hasil dan pembahasan keadaaan umum daerah penelitian · dipengaruhi oleh tersedianya akses sarana...

38
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaaan Umum Daerah Penelitian Kota Bogor secara geografis terletak pada koordinat diantara 106 ° 48‟ BT dan 6 ° 36‟ LS dengan jarak ± 56 km dari kota Jakarta dengan luas wilayah 118,50 Km 2 . Terdiri dari 6 Kecamatan 68 Kelurahan. Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah Kota Bogor. Kecamatan Bogor Barat terdiri dari 16 Kelurahan, 196 RW, 796 RT dan 53.408 rumah tangga (KK). Kelurahan-kelurahan di Kecamatan Bogor Barat meliputi Menteng, Pasir Kuda, Pasir Jaya, Pasirmulya, Gunung Batu, Bubulak, Situgede, Margajaya, Balumbang Jaya, Semplak, Cilendek Timur, Cilendek Barat, Curug, Loji, Curug mekar dan Sindang Barang. Secara geografis, Kecamatan Bogor Barat memiliki batas-batas wilayah disebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, disebelah Timur oleh Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor, disebelah selatan oleh Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor dan disebelah utara oleh Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor (Lampiran 1). Luas wilayah Kecamatan Bogor Barat 3.174,00 Ha. Merupakan lahan yang baik untuk mendukung kegiatan perkotaan seperti pemukiman, perkantoran, perdagangan, industri, pariwisata, pertanian dan lain-lain. Sarana dan prasarana di Kecamatan Bogor Barat terbagi menjadi prasarana sosial dan kesehatan. Sarana dan prasarana sosial meliputi tempat ibadah (152 mesjid), gedung sekolah (210 sekolah). Sarana dan prasarana kesehatan meliputi rumah sakit (3 buah), puskesmas induk (5 buah), puskesmas pembantu (4 buah), klinik (23 buah) dan praktek dokter (122 orang), bidan praktek (25 orang) dan posyandu (208 buah). Jumlah penduduk Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak sebesar 210.450 jiwa. Komposisi penduduk didominasi oleh penduduk usia muda dengan jumlah yang signifikan pada penduduk usia produktif dengan perbandingan yang hampir mencapai angka 2 : 1. Kegiatan perdagangan dan jasa di wilayah Kecamatan Bogor Barat sangat dipengaruhi oleh tersedianya akses sarana perhubungan melalui pembangunan jalan-jalan baru yang memicu investor-investor baru melakukan investasi disektor perdagangan, jasa dan terutama properti.

Upload: dodat

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaaan Umum Daerah Penelitian

Kota Bogor secara geografis terletak pada koordinat diantara 106° 48‟ BT

dan 6° 36‟ LS dengan jarak ± 56 km dari kota Jakarta dengan luas wilayah 118,50

Km2. Terdiri dari 6 Kecamatan 68 Kelurahan. Kecamatan Bogor Barat termasuk

dalam wilayah Kota Bogor. Kecamatan Bogor Barat terdiri dari 16 Kelurahan,

196 RW, 796 RT dan 53.408 rumah tangga (KK). Kelurahan-kelurahan di

Kecamatan Bogor Barat meliputi Menteng, Pasir Kuda, Pasir Jaya, Pasirmulya,

Gunung Batu, Bubulak, Situgede, Margajaya, Balumbang Jaya, Semplak,

Cilendek Timur, Cilendek Barat, Curug, Loji, Curug mekar dan Sindang Barang.

Secara geografis, Kecamatan Bogor Barat memiliki batas-batas wilayah

disebelah barat dibatasi oleh Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, disebelah

Timur oleh Kecamatan Bogor Tengah dan Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor,

disebelah selatan oleh Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Ciomas

Kabupaten Bogor dan disebelah utara oleh Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

(Lampiran 1). Luas wilayah Kecamatan Bogor Barat 3.174,00 Ha. Merupakan

lahan yang baik untuk mendukung kegiatan perkotaan seperti pemukiman,

perkantoran, perdagangan, industri, pariwisata, pertanian dan lain-lain.

Sarana dan prasarana di Kecamatan Bogor Barat terbagi menjadi prasarana

sosial dan kesehatan. Sarana dan prasarana sosial meliputi tempat ibadah

(152 mesjid), gedung sekolah (210 sekolah). Sarana dan prasarana kesehatan

meliputi rumah sakit (3 buah), puskesmas induk (5 buah), puskesmas pembantu

(4 buah), klinik (23 buah) dan praktek dokter (122 orang), bidan praktek

(25 orang) dan posyandu (208 buah).

Jumlah penduduk Kecamatan Bogor Barat termasuk dalam wilayah dengan

jumlah penduduk terbanyak sebesar 210.450 jiwa. Komposisi penduduk

didominasi oleh penduduk usia muda dengan jumlah yang signifikan pada

penduduk usia produktif dengan perbandingan yang hampir mencapai angka 2 : 1.

Kegiatan perdagangan dan jasa di wilayah Kecamatan Bogor Barat sangat

dipengaruhi oleh tersedianya akses sarana perhubungan melalui pembangunan

jalan-jalan baru yang memicu investor-investor baru melakukan investasi disektor

perdagangan, jasa dan terutama properti.

62

Karakteristik Keluarga

Besar Keluarga

Besar keluarga dikategorikan menjadi dua yaitu keluarga kecil yang

beranggotakan ≤ 4 orang dan keluarga besar yang beranggotakan > 4 orang

(BKKBN 1998). Sebaran ukuran keluarga contoh di wilayah penelitian yang

memiliki anak usia 24-59 bulan kelompok stunting maupun normal, lebih besar

berada pada keluarga dengan jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang (56,4%). Rata-

rata keluarga pada kelompok balita normal yaitu 4,4 ± 1,5 orang maupun

kelompok anak stunting yaitu 4,6 ± 1,3 orang seperti disajikan pada Tabel 4.

Menurut Berg (1986) keluarga yang semakin besar akan menurunkan status gizi

anak.

Tingginya persentase besar keluarga dengan jumlah ≤ 4 orang dikarenakan

data yang diperoleh umumnya berasal dari keluarga yang memiliki 1 balita dan

jarak kelahiran anak lebih dari 24 bulan (Lampiran 4). Berdasarkan penelitian

Suradi dan Chandradewi (2007) menunjukkan semakin kecil jumlah anggota

keluarga, maka ibu mempunyai waktu yang banyak untuk mengasuh anak

sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau. Secara statistik, tidak terdapat

hubungan bermakna (p>0,05) antara besar keluarga dengan status gizi TB/U.

Umur Orangtua

Rata-rata umur ayah pada kedua kelompok balita normal adalah 35,9 ± 8,4

tahun dan sebagian besar (75,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun

sedangkan rata-rata umur ayah pada kelompok anak stunting adalah 35,2 ± 5,9

tahun dan sebagian besar (85,7%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun.

Sementara rata-rata umur ibu pada kelompok anak normal adalah 30,3 ± 5,9 tahun

dan umur ibu pada kelompok anak stunting adalah 30,3 ± 6,0 tahun. Sebagian

besar (> 90%) umur ibu pada kedua kelompok berada pada kelompok umur 20-40

tahun yang termasuk dalam kategori kelompok dewasa awal. Sementara rata-rata

umur ibu pada kedua kelompok anak adalah 30,3 ± 5,9 tahun berada pada

kelompok umur 20-40 tahun (Tabel 4).

Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan pengalaman ibu dalam

mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda kemungkinan kurang memiliki

pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam merawat anak didasarkan pada

63

pengalaman orang tua terdahulu sebaliknya pada ibu yang lebih berumur

cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan

mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock

1998). Secara statistik, tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara umur

ayah dan ibu kedua kelompok balita dengan status gizi (TB/U).

Pendidikan Orangtua

Rata-rata lama pendidikan ayah pada kelompok anak normal yaitu 9,4 ± 2,5

tahun dapat dikategorikan pendidikan tinggi sementara pada kelompok anak

stunting yaitu 8,0 ± 2,5 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu 8,1 ± 2,4 tahun pada

kelompok anak normal dan 6,6 ± 1,5 tahun pada kelompok anak stunting dengan

kategori pendidikan rendah.. Menurut Madanijah (2003), tingkat pendidikan

orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak

termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi.

Secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) tingkat pendidikan

ayah dan pendidikan ibu antara kelompok balita normal dan stunting. Berdasarkan

tabulasi silang antar variabel bahwa pendidikan ayah yang tinggi memberikan

kontribusi terhadap pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan

pola asuh lingkungan yang baik (Lampiran 6). Hal ini menunjukkan pendidikan

orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena orangtua dengan

pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya peranan orangtua

terhadap anak. Semakin tinggi pendidikan diduga semakin baik pengetahuan

gizinya dan ibu yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mengetahui tentang

cara mengolah bahan makanan, cara mengatur menu mengatur makanan anak

sehingga keadaan gizi anak terjamin. Madanijah (2003) menyatakan bahwa

terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi,

kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung

mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik.

Pekerjaan Orangtua

Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh ayah contoh (100%) pada kedua

kelompok balita mempunyai pekerjaan (bekerja) dan persentase nilai tertinggi

(80%) ibu contoh tidak bekerja. Sebagian besar (63,6%) pekerjaan ayah sebagai

buruh sementara ibu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sebagai ibu

64

rumah tangga (IRT) (Lampiran 4). Menurut Sukarni (2002), mata pencaharian

memiliki hubungan dengan pendidikan dan pendapatan.

Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga

Variabel

Kelompok balita Total

p-

value Stunting Normal

n % N % n %

Besar keluarga 0,609

≤ 4 orang 38 54,3 41 58,6 79 56,4

> 4 orang 32 45,7 29 41,4 61 43,6

Rata-rata ± SD 4,6 ± 1,3 4,4 ± 1,5

Umur Ayah 0,134

< 20 tahun 0 0 0 0 0 0

20-40 tahun 60 85,7 53 75,7 113 80,7

> 40 tahun 10 14,3 17 24,3 27 19,3

Rata-rata ± SD 35,2 ± 5,9 35,9 ± 8,4

Umur Ibu 0,331

< 20 tahun 2 2,9 0 0 2 1,4

20-40 tahun 64 91,4 67 95,7 131 93,6

> 40 tahun 4 5,7 3 4,3 7 5

Rata-rata ± SD 30,3 ± 6,0 30,3 ± 5,9

Pendidikan Ayah 0,004*

Rendah 56 80 40 57,1 96 68,6

Tinggi 14 20 30 42,9 44 31,4

Rata-rata ± SD 8,0 ± 2,5 9,4 ± 2,5

Pendidikan Ibu 0,007*

Rendah 66 94,3 55 78,6 121 86,4

Tinggi 4 5,7 15 21,4 19 13,6

Rata-rata ± SD 6,6 ± 1,5 8,1 ± 2,4

Pekerjaan Ayah ----

Bekerja 70 100 70 100 140 100

Tidak bekerja 0 0 0 0 0 0

Pekerjaan Ibu 0,035*

Bekerja 19 27,1 9 12,9 28 20

Tidak bekerja 51 72,9 61 87,1 112 80

Tinggi Badan Ayah 0,310

< 165 cm 40 57,1 34 48,6 74 52,9

≥ 165 cm 30 42,9 36 51,4 66 47,1

Rata-rata ± SD 163,5 ± 6,8 164,8 ± 6,4 164,2 ± 6,6

Tinggi Badan Ibu 0,005*

< 156 cm 63 90 50 71,4 113 80,7

≥ 156 cm 7 10 20 28,6 27 19,3

Rata-rata ± SD 149,7 ± 5,6 1 152,5 ± 6,0

Jumlah Anak Balita 0,664

1 orang 56 80 58 82,9 114 81,4

> 1 orang 14 20 12 17,1 26 18,6

Rata-rata ± SD 1,2 ± 0,4 1,2 ± 0,4

Total 70 100 70 100 140 100

Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) status kerja

ayah dengan status gizi balita (TB/U) namun terdapat perbedaan bermakna

(p<0,05) status kerja ibu dengan status gizi balita (TB/U). Hal ini berarti ibu yang

tidak bekerja lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak di rumah.

Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan Ibu yang lebih banyak

65

menghabiskan waktu di rumah (tidak bekerja) berpengaruh terhadap balita dengan

riwayat konsumsi ASI dan pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) yang baik

(Lampiran 6).

Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga pada kedua kelompok dihitung dengan menggunakan

pendekatan pengeluaran pangan dan non pangan per kapita per bulan. Rata-rata

pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok balita normal adalah 201 291 ±

51 074 sedangkan pada kelompok balita stunting adalah 196 035 ± 41 086.

Berdasarkan batas garis kemiskinan Kota Bogor menurut BPS (2011) sebesar

Rp. 256.414,00 (Kap/bln) maka rata-rata keluarga kedua kelompok balita

termasuk kategori keluarga miskin.

Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pengeluaran, jenis pengeluaran

serta proporsinya

Pengeluaran

Kelompok balita

Stunting Normal

n % n %

Tingkat Pengeluaran (Rp/Kap/bln)

< Rp. 198.663,- 30 42,9 31 44,3

≥ Rp. 198.663,- 40 57,1 39 55,7

Total 70 100 70 100

Jenis Pengeluaran (Rp/Kap/bln)

Pangan 134 828 ± 30483 139 395 ± 27352

Non Pangan 61 208 ± 30363 61 896 ± 29009

Total 196 035 ± 41086 201291 ± 51074

Proporsi Pengeluaran (%)

Pangan 69,6 ± 11,5 69,9 ± 11,2

Non Pangan 30,4 ± 11,5 30,1 ± 11,2

Total 100 100

Proporsi pengeluaran pangan dan non pangan keluarga pada kedua

kelompok disajikan pada Tabel 5. Terlihat bahwa sebagian besar (>69,5%)

pengeluaran keluarga tiap bulan pada kedua kelompok diperuntukkan untuk

pengeluaran pangan. Hanya sebagian saja yang diperuntukkan untuk keperluan

non pangan yaitu (>30%). Pengeluaran non pangan yang rutin dikeluarkan

sebagian besar keluarga pada kedua kelompok adalah untuk biaya penerangan dan

biaya pendidikan (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh pada

penelitian ini berada pada tingkat ekonomi rendah. Hal ini sesuai dengan data dari

66

Laporan Tahunan Kecamatan Bogor Barat (2010), Kecamatan Bogor Barat

memiliki jumlah KK miskin terbanyak se-Kota Bogor yaitu 11,734 KK (26%)

dari KK seluruhnya yang ada di Kota Bogor.

Tinggi Badan Orang tua

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tinggi badan ayah pada

kedua kelompok balita yaitu 164,2 ± 6,6 cm sedangkan tinggi badan ibu yaitu

151,1 ± 5,9 cm. Tinggi ayah kurang dari 165 cm berdasarkan AKG golongan

umur 19-49 tahun, lebih banyak (52,9%) dari ayah dengan tinggi lebih dari

165 cm (47,1%). Rata-rata tinggi badan ibu pada kelompok balita normal yaitu

152,5 ± 6,0 cm dan kelompok balita stunting yaitu 149,7 ± 5,6 cm. Selisih tinggi

badan ibu pada kedua kelompok yaitu sebesar ± 3 cm (Tabel 4). Tinggi ibu kurang

dari 156 cm berdasarkan AKG golongan umur 19-49 tahun, lebih banyak (80,7%)

dari ibu dengan tinggi lebih dari 156 cm (19,3%).

Berdasarkan uji chi square, tinggi badan ayah tidak berpengaruh (p>0,05)

terhadap status gizi balita (TB/U), namun tinggi badan ibu memberikan pengaruh

(p<0,05) terhadap status gizi balita. Hal ini sejalan dengan penelitian Aditianti

(2010) mengenai „Faktor Determinan Stunting pada anak usia 24-59 bulan di

Indonesia‟ yang menunjukkan bahwa tinggi badan ayah dan ibu berhubungan

dengan stunting dan status ekonomi. Ibu maupun ayah yang memiliki tinggi badan

di atas standar cenderung memiliki anak dengan status gizi (TB/U) normal.

Tabulasi silang antar variabel penelitian menunjukkan bahwa tinggi badan ayah

berhubungan dengan pendidikan ayah, lebih banyak ayah yang bertubuh kecil

berpendidikan rendah (Lampiran 6).

Jumlah Anak Balita

Sebagian besar (81,4%) keluarga kedua kelompok balita memiliki 1 orang

balita dengan jumlah rata-rata adalah 1,2 ± 0,4 baik pada keluarga balita stunting

maupun keluarga balita normal (Tabel 4). Berdasarkan tabulasi silang antar

variabel, sebaran data tertinggi keluarga dengan memiliki satu orang balita

berhubungan dengan keluarga contoh yang kecil (≤ 4 orang), keluarga dengan

sedikit anak (≤ 2 orang) namun memiliki riwayat kesehatan yang kurang baik dan

lebih banyak memiliki ibu berperawakan kecil (Lampiran 6).

67

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna

(p>0,05) antara jumlah balita dengan status gizi (TB/U). Walaupun dalam

beberapa penelitian menghasilkan hal yang berbeda yaitu salah satu masalah gizi

buruk berasal dari keluarga dengan jumlah anak balita lebih dari satu orang

sebagai gambaran kehamilan dengan jarak terlalu dekat dan berkaitan dengan

perhatian, perawatan dan kasih sayang ibu kepada anak selain itu juga sesuai

dengan peraturan pemerintah dalam upaya peningkatan kepedulian masyarakat

dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (Saputra 2009).

Karakteristik Ibu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (84,3%) umur ibu pada

saat hamil contoh kedua kelompok balita berada pada kelompok umur 20-40

tahun. Umur ibu pada kelompok stunting 26,5 ± 5,9 tahun dan normal 25,9 ± 5,8

tahun (Tabel 6).13,6 persen ibu hamil pada saat umur kurang dari 20 tahun, hal ini

dapat beresiko bagi ibu dan anaknya. Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa

makin muda atau makin tua usia ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta

anaknya. Selanjutnya penelitian Taylor di Thailand (1970) menyebutkan bahwa

ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang melahirkan di bawah 20

tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko kematian yang lebih

besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34 tahun (Saputra 2009).

Penelitian menunjukkan secara uji chi square, umur ibu saat hamil tidak terdapat

hubungan yang bermakna dengan status gizi TB/U (p>0,05).

Persentase tertinggi (65%) rata-rata jumlah anak yang dilahirkan ibu contoh

pada kedua kelompok balita adalah dua orang. Selisih rata-rata jumlah balita

antara dua kelompok, terlihat bahwa jumlah anak yang dilahirkan ibu pada

kelompok normal lebih sedikit. Hal ini berdasarkan distribusi contoh yang

diperoleh lebih banyak ibu yang memiliki anak sedikit (≤2 orang). Secara statistik

tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara status gizi TB/U dengan

jumlah anak yang dilahirkan (Tabel 6). Namun tabulasi data antar variabel

menunjukkan sedikit anak (≤ 2 orang) berhubungan dengan riwayat kehamilan

ibu, praktek pemberian makan dan praktek perawatan diri yang baik (Lampiran 6).

Program KB dari BKKBN dengan moto ”dua anak lebih baik” adalah upaya

pemerintah dalam pengaturan kelahiran yang tidak hanya untuk mengendalikan

68

laju pertumbuhan penduduk, menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera selain

itu dengan Jumlah anak yang sedikit dapat mendorong kesehatan penduduk

perempuan sehingga memiliki waktu yang lebih untuk berkontribusi baik dalam

kehidupan keluarga maupun masyarakat (Saputra 2009).

Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan karakteristik ibu

Variabel

Kelompok Balita Total

p-

value Stunting Normal

n % n % n %

Umur Ibu saat hamil responden 0,811

< 20 tahun 9 12,9 10 14,3 19 13,6

20-40 tahun 60 85,7 58 82,9 118 84,3

> 40 tahun 1 1,4 2 2,9 3 2,1

Rata-rata ± SD 26,5 ± 5,9 25,9 ± 5,8

Jumlah anak yang dilahirkan 0,595

≤ 2 orang 44 62,9 47 67,1 91 65

> 2 orang 26 37,1 23 32,9 49 35

Rata-rata ± SD 2,5 ± 1,3 2,2 ± 1,4

Jarak Kelahiran anak 0,150

< 24 bulan 19 27,1 27 38,6 46 32,9

≥ 24 bulan 51 72,9 43 61,4 94 67,1

Penyakit yang pernah diderita 0,693

ada 18 25,7 16 22,9 34 24,3

tidak ada 52 74,3 54 77,1 106 75,7

Total 70 100 70 100 140 100

Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (>60%) jarak anak yang

dilahirkan pada kedua kelompok balita yaitu berjarak ≥ 24 bulan. Namun

distribusi data yang diperoleh, balita yang jarak kelahiran ≥ 24 bulan lebih tinggi

(72,9%) pada keluarga kelompok balita stunting dibandingkan dengan kelompok

balita normal (61,4%). Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, jarak kelahiran

anak ≥ 24 bulan berhubungan dengan jumlah anak lebih sedikit (≤ 2 orang).

Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jarak anak

yang dilahirkan dengan status gizi (p>0,05). Sementara menurut Supariasa (2002),

Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan

mempengaruhi asupan zat gizi dalam keluarga. Penelitian Wyon dan Gordon

tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan

bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari

dua tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan

menurun dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009).

Selanjutnya Wong (2008) berpendapat bahwa pengaruh terhadap anak yang lebih

69

tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu

ancaman. Pada saat usia anak paling tua masih kecil, konsep diri belum matang

sehingga muncul perasaan terancam.

Sebagian besar (75,7%) ibu contoh kedua kelompok balita tidak memiliki

penyakit berat sebelum kehamilan. Persentase ibu yang sehat (tidak memilki

penyakit) sebelum/saat hamil lebih tinggi (77,1%) pada kelompok balita normal

dibandingkan kelompok balita stunting (74,3%). Sementara 24,3 persen ibu

contoh yang memiliki penyakit antara lain, anemia, hipertensi, jantung, paru-paru,

kista, maag, alergi dan sakit gigi.

Beberapa peneliti menetapkan kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain

oleh umur kurang dari 19 tahun, umur di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat,

tinggi badan kurang dari 145 cm, kehamilan dengan penyakit ibu yang

mempengaruhi kehamilan (faktor genetik), serta riwayat kehamilan yang buruk

disebabkan oleh pernah keguguran, pernah persalinan prematur, lahir mati,

riwayat persalinan dengan tindakan, pre-eklampsia-eklampsia, gravida serotinus,

kehamilan dengan perdarahan antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak

(Manuaba 1998). Masalah-masalah yang ditemukan dokter pada wanita hamil usia

lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan disebabkan oleh diabetes, tekanan darah

tinggi dan masalah plasenta. Setelah usia 40 tahun, wanita merasakan ketegangan

fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih terganggu oleh wasir, inkontinensia,

varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri pinggang (Curtis & Asih 2000).

Hasil tabulasi silang antar variabel, bahwa penyakit yang pernah diderita ibu

berhubungan dengan jenis kelamin dan pendidikan ayah. Hal ini berarti, sebaran

data penyakit yang pernah diderita ibu sebelum kehamilan lebih banyak terdapat

pada anak laki-laki dan lebih banyak memiliki ayah dengan pendidikan yang

rendah. Namun berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antara status gizi dengan penyakit yang

pernah diderita ibu sebelum kehamilan (Tabel 6).

70

Karakteristik Anak

Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh kembang dari

beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan urutan kelahiran

anak (Hurlock 1997).

Tabel 7 menunjukkan rata-rata z-skor pada kelompok balita stunting sebesar

-2,92 ± 0,69 dan balita normal sebesar -0,95 ± 0,91. Berdasarkan z-skor, balita

umur 24-35 tahun memiliki rata-rata tinggi badan 82,9 ± 4,4 dengan z-skor -2,15

± 1,23 sedangkan rata-rata tinggi badan anak umur 48-59 bulan yaitu 97,4 ± 5,0

memiliki z-skor sebesar -1,83 ± 1,07. Kecenderungan yang diperoleh, pada

kelompok stunting berdasarkan penggolongan umur yaitu semakin tinggi umur

anak semakin membaik pertumbuhan. Sementara pada kelompok balita normal,

fluktuatif. Hal ini menunjukkan jika tidak ditunjang dengan gizi dan pengasuhan

yang baik, maka kecenderungan yang terjadi adalah balita menjadi stunting.

Tabel 7. Rata-rata tinggi badan dan z skor TB/U berdasarkan umur, jenis kelamin

dan urutan anak dalam keluarga

Karakteristik

anak

Kelompok Balita p-

value Stunting Normal

n % Z skor TB/U n % Z skor TB/U

Umur (bulan) 0,570

24 - 35 28 40 -2,99 ± 0,69 22 31,4 -1,07 ± 0,85

36 - 47 24 34,3 -2,97 ± 0,81 25 35,7 -0,70 ± 1,00

48 - 59 18 25,7 -2,73 ± 0,46 23 32,9 -1,12 ± 0,85

Jenis Kelamin 0,310

Laki-laki 30 42,9 -2,88 ± 0,71 36 51,4 -0,85 ± 1,03

Perempuan 40 57,1 -2,95 ± 0,68 34 48,6 -1,06 ± 0,77

Urutan anak dalam keluarga 0,084

Sulung 18 25,7 2,95 ± 0,65 29 41,4 -0,81 ± 1,03

Tengah 9 12,9 2,75 ± 0,42 4 5,7 -0,95 ± 1,23

Bungsu 43 61,4 2,94 ± 0,75 37 52,9 -1,06 ± 0,79

Total 70

70

Rata-rata ± SD -2,92 ± 0,69 -0,95 ± 0,91

Selain itu, penggunaan z-skor untuk mengetahui lebih detail dimana posisi

suatu skor dalam suatu distribusi dan pada penelitian ini, grafik sebaran z-skor

TB/U memiliki kecenderungan ke arah negatif dari grafik referensi standar

WHO/NCHS (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok balita normal

memiliki kecenderungan yang besar untuk menjadi stunting.

71

Gambar 4. Grafik sebaran Z skor TB/U

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur

balita dengan status gizi TB/U tetapi tidak bermakna (p>0,05). Hasil penelitian

Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur anak dengan

status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al (2009)

prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan.

Berdasarkan tabulasi silang antar variabel, umur anak berhubungan dengan

praktek pemberian makan. Semakin bertambah umur anak semakin baik pula

praktek pemberian makan yang diberikan ibu contoh (Lampiran 6).

Persentase anak laki-laki pada kelompok balita normal lebih tinggi (51,4%)

dengan rata-rata nilai z-skor -0,85 ± 1,03 daripada anak perempuan (48,6%)

dengan rata-rata nilai z-skor -1,06 ± 0,77. Umumnya anak laki-laki lebih

dibebaskan dalam memilih makanan dan pemberian makanan untuk anak laki-laki

lebih banyak dari anak perempuan. Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana

orangtua memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi

kebebasan oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003).

Namun demikian berdasarkan hasil uji chi-square tidak terdapat hubungan

bermakna (p>0,05) antara jenis kelamin dengan status gizi.

Menurut urutan kelahiran pada penelitian ini menunjukkan bahwa

persentase tertinggi (57,1%) balita contoh merupakan anak bungsu dengan rata-

rata nilai z-skor -2,07 ± 1,2 dan sebagian besar berada pada kelompok balita

72

stunting (61,4%). Selanjutnya diikuti oleh anak sulung dan persentase kelompok

anak tengah yang lebih tinggi (12,9%) dibanding kelompok balita normal (5,7%).

Menurut Maulani (2002) Anak tunggal, anak pertama dan anak bungsu biasanya

akan mendapatkan perhatian yang lebih baik dibandingkan dengan anak lainnya.

Anak tengah menurut Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan

rumah, jarang dipuji, menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang

tua, dan lebih dituntut untuk berkompromi dan beradaptasi. Secara statistik, tidak

terdapat perbedaan urutan anak (contoh) yang bermakna (p>0,05) terhadap status

gizi TB/U. Namun tidak sejalan dengan penelitian Macharia et al. (2005)

menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting

pada anak balita.

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu

Pengetahuan gizi dan kesehatan yang dimiliki ibu sangat penting dan

diharapkan anak yang diasuh dan dirawat dapat mencapai tingkat pertumbuhan

dan perkembangan yang optimal. Pengetahuan ibu yang memiliki anak usia 24-59

bulan dengan status gizi berdasarkan TB/U dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berdasarkan kelompok balita

Variabel

Kelompok Balita Total p-

value Stunting Normal

n % n % n %

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu 0,002*

Baik 30 42,9 48 68,6 78 55,7

Kurang 40 57,1 22 31,4 62 44,3

Total 70 100 70 100 140 100

Tabel 8 terlihat bahwa persentase ibu balita contoh dengan pengetahuan gizi

dan kesehatan yang baik, lebih tinggi (55,7%) dibandingkan ibu balita yang

kurang pengetahuan gizi dan kesehatan (44,3%). Berdasarkan pengetahuan gizi

dan kesehatan yang baik, ibu kelompok balita normal memilki nilai yang lebih

tinggi (68,6 %) dibandingkan kelompok balita stunting (42,9%). Sebagian besar

ibu dapat menjawab dengan benar pertanyaan mengenai ASI Ekslusif, susunan

makanan yang bergizi (4 sehat 5 sempurna), sanitasi dan higienis pangan dan

lingkungan, kegiatan posyandu yang meliputi penimbangan, manfaat Iodium

pemberian kapsul vitamin A serta pemantauan tumbuh kembang balita. Namun

73

pengetahuan ibu tentang gizi yang umumnya kurang diketahui adalah pertanyaan

mengenai kolostrum, cara pengolahan bahan pangan, pembuatan larutan oralit,

berat badan lahir normal, fungsi dan sumber bahan pangan zat gizi (Lampiran 5).

Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut

menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami

pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola

penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan

makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan

seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007).

Tabulasi silang data antar variabel menunjukkan bahwa ibu dengan

pengetahuan gizi dan kesehatan ibu berhubungan dengan riwayat kehamilan dan

riwayat konsumsi ASI. Pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik,

memberikan dampak riwayat kehamilan dan riwayat konsumsi ASI yang baik

(Lampiran 6). Berdasarkan hasil uji chi square, terdapat hubungan positif yang

bermakna (p<0,05) antara pengetahuan ibu dengan status gizi TB/U. Sejalan

dengan hasil Mariani (2002), menemukan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan

gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk lebih memilih makanan yang

sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian Martianto et al. (2008),

penegetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu.

Riwayat Kehamilan, Kelahiran dan Konsumsi ASI

Riwayat Kehamilan Ibu

Penentuan Riwayat kehamilan ibu meliputi jenis persalinan, tempat

persalinan, komplikasi persalinan, riwayat persalinan, pemeriksaan kesehatan

serta makanan dan minumam yang dikonsumsi selama kehamilan. Tabel 9

menunjukkan rata-rata riwayat kehamilan ibu contoh termasuk dalam kategori

baik sebesar 75,7 persen. Riwayat kehamilan ibu kategori baik pada kelompok

balita normal lebih tinggi (84,3%) daripada kelompok balita stunting (67,1%).

Ibu yang termasuk kategori kurang baik (24,3%) umumnya memiliki komplikasi

pendarahan, pernah mengalami keguguran, mengkonsumsi jamu, tidak

mengkonsumsi suplemen yang diberikan petugas kesehatan dan tidak melakukan

pemeriksaan kehamilan secara berkala.

74

Menurut Arisman (2004) Jika seluruh bahan makanan yang diperlukan

untuk ibu hamil dikonsumsi, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan

terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui

suplementasi. Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus

mendapatkan tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi.

Kebiasaan minum jamu dilakukan beberapa ibu dan merupakan tradisi turun

temurun yang diwariskan dari nenek moyang. Namun dalam pemakaiannya harus

tetap berada di bawah pengawasan dokter kandungan, terutama bila ada riwayat

keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada

trimester pertama merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan, kemungkinan

pada trimester kedua bisa lebih longgar, tapi meskipun demikian harus tetap

berhati-hati, dosis pemakaiannya disesuaikan, disertai pemeriksaan antenatal care

(Melindacare 2010).

Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kehamilan ibu, kelahiran anak dan

konsumsi ASI

Variabel

Kelompok Balita Total p-

value Stunting Normal

n % n % n %

Riwayat Kehamilan 0,018

Baik 47 67,1 59 84,3 106 75,7

Kurang 23 32,9 11 15,7 34 24,3

Riwayat Kelahiran Anak 0,398

Baik 37 52,9 32 45,7 69 49,3

Kurang 33 47,1 38 54,3 71 50,7

Riwayat Konsumsi ASI 0,693

Baik 52 74,3 54 77,1 106 75,7

Kurang 18 25,7 16 22,9 34 24,3

Total 70 100 70 100 140 100

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna

(p<0,05) antara riwayat kehamilan ibu dengan status gizi (TB/U). Menurut Lubis

(2003) Kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu

sebelum dan selama hamil. Bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan

selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan

dengan berat badan normal.

Variabel lain pada pengukuran riwayat kehamilan ibu yaitu penolong

persalinan dan tempat persalinan. Dari hasil yang ditunjukkan pada Tabel 10 yaitu

75

ibu contoh lebih banyak dibantu pada saat persalinan oleh bidan (65,7%) dan

dukun bayi (25%). Umumnya ibu contoh lebih banyak berkonsultasi dan

mempercayakan kehamilannya kepada bidan dan dukun bayi daripada dokter. Hal

ini karena juga dipengaruhi faktor biaya yang dikeluarkan bila berkonsultasi

maupun melahirkan di bantu oleh dokter umumnya lebih banyak.

Tempat persalinan yang umumnya digunakan ibu contoh yaitu tempat bidan

(60%). Persentase tertinggi kedua tempat persalinan yang dipilih yaitu di rumah.

Rumah dipilih sebagai tempat persalinan karena selain faktor biaya yang menjadi

alasan utama juga proses persalinan berlangsung sealami mungkin (Tabel 10).

Tabel 10. Variabel penunjang pada riwayat kehamilan ibu

Variabel lain

Kelompok Balita Total

Stunting Normal

n % n % n %

Penolong persalinan

Dokter 4 5,7 6 8,6 10 7,1

Bidan 41 58,6 51 72,9 92 65,7

Dukun bayi 24 34,3 11 15,7 35 25

Saudara/famili 1 1,4 0 0 1 0,7

Kader 0 0 2 2,9 2 1,4

Tempat persalinan

RS/RB 2 2,9 10 14,3 12 8,6

Bidan 40 57,1 44 62,9 84 60

Dukun bayi 3 4,3 2 2,9 5 3,6

Puskesmas 1 1,4 1 1,4 2 1,4

Rumah 24 34,3 13 18,6 37 26,4

Total 70 100 70 100 140 100

Riwayat Kelahiran Anak

Penentuan riwayat kelahiran anak meliputi panjang dan berat badan,

sumber informasi saat lahir serta riwayat penyakit bawaan yang dimiliki anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase riwayat kelahiran contoh lebih

tinggi (50,7%) berada pada kategori kurang baik dibandingkan kategori baik

(49,3%) (Tabel 9). Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, beberapa anak

yang termasuk dalam kategori kurang baik dikarenakan ibu contoh saat persalinan

dibantu oleh selain dokter maupun bidan yang belum memiliki fasilitas kesehatan

yang memadai sehingga kurang adanya perhatian terhadap pengukuran maupun

penimbangan pada saat bayi lahir serta higienitas peralatan yang digunakan.

Sumber informasi yang didapat mengenai pengukuran panjang maupun berat

76

badan saat lahir mengandalkan pengakuan atau ingatan ibu saja serta adanya

penyakit bawaan saat lahir berupa flek di paru-paru, asma serta alergi.

Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan

pertumbuhan anak. Menurut Sinaga (2011) panjang bayi lahir merupakan

pengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui

pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Berdasarkan hasil

penelitian di Bogor, penambahan panjang bayi berjalan dengan baik hanya sampai

usia 5 bulan setelah itu gangguan pertumbuhan linier mulai terjadi (Schmidt et al.

2002).

Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan

kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g,

sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi

lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan

BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi

normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth

(<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin

(intrauterine).

Secara statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat

kelahiran anak dengan status gizi (TB/U). Berdasarkan tabulasi silang antar

variabel menunjukkan bahwa riwayat kelahiran anak berhubungan dengan urutan

anak dalam keluarga dan praktek pemberian makan. Balita dengan riwayat

kelahiran baik, umumnya dimiliki oleh anak bungsu. Selain itu, dengan riwayat

kelahiran yang baik memberikan dampak yang baik pula terhadap pola asuh

(praktek pemberian makan) yang diberikan ibu (Lampiran 6).

Riwayat Konsumsi ASI

Penentuan riwayat konsumsi ASI contoh meliputi pemberian kolostrum,

ASI eksklusif, makanan-minuman saat lahir, MP-ASI serta pemberian susu

formula. Tabel 9 menunjukkan hasil riwayat konsumsi ASI baik lebih tinggi

(75,7%) dibandingkan riwayat konsumsi ASI yang kurang baik (24,3%). Hasil

riwayat konsumsi ASI baik pada kelompok balita normal lebih tinggi (77,1%) dari

kelompok balita stunting (74,3%). Berdasarkan hasil data dan wawancara, riwayat

konsumsi ASI yang kurang baik disebabkan antara lain oleh kurangnya

77

pengetahuan mengenai kolostrum, masih menganggap kotor ASI pertama yang

keluar dan khawatir anak akan sakit. Masih ada ibu yang tidak memberikan ASI

eksklusif dengan beberapa alasan karena ASI yang keluar sedikit, anak rewel

sehingga diberikan makan bahkan ada yang memberikan air tajin dengan alasan

agar usus menjadi kuat. Memberikan makanan dan minuman saat lahir seperti

madu. Pemberian MP-ASI yang terlalu cepat (< 6 bulan) seperti pisang mas

dengan alasan untuk membersihkan perut sehingga akan menurunkan konsumsi

ASI dan mengalami gangguan pencernaan atau bisa diare.

Hasil uji chi square menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna

(p>0,05) antara status gizi TB/U dengan riwayat konsumsi ASI. Namun Beberapa

penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap status pemberian ASI

telah banyak dilakukan. Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak

usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al. (2003) adalah konsentrasi seng

dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan kuantitas pemberian MP-ASI.

Sementara penelitian di Sudan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status

gizi, status pemberian ASI, status sosial ekonomi merupakan faktor-faktor yang

berkolerasi dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al.

2000).

Berdasarkan hasil data tabulasi silang antar variabel, menunjukkan riwayat

konsumsi ASI berhubungan dengan status kerja ibu dan pengetahuan gizi dan

kesehatan. Balita dengan riwayat konsumsi ASI baik berasal dari ibu yang tidak

bekerja (ibu rumah tangga) dan memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang

baik pula (Lampiran 6).

Pola Asuh Makan dan Kesehatan

Pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal

pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik,

mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang anak dan anggota keluarga

lainnya (FAO/WHO 1992). Pengasuhan didefinisikan juga sebagai perilaku dan

praktek dari pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam

hal makanan, kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk

tumbuh kembang anak (Engle & Lotska (1999) dalam Jallow 2006).

78

Pola Asuh Makan

Pola asuh makan yang diukur dalam penelitian ini meliputi praktek

pemberian makan dan praktek sanitasi pangan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa persentase tertinggi (63,6%) praktek pemberian makan berada pada

kategori baik dan 36,4 persen termasuk kategori kurang baik. Ibu yang memiliki

praktek pemberian makan kategori baik, lebih tinggi (70%) berada pada kelompok

balita normal dibandingkan kelompok stunting (57,1%). Berdasarkan hasil

wawancara, kategori kurang baik dikarenakan beberapa hal, antara lain: pada

umur kurang dari 6 bulan, balita sudah diberikan makanan padat pertama;

makanan yang diberikan hanya sesuai dengan permintaan atau kesukaan anak

tanpa memperhatikan kandungan gizi yang ada dengan alasan anak rewel; serta

ada beberapa anak yang sulit makan dengan frekuensi makan kurang dari 3 kali.

Berdasarkan tabulasi silang antar variabel menunjukkan hubungan praktek

pemberian makan dengan umur balita, banyak anak, riwayat kehamilan ibu, dan

riwayat kelahiran anak kategori baik. Hal ini berarti, sebaran data praktek

pemberian makan yang baik berada pada balita umur 36-47 bulan dan berada pada

keluarga dengan anak kurang dari 2 orang. Praktek pemberian makan baik

dipengaruhi oleh riwayat kehamilan ibu dan riwayat kelahiran anak yang baik

pula. Praktek pemberian makan berhubungan dengan riwayat kesehatan dan

keragaman yang kurang baik. Hal ini mengindikasikan balita dengan riwayat

kesehatan dan keragaman makanan yang kurang baik mendapatkan perhatian yang

lebih (baik) dari ibu balita contoh untuk perbaikan status gizi balita tersebut

(Lampiran 6).

Berdasarkan uji chi square, tidak ada hubungan yang bermakna (p>0,05)

antara praktek pemberian makan dengan status gizi TB/U. Namun penelitian yang

dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36 bulan di Amerika

Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki status gizi yang

lebih bagus. Penelitian Turnip (2008) terhadap positive deviance anak usia 12-24

bulan di Kecamatan Sidikalang, Medan, menghasilkan bahwa anak yang status

gizinya tidak baik memiliki peluang 4,3 kali pada keluarga yang kebiasaan

pemberian makan tidak baik. Selanjutnya Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu yang

benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak.

79

Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh makan

Variabel

Kelompok Balita Total p-

value stunting normal

n % n % n %

Praktek Pemberian Makan 0,114

Baik 40 57.1 49 70 89 63,6

Kurang 30 42,9 21 30 51 36,4

Praktek Sanitasi Pangan 0,233

Baik 43 61,4 36 51,4 79 56,4

Kurang 27 38,6 34 48,6 61 43,6

Total 70 100 70 100 140 100

Tabel 11 menunjukkan persentase tertinggi (56,4%) praktek sanitasi pangan

yang dilakukan ibu contoh berada pada kategori baik sedangkan 43,6 persen

dikategorikan tidak baik. Praktek sanitasi pangan kategori baik pada kelompok

balita normal lebih rendah (51,4%) daripada kelompok stunting (61,4%).

Berdasarkan hasil wawancara, masih ada ibu yang kadang-kadang bahkan tidak

mencuci tangan dengan sabun sebelum memasak, masih ada ibu yang kadang-

kadang tidak memisahkan makanan mentah yang busuk dengan yang masih baik,

hal ini sebaiknya jangan dilakukan karena biasanya mengandung banyak kuman

pathogen. Masih ada ibu yang menghangatkan kembali makanan lama (<2 jam)

untuk diberikan ke anaknya.

Menurut WHO (2005), mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau

membunuh patogen mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam

mencuci tangan tidak efektif untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak

dapat melepaskan lemak, minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan

bagian dari kotoran organik.

Pola asuh makan terkait dengan pemberian makan yang mencukupi

kebutuhan anak, yang pada akhimya akan memberikan sumbangan terhadap status

gizi anak. Hal ini berarti pola asuh makan secara tidak langsung berhubungan

dengan baik buruknya status gizi anak balita. Hasil tabulasi silang antar variabel

diperoleh bahwa praktek sanitasi pangan dipengaruhi oleh status kerja ibu dan

praktek perawatan diri yang baik. Hal ini berarti bahwa ibu yang lebih banyak

menghabiskan waktu di rumah kemungkinan akan memberikan praktek sanitasi

yang lebih baik dan optimal. Ibu yang memberikan praktek sanitasi pangan yang

80

baik memberikan kontribusi yang baik terhadap praktek perawatan diri

(Lampiran 6).

Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna

(p>0,05) antara pola asuh makan (praktek sanitasi pangan) dengan status gizi

TB/U. Namun hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Astari di Bogor (2005)

yang menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata antara keluarga miskin

pada kelompok anak normal dengan pengasuhan yang meliputi praktek pemberian

makan, praktek sanitasi pangan dan praktek sanitasi lingkungan.

Pola Asuh Kesehatan

Penentuan pola asuh kesehatan meliputi praktek perawatan diri anak dan

praktek sanitasi lingkungan. Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase tertinggi

praktek perawatan diri berada pada kategori baik (65%) dan kategori baik

kelompok balita normal lebih tinggi (67,1%) dibandingkan kelompok balita

stunting (62,9%). Berdasarkan hasil wawancara, beberapa kelompok balita yang

termasuk kategori kurang disebabkan antara lain: masih ada contoh yang

menggunakan alat mandi dengan saudara lainnya, masih ada ibu yang tidak

menggantikan baju anak setelah selesai mandi karena dianggap masih bersih,

masih ada ibu pada kedua kelompok anak tidak membersihkan anak bahkan

kadang tidak mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan dan setelah

buang air besar serta kurangnya perhatian ibu terhadap perawatan kebersihan anak

dengan tidak memperhatikan kebersihan kuku dengan memotong secara berkala

seminggu sekali. Menurut WHO (2005) kuku dan tangan yang kotor, tidak dicuci

dengan sabun sebelum makan dapat menjadi lubang entri bagi telur cacing.

Mencuci tangan bertujuan untuk melepaskan atau membunuh patogen

mikroorganisme (kuman). Penggunaan air saja dalam mencuci tangan tidak efektif

untuk membersihkan kulit karena air terbukti tidak dapat melepaskan lemak,

minyak, dan protein dimana zat-zat ini merupakan bagian dari kotoran organik

(WHO 2005). Selain itu, Procop & Cockerill (2003) mengatakan bahwa salah satu

pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghentikan penularan diare, antara

lain menjaga higiene pribadi yang baik dengan mencuci tangan setelah keluar dari

toilet terutama selama mengolah makanan.

81

Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh kesehatan

Variabel

Kelompok Balita Total p-

value Stunting Normal

n % n % n %

Praktek Perawatan Diri 0,595

Baik 44 62,9 47 67,1 91 65

Kurang 26 37,1 23 32,9 49 35

Praktek Sanitasi Lingkungan 0,038*

Baik 36 51,4 48 68,6 84 60

Kurang 34 48,6 22 31,4 56 40

Total 70 100 70 100 140 100

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (60%) praktek sanitasi

lingkungan berada pada kategori baik dan persentase tertinggi berada pada

keluarga kelompok balita normal (68,6%) dibandingkan kelompok stunting

(51,4%). Menurut Syarief (1997) Selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan,

status gizi seseorang secara langsung dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan

sanitasi, termasuk sanitasi lingkungan pemukiman.

Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05)

antara praktek perawatan diri dengan status gizi TB/U. Namun ada hubungan

yang bermakna (p<0,05) antara praktek sanitasi lingkungan dengan status gizi

TB/U (Tabel 12). Data tabulasi silang antar variabel menunjukkan bahwa praktek

perawatan diri berhubungan dengan urutan anak dalam keluarga, banyak anak,

riwayat kehamilan dan praktek sanitasi pangan. Hal ini berarti praktek perawatan

diri yang baik, lebih banyak berada pada keluarga yang memiliki sedikit anak

(≤ 2 orang), merupakan anak bungsu, riwayat kehamilan ibu yang baik dan

memiliki praktek sanitasi pangan yang baik. Sementara praktek sanitasi

lingkungan berhubungan dengan pendidikan ayah. Hal ini berarti bahwa praktek

lingkungan yang baik juga dapat berasal dari ayah yang berpendidikan rendah

(Lampiran 6).

Variabel lain yang diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan praktek

sanitasi lingkungan yaitu ketersediaan jamban keluarga, sumber air untuk MCK

dan ketersediaan tempat sampah (Tabel 13).

82

Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia harus diperhatikan,

karena banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan kotoran.

Penyakit-penyakit tersebut disebarkan melalui air (water born disease) seperti

penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri (Entjang 2000). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (80.7%) keluarga contoh sudah

memiliki kesadaran untuk memiliki jamban keluarga sendiri. Sedangkan yang

tidak memiliki jamban sendiri ( 19,3%) umumnya menggunakan kali dan jamban

umum. Jamban umum yang disediakan ada yang terawat dengan kesadaan warga

sendiri namun lebih banyak yang kotor, dalam keadaan terbuka bahkan ada yang

sudah rusak.

Tabel 13. Variabel penunjang pada praktek sanitasi lingkungan

Variabel Kelompok Balita Total

Stunting Normal

n % n % n %

Memiliki jamban keluarga

Ya 49 70 64 91.4 113 80.7

Tidak 21 30 6 8.6 27 19.3

Sumber air untuk MCK

Ledeng 1 1.4 9 12.9 10 7.1

Sumur/pompa 63 90 60 85.7 123 87.9

Mata air 2 2.9 0 0 2 1.4

Air gunung 2 2.9 1 1.4 3 2.1

Sungai 2 2.9 0 0 2 1.4

Tempat sampah

tertutup, di luar

rumah 4 5.7 13 18.6 17 12.1

tertutup, di dalam

rumah 5 7.1 8 11.4 13 9.3

terbuka, di luar

rumah 13 18.6 3 4.3 16 11.4

terbuka, di dalam

rumah 48 68.6 46 65.7 94 67.1

Total 70 100 70 100 140 100

Pada umumnya, sumber air untuk MCK pada keluarga contoh berasal dari

sumur yang ditutup (87,9%). Menurut Entjang (2000) Air sumur merupakan air

dalam tanah dan merupakan sumber utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah

perkotaan. Harus memperhatikan jarak sumur terhadap resapan/septic tank,

mencukupi syarat kesehatan. Air sumur mengandung unsur Fe dan Mn.

Konsentrasi besi yang tinggi dapat dirasakan dan dapat menodai kain dan

perkakas dapur.

83

Penyimpanan sampah rumah tangga dalam penelitian ini pada umumnya

dengan cara menyediakan tempat sampah terbuka di dalam rumah dan selanjutnya

dibuang di tempat pembuangan sampah umum (62,1%). Berdasarkan kedua

kelompok balita baik stunting maupun normal, melakukan perlakuan terhadap

sampah yang tidak jauh beda (>60%). Tempat pembuangan sampah pada lokasi

penelitian berada di pinggir-pinggir jalan dan tanah kosong. Pertambahan

penduduk perkotaan menyebabkan bertambahnya jumlah maupun ragam kegiatan

masyarakat dan menimbulkan beban pencemaran yang berat. Menurut Entjang

(2000) pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan

dampak pencemaran lingkungan dan pada gilirannya kesehatan manusia dan

makhluk hidup lainnya akan terrganggu.

Riwayat Kesehatan Anak Balita

Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu

asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Anak yang menderita penyakit

infeksi selain mempengaruhi daya imun juga mempengaruhi nafsu makan yang

kemudian akan berpengaruh pada status gizi. Sebaran contoh berdasarkan riwayat

penyakit yang pernah diderita selama 3 bulan yang lalu yaitu 94,3 persen balita

terkena penyakit infeksi. Menurut Martianto et al. (2008) bahwa adanya penyakit

dapat menyebabkan gangguan penyerapan zat-zat gizi yang dikonsumsi oleh anak

balita. Hal ini dapat menjadi penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi.

Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa)

dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat. Dari penyebab diare

yang terbanyak adalah infeksi yang disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Tabel

14 menunjukkan sebagian besar balita contoh (70,7%) tidak mengalami diare

dalam kurun waktu tiga bulan yang lalu. Pengobatan yang dilakukan ibu pada

anak yang menderita diare, umumnya pergi ke puskesmas dan diberi obat.

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan

yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran

pernapasannya. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak

kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan

lingkungan yang tidak hygiene. Tabel 14 menunjukkan persentase terbesar

(70,7%) kelompok anak yang pernah menderita ISPA. ISPA yang terjadi pada

84

penelitian ini, masih berada dalam kategori ISPA ringan akibat batuk pilek biasa.

Pengobatan yang dilakukan ibu terhadap anaknya antara lain dengan cara,

memberikan obat anakonidin, bodrexin, parasetamol atau contrexin yang dibeli

ditoko obat hingga ada yang dibawa ke puskesmas terdekat. ISPA ringan ini

disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk tersebut

dapat berupa kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat seperti

ventilasi, kepadatan penghuni, penerangan dan pencemaran udara dalam rumah.

Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA.

Tabel 14 menunjukkan bahwa 15 persen balita pernah mengalami sakit lain

selain penyakit infeksi utama yang umum terjadi pada balita, penyakit tersebut

antara lain sariawan, sakit gigi, eksim, gatal-gatal. Cara pengobatan yang

dilakukan, pergi ke puskesmas dan diberi obat. Untuk Sariawan diberikan borax

glycerine 10%. Untuk penyakit kulit diberikan salep antibiotik. Masih adanya

keluarga terutama ibu yang kurang memperhatikan kebersihan anak terutama

penyebab penyakit kulit, anak yang mandi sehari kurang dari dua kali, peralatan

mandi yang digunakan bersama dengan saudara lain seperti handuk dan pakaian.

Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit anak

Variabel

Kelompok Balita Total

Stunting Normal

n % n % n %

Diare dalam 3 bulan terakhir

Ya 24 34.3 17 24.3 41 29.3

Tidak 46 65.7 53 75.7 99 70.7

ISPA dalam 3 bulan terakhir

Ya 53 75.7 46 65.7 99 70.7

Tidak 17 24.3 24 34.3 41 29.3

Penyakit lain

Ya 12 17.1 9 12.9 21 15

Tidak 58 82.9 61 87.1 119 85

Total 70 70 140 100

Penentuan riwayat kesehatan anak meliputi sebaran kejadian diare, ISPA,

dan penyakit yang pernah diderita contoh selama 3 bulan terakhir bahkan hingga

saat pengumpulan data. Tabel 15 menunjukkan bahwa kelompok balita yang

memiliki riwayat kesehatan baik lebih kecil (22,1%) daripada kelompok balita

yang pernah terkena penyakit (77,9%). Pada kategori sehat, kelompok balita

normal lebih tinggi (30%) dibandingkan kelompok stunting (14,3%). Hal ini

85

didukung oleh hasil tabulasi silang dimana riwayat kesehatan yang baik (sehat)

memiliki besaran nilai yang tinggi dengan beberapa variabel lain yaitu balita dan

anak yang dimiliki sedikit, jarak anak lebih dari 24 bulan, pola asuh makan dan

kesehatan yang baik, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu yang baik. Hal ini

diduga menjadi faktor pendukung riwayat kesehatan yang baik pada kedua

kelompok balita walaupun berada pada kondisi keluarga kurang mampu. Secara

statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat kesehatan anak dengan

status gizi TB/U (p>0,05).

Tabel 15. Sebaran contoh berdasarkan riwayat kesehatan anak

Variabel

Kelompok Balita Total p-

value Stunting Normal

n % n % n %

Riwayat Kesehatan Balita 0,025*

Sehat 10 14,3 21 30 31 22,1

Sakit 60 85,7 49 70 109 77,9

Total 70 100 70 100 140 100

Pola Konsumsi Makan Balita

Setiap anak akan memiliki karakteristik yang berbeda berdasarkan umurnya.

Anak yang berumur 1-3 tahun (batita) merupakan konsumen pasif, artinya anak

menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Sedangkan anak balita

3-5 tahun, merupakan konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat memilih makanan

yang disukai. Anak-anak pada usia prasekolah menurut Khomsan (2003), sering

dianggap sedang memasuki fase Jhony won’t eat (anak sering tidak mau makan).

Diusia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak dapat mengerat dan mengunyah

dengan baik walaupun maksimal dan bentuk makanan seperti orang dewasa,

misalnya nasi dapat diberikan, tetapi tetap disertai dengan cairan atau sayuran

berkuah. Kebiasaan makan balita yang bervariasi dalam penelitian ini dilihat dari

hasil Food Frequency Questionnaire sedangkan keragaman menu dilihat dari

variasi jenis makanan yang dikonsumsi oleh anak balita per minggu yang diacu

dari FFQ yang digunakan oleh FAO bekerjasama dengan FANTA 2006.

Kebiasaan Makan Balita

Menurut Unicef (1998) penyakit yang diderita anak dan asupan makanan

yang tidak cukup penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi. Dari hasil

penelitian, pola makan balita secara umum hampir sama dengan pola makan

86

keluarga. Tabel 16 menunjukkan bahwa seluruh balita contoh (100 %) baik

kelompok balita stunting maupun normal mengkonsumsi sereal sebagai makanan

pokok yang terdiri dari nasi, mie, roti dan ubi.

Tabel 16. Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan seminggu

Kelompok

Makanan

Kelompok Balita Total p-

value Stunting Normal

n % n % n %

Sereal -----

ya 70 100 70 100 140 100

tidak 0 0 0 0 0 0

Sayuran kaya Vit. A 0.144

ya 52 74.3 59 84.3 111 79.3

tidak 18 25.7 11 15.7 29 20.7

Umbi-umbian 0.382

ya 5 7.1 8 11.4 13 9.3

tidak 65 92.9 62 88.6 127 90.7

Sayuran hijau 0.329

ya 15 21.4 20 28.6 35 25

tidak 55 78.6 50 71.4 105 75

Sayuran lain 0.466

ya 3 4.3 5 7.1 8 5.7

tidak 67 95.7 65 92.9 132 94.3

Buah kaya vitamin A 0.577

ya 19 27.1 22 31.4 41 29.3

tidak 51 72.9 48 68.6 99 70.7

Buah lain 0.673

ya 13 18.6 15 21.4 28 20

tidak 57 81.4 55 78.6 112 80

Organ Daging -----

ya 0 0 0 0 0 0

tidak 70 100 70 100 140 100

Daging (isi) 0.091

ya 4 5.7 10 14.3 14 10

tidak 66 94.3 60 85.7 126 90

Telur 0.215

ya 42 60 49 70 91 65

tidak 28 40 21 30 49 35

Ikan 0.855

ya 20 28.6 23 32.9 43 30.7

tidak 50 71.4 47 67.1 97 69.3

Polong-polongan 0.461

ya 47 67.1 51 72.9 98 70

tidak 23 32.9 19 27.1 42 30

Susu dan produk susu 0.587

ya 49 70 48 68.6 97 69.3

tidak 21 30 22 31.4 43 30.7

Minyak dan Lemak -----

ya 70 100 70 100 140 100

tidak 0 0 0 0 0 0

Coklat. permen. sirup 0.307

ya 34 48.6 28 45.2 62 44.3

tidak 36 51.4 42 60 78 55.7

Rempah, bumbu, minuman -----

ya 70 100 70 100 140 100

tidak 0 0 0 0 0 0

Total 70 100 70 100 140 100

87

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar balita contoh (79,3%)

mengkonsumsi sayuran kaya vitamin A. Persentase tertinggi berada pada

kelompok balita normal (84,3%) dibanding kelompok balita stunting (74,3%).

Sayuran kaya vitamin A terdiri dari labu, wortel, atau ubi jalar yang di dalamnya

oranye dan sayuran lain kaya vitamin A yang tersedia secara lokal (misalnya

paprika). Sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu wortel. Wortel memiliki

kandungan kimia yang komplit seperti vitamin A, B, C, D, E dan K, lemak, hidrat,

kalsium, fosfor, besi, sodium, arang, gula, beta karoten dan lain-lain. Banyaknya

kandungan kimia yang terdapat di dalamnya, menjadikan wortel sangat berguna

untuk menjaga kesehatan mata, mengatasi amandel, gangguan pernafasan dan

meningkatkan kekebalan tubuh (Medicalcare 2010).

Tabel 16 menunjukkan bahwa balita yang mengkonsumsi umbi-umbian

sangat sedikit (9,3%) baik dari kelompok balita normal maupun stunting.

Kelompok pangan umbi-umbian berdasarkan FAO (2011) antara lain

kentang putih, ubi putih, singkong, atau makanan yang berbahan dasar dari

tumbuhan berakar. Umbi kentang memiliki manfaat yang sama dengan jenis-jenis

sayuran lainnya. Setiap 100 gram kentang mengandung kalori 347 kal, protein 0,3

g, lemak 0,1 g, karbohidrat 85,6 g, kalsium 20 mg, fosfor 30 mg, zat besi 0,5 mg,

dan vitamin B 0,04 mg (Samadi 2007). Ubi kaya akan antioksidan, yaitu beta

karoten (vitamin A), vitamin C, dan vitamin E, dan seng. Semakin gelap warna

ubi, semakin banyak antioksidan yang terkandung di dalamnya. Penelitian dari

National Cancer Institute menunjukkan bahwa selain baik untuk mata, beta

karoten juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan yang dapat berperan

penting dalam menstabilkan radikal berinti karbon, sehingga mengurangi resiko

kanker (Astawan & Kasih 2008).

Banyak balita contoh (75%) yang tidak mengkonsumsi sayuran hijau

dibandingkan dengan yang mengkonsumsi (25%). Kelompok Sayuran hijau dalam

penelitian ini antara lain : bayam, kangkung, daun singkong dan daun katuk.

Komponen yang terkandung dalam pangan yang berwarna hijau yaitu klorofil,

beta-karoten, asam folat, vitamin C, Vitamin K serta berbagai vitamin dan mineral

lainnya. Klorofil melindungi tubuh dari senyawa-senyawa karsinogenik

(penyebab kanker) serta pembentuk sel-sel darah merah karena kemiripan struktur

88

dengan hemoglobin dalam darah sehingga disebut juga sebagai zat antianemia

(Astawan & Kasih 2007). Selanjutnya menurut Apriadji (2007), kelompok

sayuran hijau banyak mengandung beta karoten, salah satu zat gizi antioksidan

yang berperan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Bersama zat-zat antioksidan

lainnya, betakaroten memelihara kesehatan sel-sel saraf otak. Selain itu,

kandungan antioksidan dan serat alami menjaga kesehatan dan melancarkan

saluran pencernaan. Kandungan vitamin K berperan penting dalam proses

pembekuan darah dan pembentukan tulang.

Sedikit balita (5,7%) yang mengkonsumsi kelompok sayuran lain dengan

persentase tertinggi (7,1%) terdapat pada kelompok balita normal. Kelompok

Sayuran lain yang termasuk dalam sayuran yang dikonsumsi balita contoh yaitu

kol. Beberapa survei menunjukkan bahwa senyawa kol mengandung zat anti

kanker adalah klorofil, dithiolthione, flavonoid tertentu, isothiocyanate, fenol

(coffeic dan asam ferulat), vitamin E dan vitamin C. Kandungan sulfur didalam

kol juga dapat membantu melenyapkan alkohol dalam darah, selain itu juga

mengobati penyakit kulit (Bangun 2004).

Tabel 16 menunjukkan bahwa kelompok balita yang mengkonsumsi buah

kaya vitamin A lebih sedikit (70,7%). Pada balita yang mengkonsumsi, Kelompok

balita normal lebih tinggi (31,4) dibandingkan dengan kelompok balita stunting

(27,1%). Buah kaya vitamin A yang dikonsumsi oleh balita contoh antara lain

mangga, pepaya, pisang dan melon. Buah yang diperoleh umumnya dibeli di

warung berupa satuan dengan harga Rp. 500 – Rp. 1000,- per buah Vitamin A

merupakan vitamin yang larut dalam lemak, dan merupakan vitamin yang esensial

untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dampak kekurangan

vitamin A sangat bervariasi tergantung tingkatannya, yaitu mulai dari

pertumbuhan yang terhambat, ISPA, kulit yang bersisik, hingga masalah

kebutaan. Merupakan makanan yang tinggi karoten. Berfungsi bagi pertumbuhan

sel-sel epitel dalam pertumbuhan gigi, berpengaruh terhadap kekebalan tubuh

dalam merespon antibody, dan sebagai pengatur kepekaan rangsang sinar pada

syaraf dan mata. Dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (2004), kebutuhan

tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dengan

mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang Indonesia.

89

Pada golongan umur balita 1-3 tahun kebutuhan akan vitamin A sebesar 350 RE

sedangkan 4-6 tahun sebesar 460 RE (Almatsier 2004).

Kelompok balita yang mengkonsumsi buah selain buah kaya vitamin A

yaitu salak, jeruk dan semangka. Jeruk dan semangka pada umumnya kaya akan

vitamin C tinggi. Pada Tabel 16 menunjukkan persentase balita yang

mengkonsumsi buah-buahan tersebut sangat sedikit (20%). Dengan persentase

tertinggi pada kelompok balita normal (21,4%) namun selisihnya kecil (18,6%)

dari kelompok balita stunting yang sama-sama mengkonsumsi. Salak merupakan

salah satu jenis tanaman buah tropis asli Indonesia. Kandungan gizi dalam tiap

100 gram buah salak segar, salak mengandung 77 kal, tinggi kalsium (28 mg) dan

fosfor (18 mg) dan bagian yang dapat dimakan dari buah salak yaitu 50%.

Mengkonsumsi salak bermanfaat untuk mengobati diare. Namun, buah salak yang

ada rasa sepetnya tidak dianjurkan bagi penderita maag dan radang usus, karena

kandungan tannin dapat memperparah kondisi usus yang luka dan sulit dicerna

(Rukmana 2008).

Pada kelompok pangan daging (isi), hanya sedikit dari balita contoh (10%)

yang mengkonsumsi, dan kelompok balita normal lebih banyak (14,3%) yang

mengkonsumsi daging dibandingkan kelompok stunting (5,7%). Daging

merupakan protein hewani, asam amino penyusun protein hewani sangat mudah

dicerna, sehingga sangat baik bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan. Daging

ayam dikonsumsi umumnya berasal dari produk sozzis siap makan. Daging sapi

yang dikonsumsi berasal dari bakso dan produk sozzis siap makan. Daging sapi

merupakan sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6, Sumber zat besi yang

baik serta mengandung selenium dan fosfor. Daging ayam merupakan sumber

protein, fosfor, dan kalsium yang baik bagi pertumbuhan balita. Kandungan 100 g

daging ayam mengandung energi 95 kkal, 18,2 g protein, 2,5 g lemak, 14 mg

kalsium, 200 mg fosfor, dan 243 SI vitamin A (Murtidjo 2003).

Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak balita contoh (65%) yang

mengkonsumsi telur dan persentase tertinggi berada pada kelompok balita normal

(70%) dibandingkan kelompok balita stunting (60% Telur ayam adalah sumber

protein yang essensial dan kaya vitamin A, sangat penting untuk penglihatan

karena merupakan sumber karotenoid, yaitu lutein dan zeaxanthin yang terdapat

90

pada kuning telur mudah diserap ke dalam retina. Telur juga kaya akan choline

yang sangat penting bagi kesehatan, berperan dalam fungsi otak dan system saraf,

juga baik bagi kesehatan jantung karena mengandung vitamin B12. Dari sebutir

telur dengan berat 50 gram akan diperoleh 6,3 gram protein, 0,6 gram karbohidrat,

5 gram lemak, serta sejumlah vitamin dan mineral. Telur merupakan sumber

vitamin D alami kedua terbesar setelah minyak hati ikan hiu. Oleh karena itu, telur

sangat baik untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak (Astawan 2009).

Ikan dikenal sebagai makanan berprotein tinggi, terutama ikan laut yang

banyak mengandung asam lemak omega 3. Asam lemak omega 3 mampu

meningkatkan fungsi otak dalam jangka panjang. Selain itu, ikan juga sangat

efektif untuk meningkatkan konsentrasi, meningkatkan daya ingat, mencegah

kepikunan, meningkatkan kecerdasan, memperlancar sel otak, mencegah

penyusutan otak, meningkatkan kemampuan berpikir, serta mengurangi stres dan

depresi. Namun begitu, mengkonsumsi ikan tidak serta merta meningkatkan

semua itu secara instan karena efeknya akan terasa setelah mengkonsumsinya

selama beberapa lama (Medicalcare 2010). Tabel 16 menunjukkan bahwa banyak

balita (69,3%) yang tidak mengkonsumsi ikan. Kelompok balita normal lebih

banyak mengkonsumsi ikan (32,9%) dari pada kelompok balita stunting (28,6%).

Kebiasaan makan balita contoh terhadap polong-polongan sangat tinggi

terutama pada kelompok balita normal dibandingkan kelompok balita stunting.

Kelompok polong-polongan yang biasa dikonsumsi yaitu kebiasaan makan tempe.

Tempe merupakan olahan dari kacang kedelai yang difermentasi dan merupakan

protein yang sempurna karena mengandung semua asam amino baik yang

essensial maupun non essensial. Bermanfaat untuk pertumbuhan tubuh,

memelihara kesehatan jaringan sel tubuh, dan perkembangan otak. Setiap 100 g

tempe mengandung energy 160 kkal, protein 18,3 g, lemak 4 g, karbohidarat 12,7

g, kalsium 129 mg, dan fosfor 154 mg (Febry & Marendra 2008).

Tabel 16 menunjukkan kebiasaan balita dalam mengkonsumsi susu dan

produk susu bahwa lebih dari separuh (69,3%) balita contoh minum susu.

Persentase tertinggi terdapat pada kelompok balita stunting (70%). Konsumsi susu

pada anak balita bervariasi yaitu susu kental manis, susu bubuk dan susu UHT

(kotak) namun yang paling banyak disukai anak balita yaitu susu kental manis.

91

Susu mengandung kalsium, fosfor, zinc, vitamin A, D, B12, asam amino dan asam

pantotenat. Bagi anak-anak, susu berguna untuk pertumbuhan tulang yang

membuat anak menjadi bertambah tinggi, mencegah kerusakan gigi dan menjaga

kesehatan mulut. Susu mampu mengurangi keasaman mulut, merangsang air liur,

mengurangi plak dan mencegah gigi berlubang (Astawan 2009).

Pemanis yang dikonsumsi balita terdiri dari coklat, permen dan sirup. 44,3

persen balita contoh mengkonsumsi makanan manis dan persentase tertinggi

(48,6%) terdapat pada kelompok balita stunting. Permen adalah sejenis gula-

gula (confectionary) adalah makanan berkalori tinggi yang pada umumnya

berbahan dasar gula, air, dan sirup fruktosa. Kadar gula dalam permen tinggi,

sehingga dapat menyebabkan gigi berlubang.

Seluruh balita contoh (100%) mengkonsumsi rempah, bumbu dan minuman

dikarenakan makanan yang disajikan orangtua balita umumnya diberikan bumbu

dan rempah untuk menambah cita rasa. Hasil wawancara dengan ibu balita

menunjukkan bahwa konsumsi minuman pada anak balita cukup bervariasi bila

dilihat dari macamnya yaitu teh manis, sirup dan jajanan berupa minuma perisa

berupa frutang, ale-ale dan teh sisri. Ada banyak bahan pangan yang dapat

menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kakao,

biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan alga laut dan air

tawar (Shui, 2004). Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki

aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, golongan

flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptide, melanoidin, produk-produk

reduksi dan asam-asam organic lain (Pratta, 1992, di dalam Panjaitan et al. 2008).

Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna (p>0,05) antara kebiasaan makan balita dari 16 kelompok makanan

dengan status gizi TB/U. Gambaran mengenai kebiasaan makan anak balita

contoh mencerminkan bahwa beberapa jenis bahan makanan yang sangat kaya

akan zat gizi esensial dan dibutuhkan kelompok anak balita seperti ikan kaya

omega 3 dan daging sebagai sumber protein, susu sebagai sumber protein dan

kalsium, serta sejumlah sayuran dan buah-buahan sebagai sumber vitamin dan

mineral masih sangat terbatas dan lebih menekankan pada upaya pemenuhan

konsumsi bahan makanan pokok yakni beras. Menurut Depkes (2002b), Pola

92

makan yang sehat berdasarkan PUGS adalah makanan yang mengandung semua

unsur gizi seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak,

vitamin, mineral dan air.

Keragaman Makanan Balita

Keragaman makanan dalam penelitian ini mengacu pada kuesioner yang

digunakan FAO bekerjasama dengan FANTA (2006). Dikelompokkan

berdasarkan kandungan makanan yang dikonsumsi dalam seminggu pada setiap

zat gizi dengan cara di skoring. Keragaman makanan dikatakan „rendah‟ jika

mengandung ≤ 3 jenis kelompok makanan yaitu serealia, sayuran hijau dan buah

kaya vitamin A. Dikatakan „sedang‟ jika keragaman makanan terdiri dari 4 hingga

5 jenis kelompok makanan, yaitu serealia, sayuran hijau, buah kaya vitamin A dan

minyak. Dikatakan keragaman „tinggi‟ jika mengandung lebih dari 6 jenis

kelompok makanan dengan penambahan sayuran lain, ikan dan polong-polongan.

Tabel 17 menunjukkan bahwa persentase tertinggi keragaman menu

makanan balita terdapat pada kelompok maksimal 3 jenis kelompok makanan

(88,6%), sementara keragaman menu makanan paling rendah (2,9%) terdapat

pada kelompok lebih dari 6 jenis kelompok makanan. Hal ini mencerminkan

bahwa tidak semua jenis makanan yang disajikan dalam menu keluarga juga

dikonsumsi oleh sebagian besar anak balita. Keadaan tersebut akan membatasi

sejumlah zat gizi yang penting atau esensial untuk mencapai proses tumbuh

kembang yang optimal bagi balita sehingga proses tumbuh kembang akan

terhambat. Keadaan ini harus diperbaiki dan diupayakan untuk lebih variasi menu

yang ada, selalu diganti dengan jenis makanan lainnya dan pengolahannya pun

divariasikan untuk menghindari kebosanan dan meningkatkan ketertarikan dalam

konsumsi jenis-jenis makanan khususnya sayuran hijau dan buah kaya vitamin A.

Tabel 17. Sebaran contoh berdasarkan keragaman makanan seminggu

Variabel

Kelompok Balita Total p-

value Stunting Normal

n % n % n %

Keragaman makanan seminggu 0,054

≤ 3 jenis kel. Makanan (kurang) 66 94.3 58 82.9 124 88,6

4-5 jenis kel. Makanan (sedang) 4 5.7 8 11.4 12 8,6

≥ 6 jenis kel. Makanan (tinggi) 0 0 4 5.7 4 2,9

Total 70 100 70 100 140 100

93

Berdasarkan hasil uji chi square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

bermakna (p>0,05) antara keragaman makanan balita contoh dengan status gizi.

Hasil tabulasi silang antar variabel menghasilkan keragaman makanan rendah

berhubungan dengan praktek pemberian makan yang kurang baik dan terjadi pada

balita yang pernah terkena penyakit infeksi dimasa lalu (Lampiran 6). Penelitian

Sandjaja (2001) dalam Positive Deviance status gizi balita menunjukkan faktor

yang berperan nyata terhadap resiko kurang gizi adalah adanya penyakit infeksi

yaitu batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Arimond dan

Ruel (2004) menyatakan keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi

dan makanan dapat terhindar dari kurang gizi.

Analisis Hubungan Faktor-Faktor Terkait Resiko Stunting

Hasil analisis regresi logistik yang dilakukan untuk mengetahui variabel

yang memiliki hubungan bermakna (p<0,05) dengan stunting yaitu riwayat

kesehatan balita, status kerja ibu dan pendidikan ibu. Nilai R2 Nagelkerke sebesar

0.303 yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam

penelitian ini terhadap stunting anak usia 24-59 bulan sebesar 30.3 persen dan

selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti (Lampiran 7).

Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,236 kali lebih

kecil pada anak balita yang memiliki ibu berpendidikan tinggi (lebih dari

9 tahun) dengan nilai OR=0.236; 95%CI:0,057-0.973. Berarti balita yang memiliki

ibu dengan pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun), memberikan dampak yang baik

terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita.

Pendidikan ibu mempunyai hubungan dengan pengetahuan gizi dan

kesehatan ibu, riwayat kehamilan dan pola asuh lingkungan (Lampiran 6). Hal ini

menunjukkan pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan anak, karena

orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi akan memahami betapa pentingnya

peranan orangtua terhadap anak. Menurut Madanijah (2003) terdapat hubungan

positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan

anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan

gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Selanjutnya penelitian Aditianti

(2010) menunjukkan bahwa pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap

94

stunting anak usia 24-59 bulan di Indonesia. Pendidikan ibu mempunyai

hubungan dengan sanitasi lingkungan dan personal hygiene yang kurang.

Tabel 18 menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting 0,328 kali lebih

kecil pada anak balita yang memiliki riwayat kesehatan yang baik (tidak pernah

terkena penyakit infeksi) dengan nilai OR=0.328; 95%CI: 0.129-0.835. Berarti

balita yang memiliki masa lalu kesehatan yang baik tanpa penyakit infeksi

memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang

optimal.

Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu

asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Apabila anak menderita infeksi

saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan

terjadinya kekurangan gizi. Sementara kebutuhannya meningkat karena anak

mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan,

karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit baik dalam bentuk

glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak.

Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang

kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan

perkembangannya terganggu (Supariasa 2002).

Tabel 18. Hasil regresi logistik stunting

Variabel B OR

Exp(B)

95.0% C.I.for

EXP(B)

Sig.

Lower Upper

Riwayat kesehatan balita (sehat = 0)

(sakit = 1) -1.114 0.328 0.129 0.835 0.019

Pekerjaan ibu (tidak bekerja =0)

(bekerja = 1) -1.151 0.316 0.109 0.920 0.035

Pendidikan ibu (tinggi = 0)

(rendah = 1) -1.445 0.236 0.057 0.973 0.046

Tinggi badan ibu (≥ 156 cm = 0)

(< 156 cm = 1) -1.072 0.342 0.117 1.006 0.051

Prak sanitasi lingkungan (baik = 0)

(kurang = 1) -0.780 0.458 0.205 1.024 0.057

Pendidikan ayah (tinggi = 0)

(rendah = 1) -0.603 0.547 0.220 1.364 0.196

Riwayat kehamilan ibu (baik =0)

(kurang = 1) -0.489 0.613 0.241 1.562 0.305

Peng. gizi dan kesehatan (baik = 0)

(kurang = 1) -0.225 0.799 0.348 1.835 0.596

Constant 4.177 65.141 0.000

signifikan p < 0.05

95

Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa resiko terjadinya stunting

0,316 kali lebih kecil pada anak balita yang ibunya tidak bekerja dibanding balita

yang ibunya bekerja dengan nilai OR=0.316; 95%CI: 0.109-0.920. Berarti dengan

keberadaan ibu di rumah memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan

pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak bisa terhindar dari

masalah stunting. Hal ini juga didukung dengan hasil tabulasi silang yang

menunjukkan bahwa pola pengasuhan baik pada pola asuh kesehatan dan pola

asuh kesehatan, anak terkena infeksi yang rendah serta pengetahuan gizi dan

kesehatan besar jumlahnya terdapat pada anak yang memiliki ibu dengan status

tidak bekerja. Pola asuh yang baik merupakan gambaran dari adanya interaksi

positif antara anak dengan pengasuh utama yang dapat membantu perkembangan

emosi dan psikologis anak. Dengan pola asuh yang baik termasuk dalam

memberikan perhatian dapat menciptakan perkembangan anak yang normal.

Pada umumnya di negara-negara berkembang pelaku utama pengasuhan

bagi bayi dan anak balita dalam rumah tangga adalah ibu. Hasil penelitian Rogers

dan Youssef (1988) menunjukkan bahwa ibu memberikan alokasi waktu yang

lebih banyak dalam pengasuhan anak, selanjutnya adalah wanita lainnya dalam

keluarga misalnya nenek, bibi dan kakak perempuan. Selanjutnya, penelitian di

daerah rural Chad Afrika bahwa karakteristik ibu sebagai pengasuh utama anak

usia 12-71 bulan berpengaruh terhadap status gizi anak. Penelitian yang sama

dengan Widayani et al. (2001) menemukan korelasi yang positif antara pola asuh

ibu dengan status gizi anaknya. Proses mengasuh dan mendidik anak memerlukan

waktu yang cukup, walaupun saat ini berkembang bahwa pola pengasuhan itu

yang terpenting adalah kualitasnya, tetap saja diperlukan kuantitas dalam hal ini

waktu kebersamaan ibu dengan anaknya. Seorang wanita pekerja mempunyai

waktu yang terbatas dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Mereka harus

berbagi waktu antara bekerja, pekerjaan domestik dan mengasuh serta mendidik

anaknya.

Menurut Satoto (1997), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah

untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk

mengasuh dan merawat anak. Ibu yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih

banyak untuk melakukan pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak

96

bisa terhindar dari masalah stunting. Sejalan dengan hasil penelitian ini, ditelusuri

dengan tabulasi silang ditemukan bahwa pola asuh yang baik dan riwayat

kesehatan anak pun baik. Tabulasi silang pola asuh yang baik berkaitan dengan

pengetahuan gizi ibu yang baik pula walaupun pendidikan ibu rendah. Berg

(1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar

dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Wanita

khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi

makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik

diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media

massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor, di samping pendidikan

yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media

massa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu sebab gangguan gizi

adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi

tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa pengetahuan yang bisa

diperoleh, melalui penyuluhan gizi di posyandu dimana merupakan sarana untuk

meningkatkan pengetahuan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang antara lain

terciptanya sikap positif terhadap gizi, terbentuknya pengetahuan dan kecakapan

memilih dan menggunakan sumber-sumber pangan, timbulnya kebiasaan makan

yang baik serta adanya motivasi untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal-hal

yang berkaitan dengan gizi. (Suharjo 2003). Sejalan dengan hal ini, menurut

Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu

menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang

lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena sekalipun berpendidikan rendah,

kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi,

bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik.

Faktor-faktor yang merupakan Positive Deviance Masalah Stunting

Untuk mengetahui faktor-faktor yang merupakan positive deviance pada

anak usia 24-59 bulan yang paling berpengaruh maka dilakukan analisis regresi

logistik dari hasil uji chi-square yaitu faktor riwayat kehamilan ibu dan praktek

sanitasi lingkungan, ternyata yang berpengaruh adalah faktor riwayat kehamilan

ibu dan praktek sanitasi lingkungan (Tabel 19). Nilai R2 Nagelkerke sebesar 0.089

97

yang memberikan pengertian bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam

penelitian ini terhadap positive deviance masalah stunting balita umur 24-59 bulan

sebesar 8.9 persen dan selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti

(Lampiran 8).

Tabel 19. Hasil regresi logistik positive deviance

Variabel B OR

Exp(B)

95.0% C.I.for

EXP(B)

Sig.

Lower Upper

Prak sanitasi lingkungan (baik = 0)

(kurang = 1) -0.712 0.491 0.243 0.990 0.047

Riwayat kehamilan ibu (baik =0)

(kurang = 1) -0.954 0.385 0.169 0.879 0.023

Konstanta 0.508 1.662

0.038

signifikan p < 0.05

Tabel 19 menunjukkan bahwa variabel riwayat kehamilan ibu dan praktek

sanitasi lingkungan secara keseluruhan memiliki p-value <0,05, berarti kedua

variabel tersebut berhubungan secara signifikan dan berpengaruh negatif dengan

status gizi TB/U balita umur 24-59 bulan. Hal ini dapat diartikan bahwa anak

balita yang memiliki ibu dengan riwayat kehamilan baik, berpeluang terhindar

dari stunting 0.385 kali (95%CI: 0.169-0.879) dibanding balita yang memiliki ibu

dengan riwayat kehamilan kurang baik. Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki

oleh kelompok balita normal, antara lain: ibu yang tidak pernah mengalami

keguguran, selama kehamilan tidak mengkonsumsi jamu dan melakukan

pemeriksaan kehamilan secara rutin.

Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan

risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih

intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan,

melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat

dilakukan pengobatan (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006),

perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun

pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan

resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan

perawatan kehamilan.

98

Menurut dr. Hasnah Siregar, baiknya minum jamu di saat hamil maupun

setelah melahirkan, Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada di bawah

pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri yang

segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga terjamin

kehigienisannya. Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada

riwayat keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya

(Melindacare 2010).

Hal ini dapat diartikan bahwa anak balita dengan praktek sanitasi

lingkungan baik, berpeluang terhindar dari stunting 0.491 kali (95%CI: 0.243-

0.990) dibanding balita dengan praktek sanitasi lingkungan kurang baik. Hasil

penelitian ini, didukung oleh beberapa penelitian lain, penelitian Fahrudin (2004)

bahwa sanitasi lingkungan rumah berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita,

antara lain yang berkaitan dengan jenis lantai, tipe rumah, luas ventilasi,

pencahayaan dan kepadatan hunian rumah. Selanjutnya, Turnip (2008) bahwa

variabel kebersihan diri merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap

status gizi tidak baik, terutama kebersihan tubuh, makanan maupun lingkungan

akan memberi peluang mencegah kejadian penyakit infeksi.

Kebiasaan baik yang signifikan dimiliki oleh kelompok balita normal,

antara lain: rumah selalu di pel setiap hari sebelum anak bermain, ada jarak antara

rumah keluarga dengan tetangga, dan memperhatikan kebersihan jamban keluarga

setelah digunakan. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),

kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat, erat kaitannya dengan penyakit ISPA

dan tuberkolosis dan penyediaan air bersih serta sanitasi lingkungan yang tidak

memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare, kecacingan dan

penyakit yang ditularkan oleh vector penular (Ditjen PPM dan PL 2002).