hasil penelitian dan pembahasan -...
TRANSCRIPT
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Umum
Daerah Umbu Rara Meha Waingapu yang terletak di jalan
Adam Malik No. 54 Kelurahan Kambajawa, Kecamatan Kota
Waingapu, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Rumah Sakit
Umum Daerah Umbu Rara Meha mulai dioperasionalkan
pada tanggal 19 Desember 1983 dengan luas bangunan
4.637m2 dan luas tanah 41.000m2. Rumah Sakit ini adalah
rumah sakit tipe D+ dengan kapasitas tempat tidur 121 buah
dan memiliki fasilitas pelayanan yaitu satu unit ruangan
perawatan rawat jalan (poli umum, poli bedah, poli anak, poli
gigi dan mulut, poli kebidanan dan KB, poli mata), satu unit
instalasi medik central (instalasi gawat darurat, instalasi
bedah sentral, instalasi ICU) dan instalasi penunjang medis
(Instalasi Farmasi, Instalasi Laboratorium, Instalasi Gizi,
Instalasi Radiologi, Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah
Sakit, Instalasi Rehabilitasi Medik, Instalasi Pemulasara-an
Jenasah, Instalasi Dokter Jaga, Instalasi Ruangan Oksigen,
Gudang Farmasi). Rumah Sakit Umum Daerah Umbu Rara
Meha memiliki ruang rawat inap berjumlah 7 ruangan yaitu
Ruangan Dahlia untuk penyakit dalam, Ruangan Anggrek
untuk pasien anak, Ruangan Bogenvile untuk semua pasien
bedah, Ruangan Kemuning untuk kebidanan, ICU untuk
pasien emergency, Ruangan VIP dan Utama (RSUD Umbu
Rara Meha Waingapu, 2013).
Dari 7 ruangan Instalasi Rawat Inap, peneliti
melakukan penelitian di satu ruangan yaitu ruangan
Bogenvile. Ruangan Bogenvile merupakan tempat
perawatan bagi pasien pre dan pasca bedah termasuk
pasien post apendiktomi. Ruangan Bogenvile memiliki 12
orang perawat dengan kapasitas 20 tempat tidur. Sebagian
besar pasiennya menggunakan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (JAMKESMAS). Saat penelitian berlangsung
peneliti melihat ruang ini memiliki satu buah set sterilisator,
pinset 3 buah, gunting kassa 2 buah, gunting plester 2 buah,
bengkok 1 buah dan korentang 2 buah. Jumlah pasien di
ruang Bogenvile rata-rata 20 pasien tiap bulannya dengan
14 orang tenaga kesehatan yaitu 1 orang dokter umum, 12
orang perawat termasuk kepala ruangan Bogenvile dan
pegawai administrasi. Perawat yang berpendidikan S1 1
orang, D3 5 orang, SPK 6 orang.
Rumah Sakit ini memiliki tenaga paramedis dan
tenaga medis Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tenaga para
medis sebanyak 198 orang yaitu S1 Keperawatan 8 orang,
D3 Keperawatan 69 orang, SPK 35 orang, D3 Kebidanan 8
orang, Perawat Gigi 2 orang, dan D4 Keperawatan
sebanyak 4 orang. Tenaga medis yang terdiri dari dokter
ahli bedah 1 orang, dokter ahli obgyn 1 orang, dokter umum
9 orang, dan apoteker 4 orang.
4.2. Karakteristik Responden
Penelitian tentang gambaran pelaksanaan
perawatan luka post apendiktomi di ruang rawat inap
Bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu telah
dilakukan pada tanggal 2 Juli 2013 sampai dengan 19
Agustus 2013 terhadap 12 orang responden perawat.
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin,
usia, tingkat pendidikan dan masa kerja selengkapnya
disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan masa kerja (n:12)
Karakteristik Responden
Frekuensi Prosentase
Jenis Kelamin : Pria Wanita Usia : 20-30 Tahun 31-40 Tahun Tingkat Pendidikan : SPK/C D3 S1 Masa Kerja : < 5 Tahun >5 Tahun
2 10 3 9 6 5 1 2 10
16,7 83,3 25 75 50 41,7 8,3 16,7 83,3
Sumber : Data Sekunder, 2013
Tabel 1, menunjukkan mayoritas responden berjenis
kelamin perempuan (83,3%). 75% responden berada pada
rentang usia antara 31-40 tahun. Tingkat pendidikan
responden didominasi oleh lulusan SPK/C (50%) dan
sebagian besar (83,3%) responden bekerja selama lebih
dari 5 tahun.
4.3. Gambaran Pelaksanaan Perawatan Luka Post
Apendiktomi di Ruang Rawat Inap Bogenvile RSUD
Umbu Rara Meha Waingapu
Observasi tindakan perawatan luka apendiktomi
dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap responden.
Ditemukan setiap pasien post apendiktomi yang tidak
mengalami infeksi mendapat perawatan luka sebanyak dua
kali selama dirawat di rumah sakit. Tetapi bagi pasien yang
mengalami komplikasi atau infeksi akan dirawat lebih dari
tiga atau empat hari dan mendapat perawatan luka lebih
dari dua kali.
A. Tahap Prainteraksi
Pada tahap ini, perawat sebelum melakukan
tindakan perawatan luka apendiktomi, terlebih dahulu
melihat catatan perawatan pasien kemudian mencuci
tangan, dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan
seperti set alat steril, sarung tangan steril, pinset
anatomis, pinset chirurgis, kassa steril, kapas lidi,
alkohol 70%, NaCl 0,9%, povidone iodine/betadin,
gunting plester, bengkok, perlak, sarung tangan bersih,
kapas alkohol, dan obat luka sesuai advis dokter. Hasil
pengamatan disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Tahap Prainteraksi (n:12)
Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 3 25 Cukup (56-75) 9 75 Kurang (< 56) 0 0
Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013
Berdasarkan tabel 2, tidak ada responden yang masuk
dalam kategori kurang pada fase prainteraksi.
Sesuai data pada lembar check list, dari 36 tindakan
pada tahap prainteraksi perawatan luka apendiktomi,
terdapat 28 prosedur tidak membawa sarung tangan
steril dikarenakan sarung tangan steril di ruangan
maupun di apotik rumah sakit tidak tersedia (sering
kehabisan stok). Prosedur tidak menyiapkan bengkok
sebanyak 16 kali, dikarenakan keterbatasan jumlah
bengkok yaitu hanya satu buah, artinya saat melakukan
perawatan luka bengkok masih dipakai oleh perawat lain
untuk melakukan perawatan luka apendiktomi pada
pasien.
B. Tahap Orientasi
Pada tahap ini perawat memberikan salam dan
memanggil nama pasien dengan namanya kemudian
menjelaskan prosedur dan tujuan tindakan yang akan
dilakukan untuk mendapat persetujuan pasien. Hasil
pengamatan disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Tahap Orientasi
Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 4 33,3 Cukup (56-75) 5 41,7 Kurang (< 56) 3 25
Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013
Tabel 3, menunjukkan hanya 1/3 dari keseluruhan
responden yang mengorientasikan tindakan secara baik
kepada pasien.
Berdasarkan data dari lembar observasi, dari 36 kali
observasi, 5 tindakan (13,9%) di antaranya tidak
memberikan salam dan memanggil klien dengan
namanya. Prosedur tindakan tidak menjelaskan tujuan,
cara dan waktu sebanyak 16 tindakan (44,4%).
C. Tahap Kerja
Pada tahap ini sebelum perawat melakukan
tindakan perawatan luka apendiktomi, terlebih dahulu
perawat cuci tangan kemudian menjaga privasi pasien
selama tindakan dilakukan, mengatur posisi pasien agar
luka terlihat jelas dan mudah untuk dilakukan tindakan
perawatan luka post apendiktomi dan berikan perlak di
bawah luka pasien kemudian membuka plester dan
balutan dengan menggunakan sarung tangan bersih,
pinset, dan kapas alkohol kemudian memasukkan
balutan kotor ke dalam bengkok. Selanjutnya melakukan
pengkajian terhadap kondisi luka jahitan kemudian
membuka alat-alat steril dengan tetap mempertahankan
supaya tidak terkontaminasi. Dilanjutkan menuangkan
larutan NaCl, memakai sarung tangan steril,
membersihkan daerah di sekitar luka jahitan sesuai
dengan prinsip pembersihan luka dengan pinset dan
kapas yang sudah dibasahi NaCl, menutup luka dengan
kassa steril menggunakan pinset steril, melepas sarung
tangan, fiksasi kassa dengan plester, kemudian
merapikan pasien ke posisi semula. Hasil pengamatan
tahap kerja disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Tahap Kerja (n:12)
Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 0 0 Cukup (56-75) 11 91,7 Kurang (< 56) 1 8,3
Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013
Berdasarkan tabel 4, pada tahap kerja tidak seorangpun
dari responden masuk dalam kategori baik, sementara
jumlah terbanyak terdapat pada kategori cukup yaitu
sebanyak 11 responden (91,7%) disusul oleh kategori
kurang sebanyak 1 orang (8,3%).
Berdasarkan data pada lembar hasil observasi, tindakan
yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh semua
responden selama 36 kali observasi adalah prosedur
memberi kesempatan kepada klien untuk bertanya
sebelum tindakan dimulai. 19 tindakan (52,8%) tidak
menjaga privasi klien saat melakukan perawatan luka
post apendiktomi. 10 tindakan (27,8%) tidak mencuci
tangan sebelum melakukan tindakan perawatan.
Tindakan memasang perlak saat melakukan perawatan
luka sebanyak 0% artinya tidak dilakukan sama sekali
oleh responden. Dan tindakan tidak menggunakan
sarung tangan steril sebanyak 29 tindakan (80,5%).
D. Tahap Terminasi
Pada tahap ini perawat mengembalikan posisi
pasien seperti semula/merapikan, mengevaluasi
perasaan pasien setelah dilakukan tindakan perawatan
luka, menyampaikan rencana tindak lanjut, mengakhiri
kegiatan dan merapikan kembali peralatan yang telah
dipakai, kemudian mencuci tangan. Pada tabel 5 tersaji
hasil tahapan terminasi.
Tabel 5. Tahap Terminasi (n:12)
Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 9 75 Cukup (56-75) 2 16,7 Kurang (< 56) 1 8,3
Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013
Tabel 5, menunjukkan bahwa mayoritas responden
berada dalam kriteria baik yaitu sebanyak 9 responden
(75%) dari seluruh jumlah responden yang diteliti.
E. Tahap Dokumentasi
Pada tahap ini perawat mendokumentasikan
tindakan yang telah dilakukan sebagai langkah tanggung
jawab dengan mencatat waktu dilakukan
tindakan/perawatan luka apendiktomi dan kondisi luka
operasi apendiktomi, serta menulis nama terang dan
tanda tangan perawat di dalam buku catatan asuhan
keperawatan. Hasil observasi disajikan pada tabel 6.
Tabel 6. Tahap Dokumentasi (n:12)
Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 1 8,3 Cukup (56-75) 3 25 Kurang (< 56) 8 66,7
Jumlah 12 100 Sumber : Data Sekunder, 2013
Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas responden
berada dalam kategori kurang (66,7%) dan hanya
terdapat 1 orang (8,3%) yang masuk dalam kategori
baik.
Berdasarkan data dari lembar hasil observasi, cukup
banyak tindakan menulis nama terang dan tanda tangan
petugas kesehatan di dalam buku catatan asuhan
keperawatan yang tidak dilakukan responden yaitu
sebanyak 34 tindakan (94,4%).
F. Perawatan Luka Apendiktomi
Berikut adalah distribusi gambaran pelaksanaan
perawatan luka post apendiktomi oleh seluruh perawat di
ruang Bogenvile Rumah Sakit Umum Daerah Umbu
Rara Meha Waingapu. Hasil penelitian selengkapnya
disajikan dalam tabel 7.
Perawatan luka dimulai dari tahap prainteraksi,
orientasi, kerja, terminasi, sampai dokumentasi. Dari 36
tindakan perawatan luka yang diobservasi didapatkan
hasil dalam tabel 7.
Tabel 7. Perawatan Luka Apendiktomi (n:12)
Kriteria Frekuensi Prosentase Baik (76-100) 1 8,3 Cukup (56-75) 10 83,4 Kurang (< 56) 1 8,3
Jumlah 12 100
Sumber : Data Sekunder, 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa yang masuk dalam
kategori cukup memiliki jumlah terbanyak yaitu 10 orang
(83,4%) dan jumlah responden yang masuk dalam kategori
baik dan kurang memiliki angka yang sama yaitu masing-
masing sebanyak 1 orang (8,3%).
4.4. Pembahasan
4.4.1. Karakteristik Responden
a. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jumlah perawat di ruang Bogenvile RSUD
Umbu Rara Meha Waingapu yang berjenis kelamin
laki-laki yaitu 2 orang (16,7%) dan perempuan yaitu 10
orang (83,3%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat
Muchlas (2004) yang menyatakan bahwa proporsi
perempuan dalam personel keperawatan jauh lebih
besar dibandingkan dengan laki-laki.
Aryani (2008) mengatakan bahwa tidak ada
batas ideal perbandingan antara perawat laki-laki dan
perempuan. Namun dalam manajemen keperawatan
mengenai pengaturan jadwal dinas, dianjurkan dalam
satu shift ada perawat laki-laki dan perempuan,
sehingga apabila melakukan tindakan yang bersifat
privacy bisa dilakukan oleh perawat yang sama jenis
kelaminnya misalnya personal higiyene, eliminasi,
perekaman EKG, pemasangan asesoris bed side
monitor dan lain-lain.
b. Karakteristik responden berdasarkan usia
Secara fisiologis pertumbuhan dan
perkembangan seseorang dapat digambarkan dengan
pertumbuhan umur. Dengan peningkatan umur
diharapkan terjadi pertumbuhan kemampuan motorik
sesuai dengan tumbuh kembangnya, yang identik
dengan idealisme tinggi, semangat tinggi dan tenaga
yang prima (Monks, 2000).
Pada usia-usia yang relatif tua, meskipun
sudah memiliki pengalaman kerja yang lebih banyak,
namun kondisi fisik yang menurun mengakibatkan
penurunan produktivitas (Adisetiawan, 2010). Hal ini
sesuai dengan keadaan di ruangan Bogenvile, perawat
yang paling dominan di ruangan adalah perawat yang
umurnya di atas 30 tahun dan dari hasil penelitian
didapatkan bahwa hampir seluruh responden dari
jumlah perawat mengalami penurunan motivasi kerja.
c. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan perawat di ruang Bogenvile
RSUD Umbu Rara Meha Waingapu mayoritas lulusan
SPK/C (Sekolah Penjenang Keperawatan) yang mana
setara dengan pendidikan SMA (Sekolah Menengah
Atas) yaitu sebesar 50%, diploma tiga sebesar 41,7%
dan hanya 8,3% yang berpendidikan sarjana
keperawatan.
Menurut Saragih (2010) dalam jurnalnya
yang berjudul hubungan karakteristik perawat dengan
tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan di
Rumah Sakit Columbia Asia Medan yang mengatakan
bahwa pada saat ini dasar penataan pendidikan
perawat adalah menuju tatanan profesionalisme dan
globalisasi. Profesionalisme menuntut perawat harus
menyelesaikan pendidikan akademik dan profesi
sebagaimana profesi lain yang berkembang.
Rendahnya pendidikan perawat dapat menjadi
rendahnya pelayanan keperawatan dan daya saing
perawat tersebut dengan perawat asing.
Untuk itu dituntut kesadaran dari perawat
RSUD Umbu Rara Meha Waingapu untuk memikirkan
tindak lanjut pendididikannya agar eksistensi mereka
dalam pelayanan keperawatan di era globalisasi saat
ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Manajemen
rumah sakit juga diharapkan memberikan perhatian
dan dukungan bagi perawat-perawat yang ingin
meningkatkan taraf pendidikannya.
d. Karakteristik responden berdasarkan masa kerja
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa mayoritas perawat ruang Bogenvile RSUD
Umbu Rara Meha Waingapu mempunyai masa kerja
lebih dari lima tahun (83,3%).
Menurut Balai Pustaka Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1991) masa kerja (lama
kerja) adalah merupakan pengalaman individu yang
akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan
jabatan. Kreitner dan Kinichi (2004) dalam bukunya
yang berjudul Organizational Behavior menyatakan
bahwa masa kerja yang lama akan cenderung
membuat seseorang betah dalam sebuah organisasi
hal ini disebabkan karena telah beradaptasi dengan
lingkungan yang cukup lama sehingga akan merasa
nyaman dalam pekerjaannya. Semakin lama
seseorang bekerja maka tingkat prestasi akan semakin
tinggi, prestasi yang tinggi didapat dari perilaku yang
baik. Kondisi ini apabila dikaitkan dengan pendapat
Kreitner dan Kinichi di atas terdapat kesenjangan.
Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap
seluruh responden perawat ada beberapa faktor yang
berpengaruh pada pelaksanaan perawatan luka post
apendiktomi belum dapat dikategorikan baik, antara
lain yaitu SOP perawatan luka apendiktomi yang
masih memilki banyak kekurangan, fasilitas
penunjang/alat perawatan luka apendiktomi yang
kurang memadai dan pendidikan perawat pelaksana
kebanyakan lulusan SPK/C. Jadi, masa kerja yang
lama belum tentu akan menyebabkan tingkat prestasi
semakin tinggi.
4.4.2. Pelaksanaan Perawatan Luka Apendiktomi di RSUD
Umbu Rara Meha Waingapu
Peneliti telah melakukan observasi pada 12 orang
responden perawat, masing-masing sebanyak 3 kali
sehingga jumlah observasi total yaitu sebanyak 36 kali.
Gambaran pelaksanaan perawatan luka
apendiktomi, dapat dilihat dari hasil penelitian pada tabel 7
dari 12 responden di Ruang Bogenvile didapatkan pada
tahap terminasi dalam kriteria baik sebanyak 75%,
sedangkan pada tahap prainteraksi, orientasi, dan tahap
kerja masuk dalam kriteria cukup dengan proporsi masing-
masing 75%, 41,7%, 91,7%. Pada tahap dokumentasi
pelaksanaan perawatan luka pada pasien post apendiktomi
dalam kriteria kurang dengan proporsi 66,7%. Hal ini
disebabkan oleh SOP perawatan luka apendiktomi RSUD
Umbu Rara Meha Waingapu yang masih memiliki banyak
kekurangan. Pada saat peneliti melakukan observasi,
ditemukan terdapat banyak kesenjangan dalam
pelaksanaan SOP tersebut. Setelah peneliti melihat dan
membandingkan SOP RSUD Umbu Rara Meha Waingapu
dengan SOP Prodi Keperawatan Waingapu, terdapat
banyak kekurangan pada SOP RSUD Umbu Rara Meha
Waingapu seperti : tidak ada tindakan mencuci tangan
sebelum melakukan tindakan perawatan luka, tidak ada
persiapan sarung tangan bersih, perlak, menjaga privasi
klien dan mencuci tangan setelah melakukan tindakan.
Prodi Keperawatan Waingapu adalah satu-satunya institusi
sekolah diploma tiga keperawatan yang ada di Waingapu
dan memiliki hubungan kerjasama dengan RSUD Umbu
Rara Meha Waingapu. Alasan peneliti menggunakan SOP
Prodi Keperawatan Waingapu sebagai SOP pembanding
adalah untuk lebih meminimalkan perbedaan-perbedaan
yang ada dengan perbandingan SOP di lain tempat, terlebih
pula karena kedua instansi tersebut memiliki hubungan
kerjasama secara formal.
Perry dan Potter (2005) mengatakan Standar
Operasional Prosedur merupakan tatacara atau tahapan
yang dibakukan dan harus dilalui untuk menyelesaikan
suatu proses kerja tertentu. Berdasarkan teori tersebut,
pelaksanaan suatu tugas diperlukan gambaran langkah-
langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal)
yang tentunya memuat tentang proses dan prosedur suatu
kegiatan yang bersifat efektif dan efisien berdasarkan suatu
standar yang sudah baku untuk mencapai tujuan. Dengan
adanya SOP diharapkan pekerjaan dapat terlaksana dengan
baik, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebaliknya, jika tata laksana rumah sakit tidak sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan, akan mengakibatkan
kerugian yang besar pada pasien, pengunjung, bahkan
pihak rumah sakit.
Atas persetujuan dari Kepala Bidang Keperawatan
RSUD Umbu Rara Meha Waingapu peneliti menggunakan
SOP Prodi Keperawatan Waingapu sebagai lembar
observasi dalam melakukan penelitian. Hal ini menjadi salah
satu faktor sehingga gambaran pelaksanaan perawatan luka
pada pasien post apendiktomi sebagian besar masuk dalam
kriteria cukup. Jadi menurut peneliti, RSUD Umbu Rara
Meha Waingapu perlu meninjau kembali SOP yang
digunakan khususnya SOP perawatan luka pasien post
apendiktomi dan menyesuaikan dengan SOP Standar
Propinsi serta perlu juga mengadakan pelatihan untuk
meningkatkan kualitas pelaksanaan tindakan keperawatan
tersebut.
Disamping itu hal ini dipengaruhi juga oleh fasilitas
penunjang yang kurang memadai. Kelengkapan fasilitas
dalam suatu instansi sangat mendukung berjalannya intansi
tersebut. Menurut Depkes RI (2001) bahwa untuk dapat
terlaksananya pelayanan yang sesuai dengan standar
tentunya harus didukung dengan pengetahuan, kemampuan
dan ketrampilan yang memadai dari Sumber Daya Manusia
(SDM) yang ada. Disamping itu pula ditunjang dengan
fasilitas dan sarana rumah sakit yang memadai sehingga
pelayanan menjadi berkualitas dan berdampak besar
terhadap citra pelayanan rumah sakit yang pada akhirnya
dapat memuaskan masyarakat.
Fasilitas alat perawatan luka apendiktomi di RSUD
Umbu Rara Meha Waingapu khususnya di ruang Bogenvile
yang terbatas, misalnya satu set alat untuk beberapa
pasien, dapat dipastikan segi aseptiknya dilanggar,
ketersediaan bengkok masih terbatas (1 unit), ketersediaan
handscoon steril di ruangan yang masih terbatas (sering
kehabisan stok), sehingga dalam melakukan perawatan luka
perawat sering kali hanya menggunakan handsoon bersih
dan oleh karena keterbatasan set steril perawat melakukan
perawatan luka secara bergantian tanpa melakukan
sterilisasi ulang.
Hal lain yang menjadi faktor penyebab gambaran
pelaksanaan perawatan luka pada pasien post apendiktomi
di ruang bogenvile RSUD Umbu Rara Meha Waingapu
belum dapat dikategorikan baik yaitu karena tingkat
pengetahuan responden yang masih kurang. Menurut
Notoatmodjo (2003), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu tingkat
pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun orang lain,
lingkungan dan media masa. Berdasarkan teori tersebut,
jelas bahwa tingkat pendidikan seseorang merupakan salah
satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengetahuan
yang dimilikinya. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa
kebanyakan dari responden adalah lulusan SPK/C yaitu
50%.
Menurut Azwar S, (2000) pengetahuan dapat
menumbuhkan sikap positif tentang sesuatu sehingga dapat
melahirkan minat dan kesadaran seseorang untuk
melakukan sesuatu (mengubah perilaku). Kurangnya
pengetahuan responden hal ini dikarenakan dalam
melaksanakan perawatan luka pada pasien post
apendiktomi ada beberapa tindakan keperawatan yang
sebenarnya dapat dimodifikasi oleh responden apabila
terbatasnya fasilitas di ruang bogenvile. Sebagai contoh,
karena keterbatasan bengkok, ketika melakukan perawatan
luka apendiktomi sering kali responden harus menunggu
yang sebenarnya masih dapat dimodifikasi, seperti dapat
digantikan dengan plabot infus bekas, kesadaran akan
pentingnya mencuci tangan sebelum melakukan tindakan
perawatan luka oleh responden masih sangat minim
sehingga sebagian besar tidak melakukan tindakan cuci
tangan sebelum melakukan tindakan bahkan setelah
tindakan perawatan luka pada satu pasien apendiktomi tidak
lagi mencuci tangan tetapi langsung melakukan perawatan
luka selanjutnya.
Kurangnya kesadaran responden akan pentingnya
perawatan luka apendiktomi yang sesuai standar telah
berlangsung lama, sehingga sulit untuk mengubah perilaku
seperti itu dalam waktu singkat. Hal ini pula yang
mengakibatkan gambaran pelaksanaan perawatan luka
pada pasien post apendiktomi masuk dalam kriteria yang
cukup. Niat dari diri sendiri, bukti ilmiah, proses belajar
mengajar dan fasilitas yang memadai diharapkan mampu
memperbaikinya.
Hal tersebut juga sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nurkusuma (2009) yaitu tentang faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian Meticillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) pada kasus infeksi luka
pasca operasi, dimana hasil dari penelitiannya mengatakan
bahwa 17 prosedur tidak memakai sarung tangan, 10
prosedur di antaranya disertai keadaan sarung tangan steril
di ruangan tidak tersedia. Teknik ganti balut yang tidak
standar sebanyak 25 prosedur, 10 prosedur di antaranya
disertai dengan kondisi petugas yang tergesa-gesa. Selain
keterbatasan fasilitas rumah sakit, didapatkan pula data
tingkat kesadaran yang rendah dan ketidaktahuan tentang
prosedur ganti balut yang standar. Petugas yang tidak
mencuci tangannya disebabkan karena kurangnya
kesadaran akan arti pentingnya cuci tangan (80%), namun
dapat juga karena handscrub alcohol habis (20%).
Hasil penelitian Mukhadiono (2011) dalam Jurnal
Keperawatan Soedirman, volume 6 No.1 tentang pengaruh
prosedur dan fasilitas pelayanan terhadap kualitas
pelayanan peserta program JAMKESMAS di puskesmas 1
Cilongok, yakni berdasarkan hasil analisis korelasi majemuk
dapat diketahui bahwa koefesien korelasi (R) antara
prosedur pelayanan dan fasilitas pelayanan dengan kualitas
pelayanan menunjukkan angka sebesar 0,740. Jadi ada
korelasi positif sebesar 0,740 antara prosedur pelayanan
dan fasilitas pelayanan dengan kualitas pelayanan. Hal
demikian berarti, semakin baik prosedur pelayanan dan
fasilitas pelayanan maka akan semakin baik pula kualitas
pelayanan.
Ratminto dan Winarsih (2005) menyatakan bahwa
Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara (Kep MENPAN) Nomor 63 Tahun 2003,
dan disempurnakan melalui Kep MENPAN NOMOR 63
Tahun 2004, memberikan ukuran kualitas pelayanan bagi
organisasi publik dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Ukuran ini merupakan hal wajib yang harus
dipenuhi oleh organisasi publik dalam pelaksanaan
pelayanannya. Ukuran kualitas pelayanan adalah
1) Prosedur pelayanan, 2) Waktu penyelesaian, 3) Biaya
Pelayanan, 4) Produk pelayanan, 5) Sarana dan prasarana,
6) Kompetensi petugas pemberi pelayanan. Dengan
demikian jelas bahwa prosedur pelayanan merupakan salah
satu ukuran penting dalam menentukan kualitas pelayanan.
Pengaruh fasilitas pelayanan terhadap kualitas
pelayanan perawatan luka apendiktomi sesuai dengan
pendapat yang disampaikan oleh Moenir (2001) mengenai
fungsi-fungsi dari fasilitas kerja. Dikatakan oleh Moenir
bahwa fungsi-fungsi dari fasilitas kerja adalah :
1) Mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan,
2) Meningkatkan produktivitas, baik barang atau jasa;
3) Kualitas produk yang lebih baik/terjamin;
4) Ketepatan susunan dan stabilitas ukuran terjamin;
5) Lebih mudah/sederhana dalam gerak para pelakunya;
6) Menimbulkan rasa kenyamanan bagi orang-orang yang
berkepentingan;
7) Menimbulkan rasa puas pada orang-orang yang
berkepentingan sehingga dapat mengurangi sifat
emosional mereka.
Jadi jelas bahwa fasilitas pelayanan sangat penting
artinya dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang
berkualitas. Fasilitas pelayanan yang lengkap dan memadai
merupakan kondisi yang harus diwujudkan agar pelayanan
yang disajikan mampu mencapai kualitas yang tinggi.
Sebaliknya, dengan keterbatasan fasilitas pelayanan maka
proses pelayanan akan sulit dilakukan secara optimal
sehingga akan sulit pula diharapkan terwujud kualitas
pelayanan yang tinggi.
Keselamatan pasien (patient safety) dalam hal ini
tindakan perawatan luka post apendiktomi adalah suatu
sitem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Sistem ini perlu diperhatikan untuk mencegah
terjadinya cedera pada pasien yang disebabkan oleh
kesalahan tindakan yang dilakukan oleh perawat terkait
dengan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien
(KKP-RS, 2005). Peninjauan kembali terhadap SOP yang
digunakan secara periodik dan selalu mengevaluasi setiap
tindakan perawatan luka post apendiktomi merupakan salah
satu bentuk cara untuk mengimplementasikan standar
keselamatan pasien.