hambatan dalam penanggulangan bajak laut di …
TRANSCRIPT
HAMBATAN DALAM PENANGGULANGAN
BAJAK LAUT DI SOMALIA
Made Maharta Yasa, SH., MH.
BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
2
KATA PENGANTAR
Pembajakan di lepas pantai Somalia telah menjadi ancaman bagi pelayaran internasional
sejak awal Perang Saudara Somalia pada awal tahun 1990-an. Organisasi-organisasi
internasional, termasuk Organisasi Maritim Internasional dan World Food Programme, telah
mengungkapkan keprihatinan atas meningkatnya tindakan pembajakan. Pembajakan telah
berkontribusi terhadap peningkatan biaya pengiriman dan menghambat pengiriman pengiriman
bantuan pangan. Sembilan puluh persen dari World Food Programme's pengiriman tiba melalui
laut, dan kapal membutuhkan pengawalan militer. Menurut menteri luar negeri Kenya, bajak laut
Somalia telah menerima lebih dari US $ 150 juta dalam tebusan selama 12 bulan sebelum sampai
bulan November 2008.
Dilain pihak, sudah banyak usaha untuk memberantas bajak laut tersebut, namun hal ini
tidak banyak memberikan hasil. Bahkan pada tahun 2008 terjadi lebih dari seratus serangan.
Timbul pertanyaan, mengapa Hukum Internasional gagal memberantas bajak laut di Somalia,
adakah faktor-faktor penghambat penanggulangan bajak laut di Somalia.
Tulisan ini berupaya menemukan dan mengidentifikasi faktor-faktor penghambat
penanggulangan bajak laut di Somalia.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, tetapi diharapkan dapat
memberikan pengertian lebih menda;lam mengenai bajak laut di Somalia. Akhir kata semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu Hukum
Internasional
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………… i
KATA PENGANTAR ………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………… iii
I. PENDAHULUAN ………………………………… 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… 2
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ………………………………… 6
IV. METODE PENELITIAN ………………………………… 7
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………… 8
VI. SIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA ………………………………… 21
LAMPIRAN
4
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pembajakan di lepas pantai Somalia telah menjadi ancaman bagi pelayaran internasional
sejak awal Perang Saudara Somalia pada awal tahun 1990-an. Sejak tahun 2005, banyak
organisasi internasional, termasuk Organisasi Maritim Internasional dan World Food
Programme, telah mengungkapkan keprihatinan atas meningkatnya tindakan pembajakan.
Pembajakan telah berkontribusi terhadap peningkatan biaya pengiriman dan menghambat
pengiriman pengiriman bantuan pangan. Sembilan puluh persen dari World Food Programme's
pengiriman tiba melalui laut, dan kapal membutuhkan pengawalan militer. Menurut menteri luar
negeri Kenya, bajak laut Somalia telah menerima lebih dari US $ 150 juta dalam tebusan selama
12 bulan sebelum sampai bulan November 2008.
Pada 5 Oktober 2008, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1838 yang
menyerukan negara-negara dengan kapal-kapal di daerah tersebut untuk menerapkan kekuatan
militer untuk menekan tindakan pembajakan. Pada sidang ke-101 Dewan International Maritime
Organization, India menyerukan agar pasukan penjaga perdamaian PBB di bawah komando
bersatu untuk mengatasi pembajakan lepas pantai Somalia.
Pada bulan November 2008, Bajak laut Somalia mulai meluaskan operasi mereka di luar
Teluk Aden, kemungkinan untuk menargetankan kapal menuju pelabuhan Mombasa, Kenya.
Frekuensi dan kecanggihan dari serangan juga meningkat sekitar waktu ini, begitu pula ukuran
kapal ditargetkan. Kapal kargo besar, tanker minyak dan kimia perjalanan internasional menjadi
sasaran baru pilihan bagi pembajak Somalia. Hal ini sangat kontras dengan serangan bajak laut
yang dulu sering terjadi di Selat Malaka, jalur air yang penting secara strategis lain untuk
perdagangan internasional, yang menurut ahli keamanan maritim Zara Catherine Raymond,
biasanya ditujukan kepada "yang lebih kecil, lebih rentan membawa kapal perdagangan di
seluruh Selat atau digunakan dalam perdagangan pesisir di kedua sisi Selat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan dua rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan hukum internasional tentang bajak laut ?
2. Apakah hambatan dalam penanggulangan bajak laut di Somalia?
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bajak laut (pirate) adalah para perampok di laut yang bertindak di luar segala hukum.
Kata pirate berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'yang menyerang', 'yang merampok'. Dalam
Bahasa Indonesia dan Melayu sebutan lain untuk bajak laut, lanun, berasal dari nama lain salah
satu suku maritim di Indonesia dan Malaysia, Orang Laut.
Laut pada umumnya merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu negara, sehingga
seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antara
negara pantai dengan negara bendera kapal. Konflik yurisdiksi ini timbul berkaitan dengan
adanya yurisdiksi ekstra territorial yang dimiliki oleh negara bendera kapal dan yurisdiksi
territorial yang dimiliki oleh negara pantai. Oleh karena itu kewenangan negara pantai untuk
menerapkan yurisdiksi kriminal di wilayah perairan yang berada dibawah yurisdiksinya terhadap
kejahatan-kejahatan, khususnya yang dilakukan oleh kapal asing, harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional. Pelanggaran terhadap-ketentuan hukum
internasional, akan menimbulkan kemungkinan bahwa negara pantai dapat diajukan ke
Mahkamah Internasional.
Secara teoritis terdapat perbedaan pendapat tentang definisi pembajakan yang pernah
dikemukakan oleh para sarjana. Dalam hal ini Brierly memberikan definisi sebagai berikut :
“There is no authoritative definition of international piracy , but it is of the essence of a
piratical act to be an act violence , committed at sea or at any rate closely connected with
the sea , by person not acting under proper authirity. Thus an act cannot be piratical if it
is done the authority of a state, or even of an insurgent community whose belligerency
has been recognized" (Brierly : l960 : 241).
Demikian pula S.V Molodtsov, telah memberikan perumusan mengenai batasan
pengertian pembajakan di laut sebagai berikut :
“Both acts of violence by vessels and their crews at sea also attack from the sea on
littoral points carried out with the aim of securing plunder , the seizure and sinking of
vessels and persons or other criminal purposes are considered as piracy (sea banditry).
In the epoch of imperialism piracy has aquired special characteristics. It is one of the
provocative methods to which imperialist States resort for agressive purposes”.(
Molosdtsov : l960:221)
6
Dalam hukum positif internasional, definisi atau batasan pengertian pembajakan di laut
telah ditentukan berdasarkan perumusan dalam Konvensi Jenewa l958 dan Konvensi Hukum
Laut PBB 1982.
Konvensi Jenewa l958 dalam Pasal l5 merumuskan pembajakan di laut yaitu bahwa :
Piracy consist of any of the following acts :
(1) Any illegal acts of violence , detention or any acts of depredation , commited for private
ends by the crew or the passengers of private ship or private aircraft, and directed :
(a) On the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property
on board such ship or aircraft.
(b) Against a ship, aircraft, person or property in a place outside the the jurisdiction of
any State.
(2) Any act of voluntary participation in the operation of aship or of an aircraft
with knowledge of facts making it a pirate-ship or aircraft.
(3) Any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in sub-
paragraph (1) or sub-paragraph (2) of this article. (Mochtar Kusumaatmadja : 1978:
224-226)
Berdasarkan ketentuan di atas, maka unsur esensial dari kejahatan pembajakan adalah :
(1) Pembajakan harus menggunakan suatu kapal untuk membajak kapal lain. Hal ini untuk
membedakan dengan tindakan pemberontakan anak buah kapal terhadap kapalnya sendiri; (2)
Locus delictinya dilakukan di laut lepas. Di samping itu rumusan tersebut diatas ternyata lebih
luas cakupannya dibandingkan dengan definisi yang telah dikemukakan secara teoritis tersebut .
Hal itu disebabkan rumusan dalam konvensi ini melibatkan juga pesawat udara dan memasukkan
delik penyertaan serta delik pembantuan.
Berdasarkan UNCLOS 1982, rumusan tersebut dikukuhkan kembali secara sama tanpa
perubahan dalam pasal 101, yang menyebutkan :
Pembajakan di laut terdiri dari salah satu diantara tindakan berikut :
(1) Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan
memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang
dari suatu kapal atau pesawat udara swasta dan ditujukan:
(a) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau
barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian.
(b) terhadap suatu kapal. pesawat udara , orang atau barang di suatu tempat di luar
yurisdiksi Negara manapun.
7
(2) Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat
udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara
pembajak.
(3) Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan
dalam sub-ayat (1) dan (2).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana pembajakan di laut
lepas adalah sebagai berikut :
1. Adanya tindakan kekerasan, penahanan tidak sah, tindakan memusnahkan, dan setiap
tindakan menyuruhlakukan, turut serta atau membantu tindakan-tindakan tersebut.
2. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh awak kapal atau penumpang dari suatu
kapal atau pesawat udara swasta.
3. Tindakan-tindakan tersebut ditujukan terhadap kapal atau pesawat udara lain atau
terhadap orangnya atau barangnya.
4. Tindakan-tindakan tersebut dilakukan di laut lepas, atau di suatu tempat di luar
yurisdiksi negara manapun.
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana pembajakan di laut lepas tersebut, maka dapat
dikatakan adanya perkembangan motif kejahatan pembajakan di laut lepas”. Perkembangan
motif tersebut terlihat bahwa dahulu pembajakan di laut lepas motifnya pada umumnya hanyalah
perampasan harta benda saja. Sekarang ini motif telah berkembang menjadi semua tindakan
kekerasan yang tidak sah seperti penculikan, pembunuhan, dan tindakan kekerasan lainnya yang
bermotifkan politik, asalkan tindakan tersebut dilakukan di laut lepas dengan menggunakan
sarana sebuah kapal atau pesawat udara swasta. Jadi pada prinsipnya semua bentuk kekerasan
yang dilakukan oleh suatu kapal terhadap kapal lainnya di laut lepas dapat dikualifikasikan
sebagai pembajakan.
Pembajakan di laut lepas merupakan tindak pidana internasional dan dianggap sebagai
musuh setiap negara, serta dapat diadili dimanapun pembajak tersebut ditangkap tanpa
memandang kebangsaannya. Pembajakan di laut lepas memang bersifat “crimes of universal
interest”, sehingga setiap negara dapat menahan perbuatan yang dinyatakan sebagai pembajakan
yang terjadi di luar wilayahnya atau wilayah negara lain yaitu di laut lepas, dan berhak
melaksanakan penegakan yurisdiksi dan ketentuan-ketentuan hukumnya.
8
Dalam hal ini setiap negara boleh menangkap pembajak di laut lepas, dan menyeret
kepelabuhannya untuk diadili oleh pengadilan negara tersebut, dengan alasan pembajakan di laut
lepas tersebut adalah “hostis humani generis”. (musuh semua umat manusia). Tetapi hak ini
hanya berlaku terhadap orang-orang yang dianggap melakukan pembajakan dilaut berdasarkan
kreteria yang ditentukan oleh hukum internasional. Hal itu disebabkan mungkin terdapat
perbuatan yang dianggap pembajakan oleh undang-undang suatu negara tertentu, tetapi menurut
hukum internasional bukan pembajakan. Misalnya, bahwa dalam hukum pidana Inggris, bekerja
dalam perdagangan budak dianggap sama dengan pembajakan
9
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
1. Untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat awam dan juga kalangan akademisi hukum,
tentang pengaturan hukum internasional tentang bajak laut.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam memberantas bajak laut.
3. Untuk meningkatkan pengetahuan akademisi hukum khususnya peminat hukum
internasional, dalam memahami pengaturan mengenai bajak laut.
2. Manfaat Penelitian
1. Memberikan pemahaman mengenai pengaturan hukum internasional tentang bajak laut.
2. Memberikan pemahaman hambatan-hambatan yang dihadapi masyarakat internasional dalam
memberantas bajak laut
10
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipergunakan adalah:
a. Yuridis Normatif yaitu pendekatan masalah dengan menggunakan norma-norma yang
termuat dalam peraturan (perjanjian internasional) mengenai bajak laut..
b. Yuridis Sosiologis yaitu pendekatan masalah dengan menghubungkan antara norma-norma
dalam sumber hukum internasional dan kenyataan obyek penelitian.
2. Sumber Data
Data Sekunder
Data ini diperoleh berdasarkan sumber-sumber tertulis yang dalam hal ini bahan-bahan
hukum seperti:
Bahan hukum primer: Resolusi Dewan Keamanan PBB Resolusi DK PBB 1816 (2008),
Resolusi DK PBB 1838 (2008), Resolusi DK PBB 1846 (2008), Resolusi DK PBB 1851
(2008), Resolusi DK PBB 1897 (2009), Resolusi DK PBB 1918 (2010), Resolusi DK
PBB 1950 (2010), Resolusi DK PBB 1976 (2011) dan Circular Letter IMO No. 3180
tanggal 17 Mei 2011.
Bahan hukum sekunder, antara lain: buku-buku yang ditulis para sarjana, pendapat-
pendapat sarjana yang berkaitan dengan hukum perburuhan atau ketenagakerjaan dan
makalah-makalah yang berasal dari media konvensional maupun media internet.
Bahan hukum tersier yaitu berupa kamus.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data sekunder adalah dengan studi kepustakaan yang bersumber
pada peraturan konvensi-konvensi, buku-buku, majalah, makalah ataupun pendapat para sarjana.
4. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif
analisis, yaitu analisis data secara mendalam berdasarkan proses perbandingan antara peraturan
perundang-undangan dengan data lapangan yang diperoleh. Hasil analisis kemudian
dideskripsikan atau dijabarkan secara sistematis.
11
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengaturan Bajak Laut Dalam Hukum Internasional
Selama ini presepsi secara umum mengenai tindak kekerasan di laut selalu diidentikkan
dengan istilah pembajakan laut (piracy), meskipun dalam kenyataannya terdapat beberapa kasus
yang merupakan tindak kejahatan perompakan di laut (sea robbery). Kedua istilah tersebut dapat
dikatakan sama hakekatnya, dan kadang secara bersamaan digunakan untuk menyebutkan suatu
peristiwa tindak kekerasan di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan mengenai wilayah
yurisdiksi tempat terjadinya (locus delicti) tindak kekerasan di laut tersebut.
Pembajakan di laut mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan untuk
menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas. Sedangkan perompakan di laut lebih
berdimensi nasional karena merupakan tindak kekerasan di laut yang dilakukan di bawah
yurisdiksi suatu negara, dengan tujuan yang berbeda pula, meskipun juga dapat mencakup
lingkup transnasional. Dengan demikian penanganan kedua jenis tindak kekerasan di laut
tersebut dapat berbeda ruang lingkup pengaturan hukumnya, meskipun dapat dilakukan dalam
bentuk satu rangkaian tindakan yang sama, oleh aparat penegak hukum yang sama pula.
Tidak ada pengertian yang baku mengenai pembajakan di laut, seperti yang telah
dikemukakan misalnya dalam hal ini Brierly memberikan definisi sebagai berikut :
“ There is no authoritative definition of international piracy , but it is of the essence of a
piratical act to be an act violence , committed at sea or at any rate closely connected with
the sea, by person not acting under pro per authority. Thus an act cannot be piratical if it
is done the authority of a state, or even of an insurgent community whose belligerency
has been recognized” (Brierly : l960 : 241).
Sedangkan pengertian perompakan di laut merupakan tindakan kekerasan yang tidak sah
di perairan yurisdiksi suatu negara terhadap orang atau barang di atas kapal atau perahu, sebagai
upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dengan demikian kedua istilah tersebut memang berbeda dalam menyebutkan tindak
kekerasan di laut di wilayah yurisdiksi yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda pula. Oleh
karena itu kedua istilah tersebut memang perlu dibedakan untuk menghindari kerancuan, baik
dalam pengaturan hukumnya maupun penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
12
Pembajakan di laut lepas sejak dahulu telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan
internasional karena dianggap mengganggu kelancaran pelayaran dan perdagangan antar bangsa.
Pengaturan oleh hukum kebiasaan internasional tersebut terbukti dari praktek yang terus menerus
dilakukan oleh sebagian besar negara-negara di dunia.
Pembakuan norma kebiasaan tersebut telah dirintis secara sistematis dan teratur, melalui
usaha kodifikasi yaitu dengan diadakannya Konperensi Kodifikasi Den Haag l930 oleh Liga
Bangsa-Bangsa. Pengaturan mengenai pembajakan di laut lepas dimasukkan dalam pengaturan
tentang hak pengejaran segera (the right of hot pursuit). Dalam kenyataannya usaha untuk
mengkodifikasikan pengaturan tersebut gagal karena konperensi tidak menghasilkan suatu
Konvensi. Meskipun demikian usaha ini sudah dapat dikatakan merupakan langkah awal
terhadap praktek pengaturan pembajakan di laut lepas.
Dalam perkembangannya kemudian pembajakan di laut lepas telah dikategorikan sebagai
“delict jure gentium” atau tindak pidana yang bertentangan dengan hukum dunia atau tindak
pidana yang dikutuk oleh seluruh umat manusia. Hal itu didasarkan dari kesimpulan Pasal l9
Konvensi Jenewa l958, yang dirumuskan kembali dalam Pasal 105 Konvensi Hukum Laut PBB
l982, yang menyatakan bahwa setiap negara dapat menahan, merampas, menyita serta mengadili
terhadap pelaku pembajakan di laut lepas dimanapun pelaku berada. Ketentuan tersebut
didasarkan pada argumentasi bahwa tindak pidana pembajakan di laut lepas dianggap tindak
pidana yang menjadi musuh bersama umat manusia atau tindak pidana yang bertentangan dengan
hukum dunia. Berdasarkan Pasal l05 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 diatur bahwa :
“On the high seas , or in any other place outside the jurisdiction of any State, every
State may seize a pirate ship or aircraft , or a ship or aircraft taken by piracy and under
the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board . The
courts of the State which carried out the seizure may decide upon the penalties to be
inposed, and may also determine the action to be taken with regard to the ships, aircraft
or property , subject to the rights of third parties acting in good faith”.
Sebagai hukum positif internasional, pengaturan pembajakan di laut lepas berdasarkan
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 telah memperlihatkan adanya perkembangan dalam hal modus
operandi pembajakan, yaitu tindakan yang dikategorikan sebagai pembajakan, pelaku
pembajakan dan sarana yang digunakan untuk melakukan pembajakan. Perkembangan tersebut
memang mencerminkan kebutuhan masyarakat internasional yang sesuai dengan kondisi dan
situasi saat ini.
13
Dengan demikian pembajakan di laut, khususnya di laut lepas merupakan kejahatan
internasional berdasarkan kreterianya, diantaranya yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan perbuatan atau kejahatan yang dilarang dalam :
a. Hukum kebiasaan internasional.
b. Perjanjian internasional yang mengatur secara khusus tentang kejahatan
internasional.
c. Konvensi lain yang tidak secara khusus mengatur tentang kejahatan internasional
(Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur pembajakan di laut lepas).
Berkaitan dengan penegakan hukum terhadap kejahatan pembajakan dan perompakan di
laut, khusunya yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, maka masing-masing negara pantai
tunduk pada yurisdiksi kriminal yang diatur dalam hukum laut internasional, sebagaimana
tercantum dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982.
Pada prinsipnya yurisdiksi kriminal di wilayah laut dapat dibedakan:
a. Yurisdiksi Kriminal di Laut Pendalaman atau Pelabuhan
Terhadap semua kejahatan yang dilakukan di dalam perairan pedalaman atau pelabuhan,
maka negara pantai mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan negara bendera
kapal. Dengan demikian setiap negara berhak sepenuhnya untuk menerapkan yurisdiksinya
terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam pelabuhan atau perairan pedalaman.
b. Yurisdiksi Kriminal di Laut Territorial
Kewenangan negara untuk menerapkan yurisdiksi di laut territorial dibatasi dengan
adanya hak lintas damai (the right of innocent passage), sehingga dapat dikatakan bahwa
kedudukan negara pantai dengan negara bendera kapal adalah sejajar. Dengan demikian negara
pantai hanya dapat menerapkan yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah
teritorialnya apabila :
a. Akibat tindak pidananya menyerang kepentingan negara pantai
b. Jenis tindak pidananya terasa sampai ke negara pantai
c. Tindak pidana narkotika
d. Ada permintaan dari nahkoda kapal atau konsul dari negara asal kapal tersebut.
c. Yurisdiksi Negara di Laut Lepas
14
Laut lepas merupakan wilayah perairan yang lepas dari kedaulatan negara manapun,
sehingga setiap kejahatan yang berada di laut lepas berada sepenuhnya di bawah yurisdiksi
negara bendera. Hal itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional, yaitu bahwa jika suatu
delik terjadi diatas kapal yang sedang berlayar di atas laut lepas, maka negara benderalah yang
dianggap berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya . Dalam hal ini negara bendera
memang diakui mempunyai hak yang ekslusif untuk melaksanakan yurisdiksinya, sebagaimana
yang dikatakan oleh RR. Churchill bahwa (Churchill. R R and Lowe. A.V, : l983, : l48) :
“In general , the flag State , that is, the State which has granted to a ship the right to sail
under its flag, has the exclusive right to exercice legeslative and enforcement jurisdiction
over its ships on the high seas”
Dalam kenyataannya, yurisdiksi eksklusif dari negara bendera tersebut tidak bersifat
mutlak, karena diakui beberapa perkecualiaan yang memberikan kesempatan kepada negara
ketiga untuk melaksanakan pula yurisdiksi di atas kapal yang sedang berlayar di laut lepas.
Pengecualiaan yang pertama yang telah lama diakui sebagai hak, bahkan saat ini telah menjadi
suatu kewajiban yaitu bahwa semua negara harus bekerja sama dalam menanggulangi masalah
pembajakan di laut lepas atau ditempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara .
Sedangkan pengecualiaan yang lainnya menyangkut masalah hak pengejaran segera,
perdagangan budak, penyiaran gelap, pencemaran yang serius dan perdagangan gelap narkotika
dan bahan-bahan psikotropis lainnya. Dengan demikian yurisdiksi suatu negara pantai, terutama
dalam pemberantasan kejahatan dapat dimungkinkan untuk diperluas sampai ke laut lepas.
Pertimbangan adanya perluasan yurisdiksi tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Sifat tindak pidana itu sendiri merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia, seperti
telah ditetapkan oleh hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional .
Meskipun tindak pidanya terjadi di laut lepas, tetapi semua negara berhak untuk
melakukan penindakan tanpa memandang kewarganegaraan si pelaku tindak pidana.
Tindak pidana yang dikenakan sebagaimana di atas tercantum dalam Konvensi
Hukum Laut PBB l982 yang meliputi :
a. Pembajakan di laut lepas (Pasal 100,101,102 dan Pasal 103)
b. Perdagangan dan pengangkutan budak belian (Pasal 99)
c. Perdagangan gelap narkotika atau bahan-bahan psikotropis (Pasal 108)
d. Penyiaran gelap dari laut lepas (Pasal 109).
15
(2) Diperbolehkannya pengejaran segera atau hot pursuit. Pengejaran segera merupakan
hak suatu negara pantai untuk melakukan tindakan yang berupa pengejaran segera
dan tidak terputus terhadap kapal asing, yang diduga keras atau telah melakukan
pelanggaran hukum di wilayah yurisdiksi negara pantai,yang kemudian melarikan diri
ke laut lepas. Dalam perkembangannya kemudian,hak tersebut dapat dimulai dari
ZEE berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982.
Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, si pembajak akan ke-hilangan status
kewarganegaraannya, sebagaimana dinyatakan bahwa :
“It has long been recognized and well settled that person and vessels engaged in piratical
operation on the high seas are entitled to the pro tection of no nation and may be punished
by any nation that may apprehend or capture them. This stern rule of international law
refers to piracy in its international law sense and not to a variety of lesser maritime
offenses so designated by municipal law “
Hilangnya kewarganegaraan si pembajak akan lebih memudahkan bagi setiap negara
untuk melaksanakan hukum pidananya terhadap pelaku pembajakan di laut lepas.
Berkaitan dengan adanya perbedaan yurisdiksi kriminal di wilayah perairan tersebut,
maka penegakan yurisdiksi negara pantai harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, serta ketentuan-
ketentuan internasional lainnya yang relevan. Di tingkat regional ASEAN telah disepakati
ASEAN Action Plan of Combat Transnational Crime tahun 1999 untuk penanggulangan
kejahatan transnasional di lingkungan ASEAN. Pembajakan laut (piracy) merupakan salah satu
jenis kejahatan yang menjadi prioritas untuk diupayakan penanggulangannya, disamping jenis-
jenis kejahatan lainnya yaitu peredaran obat-obatan terlarang, perdagangan illegal manusia,
khususnya wanita dan anak-anak, penyelundupan senjata, pencucian uang dan terorisme.
Melalui ASEAN Regional Forum (ARF) dilakukan beberapa kali konperensi, diantaranya
adalah Konperensi ke 3 di Jepang bulan April tahun 2000. Dalam konperensi tersebut telah
menghasilkan kesepakatan untuk saling memberikan informasi yang menyangkut masalah-
masalah maritim yang perlu diantisipasi, khususnya tentang adanya pembajakan dan perompakan
laut. Demikian pula telah disepakati “Tokyo Appeal” yang bertujuan untuk mencegah dan
menekan terjadinya pembajakan dan perompakan laut. Salah satu hal yang cukup penting adalah
16
kecepatan laporan tentang terjadi atau telah terjadinya pembajakan atau perompakan kepada
negara pantai atau pelabuhan negara yang bersangkutan agar dapat ditanggulangi secepatnya 20
.
2. Hambatan Dalam Penanggulangan Bajak Laut Di Somalia
a. Faktor Intern
(a) Kemiskinan
Mayoritas negara-negara termiskin dunia saat ini di Afrika. Tentu saja beberapa negara
Afrika seperti Afrika Selatan dan Mesir tidak cukup sebagai orang miskin yang lain seperti
Angola dan Ethiopia. Dan meskipun dalam beberapa tahun terakhir kemiskinan absolut di Afrika
telah menunjukkan beberapa jatuh sedikit, tingkat pendapatan Afrika benar-benar telah menurun
relatif terhadap seluruh dunia. Jadi miskin Afrika semakin relatif lebih miskin rata-rata, dan 2011
melihat kekeringan di Utara Afrika Timur kembali membawa prospek kelaparan bagi jutaan di
wilayah itu mempengaruhi Somalia, Etiopia dan Kenya - dan dalam perang agama Somalia telah
memperburuk situasi kelaparan ada .
Tanah adalah masalah utama di Afrika, dengan negara-negara Afrika banyak memiliki
kepemilikan tanah bingung sehingga tanah banyak yang tidak terpakai yang berguna - dan di
beberapa negara Afrika di mana curah hujan tidak dapat diandalkan masih sedikit atau tidak ada
irigasi lahan. Sumber daya alam Afrika juga telah sebagian besar dimonopoli oleh perusahaan-
perusahaan Eropa dan Amerika sebagian besar mengambil uang dari Afrika. Dan degradasi lahan
Afrika, terutama karena pengelolaan lahan yang buruk, telah sebagian besar telah memburuk
dalam beberapa tahun terakhir terutama di Afrika Timur dan dekat Sahara.
Bantuan keuangan ke negara-negara Afrika telah sering sebagian besar bantuan pangan
darurat diperlukan sebagai jangka pendek membantu dengan kelaparan, dan setiap bantuan
jangka panjang telah sering disalahgunakan untuk kekayaan pribadi oleh pejabat korup atau
untuk pengeluaran militer. Mana bantuan keuangan yang berguna telah diberikan untuk negara-
negara Afrika telah sering dalam bentuk pinjaman dengan suku bunga tinggi negara-negara
miskin menemukan terlalu mahal beban utang. Afrika sampai saat ini menarik investasi asing
sedikit meskipun banyak yang telah lebih stabil jangka panjang investasi Eropa seperti di
pertambangan.
Istilah perdagangan yang ditetapkan oleh negara-negara kaya cenderung sering untuk
mengeksploitasi negara miskin dan tidak adil memberikan harga rendah untuk ekspor mereka
komoditas seperti teh, kopi, pisang dan produk lainnya mereka ekspor. Dan bisnis asing yang
17
beroperasi di Afrika juga sering tidak membantu ekonomi lokal sebanyak yang mereka dapat
dengan mudah membantu. Beberapa masalah ini tentu saja tidak unik untuk Afrika dan terlihat
juga di beberapa non-Afrika negara-negara miskin.
Pendidikan, obat-obatan dan minum air juga masalah utama di negara-negara Afrika
miskin - serta transportasi dan energi. Penyakit seperti AIDS, malaria dan kolera yang luas
dengan dua terakhir yang melibatkan sistem air yang buruk. Di beberapa negara Afrika
kurangnya pelayanan medis yang memadai sangat membantu mempertahankan kemiskinan bagi
banyak keluarga.
Banyak telah mencatat bahwa negara-negara di Afrika sering menderita perang sipil dan
pemerintah tidak memadai, dan ini mungkin sebagian karena banyak negara Afrika yang kreasi
kolonial buatan dengan perbatasan yang berkelanjutan membuat pemerintah lebih sulit. Konflik-
negara yang hancur dengan panjang berjalan perang saudara seperti Angola, Burundi,
Mozambik, Somalia dan Uganda memiliki sedikit pemerintah yang efektif, sehingga sangat sulit
untuk mendapatkan pasokan atau membangun infrastruktur yang diperlukan. Hal ini juga telah
memberikan negara-negara tetangga masalah pengungsi besar. Dan sebagian besar Afrika juga
memiliki pemerintahan yang korup, seperti Zimbabwe. Tapi di Afrika kedua perang dan
pemerintah yang korup mempertahankan kemiskinan, sering didukung oleh pemerintah Barat
lebih kaya.
Tapi banyak negara di Afrika sekarang menunjukkan beberapa tanda-tanda nyata dari
kemajuan menuju pemerintahan yang lebih baik. Uni Afrika telah membentuk pemantauan diri
sukarela Mekanisme rekan Afrika Review (APRM) bagi negara-negara agar sesuai dengan nilai-
nilai yang disepakati pemerintahan politik, ekonomi dan korporasi. Dua puluh sembilan dari lima
puluh Afrika tiga negara mendaftar untuk berpartisipasi dalam APRM pada Juni 2008, menjadi -
Aljazair, Angola, Benin, Burkina Faso, Kamerun, Djibouti, Mesir, Ethiopia, Gabon, Ghana,
Kenya, Lesotho, Malawi, Mali, Mauritania, Mauritius, Mozambik, Nigeria, Republik Kongo,
Rwanda, Sao Tome & Principe, Senegal, Sierra Leone, Afrika Selatan, Sudan, Tanzania, Togo,
Uganda dan Zambia. Hal ini di pameran setidaknya bahwa pemerintah negara-negara menyadari
bahwa pemerintah mungkin perlu memperbaiki.
Beberapa negara termiskin di Afrika benar-benar membutuhkan bantuan berkepanjangan
substansial untuk mendanai sistem manfaat langsung kesejahteraan universal untuk membantu
mereka keluar dari kemiskinan. Kemiskinan ekstrim yang luas membantu menyebabkan hal-hal
18
buruk lain seperti banyak anak-anak yang dijual sebagai budak atau digunakan dalam tentara dan
mendapatkan pendidikan.
Kemiskinan Afrika sering berarti kelaparan luas dan kelaparan. Dan itu adalah fakta umum
kemiskinan yang jika Anda terlalu miskin maka Anda mungkin tidak memiliki sumber daya
untuk memperbaiki itu. Namun kemajuan pada kemiskinan di Afrika dapat dicapai dengan
sedikit upaya lebih nyata, dan sedang dicapai sekarang untuk setidaknya batas tertentu di
beberapa bagian Afrika seperti Ghana, Tanzania, Mozambik, Uganda, Rwanda dan Kenya.
Mengutip Nelson Mandela, Pemerintah kekurangan uang Afrika telah memeras setiap sen
terakhir dari sektor pertanian mereka, memaksakan pajak pada produksi yang membantu
mendorong harga naik makanan dan membantu menurunkan upah di Afrika. Selain itu,
pemerintah Afrika sering harus menjual tanaman ekspor mereka untuk harga murah untuk
membayar bunga utang luar negeri mereka. Richer mengimpor negara tahu bahwa para produsen
harus menjual, sehingga menawarkan harga artifisial rendah. Dan sementara belanja pendidikan
dan kesehatan perlu meningkat di sebagian besar Afrika untuk membantu mengurangi
kemiskinan jangka panjang, pinjaman bantuan sering membutuhkan pemerintah mereka untuk
mengurangi pengeluaran.
Terutama petani Afrika harus menggunakan pupuk lebih banyak, tetapi mereka terlalu
mahal bagi banyak orang untuk digunakan. Rata-rata Afrika tidak membuat beberapa kemajuan
kemiskinan di tahun 2000 hingga 2008, tetapi dibatalkan beberapa bahwa kemajuan sejak saat
itu. Aku n banyak negara Afrika miskin, resesi dunia saat ini menyebabkan pengiriman uang
keluarga dari pekerja di luar negeri atau pekerja migran jatuh sekarang. Sebagai pekerja migran
lebih kehilangan pekerjaan di Afrika Selatan, Eropa Barat dan Amerika Serikat, pengiriman uang
untuk keluarga di negara-negara Afrika termiskin sedang memukul. Dan bantuan belum
meningkat baru-baru ini.
Sementara negara-negara Afrika yang berbeda dipengaruhi oleh kemiskinan agak berbeda,
dan perlu berbagai cara penanganan masalah kemiskinan mereka, salah satu mekanisme bantuan
yang tepat bisa menjadi paling efektif. Sebuah rutin tahunan yang cukup besar non-kredit paket
bantuan keuangan harus disepakati oleh donor utama bantuan pemerintah, dan diberikan hanya
melalui Uni Afrika untuk distribusi yang tepat untuk negara-negara Afrika setiap tahun. Dan Uni
Afrika harus diminta untuk memantau dan melaporkan efektivitas bantuan tersebut dalam
mengurangi kemiskinan di masing-masing negara Afrika.
19
(b) Kekosongan Hukum
Tidak terjadi kekosongan hukum di Somalia, karena di negara tersebut terdapat tiga system
hukum yang masih berlaku yaitu Hukum Sipil, Syariah dan Xeer.
Civil law
Sistem kehakiman di Somalia hancur sepeninggal rezim Siad Barre, namun saat ini sistem ini
sudah mulai dibangun kembali. Sistem ini diberlakukan berbeda pada masing-masing daerah
otonom Puntland dan Somaliland.
Terlepas dari perbedaan politis yang signifikan antar dua daerah tersebut, kedua daerah memiliki
struktur hukum yang serupa, yang sebagian besar diwarisi dari system hukum sebelumnya, yang
di dalamnya mencakup (a) kesepakatan supremasi syriah. Kesepatan tersebut juga mengakui
penghormatan terhadap standar universal hak asasi manusia, serta mengakui kebebasan
pengadilan, (b) mengakui tiga tingkatan pengadilan, termasuk mahkamah agung dan pengadilan
banding, pengadilan tingkat pertama dibedakan menjadi pengadilan distrik dan regional, dan (c)
pengakuan terhadap hukum sipil bukan hukum militer.
Syariah
Hukum Syariah Islam sudah secara tradisonal dilaksanakan di Somalia yang sebagian besar
penduduknya adalah muslim. Secara teori seharusnya Syariah akan melandasi seluruh legislasi di
negara tersebut, namun pada kenyataannya Syariah hanya diterapkan pada kasus-kasus perdata
seperti : perkawinan, perceraian dan pewarisan. Kenyataan ini berubah setelah terjadinya perang
sipil, semakin banyaknya hukum Syariah baru terbentuk yang berbeda-beda antara kota satu
dengan lainnya. Syariah baru tersebut bertujuan untuk mengatur kasus-kasus perdata dan pidana,
mengatur militia, dan mencegah lepasnya para terdakwa lepas dari jerat hukum.
Xeer
Xeer adalah system hukum polisentris yang di dalamnya tidak terdapat institusi yang
memonopoli penafsiran hukum. Sistem hukum ini sudah ada sejak abad ketujuh di Tanduk
Afrika. Tidak ada bukti bahwa system ini pernah ada di tempat lain atau dipengaruhi oleh system
hukum asing. Sistem hukum ini sudah mengenal pembedaan berdasarkan fungsi : odayaal
(hakim), xeerbogeyaal (pengacara), guurtiyaal (detektif), garxajiyaal (jaksa), markhaatiyal
(saksi) dan waranle (polisi) dalam penegakan hukum.
Xeer meliputi:
a) Diya pembayaran kepada keluarga korban fitnah, pencurian, penganiayaan, perkosaan
dan kematian.
b) Persamaan kedudukan untuk wanita.
c) Kewajiban pembayaran mahar dalam perkawinan.
d) Kewajiban memelihara sumber daya alam seperti padang rumput, air dan sumber alam
lainnya.
20
e) Menyediakan dukungan finansial bagi pihak keluarga mempelai wanita.
f) Sumbangan kepada kaum miskin berupa ternak.
(c) Sebab Lain
Somalia telah tanpa pemerintah pusat yang efektif sejak Presiden Siad Barre digulingkan
pada tahun 1991. Masa pertempuran antara kelompok dan ketidakmampuan untuk menangani
kelaparan dan penyakit telah menyebabkan kematian sampai satu juta orang.
Pada tahun 1991 Presiden Barre digulingkan dengan melawan klan. Tapi mereka gagal
menyepakati pengganti dan menjerumuskan negara ke dalam hukum dan perang suku. Pada
tahun 2000 suku-suku menunjuk Abdulkassim Salat Hassan sebagai presiden pada sebuah
konferensi di Djibouti. Sebuah pemerintahan transisi dibentuk, dengan tujuan mendamaikan
milisi berperang.
Pada tahun 2004, setelah pembicaraan berkepanjangan di Kenya, para panglima perang
utama dan politisi menandatangani kesepakatan untuk mendirikan suatu parlemen yang baru,
yang kemudian ditunjuk presiden.
Pada tahun 2006 oleh munculnya kelompok Islamis yang menguasai sebagian besar
wilayah selatan, termasuk ibukota, setelah milisi mereka mengusir keluar para panglima perang
pemerintah. Dengan dukungan dari pasukan Ethiopia, pasukan yang setia pada kontrol
pemerintahan sementara disita dari para Islamis di akhir tahun 2006. Gerilyawan Islam -
termasuk kelompok Al-Shabab, yang kemudian menyatakan kesetiaan dengan al-Qaeda -
berjuang kembali melawan pemerintah dan pasukan Ethiopia, mendapatkan kembali kendali atas
sebagian besar wilayah Somalia selatan pada akhir 2008. Ethiopia menarik pasukannya keluar
pada Januari 2009. Segera setelah itu, Al-Shabab menguasai pejuang Baidoa, sebelumnya kubu
kunci dari pemerintahan transisi.
Parlemen Somalia bertemu di Djibouti pada akhir Januari dan bersumpah di 149 anggota
baru dari gerakan oposisi utama, Aliansi untuk Pembebasan Kembali Somalia. Parlemen juga
memperpanjang mandat dari pemerintah federal transisi selama dua tahun, dan menunjuk tokoh
Islam moderat Sheikh Sharif Sheikh Ahmad sebagai presiden baru. Namun, posisi militer
pemerintah melemah, dan Mei 2009 gerilyawan Islam melancarkan serangan di Mogadishu,
mendorong Presiden Ahmad untuk mengajukan bantuan dari luar negeri. Al-Shabab tampaknya
telah mengkonsolidasikan posisinya sebagai kelompok pemberontak paling kuat dengan
mengemudi saingan utamanya, Hizbul Islam, keluar dari kota pelabuhan selatan Kismayo pada
21
Oktober 2009. Sejak saat itu mereka secara terbuka menyatakan aliansi mereka dengan al-Qaeda
dan telah terus bergerak ke arah pasukan Mogadishu.
b. Faktor Ekstern
Negara-negara tetangga Djibouti dan Yaman. Kedua negara termasuk negara-negara
yang miskin di Afrika. Penduduk kedua negara kemudian pindah ke Somalia untuk mencari
penghidupan yang lebih layak. Namun tidak semua penduduk tersebut kemudian mendapatkan
pekerjaan. Mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan kemudian direkrut oleh para bajak laut.
Fenomena inilah yang kemudia menyebabkan jumlah bajak laut semakin bertambah banyak. Hal
ini terbukti dari beragamnya kewarganegaraan bajak laut tersebut.
c. Hukum Internasional
(a) Yurisdiksi Universal
Dalam Princeton University Program in Law and Public Affairs, The Princeton Principles
on Universal Jurisdiction tahun 2001, Prinsip 3 menyebutkan dalam kaitannya dengan kejahatan
serius berdasarkan hukum internasional sebagaimana disebutkan dalam Prinsip 2 ayat (1), organ-
organ hukum harus merujuk pada yurisdiksi universal walaupun jika legislasi nasional mereka
tidak secara spesifik mengaturnya.
Yang termasuk kejahatan serius tersebut adalah: (1) pembajakan; (2) perbudakan; (3)
kejahatan perang; (4) kejahatan terhadap perdamaian; (5) kejahatan terhadap kemanusiaan; (6)
genosida; dan (7) penyiksaan.
Dalam penerapannya yurisdiksi universal sulit diterapkan karena adanya perbedaan
definisi pembajak antara negara yang menangkap pembajak dengan apa yang disebutkan dalam
UNCLOS 1982.
(b) UNCLOS 1982
Dalam UNCLOS disebutkan bahwa Hukum internasional tentang bajak laut hanya
berlaku di laut lepas. Dilain pihak UNCLOS memberikan perluasan laut territorial yang semula 3
mil laut menjadi 12 mil laut, selain itu terdapat juga Zona tambahan sampai dengan 24 mil laut
dihitung dari garis pangkal. Dalam zona tambahan ini negara pantai dapat menerapkan yurisdiksi
dalam hal pajak atau bea cukai. Selain itu UNCLOS 1982 juga menbgakui Zona Ekonomi
Eksklusif sampai dengan jarak 200 mil laut dihitung dari garis pangkal. Hal tersebut secara
“tidak sengaja” mengurangi area dimana bajak laut dapat ditangkap/ditindak.
22
Hal inilah yang memungkinkan bajak laut memanfaatkan laut teritorial suatu negara yang
kolaps (lemah) saat melalui teluk, selat, dan kepulauan kapal asing harus transit melalui / dekat
perairan negara.
(c) Resolusi Dewan Keamanan PBB
Terdapat paling tidak delapan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengatur mengenai
bajak laut, yaitu:
a) Resolusi DK PBB 1816 (2008)
b) Resolusi DK PBB 1838 (2008)
c) Resolusi DK PBB 1846 (2008)
d) Resolusi DK PBB 1851 (2008)
e) Resolusi DK PBB 1897 (2009)
f) Resolusi DK PBB 1918 (2010)
g) Resolusi DK PBB 1950 (2010)
h) Resolusi DK PBB 1976 (2011)
Di samping kedelapan resolusi tersebut terdapat pula Circular Letter IMO No. 3180 tanggal 17
Mei 2011.
Salah satu resolusi penting adalah Resolusi 1851 (2008) yang membenarkan penggunaan
kekuatan senjata, misalnya rudal di laut teritorial Somalia. Ini tentu bertentangan dengan prinsip
non-intervensi yang diatur dalam Piagam PBB. Disamping itu banyak pengamat menyatakan
bahwa hal ini bertentangan dengan Hukum Humaniter Internasional yang membedakan
kombatan dan non-komnbatan.
23
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Faktor-faktor penghambat penaggulangan bajak laut di Somalia, lebih banyak berupa
factor non hukum, seperti kemiskinan, baik di dalam negeri Somalia maupun di negara-negara
tetangga seperti Djibouti dan Yaman. Faktor non hukum lainnya adalah tidak efektifnya
pemerintah pusat Somalia dalam mengatur negara dan warga negaranya. Faktor lainnya juga
adanya dugaan al-qaeda berada di balik bajak laut ytersebut, walaupun hal ini masih layak untuk
diperdebatkan.
Tidak terjadi kekosongan hukum di Somalia, hal ini dapat dilihat masih adanya hukum di
Somalia, berupa Hukum Sipil, Syariah dan Xeer.
Faktor Hukum internasional juga merupakan penghambat penanggulangan bajak laut,
yurisdiksi universal tidak dapat berjalan dengan baik karena tidak adanya kesamaan definisi
bajak laut di semua negara di dunia. United Nations Convention on Law of the Sea 1982
(UNCLOS 1982) mengenai lebar laut territorial, zona tambahan dan ZEE juga secara tidak
sengaja memperluas ruang gerak bajak laut.
Resolusi Dewan Keamanan PBB memberikan pengaruh buruk bagi penanggulangan
bajak laut, karena Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1851 (2008) yang membebaskan
negara koalisi melakukan segala tindakan termasuk penggunaan kekuatan senjata berat dalam
memberantas bajak laut, ternyata menimbulkan kritiukan dari negara-negara lain di dunia.
Resolusi ini dianggap bertentangan dengan prinsip non-intervensi dan juga bertentangan dengfan
Hukum Humaniter Internasional
2. Saran
Akar permasalahan munculnya bajak laut adalah kemiskinan, hanya dengan
meminimalisasi kemiskinan akan dapat menurunkan atau bahkan mereduksi serangan bajak laut
Somalia. Kemiskinan di negara-negara Afrika hanya dapat diturunkan dengan kerja sama
masyarakat internasional. Baik melalui Bank Dunia, International Monetary Funds dan badan-
badan PBB lainnya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Brownly, Ian. Principles of Public International Law, Third Edition, Clarendon Press. Oxford,
London, l979.
Brierly, JL., The Law of Nations, an Introduction to International Law of Peace, Clarendon
Press, Oxford, London, l960.
Churchill. R.R and Lowe. A.V, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester,
U K, l983.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Bina Cipta Bandung, l978.
Molodtsov. SV. International Law, Academy of Science of the USSR, Moscow, 1960.
Departemen Luar Negeri RI, Konvensi Hukum Laut PBB l982, Ditjen Perjanjian Internasional,
Jakarta, l983.