hati hati generalisasi
TRANSCRIPT
1
HATI-HATI DENGAN GENERALISASI
Wahidin, M.Pd.
1. Generalisasi yang Keliru
Sebuah generalisasi dapat dibuktikan ketidakbenarannya dengan menyajikan
satu contoh penyangkal. Perumusan lawan contoh sebagai penyagkal ini merupakan
salah satu indikator dari kemampuan penalaran matematik (Sumarmo, 2005). Prinsip
pembuktian dengan contoh penyangkal ini dapat dilihat pada proposisi berikut ini
x A p(x)
Penyangkal
a A -p(a)
atau
a A, tetapi terjadi –( x A p(x))
Perhatikan proposisi
n N n(n + 1) + 41
[n(n + 1) + 41] merupakan bilangan prima untuk semua bilangan asli n (Hudoyo,
2003: 47).
Kita investigasi data-data yang terbentuk untuk beberapa bilangan asli pertama.
Untuk n = 1, maka n(n + 1) + 41 = 1(1 + 1) + 41 = 43
n = 2, maka 2(1 + 2) + 41 = 47
n = 3, maka 3(1 + 3) + 41 = 53
n = 4, maka 4(1 + 4) + 41 = 61
n = 5, maka 5(1 + 5) + 41 = 71
Berdasarkan data-data induktif di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa
n(n + 1) + 41 adalah bilangan prima. Dapatkah kita mempercayai proses generalisasi
ini? Tugas kita adalah menginvestigasi (mencari data), beberapa percobaan untuk
nilai n selanjutnya ternyata masih memberikan n(n + 1) + 41 bilangan prima.
Narasi
Untuk setiap x anggota A maka terjadi p(x)
Terdapat a anggota A sedemikian sehingga
terjadi –p(a)
43, 47, 53, 61, 71
merupakan bilangan prima
2
Berikut disajikan hasil untuk semua nilai n ≤ 40
Tabel 1. Nilai n(n + 1) + 41; n ≤ 40
n n(n + 1) + 41 n n(n + 1) + 41 n n(n + 1) + 41
1 43 15 281 29 911
2 47 16 313 30 971
3 53 17 347 31 1033
4 61 18 383 32 1097
5 71 19 421 33 1163 6 83 20 461 34 1231
7 97 21 503 35 1301
8 113 22 547 36 1373
9 131 23 593 37 1447
10 151 24 641 38 1523
11 173 25 691 39 1601
12 197 26 743 40 1681
13 223 27 797 Bukan Bilangan Prima 14 251 28 853
Ternyata untuk 1 ≤ n ≤ 39, memberikan nilai n(n + 1) + 41 yang merupakan
bilangan prima. Sedangkan untuk n = 40 diperoleh
n(n + 1) + 41 = 40(40 + 1) + 41
= 40(41) + 41
= (40 + 1)41
= 41 × 41
= 1681 ; bilangan kuadrat
Pada pengerjaan ini menunjukkan bahwa hasil pengamatan (kebenaran yang
khusus) tidak dapat begitu saja kita benarkan bentuk generalisasinya, sehingga
penalaran induktif tidak dapat diterima sebagai kebenaran penalaran deduktif.
3
2. Apakah Bilangan Prima?
Masih seputar persoalan kekeliruan dalam generalisasi, untuk bilangan prima
pula, kita akan melihat pola penyusunan bilangan deretan 3 dan 1. Apakah bilangan
333 … 31 merupakan bilangan prima?
Sekarang kita observasi untuk n = 1, 2, 3 yang memberikan hasil
31 ; prima
331 ; prima
3331 ; prima
Dapatkah kita menyimpulkan bahwa bilangan dengan deretan angka 3 yang diakhiri
dengan 1 merupakan bilangan prima?
Sehingga
333 … 31 ; adalah bilangan prima
Kita observasi lagi untuk n = 4, 5, 6, 7 dengan hasil
33331 ; prima
333331 ; prima
3333331 ; prima
33333331 ; prima
Yang ternyata masih merupakan bilangan prima.
Akan tetapi, untuk n = 8, diperoleh 333333331 yang bukan merupakan bilangan
prima, karena terdapat 17 anggota bilangan asli, sedemikian sehingga
Jadi bilangan 333 … 31 tidak dapat digenerlisir sebagai bilangan prima (Jones, 2007:
96).
4
3. Kekeliruan Barisan Bilangan
Seseorang peserta olimpiade menjumpai soal “Tentukan suku selanjutnya dari
barisan 2, 4, 8, …” (Budhi, 2006: 29).
Pembaca dapat menentukan suku ke 4 dengan kemampuan pola bilangan yang
sudah dimiliki selama ini. Jangan langsung melihat jawaban yang diberikan oleh
penulis.
Menjumpai soal seperti ini, sekilas dan spontan kita akan menerka bahwa suku
berikutnya adalah 16, karena nampak sekali bahwa barisan tersebut mempunyai
bentuk umum 2n, yaitu:
2 = 21
4 = 22
8 = 23
Sehingga berikutnya adalah 24 = 16, 25 = 32, … yang dapat digeneralisasikan dengan
bentuk 2n. Dengan rekursif, kita dapat mengatakan bahwa suku-suku barisan ini
merupakan dua kali besar suku sebelumnya, sehingga dapat dituliskan sebagai
fn = 2fn – 1
Apakah terkaan kita sudah benar? Bagaimana kalau pembuat soal menentukan
bahwa kunci jawabannya bukan 16, tetapi 14, atau malah 20? Apakah kita akan
mengatakan bahwa kunci yang diberikan itu salah? Mari kita lihat bentuk lain dari
pola ini dengan memperhatikan tabel berikut
Tabel 2. Empat Suku Pertama Barisan
N 1 2 3 4
2n 2 4 8 16
n2 – n + 2 2 4 8 14
n3 – 5n2 + 10n – 4 2 4 8 20
5
Berdasarkan informasi pada tabel di atas, bahwa bentuk umum 2n, n2 – n + 2,
dan n3 – 5n2 + 10n – 4 memberikan nilai untuk 3 suku pertama yang sama, yaitu 2, 4,
8. Hal ini menggambarkan kepada kita, bahwa sesuatu peristiwa yang terjadi menurut
pola tertentu (suatu kecenderungan) belum pasti akan menghasilkan suatu akhir
(ujung) yang sesuai dengan prediksi kita. Begitulah alternatif menjalani sebuah
kehidupan, mungkin di antara kita ada yang berdagang dengan modal tertentu yang
mengharapkan keuntungan optimal, namun terkadang harapan itu berbeda dengan
kenyataan. Inilah pelajaran penting dengan pola matematika, kita terkadang tidak
bisa memastikan hasil dari usaha kita, Tuhan mungkin berkehendak lain, inilah
matematika Tuhan yang bias jadi berbeda dengan matematika manusia . Sukur dan
sabar menjadi jawaban atas segala problem kehidupan manusia. Kendati demikian,
pola dan keteraturan alam semesta menjadi penting untuk kita pelajari, karena
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (berilmu).
Referensi
Budhi, Wono Setya. (2006). Langkah Awal Menuju ke Olimpiade Matematika, Jilid 1 Edisi 2. Jakarta: Racardo.
Hudoyo, Herman. (2003). Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika. Malang:
Depdiknas-JICA-UM. Jones, Tim Glynee. (2007). The Book of Numbers. London: Arcturus.
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi UPI Bandung: Tidak diterbitkan.