harga sebuah pengorbanan - flo

6
Harga Sebuah Pengorbanan Oleh: Florince Pemain: - Bapak - Asti - Asta - Dokter - Suster Panggung digambarkan dengan latar sebuah kamar rumah sakit. Tampak seorang pemuda yang dipasangi alat di tangannya sedang berbaring di atas kasur ber-sprei putih. Seorang gadis duduk termangu di samping kasur. Seorang bapak terlihat hendak beranjak dari duduknya. Bapak : Ti, Bapak keluar dulu. Jaga abangmu, ya. (mengambil jaket dan menuju ke arah pintu) Asti : Iya, Pak. (sambil mengantarkan bapaknya ke pintu, menutup pintu, dan kembali duduk di kursinya) Bang, Abang bangun dong. Masak tiga hari tidur nggak bangun-bangun. Asti kan pengen lihat Abang yang hidup. Yang bisa ngomong. Yang bisa jalan. Nggak jadi patung kayak sekarang. (diam sejenak memandangi wajah sayu abangnya) (Asta sedikit menggerakkan leher dan kemudian membuka mata)

Upload: florince-xs

Post on 28-Sep-2015

224 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

Tugas

TRANSCRIPT

Harga Sebuah Pengorbanan

Oleh: Florince

Pemain:

Bapak

Asti

Asta

Dokter

Suster

Panggung digambarkan dengan latar sebuah kamar rumah sakit. Tampak seorang pemuda yang dipasangi alat di tangannya sedang berbaring di atas kasur ber-sprei putih. Seorang gadis duduk termangu di samping kasur. Seorang bapak terlihat hendak beranjak dari duduknya.

Bapak: Ti, Bapak keluar dulu. Jaga abangmu, ya. (mengambil jaket dan menuju ke arah pintu)

Asti: Iya, Pak. (sambil mengantarkan bapaknya ke pintu, menutup pintu, dan kembali duduk di kursinya)Bang, Abang bangun dong. Masak tiga hari tidur nggak bangun-bangun. Asti kan pengen lihat Abang yang hidup. Yang bisa ngomong. Yang bisa jalan. Nggak jadi patung kayak sekarang. (diam sejenak memandangi wajah sayu abangnya)

(Asta sedikit menggerakkan leher dan kemudian membuka mata)

Asti: Bang, Abang udah bangun. Puji Tuhan!

Asta: Ti, Ibu mana? Abang mau cari Ibu dulu. (bergegas bangun dari tidurnya, namun tak bisa)

Asti: Nanti, Bang. Abang masih sakit.

Asta: Nggak. Abang mau cari Ibu. Abang harus ketemu Ibu. (mencopot infus yang ada di pergelangan tangannya)

Asti: Bang, sadar, Bang! Ibu sudah meninggal. Ibu sudah pulang ke rumah Bapa.

Asta: Bohong. Abang mau... Aw... (memegangi pergelangan tangannya yang mulai bercucuran darah)

Asti: Bang, tunggu sebentar ya. Asti panggilin dokter dulu. Dokter... Dokter... (berlari keluar)

Asta: Nggak usah, Ti. (masih sambil memegangi pergelangan tangannya dan berusaha bangkit dari tempat tidur)

Seorang dokter datang kemudian memerintahkan seorang suster untuk menyuntikkan obat penenang pada Asta. Asta mulai tenang sedangkan Asti mulai menangis karena takut melihat keadaan abangnya.

Bapak: (masuk ke dalam ruangan dengan nafas tersengal-sengal) Ada apa, Ti? Kok rame? Kok ada dokter sama suster?

Asti: Tadi Abang bangun, Pak. Terus Abang bilang mau nyari ibu. Abang sampai nekat nyopot infus, Pak. Asti takut jadi Asti langsung panggil dokternya.

Bapak: Abangmu masih belum bisa nerima kematian Ibu, Ti.

Asti: Iya, Pak. Abang kan paling dekat sama Ibu. Abang pasti sedih karena nggak berada di samping Ibu waktu Ibu pergi. Abang pasti kecewa karena nggak bisa nganterin Ibu pulang.

Bapak: Heh!!! Kok kamu ngomongnya gitu, Ti? Yang ngantar Ibu itu bukan kita. Tapi Bapa sendiri yang menjemput Ibu.

Asti: Iya, maaf, Pak. Habis, Asti kasihan ngeliat Abang jadi kayak begini. Ini salah Asti. Asti yang nggak ngizinin Bapak untuk ngasih tahu Abang tentang keadaan Ibu. Waktu itu...

Beberapa hari yang lalu...

Asta: Ti, ibu mana? Kok Ibu nggak pernah jenguk Abang lagi?

Asti: Ibu lagi sibuk, Bang. Tiap hari lembur terus jadi nggak sempat jenguk Abang. Tapi Ibu nitip salam ke Abang kok.

Asta: Ibu bilang apa, Ti?

Asti: Eee, eee... (bingung) Ya, Ibu bilang supaya Abang tetap semangat untuk melawan penyakit Abang. Jangan nyerah gitu aja. Semua penyakit pasti ada obatnya.

Asta: Ah, mana ada obat untuk nyembuhin kanker, Ti. Obat-obat yang selama ini Abang minum cuma untuk ngabis-ngabisin duit Bapak sama Ibu saja, Ti.

Asti: Bang, semua obat pasti ada khasiatnya!

Asta: Yah, terserah apa katamu, Ti.

Beberapa hari setelah itu...

Asti: Pak, gimana cara kita ngomong ke Bang Asta?

Bapak: Bapak juga bingung, Ti. Bapak takut Abangmu nggak siap dengarnya.

Asti: Tapi Bang Asta harus tau, Pak. Nggak mungkin kita diam terus kayak gini.

Kembali ke latar pertamaBapak: Sudahlah, Ti. Yang lewat nggak usah disesali lagi. Sekarang, kita cari cara supaya Abangmu bisa terima. Asta: (tidak sengaja menjatuhkan barang)

Asti: (kaget) Abang?

Asta: Jadi, Ibu benar-benar meninggal?

Asti: Tenang dulu, Bang. Asti bakal...

Asta: Nggak perlu! Abang udah dengar semua. Kapan Ibu meninggal?

Asti: Du... du...

Asta: Kapan Ibu meninggal? (membentak)

Asti: Dua minggu yang lalu.

Asta: (mulai menangis) Ti, Pak, aku mau sendiri.

Tanpa berpikir lagi, Asti dan Bapak keluar.

Asta: (masih menangis) Bu... (dengan suara pelan) Kenapa? Kenapa Ibu pergi?Keesokan harinya...

Asta: Ti, Ibu benar-benar pergi?

Asti: Iya, Bang. Maafin Asti ya, Bang. Asti yang nggak ngizinin Bapak bilang ke Abang.

Asta: Oh, iya, nggak apa-apa. Kalo Abang boleh tahu, kenapa Ibu meninggal, Ti?

Asti: Ibu sakit, Bang.

Asta: Kenapa Ibu bisa sakit? Ibu kan orang yang paling kuat, Ti.

Asti: Ibu sakit karena

Asta: Karena Abang ya? Karena kerja untuk Abang?

Asti: Nggak, Bang. Ibu...

Asta: Udah, Ti. Nggak boleh kebanyakan bohong. Nambah-nambahin dosa aja. Abang ngerti kok. Ya udah, Abang titip salam buat Bapak. Abang udah nggak mau nyusahin kalian lagi. Ibu sudah meninggal karena Abang dan Abang nggak mau ngorbanin yang lain lagi. Lebih baik Abang yang pergi.

Asti: Bang, jangan aneh-aneh...

Asta: Selamat tinggal, Ti. Jaga diri baik-baik.

Asti: Bang...Asta memilih berkorban dengan pergi, meninggalkan Asti dan Bapak.

***