dalamnya. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tersebut mempunyai

beberapa bentuk yakni Sang Nyai sebagai ratu, Sang Nyai mendukung eksistensi

raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Berikut

paparan analisisnya.

53

1. Sang Nyai Sebagai Ratu

Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang tidak asing di telinga masyarakat Jawa.

Sosoknya sangat dihormati karena dianggap suci sebagai penguasa gaib Laut

Selatan. Nyai Roro Kidul merupakan pemimpin yang tidak diketahui asal-usulnya

secara jelas, karena terdapat berbagai versi mengenai kelahiran sosok tersebut.

Salah satunya yang disebutkan dalam novel Sang Nyai yakni tercantum dalam

kutipan berikut:

“Ada yang mengatakan bahwa ia berasal dari tanah Batak.Sebagian orang percaya dia berasal dari Banten atau tanah Pasundan.Namun, ada juga yang percaya dia itu berasal dari Kudus,” kataku (SangNyai, 2011:181-182).

Berdasarkan data di atas tidak ada yang tahu pasti asal usul Nyai Roro

Kidul. Ada berbagai macam versi kisah tentang Ratu Laut Pantai Selatan tersebut.

Salah satunya yang dikisahkan oleh S. Padmoesoekotjo, bahwa Ratu Kidul adalah

jelmaan dari bidadari yaitu Dewi Nawangwulan yang pernah diperistri oleh Jaka

Tarub. Kisah tersebut bercerita bahwa Jaka Tarub mencuri selendang

Nawangwulan, sehingga sang Dewi tidak dapat kembali ke kahyangan. Saat itulah

Jaka Tarub datang menolong dan memperistrinya. Namun, setelah mengetahui

kebenaran bahwa ia ditipu suaminya, Nawangwulan mencoba kembali ke

Kahyangan. Sayangnya, ia telah digauli manusia, sehingga tidak berhak tinggal di

Kahyangan. Selanjutnya, oleh Sang Hyang Guru (Raja Para Dewa) Sang Dewi

diperintahkan untuk menjadi ratu di Laut Kidul, membawahi para makhluk halus

di daerah tersebut (Herusatoto, 2012:88).

54

Wiryapanitra (melalui Herusatoto, 2010:88) menuliskan kisah lainnya

tentang Nyai Roro Kidul yaitu, Sang Ratu berasal dari kerajaan Padjajaran yang

merupakan putri sulung dari Raden Bondhanwangi. Sang putri tidak mau menikah

sehingga dikutuk ayahnya dan diusir ke luar istana. Sang putri lalu bertapa dan

berubah menjadi makhluk halus lalu memimpin Laut Selatan, cerita ini dikisahkan

dalam Babad Tanah Jawa. Dua cerita tersebut menegaskan bahwa, tidak adanya

kejelasan sejarah dari berdirinya kerajaan Laut Selatan yang dipimpin oleh Nyai

Roro Kidul. Asal usulnya masih menjadi teka-teki yang misterius. Namun, Nyai

Roro Kidul sebagai penguasa dipercaya oleh masyarakat mempunyai istana dan

pasukannya yang terdiri atas puluhan ribu bangsa jin, siluman, dan lelembut yang

menjaga Pantai Selatan.

Bertolak dari kisah tersebut, masyarakat mengenal Nyai Roro Kidul

dengan ciri-ciri tertentu. Dalam novel Sang Nyai, Nyai Roro Kidul digambarkan

sebagai sosok perempuan muda yang cantik, mengenakan kemban warna hijau

gadung, bermahkota, dan biasanya berada di atas ombak. Setidaknya itu yang

tergambar di lukisan-lukisan yang sering dilihat orang pada umumnya. Hal ini

disebabkan banyak pelukis yang menggambarnya dengan model tidak jauh

melenceng dari karya lukisan Basuki Abdullah.

Sosok yang misterius. Dia berada di dua alam: alam nyata danalam gaib. Di alam nyata, nama sang Nyai sangat akrab di telingamasyarakat. Siapa yang tidak kenal nama itu? Bahkan, ia mendapat satutempat terhormat. Beberapa hotel besar menyediakan kamar khususuntuknya. Setiap kali keraton mengadakan labuhan, dia tidak ditinggalkan.Dihantarkan kepadanya segala macam makanan dan pakaian kesenangansang Nyai. Dan, setiap malam Jum’at Kliwon, Ratusan orang ngalapberkah kepadanya dengan cara ziarah di Cepuri Parangkusumo (SangNyai, 2011:430).

55

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Nyai Roro Kidul menunjukkan

‘hegemoni’-nya terhadap masyarakat Jawa. Nyai Roro Kidul mempunyai tempat

khusus di masyarakat. Ia merupakan ratu yang diyakini dapat menjelma menjadi

manusia di alam nyata dan menjadi pemimpin di alam gaib. Segala hal yang

berhubungan dengan Nyai Roro Kidul menjadi hal yang keramat, bahkan ada

waktu ziarah khusus untuknya yaitu pada malam Jum’at Kliwon di Puri

Parangkusumo. Masyarakat menghormati sosoknya, bahkan ketika ada peristiwa

labuhan Nyai Roro Kidul tidak pernah ditinggalkan, sehingga pada saat labuhan

benda yang dilarung berisi segala macam makanan dan pakaian yang disukai Nyai

Roro Kidul.

Selain itu, Nyai Roro Kidul juga dihormati oleh banyak orang tidak hanya

sebagai sosok mitos pemimpin Laut Selatan Jawa, namun ia juga sebagai istri dari

Raja Mataram terdahulu. Terdapat hubungan “spesial” antara Panembahan

Senopati dengan Nyai Roro Kidul, sehingga sampai sekarang masih ada

kepercayaan Nyai Roro Kidul akan membantu Panembahan Senopati hingga

keturunannya apabila menghadapi masalah. Eksistensi Nyai Roro Kidul sebagai

pemimpin Laut Selatan merupakan bentuk hegemoni kekuasaan yang ia miliki,

sehingga secara tidak langsung sosoknya sangat berpengaruh terhadap

kelangsungan Keraton. Berikut kutipan yang menjelaskan hubungan Nyai Roro

Kidul dengan Kanjeng Sultan dan Sunan.

Di antara catur sagotrah itu ada orang ketiga atau kelima yangsangat diperhitungkan eksistensinya, yakni Nyai Roro Kidul. Namun,penguasa Laut Selatan itu hanya berhubungan asmara dengan orang nomorsatu di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Rupanya, Ratucantik yang terkenal sangat sakti itu tidak melirik penguasa di Pura

56

Mangkunegaran maupun Pura Pakualaman. Keduanya mungkin dianggaptidak selevel karena hanya menyandang gelar adipati. Selevel di bawahsunan maupun sultan (Sang Nyai, 2011: 221).

“Nyai Roro Kidul itu memang...apa ya... kalau zaman sekarangistilahnya, mungkin termasuk perempuan selebriti papan atas. Beliauhanya mau bercinta dengan kalangan atas. Dengan raja-raja. Bukan denganlelaki biasa.”

“Ya, ya, karena beliau sendiri juga seorang penguasa di LautKidul,” imbuhku (Sang Nyai, 2011:206).

Nyai Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan yang terkenal dengan

kecantikan dan kesaktiannya hanya berhubungan dengan pemimpin Kesultanan

Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, karena hanya dua pemimpin tersebut yang

dianggap setingkat dengannya sebagai pemimpin suatu masyarakat tradisional.

Dominasi Nyai Roro Kidul tersebut menandai bahwa tidak sembarang orang yang

bisa berhubungan dengan sang Nyai, karena ia hanya mau berhubungan dengan

orang-orang tertentu sesuai kehendaknya. Jadi, jika tidak berkehendak maka Nyai

Roro Kidul tidak akan muncul karena ia mempunyai kekuasaan tersendiri.

Selain menjalin hubungan dengan Raja Mataram seperti yang diungkapkan

sebelumnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu mempunyai kharisma. Kharisma Nyai

Roro Kidul terpancar dari asal usulnya yang merupakan sosok ratu gaib Laut

Selatan. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat atau berinteraksi

dengannya. Nyai Roro Kidul sebagai ratu Laut Selatan sendiri kemunculannya

mempunyai ciri-ciri yang khusus dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan sosok

Nyai Roro Kidul merupakan makhluk yang tak kasat mata, sehingga

kedatangannya melalui tanda-tanda gaib. Tanda-tanda gaib tersebut dapat dilihat

dari kutipan percakapan antara Pak Nung seorang peziarah yang sering

57

berkunjung ke Cepuri Parangkusumo tiap malam Jum’at Kliwon dengan Sam

berikut ini:

“Kalau Gusti Ratu Kidul hadir, angin datang persis dari arahselatan pintu Cepuri. Dan, tidak pakai berputar-putar segala. Hanyamemang cukup besar anginnya. Namun, tidak sampai merusak ataumenerbangkan sampah segala,” kata Pak Nung, peziarah yang mengakuberasal dari Temanggung.

“Pernah melihat hal itu?” tanyaku.“Sering, Mas. Karena setiap malam Jum’at Kliwon, saya selalu

datang.”“Ada tanda-tanda lain?”“Ada. Biasanya disertai harum kembang melati. Sangat harum.”

(Sang Nyai, 2011: 50).

Dari kutipan di atas dapat ditafsirkan bahwa masyarakat awam menandai

kedatangan Nyai Roro Kidul melalui kejadian alam seperti dalam bentuk angin

yang berhembus dari selatan melalui pintu Cepuri disertai harum kembang melati.

Fenomena alam berupa angin menjadi pertanda sebagai bentuk kedatangan leluhur

yang besar. Peristiwa ini sering terjadi ketika upacara atau pada waktu-waktu

ziarah. Harum melati juga merupakan pertanda akan keberadaan makhluk-

makhluk astral, baik dari leluhur maupun kalangan yang lebih tinggi sekelas dewi,

bidadari, ataupun arwah para raja.

Dalam novel Sang Nyai, hembusan angin dan harum melati mencirikan

kehadiran Nyai Roro Kidul di tempat tersebut. Ia datang lalu lenggahan atau

duduk-duduk di sekitar Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Hal itu

dipercaya merupakan tanda-tanda bahwa Nyai Roro Kidul telah hadir di Cepuri

untuk mengabulkan keinginan para peziarah melalui perantara doa-doa Mas

Darpo, sang juru kunci Parangkusumo. Dengan demikian, pada malam tersebut

58

banyak sekali orang datang ke Cepuri Parangkusumo untuk ziarah dan meminta

berkah pada Nyai Roro Kidul.

Nyai Roro Kidul juga digambarkan sebagai seorang pemimpin yang suci

dan keramat. Tidak hanya manusia yang takut padanya, bahkan kharismanya juga

membuat api tidak berani mendekatinya. Hal itu juga menegaskan bahwa sosok

Nyai Roro Kidul tidak dapat diremehkan. Berikut kutipannya.

“Kamar ini adalah saksi hidup. Tidak bisa dinalar dengan akalsehat, tapi terbukti. Nyata. Siapa pun bisa melihat dengan mata telanjang.Apa yang melindungi kamar ini dari amukan api? Tidak ada, bukan?Kamar ini terbuka seperti kamar yang lain. Dan nyatanya? Api pun takberani mendekat. Itu berarti Nyai Roro Kidul tidak termasuk sebangsa jinatau demit. Sebab, jin atau demit itu takut dengan api. Sedang apa yangterjadi di sini, justru apinya yang takut.” (Sang Nyai, 2011:151).

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Roro Kidul bukan

hanya makhluk halus biasa, namun makhluk setingkat dewi karena api saja takut

dengannya. Hotel Sanur Beach Hotel Bali pernah mengalami kebakaran dan

hanya satu kamar dalam hotel itu yang tidak terjilat oleh api. Sebagai makhluk

yang mempunyai sumber api lebih kuat dari api yang lain, menjadi penyebab api

biasa tidak berani melawan kekuatan Nyai Roro Kidul. Kamar tersebut akhirnya

selamat dari tragedi kebakaran.

Kejadian yang tidak masuk akal jika dipikirkan dengan akal sehat.

Masyarakat kemudian percaya bahwa kamar tersebut merupakan tempat

persinggahan Nyai Roro Kidul pada saat itu, sehingga kamar tersebut menjadi

tempat yang keramat. Hal itu dijelaskan Kesi yang tiba-tiba berada di kamar hotel

itu kepada Sam, ketika pemuda itu tiba-tiba terlempar ke Sanur Beach Hotel Bali

dalam meditasinya di bawah tujuh lukisan Nyai Roro Kidul. Terlihat bahwa

59

kharisma Nyai Roro Kidul terpancar dari figurnya yang mempunyai ciri-ciri

khusus. Seorang penguasa mempunyai aura tersendiri dan cenderung memiliki

kemampuan khusus yang membuatnya disegani rakyat dan memancarkan

kharisma yang dimilikinya. Hal ini mendapat tempat tersendiri di masyarakat

Jawa, sehingga sampai sekarang sosok Nyai Roro Kidul masih dipercaya

eksistensinya.

Dominasi Nyai Roro Kidul sebagai ratu lainnya juga dilihat dengan

sosoknya yang mempunyai tempat-tempat terhormat yang dipercaya oleh

masyarakat sebagai tempat yang keramat. Tempat-tempat tersebut berada di alam

nyata yang dikenal menjadi tujuh tempat persinggahan Nyai Roro Kidul. Tujuh

tempat keramat yang disebutkan dalam novel Sang Nyai yaitu Sanur Beach Hotel,

Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen, Parangkusumo, Samudera Beach Hotel,

Banglampir Gunungkidul, dan Pantai Karangbolong. Hal ini diketahui Sam

selama melakukan meditasi di rumah Nyai Mundingsari di bawah tujuh lukisan

sosok Nyai Roro Kidul. Ia seperti merasa dibawa kekuatan gaib menuju ke tempat

Nyai Roro Kidul berada.

Nyai Roro Kidul juga mempunyai tempat khusus untuk bertemu dengan

Sultan seperti di selo gilang yang bertempat di Cepuri Parangkusumo, maupun

tempat pertemuan dengan Sunan di Panggung Sanggabuwana di Keraton

Surakarta. Itulah bukti hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dan kebesaran yang ia

miliki yang dipercaya oleh masyarakat Jawa.

Selanjutnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu menurut pandangan masyarakat

Jawa dianggap sebagai sosok yang berwibawa karena dapat mengabulkan segala

60

keinginan dari para peziarah, dan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan.

Meskipun begitu ada yang pro dan kontra dengan sosok tersebut. Ada yang

mengatakan jika Laut Selatan sedang berombak dan memakan korban jiwa,

banyak yang menganggap bahwa Nyai Roro Kidul sedang marah dan mencari

tumbal. Sebenarnya hal tersebut hanya takhayul yang dibicarakan masyarakat

saja. Pada dasarnya, sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya merupakan sosok

yang welas asih, suka menolong, dan memberikan apa yang dimiliki bagi yang

meminta. Berikut keterangan yang dilontarkan oleh Kesi tentang sosok Nyai Roro

Kidul sebenarnya. Simak kutipan di bawah ini:

Mereka itulah yang nanti akan menjarah benda-benda labuhanyang dikembalikan ke pantai. Menyimpan benda-benda itu sebagai pusaka,atau berharap ada berkah tersendiri karena telah memperoleh benda-bendalabuhan. Mereka percaya jika benda itu sudah disentuh oleh Nyai RoroKidul. Bahkan ada yang dicoba. Nyai Roro Kidul bukannya menolakbarang-barang yang dipersembahkan kepadanya itu, namun konon iamemang kepengen memberikannya kembali kepada rakyat kecil yangpercaya dan setia dengan dirinya (Sang Nyai, 2011:365).

“Karena kita dianggap melecehkan beliau. Seolah kita hanyabermain-main saja, tidak serius. Padahal kalau kita berhasil, beliau benar-benar akan datang dan mengabulkan semua permohonan kita. Hebat,bukan?”

“Hebat sekali. Menyamai Sang Pencipta dong!”“Lho, beliau memang dekat dengan Sang Pencipta, Mas! Kalau

tidak, dari mana beliau bisa mengabulkan permohonan para peziarah?”(Sang Nyai, 2011:54).

Sosok Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang baik hati dan menghargai

rakyatnya. Dari kutipan di atas maka dapat disimpulkan bahwa berkah yang

diterima saat labuhan merupakan berkah dari Nyai Roro Kidul. Barang-barang

persembahan yang dilarung, dipercaya dapat memberikan rezeki, karena Nyai

Roro Kidul bermaksud memberikannya kembali kepada rakyat kecil yang percaya

61

dan setia kepada dirinya. Hal itu merupakan wujud kewibawaan dari seorang ratu

kepada rakyatnya, sehingga rakyat akan tunduk, patuh, dan menghormati sang

pemimpin. Dengan demikian, Nyai Roro Kidul merupakan figur yang sesuai

dengan dicita-citakan oleh masyarakat Jawa.

Sebagai ratu, Nyai Roro Kidul juga mempunyai wewenang yang harus

dijalankan oleh seorang ratu. Tanggungjawab ini berkaitan dengan segala hal

yang berhubungan dengan tugas-tugas kerajaan seperti seorang Ratu harus

mempunyai kekuatan sakti. Kekuatan sakti Nyai Roro Kidul sudah terlihat dari

bentuk kekuasaan dan kemampuan Sang Nyai. Nyai Roro Kidul merupakan sosok

penguasa Laut Selatan yang terkenal mempunyai pasukan dari bangsa makhluk

halus. Hal itu dimanfaatkan oleh Sultan Agung pada masa lampau untuk

menyerang Belanda, karena kekuatan gaib diyakini susah untuk tertandingi. Hal

ini membuktikan bahwa Nyai Roro Kidul merupakan sosok yang memiliki

kemampuan khusus karena berhasil memimpin puluhan ribu lelembut, makhluk

halus dalam kuasa kerajaan Laut Selatan. Berikut kutipannya:

Benarkah engkau seorang panglima, Nyai? Tanyaku dalam hati.Mungkin saja. Pasukannya adalah para lelembut, makhluk halus yangjumlahnya tidak bisa dihitung. Konon, waktu Sultan Agung dari Matarammenggempur Batavia, Raja Mataram itu pun minta dukungan dari NyaiRoro Kidul. Katanya, ada sekitar lima belas ribu makhluk halus gabungbersama para prajurit Mataram (Sang Nyai, 2011:159).

Kekuatan sakti Nyai Roro Kidul tersebut dapat memimpin sekitar lima

beras ribu makhluk halus. Dilihat dari sejarah hal itu merupakan kekuatan yang

luar biasa dari seorang ratu alam gaib dalam membantu Sultan Agung, Raja

Mataram kala itu. Kekuatan sakti juga merupakan modal utama seorang raja

62

untuk membela kekuasaannya, sehingga dengan demikian rakyat, bahkan

pemimpin dari bangsa lain akan tunduk dan menghormatinya. Kekuatan Nyai

Roro Kidul dalam memerintah bangsa lelembut menandakan kekuasaannya yang

meliputi makhluk-makhluk gaib, hal itu hanya dapat dilakukan oleh seseorang

yang mempunyai kekuatan sakti sehingga makhluk tersebut tunduk kepada sang

penguasa, yaitu Nyai Roro Kidul.

Sebagai seorang ratu, meskipun Nyai Roro Kidul berada dalam kehidupan

dua alam, manusia dan alam gaib, tetapi ia dimitoskan mempunyai seorang putri

bernama Nyi Blorong. Nyi Blorong merupakan anak dari Nyai Roro Kidul dengan

Begawan Antaboga (Dewa Ular Bumi). Nyi Blorong inilah yang dikenal

masyarakat untuk tempat mencari pesugihan. Berikut kutipannya:

“Nyai Blorong? Siapa dia, Mas?” tanyaku heran.“Belum pernah dengar?”Aku menggeleng.“Dia itu dipercaya sebagai putri dari Nyai Roro Kidul. Kalau ada

orang mencari kekayaan dengan cara gaib, biasanya mereka ditemui NyiBlorong. Dia makhluk berkepala manusia, namun tubuhnya berbentuk ularbersisik. Sisik emasnya itu yang diberikan kepada mereka yang haus hartabenda dunia, namun tidak mau kerja keras. Mereka mau hidup enak, hartamelimpah, namun dengan jalan pintas. Karena korupsi tidak bisa, yabisanya minta kepada Nyai Blorong itu, hehehe....” (Sang Nyai, 2011:341)

Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat percaya Nyi Blorong

merupakan keturunan Nyai Roro Kidul dengan wujud ular (turunan dari ayahnya)

berkepala manusia yang mempunyai sisik emas. Sisik emas itulah yang menjadi

sumber pesugihan bagi manusia yang ingin hidup enak tanpa bekerja keras.

Namun tidak semudah itu, apapun yang di dapat secara instan tentu mempunyai

syarat tertentu. Nyi Blorong tidak memberikannya secara sukarela, ia meminta

tumbal berupa orang-orang yang dicintai. Hal itu tentu berlawanan dengan sosok

63

Nyai Roro Kidul ibunya, meskipun makhluk gaib, namun ia sering berwujud

dalam rupa wanita cantik dan membantu rakyatnya dengan mengabulkan doa-doa

tanpa mengajukan syarat, karena Nyai Roro Kidul mempunyai sikap muraj hati.

Pusaka merupakan bentuk kebesaran atau lambang dari sebuah kekuasaan.

Namun, pusaka keramat juga bisa digunakan sebagai tanda kebesaran dalam

pertempuran. Nyai Roro Kidul juga mempunyai senjata keramat sebagai wujud

dari dirinya yang merupakan seorang Ratu. Perhatikan kutipan berikut:

“Punten Nyai,” kataku menirukan apa yang tadi diucapkan petugashotel. Tiba-tiba, bulu kudukku berdiri waktu menatap lukisan yangtergantung di dinding. Persis dengan lukisan yang tergantung di rumah BuMul! Sosok Nyai Roro Kidul digambarkan sedang naik kuda warna putih.Ia tidak mengenakan mahkota kebesaran. Justru rambutnya dibiarkantergerai. Di pinggangnya terselip keris pusaka. Sosok penguasa LautSelatan itu tidak digambarkan sebagai wanita cantik yang lemah gemulai.Namun, wanita yang gagah perkasa. Ia siap memimpin pasukannya majuke medan perang! (Sang Nyai, 2011:158).

Dari kutipan tersebut bisa dilihat bahwa sosok Nyai Roro Kidul

mempunyai senjata berupa keris pusaka. Sosok lain dari Sang Nyai ketika berada

di medan perang digambarkan sebagai wanita yang gagah perkasa menurut

pemikiran Sam. Meskipun hanya bentuk visualisasi dalam bentuk lukisan, namun

lukisan yang berbau mistik itu secara tidak langsung menggambarkan sosok Nyai

Roro Kidul dalam rupa seorang panglima perang berkuda.

Selanjutnya, Nyai Roro Kidul sebagai ratu juga mempunyai kekuasaan

untuk menggerakkan masyarakat Jawa, baik melalui mitos maupun tradisi yang

ada. Bahkan ia juga merupakan sosok yang paling dinanti kedatangannya ketika

ziarah di Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Para peziarah

menanti kedatangan Sang Nyai, sehingga mereka sangat patuh dengan waktu yang

64

biasa didatangi oleh Nyai Roro Kidul seperti ketika harus mengajukan

permohonan setelah lewat tengah malam. Simak kutipan berikut ini:

“Maka itu bagi peziarah yang sudah tahu, mereka baru mengajukanpermohonannya setengah lewat tengah malam. Kalau sore-sore begini,tidak ada gunanya. Gusti Ratu Kidul tidak bakal mendengar. Coba kalaunanti beliau sudah duduk sinewaka di atas selo gilang. Semua permohonanpara peziarah akan didengar dan dikabulkan. Mas Sam ini mau mintaapa?” tanya perempuan itu tiba-tiba (Sang Nyai, 2011:45).

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Nyai Roro Kidul mempunyai

waktu kunjungan pada saat-saat tertentu, sebagai rakyat yang tunduk kepada

rajanya maka para peziarah mulai mengajukan permohonan seperti pada waktu

yang telah ditentukan. Hal ini dikarenakan jika mengajukan sebelum itu tidak

akan didengar sang Nyai karena ia belum hadir ke Puri Parangkusumo. Namun,

ketika lewat tengah malam dipercaya Nyai Roro Kidul telah hadir dan duduk

sinewaka di atas selo gilang, batu pertemuan dengan Panembahan Senopati.

Sinewaka merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang mempunyai arti raja

yang duduk pada sebuah acara. Istilah tersebut hanya diperuntukan bagi para raja

karena duduknya seorang raja harus dihormati dengan cara menyembah dan

meninggikan raja. Hal tersebut merupakan bentuk adikodrati yang merupakan

kesakralan yang harus dilakukan sebagai seorang pemimpin ketika berhadapan

dengan rakyat. Dengan demikian, setelah Nyai Roro Kidul duduk sinewaka maka

ia dapat memberikan berkah keselamatan pada rakyat yang telah berkunjung di

Puri Parangkusumo dengan mengabulkan doa-doa dari para peziarah. Para

peziarah pun memberikan penghormatan dengan menyembah dan memanjatkan

doa yang mereka harapkan pada Nyai Roro Kidul.

65

“Sampai sekarang, saya tidak berani lagi mengulang puasangebleng agar bisa bertemu dengan Gusti Kanjeng Ratu Kidul.

“Kenapa?”“Konon, kalau kita gagal sampai tiga kali, maka Gusti Kanjeng

Ratu Kidul sendiri yang akan menjemput kita.”“Dia akan menjemput kita? Berarti, kita diajak ke keratonnya di

Laut Selatan sana?”“Ya.”“Modar kita!” (Sang Nyai, 2011:54).

Kutipan terakhir dari data di atas juga menegaskan kekuasaan Nyai Roro

Kidul sebagai ratu. Apabila seseorang melakukan puasa ngebleng selama tujuh

hari tujuh malam berturut-turut, maka dapat bertemu dengan Nyai Roro Kidul dan

segala permohonannya akan dikabulkan. Nyai Roro Kidul dianggap sebagai sosok

yang dekat dengan Pencipta, sehingga bisa mengabulkan permohonan para

peziarah. Hal tersebut diyakini dan dianut oleh masyarakat sehingga para peziarah

datang untuk meminta berkah dari Nyai Roro Kidul pada malam Jum’at Kliwon.

Namun, mitos lain juga berkembang jika tiga kali gagal dalam melaksanakan

puasa tersebut maka akan dijemput Nyai Roro Kidul lalu dibawa ke istananya.

Jika melanggar atau membuat kesalahan seperti hal tersebut ia akan mendapatkan

sanksi berupa kematian. Sanksi inilah yang membuat rakyat takut untuk menemui

Nyai Roro Kidul dengan puasa ngebleng tujuh hari tujuh malem.

Dominasi hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sebagai ratu merupakan

bentuk dari ideologi tradisional yang ada di dalam masyarakat Jawa, khususnya

daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Paham ini masih dianut oleh sebagian

masyarakatnya yang percaya adanya Ratu Laut Selatan sebagai penyokong

eksistensi Kesultanan Yogyakarta dan Keraton Surakarta.

66

2. Sang Nyai Mendukung Eksistensi Raja

Eksistensi raja pada kekuasaan Jawa terwakili oleh karakter Kanjeng Sultan dan

Kanjeng Sunan, karena kedua raja tersebut merupakan bagian dari catur sagotrah

yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram. Kedua pemimpin tersebut

masing-masing memimpin Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Keduanya memiliki gelar masing-masing yang menjadi ciri khas seorang

pemimpin hingga sekarang.

Kharisma seorang pemimpin dalam masyarakat negara kuno ditekankan

pada pengisolasian pemimpin dari rakyatnya, berdasarkan gagasan bahwa seorang

raja merupakan pemimpin utama yang suci. Setiap rakyat yang melihat raja atau

keturunan raja harus memberikan penghormatan kepada pemimpin tersebut.

Dalam novel Sang Nyai (2011:238), ketika Raden Mas Damar Kusumo (cicit

lelaki dan keturunan lelaki lain dari garis pria kerajaan) berjalan di depan. Setiap

kali berpapasan dengan abdi dalem, ia menerima penghormatan sembah.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Raden Mas Damar Kusumo

sebagai keturunan raja mendapat penghormatan dari para abdi dalem kerajaan.

Hal itu biasa dilakukan oleh para abdi setiap berpapasan atau bertemu muka

dengan bangsawan kerajaan dengan tujuan untuk menghormati. Sembah juga

sekaligus bentuk sopan santun dari rakyat atau abdi kepada rajanya. Raja atau

kaum bangsawan kerabat raja dianggap paling suci, sehingga merupakan hal tabu

jika langsung menatap wajahnya secara langsung, etika yang harus dipenuhi

adalah dengan menghaturkan sembah terlebih dahulu agar tidak terkesan lancang.

67

Nama juga merupakan bentuk kharisma dari seorang raja atau keturunan

raja. Keraton Yogyakarta mempunyai pemimpin dengan gelar Ngarsa Dalem

Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun-Kanjeng Sultan Hamengkubuwono ing Alaga

Ngabdulrrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing

Ngayogyakarta Hadiningrat yang mempunyai arti pemimpin yang menguasai

dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, dan Tuan semua orang yang percaya.

Untuk Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwana mempunyai gelar

Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Sri Paku Buwana

Senapati ing Alaga Ngabdulrrakhman Sayidin Panatagama Kaping... Dengan

demikian, mempunyai kuasa atas daerah Keraton Surakarta dengan falsafah

kepemimpinan seperti yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta.

Dalam novel Sang Nyai juga dijabarkan mengenai permasalahan gelar

kebangsawananan. Perhatikan kutipan berikut:

Orang yang sangat pede, percaya diri. Bisa dimaklumi. Gelarkanjeng raden tumenggung atau KRT termasuk terhormat di kalangan paraabdi dalem keraton. Pada zaman dulu, gelar itu memang bisa dibangga-banggakan. Karena tidak semua orang bisa memperolehnya. Hanya orang-orang tertentuyang berjasa kepada keraton bisa memperoleh gelar tersebut.Tetapi konon, Kasunanan Surakarta lebih mudah memberikan gelartersebut. Beberapa pengamat budaya mengatakan jika gelar terhormatitusepertinya diobral begitu saja. Beda dengan Kesultanan Yogyakarta.Sangat selektif menganugerahkan gelar kehormatan kepada para individu(Sang Nyai, 2011:310).

Nyai Maryatun mempunyai suami yang bergelar KRT yaitu Kanjeng

Raden Tumenggung. Gelar tersebut termasuk gelar terhormat pada abdi dalem

kerajaan Kasunanan Surakarta. Gelar yang diberikan oleh Kanjeng Sunan tersebut

bisa menjadi kebanggaan masing-masing abdi dalem. Untuk itulah kanjeng Sunan

68

sangat disegani, hal itu juga berlaku di Kesultanan Yogyakarta. Seperti tokoh Mas

Darpo dalam novel Sang Nyai yang mempunyai gelar Lurah.

Gelar kepemimpinan merupakan bentuk kharisma dari seorang raja.

Dengan demikian, raja tersebut harus mempunyai sifat seperti falsafah

kepemimpinan yang dianut oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memimpin

pada 1940-1988. Falsafah kepemimpinan tersebut adalah ‘hamengku, hamangku,

hamengkoni’. Hamengku berarti harus melindungi rakyat secara adil tanpa

membeda-bedakan golongan, keyakinan, maupun agamanya; hamangku

mempunyai arti berkewajiban memberi kepada rakyat bukan lebih banyak

menerima; hamengkoni yang berfungsi sebagai teladan dan memikul tanggung

jawab sebagai pemimpin kepada rakyatnya (Achmad, 2013:68).

“Ya, kami berdoa begitu. Mosok Tuhan akan tega melihat kawulaNgayogyakarta itu pada mampus dimangsa lahar panas? Pasti tidak.Karena itu kemarin-kemarin ada imbauan agar kita semua membuat sayurtolak bala. Dan untunglah, banyak yang membuat. Memang ada satu duakeluarga ya balela, kebanyakan keluarga muda, ya tidak apa-apa. Kalauterjadi sesuatu biar ditanggung sendiri, hehehe...” (Sang Nyai, 2011:280).

Berdasarkan kutipan di atas, sebagai raja harus memperhatikan rakyatnya

dengan memberikan perintah untuk mengantisipasi suatu kejadian. Seperti tradisi

untuk membuat sayur tolak bala merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar

menghindarkan dari bencana. Tradisi membuat sayur tolak bala merupakan

tradisi yang dipercaya masyarakat.

“Ya, harus begitu. Dulu, saat banjir tahun 1969 itu, Ngarsa Dalemsendiri turun tangan langsung. Beliau katanya sampai cuci muka di KaliCode. Dampaknya, banjir langsung surut.” (Sang Nyai, 2011:298).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebagai seorang raja, tanggungjawab

untuk turun mengatasi bahaya demi rakyatnya juga merupakan tugas raja. Hal itu

69

dilakukan oleh Sang Sultan ketika terjadi banjir di Kali Code pada tahun 1969.

Sultan mencuci muka di sungai tersebut, sehingga secara ajaib banjir yang

melanda warga surut. Itu membuktikan bahwa raja mempunyai kekuatan sakti

yang dapat membuat bencana banjir itu surut. Dengan kekuatan sakti maka raja

dapat membebaskan rakyatnya dari penderitaan akibat bencana.

Bertolak pada analisis di atas, raja mempunyai peran yang sangat besar

untuk mengendalikan rakyat. Sementara itu, sebagai pusat kekuasaan di tanah

Jawa, raja menjadi penengah hubungan yang terjadi antara Laut Selatan (Nyai

Roro Kidul) dengan Merapi yang dijaga oleh Kiai Sapu Jagad. Berdasarkan

perjanjian yang telah dibuat antara Panembahan Senopati dengan Nyai Roro Kidul

pada masa lampau, maka Keraton sangat bergantung pada kekuasaan Laut

Selatan. Nyai Roro Kidul sebagai bentuk dominasi kekuasaan lain yang

menyokong kehadiran Keraton merupakan bentuk ideologi tradisional yang

melekat di benak masyarakat Jawa. Dengan rakyat yang mengakui dan

menghormati eksistensi Sultan sebagai pemimpin mereka, maka hal yang

dipercaya raja akan dianut oleh masyarakatnya, termasuk mempercayai eksistensi

Nyai Roro Kidul.

Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam mendukung eksistensi raja dalam

novel Sang Nyai terlihat dengan kepercayaan bahwa Nyai Roro Kidul mendukung

kewibawaan Sang Sultan. Kewibawaan Sultan dalam ditunjukkan dengan

kekuatan pasukan Mataram pada masa lampau, jika dengan bantuan tentara Nyai

Roro Kidul, maka pasukan Mataram akan semakin kuat dan disegani oleh rakyat.

Sultan Agung sebagai pemimpin kerajaan Mataram pendahulu merupakan sosok

70

raja yang diakui sebagai raja yang dapat menakhlukkan banyak wilayah. Ia juga

dikenal sebagai pemimpin dengan tangguhnya pasukan Mataram yang tercatat

dalam sejarah. Hingga keturunannya sekarang pun eksistensi dari kerajaan

Mataram masih tetap ada berkat bantuan dari Nyai Roro Kidul yang merupakan

istri dari Raja Mataram. Berikut kutipannya:

Sultan Agung yakin sekali akan menang. Sebab, para lelembut itutidak mungkin dikalahkan. Tentara Belanda tidak bisa menembaknya.Mereka tidak punya ilmu untuk melihat alam gaib. Lagi pula, ruh halustidak bisa mati. Mau diapa-apakan pun, ruh itu tetap ruh. Karenakeyakinannya itu, Sultan Agung menolak bantuan dari raja-raja di luarPulau jawa. Cukup mengandalkan bantuan lelembut dari Laut Selatan. Jikananti menang, kira-kira demikian pemikiran Sultan Agung, yang akanmendapat nama harum adalah dirinya. Dia sebagai Raja Mataramdianggap memiliki pasukan yang hebat dan tangguh. Kalau Belanda sajabisa ditaklukkan, maka dengan mudah ia bisa menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang selama ini belum mau tunduk kepadanya (Sang Nyai,2011:159).

Dari kutipan di atas, Sultan Agung sebagai raja pada masa itu akan

disegani oleh kerajaan-kerajaan kecil tetangga jika berhasil menyerang Belanda

dengan bala tentara Nyai Roro Kidul. Sultan Agung mempunyai rencana untuk

menggempur Belanda yang sedang menguasai tanah Jawa. Sangat terlihat bahwa

Sultan Agung sangat bergantung dengan bantuan dari kekuatan Nyai Roro Kidul.

Dengan mempunyai pasukan yang tangguh dengan tambahan dari bangsa jin atau

lelembut dari Nyai Roro Kidul dapat menaikkan kekuatan tempur kerajaan

Mataram. Hal itu menunjukkan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul

mempengaruhi bidang politik kerajaan Mataram.

Selain itu, hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap raja ditandai dengan

Kanjeng Sultan dan Kanjeng Sunan yang menyediakan tempat khusus bagi

pertemuannya dengan Nyai Roro Kidul. Terkadang kedua tokoh tersebut

71

menyempatkan diri menemui Nyai Roro Kidul yang merupakan kekasih mereka

pada waktu-waktu tertentu. Simak kutipan berikut:

“Kalau Ngarsa Dalem ke Parangkusumo, beliau itu tidak datangpas malam Jum’at Kliwon. Terlalu ramai. Mana beliau mau? Beliau itudatang pada hari biasa dan menyamar seperti rakyat biasa. Hanyamengenakan surjan lurik, sarung tenun, dan sandal jepit. Tidak adapengawal, tidak ada abdi dalem yang mengiringi. Beliau datang sendiri.Kadang naik sepeda motor. Mas Darpo sendiri sering tidak tahu. Karenamemang tidak diberi tahu. Begitulah cara Ngarsa Dalem kalau inginbertemu dengan kekasih hatinya, Nyai Roro Kidul.” (Sang Nyai,2011:204-205)

“Begitu pun kalau Kanjeng Sunan mau bertemu dengan Nyai RoroKidul. Beliau naik ke Panggung Sanggabuwana sendirian. Biasanyatengah malam ketika seluruh penghuni keraton sudah tidur,” lanjut PakNung (Sang Nyai, 2011:205).

Berdasarkan kutipan di atas, Nyai Roro Kidul telah dianggap sebagai istri

dari raja-raja Mataram pendahulu hingga penguasa Yogyakarta dan Surakarta

sekarang ini. Hal tersebut telah melekat di benak masyarakat. Kondisi ini pun

sampai saat ini masih begitu kuat, sehingga masih banyak yang mempercayai

eksistensi Nyai Roro Kidul.

Efek dari kepercayaan adanya Nyai Roro Kidul, juga dapat dilihat dari

cara pandang masyarakat terhadap raja-raja Yogyakarta dan Surakarta. Adanya

hegemoni tersebut memperkuat posisi raja di masyarakat. Raja dianggap sebagai

manusia setengah dewa karena dapat berhubungan dengan penguasa gaib Laut

Selatan, sehingga tak seorang pun yang berani melanggar perintah Raja. segala

hal yang diperintahkan Raja termasuk seperti melakukan labuhan,

sesajen,kenduri, dan selamatan juga harus dipatuhi oleh rakyat untuk

menghindarkan dari bencana.

72

“Sebagai penengahnya adalah Ngarsa Dalem di KeratonYogyakarta.”

“O....”“Maka itu. Ngarsa Dalem menugaskan abdi dalem keraton untuk

menjaga Laut Selatan dan Merapi. Keduanya harus dijaga, diberi sesajen,jangan sampai marah. Karena itu, setiap kali Ngarsa Dalem mengadakanupacara labuhan, selalu diadakan di beberapa tempat. Antara lain ya diLaut Selatan dan Gunung Merapi (Sang Nyai, 2011:330).

Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa untuk memperkuat

posisinya itu raja menempatkan orang-orang yang dipercaya yaitu abdi dalem

kerajaan untuk menjadi juru kunci pada kekuatan kosmis yang menjadi

penyokong pemerintahannya di Yogyakarta. Kekuatan kosmis tersebut

mempunyai masing-masing pemimpin, yaitu Gunung Merapi yang dijaga oleh

Kiai Sapu Jagad dan Laut Selatan yang dipimpin oleh Nyai Roro Kidul.

Raja sebagai pelaku dominan dalam hegemoni mempunyai sistem

kekuasaan yang otoriter sehingga raja merupakan sumber kedaulatan rakyat yang

utama menurut pemikiran Jawa. Jika raja telah menanamkan ideologi tradisional,

secara turun temurun maka rakyat akan patuh dalam kuasa raja dan ideologi

tersebut. Dominasi raja yang bersifat mutlak membuat kepercayaan Raja terhadap

Nyai Roro Kidul akhirnya diikuti oleh rakyatnya. Nyai Roro Kidul tentu saja

berpengaruh terhadap eksistensi raja yang bertahta hingga sekarang.

Kekuasaan raja juga merupakan hal yang bersifat mutlak dan didukung

oleh rakyat, sehingga pemimpinan tertinggi di provinsi tetap harus dipegang oleh

Sang Sultan, tidak dibebankan kepada orang lain. Rakyat tidak menginginkan ada

pihak lain yang memerintah Sultan di daerah kekuasaannya. Seperti yang terjadi

dalam sidang rakyat di gedung DPRD DIY pada 26 Agustus 1998, mereka

mengangkat Sri Sultan Hamengkubuwono X menjadi Kepala Daerah. Rakyat

73

mengatakan hanya Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berhak menduduki kursi

Gubernur DIY.

Demikian pula dengan masalah kepercayaan, sebagai pusat kekuasaan

yang sinkretis, hegemoni mitos Nyai Roro Kidul pada Keraton membuat raja

harus memusatkan perhatian pada rakyatnya dengan mengirimkan orang-orang

kepercayaannya untuk menjadi juru kunci di Merapi dan Parangkusumo.

Masyarakat Jawa tunduk kepada raja dengan kekuasaan dominan yang terikat

pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Mereka merasa bahwa dipersatukan

dalam lindungan raja merupakan sebuah berkah yang luar biasa.

3. Sang Nyai Sebagai Penguasa Kosmis

Hubungan antara Keraton, Gunung Merapi, dan Laut Selatan merupakan satu

kesatuan kekuatan kosmis Jawa. Nyai Roro Kidul sebagai pemimpin Pantai

Selatan, mempunyai pengaruh kuat terhadap ketiga tempat tersebut. Nyai Roro

Kidul sebagai tokoh untuk menyokong eksistensi keberadaan raja yang

memerintah di Keraton, sedangkan di Merapi, ia berteman baik dengan Kiai Sapu

Jagad penjaga kawah Merapi. Selain persahabatan yang terjalin kuat sejak dahulu,

Nyai Roro Kidul Kidul juga mempunyai hubungan khusus dengan penunggu

kawah Merapi. Berikut merupakan paparan analisis yang menjelaskan hegemoni

mitos Nyai Roro Kidul terhadap tiga tempat tersebut.

74

a. Keraton

Keraton merupakan pusat pemerintahan sekaligus tempat keramat bagi tahta

seorang raja. Tempat raja melakukan kepemimpinannya ini merupakan pusat dari

segala kegiatan pemerintahan. Daerah kekuasaan Keraton biasanya berada dalam

pusat kota. Namun, jika tinjauannya pada wilayah kebudayaan Jawa dari masa

lalunya yaitu pada masa kerajaan Mataram, maka masyarakat Jawa oleh

Koentjaraningrat dapat dibedakan ke dalam tiga tipe wilayah kebudayaan, yaitu

(a) negarigung, (b) mancanegari, dan (c) pesisiran. Daerah Keraton inilah yang

dikenal sebagai negarigung yaitu daerah di seputar kota Surakarta dan

Yogyakarta.

Keraton di pusat ibukota yang dikelilingi tempat-tempat penting

membentuk lingkaran, dengan kantor-kantor pemerintahan di pusat kota. Para

abdi dalem tinggal di sekitar wilayah keraton tersebut dengan pengabdian di

Keraton. Masyarakat di daerah tersebut mengutamakan kehalusan baik dari

tingkah laku, berbahasa, maupun kesenian. Namun, kepercayaan agama dalam

masyarakat tersebut cenderung sinkretik karena menganut Islam kejawen (Thohir,

http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/ 2010/07/30/masyarakat-pesisir diakses

pada tanggal 24 September 2012).

Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam Keraton sangat terlihat karena

tempat pertemuan khusus dengan sang raja berada di daerah sekitar wilayah

Keraton. Raja menyediakan tempat khusus bagi Nyai Roro Kidul yang berposisi

sebagai istri raja. Tempat pertemuan tersebut berada di Panggung Sanggabuwono

di Keraton Surakarta untuk pertemuan dengan Kanjeng Sunan, dan Hotel

75

Ambarukmo serta selo gilang di Parangkusumo untuk pertemuan dengan

Kanjeng Sultan di Yogyakarta. Berikut kutipannya:

“Di dalam kompleks keraton, ada tempat yang diberi namaPanggung Sanggabuwana. Tempat itu dulu sering dipakai oleh KanjengSunan untuk bertemu dengan Nyai Roro Kidul.”

“Oh, menarik. Di Keraton Yogya malah tidak ada tempat semacamitu.”

“Karena di Yogya, beliau sudah disediakan kamar khusus di HotelAmbarukmo. Jadi tidak perlu lagi ada tempat khusus di lingkungankeraton,” papar Pak Nung. “Juga sudah ada selo gilang di Parangkusumo.Nanti malah kebanyakan tempat pertemuan, malah bisa dilihat banyakorang, hahaha....” (Sang Nyai, 2011:205).

Yogyakarta, hampir setiap sudut kota dan peristiwanya tidak lepasdari kisah-kisah mistik. Sebagian masyarakatnya masih percaya wisik,wangsit, firasat, pralambang, dan kekuatan gaib. Jika menyangkut Merapi,maka jangan abaikan peran Keraton Yogyakarta dan penguasa Laut Kidul.Ketiganya seolah jadi sumber kekuatan yang saling menopang satu denganyang lain. Keyakinan itu sudah hidup di tengah masyarakat secara turuntemurun karena memang dijaga betul agar jangan sampai anak cucugenerasi berikut melupakan begitu saja. Jangan sampai mereka lupa akansejarah leluhurnya, namun juga belum memiliki tempat untuk berpijak danmenemukan nilai-nilai hidup yang baru. Jika hal itu sampai terjadi, makamereka bisa menjadi generasi yang terombang-ambing oleh situasi zaman.Generasi yang tercerabut dari akar budayanya sendiri. Mungkin begitu.Sekurang-kurangnya, begitulah pendapat para budayawan dan sejarawanyang pernah kubaca (Sang Nyai, 2011:283-284).

Berdasarkan kutipan di atas, daerah Yogyakarta hingga sekarang masih

penuh dengan kepercayaan terhadap hal gaib. Daerah ini dulu merupakan bagian

dari kekuasaan Mataram meski telah terbagi menjadi empat bagian dengan dua

wilayah pemerintahan keraton dan dua kadipaten yaitu Kesultanan Yogyakarta,

Kadipaten Pakualaman, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran

(catur sagotrah) berdasarkan perjanjian Giyanti yang ditandatangi pada tanggal

13 Februari 1755 dengan VOC. Mitos Nyai Roro Kidul berkembang pesat di

dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempercayai

76

mitos tersebut yang menunjukkan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul masih

tertanam kuat.

Meskipun ada pihak yang menganggap bahwa kehadiran legenda Nyai

Roro Kidul hanya sebagai propaganda politik dari pihak kerajaan atau Keraton

untuk menakut-nakuti rakyatnya, namun dalam novel ini ditampik karena

mengungkapkan berbagai kejadian supranatural yang secara langsung dialami

oleh Sam. Kejadian tersebut berhubungan dengan Laut Selatan, Keraton, dan

Merapi yang menguatkan kebenaran tentang keberadaan tokoh Nyai Roro Kidul

dan hegemoni kekuasaannya terhadap masyarakat Jawa.

b. Gunung Merapi

Gunung Merapi merupakan gunung yang terletak di Jawa Tengah, wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya ± 20 km di sebelah utara Keraton

Yogyakarta. Gunung Merapi merupakan gunung yang dikenal sebagai gunung

paling aktif di Indonesia, bahkan di dunia. Merapi dipercaya sebagai gunung yang

keramat karena di dalamnya dihuni oleh para jin, lelembut, atau roh-roh leluhur.

Gunung Merapi mempunyai peran yang sangat penting terhadap

kelangsungan Keraton dan Laut Selatan. Pengadaan sesajen dan doa sering

dilakukan di sekitar Merapi untuk menghormati kekuasaan makhluk halus Merapi

dan Nyai Roro Kidul. Ritual tersebut dapat menghindarkan daerah Yogyakarta

dari malapetaka, misalnya Merapi tidak akan marah dan meletus apabila diberi

sesajen.

77

Keberadaan letak mistis geografis keraton Mataram bagi masyarakat Jawa

memiliki filosofis istimewa. Posisi letak antara Gunung Merapi, Keraton

Kesultanan Yogyakarta dan Laut Selatan berada dalam satu garis lurus dari

selatan ke utara yang dinamakan "garis imajiner”. Merapi pun diyakini

mempunyai penunggu bernama Kiai Sapu Jagad, yang mempunyai hubungan baik

dengan Nyai Roro Kidul.

“Antara Gunung Merapi dan Laut Kidul itu ada hubungan lho, Om.Di Laut Kidul ada Nyai Roro Kidul, sedang di Merapi ada Kiai Sapu Jagadalias Eyang Petruk. Mereka saling berhubungan baik (Sang Nyai,2011:329-330).”

Dalam novel Sang Nyai, Merapi digambarkan sebagai tempat tinggal Kang

Petruk, teman Kesi. Kang Petruk dikenal warga sebagai Mbah Petruk penunggu

kawah Merapi. Kondisi Merapi yang saat itu semakin berbahaya membuat rakyat

Yogyakarta cemas. Bahkan, himbauan untuk membuat sayur tolak bala di sekitar

lereng Merapi telah dilakukan. Kegiatan tersebut agar terhindar dari bencana

letusan Merapi. Sementara itu untuk warga di pesisir Pantai Selatan mengadakan

upacara labuhan meminta pertolongan kepada Nyai Roro Kidul untuk membujuk

Kiai Sapu Jagad agar tidak marah dan memuntahkan laharnya ke daerah

Yogyakarta. Hubungan baik antara penunggu Merapi dengan Nyai Roro Kidul

menandakan bahwa Nyai Roro Kidul juga menghegemoni penguasa Merapi. Jika,

Nyai Roro Kidul berhasil membujuk Kiai Sapu Jagad maka diharapkan bencana

tidak akan terjadi dan rakyat Yogyakarta selamat.

“Saya khawatir jika suatu saat nanti Merapi marah danmeluluhlantakkan tempat-tempat semacam itu. Sebab, sedikit banyak,keberadaan losmen itu mengotori kesakralan Merapi. Gunung yang satuini tidak bisa dibuat main-main. Beda dibanding gunung-gunung yanglain. Merapi itu berkaitan erat dengan Keraton Yogyakarta dan penguasa

78

Laut Selatan, Nyai Roro Kidul. Ingat waktu kamu naik andong gaib.Berangkat dari selatan kali Opak melewati KeratonYogyakarta, lalumenyusuri Malioboro, melewati tugu, baru kamu tiba di rumah MbahPetruk. Yang kamu lewati itu memang jalur penghubung utama tigasumber kekuatan di jantung Pulau Jawa. Merapi-keraton-Laut Selatan.Para ahli budaya Jawa yakin sekali akan hal itu (Sang Nyai, 2011:172).

Berdasarkan kutipan tersebut gunung Merapi adalah gunung yang aktif,

namun mempunyai tanah yang subur sehingga menjadi surga bagi rakyatnya,

Selain itu, pasir dari gunung yang larut di sungai-sungai menjadi harta karun bagi

para penambang pasir. Sebagai salah satu kekuatan penting di jantung pulau Jawa

yang terkait dengan Keraton dan Laut Selatan, Merapi memberikan banyak berkah

kepada warganya. Sayangnya, kesakralan Merapi mulai berkurang. Di lereng

Merapi terdapat banyak losmen-losmen untuk berbuat asusila, dan itu sudah

menjadi pekerjaan sampingan beberapa warga gunung yang berprofesi mengelola

losmen sejenis. Dengan adanya hal tersebut, maka tidak heran jika Merapi akan

murka. Kekayaan alam, kesuburan, dan tempatnya yang strategis dimanfaatkan

untuk melakukan hal yang tidak baik.

Namun, letusan Gunung Merapi sebenarnya adalah sebuah siklus alam

yang sudah seharusnya terjadi. Mitologi letusan Gunung Merapi tersebut dipakai

dalam konseptual nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan

manusia, manusia dengan pencipta hidup, manusia dan alam adikodrati (sakral)

dalam pemahaman Jawa. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul tetap mencakup

wilayah Merapi berdasarkan relasi yang dibangun antara Kiai Sapu Jagad dan

Sang Sultan sebagai penengah, hal ini sangat dipercaya oleh masyarakat Jawa,

sehingga Gunung Merapi merupakan wilayah cakupan hegemoni mitos Nyai Roro

Kidul.

79

c. Laut Selatan

Laut Selatan merupakan wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul yang paling terlihat.

Ombak Laut Selatan Jawa yang tinggi dan ganas menandakan kekuasaan sang

Ratu. Menurut Artha (2009:96), Laut Selatan dijadikan medium persembahan

adikuasa, yang memberi simbolisasi tritunggal yaitu (1) Ingkang sinuhun, yakni

raja yang bertahta di singgasana duniawi, (2) Sanahita, yakni ratu yang bertahta di

singgasana kedewataan, dan (3) Sasinara, yakni ratu yang menguasai alam rohani.

Dari ketiga unsur tersebut maka sosok Maharani Dewi Asmarawangi

Cemaralungit dimitoskan sebagai Ratu Kidul, atau Nyai Roro Kidul pemimpin

Laut Selatan. Berikut kutipan yang menjelaskan kekayaan dari Laut Selatan:

“Mataram yang makmur! Jika sampai kekurangan, bisa mintabantuan Nyai Roro Kidul untuk membagikan kekayaannya. Sebab, konondi kerajaan Laut Selatan ditimbun berton-ton emas. Tinggal bagaimanacaranya membujuk penguasa Laut Selatan itu untuk berbagi dengankawula Mataram. Pasti tidak keberatan mengingat penguasa Mataramadalah kekasihnya!” (Sang Nyai, 2011:235).

Sebagai kekasih dari para Raja Mataram di Keraton, Nyai Roro Kidul

pemimpin Laut Selatan berkolaborasi dengan Sultan mempunyai hubungan

simbolisasi seperti lingga dan yoni, laki-laki dan perempuan, suami istri yang

menjalin kerjasama saling mengisi satu sama lain. Hubungan erat ini pun

dibuktikan dengan bantuan Nyai Roro Kidul kepada Sri Sultan Hamengkubuwono

I ketika membangun Keraton di kawasan bumi baru pada 1755 dengan bantuan

Nyai Roro Kidul. Bantuan tersebut berupa perlindungan untuk kelancaran

pembangunan Keraton. Pada saat itu terjadi badai, sehingga pembangunan itu

takkan selesai jika terus demikian. Untuk itulah, Nyai Roro Kidul menggunakan

80

kekuatan gaibnya, sehingga pembangunan tetap berjalan meski hari sedang badai.

Hal itu merupakan bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap Raja

Mataram. Raja masih sangat bergantung terhadap eksistensi sosok Nyai Roro

Kidul (Artha, 2009:97).

Berdasarkan kepercayaan Jawa, Pantai Selatan yang berada di laut Jawa

mempunyai ombak yang ganas. Keganasan laut dianggap mempunyai kekuatan

supranatural. Segala aktivitas yang berhubungan dengan Laut Selatan harus

dilakukan dengan seizin Nyai Roro Kidul agar selamat. Seperti contoh, upacara

sesaji atau dikenal sebagai sedekah laut. Jika sesaji tidak dilakukan, maka rakyat

percaya bahwa dapat terjadi kecelakaan laut atau timbul gelombang dan bencana

yang bisa memakan korban. Namun, jika upacara dilaksanakan maka Nyai Roro

Kidul akan memberikan berkah dan melindungi keselamatan rakyat Yogyakarta.

“Bukankah nyala api kemenyan tampak menjilat-jilat tinggi?”“Ya.”“Itu pertanda bahwa sang Nyai berkenan atas Labuhan Jaladri yang

kami laksanakan. Kalau beliau menolak, jangankan apinya menjilat-jilat,kadang-kadang malah tidak mau nyala sama sekali kemenyannya (SangNyai, 2011:403).

Berdasarkan kutipan di atas, restu dari Nyai Roro Kidul pada acara

labuhan mempengaruhi prosesi labuhan. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul

menggerakkan rakyat untuk melaksanakan segala kegiatan harus dengan izin dari

penguasa Laut Selatan, jika tanpa seizinnya maka akan menjadi musibah. Namun,

kehidupan tidak ada yang tahu. Meskipun saat labuhan memakan korban, bukan

berarti Nyai Roro Kidul tidak menerima persembahan. Hal itu merupakan takdir

dari Sang Pencipta bahwa korban-korban yang tenggelam saat mencari barang-

barang yang di larung memang sudah saatnya untuk berpulang.

81

Benar tidaknya mengenai kisah Nyai Roro Kidul berdasarkan kepercayaan

masyarakat yang menjalankan hegemoninya. Bukti kepercayaan itu tentu saja

dengan dilaksanakannya kegiatan labuhan yang dilaksanakan setiap tahun di

Pantai Parangtritis. Kegiatan labuhan ini bertujuan untuk memberikan nafkah

kepada Nyai Roro Kidul dari raja. Sebagaimana halnya seorang suami sang raja

wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Persembahan yang diberikan dalam

labuhan ini juga berupa makanan dan barang-barang tertentu yang sudah

ditentukan, termasuk pakaian sang raja yang sudah bekas juga diberikan kepada

Sang Ratu.

4. Sang Nyai dalam Tradisi

Sebagai bentuk hegemoni yang lain, Nyai Roro Kidul juga menghegemoni tradisi

dan adat istiadat masyarakat Jawa. Hal ini mencakup tradisi labuhan dan tradisi

ziarah ke Cepuri Parangkusumo. Berikut analisisnya.

a. Tradisi Labuhan

Labuhan atau sedekah laut merupakan bentuk upacara yang dilakukan oleh warga

pesisir. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan Nyai Roro Kidul karena

dilakukan di tepi Pantai Selatan. Harus ada izin dari Nyai Roro Kidul jika ingin

mengadakan labuhan, karena tradisi ini merupakan hubungan timbal balik antara

raja yang berkuasa, dengan pemimpin Laut Selatan tersebut. Kewajiban Labuhan

selalu dijalankan oleh raja setiap tahunnya, namun pada saat terjadi peristiwa-

peristiwa tertentu yang mengancam Yogyakarta maka ritual labuhan akan

82

diselenggarakan. Dalam novel Sang Nyai, kondisi Merapi sedang berada dalam

tahap hampir meletus. Untuk itulah, Ngarsa Dalem meminta rakyat di pesisir

untuk melakukan labuhan guna meminta pertolongan pada Nyai Roro Kidul.

Ritual labuhan itu mempunyai beberapa langkah, yaitu menyiapkan sesajen,

selamatan,kenduri, dan upacara labuhan. Berikut uraiannya.

(1) Sesajen

Sesajen merupakan simbolisme dalam adat Jawa. Maksud dibuat sesajen adalah

untuk mendukung kepercayaan terhadap adanya roh halus yang berdiam atau

mbahu reksa di tempat-tempat tertentu agar jangan mengganggu keselamatan,

ketentraman, dan kebahagiaan yang mengadakan sesajen, atau sebaliknya untuk

meminta berkah dan lindungan dari yang mbahu reksa untuk menjauhkan atau

menghindarkan dari gangguan maupun bencana (Herusatoto, 1985:100).

Sesajen merupakan tradisi yang dilaksanakan oleh orang Indonesia

khususnya Jawa dalam peristiwa tertentu. Dalam novel Sang Nyai, sesajen

diadakan untuk keperluan sebelum labuhan. Biasanya berisi makanan, kembang,

bubur, tumpeng, rempah-rempah, atau semacamnya yang mempunyai nilai-nilai

tertentu. Perhatikan kutipan berikut:

“Monggo, monggo, silakan.” Mbak Sum membuka taplak penutupsesajen yang akan dilabuh. “Ini ada tujuh tumpeng dan ingkung utuh satu.Ada jajan pasar lengkap. Tujuh macam kembang. Urap dari tujuh macamsayuran dan bubur tujuh warna,” jelas perempuan itu. Semua sesajen itudiletakkan di atas tampah, nampan besar terbuat dari anyaman bambu(Sang Nyai, 2011:354).

Sesajen yang disiapkan tersebut semua serba angka tujuh. Dalam bahasa

Jawa tujuh adalah pitu. Jadi, sesajen tersebut mempunyai makna untuk mohon

83

pitulungan atau pertolongan kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan.

Sesajen yang diadakan tersebut juga bersamaan dengan kondisi Merapi yang

sedang dalam keadaan darurat, sehingga dengan sesajen tersebut penduduk Pantai

Selatan berharap bagi keselamatan saudara-saudara mereka yang tinggal di lereng

Merapi. Perhatikan kutipan berikut ini:

Rombongan orang yang mau mengadakan labuhan lalu masukkembali ke dalam rumah Mas Darpo dan tetangganya. Padahal, merekasudah siap-siap melakukan prosesi. Berangkat dari rumah Mas Darposebagai juru kunci, lalu masuk ke Cepuri Parangkusumo. Di situ, semuasesajen dan barang-barang labuhan diletakkan dulu di atas selo gilang.Mas Darpo mendoakannya. Mempersembahkan semuanya itu untukPanembahan Senapati dan Nyai Roro Kidul. Dengan harapan, keduanyabertemu lagi di selo gilang itu untuk memberikan berkah pertolongannya.Setelah itu, barulah prosesi dilanjutkan menuju pantai (Sang Nyai,2011:361).

Berdasarkan kutipan tersebut jelas sekali bahwa hegemoni mitos Nyai

Roro Kidul sangat mempengaruhi prosesi ini. Masyarakat membuat sesajen yang

telah didoakan oleh Mas Darpo juga untuk dipersembahkan pada Panembahan

Senopati dan Nyai Roro Kidul. Mereka percaya bahwa pertemuan keduanya akan

dapat memberikan berkah pertolongan berkaitan dengan keadaan darurat di

Merapi.

Sesajen yang disediakan dengan barang labuhan akan dilarung ke Laut

Kidul dengan tujuan agar Nyai Roro Kidul mau membujuk Eyang Sapu Jagad di

Merapi supaya tidak marah. Benda-benda itu juga bisa dimaknai sebagai alat

untuk perantara, dengan menyediakan barang-barang kesukaannya diharapkan

Nyai Roro Kidul merasa iba dan sanggup membujuk Eyang Sapu Jagad agar

meredakan kemarahannya, sehingga Merapi tidak meletus. Kepercayaan ini masih

berkembang di masyarakat sehingga hegemoni mitos Nyai Roro Kidul masih

84

tertanam kuat di dalam jiwa masyarakat Jawa. Tradisi ini dapat dipercaya atau pun

tidak, tetapi inilah upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh masyarakat pesisir

Pantai Selatan untuk membantu saudara-saudara mereka yang tinggal di sekitar

Merapi.

(2) Selamatan

Tradisi selamatan atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan slametan merupakan

budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata bahasa Jawa slamet yang mempunyai

arti selamat, bahagia, dan sentosa. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang biasanya

digambarkan sebagai pesta ritual untuk mengawali proses upacara-upacara

tertentu. Selain itu, tujuan dari selamatan adalah untuk tolak bala atau menahan

gangguan dan musibah yang akan terjadi.

Kegiatan berwujud perjamuan makan sederhana dengan dihadiri kerabat

dan seluruh tetangga untuk mencapai keselarasan dengan alam. Nilai dari acara

selamatan ini antara lain berwujud kerukunan, kekeluargaan dan kebersamaan

karena semua orang berkumpul dalam satu tempat. Semua orang mempunyai

kedudukan yang sama di mata masyarakat atau dalam bertetangga.

Pada hakikatnya, ritual ini merupakan wujud dari permohonan izin kepada

Sang Pencipta untuk mengawali suatu kegiatan yang lebih besar. Tradisi

selamatan dalam novel Sang Nyai merupakan bentuk dari tradisi masyarakat

Pesisir Selatan yang akan memulai upacara labuhan di pantai Selatan tempat Nyai

Roro Kidul berkuasa. Selain itu, selamatan ini dalam rangka untuk menolak

85

bencana yang akan menimpa akibat kondisi Merapi yang berbahaya. Perhatikan

kutipan berikut ini:

“Pokoknya, utusan dari keraton,” jawab Mas Darpo kalem.“Mereka hanya meminta agar saya dan masyarakat di sini membantukeselamatan saudara-saudara kita yang tinggal di sekitar Merapi. Maka,kami lalu mengadakan selamatan, kenduri, dan nanti malam mengadakanlabuhan. Yah, hanya itu yang bisa kami lakukan.” (Sang Nyai, 2011:345).

Peringatan untuk mengadakan selamatan, kenduri, dan labuhan berasal

dari utusan Keraton, sehingga hal ini merupakan perintah secara langsung dari

Ngarsa Dalem atau sang Sultan. Jadi, secara tidak langsung Ngarsa Dalem

meminta rakyatnya untuk melakukan ritual itu agar Nyai Roro Kidul memberi izin

dalam melaksanakan labuhan jaladri agar prosesinya lancar dan agar ia mau

membantu rakyat yang sedang prihatin terhadap bahaya Merapi. Secara tidak

langsung, Nyai Roro Kidul merupakan tokoh yang dominan dan dipercaya

sebagai perantara dengan Sang Pencipta.

(3) Kenduri

Kenduri dalam bahasa Indonesia baku (KBBI, 1993:478) memiliki arti perjamuan

makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat. Kenduri merupakan bagian

rangkaian dari selamatan, atau merupakan puncak kegiatan selamatan itu sendiri.

Kenduri mempunyai makna untuk sedekah, wujud berbagi dengan keluarga, sanak

saudara, serta tetangga. Dari kenduri inilah maka tercipta kerukunan yang

mempererat kesatuan. Kesatuan kepentingan, kesatuan cita-cita, dan juga kesatuan

masing-masing individu yang ikut dalam ritual ini.

86

Jika selamatan itu meminta izin, maka kenduri adalah wujud sedekah

untuk memperlancar perizinan itu. Prosesi dilakukan dengan membagi-bagikan

nasi berkat atau nasi besek dan nasi tumpeng yang telah didoakan sebelumnya.

Berkat yaitu wadah dari anyaman bambu yang dialasi daun pisang, diisi dengan

tatanan nasi putih, mie goreng, telor rebus, daging ayam, sambal goreng kentang,

acar wortel atau ketimun, kerupuk udang, dan pisang (isi berkat menyesuaikan

yang punya hajat). Dalam acara kenduri harus ada pemimpin yang akan

memimpin dalam pembacaan doa-doa. Dalam novel Sang Nyai acara kenduri

tersebut dipimpin oleh juru kunci Parangkusumo, yakni Mas Darpo. Berikut

kutipannya:

Mas Darpo mengangguk-angguk. Ia melihat jam tangan. Lalu,minta maaf karena harus pamit. Ia akan segera memimpin kenduri.“Silakan kalau Mas Sam mau istirahat dulu. Karena labuhan baru akankami lakukan sekitar pukul delapan malam nanti,” katanya memberiinformasi (Sang Nyai, 2011:349).

Acara selametan dan kenduri merupakan satu rangkaian ritual orang Jawa,

yang dilanjutkan dengan prosesi labuhan jaladri dalam novel Sang Nyai. Ritual

tersebut merupakan sebuah bentuk hegemoni dari penguasa. Masyarakat dengan

senang hati melaksanakannya karena menganggap hal itu penting. Selamatan dan

kenduri itu juga sebagai wujud kepedulian bagi sesama karena manusia hidup

untuk saling membantu. Jika yang lain mengalami kesusahan, wajibnya yang lain

mengulurkan tangan memberi bantuan dan turut prihatin. Seperti halnya warga di

lereng Merapi yang membutuhkan bantuan doa dari saudaranya yang tinggal di

pesisir pantai Selatan Yogyakarta agar terhindar dari bencana.

87

(4) Upacara Labuhan

Labuhan merupakan bentuk kebudayaan Jawa pesisir. Secara etimologis, labuhan

berasal dari kata labuh atau larung yang mempunyai arti membuang sesuatu ke

dalam air baik sungai maupun laut. Labuhan mempunyai maksud memberi sesaji

kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Dalam hal ini labuhan dimaksud

untuk memberi sesaji kepada Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan.

Menurut Wiryapranitra dalam Babad Tanah Jawa, Raden Sutawijaya atau

yang lebih dikenal sebagai Panembahan Senopati penguasa Mataram kala itu,

pernah mengadakan perjanjian dengan Nyai Roro Kidul. Sang Nyai yang telah

diperistri oleh Panembahan Senopati hendak dibawa hidup bersama dan

mendampinginya sebagai Raja Mataram. Namun, Nyai Roro Kidul menjelaskan

bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan karena sang Nyai merupakan makhluk

halus atau peri. Meskipun tak dapat mendampingi Sang Raja, Nyai Roro Kidul

akhirnya berjanji akan selalu siap membantunya jika keraton Mataram sewaktu-

waktu menghadapi bahaya (Herusatoto, 2012:81-82).

Akhirnya, Panembahan Senopati mengabulkannya. Sebagai imbalan dari

perjanjian itu Panembahan Senopati memberikan persembahan yang diwujudkan

dalam upacara labuhan. Selanjutnya, upacara labuhan menjadi tradisi turun-

temurun dalam kerajaan Mataram karena Nyai Roro Kidul dianggap hidup

sepanjang masa. Raja pengganti Panembahan Senopati bertugas melestarikan

tradisi yang telah ada tersebut sebagai wujud penghormatan terhadap Nyai Roro

88

Kidul dan ikatan perjanjian yang masih tetap terjalin antara Keraton Yogyakarta

dengan penguasa Laut Selatan. Dengan demikian, jika memenuhi kewajiban

untuk mengadakan labuhan tersebut maka Nyai Roro Kidul akan senantiasa

menjaga keselamatan rakyat dan kerajaan Mataram. Bahkan jika sang raja

meminta bantuan, dengan senang hati ia akan memberikan bantuannya.

Dalam novel Sang Nyai, Merapi dalam kondisi terancam meletus. Ngarsa

Dalem melalui utusannya memerintah Mas Darpo sebagai juru kunci

Parangkusumo untuk mengadakan upacara labuhan yang didahului dengan

selamatan dan kenduri. Perhatikan kutipan berikut:

“Maksud dari labuhan itu apa, Mas?”“Ya, kami mohon kepada Sang Pencipta agar Merapi tidak sampai

menelan korban nyawa. Biarkan meletus, karena memang sudah saatnya.Ini sudah memasuki siklus empat tahunan. Lalu, kami juga akan mintapertolongannya supaya membujuk Eyang Sapu Jagad di Merapi. Untukapa? Ya, minta jangan sampai lahar panas Merapi terlalu banyakdimuntahkan, supaya tidak menelan korban nyawa.” (Sang Nyai, 2011:345).

Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa melalui labuhan tersebut

Ngarsa Dalem secara tidak langsung meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul

untuk melindungi rakyat Yogyakarta dari ancaman letusan Merapi. Meskipun

sudah masuk siklus empat tahunan sebuah gunung yang aktif untuk meletus,

namun permintaan dari Ngarsa Dalem bertujuan agar Nyai Roro Kidul dapat

membujuk Kiai Sapu Jagad sebagai penjaga kawah Merapi agar gunung tersebut

tidak meletus. Seandainya meletus, dengan labuhan tersebut meminta jangan

sampai lahar Merapi terlalu banyak dimuntahkan, supaya tidak membahayakan

penduduk apalagi menelan korban jiwa.

89

Selain itu labuhan juga disambut antusias oleh warga maupun orang-orang

jauh yang ingin berburu barang-barang labuhan tersebut. Barang-barang yang

telah dilabuh ke Laut Selatan dipercaya membawa berkah. Seperti penuturan

Kang Trisno kepada Sam. Ia mendapat keberuntungan pada labuhan tahun lalu

berupa selendang lurik. Berikut kutipannya:

“Di Parangkusumo, sering diadakan juga kok. Ramai sekali, Om.Barang-barang yang dilabuh itu dijadikan rebutan para pengunjung. Sebab,kami percaya jika barang-barang itu bertuah. Buktinya saya. Tahun lalu,saya mendapat selendang lurik. Ada yang mau membeli satu juta rupiah.Tidak saya berikan. Lalu tiba-tiba, datang seorang wanita cantik. Sudahtidak muda lagi. Umurnya kira-kira lima puluh tahun. Dia mau menukarselendang itu dengan sepeda motor baru. Ya sudah, saya berikan. Inimotornya, hahaha.... Rezeki dari Nyai Roro Kidul, Om.” (Sang Nyai,2011:331).

Berdasarkan kutipan tersebut maka barang-barang yang dilabuh dianggap

telah disentuh oleh Nyai Roro Kidul sehingga dipercayai sebagai barang-barang

yang bertuah. Siapa yang memiliki barang tersebut akan mendapat

keberuntungan. Seperti Kang Trisno yang mendapatkan motor baru dari menjual

selendang lurik hasil dari berburu saat labuhan. Masyarakat percaya bahwa hal itu

merupakan rezeki dari Nyai Roro Kidul.

Dengan bentuk labuhan di atas maka diharapkan Nyai Roro Kidul dapat

membantu mencegah letusan gunung Merapi, dan dapat memberikan berkah bagi

masyarakat yang mendapatkan benda-benda labuhan demi kesejahteraan

masyarakat itu sendiri. Dengan demikian seperti yang dikutip dari Sunarsih, dkk

(1990:42-44) tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan

pribadi Sri Sultan, Keraton Yogyakarta, dan rakyat Yogyakarta. Upacara labuhan

90

juga memperkuat hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terhadap Raja, masyarakat

Yogyakarta, dan Gunung Merapi.

b. Tradisi Ziarah

Ziarah merupakan sebuah adat istiadat yang sering dilakukan oleh orang-orang

Jawa seperti menengok makam leluhur atau mengunjungi tempat-tempat keramat.

Hal tersebut mempunyai maksud untuk mendoakan atau meminta doa dari tempat

yang diziarahi. Ziarah dalam novel Sang Nyai tersebut berkaitan dengan ziarah ke

tempat keramat di Cepuri Parangkusumo, tepatnya di selo gilang. Selo gilang

merupakan batu keramat tempat pertemuan Panembahan Senopati dengan Nyai

Roro Kidul. Berikut kutipannya:

“Nanti di sini, mereka itu sebenarnya mau apa?” tanyaku kepadaMas Darpo.

“Ya, intinya ziarah, tirakat, laku prihatin, memohon kepada SangPencipta agar mau mengabulkan permohonan mereka.”

“Katanya, agar permohonannya terkabul, mereka harusberhubungan suami istri, tetapi tidak dengan pasangan resminya, harusdengan orang lain. Benar begitu?”

Mas Darpo tertawa terkekeh-kekeh. “Dari mana Mas Sam dengarhal itu? Ini Parangkusumo, bukan Gunung Kemukus.” (Sang Nyai,2011:17).

Parangkusumo merupakan tempat yang keramat. Untuk itulah banyak

orang, bahkan dari luar kota melakukan ziarah, tirakat, maupun berlaku prihatin

dengan mengunjunginya. Mereka berharap dapat memohon kepada Sang Pencipta

agar mau mengabulkan permohonan mereka. Di Parangkusumo inilah Mas Darpo

sebagai juru kunci bertugas menyampaikan doa dan permohonan para peziarah,

dan diharapkan dengan doa tersebut maka Nyai Roro Kidul akan

mengabulkannya. Nyai Roro Kidul merupakan perantara dengan Sang Pencipta.

91

Hal ini menegaskan bahwa hegemoni mitos Nyai Roro Kidul sangat kuat dalam

adat ziarah di Parangkusumo.

Untuk itulah Ngarsa Dalem memberikan surat tugas atau kekancingan

pada Mas Darpo sebagai abdi dalem agar menjadi juru kunci Parangkusumo, yang

terletak di Pantai Selatan. Mas Darpo mempermudah orang-orang untuk meminta

berkah kepada Nyai Roro Kidul.Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut:

Laki-laki itu memaknai sebagai berkah dari Ngarsa Dalem, sultandi Keraton Yogyakarta yang memberi kekancingan atau surat tugas kepadadirinya untuk melayani para peziarah. Dan, yang tidak boleh dilupakan,Mas Darpo lagi, adalah berkah dari Nyai Roro Kidul! Penguasa LautSelatan itu seolah mau bermurah hati padanya karena ia telah sudimenjaga selo gilang dengan baik. Itulah upah dari sebuah kesetiaan. Upahdari sebuah kerja yang tulus dan ikhlas. Meski sederhana, namunmaknanya bisa sangat dalam jika dikupas (Sang Nyai, 2011: 41).

Hal ini menandakan bahwa Sultan mempercayakan tugas untuk menjadi

juru kunci Parangkusumo pada Mas Darpo. Kekancingan merupakan surat silsilah

yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem (Kantor Urusan Keturunan Raja) atas

nama sang Sultan. Keluarnya surat tersebut biasanya ditandai dengan penambahan

gelar pada nama seseorang yang telah diangkat menjadi abdi dalem, atau

merupakan keturunan Keraton.

Dalam novel Sang Nyai, Mas Darpo sebagai abdi dalem termasuk sebagai

jajaran Lurah. Sebagai panggilan kehormatan ia dipanggil sebagai Mas Lurah.

Walaupun gajinya hanya beberapa rupiah saja, tetapi tugas yang diembankan

padanya oleh Ngarsa Dalem serta restu dari Nyai Roro Kidul membuahkan rezeki

yang melimpah untuknya melalui tangan para peziarah. Hal itu merupakan upah

dari kesetiaan dengan kerja yang tulus dan ikhlas. Hal itu juga yang membuat

rakyat semakin tunduk dengan kekuasaan sang Sultan dan Nyai Roro Kidul.

92

Ziarah yang dipimpin oleh Mas Darpo dilakukan pada setiap malam

Jum’at Kliwon. Dalam ziarah tersebut biasanya orang mengantri dengan

membawa sebungkus kembang telon, kemenyan, rokok kretek, dan amplop berisi

uang seikhlasnya sebagai ucapan terima kasih. Mas Darpo menganggap amplop

tersebut sebagai mahar atau maskawin. Ketika saatnya tiba, Mas Darpo akan

mulai mendoakan para peziarah di selo gilang yang dikenal sebagai batu cinta,

tempat pertemuan Panembahan Senopati dan Nyai Roro Kidul. Hal tersebut

ditandai dengan wangi kembang melati dan hembusan angin yang datang dari

selatan pintu Cepuri Parangkusumo, Nyai Roro Kidul hadir ke tempat itu untuk

mengabulkan permohonan dari para peziarah sehingga dengan demikian peziarah

berharap doanya akan terkabul. Berikut kutipan yang menegaskan hegemoni

mitos Nyai Roro Kidul melalui ziarah di Puri Parangkusumo:

Laki-laki itu mengangkat bahu. “Monggo sampean sendiri yangbisa menyimpulkan. Nanti kalau saya, dikira memaksakan kehendak.Mentang-mentang Juru Kunci Parangkusumo, lalu berkata begitu. Orangbisa saja menuduh saya seperti itu. Apalagi, setiap malam Jum’at Kliwon,Ratusan peziarah minta pertolongan saya untuk mendoakan keinginanmereka, memohonkan kemurahan Sang Pencipta lewat Nyai Roro Kidul.Nanti dikira saya mencari kebenaran untuk diri sendiri karena punyapamrih, hehehe....” (Sang Nyai, 2011:348).

Dari kutipan di atas dapat diyakini bahwa Nyai Roro Kidul dianggap akan

bermurah hati dan memohonkan doa kepada Sang Pencipta, sehingga rakyat

percaya bahwa doanya dapat terkabul. Hegemoni ini sangat kuat, ditandai dengan

banyaknya peziarah yang datang ke Parangkusumo tiap malam Jum’at Kliwon,

dan hal itu semakin menguatkan kekuasaan Nyai Roro Kidul sebagai Ratu gaib

Pantai Selatan yang dihormati oleh masyarakat Jawa.

93

B. Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul

Sam digambarkan sebagai sosok wartawan yang pada mulanya mendukung

ideologi modern. Ia menentang ideologi tradisional seperti halnya mitos, termasuk

tidak mempercayai kisah tentang Nyai Roro Kidul. Ia mempunyai pemikiran

bahwa dunia mistik, alam supernatural, dan hal-hal yang bersifat gaib tidak

berguna di zaman nuklir ini. Sam menganggap bahwa percaya hal tersebut tidak

akan membuat bangsa menjadi maju. Pemikiran tersebut beralasan, karena hal-hal

demikian hanya akan bersandar pada tradisi nenek moyang yang di luar akal

sehat, lalu mengabaikan kecerdasan otak.

Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul terjadi pada

saat rapat redaksi untuk menentukan feature yang akan dimuat oleh majalah

tempatnya bekerja. Pak Yos sang pemimpin redaksi meyakinkan bahwa pasar

masih tertarik pada sosok Nyai Roro Kidul. Pemikiran Sam yang berlawanan

dengan pemimpin redaksi tak menggoyahkan niat Sam untuk menentang. Ia

bahkan menolak keras ide tentang membuat feature Nyai Roro Kidul. Ada

beberapa rekan kerjanya yang mendukung. Mereka lebih memilih mengusulkan

ide untuk membuat feature tentang orang-orang sukses di zaman sekarang. Hal

tersebut bisa lebih menguntungkan dalam berbagai aspek seperti mudah meraih

sponsor, sebagai inspirasi, dan kisah tersebut digemari oleh khalayak muda yang

sedang mencari kerja, daripada kisah tentang Nyai Roro Kidul. Menurut Sam

hanya sebagian kecil masyarakat tradisional yang berminat dengan kisah

mengenai sosok penguasa gaib Laut Selatan tersebut.

94

Terlebih berdasarkan hasil survei, masyarakat tradisional bukan golongan

pembeli majalah mahal seperti yang diproduksi oleh redaksi mereka. Namun,

seberapa keras Sam menolak, tugas meliput itu tetap dibebankan padanya. Berikut

ini kutipan yang menegaskan bahwa Sam harus tetap membuat feature tentang

sosok yang Nyai Roro Kidul. Perhatikan kutipan berikut ini.

Namun ketika Pak Yos tetap memutuskan memuat kisah NyaiRoro Kidul secara serial, justru aku yang ditunjuk! Bagiku ini sepertisenjata makan tuan. Aku yang menolak secara keras, justru tugas liputandibebankan di atas pundakku (Sang Nyai, 2011: 38).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Sam menganggap

penolakannya merupakan senjata makan tuan. Ia yang semula menentang tentang

ide pembuatan kisah Nyai Roro Kidul harus merelakan diri untuk mencari

berbagai hal tentang sosok tersebut. Perlawanannya justru membuatnya harus

masuk semakin dalam ke dunia mistis yang berkaitan dengan sang Nyai. Tugas ini

menuntunnya untuk mengunjungi tempat ziarah Nyai Roro Kidul di Cepuri

Parangkusumo dengan Mas Darpo sebagai juru kunci pantai Parangtritis sebagai

narasumber awal. Biasanya Mas Darpo membacakan doa bagi para peziarah yang

mencari berkah dari Nyai Roro Kidul. Sam juga bertemu dengan sosok gadis

misterius bernama Kesi di tempat itu.

Perlawanan Sam merupakan bentuk perlawanan terhadap ideologi

tradisional Jawa yang mempercayai sosok Nyai Roro Kidul sebagai Ratu Pantai

Selatan. Hegemoni mitos Nyai Roro Kidul belum dirasakan Sam karena waktu itu

ia belum secara langsung terjun ke lapangan tempat berkembangnya mitos Nyai

Roro Kidul. Sam tidak menganggap sosok Nyai Roro Kidul ada dan hanya

95

merupakan kisah masa lalu yang berkembang di masyarakat Jawa sebelum

bertemu Kesi dan Kang Petruk.

Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga

ditunjukkan ketika ia ragu untuk menyampaikan pesan Kang Petruk supaya tidak

mendekati Merapi dalam waktu dekat. Kang Petruk adalah sosok yang dikenalnya

melalui Kesi, yang dipercaya sebagai penguasa Merapi, teman dari Nyai Roro

Kidul. Berikut kutipan yang menunjukkan pembelaan Sam terhadap naiknya

status Merapi berdasarkan pemikiran modern, bukan hanya melalui mitos:

Aku tertawa. “Mestinya mereka harus terbuka wawasannya. Wisikdi zaman modern bukan berupa mimpi atau tanda-tanda dari langit.Khusus untuk Merapi, wisik itu sudah diberikan oleh Pusat Vulkanologidan Mitigasi Bencana Geologi. Merekalah yang berhak menentukan statusMerapi. Bukan para leluhur. Jadi, tugasmu adalah mengajak orang-oranguntuk memaknai wisik dengan mindset baru. Tahu yang kumaksud, kan?”(Sang Nyai, 2011:210).

Berdasarkan kutipan tersebut Sam menyimpulkan bahwa naiknya status

Merapi telah ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan badan Mitigasi Bencana

Goelogi yang dilihat dari tanda-tanda bahaya Merapi. Ilmuwan telah melakukan

pemeriksaan dengan alat-alat yang dapat mendeteksi aktivitas Merapi. Hal

tersebut bertentangan dengan kepercayaan masyarakat tradisional Jawa terutama

yang berada di lereng Merapi, mereka menunggu bahwa sering ada wisik apabila

akan terjadi bencana. Bahkan masyarakat membuat sayur khusus tolak bala yang

diperintah Ngarsa Dalem (Sang Sultan) untuk mencegah meletusnya Merapi.

Menurut Sam, mindset masyarakat tradisional masih terpaku pada wisik

yang berupa mimpi atau tanda-tanda dari langit. Padahal wisik di masa modern ini

bisa berupa peringatan dari para ilmuwan yang meneliti aktivitas Merapi. Ia

96

bermaksud memberikan masukan kepada Sugeng rekannya yang merupakan

penduduk setempat untuk mengajak penduduk sekitar memaknai wisik dengan

pemikiran yang baru. Walaupun hal tersebut sulit karena masyarakat sudah

terlanjur terpaku pada adat lama, yang mematuhi perintah dari penguasa.

Pertentangan lain mengenai batin Sam yang masih belum mempercayai

keberadaan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul ditunjukkan kembali dengan dialog

dengan Damar Kusumo, seorang kerabat dekat Kanjeng Sunan. Perhatikan

kutipan berikut:

“Benarkah di panggung itu Kanjeng Sunan sering menemui NyaiRoro Kidul?” tanyaku hati-hati.

Damar Kusumo tertawa lirih. “Mas Sam percaya?”Aku tidak bisa menjawab. Tidak mungkin aku bilang tidak

mempercayai cerita tersebut. Namun, aneh juga kalau aku langsung bilangpercaya begitu saja. Dasarku apa? Pertanyaan yang benar-benar membuatKO (Sang Nyai, 2011:239).

Berdasarkan kutipan di atas disimpulkan bahwa Sam masih mengalami

pergolakan batin mengenai ideologinya yang masih tetap berbasis intelektual,

sehingga ia belum bisa menerima secara mentah ideologi tradisional tentang Nyai

Roro Kidul yang bertemu dengan Kanjeng Sunan di Panggung Sanggabuwana,

atau pun keberadaan nyata sosok sang Nyai. Dengan demikian, Sam bahkan tidak

bisa menjawab, karena kalau ia mengatakan percaya ia tidak mempunyai dasar

tentang kepercayaan pada hal tersebut.

Sam memilih diam karena ia belum dapat mengakui hegemoni mitos Nyai

Roro Kidul secara terbuka di saat pemikiran modernnya masih mencoba untuk

berpikir logis. Sebuah pemikiran untuk percaya pada hal gaib harus mempunyai

dasar yang jelas. Itulah yang membuat Sam memikirkan ulang saat menjawab

97

pertanyaan dari Damar Kusumo. Ia masih mengalami pertentangan di dalam

dirinya untuk percaya pada hegemoni mitos Nyai Roro Kidul atau menolaknya.

Pemikiran Sam yang bimbang dijawab melalui perlawanan yang

ditunjukkan oleh Raden Mas Damar Kusumo. Sebagai salah satu dari penghuni

Keraton Surakarta, Damar Kusumo berada di sekitar lingkungan gaib yang erat

dengan hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Namun, secara tidak langsung

sebenarnya Damar Kusumo mengalami dilema mengenai kehadiran sosok

tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kutipan di bawah ini:

“Maksud saya begini. Mungkin cerita itu benar. Ceritanya ya yangbenar. Tetapi, benarkah bahwa leluhur kami bisa bertemu dengan NyaiRoro Kidul di situ? Itu masih tanda tanya besar. Di antara kami, parakerabat keraton, ada yang pro, ada juga yang kontra. Yang promempercayai begitu saja cerita yang sudah diwariskan secara turuntemurun itu. Bagi yang kontra, terutama mereka yang mengandalkanpenalaran akal sehat, mengatakan bahwa cerita itu hanya dongeng belaka.Sebab, sosok Nyai Roro Kidul sendiri kan masih menjadi tanda tanyabesar...” (Sang Nyai, 2011:240).

Terlihat bahwa Damar Kusumo membenarkan cerita mengenai adanya

kisah Nyai Roro Kidul, tetapi ia tidak menjawab secara tegas mengenai

keberadaan Nyai Roro Kidul sesungguhnya. Dari analisis kutipan tersebut ia

termasuk sedikit meragukan keberadaan mitos yang menjadi pro dan kontra,

bahkan di lingkungan Keraton. Secara tidak langsung Damar Kusumo melakukan

perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dari pernyataan tersebut.

Ia mempunyai pemikiran modern, namun dengan cerdas tidak menunjukkan

secara langsung. Meskipun demikian, sebagai seorang keturunan kerabat raja,

Damar Kusumo bersikap bijaksana dengan tetap menghormati tradisi masa lalu

dari para leluhurnya.

98

Perlawanan Sam terhadap hegemoni tradisional secara tidak langsung juga

ditunjukkan dengan pemikirannya tentang pesugihan terhadap Nyi Blorong

sebagai tema yang dipakai sinetron-sinetron bertema tertentu pada stasiun televisi

lokal. Hal itu dianggap Sam sebagai suatu pembodohan karena hal-hal gaib seperti

itu dianggapnya tidak ada, walaupun pada kenyataannya memang ada di dunia

nyata. Berikut kutipan yang menunjukkan pemikiran tersebut.

“Ya. Dan selalu orang-orang yang dicintai yang diminta untuktumbal.”

“Kok seperti cerita di dalam sinetron, Mas?”“Sinetron itu yang meniru kisah yang sebenarnya.”“O....” Aku melongo. Selama ini, aku paling benci nonton sinetron

begituan. Kuanggap sebagai bentuk pembodohan kepada pemirsa.Bagaimana mungkin di abad nuklir ini masih ada cerita-cerita mistik yangseolah hanya ada di negeri antah berantah. Ternyata, benar-benar ada.“Mas Darpo pernah dimintai tolong peziarah yang mau mencari pesugihandengan Nyai Blorong?” (Sang Nyai, 2011: 341-342).

Walaupun Sam semula menganggapnya sebagai pembodohan terhadap

para penontonnya, dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sinetron bertema

mistis yang sering ditayangkan di layar kaca mengambil latar dari kisah nyata.

Pemikiran modern Sam sejak awal telah menolak bahkan membenci sinetron-

sinetron tersebut karena dirasa tidak masuk akal. Meskipun faktanya hal tersebut

ada. Bahkan, letak tempat tersebut tidak jauh dari Cepuri Parangkusumo. Tempat

untuk mencari pesugihan Nyai Blorong terletak di sebuah gua di tepi pantai yang

dijaga oleh juru kunci.

Perlawanan Sam terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga

ditunjukkan melalui perang batinnya. Antara hati dan pikirannya berbeda,

pikirannya menganggap semua yang dialami merupakan kejadian mustahil dan

aneh, namun hatinya mengatakan bahwa hal yang ia jumpai selama ini, meskipun

99

hal gaib tetapi terlihat dan dialami Sam seperti kenyataan. Berikut kutipan yang

menggambarkan keadaan jiwa Sam saat itu.

Ya, ya. Sekarang, aku bekerja di dua wilayah, hati dan kepala.Kepalaku sering mengatakan banyak hal mustahil dan aneh. Namun,hatiku mempercayai bahwa hal itu nyata dan bisa dilihat secara kasat mata.Ketika kepalaku mengatakan bahwa kemungkinan besar Kesi itu makhlukgaib, hatiku berkata lain (Sang Nyai, 2011: 358-359).

Sam mengalami konflik di dalam dirinya, pertentangan mengenai dua

ideologi yang tertanam di dalam pikiran dan hatinya. Sam yang masih berpegang

pada ideologi modern menganggap hal yang dialami beberapa waktu mustahil dan

aneh. Namun, begitu hatinya berbicara hal tersebut seolah nyata dan tak kasat

mata. Seperti halnya kemisteriusan Kesi, Sam sedikit berpikir bahwa gadis itu

merupakan makhluk halus, namun hatinya mengatakan bahwa Kesi adalah

perempuan biasa yang misterius karena ia pernah merasakan bercinta dengan

gadis itu. Seorang makhluk halus tidak dapat bercinta dengan manusia, sedangkan

Sam pernah bercinta dengan Kesi.

Perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul justru membuat

Sam mengalami kebimbangan. Hati dan pikirannya seolah berjalan masing-

masing, hatinya mengikuti ideologi tradisional, sedangkan pikirannya

menganggap hal yang ia temui adalah hal yang mustahil dan aneh seperti dasar

pemikiran ideologi modern. Dengan demikian, Sam berada di dalam dua wilayah

tersebut, antara menolak hegemoni mitos Nyai Roro Kidul, dan mempercayai

hegemoni Sang Nyai.

Selain Sam dan Damar Kusumo, perlawanan dari tokoh lain terhadap

hegemoni mitos Nyai Roro Kidul juga ditunjukkan oleh Ki Aji Sembada. Dalam

100

novel Sang Nyai, iadigambarkan sebagai tokoh yang menentang keras keberadaan

Nyai Roro Kidul. Ia adalah seorang budayawan yang menganggap bahwa Nyai

Roro Kidul merupakan rekaan pujangga keraton zaman dulu dan hanya omong

kosong belaka. Pendapat Ki Aji Sembada tersebut merupakan bentuk perlawanan

terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel tersebut. Berikut kutipan

yang menegaskan penolakannya terhadap sosok Nyai Roro Kidul:

“Itulah pintarnya pujangga keraton zaman dulu. Membuat cerita,tapi juga dijadikan teka-teki sekaligus. Sampai tiga Ratus tahun lebih,teka-teki itu belum terpecahkan. Karena itu, sekali lagi menurut saya, NyaiRoro Kidul itu omong kosong. Ada karena sudah terlanjur ditanam di otakkita masing-masing. Untunglah di otakku cerita itu tidak bisa tumbuh, jadisaya tidak percaya sedikit pun, hahaha....” (Sang Nyai, 2011:182).

Berdasarkan data di atas, Ki Aji Sembada mengatakan bahwa sosok Nyai

Roro Kidul hanya rekaan dan menjadi teka-teki. Hal tersebut tumbuh karena

ditanam melalui otak para pendengar cerita mitos tentang Nyai Roro Kidul. Kisah

tersebut diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat tradisional yang

mempercayai keberadaan sang Nyai, sehingga banyak yang tertipu mengenai

keberadaan sosok tersebut.

Bahkan Ki Aji Sembada juga menolak pemikiran tentang tradisi labuhan.

Ia kembali mengatakan bahwa labuhan bukan merupakan sesuatu yang

menciptakan berkah, karena berkah hanya diperoleh dari sang Pencipta. Hal ini

dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Lagi-lagi, itu akal-akalan orang keraton saja. Merekamenempatkan abdi dalem keraton di Merapi dan di Laut Kidul. Untukapa? Ya biar orang percaya bahwa ketiganya saling berhubungan. Padahal,tidak ada, hahaha...,” lanjut Ki Aji. “Untuk lebih meyakinkan lagi, setiaptahun diadakan labuhan, baik di Merapi maupun di Laut Kidul. Rakyatdipersilahkan nonton. Bahkan disebar isu, siapa pun yang bisa

101

memperoleh benda-benda labuhan, akan mendapat berkah. Berkah apa?Yang bisamemberi berkah hanya Sang Pencipta!” (Sang Nyai, 2011:183).

Data di atas juga merupakan perlawanan secara tidak berdasar yang

diungkapkan oleh Ki Aji Sembada. Secara gamblang ia mengatakan bahwa tidak

ada hubungan antara Merapi, Keraton, dan Laut Selatan yang seperti dipercaya

masyarakat Jawa pada umumnya. Ia menolak tentang pendapat itu, bahkan

labuhan yang sebenarnya bertujuan memberikan sedekah kepada alam untuk

melakukan timbal balik juga dikatakan sebagai omong kosong. Pemikirannya

hanya percaya kepada Tuhan, sehingga Ki Aji Sembada tidak terbuka sedikit pun

untuk mempercayai mitos yang berkembang di masyarakat.

Perlawanan Ki Aji Sembada merupakan buah pikir kontroversial tentang

sosok Nyai Roro Kidul. Ia mengungkapkan penolakannya secara tegas karena

mempunyai alasan bahwa cerita-cerita seperti Nyai Roro Kidul tidak bernalar. Ki

Aji Sembada tidak percaya karena ia menganggap mitos Nyai Roro Kidul hanya

direkayasa oleh para pujangga keraton untuk melindungi raja agar tidak diotak-

atik kekuasaannya yang mutlak oleh rakyatnya. Menurutnya, rakyat hanya

dibodohi apabila percaya dengan cerita yang berkembang pada masa beberapa

abad lalu. Ia menganggap bangsa tidak akan maju jika terus mengembangkan

cerita yang sama, malah hal itu akan membuat kemunduran bagi bangsa itu

sendiri.

C. Hasil Perlawanan Terhadap Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul

Tokoh Sam, Ki Aji Sembada, dan Raden Mas Damar Kusumo yang terlihat

melakukan perlawanan terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul menemukan

102

penyelesaian yang berbeda-beda. Tokoh tersebut masih mengutamakan pemikiran

yang rasional dan mengandalkan logika. Hal gaib menurut mereka tidak masuk

akal terutama berkaitan dengan tokoh Nyai Roro Kidul.

Sam terus melanjutkan tugas lapangannya sehingga dapat mengungkap

kebenaran di balik semua kejadian misterius yang menimpanya. Ki Aji Sembada

hanya mengeluarkan pendapat tanpa menguji pembenaran secara langsung di

lapangan. Damar Kusumo tetap pada posisinya sebagai kerabat Keraton yang mau

tidak mau harus tetap melaksanakan tradisi yang ada, tentang kehadiran sosok

Nyai Roro Kidul ia tidak mempermasalahkannya walaupun di dalam hati ia

mengalami sedikit perlawanan.

Akhirnya tokoh Sam yang semula tidak percaya akan adanya sosok Nyi

Roro Kidul dan hegemoninya di dalam masyarakat merasakan sendiri hal yang

berhubungan langsung dengan Sang Nyai melalui wujudnya sebagai Kesi. Berikut

ini keanehan yang dialami Sam selama pertemuannya dengan Kesi yang

mengantarkan kesimpulan dari wartawan itu bahwa Kesi adalah sosok Nyai Roro

Kidul yang sesungguhnya:

“Selesai sarapan, Sasongko mengantarku sampai di kamar. Didepan pintu, sudah ada lima orang yang duduk bersila.

“Mengapa mereka ada di situ?” tanyaku heran.Sasongko tidak menjawab. Laki-laki itu hanya tersenyum (Sang

Nyai, 2011:266).

Berdasarkan kutipan tersebut kamar nomor 316 Hotel Bintang Solo seperti

menyimpan suatu misteri. Sam tiba-tiba mendapat jamuan makan besar, dan

pelayanan VIP dari pihak hotel. Itu semua berkat Kesi yang menyewa kamar

tersebut, namun yang menjadi keanehan adanya lima orang laki-laki yang duduk

103

bersila di kamar tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa kamar hotel tersebut

keramat, sehingga orang-orang mencari peruntungan dengan mengunjungi hotel

yang secara tidak langsung sebagai tempat persinggahan Nyai Roro Kidul.

Peristiwa lain yang mencengangkan adalah Kesi sebagai jelmaan Nyai

Roro Kidul sesungguhnya diperkuat dengan keanehan yang dialami Sam, hingga

beberapa kali pertemuan mereka yang terkadang tidak masuk akal. Seperti ketika

pertama kali bertemu di Parangkusumo, tiba-tiba Kesi muncul di Sanur Beach

Hotel Bali di kamar khusus untuk Nyai Roro Kidul yang pada saat kebakaran

masih utuh, lalu Kesi bisa tiba-tiba hadir di Panggung Sanggabuwana ketika Sam

melakukan penelitian tentang Nyai Roro Kidul dengan bertanya-tanya kepada

Raden Mas Damar Kusumo. Pelayanan di hotel bintang Solo yang tidak wajar.

Kemudian, di tempat Kang Petruk dengan segala keajaiban, bahkan Sam

yakin kuda yang ia naiki berkepala manusia, tangga yang ia turuni di rumah Kang

Petruk seperti manusia, besi yang ditempa oleh pekerja di rumah Kang Petruk

adalah manusia, dan kayu bakar yang dilempar Kang Petruk ke tungku Merapi

merupakan potongan-potongan tubuh manusia atau manusia utuh. Sam yang

menyamar sebagai Syekh Tunggul Wulung sebagai penyampai wisik kepada

masyarakat diyakini telah mengunjungi tempat Kang Petruk dan mendapat

wangsit tentang meletusnya Merapi dari Sang Kiai Sapu Jagad tersebut,

masyarakat juga meyakini bahwa kuali yang sedang dijaga apinya oleh Kang

Petruk agar terus menyala sebenarnya adalah kawah Merapi. Seperti yang diyakini

masyarakat sosok Kang Petruk adalah Mbah Petruk atau lebih dikenal sebagai

Kiai Sapu Jagad penjaga kawah Merapi.

104

Terakhir pertemuan di Parangkusumo yang membuat Sam yakin bahwa

Kesi bukan makhluk biasa terbukti dengan wajah Kesi yang terukir dalam uang

logam emas yang menurut Nyai Maryatun diberikan kepada pengrajin kain batik

tulis tersebut dengan pesanan tujuh kain batik motif sido mukti dan tujuh belas

motif parang rusak dengan dibayar menggunakan enam uang legam emas. Uang

logam emas yang tidak ada hak cipta dari pemerintahan. Berikut kutipannya.

“Di beberapa tempat,” jawabku. Pertama kali kulihat diParangkusumo. Kedua kali kulihat di Sanur Beach Hotel. Ketiga kaliketemudi Panggung Sanggabuwana Keraton Solo. Keempat kali di hotelBintang Solo. Oh ya, di rumah Kang Petruk juga. Dan terakhir di PantaiParangkusumo lagi. Malam ini, saat ini juga.”

“Hehehe..., kok yakin sekali?”“Ya. Sangat, sangat yakin. Kamu tidak bisa mengelak. Ini

wajahmu. Benar, bukan?” (Sang Nyai, 2011:381).

Segala keanehan dalam diri Kesi merupakan bentuk dari penjelmaan Nyai

Roro Kidul yang mendekati sang wartawan. Secara tidak langsung, Sam yang

sebelumnya sangat tidak percaya dengan kejadian mistis tersebut akhirnya yakin

bahwa Kesi bukan wanita biasa. Mulailah runtuhnya ideologi modern yang dianut

Sam. Secara langsung ia telah masuk dalam kepercayaan masyarakat tentang

keberadaan Nyai Roro Kidul sebagai tokoh penting dalam eksistensi ideologi

tradisional yang menghegemoni Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi.

Bahkan, bukti tersebut semakin kuat ketika Pak Nung yang terus berbicara

kotor tentang Kesi membuatnya mendapat akibat seperti kata-kata sembrono yang

diucapkannya. Akhirnya mobilnya terbakar dengan api yang muncul secara gaib.

Itu merupakan sedikit hukuman kecil akibat perkataan kotor yang diucapkan pada

Kesi yang sesungguhnya merupakan penjelmaan Nyai Roro Kidul, sesuatu yang

diucapkan akan menjadi kenyataan. Termasuk pemikiran negatif Sam tentang

105

berlangsungnya labuhan akibat cuaca yang tidak mendukung, hal itu merupakan

pantangan. Pantangan tersebut masih dipercaya masyarakat Jawa, karena pikiran

negatif biasanya akan jadi kenyataan dan terbukti saat itu labuhan yang keramat

menjadi mencekam karena ada beberapa orang tewas akibat mengambil barang

labuhan. Namun harus ditekankan, apabila ada korban jiwa dalam labuhan bukan

merupakan kehendak Nyai Roro Kidul, melainkan sudah menjadi takdir dari Yang

Maha Kuasa.

Seperti itulah yang akan ditegaskan oleh kejadian tersebut, karena Nyai

Roro Kidul merupakan figur yang suci dan keramat. Berikut kutipannya:

Tiba-tiba, tanganku ada yang menarik. Mbak Sum. Perempuan itumemberi isyarat agar aku menjauh dari Mas Darpo. Dan, itu kulakukan.“Mas Sam tidak boleh berpikir yang tidak-tidak,” katanya lirih.

“Kenapa, Mbak?”“Itu pantangan. Nanti bisa terjadi sungguhan.”“Aku hanya ingin mengingatkan saja. Sebab, agak rawan

kondisinya.” (Sang Nyai, 2011:362).

“Oh ya, tadi di rumah Mas Darpo, ada wanita cantik, Mas. Benar-benar penuh pesona. Kulitnya kuning, rambutnya panjang sebahu, dandibiarkan terurai begitu saja. Hehhh... tinggi pula tubuhnya.Huhhh...benar-benar sempurna.” Pak Nung meninju telapak tangannyasendiri. “Kehilangan mobil pun saya rela jika bisa tidur bersama dia.Sungguh, Mas. Semua laki-laki pasti akan bersikap sama seperti saya. Airliurku hampir menetes!” (Sang Nyai, 2011:393).

Nyai Roro Kidul sebagai penjelmaan Kesi semakin diakui Sam

keberadaannya dan bukan hanya mitos dengan ditemukannya sebuah bungkusan

kado di dalam tasnya. Pria itu tidak tahu siapa yang menaruhnya karena

seingatnya dalam perjalanan ia tidak bertemu siapapun. Hal ini membuktikan

bahwa Nyai Roro Kidul dengan kekuatannya berhasil memberikan barang-barang

106

itu secara gaib kepada Sam, karena dengan tiba-tiba benda itu berada di dalam

koper Sam.

Karena penasaran, bungkus kado itu kurobek. Di dalamnyaterdapat kotak kayu ukir yang halus, motif naga dan kembang melati.Kotak kubuka. Isinya kebaya brokat warna hijau gadung, kain batik motifsido mukti, ulos atau selendang dari Batak, satu bungkus plastik kecilberisi abu. Di bawah barang-barang itu, ada tujuh buang uang logam emas.Ketika kuamati, uang itu persis dengan milik Nyai Maryatun. Bergambarwanita cantik. Dan, wanita itu tiada lain adalah Kesi!

Jadi..., benarkah Kesi itu penjelmaan dari sang Nyai?!Kedua tanganku gemetar. Kedua kakiku gemetar (Sang Nyai,

2011:435).

Kutipan di atas juga mempertegas bahwa Kesi, gadis misterius yang

mengikuti Sam selama mencari informasi untuk bahan featurenya adalah sang

Nyai Roro Kidul sesungguhnya. Sam terlihat gemetar setelah mengetahui

kebenaran itu, sehingga segala keingintahuannya tentang gadis misterius bernama

Kesi akhirnya terjawab.

Dengan demikian, eksistensi Kesi dalam novel Sang Nyai merupakan

penjelmaan Nyai Roro Kidul. Pemikiran Sam terhadap mitos Nyai Roro Kidul

yang semula tidak ia percayai, akhirnya tunduk pada hegemoni mitos Nyai Roro

Kidul yang secara langsung ia temui dalam perwujudan tokoh Kesi. Pada akhirnya

ideologi modern Sam, kalah dengan ideologi tradisional masyarakat Yogyakarta

yang mempercayai hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Secara langsung Sam telah

disadarkan bahwa tradisi dan mitos yang ada mempunyai dasar, untuk itulah

masyarakat Jawa hingga kini tetap mempercayai kehadiran Nyai Roro Kidul

sebagai penyokong kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Pengarang sempat melakukan perlawanan melalui tokohnya, namun pada

akhirnya pengarang sebagai warga kota Yogyakarta tetap tunduk pada ideologi

107

tradisional yang berlaku. Dengan demikian, pengarang merupakan pendukung

dari hegemoni tradisional yang ada. Dalam kisah ini ia menggambarkan bahwa

sosok Nyai Roro Kidul menjelma menjadi Kesi untuk mengukuhkan adanya

hegemoni mitos Nyai Roro Kidul. Ia tidak berniat untuk membuat perlawanan

yang dilakukan oleh tokoh memenangkan ideologinya, justru ia mengantar tokoh

jauh masuk lebih dalam dunia tempat sosok Sang Nyai berada untuk meruntuhkan

ideologi yang tertanam sebelumnya.

Hal ini didasarkan pada kepercayaan legitimasi kekuasaan raja pada

Keraton masih tetap eksis karena didukung kekuatan Nyai Roro Kidul dan

Gunung Merapi. Mitos Nyai Roro Kidul merupakan sebuah legenda yang pada

dasarnya merupakan culture hero atau adanya tokoh yang membawa kebudayaan.

Mitos ini bertujuan untuk mendukung keteraturan sosial dan mengukukuhkan

kekuasaan raja yang sedang memerintah. Dengan adanya kekuatan lain sebagai

penyokong kekuasaan raja, maka rakyat akan patuh dan tunduk sehingga tercipta

keteraturan sosial. Selain itu, kepercayaan rakyat kepada mitos Nyai Roro Kidul

sebagai wujud pelestarian budaya Jawa.

108

BAB V

SIMPULAN

Berdasarkan analisis hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai

karya Budi Sardjono, dapat dikatakan bahwa Nyai Roro Kidul sebagai ratu

melakukan dominasi atas masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan sekitarnya.

Nyai Roro Kidul juga mendukung eksistensi raja yang berkuasa secara turun-

temurun. Hal ini disebabkan adanya perjanjian yang terikat antara Panembahan

Senopati dan Nyai Roro Kidul. Dengan adanya hubungan tersebut, maka

mendukung posisi Nyai Roro Kidul sebagai penguasa kosmis yang membuat

terjalinnya keselarasan hubungan antara Laut Selatan dengan dua elemen penting

Yogyakarta yang lain, Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi.

Hegemoni Nyai Roro Kidul juga dirasakan oleh masyarakat melalui tradisi

yang masih berjalan hingga sekarang. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan ziarah

di Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Tradisi yang lain yaitu

upacara labuhan. Upacara ini dimulai dengan pengadaan sesajen, kemudian

dilanjutkan rangkaian ritual yang terdiri atas selamatan, kenduri, diakhiri dengan

prosesi labuhan.

Tradisi yang ditanamkan melalui pemikiran masyarakat Jawa yang masih

mempercayai kekuasaan raja merupakan alat penting untuk menyampaikan

hegemoni kultural yang konsensual untuk membentuk keteraturan sosial pada

masyarakat sipil. Tanpa adanya keseimbangan dan kepercayaan dari masyarakat

terhadap hegemoni mitos Nyai Roro Kidul, hegemoni ideologi menjadi sulit

109

dilaksanakan, tradisi tidak akan berjalan seperti yang seharusnya. Bahkan, hal itu

dapat mengancam eksistensi Keraton.

Berlawanan dengan itu, sebuah kekuasaan atau dominasi selalu akan

menghadapi perlawanan, bahkan dapat dimulai dari bentuk yang kecil dan jauh

dari kekuasaan, seperti yang dilakukan oleh tokoh Sam, Ki Aji Sembada, dan

Raden Mas Damar Kusumo. Sam mempunyai pemikiran modern bahwa mitos

Nyai Roro Kidul merupakan pemikiran yang tidak logis, sedangkan Ki Aji

Sembada bahkan menentang keras terhadap hegemoni Nyai Roro Kidul. Nyai

Roro Kidul dianggap sebagai pembodohan kepada masyarakat dan hanya taktik

politik dari Kesultanan Yogyakarta untuk mempertahankan eksistensi kerajaan.

Namun, perlawanan tersebut tidak terlalu berpengaruh karena tradisi tetap

dijalankan oleh masyarakat di Yogyakarta. Lain halnya dengan Damar Kusumo,

ia membenarkan perihal cerita mengenai adanya kisah Nyai Roro Kidul, namun ia

tidak menjawab secara tegas mengenai eksistensi Nyai Roro Kidul sesungguhnya.

Meskipun demikian, Sam sebagai pihak yang awalnya menentang

hegemoni mitos Nyai Roro Kidul akhirnya merasakan sendiri hegemoni itu dari

pengalaman spiritual yang ia alami. Hal itu membuktikan bahwa, walaupun Budi

Sardjono sebagai pengarang sempat melakukan kritik melalui beberapa tokohnya

dengan menunjukkan perlawanan terhadap hegemoni, sebagai pengarang yang

berlatar kehidupan di Yogyakarta, secara tidak langsung ia masih patuh terhadap

ideologi kultural masyarakat Jawa sebagai pendukung hegemoni yang masih

mempercayai eksistensi Sang Nyai sebagai pendukung Keraton.

110

Sehubungan dengan hal ini, tradisi yang telah dibentuk bertahun-tahun

oleh masyarakat Jawa khususnya daerah Yogyakarta akan tetap dilestarikan oleh

masyarakat penganutnya karena kuatnya dominasi kekuasaan Nyai Roro Kidul

dengan dukungan dari pihak Keraton Yogyakarta dan keberadaan Gunung

Merapi. Sebuah tradisi tidak akan hilang jika masyarakat yang mempercayai

tradisi tersebut melestarikan tradisi sebagai bentuk kebudayaan dan kearifan lokal

di masyarakat.

111

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, Seodjipto. 2013. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli.Yogyakarta: Laksana.

Achmad, Sri Wintala. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa Soeharto, Sri SultanHB IX & Jokowi. Yogyakarta: Arasta.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lèvi-Strauss Mitos dan KaryaSastra. Yogyakarta: Galang Press.

Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Jakarta: Penerbit Ombak.

Artha, Arwan Tuti. 2009. Langkah Raja Jawa Menuju Istana Laku SpiritualSultan. Yogyakarta: Galang Press.

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Bantul: Kreasi Wacana.

Roland, Barthes. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiardjo, Miriam. 1991. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

Dananjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Rusa Utama Grafiti.

Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra. Jakarta: Editum.

Endraswara, Suwardi. 2013. Falsafah Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Faruk, H.T. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik SampaiPost-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hajarwati, Dwi Isma. 2013. “Mitos dalam Novel Sang Nyai Karya BudiSardjono.” Skripsi. Jombang: STKIP PGRI.

Harahap, Muharrina. 2009. “Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo”.Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Harjito. 2002. “Student Hijo Karya Marco Kartodikromo Analisis HegemoniGramscian”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Herusatoto, Budiono. 1985. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.Hanindita.

_________________. 2012. Mitologi Jawa. Yogyakarta: Oncor Semesta Ilmu.

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Flores: Penerbit Nusa Indah.

112

Larasati, Dewi Ayu. 2011. “Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para PriyayiKarya Umar Kayam”. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Noor, Redyanto. 2009. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.

Nurhadi. 2004. “Analisis Hegemoni pada Iblis Tidak Pernah Mati Karya SenoGumira Ajidarma”. Jurnal Litera. Yogyakarta: FBS UNY.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Pers.

Permatasari, Intan Dewi. 2013. “Nilai Budaya Jawa dalam Novel Sang NyaiKarya Budi Sardjono dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran SastraIndonesia di SMA”. Skripsi. Tegal: Universtias Pancasakti.

Pusposari, Dewi. 2011. Mitos dalam Kajian Sastra Lisan. Malang: PustakaKaiswaran.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra and Cultural Studies Teori Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saini K.M. 1986. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.

Sardjono, Budi. 2011. Sang Nyai. Yogyakarta: Divapress.

Sary, Irma Anita. 2013. “Hegemoni Gramsci dalam Novel Sekali Peristiwa diBanten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer.” Artikel MahasiswaSTKIP PGRI Jombang.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktural Puisi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumadi. “Gunung Merapi dalam Budaya Jawa”. Jurnal Seni Rupa STSI Surakarta(Online),http://isi.ska.ac.id/index.php/ornamen/article/download/200/175 diaksespada tanggal 30 Juli 2014.

Sumarsih, Sri, dkk. 1989. Upacara Tradisional Labuhan Kraton Yogyakarta.Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teew, A. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Thohir, Mudjahirin. “Sosiologi Pedesaan Masyarakat Jawa Pesisiran” dalamhttp://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2010/07/30/masyarakat-pesisirdiakses pada tanggal 24 September 2012.

113

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993. KamusBesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT.

Gramedia.

114

LAMPIRAN 1

SINOPSIS NOVEL SANG NYAI

Novel Sang Nyai mengisahkan tentang seorang wartawan bernama Samhudi yang

ditugaskan untuk membuat feature tentang Nyai Roro Kidul. Sam harus

melakukan penelitian tersebut dengan memulainya di Parangkusumo, tempat

untuk ziarah pada Nyai Roro Kidul. Ia sempat menolak tugas tersebut, karena

bertentangan dengan ideologi modern yang ia anut. Ia menentang keberadaan

sosok gaib Nyai Roro Kidul karena ia tidak mempercayai hal-hal gaib di era

modern ini.

Ketika berada di Parangksumo, ia bertemu dengan Kesi sosok misterius

yang membuatnya tertarik. Dari Kesi inilah Sam memulai petualangan misterinya

untuk berburu informasi tentang Nyai Roro Kidul. Ia dibawa oleh Kesi untuk

bertemu dengan Kang Petruk, teman Kesi yang tinggal di Merapi dengan dalih

bahwa Kang Petruk sangat mengetahui kisah tentang Nyai Roro Kidul. Ketika

dijemput Kang Jiman menggunakan andong untuk ke tempat Kang Petruk, selama

di perjalanan Sam merasa bahwa Jogja kembali ke beberapa abad silam. Bahkan

Sam juga merasa bahwa kuda yang ia naiki berkepala manusia. Ketika sampai di

tempat Kang Petruk pun suasana mistis semakin terasa, Sam bertemu Kesi dan

Kang Petruk yang terlihat sangat akrab. Dari sinilah Sam mulai mengalami hal

gaib yang selama ini mustahil bagi pemikirannya.

Sam menceritakan pengalamannya selama di rumah Kang Petruk kepada

Sugeng temannya. Sugeng kemudian membawa Sam ke tempat Bu Mul alias Nyai

115

Mundingsari yang diketahui sangat menyukai hal-hal berkaitan dengan Nyai Roro

Kidul. Setelah menceritakan semua kejadian, maka dapat disimpulkan bahwa

Kang Petruk yang ditemui oleh Sam adalah Mbah Petruk atau Kiai Sapu Jagat,

penguasa kawah Merapi yang selama ini menjadi mitos di masyarakat.

Sam akhirnya memutuskan untuk melakukan meditasi di tempat Nyai

Mundingsari di bawah tujuh lukisan Nyai Roro Kidul yang asalnya dari tujuh

tempat berbeda. Sam merasa terlempar ke tempat lukisan-lukisan tersebut berada

yakni di Sanur Beach Hotel Bali, Ambarukmo Palace Hotel, Hotel Queen,

Parangkusumo, Samudera Beach Hotel, Banglampir Gunung Kidul, dan Pantai

Karangbolong. Selama berada di tempat itu, tanpa sengaja Sam bertemu dengan

Kesi. Hal itu membuat Sam semakin mencurigai sosok gadis misterius yang

menarik hatinya tersebut.

Keadaan semakin gawat ketika dikabarkan Gunung Merapi akan meletus.

Kang Petruk menelepon Sam agar memperingatkan warga untuk menjauhi

Gunung Merapi sementara waktu. Peringatan ini dianggap sebagai wisik. Sam

akhirnya menyamar sebagai tokoh imajiner yaitu Syekh Tunggul Wulung seorang

ulama dari Demak yang melalui Sugeng temannya menyebarkan peringatan dari

Kang Petruk tersebut, agar masyarakat percaya. Terlebih ketika ada kejadian aneh

yang dilihat oleh warga sekitar yaitu perahu kosong yang berlayar di Kali Code,

dan naga yang muncul di Kali Opak. Hal gaib tersebut merupakan wujud wisik

yang didapat oleh masyarakat sebagai pertanda bahwa akan datang bencana besar.

Sang Sultan yang akrab dipanggil Ngarsa Dalem pun memerintahkan

penduduk Merapi untuk membuat sayur tolak bala guna menghindarkan dari

116

bencana letusan Merapi. Sementara itu, di Pantai Selatan utusan kerajaan yang

mendapat perintah langsung dari Ngarsa Dalem pun menyuruh warganya untuk

membuat acara selamatan, kenduri, dengan diakhiri dengan prosesi labuhan. Hal

ini ditujukan untuk meminta bantuan kepada Nyai Roro Kidul agar membujuk

Kiai Sapu Jagat yang mempunyai hubungan dekat dengannya agar tidak

memuntahkan lahar Merapi kepada penduduk kota Yogyakarta.

Ketika keadaan semakin gawat, setelah Sam mengunjungi Panggung

Sanggabuwono di Keraton Surakarta untuk meliput tentang tempat yang

berhubungan dengan Nyai Roro Kidul, Sam lalu menemui seorang pengrajin batik

tulis yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Hal ini untuk menambah

informasi tentang feature yang akan ia tulis. Pengrajin batik tulis yang bernama

Nyai Maryatun tersebut disewa oleh seorang perempuan cantik untuk membuat

tujuh kain batik motif sidomukti, dan tujuh belas kain batik motif parang rusak

dengan bayaran koin emas yang bergambar seorang perempuan. Setelah Sam

selidiki koin tersebut ternyata bergambar rupa Kesi.

Sam kembali ke Parangkusumo untuk mengikuti prosesi labuhan ketika

kondisi Merapi ditetapkan dalam kondisi yang darurat. Ombak ganas dengan

badai yang mencekam di Pantai Selatan membaut upacara labuhan memakan

korban jiwa, termasuk membuat seorang tukang ojek yang Sam kenal yaitu Kang

Trisno meninggal. Sam terpukul akan kejadian ini. Namun, saat itulah Kesi datang

dan menenangkan Sam. Ia mengatakan bahwa para korban akibat labuhan bukan

merupakan kehendak Nyai Roro Kidul, itu hanya diakibatkan bencana alam,

mereka masih menerjang badai walaupun sudah diperingatkan.

117

Keadaan semakin gawat ketika Merapi akhirnya meletus. Sam mengetahui

bahwa Sugeng, sahabatnya meninggal akibat menyelamatkan penduduk dari

serangan awan wedhus gembel yang menyerang penduduk lereng Merapi.

Kejadian ini membuat Sam terpukul. Ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia

bahkan menolak memperpanjang masa tugasnya sekedar meliput bencana yang

terjadi. Ketika sampai di Jakarta Sam dikejutkan oleh sebuah bingkisan di dalam

tasnya yang berisi segala benda yang disukai Nyai Roro Kidul beserta tujuh koin

emas bergambar wajah Kesi. Sam terkejut mengetahui fakta bahwa Kesi memang

penjelmaan dari sosok Nyai Roro Kidul yang sesungguhnya.

118

LAMPIRAN 2

BIOGRAFI PENGARANG

M. Budi Sardjono lahir di Yogyakarta, 6 September 1953. Ia adalah seorang

penulis autodidak. Memulai menulis karya-karya fiksi dari cerpen, novelete,

novel, naskah sandiwara, dan sebagainya. Beberapa kali ia telah memenangkan

sayembara mengarang, baik cerpen, novelete, dan lain-lain. Pernah memenangkan

sayembara mengarang naskah sandiwara remaja oleh Dewan Kesenian Jakarta.

Beberapa buku kumpulan cerpennya sudah terbit antara lain: Topeng

Malaikatdan Dua Kado Bunuh Diri. Cerpen-cerpennya juga masuk dalam

beberapa antologi kumpulan cerpen. Beberapa novelnya juga sudah terbit menjadi

buku, antara lain: Ojo Dumeh (2005), Kabut dan Mimpi (2008), Sang Nyai (2011),

Kembang Turi (2011), Api Merapi (2012), Roro Jonggrang (2013), serta Nyai

Gowok (2014). Ia juga menulis buku cerita untuk anak-anak. Akhir-akhir ini

banyak menulis buku-buku motivasi antara lain Hidup Rasa Jeruk, Doa Rasa

Cappucino, 7 Mukjizat Sehari Semalam, Meditasi Syukur 20 Menit, Meditasi

Cinta 20 Menit, 7 Meditasi Penyegar Hidup, Aneka Homili Prodiakon, 25 Ayat

Dahsyat, dan sebagainya.

119

Lampiran 3

Peta Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Sumber: http://yogyakarta.depag.go.id/

Lampiran 4

Sumber : http://www.jogjawae.com/2011/09/keraton

Sumber: http://

Keraton Yogyakarta

http://www.jogjawae.com/2011/09/keraton-yogyakarta

Sumber: http://coretanpetualang.wordpress.com/keraton

120

yogyakarta

/keraton-jogja/

121

Lampiran 5

Keraton Surakarta

Sumber: http://surakarta.go.id/konten/keraton-kasunanan-surakarta

122

Lampiran 6

Gunung Merapi

Sumber: http://ininyata.com/2014/02/Gunung-Merapi-Jogja/

123

Lampiran 7

Laut Selatan

Sumber:

http://images.detik.com/customthumb/2012/10/18/1025/img_20121018221232_5

0801c6097506

124

Lampiran 8

Upacara Labuhan Kesultanan Yogyakarta

Upacara labuhan merupakan salah satu upacara adat yang sejak jaman kerajaan

Mataram Islam pada abad ke XIII hingga sekarang masih diselenggarakan secara

teratur dan masih berpengaruh dalam kehidupan sosial penduduk di Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat meyakini bahwa dengan upacara

labuhan secara tradisional akan terbina keselamatan, ketentraman dan

kesejahteraan masyarakat dan negara. Meskipun yang menyelenggarakan upacara

labuhan adalah keraton, namun dalam pelaksanaannya di lapangan, rakyat juga

turut serta. Masyarakat merasa ikut memiliki upacara adat itu dan menganggap

upacara labuhan adalah suatu kebutuhan tradisional yang perlu dilestarikan.

Salah satu upacara keraton yang dilaksanakan oleh para Sultan sejak Sultan

Hamengkubuwono I adalah upacara adat yang dalam istilah Jawa disebut labuhan.

Upacara ini biasanya dilaksanakan di empat tempat yang letaknya berjauhan.

Masing-masing tempat itu mempunyai latar belakang sejarah tersendiri sehingga

pada. masing-masing tempat tersebut perlu dan layak dilakukan upacara labuhan

Tempat yang pertama ialah Dlepih, disebut juga Dlepih Kahyangan, terletak

di Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah.

Tempat yang kedua adalah Parangtritis, di sebelah selatan kota Yogyakarta, di

tepi Lautan Indonesia (Laut Selatan).

Tempat yang ketiga ialah di Puncak Gunung Lawu, di perbatasan Surakarta

dan Madiun, yang membatasi daerah Jawa Tengah dan dae¬rah Jawa Timur.

Tempat yang keempat adalah di Puncak Gunung Merapi, letak¬nya termasuk

wilayah Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Upacara labuhan tersebut merupakan pemberian atau persembahan (pisungsung-Jw) yang dilakukan di tempat-tempat tertentu, sesuai dengan kepercayaan bahwadi tempat tersebut pernah terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan paraleluhur raja

Berikut foto-foto upacara labuhan di Parangtritis:

125

Sumber :http://bantulbiz.com/id/berita_baca/idb-42.htmlhttp://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1129/upacara-labuhan-kesultanan-yogyakarta diakses pada 14 Agustus 2014

126

Lampiran 9

Eksistensi Nyai Roro Kidul

Pawai Kereta Kencana di Purwakarta (30 Agustus 2014)

Jika dilihat dengan mata telanjang tidak ada cahaya hijaunya, namun di flash

kamera seperti ada sosok dengan memakai kain warna hijau di dalamnya.

Diyakini sosok tersebut adalah Nyai Roro Kidul.

Sumber: Photo by Muhammad Ikhsan Anggara

127

Lampiran 10

DAFTAR ISTILAH

Adikodrati : alam gaib, di luar kodrat.

Folklor : meliputi legenda, musik, sejarah, lisan, pepatah,

lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang

menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau

kelompok.

Formatif : berdasarkan sifat awal atau dari bentuk awal yang

terikat.

Hegemoni ideologi : peta makna yang kendati mengklaim dirinya sebagai

kebenaran universal, namun secara historis merupakan

pemahaman yang khas, yang mengaburkan dan

mempertahankan kekuasaan kelompok sosial.

Hegemoni kultural : hegemoni yang memiliki ciri-ciri yaitu kekuasaan

dengan kombinasi kekuatan dan persetujuan, yang

secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya

kekuataan secara berlebihan memaksakan persetujuan.

Integral kebudayaan : merupakan bagian yang saling berhubungan dengan

kebudayaan

Kejawen : aliran kebatinan masyarakat Jawa.

Kosmos : jagad raya; alam semesta.

128

Layang kekancingan : merupakan surat silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas

Darah Dalem (Kantor Urusan Keturunan Raja) atas

nama sang Sultan.

Manusia kolektif : manusia yang saling berhubungan dengan manusia

lainnya, tidak bisa hidup sendiri.

Marxis Ortodoks : materialisme dialektik

Multisiplitas : keberagaman; diversitas; pluralitas

Otonom : kelompok sosial yang memiliki hak dan kekuasaan

menentukan arah tindakannya sendiri

Propaganda politik : merupakan kegiatan komunikasi politik yang dilakukan

secara terencana dan sistematik, untuk menggunakan

sugesti (mempermainkan emosi), untuk tujuan

mempengaruhi seseorang atau kelompok orang ,

khalayak atau komunitas yang lebih besar (bangsa) agar

melaksanakan atau menganut suatu ide (ideologi,

gagasan sampai sikap), atau kegiatan tertentu dengan

kesadarannya sendiri tanpa merasa dipaksa atau

terpaksa.

Represi : tekanan

Ritual : berkenaan dengan ritus; suatu proses tertentu

Sinkretis : aliran islam kejawen

Sinewaka : istilah dalam bahasa Jawa yang mempunyai arti raja

yang duduk pada sebuah acara. Istilah tersebut hanya

129

diperuntukan bagi para raja karena duduknya seorang

raja harus dihormati dengan cara menyembah dan

meninggikan raja.

130

LAMPIRAN 11

BIODATA PENULIS

Nama : Herning Puspitarini

Tempat/tanggal lahir : Purworejo, 21 Februari 1993

Alamat : Wonosri, RT 02/01, Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah 54172

Pendidikan Formal

JENJANG NAMA SEKOLAH NAMA KOTATH

MASUKTH

LULUSTK TK Rahayu Purworejo 1997 1998

SD SD Negeri Wonosri Purworejo 1998 2004

SMP SMP Negeri 11 Purworejo Purworejo 2004 2007

SMA SMA Negeri 7 Purworejo Purworejo 2007 2010

Semarang, 24 September 2014